Dr. Miswari, M.Ud Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

248
1 PERBANDINGAN WUJUDIAH HAMZAH FANSÛRÎ DAN FILSAFAT MULLA SADRÂ Penulis: Dr. Miswari, M.Ud Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Transcript of Dr. Miswari, M.Ud Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

1

PERBANDINGAN WUJUDIAH HAMZAH FANSÛRÎ

DAN FILSAFAT MULLA SADRÂ

Penulis: Dr. Miswari, M.Ud

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

2

PRAKATA

Bismillâhirrahmânirrahîm

Alhamdulillah. Radhitu bî‘llahi Rabba wâ bî Islamî dînâ wa bî Muhammadin

Nabiya wa Rasûla. Puji syukur ke hadrat Allah yang telah melimpahkan wujûd

kepada segenap makhluk. Dengan Rahman dan Rahim-Nya kita dapat memiliki

kesadaran melalui jiwa sehingga dapat merasakan segala Jamal dan Jalal-Nya.

Salawat dan salam kepada Insan Kamil, manusia sempurna, Nabi Muhammad

sallalahu ‘alaihi wasalllam. Berkat cahaya beliau manusia alam semesta ini tegak

teratur. Kepada beliaulah kita mengharapkan syafaat di hari akhirat.

Inspirasi dasar menulis buku yang berangkat dari disertasi ini, dengan tema

tentang kajian perbandingan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ,

berangkat dari kesadaran pentingnya menggali masa lalu untuk mencari masa depan

dalam rangka menyongsong Indonesia maju dengan eksistensi Islam sebagai agama

yang kosmopolit yang teguh dengan nilai-nilai inklusif. Langkahnya antara lain

dengan menggali khazanah tasawuf dan filsafat yang penuh dengan nilai toleransi

sebagaimana ajaran Hamzah Fansûrî.

Di samping itu, penelitian ini juga dimotivasi oleh kesadaran pentingnya

menggali di antara hal yang masih menjadi misterius dalam ajaran Hamzah Fansûrî

yakni, berdasarkan penelusuran saya, ajarannya benar-benar identik dengan Ibn

‘Arabî. Tetapi yang mengherankan adalah kenapa Nûr al-Dîn al-Ranîrî selalu

konsisten menganggap ajaran Hamzah Fansûrî itu sesat. Sehingga ajaran Hamzah

Fansûrî benar-benar sangat penting untuk terus-menerus diteliti melalui berbagai

pendekatan dan pada berbagai aspeknya. Ajaran Hamzah Fansûrî sebenarnya sangat

dibutuhkan dewasa ini untuk menawarkan alternatif atas berbagai persoalan ilmiah

dan persoalan akademik. Signifikansi ajaran Hamzah Fansûrî dirasakan oleh banyak

peneliti. Beberapa artikel jurnal mutakhir hadir untuk menunjukkan efektivitas ajaran

Hamzah Fansûrî sebagai alternatif berbagai masalah aktual. Sayangnya, artikel-

artikel yang sebenarnya berfokus pada dimensi aksiologis ajaran Hamzah Fansûrî itu

harus diberikan porsi yang besar untuk menjelaskan bahwa Hamzah Fansûrî itu tidak

sesat dan ajarannya adalah tauhid yang lurus. Saya berharap, penelitian ini dapat

membantu penelitian-penelitian aksiologis serupa sehingga tidak lagi perlu

mengawali artikel-artikelnya dengan uraian panjang lebar untuk menjelaskan bahwa

ajaran Hamzah Fansûrî itu tidak sesat dan sangat kontributif.

Sementara pada aspek sosial, berkembangnya radikalisme yang terjadi cukup

parah, ketika ditelusuri akarnya, antara lain ditemukan bahwa itu terjadi akibat krisis

identitas, krisis intelektualitas, dan krisis spiritualitas yang dialami generasi muda,

khususnya para mahasiswa. Mereka merasa tidak menemukan solusi atas krisis itu di

kampusnya. Sehingga mencarinya di lembaga-lembaga tertentu. Sayangnya, banyak

lembaga yang menjadi destinasi mereka mengajarkan jalan pintas sehingga hasilnya

muncul sikap eksklusif dalam membentuk identitas, kegalatan sistem berfikir dalam

membentuk intelektualitas, dan sikap radikal dalam aktualiasasi spiritualitas. Tiga

krisis tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan reformasi pembelajaran keagamaan.

Penelitian ini tidak lepas dari semangat Nurcholish Madjid yang mengingatkan

bahwa banyak sekali problem-problem mutakhir dapat ditemukan solusinya melalui

kajian atas khasanah intelektual masa lalu. Istilahnya, ,enggali masa lalu untuk

3

menemukan masa depan. Penulis yakin semangat keilmuan Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ memiliki sangat banyak kandungan nilai positif yang dapat ditawarkan

untuk mengatasi berbagai problem kebangsaan kita, khususnya problem sosial,

keagamaan, dan keilmuan. Cak Nur juga pernah mengingatkan, supaya bangsa kita

dapat maju dalam ilmu pengetahuan, kita jangan ragu untuk mengakses literatur

Persia. Saya yakin anak bangsa kita yang punya bekal tradisi keagamaan yang kuat

tidak akan latah dalam mengakses dan mempelajari literatur asing yang memiliki

tradisi yang berbeda.

Sekalipun merupakan karya pribadi, penulisan buku yang berangkat dari

disertasi program doktor konsentrasi Filsafat Islam Sekolah Pascasarjana Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini melibatkan berbagai pihak yang

telah memberikan bantuan, kemudahan, serta bimbingan sejak awal perkuliahan

sampai diselesaikannya naskah ini. Untuk itu, dengan segala ketulusan hati, penulis

menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada

yang terhormat Rektor UIN Jakarta, Direktur SPs Prof. Phil. Asep Saepudin Jahar,

Ph.D, Ketua Program Studi Doktor, Prof. Dr. Didin Saifuddin, MA. Terima kasih

teak terhingga kepada Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan dan Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.,

sebagai dosen pembimbing. Berikutnya terima kasih kepada Prof. Dr. Amsal

Bakhtiar, Prof. Dr. Achmad Syahid, M.Ag. dan Prof. Dr. IIk Arifin Mansurnoor, MA.

yang telah menjadi penguji dalam ujian promosi. Terima kasih kepada seluruh

karyawan SPs UIN Jakarta atas pelayanannya yang sangat luar biasa.

Terima kasih Program Beasiswa MORA 5000 Doktor sekaligus Direktur

Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama Republik Indonesia yang

telah memberikan biaya studi. Terima kasih Rektor IAIN Langsa yang telah

memberikan tugas belajar. Terima kasih staf Perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan STAI Sadra yang telah memberikan ruang

kondusif dalam melakukan penelitian. Terima kasih keluarga tercinta yang telah

memberi banyak dukungan dan bersedia banyak waktu untuk mereka banyak saya

ambil dalam melakukan pembelajaran, riset, dan penulisan.

Tidak ketinggalan ucapan terima kasih kepada: Sahabat sekaligus saudara

saya Mulyani, M.Ud. yang telah berkenan menghadiahkan berjilid-jilid koleksi

perpustakaan pribadinya baik itu karya Mullâ Sadrâ, Ibn Sînâ, Ibn ‘Arabȋ, dan

Hamzah Fansûrî untuk riset dan perkenannya berdiskusi tentang filsafat dan tasawuf

falsafi; Sahabat sekaligus guru saya Muhammad Nur Jabir dan Dr. Cipta Bakti Gama

yang telah berkenan menjelaskan kaidah-kaidah sulit dalam filsafat dan tasawuf

falsafi; Sahabat sekaligus rekan seperjuangan saya Muhammad Alkaf, Mirza Ardi,

Muhajir Al-Fairusy, Teuku Jafar Sulaiman, dan Khairil Miswar yang senantiasa

bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi tentang berbagai tema; Sahabat

sekaligus senior, Reza Idria, Ph.D dan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Ph.D,

yang selalu memberikan semangat dan dukungan; Rekan-rekan mahasiswa S3 di SPs

UIN Jakarta, khususnya Dr. Mukhtar, MA;. Rekan-rekan seperjuangan serta berbagai

pihak yang tidak dapat disebut satu persatu di ruang yang terbatas ini.

Secara khusus, ucapan terima kasih disampaikan kepada almarhum ayah

saya, Usman Banta Leman yang telah bersusah payah menyekolahkan saya. Semoga

segala kebaikan yang saya hasilkan dapat menjadi amal jariah untuk beliau. Demikian

juga ibu saya, Saidah Banta Raden. Ucapan beliau waktu saya masih kelas empat

4

MIN, “Walau bagaimanapun harus sekolah”, senantiasa terngiang di kepala sehingga

selalu menjadi energi bagi saya untuk melalui segala macam rintangan dalam

menuntut ilmu. Tidak lupa terima kasih kepada guru mulai dari MIN hingga UIN,

khususnya Ibu Si yang telah mengajarkan saya membaca, dan Ibu Ana yang telah

mengajarkan saya berhitung. Semoga segala kebaikan ilmu dapat menjadi amal jariah

mereka semua.

Kemudian terima kasih kepada editor yang membantu merapikan tulisan ini.

Terima kasih kepada penerbit yang telah membantu menerbitkan karya ini sehingga

dapat berhadir di hadapan pembaca.

Saya berharap semua orang yang telah berbuat baik selalu diberikan

kemudahan oleh Allah di dunia dan di akhirat. Saya berharap semua rakyat Indonesia

menjadi manusia yang makmur, sejahtera, berbahagia, jauh dari segala mara bahaya,

dan saling mengasihi. Amin.

Hormat saya,

Miswari

Penulis

5

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam buku ini berdasarkan ALA-

LC Romanization Tables.

Konsoson

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا

bā’ b be ب

tā’ t te ت

thā’ th te dan ha ث

jīm j je ج

ḥā’ ḥ ha [titik di bawah] ح

khā’ kh ka dan ha خ

dāl d de د

dhāl dh de dan ha ذ

rā’ r er ر

zāy z zet ز

sīn s es س

shīn sh es dan ha ش

ṣād ṣ es [titik di bawah] ص

ḍād ḍ de [titik di bawah] ض

ṭā’ ṭ te [titik di bawah] ط

ẓā ẓ zet [titik di bawah] ظ

ayn koma terbalik di atas‘ ع

ghayn gh ge dan ha غ

fā’ f ef ف

qāf q qi ق

kāf k ka ك

lām l el ل

mīm m em م

nūn n en ن

wāw w we و

hā h ha ه

hamzah ˊ apostrof ء

yā’ y ye ي

Vokal

Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

- fatḥah a a

- kasrah i i

6

- ḍammah u u

Vokal Rangkap

Tanda dan Huruf Nama Huruf Latin Nama

و - fatḥah dan wāw aw a dan we

fathah dan yā’ ay a dan ye ي-

Vocal Panjang

Tanda dan Huruf Nama Huruf Nama

fatḥah dan alif ā a dan garis di atas ا-

mad dan alif آ

kasrah dan yā’ ī i dan garis di atas ي-

ḍammah dan wāw ū u dan garis di atas و-

Kata Sandang:

Kata sandang (ال) dilambang dengan huruf (al), baik yang diikuti dengan huruf

shamsīyah (huruf yang dapat penyebabkan peleburan huruf lām sebagai artikel

menjadi bunyi yang sama dengan huruf tersebut), maupun yang diikuti huruf

qamarīyah (huruf yang tidak menyebabkan peleburan huruf lam sebagai artikel).

Kata sandang ini ditulis dengan tanda (-) terpisah dari kata yang mengikuti.

Tā’ Marbūṭah:

1. Jika kata diakhiri dengan tā’ marbūṭah (ة), atau kata tersebut diikuti oleh kata

sandang (ال), serta bacaan keduanya dipisah, maka ditransliterasikan dengan

huruf (h).

2. Jika kata berakhiran (ة) dikontruksi (iḍāfah), maka ditransliterasikan dengan (t).

7

DAFTAR ISI

PRAKATA

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TEORI WUJÛD DALAM FILSAFAT DAN WUJUDIAH

A. Teori Wujûd dalam Filsafat Islam

B. Teori Wujûd dalam Wujudiah

C. Pemaknaan atas Teori Wujûd dalam Filsafat dan Wujudiah

BAB III KONSEP WUJUDIAH HAMZAH FANSÛRÎ

A. Kehidupan dan Karya Hamzah Fansûrî

B. Prinsip Dasar Ajaran Hamzah Fansûrî

1. Itikad Para Pesuluk

2. Sifat Haqq Ta’ala

3. Konsep Ta’ayyûn

4. Manusia sebagai Anak Dagang

C. Analogi Kontekstual Wujudiah Hamzah Fansûrî

1. Tanah dan Perabotan Rumah Tangga sebagai Wujûd Mendasar

2. Matahari dan Sinarnya sebagai Pemberian Wujûd

3. Catur dan Buah Catur Sebagai Hubungan Ketunggalan dan

Kemajemukan

4. Laut dan Ombak sebagai Makhluk Menjadi Jejak Ilahi

5. Analogi-analogi Sekunder sebagai Berbagai Penjelasan Wujudiah

D. Pemaknaan Wujudiah Hamzah Fansûrî

BAB IV KONSEP FILSAFAT WUJÛD MULLÂ SADRÂ

A. Kehidupan dan Karya Mullâ Sadrâ

B. Prinsip Dasar Pemikiran Mullâ Sadrâ

1. Ontologi Pemikiran Mullâ Sadrâ

2. Epistemologi Pemikiran Mullâ Sadrâ

C. Konsep Penting Ajaran Filsafat Mullâ Sadrâ

1. Kemendasaran Wujûd (Ashalat al-Wujûd)

2. Gradasi Wujûd (Tâskîk al-Wujûd)

3. Kefakiran Akibat dalam Kausalitas (Illiyah)

4. Hakikat Sederhana (Basith al-Haqîqah)

5. Gerak Substansi (al-Harakah al-Jawhayiah)

6. Kesatuan Subjek dan Objek (Ittihad Aqil wa Ma’qûl)

D. Pemaknaan Filsafat Mullâ Sadrâ

8

BAB V ANALISIS PERBANDINGAN WUJUDIAH HAMZAH FANSURI DAN

FILSAFAT MULLÂ SADRÂ

A. Persamaan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

1. Univokasi dan Kemendasaran Wujûd

2. Pengenalan Diri Sebagai Langkah Menuju Pengetahuan Sejati

3. Ilmu Hudhûrî sebagai Pengetahuan Sejati

4. Eksistensi Alam Potensial

5. Kefakiran Mutlak Makhluk kepada Khalik

B. Perbedaan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

1. Perbedaan Konteks Kebudayaan

2. Perbedaan Pemahaman atas Status Kemajemukan Realitas Eksternal

3. Multi Perspektif Varian dan Sasaran Kritikan

C. Pemaknaan Perbandingan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

BAB VI PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

GLOSARI

DAFTAR INDEKS

BIODATA PENULIS

9

BAB I

PENDAHULUAN

Diskursus tentang wujûd merupakan salah satu pembahasan penting dalam

pemikiran Islam, baik itu filsafat (al-hikmah), tasawuf (‘irfân), maupun teologi

(kalâm). Diskursus ini merupakan inti dari metafisika Islam. Perbedaan prinsip

pemikiran dalam tiap-tiap varian pemikiran Islam (filsafat, tasawuf, dan teologi)

sangat ditentukan oleh pendekatan masing-masing yang berbeda terhadap wujûd.

Secara objektif, kata wujûd berasal dari akar kata (masdar) wu-ji-da yang

berarti ditemukan sehingga biasanya diterjemahkan menjadi being atau existence

dalam bahasa Inggris. Secara subjektif, kata wujûd berasal dari akar kata (masdar)

wa-ja-da yang berarti menemukan sehingga biasanya diterjemahkan menjadi finding

dalam bahasa Inggris1. Bentuk fi’il dari akar kata tersebut banyak dijumpai dalam Al-

Qur’an, seperti QS. 3: 37, 18: 86, 27: 23, 93: 7, 4: 43,18: 69, dan 7: 1572.

Sementara itu, bentuk masdar hanya ditemukan sebagai wijd, yaitu dalam QS.

65: 66. Secara objektif, kata wujûd berposisi pada ranah ontologis yang dimaknai

sebagai yang ada. Dalam konteks ini, wujûd pada realitasnya adalah sesuatu yang ada

secara mutlak. Sementara secara subjektif, wujûd adalah sesuatu yang dicapai

manusia melalui usaha (riyâdhah) untuk menemukan realitas melalui penyingkapan

spiritual (mukasyafah).

Acuan kata wujûd sebenarnya dapat dialamatkan kepada segala sesuatu yang

dapat diakui keberadaannya (mawjûdat). Pengetahuan akan wujûd bersifat a priori

atau terbukti dengan sendirinya (badȋhȋ). Pengetahuan akan wujûd itu bersifat

hudhurȋ. Setiap orang dapat mengetahui keberadaan lebih dahulu sebelum konsep-

konsep dipahami melalui sistem hûshûlȋ yang meniscayakan adanya konsepsi

(tasawur) dan afirmasi (tasydiq).

Setiap entitas (mawjûdat) terdiri atas dua hal, yakni adakah ia dan apakah itu.

Pertanyaan pertama adalah keberadaannya (mawjûd). Pertanyaan kedua adalah

keapaannya (mâ huwâ). Keberadaannya adalah wujûd, sementara keapaannya adalah

mahiyah. Keberadaan sesuatu dipahami secara lebih jelas dibandingkan keapaannya3.

Wujûd itu tidak dapat didefinisikan karena untuk mendefinisikan sesuatu perlu

menggunakan hal lain yang lebih dipahami. Namun, tidak ada yang lebih terang dan

jelas dibandingkan wujûd itu sendiri4.

Karena wujûd dinisbahkan pada setiap sesuatu yang ada, dapat dinisbahkan

pada Haqq Ta’ala dan segala makhluqat. Oleh mutakallimȋn, wujûd bagi Haqq Ta’ala

1 Kholid Al-Walid, Tasawuf Filosofis, Menyelam Samudra Ilmu Tasawuf, (Jakarta:

Sadra Press, 2020), 41. 2 Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabi: Wahdat Al-Wujûd Dalam Perdebatan (Jakarta:

Paramadina, 1995), 42. 3 Muḥammad Ḥusein Thabâthabâ’î, Bidâyah Al-Ḥikmah. (Qum: Muʽassasah an-Nasyr

al-Islâmî), 1428H, 1-2. 4 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present (New York:

State University of New York Press, 2006), 66.

10

memiliki acuan yang berbeda dengan wujûd. Wujûd Haqq Ta’ala lain, wujûd

makhluqat lain. Pemahaman demikian memaknai wujûd itu ekuivokal. Asal katanya

tunggal, tetapi acuannya beragam. Sementara bagi penganut tasawuf wujudiah

(tasawuf falsafi), meyakini kata wujûd itu acuannya tunggal, yakni hanya dialamatkan

kepada Haqq Taa’ala. Sementara segala mawjûdat itu diyakini hanya sebagai

manifestasi atau tajallȋ dari Wujûd yang Tunggal, yakni Haqq Ta’ala. Pemahaman

demikian memaknai wujûd itu univokal. Asal katanya tunggal, acuannya juga

tunggal.

Sementara bagi para filosof, khususnya aliran al-Hikmah al-Masyâ'iyyah,

wujûd itu secara konseptual memang diakui tunggal, namun pada realitas diakui

beragam. Oleh al-Hikmah al-Masya’iyyah, setiap mawjûdat itu diyakini memiliki

wujûd yang berbeda. Perbedaan pandangan atas wujûd memunculkan perdebatan

serius dalam diskursus pemikiran Islam. Sementara aliran filsafat al-Hikmah al-

Isyrâqiyyah memandang wujûd sebagai tambahan bagi mahiyah yang dipandang

sebagai dasar bagi realitas. Adapun aliran filsafat al-Hikmah al-Muta’alliyah

memandang berpandangan kebalikan dengan al-Hikmah al-Masya’iyyah dengan

memandang wujûd sebagai dasar realitas.

Perbedaan pandangan antarvarian pemikiran Islam ini memunculkan

perdebatan serius dan panjang karena yang mereka perbebatkan adalah pemahaman

masing-masing yang berbeda dalam dimensi inti metafisika pemikiran Islam, yakni

mengenai perdebatan wujûd. Keunikan antar ajaran dalam tradisi pemikiran Islam,

khususnya dalam tasawuf falsafi dan filsafat berlandaskan pada prinsip ontologi tiap-

tiap pemikir, yakni pemahaman mereka akan wujûd.

Dalam diskursus pemikiran Islam, antara tasawuf, filsafat, dan teologi selalu

terjadi perdebatan. Tiga varian pemikiran ini memiliki landasan epistemologis yang

berbeda. Tasawuf menjadikan penyingkapan batin (‘irfânî) sebagai landasan utama

pengetahuan5. Kalaupun menerima wahyu dan rasio, itu akan dimaknai sebagaimana

penyingkapan batin. Filsafat menjadikan rasio (burhânî) sebagai basis pengetahuan.

Kalaupun menerima wahyu (bayânî) dan penyingkapan batin, itu akan dimaknai

secara rasional6. Sementara teologi menjadikan wahyu sebagai landasan

pengetahuan7. Sementara bila menerima rasio dan penyingkapan batin, itu hanya akan

diterima sejauh ia sesuai dengan wahyu. Perbedaan epistemologi dari tiap-tiap varian

keilmuan ini tentunya tidak terlepas dari perbedaan pemahaman ontologisnya

masing-masing, khususnya mengenai pemahaman tentang wujûd. Bahkan dalam satu

varian sekalipun, antar pemikirnya memiliki perbedaan pemikiran yang signifikan8.

Dalam tasawuf Wujudiah, wujûd diyakini sebagai satu-satunya realitas

Tunggal yang dinisbahkan kepada Haqq Ta’ala. Pandangan ini menjadi polemik bagi

kalangan mutakallimîn karena ditemukan bahwa selain Allah juga terdapat wujûd

5 Mehdi Haeri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy:

Knowledge by Presence (New York: State University of New York Press, 1992), 14. 6 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Mencerna Akar Filsafat Dalam Islam,” Ulumuna 17,

no. 1 (November 8, 2017): 1–18, http://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/236. 7 Harun Nusution, Teologi Islam (Jakarta: UIP, 2006), 99. 8 Nani Widiawati, Pluralisme Metodologi: Diskursus Sains, Filsafat, Dan Tasawuf,

(Tasikmalaya: Edu Publisher, 2020), 3–4.

11

lainnya, seperti wujûd alam semesta. Pemahaman Wujudiah mengenai wujûd

memunculkan anggapan bahwa Haqq Ta’ala diserupakan dengan alam. Padahal,

sebagaimana menurut pandangan mutakallimîn, Tuhan itu mukhallafatuhû lil

hawadtsî, tidak ada apa pun yang menyerupainya. Tuhan itu tanzîh. Sementara

pandangan Wujudiah dianggap oleh mutakallimîn menjadikan memaknai Tuhan

dengan sangat tasybîh.

Problem dalam diskursus wujûd perspektif Wujudiah dimunculkan oleh Abû

Yazid al-Bistamî (804–874 M) dengan pemahaman yang melihat manusia itu naik

untuk melebur sehingga yang nyata hanya Haqq Ta’ala. Pandangan tersebut disebut

sebagai ittihâd. Demikian pula Abû Mansûr al-Hallaj (858–922 M) dengan

pemahaman yang menyatakan Haqq Ta’ala turun hingga melebur dengan manusia.

Pandangan tersebut disebut sebagai hulûl. Dua konsep tersebut dianggap sebagai

pandangan penyatuan Tuhan dengan manusia secara personal. Nûr al-Dîn al-Ranîrî

(m. 1658 M) menentang keras ajaran tersebut dengan menyebutnya sebagai

Wujudiyah mulhith, yakni iktikad Wujudiah yang sesat.

Ajaran Wujudiah setelah Abû Yazid al-Bistamî dan Abû Mansûr al-Hallaj

dikembangkan oleh Ibn ‘Arabî (1165–1240) yang diistilahkan dengan wahdat al-

wujûd. Bila ittihâd dan hulûl merupakan acuan pengalaman spiritual secara

individual, wahdat al-wujûd merupakan gambaran manifestasi Haqq Ta’ala pada

keseluruhan alam.

Bagi mutakallim, seperti Nûr al-Dîn al-Ranîrî terdapat juga Wujudiah yang

masih menganut tauhid yang benar, yakni Wujudiah muwwahidah, berupa ajaran

Wujudiah yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid Ahlû Sunnah wa al-

Jama’ah. Dalam penilaian Nûr al-Dîn al-Ranîrî, ajaran Ibn ‘Arabî masih dapat

digolongkan sebagai Wujudiah muwwahidah9. Demikian juga ‘Abd al-Ra’uf al-

Sinkilî (1615–1693)10 dan gurunya Ibrâhîm al-Kurânî (1615–1690 M)11

berpandangan bahwa Wujudiah Ibn ‘Arabî masih dapat digolongkan sebagai

Wujudiah muwwahidah selama penafsiran-penafsirannya tidak bertentangan dengan

akidah Asya’ariah.

Wujudiah Hamzah Fansûrî juga oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî dianggap sebagai

ajaran yang sesat12. Sejauh yang dapat ditelusuri, sebagaimana tergambar dalam

Tibyān fī Ma’rifat al-Adyān (Tibyān), klaim utama kesesatan yag dialamatkan kepada

Hamzah Fansûrî, antara lain karena analogi-analogi yang digunakan Hamzah Fansûrî

untuk menerangkan metafisika Wujudiah dianggap menyimpang dan sesat. Misalnya,

analogi biji untuk menganalogikan kanzan makfi, dianggap kufur. Analogi kesatuan

laut dan ombak dan analogi kesatuan matahari dan sinarnya ditentang Nûr al-Dîn al-

9 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nûr

Al-Dîn Al-Ranirî ,(Kuala Lumpu: Kuala Lumpu, 1986), 90-92. 10 Oman Fathurahman, Tanbih Al-Masyi: Menyoal Wahdah al-Wujûd : Kasus

Abdurrauf Singkel Di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan, 1999), 171. 11 Oman Fathurahman, Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim

Nusantara, (Bandung: Mizan, 2012), 65-66. 12, Nûr al-Dîn Al-Ranîrî, Al-Tibyan fî Ma’rifat al-Adyân, ed. Muhammad Kalam Daud

(Banda Aceh: PeNa, 2011), 175.

12

Ranîrî karena dianggap menyerupakan wujûd Haqq ta’ala dan wujûd makhluqat13.

Padahal, iktikad Wujudiah adalah wujûd itu tunggal, sementara mawjûdat pada

makhluqat hanyalah manifestasi atau tajallȋ dari wujûd yang tunggal itu. Perbedaan

pandangan tersebut merupakan bagian penting dari perdebatan metafisika dalam

khazanah pemikiran Islam.

Pada sisi lain, filsafat wujûd Mullâ Sadrâ14 juga menuai polemiknya sendiri

karena di dunia Persia, kajian filosofis yang digandrungi adalah kajian yang tidak

melepaskan diri dari unsur metafisika Persia kuno15. Sementara itu, filsafat Mullâ

Sadrâ mengkritik ajaran Syihab al-Dîn al-Suhrawardî (1153–1191 M)16 secara

mendasar yang mana pemikiran filsafat cahaya Syaikh al-Isyraq itu telah diterima

sebagai sebuah kajian filsafat yang menjunjung tinggi tradisi filsafat Persia yang

bersambung hingga Zoroastrian.

Sebagaimana terjadi di Kepulauan Indonesia dalam perdebatan antara Hamzah

Fansûrî dan Nûr al-Dîn al-Ranîrî, tradisi filsafat di Persia sebagaimana hasil

penelitian Sir Muhammad Iqbal17 menunjukkan bahwa terjadi kontestasi yang

panjang dan rumit antara pandangan monisme yang meyakini kesatuan wujûd dan

dualisme yang meyakini kemajemukan wujûd. Pandangan kesatuan wujûd sangat

berkaitan dengan filsafat Neoplatonisme yang memiliki porsi besar dalam membahas

tentang manifestasi Wujûd yang Esa. Sementara pandangan kemajemukan wujûd

sangat berkaitan dengan filsafat Aristotelian, baik itu pendayagunaan sistem

logikanyanya oleh ilmu kalam maupun pengaruh besarnya terhadap filsafat

Peripatetik Islam (al-Hikmah al-Masyâ'iyyah). Namun demikian, al-Hikmah al-

Masyâ'iyyah sendiri tidak benar-benar bernuansa Aristotelianisme karena telah

sangat banyak mengadopsi Neoplatonisme, antara lain, untuk memenuhi kekurangan

filsafat Aristotelian dalam membahas tema Ilahiah.

Implikasi-implikasi dari pembangunan al-Hikmah al-Masyâ'iyyah ditentang

keras oleh Abû Hamid al-Ghazalî (1058–1111 M) karena dianggap menyimpang dari

prinsip tauhid yang lurus18. Syihab al-Dîn al-Suhrawardî juga melancarkan kritik

mendasar terhadap bangunan dasar pemikiran al-Hikmah al-Masyâ'iyyah, yakni

menunjukkan kemustahilan definisi yang menjadi prasyarat penyusunan silogisme.

Selanjutnya, Ibn Rusyd (1126–1198 M) berusaha membela ajaran al-Hikmah al-

Masyâ'iyyah sekaligus memurnikan filsafat Aristotelian dari pengaruh

Neoplatonisme dalam filsafat Islam19. Terakhir, Mullâ Sadrâ melakukan evalusi

holistik dan sistematis atas berbagai aliran filsafat sebelumnya, mengomentari ilmu

kalam, dan mengakomodir beberapa pandangan Wujudiah untuk membangun sebuah

13 Al-Ranîrî, Nûr al-Dîn, Al-Tibyan fî Ma’rifat al-Adyân…, 168-172. 14 Mulla Sadra, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol. I

(Beirut: Dar Iḥyâʽ at-Turâts al-‘Arabiy, 2002), 11–15. 15 Allama Sir Muhammad Iqbal, Metafisika Persia: Suatu Sumbangan Untuk Sejarah

Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 1990), 37. 16 Sihabuddin Suhrawardi, “Hikmah Al-Isyrâq,” in Majmû’ah Muśannafât Syaikh Al-

Isyrâq Vol. II (Teheran: Pezhuhesgâh „Olûm-e Insânî va Moțâla‟ât-e Farhangge, 1979), 11. 17 Allama Sir Muhammad Iqbal, Metafisika Persia…, 37-40. 18 Abû Hamid al-Ghazalî, Tahâfut al-Falâsifah. (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.t.), 9-11. 19 Ibn Rusyd, Tahâfut al- Tahâfut, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1964), 18-19.

13

aliran baru dalam filsafat Islam yang dikenal dengan al-Hikmah al-Muta’alliyah20.

Perdebatan-perdebatan ini menunjukkan ketajaman diskursus dalam filsafat Islam.

Demikian juga pada ranah tasawuf filosofis, misalnya dalam kasus

pertentangan antara Hamzah Fansûrî dan Nûr al-Dîn al-Ranîrî, perdebatannya tidak

hanya mengenai cara pandang masing-masing yang berbeda tentang wujûd. Nûr al-

Dîn al-Ranîrî memandang antara Tuhan dan alam memiliki masing-masing wujûd

yang berbeda. Sementara Wujudiah hanya meyakini satu wujûd yang Tunggal yang

dinisbahkan kepada Haqq Ta’ala. Pertentangan tersebut merupakan partikularitas

dari perdebatan besar antara Wujudiah dan teologi Islam (kâlâm). Perdebatan

mutakallimîn dan Wujudiah telah berlangsung lama dan menyebabkan pertikaian

besar. Di Kepulauan Indonesia, pertentangan tersebut telah terjadi sejak Kesultanan

Samudra Pasai antara Syaikh Abd Jalîl yang menganut prinsip kâlâm dan Maharaja

Bakoy yang diduga pengajar Wujudiah21.

Menjadi sebuah keunikan yang sangat menarik untuk diteliti secara komparatif

adalah kenapa meskipun berasal dari dua varian pemikiran yang berbeda, Hamzah

Fansûrî yang merupakan bagian dari pengajar tasawuf falsafi atau Wujudiah dan

Mullâ Sadrâ yang berasal dari varian filsafat, memiliki keidentikan dalam landasan

ontologi, yakni meyakini wujûd itu adalah univokal dan menjadi dasar realitas.

Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ merupakan kekayaan

khazanah intelektual klasik yang mengandung sangat banyak nilai kebijaksanaan.

Sebagai ajaran yang pernah berkembang pada periode kejayaan Nusantara, Wujudiah

Hamzah Fansûrî bila digali kembali dapat diharapkan menjadi rujukan pembangunan

masyarakat kosmopolit sebagaimana terjadi sebelumnya. Sementara itu, filsafat

Mullâ Sadrâ yang hadir dalam perkembangan tradisi ilmu pengetahuan diharapkan

dapat menjadi pengayaan wawasan intelektual masyarakat dewasa ini, khususnya

tentang pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengambil semangat kritis dan

sintesis berbagai varian khazanah ilmu pengetahuan.

Wujudiah Hamzah Fansûrî hadir untuk menyederhanakan suatu gagasan

metafisika yang dianggap sangat rumit dan dilematis yang pernah berkembang dalam

tradisi intelektual Islam. Hamzah Fansûrî dalam karya-karyanya telah mendialogkan

berbagai gagasan kaum sufi sebelumnya. Gagasan-gagasan itu sebagian dianggap

sangat kontroversial. Namun, Hamzah Fansûrî berusaha agar gagasan-gagasan itu

dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat dengan menggunakan bahasa yang

indah dalam bentuk syair-syair dan prosa. Hamzah Fansûrî menggunakan berbagai

analogi yang dekat dengan keseharian masyarakat Melayu supaya ajaran Wujudiah

dapat diterima dengan mudah.

Demikian juga Mullâ Sadrâ dalam konteks yang lain mendialogkan berbagai

varian dalam pemikiran Islam dan melakukan usaha sintesis atas khazanah keilmuan

sebelumnya. Usaha Mullâ Sadrâ juga sesuai dengan konteks perkembangan tradisi

ilmu pengetahuan pada masanya yang sedang berusaha menyintesis berbagai varian

keilmuan dalam tradisi pemikiran Islam. Baik Wujudiah Hamzah Fansûrî maupun

20 Mulla Sadra, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol.

I…, 12-13. 21 Ali Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansûrî, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,

1976), 1.

14

filsafat Mullâ Sadrâ, hadir ke dalam konteks masyarakatnya masing-masing dan

berusaha menyesuaikan ajarannya dengan perkembangan budaya ilmu pengetahuan

dan sosial masing-masing yang berbeda. Keduanya hadir untuk mendialogkan

gagasan ketuhanan dalam keagamaan dan ilmu pengetahuan dan memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan di dalam negerinya masing-masing.

Wujudiah adalah ajaran yang kompatibel untuk setiap zaman karena basis

ajarannya yang sarat nilai mendasar, seperti ketuhanan dan kemanusiaan sehingga

dapat selalu ditawarkan sebagai bagian penting dalam menemukan kesamaan

manusia dalam krisis identitas dan spiritualitas22. Kesamaan itu tidak dicari dari

konstruksi-konstruksi antar kearifan, tetapi melihat kepada dasar diri manusia. Pada

dasar diri, pada fitrah inilah, manusia memiliki kesamaan. Sementara itu, filsafat

Mullâ Sadrâ mengandung kemungkinan memperkaya tradisi filosofis masyarakat

dalam krisis intelektualitas dewasa ini. Pemurnian kedirian manusia yang bernuansa

Ilahiah dan pengembangan ilmu pengetahuan merupakan tuntutan bagi masyarakat

yang ingin maju dalam segala bidang. Maka dari itu, menggali literatur klasik

merupakan bagian dari usaha memajukan peradaban dan ilmu pengetahuan. Agama,

budaya, dan ilmu pengetahuan harus berkembang secara beriringan dalam sebuah

bangsa besar dan masyarakat yang majemuk. Secara khusus, penelitian pemikiran

Hamzah Fansûrî diharapkan dapat mengatasi masalah spiritualitas. Sementara

penelitian pemikiran Mullâ Sadrâ diharapkan dapat mengatasi krisis intelektualitas.

Secara umum, penelitian atas pemikiran dua dua pemikir ini diharapkan dapat

menjadi acuan mengatasi berbagai problem sosial dan keagamaan.

Misalnya, problem disintegrasi agama dan budaya mengandung potensi

penyelesaiannya dalam Wujudiah. Hal ini pernah dibuktikan Syaikh Siti Jenar yang

melakukan pendekatan sosial dan memperingatkan tentang bahaya kemanusiaan

dengan jalan pendekatan Wujudiah sehingga antara kebudayaan dan keagamaan tidak

mengalami perbenturan. Dalam pendekatan tasawuf falsafi perspektif Wujudiah,

yang terjadi adalah harmonisasi dan asimilasi kearifan agama dan kearifan budaya.

Achmad Chodjim23 dalam menganalisis ajaran Syaikh Siti Jenar menunjukkan bahwa

ajaran tasawuf falsafi adalah ajaran yang lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia

dalam mempelajari Islam. Pendekatan humanistik dan eksoterik yang dikedepankan

tasawuf falsafi24 dapat mudah menyesuaikan diri dengan jati diri masyarakat

Kepulauan Indonesia25.

Sementara itu, krisis intelektualitas yang dialami masyarakat dewasa ini perlu

disikapi dengan serius. Berbagai negara di belahan dunia terus-menerus

mengembangkan ilmu pengetahuan di segala bidang. Perkembangan tersebut harus

22 Haidar Bagir, Semesta Cinta, (Bandung: Mizan, 2015), 23. 23 Ahmad Chodjim, Syeikh Siti Jenar: Makna Kematian, (Jakarta: Baca,), 46. 24 KH. Said Aqid Siroj menyimpulkan bahwa tasawuf falsafi memiliki kandungan nilai

yang mendalam dan dapat dijadikan landasan moral dan kultural. KH. Said Aqil Siroj, Allah

dan Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi, (Jakarta: Yayasan Said Aqid Siroj, 2021), 371. 25 Kepulauan-Indonesia yang dimaksud mencakup wilayah Indonesia sekarang dalam

periode sekarang dan jauh ke belakang. Kesesuaian tasawuf falsafi dengan jati diri

masyarakat Indonesia dapat dilihat, Ahmad Chodjim, Syeikh Siti Jenar: Makna Kematian…,

349.

15

dijadikan peluang untuk memperkaya tradisi ilmu pengetahuan bangsa dan

masyarakat. Dalam hal ini, diperlukan sistem sintesis berbagai perkembangan ilmu

pengetahuan untuk membuat perkembangan ilmu pengetahuan memiliki nilai positif.

Dalam hal ini, semangat kritis dan sintesis Mullâ Sadrâ dalam merespons

perkembangan ilmu pengetahuan multidisiplin perlu dikaji dan dijadikan inspirasi.

Hamzah Fansûrî hidup dan berkarier sekitar abad ke-16 pada masa

perkembangan Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa tersebut, masyarakat

Nusantara menjadi sangat kosmopolit. Silang budaya terjadi begitu cepat. Berbagai

etnis menjadi larut. Perekonomian tumbuh pesat. Menariknya, kosmopolitanisme itu

beriringan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa

Wujudiah Hamzah Fansûrî dapat hidup dan berkembang dalam masyarakat

kosmopolit itu. Bahkan, mungkin menjadi pendorong kosmopolitanisme itu. Maka

dengan demikian, untuk menuju kosmopolitanisme baru, masyarakat Indonesia perlu

menghidupkan kembali nilai ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî dan tasawuf falsafi

lainnya.

Ajaran Wujudiah sesuai untuk diajarkan di Indonesia karena memiliki nilai

yang identik dengan penghayatan masyarakat. Maka dari itu, nilai-nilai dari

Wujudiah dapat ditawarkan dan menjadi efektif mengatasi masalah-masalah yang

dihadapi bangsa Indonesia. Atas kesadaran itu, sebagian akademisi dan peneliti

berusaha menghidupkan kembali khazanah tasawuf yang pernah berkembang di

Kepulauan Indonesia, seperti ajaran Syaikh Siti Jenar (1426–1517 M), Syaikh Yusuf

al-Maqassarî (1626–1699 M), Syaikh Abdul Muhyî (1650–1730 M), dan tentunya

Wujudiah Hamzah Fansûrî26. Hal ini juga dilakukan karena sebagian akademisi dan

peneliti melihat, perspektif teologis yang dianggap mapan ternyata perlu diperkaya

kembali27. Hal ini juga yang menjadi alasan beberapa inteligensia berusaha

melakukan pengayaan terhadap konsep teologis28. Akan tetapi, usaha menghidupkan

kembali Wujudiah dengan harapan dapat memberikan kontribusi mengatasi masalah-

masalah dewasa ini mengalami banyak kendala. Di antaranya adalah karena ajaran

tersebut telah menjadi asing bagi masyarakat29.

Di antara nilai-nilai ajaran Wujudiah yang sangat penting untuk dihidupkan

kembali dalam kehidupan masyarakat kontemporer adalah kesadaran bahwa manusia

dan Haqq Ta’ala itu tiada berhijab. Manusia dapat mendayagunakan seluruh fakultas

jiwanya untuk menghidupkan moralitas yang sesuai dengan sifat-sifat yang indah

sebagaimana dalam Asma’ul Husnâ. Bila manusia telah tidak lagi berhijab dengan

Allah, Dia menjadi tangan dalam berbuat, menjadi kaki dalam melangkah, dan

menjadi lisan dalam berucap. Apabila masyarakat demikian dapat terbangun, dapat

26 Syaifan Nur, “Kritik Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri,” Kanz Philosophia :

A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 3, no. 2 (2013): 137. 27 Jeffry R. Halverson, Theology and Creed in Sunni Islam: The Muslim Brotherhood,

Ash’Arism and Political Sunnism (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 59–60. 28 Carool Kersten, Islam In Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values (New

York: Oxford University Press, 2015), 91–92. 29 Peter G. Riddell, “Breaking the Hamzah Fansuri Barrier: Other Literary Windows

into Sumatran Islam in the Late Sixteenth Century CE,” Indonesia and the Malay World 32,

no. 93 (2004): 125–140.

16

mewujudkan masyarakat yang sempurna. Untuk itu, langkah awalnya adalah

menghidupkan kembali semangat ajaran Wujudiah sebagaimana diajarkan para sufi,

termasuk Hamzah Fansûrî. Dengan demikian, ajaran tersebut tidak lagi mengalami

kecurigaan dan penolakan dalam masyarakat.

Filsafat Mullâ Sadrâ juga mengalami kendala serupa. Ajaran tersebut kurang

diterima karena selain penjelasannya yang rumit, juga dicurigai mengandung muatan

nilai yang asing bagi masyarakat Indonesia. Padahal, masyarakat yang telah memiliki

prinsip yang sangat kuat akan mampu menyerap kandungan analisis filosofis, daya

kritis, dan kemampuan sintesis yang dipraktikkan Mullâ Sadrâ dalam membangun

filsafatnya. Filsafat Mullâ Sadrâ awalnya juga ditentang oleh sebagian pemikir di

negerinya. Filsafat tersebut dicurigai telah merevolusi gagasan illuminasi oleh Syihab

al-Dîn al-Suhrawardî yang telah membuat masyarakat Persia bangga karena ajaran

itu memiliki akar tradisi yang mengakar hingga Zoroastrian30.

Namun demikian, penentangan atas filsafat Mullâ Sadrâ di negerinya tidak

berlangsung lama. Ajaran tersebut masih berkembang secara luas di sana hingga hari

ini. Sebaliknya, Wujudiah Hamzah Fansûrî mengalami kemunduran serius setelah

dikritik secara mendalam oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî. Sarjana dari India itu dalam

Ḥujjat al-Siddîq li Daf'i al-Zindîq (Hujjat) menuduh Hamzah Fansûrî mengajarkan

iktikad yang menyamakan Allah dengan makhluk. Tuduhan ini muncul dari

perbedaan paradigma dalam memaknai konsep tentang wujûd. Perspektif yang

berbeda dalam memaknai analogi-analogi yang digunakan dan penerimaan gagasan

beberapa sufi sebelumnya yang dianggap kontroversial menyebabkan Nûr al-Dîn al-

Ranîrî menuduh ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî itu sesat31.

Perbedaan pemahaman adalah pangkal penolakan atas ajaran Wujudiah

Hamzah Fansûrî. Para peneliti yang berusaha menggali nilai aksiologis tentang

Wujudiah Hamzah Fansûrî perlu bekerja keras untuk memperjelas ajaran tersebut

supaya tidak selalu dianggap kontroversial. Usaha yang mereka lakukan di antaranya

adalah memberikan ruang yang besar untuk mengklarifikasi bahwa Wujudiah

Hamzah Fansûrî itu tidak sesat32. Akibatnya, perlu ruang yang panjang untuk

mengurai ajaran tasawuf falsafi, barulah aksiologinya disampaikan33.

Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengklarifikasi ajaran Hamzah

Fansûrî. Itu dilakukan oleh para peneliti yang sangat mendalami pemikiran sufi

30 Allama Sir Muhammad Iqbal, Metafisika Persia…,131. 31 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Buku Panduan Pengkafiran: Evaluasi Kritis Tibyān

Fī Ma’rifat Al-Adyān Karya Nūr Al-Dīn Al-Ranīrī,” Jurnal Theologia 29, no. 1 (September

2, 2018): 75, http://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/2313. 32 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Termination OF Wahdatul Wujud In Islamic

Civilization In Aceh: Critical Analysis of Ithaf Ad-Dhaki, The Works of Ibrahim Kurani,”

ADDIN 11, no. 2 (August 1, 2017): 401,

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/3356. 33 Lihat misalnya penelitian yang dilakukan oleh Sayifan Nur, “Kritik Terhadap

Pemikiran Tasawuf Al-Raniri”, 137; Nasution, “Buku Panduan Pengkafiran: Evaluasi Kritis

Tibyān Fī Ma’rifat Al-Adyān Karya Nūr Al-Dīn Al-Ranīrī”, 59; Afif Anshori “Kontestasi

Tasawuf Sunnî dan Tasawuf Falsafî di Nusantara”, 309; Ismail Fahmi Arrauf Nasution,

“Humanisasi Pendidikan Islam Melalui Antropologi Transendental Hamzah Fansûrî,”

Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam (2017), 235.

17

Melayu itu. Mereka juga memiliki bekal ilmu bahasa, filsafat, tasawuf, dan

sebagainya. Namun, tetap saja Wujudiah Hamzah Fansûrî asing bagi masyarakat.

Padahal, Wujudiah adalah ajaran yang pernah berjaya di Kepulauan Indonesia34.

Hal ini berbeda dengan yang dialami filsafat Mullâ Sadrâ. Meski sempat

ditentang, itu hanya terjadi sementara. Selanjutnya ajaran Mullâ Sadrâ masih

diapresiasi di tanah kelahirannya dan bahkan tersebar di berbagai kawasan.

Perdebatan keilmuan dalam filsafat Mullâ Sadrâ tidak mengalami klaim pengafiran

sebagaimana dialami Wujudiah Hamzah Fansûrî. Filsafat Mullâ Sadrâ dewasa ini

diperdebatkan antara penggolongannya sebagai tasawuf falsafi dan filsafat. Pengkaji

yang menggolongkan pemikiran Mullâ Sadrâ sebagai ajaran tasawuf, seperti Hasan

Mu’allimî, Hasan Zâdeh Amûlî (1928 M), dan Sayyid Yadullah Yazdan Panah35.

Sementara yang memaknainya sebagai filsafat, seperti Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i

(1904–1981 M) dan Muhammad Taqî Misbah Yazdî (1935–2021 M).

Indonesia sebagai negara yang telah memiliki tradisi keagamaan yang kuat

perlu mengambil semangat dari pemikiran Mullâ Sadrâ tanpa kehilangan

identitasnya. Elemen penting yang dapat diambil dari semangat filsafat Mullâ Sadrâ,

antara lain, adalah daya kritis atas khazanah intelektual sebelumnya, kemampuan

sintesis berbagai varian intelektual yang luas, pembangunan argumentasi yang solid

dalam melahirkan pernyataan, dan kemampuan membangun identitas keilmuan

mandiri yang sesuai dengan tradisi intelektual, keagamaan, dan budaya Nusantara.

Dari para pengkaji dan pelanjut gagasan Mullâ Sadrâ di tanah kelahirannya, perlu

diambil sikap apresiatif terhadap gagasan pemikiran bangsa sendiri, khususnya

tentang cara mengapresiasi warisan pemikiran Hamzah Fansûrî dan pengikut

Wujudiah lainnya.

Dari Wujudiah Hamzah Fansûrî sangat banyak kandungannya yang dapat

menawarkan nilai aksiologis yang dapat dijadikan acuan nilai dalam mengatasi

berbagai problematika kontemporer, seperti basis intelektuai Islam Nusantara, basis

nilai pendidikan, dan sebagainya. Ajaran ini juga pernah menjadi tawaran dalam

menyelesaikan berbagai persoalan di Nusantara pada masa sebelumnya karena

memang sangat sesuai bagi tradisi keberagamaan dan kebudayaan masyarakat. Di

Kepulauan Indonesia, ajaran Wujudiah diketahui, antara lain, berasal dari karya

seorang 'arif dari India, Muhammad Fahl Allah al-Buhanpurî (m. 120 M) berjudul

Tuhfah al-Mursalah ila al-Ruh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam (Tuhfah)36. Karya

itu disebarkan oleh Mufti Besar Kesultanan Aceh Darussalam, Syaikh Syams al-Dîn

al-Sumatranî37 (m. 1630 M). Tetapi sebelumnya, Syaikh Siti Jenar dan Hamzah

34 Al-Attas,Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu

(Bandung: Mizan, 1990), 38. 35 Shainuddin Ali ibn Muhammad Al-Turkah, Sayyid Yadullah Yazdan Panah, dan

Hasan Mu’allimi adalah para filosof Sadrian yang berpandangan bahwa filsafat Mulla Sadra

itu identik atau setidaknya integral dengan Wahdah alWujud. Lihat, Jabir, Muhammad Nur,

Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ. (Makassar: Chamran Press),

2012, 17–18. 36 Arifin, Miftah “Tuhfah Al-Mursalah: Studi Terhadap Pemikiran Martabat Tujuh Al-

Burhanpury,” AL-’Adalah 7, no. 2 (2004): 41–52. 37 Nur, “Kritik Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri.”, 137

18

Fansûrî telah mengajarkan ajaran tersebut. Tasawuf bercorak Wujudiah bahkan telah

berkembang sejak Kesultanan Peureulak38 dan Samudra Pasai39.

Meskipun tasawuf Wujudiah dinisbahkan kepada nama besar Ibn 'Arabî, tetapi

mazhab itu telah berkembang melalui sufi yang hidup jauh sebelum sufi dari Murcia

itu40. Sufyân al-Tsaurî (715–778 M), Syaikh Junayd al-Baghdadî (830–910 M), Abû

Mansûr al-Hallaj, dan Khâjâ ‘Abd Allah al-Anshârî (1006–1088 M) adalah sebagian

dari nama sufi41 yang telah mengajarkan tasawuf yang bercorak filosofis itu.

Demikian juga di Indonesia, tasawuf filosofis telah diajarkan oleh sufi sebelum

Syams al-Dîn al-Sumatranî, seperti Syaikh Siti Jenar dan Hamzah Fansûrî. Ciri ajaran

mazhab ini telah tersebar di Kepulauan Indonesia sejak jauh sebelum Kerajaan Aceh

Darussalam42. Bahkan, ajaran tasawuf filosofis kemungkinan menjadi pendekatan

pertama masuknya Islam ke Indonesia43.

Teologi (kâlâm), filsafat, dan tasawuf filosofis memiliki basis epistemologi

yang berbeda44. Basis epistemologi teologi adalah wahyu45. Al-Qur’an dan hadis

adalah fondasi utama bagi kâlâm. Filsafat memiliki basis utama berupa epistemologi

rasional. Akurasi logika dan silogisme adalah fondasi bagi filsafat46. Basis utama

epistemologi tasawuf filosofis adalah pengalaman langsung (hudhūrî atau

pengetahuan presentasi)47 yang hadir dengan dianalogikan seperti kilatan cahaya48.

Kalaupun kâlâm terkadang menggunakan logika dan hudhûrî, tetapi itu hanya

digunakan sejauh integratif dengan basis epistemologinya, yaitu wahyu. Demikian

juga filsafat terkadang menggunakan wahyu dan pengetahuan presentasi sebagai

bagian argumentasinya, tetapi dimaknai dalam bentuknya yang relevan dengan basis

epistemologinya, yaitu rasio. Tasawuf filosofis juga menggunakan wahyu dan rasio,

tetapi itu ditafsirkan secara eksoteris sehingga integral dengan pengetahuan

presentasi. Sementara ajaran Mullâ Sadrâ sendiri tidak bisa serta-merta digolongkan

sebagai ajaran tasawuf karena gagasan-gagasan yang dibangun menggunakan kaidah

38 Nasution, Ismail Fahmi Arrauf, dan Miswari, “Rekonstruksi Identitas Konflik

Kesultanan Peureulak,” Paramita 27, No. 2 (2017): 168–181. 39 Hasjmy, Ali, Nusantara, Syi’ah Dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh Dan

Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam Di Kepulauan (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), 1-2. 40 Corbin, Henry, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi (Princeton: Princeton

Legacy Library, 2014), 39-40. 41 Urafâ adalah sebutan bagi kaum sufi aliran tasawuf falsafi atau disebut Wujudiah

dalam istilah Melayu. 42 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, dan Miswari,, “Rekonstruksi Identitas Konflik”…,

168–181. 43 Kersten Amstrong, A History of Islam In Indonesia, 41. 44 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Mencerna Akar Filsafat Dalam Islam,” Ulumuna

17, no. 1 (November 8, 2017): 1–18, http://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/236. 45 Harun Nusution, Teologi Islam (Jakarta: UIP, 2006), 99. 46 Abdul Hadi Fadli, Logika Praktis (Jakarta: Sadra Press, 2016), 3. 47 Mehdi Haeri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy:

Knowledge by Presence (New York: State University of New York Press, 1992), 14. 48 Benny Susilo, “Teori Gradasi : Komparasi Antara Ibn Sînâ, Suhrawardi dan Mulla

Sadra,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 5, no. 2

(December 29, 2015): 159,

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/139.

19

penalaran filsafat. Ajaran itu merupakan sebuah revolusi penting dalam filsafat

karena Mullâ Sadrâ mengakui landasan pengetahuan yang dia bangun adalah

berdasarkan ilmu hudhūrî yang mana sistem itu biasanya digunakan dalam tasawuf

filosofis. Pertanyaan pentingnya adalah, bahkan antar pemikir dalam varian

pemikiran yang sama, banyak yang memiliki landasan paham ontologi yang berbeda.

Namun, meski berasal dari varian pemikiran yang berbeda, yakni Hamzah Fansûrî

merupakan sufi Wujudiah, sementara Mullâ Sadrâ merupakan seorang filosof,

mengapa keduanya memiliki keidentikan dalam dasar ontologi masing-masing, yakni

menerima wujûd sebagai univokal dan menjadi dasar realitas.

Ajaran tasawuf filosofis tertentu oleh sebagian pemikir dianggap sebagai

ajaran yang sesat dan menyesatkan49. Klaim tersebut, antara lain, muncul akibat

kesalahpahaman dalam memaknai pendekatan epistemologis yang digunakan

seorang pengajar Wujudiah50. Padahal, ajaran-ajaran mereka sangat berguna dan

dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan banyak masalah kontemporer di

Indonesia51. Karya Wujudiah di Indonesia yang oleh sebagian sarjana telah mampu

ditawarkan sebagai alternatif tetap saja kurang menarik perhatian publik akibat

stigma mendasar terhadap tasawuf filosofis. Karena pandangan demikian, sebagian

peneliti telah mencoba menawarkan ajaran Wujudiah, seperti dari pemikiran Hamzah

Fansûrî untuk diambil nilai aksiologisnya dalam rangka menawarkan alternatif bagi

berbagai persoalan kontemporer52. Pengkajian terus-menerus terhadap ajaran

Wujudiah sangat penting untuk menghadirkan nilai aksiologis bagi masyarakat.

Namun sayangnya karena sifat spekulatif ajaran tersebut membuatnya sangat jarang

mendapatkan perhatian sebagai bagian atau alternatif rujukan untuk menyelesaikan

problem-problem kontemporer yang dihadapi masyarakat Indonesia dan dunia.

Peneliti sangat yakin bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Wujudiah dapat

menjadi solusi untuk mengatasi problematika kontemporer.

Demikian juga filsafat Mullâ Sadrâ meskipun lahir dari tradisi yang berbeda

dengan masyarakat Indonesia, nilai-nilai positifnya dapat diambil oleh tradisi ilmiah

kita untuk memperkaya perspektif ilmu pengetahuan. Dari apresiasi masyarakatnya

atas tradisi filsafat mereka, kita juga dapat belajar tentang bagaimana menghargai dan

menghidupkan kembali warisan tradisi ilmu pengetahuan kita, seperti kekayaan

ajaran Hamzah Fansûrî.

Wujudiah selalu menjadi objek kajian yang menarik karena misteri ajarannya

hingga hari ini belum tuntas. Ajaran ini juga masih menjadi minat besar para peneliti

karena dapat dianalisis melalui berbagai perspektif. Syaikh Abd Jalîl dan Maharaja

Bakoy disebutkan sebagai tokoh awal Indonesia yang menyebarkan ajaran Wujudiah

v 50 Miswari, “Filosofi Komunikasi Spiritualitas: Huruf Sebagai Simbol Ontologi Dalam

Mistisme Ibn ’Arabî,” Al-Hikmah 9, no. 14 (2017): 12–30. 51 Nasution, “Humanisasi Pendidikan Islam Melalui Antropologi Transendental

Hamzah Fansûrî.”…, 235. 52 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Termination of Wahdatul Wujud In Islamic

Civilization In Aceh: Critical Analysis of Ithaf Ad-Dhaki, The Works of Ibrahim Kurani,”

ADDIN 11, no. 2 (August 1, 2017): 401,

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/3356.

20

pada masa Kesultanan Samudra Pasai53. Di Pulau Jawa, Syaikh Siti Jenar dianggap

sebagai penyebar Wujudiah. Meskipun prinsip-prinsip ajarannya telah eksis sejak

lama, ajaran Wujudiah baru dirumuskan secara sistematis oleh Ibn 'Arabî. Ajaran

tersebut memengaruhi banyak sufi setelahnya, termasuk ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (1365–

1424 M) dan Fadh Allah al-Burhânpûrî. Ajaran Martabat Tujuh Fadh Allah al-

Burhânpûrî diajarkan dan disebarkan di Indonesia.

Dalam Wujudiah, tidak ada keberagaman. Selain wujûd hanya ada bayangan

yang sifatnya wahmî. Oleh para pengikutnya, Wujudiah diterima sebagai

kesempurnaan tauhid: memurnikan Allah dari segala sesuatu apa pun, hanya

menerima satu wujûd yang tunggal. Namun oleh sebagian mutakallimîn, Wujudiah

dianggap sebagai kesesatan. Alasannya karena mereka mengira Wujudiah adalah

ajaran yang beriktikad bahwa makhluk-makhluk di alam juga diakui sebagai Tuhan.

Padahal, dengan tegas Wujudiah hanya menerima satu wujûd yang dinisbahkan

kepada Haqq Ta’ala. Sementara selain itu hanyalah bayangan54.

Sementara itu, oleh sebagian sufi akhlak, Wujudiah dianggap tidak memiliki

argumentasi yang baik. Premis-premis untuk menjustifikasi Wujudiah dianggap

kurang sempurna. Sebagian orientalis pengkaji tasawuf, seperti W. T. Stace juga

mengatakan bahwa ajaran Wujudiah itu paradoks dan berseberangan dengan prinsip-

prinsip logika. Oleh sebab itulah, Wujudiah perlu terus-menerus diteliti, perlu juga

dibantu oleh ilmu lainnya untuk memperjelas ajarannya55. Hari ini setiap bidang ilmu

memang telah diakui tidak dapat menyelesaikannya dengan benar-benar tuntas. Hari

ini telah dimaklumi satu bidang ilmu perlu dipakai untuk membantu ilmu-ilmu

lainnya, atau membantu justifikasi56. Sebab itulah, kajian miltidisipliner menjadi

perhatian serius para peneliti dan pemikir.

Wujudiah memang merupakan suatu disiplin keilmuan khas tasawuf falsafi

(‘irfân). Seharusnya keilmuan yang terdekat dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf

akhlak atau tasawuf amal. Namun sayangnya, keilmuan itu sering berseberangan dan

sering menentang Wujudiah serta iktikad-iktikad lainnya dari tasawuf falsafi karena

memang prinsipnya sangat berseberangan. Tasawuf akhlak atau tasawuf amal

mengusung prinsip prinsip wujûd sebagai ekuivokal. Sementara Wujudiah

mengusung prinsip wujûd sebagai univokal. Prinsip pandang wujûd ini memang

menjadi landasan begitu berseberangannya Wujudiah dengan tasawuf akhlak atau

tasawuf amal. Demikian juga filsafat Mullâ Sadrâ mengusung prinsip wujûd sebagai

univokal. Secara umum filsafat Mullâ Sadrâ digolongkan sebagai bagian dari ajaran

filsafat. Namun, tidak sedikit pemikir yang menggolongkannya sebagai varian

tasawuf filosofis karena keidentikan prinsip ontologinya dengan Wujudiah. Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ mengakui bahwa wujûd itu adalah sebuah kata yang hanya

53 Ali Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansûrî…, 1. 54 Nasution, “Termination of Wahdah al-Wujûd In Islamic Civilization In Aceh:

Critical Analysis of Ithaf Ad-Dhaki, The Works of Ibrahim Kurani.”, 401. 55 Walter Terence Stace, Mysticism and Philosophy (L.A.: Jeremy P. Tracher, 1980),

252–253. 56 M. Amin Abdullah, “Religion, Science, and Culture: An Integrated, Interconnected

Paradigm of Science,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 52, no. 1 (April 8, 2015): 175,

http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/30.

21

memiliki acuan tunggal. Keidentikan ini membuat kajian Wujudiah dan filsafat Mullâ

Sadrâ memiliki keunikan untuk sebuah pembingkaian sebagai bagian dari syarat

dilakukan kajian perbandingan.

Adapun ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî menjadi sangat berbeda secara

prinsipiel dengan al-Hikmah al-Masyâ'iyyah meskipun mengakui wujûd sebagai

dasar realitas eksternal. Akan tetapi, aliran filsafat yang dinisbahkan kepada nama

besar Ibn Sînâ ini membedakan antar-wujûd pada setiap mâhiyah. Maka dari itu,

setiap wujûd yang berbeda itu sebenarnya adalah wujûd yang bercampur dengan

mâhiyah57. Sementara al-Hikmah al-Isyrâqiyyah sebagaimana pernyataan

pendirinya, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, menerima bahwa hanya Allah satu-satunya

Wujûd Mutlak. Akan tetapi dalam merumuskan filsafatnya, Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî menjadikan mâhiyah sebagai dasar realitas eksternal, sementara wujûd

hanya menjadi konsep sekunder yang dapat menjadi tambahan bagi semua konsep

mâhiyah. Pandangan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî tentunya bertentangan dengan

mutlak Wujudiah karena yang diterima Wujudiah adalah wujûd yang mendasar dan

tunggal, bukan kemendasaran mâhiyâh sebagaimana pandangan al-Hikmah al-

Isyrâqiyyah58. Wujudiah juga berbeda jauh dengan al-Hikmah al-Masyâ'iyyah karena

al-Hikmah al-Masyâ'iyyah berpendapat wujûd itu majemuk pada realitas eksternal.

Dan tentu berbeda dengan Wujudiah yang memandang wujûd itu tunggal. Maka dari

itu, yang secara umum memiliki kedekatan dengan Wujudiah filsafat Mullâ Sadrâ59.

Menjadi menarik menganalisis pemikiran Hamzah Fansûrî juga setidaknya

karena dua alasan. Pertama, karena dewasa ini perlu menemukan berbagai perspektif

dalam mengenal Tuhan. Pengenalan Allah melalui Wujudiah dapat membuat kaum

muslim lebih toleran. Hal ini dapat dipahami karena Wujudiah menggunakan

pendekatan objektif dalam rangka memperkenalkan Allah kepada umat Islam.

Pendekatan demikian menghindarkan dari persaingan antar aliran untuk dan tidak

menyudutkan aliran tertentu. Apabila pandangan metafisika Hamzah Fansûrî dapat

dihidupkan kembali, akan terbuka kemungkinan pemikiran Hamzah Fansûrî dapat

diterima sebagai alternatif bagi umat manusia, khususnya umat Islam dalam

mengenal Allah. Penulis optimis pengenalan Tuhan melalui tasawuf falsafi tidak

mengusung prinsip superioritas bagi aliran dan agama tertentu dalam mengenal

Tuhan. Oleh karena itu, mengenal Tuhan dalam pandangan demikian tidak akan

memunculkan egoisme bagi aliran tertentu. Cara tersebut dapat memberikan

harmonisasi antarumat beragama. Inilah yang dibutuhkan umat Islam dan semua

masyarakat Indonesia yang majemuk60.

Kedua, sekalipun kaum intelektual Nusantara, seperti Nûr al-Dîn al-Ranîrî,

Abd al-Rauf al-Sinkilî (1615–1693 m), dan ‘Abd al-Samad a-Falimbanî (1704–1789

57 Hanafi, Filsafat Islam, 126. 58 Muslih, “Kesadaran Intuitif Plus Cahaya Ilahiyah: Husserl Di Muka Cermin

Suhrawardi.” 59 Mohammed Rustom, “Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on

Existence, Intellect, and Intuition,” Iranian Studies 45, no. 3 (May 2012): 457–461,

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00210862.2012.655066. 60 Mawardi, “Reaktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Kemajemukan

Sosial,” Substantia 17, no. April (2015): 55–66.

22

M) membuka ruang permisif pada taraf tertentu kepada sufi Wujudiah, seperti Ibn

'Arabî, ‘Abd al-Karim Al-Jîlî, dan Fadhl Allah al-Burhânpûrî61, ruang itu tidak ada

untuk Hamzah Fansûrî. Padahal, para cendikiawan sepakat bahwa varian pemikiran

Hamzah Fansûrî termasuk dalam Wujudiah sebagaimana dianut oleh Ibn 'Arabi, ‘Abd

al-Karim Al-Jîlî, dan Fadhl Allah al-Burhânpûrî62. Oleh karena itu, terdapat

kemungkinan bahwa terkandung sebuah misteri dalam ajaran Hamzah Fansûrî

sehingga tidak diberi sedikit pun ruang permisif sebagaimana penganut Wujudiah

lainnya. Padahal, bila dapat diobjektifkan, pemikiran Hamzah Fansûrî dapat

ditawarkan sebagai alternatif untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer yang

dihadapi masyarakat Indonesia63.

Di samping ‘Abd al-Samad a-Falimbanî yang tidak merekomendasikan karya

Hamzah Fansûrî, tetapi merekomendasikan karya Ibn Arabî64, juga mengingat di

dalam Hujjat, Nûr al-Dîn al-Ranîrî memasukkan Ibn 'Arabî sebagai pengikut

Wujudiah. Disebutnya, Wujûdiyah muwahidah, yang artinya pengikut Wujudiah

yang benar, tidak sesat dan di dalam Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan (Tibyan)’

menghujat Hamzah Fansûrî dan mengeklaim ajarannya sebagai Wujudiah mulhid

(sesat). Maka dari itu, dapat diasumsikan terdapat perbedaan antara pemikiran

Hamzah Fansûrî dan Ibn 'Arabî. Pemikiran Hamzah Fansûrî menjadi makin misterius

mengingat para cendekiawan kontemporer, seperti Drewes65, Naquib Al-Attas66, dan

Abdul Hadi WM67 memberikan pandangan positif terhadap pemikiran Hamzah

Fansûrî.

Pada sisi lain, pemikiran Mullâ Sadrâ menjadi menarik untuk dianalisis

setidaknya juga karena dua alasan. Pertama, ajaran tersebut tampak sangat netral dan

hanya berorientasi filofis ilmiah sehingga berpeluang tidak mengusung pretensi lain

selain daya filosofisnya sehingga layak dikaji untuk ditemukan kandungan positif

dalam ajaran filsafatnya. Kedua, ajaran tersebut merupakan kajian ketuhanan yang

bercorak sangat filosofis sehingga dapat menunjukkan perspektif kosmologis yang

berbeda dengan tradisi di Nusantara sehingga dapat menawarkan wawasan baru

dalam memahami bagaimana perspektif ketuhanan filosofis dipahami dalam tradisi

yang berbeda.

61 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2013), 232-233. 62 Riddell, “Breaking the Hamzah Fansuri Barrier: Other Literary Windows into

Sumatran Islam in the Late Sixteenth Century CE”, 125-140; Zulkarnain Yani, “Analisis

Tematik Terhadap Syair Burung Pingai Karya Hamzah Fansuri,” Penamas Balai Litbang

Agama Jakarta XXII, no. Tema-Tema Sufistik (2009): 20. 63 Miswari, “Mu‘ḍilat Al-Aqlīyah Al-Masīḥīyah Fī Ḥudūd Balad Al-Sharī‘ah Al-

Islāmīyah,” Studia Islamika (August 2018), 351. 64 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII & XVIII…, 316. 65 Drewes, G.W.J., dan Brakel, L.F., The Poems of Ḥamzah Fansûrî (Dordetch: Forish

Publication Holland, 1986),1-3 . 66 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nûr

Al-Dîn Al-Ranirî (Kuala Lumpu: Kuala Lumpu, 1986), 1-7. 67 Abdul Hadi W.M , Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya

Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001), 243.

