Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat Yogyakarta
-
Upload
gadjamadauniversity -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat Yogyakarta
Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat
Yogyakarta 1885-1961
BAB I
PENDAHULUAN
Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun
1762. Kemunculan paham ini ditandai dengan berdirinya loge–loge
di kota-kota dagang yang besar di pesisir seperti Semarang
Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan di kota kota
tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat.1
Loge yang pertama kali didirikan di tanah Jawa ialah ” La Choisie
( Terpilih ) ” di Batavia atas prakarsa J.C.M Radermacher, akan
tetapi loge ini tidak berumur panjang. Kemudian disusul pendirian
loge ” La Vertueuse ( Kesucian ) ” dan ” La Fidele Sincerite ( Kesetiaan
Ikhlas ) ” di Batavia. Pada tahun 1801 didirikan loge ” La
Constante et Fidele ( Selamanya Setia ) ” di Semarang oleh seorang
anggota Mason yang bernama Nicolaas Engelhard yang sekaligus
diangkat sebagai ” Suhu Agung Nasional dan Pejabat-pejabat Besar
Tarekat Republik Batavia”. Dimulai dari Engelhard yang
menjalankan funsinya hingga ia digantikan sederetan panjang
wakil-wakil Suhu Agung yang melaksanakan kekuasaan Masonik
tertinggi. Selain itu juga didirikan loge ” De Vriendschap1 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan
Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), : 24.
( Persaudaraan ) ” di Surabaya, loge ”Mataram” di Yogyakarta pada
tahun 1870 dan masih banyak lagi loge-loge yang didirikan.
Loge ” Mataram ” didirikan pada tahun 1870 karena jumlah
orang Eropa yang berada di Yogya sangat mendominasi. Hal ini
karena para raja semi-merdeka memberikan hak-hak guna usaha di
bidang pertanian yang dipimpin orang Eropa. Nama Mataram diilhami
para pendiri loge yang sadar akan kebesaran Jawa. Setahun setelah
pendirian loge tersebut tepatnya tahun 1871, Pangeran Ario
Soerjodilogo, keturunan dari Sultan-sultan Mataram masuk menjadi
anggota loge tersebut.2 Selain itu ada dua orang Tionghoa yang
diterima dalam loge tersebut.
Hubungan - hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa
dibanding daerah lain seperti Batavia dimana unsur Eropa sangat
dominan. Karena Yogyakarta selain menjadi kedudukan Pura Paku
Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi keturunan Sultan
Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi kebudayaan
Jawa.
Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda
mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya.
Kebijakan kolonial Belanda rupanya beralih dari bentuk
pengeksplotasian menuju suatu bentuk keprihatinan atas
kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena banyak
bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang
2 Pada tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi PakuAlam V. Kedudukannya sebagai kepala dari keluarga raja yangmemerintah salah satu Vorstenland dianggap penting bagi loge“Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.
dilontarkan orang-orang liberal di parlemen. Sehingga banyak
suara orang-orang Belanda yang mendukung pemikiran untuk
mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.3
Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang masih muda dalam
Troonrede kenegaraan mengumumkan suatu penyelidikan terhadap
kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah Politik Etis telah disahkan
oleh Ratu Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan
mengerucutkan prinsip Politik Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi,
pendidikan dan transmigrasi penduduk.
Situasi ini mendapat respon yang di dalam anggota Kemasonan,
hal ini terlihat dari dua kali kongres Masonik yang pada akhirnya
keputusan terkait tentang sosial dan pendidikan didukung oleh
seluruh anggota Kemasonan. Hal ini diwujudkan para golongan Mason
dalam bentuk sekolah Frobel atau taman kanak-kanak, rumah panti
bagi yatim piatu dan orang buta, perpustakaan rakyat, sekolah
kejuruan bagi perempuan dan laki-laki, dana pakaian sekolah,
dana-dana studi, asrama-asrama, dan wisma-wisma militer.4
Dari hal-hal di atas diketahui bahwa terlepas dari kiprah
Golongan Kemasonan yang berusaha dalam melaksanakan tugas-
tugasnya, serta meningkatkan eksistensi dirinya di dalam
masyarakat. Orang-orang Mason juga aktif bergerak dalam aktivitas
sosial maupun pendidikan. Hal ini dikarenakan situasi politik
yang dilakukan Belanda guna mengubah paradigma Hindia Belanda
3 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 - 2008, ( Jakarta:Serambi, 2008 ), : 327.
