Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat Yogyakarta

21
Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat Yogyakarta 1885-1961 BAB I PENDAHULUAN Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1762. Kemunculan paham ini ditandai dengan berdirinya loge–loge di kota-kota dagang yang besar di pesisir seperti Semarang Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan di kota kota tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat. 1 Loge yang pertama kali didirikan di tanah Jawa ialah ” La Choisie ( Terpilih ) ” di Batavia atas prakarsa J.C.M Radermacher, akan tetapi loge ini tidak berumur panjang. Kemudian disusul pendirian loge ” La Vertueuse ( Kesucian ) ” dan ” La Fidele Sincerite ( Kesetiaan Ikhlas ) ” di Batavia. Pada tahun 1801 didirikan loge ” La Constante et Fidele ( Selamanya Setia ) ” di Semarang oleh seorang anggota Mason yang bernama Nicolaas Engelhard yang sekaligus diangkat sebagai ” Suhu Agung Nasional dan Pejabat-pejabat Besar Tarekat Republik Batavia”. Dimulai dari Engelhard yang menjalankan funsinya hingga ia digantikan sederetan panjang wakil-wakil Suhu Agung yang melaksanakan kekuasaan Masonik tertinggi. Selain itu juga didirikan loge ” De Vriendschap 1 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), : 24.

Transcript of Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat Yogyakarta

Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat

Yogyakarta 1885-1961

BAB I

PENDAHULUAN

Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun

1762. Kemunculan paham ini ditandai dengan berdirinya loge–loge

di kota-kota dagang yang besar di pesisir seperti Semarang

Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan di kota kota

tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat.1

Loge yang pertama kali didirikan di tanah Jawa ialah ” La Choisie

( Terpilih ) ” di Batavia atas prakarsa J.C.M Radermacher, akan

tetapi loge ini tidak berumur panjang. Kemudian disusul pendirian

loge ” La Vertueuse ( Kesucian ) ” dan ” La Fidele Sincerite ( Kesetiaan

Ikhlas ) ” di Batavia. Pada tahun 1801 didirikan loge ” La

Constante et Fidele ( Selamanya Setia ) ” di Semarang oleh seorang

anggota Mason yang bernama Nicolaas Engelhard yang sekaligus

diangkat sebagai ” Suhu Agung Nasional dan Pejabat-pejabat Besar

Tarekat Republik Batavia”. Dimulai dari Engelhard yang

menjalankan funsinya hingga ia digantikan sederetan panjang

wakil-wakil Suhu Agung yang melaksanakan kekuasaan Masonik

tertinggi. Selain itu juga didirikan loge ” De Vriendschap1 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan

Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), : 24.

( Persaudaraan ) ” di Surabaya, loge ”Mataram” di Yogyakarta pada

tahun 1870 dan masih banyak lagi loge-loge yang didirikan.

Loge ” Mataram ” didirikan pada tahun 1870 karena jumlah

orang Eropa yang berada di Yogya sangat mendominasi. Hal ini

karena para raja semi-merdeka memberikan hak-hak guna usaha di

bidang pertanian yang dipimpin orang Eropa. Nama Mataram diilhami

para pendiri loge yang sadar akan kebesaran Jawa. Setahun setelah

pendirian loge tersebut tepatnya tahun 1871, Pangeran Ario

Soerjodilogo, keturunan dari Sultan-sultan Mataram masuk menjadi

anggota loge tersebut.2 Selain itu ada dua orang Tionghoa yang

diterima dalam loge tersebut.

Hubungan - hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa

dibanding daerah lain seperti Batavia dimana unsur Eropa sangat

dominan. Karena Yogyakarta selain menjadi kedudukan Pura Paku

Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi keturunan Sultan

Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi kebudayaan

Jawa.

Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda

mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya.

Kebijakan kolonial Belanda rupanya beralih dari bentuk

pengeksplotasian menuju suatu bentuk keprihatinan atas

kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena banyak

bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang

2 Pada tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi PakuAlam V. Kedudukannya sebagai kepala dari keluarga raja yangmemerintah salah satu Vorstenland dianggap penting bagi loge“Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.

dilontarkan orang-orang liberal di parlemen. Sehingga banyak

suara orang-orang Belanda yang mendukung pemikiran untuk

mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.3

Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang masih muda dalam

Troonrede kenegaraan mengumumkan suatu penyelidikan terhadap

kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah Politik Etis telah disahkan

oleh Ratu Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan

mengerucutkan prinsip Politik Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi,

pendidikan dan transmigrasi penduduk.