23

Keidentikan landasan ontologis antara Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ dapat

dilacak pada pertemuannya dalam penyerapan yang mendalam atas skema filsafat

Neoplatonisme. Dalam Wujudiah sendiri, Neoplatonisme memang telah menjadi

skema dasar paradigma pemikirannya. Sistem-sistem hubungan ketunggalan dan

kemajemukan dalam Wujudiah, baik tajallî yang dirumuskan Ibn ‘Arabî maupun

ta’ayyûn yang dirumuskan Hamzah Fansûrî tidak dapat dipisahkan dari skema

emanasi dalam Neoplatonisme. Keidentikan ontologi Wujudiah Hamzah Fansûrî dan

filsafat Mullâ Sadrâ dapat saja dikatakan bermuara pada Ibn ‘Arabî. Keidentikan

pemikiran ajaran Hamzah Fansûrî dengan Ibn ‘Arabî mudah saja dipahami karena

Hamzah Fansûrî dengan setia mengikuti prinsip wahdat al-wujûd Ibn ‘Arabî.

Sementara Mullâ Sadrâ sendiri meskipun sebagai pemikir filsafat juga sangat banyak

menyerap pemikiran Ibn ‘Arabî. Meskipun demikian, Hamzah Fansûrî sendiri tidak

mudah diterima dibandingkan Ibn ‘Arabî. Sementara Mullâ Sadrâ sebagai seorang

filsuf masih sangat setia dengan prinsip penyusunan argumentasi dalam sistem

filsafat. Hal inilah yang membuat kajian perbandingan antara Wujudiah Hamzah

Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ menjadi menarik untuk dianalisis.

Kajian perbandingan menjadi lebih unik bila antar ajaran yang dianalisis

memiliki hubungan secara prinsipiel sekaligus memiliki perbedaan pada aspek-aspek

lainnya. Keunikan komparasi Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ

karena secara prinsipiel keduanya menerima satu wujûd sebagai dasar realitas.

Sementara wujûd lainnya dalam kesatuan wujûd disebut sebagai wujûd yang

bergantung secara mutlak (mustaqil) pada wujûd yang satu dan mendasari realitas.

Sebagian pengikut Mullâ Sadrâ berpandangan bahwa gradasi (taskîk) wujûd dalam

filsafat Mullâ Sadrâ adalah tahapan untuk mengakomodir Wujudiah. Meskipun

sebagian pengikut Mullâ Sadrâ lainnya berpendapat bahwa inti filsafat Mullâ Sadrâ

adalah tâskîk al-wujûd, tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat beberapa pernyataan

Mullâ Sadrâ yang dengan tegas menyatakan bahwa Wujûd Mutlak itu tunggal.

Namun, konsep Mullâ Sadrâ tentang basith basit al-haqîqah (hakikat sederhana) dan

imkan fakr (kefakiran akibat) adalah segala sesuatu makin mengarahkan pada

kedekatannya dengan Wujudiah68.

Di samping itu, masyarakat Melayu dan masyarakat Persia sama-sama

memiliki kecenderungan pada mistisme. Bedanya, masyarakat Persia juga gemar

dengan diskursus filsafat Aristotelian. Sementara tidak ditemukan catatan

perkembangan diskursus filsafat Aristotelian dalam masyarakat Melayu-Nusantara,

kecuali filsafat bercorak Neoplatonisme yang dielaborasi dalam ajaran mistisme

tasawuf Wujudiah69. Dengan demikian, antara Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat

Mullâ Sadrâ dapat ditemukan beberapa persamaan yang dapat membingkai kedua

pemikir besar itu. Pertama, mereka melakukan usaha sintesis ajaran-ajaran

sebelumnya. Bila Mullâ Sadrâ melakukan sintesis untuk mengintegrasikan hampir

semua khazanah pemikiran sebelumnya, Hamzah Fansûrî hanya berfokus pada

pengintegrasian mazhab pemikiran tasawuf Wujudiah sebelum dirinya. Kedua,

mereka menyadari konteks tradisi keilmuan dan budaya masing-masing sehingga

68 Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mulla Sadra…, 85. 69 Humaidi, “Mystical-Metaphysics: The Type of Islamic Philosophy in Nusantara in

the 17th-18th Century,” 90.

24

melakukan cara yang berbeda dalam menyampaikan ajaran asing-masing. Pada satu

pihak, Mullâ Sadrâ memilih cara yang rumit dan panjang lebar dalam menjelaskan

metafisikanya karena memungkinkan untuk konteks keilmuan dan budayanya.

Sementara Hamzah Fansûrî memilih menggunakan bahasa puitis dan analogi

sederhana untuk menjelaskan ajarannya karena menyesuaikan dengan konteks

masyarakat Melayu pada masa itu.

Ketiga, persamaan yang sangat penting untuk membingkai Wujudiah

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ adalah keduanya mendiskursuskan tema esensial

dalam diskursus pemikiran Islam, yakni mengenai konsep Ilahiah secara filosofis.

Mereka juga sama-sama menerima kemendasaran wujûd yang mana diskursus wujûd

merupakan persoalan penting dalam metafisika. Antara lain, pembingkaian ini yang

membuat analisis ajaran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ menjadi urgen dan

signifikan. Dari dua pemikir ini tentu mengandung sangat banyak kandungan sarat

nilai aksiologis guna menjadi basis filosofis sebagai tawaran penyelesaian berbagai

persoalan kontemporer. Semangat spiritual Hamzah Fansûrî dapat ditawarkan

sebagai basis solusi problem spiritualitas. Semangat intelektualitas Mullâ Sadrâ dapat

ditawarkan menjadi solusi mengatasi krisis intelektual dan penawaran langkah tepat

dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Dengan berbagai persinggungan antara filsafat Mullâ Sadrâ dan Wujudiah

maka dalam penelitian ini perlu dianalisis secara khusus tentang komparasi filsafat

Mullâ Sadrâ dan penganut Wujudiah, yakni Mullâ Sadrâ. Pembahasan berikutnya,

yakni tentang komparasi dua tokoh pemikir ini menjadi bagian penting bagi

penelitian ini.

Penelitian ini memilih pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ untuk

dianalisis secara komparatif. Di samping beberapa kemiripan antara keduanya, alasan

lainnya memilih Hamzah Fansûrî, antara lain, juga karena ditemukan banyak nilai

yang dapat ditawarkan untuk mengatasi problematika kontemporer70. Hanya saja,

ajaran Hamzah Fansûrî dikemas dalam sistem analogi sehingga membutuhkan sebuah

deskripsi yang lebih naratif untuk menjabarkan ajaran metafisika spekulatif yang

terkandung di dalam karya-karyanya71. Penulis melakukan kajian perbandingan

pemikiran Hamzah Fansûrî dengan ajaran Mullâ Sadrâ karena dua ajaran tersebut

berasal dari tradisi yang berbeda. Kajian perbandingan tentunya bukan untuk

menemukan kekurangan masing-masing, namun untuk menemukan persamaan dan

perbedaan dari tiap-tiap ajaran filosofis dari dua tradisi yang berbeda. Antara lain,

guna memberikan apresiasi yang lebih patut bagi ajaran penting dari tradisi

intelektualitas Indonesia.

70 Misalnya menjadi fondasi humanisasi pendidikan Islam, menjadi landasan ontologis

kajian Islam Nusantara, menjadi landasan aksiologis, lihat, Nasution, “Humanisasi

Pendidikan Islam Melalui Antropologi Transendental Hamzah Fansûrî”, 235; Kamaruzzaman

Bustamam-Ahmad, Kontribusi Charles Taylor, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dan Henry

Corbin Dalam Studi Metafisika & Meta Teori Terhadap Islam Nusantara Di Indonesia

(Banda Aceh: Bandar Publishing, 2017), 204; Ramli Cibro, Aksiologi Ma’rifat Hamzah

Fansuri (Banda Aceh: Pade Books, 2017), 137. 71 Zakaria, “Dakwah Sufistik Hamzah Fansuri: Kajian Substantif Terhadap Syair

Perahu,” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 1 (2013): 105–125.

25

Diharapkan juga agar ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî dapat disertakan dalam

berdiskusi secara seimbang dalam diskursus pemikiran Islam. Semangat ini, antara

lain, dapat dibangun melalui semangat ajaran Mullâ Sadrâ yang oleh pendukungnya

dianggap telah mampu menyintesis banyak aliran pemikiran Islam, dari kâlâm,

tasawuf, hingga aliran-aliran filsafat sebelumnya, khususnya Peripatetik Islam (al-

Hikmah al-Masya'iyyah)72 dan Illuminasionisme Islam (al-Hikmah al-Isyraqiyyah)73.

Singkatnya, Mullâ Sadrâ telah mampu menganalisis hampir semua aliran pemikiran

Islam dalam sebuah aliran filsafat baru yang dinamakan al-Hikmah al-Muta'alliyah74.

Melalui semangat Mullâ Sadrâ ini, setidaknya dapat memberikan sebuah gambaran

untuk mengharmoniskan berbagai tradisi pemikiran Islam yang berkembang di

Indonesia, termasuk mengharmoniskan ajaran perdebatan ajaran kâlâm dan Wujudiah

Hamzah Fansûrî.

Hamzah Fansûrî telah menulis banyak karya, di antaranya berbentuk syair dan

prosa. Syair-syairnya telah dikumpulkan dan dianalisis oleh berbagai sarjana. Paling

kurang terdapat tiga puluh syair yang ditulis dalam bentuk ruba'i. Sementara karya

prosanya berjumlah tiga judul, yaitu Asrâr al-‘Arifîn (Asrâr), Syarâb al-Asyîqîn

(Syarâb) dan al-Muntahî75. Asrâr adalah penjelasan Hamzah Fansûrî sendiri terhadap

syair ruba'i-nya. Di samping itu, Syams al-Dîn al-Sumatranî juga telah menganalisis

ruba'i Hamzah Fansûrî dan telah diterbitkan di Malaysia dan diberi transliterasi oleh

Ali Hasjmy76. Sementara Mullâ Sadrâ telah menulis sekitar empat puluh judul karya.

Di antaranya adalah al-Hikmah al-Muta'alliyah fi al-Asfar ‘Aqliyah Arba’ah yang

biasa disingkat dengan Asfar.

Tiap-tiap pemikiran antara Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ menjadi

minat bagi sebagian peneliti filsafat dan tasawuf. Pada periode klasik, Shams al-Dîn

al-Sumatranî telah meneliti dan mensyarah syair Ruba’i Hamzah Fansûrî dengan

penjelasan yang bersifat esensial, yakni fokus untuk menerangkan secara ringkas dan

padat setiap baris Ruba’i77. Sementara itu, pemikiran Mullâ Sadrâ telah diteliti dan

diringkas gagasan-gagasan utamanya dalam bahasa yang amat puitis oleh Mullâ Hâdî

Sabzawârî (1797–1873).

72 A. Khudori Soleh, “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam,” TSAQAFAH

10, no. 1 (May 31, 2014): 63,

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/64. 73 Kerwanto, “Manusia Dan Kesempurnaannya (Telaah Psikologi Transendental Mullā

Shadrā),” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 5, no. 2

(December 20, 2015): 133,

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/136. 74 Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, Knowledge in Later Islamic

Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University

Press, 2010), 12,

http://www.oxfordscholarship.com/view/10.1093/acprof:oso/9780199735242.001.0001/acpr

of-9780199735242. 75 Asrâr al-‘Arifîn selanjutnya disebut Asrâr, Syarâb al-Asyiqîn' selanjutnya disebut

Syarab, dan al-Musammâ bî al-Muntahî' selanjutnya disebut al-Muntahî'. 76 Ali Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansuri…, 1-3. 77 Ali Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansuri…,

26

Penelitian atas pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ menjadi sangat

berkembang sejak abad kedua puluh. Di antara penelitian penting dilakukan oleh

Johan Doorenbos, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Drewes dan Brakel, Vladimir

Braginsky, dan Abdul Hadi WM. Sebagai salah satu di antara perintis penelitian

modern atas pemikiran Hamzah Fansûrî, Johan Doorenbos telah memberikan

sumbangan besar bagi khazanah ilmu pengetahuan dalam menghidupkan kembali

pemikiran khasik dengan melakukan transliterasi atas prosa-prosa dan syair-syair

Hamzah Fansûrî78. Penelitian tersebut sangat membantu memudahkan peneliti

modern dalam memahami pemikiran Hamzah Fansûrî untuk tahap selanjutnya. Syed

Muhammad Naquib Al-Attas melanjutkan usaha Johan Doorenbos dengan fokus

pada gaya transliterasi yang lebih modern pada prosa-prosa Hamzah Fansûrî. Tidak

hanya itu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga melakukan analisis mendalam atas

pemikiran metafisika Hamzah Fansûrî berdasarkan istilah-istilah penting dari

pemikirannya79. Hasil penelitian Syed Muhammad Naquib Al-Attas telah

memudahkan peneliti selanjutnya dalam memahami pokok pemikiran metafisika

Hamzah Fansûrî. Di samping itu, pemikiran-pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-

Attas sendiri tentang keagamaan, kebudayaan, dan pendidikan sangat dipengaruhi

oleh pemikiran Hamzah Fansûrî.

Penelitian Drewes dan Brakel atas pemikiran Hamzah Fansûrî fokus pada

transliterasi atas puisi-puisinya yang terdapat di beberapa museum di Eropa, seperti

Inggris dan Belanda. Penelitian-penelitian selanjutnya dari Drewes dan Brakel terkait

dengan kajian agama di Asia Tenggara hampir tidak pernah melewatkan ulasan atas

pemikiran Hamzah Fansûrî. Sementara itu, Vladimir Braginsky meneliti tentang puisi

Hamzah Fansûrî khususnya “Syair Perahu”80 tentang Adapun Abdul Hadi WM juga

telah meneliti dan mentransliterasi syair-syair Hamzah Fansûrî dengan jumlah yang

sangat lengkap. Dalam karya ini juga disertakan terjemahan dari bahasa-bahasa

Melayu yang sulit, bahasa Arab dan bahasa Persia. Maka dari itu, makna syairnya

dapat dipahami dengan baik. Setidaknya ada sekitar tiga puluh dua syair yang telah

dihadirkan81.

Kajian atas pemikiran Hamzah Fansûrî beserta penjelasan atas penentangan

Nûr al-Dîn al-Ranîrî juga dibahas oleh peneliti yang kompeten, seperti Vladimir

Braginsky, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dan Drewes dan Brakel. Oleh sebab

itu, penelitian ini tidak akan berfokus pada diskursus dua pemikir Melayu tersebut,

kecuali pada aspek-asek yang terkait dengan fokus penelitian, yakni kajian

perbandingan ontologi antara Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat wujud Mullâ

Sadrâ.

78 Johan Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri (Leiden: Betteljee &

Terpstra, 1933), 5. 79 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala

Lumpur: University of Malaya Press, 1970), 13. 80 Vladimir Braginsky, “Some Remarks on the Structure of the ‘Sya’ir Perahu’by

Hamzah Fansuri,” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities

and Social Sciences of Southeast Asia 131, no. 4 (January 1, 1975): 407–426,

https://brill.com/abstract/journals/bki/131/4/article-p407_1.xml. 81 Abdul Hadi W.M,, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya

Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001), 315.

27

Sementara penelitian atas pemikiran Mullâ Sadrâ telah dilakukan oleh sangat

banyak pemikir. Tidak terhitung jumlahnya. Dalam meneliti pemikiran Mullâ Hâdî

Sabzawârî, Toshihiko Izutsu telah melakukan kajian yang mendalam atas metafisika

Mullâ Sadrâ. Fazlur Rahman juga telah menulis dengan baik pemikiran Mullâ Sadrâ

dengan membandingkannya dengan para pemikir terdahulu, terutama Ibn Sînâ, Ibn

‘Arabî dan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî82. Penelitian penting lainnya atas pemikiran

Mullâ Sadrâ dilakukan oleh Ibrahim Kalin yang meneliti tentang fakultas-fakultas

jiwa dalam pemikiran Mullâ Sadrâ 83.

Di Indonesia, setidaknya ada tiga penelitian penting atas pemikiran Mullâ

Sadrâ. Pertama dilakukan oleh Hasan Bakti Nasution di IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta di bawah bimbingan Mulyadhi Kartanegara dan Jalaluddin Rakhmat. Dalam

disertasi tersebut dikaji pembangunan filsafat Mullâ Sadrâ dengan menyintesis

berbagai varian pemikiran Islam sebelumnya84. Di Yogyakarta, Syaifan Nur telah

mengkaji filsafat wujûd Mullâ Sadrâ. Selanjutnya telah banyak artikel yang mengulas

pemikiran Mullâ Sadrâ. Khususnya jurnal Kanz Philosophia yang fokus pada artikel

filsafat Islam dan telah banyak memuat artikel tentang pemikiran Mullâ Sadrâ dalam

berbagai dimensi.

Kajian perbandingan filsafat yang sangat populer, antara lain, dilakukan oleh

Sir Muhammad Iqbal dalam penelitiannya tentang metafisika Persia. Dalam kajian

tersebut, dilakukan perbandingan antara Aristotelianisme dan Neoplatonisme,

monisme dan dualisme, materialisme, rasionalisme, dan sufisme yang memengaruhi

dan membentuk pemikiran metafisika di dunia Persia. Dalam kajiannya itu, Sir

Muhammad Iqbal hanya sedikit menyinggung pemikiran Mullâ Sadrâ85. Kajian

perbandingan pemikiran Mullâ Sadrâ dengan filsuf lainnya pernah dilakukan oleh

Arpaslan Achicgenk. Dia membandingkannya dengan Martin Heideggar. Namun,

penelitian tersebut menggunakan teori paralelisme sehingga hanya fokus pada

persamaan pemikiran dan pembangunan argumentasi antara wujûd Mullâ Sadrâ dan

Sein Martin Heideggar. Kajian perbandingan filsafat lainnya dilakukan oleh

Toshihiko Izutsu dalam menganalisis istilah kunci dalam filsafat Taoisme dan

sufisme Ibn ‘Arabi yang difokuskan pada karya Fusûs al-Hikâm. Dalam

penelitiannya itu, Toshihiko Izutsu menyadari perbedaan konteks kebudayaan antara

Taoisme dan sufisme. Karena itu, dia mengingatkan supaya konteks budaya sebagai

pembentuk pemikiran tiap-tiap filsufnya perlu diperhatikan. Penelitian ini berusaha

mengikuti peringatan tersebut sehingga kajian perbandingan Wujudiah Hamzah

Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ tidak mengabaikan konteks budaya dan

perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Melayu dan Persia. Penelitian ini

82 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi),

Knowledge Creation Diffusion Utilization (New Jersey: State University of New York Press,

1975), 15. 83 Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy, Knowledge in Later Islamic

Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University

Press, 2010), 15, 84 Hasan Bakti Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa

Filosofis Mulla Sadra” (IAIN Jakarta, 2001), 25. 85 Allama Sir Muhammad Iqbal, Metafisika Persia: Suatu Sumbangan Untuk Sejarah

Filsafat Islam…, 121.

28

menunjukkan konteks masing-masing sangat memengaruhi pembentukan gagasan

dan nasib selanjutnya dari pemikiran tokoh yang menjadi fokus pembahasan.

Sebagaimana diperingatkan M. Amin Abdullah dalam mengkaji pemikiran etika

antara Abû Hamid al-Ghazalî dan Immanuel Kant, kajian perbandingan bersyarat

pada terdapatnya persamaan, perbedaan, dan konsekuensi pemikiran dari tiap-tiap

tokoh yang dikaji.

Dari semua penelitian yang telah dieksplorasi di atas, belum ditemukan

penelitian tentang kajian perbandingan pemikiran Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ

Sadrâ. Namun dari berbagai penelitian itu, penulis sangat banyak mengambil sisi

pentingnya. Kajian tentang Hamzah Fansûrî oleh Shams al-Dîn al-Sumatranî sangat

membantu memahami syair-syair Hamzah Fansûrî yang sulit dipahami maknanya.

Demikian juga kajian dari Johan Doorenbos, Drewes dan Brakel, dan Abdul Hadi

WM sangat membantu memahami gagasan umum pemikiran Hamzah Fansûrî.

Kajian Abdul Hadi WM juga sangat membantu memahami konteks ajaran Hamzah

Fansûrî. Sementara kajian dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas membantu

pemahaman tentang istilah kunci dalam gagasan metafisika Hamzah Fansûrî. Fokus

penelitian untuk karya Asrâr juga mengandalkan transliterasi dari Syed Muhammad

Naquib Al-Attas.

Pola pembangunan pemikiran pemikiran dan istilah-istilah penting dalam

pemikiran Mullâ Sadrâ turut dibantu oleh penelitian Fazlur Rahman, Hasan Bakti

Nasution, dan Syaifan Nur. Namun, dua karya ini merupakan kajian pemikiran Mullâ

Sadrâ generasi awal di Indonesia sehingga mengandung beberapa kelemahan yang

perlu diperbaiki dalam memahami gagasan pentingnya. Kajian Toshihiko Izutsu atas

metafisika Mullâ Hâdî Sabzawârî sangat membantu dalam menjelaskan sistem

ontologi Mullâ Sadrâ. Demikiran juga, penelitian Ibrahim Kalin dapat membantu

menjelaskan manifestasi wujûd dalam berbagai fakultas jiwa menurut sistem

pemikiran Mullâ Sadrâ. Namun demikian, argumentasi untuk istilah-istilah penting

dalam ontologi Mullâ Sadrâ tetap diusahakan merujuk pada karyanya yakni Asfâr dan

Masya’ir.

Kajian perbandingan yang dilakukan Sir Muhammad Iqbal dalam filsafat

Islam hanya fokus pada pemikiran filosof sebelum Mullâ Sadrâ sehingga semangat

yang banyak diambil dalam penelitian ini hanyalah untuk memahami latar belakang

perkembangan metafisika di Persia. Penelitian ini mengikuti kajian perbandingan M.

Amin Abdullah yang menekankan pada pembingkaian persamaan mendasar dan

penemuan aspek persamaan pemikiran antara dua tokoh yang dikaji86. Dalam

penelitan kajian perbandingan pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ,

pembingkaian persamaannya adalah pemahaman dalam univokasi dan kemendasaran

wujûd dan berusaha menemukan perbedaan-perbedaan relevan terkait dengan fokus

penelitian. Penelitian ini juga mengikuti kajian perbandingan Toshihiko Izutsu yang

menekankan untuk tidak mengabaikan aspek budaya ilmu pengetahuan dan dimensi

86 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali Dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung:

Mizan, 2002), 44.

29

sosial dalam tiap-tiap konteks pemikiran dua tokoh yang pemikirannya

diperbandingkan87.

Kajian perbandingan Arpaslan Achicgenk menggunakan teori paralelisme.

Kajian perbandingan demikian berfokus pada penemuan dimensi persamaan yang

sangat sempit, yakni paralelitas antara wujûd dan Sein88. Sementara penelitian ini

meskipun fokus pada kajian perbandingan wujûd, berusaha menemukan latar

belakang munculnya dimensi kesamaan serta implikasi sosiologis dari tiap-tiap ajaran

dari Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ. Penelitian ini menggunakan konsep relasi

dalam ilmu logika untuk memudahkan memahami model persamaan antara relasi

ekuivalen, relasi umum-khusus mutlak, dan relasi umum-khusus satu sisi. Sementara

relasi nonekuivalen adalah termasuk dimensi perbedaan antara ajaran Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ.

Penelitian yang berfokus pada pemikiran Hamzah Fansûrî dikhususkan dalam

kajian atas karya Asrâr karena pandangan-pandangan Hamzah Fansûrî dalam karya

itu bersifat sangat filosofis dan sistematis. Itu berbeda dengan karya-karya lainnya

dalam bentuk puisi yang sangat sulit dipahami. Karya Asrâr dapat dikatakan deskripsi

yang sangat jelas atas pemikiran Hamzah Fansûrî. Dengan demikian, hasil dari

penelitian atas karya tersebut dapat menentukan posisi pemikiran metafisika Hamzah

Fansûrî. Asrâr merupakan penjelasan Hamzah Fansûrî tentang Allah yang

disampaikan dengan cara yang unik. Analogi-analogi yang digunakan sangat

menarik. Asrâr mengandung sangat banyak kata yang dijadikan analogi yang

semuanya bertujuan untuk menjelaskan tentang bagaimana Allah tentang relasinya

dengan makhluk dalam pandangan Hamzah Fansûrî sendiri. Asrâr merupakan karya

Hamzah Fansûrî yang bercorak sangat filosofis. Dengan demikian, penelitian ini

dapat dikatakan bersubjek pada penelitian atas landasan metafisika Hamzah Fansûrî.

Sementara fokus analisis terhadap pemikiran Mullâ Sadrâ adalah atas pokok-

pokok gagasannya, seperti kemendasaran wujûd (ashalat al-wujûd), gradasi wujûd

(tâskîk al-wujûd), kefakiran akibat dalam kausalitas (illiyah), hakikat sederhana

(basith al-haqîqah), gerak substansi (al-harakah al-jawhayiah), dan kesatuan subjek

dan objek (ittihad aqil wa ma’qûl) yang merupakan konsep penting dalam ajaran

Mullâ Sadrâ. Gagasan-gagasan tersebut sekaligus membuat ajaran filsafat Mullâ

Sadrâ menjadi tidak berjarak dengan tasawuf filosofis. Bahkan, sebagian sarjana

menganggap ajaran Mullâ Sadrâ memang merupakan bagian dari tasawuf filosofis

yang identik dengan Wujudiah. Keidentikan ajaran Mullâ Sadrâ dengan Wujudiah

membuat kajian komparasi Wujudiah Hamzah Fansûrî yang berfokus pada Asrâr dan

filsafat Mullâ Sadrâ yang bernuansa tasawuf filosofis menemukan pembingkaiannya.

Penelitian ini dimulai dengan mendeskripsikan perdebatan teoretik tentang

konsep wujûd dalam Wujudiah yang melibatkan Hamzah Fansûrî dan perdebatan

teoretik dalam filsafat yang melibatkan Mullâ Sadrâ. Selanjutnya, kajian narasi

87 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical

Concepts (Berkeley, Los Ageles London: University of California Press, 1983), 15. 88 Alparslan Açıkgenç, Being and Existence in Ṣadrā and Heidegger: A Comparative

Ontology (Kuala Lumpur: ISCAC, 1993), 27–28.

30

singkat tentang karya-karya dari tiap-tiap tokoh yang diteliti. Kemudian,

menganalisis tentang Wujudiah Hamzah Fansûrî dan dilanjutkan dengan

menganalisis filsafat Mullâ Sadrâ. Setelah itu, melakukan analisis perbandingan

antara Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ untuk menemukan

persamaan dan perbedaan dari ajaran dua pemikir besar tersebut.

Dari kajian di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasi antara lain adalah

perbedaan pemahaman wujûd dalam berbagai varian pemikiran Islam, penolakan atas

pemikiran Wujudiah Hamzah Fansûrî dan penerimaan atas pemikiran Wujudiah Ibn

‘Arabî oleh mutakallimîn, konteks ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî dan konteks

ajaran filsafat Mullâ Sadrâ, kekayaan nilai aksiologis dalam Wujudiah Hamzah

Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ, perbedaan varian dalam pemikiran Hamzah Fansûrî

dan filsafat Mullâ Sadrâ, dan persamaan prinsip ontologi dalam Wujudiah Hamzah

Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ.

Dari beberapa masalah yang telah teridentifikasi, penelitian ini dibatasi pada

Wujudiah Hamzah Fansûrî yang merupakan ranah keilmuan tasawuf falsafi dan

ajaran Mullâ Sadrâ yang merupakan ranah keilmuan filsafat, namun memiliki

landasan ontologi yang nyaris identik.

Dari pembatasan masalah yang telah ditentukan maka perumusan masalahnya

adalah: bagaimana Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Filsafat Mullâ Sadrâ bisa memiliki

landasan metafisika yang nyaris identik, bagaimana ajaran metafisika Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ, dan Apa saja persamaan dan perbedaan ajaran Hamzah

Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ?

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang keidentikan ajaran

ontologi Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ, menganalisis ontologi

Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ, dan menganalisis persamaan dan

perbedaan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ.

Penelitian ini sangat penting untuk menyingkap latar belakang ajaran, prinsip

ontologi, dan dampak dari tiap-tiap ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat

Mullâ Sadrâ. Lahirnya sebuah ajaran dari pemikir besar tentunya sangat dipengaruhi

oleh latar belakang sosial budaya dan karier intelektual pemikirnya. Dengan

demikian, menganalisis dan menyingkap latar belakang tersebut menjadi sangat

penting untuk memahami berbagai faktor pembentuk ontologi ajaran Hamzah Fansûrî

dan Mullâ Sadrâ. Demikian juga dampak dari pemikiran masing-masing tentu perlu

dipahami, antara lain, untuk memahami bagaimana kelanjutan ajaran tersebut dalam

konteks sosial budayanya masing-masing.

Pada satu sisi, ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî masih dianggap kontroversial

dalam konteks keberagamaan masyarakat. Padahal, ajaran tersebut memiliki

kandungan ajaran yang dapat berkontribusi menjadi basis nilai dalam mengatasi

berbagai problematika kontemporer. Sementara ajaran filsafat Mullâ Sadrâ memiliki

potensi untuk menyemangati perkembangan dunia ilmu pengetahuan.

Kedekatan ajaran Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ berkontribusi untuk

melahirkan sebuah konsep keilmuan integratif antara Wujudiah dan filsafat.

Formulasi ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan keilmuan.

Diharapkan gagasan ini dapat menjadi inspirasi pembangunan keilmuan yang kukuh.

Penelitian ini juga diharapkan dapat mewujudkan semangat atas penelitian-

penelitian tentang Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ, yang oleh para penelitinya

31

dianggap dapat memberikan sebuah alternatif bagi masalah-masalah kontemporer.

Dengan demikian, tawaran-tawaran dari para peneliti itu dapat dipahami secara

mudah.

Penelitian tentang Hamzah Fansûrî telah dilakukan oleh beberapa sarjana. Di

antaranya, Drewes dan Brakel meneliti puisi-puisi Hamzah Fansûrî yang terdapat di

berbagai museum dunia, khususnya di Inggris dan Belanda. Penelitian itu hanya

menggambarkan garis besar pemikiran Hamzah Fansûrî dan mentransliterasi puisi-

puisi itu dari aksara Jawi ke aksara Latin dan menerjemahkannya ke bahasa Inggris89.

Abdul Hadi WM meneliti puisi-puisi Hamzah Fansûrî yang tersimpan di

Museum Nasional Jakarta90. Penelitian ini menggunakan hermeneutika spiritual atau

ta’wil untuk membuat ajaran-ajaran Hamzah Fansûrî yang disampaikan melalui

bahasa puisi yang bersifat simbolik menjadi mudah dipahami. Penelitian ini berhasil

menyingkap makna-makna simbolis yang tersembunyi di balik syair-syair Hamzah

Fansûrî. Penelitian atas puisi Hamzah Fansûrî lebih lengkap oleh Abdul Hadi WM.

Doorenbos juga melakukan penelitian tentang puisi dan prosa Hamzah Fansûrî.

Dalam disertasi di Universitas Leiden tahun 1933 tersebut, Doorenbos hanya

memberikan sedikit keterangan tentang tiap-tiap syair Hamzah Fansûrî, lalu fokus

pada transliterasi latin dan terjemahan dalam bahasa Belanda atas syair-syair dan

prosa Hamzah Fansûrî dalam bahasa Belanda. Hasil transliterasi oleh Doorenbos

masih sulit diakses karena ditransliterasi ke dalam ejaan lama yang menyulitkan

pemahaman pembaca Indonesia-Melayu modern.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mentransliterasi prosa-prosa Hamzah

Fansûrî yang tersimpan di Inggris dan Belanda91. Konsep-konsep kunci yang terdapat

dalam ajaran Hamzah Fansûrî, seperti konsep “wujûd”, “ada”, “diri”, dan sebagainya

dianalisis dengan menggunakan pendekatan semantik. Al-Attas dalam penelitian ini

menguraikan konsep-konsep kunci tersebut dengan sangat detail.

Vladimir Braginsky juga termasuk peneliti serius pemikiran Hamzah Fansûrî.

Dia telah menuliskan banyak karya tentang syair-syair Hamzah Fansûrî92. Vladimir

Braginsky juga banyak meneliti tentang pemikiran Hamzah Fansûrî93. Dia juga telah

menulis riwayat kehidupan Hamzah Fansûrî94.

89 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 42-43. 90 Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya

Hamzah Fansuri,190-191. 91 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, xiii-xiv. 92 Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19

(Jakarta: INIS, 1998), 508-509. 93 Vladimir Braginsky, “Some Remarks on the Structure of the ‘Sya’ir Perahu’by

Hamzah Fansuri,” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities

and Social Sciences of Southeast Asia 131, no. 4 (January 1, 1975): 407–426,

https://brill.com/abstract/journals/bki/131/4/article-p407_1.xml. 94 Vladimir Braginsky, Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri

Pemikir dan Penyair Sufi Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2003).

32

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad melakukan penelitian tentang metateori95.

Dia mengkomparasi paradigma studi keagamaan di Aceh dengan akar genealogi

keilmuan Hamzah Fansûrî dan Hegel. Turunan kajian Hamzah Fansûrî dilakukan

oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang memengaruhi keseluruhan pemikiran

profesor dari Malaysia itu. Sementara Turunan kajian Hegel dilakukan oleh Snouck

Hurgronje96 dan beberapa orientalis lainnya. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad

dalam penelitiannya itu menawarkan ajaran-ajaran Hamzah Fansûrî dapat dijadikan

paradigma ideal dalam melakukan penelitian dan kajian tentang Aceh.

Terdapat juga beberapa penelitian tentang pemikiran Hamzah Fansûrî yang

dipublikasikan dalam bentuk jurnal97. Akan tetapi, umumnya penelitian dalam bentuk

jurnal bertujuan menjadikan nilai-nilai pemikiran Hamzah Fansûrî sebagai alternatif,

solusi, dan pembelaan atas pemikirannya.

Ismail Fahmi Arrauf Nasution menulis tentang humanisasi pendidikan melalui

antropologi transendental Hamzah Fansûrî98. Dalam penelitiannya itu, dia berfokus

mengkaji syarah ‘Ruba’i’ Hamzah Fansûrî yang ditulis Shams al-Dîn al-Sumatranî

dan mengambil nilai-nilai humanisme sebagai fondasi paradigma pendidikan

humanis. Ismail Fahmi Arrauf Nasution juga membahas semangat ajaran Wahdah al-

Wujûd Hamzah Fansûrî yang terkandung dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an99.

Pada kesempatan lainnya, Ismail Fahmi Arrauf Nasution juga meneliti tentang

hilangnya ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî oleh ajaran teologis ‘Abd al-Ra’uf al-

Sinkilî100. Menurutnya, meskipun ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî tidak melakukan serangan

yang keras terhadap Wujudiah sebagaimana dilakukan Nûr al-Dîn al-Ranîrî, tetapi

pengaruh ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî yang mendalam, menyeluruh, dan dalam durasi

yang lama sebagai Mufti Kesultanan Aceh Darussalam membuat ajaran Wujudiah

benar-benar hilang di Aceh.

Di samping itu, Syaifan Nur pernah melakukan penelitian tentang

pembelaannya terhadap ajaran Hamzah Fansûrî dari kritik yang dilakukan oleh Nûr

al-Dîn al-Ranîrî101. Dalam kajian tersebut, Syaifan Nur menunjukkan kelemahan-

kelemahan argumentasi yang dibangun oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî dalam menyerang

gagasan-gagasan Hamzah Fansûrî.

95 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Kontribusi Charles Taylor, Syed Muhammad

Naquib Al-Attas, and Henry Corbin Dalam Studi Metafisika & Meta Teori Terhadap Islam

Nusantara Di Indonesia…, 40. 96 Snouck Hurgronje, Orang Aceh (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), 39. 97 Bagus Laksana, “The Mystery Of The Human Person : Mystical Anthropology In

Hamzah Fansuri’s Shair,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and

Mysticism 6, no. 1 (2016): 33–51; Yani, “Analisis Tematik Terhadap Syair Burung Pingai

Karya Hamzah Fansuri”, 20 ; Riddell, “Breaking the Hamzah Fansuri Barrier, 125-140” 98 Nasution, “Humanisasi Pendidikan Islam Melalui Antropologi Transendental

Hamzah Fansûrî.”, 235. 99 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Waḥdat Al-Wujûd Dalam Alquran,” Mutawattir 6,

no. 2 (2016): 258–283. 100 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Termination of Wahdatul Wujud In Islamic

Civilization In Aceh: Critical Analysis of Ithaf Ad-Dhaki, The Works of Ibrahim Kurani.”,

401. 101 Syaifan Nur, “Kritik Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri.”, 137

33

Sementara itu, penelitian tentang ajaran Mullâ Sadrâ juga telah dilakukan

beberapa peneliti. Di antaranya, Hasan Bakti Nasution melakukan penelitian tentang

model sintesis pemikiran Islam oleh Mullâ Sadrâ. Penelitian itu merupakan disertasi

doktoral di IAIN Jakarta pada 2001 di bawah bimbingan Mulyadhi Kartanegara dan

Jalaluddin Rakhmat102. Penelitian lainnya tentang pemikiran Mullâ Sadrâ dilakukan

oleh Syaifan Nur di IAIN Sunan Kalijaga pada 2002. Disertasi tersebut fokus pada

kajian filsafat Wujud yang digagas Mullâ Sadrâ103.

Sementara itu, kajian perbandingan filsafat telah banyak dilakukan.

Muhammad Iqbal telah melakukan kajian metafisika Persia dalam disertasinya.

Penelitian ini fokus pada analisis berbagai varian kajian metafisika di dunia Persia,

seperti Aristotelianisme dan Neoplatonisme, Idealisme dan Rasionalisme, serta

mengkaji tentang respons para filosof atas perkembangan teologi dan tasawuf. Di

antaranya adalah Toshihiko Izutsu telah meneliti perbandingan pemikiran filsafat

mistisme Ibn ‘Arabi dan Taoisme104. M. Amin Abdullah telah meneliti tentang filsafat

etika antara Abû Hamid al-Ghazalî dan Immanuel Kant105. Arpaslan Achicgenk telah

meneliti tentang perbandingan ontologi antara Mullâ Sadrâ dan Martin Heideggar106.

Dari kajian-kajian di atas, belum ditemukan kajian perbandingan atas

pemikiran Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ. Terdapat perbedaan dan

persamaan antara dua pemikir ini. Di antara perbedaan keduanya tentunya adalah

mereka berasal dari latar belakang budaya dan tradisi ilmu pengetahuan yang

berbeda. Di antara persamaan pentingnya adalah mereka sama-sama mengakui

kemendasaran wujûd. Persamaan penting ini dapat membingkai pemikiran Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ dalam sebuah kajian komparatif.

Objek kajian dalam penelitian ini adalah pemikiran ontologi Hamzah Fansûrî

dan Mullâ Sadrâ serta perbandingan antara kesamaan dan perbedaan keduanya. Jenis

penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menganalisis

dan mengonstruksi pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ serta perbandingan

antara kesamaan dan perbedaan keduanya berdasarkan sumber kepustakaan. Metode

penelitian ini adalah deskriptif-analitis-komparatif. Deskriptif adalah berusaha

mendeskripsikan latar belakang dan pembangunan pemikiran masing-masing antara

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ. Analitis adalah berusaha mengkaji pemikiran

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ untuk menghasilkan narasi atas keunikan tiap-tiap

tokoh. Selanjutnya adalah komparatif, yakni berusaha menemukan persamaan dan

perbedaan dari pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ. Hasil dari kajian

perbandingan ini juga akan menunjukkan dampak dari tiap-tiap ajaran sehingga akan

102 Hasan Bakti Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa

Filosofis Mulla Sadra”, 15. 103 Syaifan Nur, Syaifan, Filsafat Hikmah Mulla Sadra (Yogyakarta: Rausyan Fikr,

2012), 22. 104 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical

Concepts (Berkeley, Los Ageles London: University of California Press, 1983), 3. 105 M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali Dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung:

Mizan, 2002), 35. 106 Alparslan Açıkgenç, Being and Existence in Ṣadrā and Heidegger, 36.

34

dideskripsikan perbandingan kelanjutan dari ajaran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

di negerinya masing-masing.

Data primer penelitian ini adalah kitab naskah Asrâr yang merupakan karya

filosofis Hamzah Fansûrî yang terlampir di dalam karya Syed Muhammad Naquib

Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî107 dan karya-karya penting tentang

kajian atas pemikiran Hamzah Fansûrî, seperti karya Naquib Al-Attas dan Tasawuf

yang Tertindas karya Abdul Hadi WM. Sementara untuk analisis pemikiran Mullâ

Sadrâ peneliti berusaha merujuk argumentasi penting pemikirannya dari karya

penting Mullâ Sadrâ, seperti Asfar dan al-Masya’ir serta karya-karya tentang Mullâ

Sadrâ.

Antara Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ masing-masing memiliki sistem dan

keunikan dalam membangun pemikirannya. Perbedaan ini tidak lepas dari dua

konteks budaya yang berbeda. Penelitian ini dimulai dengan memfokuskan analisis

pada pokok-pokok pikiran tiap-tiap tokoh dan gagasan-gagasan masing-masing.

Dimulai dengan menganalisis latar belakang munculnya pemikiran Hamzah Fansûrî

dan Mullâ Sadrâ. Selanjutnya, menganalisis dasar-dasar pemikiran dan gagasan

Hamzah Fansûrî dalam bentuk analogi sebagai bagian keunikan pemikirannya. Lalu,

menganalisis pokok pemikiran dan konsep-konsep penting dalam pemikiran Mullâ

Sadrâ. Terakhir, menganalisis persamaan dan perbedaan pemikiran Hamzah Fansûrî

dan Mullâ Sadrâ.

Penelitian ini merupakan kajian perbandingan ontologi. Meskipun demikian,

aspek-aspek yang berkaitan dengan ontologi dari ajaran Hamzah Fansûrî dan Mullâ

Sadrâ juga tidak diabaikan. Penelitian komparatif bukan bertujuan mencari pemikiran

mana yang lebih unggul daripada pemikiran lainnya. Penelitian komparatif bertujuan

menemukan keunikan dari tiap-tiap pemikiran dan berusaha mencari perbedaan dan

persamaan keduanya108. Penelitian ini berusaha menemukan keunikan masing-

masing antara Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ persamaan dan perbedaan pemikiran

Hamzah Fansûrî dan Mullâ untuk menemukan persamaan dan perbedaan pemikiran

keduanya.

Para peneliti kajian perbandingan filsafat, seperti M. Amin Abdullah,

Toshihiko Izutsu, dan Arpaslan Achicgenk sepakat bahwa kajian perbandingan

filsafat adalah untuk menemukan persamaan dan perbedaan dari tiap-tiap ajaran.

Namun, mereka menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dalam melakukan

kajian perbandingan.

Dalam penelitian ini, metode untuk menemukan persamaan dan perbedaan

ajaran ontologi antara Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ menggunakan sistem relasi

107 Karya Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî,

memuat tiga prosa Hamzah Fansûrî secara lengkap yang telah ditransliterasi. Untuk

memudahkan pembedaan rujukan, maka setiapprosa Hamzah Fansûrî dipisahkan

pengutipannya untuk memudahkan pengenalan rujukan antar prosa-prosa itu dan pandangan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas sendiri. Dalam buku tersebut, transliterasi Asrâr terletak

pada halaman 233 hingga 296, Syarâb pada halaman 297 hingga 328, dan al-Muntahî pada

halaman 329 hingga 353. 108 Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma,

2005), 291.

35

dalam ilmu logika. Abdul Hadi Fadli mengatakan terdapat empat relasi, yakni

ekuivalen, relasi umum dan khusus secara mutlak, dan relasi umum dan khusus dari

satu sisi109. Sementara relasi nonekuivalen dijadikan kategori dimensi perbedaan.

Hasil kajian perbandingan atas setiap unit persamaan dan perbedaan antara ajaran

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ akan disimpulkan ke dalam salah satu dari empat

relasi ini.

Gambar. 1 Empat jenis relasi

ekuivalen Umum-

khusus mutlak

nonekuivalen Umum-

khusus satu

sisi

109 Abdul Hadi Fadli, Logika Praktis , 39.

36

BAB II

TEORI WUJÛD DALAM FILSAFAT DAN WUJUDIAH

Bagian ini membahas tentang konsep wujûd, perkembangan diskursusnya, dan

kata yang semakna dengannya serta konsep-konsep berkaitan dengan wujûd dalam

tradisi filsafat dan tasawuf filosofis atau disebut dengan Wujudiah. Kata wujûd

sendiri memiliki padanan makna yang sangat jauh hingga filsafat Yunani. Plato

memulai diskursus tentang wujûd yang diistilahkan dengan ontos yang eksis pada

realitas materi dan alam ide. Menurutnya, ontos pada realitas ide adalah lebih utama

dibandingkan ada realitas ide. Selanjutnya, Aristoteles membahas tentang wujûd

utama sebagai segala sebab bagi alam semesta yang diistilahkan dengan Prima

Causa. Selanjutnya, Plotinus membagi wujûd kepada empat tingkatan, yakni

eksistensi pertama, nous, jiwa alam (first soul), dan eksistensi alam.

Kemudian, diskursus tentang wujûd diambil alih oleh para filosof muslim yang

secara umum terbagi menjadi al-Hikmah al-Masya’iyyah yang diwakili oleh al-

Kindî, al-Farabî, Ibn Sîna, dan Ibn Rusyd. Kemudian, aliran al-Hikmah al-

Isyraqiyyah yang didirikan oleh Syihab al-Dîn al-Suhrawardî dan diikuti oleh Qutb

al-Dîn Shirazî. Selanjutnya, al-Hikmah al-Muta’alliyah yang didirikan Mullâ Sadrâ

dan pengikutnya, seperti Mullâ Hâdî Sabzawârî, Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i, Sayyid

Haydar Amûlî, Muhammad Taqî Misbah Yazdî, dan lainnya. Tiap-tiap aliran tersebut

memiliki pemahaman yang unik tentang wujûd. Pemahaman-pemahaman itu dibahas

dalam bab ini.

Demikian juga aliran tasawuf filosofis memiliki pembahasan yang mendalam

tentang wujûd. Diskursus wujûd dalam Wujudiah telah dimulai oleh sufi generasi

awal sejak Rabi’ah al-Adawiyah, Sufyân al-Tsaurî, Dhu’nûn al-Misrî, dan lainnya.

Kajian tersebut kemudian dilanjutkan oleh sufi generasi pertengahan, seperti Abû

Yazid al-Bistamî, Junayd al-Baghdadî, Abû Mansûr al-Hallaj, ‘Ain al-Qudat al-

Hamadanî, dan lainnya. Kemudian, konsep wujûd beserta diskursus berkaitan

dengannya disempurnakan oleh Ibn ‘Arabi dan dilanjutkan oleh para pengikutnya,

seperti ‘Abd al-Karîm al-Jîlî, Fadhl Allah al-Burhânpûrî, Hamzah Fansûrî, dan

lainnya.

A. Teori Wujûd dalam Filsafat Islam

Ibn Sînâ sebagai representasi ideal al-Hikmah al-Masya’iyyah membahas

tentang wujûd pada bagian awal karyanya110. Sistem ini berbalikan dengan

penyusunan kodifikasi karya Aristoteles setelah dia meninggal. Karya-karya

Aristoteles disusun dengan menempatkan pembahasan tentang ketuhanan (atau

ilahiah, atau wujûd sebagaimana adanya, being qua being) pada bagian terakhir

dengan diberi judul “Metafisika”. Judul tersebut lahir karena susunan karya

Aristoteles tentang being qua being diletakkan setelah (meta) pembahasan tentang

ilmu kealaman. Maka dari itu, terjadi kesalahan terminologi. Seharusnya disebut pro-

110 Shams Inati, “Ibn Sina,” in History of Islamic Philosophy Vol. I, ed. Seyyed Hossein

Nasr dan Oliver Leaman (London & New York: Routledge, 1996), 233.

37

fisika111. Akan tetapi, maksud akuratnya adalah pembahasannya tentang wujûd yang

mendahului sebagai mawjûd. Pembahasan tentang wujûd sebagaimana wujûd (being

qua being) disebut sebagai ontologi, yakni ilmu tentang wujûd (ontos: ada, logos:

ilmu). Kata wujûd sendiri berasal dari kata wujîda yang secara literal berarti

‘ditemukan’. Wujud berarti “keberadaan” yang diperbandingkan dengan kata

mâhiyâh, yakni ke atau “ke-apa-an” atau “ke-sesuatu-an”. Lawan dari wujûd adalah

‘adam, yakni ketiadaan.

Kajian wujûd dalam terminologi umum pemikiran Islam (kâlâm, al-hikmah,

dan ‘irfan) dapat disebut sebagai pembahasan tentang al-Ilahiyah. Terminologi al-

Ilahiyah dapat diterima oleh filsafat Islam (al-Ilahiyah), dan juga teologi Islam

(kâlâm). Dalam hal ini, tasawuf juga dapat menerima terminologi al-Ilahiyah

meskipun aliran ini memiliki istilah khusus tentang ilahiah dalam diskursusnya, yakni

Haqq (Al-Haqq atau Haqq Ta’ala). Mengikuti makna sebenarnya dari metafisika

(yang mencakup ontologi, ilmu tentang “ada”) maka sebenarnya pembahasan tentang

fisika tidak boleh dipisahkan dengan metafisika. Pemisahan fisika dan metafisika

terjadi akibat kesalahan pemahaman penggunaan istilah ontologi sebagai metafisika.

Oleh sebab itu, para filosof muslim (hukamâ) sekalipun memenuhi kriteria sebagai

filosof, yakni menjadikan akurasi proposisi dan penalaran sebagai fondasi, tetap saja

orientasi mereka adalah al-Ilahiyah atau Wujûd Yang Absolut112.

Orientasi kajian wujûd ilahiah ini tidak hanya disadari oleh Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî maupun Mullâ Sadrâ yang menegaskan bahwa filosof yang benar adalah

yang memiliki pengalaman spiritual sekaligus ketepatan dalam berfilsafat113.

Orientasi ini telah menjadi estimasi al-Fârâbî yang ditandai dengan kekecewaannya

pada filsafat Aristoteles yang sangat sedikit berbicara tentang wujûd keilahian

sehingga dia meminjam konsep emanasi Neo-Platonis dalam filsafatnya114. Begitu al-

Fârâbî, apalagi para mutakallimîn, tentunya hanya menggunakan kaidah berpikir

filsafat untuk mendukung pandangan tentang wahyu. Tidak dapat dimungkiri, tidak

hanya al-Asy’ariyah dan Matûridiyah, bahkan Mu'tazilah sekalipun melakukan hal

yang sama. Kecenderungan keagamaan yang sangat kental bagi para pemikir muslim

mendesak filsuf seperti al-Kindî, Al-Fârâbî, dan Ibn Sînâ bekerja keras

mengintegrasikan filsafat untuk dekat dengan agama, yang bagi al-Fârâbî dan Ibn

Sînâ ditandai dengan akomodasi Neoplatonisme ke dalam studi metafisika mereka.

Akomodasi inilah yang melahirkan sistem emanasi dalam mazhab Peripatetik Islam

(al-Hikmah al-Masya’iyyah).

Dari al-Fârâbî, Ibn Sînâ memandang pentingnya studi wujûd dalam filsafat.

Sesuatu yang dalam filsafat Yunani maupun Barat tidak terlalu penting, yakni

metafisika, oleh filosof muslim (hukâma), seperti Ibn Sînâ misalnya, menawarkan

111 Murtaha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra,

)Bandung: Mizan, 2002), 51–52. 112 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Mencerna Akar Filsafat Dalam Islam,” Ulumuna

17, no. 1 (November 8, 2017): 1–18, http://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/236. 113 Toshihiko Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari (Bandung: Pustaka, 2003), 16. 114 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam

(Jakarta: Lentera Hati, 2006), 37.

38

“metafisika” menjadi “pro-fisika” karena dia, sebagai satu petanda khas filosof

muslim, melihat signifikansi diskursus wujûd yang bersifat Ilahiyah. Al-Hikmah al-

Masya’iyyah yang dikenal sangat rasional sekalipun ternyata sangat konsen pada

diskursus wujûd. Apalagi filsafat Illuminasionisme Islam (al-Hikmah al-Isyraqiyah)

yang sudah bersifat sangat Ilahiyah. Bahkan, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengkritik

kaidah-kaidah epistemologi al-Hikmah al-Masya’iyyah secara sangat keras. Namun

sebenarnya, Ibn Sînâ sendiri, pada periode akhir hidupnya menawarkan epistemologi

yang mirip dengan epistemologi al-Hikmah al-Masya’iyyah115. Ibn Sînâ menulis al-

Hikmah al-Masyriqiyyah. Oleh sebab itu, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, bila

direlasikan secara periodik dengan Ibn Sînâ, adalah kelanjutan dari Ibn Sînâ sendiri.

Begitu al-Hikmah al-Masya’iyyah dan al-Hikmah Isyraqiyyah, apalagi al-Hikmah al-

Muta'aalliyah. Mazhab filsafat yang dinisbahkan kepada Mullâ Sadrâ ini bahkan

menjadi sangat sulit dibedakan dengan Wujudiah.

Dari alasan-alasan di atas, sudah jelas bahwa filsafat Islam bukanlah sebuah

aliran pemikiran yang sama dengan filsafat Yunani. Terdapat sebuah pembentukan

identitas baru yang membedakannya dengan filsafat Yunani, baik itu Aristotelian

maupun Neo-Platonis. Hal yang sangat jelas dari perbedaan filsafat Yunani dengan

filsafat Islam adalah diskursus ontologi menjadi lebih tajam dalam pemahaman wujûd

yang dimulai oleh al-Fârâbî, dilanjutkan oleh Ibn Sînâ, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî,

dan dilakukan usaha sintesis oleh Mullâ Sadrâ.

Tidak dapat dimungkiri, porsi kajian Wujûd Ilahiyah yang menjadi inti dan

mendapatkan porsi yang lebih dalam filsafat Islam bukan hanya ingin mendekatkan

filsafat kepada dunia muslim dan meminimalkan resistensi otoritas agama, melainkan

memang menjadi karakteristik dan kecenderungan religius para filosofnya. Sebab

itulah, hukâmâ menyebutkan filsafat sebagai hikmah. Seyyed Hossein Nasr, sarjana

filsafat yang memulai tradisi filsafat dengan belajar kepada para filosof kontemporer

mengatakan bahwa filsafat Islam itu adalah pembahasan tentang wujûd sebagaimana

adanya (asyya’ al-mawjūdah bî mâ hiya mawjûdah). Filsafat adalah pengetahuan

tentang wujûd Ilahiyah dan insaniyah. Filsafat adalah prasyarat bagi hikmah.

Dengan kecenderungan kajian Wujûd Ilahiyah dalam filsafat Islam maka

dengan jelas tidak hanya membedakannya dari filsafat Yunani, tetapi juga

membentuk demarkasi dengan filsafat Barat Modern116. Filsafat Barat Modern yang

dapat ditandai mulai Rene Descartes dan David Hume, lebih berfokus pada

kecenderungan epistemologis dan menghilangkan dimensi wujûd yang menjadi ciri

khas filsafat Islam. Sebab itulah, Nasr117 menawarkan istilah hikmah bagi filsafat

Islam dan falasifah kepada filsafat Barat. Filsafat Barat Modern yang

berkecenderungan sebatas pada kajian penalaran dengan mudah dimaknai para

115 Hossein Ziai, “Shihab Al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist,” in

History of Islamic Philosophy Vol. I, ed. Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (London

& New York: Routledge, 1996), 436. 116 Yoyo Hambali, “Eksistensi Manusia Dalam Filsafat Pendidikan : Studi Komparatif

Filsafat Barat Dan Filsafat Islam,” Jurnal FAI: Turats 7, no. 1 (2011): 42–56. 117 Seyyed Hossein Nasr, dalam History of Islamic Philosophy Vol. I, Diedit oleh

Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 21. (London & New York: Routledge, 1996), 33.

39

sarjana sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial118. Dalam perspektif filsafat Barat

Modern, tentu saja ini tidak sepenuhnya keliru meskipun tidak sepenuhnya benar.

Akan tetapi, ketika muncul generalisasi atas filsafat yang memasukkan filsafat Islam

di dalamnya, itu menjadi galat. Pandangan seperti ini menjadikan makna filsafat

Islam menjadi meleset119.

Filosof muslim yang serius memaknai filsafat Islam sebagai hikmah adalah

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî120. Akan tetapi, kecenderungan Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî bukan hanya karena menemukan diskursus filsafat Islam memiliki

konsentrasi Ilahiah yang kuat, melainkan juga karena alasan historis. Syihab al-Dîn

al-Suhrawardî mengatakan, filsafat menjadi kering dari dimensi Ilahiah dimulai dari

Aristoteles. Sebelumnya, filsafat memiliki fokus diskursus Ilahiyah yang tinggi

hingga Plato. Berkat Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, pemikir seperti Mullâ Sadrâ

menjadikan filsafat menjadi makin berkecenderungan Ilahiyah. Dipengaruhi Syihab

al-Dîn al-Suhrawardî dan memberikan sedikit pengembangan, Mullâ Sadrâ

mendefinisikan filsafat sebagai upaya penyempurnaan jiwa manusia atas

kemampuannya melalui eksistensi berdasarkan demonstrasi, bukan asumsi atau

opini. Maksud dari definisi Mullâ Sadrâ tentang filsafat setidaknya dapat

mempertajam makna filsafat dan alasan kenapa istilah untuk filsafat Islam disebut al-

hikmah.

Dalam sistem filsafatnya, Mullâ Sadrâ menjelaskan bahwa manusia

menempuh empat perjalanan dalam hidupnya. Empat perjalanan ini dipahami

seorang filosof dan merumuskan penjelasan dalam perjalanan ini secara konseptual.

Konseptualisasi filsafat, sebagaimana dalam definisi Mullâ Sadrâ, adalah konsep-

konsep yang dibangun berdasarkan prinsip epistemologi filsafat, yakni melalui

proposisi-proposisi yang solid dan sesuai dengan kaidah berpikir benar sebagaimana

dijelaskan melalui ilmu logika atau mantiq121. Proposisi-proposisi yang dibangun

dalam terminologi filsafat Islam (sehingga layak disebut hikmah) adalah sesuai

dengan pengalaman mistiknya hingga seorang filosof (sehingga layak disebut hakim).

Sebab itulah, Mullâ Sadrâ sangat setuju dengan kualifikasi seorang filsuf yang

dirumuskan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, yakni adalah dia yang memperoleh

pengalaman langsung (hudhûrî) dan mampu menyampaikan pengalaman itu dalam

kaidah filsafat122. Dengan menjadikan pendasaran pada konseptualisasi pengalaman

intuisi pada demonstrasi maka sedikit menunjukkan demarkasi ajaran Mullâ Sadrâ

dengan tasawuf filosofis. Dalam tasawuf filosofis, tidak diperlukan demonstrasi

untuk menjadi landasan. Landasan mereka untuk mengenal hakikat wujûd adalah

kasyaf hudhûrî. Namun, Mullâ Sadrâ sendiri sangat mementingkan kasyaf hudhûrî.

118 Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman, “Memahami Sejarah Intelektual Isaiah Berlin

(1909-1997),” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin (2016), 279. 119 Nasution, “Mencerna Akar Filsafat Dalam Islam.”…, 1-18 120 A. Khudori Soleh, “Filsafat Isyraqi Suhrawardi,” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu

Ushuluddin 12, no. 1 (January 22, 2011): 1, http://ejournal.uin-

suka.ac.id/ushuluddin/esensia/article/view/121-01. 121 Abdul Hadi Fadli, Logika Praktis, (Jakarta: Sadra Press, 2016), 4–12. 122 Cipta Bakti Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat

Kontemporer (Malang: Pustaka Sophia, 2018), 118–119.

40

Mullâ Sadrâ membangun konsep filsafat yang menyatakan bahwa segala

fakultas manusia, dalam semua tingkatannya, baik itu pengalaman indrawi, analisis

rasional, maupun pengalaman kasyaf adalah kehadiran jiwa dalam tingkatan yang

berbeda. Mullâ Sadrâ menegaskan bahwa persepsi indrawi itu adalah kehadiran jiwa

sama, seperti analisis rasional dan kasyaf. Pandangan ini berbeda dengan beberapa

aliran filsafat, termasuk al-Hikmah al-Masyâ'iyyah yang masih memperlakukan jiwa

dan jasad sebagai dualitas123.

Tokoh pertama yang berkecenderungan untuk membangun kajian wujûd dalam

filsafat Islam adalah al-Kindî124. Sekitar tiga ratus judul karya telah ditulis al-Kindî125.

Dia menulis tema keilmuan secara luas dari metafisika, matematika, hingga ilmu-

ilmu kealaman. Akan tetapi, yang telah berhasil diteliti dan diedit hanya sekitar

sepuluh persen. Sebagian besar karyanya hilang. Bisa jadi diabaikan karena bahasa

al-Kindî buruk akibat kurang terfasilitasinya filsafat kaidah-kaidah ke dalam bahasa

Arab. Memang Al-Kindî filsuf Islam pertama yang mencari padanan-padanan kaidah

filsafat ke dalam lingkungan Bahasa Arab. Boleh jadi karya-karya al-Kindî turut

dibuang ke sungai Tigris pada penaklukan Mongol126. Mungkin munculnya al-Fârâbî

yang juga memiliki karya ensiklopedis dapat mengobati kekecewaan akan hilangnya

sebagian besar karya al-Kindî. Jelas bahwa pada masa al-Kindî, pembelajaran filsafat

memang sudah sangat berkembang di Baghdad127. Penerjemahan filsafat Yunani

sudah sangat gencar jauh sebelum al-Kindî. Bahkan, Felix Klein-Franke mengeklaim

al-Farabî tidak dapat berbahasa Yunani maupun Suryani yang menjadi bahasa asli

penulisan filsafat Yunani. Ibn Nai'iman, Eusthatius, dan Ibn al-Bithriq adalah

sebagian dari penerjemah karya Yunani dan Suryani yang sangat membantu. Ahmed

Fuad Ehnawy mengatakan, tugas utama al-Kindî adalah mengharmoniskan agama

dan filsafat128. Tugas ini dikerjakan al-Kindî dengan usaha yang kuat, mengingat

tingginya tingkat resistansi para teolog dan ahli fikih. Al-Kindî dapat dilihat sebagai

seorang filsuf yang heroik. Dia sanggup mengatasi tekanan-tekanan itu129.

Tidak dapat dimungkiri, perlindungan penguasa pada masa itu membuat usaha

al-Kindî menjadi lebih mudah. Akan tetapi, dalam posisi tidak mampu berbahasa

Yunani dan Suryani maka pekerjaan al-Kindî dapat dikatakan sebagai usaha yang

benar-benar heroik130. Ketika mengulas karya-karya Neo-Platonis, al-Kindî tidak

terlalu mendapatkan resistansi. Akan tetapi, dalam mengulas karya-karya Aristoteles,

123 Cipta Bakti Gama, Filsafat Jiwa…, 118. 124 Kiki Kennedy-Day, “Al-Kindi,” in Books of Definition in Islamic Philosophy

(Abingdon, UK: Taylor & Francis, 2010), 19–31,

https://www.taylorfrancis.com/books/9780203221372. 125 Felix Klein-Franke, “Al-Kindi,” in History of Islamic Philosophy Vol. I, ed. Seyyed

Hossein Nasr and Oliver Leaman (London & New York: Routledge, 1996), 168. 126 Michal Biran dan Thomas T. Allsen, “Culture and Conquest in Mongol Eurasia,”

Journal of the American Oriental Society (2003), 446. 127 Ahmed Fuad Ehnawy, “Al-Kindi,” dalam A History of Muslim Philosophy Vol. I

(New Delhi: Low Price Publications, 1995), 427. 128 Ahmed Fuad Ehnawy, “Al-Kindi …, 425. 129 Jackson, What Is Islamic Philosophy?..., 33–34. 130 Sebagian sarjana meyakini al-Kindî dapat berbahasa Arab dan bahasa Suryani,

sebagian lainnya meyakini dia tidak menguasainya. Lihat, Klein-Franke, “Al-Kindi,” 167.

41

resistansi menjadi tinggi. Masalahnya karena karya-karya Aristoteles terlalu kering

dari nuansa kajian Wujûd Ilahiyah. Al-Kindî menjadi sangat berbahagia ketika

menemukan sebuah risalah yang memberi porsi yang tinggi terhadap kajian Wujûd

Ilahiyah dan ternyata itu baru diketahui terkemudian setelah Mullâ Sadrâ bahwa

risalah itu bukan karya Aristoteles, melainkan kajian metafisika Plotinus yang ditulis

murid Plotinus, Porphyry131. Karya berjudul Enneads itu telah mengecoh para filosof

muslim dari al-Kindî hingga Mullâ Sadrâ. Al-Kindî yang terlalu bahagia dan

mengambil banyak manfaat dari Enneads kurang berhati-hati dalam melacak karya

tersebut. Dia terlalu senang dengan menganggap Aristoteles juga memiliki karya

Ilahiyah sehingga resistansi atas kajian Aristoteles menjadi berkurang132. Melalui

karya Enneads, al-Kindî merumuskan konsep Wujûd Ilahiyah perspektif filsafat

dengan mengatakan bahwa segala realitas ini adalah akibat yang berantai dari sebab-

sebab hingga kembali kepada sebab yang bukan akibat dari sebab lain133. Sebab itu,

disebut Prima Causa. Dengan keterangan ini, al-Kindî dapat berbahagia karena dapat

merelasikan terminologi Prima Causa dengan “Yang Esa” sebagai sebab dari segala

sebab134.

Al-Kindî datang meletakkan dasar filsafat dalam Islam135. Sebelumnya, filsafat

memang telah dipelajari dalam dunia Islam, tetapi belum ada yang menyusun filsafat

sebagai sebuah sistem yang berdasarkan epistemologi khas filsafat. Sebelum al-

Kindî, hanya keilmuan-keilmuan lain, seperti matematika (filsafat menengah

menurut al-Fârâbî nantinya), logika (yang diambil fuqaha dan mutakallimîn) untuk

argumentasi pembelaan wahyu dan penyusunan hukum-hukum. Ilmu-ilmu kealaman

atau filsafat terakhir menurut al-Fârâbî, juga dikembangkan dalam dunia Islam.

Kajian wujûd tidak terlalu dilirik. Selain literaturnya yang minim, juga ilmu tersebut

dianggap tidak layak diajarkan karena di dalam wahyu, kajian wujûd sudah sangat

memadai. Di samping itu, metafisika Yunani dihindari karena dianggap bisa

menentang wahyu. Akan tetapi, al-Kindî mencoba memulai kajian wujûd yang mana

keputusan ini sangat dipengaruhi Enneads.

Al-Kindî membagi filsafat menjadi dua bagian, yakni filsafat tinggi dan

filsafat bawah. Filsafat tinggi mencakup Wujûd (Prima Causa), jiwa, dan akal.

Sementara filsafat bawah meliputi kajian ilmu-ilmu fisika. Filsafat bawah yang

dibahas al-Kindî juga meliputi kajian tentang jasad, ciptaan, materi, dan bentuk.

Menurut al-Kindî, objek kajian wujûd alam bawah itu diciptakan dari ketiadaan dalam

dimensi waktu. Pandangan ini tentunya tidak membuat mutakallimîn resah karena

teologi juga mengakui wujûd alam diciptakan dari ketiadaan. Dalam kajiannya

tentang wujûd, al-Kindî mengatakan bahwa penciptaan terjadi melalui emanasi.

Prima Causa sebagai wujûd sebab tertinggi terus-menerus memancarkan diri

131 Jonathan Scott Lee, dan Dominic J. O’Meara, “Plotinus: An Introduction to the

Enneads,” The Classical World (1996), 229. 132 Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam…, 36. 133 El-Hanawy, “Al-Kindi,” dalam A History of Muslim Philosophy Vol. I, ed. M.M.

Sharif, III. (New Delhi: Low Price Publications, 1995), 424. 134 Klein-Franke, “Al-Kindi”…, 174. 135 Kennedy-Day, “Al-Kindi”…, 26.

42

sehingga terjadilah wujûd alam dalam berbagai tingkatannya136. Pandangan yang

sudah sarat kajian Wujûd Ilahiyah ini tetap menimbulkan resistansi dari sebagian

mutakallimîn karena al-Kindî dianggap memberikan porsi yang tinggi terhadap akal.

Malaikat Jibril disebut sebagai Akal Aktif. Sementara kewahyuan dianggap sebagai

capaian jiwa. Namun sebenarnya, “akal” digunakan al-Kindî sebagai pengistilahan

khas filsafat bagi wujûd. Sementara al-Kindî sendiri mengakui, penalaran manusia

tidak akan dapat mencapai pengetahuan pada Wujûd Mutlak. Menurut al-Kindî,

penalaran hanya mampu memahami negasi terhadap Wujûd Mutlak137.