4 Th. Stevens, op.cit., : 293-298.
yang miskin dan terbelakang lewat 3 jalan keluar yang ditawarkan
oleh penjajah Belanda, yakni pengairan, edukasi, dan perpindahan
penduduk.
BAB II
Pembahasan
A.Golongan Mason di Vorstenlanden Yogyakarta
Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri Para
Sultan ) ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta
pada tahun 1870 atas prakarsa tiga puluh orang anggota Mason.
Diantaranya terdapat nama – nama seperti Weijnschenk, Raaff,
Soesman, dan Monod de Froindeville. Mereka adalah orang - orang
Indo - Eropa yang kaya, yang pada awal abad membeli tanah - tanah
yang luas dari Sultan dan berhasil mengembangkannya.5 Yang
menarik adalah para pendiri loji di Yogyakarta tidak ada satupun
diantaranya yang berasal dari Bumiputra, hanya satu yang berasal
dari Tionghoa. Pemilihan nama Mataram pada loji menunjukkan bahwa
para Mason Bebas Yogya sadar akan masa lampau Jawa yang besar.
Perkembangan golongan Mason di Yogyakarta dimulai dengan
terobosan masuknya seorang Bumiputra dari golongan bangsawan,
yaitu pangeran Ario Soerjodilogo6 pada 1871 ( setahun setelah5 Th. Stevens, loc.cit., :150-151.
6 Pada tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi PakuAlam V. Kedudukannya sebagai kepala dari keluarga raja yangmemerintah salah satu Vorstenland dianggap penting bagi loge
pendirian loji Mataram ). Bergabungnya Pangeran Ario Soerjodilogo
menambah prestise bagi golongan Kemasonan di mata elite Bumiputra
lainnya.
Hubungan - hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa
dibanding daerah lain seperti Batavia dimana unsur Eropa sangat
dominan. Karena Yogyakarta selain menjadi kedudukan Pura Paku
Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi keturunan Sultan
Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi kebudayaan
Jawa. Usaha – usaha untuk mendapatkan dukungan dari Keraton
Yogyakarta tampaknya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Hal
ini terlihat dari kemurahan hati Sultan yang menyewakan sebuah
gedung di jalan utama Yogyakarta, Jalan Malioboro, untuk
digunakan sebagai loji atau kuil Mason.
Sejak akhir abad 19, beberapa anggota telah berhubungan baik
dan menanam paham Mason di kalangan keluarga Paku Alaman. Setelah
Paku Alam V ( Pangeran Ario Soejodilogo ) bergabung, banyak
keluarga raja yang masuk menjadi anggota, seperti Paku Alam VI,
Paku Alam VII, K.P.H Notodirdjo, K.R.T Tirtokusumo, R.M.T Ario
Kusumo Yudho dan sebagainya.
Pangeran Notodirdjo adalah seorang bangsawan yang amat
disegani.7 Dirinya merupakan putra ketiga dari Paku Alam V dan
pernah menjadi Dewan Perwalian Paku Alaman ( Raad van Beheer ) yang
mendapat kepercayaan memerintah Kadipaten Paku Alaman yang saat
“Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.
7 Abdurrachman Surjomihardjo, loc.cit., : 49.
itu sedang vakum karena mangkatnya Paku Alam VI. K.P.H Notodirdjo
bergabung dengan golongan Mason pada tahun 1887 hingga akhir
hayatnya pada tahun 1917.8 Ia dinilai anggota yang aktif
mendukung pergerakan rakyat untuk kemajuan dan berani
membicarakan keinginannya untuk meningkatkan pengajaran bagi
penduduk Bumiputra dalam kongres mason di Batavia pada bulan
Desember 1911.
