H a k HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM 'ALAIH

10
1 | Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum „Alaih Kelompok 7 (Fiqh dan Ushul Fiqh): 1. Aris Munandar (NIM. 12810030) 2. Hikmah Suprihatin (NIM. 12810021) 3. Laela Mu‟arifah (NIM. 12810013) HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH A. HAKIM 1. Pengertian Secara etimologi hakim memiliki dua pengertian. Pertama, hakim artinya pembuat, penetap, sumber hukum yaitu Allah SWT., kedua hakim berarti penemu, penjelas, pengenal, penyingkap hukum, dalam pengertian ini termasuk di dalamnya para mujtahid. Sumber hukum yang hakiki adalah Allah SWT. dasarnya adalah surat Al An‟am ayat 57. Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". Allah adalah hakim, baik perbuatan itu sudah dijelaskan Allah secara langsung atau Allah memberi petunjuk langsung kepada para mujtahid. Syariah secara onotlogis dapat berupa hukum agama dan hukum positif. Syari‟ah adalah

Transcript of H a k HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM 'ALAIH

1 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

Kelompok 7 (Fiqh dan Ushul Fiqh):

1. Aris Munandar (NIM. 12810030)

2. Hikmah Suprihatin (NIM. 12810021)

3. Laela Mu‟arifah (NIM. 12810013)

HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH

A. HAKIM

1. Pengertian

Secara etimologi hakim memiliki dua pengertian. Pertama, hakim artinya

pembuat, penetap, sumber hukum yaitu Allah SWT., kedua hakim berarti penemu,

penjelas, pengenal, penyingkap hukum, dalam pengertian ini termasuk di

dalamnya para mujtahid. Sumber hukum yang hakiki adalah Allah SWT. dasarnya

adalah surat Al – An‟am ayat 57.

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran)

dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang

kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah

hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang

paling baik".

Allah adalah hakim, baik perbuatan itu sudah dijelaskan Allah secara

langsung atau Allah memberi petunjuk langsung kepada para mujtahid. Syariah

secara onotlogis dapat berupa hukum agama dan hukum positif. Syari‟ah adalah

2 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

hukum agama, karena merupakan realitas metafisik dari ketentuan – ketentuan

dalam al – Qur‟an dan Hadis. Artinya secara idealitas syari‟ah adalah hukum yang

dibuat atau ditentukan oleh Syari‟ yang mutlak, yaitu Allah SWT. Syari‟ah adalah

kehendak Illahi sehingga bersifat teologis. Di sisi lain syari‟ah adalah hukum

positif, karena merupakan perkembangan dari „amal (praktek masyarakat) dan

yurisprudensi (hasil keputusan para hakim/qadhi). Ini adalah wujud realitas

syari‟ah yang dijalankan oleh umat Islam.

Secara epistemologis, ketentuan dalam hukum positif Islam ini berasal dari

hasil ijtihad para mufti atau mujtahid, yang menurut Syatibi, juga merupakan

Syari‟ (bukan mutlak), karena mereka menjalankan fungsi atas nama Tuhan,

bukan dalam hak mereka sendiri.

2. Kedudukan Mujtahid dalam Penetapan Hukum Islam

Tugas ijtihad pertama kali diberikan khusus kepada nabi Muhammad saw,

yang merupakan penafsir pertama dan utama al – Qur‟an. Setiap turun wahyu,

Nabi menjelaskan maksud dan kandungan wahyu tersebut kepada sahabat –

sahabatnya. Pada masa selanjutnya penjelasan Nabi ini dijadikan sebagai second

source hukumm Islam dan disebut dengan Sunnah atau Hadis.

Tugas dan kewenangan ijtihad ini dilanjutkan oleh generasi pasca Nabi

hingga sekarang. Rumas hukum para ulama menjadi hukum Islam in action, yang

secara teoritis berdasarkan pada ketentuan al – Qur‟an dan Hadis.

3. Metode Istimbat Hukum Syara’

Mengetahui hukum – hukum Allah (hukum perbuatan mukallaf) adalah

dengan menggunakan dalil – dalil dan isyarat yang disyariatkan untuk istimbat

hukum. Dari sinila para ulama menyusun pola penalaran, baik berupa kaidah –

kaidah penafsiran maupun metode istimbat hukum.

Secara umum pola penalaran itu dibagi menjadi tiga:

a. Penalaran bayany adalah metode penalaran (penafsiran) yang bertumpu

pada arti kata (dialat) dan kaidah – kaidah kebahasaan.

3 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

b. Penalaran ta‟lily adalah pola penafsiran yang dilakukan dengan cara

menemukan „illat (alasan penetapan hukum, kausa efektif, ratio

legis/tambatan hukum) yang terkandung dalam nash.

c. Penalaran istislahy adalah pola penalaran yang bertumpu pada

kemaslahatan yang terkandung dalam nash.