Klein-Frake138 menjelaskan bahwa al-Kindî, sebagai filosof pertama dalam

dunia Islam, tidak sepakat dengan absolutisitas wujûd materi sebagaimana diterima

dalam doktrin atomisme kâlâm139. Karakteristik Neoplatonik filsafat Islam yang

digagas al-Kindî dikembangkan secara radikal oleh al-Fârâbî. Dia juga merupakan

seorang filsuf varian al-Hikmah al-Masyâ'iyyah. Selain melakukan radikalisasi

emanasi wujûd ke dalam filsafat Islam, al-Fârâbî menyusun sistem logika secara

sistematis. Logika sebagai ilmu tentang kaidah berpikir benar dibedakan dengan

gramatika sebagai ilmu tentang berbahasa yang benar. Dengan penguasaan gramatika

yang baik, al-Fârâbî mampu membuat penjelasan filsafat menjadi lebih mudah

dipahami140. Karena itu, tidak mengherankan kenapa Ibn Sînâ nantinya baru dapat

memahami ajaran Aristoteles dengan baik setelah mempelajari pemikiran al-Fârâbî.

Filosof kelahiran Turki ini memang sangat memahami pemikiran Aristoteles. Hal ini

jugalah yang membuat al-Fârâbî digelari sebagai guru kedua (al-mu’allim al-tsanî)

yang mana gelar guru pertama (al-mu'allim al-ulâ) dinisbahkan kepada Aristoteles141.

Pemahaman al-Fârâbî tentang gramatologi membuat bahasa Arab menjadi makin

kompatibel untuk digunakan sebagai bahasa filsafat dan membuka banyak peluang

naturalisasi kaidah-kaidah filsafat dari bahasa Yunani dan bahasa Suryani142.

Kontribusi ini juga nantinya dimanfaatkan dengan baik oleh Ibn Sînâ dalam

menggagas filsafat wujûd-nya. Maka dari itu, manfaat kekayaan bahasa filsafat dalam

bahasa Arab juga berkontribusi terhadap aliran intelektual lain dalam dunia Islam,

seperti kajian wujûd dalam teologi dan tasawuf.

Dalam pandangan Al-Fârâbî, Tuhan adalah adalah Wujûd yang Pertama (al-

Mawjûd al-Awwal) sekaligus adalah Sebab Pertama (al-Sabab al-Awwal) bagi segala

yang mawjûd143. Dalam pemikirannya, Al-Fârâbî menjadikan kajian metafisika

wujûd dalam dunia Islam menjadi sangat Ilahiah. Sekaligus akurasi logika dan

136 Abû Isḥâq Al-Kindî, “Risâlah fî Ḥudûd Al-Asyyâ,” dalam Rasâ‛il Al-Kindiy Al-

Falsafiyyah, ed. Muḥammad ‘Abdulhâdî (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, t.t.), 18. 137 Abû Isḥâq Al-Kindî, “Risâlah”…, 19-20. 138 Klein-Franke, “Al-Kindi”…, 171. 139 M. Saeed Sheikh,, Islamic Philosophy (London: The Octagon Press, 1982), 131

Dalam filsafat Barat Modern, perbedaan prinsip ini yang memberikan demarkasi antara

filsafat Leibniz dan filsafat Spinoza.Miswari, Filsafat Terakhir, 258–259. 140 Fakhry, A History of Islamic Philosophy…, 107. 141 Corbin, History of Islamic Philosophy…, 160. 142 Deborah L. Black, “Al-Farabi,” dalam History of Islamic Philosophy Vol. I, ed.

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London & New York: Routledge, 1996), 222. 143 Al-Fârâbî, Ara Ahl al-Madînah al Fâdhilah, (Mesir: Dâr wa Maktabah al-Hilal,

1995), 5.

43

penalaran dimulai oleh al-Fârâbî144. Akan tetapi, sebagai seorang Aristotelian, al-

Fârâbî telah menyusun sistem berpikir filsafat dengan menjadikan konsepsi

(tashawwur) dan afirmasi (tasydiq) sebagai prasyarat menghasilkan definisi dan

silogisme demonstratif. Dalam skema al-Fârâbî, pengetahuan itu harus bersifat

pasti145. Prinsip ini nantinya dijadikan landasan para filosof setelahnya untuk

menyusun hukum kepastian realitas wujûd yang menjadi rujukan pengetahuan pasti

tersebut.

Al-Fârâbî juga merupakan filsuf muslim pertama yang mengklasifikasi wujûd

dalam manifestasinya sebagai daya jiwa menjadi daya nutrisi, daya persepsi, hingga

daya inteleksi. Akan tetapi, klasifikasi ini diperjelas secara sistematis nantinya oleh

Ibn Sînâ. Daya imajinasi yang merupakan bagian dari daya jiwa dijelaskan dengan

sistematis dalam filsafat al-Fârâbî. Dalam hal ini, al-Fârâbî mengatakan bahwa daya

imajinasi berperan menyimpan gambar dari hasil persepsi indrawi. Daya ini juga

dapat membentuk modifikasi dari gambar-gambar yang tersimpan dalam imajinasi.

Misalnya, membayangkan burak dari penggabungan gambar tubuh kuda dan sayap

burung146. Kemampuan penjelasan al-Fârâbî tentang daya jiwa menghantarkannya

pada pandangan bahwa kewahyuan itu adalah kemampuan jiwa mencapai realitas

alam yang tinggi. Pandangan ini tentunya sangat bertentangan dengan ilmu kalam

dan menginspirasi sufi dan filosof setelahnya147.

Manifestasi wujûd dalam bentuk sistem intelek menjadi pembahasan penting

para filosof. Al-Fârâbî juga menyusun empat klasifikasi intelek ('alq), yakni intelek

potensial (al-'aql bi al-quwwah), intelek aktual (al-‘aql bi al-fi'’î'l), intelek perolehan

(al-'aql al-mustafad), dan intelek aktif (al-'aql al-fa'al). Intelek potensial membentuk

konsep mâhiyâh (intelligable) dari entitas ekstensi dari alam terindrai. Dari konsepsi

intelligable ini membentuk pengetahuan yang merupakan proses aktualisasi potensi.

Pengetahuan dalam skema ini menuntut perenungan hingga meraih intelek perolehan.

Dari perenungan-perenungan inilah nantinya intelek mencapai akal aktif148. Al-Fârâbî

berhasil mengarahkan konsep jiwa Aristotelian menjadi bernuansa Ilahiyah dengan

menyatakan bahwa pada capaian jiwa hingga akal aktif, di sanalah posisi kenabian149.

Black150 mengatakan bahwa sebenarnya al-Fârâbî sadar bahwa teori emanasi adalah

dari aliran Neo-Platonis. Konsep emanasi digunakan al-Fârâbî secara sengaja untuk

mengisi kekosongan diskursus Ilahiah dalam filsafat Aristotelian151. Dalam ajaran

Plotinus, Wujûd Yang Satu tidak bisa menghasilkan kemajemukan wujûd, kecuali

menghasilkan satu juga. Maka dari itu, Wujûd Yang Satu menghasilkan nous. Lalu,

144 Deborah L. Black, “Knowledge ('ilm) and Certitude (Yaqīn) dalam Al-Fārābī’s

Epistemology,” Arabic Sciences and Philosophy, 2006, 11-45. 145 Nicholas Rescher, “Al-Farabi on Logical Tradition,” Journal of the History of Ideas

(1963), 127. 146 Black, “Al-Farabi”…, 224. 147 Humaidi, Paradigma Sains Integratif Al-Farabi…, 215. 148 Black, “Knowledge ('ilm) and Certitude (Yaqīn) in Al-Fārābī’s Epistemology.”…,

20-23 149 Humaidi, Paradigma Sains Integratif Al-Farabi…, 36. 150 Black, “Al-Farabi,”…, 216. 151 Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam,,,, 45.

44

nous menghasilkan soul, kemudian soul menghasilkan hyle. Hyle inilah yang bila

menyatu dengan bentuk dapat menghasilkan wujûd materi152.

Al-Fârâbî adalah filsuf pertama yang dengan jeli menemukan bahwa

sebenarnya Aristoteles telah menyinggung perbedaan antara esensi (mâhiyâh) dengan

eksistensi (wujûd). Perbedaan dua hal ini diambil oleh al-Farabî,

mengelaborasikannya dalam skema perbedaan wujûd dan mâhiyâh yang nantinya

menjadi bagian dari bagian filsafat Mullâ Sadrâ dan Mullâ Hadî Sabzawarî153. Wujûd

sebagai Prima Causa dalam pandangan Aristoteles sebagai pelaku aktivitas berpikir

tentang berpikir (noesis noeseos)154, oleh al-Fârâbî digambarkan sebagai Wujûd yang

berpikir tentang Diri-Nya karena pada masa itu tidak ada apa pun selain Dia sebagai

al-Awwâl. Hasil berpikir ini mewujudkan emanasi (faydh) akal atau intelek pertama.

Intelek pertama ini berpikir tentang dirinya dan sumber emanasinya, yakni al-Awwâl

hingga menghasilkan intelek kedua. Aktivitas ini terjadi hingga mencapai intelek

kesembilan155. Intelek kesembilan menghasilkan bulan (al-qamar) dan intelek

kesepuluh. Bulan menghasilkan materi. Intelek kesepuluh memberikan bentuk dan

mengaktualisasi akal manusia. Himpunan tiga entitas, yakni materi yang dihasilkan

bulan, bentuk, dan aktualitas akal dari akal kesepuluh, menghasilkan manusia dan

segala makhluk alam materi lainnya. Menghasilkan Konsep noesis noeseos inilah

yang digunakan al-Fârâbî untuk menghubungkan Aristotelian dengan Neo-Platonis

yang diisi dengan konsep kosmologi Ptolemian dan lainnya, termasuk wahyu dalam

Islam156. Al-Qur’an telah menggambarkan bahwa Tuhan menciptakan tujuh lapis

langit dan menciptakan dunia dalam tujuh masa157. Dalil-dalil ini dihubungkan

dengan konsep emanasi.

Setelah al-Kindî dan al-Fârâbî, muncul filsuf Islam selanjutnya dari kelompok

al-Hikmah al-Masyâ'iyyah yang melanjutkan pembahasan wujûd, yakni Ibn Sînâ. Dia

diberi gelar Syaikh al-Rais. Kecerdasannya dan daya ingat yang tinggi membuatnya

menguasai secara mendalam berbagai disiplin keilmuan dalam usia yang belum

remaja. Ibn Sînâ menghasilkan banyak karya, di antara yang paling terkenal adalah

al-Syifa' yang merupakan karya ensiklopedis yang membahas, secara berurutan,

yakni tentang metafisika, logika, matematika, dan fisika yang mencakup berbagai

bagian, termasuk biologi dan kedokteran158. Karya ensiklopedis penting lainnya,

152 Lee and O’Meara, “Plotinus: An Introduction to the Enneads.”,,,, 229. 153 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 15. 154 Reeve C. D. C., “Good and Bad in Aristotle,” in Evil in Aristotle (Cambridge

University Press, 2018), 17–31,

https://www.cambridge.org/core/product/identifier/9781316676813%23CN-bp-

1/type/book_part. 155 Majid Fakhry, “Al-Farabi and the Reconciliation of Plato and Aristotle,” Journal of

the History of Ideas (1965), 469. 156 Majid Fakhry, “Al-Farabi…, 469. 157 Muhammad Al Imron, Sodikin Sodikindan Romlah Romlah, “Meteor Dalam

Perspektif Al-Qur’an dan Sains,” Indonesian Journal of Science and Mathematics Education

(2019), 388-398. 158 Jon McGinnis, “Avicenna (Ibn Sina),” in The History of Western Philosophy of

Religion, ed. Graham Oppy (Durham: Acumen Publishing Limited, 2011), 61–72,

45

yakni al-Isyarat wa al-Tanbihat membahas tentang metafisika wujûd, logika, fisika,

dan tasawuf159.

Dalam filsafat Islam, Ibn Sînâ meneruskan tradisi diskursus wujûd yang

diwariskan al-Fârâbî. Dalam filsafat Islam, di antara pembahasan penting dalam

metafisika adalah pembahasan tentang wujûd. Istilah wujûd diambil dari istilah

bahasa Arab wujida yang berarti ‘ditemukan’. Istilah wujûd dipadankan dengan

pembahasan tentang eksistensi dalam filsafat Barat yang menggunakan istilah being.

Sementara istilah wujûd dari filsafat Islam diterjemahkan sebagai existence160.

Penjelasan tentang wujûd dibahas bersama perbedaannya dengan mâhiyâh.

Pembedaan antara wujûd dan mâhiyâh yang pertama dilakukan oleh al-Farabî atas

hasil analisisnya atas gagasan metafisika Aristoteles dilanjutkan oleh Ibn Sînâ secara

lebih mendalam. Ibn Sînâ menganalisis satu entitas (maujûdat eksisten,) dalam ranah

mental (pikiran) dan menemukan bahwa setiap entitas terbagi kepada

keberadaannnya (wujûd) dan ke-apa-annya (mâhiyâh). Dalam realitas eksternal,

suatu ekstensi memang adalah satu entitas tunggal yang tidak rangkap (antara

keberadaannya atau wujûd, dan keapaannya atau mâhiyâh). Setiap sesuatu yang dapat

menjadi jawaban atas pertanyaan “apa itu” adalah mâhiyâh161.

Ibn Sînâ mengatakan, wujûd lebih fundamental (mendasar, ashil) daripada

mâhiyâh yang hanya merupakan tambahan ('itibar) bagi wujûd. Karena setiap

ekstensi (mawjûdat) adalah satu entitas yang tidak rangkap maka konsekuensinya,

bila wujûd yang fundamental, mâhiyâh hanya sebatas konsepsi yang tidak memiliki

kenyataan. Filosof muslim setelah Ibn Sînâ seperti Syihab al-Dîn al-Suhrawardî dan

Mîr Dâmâd menentang pemikiran Ibn Sînâ dengan berpendapat bahwa mâhiyâh lebih

fundamental daripada wujûd. Alasannya itu adalah, wujûd selalu hanya menjadi

predikat bagi mâhiyâh. Misalnya, “meja itu ada”, “kuda itu ada”. Karena predikat

hanyalah kopula kausal bagi subjek, wujûd hanya bersifat majazî, tidak nyata162.

Namun ternyata, perdebatan itu muncul karena para pengkaji, baik pendukung

maupun penentang Ibn Sînâ, menganggap pernyataan Ibn Sînâ bahwa wujûd lebih

mendasar, ada pada wilayah mental. Ibn Sînâ sendiri tidak menjelaskan secara

eksplisit perbedaan ini berada di wilayah mana. Barulah setelah Nasr al-Dîn Thûsî

yang menjelaskan bahwa maksud Ibn Sînâ bahwa wujûd lebih fundamental daripada

mâhiyâh adalah pada wilayah eksternal. Sementara pada wilayah mental, Ibn Sînâ

menerima mâhiyâh lebih fundamental daripada wujûd163. Nantinya, Mullâ Sadrâ

https://www.cambridge.org/core/product/identifier/CBO9781844654642A011/type/book_pa

rt. 159 Jon McGinnis, “Scientific Methodologies in Medieval Islam,” Journal of the

History of Philosophy 41, no. 3 (2003): 307–327,

http://muse.jhu.edu/content/crossref/journals/journal_of_the_history_of_philosophy/v041/41

.3mcginnis.html. 160 Alparslan Açıkgenç, Being and Existence in Ṣadrā and Heidegger: A

Comparative Ontology (Kuala Lumpur: ISCAC, 1993), 21–23. 161 Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present (New

York: State University of New York Press, 2006), 65. 162 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari, 47. 163 Seyyed Hossein Nasr, “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic

Philosophy,” International Philosophical Quarterly 29, no. 4 (1989): 409–428,

46

sepakat bahwa wujûd itu lebih fundamental daripada mâhiyâh, tetapi tidak sepakat

dengan klasifikasi wujûd perspektif Ibn Sînâ. Menurut Ibn Sînâ, wujûd itu

fundamental pada realitas eksternal. Setiap wujûd itu berbeda dalam setiap ekstensi

(huwiyah). Sementara bagi Mullâ Sadrâ, wujûd memang lebih fundamental pada

realitas eksternal, sekaligus merupakan satu entitas tunggal yang bergradasi menjadi

tiap-tiap ekstensi, menjadi berbeda hingga munculnya keberagaman ekstensi akibat

perbedaan mâhiyâh yang diproyeksi mental164.

Bila al-Fârâbî membagi wujûd kepada dua bagian, Ibn Sînâ membagi wujûd

pada tiga bagian, yakni Wajîb al-Wujūd, mumkin al-wujūd, dan mumtanî al-wujūd.

Alasannya, tiga bagian wujûd inilah yang dapat dibentuk penalaran manusia.

Mumtanî al-wujûd adalah konsep wujûd yang mustahil memiliki acuan pada realitas,

seperti syarik al-bârî, atau sekutu Tuhan165. Wajîb al-Wujūd adalah wujûd yang

mengada karena dirinya sendiri. Mumkin al-wujūd adalah wujûd yang hanya

mengandung potensialitas untuk menjelma, dan hanya dapat menjelma ketika

diberikan wujûd oleh Wajîb al-Wujūd. Oleh karena itu, dalam konsep Ibn Sînâ, Wajîb

al-wujûd itu terbagi dua, yakni Wajîb al-Wujûd lî nafsihî, yakni yang memberikan

wujûd kepada mumkin al-wujûd dan wajîb al-wujûd lî ghayrihî, yakni wajîb al-wujûd

yang diberikan wujûd oleh Wajîb al-Wujûd bî nafsihî166.

Ibn Sînâ mengatakan bahwa mâhiyâh terbagi dua, yakni mâhiyâh yang menjadi

jawaban terhadap setiap pertanyaan “apa itu?”, dan mâhiyâh yang tidak berpisah

dengan wujûd, yakni apa yang dinisbahkan kepada Wajîb al-Wujûd bî nafsihî.

Sementara wajîb al-wujûd bî ghayrihî adalah wujûd yang eksistensinya tidak tetap,

wujûd yang tidak tetap itu menerima hukum gerak167. Dari kasus kesalahpahaman

para filosof dalam memaknai penjelasan Ibn Sînâ tentang fundamentalitas atau

kemendasaran (ashalat) wujûd atas mâhiyâh maka sangat penting dalam memahami

filsafat untuk membedakan antara wilayah konseptual dan wilayah realitas. Hal ini

misalnya agar dapat dengan jelas memaknai bagaimana penjelasan tentang konsep

wujûd dan bagaimana penjelasan tentang realitas wujûd. Demikian juga dalam

memahami penjelasan tentang gerak.

Ibn Sînâ berpandangan, secara konseptual, gerak adalah abstraksi pikiran atas

dua momen waktu. Sementara dalam realitas eksternal, gerak terjadi pada beberapa

bagian aksiden, yakni kualitas, kuantitas, posisi, dan tempat. Gerak itu terkait dengan

enam perkara, yakni subjek yang bergerak, sebab penggerak, lokasi gerak, asal gerak,

tujuan gerak, dan waktu sebagai ukuran ukuran yang diabstraksi dari perpindahan

sesuatu yang bergerak168. Kausalitas muncul dari pengamatan atas gerak. Bagi Ibn

Sînâ, perubahan dari beberapa aksiden yang terlibat dalam hukum gerak itulah yang

http://www.pdcnet.org/oom/service?url_ver=Z39.88-

2004&rft_val_fmt=&rft.imuse_id=ipq_1989_0029_0004_0409_0428&svc_id=info:www.pd

cnet.org/collection. 164 Susilo, “Teori Gradasi : Komparasi Antara Ibn Sina, Suhrawardi Dan Mulla Sadra.” 165 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, 2005,

34–35. 166 Hanafi, Filsafat Islam, 126. 167 Syah Reza, “Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina,” Kalimah 12, no. 2 (September 15,

2014): 263, http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah/article/view/239 168 Hanafi, Filsafat Islam, 131–132.

47

dianggap sebagai gerak169. Sementara substansi, tidak dianggap bergerak karena bila

substansi bergerak, itu tidak dapat disebut sebagai gerak karena itu adalah persoalan

tentang dua ekstensi170.

Jiwa sebagai manifestasi wujûd dalam pandangan Ibn Sînâ sebagai bagian dari

substansi tidak terlibat hukum gerak. Menurutnya, jiwa hanya menjadikan jasad

sebagai instrumen, persis seperti masinis yang menggerakkan kereta api. Sebab itulah

jiwa dikatakan baru hadir kepada jasad setelah jasad itu sempurna sehingga definisi

Ibn Sînâ atas jiwa adalah kesempurnaan pertama jasad171. Definisi ini dibangun

berdasarkan argumentasi bahwa sekalipun mengalami terjadi reduksi pada jasad,

seperti putusnya bagian tertentu dari jasad, pengetahuan tentang diri tetap utuh172.

Maka dari itu, kesempurnaan jasad yang dimaksud adalah kesempurnaan pertama

jiwa karena jiwa setelah berpisah dengan jasad masih terus menempuh perjalanan

penyempurnaan tanpa henti173.

Ibn Sînâ membuat delapan daya jiwa yang terbagi kepada tiga pembagian.

Sembilan daya jiwa itu adalah daya menyerap nutrisi, daya tumbuh, daya reproduksi,

daya gerak dengan kehendak, daya persepsi, daya imajinasi, daya estimasi, dan daya

inteleksi. Daya pertama hingga ketiga dimiliki tumbuhan, daya pertama hingga

ketujuh dimiliki hewan. Hanya manusia yang memiliki delapan daya itu. Dengan

memiliki daya inteleksi maka manusia menjadi makhluk paling unik. Daya inteleksi

adalah daya akal manusia. Daya berpikir ini terbagi menjadi berpikir praktis, yakni

berpikir untuk tindakan dan daya akal teoretis. Akal teoretis terbagi kepada empat,

yakni akal hayūla, yakni potensi berpikir yang belum diaktualkan untuk berpikir, akal

malakūt, yakni akal yang dilatih untuk menerima hal-hal abstrak, akal aktual

digunakan untuk berfikir hal-hal abstrak, dan akal mustafad, yakni akal yang mampu

menerima limpahan Wujûd Akal Aktif174.

Dalam pandangan Ibn Sînâ, jiwa dan jasad adalah dua substansi terpisah.

Dengan demikian, apabila jasad hancur, wujûd jiwa leluasa keluar dari jasad, seperti

pada kasus kematian. Menurut Ibn Sînâ, nantinya yang berbangkit pada hari kiamat

adalah jiwa saja175. Pandangan ini ditentang keras oleh teolog, seperti Abû Hamid al-

Ghazalî176. Kecaman lainnya kepada Ibn Sînâ adalah pandangannya tentang sumber

169 Miswari, Filsafat Terakhir, 146–147. 170 Kiki Kennedy-Day, “Ibn Sina,” in Books of Definition in Islamic Philosophy

(Abingdon, UK: Taylor & Francis, 2010), 51,

https://www.taylorfrancis.com/books/9780203221372. 171 Sînâ, Ibn, al-Nafs min Kitâb al-Syifâ, (Qum: Markaz al-Nasyr-Maktab al-I‟lâm al-

Islâmî, 1417 H.), 28-29.

172 Nusution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam: Filsafat Islam, Mistisme

Islam, dan Tasawuf (Jakarta: Bulan Bintang, 2018), 23. 173 Hanafi, Filsafat Islam, 133. 174 Sînâ, Ibn, al-Nafs min Kitâb al-Syifâ, 32-35. 175 Sînâ, Ibn, al-Nafs min Kitâb al-Syifâ, 28-29; Inati, “Ibn Sina,” 236. 176 Farouk Mitha, Al-Ghazali and the Ismailis: Debate on Reason and Authority in

Medieval Islam (London & New York: I.B. Taurus Publisher, 2001), 86–88.

48

kejadian semesta177. Abû Hamid al-Ghazalî bersikeras bahwa wujûd alam semesta

terjadi dalam waktu, dari ketiadaan karena bila tidak, semesta itu kekal, telah azali

bersama Wujûd Tuhan, dan ini mustahil karena tidak ada yang azali, selain Wujûd

Tuhan178. Menurut Ibn Sînâ, semesta terjadi bukan dari ketiadaan, melainkan dari

sesuatu yang telah mengada179. Pandangan demikian karena dalam kaidah filsafat,

yang tidak memiliki mustahil dapat memberikan. Maksudnya, dari ketiadaan

mustahil menjelma keberadaan, seperti semesta. Penentangan kalam lainnya dari Abû

Hamid al-Ghazalî atas filsafat Ibn Sînâ adalah tentang pengetahuan Tuhan tentang

partikular180. Menurut Abû Hamid al-Ghazalî, Tuhan dapat mengetahui hal-hal detail

yang diketahui manusia. Menurut Ibn Sînâ, Tuhan tidak mengetahui hal-hal detail

seperti pengetahuan manusia karena bila Tuhan mengetahui hal-hal detail seperti

manusia, pengetahuan Tuhan sama seperti pengetahuan manusia. Dan itu mustahil.

Abû Hamid al-Ghazalî adalah salah seorang pemikir yang sangat menguasai filsafat.

Dia mampu menggugat dalil-dalil filsafat dengan cukup baik. Pemahamannya

tentang filsafat juga terbukti sangat baik, setidaknya untuk bidang logika dibuktikan

dalam Mi’yâr al-‘Ilm fî al-Manthiq’ dan pemahaman tentang epistemologi dibuktikan

dengan karya al-Maqasit al-Falasifah. Buku itu ditulis sebagai persiapan untuk

mengkritik aliran filsafat al-Hikmah al-Masyâ'iyyah181.

Pemikir selanjutnya yang berkaitan erat dengan pemikiran Mullâ Sadrâ adalah

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Menurut Ziai182, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî,

berseberangan dengan al-Hikmah al-Masyâ'iyyah, mengganti terminologi wujûd Ibn

Sînâ dengan analogi cahaya. Wujûd al-Wajîb lî Nafsîhî diistilahkan dengan Nûr al-

Anwar (Cahaya Segala Cahaya). Sementara tingkatan-tingkatan inteleksi diganti

dengan anwar al-mujarradah (intelek-intelek abstrak)183. Menurut Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî, pengetahuan yang akurat berasal dari dalam diri184. Pengetahuan ini

memang mirip dengan pengetahuan yang diakui sufi. Namun uniknya, pemahaman

ini ditemukan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî melalui pertemuan dengan Aristoteles

melalui mimpi. Hossein Ziai mengatakan, kehadiran Syihab al-Dîn al-Suhrawardî

adalah simbol kemenangan Platonisme atas Aristotelianisme185.

Akurasi pengetahuan berbasis kesadaran menjadi semangat Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî mengkritik landasan dasar Peripatetik, yakni definisi. Definisi adalah

rumusan yang menunjukkan esensi dan unsur penyusunnya. Menurut Syihab al-Dîn

al-Suhrawardî, pendefinisian sesuatu mensyaratkan pemahaman atas alat yang

177 Qadir, C.A., Philosophy and Science in The Islamic World (London & New York:

Routledge, 2013), 82. 178 Sheikh, Islamic Philosophy, 87–88. 179 Madjid Nurcholish, Ibn Taimiyah tentang Kalam dan Falsafah, (Jakarta,

Nurcholish Madjid Society, 2020), 149-150. 180 Louay Safi, The Foundation of Knowledge (Selangor: IIUM Press, 1996), 96. 181 Safi, The Foundation of Knowledge, 96. 182 Ziai, “Shihab Al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist,” 434. 183 Ziai, Suhrawardi Dan Filsafat Illuminasi,,,, 225–227. 184 Syihab al-Dîn Suhrawardî, “Hikmah Al-Isyrâq,” dalam Majmû’ah Muśannafât

Syaikh Al-Isyrâq Vol. II (Teheran: Pezhuhesgâh „Olûm-e Insânî va Moțâla‟ât-e Farhangge,

1979), 11. 185 Ziai, “Shihab Al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist,”…, 437.

49

digunakan untuk mendefinisikan sesuatu. Misalnya, mendefinisikan “manusia”

dengan 'manusia adalah hewan yang berpikir'. Definisi ini mensyaratkan pengetahuan

apa itu “berpikir”. Bila “berpikir” belum diketahui, perlu lebih dahulu mendefinisikan

apa itu “berpikir”. Lalu, bila ingin mendefinisikan berpikir, diperlukan bekal

pengetahuan akan alat yang digunakan untuk mendefinisikan “berpikir”. Misalnya,

berpikir adalah 'suatu kegiatan jiwa’. Maka dari itu, definisi ‘suatu kegiatan jiwa’

perlu diketahui lebih dahulu. Demikian seterusnya.

Sebenarnya, definisi Aristotelian lebih mengutamakan pengetahuan atas esensi

yang ingin diketahui. Hakikat “manusia” adalah “berpikir”. Maka dari itu, “berpikir”

itulah fokusnya. Sementara “hewan” bagi manusia malah makin mengaburkan

penjelasan tentang manusia. Sebenarnya, hakikat “berpikir” itulah esensi “manusia”.

Akan tetapi, itu terbukti tidak dapat dilakukan. Dengan demikian, menurut filsafat

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, dasar epistemologi Peripatetik menjadi tertolak karena

hanya melalui definisi, proposisi, dan silogisme pengetahuan dibangun186. Baik

melalui induksi maupun deduksi, penalaran menjadi tidak bermakna karena premis-

premis hanya dapat dibangun apabila definisi telah dapat diterima. ‘Semua manusia

akan mati’ sebagai premis mayor, ‘Aristoteles adalah manusia’ sebagai premis minor

maka Aristoteles pasti mati, sebagai contoh penalaran deduktif menjadi tidak

bermakna ketika definisi “manusia” belum tuntas187.

Karena definisi mensyaratkan pengetahuan, sementara definisi Aristotelian

menurut Syihab al-Dîn al-Suhrawardî dan sebagian filosof lainnya tidak mampu

menghadirkan pengetahuan maka itu berarti mensyaratkan suatu pengetahuan yang

telah terbukti dengan sendirinya. Pengetahuan yang dimaksud tidak membutuhkan

definisi. Karena telah terbukti dengan sendirinya. Pengetahuan demikian diistilahkan

oleh Syihab al-Dîn al-Suhrawardî dengan visi Illuminasi yang dianalogikan dengan

cahaya. Analogi cahaya digunakan karena tidak ada yang lebih terang daripada

cahaya. Apa pun yang digunakan untuk mendefinisikan cahaya tidak berguna. Karena

tidak ada yang telah lebih terang daripada cahaya. Pengetahuan ini sangat jelas karena

terbukti dengan sendirinya. Pengetahuan ini diperoleh melalui pengalaman atau

penglihatan langsung188. Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengatakan, untuk

memunculkan kesadaran diri sebagai prasyarat pengetahuan sejati (al-'ulum al-

haqiqiyyah).

Bagi Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, pengetahuan akurat harus sebagai sesuatu

yang menyeluruh, tidak parsial atau tidak rangkap. Maksudnya, misalnya 'manusia

adalah hewan yang berpikir' adalah gabungan beberapa term, yang bila diasumsikan

setiap termnya memiliki acuan maka itu berarti rangkap189. Pengetahuan tentang

sesuatu mensyaratkan kesadaran diri yang mengetahui (pengetahu, mudriq). Bagi

186 Suhrawardi, “Hikmah Al-Isyrâq”, 13. 187 Husein Heriyanto, Refleksi Kritis Terhadap Persepsi Populer tentang Logika

Modern dan Indonsivisme (Jakarta, 2019), 3–4. 188 Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy: Knowledge by

Presence…, 36. 189 Muhammad Muslih, “Kesadaran Intuitif Plus Cahaya Ilahiyah: Husserl Di Muka

Cermin Suhrawardi,” TSAQAFAH 5, no. 1 (May 31, 2009), 29,

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/146.

50

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, baik itu Sumber Cahaya maupun pancaran-

pancarannya memiliki kesadaran diri, kecuali yang sama sekali tidak memiliki

pancaran cahaya (kegelapan).

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengganti sistem akal (inteleksi) yang mencapai

‘aql mustafad yang memperoleh pengetahuan dari akal aktif dengan gagasan cahaya.

Gagasan cahaya diperoleh melalui visi dan illuminasi. Visi adalah persiapan diri

untuk mencapai pengetahuan langsung. Visi terjadi ketika Nûr al-Anwâr menyinari

(iluminasi) segala sesuatu sehingga visi dan iluminasi adalah satu kesatuan yang tidak

terpisah. Pengetahuan manusia dalam sistem ini terjadi karena kesadaran diri melalui

prinsip cahaya yang mengendalikan (al-anwâr al-qahirah) dan cahaya yang

mengatur (al-anwâr al-mudabbirah) yang datang dari Nûr al-Anwâr190. Pengetahuan

yang hadir kepada manusia dalam sistem ini disebut cahaya al-isfahbat. Pengalaman

ini disebut cahaya apokaliptik (al-anwâr al-sanihah)191. Ajaran Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî selanjutnya diteruskan oleh Qutb al-Dîn Shirazî dan gurunya Mullâ

Sadrâ, Mîr Dâmâd.

Sistem pengetahuan langsung melalui kesadaran diri yang dibuat Syihab al-

Dîn al-Suhrawardî dapat dikatakan memberikan inspirasi bagi Mullâ Sadrâ dalam

merumuskan konsep kesatuan subjek dan objek (ittihad aqil wa ma'qul). Akan tetapi,

konsep Mullâ Sadrâ itu lebih mirip dengan gagasan Ibn 'Arabî. Filsafat Syihab al-Dîn

al-Suhrawardî sebenarnya sangat memengaruhi Mullâ Sadrâ, khususnya tentang

bagaimana seorang filosof yang baik harus memiliki keluasan batin dan kemampuan

penalaran yang baik. Sementara Mullâ Sadrâ mengkritik Syihab al-Dîn al-Suhrawardî

tentang kemendasaran mâhiyâh. Bagi Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, mâhiyâh menjadi

dasar pembentukan realitas. Sementara Mullâ Sadrâ berpendapat sebaliknya, yakni

mengatakan wujûd adalah yang fundamental.

B. Teori Wujûd dalam Wujudiah

Ajaran tasawuf tidak bisa dilepaskan dari perdebatannya dalam tiap-tiap varian

dan bahkan antar sufi dalam satu varian terkadang memiliki perbedaan pemikiran.

Pemikiran tasawuf dalam Islam perlu digali akarnya dari mistisme yang bahkan telah

berkembang di luar dunia Islam. Kata “diam” memiliki akar kata mou yang menjadi

dasar kata mysterion, kemudian diadopsi oleh kosakata Inggris menjadi mystery dan

juga dipadankan dengan mysticism. Selanjutnya, kata mysticism diadopsikan ke

dalam bahasa Indonesia menjadi kata “mistisme” atau “mistisisme”192. Mistisme

selalu hidup dalam berbagai tradisi sejauh manusia menyadari bahwa terdapat aspek

transenden yang menguasai seluruh jagat semesta. Para pengkaji mistisme, baik di

Timur maupun di Barat mengkaji kesamaan-kesamaan dalam tradisi ini melalui

kesamaan-kesamaan yang dapat ditarik dari berbagai pernyataan dari berbagai aliran.

Namun sebenarnya, persamaan penting antar aliran mistisme itu adalah pada

kesamaan potensi manusia, yakni sebagai makhluk spiritual. Mistisme dalam ajaran

Hindu mengandung simbol-simbol yang unik sebagai alat komunikasi ajarannya.

190 Suhrawardî, “Hikmah Al-Isyrâq,”, 11-12. 191 Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, 225–227. 192 Ahmad Saifuddin, Psikologi Agama: Implementasi Psikologi untuk Memahami

Perilaku Agama (Jakarta: Kencana, 2019), 111.

51

Dalam agama Yahudi, mistisme juga memiliki pengaruh yang mendasar. Dalam

agama Kristen, mistisme digali dari ajaran Yahudi dan Nasrani sendiri serta

melibatkan berbagai sombol dari ajaran Hindu. Dalam Islam fokus ajaran mistisme

dikembangkan oleh kaum sufi193.

Terminologi mistisme dipadankan dengan sikap kaum sufi yang menjadi

penjaga misteri (asrâr) Wujûd Ilahi. Misteri Wujûd Ilahi adalah rahasia yang dijaga

kaum sufi atas pengetahuan (ma'rifâh) tentang Wujûd Haqq Ta’ala194. Aktivitas

mereka juga disebut dengan ‘irfân dan para sufi disebut dengan 'arîf (tunggal) atau

'urafâ (jamak). Dalam tradisi dunia Melayu, ajaran tasawuf bercorak filosofis yang

berpandangan pada kesatuan wujud (wahdah al-wujûd) disebut dengan Wujudiah.

Ajaran Wujudiah juga merupakan bagian dari ajaran tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi

juga disebut sebagai tasawuf teoretis karena menggunakan pendekatan teori dalam

pembahasan ajarannya. Teori yang digunakan bercorak filosofis sehingga disebut

tasawuf falsafi atau disebut juga tasawuf filosofis.

Istilah tasawuf sendiri berasal dari kata shûfah yang berarti mantel bulu dari

kain wol. Istilah itu diambil dari sifat sufi yang pasrah seperti mantel yang

dibentangkan. Ada juga pendapat bahwa tasawuf itu berasal dari kata ‘shifâh’ yang

berarti sifat untuk menjelaskan sifat terpuji dan mulia yang dipraktikkan kaum sufi195.

Dalam Islam, tasawuf, khususnya tasawuf Wujudiah, tidak berkembang dengan baik

karena banyak faktor196. Umumnya karena anggapan sulitnya memahami teori dan

pendekatan ajaran tersebut197. Praktik-praktik yang mereka lakukan juga dianggap

ekstrem oleh sebagian masyarakat sehingga tidak banyak yang bersedia menempuh

jalan spiritual itu. Mereka yang sedikit itu juga tidak banyak yang mampu

menuntaskan perjalanan-perjalanan spiritual. Faktor-faktor ini membuat tasawuf

Wujudiah menjadi tidak arus utama198.

Wujudiah adalah ajaran tasawuf bercorak filosofis yang dikembangkan oleh

kaum sufi sejak generasi awal perkembangan pemikiran Islam. Istilah “wujudiah”

dikembangkan dalam tradisi kajian tasawuf filosofis tentang ajaran wahdah al-wujûd

dalam diskursus berbahasa Melayu. Asal katanya adalah wujûdiyah, yakni sebuah

193 R.C.Zaehner , Mistisisme Hindu Muslim (Yogyakarta: LKiS, 2004), vii. 194 Seyyed Hossein Nasr, “Introduction to Mystical Tradition,” dalam History of

Islamic Philosophy Vol. I, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (London & New

York: Routledge, 1996), 367. 195 Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Jakarta: Qisthi Press, 2005), 7. 196 Humaidi, “Mystical-Metaphysics: The Type of Islamic Philosophy in Nusantara in

the 17th-18th Century,” Jurnal Ushuluddin 27, no. 1 (July 30, 2019): 90, http://ejournal.uin-

suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/5438. 197 Para sufi yang nama-nama mereka disebutkan dan pernyataan-pernyataan mereka

(syatahat) dikutip Hamzah Fansûrî dalam al-Muntahî adalah sufi falsafi ('urafâ). Di antara

nama-nama tersebut antara lain ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî, Abû Mansûr al-Hallaj, ‘Abd al-

Rahman Jâmî, dan beberapa lainnya. Lihat, Hamzah Fansûrî, “Al-Muntahî,” dalam The

Mysticism of Hamzah Fansuri, oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Kuala Lumpur:

University of Malaya Press, 1970), 329–353. 198 Septiawadi, Septiawadi, “Pergolakan Pemikiran Tasawuf Di Indonesia: Kajian

Tokoh Sufi Ar-Raniri,” KALAM 7, no. 1 (March 2, 2017): 183,

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/448.

52

ajaran tasawuf yang menekankan pada diskursus tentang wujûd yang satu hanya

dinisbahkan kepada Haqq Ta’ala. Ajaran tersebut dibedakan dengan ajaran tasawuf

yang menekankan pada perbaikan amal atau disebut tasawuf amal. Corak tasawuf

amal juga dipadankan dengan tasawuf akhlak karena fokus pada perbaikan tingkah

laku yang baik. Namun, ajaran Wujudiah juga sebenarnya tetap menekankan pada

pengamalan dan akhlak. Akan tetapi, dari ajaran Wujudiah, yang paling dikenal

adalah ajaran kesatuan wujûd sehingga lebih dikenal dengan istilah Wujudiah.

Tradisi ajaran Wujudiah telah dikembangkan sejak periode awal

perkembangan Islam. Di Indonesia, ajaran tersebut dikembangkan oleh Hamzah

Fansûrî dilanjutkan oleh Shams al-Dîn al-Sumatranî dan ditentang oleh Nûr al-Dîn

al-Ranîrî. Nama terakhir ini sebenarnya tidak menentang ajaran Wujudiah secara

keseluruhan. Nûr al-Dîn al-Ranîrî tidak menentang ajaran Wujudiah Ibn ‘Arabî yang

dianggap lurus (muwahid). Dia hanya menentang Wujudiah Hamzah Fansûrî dan

Shams al-Dîn al-Sumatranî. Selain karena menggunakan analogi yang dianggap

kontroversial, ajaran Wujudiah dua sufi Melayu itu dianggap telah menyerap ajaran

Wujudiah yang dikembangkan, antara lain, oleh Abû Mansûr al-Hallaj dan Abû

Yazid al-Bistamî yang oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî dan umumnya mutakallimȋn

dianggap sesat (mulhith).

Hamzah Fansûrî mengembangkan ajaran Wujudiah di Kepulauan Indonesia

dalam gaya bahasa Melayu yang sangat indah dan ilmiah. Sejauh yang telah dapat

dianalisis oleh para pengkajinya, setidaknya Hamzah Fansûrî telah menghasilkan

sekitar tiga puluh karya berbentuk puisi dan tiga karya dalam bentuk prosa. Ajaran

Hamzah Fansûrî ditentang keras oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî karena dua alasan penting,

yakni menggunakan analogi yang dianggap mengarahkan pada kesesatan dan

menerima ajaran sufi kontroversial, seperti Abû Mansûr al-Hallaj.

Dalam sistem pengetahuan Wujudiah, pengetahuan menuju pengenalan Wujûd

Haqq Ta’ala adalah melalui perjalanan jiwa mulai jiwa rendah (al-nafs al-ammârah),

jiwa terilhami (al-nafs al-mulhamah), jiwa damai (al-nafs al-muthmainnah), jiwa

tulus (al-nafs al-radhiyyah), jiwa yang diridhai (al-nafs al-ardhiyyah), sampai

dengan jiwa sempurna (al-nafs al-kâmilah). Selanjutnya, menuju pembersihan roh

dengan mencapai pusat batiniah hati (qalb), roh (rūh), rahasia (sirr), rahasia dari

rahasia (sir al-sirr), tersembunyi (khifâ), dan sangat tersembunyi (akhfa). Bagian

sangat tersembunyi inilah yang menerima Realitas Wujûd Ilahi untuk mencerahkan

penempuh perjalanan spiritual (sâlîk)199. Penempuh jalan spiritual harus melalui

latihan kerendahan hati, penafian diri, ilham, kedamaian hati, kebahagiaan, diridai,

dan kesempurnaan. Sebenarnya, jalan-jalan yang ditempuh dalam jalan spiritual

tasawuf falsafi tidak terlalu bermasalah. Ungkapan-ungkapan ganjil (syatahat) yang

muncul dari mulut para penempuh jalan ini menjadi partisipator utama resistansi

sebagian ulama dan masyarakat umum atas Wujudiah200.

Alasan lain yang membuat sebagian aliran berbeda dengan Wujudiah dalam

memahami wujûd adalah karena mereka menggunakan penafsiran batin (esoteris)

199 Mahmud Erol Kilic, “Mysticism,” in History of Islamic Philosophy Vol. II, ed.

Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (London & New York: Routledge, 1996), 947. 200 Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Rajawali Press, 2002),

141–142.

53

terhadap ayat-ayat Al-Qur’an201. Di samping itu, hadis-hadis yang digunakan sufi

Wujudiah dalam memahami wujûd juga kurang familier bagi mutakallimîn dan

fuqâhâ. Para pengkaji hadis juga umumnya mengeluarkan pernyataan bahwa hadis-

hadis yang kerap digunakan ‘urafâ adalah tidak termasuk hadis sahih202. Hadis-hadis

yang dikemukakan urafâ adalah yang memuat pesan cinta Tuhan, yang menyatakan

bahwa Tuhan mencintai hamba-Nya sehingga Dia menjadi pendengaran ketika

mendengar. Allah juga memesankan bahwa Wujûd Allah adalah harta tersembunyi.

Dia menciptakan hamba agar Dia dikenal. Dikatakan pula bahwa Haqq Ta’ala

menjadikan manusia dalam bayangan Wujûd-Nya203.

Dalam ajaran Wujudiah, dikenal konsep fânâ. Konsep ini adalah kondisi

hilangnya kedirian seseorang dan melebur bersama Wujûd Haqq Ta’ala. Dalam

keadaan ini, seorang salîk kehilangan daya indranya. Penglihatannya melalui

perasaan. Syatahat bisa terlontarkan tanpa sadar dalam keadaan ini204. Yang dirasa

hanya Wujûd Haqq Ta’ala. Untuk mendapatkan pengalaman ini, latihan-latihan

tertentu dapat saja dilakukan. Akan tetapi, pengalaman ini adalah karunia Allah205.

Tahap selanjutnya yang dapat dicapai seorang salik adalah menyatu (ittihad)

dengan Wujûd Haqq Ta’ala. Konsep ittihad digagas oleh Abû Yazid al-Bistamî.

Manusia yang berasal dari Haqq Ta’ala dapat kembali bersatu dengan-Nya ketika

tidak lagi memiliki ketertarikan dengan dunia. Dalam keadaan ini, seorang salik

menjadi tidak dapat lagi mengidentifikasi wujûd dirinya. Yang terasa hanya Wujûd

Haqq Ta’ala yang Tunggal. Posibilitas menyatunya manusia dengan Haqq Ta’ala

karena manusia, selain sebagai wujûd jasmani, juga sebagai wujûd rohani.

Manusia adalah makhluk yang memiliki aspek wujûd jasmani dan aspek wujûd

rohani. Aspek wujûd jasmani disebut dengan nâsut atau aspek kemanusiaan.

Sementara aspek wujûd ruhani disebut dengan lâhût atau aspek ketuhanan. Ketika

manusia membersihkan diri dari aspek kemanusiaannya, Wujûd Tuhan

bermanifestasi (hûlûl) ke dalam diri manusia. Konsep ini dinisbahkan kepada Abû

Mansûr al-Hallaj206. Konsep yang dibangun tentang nâsut dan lâhût berdasarkan

pemahaman bahwa manusia diwujudkan dari gambar (sûrah) Wujûd Tuhan. Malaikat

diperintahkan sujud kepada Adam (manusia) karena Wujûd Haqq Ta’ala telah

menjelma dalam diri Adam.

201 Muhammad Nur Jabir, “Takwil Dalam Pandangan Mulla Sadra,” Kanz

Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism (2012), 291. 202 Kerwanto, “Manusia Dan Kesempurnaannya (Telaah Psikologi Transendental

Mullā Shadrā)”; Kerwanto Kerwanto, “Pemikiran Filosofis Sadra Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-

Karim : Surah Al-’A‘La,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and

Mysticism 4, no. 2 (December 25, 2014): 23–50,

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/63. 203 Wahid Bakhsh, Sufisme Islam (Jakarta: Sahara Publisher, 2004), 84. 204 Dzikrullah Zulkarnain, “Syaţaḥat Kaum Sufi: Sebuah Telaah Psikologis: Sebuah

Telaah Psikologis,” SMART 1, no. 1 (June 10, 2015): 77–110,

http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/smart/article/view/232. 205 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari, (Bandung: Pustaka, 2003), 16. 206 Miswari, “Cara Gila Jatuh Cinta: Analisa Qasidah Dan Muqataat Mansur Al-

Hallaj,” Al-Mabhats 4, no. 1 (2019): 51–74.

54

Menurut Ibn Farîd, sebagaimana dikemukakan oleh Fenton, tasawuf adalah

adalah ilmu sekaligus latihan diri207. Dalam tasawuf, manusia dianjurkan untuk

bersikap wâra', qana’ah, dan zûhûd. Proses menjaga diri ditempuh dengan suluk.

Dalam suluk terdapat berbagai tahapan latihan diri yang berat. Tahapan-tahapan

latihan dalam suluk tidak akan dapat dilalui, kecuali dengan cinta. Hanya bagi orang-

orang yang penuh dengan cinta dan kerinduan kepada Tuhan di dalam dirinya yang

mampu menempuh tahapan-demi tahapan dalam melatih diri208. Tasawuf Ibn Farîd

digolongkan sebagai Wahdah al-Syûhûd209. Penganut Wahdah al-Syûhûd lainnya

adalah 'Alâ al-Daulah al-Simmananî. Dalam pandangannya, dunia memiliki dua

makna sekaligus. Pertama, ia tidak memiliki eksistensi karena hanya sebagai

bayangan. Pada saat yang sama memiliki eksistensi karena dia adalah pancaran

ketuhanan. Kaum sufi mengaku bahwa sebenarnya Tuhan lebih dekat dengan

manusia melebihi dirinya sendiri. Tuhan adalah Wujûd yang lahir sekaligus yang

batin. Dia adalah yang awal sekaligus yang Akhir sehingga sufi meyakini bahwa

Wujûd yang nyata Tuhan saja. Ambiguitas memang telah menjadi prinsip dalam

ajaran sufi210. Ajaran tasawuf sebagaimana diajarkan Ibn Farîd dan 'Alâ al-Daulah al-

Simmananî dalam studi tasawuf dibedakan dengan Wahdat al-Wujûd sebagaimana

dikemukakan oleh Kautsar Azhari Noer211. Akan tetapi, menurut Haidar Bagir, secara

esensial, kedua ajaran ini memiliki kemiripan212. Bahkan, keseluruhan ajaran tasawuf

filosofis atau Wujudiah secara umum dapat dikatakan merupakan ajaran kesatuan

wujûd. Ajaran Wujudiah adalah ajaran tasawuf yang memiliki dalil dalam Al-

Qur’an213. Di antaranya adalah Al-Qur’an 2 (Al-Baqarah): 115, Al-Qur’an 2 (Al-

Baqarah): 186, Al-Qur’an 4 (al-Nisa’): 126, Al-Qur’an 8 (al-Anfāl): 17, Al-Qur’an

28 (al-Qisash): 88, Al-Qur’an 50 (Qāf): 16, Al-Qur’an 57 (al-Hadîd): 3; Al-Qur’an

58 (al-Mujādilah): 7.

Telah ada penelitian yang mengurai secara detail ayat-ayat yang menjadi

sumber rujukan sufi umumnya, khususnya ajaran Wujudiah214. Al-Qur’an 2 (Al-

Baqarah): 115 yang berbunyi ''Milik Allah timur dan barat, maka ke mana pun kamu

menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha

Mengetahui.'' Sufi memaknai ayat ini secara lahiriah menjadi lebih jelas, yakni dua

arah, maghrib dan masyriq dengan enam arah, yakni atas, bawah, kiri, kanan, depan,

207 Paul B. Fenton, “Judaism and Sufism,” in History of Islamic Philosophy Vol. I, ed.

Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman (London & New York: Routledge, 1995), 758. 208 Ainul Abidin Shah, “Epistemologi Sufi : Perspektif Al-Hakim Al-Tirmidzi,” Kanz

Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 2, no. 1 (June 23, 2012): 153,

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/28. 209 Fenton, “Judaism and Sufism,” 758. 210 Wahid Bakhsh, Sufisme Islam (Jakarta: Sahara Publisher, 2004), 93. 211 Kautsar Azhari Noer, “Tasawuf Dalam Peradaban Islam: Apresiasi Dan Kritik,”

Ulumuna 10, no. 2 (November 5, 2017): 367–390,

http://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/174. 212 Haidar Bagir, “Diskusi Pengalaman Religius,” Kanz Philosophia : A Journal for

Islamic Philosophy and Mysticism (2011), 129. 213 Muhammad Nur Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla

Sadrâ (Makassar: Chamran Press, 2012), 3. 214 Nasution, “Waḥdat Al-Wujûd Dalam Alquran.”…, 258.

55

dan belakang. Karena Wujûd Haqq Ta’ala bukan genus dan bukan differensia, Shams

al-Dîn al-Sumatranî mengatakan tiada bagi Wujûd-Nya bagi dan tiada bagi-Nya rupa,

dan tiada bagi-Nya sekutu.215” Maka dari itu, Wujûd Haqq Ta’ala benar-benar

meliputi segala arah dan tidak tunduk pada arah mana pun serta tidak bertempat.

Namun demikian, Wujûd Haqq Ta’ala dapat bermanifestasi dalam hati penempuh

jalan spiritual manusia216.

Dalam Al-Qur’an 2 (Al-Baqarah): 186 yang berbunyi:

منوا بي لعلهم يرشدون ا سالك عبادي عن ي فان ي قريب اجيب دعوة الداع اذا دعان فليستجيبوا لي وليؤ واذ

Artinya:

''Apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang Aku, maka

sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang

berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi-

Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada

dalam kebenaran.''

Makna batin yang ditangkap penempuh jalan spiritual dari ayat ini adalah

bahwa Wujûd Haqq Ta’ala bahkan lebih dekat daripada dirinya sendiri. Karena

itulah, makna kedekatan Wujûd Haqq Ta’ala berarti Dia melampaui segala sesuatu

karena hanya Wujûd Haqq Ta’ala saja yang nyata217. Sementara itu, dalam Al-Qur’an

50 (Qāf): 16 yang berbunyi:

نسان ونعلم ما توسوس به نفسه ونحن اقرب اليه من حبل الوريد ولقد خلقنا ال

Artinya:

“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui

apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat

lehernya.”

Ayat ini juga memiliki makna yang sama yakni pernyataan bahwa Allah itu

dekat. Adapun Al-Qur’an 4 (an-Nisa’): 126 yang berbunyi:

حيطا بكل شيء م ما فى السموت وما فى الرض وكان للاه ولله

Artinya:

''Hanya milik Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan adalah

Allah Maha Meliputi segala sesuatu.''

215 Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansûrî…, 26. 216Andi Herawati, “Concerning Ibn ’Arabi’s Account of Knowlegde of God (Ma’rifa)

Al Haqq,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 3, no. 2

(December 25, 2013): 219,

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/49. 217 Nasution, “Waḥdat Al-Wujûd Dalam Alquran,” 258–283.

56

Makna ayat ini begitu jelas bagi sufi bahwa seluruh jagat semesta hanya Wujûd

Haqq Ta’ala yang meliputinya. Sebab itulah, dalam pandangan ‘irfan, Wujûd mandiri

hanya Haqq Ta’ala, semesta hanyalah bayangan dari Wujûd-Nya.

Al-Qur’an 8 (al-Anfāl): 17 berbunyi:

رمى وليبلي المؤ قتلهم وما رميت اذ رميت ولكن للاه فلم تقتلوهم ولكن للاه ء حسنا ان للاه منين منه بل

سميع عليم Artinya:

''Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah yang

membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau

melempar, tetapi Allah yang melempar. Dia menganugerahkan kepada kaum

mukmin dari sisi-Nya anugerah yang baik.''

Ayat ini menunjukkan bahwa sebenarnya perbuatan-perbuatan manusia hanya

bersifat majasi. Pada realitasnya, segala tindakan itu adalah dari Haqq Ta’ala. Ayat

ini adalah salah satu ayat yang kerap digunakan sufi untuk menunjukkan bahwa

Wujûd sejati hanya Haqq Ta’ala, sementara yang lainnya hanya sebagai bentuk

metafora. Di samping itu, Al-Qur’an 28 (al-Qasash): 88 yang berbunyi:

الها اخر ل اله ال هو كل شيء هالك ال وجهه له الحكم واليه ترجعون ول تدع مع للاه

Artinya:

“Dan jangan menyembah bersama Allah, tuhan apa pun yang lain, tidak ada

Tuhan melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu binasa, kecuali Wajah-Nya. Bagi-Nya

segala penentuan, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.”

Dalam pandangan ‘urafa, suatu yang nyata hanya Wujûd Haqq Ta’ala, segala

kemajemukan yang terindrai dan yang dipersepsikan hanya wujûd yang bersifat

temporer. Sejatinya memang tidak memiliki wujûd yang nyata. Sementara yang nyata

hanyalah wajah (eksistensi) Haqq Ta’ala218. Dalam Al-Qur’an 57 (al-Hadîd): 3

tercantum:

وهو بكل شيء عليم خر والظاهر والباطن ل وال هو الو

Artinya:

“Dialah yang Awal dan yang Akhir dan yang Zahir dan yang Batin; dan Dia

menyangkut segala sesuatu Maha Mengetahui.”

Sufi berpendapat segala yang lahir dan yang batin tidak ada yang meliputi,

kecuali Wujûd Haqq Ta’ala. Namun, alam itu bukan Dia karena alam semesta

hanyalah bayangan dari pancaran Wujûd nyata Haqq Ta’ala219. Al-Qur’an 58 (Al-

Mujādilah): 7 yang berbunyi:

218 Saliyo, “Selayang Pandang Harmonisasi Spiritual Sufi dalam Psikologi Agama,”

Psikoislamika : Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam 11, no. 2 (December 30, 2014), 5-11

http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/psiko/article/view/6383. 219 Bakhsh, Sufisme Islam, 83.

57

يعلم ما فى السموت وما فى الرض ما يكون من نجوى ثلثة ال هو رابعهم ول خمسة ال الم تر ان للاه

بكل شيء هو سادسهم ول ادنى من ذلك ول اكثر ال هو معهم اين ما كانوا ثم ينب ئهم بم ا عملوا يوم القيمة ان للاه

علي

Artinya:

“Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit

dan apa yang ada di bumi; Tiada sedikitpun pembicaraan rahasia antara tiga

orang, melainkan Dia-lah keempat dan tiada lima orang, melainkan dialah yang

keenam mereka. Dan tiada pembicaraan antara yang lebih sedikit dari pada itu

atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.

Kemudian Dia akan memberikan kepada mereka apa yang telah mereka

kerjakan pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyangkut segala sesuatu

Maha Mengetahui.”

Dalam pemaknaan penganut Wujudiah, ayat ini menunjukkan bahwa segala

jumlah itu kembali kepada Haqq Ta’ala. Gambaran ini sesuai dengan pandangan Ibn

‘Arabî bahwa hakikat dalam tamsil angka hanya satu sementara angka-angka lainnya

kembali kepada angka satu sehingga dapat dikatakan bahwa segala kemajemukan

wujûd itu hanya artifisial semata. Sementara yang nyata hanyalah satu, yakni Wujûd

Haqq Ta’ala.

Wujudiah adalah ajaran sufi yang mencapai kesempurnaan konsepnya di

tangan Ibn Arabî. Akan tetapi, ajaran tersebut dapat dikatakan memiliki sejarah

panjang dalam tasawuf falsafi. Sufi generasi awal, seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan

Sufyân al-Tsaurî berfokus pada penyucian diri tanpa melakukan analisis filosofis

terhadap ajarannya. Sementara itu, narasi filosofis baru dirintis oleh Dhu’nûn al-Misrî

dan Abû Yazid al-Bistamî. Selanjutnya, Abû Mansûr al-Hallaj menjadikan tasawuf

falsafi menjadi makin radikal. Syatahat-nya juga sangat ekstrem.

Dalam tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah, keindahan melihat Wujûd Haqq Ta’ala

adalah sasaran ibadah. Dia mengatakan, apa pun karunia yang ingin diberikan kepada

dirinya di dunia, lebih baik dihibahkan kepada pecinta dunia. Apa pun karunia yang

ingin diberikan kepada dirinya di akhirat, lebih baik dipersembahkan kepada ahli

ibadah. Sementara Rabi’ah al-Adawiyah sendiri hanya ingin melihat Wujûd Haqq

Ta’ala, sebagaimana diungkapkan Rabi’ah al-Adawiyah sebagai berikut220.

Ya Ilahi, jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut

akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.

Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk

surga, maka haramkanlah aku daripadanya.

Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata

karena kecintaanku kepada-Mu, maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan

aku melihat keindahanmu yang azali.

Kezuhudan Rabi’ah al-Adawiyah menginspirasi banyak sufi lainnya, termasuk

sufi besar, seperti Sufyân al-Tsaurî (716–778). Dia adalah ahli hadis dan kâlâm yang

220 Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 150.

58

lahir pada 715 M. Sufyân al-Tsaurȋ juga merupakan fuqâhâ yang memiliki sekolah

yang mempelajari hukum Islam. Dia memiliki banyak murid yang ahli fikih.

Kejeniusan Sufyân al-Tsaurî sangat dipengaruhi oleh motivasi yang diberikan

ayahnya. Keluarga Sufyân al-Tsaurî adalah orang-orang yang hidup wara' dan penuh

kezuhudan221.

Sufyân al-Tsaurî adalah pelopor sufi generasi awal. Kezuhudan dan penyucian

diri adalah prasyarat dalam jalan spiritual. Akan tetapi, Sufyân al-Tsaurî tidak

meninggalkan aktivitas sosial. Dia juga sibuk dengan mendidik keilmuan, fikih,

hadis, dan tasawuf. Keilmuan-keilmuan tersebut adalah fokus utama lembaga

pendidikannya. Lembaga tersebut berhasil melahirkan ulama besar. Di antaranya

adalah Imam Mâlik yang menjadi salah satu pendiri mazhab fikih. Bahkan, Imam

Malâk menjadi guru pada pendiri mazhab fikih lainnya, seperti Imam al-Syâfi'i222.

Namun dalam perkembangannya, tasawuf tidak hanya sebagai praktik

kezuhudan, namun juga kajian filosofis atas pengalaman-pengalaman spiritual yang

dialami. Kajian filosofis ini dimulai oleh Dhu’nûn al-Misrî (796–856). Dia adalah

seorang sufi yang memiliki karâmah. Dia pernah mengeluarkan seorang anak yang

dimakan buaya dengan selamat. Dhu’nûn al-Misrî belajar dan mengembara ke

tempat-tempat yang jauh. Dia juga pernah menuntut ilmu kepada Imam Ibn Hambal.

Akan tetapi, kecenderungannya pada tasawuf membuatnya dikenal sebagai seorang

sufi. Dhu’nûn al-Misrî adalah sufi generasi awal yang berkontribusi memperkenalkan

tasawuf secara filosofis. Dhu’nûn al-Misrî membedakan antara pengetahuan melalui

akal dan pengetahuan melalui hati. Menurutnya, pengetahuan yang sejati adalah

pengetahuan yang didapat melalui hati. Pengetahuan tersebut disebut ilmu makrifat.

Dhu’nûn al-Misrî menegaskan makrifat bukanlah pengetahuan tentang konsepsi

ketuhanan sebagaimana dipelajari teolog, dan bukan penalaran ketuhanan

sebagaimana dipelajari filosof. Pandangan Dhu’nûn al-Misrî tentang makrifat

menunjukkan identitas tasawuf yang berbeda dengan filsafat dan teologi223.

Kajian filosofis dalam tasawuf dilanjutkan oleh Abû Yazid al-Bistamî (804–

875) yang juga seorang sufi yang zuhud. Dalam pandangan Abû Yazid al-Bistamî,

seseorang dapat dikatakan sufi bukan karena keanehan, seperti melayang di udara.

Seseorang dianggap sufi ketika dia melakukan syariat dengan baik, dan menerapkan

akhlak sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah224. Abû Yazid al-Bistamî

menjadikan kehidupan Rasulullah sebagai barometer tasawuf yang dianutnya. Pernah

Abû Yazid al-Bistamî ingin berdoa supaya diputuskan dari kecenderungan duniawi,

yakni nafsu makan dan perempuan. Akan tetapi, urung mengingat Nabi Muhammad

sendiri tidak demikian. Dalam perjalanan suluknya, Abû Yazid al-Bistamî menempuh

221 Abdul Ghaffar Chodri, The Mirror of Mohammed (Yogyakarta: Laksana, 2018),

397. 222 Baehaqi Imam, Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan Dan Reinterpretasi

(Yogyakarta: LKiS, 2000), 27. 223 Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy: Knowledge by

Presence, 35. 224 Sama seperti Abû Yazid al-Bistamî, Hamzah Fansûrî juga mengatakan kemampuan

melayang di udara bukanlah indikator kesufian, tetapi indikator yang baik untuk itu adalah

konsistensinya menjalankan syariat. Lihat, Hamzah Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,” dalam The

Mysticism of Hamzah Fansuri,,,, 268.

59

perjalanan menuju fânâ, lalu menuju baqâ, hingga menyatu (ittihad) dengan Haqq

Ta’ala. Perjalanan ini ditempuh dengan latihan yang keras dalam waktu yang tidak

singkat.

Seorang pesuluk adalah yang sangat taat terhadap syariat. Oleh sebab itu, suatu

waktu Abû Yazid al-Bistamî berhadas dan harus mandi. Dia memutuskan mandi di

tengah cuaca sangat dingin dengan kembali mengenakan jubah yang telah dicuci

dengan salju. Karena tubuhnya tidak sanggup, Abû Yazid al-Bistamî jatuh pingsan.

Begitulah perjuangan seorang sufi untuk syariat. Maka dari itu, akan mengherankan

apabila ada yang menuduh sufi itu ingkar syariat.

Dalam ajaran tasawuf, fânâ adalah hilangnya wujûd diri. Tahapan fana, yaitu

fânâ fî al-af'al (fana dalam perbuatan), fanâ fîî al-sifat (fana dalam sifat atau watak),

fânâ fî al-asmâ (fana dalam penamaan), dan fânâ fî al-dzat (fana dalam zat). Tahapan

fânâ yang ditempuh Abû Yazid al-Bistamî mirip dengan tingkatan penafian Rabi’ah

al-Adawiyah. Abû Yazid al-Bistamî berkata, "Pada tahap pertama, aku zûhûd

terhadap dunia dan segala isinya. Pada tingkatan kedua aku zûhûd terhadap akhirat

dan segala isinya. Pada tingkatan ketiga aku zûhûd terhadap apa saja selain Allah.

Dan pada tingkatan keempat tidak ada yang tinggal bagiku selain Allah." Oleh karena

itu, tidak ada apa pun yang dirasa, didengar, dilihat, kecuali Allah. Tingkatan ini

disebut 'arif bî Allah. Dari kondisi inilah berangkat menuju tingkatan baqâ, yakni

seorang ‘arif hanya menyadari Wujûd Haqq Ta’ala. Wujûd dirinya dan Wujûd Haqq

Ta’ala seperti satu koin dua sisi. Tingkatan ini juga digambarkan seperti besi yang

mencair dalam api. Api dan besi menjadi bersatu. Dalam kondisi seperti inilah

seorang sufi disebut bersatu dengan Haqq Ta’ala225.

Dalam kondisi bersatu dengan Allah, ketika sufi kehilangan wujûd dirinya,

muncul syatahat, seperti yang terjadi pada Abû Yazid al-Bistamî saat sedang salat

subuh berjamaah. “Sesungguhnya aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku,

maka sembahlah Aku, Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, alangkah Maha Agungnya

keadaanku. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Maha Suci Aku,

Maha Suci Aku, Maha Besar Aku." Sontak para jamaah terkejut dan menganggap

Abû Yazid al-Bistamî telah gila226.

Dhu’nûn al-Misrî memang telah merintis kajian filosofis dalam tasawuf. Akan

tetapi, dia tidak mengeluarkan pernyataan kontroversial seperti dilakukan Abû Yazid

al-Bistamî. Pengalaman mistik dalam tasawuf memang sulit menghindari syatahat.

Namun, Junayd al-Baghdadî dapat dikatakan sebagai sufi yang punya pengetahuan

dan amalan tasawuf yang tinggi, tetapi tidak mengemukakan pernyataan-pernyataan

kontroversial227. Junayd al-Baghdadî merupakan guru sufi para penempuh jalan

tasawuf. Tidak hanya untuk tasawuf falsafi, bahkan dia merupakan guru bagi

pengikut tasawuf akhlak. Dalam pandangan Junayd al-Baghdadî, fânâ bukan

merupakan tujuan utama penempuh jalan Ilahi. Setelah status fanâ, penempuh jalan

spiritual mencapai tahap selanjutnya, yakni bâqâ. Lalu, seorang sufi akan turun

225 Kilic, “Mysticism,”.., 947; Bakhsh, Sufisme Islam, 83. 226 Keeler, “Wisdom in Controversy.”,,,, 1-26. 227 Corbin, History of Islamic Philosophy,,,, 192.

60

bersama masyarakat untuk mengajak mereka menempuh jalan spiritual228. Menurut

Junayd al-Baghdadî, tasawuf adalah bahwa engkau bersama Allah tanpa perantara229.

Junayd al-Baghdadî memiliki banyak murid, termasuk yang mempelajari

tasawuf darinya. Adapun murid Junayd al-Baghdadî yang paling terkenal adalah Abû

Mansûr al-Hallaj. Dalam menghadapi syatahat muridnya itu, Junayd al-Baghdadî

telah mengingatkan agar tidak mengabarkan rahasia Haqq Ta’ala kepada masyarakat

umum. Junayd al-Baghdadî sendiri memahami bahwa dalam kondisi fânâ, seorang

sufi menjadi tidak dapat mengendalikan diri230. Junayd al-Baghdadî menyadari

seorang sufi tidak punya niat meresahkan masyarakat umum. Akan tetapi, sebagai

seorang mufti di Irak, dia tidak dapat berbuat banyak. Dia terpaksa memutuskan

tindakan Abû Mansûr al-Hallaj itu melanggar syariat. Dalam putusannya, Junayd al-

Baghdadî mengatakan bahwa secara syari'at, Abû Mansûr al-Hallaj memang

bersalah. Secara hakikat, hanya Allah yang tahu.

Junayd al-Baghdadî adalah sufi yang sangat menekankan pentingnya ibadah.