Lingkungan keluarga Paku Alaman mulai menyadari bahwa
keterbelakangan yang terjadi di dalam masyarakat kolonial hanya
dapat diubah melalui modernisasi masyarakat. Usaha – usaha yang
memungkinkan semua itu adalah melalui pendidikan Barat yang
membuka jalan bagi dunia baru dan sebagai cara untuk menciptakan
elite – elite baru yang dapat melakukan perubahan.
Dalam lingkungan Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak
di bidang sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan telah
menjadi topik utama yang menjadi Golongan Kemasonan, selain
menjadi kebijakan seluruh loji di Hindia Belanda. Sehingga pada
tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral dan ”sekolah –
sekolah Frobel Yogya”.9
B.Sekolah – Sekolah di Yogyakarta
Sebelum mengenal dan mendapatkan pendidikan modern dari
Belanda, masyarakat Yogyakarta telah mengenal adanya pendidikan
yang sifatnya religius ( Islam ) dan pendidikan yang sifatnya
8 Wieen Febrianto, op.cit.9 Th. Stevens, loc.cit., : 151.
tradisional. Selepas maghrib, anak laki – laki maupun perempuan
berbondong – bondong pergi ke langgar untuk menuntut ilmu agama
pada guru – guru mereka hingga menjelang solat isya’ tiba. Mereka
diajar secara individual dan menghadap gurunya satu persatu
setelah membaca atau menghafal kitab suci. Disini murid – murid
mendapat ilmu mengaji dan menghafal kitab suci, selain itu mereka
mendapat bekal ilmu akhlak dan sebagainya. Uang untuk iuran tidak
ditetapkan jumlahnya, tergantung pada kerelaan orang tuanya,
hanya biasanya setiap bulan selalu ada iuran untuk membeli minyak
tanah untuk bahan bakar penerangan.10
Pendidikan tradisional yang diperoleh anak – anak ialah
pelajaran menulis huruf Jawa, menyanyi ( tembang macapat ),
pendidikan yang sifatnya tata krama, budi pekerti, dan sejarah.
Pendidikan model ini banyak dilakukan di rumah – rumah bangsawan
keraton. Usaha ini sebagai bentuk kesadaran untuk memelihara dan
memiliki warisan kebudayaan Jawa. Kesadaran ini yang menciptakan
generasi – generasi yang bisa membaca dan menulis huruf Jawa.
Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda
mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya.
Kebijakan kolonial Belanda rupanya beralih dari bentuk
pengeksplotasian menuju suatu bentuk keprihatinan atas
kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena banyak
bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang
dilontarkan orang-orang liberal di parlemen Belanda. Sehingga
10 Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960,Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.
banyak suara orang-orang Belanda yang mendukung pemikiran untuk
mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.11
Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang masih muda dalam
Troonrede kenegaraan mengumumkan suatu penyelidikan terhadap
kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah Politik Etis telah disahkan
oleh Ratu Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan
mengerucutkan prinsip Politik Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi,
pendidikan dan transmigrasi penduduk.12
Kesultanan Yogyakarta yang masuk dalam wilayah penjajahan
Belanda akibat perjanjian Giyanti13, banyak mendapat pengaruh
kebudayaan Eropa, disebabkan karena interaksi kehidupan antara
masyarakat Yogyakarta dan penguasa kolonial. Salah satunya
adalah masuknya sistem pendidikan yang sifatnya modern di
Yogyakarta. Bentuk dari masuknya sistem pendidikan ini ditandai
oleh berdirinya sekolah – sekolah di Kota Yogyakarta.
Sekolah modern Barat yang pertama dibuka di Yogyakarta
didirikan pertama kali oleh anggota tentara Belanda pada tahun
11 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, ( Jakarta:Serambi, 2008 ), : 327.
12 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belandadan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), :191-192.