Situasi ini mendapat respon yang di dalam anggota Kemasonan,

hal ini terlihat dari dua kali kongres Masonik yang pada akhirnya

keputusan terkait tentang sosial dan pendidikan didukung oleh

seluruh anggota Kemasonan. Hal ini diwujudkan para golongan Mason

dalam bentuk sekolah Frobel atau taman kanak-kanak, rumah panti

bagi yatim piatu dan orang buta, perpustakaan rakyat, sekolah

kejuruan bagi perempuan dan laki-laki, dana pakaian sekolah,

dana-dana studi, asrama-asrama, dan wisma-wisma militer.4

Dari hal-hal di atas diketahui bahwa terlepas dari kiprah

Golongan Kemasonan yang berusaha dalam melaksanakan tugas-

tugasnya, serta meningkatkan eksistensi dirinya di dalam

masyarakat. Orang-orang Mason juga aktif bergerak dalam aktivitas

sosial maupun pendidikan. Hal ini dikarenakan situasi politik

yang dilakukan Belanda guna mengubah paradigma Hindia Belanda

3 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 - 2008, ( Jakarta:Serambi, 2008 ), : 327.

4 Th. Stevens, op.cit., : 293-298.

yang miskin dan terbelakang lewat 3 jalan keluar yang ditawarkan

oleh penjajah Belanda, yakni pengairan, edukasi, dan perpindahan

penduduk.

BAB II

Pembahasan

A.Golongan Mason di Vorstenlanden Yogyakarta

Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri Para

Sultan ) ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta

pada tahun 1870 atas prakarsa tiga puluh orang anggota Mason.

Diantaranya terdapat nama – nama seperti Weijnschenk, Raaff,

Soesman, dan Monod de Froindeville. Mereka adalah orang - orang

Indo - Eropa yang kaya, yang pada awal abad membeli tanah - tanah

yang luas dari Sultan dan berhasil mengembangkannya.5 Yang

menarik adalah para pendiri loji di Yogyakarta tidak ada satupun

diantaranya yang berasal dari Bumiputra, hanya satu yang berasal

dari Tionghoa. Pemilihan nama Mataram pada loji menunjukkan bahwa

para Mason Bebas Yogya sadar akan masa lampau Jawa yang besar.

Perkembangan golongan Mason di Yogyakarta dimulai dengan

terobosan masuknya seorang Bumiputra dari golongan bangsawan,

yaitu pangeran Ario Soerjodilogo6 pada 1871 ( setahun setelah5 Th. Stevens, loc.cit., :150-151.

6 Pada tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi PakuAlam V. Kedudukannya sebagai kepala dari keluarga raja yangmemerintah salah satu Vorstenland dianggap penting bagi loge

pendirian loji Mataram ). Bergabungnya Pangeran Ario Soerjodilogo

menambah prestise bagi golongan Kemasonan di mata elite Bumiputra

lainnya.

Hubungan - hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa

dibanding daerah lain seperti Batavia dimana unsur Eropa sangat

dominan. Karena Yogyakarta selain menjadi kedudukan Pura Paku

Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi keturunan Sultan

Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi kebudayaan

Jawa. Usaha – usaha untuk mendapatkan dukungan dari Keraton

Yogyakarta tampaknya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Hal

ini terlihat dari kemurahan hati Sultan yang menyewakan sebuah

gedung di jalan utama Yogyakarta, Jalan Malioboro, untuk

digunakan sebagai loji atau kuil Mason.

Sejak akhir abad 19, beberapa anggota telah berhubungan baik

dan menanam paham Mason di kalangan keluarga Paku Alaman. Setelah

Paku Alam V ( Pangeran Ario Soejodilogo ) bergabung, banyak

keluarga raja yang masuk menjadi anggota, seperti Paku Alam VI,

Paku Alam VII, K.P.H Notodirdjo, K.R.T Tirtokusumo, R.M.T Ario

Kusumo Yudho dan sebagainya.