"Ibadah bagi sufi adalah seperti mahkota di atas kepala raja-raja", kata Junayd al-

Baghdadî. Dia mempraktikkan ibadah yang sangat keras. Setelah mengajar, Junayd

al-Baghdadî salat hingga empat ratus rakaat. Ketika sakit, dia salat sangat banyak

dalam segala kondisi yang memungkinkan. Bila sanggup duduk, dia duduk. Bila

tidak, dia salat dalam keadaan berbaring231. Ketekunan ibadah itu umumnya

diteladani murid-muridnya, termasuk Abû Mansûr al-Hallaj (866–923). Akan tetapi,

muridnya ini mencapai tingkatan sufi yang sangat tinggi. Namun, dia kesulitan, atau

mungkin sengaja, mengutarakan syatâhat sangat kontroversial hingga dieksekusi.

Abû Mansûr al-Hallaj adalah salah satu sufi kontroversial yang paling dikenal232.

Abû Mansûr al-Hallaj mengatakan kekafiran adalah jalan penyatuan dengan

Wujûd Haqq Ta’ala. Menurutnya, agama memang berdaya guna, tetapi hanya

sementara untuk mengenal keimanan. Keimanan dalam agama adalah keimanan

artifisial. Seseorang harus mengingkari keabsahannya, menjadi kafir atas agama

karena konten agama itu artifisial. Seorang saleh harus menempuh jalan spiritual agar

menemukan iman sejati233.

Dalam pengalaman fânâ, Abû Mansûr al-Hallaj mengucapkan kalimat

kontroversial, “Anâ Al-Haqq, akulah Kebenaran Nyata” karena dia tidak dapat lagi

menemukan kediriannya sehingga sebenarnya yang mengucapkan itu adalah Allah234.

Dalam pengalaman itu, yang menyeru dan yang diserukan menjadi tak teridentifikasi.

Sebab itulah, Abû Mansûr al-Hallaj mengatakan bahwa apabila masuk mengakui

eksistensi diri, membedakan diri (aku) dan Dia (Kau), adalah seperti sebuah

228 Muhammad Nur Jabir, Perempuan: Perspektif Tasawuf, (Jakarta: Rumi Press),17. 229 Shams Inati,. dan Elsayed M. H. Omran,, “Al-Junayd on Unification and Its Stages:

A Critical Examination,” Digest of Middle East Studies 3, no. 3 (July 1994): 23–35. 230 Hamka, Tasawuf dari Abad ke Abad (Jakarta: Pustaka Islam, 1962), 94–95. 231 Christopher Melchert, “Origins and Early Sufism,” in The Cambridge Companion

to Sufism, 2014. 232 Corbin, History of Islamic Philosophy…, 197. 233 Carl W. Ernest, Words of Ecstasy in Sufism (New York: State University of New

York Press, 1985), 103. 234 Louis Massignon, Diwan Al-Hallaj, (Yogyakarta, Putra Langit, 2003), 93.

61

keangkuhan yang dipraktikkan Iblis235. Abû Mansûr al-Hallaj menggambarkan

pengalaman mistiknya dengan sebuah pancaran kilau cahaya. Kehadirannya

menyambar seperti guntur. Dia mengatakan, pengalaman ini adalah sebuah kesaksian

yang nyata, bukan kebohongan seperti dilakukan umumnya penganut agama,

mengaku menyaksikan (asyhadu), tetapi sebenarnya tidak melihat-apa-apa236.

Kesaksian demikian hanya sebuah ucapan tanpa makna, tindakan tersebut hanya

sebuah rutinitas semata237.

Sebenarnya, kontroversialisme sufi tidak hanya dilakukan melalui ucapan,

namun juga dalam perbuatan. ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî (1098–1131), sebagaimana

dikatakan Hamzah Fansûrî dalam ‘al-Muntahî’, melakukan sebuah praktik

kontroversial dengan menyembah anjing. Hamzah Fansûrî menerangkan, praktik

tersebut dilakukan dengan alasan bahwa ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî sudah tidak

dapat lagi mengidentifikasi partikularitas majemuk. Dalam kondisi fânâ, dia hanya

bisa melihat Wujûd Haqq Ta’ala semata238. ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî memang

terkenal begitu kontroversial sehingga dieksekusi pada usia yang masih sangat muda.

Dia telah mempelajari dan menekuni karya-karya Abû Hamid al-Ghazalî pada usia

dua puluh satu dan sibuk dengan itu selama empat tahun. Namun, ‘Ain al-Qudat al-

Hamadanî memilih jalan berbeda dengan menganut tasawuf falsafi dan melakukan

uzlah selama dua puluh hari bersama Ahmad Al-Ghazalî, adiknya Abû Hamid al-

Ghazalî 239.

Sama dengan Abû Mansûr al-Hallaj, ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî mengatakan

bahwa puncak perjalanan spiritual adalah kekafiran. Penempuh jalan spiritual harus

mengingkari keberadaan dirinya. Salîk harus benar-benar menemukan bahwa wujûd

itu hanya satu, tidak ada identitas wujûd yang nyata, selain Wujûd Haqq Ta’ala. Sama

seperti Abû Mansûr al-Hallaj, ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî menegaskan salik supaya

melepaskan diri dari cara beragama masyarakat umum karena cara mereka tidak

memberikan apa pun, kecuali sebatas rutinitas. Berbeda dengan Abû Mansûr al-

Hallaj, ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî menolak iktikad hûlûl, yakni Tuhan turun pada

insan pilihan. Menurut Ain al-Qudat al-Hamadanî, iktikad sejati dalam jalan spiritual

adalah meniscayakan wujûd hanya satu sehingga tidak seperti hûlûl yang

meniscayakan adanya dualitas wujûd yang kemudian menyatu. Akan tetapi, para sufi

setelah Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa ittihad dan hûlûl hanya istilah yang digunakan

235 Louis Massignon, The Passion of Al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam (Princeton:

Princeton University Press, 1994), 86, 236 Miswari, “Cara Gila Jatuh Cinta: Analisa Qasidah Dan Muqataat Mansur Al-

Hallaj,” Al-Mabhats 4, no. 1 (2019): 51–74. 237 Goenawan Mohamad, Tuhan Dan Hal-Hal Yang Tak Selesai (Yogyakarta: Diva

Press, 2019), 65. 238 Lihat, Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî , 189. 239 Kautsar Azhari Noer, ed., “Al-Risalah Fi Al-’Ilm Al-Tshawwuf Al-Qusyairi,”

dalam Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi (Jakarta: Sadra Press,

2015), 240.

62

sufi generasi awal240. Pada masa itu, bahasa yang dimiliki kaum sufi sangat terbatas

sehingga mereka terpaksa menggunakan istilah-istilah yang tersedia. Namun

sebenarnya, kaum sufi generasi awal itu tidak beriktikad demikian. Mereka tidak

berpandangan tentang adanya dualitas yang kemudian, baik itu ittihad sebagaimana

diistilahkan Abû Yazid al-Bistamî maupun konsep hûlûl sebagaimana diistilahkan

Abû Mansûr al-Hallaj241. Keterbatasan bahasa yang dapat digunakan juga berperan

membuat ‘urafâ menggambarkan pengalaman mistiknya dengan istilah-istilah

kontroversial.

Menurut ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî, pengetahuan tentang Al-Haqq terbagi

tiga, yaitu mengenai perbuatan, perintah, dan keyakinan. Puasa berarti berpesta

bersama Tuhan. Haji berarti perjalanan menuju hati. Menurut ‘Ain al-Qudat al-

Hamadanî, manusia tidak perlu mendambakan surga karena surga itu adalah tawanan

hati. Bila hati telah bersih, surga itu mudah saja baginya. Sebab itu, hati tidak boleh

ditambatkan pada dunia242.

Konsep-konsep ajaran Wujudiah baru dipahami setelah Ibn ‘Arabî yang

memiliki kedalaman analisis dan penyampaian ajaran melalui sistematika yang kaya.

Ibn ‘Arabî adalah penganut Wujudiah yang ajarannya disampaikan secara lebih

mendalam, menyeluruh, dan sistematis. Wujudiah adalah istilah dalam ajaran tasawuf

falsafi secara keseluruhan, khususnya ajaran wujûd yang dikembangkan Ibn ‘Arabî

dan diteruskan oleh para pengikutnya seperti Sadr al-Dîn al-Qunâwî, Sayyid Haidar

Amûlî, ‘Abd al-Rahman Jamî, Fadhl Allah al-Burhânpûrî, Hamzah Fansûrî, Shams

al-Dîn al-Sumatranî, dan Sayf al-Rizal. Terminologi Wahdat al-Wujûd sebagai istilah

umum Wujudiah menurut Muhammad Nur Jabir diperkenalkan oleh Ibn Taimiyah

dalam mengkritik ajaran Ibn ‘Arabî. Sementara menurut Kautsar Azhari Noer,

terminologi itu kali pertama digunakan oleh Sadr al-Dîn al-Qunâwî ketika mensyarah

ajaran-ajaran Ibn ‘Arabî.

Meskipun Ibn ‘Arabî dan Hamzah Fansûrî tidak menggunakan terminologi

Wahdat al-Wujûd dalam ajaran Wujudiah mereka, tetapi Wahdat al-Wujûd dianggap

sebagai ajaran Ibn ‘Arabî dan yang sejalan dengan pemikiran Wujudiah Hamzah

Fansûrî. Bahkan, ajaran-ajaran yang identik dengan ajaran Ibn ‘Arabȋ sebelum

dirinya, seperti ajaran Ma'ruf Karkhî, ‘Abd Abbas al-Qassab, Khaja ‘Abd Allah al-

Ansarî, ‘Ain al-Qudat al-Hamadanî, Abû Mansûr al-Hallaj, Abû Yazid al-Bistamî,

dan lainnya meski menggunakan konsep-konsep yang berbeda, ajaran-ajaran mereka

tentang wujûd dapat digolongkan sebagai Wahdat al-Wujûd dari segi makna dan

maksud ajarannya243.

240 Seyyed Ahmad Fazeli, “The System of Divine Manifestation in The Ibn ‘Arabian

School of Thought,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 1,

no. 2 (December 2011): 109. 241 Seyyed Ahmad Fazeli, “Argumentasi Seputar Ineffability (Kualitas Tak

Tertuliskannya Pengalaman Mistis),” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy

and Mysticism 1, no. 1 (August 2011): 1. 242 Hamid Dabashi, “’Ain Al-Qudhat Hamadani and Intellectual Climate in His

Times,” in History of Islamic Philosophy Vol. I, ed. Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman

(London & New York, 1996), 380. 243 Fenton, “Judaism and Sufism,” 760.

63

Pernyataan Ibn 'Arabî, seperti, “fa ma dhahirû fî al-wujûd bî al-wujûd illâ al-

Haqq, fa al-wujûd huwâ al-Haqq wa huwâ wahid"244, adalah pernyataan yang

menurut William Chittick245 adalah penegasan bahwa wujûd itu hanya satu sehingga

dapat dikatakan sebagai sebuah ajaran Wujudiah246. Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa

Wujûd Haqq Ta’ala adalah seluruh urusan dari awal hingga akhir. Segala

keberagaman adalah penampakan dari Wujûd Haqq Ta’ala. Kemajemukan wujûd

realitas yang tampak dalam pandangan Ibn ‘Arabî bukan berarti wujûd itu majemuk.

Kesan kemajemukan itu menunjukkan bahwa Haqq Ta’ala bermanifestasi dalam

beragam bentuk247. William Chittick248 menjelaskan pendapat Ibn ‘Arabî tersebut

dianalogikan dengan cahaya yang menghantam prisma, lalu memunculkan beragam

bentuk dan warna. Keberagaman bentuk dan warna hanyalah keberagaman

manifestasi cahaya. Sementara cahaya itu tetap tunggal.

Ibn ‘Arabî menganalogikan kemajemukan yang tidak mengubah ketunggalan

wujûd sebagai sumbernya sekaligus menjelaskan sistem aktualitas kemajemukan dari

ketunggalan melalui analogi napas dan manusia. Manusia dianalogikan dengan zat,

sementara nafs al-Rahman yang menjadi asal-usul sebagai kemajemukan

dianalogikan dengan napas. Antara zat dengan nafs al-Rahman hubungannya seperti

manusia dengan napasnya. Apabila manusia tidak memiliki napas, tidak disebut

manusia, tetapi mayat. Sementara apabila napas tidak ada manusianya tidak disebut

napas, tetapi udara. Epistemologi Wujudiah dijelaskan melalui konsep wujûd dan

‘adam, Al-Haqq dan khalq, tajallî, zhahir dan bathin, wahdah dan katsrah, tanzih dan

tasybih, Zat dan Nama-nama, al-'ayan al-tsabitah, dan al-insan al-kâmil249.

Dalam konsep epistemologi Wujudiah yang dikembangkan Ibn ‘Arabî, telah

tampak kesempurnaan sebuah sistem epistemologi yang disumbangkan oleh ajaran

filsafat, khususnya filsafat Ibn Sînâ. Sistem ini menginspirasikan Ibn ‘Arabî dalam

membangun sistem Wujudiah menjadi lebih komprehensif dibandingkan sufi

sebelumnya yang memiliki iktikad yang sama, namun belum memiliki kecanggihan

sistem epistemologi.

Misalnya, sebagaimana sistem epistemologi filsafat dipinjam, dimodifikasi,

dan diterapkan Ibn ‘Arabî dalam membahas konsep wujûd dan ‘adam. Ibn ‘Arabî

lebih dahulu menerapkan prinsip identitas dan nonkontradiksi dalam memberikan

batasan antara wujûd dan ‘adam. Bahwasanya wujûd bukan ‘adam dan ‘adam bukan

wujûd. Wujûd oleh Ibn ‘Arabî dibagi kepada tiga pembagian yakni, pertama, Wujud

Hakiki yakni Haqq Ta’ala250. Kedua adalah wujûd yang memiliki wujûd dari

pemberian Wujûd Hakiki, yakni kemajemukan alam. Ketiga adalah sesuatu yang

244 Muhyiddin Ibn'Arabî, Al-Fûtûhât Al-Makkiyah Vol. 2, (Beirut: Dâr al-Shadir, t.t.),

517. 245 Willam C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s

Cosmology (New York: State University of New York Press, 1997), 22–23. 246 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 3. 247 Herawati, “Concerning Ibn ’Arabi’s Account of Knowlegde of God (Ma’rifa) Al

Haqq.”, 219. 248 William C. Chittick, Imaginal Worlds: Ibn Al-’Arabi and the Problem of Religious

Diversity (New York: State University of New York Press, 1994), 25. 249 Miswari, Filsafat Terakhir…, 172–177. 250 Muhyiddin Ibn'Arabî, Al-Fûtûhât Al-Makkiyah…, Vol. 2, 475.

64

wujûd sekaligus bukan wujud, dia bersama Wujûd Hakiki sejak asali. Ia itu adalah

materi primer. Pembagian wujud ini bukan pada sisi waktu (kedahuluan dan

kemudian), melainkan dalam urutan logika. Maka dari itu, kategorisasi Ibn ‘Arabî ini

terhindar dari perdebatan teologi Abû Hamid al-Ghazalî dan filsafat Ibn Sînâ251.

Sementara itu, Kautsar Azhari Noer menjelaskan, ‘adam dibagi menjadi

empat, yakni, pertama, ketiadaan mutlak, seperti sekutu Tuhan. Kedua ketiadaan

yang wujudnya mesti secara lebih kuat dan pilihan, seperti differensia dalam genus.

Ketiga adalah ‘adam yang wujudnya mungkin, seperti manisnya air laut. Keempat

adalah ketiadaan yang wujudnya mustahil secara pasti dan pilihan, kecuali wujudnya

differensia tertentu dari sebuah genus252.

Al-Haqq dan khalq adalah sistem yang menjelaskan hubungan antara Haqq

Ta’ala dengan ciptaan. Hubungan ini dianalogikan seperti makanan dan yang

memakan. Makanan itu seperti al-Haqq yang mengisi keseluruhan diri yang

memakan. Tajallî adalah manifestasi Wujûd Haqq Ta’ala kepada makhluk-makhluk.

Tajallî terjadi secara terus-menerus, tidak ada pengulangan, dan tidak sama bagi tiap-

tiap entitas. Tajallî terjadi tergantung pada kesiapan lokus tajallî.

Zhahîr dan bathîn adalah skema untuk menggambarkan hubungan Haqq

dengan khalq. Dalam hal ini, digambarkan sebagai saling meresap, seperti wol yang

meresap air sehingga yang tampak adalah sifat yang diresapi. Demikian pula ketika

Haqq meresap ke dalam khalq, yang tampak adalah sifat Haqq.

Wahdah dan katsrah adalah pernyataan paling jelas yang menunjukkan bahwa

pemikiran Ibn ‘Arabî adalah Wahdat al-Wujûd. Dalam menjelaskan wahdah dan

katsrah, Ibn ‘Arabî menganalogikan kesatuan dan kemajemukan dengan angka.

Berapa pun nominal angka, semuanya adalah berasal dari satu realitas yang nyata,

yakni angka satu. Angka-angka yang banyak itu sebenarnya adalah bentukan

inteleksi. Pada setiap angka berapa pun adalah kehadiran satu. Demikian pula

kemajemukan entitas adalah kehadiran yang satu dan menjadi majemuk karena

proyeksi mental253.

Dalam konsep tanzih dan tasybîh dijelaskan bahwa tanzih adalah menyucikan

Allah dari segala keidentikan apa pun dengan makhluk. Sementara tasybîh berarti

terjadinya manifestasi Haqq Ta’ala dalam bentuk nama dan sifat. Dalam tanzih

terkandung tasybih. Akan tetapi, dalam tasybih tidak terkandung tanzih, seperti dalam

Al-Qur’an terkandung Al-Furqan, tetapi dalam Al-Furqan tidak terkandung Al-

Qur’an. Sebab itulah, dalam pembahasan tentang al-insân al-kâmil, ‘Abd al-Karîm

al-Jîlî mempertegas bahwa nama-nama dan sifat itu sebenarnya adalah perangkatnya

al-insân al-kâmil. Namun, terdapat nama-nama yang dapat diidentikkan dengan

Haqq Ta’ala karena sifat-sifat itu tidak dimiliki khalq, seperti sifat al-Ghanî.

Nama-nama itu adalah kebutuhan makhluk. Nama-nama itu statusnya adalah

berada dalam status mental sehingga tergolong dalam status epistemologis.

Antarnama memiliki berbagai tingkatan dalam tinjauan berbagai aspek. Dalam aspek

kebersyaratan, al-Qadîr membutuhkan al-Murîd, al-Murîd membutuhkan al-‘Alîm,

251 Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi,,,, 200. 252 Kautsar Azhari Ibn ‘Arabi Noer: Wahdat Al-Wujûd Dalam Perdebatan,,,, 45. 253 Miswari, “Filosofi Komunikasi Spiritualitas: Huruf Sebagai Simbol Ontologi dalam

Mistisme Ibn ’Arabî.”

65

dan al-‘Alîm membutuhkan al-Hayy. Dalam aspek kemencakupan, yang terdahulu

mencakup yang terkemudian: Al-Hayy mencakup al-Alîm, Al-Murîd, dan al-Qadîr.

Dalam aspek keterkaitan, al-Qadîr terkait dengan al-Hayy, al-Hayy terkait dengan al-

‘Alîm, dan al-Qadîr terkait dengan al-Murîd254.

Istilah al-’Ayan al-tsabîtah adalah entitas tetap (fixed entity) yang bersifat asali,

terkandung dalam ilmunya Haqq Ta’ala. Posisinya berada antara Haqq dan khalq.

Menjadi baharu dalam aktualitasnya. Segala realitas yang majemuk adalah aktualitas

dari al-‘ayan al-tsabitah255.

Al-insân al-kâmil dalam sistem ajaran Ibn ‘Arabî terbagi ke dalam pembagian

abstrak dan konkret. Secara konkret al-insan al-kâmil adalah para nabi dan sufi. Al-

insân al-kâmil adalah cermin paling bersih sehingga menjadi pemancar (tajallî)

sempurna bagi Nama-nama dan Sifat-sifat al-Haqq256. Al-insân al-kâmil disebut

mikrokosmos (al-‘alam al-saghir) sekaligus makrokosmos (al-‘alam al-kabir)

karena menjadi miniatur bagi alam semesta (mukhtasar al-‘alam). Dalam diri

manusia terhimpun semua kesempurnaan makhluk sehingga al-insân al-kâmil

disebut juga dengan fass (segel) bagi kesempurnaan makhluk257. Al-insân al-kâmil

adalah capaian kesempurnaan yang ditempuh setelah melalui berbagai tahapan.

Tahapan pertama kemanusiaan adalah tahapan awam. Tahapan awam melihat hanya

menggunakan indra dan akal. Dalam tahapan ini, memang diketahui adanya Wujûd

Realitas Tunggal di balik alam materi. Akan tetapi, tidak dapat memahami relasi

Realitas Tunggal dengan alam semesta. Tahapan selanjutnya adalah tingkatan

khawâsh. Khawâsh adalah yang telah mencapai tingkatan kasyaf, melihat kesatuan,

namun ketika kembali tetap saja hanya menemukan kesatuan dan pada kemajemukan

mawjûd dianggap sebagai artifisial saja. Sementara pada tingkatan khawâsh al-

khawâsh, mereka telah mencapai kasyâf, tetapi ketika kembali dalam kemajemukan,

mereka dapat membedakan antara kesatuan dan keberagaman. Analoginya, seperti

melihat cermin, namun mampu membedakan cermin dengan bayangannya258.

Kenikmatan capaian sufi tersebut adalah bagian dari Kasih Sayang al-Haqq. Hal ini

karena Dia adalah realitas yang tersembunyi, namun rindu untuk dikenal. Kerinduan

ini melimpah sebagai Kasih Sayang yang bermanifestasi. Limpahan emanasi (fayd)

terjadi dalam berbagai tingkatan martabat dalam hierarki wujûd. Setiap tingkatan itu

tidak terpisah, tetapi satu kesatuan tunggal. Martabat-martabat itu terbagi dalam

martabat Ilahiyah dan martabat selain Allah (ma siwa Allah).

Martabat Ilahiyah tertinggi adalah Dzat al-Wujûd (ghayb al-ghuyûb).

Martabat ini sama sekali tidak dapat diidentifikasi259. Selanjutnya, dari Dzat al-Wujûd

terjadi ta’ayyûn awwal yang disebut sebagai martabat Ahadiyyah. Martabat ini sudah

254 Penjelasan lengkap, lihat, Noer, Ibn ‘Arabi: Wahdat Al-Wujûd Dalam

Perdebatan,,,, 69–71. 255 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts,,,,

59. 256 Rusdiana, “Pemikiran Ahmad Tafsir Tentang Manajemen Pembentuk Insan

Kamil,” At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam (2017), 97. 257 Chittick, Imaginal Worlds: Ibn Al-’Arabi and the Problem of Religious Diversity…,

23. 258 Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi…, 271. 259 Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi…,195.

66

dapat diidentifikasi dengan atribut negasi, seperti "laisâ kâ mîtslîhî syai’in”.

Selanjutnya, terjadilah ta'ayyûn tsanî yang disebut martabat wahidiyyah. Meskipun

tunggal, dalam martabat ini sudah mengandung keberagaman karena dalam status ini

sudah terkandung Nama-nama dan Sifat-sifat. Di dalam wahidiyyah, sudah

terkandung al-'ayan al-tsabitah sebagai potensi munculnya keberagaman260.

Dalam alam Wahidiyyah memancar tingkatan alam selain ma sîwâ Allah, yakni

munculnya alam jabarût yang merupakan alam rohani murni. Lalu, muncul alam

mitsal yang merupakan alam rohani. Alam ini disebut juga alam imajinal yang

mampu dicapai sufi. Dalam tingkatan ini sufi dapat melihat gambar-gambar masa

depan. Alam mitsal adalah perantara (barzakh) antara alam ruhani (jabârut) dan mulk

(alam indrawi). Mimpi dan alam setelah kematian disebut juga dengan barzakh

karena padanya muncul gambar-gambar261.

Semua tingkatan itu disebut hadrat ilahiyah. Disebut juga al-hâdrâh al-

khamsah karena terdapat lima tingkatan alam yang terbagi kepada alam jabârut, alam

malakût, dan al-insân al-kâmil yang meliputi seluruh tingkatan tersebut. Disebut juga

martabat tujuh (al-martabat al-sab'ah) yang mencakup martabat Ahadiyyah, martabat

wahidiyyah, martabat wahdah (nûr muhammadiyyah), yang mana antara martabat

ahadiyyah dan martabat wahidiyyah ditambah martabat ketiga alam (malakut,

jabârut, dan ajsam, serta al-insan al-kâmil).

‘Ayan al-tsabîtah adalah entitas tetap yang berasal dari ilmu Haqq Ta’ala

(hadrah ilmiyyah) sehingga ia tidak berubah sejak asali dan akan tetap demikian

selamanya. Ia disebut tidak pernah mencium aroma wujûd, yakni keberagaman

karena ia hanya sebagai sumber mawjûdat. Melalui ‘ayan al-tsabîtah terjadilah

keberagaman yang terjadi secara terus-menerus menurut kadar Ilahi262. Dalam

kejadian kemajemukan terjadi alur bolak-balik dari manifestasi kepada alam dan

transendensi Ilahi melalui manusia yang merupakan kesempurnaan alam karena

manusia menghimpun seluruh aspek Ilahiah. Sementara makhluk lain, seperti mineral

hanya mampu menampung aspek kemahakuasaan, nabati selain mampu menampung

aspek kemahakuasaan, juga mampu menampung aspek kehidupan, dan selanjutnya

hingga manusia yang mencakup seluruh aspek Ilahi263.

Barzakh merupakan perantara antara Wujûd Mutlak dengan ketiadaan mutlak.

Prosesnya sebagaimana dijelaskan Ibn ‘Arabî adalah, munculnya barzakh adalah dari

sebuah titik dari Wujûd Mutlak, lalu makin membesar hingga alam materi sehingga

bentuknya seperti terompet tanduk264. Oleh karena itu, ketika nantinya terompet

sangkakala ditiupkan, manusia kehilangan seluruh kesadarannya. Lalu, ketika

ditiupkan lagi, kembalilah kesadaran manusia sehingga dia bangkit dengan kesadaran

260 Seyyed Ahmad Fazeli,, Mazhab Ibn Arabi: Mengurai Paradoksalitas Tasybih dan

Tanzih, Translated. (Jakarta: Sadra Press, 2016), 174–175. 261 Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi…, 205. 262 Narasi "Tidak pernah menciuan aroma wujûd", berangkat dari narasi filsafat yang

menyatakan mâhiyah tidak pernah mencium aroma wujûd . 263 Bagir, Semesta Cinta…, 207–208. 264 Bagir, Semesta Cinta…, 209 Dalam bahasa Arab, terompet disebut dengan shûr

yang berarti gambar. Hamzah Fansûrî menyatakan bahwa alam barzakh adalah shûrah

ilmiyah, yakni alam gambaran ilmu Tuhan.

67

yang lebih tinggi sehingga kesadaran sebelumnya dianggap sebagai kesadaran

gambar dalam tidur (mimpi). Hal ini sesuai dengan sebuah hadis yang menyatakan

bahwa manusia itu dalam kehidupan dunia ini sedang tidur265.

Barzakh adalah konsekuensi dari ambiguitas Huwâ lâ Huwâ (Dia tetapi bukan

Dia). Pada satu sisi, alam adalah dia sekaligus pada saat yang sama bukan Dia. Pada

saat yang sama, alam semesta memiliki sifat rohani sekaligus pada saat yang sama

alam semesta adalah alam materi. Alam semesta memiliki tingkatan wujud masing-

masing. Setiap tingkatan wujûd memiliki barzakh (perantara). Dengan perantara ini

perbedaan muncul pada setiap tingkatan wujûd, sekaligus dengan barzakh

menunjukkan kesatuan dari setiap tingkatan wujûd. Inilah yang menunjang

penyimpulan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabî adalah Wahdat al-Wujûd atau Wujudiah266.

Sementara itu, dalam skema alam khayal (alam imajinal) yang mana adalah

tasawuf dipandang sebagai alam yang lebih nyata daripada alam materi, merupakan

alam yang dilihat sufi dalam pengalaman hudhûrî. Alam ini ditangkap melalui,

berbeda dengan filsafat yang bersifat logis-analitik, sistem sintetik-holistik. Oleh

karena itu, umumnya sufi lebih suka mengekspresikan (mengomunikasikan) melalui

puisi, ketimbang analisis deskriptif267.

Haidar Bagir268 berpendapat tiga tingkatan pengetahuan tasawuf. Pertama

adalah pengalaman sang sufi sendiri yang bersifat rohani. Pengalaman ini murni

spiritual sehingga tak terperi (inafiblity). Selanjutnya adalah ekspresi sufi atas

pengalaman mereka dalam sebuah bentuk komunikasi, seperti puisi atau prosa.

Tingkatan ini disebut dengan ‘irfan misalnya, mengatakan Ibn ‘Arabî adalah

representasi terbaik. Tingkatan ketiga adalah analisis filosofis-deskriptif atas

Wujudiah sebagaimana dilakukan oleh Henry Corbin, William Chittick269, Toshihiko

Isutzu270, dan Kautsar Azhari Noer atas ‘irfan Ibn ‘Arabî; analisis Louis Massignon271

atas ‘irfan Abû Mansûr al-Hallaj; analisis Drewes dan Brakel272, Doorebos273, Syed

Muhammad Naquib Al-Attas274, Abdul Hadi WM275 atas Wujudiah Hamzah Fansûrî

, dan analisis Abdul Aziz Dahlan atas ‘irfan Shams al-Dîn al-Sumatranî276. Kajian-

265 Izutsu, Sufism and Taoism…, 7–8. 266 Bagir, Semesta Cinta,,,, 210. 267 Abdul Hadi W.M. menjelaskan dengan baik signifikansi puisi sebagai sarana

komunikasi metafisika dengan alam materi, lihat, Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika,

dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa…, 126–127. 268 Bagir, Semesta Cinta…, 236. 269 Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology, 13. 270 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts,

18. 271 Louis Massignon, The Passion of Al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam, 20-23. 272 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî, 18-20. 273 Johan Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri (Leiden: Betteljee &

Terpstra, 1933), 1-3. 274 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 205 . 275 Hadi, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah

Fansûrî, 243. 276 Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis Atas Paham Wahdatul Wujud Dalam

Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1992), 12.

68

kajian tersebut disebut juga filsafat tasawuf. Kesempurnaan ajaran Wujudiah

menginspirasi dan memudahkan para sufi setelahnya dalam mengkaji dan

mengembangkan ajaran tersebut. Sufi, seperti Hamzah Fansûrî menerjemahkan

ajaran tersebut dalam nuansa Melayu-Nusantara. Ajaran Hamzah Fansûrî

mendapatkan penentangan hebat dari Nûr al-Dîn al-Ranîrî.

C. Pandangan atas Teori Wujûd dalam Filsafat dan Wujudiah

Tradisi diskursus wujûd atau diskursus yang sepadan dengannya telah

dimulai sejak filsafat Yunani. Diskursus ini dianalisis secara lebih mendalam dan

serius dalam filsafat Islam. Dalam diskursusnya, filsafat Islam menjadi berbeda

dengan filsafat Yunani karena memuat porsi kajian Ilahiah yang sangat luas dan

mendalam. Keunikan ini terbentuk dengan mengelaborasi filsafat Neoplatonisme

yang dipandang mengandung kajian metafisika yang lebih luas dibandingkan ajaran

Aristoteles.

Sebagai filsuf pertama dalam dunia Islam, al-Kindî memulai diskursus kajian

wujûd dengan memperbanyak kajian ketuhanan dalam filsafat. Kajian-kajiannya itu

mengelaborasikan kajian metafisika Aristoteles dan Neoplatonisme. Selanjutnya, al-

Fârâbî menelisik diskursus wujûd yang dibedakan dengan mâhiyah. Al-Fârâbî

merumuskan konsep emanasi Neoplatonisme sebagai kajian proses manifestasi

wujûd secara lebih sistematis. Manifestasi wujûd sebagai daya jiwa juga mulai

dirumuskan oleh Al-Fârâbî. Dia juga menggambarkan manifestasi wujûd ke dalam

empat kategori inteleksi (‘aql).

Kemudian, Ibn Sînâ meneruskan fokus perbedaan wujûd dan mâhiyah

dengan menginvestigasi manakah antara keduanya yang fundamental (asil)? Jawaban

dari pertanyaan ini sangat penting karena hanya yang fundamental itulah yang nyata

dan memiliki realitas. Sementara yang tidak fundamental, yakni ‘itbar hanya

merupakan bentukan pikiran. Dalam hal ini, Ibn Sînâ berpandangan bahwa wujûd

yang fundamental dan dan mâhiyah hanya suatu ‘itibar.

Ibn Sînâ membagi wujud kepada beberapa pembahasan, yakni Wajîb al-

Wujūd, mumkin al-wujūd, dan mumtanî al-wujūd. Wajîb al-Wujūd terbagi kepada

Wajîb al-Wujûd lî nafsihî yang merupakan sumber wujud dan wajîb al-wujûd lî

ghayrihî, yakni mumkin al-wujūd yang aktual akibat pemberian wujûd oleh Wajîb al-

Wujûd lî nafsihî. Dalam pandangan Ibn Sînâ, aspek tertentu dari aksiden Wajîb al-

wujûd lî ghayrihî terlibat dalam hukum gerak karena bukan merupakan wujud yang

sempurna277.

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî yang datang kemudian membangun aliran filsafat

al-Hikmah al-Isyrâqiyyah. Dia menyanggah gagasan Ibn Sînâ dengan berpandangan

bahwa yang mendasar itu adalah mâhiyah sementara wujûd hanyalah proyeksi

pikiran. Dia mengajukan pandangan bahwa wujûd hanya menjadi tambahan bagi

mâhiyah. Menurut Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mâhiyah yang menjadi dasar realitas

adalah cahaya yakni Nûr al-Anwâr. Cahaya utama ini beriluminasi pada cahaya yang

mengendalikan (al-anwâr al-qahirah) dan cahaya yang mengatur (al-anwâr al-

mudabbirah)278. Kritik Syihab al-Dîn al-Suhrawardî kepada Ibn Sînâ tentang mana

277 Hanafi, Filsafat Islam…, 131–132. 278 Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi…, 225–227.

69

yang mendasar antara wujûd dan mâhiyah terjadi karena ketidakjelasan Ibn Sînâ

dalam mengeklaim kemendasaran wujûd atas mâhiyah apakah terjadi pada konsepsi

pikiran atau ada realitas. Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengira, Ibn Sînâ menegaskan

wujûd kemendasaran mâhiyah adalah pada ranah konseptual. Namun ternyata,

maksud Ibn Sînâ wujûd mendasar atas mâhiyah adalah pada realitas eksternal.

Kemudian, Mullâ Sadrâ membela Ibn Sînâ dengan menjelaskan berbagai argumentasi

kemendasaran wujûd atas mâhiyah.

Dalam diskursus Wujudiah, fokus pembahasannya adalah Wujûd Haqq Ta’ala.

Kaum sufi falsafi tidak hanya berfokus pada ritual dalam tarekat dan penyucian jiwa

dalam tindak sehari-hari, seperti mempraktikkan sikap wâra', qana’ah, dan zûhûd,

tetapi juga memberikan perhatian serius dalam kajian filosofis terhadap Wujûd Haqq

Ta’ala. Sebab itulah, dalam Wujudiah, lahir berbagai konsep dan teori tentang

pemahaman atas Wujûd Haqq Ta’ala. Konsep-konsep yang mereka lahirkan

memunculkan banyak polemik dan utamanya ditentang oleh mutakallimîn dan

fuqâhâ. Demikian juga dalam praktik keagamaan, banyak tindakan dan ucapan

mereka dianggap kontroversial279.

Para sufi Wujudiah menegaskan ajaran mereka adalah tauhid yang lurus.

Sekalipun landasan epistemologis ajarannya berdasarkan dari pengalaman spiritual,

tetapi mereka mengeklaim pengalaman-pengalaman itu sesuai dengan doktrin Al-

Qur’an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an 2 (Al-Baqarah): 115, Al-Qur’an 2

(Al-Baqarah): 186, Al-Qur’an 4 (al-Nisa’): 126, Al-Qur’an 8 (al-Anfāl): 17, Al-

Qur’an 28 (al-Qisash): 88, Al-Qur’an 50 (Qāf): 16, Al-Qur’an 57 (al-Hadîd): 3; Al-

Qur’an 58 (al-Mujādilah): 7. Namun, hal yang membuat pandangan sufi Wujudiah

menjadi makin kontroversial adalah penafsiran mereka secara esoteris atas ayat-ayat

Al-Qur’an sehingga di tangan mereka, pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an

menjadi berbeda dengan mutakallimîn, fuqâhâ, dan masyarakat umum.

Perjalanan spiritual kaum sufi falsafi adalah berusaha mencapai fânâ, yakni

meleburnya wujûd diri ke dalam Wujûd Haqq Ta’ala. Dalam usaha ini, wujûd

manusia berangkat dari jiwa rendah (al-nafs al-ammârah), lalu berproses dalam jiwa

terilhami (al-nafs al-mulhamah), jiwa damai (al-nafs al-muthmainnah), jiwa tulus

(al-nafs al-radhiyyah), jiwa yang diridhai (al-nafs al-ardhiyyah), untuk mencapai

jiwa sempurna (al-nafs al-kâmilah). Status fânâ berproses dari fânâ fî al-asmâ

menuju fânâ fî al-dzat.

Rabi’ah al-Adawiyah dan Sufyân al-Tsaurî adalah sufi generasi awal yang

mengajarkan tasawuf secara ketat. Namun, Dhu’nûn al-Misrî memulai diskursus

kajian wujûd menjadi sangat filosofis. Usaha ini dilanjutkan Abû Yazid al-Bistamî

yang merumuskan gagasan tentang kemenyatuan (ittihad) wujûd diri ke dalam Wujûd

Haqq Ta’ala. Manusia harus melepaskan alam kemanusiaannya (nasût) menuju alam

Ilahi (lâhût) atau aspek kemanusiaan. Sementara aspek wujûd rohani disebut dengan

lâhût atau aspek ketuhanan. Sementara Abû Mansûr al-Hallaj merumuskan gagasan

tentang Wujûd Haqq Ta’ala bermanifestasi (hûlûl) ke dalam wujûd manusia sehingga

wujûd manusia melebur dalam Wujûd Haqq Ta’ala.

279 Kilic, “Mysticism,” in History of Islamic Philosophy Vol. II…, 947.

70

Konsep-konsep wujûd yang dibangun para sufi, seperti Abû Yazid al-Bistamî

dan Abû Mansûr al-Hallaj oleh sufi setelahnya dianggap belum mencapai kesatuan

wujûd (Wahdat al-Wujûd) karena gagasan ittihad dan hûlûl masih mengesankan

adanya dualitas wujûd. Namun, sebenarnya konsep-konsep itu bukanlah pengalaman

yang masih meniscayakan dualitas wujûd, melainkan karena terbatasnya bahasa

filosofis yang mereka miliki. Kesempurnaan konsep wujud dalam Wujudiah barulah

muncul oleh rumusan Ibn ‘Arabî yang telah menyerap banyak bahasa filosofis dari

filsafat sehingga mampu merumuskan konsep-konsep canggih dalam Wujudiah,

seperti wujûd dan ‘adam, Al-Haqq dan khalq, tajallî, zhahir dan bathin, wahdah dan

katsrah, tanzih dan tasybih, Zat dan Nama-nama, al-'ayan al-tsabitah, dan al-insan

al-kâmil280.

Dalam hal ini, Hamzah Fansûrî dan Mulla Sadrâ memperoleh banyak

keuntungan karena konsep wujûd dalam filsafat Islam dan Wujudiah telah mengalami

perkembangan sehingga mereka dapat merumuskan gagasan wujûd dalam perspektif

masing-masing secara lebih matang. Dalam hal ini, Hamzah Fansûrî melakukan

sintesis dan pengejawantahan konsep wujûd dalam Wujudiah dalam konteks yang

mudah dipahami masyarakat Melayu melalui bahasa puitis dan analogi-analogi yang

mudah dipahami masyarakat. Sementara Mulla Sadrâ melakukan sintesis dan kritik

mendalam atas filsafat wujûd dan membangun sebuah gagasan mandiri dalam al-

Hikmah al-Muta’alliyah.

280 Miswari, Filsafat Terakhir…, 172–177.

71

BAB III

KONSEP WUJUDIAH HAMZAH FANSÛRÎ

Mendalami konteks kehidupan dan karier Hamzah Fansûrî menjadi penting

ketika ingin memahami peta pemikirannya. Pada sekitar abad ke-16, karier Hamzah

Fansûrî di negeri Melayu tentu kondisi sosialnya berbeda dengan hari ini sehingga

analogi-analogi yang digunakan Hamzah Fansûrî dalam menjelaskan ajarannya tentu

harus dilihat dalam konteks ruang dan waktu kehidupan Hamzah Fansûrî sendiri dan

lingkungannya.

Hamzah Fansûrî mendapatkan keuntungan, antara lain, karena teori dan konsep

Wujudiah telah disempurnakan oleh Ibn ‘Arabî. Namun, Hamzah Fansûrî

mengemban tugas besar, yakni berusaha mereformulasi ajaran Wujudiah yang rumit

dan berat supaya dipahami oleh masyarakat Melayu. Sebenarnya, ajaran Wujudiah

dapat lebih mudah dipahami apabila sebuah masyarakat akrab dengan tradisi filsafat

karena sebagaimana dirumuskan Ibn ‘Arabî, Wujudiah dijelaskan dengan bahasa dan

sistem yang sangat filosofis.

Masyarakat Kepulauan Indonesia sendiri kurang akrab dengan tradisi filsafat

Islam kecuali terbatas pada penguasaan ilmu mantik sehingga Wujudiah dengan

pendekatan Ibn ‘Arabî menjadi sulit sekali untuk diterima. Dalam hal ini, dengan

bekal pemahamannya yang sangat mendalam atas ajaran Wujudiah dan kepekaan atas

kondisi sosiokultural masyarakat Melayu pada masanya, Hamzah Fansûrî

menghadirkan ajaran Wujudiah dengan menggunakan analogi-analogi dari objek-

objek yang dekat dan mudah dipahami oleh masyarakat. Di antara gagasan penting pemikiran Hamzah Fansûrî adalah penjelasan

tentang tujuh sifat Haqq Ta’âlâ, yakni Hayat, Ilmû, Iradat, Qudrat, Kalam, Samî',

dan Basar. Haqq Ta’âlâ itu Qayyim. Penjelasan tersebut terkandung dalam Asrâr.

Penjelasan-penjelasannya, antara lain, menggunakan berbagai analogi, seperti tanah

dan perabotan, kayu dan buah catur, cahaya dan sinarnya, laut dan ombak, buah

bundar, biji dan kandungan potensinya, cermin dan bayangannya, manusia dan

atributnya, sungai dan alirannya, air dan sifatnya, batu dan kepasifannya, besi dan

tukang besi, dan lainnya.

Bagian ini mengulas tentang kehidupan serta karya-karya Hamzah Fansûrî.

Kemudian, mengulas prinsip dasar ajarannya. Lalu, mengulas analogi-analogi yang

digunakan Hamzah Fansûrî dalam Asrâr dalam rangka menyederhanakan ajaran

Wujudiah agar mudah dipahami masyarakatnya. Terakhir, dilakukan pemaknaan atas

ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî dan analogi-analogi yang digunakan dalam Asrâr.

A. Kehidupan dan Karya Hamzah Fansûrî

Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan Hamzah Fansûrî berkarier di

Fansur pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Shah yang memimpin antara

1588–1604. Namun, hasil penelitian itu menjadi perlu dipertanyakan kembali apabila

menerima laporan Kersten281 yang bersandar pada temuan Guillot dan Kalus

sebagaimana dipresentasikan pada Jurnal Archipel yang menyatakan Hamzah

281 Kersten, A History of Islam In Indonesia, 45–50.

72

Fansûrî meninggal pada 1 April 1527282. Pandangan Drewes dan Brakel283 yang

mengatakan Hamzah Fansûrî telah mangkat sebelum 1590 memang benar. A.H. John

juga mengatakan Hamzah Fansûrî telah meninggal sebelum 1600, bahkan sebelum

1590284. Akan tetapi, selisih dugaannya terlalu jauh. Data-data terbaru itu makin

menguatkan pandangan Abdul Hadi WM285 yang membuka peluang besar bahwa

pada masa Sultan Iskandar Muda (1609–1636)286, Hamzah Fansûrî telah lama

mangkat sebelum itu karena pada masa tersebut, mudah saja ajaran martabat tujuh

yang diajarkan Shams al-Dîn al-Sumatranî287 disebarkan karena pengaruh ajaran

Hamzah Fansûrî yang mengajarkan martabat lima telah lama pudar, yaitu sudah

mencapai sekitar satu abad288.

Sementara kritik atas tindakan mafia perdagangan di Bandar Kesultanan Aceh

Darussalam yang melibatkan intrik kotor dalam perpolitikan Kesultanan Aceh

Darussalam, sebagaimana dilaporkan Lombard289, dilancarkan dengan keras oleh

Hamzah Fansûrî:

Berahimu da’im akan orang kaya

Manakan dapat tiada berbahaya

Praktik ini telah menjadi tradisi di Kesultanan Aceh Darussalam sebagaimana

direkam Hamzah Fansûrî. Persaingan dagang yang sengit yang secara langsung

berdampak pada intrik politik. Sementara dengan mudah Hamzah Fansûrî merekam

fenomena tersebut dalam bentuk kritik tentunya menjadi sulit kalau lokasi transaksi

perdagangan yang padat dan diskursus politik yang sengit terjadi di kawasan yang

jauh dengan Istana Dâr al-Dunyâ di Kutaraja290. Amirul Hadi mengatakan, Hamzah

Fansûrî berkarier dan menyebarkan ajarannya dari tempat yang tidak jauh dari pusat

kekuasaan291. Oleh sebab itu, tentulah Fansur dan Hamzah Fansûrî itu tidak berada

jauh dari pusat kerajaan. Dengan demikian, Fansur merupakan pusat transaksi

perdagangan yang padat menjadi mungkin292.

282 Guillot dan Claude Ludvik Kalus, “La Stèle Funéraire de Hamzah Fansûrî,”

Archipel 60, no. 4 (2000): 3–24. 283 Drewes and Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî, 3. 284 Johns, “The Poems of Hamzah Fansûrî,” 325. 285 Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas….., 118–119. 286 Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, (1607-1636), (Jakarta:

Gramedia, 2014), 105. 287 Arifin, “Tuhfah Al-Mursalah: Studi Terhadap Pemikiran Martabat Tujuh Al-

Burhanpury.”, 41-52. 288 M. Afif Ansori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansûrî (Yogyakarta: Gelombang

Pasang, 2004), 108–111. 289 Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), 226–227. 290 Amirul Hadi, “The Ṭāj Al-Salāṭīn and Acehnese History,” Al-Jami’ah: Journal of

Islamic Studies 42, no. 2 (2004): 258–293. 291 Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi (Jakarta: Obor, 2010), 89. 292 Azhari, Kapur Dari Barus: Islam Dan Jaringan Perdagangan Kuno, 1–12.

73

Bila merujuk data terbaru yang disebutkan Kersten293, Hamzah Fansûrî lahir

sekitar pertengahan abad ke-15 pada periode akhir Samudra Pasai294. Hamzah Fansûrî

bertolak ke Timur Tengah. Kebesaran Hamzah Fansûrî tentu saja dibutuhkan oleh

Kesultanan Aceh Darussalam yang membutuhkan ulama besar sehingga Hamzah

Fansûrî melanjutkan berkarier di Fansur yang merupakan wilayah Aceh Darussalam

sepulangnya dari pengembaraan295. Pada kondisi itulah, relevansi kontektualisasi

analogi-analogi yang digunakan Hamzah Fansûrî dalam menyebarkan ajarannya.

Wujudiah dianggap sebagai ajaran yang rumit. Namun, Hamzah Fansûrî

mengkontekstualisasikan ajaran tersebut dengan kondisi lingkungan dan

sosiokultural Fansur, dunia Melayu, pada masa ia berkarier.296

Hamzah Fansûrî adalah sufi Melayu pengajar Wujudiah yang telah

menghasilkan karya besar dalam tasawuf dan berkontribusi besar dalam

pembangunan sastra Melayu. Karya-karya Hamzah Fansûrî ditulis dalam bentuk

syair dan prosa. Syair-syair yang telah diperjelas dapat ditemukan dalam Tasawuf

yang Tertindas karya Abdul Hadi WM dan The Poems of Hamzah Fansûrî karya

Drewes dan Braker. Drewes dan Braker mengulas syair-syair Hamzah Fansûrî dari

manuskrip-manuskrip yang tersedia di Eropa. Abdul Hadi WM mengulas syair-syair

sufi besar itu dari manuskrip yang tersimpan di Jakarta297. Namun, syair-syair yang

berhasil dianalisis Abdul Hadi WM tampak lebih lengkap. Terdapat total sekitar tiga

puluh puisi. Sementara itu, terdapat tiga karya prosa Hamzah Fansûrî yaitu Asrâr,

Syarâb, dan al-Muntahî yang telah ditransliterasi dengan baik oleh Syed Muhammad

Naquib Al-Attas.

Adapun secara umum, pesan-pesan Hamzah Fansûrî dari sekitar tiga puluh

puisinya adalah penjelasan tentang Hakikat Haqq Ta’ala, kondisi alam spiritual,

status manusia dan alam sebagai wujûd yang bergantung secara mutlak kepada Haqq

Ta’ala, dan pesan peringatan kepada manusia untuk mempersiapkan bekal kembali

kepada Allah. Sementara prosa Asrâr merupakan penjelasan filosofis tentang puisi

ruba’i-nya yang ditakwikan oleh Hamzah Fansûrî sendiri. Adapun Syarâb

merupakan penjelasan makna batin dari syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Dan

al-Muntahî adalah penguatan argumentasi Wujudiah dengan mengutip Al-Qur’an,

hadis qudsi, hadis, ungkapan para sahabat nabi, dan para sufi.

293 Kersten, A History of Islam In Indonesia, 45–50. 294 Bandingkan dengan Braginsky yang memperkirakan Hamzah Fansûrî lahir sekitar

abad ke-16 atau abad ke-17. Lihat, Vladimir Braginsky, “Towards the Biography of Hamzah

Fansûrî. When Did Hamzah Live ? Data From His Poems and Early European Accounts,”

Archipel 57, no. 2 (1999): 136. 295 Syarif Hidayatullah dan Hamzah Fansûrî sebagai ilmuan besarhampur dapat

dipastikan adalah alumni perguruan terbaik masa itu yakni Dayah Blang Pria di Pasai.

Bandingkan, Aceh Sepanjang Abad Vol. I, 187–196 Mengenai Dayah Blang Pria, lihat,

Saifullah, Pembaruan Pendidikan Islam Di Aceh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 67–68

lihat juga; Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, 57–58. 296 Said, Aceh Sepanjang Abad Vol. I…, 189–196. 297 Syair-syair ditransliterasi hingga mudah dibaca. Hadi W.M.,Abdul, Tasawuf Yang

Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah Fansûrî, 351–441.

74

Puisi-puisi Hamzah Fansûrî antara lain membahas tentang tema ketuhanan

dan hubungannya dengan makhluk298. Ajaran kepada manusia untuk selalu berada di

jalan Allah sangat sarat dalam puisi-puisi Hamzah Fansûrî. Dalam puisinya, Hamzah

Fansûrî mengajarkan supaya manusia tidak terjebak oleh kenikmatan duniawi agar

dapat bersatu (wasil) dengan Allah. Manusia dianjurkan untuk menjadikan ilmu

dimiliki untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk menyombongkan diri.

Prosa Hamzah Fansûrî berjudul Syarâb mengulas tentang makna batin dari

syariat, tarekat, dan makrifat. Prosa berjudul Asrâr adalah penjelasan atas salah satu

puisinya yang mengulas tentang tujuh sifat utama Tuhan dengan menggunakan

berbagai analogi. Prosa berjudul al-Muntahî mengemukakan pandangan-pandangan

penting dari para sufi sebelumnya.

Dalam syair-syairnya, Hamzah Fansûrî mengulas tentang berbagai tema,

terutama tentang berhati-hati terhadap kecenderungan duniawi sebagai jalan menuju

bersatu dengan Allah, membahas tentang gagasan metafisika Hamzah Fansûrî, dan

berbagai tema lainnya, seperti konsep hubungan antara ketunggalan dan

kemajemukan. Dalam pandangan Hamzah Fansûrî, jalan menuju wasil (bersatu)

dengan Allah adalah dengan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Potensi lahiriah

dan batiniah harus dikerahkan dengan usaha keras. Manusia harus menyadari dirinya

seperti dagang, datang sejenak lalu segera pergi. Manusia harus selalu berbaik sangka

karena mereka hanya mampu mengenal sesuai secara terbatas karena sejatinya

segalanya adalah keindahan:

Rumahnya alî berpandam birai

Lakunya bijak sempurna bisai

Tudungnya halus terlalu pingai

Da'im berbunyi di balik tirai

Langkah pertama menuju keberuntungan adalah menemukan guru yang tepat

(mursyîd). Selanjutnya, harus melatih mengendalikan hawa nafsu. Hamzah Fansûrî

berkata:

Rantaikan hendak sekalian musuh

Anjing tunggal yogya kau bunuh

Dengan mahbubmu seperti suluh

Supaya dapat berdekap tubuh

Pada puisi ketiga dalam susunan oleh Abdul Hadi WM, Hamzah Fansûrî

mengatakan bahwa Allah adalah Wajîb al-Wujûd. Wujûd Allah adalah al-Awwal dan

Dia pula al-Akhîr. Allah adalah Cahaya sekaligus Sumber cahaya (Nûr 'Ayn). Cahaya

adalah asal dari semua makhluk. Awalnya, cahaya ini berada dalam pengetahuan

Allah, lalu memancar menjadi sekalian alam.

Awwal dan akhir asmanya jarak

Lahir dan batin rupanya banyak

298 Kautsar Azhari Noer, Ibn ‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, hal. 74

75

Sengguhpun dua ibu dan anak

Keduanya cahaya dari sana nyarak

Hamzah Fansûrî sendiri menggambarkan hakikat kemajemukan seperti kain

dan kapas299. Sekalipun namanya berbeda, hakikatnya hanya satu. Pemahaman itu

hanya dapat dialami sendiri melalui ilmu hudhurî. Meraih ilmu itu melalui tahapan

syariat (syariat), tarekat (thariqat), hakikat (haqiqat), dan makrifat (ma’rifat).

Dengan makrifat, segala hakikat dapat dipahami sehingga yang dikenali adalah

substansinya (jawhar), bukan hal-hal permukaan yang terindrai (aksiden,’aradh).

Dalam syairnya, Hamzah Fansûrî menulis:

Syariat akan katamu

Thariqat akan kerjamu

Haqiqat akan anggamu

Mangkanya sampai wahîd namamu

Ma'rifat itu ilmu yang mudah

Barang mendapat dia mengenali sudah

Citamu dari tempanya jangan kau ubah

Supaya washil tiada dengan susah

Jawhar nin mulia sungguhpun sangat

Akan orang muda kasih 'kan alat

Akan ilmu Allah hendak kau perdapat

Manakan sampai pulangmu rahat

Tuhan kita itu tiada bermakan

Lahirnya nyata dengan rupa insan

Man 'arafa nafsah suatu burhan

Fa-qad arafa rabbah terlalu bayan

Dengan sangat menyentuh, Hamzah Fansûrî mengingatkan bahwa

manusia harus karam dalam samudra, bukan dalam kolam. Maksudnya, manusia

tidak perlu terlena dengan dunia karena yang sesuai untuk manusia adalah

kenikmatan tiada batas dalam wasil Allah. Caranya adalah dengan tekun dalam

syariat dan senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan.

Manusia harus terbang membumbung menuju singgasana Ilahi. Caranya

adalah dengan 'uryan, yakni melepaskan diri dari segala, selain Allah. Inilah yang

dimaksud thayr uryanî.

Thayr uryanî unggas ruhani

Di dalam kandang hasrat Rahmanî

Warnanya pinggai terlalu shafî

299 Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas…, 335.

76

Thayr al-'uryani mabuk salîm

Mengenal Allah terlalu alîm

Demikian mabuk haruskan hakîm

Inilah amal Sayyid Abu al-Qasîm

Menurut Hamzah Fansûrî, thay uryanî ini adalah jiwa 'arif yang dirahmati.

Dianalogikan dengan burung adalah karena dia sedang terbang, menuju Ilahi. Burung

ini memiliki suara yang indah, bersih, mandinya di Sungai Salsabila.

Dalam puisi Hamzah Fansûrî ditekankan, selain syariat dianjurkan untuk

mengikuti tarekat. Suluk adalah jalan melepaskan kecenderungan duniawi. Manusia

harus konsisten dalam suluk. Supaya mendapatkan hakikat. Dengan demikian,

diraihnya makrifat. Bila mencapai derajat itu, manusia telah mendapatkan

pengetahuan sejati tanpa perantara300. Ilmu ini disebut ilmu hudhûri yang melampaui

batasan fisik301. Dalam keadaan itulah, diketahui keadaan Kebenaran sejati:

Zatnya tiada berkiri kanan

Zuhurnya da'im tiada berkesudahan

Tiada ber-jihat belakang dan hadapan

Di manakan dapat manzîl kau adakan

Jika kau dapat hakikat liqa'

Di ubun-ubun jangan jangan menyembah dliya

Karena Tuhan kita itu tiada ridha

Akan ilmu cahaya dan ilmu riya

Tuhan kita akan empunya wujûd

Di ubun-ubun tiada Ia qu'ûd

Jangan ditamsilkan amin dan quyûd

supaya washil dengan hakikat syuhûd

Kutipan syair di atas adalah sebagian dari gambaran Hamzah Fansûrî tentang

hakikat sejati. Jalan yang istimewa itu dimulai dengan langkah-langkah sederhana

dalam ibadah. Tekun dalam perintah fardu dan anjuran sunah, dan tegas dalam

membedakan halal dan haram adalah langkah awalnya. Syaratnya tidak

meninggalkan makna batin dari amalan-amalan itu.

Jika kau telah turut syari’atnya

Mangka kau dapat asal thariqat-nya

Ingat ingat akan hakikatnya

Supaya tahu akan makrifatnya

300 Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Relegius dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2016),

19 301 Mehdi Haeri Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Illuminasionis

dalam Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), 55

77

Manusia harus senantiasa menjaga nuraninya. Jangan sampai dunia

membuatnya terlena. Syariat Nabi Muhammad adalah pengingat. Sumber rezeki

haram harus dijauhi.

Fardu dan sunnat segera kerjakan

Itulah amal yang menerangkan jalan

Barang yang haram jangan kau makan

Supaya suci nyawa dan badan

Hadits ini dari Nabi al-habîb

Qala: Kun fi al-dunya ka-anna-ka gharîb

Barang siapa da’im akan dunia qarîb

Manakan dapat menjadi habib

Dalam syair-syairnya, Hamzah Fansûrî juga mengingatkan kepada manusia

supaya senantiasa mengenal hakikat dirinya. Manusia seperti setetes air dari samudra.

Sejatinya harus kembali ke samudra. Segala daya ‘aql, rûh, nafs, dan qalb harus

dikerahkan untuk kembali ke sana. Bila segala daya telah dicurahkan, akan selamat

saat mizân tiba.

Manusia hendaknya senantiasa bertobat. Juga harus membangun silaturahmi,

silaturahmi itu ibadah. Harus selalu yakin rezekinya telah diatur. Sibuk mencari harta

adalah jerat setan. Zina dan khayal harus dihindari juga. Kenikmatan dunia hanya

bayangan.

Nafsumu itu terlalu zalim

Pada Anggamu ia akan hakîm

Markabmu tiada ber-mu'allîm

Di manakan dapat engkau salîm

Sayangnya insan terlalu bebal

Disangkanya dunya lagi kan kekal

Nyaman matanya tidur di bantal

Akan salahnya tiada ia menyesal

Lemak manis terlalu nyaman

Oleh nafsu engkau tertawan

Sakarat al-mawt sulitnya jalan

Lenyap di sana berkawan-kawan

Hidup di dalam dunya umpama dagang

Datang mawsim kita kan pulang

La tasta khairuna sa'atan 'kan datang

Mencari ma'rifat Allah jangan alang-alang

Manusia adalah rahasia Tuhan. Harus menyadari keistimewaannya. Maka

dari itu, tidak patut tunduk pada nafsu dunia. Ketundukan mutlak hanya kepada Allah.

78

Posisi manusia di hadapan Allah persis seperti besi di hadapan tukang besi302.

Manusia harus senantiasa sadar bahwa kuasa Tuhannya amatlah tinggi. Dari itu

hendaknya manusia sadar bahwa tiada yang perlu dilakukan, kecuali dengan

mengikuti segala perintah-Nya.

Kekasih itu hendakkan nyawa

Itulah haluan yogya kau bawa

Jangan engkau takut akan tombak Jawa

Supaya orang jangan tertawa

Buangkan tirai berlapis lapis

Hampir-hampir pergi kau jalis

Pakaian mahbûb yogya kau labis

Supaya dapat mainmu manis

Manusia harus menyelam ke samudra Ilahi seperti ikan yang menyelam ke

laut dalam. Selain sarat amanat kemanusiaan sebagaimana telah dijelaskan di atas,

penjelasan tentang hakikat ketuhanan sarat di dalamnya. Di sana dijelaskan, Allah

hanya layak disebut “Dia” (Huwâ). Dia adalah Maha Esa (Ahad). Dengan kûn, jadilah

segala makhluk. Hamzah Fansûrî menganalogikan kondisi Tuhan itu sebagai laut

yang tenang. Kata kûn sebagai topannya sehingga menjelmalah segala macam

keberagaman. Hal itu dianalogikan dengan angka. Segala jumlah angka sejatinya

adalah dari satu dan merupakan kehadiran satu.

Sayangnya engkau terlalu lupa

Akan laut yang tiada berupa

Tandamu tuli lagi dan buta

Mabuk dan hijab lain mawta

Jika terkenal dirimu bapai

Engkaulah laut yang tiada berbagai

Ombak dan laut tiada bercerai

Musyahadah-mu sana jangan kau lalai

Pada hakikatnya, Dia Murni dengan Diri-Nya (Huwâ). Dalam kondisi ini,

Dia terlepas dari ‘itibar ketuhanan dan kemakhlukan. Status itu disebut maqam

Ahadiyah. Pada tahap selanjutnya, yakni maqam Wahidiyah telah mengandung tujuh

nama, yakni Hayy, ‘Ilm, Iradat, Qudrat, Kalâm, Samî', dan Bashîr. Bagian ini

dijelaskan dengan detail oleh Hamzah Fansûrî dalam prosanya, Asrâr.

Terdapat tiga prosa Hamzah Fansûrî, yakni Asrâr, Syarâb, dan al-Muntahî.

Tiga prosa itu telah ditransliterasikan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam

The Mysticism of Hamzah Fansûrî. Sebelumnya, Johan Doorenbos juga telah

mentransliterasi tiga prosa itu, tetapi Syed Muhammad Naquib Al-Attas melakukan

perbaikan atas kekurangan-kekurangan karya Johan Doorenbos. Asrâr adalah takwil

302 Syed Muhammad Naquib Al- Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî, 261

79

yang dilakukan Hamzah Fansûrî atas salah satu syair pentingnya yang mengulas

tentang tujuh sifat Allah. Dalam Asrâr, penjelasan tentang hubungan antara kesatuan

dilakukan melalui penggunaan analogi-analogi yang mudah dipahami masyarakat

Melayu. Adapun Syarâb adalah penjelasan tentang empat perjalanan pesuluk, yakni

syariat Makna batin dari tiap perjalanan tersebut dijelaskan dengan baik. Dalam al-

Muntahî, dikemukakan pernyataan-pernyataan kaum sufi yang sebagiannya

merupakan pernyataan kontroversial.

Asrâr bertujuan menjelaskan tujuh sifat Allah, yakni Hayy, 'Ilmû, Murîd,

Qadîr, Kalâm, Samî', dan Basîr. Penjelasan ini menggunakan analogi-analogi

sehingga menjadi alat yang tepat dalam menjelaskan hubungan kesatuan dan

kemajemukan. Analogi-analogi yang digunakan adalah tanah dan perabotan, kayu

dan buah catur, cahaya dan sinarnya, laut dan ombak, buah bundar, biji dan

kandungan potensinya, cermin dan bayangannya, manusia dan atributnya, sungai dan

alirannya, air dan sifatnya, batu dan kepasifannya, besi dan tukang besi, dan lainnya.

Analogi merupakan kelaziman bagi ‘urafâ dalam menjelaskan pengalaman

hudhûrî. Mereka memilih objek tertentu untuk dijadikan analogi karena menemukan

keidentikan metafisis antara nama yang terpancar dalam pengalaman spiritual dengan

esensi objek yang dianalogikan303. Mengetahui analogi yang digunakan tanpa

memahami esensi objek analogi tentunya akan tidak berguna dalam studi tasawuf.

Terdapat berbagai analogi yang digunakan Hamzah Fansûrî dalam

menjelaskan ajarannya. Namun, tidak semua analogi yang digunakan adalah analogi

yang berada dalam status ontologi. Misalnya, analogi buah kelambir itu orientasinya

tentu adalah untuk menjelaskan signifikansi dan relasi syariat, tarekat, hakikat, dan

makrifat. Analogi ikan untuk menggambarkan status pesuluk yang fânâ304. Ada juga

suatu objek digunakan, tetapi tidak bersifat sebagai analogi, tetapi penjelasan

langsung. Misalnya, kata “cahaya”. Terkadang, kata tersebut bersifat analogis,

terkadang kata tersebut bersifat langsung.

Dalam syair-syair Hamzah Fansûrî terdapat sangat banyak analogi.

Orientasinya ada untuk ontologi, maupun selainnya. Dalam tiga prosa juga

terkandung banyak analogi yang digunakan Hamzah Fansûrî dalam menjelaskan

ajaran-ajarannya. Asrâr adalah karya Hamzah Fansûrî yang sangat penting karena dia

sendiri mentakwilkan puisinya dalam bentuk prosa sehingga ajarannya menjadi

makin jelas. Namun, penjelasan ajaran-ajaran yang digunakan tetap saja

menggunakan analogi. Oleh sebab itu, apabila dapat menyingkap ajaran inti

(ontologi) Hamzah Fansûrî yang diungkapkan melalui analogi yang terkandung

dalam karya pentingnya Asrâr, ajaran Hamzah Fansûrî dapat menjadi terang.

Dalam Asrâr, analogi untuk ontologi yang digunakan Hamzah Fansûrî

mencakup berbagai objek utama, yakni cahaya, laut, tanah, dan kayu. Disebut objek

utama karena empat analogi itu secara digunakan untuk menerangkan Bâsîth sebagai

Wujûd yang Tunggal. Relasi Bâsîth dengan makhlûqat orientasinya untuk

303 Miswari, “Filosofi Komunikasi Spiritualitas: Huruf Sebagai Simbol Ontologi

Dalam Mistisme Ibn ’Arabî,” Al-Hikmah 9, no. 14 (2017): 12–30. 304 Ikan tongkol dianalogikan sebagai kondisi fânâ pesuluk. Ikan gajahmina

dianalogikan sebagai kondisi fânâ yang lebih dalam. Ikan kerapu punya analogi dalam

konteks yang berbeda yakni menggambarkan sesuatu yang bisa mirip, tetapi berbeda.

80

mempertegas tentang ketunggalan Haqq Ta’âlâ. Sementara analogi-analogi lain

memang masih berada dalam status ontologis, tetapi digunakan dalam rangka

menjelaskan relasi Bâsîth dengan makhlûqat. Analogi-analogi ini disebut analogi

sekunder. Objek-objek yang digunakan dalam analogi sekunder adalah manusia,

cermin, batu, air, sungai, dan besi305.

Sementara itu, Syarâb adalah prosa lainnya dari Hamzah Fansûrî yang

membahas tentang jalan menuju makrifat. Kitab tersebut juga merupakan bentuk

kepekaan Hamzah Fansûrî dengan menuliskannya dalam bahasa Melayu. Hal ini

karena pada masa itu kitab Melayu yang menjelaskan pedoman menempuh jalan

spiritual sangat dibutuhkan. Titik tekan dalam karya itu agar manusia tidak terperdaya

oleh kenikmatan duniawi.

Hamzah Fansûrî menegaskan dalam Syarâb bahwa syariat, tarekat, hakikat,

dan makrifat adalah tahapan-tahapan integratif menuju wasil Allah. Karya itu juga

mengandung berbagai analogi untuk memudahkan pemahaman pembacanya.

Mengerjakan segala ibadah fardu adalah prasyarat mutlak. Tobat dari segala maksiat

adalah niscaya. Manusia tidak dibenarkan hidup berlebihan. Tidak ada yang lebih

perlu dilakukan manusia, kecuali berusaha mendekatkan diri pada Allah. Selain itu,

hanyalah kesia-siaan.

Di dalam Syarâb juga dijelaskan secara sistematis tentang konsep ta’ayyûn

yang digagas Hamzah Fansûrî. Konsep tersebut merupakan bagian penting dari

pemikiran Hamzah Fansûrî. Inti gagasannya adalah untuk menegaskan bahwa inti

hakikat adalah satu wujûd. Hamzah Fansûrî menganalogikan pemahaman itu dengan

menggunakan berbagai objek, di antaranya air yang berada dalam berbagai kondisi,

seperti menjadi uap, menjadi awan, menjadi hujan, menjadi sungai, dan sebagainya,

tetapi pada hakikatnya adalah air.