13 Perang Saudara di Kerajaan Mataram atau yang terkenaldengan Perang Suksesi Jawa Ketiga ( 1746 – 1755 ) berakhir denganperjanjian Giyanti pada tanggal 134 Februari 1755. Perjanjianmembagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakartadan Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian itu, PangeranMangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I, rajaKasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sunan Paku Buwono IIIsebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
1832 dengan murid yang berjumlah sekitar 70 orang. Tetapi
penyelenggaraannya kurang berhasil karena kesulitan bahasa
pengantar Belanda yang digunakan.14 Guru yang mengajar sekolah
pertama ini bernama Van Theil, seorang pegawai tentara Belanda.
Namun, usaha pengajaran mulai mendapat perhatian dari penguasa
kolonial saat Mullemeister menjabat sebagai residen pada tahun
1832 – 1891.
Sampai tahun 1879, hanya terdapat satu sekolah Gubermen dan
satu sekolah swasta di daerah Paku Alaman.15 Pada tahun 1890, di
keraton Yogyakarta didirikan sekolah Sri Manganti. Pada bulan
Agustus, yang mendaftar sebagai murid sebanyak 100 orang. Gedung
sekolah ini meminjam sebagian ruang Bangsal Trajumas, diantara
regol Sri Manganti sendiri dan regol Donopratopo.16 Sekolah ini
biasa disebut Sekolah Kelas Satu ( Eerste Klasse School met de Basa
Kedaton ) dan awalnya diperuntukkan bagi anak – anak bangsawan
dan abdi dalem yang berpangkat tinggi namun selanjutnya terbuka
bagi anak para pegawai menengah dan rendah. Bagi anak para
pegawai menengah dan rendah disediakan Sekolah Kelas Dua ( Tweede
Klasse School ) atau sekolah Pagelaran. Selain dua sekolah tersebut,
juga terdapat sekolah – sekolah partikelir atau sekolah swasta di
daerah Kasultanan maupun Paku Alaman.
14 Isti Rahayu, loc.cit.
15 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: SejarahSosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 ), : 67.
16 Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangannya, ( Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009 ), : 461.
Pada abad XX, jumlah sekolah mulai meningkat drastis. Pada
tahun 1909, didirikan Eerste Inlandsche School di Kintelan dan di
berbagai tempat lainnya. Sekitar 6 tahun sesudahnya atau tahun
1915, pemerintah memperbanyak berdirinya sekolah – sekolah rendah
yang bernama HIS ( Hollandsch Inlandsche School ) dengan bahasa
pengantar Bahasa Belanda. Hal ini dapat terlaksana karena
dorongan dari perkumpulan Budi Utomo. Gedung pertama HIS
bertempat di Jetis. Pada tahun yang sama, sekolah Sri Manganti
berubah menjadi sekolah HIS dengan nama Keputren School.
Selain sekolah – sekolah yang didirikan pemerintah, juga
terdapat sekolah – sekolah swasta atau partikelir seperti sekolah
Kristen dan Katolik. Sekolah Kristen di Yogyakarta terdapat di
banyak tempat seperti di Klitren, Gondolayu, Gemblakan, Bintaran,
dan Tungkak. Lokasi – lokasi sekolah tersebut sangat penting
untuk mengukur mobilitas dan dinamika pendidikan di dalam maupun
di luar kota Yogyakarta. Meski agama Kristen memiliki konsep
humanitas yang sangat luas, tetapi dalam masa kolonialisme
pengurus – pengurusnya tetap mempertimbangkan adanya diferensi
sosial.
Masuknya missi Katolik di Yogyakarta berawal dari missi yang
dilakukan di Jawa pada tahun 1890. Pada tahun 1892 muncul sekolah
– sekolah Katolik di daerah Mungkid dan Salam. Tahun 1923,
sekolah missi telah memiliki sekolah dengan gedung bertingkat dua
dengan jumlah 18 ruang kelas. 14 kelas dipakai untuk HIS dan
sisanya untuk MULO.