Pangeran Notodirdjo adalah seorang bangsawan yang amat

disegani.7 Dirinya merupakan putra ketiga dari Paku Alam V dan

pernah menjadi Dewan Perwalian Paku Alaman ( Raad van Beheer ) yang

mendapat kepercayaan memerintah Kadipaten Paku Alaman yang saat

“Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.

7 Abdurrachman Surjomihardjo, loc.cit., : 49.

itu sedang vakum karena mangkatnya Paku Alam VI. K.P.H Notodirdjo

bergabung dengan golongan Mason pada tahun 1887 hingga akhir

hayatnya pada tahun 1917.8 Ia dinilai anggota yang aktif

mendukung pergerakan rakyat untuk kemajuan dan berani

membicarakan keinginannya untuk meningkatkan pengajaran bagi

penduduk Bumiputra dalam kongres mason di Batavia pada bulan

Desember 1911.

Lingkungan keluarga Paku Alaman mulai menyadari bahwa

keterbelakangan yang terjadi di dalam masyarakat kolonial hanya

dapat diubah melalui modernisasi masyarakat. Usaha – usaha yang

memungkinkan semua itu adalah melalui pendidikan Barat yang

membuka jalan bagi dunia baru dan sebagai cara untuk menciptakan

elite – elite baru yang dapat melakukan perubahan.

Dalam lingkungan Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak

di bidang sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan telah

menjadi topik utama yang menjadi Golongan Kemasonan, selain

menjadi kebijakan seluruh loji di Hindia Belanda. Sehingga pada

tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral dan ”sekolah –

sekolah Frobel Yogya”.9

B.Sekolah – Sekolah di Yogyakarta

Sebelum mengenal dan mendapatkan pendidikan modern dari

Belanda, masyarakat Yogyakarta telah mengenal adanya pendidikan

yang sifatnya religius ( Islam ) dan pendidikan yang sifatnya

8 Wieen Febrianto, op.cit.9 Th. Stevens, loc.cit., : 151.

tradisional. Selepas maghrib, anak laki – laki maupun perempuan

berbondong – bondong pergi ke langgar untuk menuntut ilmu agama

pada guru – guru mereka hingga menjelang solat isya’ tiba. Mereka

diajar secara individual dan menghadap gurunya satu persatu

setelah membaca atau menghafal kitab suci. Disini murid – murid

mendapat ilmu mengaji dan menghafal kitab suci, selain itu mereka

mendapat bekal ilmu akhlak dan sebagainya. Uang untuk iuran tidak

ditetapkan jumlahnya, tergantung pada kerelaan orang tuanya,

hanya biasanya setiap bulan selalu ada iuran untuk membeli minyak

tanah untuk bahan bakar penerangan.10

Pendidikan tradisional yang diperoleh anak – anak ialah

pelajaran menulis huruf Jawa, menyanyi ( tembang macapat ),

pendidikan yang sifatnya tata krama, budi pekerti, dan sejarah.

Pendidikan model ini banyak dilakukan di rumah – rumah bangsawan

keraton. Usaha ini sebagai bentuk kesadaran untuk memelihara dan

memiliki warisan kebudayaan Jawa. Kesadaran ini yang menciptakan

generasi – generasi yang bisa membaca dan menulis huruf Jawa.

Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda

mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya.

Kebijakan kolonial Belanda rupanya beralih dari bentuk

pengeksplotasian menuju suatu bentuk keprihatinan atas

kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena banyak

bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang

dilontarkan orang-orang liberal di parlemen Belanda. Sehingga

10 Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960,Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.

banyak suara orang-orang Belanda yang mendukung pemikiran untuk

mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.11

Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang masih muda dalam

Troonrede kenegaraan mengumumkan suatu penyelidikan terhadap

kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah Politik Etis telah disahkan

oleh Ratu Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan

mengerucutkan prinsip Politik Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi,

pendidikan dan transmigrasi penduduk.12

Kesultanan Yogyakarta yang masuk dalam wilayah penjajahan

Belanda akibat perjanjian Giyanti13, banyak mendapat pengaruh

kebudayaan Eropa, disebabkan karena interaksi kehidupan antara

masyarakat Yogyakarta dan penguasa kolonial. Salah satunya

adalah masuknya sistem pendidikan yang sifatnya modern di

Yogyakarta. Bentuk dari masuknya sistem pendidikan ini ditandai

oleh berdirinya sekolah – sekolah di Kota Yogyakarta.