Karya al-Muntahî yang berisi sangat banyak kutipan Al-Qur’an, hadis,

pernyataan para sahabat nabi, dan pernyataan-pernyataan kaum sufi. Kitab al-

Muntahî dapat dikatakan sebagai karya Hamzah Fansûrî yang sangat kontroversial.

Pemaknaan nash dalam karya itu berbeda dengan dipahami secara umum. Hamzah

Fansûrî memilih jalur esoteris untuk memaknainya. Namun demikian, sebenarnya

bila telah menerima prinsip ajaran dalam Syarâb dan Asrâr, pernyataan-pernyataan

di dalam al-Muntahî akan dapat dimaknai secara positif. Hadis, seperti “Barang siapa

menilik kepada sesuatu, jika tiada dilihatnya Allah di dalamnya, maka ia itu sia-sia”

dan dan pernyataan sahabat, seperti “Tiada kulihat sesuatu melainkan kulihat Allah

di dalamnya” (Alî bin Abî Thalib) akan dimaknai sebagai dukungan atas gagasan

Wujudiah.

Sistem penalaran dan ajaran sufi Wujudiah memang berbeda dengan cara-

cara penalaran umum karena kaum sufi menjadikan penyingkapan batinnya sebagai

landasan pengetahuan. Dalam al-Muntahî juga Hamzah Fansûrî menjelaskan prinsip

Wujudiah dengan menggunakan analogi. Misalnya, buah limau, daun, buah, batang,

dan kulit memiliki banyak penamaan, tetapi sejatinya adalah limau. Demikian juga

beraneka ragam makhluk di alam, sejatinya berasal dari satu wujûd.

Pernyataan kontroversial, seperti, “Akulah al-Haqq,” dari Abû Mansûr al-

Hallaj, ''Maha suci aku, tiada yang lebih lebih besar dari diriku,'' dari Abû Yazid al-

305 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 287.

81

Bistamî, ''Tiada di dalam jubahku ini melainkan Allah'', dari Junayd al-Baghdadî,

''Dhat Allah yang Qadim itulah dhatku sekarang,” dari Mas’ûdî, ''bahwa akulah

Allah,'' ungkapan Sayyid Nasîmî, dan beberapa ungkapan lainnya dikutip Hamzah

Fansûrî dalam al-Muntahî306. Karena itulah, selain karena analogi-analogi yang

digunakan, yang membuat Hamzah Fansûrî dikritik keras oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî

karena mengakomodir gagasan-gagasan kontroversial dari sufi-sufi yang dianggap

mulhithî.

B. Prinsip Dasar Ajaran Hamzah Fansûrî

Terdapat beberapa prinsip penting dalam ajaran Hamzah Fansûrî, yakni

membahas tentang iktikad para pesuluk yang dibedakan dengan iktikad para

mutakallimîn, seperti pengakuan bahwa wujûd itu bersifat univokal. Dalam

pembahasan Sifat Haqq Ta’ala, Hamzah Fansûrî menjelaskan tentang tujuh Sifat

utama, yakni Hayy, 'Ilmû, Irâdat, Kâlâm, Sâmî', dan Basyar. Sementara Ta’ayun

sebagai pembahasan manifestasi Ilahi terbagi menjadi tujuh tingkatan, yakni

Ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah, ‘alâm mitsal, alâm ajsâm, dan ‘alam

insân. Hamzah Fansûrî memperingatkan kepada manusia bahwa hidup di dunia

umpama anak dagang, hadir sejenak dan harus benar-benar serius dalam

mempersiapkan bekal kembali.

5. Iktikad Para Pesuluk

Dalam Asrâr, Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa kesamaan antara

mutakallimîn dan ‘urafâ307 adalah pada kesepakatan bahwa Dzat Haqq Ta’âlâ tidak

dapat dijangkau siapa pun, termasuk ‘urafâ, nabi, dan malaikat al-muqarrabîn. Oleh

karena itu, dalam hal ini dia ingin membagi perbedaan antara pandangan ‘urafâ dan

mutakallimîn308. Hamzah Fansûrî menerangkan bahwa, dalam pandangan ‘urafâ,

Dzat Haqq Ta'âlâ dengan wujûd-nya adalah satu. Wujûd dan Ilmu-Nya adalah satu.

Dzat Bâsîth dan wujûd Bâsîth adalah satu. Hamzah Fansûrî menjelaskan, menurut

para mutakallimîn, wujûd Bâsîth dengan wujûd alam itu berbeda. Hamzah Fansûrî

mengatakan, bila pemahaman mereka demikian, itu berkonsekuensi pada

keterbatasan wujûd Haqq Ta'âlâ309. Setidaknya, batasnya adalah wujûd alam, dengan

sanggahannya kepada mutakallimîn dan menegaskan pandangannya bahwa wujûd itu

adalah satu, yang diumpamakan dengan matahari dan sinarnya. Juga diumpamakan

306 Fansûrî, “Al-Muntahî,”…, 334–335. 307 Hamzah Fansûrî dalam pembahasan ini, menggunakan istilah ‘’urafâ’ dengan

‘ahlû sûlûk’. Penulis mengganti istilah tersebut karena para mutakallimîn juga sebagiannya

menjadi pesuluk. Penulis menduga Hamzah Fansûrî menggunakan istilah ‘ahlû sûlûk’

karena dalam hal ini dia melibatkan dirinya sehingga tidak mengklaim dirinya sebagai

seorang yang telah mencapai penyingkapan spriritual tinggi yang disebut dengan seorang

‘’arîf”. 308 Nasution, “Termination of Wahdatul Wujud in Islamic Civilization in Aceh: Critical

Analysis of Ithaf Ad-Dhaki, The Works of Ibrahim Kurani.”,,,, 401. 309 Humaidi, “Mystical-Metaphysics: The Type of Islamic Philosophy in Nusantara in

the 17th-18th Century.”,,,, 90.

82

dengan cermin dan bayangannya. Maka dari itu, Hamzah Fansûrî telah menegaskan

pahamnya adalah Wahdah Al-Wujûd atau dalam istilah Melayu disebut Wujudiah.

Selanjutnya, Hamzah Fansûrî kembali menegaskan pandangan Wujudiah yang

dipegangnya juga dengan menunjukkan perbedaan pandangan antara mutakallimîn

dengan ‘‘urafâ. Para mutakallimîn dalam memaknai basmalah, bahwa Rahman Allah

diberikan kepada seluruh makhluk di dunia, sementara Rahîm dikhususkan kepada

hamba terpilih di akhirat310. Sementara Hamzah Fansûrî mengatakan, pandangan

dirinya dan ‘urafâ lainnya bahwa Rahman berarti Bâsîth sebagai Wujûd Mutlak

memberikan wujûd kepada seluruh alam semesta. Sementara wujûd itu dalam

masing-masing tingkatan tidak terpisah dengan sumber wujûd yang berarti wujûd itu

adalah satu kesatuan, wahdah al-wujûd. Sementara al-Rahîm hanya diberikan kepada

para nabi, ‘‘urafâ dan shalihîn.

Selanjutnya, Hamzah Fansûrî mengatakan, dengan mengutip beberapa bagian

awal surah Ar-Rahman, bahwa al-Rahman mengajarkan Al-Qur’an, dan mengajarkan

manusia dapat membuat persepsi (bayân). Oleh karena itu, kemampuan memahami

alam atau munculnya sekalian alam esensinya adalah nafas al- rahman. Manusia

yang dapat memahami hakikat nama-nama dalam alam dijadikan dari rupa al-

Rahman. Al-’Ayan al-tsabîtah adalah sesuatu yang berada dalam napas al-Rahman.

Dari-Nyalah segala kemajemukan alam bersumber311. Hamzah Fansûrî mengatakan

bahwa Rahman itu adalah Wujûd. Sifat sifat lainnya juga dari Kesatuan Wujûd

sehingga segala yang muncul dari al-‘ayan al-tsabitah meskipun memiliki tingkatan

yang berbeda, tetap merupakan bagian dari Kesatuan Wujûd312.

Bâsîth sebagai Wujûd Mutlak memberikan wujûd pada sekalian alam melalui

rahmat Rahman sehingga segala wujûd alam merupakan manifestasi wujûd Haqq

Ta’âlâ. Hamzah Fansûrî menganalogikan tajali ini seperti tanah yang dijadikan

berbagai bentuk, seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana. Bentuknya

memang beragam, tetapi hakikatnya adalah tanah.

Kemajemukan alam semesta yang dianalogikan dengan tumbuhan,

digambarkan Hamzah Fansûrî muncul dari ‘Ilmû Bâsîth yang dianalogikan dengan

tanah, dan Wujûd Bâsîth dianalogikan dengan air. Dalam pertemuan wujûd dan ilmu

menjelma alam semesta, seperti dalam pertemuan air dan tanah terbit tumbuh-

tumbuhan. Aneka macam tumbuhan, aneka warna, dan aneka rasa buahnya menjelma

sebagai keberagaman dari air.

Demikian juga keanekaragaman alam, sebagai bentuk, semuanya bersumber

dari Wujûd Haqq Ta’âlâ. Demikian pula, segala yang dianggap baik, segala yang

dianggap jahat, muncul dari Haqq Ta’âlâ. Hamzah Fansûrî menambahkan, bila suatu

keindahan dan kebaikan muncul dari penilaian manusia, berarti kadar Jamal lebih

dominan. Sementara hal-hal yang dinilai sebagai keburukan didominasi oleh kadar

Jalâl. Meskipun demikian, pada setiap hal terkandung Jamal dan Jalâl dalam

dominasi kadar yang berbeda-beda313.

310 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”,,,, 263. 311 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”,,, , 263. 312 Syaifan Nur, “Kritik Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri.”,,,, 137. 313 Drewes and Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 121.

83

Sebagai aktualitas dari al-‘ayan al-tsabitah, alam semesta adalah dalam

lingkup pengetahuan Haqq Ta’âlâ. Hamzah Fansûrî dalam menjelaskan Bâsîth

sebagai ‘Alîm dan alam semesta sebagai yang diketahui (ma’lûm) menganalogikan

‘alîm sebagai laut sementara ma’lûm sebagai awan ketika menguap di udara, sebagai

hujan ketika turun dari langit, dan sebagai sungai ketika mengalir di darat. Meskipun

memiliki berbagai rupa dan bentuk, hakikatnya adalah air (laut). Segala yang berupa

dan berwarna adalah yang zahir dan dapat disebut ma’lûm. Indra manusia sangat

terbatas sehingga hanya dapat mengidentifikasi sesuatu yang memiliki bentuk dan

warna. Sementara realitas itu sendiri adalah satu kesatuan, menyeluruh namun tidak

mampu diindrai sehingga dapat disebut sebagai batin.

Sementara dalam menjelaskan relasi antara Qasim (yang dibagi) dan maqsum

(bagian-bagian). Adapun Qasim tentunya adalah Wujûd Mutlak sementara maqsum

adalah wujûd alam semesta yang majemuk. Qasim dianalogikan dengan laut,

sementara maqsum dianalogikan dengan ombak. Sekalipun beragam bentuk, ombak

itu sejatinya adalah laut. Sekalipun beragam penjelmaan alam semesta sejatinya

adalah satu wujûd tunggal314.

Sekalipun menegaskan bahwa wujûd alam semesta adalah bagian dari

Kesatuan Wujûd, Hamzah Fansûrî menegaskan bahwa wujûd yang ditangkap pada

alam semesta itu hanyalah wujûd wahmî, yakni wujûd yang dimunculkan persepsi.

Maksud ini dapat dijelaskan melalui sistem filsafat yang mana filsafat Ibn Sînâ

mengatakan bahwa wujûd yang dapat dipersepsi pada alam hanyalah tambahan dari

mâhiyâh-nya. Sementara wujûd sejati dari realitas dalam makna Kesatuan Wujûd

diperoleh melalui mukasyafah315.

Dalam mukasyafah, wujûd sejati sebagai Kesatuan Wujûd dapat dikenal. Jalan

untuk mencapai mukasyafah adalah dengan pelatihan spiritual yang tertib. Syariat

harus dijalankan dengan baik supaya memperoleh syarat tarikat. Dengan tarikat

dicapailah hakikat. Melalui hakikat tercapailah makrifat316. Namun, usaha

memperoleh muksyafah sehingga menghasilkan makrifat hanya akan berhasil dengan

karunia Ilahi317.

Hamzah Fansûrî menjelaskan dengan tertib tahapan tahapan menempuh jalan

spiritual dalam Syarâb al-Asyiqîn. Akan tetapi, Hamzah Fansûrî sendiri mengatakan

bahwa untuk memahami ajarannya dengan baik adalah dengan mempelajari syair-

syairnya dengan baik. Untuk dapat memahami syair Hamzah Fansûrî dengan baik

perlu mempelajari Asrâr karena dalam karya tersebut Hamzah Fansûrî melakukan

syarah sendiri atas beberapa syairnya. Di samping itu, Shams al-Dîn al-Sumatranî

314 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”… , 252. 315 Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy: Knowledge by

Presence…, 162. 316 Rohaimi Rastam, Yusri Mohamad Ramli, dan Mohd Syukri Yeoh Abdullah,

“Penilaian Terhadap Pengajaran Syariat Islam Oleh Al-Hallaj, Hamzah Al-Fansuri, dan

Shamsuddin Al-Sumatera’i,” International Journal of Islamic Thought 12, no. 1 (December

1, 2017): 59–71, http://www.ukm.my/ijit/wp-content/uploads/2017/11/IJIT-Vol-12-Dec-

2017_6_59-71. 317 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 65.

84

juga mensyarah beberapa syair Hamzah Fansûrî sebagaimana telah berhasil dihimpun

oleh Ali Hasjmy dalam Ruba'i Hamzah Fansûrî318.

Hamzah Fansûrî mengatakan, dalam pandangan mutakallimîn, bila seseorang

telah mengucapkan kalimat syahadat dengan lisannya, tidak ada alasan untuk

mengatakan dia bukan muslim. Akan tetapi, bagi'‘urafâ, syahadat berarti dapat

menyaksikan langsung dengan kasyaf sehingga dapat menemukan Kesatuan Wujûd

dan mengenal nama-nama Ilahi dalam setiap entitas majemuk yang semua ini

terhimpun dalam al-insân al-kâmil, yakni Nabi Muhammad319.

Segala makhlûqat berasal dari 'ilmû Haqq Ta’âlâ. Disebut rûh karena hidup,

disebut nûr karena memancar. Disebut ‘aql karena dapat diketahui. Disebut Qalâm

karena tersurat di lawh al-mahfûdz. Nur Muhammad adalah sumber nyawa dan Nabi

Adam adalah sumber jasad. Himpunan keduanya disebut insân320. Hamzah Fansûrî

mengatakan manusia tidak memiliki kehendak apa pun. Untuk mendapatkan

kehendak, manusia harus punya ilmu. Untuk mendapatkan ilmu harus memiliki

kehidupan. Untuk memiliki kehidupan harus memiliki wujûd. Sementara wujûd

hanya Haqq Ta’âlâ. Pandangan kebersyaratan sifat-sifat tersebut adalah bersumber

dari epistemologi Wahdah al-Wujûd yang dibangun oleh Ibn ‘Arabî321.

Ketinggian status 'urafâ digambarkan Hamzah Fansûrî dalam contoh tentang

bagaimana keduanya berpandangan tentang rezeki. Bagi mutakallimîn, klasifikasi

mencari rezeki hanya sebatas membolehkan yang halal dan melarang yang haram.

Sementara bagi ‘urafâ mencari rezeki saja tidak dibenarkan karena itu artinya

mencari duniawi, berkebutuhan, dan bergantung pada aspek duniawi. Namun, bila

rezeki itu hadir kepadanya, tidak boleh ditolak. Hamzah Fansûrî mengajarkan kepada

pesuluk untuk tidak memperbanyak makan dan meminimalkan pergaulan sesama

manusia. Pesuluk tidak dibenarkan memiliki ketertarikan kepada duniawi. Dalam

itikad pesuluk, tidak boleh ada dualitas. Konsentrasinya harus hanya kepada Haqq

Ta’âlâ saja. Bila masih beritikad pada dualitas, itu termasuk kesyirikan322.

Bagi ‘urafâ, kefakiran adalah melihat dan menyadari bahwa makhuk-makhluk

itu sama sekali tidak memiliki wujûd. Kesadaran ketiadaan wujûd makhluk itu dapat

menghantarkan pada fânâ. Ke-fânâ-an dalam pandangan Hamzah Fansûrî adalah

melampaui Athar, melampaui af'al, melampaui Asma', dan melampaui sifat. Dalam

analogi Hamzah Fansûrî, fânâ harus seperti laron yang lenyap terbakar api, sama-

sekali tidak lagi mampu mengidentifikasi dualitas323. Fânâ bukan seperti besi yang

318 Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansûrî…, 12. 319 Syarif Hidayatullah, “Perspektif Filosofis Sir Muhammad Iqbal Tentang Pendidikan

Islam,” Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 2 (January 1, 1970): 419, http://ejournal.uin-

suka.ac.id/tarbiyah/index.php/JPI/article/view/1154; Rusdiana, “Pemikiran Ahmad Tafsir

Tentang Manajemen Pembentuk Insan Kamil.” 320 Hadi, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah

Fansûrî, 36. 321 Bagir, Semesta Cinta, 193. 322 Braginsky, “Some Remarks on the Structure of the ‘Sya’ir Perahu’by Hamzah

Fansûrî,” 76. 323 Abdul W.M Hadi, Hamzah Fansûrî: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya

(Bandung: Mizan, 1995), 53.

85

terbakar api, sebagaimana dianalogikan Jalal al-Dîn Rûmî324 karena dalam kondisi

demikian, dualitas besi dan api masih dapat diidentifikasi.

Fânâ bagi Hamzah Fansûrî adalah tanggalnya ketertarikan kepada apa pun

selain Haqq Ta’âlâ. Ini bukan berarti sama sekali tidak boleh memiliki fasilitas

duniawi, tetapi tidak boleh berkecenderungan sama sekali kepada duniawi.

Menghindari perkara lahiriah adalah dengan syariat, menghindari perkara batiniah

adalah dengan hakikat. Syariat dan hakikat itu tunggal. Kesatuan syariat dan hakikat

dianalogikan dengan buah kelambir. Syariat adalah kulitnya, tarekat seperti

tempurung, hakikat seperti isinya, dan makrifat seperti minyaknya.

Dalam Syarâb, Hamzah Fansûrî menjelaskan tentang tujuh status jalan

spiritual yakni, syariat, tarekat, hakikat, makrifat, tajali Dzat, Sifat-sifat, cinta, dan

syukur. Tahap-tahap ini semuanya harus dilalui pesuluk untuk menjadi 'arîf. Dalam

keberagaman wujûd, namun hakikatnya adalah satu, di dalam al-Muntahî,

dianalogikan Hamzah Fansûrî dengan limau. Sekalipun ada daun, buah, dan batang,

keseluruhannya disebut limau. Perbedaan-perbedaan hanya pada penamaan saja,

sementara hakikatnya adalah satu. Analogi dalam hal ini, analogi lainnya yang dibuat

Hamzah Fansûrî adalah perumpamaan dua nama antara “susu” dan minyak sapi.

Penamaannya berbeda, tetapi acuannya sama.

Kesatuan Wujûd antara Haqq dan khalq juga dianalogikan dengan hubungan

jasad dengan rûh. Rûh tidak berada di dalam jasad. Tidak pula rûh berada di luar

jasad. Hubungan ini dianalogikan juga seperti hubungan permata dan kilauannya.

Kilauan itu tidak berada di dalam permata. Tidak pula kilauan itu di luar permata. Hal

ini untuk menunjukkan bahwa Haqq Ta’âlâ itu dekat dengan makhluk-Nya, tetapi

bukan bermakna mengenai jarak, tetapi bahwa Haqq Ta’âlâ meliputi segala

sesuatu325.

Dengan kondisi demikianlah, ‘urafâ menjadi kesulitan membedakan antara

Haqq dan khalq sehingga Abû Mansûr al-Hallaj mengatakan, "Anâ al-Haqq, Akulah

Kebenaran Mutlak", Abû Yazid al-Bistamî mengatakan, "Subhânî, Maha Suci Aku,

tiada yang lebih besar daripada aku" atau Junayd al-Baghdadî mengucapkan, “Tiada

di dalam jubah ini melainkan Allah", al-Nasîmî mengatakan, "Bahwa akulah Allah"

dan al-Mas'udî mengatakan, "Dzat Allah yang Qadim itulah Dzat-ku sekarang".

Berbagai syatahat itu hanya diucapkan dalam kondisi fânâ. Bila itu diucapkan di luar

kondisi tersebut, itu tidak dibenarkan. Bagaimana ‘urafâ tidak dapat menghindari

syatahat, padahal dapat menimbulkan kebingungan, dan kesalahpahaman, Hamzah

Fansûrî menjelaskannya dengan mengutip ungkapan al-Shiblî, yang menyatakan

bahwa seorang dalam kondisi fânâ seperti katak di dalam laut. Bila menutup

mulutnya, dia dapat mati. Bila membuka mulutnya, air laut memasuki mulutnya. Dan

itu juga dapat menyebabkan kematian.

324 Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust,

2008), 24. 325 Saliyo, “Selayang Pandang Harmonisasi Spiritual Sufi Dalam Psikologi

Agama.”…, 5-11.

86

6. Sifat Haqq Ta’ala

Segala kemajemukan yang sejatinya berasal dari satu, sebagaimana dalam al-

Muntahî dianalogikan oleh Hamzah Fansûrî dengan air yang menumbuhkan berbagai

jenis buah dengan berbagai warna, dan aneka ragam rasa. Sejatinya adalah satu, lalu

menjelma keberagaman. Sebagaimana berbagai bentuk ombak dengan adanya angin,

demikian juga menjelma berbagai jenis makhlûqat. Bila angin berhenti, segalanya

bentuk ombak kembali ke laut. Demikian juga segenap kemajemukan kembali

sehingga sejatinya yang kekal hanya Wajah Allah326.

Dari kesatuan muncul keberagaman, dan pada keberagaman itu hakikatnya

adalah kesatuan wujûd327. Jalan memahaminya adalah dengan mengenal diri, "Barang

siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya". Karena pengenalan hakikat

diri itulah yang menjadi landasan, menjadi paradigma mengenal Tuhan. Hakikat diri

bukanlah perangkat-perangkat aksidental karena itu semua adalah keberagaman yang

muncul dari analisis mental. Konsep “Tuhan” adalah konsep yang meniscayakan

keberadaan konsep “hamba”. Dualitas ini adalah konsekuensi analitis akal.

Sementara sumbernya atau landasannya adalah mengenal diri yang mana hakikatnya

adalah wujûd yang satu dan berasal dari Wujûd Haqq Ta’âlâ 328.

Sementara itu, Haqq Ta’âlâ bukan aksiden (dan bukan pula genus) sehingga

tidak dapat diidentifikasi dalam sistem empirik-analitik329. Haqq Ta’âlâ tidak

mengambil tempat. Segala yang bertempat adalah yang memiliki aksiden. Segala

yang memiliki aksiden itu sifatnya terbatas. Sementara Haqq Ta’âlâ tiada berbatas.

Zahir adalah dia, batin juga Dia. Dia adalah awal, Dia juga akhir330. Segala makhluk

memperoleh wujûd dari Haqq Ta’âlâ. Semuanya mengada dengan pemberian wujûd

dari-Nya. Persyaratan memperoleh wujûd adalah dengan ikrar sejak alam rûh.

Mempertahankan wujûd yang terjadi secara terus menerus adalah dengan zikir.

Semua maklûqat berzikir kepada-Nya setiap waktu, siang dan malam. Manusia

mempertahankan hubungan dengan Haqq Ta’âlâ adalah dengan syariat. Hamzah

Fansûrî sangat menekankan pentingnya syariat. Siapa yang melepaskan diri dari

syariat maka sesatlah dia331.

Mengenal Dzat Haqq Ta’âlâ adalah suatu kemustahilan sehingga pengenalan

terbaik adalah melalui sifat-sifat. Sama seperti mengenal seseorang, cara terbaiknya

adalah dengan mengenal Sifat-sifat-Nya. Misalnya, seseorang yang suka memberi

disifatkan dengan rahman. Mereka yang jujur disebut shiddiq. Pengenalan sifat-sifat

Haqq Ta’âlâ adalah melalui alam semesta. Pengenalan tersebut bukan tentang

kondisi aksiden. Pengenalan aksiden hanya sebatas pengenalan indrawi benda-benda

itu sendiri332. Pengenalan Sifat-sifat Haqq Ta’âlâ adalah mengenal pada esensinya.

Pengenalan tersebut hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah mencapai

326 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 167. 327 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 16. 328 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts…,

36. 329 Kindî, On First Phylosophy…, 14. 330 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 18. 331 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 302. 332 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 130.

87

mukasyafah. Dalam pengalaman tersebut bukan tentang kondisi aksiden. Pengenalan

aksiden hanya sebatas pengenalan indrawi benda-benda itu sendiri333.

Hanya dengan jalan tersebut segala Nama dan Sifat dapat dikenal melalui

hakikat semesta. Sementara selain itu bukanlah pengetahuan sejati. Bahkan,

penjelasan-penjelasan tasawuf filosofis, khususnya yang diekspersikan melalui puisi

maupun prosa adalah menggunakan analogi334. Menurut Hamzah Fansûrî, analogi-

analogi tersebut sebenarnya hanya pelambangan saja dari pengalaman 'arifîn.

Namun, Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa analogi-analogi yang digunakan ‘urafâ untuk

menjelaskan pengalaman kasyaf mereka memiliki relasi metafisika. Maksud Ibn

‘Arabî adalah, penggunaan sesuatu untuk menggambarkan sesuatu memiliki

keidentikan esensi antara keduanya karena ‘urafâ memang telah dapat menangkap

hakikat dari hal-hal yang digunakan sebagai analogi. Maka dari itu, analogi-analogi

yang digunakan tersebut memang dapat menjelaskan pengalaman kasyaf. Dengan

demikian, pengenalan atas Sifat-sifat adalah jalan terbaik mengenal Allah. Hamzah

Fansûrî menjelaskan tujuh sifat Haqq Ta’âlâ, yakni Hayat, Ilmû, Iradat, Qudrat,

Kalam, Samî', dan Basar. Haqq Ta’âlâ itu Qayyim. Dia berdiri dengan sendirinya.

Sementara yang lainnya tegak karena Dia yang menegakkan. Haqq Ta’âlâ dan

sifatnya adalah satu.

Sifat pertama adalah Hayy, yakni hidup. Hidup harus menjadi sifat pertama

karena hanya dengan hidup maka sifat-sifat yang lain terjadi. Apabila tidak hidup,

berarti mati. Analoginya orang mati maka sifat-sifat lainnya menjadi mustahil. Orang

yang mati tidak dapat mengetahui, tidak dapat berkehendak, tidak dapat mendengar,

tidak dapat melihat, dan seterusnya. Misalnya, orang mati tentunya tidak memiliki

sifat. Haqq Ta’âlâ bersifat hidup. Sebab itu, Dia dapat memberikan hidup kepada

makhlûqat. Hanya yang memiliki yang dapat memberikan. Bila Dia tidak hidup,

mustahil dapat memberi kehidupan335.

Sifat kedua adalah 'Ilmû, yakni mengetahui. Dengan sifat ini Haqq Ta’âlâ

dapat mengetahui Diri-Nya. Dari aktivitas ini muncul 'alim, ma'lûm, dan "ilmû.

Sebagai yang mengetahui Dia disebut 'alim. Sebagai yang diketahui, Dia disebut

ma'lûm. Aktifitas pengetahuan disebut 'ilmû. Sebagai yang mengetahui disebut awal,

sebagai yang diketahui disebut akhir. Sebagai yang mengetahui disebut Batin, sebagai

yang diketahui disebut Zahir. Sebagai Zahir maka dia menjadi dapat dikenali oleh

manusia336.

Sifat ketiga adalah Irâdat yang artinya Berkehendak. Haqq Ta’âlâ adalah

perbendaharaan tersembunyi. Dengan Iradât-Nya untuk dikenal. Maka dari itu, Dia

ber-'isti'dad dengan ‘Ilmû-nya sehingga menjelmalah makhlûqat Sebab itu, dia yang

sebelumnya tersembunyi menjadi teraktual. Dia yang sebelumnya Batin menjadi

Zhahir. Hamzah Fansûrî menganalogikan kondisi tersembunyi seperti biji337.

333 Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy: Knowledge by

Presence, 87. 334 Abdul Hadi WM, Hermeneutika Sastra Barat Dan Timur, (Jakarta: Sadra Press,

2014), 167. 335 Abdul Hadi WM, Hermeneutika Sastra Barat Dan Timur…, 181. 336 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 120–121. 337 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 132.

88

Padanya terkandung potensi batang, daun, dan buah, selanjutnya teraktualisasi. Cara

mengaktualisasikan makhlûqat adalah dengan 'Amr-Nya. Sebagaimana bunyi Al-

Qur’an Surah Yasin: 38, "Sesungguhnya 'Amr-Nya ketika menginginkan kejadian

sesuatu, dikatakan kepada-nya (lahû), 'jadilah”'. Oleh karena itu, bila pun sesuatu

belum menjelma, tetap dikatakan lahû yang berarti memang sudah sedia, tetapi masih

dalam Ilmu-Nya. Maka dari itu, dengan 'Amr-Nya, dikatakan pada ‘lmû-Nya

“jadilah”. Dengan demikian, teraktualisasikanlah kemajemukan semesta338.

Sifat keempat adalah Qudrat. Dia berkehendak atas segala sesuatu339. Dia

memberikan batasan-ketentuan, dan ketetapan kepada setiap sesuatu. Karena itu,

tidak ada apa pun dan siapa pun yang dapat mengingkari ketetapan-Nya. Sebab itu,

tidak ada apa pun yang dapat melanggar ketetapan-Nya. Tidak ada pilihan, kecuali

menerima segala kadar dan ketetapan karena pada setiap ketetapan dan ketentuan itu

adalah kebaikan. Semua itu adalah dari Haqq Ta’âlâ. Pada dasarnya, semua adalah

kebaikan karena datang dari-Nya. Sifat kelima adalah Kâlâm. Hamzah Fansûrî

menolak pandangan Mu'tazilah yang menyatakan bahwa kalam Allah itu makhluk

yang baharu. Hamzah Fansûrî sepakat bila kalam yang baharu adalah yang turun

kepada Nabi Muhammad dan mushaf Al-Qur’an. Sementara Kâlâm dalam makna

ontologisnya hanya Allah yang tahu. Dan pastinya, Haqq Ta’âlâ dan Kâlâm itu tidak

seperti manusia dengan ucapannya.

Sifat keenam adalah Sâmî'. Haqq Ta’âlâ mendengar tidak sama seperti

manusia mendengar. Manusia mendengar, lalu mendapatkan pengetahuan baru

sehingga terjadi perubahan pada pengetahuannya. Sementara ‘Ilmû Haqq Ta’âlâ itu

tetap, tidak pernah berubah. Haqq Ta’âlâ mendengar apa pun di semesta, bahkan

hingga hal kecil yang terbesit di dalam hati manusia340. Sifat ketujuh adalah Basyar.

Haqq Ta’âlâ tidak membutuhkan mata untuk melihat. Dia melihat dengan ‘Ilmû-Nya.

Demikian juga dengan penglihatan-Nya, tidak terjadi perubahan pada Ilmû -Nya.

Dengan banyaknya sumbangan kajian filosofis yang telah dipelajari Hamzah

Fansûrî maka sekalipun lebih banyak mengemukakan pandangannya melalui puisi,

Hamzah Fansûrî telah dapat membangun sistem Wujudiah yang lebih jelas dan

mudah dipahami dibandingkan ‘urafâ sebelum Ibn ‘Arabî341. Hamzah Fansûrî

menolak sistem ittihad yang digunakan Abû Yazid al-Bistamî maupun sistem hulûl

yang digunakan Abû Mansûr al-Hallaj. Dalam pandangan Hamzah Fansûrî, kedua

sistem tersebut masih meniscayakan dualitas. Namun, penolakan tersebut bukan pada

makna ajarannya, tetapi pada sistem epistemologisnya. Namun demikian, konsepsi

ittihad dan hulûl berkonsekuensi pada keniscayaan dualitas. Paham demikian

berkonsekuensi pada terdapatnya dualitas. Ittihad dan hulûl adalah gambaran adanya

338 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts…,

172. 339 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asmā Al-Husnā dalam Perspektif Al-

Qurʼan (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 314. 340 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 249. 341 Abdul Hadi WM., Abdul, Hamzah Fansûrî: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya…,

21.

89

dualitas yang bersatu. Sementara Wahdah al-Wujûd benar-benar hanya menerima

satu wujûd342.

Namun demikian, tasawuf Abû Yazid al-Bistamî, Abû Mansûr al-Hallaj, ‘Ain

al-Qudhad Hamadanî pada hakikatnya merupakan bagian dari Wujudiah. Hal ini

dapat ditunjukkan melalui syatahat dan iktikad-iktikad yang mereka kemukakan.

Namun sayangnya, pada waktu itu filsafat Ibn Sînâ belum berkembang. Oleh sebab

itu, dalam membangun keilmuan dari pengalaman mistiknya, ‘urafâ masa itu belum

memiliki sistem epistemologi yang canggih. Ibn ‘Arabî adalah ‘arif pertama yang

berhasil mengembangkan epistemologi tasawuf secara sistematis dengan mengambil

sumbangan dari sistem epistemoligi Masya'iyyah Ibn Sînâ.

Hamzah Fansûrî, Ibn ‘Arabî, bersama ‘urafâ sebelumnya, seperti Abû Yazid

al-Bistamî, Abû Mansûr al-Hallaj, dan ‘Ain al-Qudhad Hamadanî adalah ‘urafâ yang

mengakui wujûd itu hanyalah satu. Sementara selainnya adalah bayangan dari satu

wujûd yakni Haqq Ta’âlâ. Memang benar bahwa masing-masing ‘urafâ tersebut

memiliki maqam yang berbeda dalam pengalaman intuitifnya. Sebagian mereka juga

menggunakan sistem epistemologi yang mengesankan adanya dualitas, namun secara

keseluruhan pemikiran, pada prinsipnya mereka adalah berpaham Wahdah al-

Wujûd343 atau Wujudiah.

7. Konsep Ta’ayyûn

Bagaimana dari yang satu memunculkan keberagaman adalah persoalan yang

telah coba dijawab sepanjang sejarah intelektual manusia. Di antara yang menarik

untuk dipertimbangkan sebagai argumentasi yang menarik adalah pemikiran

Pythagoras344. Filsuf dari Samos itu mengatakan bahwa satu atau ketunggalan

merupakan sesuatu yang tetap dan menjadi asal-usul segala sesuatu. Selanjutnya, dari

satu menghasilkan dua yang menjadi identitas alam materi. Di alam, segalanya adalah

dua atau sepasang. Sementara tiga adalah lambang ideal karena memiliki awal,

tengah, dan akhir. Empat adalah simbol bagi empat musim dan empat elemen dasar

alam. Pythagoras membuat simbol tetrakis yang menjadi simbol hubungan kesatuan

dan kemajemukan. Dalam konsep Ptyhagoras, genap adalah simbol feminim dan

ganjil adalah simbol maskulin345.

Plato mengajarkan bahwa segala kemajemukan di alam memiliki ketunggalan

di alam ideal. Konsep hubungan ketunggalan dan keberagaman yang sangat

memengaruhi pemikir muslim adalah gagasan Plotinus. Meminjam istilah Plato,

Plotinus mengatakan alam semesta berasal dari nous. Darinya muncul manifestasi

melalui sistem emanasi. Sistem itu dipakai para filosof Islam untuk memperkaya

penjelasan tentang konsep ketuhanan yang dianggap rasional346.

342 Syaifan Nur, “Kritik Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri,”…, 137. 343 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts…,

89. 344 Miswari, Filsafat Terakhir…, 95. 345 Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London & New York: Routledge,

2004), 38–41. 346 Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam…, 26–

28.

90

Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ merumuskan skema emanasi. Al-Fârâbî

menyempurnakan teori emanasi Plotinus menggambarkan Tuhan sebagai Akal Murni

yang berpikir tentang dirinya, lalu menghasilkan akal pertama. Selanjutnya, akal

pertama berpikir tentang dirinya dan Akal murni, menghasilkan akal ketiga.

Seterusnya, hingga memunculkan akal kesepuluh. Akal kesepuluh itu disebut sebagai

Malaikat Jibril atau Akal Aktif. Darinyalah muncul kemajemukan alam semesta347.

Menurut mutakallimîn, alam semesta diciptakan dari ketiadaan oleh Tuhan.

Menurut mereka, apabila alam semesta bukan berasal dari ketiadaan, berarti alam

semesta itu bersifat kekal sehingga dianggap menyamai Tuhan. Dan itu tidak

mungkin karena dalam doktrin teologis, tidak ada yang menyamai Tuhan348.

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengambil jalur yang berbeda dalam

menggambarkan kejadian pluralitas alam semesta dengan menggunakan konsep

illuminasi. Menurutnya, Tuhan yang satu adalah Cahaya di atas Cahaya (Nûr al-

Anwar). Darinya memunculkan intelek-intelek abstrak (anwar al-mujarradah).

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî menggambarkan kejadian alam sebagai pancaran

Cahaya Ilahi. Makin jauh dari sumbernya, cahaya menjadi makin redup. Sementara

alam semesta yang majemuk adalah kegelapan mutlak karena sangat jauh dengan

sumber cahaya349.

Dalam aliran Wujudiah yang digagas Ibn ‘Arabî, kemajemukan yang muncul

dari ketunggalan dijelaskan melalui sistem tajallî350. Tajallî terjadi karena Kasih

Sayang Tuhan. Dalam karyanya al-Futûhat al-Makkiyah, Ibn ‘Arabî menjelaskan

sistem tajallî secara kompleks. Pertama adalah Martabat Zat yang merupakan Misteri

Mutlak. Selanjutnya, Martabat Ahadiyah, tidak dapat dihubungkan dengan apa pun.

Selanjutnya, pada Martabat Wahidiyah sudah terkandung Martabat Nama-nama dan

Sifat-sifat, dan ‘ayân al-tsabîtah yang merupakan sumber tetap segala potensi

kemajemukan. Selanjutnya adalah ‘alam mitsal yang merupakan ‘alam khayalî atau

disebut ‘alam barzakh karena menjadi perantara antara alam ruhani dan alam materi.

Selanjutnya adalah ‘alam syahadah, yaitu alam materi yang majemuk351. Sementara

Hamzah Fansûrî menggambarkan tujuh tingkatan wujûd. Pertama, Ahadiyah, yaitu

hakikat sejati Haqq Ta’âlâ. Kedua, wahdah, yaitu hakikat Muhammad saw. Ketiga,

wahidiyah, yaitu hakikat Adam a.s. Keempat, ‘alam arwah, yaitu hakikat rûh.

Kelima, ‘alâm mitsal, yaitu hakikat bentuk. Keenam, ‘alâm ajsâm, yaitu hakikat

jasad. Ketujuh, ‘alam insân, yaitu hakikat manusia352.

347 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap

Modernitas (Jakarta: Erlangga, 2007), 66–67. 348 Marpaung, Irwan Malik, “Alam Dalam Pandangan Abu Hamid Al-Ghazali,”

KALIMAH 12, no. 2 (September 15, 2014): 281,

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah/article/view/240. 349 Ziai, Suhrawardi Dan Filsafat Illuminasi…, 225–227. 350 Fazeli, Mazhab Ibn ‘Arabî : Mengurai Paradoksalitas Tasybih Dan Tanzih,

Translated. (Jakarta: Sadra Press, 2016), 136. 351 Chittick, Imaginal Worlds: Ibn Al-’Arabi and the Problem of Religious Diversity…,

20–22. 352 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta:

Kencana, 2017), 76.

91

Dalam bab lima Syarâb, Hamzah Fansûrî menjelaskan tentang konsep lâ

ta’ayyûn dan ta’ayyûn. Konteksnya adalah dalam menjelaskan hubungan

ketunggalan dan kemajemukan, Hamzah Fansûrî menggunakan ajaran yang disebut

martabat lima. Martabat pertama adalah lâ ta’ayyûn, yaitu kunhî al-dhatî al-haqqî,

yaitu sesuatu yang sama sekali tidak dapat dijangkau.

“Maka dinamai lâ ta’ayyûn karena budi dan bichara, ilmu ma’rifat kita tiada

lulus kepadanya. Jangankan ‘ilmu dan ma’rifat kita, Anbiya’ dan Awliya’

pun hayran. Maka dinamai lâ ta’ayyûn, ya’ni ma’na lâ ta’ayyûn (itu ialah)

tiada nyata.”353

“Adapun pertama ta’ayyûn empat bahagi: ‘Ilmu dan Wujûd dan Syuhûd dan

Nûr. Ya’ni yang keempat inilah ta’ayyûn awwal, karena daripada ‘Ilmu maka

‘Alim dan Ma’lûm nyata: Kerana Wujûd maka Yang Mengadakan dan (Yang)

Dijadikan Nyata; kerana Syuhûd maka Yang Melihat dan Yang Dilihat nyata;

karana Chahaya maka Yang Menerangkan dan Yang Diterangkan nyata.

Sekalian itu daripada ta’ayyûn awwal juga. ‘Ilmu dan Ma’lûm, Awwal dan

Akhir, Zahir dan Batin beroleh nama."354

Setelah lâ ta’ayyûn, selanjutnya terjadi ta’ayyûn melalui tajallî. Pada tingkatan

itu, Dia telah menampakkan diri (tashbih) atau imanen. Ta’ayyûn (nyata) dibagi ke

dalam empat martabat atau sering disebut Martabat Empat. Pertama, ta’ayyûn awwal

yang mengandung tiga unsur, yaitu melalui wujûd, shuhûd, dan nûr. Dengan wujûd,

Dia menyaksikan (syuhûd) Diri-Nya dan Dia juga yang disaksikan oleh Diri-Nya.

Menjadi nûr sehingga Dia yang menerangi Diri-Nya355.

Ta’ayyûn tsanî adalah Dia yang diketahui, yang dilihat, yang diterangi dalam

kandungan-Nya sehingga disebut a’yan tsabitah. Disebut juga suwar ‘ilmiyyah

karena karena padanya bentuk yang dikenal. Disebut juga hakikat asya’ karena

padanya hakikat segala sesuatu. Disebut juga rûh idhafî karena dia merupakan roh

yang terpaut. Ta’ayyûn tsalits adalah rûh insanî, rûh hayawanî, dan rûh nabatî.

Ta’ayyûn rabi’ dan Ta’ayyûn khamis adalah kejadian alam semesta keseluruhannya,

termasuk jasad manusia. Kejadian ini terjadi secara terus-menerus356.

Dalam ‘Asrâr al-‘Ărifîn’, kejadian kemajemukan dari ketunggalan

digambarkan Hamzah Fansûrî dengan sangat sederhana, yakni melalui analogi-

analogi yang sangat mudah dipahami. Kemajemukan terjadi karena aktualitas Ilmu

Haqq Ta’âlâ yang memancar. Hal itu dianalogikan dengan tanah yang merupakan

sesuatu yang tunggal, namun menjelma keanekaragaman persis seperti menjelmanya

beragam perabotan, seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana357.

353 Fansûrî, “Al-Muntahî,”…, 315. 354 Fansûrî, “Al-Muntahî,”…, 315 355 Sandigu, Wahdah al-Wujûd: Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansûrî

dan Syamsuddin Sumatrani Dan Nuruddin Al-Raniri (Yogyakarta: Gama Media, 2003), 61–

62. 356 Sandigu, Wahdah al-Wujûd…, 63–64. 357 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268.

92

Haqq Ta’âlâ yang merupakan wujûd yang satu ketika Dia sebagai 'Alim

melihat kepada 'Ilmû-Nya maka muncullah tajali pertama yang merupakan Haqîqat

Muhammad. Dalam Haqîqat Muhammad itu segala sifat terkandung. Karena semua

berasal dari Haqq Ta’âlâ, segala manifestasinya adalah kebaikan. Untuk itu, insan

yang mengandung potensi al-insân al-kâmîl dituntut untuk mengaktualisasikan

potensi sifat-sifat baik. Dengan aktualisasi kebaikan maka pada setiap entitas semesta

akan ditemukan hakikat nama dan sifat yang baik (asma' al-husna). Menjadi baik dan

buruk segala sesuatu hanya karena keterbatasan konsepsi dan interpretasi oleh

manusia358.

8. Manusia sebagai Anak Dagang

Dalam banyak bagian karyanya, Hamzah Fansûrî sangat menekankan

pentingnya melaksanakan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Jalan demikian

berguna untuk melepaskan manusia dari ketertarikan duniawi. Hal ini karena hakikat

kemerdekaan adalah lepas dari kecenderungan duniawi dan membebaskan seluruh

daya jiwa untuk berkonsentrasi pada tujuan kehidupan di muka bumi, yaitu kembali

kepada Tuhan dengan keadaan terbaik. Hamzah Fansûrî menegaskan bahwa status

kedirian manusia itu sangat bergantung kepada Tuhan. Dalam skema Wujudiah,

wujûd hanya milik Haqq Ta’ala. Selainnya, khususnya kedirian manusia, hanya

pemberian wujûd dari Haqq Ta’ala. Untuk menggambarkan kondisi manusia yang

jangankan lainnya, wujûd saja sangat bergantung kepada Haqq Ta’ala, Hamzah

Fansûrî menganalogikan kefakiran kondisi manusia sebagai anak dagang359.

Maksudnya adalah, kondisi kedirian manusia itu persis seperti pedagang yang datang

ke suatu tempat hanya untuk sementara sehingga tidak perlu melakukan banyak

urusan dan mengambil terlalu banyak karena itu akan memberatkannya dalam

melanjutkan perjalanan.

Secara ontologis, manusia sebagai mutlak kehadiran Wujûd Haqq Ta’ala

hanya perlu fokus pada perkembangan jiwanya dalam berbagai stasiun perjalanan.

Alam dunia hanya bagian dari perjalanan jiwa manusia persis seperti pedagang yang

hanya tinggal di suatu pelabuhan. Mau tidak mau, harus melanjutkan perjalanannya.

Analogi anak dagang dalam menggambarkan kondisi manusia digunakan Hamzah

Fansûrî karena pada masa itu perkembangan kebudayaan dan diskursus keilmuan

berkembang pesat di pantai pelabuhan. Tentunya, masyarakat sangat akrab dengan

kondisi pedagang sehingga analogi tersebut menjadi sangat efektif karena dapat

mudah dipahami masyarakat.

Anak dagang dalam masyarakat Melayu dimaknai untuk seorang santri yang

pergi menuntut ilmu ke pondok. Perjalanan anak dagang dalam makna ini adalah

untuk mengambil perbekalan, yakni ilmu untuk memudahkan jalan mereka dalam

menjalani hidup dan mempersiapkan bekal amal untuk akhirat. Hamzah Fansûrî juga

menggunakan kiasan anak jamu. Hal ini karena seorang jamu (tamu) datang ke suatu

tempat tidak untuk berlama-lama. Datang hanya sejenak, menuntaskan urusan, lalu

358 Teuku Safir Iskandar Wijaya, Falsafah Kalam (Lhokseumawe: Nadiya Foundation,

2003), 78. 359 Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya

Hamzah Fansuri, 245.

93

segera kembali. Tentunya demikian juga tujuan hidup manusia di dunia, tidak boleh

terikat dengan kecenderungan duniawi360.

Manusia harus selalu sadar akan kefakiran dirinya di hadapan Tuhan sehingga

fokusnya hanya mencapai keridaan Allah. Bila tidak, manusia itu mengingkari

hakikat dirinya. Tentang bahaya kecenderungan duniawi, Hamzah Fansûrî

menggambarkan:

Berahimu da'im akan orang kaya

Manakan dapat tiada berbahaya

Ajib sekali hati sahaya

Hendak berdekap dengan Mulia Raya

Kesadaran akan kefakiran diri insan adalah hakikat tauhid. Disadari bahwa

kedirian itu sama sekali tidak memiliki eksistensi. Keberadaan manusia sepenuhnya

adalah kehadiran wujûd dari Haqq Ta’ala. Kesadaran seperti ini oleh Hamzah Fansûrî

digambarkan dengan laron atau kaluh-kaluh yang dengan sukarela terbang menuju

api untuk melenyapkan diri.

Anak dagang sebagai gambaran kefakiran manusia menunjukkan kesamaan

derajat manusia atas sesamanya. Manusia hanya perlu tunduk kepada Allah karena

padanya saja seluruh makhluk bergantung. Abdul Hadi WM mengatakan, kesadaran

akan kefakiran diri manusia yang digambarkan Hamzah Fansûrî tidak digambarkan

dengan sikap sentimental, mengiba, dan penuh linangan air mata361. Kondisi ini oleh

Hamzah Fansûrî malah digambarkan sebagai keberanian, kekuatan, dan semangat

hidup yang berapi-api362. Hamzah Fansûrî sangat sadar bahwa:

Hidup dalam dunya umpama dagang

Datang mawsim kita 'kan pulang

Lâ tasta khiruna sa'atan lagi kan datang

Mencari ma'rifat Allah jangan kita alang-alang363

Mencari ma'rifat Allah, yakni mengenal Allah yang telah melampaui ‘ilm

yaqin, ‘ain yaqin, dan haqq al-yaqin yang diperoleh setelah syariat, tarekat, dan

hakikat. Pengenalan inilah yang diinginkan supaya insan dapat bermain mata dengan

Rabb al-'alam. Kondisi ini seperti Simurgh dalam gambaran Farîd al-Dîn Attâr dalam

“Mantiqut Tayr”. Simurgh adalah personifikasi jiwa manusia yang telah mencapai

singgasana Ilahi. Simurg inilah yang dicari oleh burung-burung dalam gambaran

Farîd al-Dîn Attâr yang menamsilkan jiwa pesuluk364.

Braginsky mengatakan, “Syair Burung Pinggai” yang digubah Hamzah

Fansûrî tidak terlepas dari semangat “Mantiqut Tayr” karya Farîd al-Dîn Attâr.

360 Hamzah Fansuri, “Syair Perahu,” dalam Seulawah: Antologi Sastra Aceh, ed. L.K.

Ara, Taufiq Ismail, and Hasyim KS (Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995), 3–4. 361 Hadi, Tasawuf Yang Tertindas…, 250. 362 Hadi, Tasawuf Yang Tertindas…, 250. 363 Hadi, Tasawuf Yang Tertindas…, 251. 364 Miswari, Tasawuf Terakhir…, 126–127.

94

Dalam penafsiran Braginsky, Simurg dalam konteks Hamzah Fansûrî adalah Burung

Pinggai. Bila dalam pemaknaan Farîd al-Dîn Attâr bahwa Simurgh adalah Tuhan,

sementara dalam pemaknaan Hamzah Fansûrî, Simurgh adalah Nur Muhammad365.

'Ilm al-yaqin nama ilmunya

'Ayn al-yaqin hasil tahunya

Haqq al-yaqin akan lakunya

Muhammad Nabi asal gurunya366

Hamzah Fansûrî juga mengganti istilah anak dagang dengan istilah anak

Adam. Dalam konteks ini, manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka

bumi. Bila melenyapkan dirinya di hadapan Allah, manusia yang berpotensi

menyerap seluruh Nama dan Sifat Tuhan dapat mengaktualisasikan sifat-sifat

tersebut. Sebagai khalifah, manusia memikul amanat yang sanga besar. Amanat ini,

bahkan enggan dipikul oleh gunung sekalipun (QS. 33: 72).

Manusia itu terasing dari dunia ini. Manusia sejatinya adalah makhluk rohani.

Manusia memiliki potensi luar biasa untuk mengembangkan wujûd-nya hingga dapat

menyatu dengan Allah. Syaratnya manusia harus menjauhkan diri dari

kecenderungan duniawi, bersikap zuhud, dan melakukan penyucian diri sehingga

hatinya menjadi wadah manifestasi Ilahi.

Aho segala kita yang äsyiqî

Ingat-ingat akan makna insåni

Jika sungguh engkau bangsa rúhani

Jadikan dirimu rupa Sulthâni

Kenal dirımu hai anak alim

Supaya engkau nentiasa sálim

Dengan dırımu yogya kau qá im

Itulah haqiqat salat dan sháim

Dirimu itu bernama khalil

Tiada bercerai dengan Rabb al-Jalil

Jika dapat ma'na dirimu akan dalil

Tiada berguna mazhab dan sabil

Kulluman 'alayhâ fârnin áyat min Rabbihi

Menyatakan ma'na irji îilå ashliki

Akan insan yang beroleh tarwfiqihi

Supaya karam di dalam sirru sirrihi

Situlah wujûd sekalian fanun

Tanggallah engkau dari mäl wal al banun

365 Braginsky, Yang Indah, Berfaedah Dan Kamal…, 508–510. 366 Hadi, Tasawuf Yang Tertindas…, 253.

95

Engkaulah asyiq terlalu junun

Inna lillahi wa inna ilayhi ruji’un367

Segala yang asyiqî, yakni yang menempuh jalan spiritual, mereka yang sadar

bahwa wujûd dirinya dan segenap alam adalah manifestasi cinta Ilahi, dihimbau

untuk mengeksplorasi hakikat kediriannya. Dengan begitu disadari bahwa dirinya

merupakan bangsa rohani. Dengan demikian, segala tindakan kedirian haruslah

berdasarkan rupa sultanî, yakni menjadi sarana aktualisasi Nama dan Sifat Ilahi368.

Dalam penjelasan Braginsky, al-Rahman dalam ontologi syair sufi Melayu

identik dengan penciptaan. Dalam menjelaskan Asrâr karya Hamzah Fansûrî,

Braginsky mengatakan bahwa dalam pandangan Hamzah Fansûrî, alam semesta

memperoleh wujûd dari Rahman. Dalam skema Martabat Tujuh, Martabat pertama

adalah “Dia” (Huwâ) yang sama sekali tidak terjangkau, tidak dikenal. Pada Martabat

Kedua dikenal dengan “Allah”, yaitu Wahdah. Pada Martabat ketiga, yakni Rahman

yang disebut Martabat Wahidiyah. Dalam Rahman itulah sumber segala wujûd

menemukan potensi parsialitasnya. Sementara dalam Rahîm itu adalah sumber nama

segala yang indah. Melalui skema inilah para penyair suka memulai karyanya dengan

tiga nama dalam martabat, yaitu Bismî Allah al-Rahman al-Rahîm. Hal ini karena

puisi merupakan gambaran keindahan. Puisi Melayu yang bercorak sufistik dianggap

sebagai manifestasi keindahan Ilahi369.

Shams al-Dîn al-Sumatranî mengatakan, ''Maka hakikat diri Anda pada kedua

martabat ini (yakni sebagai potensialitas dan aktualitas) adalah hakikat diri Allah.

“Wujûd Tuhan itu diwarnai dengan hukum-hukum dan efek-efek ...''. Dalam

menjelaskan pernyataan ini, Abdul Aziz Dahlan mengatakan pernyataan tersebut

harus dipahami bahwa maksud Shams al-Dîn al-Sumatranî adalah wujûd insan adalah

wujûd yang dipancarkan oleh Tuhan370. Hal ini karena memang dalam irfân,

eksistensi alam adalah tajallî Ilahi371.

Wujûd Tuhan sebagai eksistensi alam dalam penjelasan Shams al-Dîn al-

Sumatranî diwarnai dengan hukum-hukum dan efek-efek. Oleh sebab itu, wujûd alam

tidak dapat secara langsung disamakan dengan wujûd Tuhan karena wujûd pada alam

itu adalah manifestasi, adalah merupakan bagian dari tanzih, bukan semata tasybih372.

Dalam gambaran filsafat, wujûd alam adalah wujûd mujarrâd, yakni wujûd yang telah

bercampur dengan mâhiyâh373. Kasih Tuhan adalah manusia itu sendiri sehingga

dengan limpahan kasih, manusia berpeluang menjadi ‘urafâ, yakni sebagai wadah

manifestasi cinta secara keseluruhan sehingga alam dapat menjadi cermin Tuhan.

367 Hadi, Tasawuf Yang Tertindas…, 263. 368 Hamid Parsania, Existence and the Fall: Spiritual Anthropology of Islam,

(London: ICAS, 2006), 115–116. 369 Braginsky, Yang Indah, Berfaedah, dan Kamal…, 164. 370 Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Mutakallimînis atas Paham Wahdatul Wujud

Dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1992), 142. 371 Sandigu, Wahdatul Wujud:… 62–64. 372 Fazeli, Mazhab Ibn Arabi:…, 174–175. 373 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 63–64.

96

Meraih maqâm ‘urafâ adalah proses aktualisasi wujûd. Jalan menuju ma’rifat itu

sangat rumit. Pesuluk harus mampu meraihnya374.

Bismillah al-Hayy al-Baqi

Yaitu Mahbub yang maha ‘alî

Rupanya terlalu shafî

Lingkup dengan 'alam tiada Ia khalî

Mahbub itu terlalu nyata

Akan orang yang mendapat kata

Jika sungguh engkau bermata

Lihat mahbub-mu itu rata-rata

Mahbub itu terlalu bijak

Dindingnya emas dan perak

Perlahan-lahan pergi ke hempenak

Supaya dapat mahbub-mu jinak375

Pada Haqq itulah 'Ilmû bergantung. Yang Hidup Sejati adalah Dia sehingga

'Alîm sejati hanya Dia. Karena itu, sufi mengaku dalam fânâ, sebagai bagian dari

perjalanan spiritual menuju ma’rifat, mengaku tidak memiliki pengetahuan karena

pengetahuan hanya Dia. Allah itu terlalu suci (shafî), yakni tiada apa pun bersama-

Nya. Sementara Dia itu lingkup dengan alam tidak khalî, yakni benar-benar hadir

sehingga alam adalah kehadiran-Nya secara mutlak. Sementara alam dikatakan

sebagai tanda kehadiran-Nya. Maka dari itu, tanda kehadiran itu hanya dapat

disingkap oleh yang telah memperoleh ma’rifat, yakni pengetahuan tertinggi yang

menafikan perantara subjek dan objek pengetahuan. Adapun pengetahuan sejati

adalah Dia semata. Nabi Muhammad mengaku tidak benar-benar kenal akan Allah.

Sementara yang paling mengenal Allah adalah Dia sendiri. Sementara Nabi

Muhammad telah memperoleh ma’rifat tertinggi376.

Allah yang tidak dapat dijangkau itu oleh Hamzah Fansûrî disebut lâ ta’ayûn.

Pada posisi itu, ‘urafâ dan para nabi juga tidak dapat menjangkau. Analogi yang

dibuat untuk kondisi itu adalah bahr al-amîq. Tidak ada siapa pun yang berhasil

menyelam ke sana. Abdul Hadi WM mengatakan, ''Orang yang telah ma’rifat dapat

menyaksikan Kekasih di mana saja''377. Sementara ma’rifat atau pengetahuan sejati

itu hanya milik Allah. Pengetahuan Tuhan itu tiada berhingga. Sementara hijab untuk

memperoleh ma’rifat adalah hasrat duniawi yang disimbolkan dengan emas dan

perak. Untuk mengatasi hijab itu, pesuluk harus tetap pada perintah Allah,

melenyapkan ego, dan beradab sopan. Proses yang perlu dilalui untuk mencapai

ma’rifat itu adalah dengan adab dan ilmu yang dituntut secara sabar dan konsisten

374 Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy: Knowledge by

Presence…, 19. 375 Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang Tertindas…, 266–268. 376 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri…, 271. 377 Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas…, 268.

97

kepada ahli ma’rifat. Shams al-Dîn al-Sumatranî menjelaskan, bila tertarik dengan

dunia, kekasih sejati menjadi jauh, sulit menjadi ahlullah, tidak akan wasil dengan

Allah, dan tidak akan mencapai musyahadah sempurna378.

Manusia terlalu sibuk dengan kecenderungan duniawi sehingga jalan menuju

ma’rifat menjadi sukar. Banyak manusia teperdaya dengan bujukan hawa nafsu

sehingga untuk memperoleh ma’rifat menjadi manikam di mulut ular, begitu sulit

mendapatkannya. Padahal, manusia sebagai ahsînî takwîm memiliki potensi

penyempurnaan wujûd yang tidak terbatas. Potensi itu memberikan peluang kepada

manusia memperoleh ma’rifat melalui jalan suluk dengan sarana seperti

suluk. Dalam suluk diajarkan latihan merantai hawa nafsu, mempelajari jalan wasil

akan Allah, melatih kecenderungan hati hanya kepada Allah sehingga dapat menjadi

kekasih Allah379.

Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa hati manusia memiliki kemampuan untuk

didayagunakan dalam rangka wasil dengan Allah. Dalam analoginya, Hamzah

Fansûrî menggambarkan hati sebagai Ka’bah dan unggas quddusî. Dua analogi itu

untuk menggambarkan bahwa hati merupakan singgasana Ilahi. Di dalam hati

terkandung air hayat yang maksudnya adalah hati manusia mengandung sumber

pengetahuan utama, yakni tauhid. Gambaran orang yang meminum air hayat

maksudnya adalah pesuluk yang berhasil memperoleh ilmu ma’rifât380.

C. Analogi Kontekstual Wujudiah Hamzah Fansûrî

Meskipun terkesan tradisional, bukan berarti tempat Hamzah Fansûrî berkarier

dan menyebarkan gagasannya terisolasi. Bahkan, Fansur adalah sebuah kota dagang

yang sangat maju pada masa itu. Keramaian Fansur pada masa itu hanya dapat

disamakan dengan Singapura hari ini. Singapura menjadi sangat maju karena menjadi

destinasi dan transit para pedagang lintas benua. Demikian juga Fansur adalah sebuah

kota yang sangat ramai. Kota tersebut adalah salah satu destinasi utama dan tempat

transit terpenting di Selat Malaka381.

Sejarah pertempuran antarnegara dari masa ke masa di Semenanjung Malaya,

yang hari ini diungguli Britania dalam bentuk Singapura, adalah sejarah

memperebutkan destinasi perdagangan dan transit utama kapal-kapal lintas benua.

Kapal-Kapal dari Eropa, India, Timur Tengah, Afrika, dan sebagainya yang hendak

menuju Cina, Filipina, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Maluku, Thailand, dan

sebagainya dan sebaliknya, harus melakukan transit di Semenanjung Malaka. Sejarah

kejayaan kerajaan-kerajaan di sepanjang pantang Selat Malaka adalah sejarah

keberhasilan menarik wilayahnya menjadi destinasi dan transit utama pelayaran Selat

Malaka382.

378 Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansuri…, 38. 379 Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansuri…, 37–38. 380 Hadi, Tas Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas…, 288. 381 Guillot, dan Ludvik Kalus, Enskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: Gramedia,

2008), 85. 382 Askandar, Jiwa Bahari Sebagai Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia

(Jakarta: Biro Sejarah Maritim AL, 1973), 164.

98

Sejarah maju dan surutnya kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka silih

berganti. Sejarah mencatat kemajuan pernah dialami Kerajaan Lamuri, Kerajaan

Jeumpa, lalu beralih ke Kesultanan Peureulak, lalu ke Samudra Pasai, lalu ke Aceh

Darussalam, lalu ke Malaka, dan Aru. Terdapat kemungkinan hubungan Timur

Tengah ke Cina dilalui melalui pantai selatan Pulau Sumatra melalui Selat Sunda

untuk menghindari lanun Melayu yang ganas sehingga pantai selatan Sumatra

menjadi alternatif.383.

Pada masa Hamzah Fansûrî lahir dan dibesarkan, negeri-negeri Melayu sedang

mengalami masa kemunduran akibat serangan Majapahit dan Portugis384. Pada masa-

masa tragis, Hamzah Fansûrî pergi mengembara untuk berdagang dan menuntut ilmu

di Singkil dan bertolak ke Timur Tengah. Sekembalinya dari Timur Tengah, Hamzah

Fansûrî berkarier di Fansur. Saat itu, sultan dan pengusaha berhasil menjadikan

wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai destinasi dan transit

dagang385.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas386 benar ketika mengatakan bahwa Hamzah

Fansûrî lahir di Syahr Nawi. Akan tetapi, Syahr Nawi yang dimaksud itu bukan

berarti Persia dan belum tentu juga adalah Thailand. Hal ini karena dengan tegas

Hamzah Fansûrî mengatakan: “Hamzah Syahr Nawi zahirnya jawi”. Jadi, Syahr

Nawi itu adalah di negari Melayu yang disebut Jawi. Syahr Nawi juga belum tentu

merupakan istilah simbolis sebagai sebuah perjalanan spiritual sebagaimana

kecenderungan Drewes dan Brakel387. Pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas

bahwa bahwa Syahr Nawi itu bukan simbolisme, melainkan bermakna literal sebagai

tempat kelahiran Hamzah Fansûrî. Pada masa itu, perguruan agama yang besar hanya

ada di Pasai sebelum selanjutnya berkembang di Singkil dan Kutaraja388. Dengan

demikian, terdapat kemungkinan Syahr Nawi itu adalah Pasai.

Terdapat kemungkinan Syahr Nawi adalah negeri yang ditahbiskan kepada

nama Syahri Nawi, yaitu putranya Syahriansyah Salman yang menyebarkan Islam ke

Peureulak yang disebut juga dengan negeri Samudra389. Ketika negeri Samudra

disatukan dengan negeri Pasai, lokasi Syahri Nawi meliputi negeri Samudra dan

negeri Pasai. Sebelum Hamzah Fansûrî lahir, negeri Samudra dan negeri Pasai

memang telah disatukan oleh Malik Al-Saleh390.

383 Daniel Perret, Sejarah Johor-Riau-Lingga Sehingga 1914: Sebuah Esei Bibliografi

(Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan Malaysia, 1998), 410. 384 Said, Aceh Sepanjang Abad Vol. I, 101. 385 Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Medan:

Pustaka Al-Ma’arif, 1981), 13. 386 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî,… 10. 387 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 5. 388 Perguruan Islam tertua di Asia Tenggarah adalah Cot Kala, lalu Blang Pria di Pasai,

setelah itu peruan Islam berpindah ke Singkil dan Kutaraja. Lihat, Hasjmy, Bunga Rampai

Revolusi Dari Tanah Aceh (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), 57–59. 389 Abdul Hadi WM mengatakan, menurut Hasan Muarif Ambary, Syahr Nawi adalah

Peureulak. Lihat, Abdul Hadi WM., Tasawuf Yang Tertindas…, 142 Namun istilah tanah

Syahri Nawi diperluas hingga pasai ketika Samudra disatukan dengan Pasai. 390 Hasjmy…, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia…, 153–154;

Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh: Hubungannya dengan

99

Hamzah Nin asalnya Fansuri

Mendapat wujûd di Tanah Syahr Nawi391

Lakab “Fansuri” maksudnya adalah tempat Hamzah Fansûrî berkarier setelah

pulang mengembara dari Timur Tengah. Hamzah Fansûrî telah menuntut ilmu dan

kemungkinan berdagang di Hijaz, Irak, Palestina, dan Persia392.

Hamzah Fansûrî di dalam Mekkah

Mencari Tuhan di Bayt Al-Ka’bah

Dari Barus ke Kudus terlalu Payah

Akhirnya mendapat di dalam rumah393

Terdapat kemungkinan Hamzah Fansûrî lahir dan besar di Pasai dan menuntut

ilmu di dayah Blang Pria. Dari Pasai Hamzah Fansûrî bertolak ke Singkil. Dari

Singkil Hamzah Fansûrî bertolak ke Palestina melalui Barus. Dalam hal ini, “Barus”

dan “Fansur” berpeluang memiliki perbedaan. Barus adalah tempat Hamzah bertolak

dari Singkil. Pelabuhan terdekat dari Singkil waktu itu mungkin adalah Barus.

Sementara Fansur adalah tempat Hamzah Fansûrî berkarier setelah pulang dari

pengembaraannya394.

Hamzah Gharib unggas Quddusi

Akan rumahnya Bayt al-Ma’muri

Kursinya sekalian kapuri

Di Negeri Fansuri min al-asyjari395

Bait di atas menunjukkan bahwa Hamzah tinggal di Fansur, tetapi sebenarnya

dia bukan berasal dari daerah itu. Fansur itu berada di Bayt al-Ma’muri, yakni nama

lain dari Kesultanan Aceh Darussalam. Adapun Kesultanan Aceh Darussalam adalah

pemangku monopoli kekayaan alam, termasuk kapur barus yang umumnya

didapatkan antara Singkil dan Tapanuli yang pada masa tersebut kawasan-kawasan

itu masuk kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Maka dari itu, meskipun pada

masa itu terdapat kemungkinan pelabuhan Barus masih aktif, titik tolak ekspor ke

Raja-Raja Melayu Nusantara (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, tt.), 62; Nasution dan

Miswari, “Rekonstruksi Identitas Konflik Kesultanan Peureulak,” 168–181. 391 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 7 Bandingkan, ; Drewes dan Brakel,

The Poems of Ḥamzah Fansûrî, 5. Lihat juga, ; Abdul Hadi WM, Tasawuf Yang

Tertindas…,140. 392 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî, 10–11. 393 Abdul Hadi WM., Tasawuf Yang Tertindas…, 139. 394 Ichwan Azhari mengatakan bahwa Fansur adalah Lhok Pancu atau lebih dikenal

Ujong Pancu, salah satu desa di Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, tidak jauh dari pusat

Kesultanan Aceh Darussalam. Lihat, Ichwan Azhari, Kapur Dari Barus: Islam dan Jaringan

Perdagangan Kuno, (Medan, 2019), 1–12. 395 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî, 6, Bandingkan, Drewes dan Brakel,

The Poems of Ḥamzah Fansûrî.., 74.