Dari perkembangan sekolah – sekolah yang didirikan oleh
pemerintah maupun orang Kristen dan Katolik, ulama – ulama Islam
terutama K.H Ahmad Dahlan mulai resah dengan keadaan yang
terjadi. Maka pada awal abad 20 inilah, Muhammadiyah sebagai
organisasi Islam terbesar di Yogyakarta mendirikan sekolah –
sekolah yang berbasis agama Islam. Sekolah ini muncul sebagai
reaksi atas sistem pengajaran Barat dan sebagai reaksi atas
majunya sekolah – sekolah zending dan missi.17 Muhammadiyah
memiliki sebuah Kweekschool dan HIS di Notoprajan, sekolah kelas
dua di Bausasran, Kauman, Karangkajen. Selain itu ada juga
sekolah – sekolah yang sama di Paku Alaman, Bintaran Lor
( Adhidharmo ), Ngupasan dan Suronatan.
Sepuluh tahun setelah Muhammadiyah, lahirlah organisasi
pendidikan Taman Siswa di Yogyakarta. Taman Siswa muncul sebagai
reaksi dari model pengajaran Barat. Dasar penyelenggaraan
pendidikan Taman Siswa didasarkan pada kebudayaan sendiri dan
kebudayaan asing yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan
bangsa. Pada tahun 1924, Taman Siswa baru tercatat dalam data
statistik pengjaran di Yogyakarta dengan jumlah murid 38 orang
dan 17 guru.
Meskipun banyak sekolah yang didirikan, hanya sekolah
bentukan pemerintah saja yang banyak diminati oleh masyarakat di
Yogyakarta. Hal ini karena kurikulum di sekolah – sekolah
pemerintah dianggap lebih sesuai dalam perkembangan zaman.
Meskipun jumlah sekolah yang didirikan pemerintah berjumlah 278
17 Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit., : 86.
buah, tetap saja jumlah tersebut tidak mencukupi untuk menampung
jumlah murid yang tidak mendapat tempat. Maka hal inilah yang
dimanfaatkan anggota Mason untuk membentuk lembaga yang bernama
Neutrale Onderwijs Stichting.18 Lembaga inilah yang nantinya akan
mendirikan sekolah – sekolah netral ( tidak berpijak pada
agama ). Sekolah ini banyak mendapat perhatian dari masyarakat
Yogyakarta karena Bahasa Belanda dijadikan salah satu mata
pelajaran dan bahasa pengantar di sekolah ini.
C.Sekolah Netral di Yogyakarta sampai Tahun 1946Neutrale Onderwijs Stichting adalah lembaga yang berkecimpung di
bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh anggota Mason dan
juga salah satu kerabat Kadipaten Paku Alaman, yaitu Pangeran
Notodirdjo, ia menginginkan terselenggaranya pendidikan yang
netral. Selain mendirikan sekolah taman kanak – kanak atau
sekolah Frobel, para anggota Mason juga mendirikan Neutrale Hollandsch –
Indlandsch Scholen atau biasa disebut sekolah netral, sebagai bagian
dalam mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing masyarakat menuju
kemajuan sosial.19
Kata “ Netral ” dalam sekolah netral disini dimaksudkan
sebagai pendidikan yang netral terhadap agama, bahwa sekolah ini
18 Th. Stevens, loc.cit., : 302.19 Wieen Febrianto, Golongan Kemasonan di Vorstenlanden 1870-1942,
Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2006.
tidak memberikan pelajaran agama tertentu kepada murid –
muridnya20, dan dalam penerimaannya diperbolehkan dari agama
apapun. Tujuan pengajaran hanya untuk memberikan ilmu pengetahuan
dan tidak bermaksud apapun.
Pendirian sekolah netral pada tahun 1912 oleh para golongan
Mason ini didukung oleh Sultan Yogyakarta yang menyediakan dana
untuk pembangunan sekolah untuk laki - laki dan dana sekolah
untuk perempuan.21 Untuk menunjang kegiatan yang dilakukan
sekolah – sekolah netral ini didirikanlah Studiefonds Djokdja.
Menurut laporan kerja golongan Mason 1916 – 1917, orang – orang
yang menjadi pengurus sekolah netral ialah Dr. D.I de Vries
Robles ( Ketua ), R.R. Nitidipuro ( Wakil Ketua ), A.J.P Doom
( Bendahara ), A. van Ophuysen ( Sekretaris I ), R.M.P.