Sekolah modern Barat yang pertama dibuka di Yogyakarta

didirikan pertama kali oleh anggota tentara Belanda pada tahun

11 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, ( Jakarta:Serambi, 2008 ), : 327.

12 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belandadan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), :191-192.

13 Perang Saudara di Kerajaan Mataram atau yang terkenaldengan Perang Suksesi Jawa Ketiga ( 1746 – 1755 ) berakhir denganperjanjian Giyanti pada tanggal 134 Februari 1755. Perjanjianmembagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakartadan Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian itu, PangeranMangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I, rajaKasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sunan Paku Buwono IIIsebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

1832 dengan murid yang berjumlah sekitar 70 orang. Tetapi

penyelenggaraannya kurang berhasil karena kesulitan bahasa

pengantar Belanda yang digunakan.14 Guru yang mengajar sekolah

pertama ini bernama Van Theil, seorang pegawai tentara Belanda.

Namun, usaha pengajaran mulai mendapat perhatian dari penguasa

kolonial saat Mullemeister menjabat sebagai residen pada tahun

1832 – 1891.

Sampai tahun 1879, hanya terdapat satu sekolah Gubermen dan

satu sekolah swasta di daerah Paku Alaman.15 Pada tahun 1890, di

keraton Yogyakarta didirikan sekolah Sri Manganti. Pada bulan

Agustus, yang mendaftar sebagai murid sebanyak 100 orang. Gedung

sekolah ini meminjam sebagian ruang Bangsal Trajumas, diantara

regol Sri Manganti sendiri dan regol Donopratopo.16 Sekolah ini

biasa disebut Sekolah Kelas Satu ( Eerste Klasse School met de Basa

Kedaton ) dan awalnya diperuntukkan bagi anak – anak bangsawan

dan abdi dalem yang berpangkat tinggi namun selanjutnya terbuka

bagi anak para pegawai menengah dan rendah. Bagi anak para

pegawai menengah dan rendah disediakan Sekolah Kelas Dua ( Tweede

Klasse School ) atau sekolah Pagelaran. Selain dua sekolah tersebut,

juga terdapat sekolah – sekolah partikelir atau sekolah swasta di

daerah Kasultanan maupun Paku Alaman.

14 Isti Rahayu, loc.cit.

15 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: SejarahSosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 ), : 67.

16 Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangannya, ( Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009 ), : 461.

Pada abad XX, jumlah sekolah mulai meningkat drastis. Pada

tahun 1909, didirikan Eerste Inlandsche School di Kintelan dan di

berbagai tempat lainnya. Sekitar 6 tahun sesudahnya atau tahun

1915, pemerintah memperbanyak berdirinya sekolah – sekolah rendah

yang bernama HIS ( Hollandsch Inlandsche School ) dengan bahasa

pengantar Bahasa Belanda. Hal ini dapat terlaksana karena

dorongan dari perkumpulan Budi Utomo. Gedung pertama HIS

bertempat di Jetis. Pada tahun yang sama, sekolah Sri Manganti

berubah menjadi sekolah HIS dengan nama Keputren School.

Selain sekolah – sekolah yang didirikan pemerintah, juga

terdapat sekolah – sekolah swasta atau partikelir seperti sekolah

Kristen dan Katolik. Sekolah Kristen di Yogyakarta terdapat di

banyak tempat seperti di Klitren, Gondolayu, Gemblakan, Bintaran,

dan Tungkak. Lokasi – lokasi sekolah tersebut sangat penting

untuk mengukur mobilitas dan dinamika pendidikan di dalam maupun

di luar kota Yogyakarta. Meski agama Kristen memiliki konsep

humanitas yang sangat luas, tetapi dalam masa kolonialisme

pengurus – pengurusnya tetap mempertimbangkan adanya diferensi

sosial.