100

negeri-negeri yang jauh adalah melalui Fansur. Bahkan pada masa itu, begitu

besarnya pengaruh Kesultanan Aceh Darussalam396, tidak tertutup kemungkinan

bahwa pelabuhan-pelabuhan di Tamiang, Barus, Meulaboh, Labuhan Haji, Pasai, dan

Panteraja mengirim hasil bumi ke Fansur untuk diekspor397.

Drewes dan Brakel mengatakan bahwa Dari Barus ke Kudus terlalu payah

adalah bukti bahwa Hamzah Fansûrî pernah melakukan perjalanan ke Kudus di Pulau

Jawa398. Braginsky juga berpandangan tidak jauh berbeda. Akan tetapi, A.H. John

punya pemaknaan yang lebih imajinatif. Menurutnya, Kudus yang dimaksud bukan

Kudus di Pulau Jawa, tetapi di Baitulmaqdis, Palestina. Bahkan menurutnya, frasa

tersebut bukan berarti Hamzah Fansûrî harus ke Palestina, melainkan hanya

menggambarkan berjalan dari Barus ke Kudus adalah sia-sia karena Tuhan bisa

ditemukan “di dalam rumah”399.

Hamzah Fansûrî juga menggunakan istilah “Barus” dan “Fansuri” dengan

berbeda sehingga memungkinkan Barus dan Fansur itu tidak sama. Kalau sama, akan

disebutkan satu istilah saja. Adapun Fansur adalah tempat transit favorit kapal-kapal

yang berlabuh antara Cina dan Timur Tengah. Kapal-kapal melewati antara Pulau

Weh dan Pulau Breuh-Pulau Nasi untuk bersandar: berdagang dan mengisi

perbekalan. Maka dari itu, terdapat kemungkinan titik lokasi perdagangan

kosmopolitan adalah Ujong Pancu hingga Ulee Lhee yang sekarang telah sangat

banyak terkikis. Pada masa dahulu, kemungkinan di sanalah letak bandar terbesar di

Nusantara. Orang-orang dari Timur Tengah menyebutnya Fansuri atau Fansuria400.

Sebelumnya, dari Ujong Pancu hingga Ujong Batee Aceh Besar berbentuk tanjung.

Karena tsunami hingga puluhan meter terjadi berulang kali dalam tempo beberapa

ratus tahun sekali, sekarang bentuknya menjadi teluk. Ujong Pancu yang dikenal

dengan Fansur yang dahulunya pernah menjadi destinasi dan transit terpenting Jalur

Sutra, kini tenggelam ke dalam lautan beserta sejarahnya401. Pernyataan bahwa

Fansur adalah dari kata “pancu” menjawab kebingungan kenapa ada makam

(makamnya Muazzam Shah) di Barus, tetapi ditera tulisan, min balad al-Fansur (dari

396 Amirul Hadi, “Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh

a Study of Seventeenth-Century Aceh (Islamic History and Civilization)” (Mc.Gill

University, 1999), 18-24. 397 Denys Lombard, Kerajaan Aceh …, 123. 398 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 10. 399 A.H. Johns, “The Poems of Hamzah Fansûrî,” Bijdragen tot de taal-, land- en

volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 146, no. 2

(January 1, 1990), 326. 400 Hal itu disampaikan oleh Ichwan Azhari dalam presentasinya. Makalah lihat,

Azhari, Kapur Dari Barus: Islam Dan Jaringan Perdagangan Kuno, 1–12. 401 Hal ini dikuatkan dengan temuan-temuan banyak makam kuno di Gampong Pande

Banda Aceh yang tidak jauh dari Ujong Pancu. Sehingga sangat besar kemungkinan abrasi

dari bandar lama Ujong Pancu hingga sebagian Gampong Pande yang sudah tenggelam. Lihat,

Mondza, “Rekaman Tsunami di Gua Ek Leuti,” Tempo, last modified 2019, accessed February

6, 2020, https://majalah.tempo.co/read/ilmu-dan-teknologi/158346/rekaman-tsunami-di-gua-

ek-leuntie; Koestoro, Lucas Partanda, “Gampong Pande, Situs Penting Di Ujung Utara Pulau

Sumatera.” Berkala Arkeologi SANGKHAKALA 19, no. 2 (May 21, 2017): 75.

http://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBA/article/view/27 .

101

negeri Fansur). Hal ini hanya bisa dijawab dengan akurat bila menerima Barus itu

bukan Fansur. Pengucapan barus menjadi fansur juga sangat jauh bunyinya. Zakaria

Ahmad402, Mohammad Said403, dan A. Hasjmy404 sepakat bahwa Barus itu berbeda

dengan Fansur405.

Fansur adalah sebuah kota dagang dan kota pelabuhan yang sangat padat dan

telah lama menjalin hubungan dengan berbagai bangsa di dunia, seperti Cina, India,

Persia, Arab, dan Eropa. Fansur tidak selalu menjadi bandar terbesar sepanjang masa.

Sebelum Fansur, Pasai telah menjadi bandar terbesar. Sebelum Pasai, Lamuri telah

menjadi bandar terbesar. Kemajuan Fansur terjadi pada abad ke-14 hingga abad ke-

16. Pada masa itulah Hamzah Fansûrî berkarier dalam Kesultanan Aceh

Darussalam406. Melalui eksplorasi dokumen-dokumen dari berbagai sumber, Denys

Lombard menunjukkan bahwa sebenarnya kondisi Kesultanan Aceh Darussalam

sangat buruk. Seorang raja dilantik dan diturunkan ditentukan oleh kecenderungan

orang-orang kaya atau pengusaha di sana407. Sebagai salah satu kota dan pelabuhan

tersibuk, Aceh Darussalam yang berpusat di Kutaraja yang meliputi Fansur adalah

tempat perputaran ekonomi yang sangat besar408. Proses perputaran ekonomi raksasa

itu dikendalikan para pengusaha. Regulasi-regulasi sosial ekonomi ditentukan

melalui jalur politik yang pada masa itu dimainkan melalui peraturan adat. Penguasa

adat adalah sultan. Untuk itu, para pengusaha sangat berkepentingan dengan sultan.

Pengusaha bersedia memberikan upeti yang besar kepada sultan bila mendukung dan

mempermudah regulasi. Sebaliknya, konspirasi dilakukan dengan menggulingkan

(tetapi lebih sering dibunuh) apabila menghambat regulasi bagi pengusaha409.

Begitu besarnya ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam waktu itu sehingga

sebuah dokumen berbahasa Portugal sebagaimana dilampirkan dan diterjemahkan

oleh Lombard melaporkan, “... penduduknya padat hingga orang hampir tak bisa

lewat di jalan."410 Dengan demikian, perputaran uang terjadi dalam jumlah yang

sangat besar. Semua itu berada di bawah kendali para pengusaha. Di dunia tidak ada

yang lebih berkuasa dan menentukan kekuasaan, selain uang. Setidaknya begitulah

yang menjadi prinsip para pengusaha di sana. Mereka mengadakan pertemuan untuk

402 Ahmad, Zakaria, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675 (Medan:

Monoro, 1972), 110–111. 403 Said, Aceh Sepanjang Abad Vol. I, 413. 404 Hasjmy, Ali, Ruba’i Hamzah Fansûrî (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,

1976), 11. 405 Namun menurut Azhari itu kurang tepat karena sebenarnya yang lebih meyakinkan

adalah, Fansur yang dimaksud merupakan Ujong Pancu. Lihat, Azhari, Kapur dari Barus:

Islam dan Jaringan Perdagangan Kuno, 1–12. 406 Azra, Jaringan Ulama…, 206–207. 407 Lombard, Kerajaan Aceh…, 227. 408 Posisi Fansur sebagai kawasan bandar pelabuhan bagi Kutaraja dapat dianalogikan

seperti Belawan dan KIM bagi Medan. Tentang KIM, lihat, Tina Hadiyanti, “Majalah IM

Indonesia : Pemimpin Pembawa Perubahan 2018,” Majalah IM Indonesia (Jakarta, 2018), 29. 409 Lombard, Kerajaan Aceh …, 226–227. 410 Lombard, Kerajaan Aceh …,, 226.

102

mendukung atau melengserkan seorang sultan. Itu mereka lakukan semata-mata

untuk kelancaran perniagaan mereka411.

Dalam konteks masyarakat yang pada bagian pesisirnya sangat kosmopolit dan

masyarakat pedalamannya mempertahankan tradisi-tradisi itulah, Hamzah Fansûrî

menyebarkan ajarannya. Dalam hal ini, di antara pengaruh kontes sosiokultural yang

sangat memengaruhi adalah tentang pesan Hamzah Fansûrî untuk terlena dengan

kemewahan dunia, dan menggunakan analogi-analogi yang kontekstual dalam

menyebarkan ajarannya. Analogi-analogi dimaksud adalah objek-objek yang dekat

dengan masyarakatnya sehingga mudah dipahami, seperti analogi tanah dan

perabotan, matahari dan sinarnya, kayu dan buah catur, laut dan ombak, dan

sebagainya.

6. Tanah dan Perabotan Rumah Tangga sebagai Wujûd Mendasar

Mengenai analogi tanah dan perabotan, Hamzah Fansûrî menulis:

“Ya’ni seperti tanah; dijadikannya berbagai-bagai akan dia; adakan buyung,

adakan periuk, asal tanah sebangsa hukumnya. Berbagai-bagai bejana itu

beroleh dan peri daripada tanah juga. Akan alampun demikian lagi;

sungguhpun berbagai-bagai asalnya daripada Chahaya itu juga.”412

Konteks analogi yang dikutip di atas berada dalam dalam konteks penjelasan

tentang sifat ‘Alim Haqq Ta’âlâ, yang mana dari ‘Ilmu Haqq Ta’aala muncul aneka

ragam realitas. Analoginya adalah seperti tanah. Wujûd Allah diumpamakan seperti

“tanah” dan wujûd makhlûqat (wujûd selain Al-Haqq), seperti buyung, periuk, dan

bejana. Maksudnya adalah, semua wujûd makhlûqat adalah satu wujûd dengan Wujûd

Al-Haqq. Menjadi kendi, periuk, buyung, dan tempat adalah namanya saja. Sejatinya

adalah tanah. Pada keseluruhan buyung, periuk, dan bejana keseluruhannya adalah

tanah. Demikianlah segala wujûd makhlûqat adalah dari Wujûd al-Haqq sekalipun

beragam rupa dan namanya413.

“Seperti tanah; diperbuat kendi, atau periuk, atau buyung, atau tempat. Tanah

itulah asal wujûd sekalian bejana itu. Jika tiada tanah itu, dimana kendi dan

periuk akan beroleh wujûd?”414

Sebagaimana kutipan di atas, Hamzah Fansûrî menganalogikan Kesatuan

Wujûd antara Bâsîth dengan segenap makhlûqat sebagaimana wujûd itu satu seperti

tanah, menjadi beragam makhlûqat seperti menjadi beragam benda, seperti kendi,

buyung, periuk, tempat, dan bejana sebagaimana beragam makhlûqat yang asal

wujûd-nya adalah satu.

Hamzah Fansûrî juga menjelaskan bahwa dalam pandangan mutakallimîn,

antara wujûd Bâsîth dengan wujûd beragam perabotan itu berbeda. Para mutakallimîn

411 Lombard, Kerajaan Aceh …, 226–227. 412 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 259. 413 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268. 414 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268.

103

berpandangan bahwa Wujûd Haqq Ta’ala dengan wujûd makhlûqat itu berbeda.

Sementara bagi Hamzah Fansûrî dan para ‘urafâ lainnya, melihat wujûd Bâsîth dan

wujûd makhlûqat itu sama. Karena bila berbeda, berkonsekuensi pada terbatasnya

Wujûd Haqq Ta’âlâ 415.

Pada kariernya di Kesultanan Aceh Darussalam tepatnya di Fansur maka

Samudra Pasai, Singkil, dan Fansur adalah lokus lingkungan Hamzah Fansûrî.

Sementara di antara tiga daerah tersebut, Fansur menjadi lingkungan ideal Hamzah

Fansûrî dalam mengimajinasikan sasaran ajarannya. Dengan demikian, dalam

merumuskan konsep ajaran, termasuk dalam memilih diksi dan menetukan objek-

objek analogi yang dibuat untuk mengomunikasikan ajarannya, Fansur menjadi

imajinasi utama sasaran Hamzah Fansûrî dalam mengomunikasikan ajarannya.

Fansur khususnya, dan seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam,

pada sekitar abad ke-15, menciptakan perabotan dari tanah memang dapat dikatakan

sebagai budaya yang sangat lumrah. Pada masa itu, belum menjadi familier

menciptakan perkakas dari plastik seperti hari ini sehingga tanah adalah sarana paling

populer untuk menciptakan perabotan. Perabotan-perabotan tanah dari yang paling

sederhana untuk konsumsi pribadi masyarakat hingga industri perabotan yang mewah

diproduksi di sana untuk kebutuhan kelompok elite dan sebagai komoditas ekspor416.

Menjadikan tanah sebagai perabotan adalah sebuah tradisi yang tidak hanya

terjadi dalam masyarakat elite, tetapi juga tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat

umum. Tradisi tersebut terjadi pada masa lalu di hampir seluruh wilayah di Indonesia.

Bahkan, dalam masyarakat umum, dibandingkan pada tingkatan elite, menjadikan

tanah sebagai analogi wujûd yang satu menjelma dalam berbagai bentuk, menjadi

lebih terang. Hal ini karena perabotan yang dibuat dari tanah oleh masyarakat umum

lebih sederhana. Hanya membentuk tanah liat menjadi aneka rupa, seperti gelas,

piring, dan sebagainya secara sederhana. Perabotan masyarakat umum tidak

dicampurkan dengan bahan-bahan lain dan tidak diberi berbagai warna, tetapi

dikeraskan saja. Oleh sebab itu, setelah tanah menjadi berbagai jenis perkakas, seperti

kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana maka semua perabotan tersebut masih

dapat dilihat seperti tanah secara keseluruhannya. Dengan demikian, analogi tanah

menjadi sangat efektif untuk menggambarkan bagaimana wujûd yang dipahami

Hamzah Fansûrî417.

Tanah adalah analogi untuk wujûd, sementara segala perkakas, seperti kendi,

buyung, periuk, tempat, dan bejana adalah analogi untuk makhluk-makhluk. Menjadi

berbagai jenis makhluk itu seperti berbagai bentuk perabotan, seperti kendi, buyung,

periuk, tempat, dan bejana, semuanya berasal dari tanah. Meskipun terdiri atas

415 Jabir,Muhammad Nur Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Filsafat Wujûd Mulla

Sadrâ…., 54. 416 Guillot mengatakan bahwa produk keramik dan perabotan tanah dari Sumatra

memiliki kualitas yang sangat baik. Guillot, Barus: Seribu Tahun Yang Lalu…, 203. 417 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268 Menurut KBBI daring: Kata ‘kendi’ berarti

tempat air bercerat. Kata ‘buyung’ berarti tempat untuk membawa air yang besar perutnya.

Kata ‘periuk berarti alat untuk menanak nasi. Kata ‘tempat’ dalam konteks perabotan dari

tanah adalah sesuatu yang dipakai untuk menaruh suatu benda, bukan bermakna lokasi. Kata

‘bejana’ berarti benda berongga yang dapat diisi dengan cairan atau serbuk dan digunakan

sebagai wadah.

104

berbagai bentuk, dengan jelas semua perabotan itu dapat diketahui adalah tanah.

Begitu mudahnya masyarakat dapat mengetahui dan memahami ajaran Hamzah

Fansûrî yang dianggap sangat tinggi dan elitis sasaran pengajarannya. Sehingga dapat

dikatakan, ajaran Hamzah Fansûrî itu tidak benar hanya untuk masyarakat yang telah

mencapai tingkatan keilmuan tertentu untuk memahaminya karena memang

perabotan tanah itu dapat dibuat oleh siapa saja dan kapan saja. Dalam hal ini,

bagaimana ternyata ajaran Hamzah Fansûrî sangat dekat dengan keseharian

masyarakat akibat akurasi pemilihan analogi. Sebuah karya memang tidak perlu

diasumsikan sebagai sebuah misteri yang sangat sulit dipahami418.

Pada masa Hamzah Fansûrî, membuat perabotan dari tanah dapat dilakukan

dengan jumlah yang sangat sedikit oleh tiap-tiap anggota keluarga untuk kebutuhan

rumah tangganya saja. Membuatnya juga sangat mudah, yaitu dengan mengambil

tanah di lokasi yang sangat mudah ditemukan, lalu mencetaknya secara mandiri.

Proses pengeringannya juga tidak lama. Hari ini memang masih terdapat produksi

perabotan dari tanah. Akan tetapi, tidak lagi diproduksi secara mandiri. Produksinya

oleh sekelompok orang, lalu dihantarkan ke pasar tradisional untuk didistribusikan419.

Hari ini, perabotan tanah untuk masyarakat umum menjadi kurang diminati

karena sifatnya yang gampang pecah. Pada masa lalu, sifat mudah pecah perabotan

tanah tidak dipermasalahkan karena begitu mudah dan sederhana pembuatannya.

Namun karena perubahan zaman, perabotan tanah mulai ditinggalkan sehingga

perabotan tanah menjadi asing bagi masyarakat. Dengan demikian, analogi tanah

sebagai wujûd juga menjadi kurang dapat dipahami masyarakat. Namun, untuk

membayangkan tanah dengan perabotan dari tanah itu tidak terlalu sulit. Hal yang

perlu diwaspadai adalah membayangkan perabotan-perabotan tanah itu seperti

barang antik peninggalan masa lalu yang harganya sangat mahal420.

Memang benar selain perabotan sederhana oleh dan untuk masyarakat umum,

juga terdapat produksi perabotan mewah, seperti guci, piala, piring, cangkir, dan

sebagainya untuk kelompok elite421. Akan tetapi, benda-benda mewah itu diberikan

tambahan-tambahan tertentu sehingga permukaannya menjadi tidak lagi mirip

dengan tanah. Tentunya memang benar perabotan-perabotan mewah itu juga dibuat

dari tanah. Akan tetapi, kurang sesuai untuk menggambarkan analogi tanah dan

perabotan yang digambarkan Hamzah Fansûrî sebagai analogi ajarannya. Oleh sebab

itu, cara yang baik untuk menggambarkan analogi tanah sebagai Wujûd Haqq Ta’ala

dan perabotan, seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana sebagai wujûd

makhlûqat, adalah sebagaimana perabotan tanah sederhana yang mudah dibuat semua

masyarakat422.

418 Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat…, 106. 419 Keahlian membuat perkakas rumah tangga secara mandiri di Indonesia telah terjadi

ribuan tahun lalu. Lihat, Juniar Hutahean and Cici Ramadayani Sirait, “Analisis Nilai

Resistivitas Di Tanah Peninggalan Sejarah Purbakala Menggunakan Metode Geolistrik Di

Daerah Lobu Tua Kabupaten Tapanuli Tengah,” Einstein e-Journal 5, no. 3 (January 9, 2019),

27 https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/einsten/article/view/12003. 420 Gullot, Barus: Seribu Tahun Yang Lalu…, 219. 421 Melissa de la Cruz, Blue Bloods, (Jakarta: GagasMedia, 2011), 59. 422 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268.

105

Tuhan itu yang Esa itu Wujud-Nya dianalogikan dengan tanah. Sementara

wujud alam semesta atau makhluk-makhluk itu seperti eksistensi, seperti kendi,

buyung, periuk, tempat, dan bejana. Sebenarnya semua benda itu adalah tanah, tetapi

penampakan-penampakannya, seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana.

Lebih sederhananya lagi, dalam konteks relasi tanah dan berbagai perabotan ini,

Hamzah Fansûrî hanya ingin mengatakan bahwa makhluk-makhluk memperoleh

eksistensi dari Tuhan. Alam semesta mengada dengan wujûd yang diberikan oleh

Tuhan423.

“Seperti tanah; diperbuat kendi, atau periuk, atau buyung, atau tempat. Tanah

itulah asal wujûd sekalian bejana itu. Jika tiada tanah itu, di mana kendi dan

periuk akan beroleh wujûd?”424

7. Mahatari dan Sinarnya sebagai Pemberian Wujûd

Mengenai analogi cahaya dan sinarnya, Hamzah Fansûrî menulis:

Chahaya Athtar-Nya tiadakan padam

Memberikan wujûd sekalian alam

Menjadikan makhluq siang dan malam

Ila [abadi] i’bad tiada ‘kan karam.425

Hamzah Fansûrî menggunakan matahari sebagai analogi Wujûd Haqq Ta’âlâ.

Matahari dan sinar matahari meskipun sebenarnya satu, hakikatnya adalah satu.

Demikianlah Hamzah Fansûrî menggambarkan analogi perbedaan wujûd antara

Bâsîth dan makhlûqat sebagaimana dipegang oleh para mutakallimîn. Sementara

Hamzah Fansûrî sendiri menggunakan analogi cahaya (cahaya matahari dan

sinarnya) meskipun terkesan berbeda, sejatinya adalah satu cahaya, yakni cahaya

matahari426. Adapun Wujûd Al-Haqq dianalogikan sebagai “matahari” dan wujûd

selain Al-Haqq dianalogikan dengan “sinarnya”. Analogi ini untuk menjelaskan

bahwa wujûd selain Al-Haqq dalam pandangan ‘urafâ adalah bayangan Al-Haqq.

Dalam sejarah panjang tradisi intelektualisme, cahaya telah menjadi simbol

bagi hal-hal positif yang dikontraskan dengan kegelapan sebagai simbol-simbol

negatif. Cahaya memang sangat mudah dipahami. Begitu terangnya hingga tidak ada

apa pun yang lebih terang darinya sehingga tidak ada konsep apa pun yang dapat

digunakan untuk mendefinisikan cahaya427. Sama seperti para pemikir sebelumnya,

Hamzah Fansûrî juga tidak dapat menghindar dari menggunakan konsep cahaya

untuk membantu menjelaskan ajarannya. Cahaya yang mudah saja dikaitkan dengan

Haqq Ta’âlâ membuat menjadi suatu sesuatu yang sangat terang hingga menyinari

apa pun, termasuk alam materi. Dalam analogi cahaya, terkait dengan konteks

423 Hamzah Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,” dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri,

Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), 302 424 Hamzah Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,” …, 268. 425 I Hamzah Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,” …, 236. 426 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 128. 427 Miswari, Filsafat Terakhir…, 484.

106

menjelaskan hubungan Haqq Ta’âlâ dengan alam maka alam menjadi pancaran dari

cahaya428.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menjelaskan, dalam skema Hamzah

Fansûrî, “Chahaya Athtar-Nya tiadakan padam/ Memberikan wujûd sekalian alam/

Menjadikan makhluq siang dan malam/ Ila [abadi] i’bad tiada ‘kan karam429”,

maksudnya adalah Hamzah Fansûrî lebih dahulu menganalogikan wujûd dengan

tanah, lalu wujûd dibagi menjadi wujûd hakiki yang terbagi menjadi wujûd jam’i,

wujûd tamyizî, wujûd mufassalî, dan wujûd wahmî sebagai wujûd kharijî; yakni

aktualitas alam semesta yang terindrai dan terjangkau inteleksi. Maka dari itu, wujûd

alam memperoleh eksistensi secara terus-menerus (siang dan malam) sebagai sebab

(athar) dari Haqq Ta’âlâ. Aktivitas pemberian wujûd itu seperti kejadian perabotan

yang memperoleh wujûd dari tanah430.

Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa dalam pandangan ‘urafâ, Wujûd Allah

dan wujûd alam itu esa. Bila berbeda, dapat dikatakan Allah dan alam itu adalah dua

entitas yang tunggal. Hamzah Fansûrî menulis:

“Wujûd Allah dengan wujûd alam esa. Esa, wujûd ‘alam dengan ‘alam esa

hukumnya. Seperti (matahari dengan) chahayanya, namanya jua lain pada

haqiqat tiada lain. Pada penglihatan mata esa; pada penglihatan hati pun esa.

Wujûd ‘alam pun demikian dengan Wujûd Allah: esa. Karena alam tiada ber-

wujûd sendirinya. Sungguh pun pada zahirnya ada ia ber-wujûd, tetapi wahmî

juga, bukan haqiqî.” 431

Cahaya adalah analogi yang paling sering digunakan kaum ‘urafâ. Analogi ini

tidak hanya dipakai oleh kaum ‘urafâ, tetapi juga sebagian filosof tertentu. Bahkan,

analogi cahaya telah dipakai oleh filosof Persia kuno Zarathustra432. Begitu akuratnya

analogi ini, bahkan Allah menggunakan analogi ini dalam Al-Qur’an surah An-Nuur

ayat ke-35433.

نور السموت والرض مثل نوره كمشكوة فيها مصباح جاجة كانها كوكب للاه المصباح في زجاجة الز

ء و يكاد زيتها يضي ل غربية بركة زيتونة ل شرقية و ي يوقد من شجرة م لو لم تمسسه نار نور در

ل بكل شيء عليم على نور يهدى للاه المثال للناس وللاه نوره من يشاء ويضرب للاه

Artinya:

“Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah

lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di

dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan,

428 Menurut Abdul Hadi W.M., Alquran menjadi cahaya bagi Hamzah Fansûrî untuk

menginspirasi pemikiran-pemikirannya. Lihat, Hadi WM. Abdul, Tasawuf Yang Tertindas…,

9–220. 429 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn”…, 236. 430 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 143. 431 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 242. 432 Iqbal, Allama Sir Muhammad Metafisika Persia… 37. 433 Ula, “Simbolisme Bahasa Sufi: Kajian Hermeneutika Terhadap Puisi Hamzah

Fansûrî.”

107

yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon

zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya

(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas

cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi

orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan

bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Pada ayat di atas disebutkan Allah sebagai cahaya. Salah satu sifat Allah adalah

al-Nûr. Tentu saja cahaya yang dimaksud bukanlah Zat-Nya, tetapi kemiripan sifat

cahaya dengan sifat Tuhan yang dapat dibayangkan pikiran manusia434. Cahaya

adalah analogi sederhana yang dapat dipahami oleh siapa pun dari berbagai bangsa,

berasal dari mana pun, dan pada waktu kapan pun. Sebab itulah dalam hampir semua

literatur pada setiap generasi, khususnya terkait dengan ilmu pengetahuan dan

spiritualisme, cahaya selalu mendapatkan tempat penting sebagai sebuah simbol. Dari

literatur-literatur pengetahuan Babilonia, Persia, Mesir, Yunani, Islam, hingga Barat

Modern, cahaya selalu mendapatkan tempat penting. Di Persia, Zarathustra

menjadikan cahaya sebagai analogi penting dan api sebagai acuan konsepnya.

Sementara di Yunani, Plotinus mengembangkan konsep emanasi dari semangat sifat

cahaya. Dalam Islam, kitab suci Al-Qur’an, tasawuf Abû Hamid al-Ghazalî, dan

filsafat Syihab al-Dîn al-Suhrawardî memiliki peran penting untuk menjadi simbol

suatu ajaran. Sebagaimana disebutkan William Chittick, biasanya simbolisme cahaya

sebagai analogi untuk konotasi positif, seperti kebaikan dan dikontraskan dengan

kegelapan sebagai konotasi negatif, seperti kegelapan435.

Pandangan Hamzah Fansûrî yang menganalogikan Tuhan seperti matahari dan

makhluk-makhluk dianalogikan cahayanya. Dalam hal ini menunjukkan bahwa alam

semesta bukan merupakan suatu ketiadaan, tetapi merupakan sesuatu yang nyata,

tetapi tidak memiliki wujûd mandiri. Wujûd Alam adalah diberikan oleh Wujûd

Tuhan, sama seperti matahari yang esa dengan cahayanya436. Cahaya merupakan

analogi sederhana yang sangat mudah diterima umat Islam. Analogi tersebut dibuat

sendiri oleh Tuhan untuk menggambarkan sifat-Nya. Analogi tersebut tercantum

dalam Al-Qur’an Surah An-Nur: 35 yang menyatakan bahwa Allah adalah cahaya

langit dan bumi. Pernyataan tersebut tentu bukan sebuah gambaran kondisi Dzat

Tuhan, melainkan sifatnya tentang bagaimana Tuhan menjadi penerang kehidupan

manusia437.

Menganalogikan Tuhan sebagai cahaya telah dilakukan sejak agama-agama

sebelum Islam. Bahkan, analogi tersebut telah digambarkan dalam agama Zoroaster

yang merupakan salah satu agama tertua. Agama-agama lainnya juga tidak pernah

meninggalkan analogi cahaya yang umumnya berorientasi pada kebaikan dan

434 Nasr, Seyyed Hossein, “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic

Philosophy,” International Philosophical Quarterly 29, no. 4 (1989): 409. 435 William C. Chittick,, Ibn ’Arabi: Heir to the Prophet, (Oxford: Oneworld, 2005),

118. 436 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 128. 437 Rasmianto, “Mengurai Problem Dikotomik Eksistensial Manusia Dalam Perspektif

Agama Dan Teori Evolusi,” El-Harakah 6, no. 2 (August 13, 2008): 75..

108

dikontraskan dengan kegelapan sebagai analogi untuk keburukan438. Ketika Hamzah

Fansûrî menggambarkan bagaimana kondisi Tuhan melalui analogi cahaya, tentu

analogi tersebut dapat dengan sangat mudah dipahami seluruh lapisan masyarakat.

Hal ini kembali menunjukkan bagaimana Hamzah Fansûrî selalu menggunakan

analogi-analogi sederhana dalam menggambarkan manusia sehingga sangat mudah

dipahami. Maksud Hamzah Fansûrî menggunakan analogi kesatuan matahari dan

cahayanya adalah untuk menjelaskan bahwa meskipun Wujûd Tuhan dan wujûd

makhluk pada pandangan manusia itu berbeda, hakikatnya adalah satu wujûd, yakni

Wujûd Tuhan. Makhluk-makhluk memperoleh wujûd dari Wujûd Tuhan sehingga

meskipun tidak memiliki wujûd sejati, makhluk-makhluk tetap memiliki wujûd yang

mana wujûd tersebut dari Wujûd Tuhan439.

8. Kayu dan Buah Catur sebagai Hubungan Ketunggalan dan

Kemajemukan

Selain tanah dan segala perabotan, Hamzah Fansûrî juga menggunakan catur

dan buah catur untuk menganalogikan hubungan Tuhan dan makhluk. Di samping

itu, catur dalam analogi Hamzah Fansûrî juga digunakan untuk menganalogikan

kekuasaan Tuhan dibandingkan keinginan makhluk. Selanjutnya, analogi catur juga

untuk menjelaskan bagaimana makhluk-makhluk memiliki nama-nama, tetapi tidak

memiliki hakikat440.

Mengenai analogi kayu dan buah catur, Hamzah Fansûrî menulis:

“Adapun suatu tamthil lagi mithal [buah] chatur. Asalnya kayu sepuhun jua.

Maka dilarik berbaga-bagai; dinamainya raja, dan menteri, dan gajah, dan

kuda, dan tir dan baidaq. Asalnya kayu sekerat juga dijadikan banyak”441

Menariknya, dalam analogi kayu terdapat tiga perspektif analogi. Analogi

pertama adalah bagaimana berbagai bentuk buah catur yang berbeda-beda adalah

sebenarnya berasal dari satu entitas saja, yakni dari kayu. Menjadi beragam seperti

Wujûd Bâsîth yang tunggal, tetapi muncul berbagai keberagaman bentuk maklûqat

sebagaimana keberagaman bentuk buah catur yang sebenarnya kayu. Perspektif

analogi kedua adalah berada dalam konteks kefakiran makhlûqat. Makhlûqat itu

seperti biji catur. Sama sekali tidak memiliki daya untuk mengendalikan dirinya.

Semuanya sangat bergantung pada Bâsîth sebagaimana sangat bergantungnya biji

catur kepada pemain catur. Analogi ketiga adalah, sebagaimana nama-nama biji

catur; raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak, namun hakikatnya hanya

artifisial saja. Tidak ada raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak di sana.

Semuanya hanya dilekatkan nama-nama saja. Demikian juga makhlûqat itu

semuanya hanya merupakan nama-nama artifisial, tidak memiliki wujûd nyata, hanya

438 Chittick, Ibn ’Arabi: Heir to the Prophet…, 118. 439 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 128. 440 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 294. 441 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 294.

109

bayangan. Hal ini karena sejatinya hanya merupakan kesatuan Tunggal Haqq Ta’âlâ 442.

Catur adalah salah satu jenis permainan yang telah berumur sangat tua, populer

untuk setiap zaman, dan masih sangat diminati hingga hari ini. Permainan catur telah

dikenal sejak zaman abad keenam Masehi. Permainan tersebut diperkenalkan di

India, menjalar ke Persia, dan kawasan-kawasan lain di dunia. Sistem permainan

catur diinspirasikan dari formasi pasukan dalam epos “Mahabaratha”. Permainan ini

awalnya dimainkan elite Gupta dalam mengisi waktu luang, mengasah teknik

berpikir, dan menemukan inspirasi strategi perang443. Dari India, catur dengan cepat

berkembang ke Persia, dimainkan oleh elite Sassanid. Tidak lama kemudian, setelah

Islam menguasai Persia, permainan tersebut menjadi permainan populer dalam dunia

Islam. Melalui tangan Islam, catur dibawa ke Spanyol dan Portugal. Selanjutnya,

menyeberang ke kawasan lain di Eropa444. Sebagai ilmuwan yang telah lama menetap

di Timur Tengah, tentu saja Hamzah Fansûrî sangat mengenal permainan catur. Akan

tetapi, tentu saja catur tidak akan dijadikan analogi dalam menjelaskan ajarannya

apabila permainan tersebut belum dikenal di Aceh pada masa itu445.

Secara umum, dianggap permainan catur baru hadir di Indonesia dibawa oleh

Kolonial Belanda. Namun sebenarnya, permainan tersebut telah ada di Indonesia

sejak kerajaan-kerajaan Islam berdiri di Indonesia. Tentu saja pada masa Kesultanan

Aceh Darussalam, permainan tersebut telah dikenal luas karena Aceh Darussalam

merupakan negeri yang sangat padat dan telah memiliki hubungan yang sangat dekat

dengan Baghdad yang telah mengadopsi permainan catur dari Persia. Bahkan tidak

hanya itu, jauh sebelumnya, Kesultanan Pasai sendiri telah memiliki relasi yang

sangat dekat dengan Baghdad dan negeri-negeri lainnya yang telah memopulerkan

catur. Hal ini ditunjukkan dengan jaringan kesarjanaan dan keilmuan yang sangat

lancar antara Samudra Pasai dan Timur Tengah serta Cina dan Eropa446. Dengan

demikian, tentunya di negeri tempat Hamzah Fansûrî lahir dan menyebarkan

ajarannya, tentu saja catur telah menjadi sangat familier bagi masyarakat di sana.

Bahkan, negeri Melayu yang merupakan negeri tropis, tentu saja masyarakatnya

dengan sangat mudah memanfaatkan kayu untuk berbagai keperluan, termasuk

menciptakan berbagai alat permainan, termasuk catur. Hal inilah yang membuat

Hamzah Fansûrî menggunakan catur sebagai analogi ajarannya447.

Apabila penyebaran catur di Eropa dibawa melalui ekspansi Kekhalifahan

Umayyah, maka tentunya ke Indonesia juga telah diperkenalkan catur pada masa

tersebut. Karena, hubungan Indonesia dan Timur Tengah telah terjadi pada periode

Dinasti Umayyah448. Namun tentunya permainan tersebut pada masa ini belum terlalu

442 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 294. 443 Claude Levi-Strauss, Claude- Levi-Strauss (Yogyakarta: LKiS, 2000), 120–121. 444 K. Bertens,, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Teraju, 2005), 10. 445 Hamzah Fansûrî hidup dan berkarier pada sekitar abad ke-15 atau abad ke-16. Lihat,

Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 7–9; Drewes dan Brakel, The Poems of

Ḥamzah Fansûrî…, 3–5; Abdul Hadi WM., Tasawuf Yang Tertindas…, 137–138. 446 Said, Aceh Sepanjang Abad Vol. I…, 89. 447 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 172. 448 Philip K. Hitti,, History of the Arab (London: Macmillan, 1990), 423.

110

dikenal masyarakat umum. Adapun pada periode Kesultanan Aceh Darussalam, dapat

diasumsikan permainan catur telah dikenal luas. Karena itulah Hamzah Fansûrî

menggunakan catur sebagai analogi ajarannya. Kurang dapat diterima apabila catur

hanya menjadi permainan bangsawan, tetapi digunakan sebagai analogi ajarannya.

Hal ini bertentangan dengan bagaimana ketika menggunakan perabotan tanah yang

merupakan analogi yang dikenal masyarakat umum. Demikian juga dengan analogi-

analogi lainnya, semua analogi yang digunakan Hamzah Fansûrî adalah analogi-

analogi yang dekat dengan keseharian seluruh masyarakat449.

Meskipun tidak semua masyarakat umum menyukai permainan catur, namun

pada masa itu dapat dikatakan mereka telah mengenal permainan tersebut meskipun

tidak semuanya suka memainkannya. Kalaupun dianggap permainan catur hanya

dimainkan oleh kalangan elite, besar kemungkinan hampir semua lapisan masyarakat

dapat mengenal permainan tersebut. Lagi pula, kecil kemungkinan permainan catur

tidak dimainkan masyarakat umum. Meskipun tidak semua orang menyukai

permainan tersebut karena terlalu membutuhkan kecakapan berpikir, permainan catur

tentu dikenal setiap masyarakat karena masyarakat Indonesia yang umumnya bertani

dan melaut, memiliki waktu yang banyak untuk berkumpul sambil menunggu musim

bersibuk-sibuk di sawah dan ladang serta menunggu angin laut kondusif untuk

mencari ikan. Tentu saja waktu luang yang banyak untuk berkumpul dalam rangka

menghindari jenuh dan bosan, mereka mengisinya dengan permainan-permainan,

seperti catur. Lagi pula, Indonesia yang tropis membuat masyarakat sangat dekat

dengan kayu. Banyak jenis peralatan dibuat dari kayu sehingga tentu saja membuat

permainan catur menjadi sangat mudah bagi mereka450.

Masa Kesultanan Samudra Pasai telah memiliki hubungan yang sangat erat

dengan Timur Tengah sehingga sangat mungkin catur telah diperkenalkan di

Indonesia pada masa tersebut. Bila benar, meskipun awalnya catur adalah konsumsi

elite, dalam waktu yang tidak terlalu lama, tentu permainan tersebut telah dikenal

masyarakat umum. Catur adalah permainan mengasyikkan yang dilakukan dalam

durasi yang tidak singkat. Untuk itu, sudah barang tentu permainan tersebut hanya

dengan mudah dilakukan kalangan elite dan petani dan nelayan yang punya banyak

waktu senggang. Mereka punya waktu yang banyak untuk bersantai dan mengisinya

dengan liburan. Kalangan elite perlu selalu mengasah pikiran karena mengemban

banyak tanggung jawab yang menuntut kecerdasan pikiran. Teknik-teknik catur juga

sangat membantu dalam menjaga karier politik. Sementara untuk masyarakat biasa,

hanya untuk mengisi waktu luang451.

Sementara masyarakat umum harus meluangkan banyak waktu untuk bekerja

keras demi mempertahankan hidup sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk

449 Amsal Bakhtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat (Bandung: Angkasa, 2003), 59;

Oman Fathurahman,, Tanbih Al-Masyi: Menyoal Wahdah al-Wujûd : Kasus Abdurrauf

Singkel Di Aceh Abad 17 (Bandung: Mizan, 1999), 53. 450 Hamzuri dan Siregar menjelaskan bahwa permainan catur telah lama menjadi tradisi

di Aceh. Biasanya permainan tersebut dimainkan di meunasan atau di bawah rumah Aceh.

Lihat, Hamzuri dan Tiarma Rita Siregar, Permainan Tradisional Indonesia (Jakarta:

DIrektorat Permuseuman, 1998), 25–26. 451 Nurilla Iryan, 365 Ideas of Happiness, (Yogyakarta: Bentang Belia, 2019), 56.

111

bermain catur. Akan tetapi, kondisi masyarakat agraris di Aceh yang hanya sibuk

bekerja pada musim panen dan musim tanam, membuat mereka punya banyak waktu

luang. Kesempatan itu tentunya dapat diisi dengan bermain catur452. Lagi pula,

membuat alat permainan catur itu tidak terlalu sulit. Hanya membutuhkan kayu yang

diratakan sebagai papan catur, kotak dua pemain diberi tanda tertentu dengan ukiran

tertentu untuk membedakan. Lalu, dari kayu juga dibuat berbagai bentuk sesuai

dengan fungsi tiap buah catur, seperti raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak.

Untuk membedakan dua pihak pemain, tiap-tiap biji catur dapat diukir dalam bentuk

berbeda atau diberi ukiran tertentu. Bisa pula diberi warna berbeda453.

Dengan mempertimbangkan kondisi sosiokultural masyarakat dan mudahnya

menemukan bahan untuk membuat buah catur maka dapat dikatakan begitu mudah

catur dapat diakses masyarakat umum. Bila benar, tentunya analogi kayu sebagai

Wujûd Haqq Ta’ala menjadi berbagai bentuk buah catur sebagai analogi beragam

bentuk dalam realitas, digunakan Hamzah Fansûrî karena memang permainan

tersebut sangat dekat dengan semua masyarakat.

Kemungkinan penggunaan analogi catur sebagai ajarannya adalah karena

permainan tersebut sangat dekat dengan masyarakat didukung oleh kenyataan

analogi-analogi lain yang digunakan selalu adalah objek-objek yang dekat dengan

masyarakat. Apalagi masyarakat Melayu, selain melalui analogi yang dibuat Hamzah

Fansûrî, telah lumrah diketahui bahwa catur memang merupakan bagian dari

permainan tradisional di sana. Bahkan sebagaimana dikemukakan oleh Hamzuri dan

Siregar, terdapat beberapa jenis permainan catur yang menjadi bagian dari permainan

tradisional di Aceh.454.

Menggunakan kayu sebagai analogi hubungan Wujûd Tuhan dengan beragam

maujud (ekstensi, mawjûdat) alam semesta sangat mudah dipahami. Karena

meskipun terdapat berbagai bentuk kayu dalam biji-biji catur, hakikatnya

keseluruhan biji catur adalah kayu. Menjadi berbagai bentuk dan diberikan berbagai

nama hanyalah penyebutan. Sejatinya, semua itu adalah dari satu, yakni kayu.

Demikianlah dalam pandangan sufi, meskipun terdapat beragam mawjûdat dalam

realitas, sejatinya semua itu tidak nyata karena yang nyata hanya Wujûd Haqq Ta’ala.

Analogi kayu sebagai biji-biji catur juga menggambarkan bahwa segenap makhluk

itu sama sekali tidak memiliki daya. Setiap makhluk secara total dikendalikan oleh

Tuhan. Persis seperti buah catur. Semuanya tidak dapat sama sekali bergerak dengan

keinginannya, kecuali digerakkan oleh pemain catur.

Melalui analogi buah catur, dapat ditunjukkan pula bagaimana alam semesta

ini sebenarnya hanyalah sebagai penamaan-penamaan. Seperti di atas papan catur

tidak ada raja, tidak ada menteri, tidak ada gajah, tidak ada kuda, tidak ada benteng,

452 Meskipun meripakan permainan dan hiburan para elit untuk mengisi waktu luang.

tetapi tetap dimanfaatkan masyarakat uumum juga untuk mengisi waktu luang. Lihat Hitti,

History of the Arab…, 423; Hamzuri dan Siregar, Permainan Tradisional Indonesia…, 25–

26. 453 Adapun nama-nama familiar untuk buah catur adalah: raja, menteri, gajah, kuda,

benteng, dan bidak. Sementara Hamzah Fansûrî menyebutnya: raja, dan menteri, dan gajah,

dan kuda, dan tir dan baidaq.Lihat, Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294. 454 Hamzuri dan Siregar, Permainan Tradisional Indonesia…, 25–26.

112

dan tidak ada bidak. Hanya kayu yang dibentuk dengan berbagai rupa yang ada.

Demikian pula alam semesta sejatinya hanya penamaan semata karena yang nyata

hanya satu, yakni Tuhan.

9. Laut dan Ombak sebagai Makhluk Menjadi Jejak Ilahi

Mengenai analogi laut dan ombak, Hamzah Fansûrî menulis:

Tuhan kita itu seperti Bahr al-‘Amiq

Ombaknya penuh pada sekalian tariq

Laut dan ombak keduanya rafiq

‘Akhirnya kedalamnya jua ombaknya qhariq.

Pembagian analogi laut terbagi dua, yakni Bahr al-‘Amiq sebagai Dzat Bâsîth

yang tiada terperi atau tidak teridentifikasi oleh siapa pun, termasuk para nabi dan

malaikat muqarrabin. Nabi Muhammad berkata, “Maha Suci Engkau, tiada kukenal

Diri-Mu dengan sempurna kenal”455. Sementara analogi laut yang berelasi dengan

ombak adalah untuk menganalogikan Bâsîth dalam hubungannya dengan makhlûqat.

Inspirasi ‘urafâ dalam menggunakan analogi bisa dikatakan dari berbagai

sumber. Bahkan, ada dari Al-Qur’an seperti analogi laut sebagaimana tertera dalam

Al-Qur’an Surat 48:10; 8:17; dan 50:16. Namun, yang paling diutamakan adalah

kesesuaian esensi sesuatu yang mereka jadikan objek analogi dengan manifestasi

nama-nama Ilahi yang mereka terima dalam pengalaman hudhûrî456.

Lautnya “Alim halunya Ma’lûm

Keadaannya Qasim ombaknya Maqsum

Tufannya Hakim shu’unnya Mahkum

Pada sekalian ‘alamin inilah rusum457.

Adapun laut dianalogikan sebagai Haqq Ta’âlâ . Ombak dianalogikan sebagai

segala realitas selain Haqq Ta’âlâ. Laut yang dimaksud ‘urafâ adalah alam hakikat

yang tidak terbatas. Insan pada sisi lain, sebagai mikrokosmos, adalah setetes air.

Oleh karena itu, dirinya yang setetes itu harus ditenggelamkan ke dalam lautan Ilahi.

Ini adalah jalan yang diperintahkan Nabi saw. dalam pesan yang tersirat458.

“Ya’ni laut dan ombak keduanya bertaulan; mithal hamba dengan

Tuhan,’asyiq dan ma’shuq’459.

Laut dianalogikan sebagai syu’un Allah dan dan Pengetahuan-Nya sebagai

“ombak”. Tujuan penggunaan analogi tersebut dalam konteks ini adalah untuk

455 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 271. 456 Fathul Mufid, “Epistemologi Ilmu Hudhuri Mulla Shadra,” Al-Qalam 29, no. 2

(August 31, 2012): 215. 457 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 236. 458 Kautsar Azhari Noer,, Ibn ‘Arabi: Wahdat Al-Wujûd Dalam Perdebatan, 128. 459 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 272.

113

menyatakan bahwa sebenarnya yang nyata hanyalah Dia. Karena itu, yang Dia

ketahui tentunya adalah syu’un-nya itu. Hal ini karena laut dengan ombak adalah satu

sebab ombak sebenarnya adalah laut juga. Jika diamati, analogi ini menjadi sangat

akurat. Laut yang dalam (bahr amîq) adalah analogi untuk menggambarkan Dzat

Allah yang tiada dapat diidentifikasi. Kedalaman laut yang tiada terperikan mungkin

kini sebagian sudah dapat ditembus dan dieksploitasi melalui teknologi-teknologi

sehingga setiap detail dari kedalaman laut dapat dianalisis, tetapi laut sebagai yang

tiada berhingga dan tiada berkesudahan460 tidak mampu dianalisis sepenuhnya. Di

samping itu, masih sangat banyak rahasia-rahasia kedalaman laut yang belum mampu

diidentifikasi. Bahkan hal-hal yang telah dapat dianalisa sebagai kandungan di

kedalaman laut masih lebih sedikit daripada yang belum tereksplorasi. Bahkan hal-

hal yang telah dan akan dapat dieksplorasi dari laut adalah hal-hal yang memiliki

keterhinggaan dan batas-batas461.

Jika ada akan dia hingga dan kesudahan, atau awal dan akhir berarti adalah

makhluk juga, bukan Bahr al-’Amiq. Karena itu, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa Al-

Haqq mustahil dapat didefinisikan. Karena definisi adalah pembatasan, ketika yang

tak terbatas dibatasi maka jadinya bukan lagi yang tidak terbatas.

“Hamzah Fansûrî terlalu karam

Didalam laut yang mahadalam

Berhenti angin ombakpun padam

Menjadi Sultan daripada kedua ‘alam”

Hubungan antara laut dan ombak seperti seseorang dengan sifat-sifatnya:

“Seperti seorang Muhammad namanya; jika ia ber’ilmu, ‘alim namanya; jika

ia pandai, utus namanya; jika ia tahu menyurat, katib namanya; jika ia

berniaga; saudagar namanya.”462

Misalnya, seseorang bernama Muhammad. Akan tetapi, diberi banyak nama

lainnya tergantung sifat-sifatnya. Ketika dia berilmu, diberi nama ‘alim’. Ketika dia

punya keahlian tertentu disebut utus. Ketika dia menulis, disebut katib. Ketika dia

berdagang, disebut saudagar. Demikian juga nama-nama Allah karena menjadikan

makhluk disebut Khaliq. Ketika memberikan rezeki disebut Raziq. Nama-nama itu

semua berada di bawah nama Allah. Ketika disadari bahwa Dzat-Nya tidak dapat

diketahui siapa pun, disebut Huwa463.

Analogi laut dan ombak itu dianalogikan dalam menjelaskan tentang Sifat ‘Ilm

Haqq Ta’âlâ. Dia ‘Ilm maka memiliki Ma’lûm. Hubungan ‘Alim dan Ma’lûm disebut

‘Ilmû. ‘Ilmu menghasilkan Ma’lûm. ‘Ilmu itu sifatnya tetap. Sementara Ma’lûm itu

tidak. Sebagaimana analogi ‘Ilmû itu adalah laut. Sifatnya tetap. Sementara ma’lûm

460 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 272., 271. 461 Stocker, Roman “Marine Microbes See a Sea of Gradients,” Science, 2012, 628-

633. 462 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 240. 463 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 242.

114

itu dianalogikan dengan ombak. Ombak sifatnya tidak tetap. Ombak muncul dari laut

yang tetap.

Untuk melengkapi pandangan tersebut, yakni tentang ketetapan ‘Ilmû Bâsîth,

Hamzah Fansûrî mengutip pandangan Ibn ‘Arabî yang menyatakan bahwa dahulunya

‘Ilmû Bâsîth itu seperti huruf mahatinggi tak terjamah, tergantung dengan istananya

di puncak gunung.

“Mithal laut; jika tiada laut, ombakpun tiada akan timbul; demikian rupa

ma’lûmat timbul daripada ilmu.”464

Hamzah Fansûrî mengatakan, “Hai Thalib, alam ini seperti ombak”. Hamzah

Fansûrî bermaksud menegaskan bahwa mustahil alam semesta ini muncul dari

ketiadaan karena selain bertentangan dengan kaidah akal, juga bertentangan dengan

Al-Qur’an (36:82) karena di sana sebelum alam semesta menjelma, ketika hendak

menjelmakan alam, Allah berkata kûn, yaitu jadilah465. Bila alam itu tiada sebelum

menjelma, mustahil Allah berucap pada ketiadaan. Lagi pula, bila alam semesta

berasal dari ketiadaan, lalu kembali menjadi tiada maka terjadi perubahan pada Allah,

yaitu dia menjadi sha’an (sibuk)466 ketika ada alam, tetapi menjadi tidak sibuk ketika

alam belum ada atau telah menjadi tiada nantinya.

Allah Ta’ala seperti laut. Sungguhpun ombak lain daripada laut, kepada

haqiqatnya tiada lain daripada laut…”467

Hal-hal yang terjangkau, baik itu hudhûrî maupun hushûlî, atau burhanî,

bayanî, nazarî, dan ‘irfanî itulah yang dapat menjadi pembahasan filsafat dan

tasawuf. Laut dan ombak adalah analogi sederhana untuk menggambarkan

bagaimana kemajemukan muncul dari ketunggalan.

“Ya’ni laut dan ombak keduanya bertaulan; mithal hamba dengan Tuhan,

‘asyiq dan ma’syuq,”468.

Analogi Tuhan sebagai laut dan ombak sebagai makhluk meniscayakan Tuhan

dan makhluk itu bukan dualitas. Namun di alam, Tuhan itu bukan di atas, bukan di

bawah, bukan di kiri, bukan di kanan, bukan di depan, dan bukan di belakang.

Bagaimana bahwa makhluk bukan dari ketiadaan dan bukan kembali menjadi tiada

sebagaimana pandangan mutakallimîn, melainkan dari keberadaan dan kembali

kepada keberadaan. Seperti ombak, muncul dari laut dan kembali ke laut. Allah

disebut sebagai asyîq dan makhluk disebut sebagai ma’syûq. Sebagai analogi laut,

464 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 259. 465 QS. Yasin: 36: Quraish Shihab, (Penerj.) Al-Qur'an dan Maknanya, II. (Jakarta:

Lentera Hati, 2013), 445. 466 QS. Ar-Rahman: 29 Quraish Shihab, (Penerj.) Al-Qur'an dan Maknanya, II.

(Jakarta: Lentera Hati, 2013), 532. 467 Kutipan dari Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 319. 468 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 272.

115

Dia adalah qasîm, yakni yang dibagi, sementara ombak sebagai makhluk disebut

maqsûm. Yang dibagi adalah padanya, bagian-bagian juga padanya. Namun,

sejatinya maqsûm adalah dari qasîm seperti alam yang memperoleh wujûd (maqsûm)

dari Allah (maqsûm)469. Pembagian ini adalah pada sistem inteleksi yang muncul dari

kecenderungan nama dan sifat. Dengan beragam Nama dan Sifat Allah maka

menjadi, melalui kûn yang dianalogikan dengan berbagai macam kejadian, berbagai

macam keadaan, berbagai macam predikasi yang dapat tufan diberikan, dan

seterusnya yang mana semua itu umpama ombak-ombak adalah karena

kecenderungan-kecenderungan Nama-nama dan Sifat-sifat470. Segala kejadian itu

adalah syu’ûn Allah, yakni aktivitas-Nya yang terjadi terus-menerus.

Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang mendominasi pesisir. Orang

Melayu umumnya tidak benar-benar jauh dari laut. Oleh sebab itu, selain bertani,

mata pencaharian masyarakat juga sebagai nelayan sehingga laut adalah sesuatu yang

sangat dekat dengan dunia masyarakat Melayu. Bahkan, terdapat kelompok tertentu

yang hanya tinggal di laut471

Dengan menjadikan laut sebagai objek analogi ajarannya maka Hamzah

Fansûrî telah memilih analogi yang sangat dekat dengan masyarakat Kepulauan

Indonesia. Sementara itu, Hamzah Fansûrî sendiri adalah seorang sufi yang sangat

akrab dengan lautan. Dia adalah sosok yang sangat suka mengunjungi tempat-tempat

yang jauh, seperti Timur Tengah472. Perjalanan-perjalanan itu tentunya ditempuh

melalui lautan. Di juga berkarier di kota pelabuhan. Karena itu, Hamzah Fansûrî dan

lautan itu hampir tidak dapat dipisahkan. Menggunakan laut sebagai analogi

ajarannya tentu benar-benar dapat diresapi dengan baik oleh Hamzah Fansûrî.

Dengan demikian, menggunakan analogi tersebut tentu merupakan sebuah hasil

pengamatan refleksi yang mendalam sehingga berhasil menemukan kesamaan sifat

antara laut sebagai objek analogi dan maksud acuan yang dianalogikan.

Setelah mengakui bahwa yang akan dikemukakan hanya sebuah kiasan, lalu

menegaskan kiasan itu hanya untuk membuat pembacanya paham, oleh Hamzah

Fansûrî, laut dianalogikan sebagai Tuhan, sementara ombak adalah analogi untuk

makhluk. Lautan yang luas tidak terbatas itu dianalogikan dengan Tuhan yang Dzat

dan Kekuasaan-Nya tidak terbatas. Ombak adalah berbagai bentuk gelombang yang

senantiasa bergerak, tidak pernah tetap, dan beragam. Akan tetapi, sejatinya semua

ombak itu adalah lautan juga. Demikian juga semua makhluk yang berbeda-beda

bentuknya, beragam sifatnya, dan beragam warnanya, sejatinya adalah berasal dari

Tuhan473. Hamzah Fansûrî menulis:

“Ya’ni pada sekalian jalan, dan dimithalkan ombak-ombaknya penuh [pada]

sekalian jalan. Barang kita liha, zahir atau batin, sekalian-nya lenyap-ombak

jug. Ya’ni laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak [pun] tiada bercerai

469 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”, 236. 470 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”, 275. 471 Benny Baskara, Islam Bajo: Agama Orang Laut, (Pamulang: Javanica, 2016), 9–

10. 472 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 5–6. 473 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 153–154.

116

dengan laut. Demikian lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala tiada bercerai dengan

‘alam.”474

Tidak kalah penting, analogi laut dan ombak adalah untuk menunjukkan bahwa

Tuhan dan makhluk tidak terpisahkan. Laut dan ombak keduanya bertaulan, misalnya

Tuhan dan hamba475. Dalam pernyataan tersebut, Hamzah Fansûrî ingin menegaskan

bahwa Tuhan itu hadir dalam setiap diri hamba. Wujûd hamba adalah dari wujûd

Tuhan. Dengan demikian, makhluk-makhluk itu bukan ketiadaan dan bukan juga

Tuhan, tetapi Tuhan hadir pada hamba dengan memberikan wujûd.

Bahr amiq atau laut yang dalam adalah analogi untuk eksistensi Tuhan yang

tidak terjangkau. Seperti lautan yang tidak terjamah oleh manusia, demikianlah

kiranya Tuhan dalam gambaran Hamzah Fansûrî. Pada masa itu, laut memang hanya

dapat diarungi. Tidak ada kemampuan manusia untuk menyelam ke dalam lautan.

Pada masa itu, manusia belum mampu mengetahui rahasia-rahasia di dalam laut.

Menyelam ke dalam lautan, baru mampu dilakukan manusia setelah teknologi

berkembang pesat pada masa yang jauh setelah Hamzah Fansûrî. Lagi pula, hingga

hari ini, baru sebagian kecil kedalaman laut yang mampu dijangkau manusia.

Tuhan itu dianalogikan dengan laut karena kedalaman dan rahasia laut tidak

akan pernah mampu dipahami manusia secara tuntas. Manusia hanya dapat melihat

laut melalui ombaknya saja. Laut juga menjadi analogi ilahiah yang perlu diselam

oleh pesuluk. Maka dalam syairnya, Hamzah Fansûrî menganalogikan pesuluk pada

tingkat tinggi sebagai ikan gajah mina yang hidup di laut yang dalam. Sementara

pesuluk pada tingkatan rendah dianalogikan seperti ikan tongkol yang menyelamnya

belum terlalu dalam.

10. Analogi-analogi Sekunder sebagai Berbagai Penjelasan Wujudiah

Buah, biji, cermin, manusia, sungai, batu, dan besi adalah analogi-analogi yang

digolongkan sebagai analogi sekunder. Analogi-analogi ini juga sangat tepat

dugunakan dalam menjelaskan tema metafisika tertentu dalam Wujudiah Hamzah

Fansûrî. Analogi-analogi itu digunakan dalam menjelaskan konsep-konsep

metafisika rumit bagi masyarakat Melayu. Berbeda dengan Ibn ‘Arabi yang

menjelaskan Wujudiah secara rumit, ketika ingin menjelaskan tentang bahwa Allah

itu Kekal (Qadîm), tidak memiliki permulaan sehingga tidak berkonsekuensi pada

keberakhiran, Hamzah Fansûrî menggunakan buah sebagai analoginya. Penggunaan

buah sebagai analogi karena umumnya buah itu berbentuk bundar. Pada buah bundar

tidak dapat ditunjuk mana awal dan mana akhir. Buah yang bundar itu tidak memiliki

awal dan tidak memiliki titik akhir. Hal itu tentu sangat mudah dipahami seluruh

lapisan masyarakat. Itulah yang digunakan Hamzah Fansûrî untuk menjelaskan

bahwa Tuhan itu Qadîm. Maksudnya adalah, Tuhan itu telah ada tanpa batas awal

dan tidak akan berakhir.

474 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 271 475 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 154.

117

“Adapun kata Ahlu’l-Kashf QadimNya itu mithal [suatu] buah [yang] buntar;

tiada berhujung dan tiada berpuhun, tiada permulaan dan tiada

berkesudahan, tiada di tengah dan tiada tepinya, dan tiada hadapan dan tiada

belakangnya, tiada kiri dan tiada kanan, tiada atas dan tiada bawahnya.”476

Analogi sederhana itu menunjukkan akurasi dan efektivitas objek analogi yang

digunakan. Padahal, dalam karya Mullâ Sadâ dan Ibn ‘Arabî misalnya, untuk

menjelaskan tentang Qadîm, membutuhkan penjelasan yang sangat panjang dan

rumit. Alih-alih memuaskan, malah berpeluang menghadirkan kebingungan. Masalah

ini biasanya muncul dalam karya-karya yang melakukan penalaran setelah

sebelumnya memiliki justifikasi.

Qadîm itu menjadi sulit dijelaskan dalam perspektif doktrin dan filosofis.

Sementara sufi adalah mereka yang menerima pengetahuan itu secara presentasional.

Mereka mengalami, bukan mempelajari konsep semata sehingga penjelasan mereka

menjadi lebih mudah dipahami. Apalagi dengan memilih menggunakan analogi yang

akurat untuk menjelaskannya.

Sebagai negara tropis, Kepulauan Indonesia telah lama menghasilkan aneka

jenis buah. Bahkan, keberagaman buah-buahan di kepulauan Indonesia dapat

dikatakan adalah yang paling lengkap. Tidak seperti daerah-daerah lain yang alamnya

jauh lebih tandus atau lebih dingin, Indonesia memiliki iklim tropis sehingga buah-

buahan yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Bahkan, buah-buahan tertentu di

Indonesia tentunya telah lama menjadi komoditas ekspor bersama rempah-rempah.

Hal ini tentu saja membuat analogi Hamzah Fansûrî tentang buah, khususnya buah

bundar menjadi sangat mudah dipahami masyarakat.

Debat tentang ilmu Tuhan memang dimulai oleh mutakallimîn dan filosof.

Filosof menawarkan solusi “materi primer” atau maddah al-ulâ sebagai suatu

kandungan potensi segenap wujûd selain Wajib Al-Wujûd bî Nafsihî. Sementara

skema itu menginspirasi ‘irfân dalam membahas konsep 'ayan tsabitah. Dalam 'ayan

tsabitah telah terkandung semua potensi atau sumber segala alam semesta. Hal ini

digambarkan seperti biji yang mengandung potensi keseluruhan pohon dari akar,

batang, cabang, ranting, hingga buahnya477.

“Adapun tamthil perbendaharaan itu seperti puhun kayu; sipuhun dalam

bijinya. Biji itu perbendaharaan. Puhun kayu yang dalamnya itu isi

perbendaharaan tersembunyi dengan lengkapnya: akarnya, dengan

batangnya, dengan chabangnya, dengan dahannya, dengan rantingnya,

dengan daunnya, dengan bunganya, dengan buahnya- sekalian lengkap di

dalam biji sebiji itu. Maka biji itu hendak mengeluarkan tumbuh puhun kayu

itu daripada dirinya di tengah padang yang mahaluas.”478

Analogi biji tentunya sangat akurat digunakan di samping juga sangat dekat

dengan masyarakat. Bagaimana ilmu Tuhan itu sebenarnya adalah suatu ketetapan

476 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 240. 477 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 132. 478 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 246.

118

yang mengandung seluruh potensi makhluk untuk beraktualitas. Dalam hal ini,

Hamzah Fansûrî telah mengajarkan bagaimana sebenarnya sifat Ilmu Tuhan, sifat

makhluk-makhluk sebelum mengaktual, dan menyanggah pandangan mutakallimîn.

Biji juga dianalogikan dengan bagaimana Sifat ‘Alim Bâsîth yang sifatnya

tetap. Lalu, menjadi bergerak menjadi pohon yang bergerak dari bijinya sebagaimana

‘Alim teraktualisasi melalui Ma’lûm hingga menghasilkan ilmu yang mengandung

potensi perubahan.

“Wujûd ‘alam pun dengan demikian lagi dengan Wujûd Allah-esa; karena

‘alam tiada berwujûd sendirinya. Sungguhpun pada zahirnya ada ia berwujûd,

tetapi wahmi juga, bukan wujûd haqiqi; seperti bayang-bayang dalam

chermin, rupanya ada hakikatnya tiada.”479

Alam semesta dalam ajaran Hamzah Fansûrî adalah pengetahuan Tuhan.

Pengetahuan Tuhan itu tetap. Ketetapan pengetahuan itu telah terkandung dalam

'ayan tsabitah. Pengetahuan tersebut dapat diraih ‘urafâ dalam pengetahuan

presentasi. Hadis qudsi berbunyi, "Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, maka

aku ingin dikenal, sehingga kuciptakan semesta." Maksudnya adalah alam semesta

ini adalah pengetahuan Tuhan (ma'lûm). Pengetahuan itu berada dalam ilmu Tuhan

sehingga alam semesta adalah berada dalam ilmu Tuhan480.

Untuk membuat ‘ayân al-tsabîtah sebagai suatu sistem metafisika yang tinggi

menjadi sangat mudah dipahami, Hamzah Fansûrî menganalogikannya dengan biji.

Karena ‘ayan tzabitah adalah perbendaharaan tersembunyi (kanzân makhfiyyân),

sebagaimana bunyi sebuah Hadits Qudsi: “kuntû kanzan makfiyyan fa ahbabtû an

‘urafâ”, yakni Haqq Ta’âlâ menyatakan bahwa keadaannya adalah perbendaharaan

tersebunyi. Hamzah Fansûrî Menggambarkan:

“Biji itu perbendaharaan. Puhun kayu yang dalamnya itu isi perbendaharaan

tersembunyi dengan lengkapnya: akarnya, dengan batangnya, dengan

chabangnya, dengan dahannya, dengan rantingnya, dengan daunnya, dengan

bunganya, dengan buahnya- sekalian lengkap didalam biji sebiji itu.”481

Pada biji telah terkandung segala potensialitas pohon, seperti akarnya,

batangnya, cabangnya, dahannya, daunnya, rantingnya, dan buahnya untuk

menjelma. Maka biji itu hendak mengeluarkan tumbuh puhun kayu itu daripada

dirinya di tengah padang yang maha luas.482 Biji yang menjadi analogi ‘ayân al-

tsabîtah adalah objek pengetahuan Haqq Ta’âlâ yang menyatu dengan subjeknya. Ia

menjelma dengan kûn sebagai bentuk ‘Amr dari Haqq Ta’âlâ. Adapun ‘Amr itu

terjadi berkat kehendak-Nya. Sebagaimana skema Nama-nama dalam sistem Ibn

‘Arabî , Kehendak berlaku karena adanya ‘Ilmû, ‘Ilmû berlaku karena adanya Haya’

479 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 282. 480 Chittick, William C., The Sufi Doctrine of Rumi, (Indiana: World Wisdom, Inc.,

2005), 12. 481 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 246. 482 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 246.

119

dan Haya’ berlaku karena Wujûd. Karena itu, semua itu terjadi sebagai satu kesatuan

wujûd, termasuk ketika kanzân makfî sebagai biji itu tadi sebagai objek pengetahuan

berkata pada dirinya, “Akulah perbendaharaan tersembunyi, maka aku cinta

diketahui,” sehingga menjelmalah alam semesta. Dengan demikian, berseberangan

dengan mutakallimîn dan bersesuaian dengan para filosof, ‘urafa, termasuk Hamzah

Fansûrî mengatakan bahwa ketika Haqq Ta’âlâ berkata kûn, perkataan itu dituju pada

sesuatu yang memang telah ada, bukan berkata pada ketiadaan. Hamzah Fansûrî

menjelaskan483:

“Karena itu maka kata Ahlul Suluk makna kûn itu kepada ma’lumat di dalam

Ilmu Allah yang sedia mawjud. Tetapi kepada ‘ulama (mutakallimîn) ma’lumat

itu (yakni sasaran perkataan ‘kun’), tiada mawjûd, hadits (baharu) datang

tatkala ia pandang-pandang Diri-Nya”484.

Bagi mutakallimîn, alam semesta berasal dari tiada, lalu menjadi ada (baharu).

Bagi penganut wujudiah meskipun secara zahir alam semesta belum menjelma, ia

telah ada secara batin (yakni kanzân makfî) pada ‘ayân al-tsabîtah. Pandangan ‘urafâ

ini sesuai dengan pandangan filosof, yakni Wajîb al-Wujûd menjadikan alam semesta

dari wujûd yang lain sebelumnya. Demikianlah seumpamanya biji itu berkata akulah

perbendaharaan tersembunyi485. Pada hadis qudsi, Al-Haqq juga menganalogikan

Diri-Nya sebagai “perbendaharaan tersembunyi”, yaitu kanzân makfiyyan. Adapun

bunyi hadis qudsi dimaksud adalah, “Kuntû kanzân makfiyyan fâ ahbabtû an ‘urafâ”.

Analogi bagi “perbendaharaan tersembunyi” oleh Hamzah Fansûrî adalah “biji”486.