4. Kedudukan Akal terhadap Wahyu

Para ulam terbagi kedalam 2 kelompok, yaitu Mu‟tazilah di satu sisi

dengan Asy‟ariyah dan Maturidiyah di sisi yang lain. Kelompok Mu‟tazilah

mengaggap bahwa akal dapat menjadi sumber hukum yang ketiga, dan kedudukan

wahyu adalah konfirmasi bagi akal. Bagi kelompok Asy‟ariyah dan Maturidiyah

akal dapat berdiri sendiri sebagai sumber hukum, kedudukan wahyu adalah

sebagai sumber informasi.

Ulama yang beraliran Mu‟tazilah misalnya, cenderung mendahulukan akal

daripada wahyu, sedangkan ulama aliran Asy‟ariyah lebih mendahulukan wahyu

daripada akal. Dalam pandangan ulama Asy‟ariyah, jika dalil naqli bertentangan

dengan pemahaman akal, maka akal yang harus ditundukan. Akal tidak dapat

menetapkan kemaslahatan. Hal ini berbeda dengan pandangan Mu‟tazilah, bahwa

akal dapat mengetahui manfaat dan mafsadat serta mampu menetapkannya.

Asy – Syatibi berupaya menengahi dua pendapat ini dengan menyatakan

bahwa manusia dengan akalnya dapat mengetahui kemaslahatan, namun

wahyulah yang menetapkan dan membenarkannya.

4 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

B. MAHKUM FIH

1. Pengertian dan Syarat mahkum fih.

Secara Etimologi mahkum fih adalah obyek hukum, artinya suatu

perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syari‟. Sedangkan secara

istilah, mahkum fih adalah baik itu perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf

yang dapat dinilai hukumnya. Jadi, mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang

menjadi objek dari hukum syara‟.

Setiap hukum dari syari‟ harus berhubungan dengan perbuatan mukallaf

baik itu sebuah tuntutan, pilihan, atau penetapan. Namun, menurut fuqaha, tidak

semua perbuatan hukum dapat disebut sebagai mahkum fih. Jadi, untuk

mengetahui perbuatan mukallaf tersebut mahkum fih atau tidak, para fuqaha

menetapkan beberapa syarat. Syarat mahkum fih adalah :

a. Perbuatan itu harus diketahui oleh mukallaf secara sempurna. Sempurna

yang dimaksudkan yaitu mengetahui tentang rukun, syarat, dan

sebagainya. Berdasarkan hal ini, nash nash yang mujmal tidak sah

mentaklifikannya pada mukallaf , kecuali jika telah dijelaskan rasulullah

kita dapat melanjutkannya.

b. Diketahui bahwa tuntutan itu datang dari otoritas yang berwenang dalam

hukum dan dari orang yang wajib diikuti pentaklifannya. Yang dimaksud

pengetahuan mukallaf terhadap yang ditaklifinnya adalah kemungkinan

untuk mengetahuinnya, bukan pengetahuan secara langsung.

c. Perbuatan itu memungkinkan dikerjakan /ditinggalkan, konsekuensinya:

1. Tidak boleh ada taklif yang mustahil. Baik itu mustahil secara

substansinya atau mustahil karena sesuatu lainnya (menurut adat).

Mustahil secara substansi adalah sesuatu yang tidak masuk akal,

yaitu sesuatu yang tidak bisa terbayangkan oleh akal tentang

kebaradaannya. Misalnya, pewajiban dan pengharaman dalam satu

waktu, satu tempat, dan satu masalah. Sedangkan mustahil karena

sesuatu lainnya (menurut adat) adalah sesuatu yang terbayangkan

5 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

oleh akal namun tidak diterima oleh adat dan hukum alam.

Misalnya, adanya tanaman tanpa ada bibitnya.

2. Tidak sah melaksanakan perbuatan atas nama orang lain karena itu

bukan taklif untuknya, sehingga tidak ada pertanggungjawaban

terhadap perbuatannya. Segala sesuatu yang ditaklifkan pada

manusia yang dikhususkan pada orang lain adalah nasehat, amar

m‟ru dan melarang yang munkar

2. Kriteria Taklif

Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang terkena taklif dalam

hukum syara‟. Dalam hal ini ada dua pendapat yang berbeda, yaitu

a. Kelompok Asy‟ariyah, Maturidyah, dan sebagian Hanafiyah, berpendapat

bahwa yang terkena taklifinnya itu semua manusia, termasuk orang kafir.