Masuknya missi Katolik di Yogyakarta berawal dari missi yang

dilakukan di Jawa pada tahun 1890. Pada tahun 1892 muncul sekolah

– sekolah Katolik di daerah Mungkid dan Salam. Tahun 1923,

sekolah missi telah memiliki sekolah dengan gedung bertingkat dua

dengan jumlah 18 ruang kelas. 14 kelas dipakai untuk HIS dan

sisanya untuk MULO.

Dari perkembangan sekolah – sekolah yang didirikan oleh

pemerintah maupun orang Kristen dan Katolik, ulama – ulama Islam

terutama K.H Ahmad Dahlan mulai resah dengan keadaan yang

terjadi. Maka pada awal abad 20 inilah, Muhammadiyah sebagai

organisasi Islam terbesar di Yogyakarta mendirikan sekolah –

sekolah yang berbasis agama Islam. Sekolah ini muncul sebagai

reaksi atas sistem pengajaran Barat dan sebagai reaksi atas

majunya sekolah – sekolah zending dan missi.17 Muhammadiyah

memiliki sebuah Kweekschool dan HIS di Notoprajan, sekolah kelas

dua di Bausasran, Kauman, Karangkajen. Selain itu ada juga

sekolah – sekolah yang sama di Paku Alaman, Bintaran Lor

( Adhidharmo ), Ngupasan dan Suronatan.

Sepuluh tahun setelah Muhammadiyah, lahirlah organisasi

pendidikan Taman Siswa di Yogyakarta. Taman Siswa muncul sebagai

reaksi dari model pengajaran Barat. Dasar penyelenggaraan

pendidikan Taman Siswa didasarkan pada kebudayaan sendiri dan

kebudayaan asing yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan

bangsa. Pada tahun 1924, Taman Siswa baru tercatat dalam data

statistik pengjaran di Yogyakarta dengan jumlah murid 38 orang

dan 17 guru.

Meskipun banyak sekolah yang didirikan, hanya sekolah

bentukan pemerintah saja yang banyak diminati oleh masyarakat di

Yogyakarta. Hal ini karena kurikulum di sekolah – sekolah

pemerintah dianggap lebih sesuai dalam perkembangan zaman.

Meskipun jumlah sekolah yang didirikan pemerintah berjumlah 278

17 Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit., : 86.

buah, tetap saja jumlah tersebut tidak mencukupi untuk menampung

jumlah murid yang tidak mendapat tempat. Maka hal inilah yang

dimanfaatkan anggota Mason untuk membentuk lembaga yang bernama

Neutrale Onderwijs Stichting.18 Lembaga inilah yang nantinya akan

mendirikan sekolah – sekolah netral ( tidak berpijak pada

agama ). Sekolah ini banyak mendapat perhatian dari masyarakat

Yogyakarta karena Bahasa Belanda dijadikan salah satu mata

pelajaran dan bahasa pengantar di sekolah ini.

C.Sekolah Netral di Yogyakarta sampai Tahun 1946Neutrale Onderwijs Stichting adalah lembaga yang berkecimpung di

bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh anggota Mason dan

juga salah satu kerabat Kadipaten Paku Alaman, yaitu Pangeran

Notodirdjo, ia menginginkan terselenggaranya pendidikan yang

netral. Selain mendirikan sekolah taman kanak – kanak atau

sekolah Frobel, para anggota Mason juga mendirikan Neutrale Hollandsch –

Indlandsch Scholen atau biasa disebut sekolah netral, sebagai bagian

dalam mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing masyarakat menuju

kemajuan sosial.19

Kata “ Netral ” dalam sekolah netral disini dimaksudkan

sebagai pendidikan yang netral terhadap agama, bahwa sekolah ini

18 Th. Stevens, loc.cit., : 302.19 Wieen Febrianto, Golongan Kemasonan di Vorstenlanden 1870-1942,

Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2006.

tidak memberikan pelajaran agama tertentu kepada murid –

muridnya20, dan dalam penerimaannya diperbolehkan dari agama

apapun. Tujuan pengajaran hanya untuk memberikan ilmu pengetahuan

dan tidak bermaksud apapun.

Pendirian sekolah netral pada tahun 1912 oleh para golongan

Mason ini didukung oleh Sultan Yogyakarta yang menyediakan dana

untuk pembangunan sekolah untuk laki - laki dan dana sekolah

untuk perempuan.21 Untuk menunjang kegiatan yang dilakukan

sekolah – sekolah netral ini didirikanlah Studiefonds Djokdja.