Analogi ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam pandangan sufi,

segala wujûd selain Al-Haqq telah mengada bersama-Nya sehingga wujûd selain Al-

Haqq bukanlah wujûd baharu. Analogi ini dipakai untuk menyanggah argumentasi

mutakallimîn yang menyatakan bahwa makhlûqat berasal dari ketiadaan487. Biji yang

dimaksud untuk menyebutkannya sebagai benih yang dapat menumbuhkan pohonnya

kembali. Biji adalah bagian dari buah yang umumnya di dalam dan menjadi inti buah.

Dari biji dapat disemai menjadi buah karena pada biji tersebut telah terkandung

totalitas buah. Penunjukan biji sebagai analogi menjadi akurat karena mustahil

membayangkan keterpisahan suatu tumbuhan dari sumbernya, yakni biji. Analogi ini

diakui Hamzah Fansûrî diambilnya dari Ibn ‘Arabî488.

Biji juga dianalogikan dengan bagaimana Sifat ‘Alîm Haqq Ta’âlâ yang tetap.

Lalu, menjadi bergerak menjadi pohon yang bergerak dari bijinya sebagaimana ‘Alîm

teraktualisasi melalui Ma’lûm hingga menghasilkan ‘Ilmû yang mengandung potensi

perubahan.

483 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 246. 484 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî.., 247. 485 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 132. 486 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 246. 487 Israr Ahmad Khan, “Identifying Entity and Attributes of God: An Islamic

Perspective Mengenal Pasti Entiti Dan Sifat-Sifat Allah: Satu Perspektif Islam.” Journal of

Islam in Asia (E-ISSN: 2289-8077) 13, no. 1 (July 19, 2016), 248-264. 488 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 253.

120

Dalam gambaran Hamzah Fansûrî, alam semesta adalah ilmu Tuhan. Sebab

itulah, ajaran Hamzah Fansûrî dan sealiran dengannya disebut Wujudiah489. Allah

adalah yang mengetahui. Dia juga yang diketahui dan dia juga aktivitas

pengetahuan. Hal ini karena segenap alam adalah pengetahuan Allah, sebagaimana

Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 115:

واسع عليم ان للاه المشرق والمغرب فاينما تولوا فثم وجه للاه ولله

“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah

wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”

Meskipun berada dalam ilmu Tuhan, ilmu itu mengaktual sehingga menjadi

alam semesta. Meskipun terkadang alam semesta disebut bayang-bayang, tetapi

sejatinya alam semesta memiliki wujûd, bukan ketiadaan mutlak. Hal yang

membingungkan adalah karena terkadang Hamzah Fansûrî menyebut alam semesta

seperti bayangan di dalam cermin490. Bayangan di dalam cermin sifatnya adalah tiada.

Akan tetapi, perspektif yang akurat untuk memaknai makna kondisi alam semesta

atau makhluk-makhluk sebagai analogi bayangan di dalam cermin adalah, pertama

sifat kebergantungannya secara mutlak kepada empunya bayangan sebagaimana

kebergantungan mutlak makhluk-makhluk kepada Tuhan. Kedua, keberadaan

bayangan adalah karena keberadaan empunya bayangan. Maknanya adalah,

bayangan menjadi ada karena ada-nya empunya bayangan. Demikian juga makhluk-

makhluk memiliki wujûd karena diberikan wujûd oleh Tuhan. Ajaran Wujudiah atau

Wahdah al-Wujûd bukan skeptisme yang menafikan keberadaan alam semesta.

Iktikad Wujudiah mengatakan alam semesta itu majasi seperti eksistensi bayangan di

dalam cermin, tetapi bukan menganggapnya tiada karena pada banyak kesempatan,

Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa makhluk-makhluk memiliki wujûd (bukan

ketiadaan) yang diberikan Tuhan sekaligus wujûd makhluk tidak komposit dengan

wujûd Tuhan491.

Keunikan ajaran Hamzah Fansûrî adalah mampu mengomunikasikan ajaran

Wujudiah yang berat dalam bahasa yang indah dan menggunakan analogi yang

mudah dipahami. Untuk menggambarkan kondisi makhluk, Hamzah Fansûrî

menganalogikannya seperti bayangan di dalam cermin. Meskipun tidak dapat

dipastikan apakah di rumah semua masyarakat Melayu pada masa itu memiliki

cermin, tetapi hampir dapat dipastikan semua masyarakat dapat mengenal apa itu

cermin dan mengetahui bahwa cermin memantulkan bayangan. Lagi pula, mengingat

pada masa itu sebagian masyarakat tinggal dalam satu rumah besar yang disebut

rumah adat yang dihuni beberapa keluarga kecil meskipun tidak termasuk keluarga

petinggi, tetapi besar kemungkinan setiap rumah adat memiliki cermin. Maka dari

itu, tidak dapat diragukan bahwa semua masyarakat waktu itu dapat mengenal cermin

489 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 154. 490 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…,, 282. 491 Misalnya ketika Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa Tuhan dan hamba tidak

terpisah sebagaimana laut dan ombak tiada bercerai. Lihat, Doorenbos, De Gefchriften van

Hamzah Pansoeri…, 153.

121

dan mengetahui bahwa cermin memantulkan bayangan. Dalam hal ini, cermin yang

dimaksud dalam analogi sufi berbeda dengan cermin yang digunakan hari ini. Pada

masa lalu, cermin dibuat dari logam yag digosok. Makin bagus digosok, pantulannya

makin jelas.

Sebagaimana bayangan yang muncul dalam cermin, begitulah diri manusia dan

segenap makhluk lainnya. Bayang-bayang di dalam cermin memang terkesan

memiliki wujûd. Akan tetapi, sebenarnya wujûd tersebut tidak independen, hanya

wahmî. Akan tetapi, makna wahmî dalam Wujudiah bukan berarti ketiadaan,

melainkan nyata untuk dirinya (thing by it self, nafs al-‘amr)492. Dalam hal ini, status

eksistensi alam semesta dapat dipahami dengan mudah melalui analogi bayangan di

dalam cermin. Eksistensi bayangan di dalam cermin tidak independen. Dikatakan

tidak ada, ia ada, dikatakan ada, keberadaannya bergantung secara mutlak pada

keberadaan empunya bayangan. Dengan analogi ini, hubungan antara Tuhan dan

makhluk menjadi mudah dipahami. Hubungannya adalah seperti seseorang yang

berdiri di hadapan cermin dan bayangan di dalam cermin. Makhluk-makhluk seperti

bayangan di dalam cermin493. Sementara empunya bayangan dianalogikan seperti

wujûd Tuhan yang independen, memberikan wujûd, dan tempat bergantungnya wujûd

alam secara mutlak.

Mungkin analogi cermin menjadi lebih mudah dipahami untuk hari ini yang

memang semua orang memiliki cermin, bahkan dibawa ke mana-mana. Di mana pun,

cermin dapat ditemukan. Namun sayangnya, manusia modern meskipun memiliki

banyak fasilitas, miskin renungan dan refleksi diri. Bahkan, manusia hari ini hidup

seperti orang yang sedang merenung, tidak dapat mengenali dirinya dan miskin

pengetahuan terhadap sekitarnya meskipun fenomena di sekitarnya makin majemuk.

Kalaupun dikenali, permukaannya saja. Pengenalan diri dan pendalaman terhadap

kedirian individu yang lain pada zaman modern baru dimulai kembali oleh para

filosof eksistensialisme, seperti Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Jean-Paul

Sartre, Albert Camus, dan beberapa tokoh eksistensialis lainnya. Padahal, prinsip

mengenal diri telah menjadi bagian dari diskursus penting dalam dunia Islam,

khususnya yang dipelopori oleh para sufi Wujudiah, termasuk Hamzah Fansûrî494.

Tidak hanya pengenalan diri, bahkan kedirian manusia dalam ajaran Hamzah

Fansûrî telah digunakan sebagai bagian dari analogi untuk membuat ajarannya

menjadi mudah dipahami. Manusia tidak lebih dikenal, kecuali melalui peran dan

fungsinya. Memang kepada seseorang kita dapat mengetahui ciri-ciri fisiknya, tetapi

ciri-ciri fisik tidak lebih dapat membantu membuat kenal kepada seseorang

dibandingkan profesinya. Misalnya, seseorang bernama Muhammad memiliki ciri-

ciri fisik demikian dan demikian. Akan tetapi, secara lebih luas dia dikenal melalui

sifatnya, apakah dia orangnya santun, penyayang, dan lemah lembut. Sifat-sifat itu

juga hanya dapat dikenal atau dirasakan secara terbatas. Untuk lebih luasnya,

492 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ, 18. 493 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Termination OF Wahdah al-Wujûd In Islamic

Civilization In Aceh: Critical Analysis of Ithaf Ad-Dhaki, The Works of Ibrahim Kurani,”

ADDIN 11, no. 2 (August 1, 2017): 401,

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/3356. 494 Epicurus, Seni Berbahagia, (Yogyakarta: BasaBasi, 2019), 33.

122

seseorang dikenal melalui profesinya. Apakah dia seorang penulis atau seorang

pedagang. Melalui profesinya seseorang dapat dikenal lebih luas hingga ke tempat-

tempat yang belum melihat ciri-ciri fisiknya dan belum merasakan sifatnya495.

Hamzah Fansûrî menggunakan nama Muhammad untuk mencontohkan

pengenalan melalui profesi karena nama tersebut sangat sering diberikan para orang

tua kepada anaknya di dunia Melayu. Hamzah Fansûrî menggunakan seorang sosok

manusia untuk menggambarkan hubungan antara Tuhan dan sifat-sifatnya. Kita

mengenal Tuhan sebagai Mahakaya, Maha Memberi, dan sebagainya. Melalui Sifat-

Sifat-Nya itu Tuhan dikenal. Bahkan, dalam pembukaan Asrâr, Hamzah Fansûrî telah

menegaskan bahwa sifat-sifat itu dipredikasikan sesuai dengan bagaimana kita

mengenal496.

Seperti Muhammad, apabila dia menulis, dia disebut penulis. Apabila dia

berniaga disebut saudagar. Sebagai penulis dan sebagai saudagar adalah sifat yang

disematkan kepada Muhammad setelah meninjau profesi atau perbuatannya.

Demikian juga Tuhan disebut al-Ghanî dan disebut al-Rahman karena demikian

'amr-Nya. Penulis dan saudagar itu tidak memiliki eksistensi yang terpisah dari

Muhammad. Penulis dan saudagar adalah sifat yang dibuat untuk Muhammad.

Demikian juga al-Ghanî dan al-Rahman adalah sifat untuk Tuhan. Inilah yang ingin

dijelaskan Hamzah Fansûrî dalam menjadikan manusia sebagai analogi ajarannya.

Tentunya analogi manusia dan sifatnya untuk menjelaskan hubungan Tuhan dan

sifatnya sangat mudah dipahami. Bahwasanya sifat dan Zat Tuhan itu bukan dualitas

eksistensi sebagaimana anggapan sebagian mutakallimîn. Hamzah Fansûrî hendak

mengoreksi pandangan tersebut. Hamzah Fansûrî menggunakan analogi yang sangat

sederhana sehingga sangat mudah dipahami.

Analogi manusia digunakan juga untuk menggambarkan hubungan Tuhan dan

makhluk. Tuhan dianalogikan dengan raja. Seorang raja tentu bersyarat pada

kekuasaan. Apabila tidak memiliki kekuasaan, batallah ia menjadi raja. Demikian

juga alam semesta ini adalah aktualitas dari ilmu Tuhan. Dengan adanya alam, Tuhan

disebut dengan 'Alim. Sebenarnya dalam menjelaskan persoalan ini, Hamzah Fansûrî

sedang menjelaskan relasi kausal yang menjadi pembahasan dalam filsafat. Terdapat

konsep-konsep yang tidak berdiri sendiri, tetapi ia meniscayakan relasi. Misalnya,

konsep “ayah” meniscayakan relasinya dengan konsep “anak”. Demikian juga konsep

raja meniscayakan keberadaan “yang dirajai”. Namun dengan menggunakan frasa

sederhana dengan cara penganalogian status raja, Hamzah Fansûrî dapat dikatakan

berhasil menyederhanakan persoalan filosofis yang sulit497.

Meskipun pada masa itu jenis-jenis profesi manusia belum sebanyak hari ini,

bukan berarti profesi-profesi waktu itu terbatas pada saudagar, petani, dan pelaut saja.

Terdapat juga berbagai profesi lainnya, seperti perajin, baik itu pandai besi, pandai

kayu, pandai tenun, maupun utus. Utus adalah salah satu profesi penting yang sangat

495 Subahri, “Aktualisasi Akhlak Dalam Pendidikan,” Islamuna: Jurnal Studi Islam 2,

no. 2 (December 5, 2015): 167,

http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/islamuna/article/view/660. 496 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 239–240 Bandingkan, Doorenbos, De Gefchriften

van Hamzah Pansoeri…, 124–125. 497 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 253–255.

123

dibutuhkan masyarakat. Keindahan bangunan-bangunan tradisional, perahu-perahu

yang indah, pembuatannya dipimpin oleh seorang yang sangat tinggi daya

imajinasinya, terampil tangannya, dan dia adalah pengamat yang rinci. Semua orang

mengenal utus. Dengan demikian, semua orang dapat paham bahwa sebelum suatu

mahakarya dibangun, tentu gambarnya yang merupakan sumber potensi aktualitas

bangunan telah sempurna dalam imajinasi seorang utus atau bahasa sekarang disebut

arsitek498.

Tuhan sebagai al-'Alîm juga dianalogikan dengan seorang utus (arsitek,

tukang). Alam dianalogikan dengan arsitektur. Kukuh, rapi, dan indah sebuah

arsitektur menunjukkan kepiawaian sang arsitek. Sebagaimana sebuah bangunan

yang telah eksis sebagai potensialitas dalam ilmu tukang sebelum bangunan

didirikan, demikian juga segenap alam semesta telah eksis dalam ilmu Tuhan sebelum

mengaktual. Tentunya analogi ini sangat mudah dipahami karena hampir di setiap

dusun terdapat tukang bangunan yang disebut utus. Setiap orang dapat memahami

bahwa sebelum dikerjakan, sebuah bangunan telah eksis sebagai suatu potensialitas

dalam pengetahuan sang utus. Sebuah bangunan adalah aktualitas dari ilmu sang utus.

Demikian analogi yang dibuat untuk menjelaskan bahwa alam semesta adalah

aktualitas ilmu Tuhan.

Imajinasi utus sebagai potensialitas yang tetap, lalu mengaktual dalam bentuk

bangunan juga sangat tepat sebagai analogi kanzân makfî, yakni perbendaharaan

tersembunyi di lâwh mahfudz. Ketika yang di lâwh mahfudz teraktual dalam bentuk

partikularitas terpersepsikan, itu seperti dibangunnya rumah secara bertahap.

Demikianlah bagaimana Hamzah Fansûrî benar-benar dapat menggunakan analogi

yang mudah dipahami masyarakat499.

Analogi imajinasi utus dapat berlaku untuk semua jenis bangunan dan juga

kendaraan penting bagi masyarakat, seperti perahu. Sebagai masyarakat yang

umumnya berdomisili di pesisir atau sangat dekat dengan sungai, perahu tentunya

dikenal oleh semua masyarakat. Selain menjadikan jasad manusia sebagai objek

analogi, jasad manusia juga dijadikan Hamzah Fansûrî sebagai acuan analogi.

Sementara objek analoginya adalah perahu. Sebagai makhluk Ilahiah, manusia harus

mempersiapkan bekal amal kebaikan di dunia sebagaimana mempersiapkan segala

perbekalan ke dalam perahu dalam rangka mengarungi lautan. Perjalanan hidup

manusia di alam spiritual dianalogikan dengan perahu yang berlayar mengarungi

samudra. Setiap kapal perlu mengisi perbekalan untuk berlayar. Tidak hanya kapal-

kapal dagang yang mengarungi samudera, kapal-kapal nelayan juga perlu melakukan

hal yang sama. Pelayaran dan masyarakat Indonesia, khususnya di Aceh hampir tidak

dapat dipisahkan500.

498 Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology…,

187. 499 Analogi ini pernah dipakai Ibn ’Arabi untuk menjelaskan persoalan yang sama.

Tetapi Ibn ’Arabî melakukannya dengan cara yang rumit. Chittick, The Self-Disclosure of

God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology, 187. 500 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “A Study of Panglima La’ōt: An ‘Adat

Institution in Aceh,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 55, no. 1 (June 26, 2017): 155–

188, http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/55107.

124

Fansur dan bandar-bandar lainnya adalah tempat transit kapal-kapal besar.

Masyarakat Melayu waktu itu mendominasi kota-kota pelabuhan sehingga mereka

menjadi sangat dekat dengan kapal. Dengan demikian, analogi diri manusia sebagai

perahu sangat mudah dipahami dan dihayati. Bahkan, Hamzah Fansûrî menjadikan

perahu sebagai analogi diri manusia yang harus mempersiapkan bekal diri untuk

mengarungi perjalanan jiwa yang terus berlanjut sejak awal bait puisinya:

Hai muda arif budiman

Hasilkan kemudi dengan pedoman

Alat perahumu juga kerjakan

Di sanalah jalan membetuli insan

Perteguh juga alat perahumu

Hasilkan bekal air dan kayu

Dayung pengayuh taruh di situ

Supaya laju perahumu itu501

Kepekaan Hamzah Fansûrî tidak hanya pada aspek sosiokultural, tetapi juga

pada aspek lingkungan atau kondisi geografis masyarakat Melayu khususnya dan

masyarakat Indonesia umumnya502. Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki sangat

banyak sungai, baik yang besar maupun kecil. Pada masa lalu, jumlah sungai jauh

lebih banyak daripada hari ini. Itu terjadi akibat perubahan iklim dan campur tangan

manusia. Sungai adalah sesuatu yang sangat dekat dengan masyarakat503.

Hamzah Fansûrî menggunakan aliran sungai sebagai analogi kesatuan

hubungan antara Tuhan dan makhluk. Bahwasanya Tuhan dan makhluk bukanlah

dualitas sebagaimana dipahami mutakallimîn. Tuhan dan makhluk adalah satu

kesatuan utuh persis seperti aliran sungai. Tidak ada terputus-putus pada aliran

sungai504. Demikian juga makhluk mendapatkan wujûd dari Tuhan. Wujûd itu

bersambung dari wujûd Tuhan pada wujûd makhluk505.

Hamzah Fansûrî menggunakan beberapa sisi pandang air sebagai analogi bagi

beberapa sisi ajarannya. Tuhan yang Satu sebagai sumber segala makhluk

501 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 16. 502 Anthony Reid, “ Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern

Identities ,” Journal of Southeast Asian Studies (2001). 503 Krisis ekologi semakin parah terjadi di Aceh akibat pengabaian para agen sosial.

Lihat, Ismail Fahmi Arrauf Nasution dan Miswari, “Al-‘Ulamā’ Warathat Al-Anbiyā’:

Modernity and Nurture of Authority in Aceh Society,” Jurnal Theologia 30, no. 2 (December

23, 2019): 197, http://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/3845. 504 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 265 Bandingkan, Doorenbos, De Gefchriften van

Hamzah Pansoeri…, 147. 505 Hamzah Fansûrî ingin menegaskan bahwa alam semestaitu adalah berwujud, tetapi

bukan pada aksiden-aksiden, melainkan pada wujud, karena pada aksiden adalah bayangan.

Hal ini dikuatkan dengan pernyataan para sahabat yang pada alam melihat wujud: Abubakar

(sebelum), Usman (setelah), Usman (beserta), Ali (dalam) mahiyah. Fansûrî, “Syarâb Al-

Asyiqîn,”…, 265–266 Bandingkan, ; Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…,

148.

125

dianalogikan dengan air yang menjadi sumber kehidupan segala macam tumbuhan.

Meskipun tumbuh berbagai bentuk, berbagai warna, dan berbagai jenis tumbuhan,

asalnya tetap dari air. Demikian juga alam semesta yang beraneka ragam berasal dari

Tuhan yang satu.

“Karena yang dinamai laut itu air, apabila laut itu timbul bernama halun;

apabila naik berhimpun di udara bernama awan; apabila jatuh bertitik di

udara bernama hujan; apabila hilir di bumi bernama sungai; apabila pulang

ke laut hukumnya.”506

Pembahasan tersebut konteksnya adalah menganalogikan Bâsîth sebagai ‘Alîm

yang dianalogikan dengan air. Sementara Ma’lûm-Nya dianalogikan dengan

keberagaman yang berasal dari satu. Dalam konteks ini, Dia sebagai yang dibagi

bernama Qâsîm, sekaligus Dia sebagai yang dibagi bernama Maqsûm. Seumpama

laut adalah yang dibagi, sementara bagiannya seperti ombak. Sejatinya ombak-ombak

itu laut. Demikian sejatinya Qâsîm itu adalah Maqsûm. Adapun munculnya ombak

adalah karena Syu’un-nya, yakni karena perbuatan-Nya507.

Meskipun Timur Tengah dan Afrika adalah negeri-negeri yang tandus, bukan

berarti masyarakatnya tidak mengenal air. Air adalah sumber kehidupan manusia

sehingga semua orang dapat dengan mudah mengenalnya meskipun di beberapa

negara banyak orang tidak dapat mengaksesnya dengan mudah. Air adalah sesuatu

yang sangat dekat dengan manusia sehingga sangat lumrah Hamzah Fansûrî juga

menggunakan air sebagai analogi ajarannya. Kepulauan Indonesia sebagai negara

tropis, tumbuh berbagai jenis pohon sangat menginspirasi Hamzah Fansûrî

menggunakan analogi tersebut. Meskipun sufi Timur Tengah telah lebih dahulu

menggunakan analogi air, analogi tersebut menjadi lebih relevan dipakai bagi

masyarakat Indonesia karena tumbuh sangat banyak jenis tumbuhan508.

Demikian pula ketika analogi air itu digunakan untuk menjelaskan sesuatu

yang sangat berat, yaitu tentang bagaimana dari Tuhan yang satu memunculkan

keberagaman. Persoalan ini telah menjadi diskursus yang rumit dan serius sepanjang

sejarah pemikiran manusia sejak filsafat Hindu, Yunani Klasik, mutakallimîn, dan

filsafat Islam. Sementara oleh Hamzah Fansûrî menjadi sangat sederhana dengan

analogi yang digunakan. Dalam konteks ini, Hamzah Fansûrî menggambarkan air

yang merupakan jenis yang satu dapat menumbuhkan berbagai jenis tumbuhan dari

air tersebut. Tanpa air, tumbuhan-tumbuhan yang beragam tidak dapat tumbuh.

Berbeda dengan negara-negara yang tandus dan gersang, analogi untuk air yang

menumbuhkan berbagai jenis tanaman sangat sesuai untuk wilayah yang tropis

seperti Indonesia. Dengan demikian, analogi tersebut menjadi sangat mudah

dipahami oleh masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi ajaran Hamzah

Fansûrî509.

506 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 265. 507 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 265. 508 Jatna Supriatna, Melestarikan Alam Indonesia, (Jakarta: Buku Obor, 2008), 43. 509 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 3–4.

126

Dalam konteks analogi air, Tuhan Maha Mengetahui disebut dengan Qasîm,

yakni yang dibagi atau dipisahkan atau sesuatu yang diseparasikan dengan

dianalogikan juga dengan air. Sementara realitas semesta sebagai bagian yang

dipisahkan disebut dengan maqsûm, yakni bagian. Qasîm adalah air, sementara

maqsûm menjadi berbagai nama sebagaimana beragamnya makhluk diseparasikan

nama-namanya dalam berbagai tinjauan kondisi. Air ketika di samudra disebut laut.

Ketika naik ke langit disebut awan. Ketika turun ke bumi disebut hujan. Ketika

mengalir di darat disebut sungai. Ketika kembali ke samudra disebut laut. Demikian

juga alam semesta menjadi berbagai bentuk dan berbagai jenis karena berbagai

kecenderungan esensi yang menampilkannya menjadi berbagai kondisi.

Sebagaimana sungai, laut, dan hujan juga adalah air, demikian juga wujûd sebenarnya

adalah realitas yang tunggal, menjadi beragam kondisi yang semuanya itu adalah air,

sebagaimana wujûd yang satu terdapat kemajemukan di dalamnya. Demikian

Hamzah Fansûrî ingin menegaskan bahwa makhluk-makhluk menjadi wujûd dengan

satu Wujûd meskipun kita memersepsikan kemajemukan.

Demikian sebenarnya keberagaman makhluk adalah bagian dari Tuhan.

Segenap makhluk menjadi beragam nama hanya dalam pengamatan. Sementara

hakikatnya adalah satu, yakni air, menjadi laut, menjadi awan, menjadi hujan,

menjadi sungai, dan kembali menjadi laut adalah pada sisi pengamatan saja510.

Sebenarnya analogi ini dapat ditambahkan dengan muara, yakni kondisi air

antara dari sungai menuju samudra. Akan tetapi, Hamzah Fansûrî tidak menggunakan

analogi tersebut. Mungkin karena istilah muara belum ada waktu itu. Mungkin juga

karena muara bukan sesuatu yang akrab dalam dunia masyarakat. Hal ini karena

biasanya muara merupakan lokasi yang titiknya jauh dari permukiman masyarakat

pada masa itu. Umumnya di Aceh dan negeri-negeri Melayu, muara menjadi bagian

dari habitat pohon bakau yang tidak menjadi perhatian masyarakat untuk dikunjungi.

Jadi, tidak begitu familier511.

Air juga dianalogikan dengan Tuhan sebagai perbendaharaan tersembunyi

(kânzan makfî) yang berkehendak untuk dikenali sehingga Dia menciptakan alam

semesta yang dianalogikan dengan buih. Buih adalah aktualitas air yang menjelma di

permukaan. Sementara sebenarnya buih-buih tersebut adalah aktualitas air dalam

beragam bentuk. Demikian juga Tuhan sebagai yang tersembunyi mengaktualkan

alam dalam aneka ragam bentuk. Tujuannya supaya manusia mengenal Tuhan

melalui alam semesta. Air juga dianalogikan dengan Tuhan, sementara buih

dianalogikan dengan pesuluk. Pesuluk itu adalah orang yang dianggap telah bersatu

dengan Tuhan. Karena itu, dirinya menjadi wadah Tuhan secara keseluruhan.

Aktualitasnya adalah aktualitas Tuhan512.

510 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 228. 511Aji Ali Akbar, et al., “Erosi Pantai, Ekosistem Hutan Bakau Dan Adaptasi

Masyarakat Terhadap Bencana Kerusakan Pantai Di Negara Tropis (Coastal Erosion,

Mangrove Ecosystems and Community Adaptation to Coastal Disasters in Tropical

Countries),” Jurnal Ilmu Lingkungan 15, no. 1 (May 13, 2017): 1,

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/article/view/12822. 512 Miswari, Filsafat Terakhir…, 47.

127

Selain air, benda alam yang sangat dekat dengan masyarakat tropis adalah batu.

Tidak seperti Timur Tengah dan Afrika yang mana batu umumnya diproduksi dari

pengeringan tanah atau bongkahan dan serpihan gunung, di negeri tropis seperti

Indonesia, batu sangat mudah di dapatkan melalui sungai. Di dalam timbunan tanah

juga terdapat banyak batu. Untuk itulah, analogi batu dalam konteks menjelaskan

ajaran Wujudiah menjadi sangat mudah dipahami.

Batu adalah analogi yang sangat sederhana untuk menggambarkan kehendak

manusia dalam hubungannya dengan kehendak Tuhan. Batu adalah benda yang

sangat dekat dengan kehidupan manusia. Batu dapat ditemukan di mana pun. Batu

dikenal siapa pun, bahkan hingga anak-anak. Batu di kampung-kampung sering

digunakan untuk melempari ternak yang masuk area terlarang. Batu digunakan untuk

mengusir monyet di kebun. Batu digunakan untuk mengusir burung yang mencoba

mencuri padi yang mulai menguning di sawah. Begitu tidak berdayanya batu-batu

dalam hubungannya dengan manusia yang melemparnya. Begitulah analogi makhluk.

Yang sama sekali tidak berdaya di hadapan Tuhan. Sebenarnya, hal ini dipercaya

dalam setiap tradisi spiritualitas513.

Batu juga dianalogikan dengan cara lain oleh Hamzah Fansûrî. Meskipun tidak

banyak yang memiliki, bahkan pada masa itu tidak semua orang pernah melihatnya,

tetapi semua orang mengetahui emas. Diketahui pula bawa sebenarnya sebongkah

emas di perut bumi itu jenisnya adalah batu. Emas dianalogikan dengan Tuhan.

Sementara batu dianalogikan dengan selain Tuhan. Apabila dalam suluk seseorang

masih melihat selain Tuhan, dia belum menyatu dengan Tuhan. Antara Tuhan sebagai

emas dan makhluk sebagai batu dalam analogi ini harus tidak ada dualitas lagi.

Karena apabila masih menerima dualitas, itu artinya masih belum bersatu (wasil).

Kebersatuan inilah yang disebut dengan makrifat; sebuah pengetahuan tertinggi514.

“Ya’ni tamthil emas [itu iaitu] Tuhan, dan matu [ia itu] hamba. Karena pada

penglihatan emas lain, matu lain. Tetapi emas tiada bercherai dengan matu,

dan matu tiada bercherai dengan emas’515

Analogi emas dan batu untuk menggambarkan apabila manusia masih melihat

batu pada emas, berarti dia belum mengalami fânâ. Sementara ketika hanya melihat

emas, berarti dia telah mengalami fânâ. Penekanan dalam konteks ini adalah

bagaimana manusia harus melenyapkan eksistensi dirinya yang hanya merupakan

bayangan, tidak nyata untuk dapat melihat Realitas yang Nyata yang dianalogikan

dengan emas.

Namun, fânâ yang lebih baik bagi Hamzah Fansûrî adalah seperti yang

dianalogikan dengan laron sebagai pesuluk dan api sebagai Bâsîth. Ketika laron telah

masuk api, ia benar-benar kehilangan dirinya. Kondisi fânâ yang digambarkan ini

menjadi semacam sebuah kritik bagi analogi fânâ yang dibuat Jalal al-Dîn Rûmî yang

513 Daniel Nugraha Tanusaputra, “Kerohanian Dan Pelayanan Seorang Hamba Tuhan,”

Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 14, no. 2 (October 1, 2013): 253–276,

https://ojs.seabs.ac.id/index.php/Veritas/article/view/281. 514 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 287–288. 515 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 287–288.

128

menganalogikan fânâ dengan meleburnya besi ke dalam api. Dalam kondisi tersebut,

besi mengaku dirinya api, tetapi sejatinya dualitas besi dan api masih ada.

Analogi yang lebih sederhana menggambarkan kondisi fânâ dalam suluk

adalah musnahnya laron ke dalam api. Dalam masyarakat pada masa itu, laron yang

selalu mendatangi api, lalu musnah terbakar ke dalamnya adalah pemandangan

sehari-hari masyarakat. Fenomena itu digunakan Hamzah Fansûrî sebagai analogi

pesuluk yang lenyap dalam Tuhan. Kedirian pesuluk harus benar-benar lenyap

sehingga mengetahui hakikat yang nyata, yakni Tuhan yang Tunggal516.

Sebagaimana tidak berdayanya batu bagi manusia menjadi analogi tidak

berdayanya manusia di hadapan kuasa dan kehendak Tuhan. Analogi besi dan tukang

besi juga digunakan untuk menjelaskan maksud yang sama. Tentu saja analogi besi

dan tukang besi digunakan karena itu sangat dekat dengan masyarakat. Hampir pada

setiap mukim di Aceh pada masa itu terdapat tukang besi. Pisau, parang, arit, cangkul,

dan senjata dipesan pada tukang besi. Masyarakat tentu sangat mengetahui bahwa

besi-besi sama sekali tidak berdaya di tangan tukang besi. Besi tunduk pada kehendak

tukang besi. Tukang besi berkuasa mutlak dalam membentuk besi. Demikian juga

ketika besi dianalogikan sebagai manusia dan tukang besi dianalogikan sebagai

Tuhan. Manusia dan semua makhluk benar-benar Tunduk pada ketetapan, kehendak,

dan kendali Tuhan517.

D. Pemaknaan Wujudiah Hamzah Fansûrî

Perkembangan ajaran Wujudiah dalam khazanah intelektual Islam

didayagunakan dengan baik oleh Hamzah Fansûrî untuk mengembangkan ajaran

tasawufnya. Uniknya, Hamzah Fansûrî mampu mengomunikasikan ajaran filosofis

yang rumit itu dalam budaya masyarakat Melayu yang memiliki tradisi keilmuan dan

budaya yang berbeda dengan konteks perkembangan ajaran Wujudiah di Timur

Tengah. Karya-karya Hamzah Fansûrî mengandung banyak sekali pesan kepada

manusia supaya menghindari kecenderungan duniawi. Hal ini dapat diduga karena

Hamzah Fansûrî melihat pada masanya, masyarakat terlalu sibuk dengan urusan

duniawi. Hamzah Fansûrî sangat sering mengingatkan supaya masyarakat tidak

terjebak oleh dunia dan kecenderungan mendekati penguasa. Karena memang pada

masa itu, dunia Melayu memiliki hubungan internasional yang baik. Perdagangan

berlangsung pesat. Manusia hidup pada zaman kosmopolitan sehingga membuat sufi,

seperti Hamzah Fansûrî merasa gelisah. Masyarakat yang terlalu sibuk dengan urusan

keduniannya ditegur Hamzah Fansûrî melalui karya yang indah berupa puisi dan

analogi-analogi sederhana dan mudah dipahami.

Berdasarkan analisis Ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî dan konteks

pengajarannya, dapat ditemukan bahwa ajaran tersebut menegaskan tentang kesatuan

wujûd yang hanya dinisbahkan kepada Haqq Ta’ala. Sementara kemajemukan alam

hanyalah seperti bayangan dalam cermin. Hubungan ketunggalan dan kemajemukan

Hamzah Fansûrî menggunakan analogi-analogi, seperti tanah dan perabotan, kayu

dan buah catur, matahari dan cahayanya, dan analogi-analogi lainnya yang mudah

516 Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas…, 53. 517 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn,”…, 287.

129

dipahami masyarakat. Hal ini berbeda dengan sufi dan filosof lain yang sebagian

menggunakan sistem yang rumit dalam menjelaskan ajarannya.

Dalam prinsip ajarannya, Hamzah Fansûrî menjelaskan bahwa dari dalam

napas al-Rahman sebagai kemajemukan bersumber. Segala kemajemukan itu berada

dalam ilmu Tuhan. Segala kemajemukan itu adalah wujûd wahmî, yakni pada

pandangan dia wujûd, namun pada hakikatnya wahmî. Pemahaman demikian adalah

berasal dari ilmu hakikat. Ilmu tersebut didapatkan dengan syarat tidak

menggantungkan diri pada dunia dan menempuh jalan suluk.

Dalam mengenal Allah, manusia dituntut untuk mengenal tujuh Sifat utama,

yakni Sifat pertama adalah Hayy, Sifat kedua adalah 'Ilmû, Sifat ketiga adalah Irâdat,

Sifat keempat adalah Qudrat, Sifat kelima adalah Kâlâm, Sifat keenam adalah Sâmî',

dan Sifat ketujuh adalah Basyar. Sementara penjelasan kejadian alam atau hubungan

antara ketunggalan dan kemajemukan dijelaskan melalui sistem ta’ayyûn. Ta’ayyûn

pertama adalah Ahadiyah, ta’ayyûn kedua adalah wahdah, ta’ayyûn ketiga adalah

wahidiyah, ta’ayyûn keempat adalah ‘alam arwah, ta’ayyûn kelima adalah ‘alâm

mitsal, ta’ayyûn keenam adalah ‘alâm ajsâm, dan ta’ayyûn ketujuh adalah ‘alam

insân.

Kondisi masyarakat Melayu yang maju di bidang ekonomi dan keduniaan

lainnya diingatkan Hamzah Fansûrî supaya dapat diseimbangkan dengan penyiapan

bekal untuk kehidupan kekal. Hamzah Fansûrî mengingatkan manusia itu seperti

seorang dagang, yakni datang sejenak ke suatu tempat dan akan kembali selama-

lamanya. Karena itu, manusia harus mempersiapkan bekal amal ibadah supaya dapat

selamat di akhirat kelak. Dalam menjelaskan hakikat kedirian insan, analogi anak

dagang itu sangat mudah dipahami. Ajaran-ajaran Hamzah Fansûrî memang mudah

dipahami dengan menggunakan analogi yang sesuai dengan konteks masyarakatnya.

Sufi, seperti Ibn 'Arabî yang hidup dalam periode masyarakat kosmopolitan di

Timur Tengah mendayagunakan hampir semua khazanah ilmu pengetahuan untuk

mengomunikasikan ajarannya. Sebab itulah, al-Futûhât hanya dapat dipahami

dengan baik bila menguasai berbagai perspektif keilmuan. Ibn ‘Arabî

mendayagunakan ilmu matematika, astronomi, kimia, dan tentunya filsafat untuk

mengomunikasikan ajarannya. Bahkan, analogi-analogi sederhana juga digunakan

Ibn ‘Arabî. Sebab itulah, bila belum menguasai antardisiplin keilmuan, al-Futûhât

sangat sulit dipahami518. Sementara Hamzah Fansûrî adalah sufi yang fokus

komunikasi ajarannya adalah dengan menggunakan analogi. Tentunya Hamzah

Fansûrî menggunakan objek analogi yang dekat dengan masyarakatnya. Meskipun

demikian, Hamzah Fansûrî juga menggunakan analogi-analogi yang telah digunakan

sufi-sufi sebelumnya selama objek-objek analogi itu relevan untuk masyarakat

Melayu. Misalnya, Hamzah Fansûrî menggunakan analogi besi dan api yang

sebelumnya telah digunakan Jalal al-Dîn Rûmî dan menggunakan analogi laut dan

ombak yang sebelumnya telah digunakan Ibn ‘Arabî519. Tentunya analogi-analogi

518 Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology…,

x. 519 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 137–138. Sebenarnya sangat

banyak analogi yang berasal dari sufi sebelumnya yang dianggap relevan dan menjadi sarana

analogi yang mudah dipahami pembacanya di Indonesia. Tetapi tidak sedikit juga analogi baru

130

lain yang digunakan Hamzah Fansûrî adalah yang lebih dekat dengan masyarakatnya

sehingga menjadi lebih mudah dipahami.

Hamzah Fansûrî menyerap tradisi Wujudiah sebelumnya dari berbagai tokoh

sufi dan memformulasikannya dalam skema yang unik untuk disampaikan kepada

masyarakat Melayu. Dalam hal ini, tentunya Hamzah Fansûrî harus mampu

menyederhanakan Wujudiah yang sangat rumit dari para sufi sebelumnya agar dapat

dipahami masyarakat Melayu. Sebaliknya, sufi dan filosof lain, seperti Mullâ Sadrâ

melakukan sintesis atas pemikiran sebelumnya sehingga membuat ajarannya harus

sangat luas pembahasannya. Masyarakat Melayu membutuhkan pola sederhana

dalam pengajaran Wujudiah. Sementara pada masa itu, masyarakat Persia

membutuhkan sintesis atas pemikiran-pemikiran sebelumnya.

Hamzah Fansûrî dengan kejeniusannya memformulasikan Wujudiah yang

sangat rumit menjadi ungkapan-ungkapan simbolis dalam puisi-puisinya. Sementara

penjelasan yang lebih dekskriptif terdapat dalam prosa-prosanya, khususnya Asrâr

yang secara deskriptif filosofis menggunakan banyak analogi yang mudah dipahami

masyarakat Melayu untuk menjelaskan ajaran Wujudiah.

Sebagian masyarakat dan sarjana menganggap ajaran Hamzah Fansûrî sangat

sulit dipahami sehingga menjadi enggan atau menggunakan persiapan yang rumit

untuk menelaah ajaran-ajarannya, ternyata ajarannya itu sangat mudah dipahami.

Melakukan persiapan tertentu yang terlalu elitis, seperti teori yang besar dan

metodologi yang rumit, hanya membuat ajaran Hamzah Fansûrî menjadi makin

kabur. Padahal, ternyata ajarannya itu sangat sederhana. Analogi yang digunakan

sangat dekat dengan keseharian masyarakat pada zamannya.

Menganggap teks karya Hamzah Fansûrî sebagai misteri telah membuat makna

ajarannya terkonsumsi oleh sebagian kalangan saja. Terdapat juga kemungkinan

sebagian sarjana, terutama mereka yang sudah punya asumsi bahwa ajaran Hamzah

Fansûrî itu sesat, membuat dan menyebarkan kesan bahwa ajaran Hamzah Fansûrî itu

rumit dan sulit dipahami agar masyarakat enggan mempelajarinya. Padahal, idealnya

sebuah ajaran harus mampu dikomunikasikan dengan mudah bagi segenap lapisan

masyarakat.

Di antara empat analogi utama, yakni tanah dan perabotan, matahari dan

sinarnya, kayu dan buah catur, dan laut dan ombak, analogi tanah dan perabotan dapat

menjadi analogi terbaik karena objeknya dapat ditemukan dengan mudah dalam

kehidupan sehari-hari. Sangat banyak benda yang dibangun, didesain, dan dibuat dari

tanah. Setiap hari manusia tidak dapat menghindar dari objek-objek itu. Karena itu,

ketika sedikit saja menggunakan perenungan, kesadaran Ilahiah dapat muncul. Di

samping itu, analogi tanah analogi tanah sangat akurat karena banyak hal yang dapat

dibuat dengan mudah dari tanah. Banyak objek yang sebenarnya keseluruhannya dari

tanah, sementara jenis benda yang dapat dibuat darinya sangat banyak.

Cahaya adalah analogi yang sangat disukai ‘urafâ. Hal ini karena cahaya

sebagai sesuatu yang sangat terang sehingga tidak membutuhkan definisi padanya.

Bahkan, mendefinisikan cahaya malah mereduksi. Cahaya juga merupakan sesuatu

yang sangat dekat, menyeluruh, dan mengisi kehidupan manusia. Cahaya yang

yang dibuat Hamzah Fansûrî yang sesuai untuk masyarakat Kepulauan-Indonesia. Analogi

biji sebagai kanzân makfî atau perbendaharaan tersembunyi juga dari Ibn’Arabî.

131

terpancar dengan berbagai warna, beragam intensitas ketika menghantam prisma

adalah analogi yang sangat disukai dalam usaha menerangkan Bâsîth520.

Kayu dapat menjadi analogi yang sangat akurat karena alasan seperti tanah

juga. Analogi kayu sebenarnya tidak sesederhana yang dicontohkan Hamzah Fansûrî,

yakni biji-biji catur. Dari kayu dapat dibuat sangat banyak perabotan, sangat banyak

hiasan, dan sangat banyak perkakas. Di samping itu, tanah juga sangat penting

sebagai analogi karena sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Laut juga merupakan analogi yang sangat disukai ‘urafâ karena akurasi

analoginya. Laut yang sangat luas, seperti tidak berujung dan memiliki kedalaman

yang tidak terjangkau adalah sifat-sifat laut yang mirip dengan sifat-sifat Bâsîth.

Analogi tanah yang menghasilkan berbagai perabotan dibedakan dengan bumi yang

dijadikan analogi ‘Ilmû Bâsîth dan air hujan yang dianalogikan dengan Wujûd-Nya.

Bila tidak ada air hujan, tidak akan tumbuh pepohonan. Demikian wujûd makhlûqat

tidak akan pernah hadir tanpa pemberian wujûd dari Bâsîth521. Analogi cahaya dan

sinarnya digunakan untuk menggambarkan manifestasi Ilahi kepada beragam

makhluk. Seperti cahaya matahari yang menyinari dan memberikan sinar kepada

berbagai entitas, demikianlah Haqq Ta’ala memberikan wujud kepada sekalian alam.

Analogi kayu dan berbagai buah catur digunakan untuk menggambarkan

bahwa dari satu hakikat muncul berbagai nama, namun sejatinya hanya satu. Seperti

berbagai larik buah catur, raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak, semuanya

sejatinya hanya satu wujûd\. Persis seperti berbagai entitas alam, sejatinya hanya satu

wujûd dalam ajaran Hamzah Fansûrî. Analogi laut dan ombak digunakan untuk

menjelaskan bahwa makhluk dan Haqq Ta’ala itu tiada berpisah. Persis seperti laut

dan ombak. Namanya berbeda, tetapi hakikatnya adalah laut. Sebagaimana alam

menjadi penanda bagi eksistensi Haqq Ta’ala, demikian juga ombak yang tampak

menunjukkan adanya hakikat laut.

Adapun analogi-analogi sekunder adalah analogi ontologi yang tidak secara

langsung bermaksud menjadikan objek-objek yang dianalogikan untuk menjelaskan

tentang Haqq Ta’âlâ. Analogi-analogi tersebut memang masih masih berkaitan

dengan penjelasan tentang Bâsîth, tetapi lebih bertujuan menjelaskan hubungan

Bâsîth dengan makhlûqat. Objek-objek analogi tersebut adalah buah, biji, cermin,

manusia, air, batu, dan besi.

Analogi buah yang bulat itu dibuat Hamzah Fansûrî untuk menganalogikan

Sifat Qadim. Sifat tersebut tidak memiliki batasan seperti buah. Tidak dapat

diidentifikasi batas-batasnya. Tidak berlaku baginya batas-batas, seperti permulaan,

kesudahan, tepian, bagian depan, bagian belakang, bagian, kiri, bagian kanan, bagian

bawah, dan bagian atas. Qadim itu adalah sifat kekal yang tidak memiliki

perumpamaan dan tidak berlaku baginya pengakhiran522. Apabila satu bagian berlaku

bagi Qadim, bagian lawannya akan berlaku pula. Misalnya, apabila memiliki

permulaan, pasti memiliki akhiran. Apabila berlaku bagian depan, pasti berlaku

bagian belakang. Apabila berlaku bagian kiri, pasti terdapat bagian kanannya.

520 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 242. 521 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 268. 522 Udi Mufrodi, “Alam Semesta Dan Keabsolutan Tuhan,” ALQALAM 22, no. 3

(December 30, 2005): 335, http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/1365.

132

Apabila berlaku bagian bawah, pasti terdapat bagian atas. Apabila memiliki

permulaan, pasti memiliki akhiran. Ketika semua batasan ini berlaku, sifat Qadim itu

tentunya tidak dapat diidentifikasi dan tidak dapat dilimitasi karena tidak berlaku

baginya kategori, baik substansi maupun aksiden523.

Analogi biji digunakan Hamzah Fansûrî dalam menjelaskan kanzân

makhfiyyân, yakni perbendaharaan tersembunyi. Pada hadis qudsi, Al-Haqq juga

menganalogikan Diri-Nya sebagai “perbendaharaan tersembunyi”, yaitu kanzan

makfiyyan. Adapun bunyi hadis qudsi dimaksud adalah, “Kuntû kanzân makhfiyyân

fa ahbabtu ‘an ‘urafâ”. Analogi bagi “perbendaharaan tersembunyi” oleh Hamzah

Fansûrî adalah “biji”. Pada biji telah terkandung segala entitas pohon, seperti

akarnya, batangnya, cabangnya, dahannya, daunnya, rantingnya, dan buahnya.

Analogi ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam pandangan ‘urafâ, segala

wujûd selain Al-Haqq telah mengada bersama-Nya sehingga wujûd selain Al-Haqq

bukanlah wujûd baharu. Analogi ini dipakai untuk menyanggah argumentasi

mutakallimîn yang menyatakan bahwa makhlûqat berasal dari ketiadaan. Biji yang

dimaksud untuk menyebutkannya sebagai benih yang dapat menumbuhkan pohonnya

kembali. Biji adalah bagian dari buah yang umumnya di dalam dan menjadi inti buah.

Dari biji dapat disemai menjadi buah karena pada biji tersebut telah terkandung

totalitas buah. Penunjukan biji sebagai analogi menjadi akurat karena mustahil

membayangkan keterpisahan suatu tumbuhan dari sumbernya, yakni biji. Analogi ini

diakui Hamzah Fansûrî diambilnya dari Ibn ‘Arabî524.

Hamzah Fansûrî menganjurkan manusia untuk menghilangkan kedirian karena

kedirian manusia, serta segala yang disandang manusia itu tidak nyata, segalanya

hanya seperti bayang-bayang. Pengakuan atas eksistensi kedirian adalah hijab dalam

rangka menenggelamkan diri dalam samudra Ilahi.

Manusia dalam ajaran Hamzah Fansûrî menjadi analogi untuk

menggambarkan hubungan Dzat dengan sifat-sifatnya. Misalnya, Hamzah Fansûrî

menggunakan analogi seseorang. Misalnya, Muhammad sebagai analogi Dzat,

sebagai Huwa yang tidak dikenal. Pengenalan Dzat hanya melalui sifat-sifatnya.

Ketika Muhammad memiliki pengetahuan, dia disebut ‘alim. Ketika Muhammad

menulis, disebut katib. Ketika Muhammad berdagang disebut saudagar525.

Analogi lain tentang manusia adalah seorang raja. Analogi ini digunakan untuk

menggambarkan bagaimana ‘Ilmû Bâsîth teraktualisasi sebagai alam semesta. Bila

mengatakan Bâsîth sebagai ‘Alim, namun tiadanya alam semesta, itu seperti seorang

raja yang tidak memiliki prajurit atau seorang yang memiliki ilmu pengetahuan, tetapi

tidak mengamalkannya526.

Utus dianalogikan dengan keteraturan ciptaan. Suatu pekerjaan apabila

dilakukan oleh ahlinya, akan lahir karya yang teratur, rapi, dan kukuh sebagaimana

eksistensi alam semesta. Utus juga dalam kajian tasawuf falsafi dapat menjadi analogi

ilmu Tuhan dan aktualisasi ilmu-Nya. Segala ciptaan sebenarnya sudah ada dalam

523 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 241. 524 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 253. 525 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 240 526 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn”…, 253–255.

133

ilmu Tuhan sebelum menjelma. Sama seperti sebuah gedung sudah ada dalam

inteleksi imajinasi seorang utus sebelum rumah itu diaktualisasikan dengan dibuat527.

Di samping menjadikan manusia sebagai analogi, jasad manusia dianalogikan

dengan perahu. Manusia harus selalu mengingat, tubuhnya seperti perahu. Segala

bekal perlu dipersiapkan. Manusia harus selalu ingat bahwa bagi dirinya yang seperti

perahu, daratan hanya persinggahan sementara. Hakikatnya akan segera

berlabuh528. Pada momen persinggahan, sebagaimana kehidupan di dunia, harus

mempersiapkan bekal untuk kembali berlabuh. Perjalanan jiwa manusia masih sangat

panjang.

“Anak mu'allim tahu akan jalan

Da'im berlayar di laut nyaman

Markab-mu tiada berpapan

Oleh itu tiada berlawan”529

“Ya’ni di atas segala ‘alam BekasNya lalu; seperti air sungai lalu tiada

berkeputusan [dan] tiada berkesudahan.”530

Pada bagian ini, Hamzah Fansûrî menggunakan sungai sebagai analogi bagi

eksistensi alam semesta yang merupakan hakikat kehadiran Wujûd Bâsîth secara terus

menerus. Aliran sungai yang mengalir terus-menerus adalah analogi tentang

bagaimana eksistensi makhluk terjadi secara terus-menerus. Al-Qur’an (55: 29)

menyebutkan bahwa Allah senantiasa dalam kesibukan.

يسـله من فى السموت والرض كل يوم هو في شأن

Artinya:

“Apa yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia

dalam kesibukan.”

Munculnya keberagaman pada makhlûqat yang sejatinya berasal dari satu

wujûd dianalogikan dengan hadirnya berbagai jenis, bentuk, warna, dan rasa buah-

buahan. Meskipun beragam, semua itu berasal dari ‘Ilmû dan Wujûd Haqq Ta’âlâ.

Persis seperti munculnya beragam jenis, rasa, dan warna buah-buahan yang berasal

dari air. Sumbernya itu satu, tetapi memunculkan keberagaman buah-buahan.

Demikian dianalogikan wujûd, satu asalnya, tetapi menjadi beragam. Analogi air

muncul dari penakwilan atas Al-Qur’an (13: 4).

غير صنوان يسقى نخيل صنوان و زرع و ن اعناب و جنهت م تجورت و احد وفى الرض قطع م بماء و

ل بعضها على بعض نفض يت ل قوم يعقلون فىو الكل ان في ذلك ل

Artinya:

527 Willam C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s

Cosmology (New York: State University of New York Press, 1997), 187. 528 Abdul Hadi WM., Tasawuf yang Tertindas…, 168. 529 Abdul Hadi WM., Tasawuf yang Tertindas…, 365. 530 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn”…, 265.

134

“Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun

anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak

bercabang; disirami dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang

satu dari yang lainnya dalam hal rasanya. Sungguh, pada yang demikian itu

terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.”

Air dianalogikan sebagai dari satu wujûd memunculkan beragam fenomena,

menjadi siang dan malam, menjadi langit dan bumi, menjadi ‘arsy dan kursî, menjadi

surga dan neraka, menjadi Islam dan kafir, dan menjadi baik dan jahat, semuanya

berasal dari Bâsîth. Air sebagai entitas dasar juga dianalogikan sebagai Bâsîth sebagai

kanzân makfî (perbendaharaan tersembunyi). Sementara buih yang beragam corak,

beragam warna dan berbagai bentuk sejatinya adalah aktualitas air. Sebagaimana

keberagaman alam semesta merupakan aktualitas dari perbendaharaan tersembunyi.

Hubungan air dan buih juga menjadi analogi dalam menjelaskan hubungan

pesuluk dengan Bâsîth. Pesuluk dianalogikan dengan buih yang sejatinya kembali

(wasil) kepada air yang dianalogikan sebagai Bâsîth. Namun akhirnya, Hamzah

Fansûrî menegaskan bahwa wasil itu pun sebenarnya hanyalah kiasan, bukan dengan

makna sebenarnya. Karena itu, hanya merupakan cara untuk dapat mengenal Allah.

Karena itu, konsistensi kepada syariat harus senantiasa teguh531.

Batu adalah analogi ketiadaan daya manusia. Seperti sebuah batu yang sama

sekali tidak dapat berkehendak atas dirinya sendiri, demikian juga manusia dan segala

makhlûqat. Semua tunduk pada kendali Bâsîth. Batu juga menjadi analogi untuk

menjelaskan kondisi fânâ. Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa fânâ sejati adalah

ketika emas dan batu sekaligus tidak dapat diidentifikasi. Karena bila masih mampu

mengidentifikasi emas, tentunya masih mengakui eksistensi ketuhanan (Ya’ni tamthil

emas [itu iaitu] Tuhan…). Bila masih mengakui eksistensi Tuhan, meniscayakan

eksistensi makhlûqat sehingga masih terkandung dualitas. Dan kondisi dualitas

belum merupakan perjalanan spiritual yang tinggi532. Bahkan, dalam kondisi

pengalaman spiritual yang tinggi, segenap Nama dan Sifat yang dipredikasi kepada

Bâsîth harus dilenyapkan karena segala sifat-sifat itu ternyata adalah hijab.

Dinding Dhat itu Sifat

Dinding sifat itu asma’

Dinding asma’ itu af’al

Dinding af’al itu athar533

“Batu” dianalogikan Hamzah Fansûrî sebagai maqâm bagi orang telah

menjadi faqir secara mutlak, yakni telah mencapai maqâm (derajat) makrifat. Batu

tidak dapat bergerak, kecuali ada daya dari luarnya yang menggerakkan. Demikian

pula orang pesuluk yang telah mencapai maqam ma’rifat, ia tidak memiliki apa pun,

kecuali segalanya adalah kehadiran Bâsîth. Segala diam dan geraknya adalah total

kehadiran Al-Haqq.

531 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn”…, 294–295. 532 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn”…, 289. 533 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî,…, 290.

135

Besi dan pedang adalah analogi kesatuan subjek yang mengetahui (‘alim) dan

objek yang diketahui (ma’lûm) yang merupakan haqîqit muhammadî, yakni nûr

Muhammad. Hamzah Fansûrî menganalogikan hal-hal yang dimaknai manusia

sebagai keburukan seperti sepotong besi. Besi itu sejatinya tidak memiliki daya. Besi

hanya memiliki potensi untuk diubah menjadi keris. Ketika seseorang melakukan

pembunuhan menggunakan keris tersebut, daya keris itu memenuhi hukum yang

ditetapkan kepadanya534. Hukum potensi kepada keris itulah yang digambarkan

sebagai Sifat Ilahi sehingga tidak ada peluang untuk mengatakan bahwa keburukan

itu datang dari Allah dan Sifat-sifat-Nya. Gagang pancing digunakan untuk analogi

bagaimana sebenarnya segala yang datang dari Bâsîth adalah kebaikan. Seperti

gagang pancing meskipun dipandang bengkok535, tetapi itulah kesempurnaan

aktualitasnya. Segala realitas baik dan buruk hanya dalam penilaian mental

manusia536.

Sebenarnya terdapat analogi yang dibuat Hamzah Fansûrî untuk menjelaskan

Bâsîth, seperti analogi susu dan minyak sapi. Bahwasanya keseluruhan minyak sapi

sebenarnya adalah susu. Perbedaan hanya terjadi pada penamaan, pada keseluruhan

minyak sapi sebenarnya adalah susu. Demikian sebenarnya Bâsîth yang hadir pada

realitas alam yang sebenarnya adalah kehadiran Bâsîth secara keseluruhan.

Analogi lainnya yang sangat akurat yang digunakan Hamzah Fansûrî untuk

menjelaskan Bâsîth adalah kain dengan kapas537. Kain merupakan kehadiran total

kapas. Yang tampak terlihat adalah kain, namun keseluruhan kain itu sebenarnya

adalah kapas. Manusia melihat fenomena berbagai ragam, diberi berbagai nama.

Namun, hakikatnya adalah wujûd yang satu538.

Yogya kau pandang kain dan kapas

Keduanya wahid asmanya lain

Wahidkan hendak zahir dan batin

Itulah ilmu kesudahan main539

534 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî,… 261–262. 535 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî,…, 290. 536 Teuku Safir Iskandar Wijaya, Falsafah Kalam, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation,

2003), 72. 537 Drewes dan Brakel, The Poems of Ḥamzah Fansûrî…, 88. 538 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical

Concepts…, 160. 539 Abdul Hadi WM., Hamzah Fansûrî: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya,

(Bandung: Mizan, 1995), 108.

136

BAB IV

ANALISIS FILSAFAT MULLÂ SADRÂ

Mullâ Sadrâ adalah pemikir yang hadir dalam masa kemunduran keilmuan di

dunia Islam secara keseluruhan. Namun, masa itu merupakan masa perkembangan

keilmuan di Persia. Pada masa tersebut, para pemikir di sana sedang berusaha

menyusun karya yang menyintesiskan berbagai aliran dalam pemikiran Islam.

Gurunya Mullâ Sadrâ, Mîr Dâmâd telah melakukan usaha tersebut. Semangat itu

diwarisi Mullâ Sadrâ dengan menghasilkan karya yang dianggap merupakan sebuah

sintesis dalam pemikiran Islam. Karena merupakan sebuah karya yang dibangun

berdasarkan analisis atas berbagai tema dalam pemikiran Islam sebelumnya, menjadi

sulit mempelajari filsafat Mullâ Sadrâ tanpa lebih dahulu mengakrabkan diri dengan

karya-karya filsafat sebelumnya, khususnya karya yang dikembangkan oleh para

filosof muslim, seperti Ibn Sînâ dan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî.

Dalam mengembangkan sistem filsafatnya, Mullâ Sadrâ merespons berbagai

aliran pemikiran, tidak hanya dalam dunia Islam, tetapi juga dari berbagai khazanah

ilmu pengetahuan sebelum Islam, seperti filsafat Persia dan filsafat Yunani. Filsafaf

Mullâ Sadrâ dikemukakan dalam beberapa karyanya, seperti Asfar dan al-Masya’ir.

Karya tersebut pertama berisi deskripsi panjang Mullâ Sadrâ dalam membangun

argumentasi-argumentasi penting dalam konsep-konsep ajarannya. Sementara karya

tersebut kedua merupakan semacam kesimpulan-kesimpulan Mullâ Sadrâ dari hasil

deskripsi argumentasi teori-teorinya.

Secara keseluruhan, pemikiran Mullâ Sadrâ niscaya berkaitan dengan

pemikiran filsafat, tasawuf, dan teologi sebelumnya. Konsep-konsep penting dalam

pemikiran Mullâ Sadrâ, seperti gradasi wujûd (tâskîk al-wujûd), gerak substansi (al-

harakah al-jawhayiah), dan kesatuan subjek dan objek (ittihad aqil wa ma’qûl),

adalah konsep-konsep yang hanya dapat dipahami dengan mudah apabila telah

memahami konteks respons Mullâ Sadrâ atas pemikiran-pemikiran sebelumnya.

Sebab itulah, analisis pemikiran Mullâ Sadrâ hanya dapat dipahami dengan mudah

dengan didahului deskripsi atas pemikiran filsafat sebelumnya.Bagian ini terbagi

menjadi empat pembahasan, yakni dimulai dengan membahas kehidupan dan karya

Mullâ Sadrâ secara sepintas. Kemudian, membahas tentang gagasan utama filsafat

Mullâ Sadrâ yang membahas secara umum gagasan Mullâ Sadrâ yang coba dibagi

menjadi bagian pemikiran ontologi dan epistemologi. Bagian selanjutnya adalah

analisis tetang konsep penting dalam filsafat Mullâ Sadrâ dan mencoba berfokus

pada konsep-konsep penting, seperti kemendasaran wujûd (ashalat al-wujûd), gradasi

wujûd (tâskîk al-wujûd), kefakiran akibat dalam kausalitas (illiyah), hakikat

sederhana (basith al-haqîqah), gerak substansi (al-harakah al-jawhayiah), dan

kesatuan subjek dan objek (ittihad aqil wa ma’qûl). Bagian terakhir merupakan

pandangan penyimpulan dari gagasan-gagasan Mullâ Sadrâ.

A. Kehidupan dan Karya Mullâ Sadrâ

Diperkirakan Mullâ Sadrâ hidup sekitar 1571 sampai dengan 1640 M. Tidak

ada yang tahu pasti tanggal kelahirannya. Dia lahir di Syirâz negeri Persia. Di sana,

pada masa itu berkembang dengan baik tradisi ilmu pengetahuan. Karena dilahirkan

137

dari keluarga petinggi negara, Mullâ Sadrâ menjadi mudah menuntut ilmu dan

mengakses buku-buku yang dibutuhkan. Mullâ Sadrâ tidak tertarik dengan jabatan

negara sebagaimana orang tuanya. Dia hanya fokus untuk terus-menerus menuntut

ilmu dan memperdalam pengetahuannya di berbagai bidang keilmuan540.

Mullâ Sadrâ berguru pada Bahâ al-Dîn al-‘Amilî, Mîr Dâmâd, dan Mîr ‘Abd

al-Qâshim Findirîskî. Setelah mendalami ilmu-ilmu filsafat, kalam, dan agama-

agama di Isfahan, Mullâ Sadrâ hijrah ke Kahak untuk melatih rohani selama lima

belas tahun hingga mengaku telah memperoleh penyingkapan spiritual. Setelah

menyendiri itu, Mullâ Sadrâ dituduh sesat oleh para mutakallimîn dan ahli fikih. Dia

menuduh balik para mutakallimîn dengan mengatakan mereka tergelincir dari

pemahaman pemikiran yang benar (ilmu logika) dan terganggu jiwanya541.

Pada masa kembali di kota kelahirannya, Mullâ Sadrâ memimpin sebuah

madrasah. Dia menulis magnum opus-nya al-Hikmah al-Muta'alliyah fî al-Asfar

'Aqliyah al-Arba'aah yang biasanya disingkat dengan Asfar. Mullâ Sadrâ tinggal di

kota kelahirannya selama tiga puluh tahun dan meninggal di Basrah pada perjalanan

pulang dari ibadah hajinya yang ketujuh kali dengan berjalan kaki. Ahmad dan

Muhammad adalah anak Mullâ Sadrâ yang nantinya meneruskan ajaran ayahnya

beserta 'Abd al-Râzaq Lahijî yang merupakan menantunya542.

Mîr Dâmâd adalah salah satu guru terpenting Mullâ Sadrâ. Gurunya ini

menguasai al-Hikmah al-Masyâ'iyyah, al-Hikmah al-Isyrâqiyyah, dan tasawuf

filosofis. Mîr Dâmâd mencoba menyintesiskan tiga ajaran tersebut meski nantinya

muridnya, Mullâ Sadrâ melanjutkan usahanya. Mîr Dâmâd juga seorang seniman

yang mengarang puisi bagus. Guru Mullâ Sadrâ lainnya, Mîr ‘Abd al-Qâshim

Findirîskî menguasai Peripatetik dan agama-agama di luar Islam, khususnya Hindu.

Guru lainnya Bahâ al-Dîn al-‘Amilî berasal dari Lebanon, tetapi kelak menjadi

sastrawan Persia543. Ternyata pada periode Mullâ Sadrâ, para pemikirnya suka

melakukan sintesis antaraliran pemikiran. Sebelumnya, Nasr al-Dîn Thûsî telah

berusaha menyintesiskan teologi dan filsafat seperti yang dilakukan pada masa

kontemporer oleh Jawadî Amulî dalam menyintesiskan tasawuf dan teologi.

Semua karya Mullâ Sadrâ ditulis dalam bahasa Arab. Jumlahnya sekitar empat

puluh judul544. Karya penting Mullâ Sadrâ adalah Asfar. Editan terbarunya dilakukan

oleh Sayyîd Hussâin Thabâttabâ'i pada 1975 sebanyak sembilan jilid. Karya Iksâr

'Arifîn yang membahas tentang kajian mengenai ilmu telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Jepang oleh Sijiru Kamada telah diterbitan oleh di Universitas Tokyo pada

1983. Al-Mazâhîr al-Ilâhîyah’ berbicara tentang ketuhanan dan hari kiamat. Al-

Mabda' wa al-Ma'ad mengulas metafisika, kosmologi, dan eskatologi. Karya

540 James Winston Morris, dalam Mulla Sadrâ, Kearifan Puncak, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004), 18 541 Hasan Bakti Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa

Filosofis Mulla Sadra” (IAIN Jakarta, 2001), 29. 542 Kerwanto, “Pemikiran Filosofis Sadra Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim : Surah

Al-’A‘la,” 23. 543 Nasr, “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic Philosophy,”408. 544 Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa Filosofis Mulla

Sadra,” 37.

138

berjudul al-Masyâ'ir membahas tentang wujûd dan dapat dikatakan sebagai

ungkapan-ungkapan penyimpulan tentang pandangan ontologinya dalam Asfar. Al-

Syawahid al-Rubûbîyah fîManhaj al-Sulûkîyyah membahas tentang tawawuf

filosofis. Al-Hikmah al-'Arsiyyah’ mengulas tentang perjalanan manusia setelah

kematian. Mullâ Sadrâ juga menulis empat judul tentang tafsir. Dia juga menulis

beberapa judul tentang komentarnya atas pemikiran Ibn Sînâ dan Syîhab al-Dîn al-

Suhrawardî. Selain melakukan kritik, Mullâ Sadrâ telah melakukan banyak

penyerapan gagasan-gagasan penting dalam khazanah intelektual sebelumnya dalam

membentuk mazhab pemikirannya. Di antara gagasan yang sangat banyak diserap

Mullâ Sadrâ adalah dari Wujudiah Ibn ‘Arabi, al-Hikmah al-Masyâ'iyyah Syihab al-

Dîn al-Suhrawardî, dan al-Hikmah al-Masyâ'iyyah Ibn Sînâ.

Pandangan Mullâ Sadrâ tentang kemendasaran dan kesatuan wujûd tidak hanya

dipengaruhi oleh Ibn Sînâ dan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, namun juga pengajar

Wujudiah, khususnya Ibn ‘Arabî. Dia satu-satunya pemikir yang hampir tidak

mendapatkan kritik dari Mullâ Sadrâ. Bahkan, Ibn ‘Arabî adalah salah satu pemikir

yang paling memengaruhi pemikiran Mullâ Sadrâ545. Fazlur Rahman mengatakan, di

antara gagasan Ibn ‘Arabî yang sangat memengaruhi Mullâ Sadrâ adalah tentang

ketiadaan realitas mâhiyâh yang dengan itu Mullâ Sadrâ membangun pandangan

kesatuan wujûd. Namun, Mullâ Sadrâ tetap mempertahankan tâskîk al-wujûd sebagai

konsistensi pada gerak substansi yang dia bangun sehingga dianggap sebagai sebuah

terobosan dalam filsafat546.

Pengaruh lainnya dari Ibn ‘Arabî kepada Mullâ Sadrâ adalah keniscayaan

alam imajinal. Dalam pandangan sufi, alam imajinal itu, bahkan lebih riil daripada

alam materi. Maka dari itu, mimpi para nabi misalnya, diterima sebagai suatu yang

riil547. Mullâ Sadrâ dalam hal ini membangun sistem fakultas-fakultas jiwa, seperti

daya indrawi, imajinasi, dan inteleksi. Semua fakultas itu sejatinya adalah kehadiran

jiwa. Mullâ Sadrâ tidak dapat dilepaskan dari prinsip ajaran Wujudiah. Terkait

dengan kajian keilmuan, ajaran ini adalah analisis sejauh mana ilmu berkaitan dengan

karakter dasarnya, kesahihan ilmu yang berbeda dengan ilmu intelektual, dan dan

studi mengenai dasar-dasar konsep sehingga ajaran yang dalam tradisi Persia

diistilahkan dengan ‘irfan ini berarti suatu kajian tentang pengetahuan terdalam yang

dimiliki manusia. Istilah ini disebut dengan 'irfan yang berarti pengenalan terdalam.