Brotoatmodjo ( Sekretaris II ), dan para komisaris yang terdiri
dari A.B. David, Mr. F.W. Pynacker Hordijk, W.F.J. Schilham, P.A.
Soerjodiningrat, R.M.P. Gondoatmodjo dan R.T. Wiryo Dirdjo.22
Neutrale Onderwijs Stichting di Kota Yogyakarta telah berhasil
membangun sekolah – sekolah baik untuk anak – anak Belanda maupun
Bumiputra. Pada tahun 1927, Neutrale Onderwijs Stichting mengajukan
permohonan Recht van Opstal kepada pemerintah Hindia Belanda untuk20 Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960,
Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.
21 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belandadan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), :259.
22 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: SejarahSosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 ), : 79.
memperluas bangunan Neutrale Europesche Lagere School dan mendirikan
Neutrale MULO. Murid Neutrale ELS terdiri atas bangsa dari Eropa
dan Bumiputra, dengan jumlah 169 murid Eropa dan 8 murid
Bumiputra.23
Pada tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch Javaansche School di
Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian sekolah ini
dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono
VII. Berdirinya sekolah ini mendapat bantuan dari Sultan sebanyak
f.14.000 pada tahun 1913 dan f.15.000 pada tahun 1915 yang
digunakan untuk membeli bahan bangunan. Selain itu, Sultan juga
menjadi pelindung Neutrale Onderwijs Stichting.
Sekolah Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks
terdapat 3 sekolah yang semuanya milik Neutrale Onderwijs Stichting.
Ketiga sekolah itu adalah Neutrale Hollandsch Javaansche Jongensschool
( untuk murid laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche Meisjessschool
( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool
( untuk murid campuran ). Selain itu, lembaga milik anggota Mason
tersebut masih memiliki asetnya, seperti Sekolah Netral H.C.S. der
Majoor Yap-Stichting di kampung Tugu, kemudian Sekolah Netral Kepoetran
di Alun – alun Utara, Sekolah Netral Budi Utomo di Yudonegaran
dan Sekolah Netral Taman Siswa di Lempuyangan.
Sekolah Netral pada tahun 1942 ditutup karena adanya
larangan dari pemerintah Jepang bagi sekolah – sekolah swasta.
Bahasa Belanda yang biasa menjadi bahasa pengantar dilarang untuk
digunakan, dan sebagai gantinya Bahasa Indonesia menjadi bahasa
23 Isti Rahayu, op.cit.
pengantar di semua sekolah. Sedangkan Bahasa Jepang menjadi mata
pelajaran wajib diberikan. semua buku – buku yang berbahasa
Belanda diganti dengan buku – buku terjemahan dari kantor
pengajaran ( Bunkyo Kyoku ).24
D.Sekolah Netral di Yogyakarta (1946 – 1960)
Selama masa Revolusi, Sekolah Netral yang terdapat di Jalan
Malioboro ditutup, dan gedung sekolahnya sempat dijadikan rumah
tahanan bagi tentara Jepang yang masih ada di Kota Yogyakarta.
Tentara Jepang yang tertangkap kemudian dimsukkan ke dalam gedung
Sekolah Netral dan di sekelilingnya dijaga ketat oleh tentara
Republik Indonesia.
Setelah tidak aktif lagi selama empat tahun, pada tahun 1946
Sekolah Netral dibuka kembali. Pada waktu itu sekolah Neutrale
Hollandsch Javaansche berubah nama menjadi Sekolah Rakyat Netral dan
tidak terdapat lagi tingkatan – tingkatan yang sifatnya
diskriminatif. hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan
Jepang, tentang penghilangan tingkatan pada sekolah – sekolah.25
Kegiatan belajar mengajar kembali dilaksanakan pada tahun itu,
24 Sri Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed. ), SejarahPendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, ( Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan, 1981 ), : 114.