Menurut laporan kerja golongan Mason 1916 – 1917, orang – orang

yang menjadi pengurus sekolah netral ialah Dr. D.I de Vries

Robles ( Ketua ), R.R. Nitidipuro ( Wakil Ketua ), A.J.P Doom

( Bendahara ), A. van Ophuysen ( Sekretaris I ), R.M.P.

Brotoatmodjo ( Sekretaris II ), dan para komisaris yang terdiri

dari A.B. David, Mr. F.W. Pynacker Hordijk, W.F.J. Schilham, P.A.

Soerjodiningrat, R.M.P. Gondoatmodjo dan R.T. Wiryo Dirdjo.22

Neutrale Onderwijs Stichting di Kota Yogyakarta telah berhasil

membangun sekolah – sekolah baik untuk anak – anak Belanda maupun

Bumiputra. Pada tahun 1927, Neutrale Onderwijs Stichting mengajukan

permohonan Recht van Opstal kepada pemerintah Hindia Belanda untuk20 Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960,

Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.

21 Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belandadan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), :259.

22 Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: SejarahSosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 ), : 79.

memperluas bangunan Neutrale Europesche Lagere School dan mendirikan

Neutrale MULO. Murid Neutrale ELS terdiri atas bangsa dari Eropa

dan Bumiputra, dengan jumlah 169 murid Eropa dan 8 murid

Bumiputra.23

Pada tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch Javaansche School di

Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian sekolah ini

dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono

VII. Berdirinya sekolah ini mendapat bantuan dari Sultan sebanyak

f.14.000 pada tahun 1913 dan f.15.000 pada tahun 1915 yang

digunakan untuk membeli bahan bangunan. Selain itu, Sultan juga

menjadi pelindung Neutrale Onderwijs Stichting.

Sekolah Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks

terdapat 3 sekolah yang semuanya milik Neutrale Onderwijs Stichting.

Ketiga sekolah itu adalah Neutrale Hollandsch Javaansche Jongensschool

( untuk murid laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche Meisjessschool

( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool

( untuk murid campuran ). Selain itu, lembaga milik anggota Mason

tersebut masih memiliki asetnya, seperti Sekolah Netral H.C.S. der

Majoor Yap-Stichting di kampung Tugu, kemudian Sekolah Netral Kepoetran

di Alun – alun Utara, Sekolah Netral Budi Utomo di Yudonegaran

dan Sekolah Netral Taman Siswa di Lempuyangan.

Sekolah Netral pada tahun 1942 ditutup karena adanya

larangan dari pemerintah Jepang bagi sekolah – sekolah swasta.

Bahasa Belanda yang biasa menjadi bahasa pengantar dilarang untuk

digunakan, dan sebagai gantinya Bahasa Indonesia menjadi bahasa

23 Isti Rahayu, op.cit.

pengantar di semua sekolah. Sedangkan Bahasa Jepang menjadi mata

pelajaran wajib diberikan. semua buku – buku yang berbahasa

Belanda diganti dengan buku – buku terjemahan dari kantor

pengajaran ( Bunkyo Kyoku ).24

D.Sekolah Netral di Yogyakarta (1946 – 1960)

Selama masa Revolusi, Sekolah Netral yang terdapat di Jalan

Malioboro ditutup, dan gedung sekolahnya sempat dijadikan rumah

tahanan bagi tentara Jepang yang masih ada di Kota Yogyakarta.

Tentara Jepang yang tertangkap kemudian dimsukkan ke dalam gedung

Sekolah Netral dan di sekelilingnya dijaga ketat oleh tentara

Republik Indonesia.

Setelah tidak aktif lagi selama empat tahun, pada tahun 1946

Sekolah Netral dibuka kembali. Pada waktu itu sekolah Neutrale

Hollandsch Javaansche berubah nama menjadi Sekolah Rakyat Netral dan

tidak terdapat lagi tingkatan – tingkatan yang sifatnya

diskriminatif. hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan

Jepang, tentang penghilangan tingkatan pada sekolah – sekolah.25

Kegiatan belajar mengajar kembali dilaksanakan pada tahun itu,

24 Sri Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed. ), SejarahPendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, ( Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan, 1981 ), : 114.