Karena ayat taklif bersifat umum, dan ada siksa terhadap orang yang tidak

melakukan hukum syara‟.

b. Mayoritas Hanafiyan dan Abu Hamid-Asyfarayni berpendapat bahwa

taklif hanya berlaku untuk orang islam. Orang kafir tidak terkena taklif

karena jika orang kafir dikenakan taklif maka akan terjadi pelegalan

terhadap kekafiran, dan jika orang kafir masuk islam, maka orang kafir

tersebut harus mengqadha semua taklif yang mereka tinggalkan selama

mereka kafir.

3. Macam – macam Mahkum Fih

a. Jika ditinjau dari keberadaan materialnya dan syara‟ Mahkum Fih dibagi

menjadi tiga, yaitu:

Perbuatan material yang tidak termasuk perbuatan dengan syara‟.

Misalnya, makan minum dan lain lain.

Perbuatan secara material dan menjadi hukum syara‟. Misalnya

pencuri, perzinaan dan lain lain.

6 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

Perbuatan secara material ada dan diakui syara‟ serta

mengakibatkan hukum syara‟ yang lainnya. Misalnya, pernikahan,

jual beli, dan lain lain.

b. Jika dilihat dari hak yang terdapat didalam perbuatan itu, terdapat 4 jenis

Mahkum Fih, yaitu:

Semata mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut pada

kemaslahatan umum.

Semata mata hak hamba, yaitu yang menyangkut hak pribadi

seseorang, seperti ganti rugi barang yang rusak. Seperti hukuman

qazaf.

Kompromi antara hak Allah dan hak Hamba, tetapi hukum Allah

lebih menonjol.

Kompromi antara hak Allah dan hak Hamba, seperti hukuman

qisas.

B. MAHKUM ‘ALAIH (MUKALLAF)

Yang dimaksud dengan mahkum alaih, orang mukallaf yang perbuatannya

berhubungan dengan hukum syar‟i. atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah

orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum allah.

Menurut ulama‟ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang

yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf. Sedangkan

keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang

dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah

diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999). Jadi, secara singkat

dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang

perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.

Dinamakannya mukalaf sebagai mahkum alaih adalah karena dialah yang

dikenai (dibebani) hukum syara‟. Ringkasnya yang dinamakan mahkum

alaih adalah orang atau mukallaf itu sendiri.

7 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

Syarat-Syarat Mahkum ‘Alaih

Ada dua persaratan yang harus dipatuhi agar seorang, mukallaf sah ditaklifi.

a. Orang tersebut memahami dalil-dalil taklifi (pembebanan) itu dengan

sendirinya, atau dengan perantaraan orang lain. Orang yang tidak mampu

memahami dalil-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan

kepadanya. Kemampuan memahami dalil-dalil taklif hanya dapat terwujud

dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu.

Oleh karena akal adalah hal yang tersembunyi dan sulit diukur, maka

menyangkutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal,

yaitu baligh. Barang siapa yang tidak baligh dan tidak keliatan cacat akalnya

berarti ia telah cukup kemampuan untuk ditaklifi.

Berdasarkan hal di atas anak-anak atau orang gila tidak dikenai taklif

tersebut. Begitu juga dengan orang yang lupa, tidur, dan mabuk. Sebab dalam

keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada

mereka.

Hal ini senada dengan sabda Rasulullah Saw:

حت يحت و ه مجىىن حت : ل ه ب ه ىائ حت يستيلظ و ه ص

ي ي

“Diangkatlah pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia

bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh.” (H.R. al-

Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali

bin abi thalib).

Begitu juga dalam Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat: 43 sebagai berikut

ة وأوت سكا ي حت تع مى ما تلى ىن ول يا أيها ذيه آمىى ل تلربى ص

جىبا إل ابر سبيل حت تغتس ى وإن كىت مرض أو س ر أو جاء أحد

مى صعيد طيبا امسحى مىك مه غائط أو لمست ىساء تجدو ماء تيم

كان ى غ ى (43)بىجىهك وأيديك إن لل

8 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam

Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula

hampiri masjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu

saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau

datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian

kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik

(suci) sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi

Maha Pengampun.”(QS. An-Nisa ayat: 43).

Dan bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan orang yang

tidak bisa memahami dalil-dalil syara‟ baik dari al-Qur‟an maupun dari as-

Sunnah, seperti bangsa-bangsa selain bangsa Arab, maka tidak sah menuntut

mereka secara syara‟ kecuali mereka belajar bahasa Arab ataupun mereka bisa

memahami nash-nasnya, atau jika dalil-dalil tersebut diterjemahkan ke dalam

bahasa mereka.

b. Orang tersebut “ahli”, disini berarti layak dan pantas. Contohnya seperti

seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf berarti ia pantas untuk diserahi

tanggung jawab mengurus harta wakaf.