25 Pada zaman kolonial Belanda terdapat tingkatan – tingkatanpendidikan sekolah dasar dimana antara satu sekolah dengansekolah lain terdapat perbedaan. Sekolah untuk anak – anakbangsawan berbeda dengan sekolah untuk anak – anak dari kalanganrakyat biasa.
akan tetapi keadaan damai hanya bertahan hingga akhir tahun 1948
karena Belanda melakukan Agresi Militer II.26
Sekolah Rakyat Netral masih bernaung pada Yayasan Sekolah
Netral yang telah berdiri sejak tahun 1912. Saat dibuka kembali
pada tahun 1946, Sekolah Rakyat Netral masih memiliki 3 sekolah
ditambah sebuah taman kanak – kanak yang berada satu tempat
dengan Sekolah Rakyat Netral putri.
Mengenai Yayasan Sekolah Netral, pada tahun 1959 berubah
nama menjadi Yayasan Perguruan Sekolah “ Netral ”. Dalam
perkembangannya, Yayasan ini tidak lagi menjadi milik Golongan
Kemasonan tetapi telah menjadi milik salah satu anggota Paku
Alaman yaitu R.M. Rio Notonegoro menjelang kapitulasi 8 Maret
1942.27 Alasan mengenai pergantian nama, karena hal ini sebagai
usaha yayasan untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Kompleks Sekolah Netral putra selain digunakan untuk
kegiatan Sekolah Rakyat Netral juga digunakan oleh SMP Netral
pada sore harinya. Sedangkan SR Netral Putri pada sore hari
digunakan oleh Sekolah Guru Pendidikan Agama ( SGPA ).
E.Kepindahan Sekolah Netral dari Jalan Malioboro
Sejak awal pendiriannya, Sekolah Netral di Yogyakarta berada
di Jalan Malioboro, dan saat dibuka kembali pada tahun 1948
lokasinya masih berada di jalan ini. Kepindahan Sekolah Netral
26 Isti Rahayu, loc.cit.
27 Wieen Febrianto, lo.cit.
dari Jalan Malioboro ke Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan tidak
terlepas dari kasus Yayasan Kredit Tani Indonesia (YKTI) yang
melibatkan partai – partai di Yogyakarta.28 Kasus ini
mengakibatkan hutang yang sangat besar bagi Sri Sultan Hamenku
Buwono IX. Sebagai pertanggungjawabannya, Sultan terpaksa menjual
tanah milik keraton di jalan Malioboro untuk melunasi hutang
tersebut. sedangkan tanah itu disewa oleh Sekolah Rakyat Netral.
Karena tanah yang ada di Malioboro telah dijual, Yayasan
Sekolah Netral tidak lagi mempunyai hak untuk menempati tanah
itu. Sebagai gantinya, Sultan menawarkan tanah keraton yang masih
kosong di Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan. Tanah milik keraton
yang ada di Jalan Dagen, belum ada bangunannya, perlu membangun
gedung dahulu. Sedangkan di Jalan Sosrowijayan sudah ada bangunan
namun masih perlu direnovasi. Sekolah Netral masih mendapat izin
sampai pembangunan selesai.
Setelah bangunan di Jalan Dagen selesai pada tahun 1959,
sekolah netral putra dan sekolah netral campuran ( putra dan
putri ) pindah ke Jalan Dagen. Sedangkan sekolah netral putri dan
sekolah Frobel ( taman kanak – kanak ) masih di Jalan Malioboro,
karena bangunan di Sosrowijayan belum selesai direnovasi. Setelah
gedung yang ada di Jalan Sosrowijayan selesai direnovasi, sekolah
netral putri dan sekolah Frobel ( taman kanak – kanak ) pindah ke
Sosrowijayan. Sedangkan lahan bekas sekolah netral di Malioboro
kemudian dibangun sebuah hotel yang megah dan masih berdiri
sampai saat ini, yaitu Hotel Mutiara.