25 Pada zaman kolonial Belanda terdapat tingkatan – tingkatanpendidikan sekolah dasar dimana antara satu sekolah dengansekolah lain terdapat perbedaan. Sekolah untuk anak – anakbangsawan berbeda dengan sekolah untuk anak – anak dari kalanganrakyat biasa.

akan tetapi keadaan damai hanya bertahan hingga akhir tahun 1948

karena Belanda melakukan Agresi Militer II.26

Sekolah Rakyat Netral masih bernaung pada Yayasan Sekolah

Netral yang telah berdiri sejak tahun 1912. Saat dibuka kembali

pada tahun 1946, Sekolah Rakyat Netral masih memiliki 3 sekolah

ditambah sebuah taman kanak – kanak yang berada satu tempat

dengan Sekolah Rakyat Netral putri.

Mengenai Yayasan Sekolah Netral, pada tahun 1959 berubah

nama menjadi Yayasan Perguruan Sekolah “ Netral ”. Dalam

perkembangannya, Yayasan ini tidak lagi menjadi milik Golongan

Kemasonan tetapi telah menjadi milik salah satu anggota Paku

Alaman yaitu R.M. Rio Notonegoro menjelang kapitulasi 8 Maret

1942.27 Alasan mengenai pergantian nama, karena hal ini sebagai

usaha yayasan untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Kompleks Sekolah Netral putra selain digunakan untuk

kegiatan Sekolah Rakyat Netral juga digunakan oleh SMP Netral

pada sore harinya. Sedangkan SR Netral Putri pada sore hari

digunakan oleh Sekolah Guru Pendidikan Agama ( SGPA ).

E.Kepindahan Sekolah Netral dari Jalan Malioboro

Sejak awal pendiriannya, Sekolah Netral di Yogyakarta berada

di Jalan Malioboro, dan saat dibuka kembali pada tahun 1948

lokasinya masih berada di jalan ini. Kepindahan Sekolah Netral

26 Isti Rahayu, loc.cit.

27 Wieen Febrianto, lo.cit.

dari Jalan Malioboro ke Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan tidak

terlepas dari kasus Yayasan Kredit Tani Indonesia (YKTI) yang

melibatkan partai – partai di Yogyakarta.28 Kasus ini

mengakibatkan hutang yang sangat besar bagi Sri Sultan Hamenku

Buwono IX. Sebagai pertanggungjawabannya, Sultan terpaksa menjual

tanah milik keraton di jalan Malioboro untuk melunasi hutang

tersebut. sedangkan tanah itu disewa oleh Sekolah Rakyat Netral.

Karena tanah yang ada di Malioboro telah dijual, Yayasan

Sekolah Netral tidak lagi mempunyai hak untuk menempati tanah

itu. Sebagai gantinya, Sultan menawarkan tanah keraton yang masih

kosong di Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan. Tanah milik keraton

yang ada di Jalan Dagen, belum ada bangunannya, perlu membangun

gedung dahulu. Sedangkan di Jalan Sosrowijayan sudah ada bangunan

namun masih perlu direnovasi. Sekolah Netral masih mendapat izin

sampai pembangunan selesai.

Setelah bangunan di Jalan Dagen selesai pada tahun 1959,

sekolah netral putra dan sekolah netral campuran ( putra dan

putri ) pindah ke Jalan Dagen. Sedangkan sekolah netral putri dan

sekolah Frobel ( taman kanak – kanak ) masih di Jalan Malioboro,

karena bangunan di Sosrowijayan belum selesai direnovasi. Setelah

gedung yang ada di Jalan Sosrowijayan selesai direnovasi, sekolah

netral putri dan sekolah Frobel ( taman kanak – kanak ) pindah ke

Sosrowijayan. Sedangkan lahan bekas sekolah netral di Malioboro

kemudian dibangun sebuah hotel yang megah dan masih berdiri

sampai saat ini, yaitu Hotel Mutiara.