1. Keadaan manusia dihubungkan dengan keahlian wajib

Hubungan manusia dengan ahliayah al-wujub ( kewajiban menerima hak dan

kewajiban) yang ada padanya. Diliat dari segi ini manusia terbgai menjadi dua:

a. Mempunyai ahliyah Al-wujud yang tidak penuh atau tidak sempurna,

yaitu apabila pantas diberikan kepadanya hak-hak, tetapi tidak

pantasdipikulkan kepadanya kewajiban-kewajiban atau

sebaliknya. Misalnya, janian( embrio) dalam perut ibunya ia

mempunyai hak untuk menerima warisan atau wasiat, tetapi tidak

mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Sebaliknya, orang mati

yang masih mempunyai hutang, hak orang yang berpiutang mmasih ada

diatasnya. sehingga ia –melalui ahli warissnya- punya kewajiban untuk

membayar utangnya, tetapi ia tidak mempunyai hak apa-apa lagi.

9 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

Mempunyai ahliah al-wujud yang penuh, yaitu pantas diberikan

kepada hak-hak dan pantas diberikan kkepadanya kewajiban-kewajiban

ini adalah keahlian (ahliah) yang dimil;iki seseorang semenjak ia lahir

dan tetap dimilikinya selama ia masih hidup, meskipun ia kehialangan

akal atau gila. Yang dimaksud disisni adalah kewajiban-kewajiban yang

berkaitan dengan harta benda, seperti kewajiban zakat bila yang dikenai

kewajiban itu belum sempurna akalnya, walinya lah yang mewakilinya

menunaikan kewajiban tersebut.

b. Keahlian wajib yang sempurna, jika mukallaf layak menerima hak dan

melaksanakan kewajiban. Hal ini dimiliki oleh setiap orang sejak

dilahirkan. Yakni sejak usia kanak-kanak, usia mumayyiz, sampai

sesudah baligh dalam keadaan dan kondisi lingkungan yang

bagaimanapun ia telah memiliki keahlian wajib sempurna.

2. Keadaan manusia dihubungkan dengan keahlian melaksanakan.

Hubungan manusia dengan ahliyyah al-ada‟ (kemmampuan berbuat) yang

ada padanya. Diliat dari segi ini manusia dibagi menjadi tiga bagian.

a. Tidak punya atau hilang ahliyyahnya sama sekali. Misalnya, anak-anak

pada massa anaknya dan orang gila pada masa gilanya,karena mereka tidak

mempunyai akal. Oleh sebab itu perbuatan dan ucapannyatidak mempunyai

konsekwensi hokum dan semua akad atau perikatan ayang dilakukannyaitdak sah

atau tidak batal. Bila mereka melakukan suatu tindakna pidana atas jiwa dan

hartanya, yang dikenakan padanya hanya hukum denda, yaitu diyat yang

dibunuhnyadan mengganti harta yang rusak atau diambilnya, bukan hukum badan,

bukan juga hukum kisas.

b. Mempunyai ahliyah al-ada yang tidak sempurna, misalnya mumaiiyaz dan

orang yang kurang akal. Akal mereka tidak cact dan juga tidak hila.

10 | H a k i m , M a h k u m F i h d a n M a h k u m „ A l a i h

c. Mempunyai ahliyyah yang penuh , yaitu orang dewasa dan sehat akalnya.

Maka ahliyat yang sempurna dapat trealisasikan dengan kedewasaan dan

berakal.[2]

Penghalang Keahlian

Para ulama‟ushul fiqh sepakat menyatakatan bahwa penentuan cakap atau

tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi

mereka sepakat, bahwa sesuai dengan hukum biologis, akal seseorang bisa

berubah, kurang dan hilang sama sekali, sehingga mengakibatkan mereka

dianggap tidak cakap lagi dalam bertindak hukum, baik dalam tindakan hukum

yang berkaitan dengan masalah tertentu maupun dalam bidang-bidang yang

terbatas. Dalam hubungan ini, ulama‟ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan

bertindak hukum seseorang bisa berubah yang disebabkan:

1). „awaridh al-samawiyyah ( عى ض سما و ), maksudnya halangan yang

datangnya dari Allah, bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti gila, dungu,

perbudakan, mard maut (sakit yang berlanjut dengan kematian) dan lupa.

2). „Awaridh al-muktasabah ( عى ض مكتسبت ), maksudnya halangan yang

disebabkan perbuatan manusia, seperti mabuk, bodoh dan hutang.

Kedua bentuk halangan yang menyebabkan berubahnya kecakapan

bertindak hukum seseorang itu sangat berpengaruh terhadap tindakan hukumnya.

Menurut ulama‟ushul fiqh, perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya

bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya.

Referensi:

Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih, Kaidah Hukum Islam. Jakarta:

Pustaka Amani.

Khallaf , Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama.

Sodiqin , Ali. 2012. Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Beranda Publishing.