28 Isti Rahayu, loc.cit.
BAB III
KESIMPULAN
Istilah Kemasonan Bebas digunakan untuk mengindonesiakan
kata Freemasonry dalam bahasa Inggris dan kata Vrijmetselarij dalam
bahasa Belanda. Kemasonan memiliki arti secara harfiah, yaitu
perkumpulan para tukang bangunan atau gilda di Inggris. Gerakan
Mason kemudian diperkenalkan oleh bangsa Barat sebagai aliran
pembebasan pikiran yang menerima sesama manusia dan ditempatkan
pada posisi yang sederajat tanpa ada bentuk diskriminasi dan
menjadi pandangan hidup yang timbul dari dorongan batin yang
mengungkapkan tentang dirinya dalam upaya mengangkat umat manusia
ke tingkat susila dan moral yang lebih tinggi lagi.
Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun
1762. Kemunculan Paham ini ditandai dengan berdirinya loge – loge
di kota-kota dagang yang besar di pesisir seperti Semarang
Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan di kota kota
tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat.
Pada pertengahan abad 19, paham ini berkembang pesat dan akhirnya
mulai merambah ke jantung – jantung pedalaman pulau Jawa yang
dikuasai raja – raja lokal pecahan dari kerajaan Mataram Raya.
Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri Para
Sultan ) ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta
pada tahun 1870. Di Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak di
bidang sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan telah
menjadi topik utama yang menjadi Golongan Kemasonan, selain
menjadi kebijakan seluruh loji di Hindia Belanda. Sehingga pada
tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral dan ”sekolah –
sekolah Frobel Yogya”.
Neutrale Onderwijs Stichting adalah lembaga yang berkecimpung di
bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh anggota Mason.
Selain mendirikan sekolah taman kanak – kanak atau sekolah Frobel,
para anggota Mason juga mendirikan Neutrale Hollandsch – Indlandsch
Scholen atau biasa disebut sekolah netral, sebagai bagian dalam
mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing masyarakat menuju
kemajuan sosial.
Pada tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch Javaansche School di
Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian sekolah ini
dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono
VII. Sekolah Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks
terdapat 3 sekolah yang semuanya milik Neutrale Onderwijs Stichting.
Ketiga sekolah itu adalah Neutrale Hollandsch Javaansche Jongensschool
( untuk murid laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche Meisjessschool
( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool
( untuk murid campuran ).
Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, semua
sekolah buatan Belanda ditutup. Hal ini terus berlangsung hingga
masa revolusi. baru pada tahun 1950-an sekolah ini dibuka kembali
dan ganti nama sekolah menjadi Sekolah Rakyat Netral. Kasus
Yayasan Kredit Tani Indonesia ( YKTI ) yang membuat Sri Sultan
berhutang banyak, membuat beliau menjual tanahnya di Jalan
Malioboro dan tanah itulah yang ditemapati Sekolah Netral.
Sebagai gantinya, Sultan menawarkan tanahnya yang ada di Jalan
Dagen dan Jalan Sosrowijayan. akhirnya sekolah ini pindah ke
tempat dua jalan tadi sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial
1880-1930, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas – batas Pembaratan,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan
Perjuangannya, Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009.
Gilbert J. Garraghan. A Guide to Historical Method, New York, Fordham
University Press, 1957.
Harun Yahya, Ksatria – ksatria Templar: Cikal Bakal Gerakan Freemasonry,
Surabaya: Risalah Gusti, 2005.
Kota Jogjakarta 200 tahun, 7 Oktober 1756 – Oktober 1956. Yogyakarta:
Panitia Peringatan, 1956.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Bentang
Pustaka, 2005.
Lynn Picknett dan Clive Prince, The Templar Revelation: Para Pelindung
Identitas Sejati Kristus, Jakarta: Serambi, 2006.
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Jakarta: Serambi,
2008.
Rizki Ridyasmara, Knight Templar, Knight of Christ: Konspirasi Berbahaya
Biawaran Sion Menjelang Armageddon, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2005.
Sri Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed. ), Sejarah Pendidikan
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1981.
Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan
Indonesia 1764-1962, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.
Sumber skripsi:
Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960, Skripsi
S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.
Wieen Febrianto, Golongan Kemasonan di Vorstenlanden 1870-1942, Skripsi
S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2006.