28 Isti Rahayu, loc.cit.

BAB III

KESIMPULAN

Istilah Kemasonan Bebas digunakan untuk mengindonesiakan

kata Freemasonry dalam bahasa Inggris dan kata Vrijmetselarij dalam

bahasa Belanda. Kemasonan memiliki arti secara harfiah, yaitu

perkumpulan para tukang bangunan atau gilda di Inggris. Gerakan

Mason kemudian diperkenalkan oleh bangsa Barat sebagai aliran

pembebasan pikiran yang menerima sesama manusia dan ditempatkan

pada posisi yang sederajat tanpa ada bentuk diskriminasi dan

menjadi pandangan hidup yang timbul dari dorongan batin yang

mengungkapkan tentang dirinya dalam upaya mengangkat umat manusia

ke tingkat susila dan moral yang lebih tinggi lagi.

Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun

1762. Kemunculan Paham ini ditandai dengan berdirinya loge – loge

di kota-kota dagang yang besar di pesisir seperti Semarang

Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan di kota kota

tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat.

Pada pertengahan abad 19, paham ini berkembang pesat dan akhirnya

mulai merambah ke jantung – jantung pedalaman pulau Jawa yang

dikuasai raja – raja lokal pecahan dari kerajaan Mataram Raya.

Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri Para

Sultan ) ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta

pada tahun 1870. Di Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak di

bidang sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan telah

menjadi topik utama yang menjadi Golongan Kemasonan, selain

menjadi kebijakan seluruh loji di Hindia Belanda. Sehingga pada

tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral dan ”sekolah –

sekolah Frobel Yogya”.

Neutrale Onderwijs Stichting adalah lembaga yang berkecimpung di

bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh anggota Mason.

Selain mendirikan sekolah taman kanak – kanak atau sekolah Frobel,

para anggota Mason juga mendirikan Neutrale Hollandsch – Indlandsch

Scholen atau biasa disebut sekolah netral, sebagai bagian dalam

mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing masyarakat menuju

kemajuan sosial.

Pada tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch Javaansche School di

Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian sekolah ini

dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono

VII. Sekolah Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks

terdapat 3 sekolah yang semuanya milik Neutrale Onderwijs Stichting.

Ketiga sekolah itu adalah Neutrale Hollandsch Javaansche Jongensschool

( untuk murid laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche Meisjessschool

( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool

( untuk murid campuran ).

Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, semua

sekolah buatan Belanda ditutup. Hal ini terus berlangsung hingga

masa revolusi. baru pada tahun 1950-an sekolah ini dibuka kembali

dan ganti nama sekolah menjadi Sekolah Rakyat Netral. Kasus

Yayasan Kredit Tani Indonesia ( YKTI ) yang membuat Sri Sultan

berhutang banyak, membuat beliau menjual tanahnya di Jalan

Malioboro dan tanah itulah yang ditemapati Sekolah Netral.

Sebagai gantinya, Sultan menawarkan tanahnya yang ada di Jalan

Dagen dan Jalan Sosrowijayan. akhirnya sekolah ini pindah ke

tempat dua jalan tadi sampai sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial

1880-1930, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas – batas Pembaratan,

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan

Perjuangannya, Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009.

Gilbert J. Garraghan. A Guide to Historical Method, New York, Fordham

University Press, 1957.

Harun Yahya, Ksatria – ksatria Templar: Cikal Bakal Gerakan Freemasonry,

Surabaya: Risalah Gusti, 2005.

Kota Jogjakarta 200 tahun, 7 Oktober 1756 – Oktober 1956. Yogyakarta:

Panitia Peringatan, 1956.

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Bentang

Pustaka, 2005.

Lynn Picknett dan Clive Prince, The Templar Revelation: Para Pelindung

Identitas Sejati Kristus, Jakarta: Serambi, 2006.

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Jakarta: Serambi,

2008.

Rizki Ridyasmara, Knight Templar, Knight of Christ: Konspirasi Berbahaya

Biawaran Sion Menjelang Armageddon, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

2005.

Sri Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed. ), Sejarah Pendidikan

Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1981.

Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan

Indonesia 1764-1962, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Sumber skripsi:

Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960, Skripsi

S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.

Wieen Febrianto, Golongan Kemasonan di Vorstenlanden 1870-1942, Skripsi

S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2006.