Ilmu ini hanya didapatkan orang-orang tertentu. Ilmu ini diperoleh melalui qalb, ruh,

dan sirr. Salah satu pendiri aliran ini adalah Ibn 'Arabî.

Wujudiah yang dikembangkan Ibn 'Arabî menegaskan yang nyata hanya

hanyalah Haqq Ta’ala. Dia adalah Awal dan Akhir, Zahir dan Batin. Selain Dia

hanyalah bayangan seperti pantulan cermin. Dia bertajali melalui beberapa tahap

yang disebut martabat. Martabat pertama adalah Ahadiyyah yang merupakan

kemurnian tak terjangkau karena tanpa nama dan sifat. Martabat kedua adalah

Wahidiyyah, yaitu kondisi zat murni baru mengandung potensi untuk mengandung

545 Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, 120–121. 546 Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi), (New York:

State University of New York Press ,1975), 34–35. 547 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts,

7.

139

nama. Ketiga adalah tajallî syuhudî yang telah memiliki nama dan sifat. Sistem

penjelasan hubungan Haqq Ta’ala, sebagai Pencipta yang berelasi dengan makhluk.

Dalam menjelaskan sistem ini, antara lain, menggunakan analogi angka. Hal yang

nyata hanya angka satu, sementara angka-angka seterusnya adalah bergantung pada

satu. Juga dijelaskan melalui analogi makanan spiritual, yaitu Haqq mengisi makhluk

dan makhluk mengisi Khalik. Analogi lainnya adalah Pencipta sebagai tubuh dan

makhluk sebagai anggota tubuh yang bukan apa-apa, kecuali direlasikan dengan

tubuh. Ajaran tersebut menginspirasi Mullâ Sadrâ dalam merumuskan sistem

Kesatuan yang mengalir dalam keberagaman dan keberagaman kembali kepada

kesatuan548.

Ibn 'Arabî membagi ilmu kepada ilmu ahwal, yaitu persepsi indrawi, ilmu

ta'alluq, yakni ilmu ma'qulat atau ilmu penalaran, dan ilmu zawqî, yaitu ilmu

pengenalan langsung. Ini disebut ma'rifat. Pengetahuan ini bersifat bawaan atau

berada pada posisi pasif, tidak bisa diukur secara rasional, bisa diusahakan, tetapi

hasilnya adalah bagi yang terpilih. Pengetahuan ini adalah pengetahuan Ilahi. Mullâ

Sadrâ menerima pandangan demikian dalam sistem kehadiran daya jiwa dalam

bentuk indrawi, inteleksi, imajinasi, dan intuisi (hudhûrî)549.

Dalam pandangan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, ilmu terbagi atas kosmologi,

astronomi metafisika, dan logika. Sistem perolehan ilmu menurutnya adalah idhraki,

yakni persepsi indrawi; hushûlû, yaitu penalaran rasional; dan hudhûrî, yakni

penyingkapan spiritual. Syihab al-Dîn al-Suhrawardî merumuskan sistem

pengetahuan itu dalam ceritanya bermimpi berjumpa Aristoteles dan menanyakan,

“Apa, bagaimana memperoleh, apa muatan, dan bagaimana menilai ilmu.”

Aristoteles menjawab, "Kembalilah pada dirimu". Sehingga akhirnya, Syihab al-Dîn

al-Suhrawardî meyakini bahwa ilmu yang nyata itu adalah pengenalan diri550.

Semangat itu menginspirasi Mullâ Sadrâ untuk menjadikan kasyaf hudhûrî sebagai

prasyarat perolehan pengetahuan551.

Wujudiah atau tasawuf filosofis adalah ajaran yang menyatakan wujûd itu

hanya satu. Banyak kalangan mencoba mengaitkan Wujudiah dengan Mullâ Sadrâ.

Alasan mereka adalah Mullâ Sadrâ mengajarkan wujûd adalah satu, namun

bergradasi (taskîk). Sistem taskîk diinspirasikan oleh Syihab al-Dîn al-Suhrawardî

dari ajaran manifestasi cahaya. Dalam ajaran taskîk al-wujûd, perbedaan dalam satu

wujûd adalah pada kedahuluan-kebelakangan dan kesempurnaan-

kekurangsempurnaan552.Tokoh penting yang dipengaruhi Mullâ Sadrâ adalah Mullâ

548 Cipta Bakti Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, dan Filsafat Barat

Kontemporer, 113. 549 Kholid Al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra: Konsep Ittihad Al-’Aqil Wa Al-Ma’qul

Dalam Epistemologi Filsafat Dan Makrifat Ilahiyyah (Bandung: MPress, 2005), 127. 550 Hasan Bakti Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa

Filosofis Mullâ Sadrâ” (IAIN Jakarta, 2001), 96–97. 551 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, “Mencerna Akar Filsafat Dalam Islam,” Ulumuna

17, no. 1 (2013): 1-18. 552 Mulla Sadra, Al-Hikmah Muta‟aliyyah fî al-Ashfâr al’Aqliyyah Al-Arba’ah, Vol. 1

(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabî, 2002), 92.

140

Hâdî Sabzawarî, Mullâ Alî Nûrî, Mulla Alî Mudarris Zunûzî, dan Muhammad

Hidâjî553

Di Barat, ajaran Mullâ Sadrâ diperkenalkan oleh Henry Corbin, Max Horten,

Fazlur Rahman, dan Seyyed Hossein Nasr. Di India, ajaran Mullâ Sadrâ dibawa oleh

Muhammad Salîh Kassânî554. Di Indonesia, pemikiran filsafat pasca Abû Hamid al-

Ghazâlî baru diperkenalkan penerbit Mizan dan penerbit Pustaka di Bandung dengan

mengulas pemikiran-pemikiran intelektual Persia, seperti Murtadha Muthahari dan

Ali Syariati555. Nurcholish Madjid melihat di antara problem yang dihadapi

masyarakat dalam dunia intelektual adalah keengganan mengakses literatur

pemikiran Persia. Padahal di sana, pasca Abû Hamid al-Ghazâlî, pemikiran filsafat

makin maju556. Oleh para pendukung dan pengkaji pemikirannya, Mullâ Sadrâ

dianggap telah mampu menyintesis berbagai aliran filsafat sebelumnya, seperti al-

Hikmah al-Isyrâqîyah (Illuminasionisme) dan al-Hikmah al-Masya'iyyah

(Peripatetik); kâlâm, dan tasawuf filosofis atau Wujudiah. Oleh pengikut ajarannya,

Mullâ Sadrâ diklaim telah mampu menuntaskan problem-problem yang diusung

berbagai aliran pemikiran tersebut557.

Dalam pandangan Murtadha Muthahari, beberapa bidang ilmu pengetahuan

tidak dapat diintegrasikan (diselaraskan) satu sama lain. Akan tetapi, antara tasawuf

filosofis dan filsafat Islam (hikmah) dapat diselaraskan. Hal ini karena filsafat Islam

adalah berfokus pada kajian metafisika sebagaimana filsafat yang dibangun Mullâ

Sadrâ dan filosof muslim sebelumnya. Bahkan, menurut Murtadha Mutahhari, makna

al-hikmah al-muta'alliyah sebagai filsafat tertinggi atau al-hikmah ilahiyah meskipun

dibangun secara sistematis oleh Mullâ Sadrâ, sebenarnya sistem tersebut telah

dimulai oleh Ibn Sînâ558. Untuk memperjelas pandangan Murtadha Muthahhari, perlu

diingat kembali bahwa Ibn Sînâ pada periode akhir kehidupannya menulis sebuah

karya berjudul al-Hikmah al-Masyriqiyyah sebagai sebuah sistem filsafat Ilahiah.

Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan Shams Inati, kajian Ilahiah oleh Ibn Sînâ

telah dimulai dalam karyanya al-Isyarat wa al-Tanbîhât’559.

Ajaran Mullâ Sadrâ tidak terlalu populer di Indonesia. Meskipun demikian,

kajian mengenai pemikiran Mullâ Sadrâ mulai banyak dilakukan. Hasan Bakti

Nasution menulis disertasinya berjudul “Hikmah Muta'alliyah: Analisa Terhadap

Proses Sintesa Filosofis Mullâ Sadrâ” pada 2001 dengan promotor Dr. Jalaluddin

Rakhmat dan Dr. Mulyadhi Kartanegara. Nasution mengaku belum ada disertasi yang

553 Cipta Bakti Gama, “Reduksionisme Eksplanatif Untuk Antropologi Transendental

Jawadi Amuli,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 5, no. 2

(2015): 147–164. 554 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present, 108. 555 Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat Kontemporer,

112–113. 556 Nurcholish Madjid, “Pemikiran Filsafat Islam di Dunia Modern: Problem

Perbenturan antara Warisan Islam Dan Perkembangan Zaman,” Jurnal Al-Hikmah 6, no. 1

(1992): 70. 557 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra (Bandung:

Mizan, 2002), 77–78. 558 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah…, 71–72. 559 Inati, “Ibn Sina,…” 245.

141

meneliti tentang pemikiran Mullâ Sadrâ. Selanjutnya, pemikiran Mullâ Sadrâ diteliti

oleh Syaifan Nur560. Setelah itu, muncul beberapa penelitian atas pemikiran Mullâ

Sadrâ.

Setelah Mullâ Sadrâ, filsafat dikembangkan oleh pengikutnya, seperti Mulla

Hadî Sabzawarî. Syarah al-Mandzumah merupakan salah satu karya penting Mullâ

Hadî Sabzawarî561. Selain memuat kajian metafisika mendalam, Syarah al-

Mandzumah ditulis dengan bahasa Arab yang indah. Dengan bahasa yang indah itu,

kajian atas pemikiran Mullâ Hadî Sabzawarî tidak hanya di bidang metafisika, tetapi

juga ilmu kebahasaan562. Kehadiran Mullâ Hadî Sabzawarî sangat berpengaruh atas

perkembangan pemikiran Mullâ Sadrâ selanjutnya. Kedalaman kajian metafisika dan

keindahan bahasa yang dimiliki Mullâ Hadî Sabzawarî sangat memengaruhi

pandangan metafisika dan penulisan sajak-sajak Allama Sir Muhammad Iqbal.

B. Gagasan Utama Ajaran Mullâ Sadrâ

Pemikiran filsafat Mullâ Sadrâ dapat dikatakan sebagai salah satu gagasan

penting dalam diskursus filsafat. Konsep ajarannya, antara lain, memperhatikan

segenap daya jiwa yang dimiliki manusia. Gagasan tersebut memperhatikan daya

jiwa dalam kehadirannya sebagai persepsi indrawi. Dalam hal ini, ajaran Mullâ Sadrâ

memperhatikan kesesuaian perspektif lahir dipahami melalui daya jiwa dalam ranah

indrawi, daya jiwa dalam inteleksi dan imajinasi, dan daya batin jiwa dalam

menemukan kebenaran sejati. Titik tekan pemikiran Mullâ Sadrâ adalah kemampuan

jiwa dalam menyingkap pengalaman spiritual. Sebab itulah, Mullâ Sadrâ menjadikan

kemampuan penyingkapan makna batin sebagai fokus utamanya dengan

mengedepankan pentingnya kesesuaian penyingkapan batin dengan aspek rasional

dan indrawi. Filsafat Mullâ Sadrâ yang dibangun berdasarkan pemikirannya yang

menyeluruh dapat dikatakan sangat baik karena dia telah menyintesis pemikiran para

filosof, teolog, dan sufi sepanjang pemikiran Islam sebelumnya563.

Dalam filsafat Mullâ Sadrâ, epistemologi dan ontologinya hampir tidak dapat

dipisahkan. Muhsin Labib564 mengatakan, epistemologi dalam filsafat Mullâ Sadrâ

berlaku seperti jalur masuk untuk pembahasan ontologi. Lagi pula, apabila

pengetahuan berlaku sebagai entitas (mawjûd, ekstensi, maujud) berarti merupakan

560 Syaifan Nur, Filsafat Hikmah Mulla Sadra (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012), 15. 561 Muhammad Kamal, “Existence and Non-Existence in Sabzawari’s Ontology,”

Sophia 51, no. 3 (September 14, 2012): 395–406, http://link.springer.com/10.1007/s11841-

011-0283-z. 562 W. Ivanow, “Some Poems in the Sabzawari Dialect,” Journal of the Royal Asiatic

Society of Great Britain & Ireland 59, no. 1 (January 15, 1927): 1–41,

https://www.cambridge.org/core/product/identifier/S0035869X00056914/type/journal_articl

e. 563 Kerwanto, “Epistemologi Tafsir Mulla Sadra,” Jurnal THEOLOGIA 30, no. 1

(June 10, 2019): 23–50, http://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/3238. 564 Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi (Jakarta: Sadra

Press, 2011), 146.

142

bagian dari ontologi. Namun, pemisahan dalam kajian ini tetap diperlukan565.

Fungsinya adalah untuk menyesuaikan skema ajaran Mullâ Sadrâ.

Dalam sistem metafisikanya, sebagaimana disepakati para pengulas pemikiran

Mullâ Sadrâ, terdapat beberapa sistem utama ontologi ajaran Mullâ Sadrâ, antara lain,

ashalat al-wujûd (kemendasaran wujud), tasykik al-wujûd (gradasi wujud), dan al-

harâkah al-jawhariyah (gerak substansi)566. Sementara dalam epistemologinya

adalah pembahasan tentang konsep dan sistem perolehan pengetahuan. Konsep-

konsep ini dibahas pada bagian selanjutnya. Dalam bagian ini, hanya mencoba

pembagian kajian ontologi dan epistemologi Mullâ Sadrâ yang menjadi dasar

pembangunan pemikirannya.

1. Ontologi Pemikiran Mullâ Sadrâ

Sistem penting dalam pemahaman ontologi Mullâ Sadrâ adalah tentang

kemendasaran wujud (ashalat al-wujûd). Dalam sistem ashalat al-wujûd, membahas

tentang bagaimana suatu entitas yang diamati pada realitas eksternal membentuk

dualitas di dalam pikiran, yakni ke-apa-annya (mâhiyâh) dan ke-ada-annya (wujûd).

Padahal, dari wujûd dan mâhiyâh itu, acuan realitasnya hanya satu. Hal tersebut

karena pada realitas tidak terbentuk dari dualitas, tetapi satu entitas tinggal (tidak

rangkap)567. Misalnya, sebuah meja pada realitas eksternal adalah satu entitas tunggal,

tidak rangkap. Akan tetapi, ketika dianalisis dalam persepsi mental, menjadi dualitas,

yakni ke-apa-annya yang menjadikannya sebagai suatu entitas, dan ke-ada-annya.

Demikian setiap entitas yang masuk persepsi mental akan menjadi dualitas sehingga

dapat dianalisis, seperti “meja ada”, “lemari ada”, “manusia ada”, dan seterusnya568.

Problem dualitas konseptual dari satu entitas tunggal ini kali pertama

disinggung Aristoteles, kemudian direspons Al-Farabî569. Lalu, diperdalam Ibn Sînâ,

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, dan Mullâ Sadrâ. Oleh Ibn Sînâ dikatakan bahwa yang

mendasar adalah ke-ada-annya (wujûd). Namun, dia tidak mempertegas apakah

wujûd sebagai yang mendasar itu berada pada status mental (dhihnî) atau pada realitas

eksternal (kharîjî). Syihab al-Dîn al-Suhrawardî menganggap, Ibn Sînâ berpendapat,

wujûd yang mendasar dalam ranah konseptual. Syihab al-Dîn al-Suhrawardî

menyanggahnya dengan berpendapat bahwa yang mendasar itu adalah mâhiyâh.

565 Dalam hal ini, pembahasan epistemologi Mullâ Sadrâ menjadi sulit dipisahkan

dengan pembahasan ontologi. Karena Mullâ Sadrâ sendiri sebenarnya tidak bermaksud

melakukan klasifikasi terhadap ranah ontologi dan ranah epistemologi. Ketika dia

menggunakan argumentasi-argumentasi burhanî, di sanalah wilayah dapat disebut

epsitemologi. Kesulitan membedakan dimensi epistemologi dan dimensi ontologi ajaran

Mullâ Sadrâ awalnya ditemukan oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdi dan disampaikan oleh

Muhsin Labib ketika mengkaji aliran filsafat al-Hikmah al-Muta’alliyah, khususnya

pemikiran Muhammad Taqi Misbah Yazdi sebagai pengikut al-Hikmah al-Muta’alliyah.

Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi, 144-145. 566 Seyyed Hossein Nasr, Al-Hikmah Al-Muta’alliyah Mulla Sadra: Sebuah Terobosan

dalam Filsafat Islam (Jakarta: Sadra Press, 2017), 97–98; Nur, Syaifan, Filsafat Hikmah

Mulla Sadra (Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012), 86–87. 567 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 196. 568 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 133–134. 569 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 93.

143

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengatakan, proposisi “meja itu ada”, “lemari itu ada”,

“manusia itu ada”, selalu menunjukkan bahwa “ada” atau wujûd dalam setiap

proposisi hanya menjadi predikat sehingga yang mendasar adalah mâhiyâh (ke-apa-

an)570.

Perdebatan mana yang primer dan mana yang sekunder dalam filsafat Islam

menjadi lebih serius dimulai oleh Nasr al-Dîn Thusî. Dalam hal ini, Nasr al-Dîn Thusî

memulai persoalan ini dengan memperjelas inti yang sebelumnya disalahpahami dari

filsafat Ibn Sînâ. Sebelumnya, para filosof menganggap, dalam pemikiran Ibn Sînâ,

separasi antara wujûd dan mâhiyâh adalah pada ranah aktual. Nasr al-Dîn Thusî

memperjelas bahwa separasinya adalah pada ranah mental. Karena itu, sebelum Nasr

al-Dîn Thusî, banyak filosof menjadi salah paham atas pemikiran Ibn Sînâ. Setelah

Nasr al-Dîn Thusî, diskursus mengenai separasi antara mâhiyâh dan wujûd menjadi

makin gencar. Toshihiko Izutsu mengatakan, terdapat tiga golongan dalam hal ini.

Pertama adalah yang meyakini wujûd yang mendasar. Mereka adalah Ibn Sînâ dan

Mullâ Sadrâ. Kedua adalah kalangan yang meyakini mâhiyâh yang mendasar. Mereka

adalah Syihab al-Dîn al-Suhrawardî dan Mir Damad. Ada juga filsuf yang meyakini

wujûd dan mâhiyâh keduanya mendasar. Akan tetapi, argumentasi ini tidak populer.

Kemendasaran wujûd yang dimaksud Ibn Sina dan Mullâ Sadrâ berbeda. Bagi

Ibn Sina, wujûd memang mendasar pada realitas, tetapi tiap-tiap wujûd itu berbeda

menurut perbedaan mâhiyâh-nya. Sementara bagi Mullâ Sadrâ, wujûd itu mendasar

pada realitas eksternal dan sekaligus tunggal melingkupi segala sesuatu. Mullâ Sadrâ

sepakat dengan Ibn Sînâ dalam pembedaan wujûd dengan mâhiyâh pada ranah

konseptual. Ketika masuk ke ranah konseptual, wujûd menjadi mâhiyâh dan

mendasari sehingga wujûd menjadi tambahan bagi mâhiyâh. Sementara pada realitas

eksternal, wujûd yang mendasar571.

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî menyatakan mâhiyâh yang menjadi dasar realitas.

Karena bila wujûd yang mejadi dasar realitas, wujûd itu membutuhkan wujûd yang

lain sebagai sebab. Menurut Mullâ Sadrâ, mâhiyâh itu tidak nyata. Seandainya pun

nyata, tetap tidak dapat menyatukan realitas karena perbedaan antarentitasnya

sehingga yang nyata yang menyatukan realitas adalah wujûd. Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî juga mengatakan bahwa wujûd hanya ada pada ranah mental dan ia

menjadi tambahan bagi mâhiyâh. Mullâ Sadrâ membantahnya dengan menyatakan

bahwa esensi sebagaimana esensi itu sendiri tidak akan dapat diketahui karena tidak

memberikan efek. Yang memberikan efek itu adalah eksistensi. Berarti, eksistensinya

yang nyata pada realitas, bukan mâhiyâh572.

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî juga mengatakan bahwa terdapat hubungan

antara wujûd dan mâhiyâh sebagai satu kesatuan ontologis. Mullâ Sadrâ

membantahnya dengan mengatakan bahwa dualitas wujûd dan mâhiyâh ada ada pada

pikiran. Mâhiyâh itu sendiri tidak punya gradasi. Yang punya gradasi adalah wujûd

570 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 105–107. 571 Fathul Mufid, “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam,”

Ulumuna (2013) 19-40. 572 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 114.

144

seperti lebih dahulu disebut sebab dan lebih kemudian disebut akibat573. Karena

berpendapat bahwa yang lebih mendasar adalah mâhiyâh, Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî disebut sebagai penganut ashalat al-mâhiyâh, yakni filsafat yang

meyakini bahwa mâhiyâh-lah yang menjadi dasar pembentuk realitas. Menurut

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, dasar pembentuk realitas adalah mâhiyâh574.

Mullâ Sadrâ hadir menyanggah pandangan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî

dengan mengatakan bahwa yang mendasar itu adalah mâhiyâh, itu benar. Akan tetapi,

hanya dalam ranah mental. Sementara pada realitas eksternal itu, yang mendasar

adalah wujûd. Namun yang perlu ditegaskan adalah, para filosof sebelum Mullâ Sadrâ

tidak mempersoalkan mana yang mendasar antara wujûd dan mâhiyâh, dalam arti

bahwa mereka tidak melihat konsekuensi-konsekuensi dari perbedaan pandangan

tersebut. Barulah Mullâ Sadrâ yang menganggap prinsip tersebut sebagai sesuatu

yang serius karena menjadi bagian dari bagaimana realitas itu tegak karena mana

yang ashil itulah yang menjadi dasar realitas. Sementara yang 'itibar itu tidak nyata,

hanya proyeksi mental (inteleksi)575.

Dalam pandangan Mullâ Sadrâ, mâhiyâh tidak dapat menjadi fondasi bagi

realitas eksternal karena tidak dapat menjadi penghubung atau tidak memiliki

penghubung antara satu entitas dan entitas yang lain. Maka dari itu, konsekuensinya

realitas eksternal harus merupakan susunan antar mâhiyâh. Suhrawardi tentunya akan

menjawab problem ini dengan mengatakan bahwa entitas-entitas di alam tersebut

adalah kegelapan mutlak, sementara yang nyata hanya cahaya576.

Berbeda dengan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, Mullâ Sadrâ berpandangan

realitas eksternal yang dapat dikenali dan dipersepsikan ini adalah realitas yang nyata,

bukan bayangan (tasawuf filosofis), bukan ketiadaan (panteis), bukan ilusi (sofis),

dan bukan kegelapan (isyraqiyyah). Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengatakan bahwa

mâhiyâh menjadi yang mendasari realitas dengan gambaran bahwa pada setiap

komposisi “meja itu ada” dan sebagainya yang lebih dahulu hadir selalu adalah

mâhiyâh, disusul oleh wujûd sebagai predikasi, itu benar dalam realitas mental577.

Akan tetapi, untuk membuktikan mana yang fundamental, antara wujûd dan mâhiyâh

sehingga dapat dipastikan manakah yang yang menjadi realitas sejati yang mengisi

ranah eksternal adalah melalui pembuktian manakah yang memberikan efek578.

Pertama-tama, perlu dibedakan antara ranah mental dan ranah eksternal. Pada

ranah mental, sesuatu tidak memberikan efek. Sementara pada realitas eksternal,

sesuatu tersebut memberikan efek. Api pada ranah mental tidak membakar. Api pada

ranah eksternal itu membakar. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah yang mengisi

573 Abdolmajid Hakimelahi dan Basrir Hamdani, “Belief in God by Intuitive

Knowledge,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 6, no. 1

(June 13, 2016): 73, http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/172. 574 Nur, Filsafat Hikmah Mulla Sadra…, 152–153. 575 Nasr, “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic Philosophy.”…,

409-428, 576 Khalid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat (Jakarta: Sadra Press, 2012), 46. 577 Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and the School of Illumination, (London:

Routledge, 2014), 99-100 578 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 144.

145

realitas eksternal itu? Kalau bukan wujûd, tentunya mâhiyâh. Karena entitas realitas

itu tunggal, tidak rangkap.

Argumentasi yang dikemukakan pengikut fundamentalitas wujûd sebagaimana

Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i adalah, apabila mâhiyâh tanpa melibatkan wujûd, tidak

ada perbedaan apakah pada realitas eksternal maupun ranah mental. Namun yang

terjadi adalah, terdapat perbedaan antara mâhiyâh pada realitas eksternal dan mâhiyâh

pada ranah mental. Perbedaannya seperti mâhiyâh api. Bila api pada realitas eksternal

dengan api pada ranah mental adalah sama, seharusnya api pada ranah mental juga

membakar. Namun, yang terjadi tidak demikian sehingga argumentasi ini menjadi

bukti bahwa ternyata yang memberikan efek itu adalah adalah wujûd-nya, bukan

mâhiyâh-nya. Karena itu, yang mengisi realitas eksternal adalah wujûd, bukan

mâhiyâh. Mâhiyâh hanya menjadi pembatasan bagi wujûd sehingga dapat

teridentifikasi melalui analisis mental. Ketika berada pada ranah mental, yang

mendasari adalah mâhiyâh, sementara wujûd hanya menjadi predikat bagi

mâhiyâh579.

Dari segi istilah, kata mâhiyâh berasal dari kata mâ dan huwâ. Istilah itu

sebagai usaha mencari padanan istilah Yunani, quid dan est yang berarti sebuah

istilah untuk sesuatu yang teridentifikasi ada (esse) secara sederhana (haliyah

basithah). Konsepsi suatu objek oleh mental (pikiran) disebut ekstensi. Setiap

konsepsi yang dibentuk pikiran mustahil hanya satu entitas karena setiap entitas harus

nonkontradiksi. Mâhiyâh terbagi menjadi mâhiyâh makhluthah, yakni mâhiyâh yang

berhubungan dengan suatu objek eksternal (ekstensi, mawjûdat). Selanjutnya,

mâhiyâh mujarrad, yakni konsep abstrak yang lepas dari hubungannya dengan

ekstensi, tetapi masih memungkinkan diterapkan pada suatu ekstensi. Terakhir,

mâhiyâh muthlaq, yakni mâhiyâh yang sama sekali tidak berhubungan dengan

penerapannya pada ekstensi.

Mâhiyâh itu ketika ingin ditemukan lokusnya pada realitas eksternal,

membutuhkan sesuatu yang lain agar dapat teraktualisasi. Mengaktualnya mâhiyâh

adalah karena aktualitas wujûd. Sebenarnya, mâhiyâh itu sendiri hanyalah produksi

mental yang dapat dipersepsi secara aktual karena adanya wujûd pada realitas

eksternal. Mâhiyâh pada dirinya sendiri tanpa melibatkan wujûd, berada pada status

keberadaan dan ketiadaan. Hanya dengan memberikan wujûd kepada mâhiyâh maka

menjadilah ia dapat dilibatkan dalam prinsip identitas. Karena yang memberikan

identitas kepada mâhiyâh adalah wujûd, tentu wujûd yang mendasari realitas580.

Wujûd adalah sesuatu yang tunggal dan menjadi dasar ('ashil) bagi realitas.

Sementara mâhiyâh adalah pembatasan-pembatasan mental bagi wujûd. Mâhiyâh

hanyalah bentukan mental ('itibarî) untuk membatasi (menangkap) realitas sehingga

meskipun bagi mental mâhiyâh itu mendasar, pada realitas, wujûd-lah yang

mendasar, menyeluruh, dan sederhana581.

Mullâ Sadrâ menerima prinsip pembagian wujûd Ibn Sînâ. Tidak ada

pembahasan wujûd melebihi Wajib al-Wujûd lî nafsîhî, wajib al-wujûd li ghayrihî,

mumkîn wujûd, dan mumtanî al-wujûd. Gradasi wujûd yang dibuat Mullâ Sadrâ

579 Thabâthabâ’î, Bidâyah al-Ḥikmah…, 15–17. 580 Mulla Sadra, Al-Masya’ir (Teheran: The Institute for Culturan Studies, 1992), 10. 581 Mulla Sadra, Al-Masya’ir…, 8-9.

146

diinspirasikan dari illuminasi cahaya dari pemikiran Syihab al-Dîn al-Suhrawardî.

Mullâ Sadrâ mengganti esensi cahaya sebagai yang prinsipiel dengan eksistensi

(wujûd) sebagai yang prinsipiel. Akan tetapi, gagasan ontologi Mullâ Sadrâ sangat

dekat dengan Wujudiah Ibn ‘Arabî. Hal ini karena Wujudiah adalah ajaran tasawuf

filosofis, sementara Mullâ Sadrâ dianggap sedang membangun filsafat maka dia tidak

dapat menerima Wujudiah, kecuali bâsîth al-haqiqah kullî al-asya’ dan tasykîk al-

wujûd (gradasi eksistensi)582.

Konsep tasykîk al-wujûd diinspirasikan dari sistem manifestasi cahaya dari

ajaran Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Mullâ Sadrâ mengganti prinsipalitas mâhiyâh

menjadi prinsipalitas wujûd. Lalu, menyatakan bahwa wujûd itu satu dan bergradasi.

Dalam sistem gradasi, kemajemukan itu nyata sekaligus ketunggalan itu nyata. Inilah

yang disebut ambiguitas sistem tasykîk. Dalam sistem ini, ketunggalan mengalir

dalam keberagaman dan keberagaman kembali kepada ketunggalan. Perbedaan

terletak pada kesamaan dan kesamaan terletak pada perbedaannya. Perbedaannya

adalah pada wujûd dan persamaannya adalah pada wujûd.

Kesatuan wujûd yang bergradasi dipandang Mullâ Sadrâ sejalan dengan

prinsipnya bahwa substansi itu bergerak583. Pandangan ini berbeda dengan Ibn Sînâ

yang berpandangan bahwa substansi itu tetap dan menopang aksiden yang bergerak.

Gerak substansi adalah revolusi yang dicetuskan Mullâ Sadrâ dalam filsafat.

Sebelumnya, para filosof menerima prinsip Aristotelian yang menegaskan gerak

hanya terjadi pada level aksiden. Sementara bagi Mullâ Sadrâ, perubahan aksiden

adalah karena substansinya yang bergerak. Gerak substansi Mullâ Sadrâ ini

dipengaruhi gerak cinta dalam 'irfân, khususnya ajaran Ibn ‘Arabî. Dengan gerak

substansi maka meniscayakan perubahan satu entitas wujûd menjadi entitas wujûd

lainnya. Pandangan ini sejalan dengan prinsip tasykîk al-wujûd584.

Perubahan pada aksiden adalah kuantitas, kualitas, posisi, dan tempat. Ini

merupakan pandangan Peripatetik yang diterima Mullâ Sadrâ. Akan tetapi, dia tidak

sepandangan dengan Peripatetik yang tidak menerima perubahan substansi. Bagi

Mullâ Sadrâ, segala entitas memiliki pergerakan pada substansinya. Gerak ini adalah

pergerakan menuju kesempurnaan. Pada dirinya sebagai aktualitas, wujûd jasmani

sekaligus adalah potensialitas. Potensialitas ini menjadi aktual ketika jiwa terlepas

dari jasad. Jiwa yang telah terlepas dari jasad adalah aktualitas murni585. Karena gerak

substansi adalah proses menuju kesempurnaan, mustahil terjadi gerak terbalik.

Sesuatu yang dari lebih sempurna menjadi kurang sempurna itu mustahil. Sebab

582 Benny Susilo, “Teori Gradasi : Komparasi Antara Ibn Sina, Suhrawardi Dan

Mulla Sadra,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 5, no. 2

(December 29, 2015): 159,

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/139. 583 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta’aliyyah Fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol.

3, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002), 249. 584 Susilo, “Teori Gradasi : Komparasi Antara Ibn Sînâ , Suhrawardi Dan Mulla

Sadra,”…, 159. 585 Reza Akbarian, Trans-Subtantial Motion and Its Philosophical Consequencess Di

Dalam Mullâ Sadrâ and Transendent Philosophy; Islam-West Philosophical Dialog, Shadra

Islamic Philosophical Institute Publication (Teheran, 1999), 182–183.

147

gerak menuju kesempurnaan itu dinamis dan aktualitas sejati adalah setelah jiwa

melepaskan diri dari jasad maka bagi Mullâ Sadrâ reinkarnasi itu mustahil586.

2. Epistemologi Pemikiran Mullâ Sadrâ

Epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang sumber dan cara

memperoleh pengetahuan. Mullâ Sadrâ membagi ilmu berdasarkan empat tinjauan.

Pertama adalah fisika, kedua adalah metafisika yang mencakup ontologi (kenabian

dan eskatologi), ketiga logika, dan keempat matematika. Pembagian ini mirip seperti

yang dilakukan Ibn Sina, kecuali Mullâ Sadrâ menempatkan kajian jiwa dalam

metafisika dan Ibn Sina mengkajinya pada bagian khusus. Ditinjau dari segi

sumbernya, Mullâ Sadrâ membagi ilmu ke dalam ilmu 'aqliyyah dan ilmu syar'iyyah.

Ilmu ‘aqliyah adalah ilmu yang berdasarkan penemuan manusia. Sementara ilmu

syar'iyyah adalah ilmu yang diperoleh melalui wahyu587.

Ada juga ilmu dibagi menjadi ilmu yang kekal dan tidak kekal. Ilmu tidak kekal

seperti ilmu terkait kebahasaan, seperti ilmu musik, ma'ani, bayan, badi', dan logika.

Ilmu tidak kekal lainnya, seperti ilmu pertukangan, pertanian, bangunan, tulis-

menulis, dan politik. Ada pula ilmu tentang definisi dan argumentasi, ilmu tentang

ukuran dan bilangan, kimia, astronomi, biologi, dan kedokteran. Sementara ilmu

kekal terkait dengan rukun iman, musyahadah588.

Menurut Mullâ Sadrâ, ditinjau dari cara memperolehnya, pengetahuan terbagi

menjadi pengetahuan presentasi (hudhûrî) dan pengetahuan representasi (hushûlî).

Ilmu hudhûrî adalah ilmu yang diperoleh melalui penyingkapan langsung, tanpa

perantara, seketika seperti kilatan cahaya. Sementara ilmu hushûlî adalah ilmu yang

diperoleh melalui proses inteleksi, pengindraan, dan penalaran. Ilmu hushûlî terbagi

menjadi tasawûr dan tasydiq. Mullâ Sadrâ membagi ilmu hushûlî kepada dua

kelompok, yakni naqlî dan aqlî. Ilmu naqlî ini tentunya adalah Al-Qur’an. Ilmu aqlî

terbagi menjadi ilmu empiris dan ilmu rasional. Ilmu rasional terbagi menjadi akal

sehat (common sense, lûh al-nafs), imajinasi, dan wahm (estimasi)589.

Pengetahuan presentasi diperoleh melalui pengalaman mistik ‘urafâ (kasyaf).

Pengetahuan representasi diperoleh indra dan akal (nalar). Pengetahuan melalui

pancaindra memiliki kelemahan, seperti tampak bengkoknya pena di dalam gelas

sehingga membutuhkan akal untuk membantunya590. Akal memiliki dua sistem

mendasar, yakni pembuktian melalui premis-premis universal yang niscaya diterima

akal (burhan) dan pemikiran dialektis (jadal). Dalam filsafat Islam, akal memiliki

berbagai tingkatan. Akal hayulanî adalah akal potensial rasional yang siap menerima

gambar-gambar rasional yang diberikan Akal aktif. Akal malakah adalah aktualitas

586 Mullâ Sadrâ, Al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fî al-Manâhij al-Sulûkiyyah (Teheran:

Bustan Kitabevi, 1388H), 255. 587 Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa Filosofis Mulla

Sadra,”…, 18–19. 588 Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa Filosofis Mulla

Sadra,”…, 19. 589 Mustamin Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemikiran Mulla Sadra

(Polman: Rumah Ilmu, 2018), 204–205. 590 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam

(Bandung: Mizan, 2003), 18.

148

akal hayulanî. 'Aql bî al-fi’lî, yaitu penggerak akal hayulanî menjadi aktual. Akal

mustafad adalah kesempurnaan aktualitas akal hayulanî yang merupakan bentuk

gambar murni sehingga mampu menangkap gambar murni dan telah dapat

berhubungan dengan Akal aktif yang merupakan gambar tetap murni. Oleh karena

itu, dalam capaian akal mustafad telah dapat dilihat gambar-gambar abstrak yang

dapat saja dalam gambar konkretnya belum teraktualisasi.

Ibn Sinâ berpendapat, di atas akal mustafad terdapat akal suci (al-'aql al-qudsî)

yang hanya dimiliki para nabi. Para filosof sepakat bahwa akal memiliki peran

signifikan dalam perolehan pengetahuan. Akal suci ini disebut juga dengan intuisi

(hudhûrî). Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengatakan, para muta'allih adalah mereka

yang mampu mencapai intuisi (dzauqî) sekaligus mampu membuktikan pengalaman

mereka melalui akal (bahtsi)591.

Menurut epistemologi Mullâ Sadrâ, pengetahuan adalah hadirnya yang

diketahui kepada yang mengetahui. Pengetahuan itu sifatnya immateri. Objek

eksternal pada alam materi hanya persiapan bagi turunnya pengetahuan yang

sebenarnya immateri pada yang mengetahui (melalui jiwa) yang juga immateri.

Pengetahuan adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas pengetahuan yang

dimaksud dalam konteks ini adalah pengindraan sederhana yang belum menyentuh

ranah pengetahuan terkait dengan proposisi-proposisi pikiran.

Pengetahuan representasi (hushûlî) adalah pengetahuan yang hadir dari luar

diri dalam bentuk aksiden-aksidennya. Antara yang mengetahui dan yang diketahui

tentunya adalah berbeda. Dalam pengetahuan representasi, terdapat tiga hal, yakni

subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan konsep pengetahuan592. Dalam

pengetahuan representasi, terdapat dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan tentang

hal konkret (partikular, juz'i) dan pengetahuan tentang yang umum (abstrak, kullî).

Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i mengatakan, kemampuan abstraksi partikular kepada

universal merupakan karakteristik akal. Kemampuan ini membuat manusia dapat

menghimpun atau menyimpan pengetahuan sebanyak-banyaknya tanpa kesulitan593.

Empirisme mengatakan bahwa universal itu adalah korupsi atas partikular.

Analoginya permukaan koin yang kabur menyebabkan partikularitas koin menjadi

samar dan kembali kepada universalitas594. Sementara epistemologi Mullâ Sadrâ

mengatakan bahwa universalitas itu merupakan tingkatan partikularitas yang lebih

tinggi. Universalitas adalah kesempurnaan partikular595.

Dalam filsafat Islam, universal terbagi menjadi universal pertama dan

universal kedua. Universal pertama adalah hubungan langsung antara realitas

eksternal dan pikiran596. Misalnya, menghubungkan universal manusia dengan

591 Ismail Fahmi Arrauf Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Lhokseumawe: Unimal

Press, 2018), 5–6. 592 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 1–15. 593 Thabâthabâ’î, Nihayah Al-Ḥikmah, (Qum: Muʽassasah an-Nasyr al-Islâmî, 1428),

349. 594 Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: George Allen and

UNWIN, 1946), 556. 595 Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy…, 149. 596 Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy…, 123–124.

149

Ahmad, Zaid, dan Budi. Ranah ini disebut dengan ma'qulat al-awwal atau primary

intelligable597. Universal kedua adalah konsep-konsep universal yang tidak memiliki

acuan partikularitas di alam eksternal. Misalnya, konsep “genus” dan konsep

“spesies”. Tidak ada benda atau apa pun yang bisa disebut atau ditunjuk sebagai

“genus” dan “spesies” di realitas eksternal. Konsep-konsep universal ini hanya

terdapat pada pikiran. Konsep-konsep ini adalah ranah ilmu logika. Ranah ini disebut

ma'qulat tsanî mantiqî atau logical secondary intelligable. Ada pula yang disebut

dengan ma'qulat tsanî falsafî atau philosophical secondary intelligable, yakni

konsep-konsep universal yang dapat diacu para partikularitas di alam eksternal598.

Ranah ini berada dalam wilayah ilmu filsafat dan matematika. Misalnya, konsep

segitiga dapat diacu pada salah satu piramida di Mesir.

Perolehan pengetahuan representasi ditempuh melalui konsepsi (tasawwur)

dan konfirmasi (tasydiq). Konsepsi adalah munculnya pemahaman tentang konsep,

namun oleh subjek yang mengetahui belum mengonfirmasi konsepsi tersebut.

Konfirmasi bisa dalam bentuk afirmasi (ijabah) ataupun negasi (salb)599.

Konsepsi terbagi kepada konsepsi mandiri, seperti “manusia”, “hewan”;

konsepsi yang memiliki differensia, seperti “hewan yang berpikir”; konsepsi berelasi

perintah, seperti “pukullah”, “pergilah”; dan konsepsi berelasi berita, seperti “Ahmad

berdiri”, “Ahmad berjalan”. Konsepsi adalah kaitan antara mental dan eksternal.

Sementara afirmasi adalah penilaian afirmatif atau negatif tentang kepastian positif

atau negatifnya hubungan konsepsi dan realitasnya. Afirmasi negatif meniscayakan

hadirnya dua konsep, seperti “Ahmad” dan “berdiri”. Hal ini karena negatifnya

Ahmad berdiri bukan konsepsi sebab tidak ada konsepsi dari negativitas realitas.

Sementara afirmasi positif meniscayakan tiga konsep, yakni “Ahmad”, “berdiri”, dan

“Ahmad berdiri”600.

Sistem pengetahuan representasi berasal dari Ibn Sînâ dan diterima Syihab al-

Dîn al-Suhrawardî dalam skema al-Hikmah al-Masya’iyyah. Dalam sistem logika

modern, juga dibedakan antara makna dan kebenaran. Makna hanya sebuah konsep

atau pernyataan yang hanya diperlukan akurasi logika. Sementara kebenaran adalah

sesuainya makna dengan realitas601.

Pembagian lainnya dalam epistemologi Islam, khususnya dalam ajaran Mullâ

Sadrâ adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui observasi atau dapat dipahami secara

langsung karena merupakan karakteristik alami akal, seperti mengetahui keseluruhan

lebih besar daripada sebagian. Jenis ilmu ini disebut badihî. Sementara ilmu yang

baru hadir setelah melalui observasi disebut dengan nazharî602.

Terdapat beberapa bagian ilmu badihî, yakni al-mahsusat, yakni aksioma yang

didapatkan berdasarkan bantuan indra; al-mutawattirat, yakni aksioma yang

didapatkan berdasarkan bantuan eksperimen; al-fitriyat, yakni pengetahuan yang

didapatkan melalui intuisi; dan al-awwaliyat, yakni pengetahuan yang diperoleh

597 Miswari, Filsafat Terakhir…, 189. 598 Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy…, 161–163. 599 Miswari, Filsafat Pertama, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2018), 23–24. 600 Miswari, Filsafat Pertama, 24–25. 601 Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy…, 160. 602 Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy…, 169–170.

150

tanpa bantuan realitas eksternal. Badihî atau aksioma adalah pengetahuan alami akal

yang normal603.

Setiap proposisi dari aksioma itu niscaya benar, tidak kontradiktif,

pertentangan yang muncul dari dua konsepsi dikembalikan kepada realitasnya.

Misalnya, pertentangan antara “manusia” dan “nonmanusia” maka manusia

dikembalikan kepada eksistensinya dan nonmanusia dikembalikan kepada

eksistensinya. Karakteristik badihî adalah tunggal, tidak rangkap, terlihat langsung,

tidak membutuhkan definisi, niscaya, meyakinkan, dan tidak sedikit pun

mengandung keraguan604.

Sementara itu, pengetahuan nazarî digunakan dalam menganalisis benda-

benda indrawi. Pengetahuan ini digunakan dalam pengamatan benda-benda sehari-

hari. Nazarî juga berlaku dalam observasi yang dilakukan para ilmuwan. Sementara

itu, ilmu hudhûrî adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung tanpa keraguan.

Tidak berlaku hukum-hukum hushûlî dalam pengetahuan ini. Pengetahuan ini

menurut Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i terjadi dengan digambarkan sebagai relasi

iluminatif (idhafah isyraqiyyah)605.

Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i menjelaskan, dalam filsafat Mullâ Sadrâ, realitas

itu benar-benar nyata606. Dia meyakini realitas itu dapat diketahui melalui ilmu

hudhûrî (presentasi). Ilmu representasi (hushûlî) digunakan untuk menjelaskan

pengalaman hudhûrî. Dalam filsafat Mullâ Sadrâ, ilmu hudhûrî (presentasi)

posisinya sangat penting mengingat sebagai prasyarat suatu pengetahuan sebagai

alternatif definisi yang telah dikritik Syihab al-Dîn al-Suhrawardî607. Definisi

bertujuan menjelaskan identitas sesuatu. Namun, ternyata Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî menemukan bahwa definisi tidak dapat memenuhi persyaratan untuk

menghadirkan pemahaman terhadap sesuatu. Mendefinisikan sesuatu harus

memenuhi syarat alat definisi telah dipahami. Untuk memahami alat definisi, harus

menggunakan definisi608. Misalnya, ketika ingin mendefinisikan “manusia”,

digunakan definisi ‘manusia adalah hewan yang berpikir’. Prasyarat definisi manusia

berarti harus telah memahami “hewan” dan “berpikir”. Bila belum memahami

“hewan” dan “berpikir”, perlu mendefinisikannya. Misalnya, ‘hewan adalah makhluk

yang bergerak dengan kehendak’ Lalu, perlu telah memahami “makhluk” dan

“kehendak”. Demikian seterusnya menjadi tasalsul atau daur (dawr, ad invinitum)609.

Karena itu, definisi itu mustahil610.

603 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 25. 604 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 26. 605 Thabâthabâ’î, Nihayah Al-Ḥikmah…, 297. 606 Thabâthabâ’î, Bidayah Al-Ḥikmah…, 1-2. 607 Ziai, “Shihab Al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist,”…, 436. 608 Suhrawardi, “Hikmah Al-Isyrâq,”…, 6–10. 609 Daur atau tasalsul adalah hal yang tertolak dalam filsafat. Lihat, Seyyed Hossein

Nasr, “Mir Damad,” dalam An Anthology of Philosophy in Persia, Vol. 5: From the School of

Shiraz to the Twentieth Century, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Mehdi Aminrazavi (London &

New York: I.B. Taurus Publisher, 2015), 200. 610 Husain Ziai menjelaskan dengan sangat rinci penolakan Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî

atas definisi. Lihat, Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, 225–227.

151

Kemustahilan definisi sebenarnya adalah problem filsafat. Tasawuf filosofis

telah mengatasi persoalan itu dengan ilmu hudhûrî sehingga sebenarnya yang

bertanggung jawab mengatasinya adalah filsafat. Sebab itulah, Mullâ Sadrâ

menerima ilmu hudhûrî sebagai prasyarat pengetahuan. Namun demikian, sebagai

filsuf, Mullâ Sadrâ hanya menggunakan ilmu hudhûrî sebagai alternatif definisi,

untuk mendapatkan pengetahuan awal tentang makna. Lalu, Mullâ Sadrâ dengan

konsisten mengikuti tahap-tahap epistemologi sebagaimana berlaku dalam standar

epistemologi dalam filsafat611.

Dalam pengalaman kasyaf hudhûrî, kaidah-kaidah indrawi dan inteleksi tidak

berlaku lagi. Sementara dalam ilmu hushûlî, identifikasi subjek dan objek masih

dapat berlangsung. Sementara dalam hudhûrî, identifikasi tersebut tidak dapat

terjadi612. Dalam ilmu hudhûrî, kebenaran dan kegalatan tidak berlaku karena

predikasi itu ditentukan dalam tasydîq. Sementara dalam hudhûrî, tidak melibatkan

tasawûr dan tasydîq karena itu merupakan sistem ilmu hushûlî. Mehdi Haeri Yazdi

mengatakan, ilmu hudhûrî memiliki sistemnya sendiri untuk menentukan kebenaran,

yaitu dengan pengalaman. Pengalaman itu adalah kesadaran tentang wujûd613. Dalam

sistem Mullâ Sadrâ, pengalaman wujûd adalah kebenaran mutlak yang menjadi dasar

perumusan sistem hushûlî. Tanpa didahului pengalaman hudhûrî, tidak ada apa pun

yang dapat dijadikan justifikasi atau fondasi membangun proposisi614.

Ilmu hudhûrî itu untuk mengetahui ke-ada-an (wujûd) realitas. Sementara ilmu

representasi untuk mengetahui ke-apa-an realitas (mâhiyâh, quiditty). Seyyed

Hossein Nasr menjelaskan, dalam ajaran Mullâ Sadrâ, diketahui bahwa kemajemukan

realitas alam adalah bentukan konsepsi pikiran melalui ilmu hushûlî. Namun,

sebenarnya yang mendasari realitas adalah wujûd. Sebagai suatu kajian filsafat, Mullâ

Sadrâ berusaha menjelaskan pandangan itu secara burhanî dengan mengatakan

bahwa kemajemukan itu adalah limitasi mental atas wujûd yang tinggal sekaligus

bergradasi. Ketika memersepsikan suatu ekstensi dari realitas eksternal, pikiran

membaginya pada dua aspek, yakni aspek wujûdnya, yakni keberadaan ekstensi

tersebut dan aspek mâhiyâh-nya, yakni kesesuatuan realitas tersebut615.

Filsafat Mullâ Sadrâ, sebagaimana dikatakan Ibrahim Kalin, berpandangan

ilmu hudhûrî terjadi karena sebenarnya subjek yang mengetahui ('aqil) dan objek

yang diketahui (ma’qûl) itu bersatu (ittihad). Konsep ini disebut dengan ittihad aqil

wa ma'qûl. Pengetahuan ini sama seperti cara Wajib al-Wujûd mengetahui, yaitu tidak

terpisah antara Dia sebagai subjek yang diketahui dan objek-objek pengetahuannya.

Sebenarnya, objek pengetahuan dalam sistem hushulî juga tidak merupakan dualitas

atau terpisah dengan objek-objek yang diketahui616.

611 Nur, Filsafat Hikmah Mulla Sadra…, 85. 612 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan.., 3–5. 613 Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy: Knowledge by

Presence…, 96--100. 614 Mullâ Sadrâ mengataka, tanpa pengalaman hudhuri, tidak ada yang dapat disebut

sebagai pengetahuna (yang terpercaya). Lihat, Sadra, Al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fî al-

Manâhij al-Sulûkiyyah…, 141. 615 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 63. 616 Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy…, 256–257.

152

Dalam menerangkan argumentasi ittihad aqil wa ma'qûl, filsafat Mullâ Sadrâ

sebagaimana dijelaskan Fazlur Rahman mengajukan beberapa argumentasi. Bahwa

ilmu adalah hadirnya objek kepada subjek sehingga yang hadir kepada subjek adalah

esensi objek sehingga subjek dan objek harus identik sehingga terdapat kemungkinan

hadirnya objek kepada subjek. Pengetahuan itu bersifat immaterial sehingga subjek

dan objek haruslah sama-sama immaterial. Pengetahuan subjek kepada objek berada

dalam diri subjek617.

Untuk terjadi pengetahuan, tidak boleh sama sekali ada pemisahan antara

subjek dan objek karena menuntut adanya perantara antara subjek dan objek. Bila

perantara (penghubung) itu ada, tentu yang diketahui adalah perantaranya, demikian

seterusnya sehingga antara subjek dan objek harus merupakan bentangan kesatuan.

Hal ini dalam filsafat Mullâ Sadrâ menjadi mungkin karena adanya prinsip gerak

substansi, wujûd mental (dhihnî) kesederhanaan (bâsîth) wujûd618.

Akal manusia memiliki keunikan untuk memahami realitas tunggal hingga

mencapai hudhûrî yang menjadikan kesatuan subjek dan objek. Hal tersebut karena

jiwa manusia bergerak dalam berbagai tahapan dari ekspresi keunikan melalui

kemampuan memisahkan aksiden dan substansi, kemampuan abstraksi, kemampuan

imajinasi (seperti membayangkan pegasus dan unicorn), hingga mencapai alam

mitsal atau alam barzakh yang merupakan tingkatan gambar tetap yang sudah terlepas

dari sifat jasmani619.

Berbeda dengan ilmu hushûlî yang diperoleh melalui indra dan inteleksi, ilmu

hudhûrî diperoleh melalui hati. Hanya hati yang selalu memiliki kecenderungan

kepada kebaikan, jauh dari hawa nafsu, yang dapat mengalami ilmu hudhûrî, Dengan

pengetahuan hudhûrî, manusia melihat dengan penglihatan Haqq Ta’âlâ. Inilah yang

disebut musyahadah620. Metode perolehan ilmu menuju musyahadah adalah pertama

thabi'ah, yakni bawaan. Kedua adalah an-nafs, yaitu kecenderungan. Ketiga adalah

akal, yakni abstraksi mental, baik itu material (hayulanî), potensial (isti'dadî),

maupun aktual (fa'al). Keempat adalah ruh, yaitu sesuatu yang halus dan suci. Kelima

sirr, yaitu kondisi fânâ. Keenam khafî, yaitu fânâ dengan sifat dan perbuatan (fânâ fî

al-zat). Ketujuh khafâ, yaitu bersatu dengan Ahadiyah yang merupakan puncak

ma'rifah621.

C. Konsep Penting dalam Filsafat Mullâ Sadrâ

Terdapat beberapa konsep penting dari ajaran Mullâ Sadrâ, yakni

kemendasaran wujûd (ashalat al-wujûd), gradasi wujûd (tâskîk al-wujûd), kefakiran

akibat dalam kausalitas (illiyah), hakikat sederhana (basith al-haqîqah), gerak

617 Fazlur Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi),

Knowledge Creation Diffusion Utilization, 1975, 14–15. 618 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol.

I (Beirut: Dar Iḥyâʽ at-Turâts al-‘Arabiy, 2002), 12–13. 619 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts…,

159. 620 Zakaria, “Dakwah Sufistik Hamzah Fansûrî: Kajian Substantif Terhadap Syair

Perahu.” 621 Nasution, “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa Filosofis Mulla

Sadra,” 191–192.

153

substansi (al-harakah al-jawhayiah), dan kesatuan subjek dan objek (ittihad aqil wa

ma’qûl). Tiap-tiap konsep ini akan diuraikan secara rinci guna memahami gagasan

filsafat Mullâ Sadrâ. Tiap-tiap konsep ini berkesinambungan satu sama lain.

Semuanya bergantung pada gagasan utamanya, yakni kemendasaran wujûd (ashalat

al-wujûd). Semua konsep filsafat yang dicetuskan Mullâ Sadrâ merupakan sebuah

keunikan dalam filsafat karena konsep-konsep itu lahir dari respons atas konsep-

konsep filsafat, tasawuf filosofis, dan berbagai varian pemikiran sebelumnya.

7. Kemendasaran Wujûd (Ashalat al-Wujûd)

Dalam sistem ajarannya, Mullâ Sadrâ hanya menerima satu wujûd murni.

Sementara selainnya, yakni mâhiyâh, adalah sesuatu yang tidak pernah mencium

aroma wujûd. Maksudnya adalah mâhiyâh atau esensi setiap entitas itu benar-benar

bukan wujûd. Dalam makna wujûd sebagai univokal, selain wujûd adalah

ketiadaan622. Dalam filsafat Mullâ Sadrâ, status mâhiyâh adalah menghasilkan

keberagaman dari wujûd yang tunggal623. Segala konsep ajaran Mullâ Sadrâ, seperti

tâskîk al-wujûd, illiyah, ittihad aqil wa ma’qûl, kesatuan sebab dan akibat, dan bâsîth

al-haqîqâh kullî al-asyâ' berlandaskan pada konsep kemendasaran wujûd. Filsafat

Mullâ Sadrâ memandang wujûd sebagai sesuatu yang tunggal, mendasari segala

realitas. Khususnya konsep basith basit al-haqîqah (hakikat sederhana) dan illiyah

(kefakiran akibat dalam kausalitas), sangat dekat dengan Wujudiah. Prinsip ontologi

lainnya dari Filsafat Mullâ Sadrâ adalah tâskîk al-wujûd (gradasi eksistensi).

Pemahaman tentang kemendasaran wujûd muncul dari suatu pandangan

rasional yang bersifat ilahiah atau disebut Mullâ Sadrâ sebagai burhan nûr al-‘arsyî

atau secara umum disebut dengan ilmu hudhûrî. Skema ini dijelaskan oleh Mullâ

Sadrâ melalui sistem basiht al-haqîqâh kullî al-asya’624. Ketika Haqq Ta’âlâ tidak

teridentifikasi arah, tetapi Dia adalah hakikat sederhana segala sesuatu maka Dia

menjadi dasar realitas625. Keseluruhan realitas adalah kehadiran-Nya. Sementara

segala kemajemukan yang terjangkau ilmu hushûlî adalah cara kerja indra dan intelek

untuk memahami wujûd yang mendasar dan sederhana itu626.

Melalui sistem hushûlî, filsafat Mullâ Sadrâ dapat membantu menyelesaikan

masalah ini dengan mengandalkan ma’qulat tsanî falsafî. Realitas eksternal

sebagaimana klaim filsafat Mullâ Sadrâ, sebagai realitas yang memiliki wujûd maka

setiap ekstensinya adalah kandungan wujûd dan mâhiyâh627. Namun, wujûd yang

terkandung dalam satu ekstensi tidak dapat dipahami secara langsung melalui

ma’qulat awal. Karena itu, perlu dianalisis melalui ma’qulat tsanî falsafî yang

622 Dalam menjelaskan filsafat Mullâ Sadrâ, Thabattaba’i mengatakan bahwa mâhiyah

bukan wujûud, bukan pula ketiadaan mutlak. Lihat, Thabâthabâ’î, Nihayah Al-Ḥikmah…, 91–

93. 623 Sadrâ, Mullâ, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol.

I…, 7. 624 Sadrâ, Mullâ, Al-Hikmah Muta‟aliyyah Fî Al-Ashfâr Al’Aqliyyah Al-Arba’ah, Vol.

1…, 17–18. 625 Thabâthabâ’î, Bidâyah Al-Ḥikmah…, 16. 626 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta‟aliyyah Fî Al-Ashfâr Al’Aqliyyah Al-Arba’ah, Vol.

1…, 16–17. 627 Nasr, “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic Philosophy.”…, 409

154

merupakan sebuah sistem inteleksi yang mana diskursus ranah mental yang memiliki

acuan pada realitas628.

Melalui identifikasi suatu ekstensi sebagai mawjûd yang terbagi menjadi

keberadaan (wujûd) dan kesesuatuannya (mâhiyâh), ditemukanlah bahwa wujûd-nya

yang mendasar, sementara mâhiyâh hanyalah limitasi bagi wujûd. Dengan

menganalisis wujûd sebagai wujûd maka wujûd yang menjadi wilayah analisis itu

menjadi konsep wujûd (wujûd dhihnî)629. Menurut Mullâ Hâdî Sabzawârî630 dan

Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i631 yang merupakan pengikut ajaran Mullâ Sadrâ, bila

konsep wujûd telah dipahami dengan baik, realitas wujûd secara otomatis terbukti

dengan sendirinya632. Untuk itu, yang perlu untuk diperjelas adalah konsep wujûd

untuk menunjukkan bagaimana wujûd itu bersifat sederhana dan tidak berlaku arah

atau tempat baginya633.

Mullâ Sadrâ mengatakan, setiap pembahasan tentang wujûd sebenarnya adalah

wujûd dhihnî meskipun dikatakan bahwa ini adalah wujûd kharijî’. Karena sesuatu

apa pun yang masuk wilayah pembahasan konseptual atau apa pun yang dapat

dikonseptualisasikan, ia adalah diskursus dalam ranah mental634. Meskipun demikian,

terkait dengan konsep wujûd maka diskursus tentang wujûd dhihnî dapat dianggap

sebagai acuan wujûd kharijî karena pikiran dapat menjadi cermin bagi realitas635.

Wujûd dhihnî adalah pembukti keberadaan wujûd kharijî yang menjadi dasar

bagi realitas. Dasar realitas adalah wujûd dibuktikan dengan efek yang muncul dari

mawjûd adalah dari wujûd-nya, bukan mâhiyâh-nya. Sebagai konsep, wujûd menjadi

628 Daniel Zuchron, Menggugat Manusia Dalam Konstitusi, (Jakarta: Rayyana

Komunikasindo, 2017),74–75. 629 Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 215. 630 Toshihoko Isutzu juga membahas persoalan tersebut. Lihat, Izutsu, Struktur

Metafisika Sabzawari…, 50–55. 631 Diskursus tersebut dapat ditemukan dalam, Thabâthabâ’î, Bidâyah Al-Ḥikmah…,

22. 632 Zuchron, Menggugat Manusia Dalam Konstitusi…, 59–60. 633 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta‟aliyyah Fî Al-Ashfâr Al’Aqliyyah Al-Arba’ah, Vol.

1…, 16–17. 634 Dengan syarat, dalam pembahasannya, terlebih dahulu membedakan dengan jelas

mana pembahasan wujûd dhhnî dan mana pembahasan wujûd kharijî. Kekeliruan atau

kesilapan membedakan suatu pembahasan wujûd, apakah dia wujûd dhhnî atau wujûd kharijî

berakibat fatal. Persis seperti yang dilakukan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî dalam menanggapi

ontologi Ibn Sînâ . Namun kasus tersebut bukan murni kesalahan Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî. Karena Ibn Sînâ sendiri tidak membuat pemisahan yang tegas tentang

pembagian pembahasan wujûd (wujûd dhhnî dan wujûd kharijî) dalam kegiatan filsafatnya.

Nasr al-Din Thusî-lah yang mula-mula memberikan penjelasan mana pembahasan wujûd

dhhnî dan mana pembahasan wujûd kharijî dalam filsafat Ibn Sînâ. Kontribusi Nasr al-Din

Thusî membuat kegiatan filsafat Mullâ Sadrâ menjadi lebih mudah. Pembahasan wujûd dhhnî

dalam filsafat Mullâ Sadrâ, lihat, Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-

Shirazi)…, 215. 635 Kholid Al-Walid mengatakan, dalam filsafat Mullâ Sadrâ, keniscayaan wujud

mental tidak dapat ditolak karena dapat menyeret kepada paham sofis. Lihat, Kholid Al-

Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra (Jakarta: Sadra

Press, 2012), 44.

155

pemersatu segala mâhiyâh. Pada proposisi “Kursi itu ada”, “Batu itu ada”, “Kambing

itu ada”, unsur pemersatunya adalah “ada” atau wujûd. Meskipun pada ranah dhihnî

yang mendasar adalah mâhiyâh, dengan wujûd dhihnî menjadi pemersatu bagi

mâhiyâh maka dengan pandangan wujûd dhihnî adalah cermin bagi wujûd kharijî

maka pada realitas, yang mendasar adalah wujûd, sementara mâhiyâh hanyalah hal

yang mampu ditangkap persepsi dan inteleksi636. Untuk mengenal wujûd pada realitas

eksternal, kecuali dengan penjelasan konseptual, perlu melalui ilmu hudhûrî.

Dalam prinsip ajaran Mullâ Sadrâ, pada realitas eksternal yang terindrai adalah

satu entitas tunggal yang tidak rangkap. Ketika dianalisis mental maka menjadi

rangkap antara wujûd yang mengacu pada keberadaannya dan mâhiyâh yang

mengacu pada ke-apa-annya. Dalam ranah mental, mâhiyâh menjadi mendasar,

sementara wujûd atau ke-ada-annya hanya menjadi predikat bagi mâhiyâh. Misalnya,

pada setiap premis “manusia ada”, “meja ada”, “pohon ada”, dan selalu “ada” hanya

menjadi predikat bagi setiap mâhiyâh637.

Secara konseptual, wujûd itu selalu menjadi tambahan bagi mâhiyâh. Namun

pada realitas, wujûd itu menjadi dasar bagi realitas. Wujûd tidak dapat didefinisikan

karena definisi itu meniscayakan adanya genus dan differensia. Sementara wujûd

bukanlah genus dan bukan differensia. Meski tidak dapat didefinisikan, wujûd itu

tunggal mendasari realitas.

Mengenai status kemendasaran realitas wujûd, Mullâ Sadrâ638 menulis:

الشيآء بأن "ان حقيقة كل شىء هو وجود الذى يترت ب به عليه آثآره وأحكآمه. فآلوجود اذن أحق

يكونذأهقيقة، اذغير به يصيرذاهقيقة، فهو حقيقه كل ذى حقيقه، ول يحتآج هو فى آن يكون ذآ حقيقه

عيآن ل بنفسهآز" به فى األ -أعنى المآهيآت -الى حقيقه اخرى. فهو بنفسه فى األعيآن، وغيره

Terjemahannya:

“Sesungguhnya hakikat segala sesuatu adalah wujûd, yang memberikan efek

(pada realitas) dan membuatnya tampak. Jadi, wujûd adalah dasar bagi segala

sesuatu yang merupakan (satu-satunya) pemilik hakikat. Sementara segala

sesuatu memperoleh hakikat (karena wujûd). Maka dia (wujûd), (adalah)

hakikat segala sesuatu (yang memiliki hakikat). Dan dia (wujûd) tidak

membutuhkan apa pun (untuk eksis), malah yang lain itulah yang

membutuhkan kepadanya untuk eksis. Maka dia (wujûd) eksis dengan

sendirinya pada realitas. Entitas lainnya (yang disebut dengan mâhiyâh)

apabila ditemukan pada realitas pasti bersama wujûd, mustahil eksis dengan

sendirinya.

Dengan demikian, setiap entitas pada realitas eksternal, seperti “manusia itu

ada”, “kursi itu ada”, “kuda itu ada”, dan sebagainya meniscayakan adanya suatu hal

tunggal yang menyatukan semua mâhiyâh itu. Dalam hal ini, yang menyatukan

adalah wujûd karena wujûd tidak bergantung pada apa pun, sementara setiap mâhiyâh

636 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 68. 637 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 67–68. 638 Sadrâ, Mullâ, Al-Masya’ir…, 10.

156

itu adalah pembatasan-pembatasan. Mâhiyâh hanya menjadikan segala entitas

memperoleh identitas spesifiknya. Mâhiyâh bukan sebagai pengada setiap entitas.

Sementara setiap entitas pada realitas itu diketahui ada, eksis. Pemberi eksistensi atau

yang membuat setiap entitas itu ada adalah wujûd. Sebagaimana dijelaskan Mullâ

Sadrâ di atas, setiap entitas mâhiyâh tidak pernah eksis dengan sendirinya pada

realitas. Setiap mâhiyâh pasti eksis bersama wujûd. Bahkan, wujûd itulah yang

membuatnya mengada. Dengan demikian, wujûd menjadi dasar bagi realitas dan

memberikan efek.

Pembuktian lainnya oleh Mullâ Sadrâ dalam al-Masya'ir’639 tentang

kemendasaran wujûd pada realitas eksternal adalah bahwa yang memberikan efek

dari realitas eksternal adalah wujûd. Sementara mâhiyâh hanyalah proyeksi mental

yang tidak memiliki acuan pada realitas. Lawan dari keberadaan adalah ketiadaan.

Mullâ Sadrâ sendiri yang menyatakan bahwa makna kemendasaran wujûd adalah

bahwa wujûd tidak membutuhkan perantara apa pun untuk mengada dan

keberadaannya adalah dengan sendirinya640. Ketika mengakui wujûd sebagai sesuatu

yang eksis dengan sendirinya maka tentunya wujûd telah mengada melampaui waktu

dan bersifat tetap. Penjelasan-penjelasan ini menunjukkan bahwa filsafat Mullâ Sadrâ

dibangun dengan basis kemendasaran wujûd yang tunggal. Konsep tersebut

merupakan landasan untuk menjelaskan berbagai konsep ajaran lainnya, seperti tâskîk

al-wujûd, illiyah, basit al-haqîqah, dan ittihad aqil wa ma’qûl.

8. Gradasi Wujûd (Tâskîk al-Wujûd)

Konsep tâskîk al-wujûd atau gradasi wujûd dalam filsafat Mullâ Sadrâ hanya

dapat dipahami dan diterima dengan syarat telah memahami dan menerima prinsip

kemendasaran wujûd (ashalat al-wujûd) yang menjadi bagian penting dari filsafat

Mullâ Sadrâ641. Kemendasaran wujûd adalah meyakini bahwa pada realitas eksternal,

yang mendasar adalah wujûd. Sementara mâhiyâh hanya eksis dalam ranah mental

sebagai pembatas wujûd agar intelek dapat mengenalinya. Wujûd yang menjadi satu-

satunya yang nyata pada realitas eksternal hanya dapat dikenali melalui mâhiyâh642.

Dalam tâskîk al-wujûd, kesatuan mengisi keseluruhan kemajemukan, kemajemukan

mengalir dalam kesatuan, kemajemukan kembali dalam kesatuan. Frasa

“kemajemukan mengalir dalam kesatuan” mengindikasikan bahwa sebenarnya

kemajemukan itu adalah penampakan kesatuan dalam modus-modus ekstensi.

Dengan memahami atau menerima prinsip kemendasaran wujûd maka tâskîk

al-wujûd menjadi dapat dipahami atau diterima. Tâskîk al-wujûd adalah jalan yang

ditempuh Mullâ Sadrâ untuk menjelaskan hubungan antara ketunggalan dan

keberagaman. Dalam sistem tâskîk al-wujûd, kemajemukan itu diterima berada dalam

wujûd yang satu. Aspek persamaannya adalah aspek perbedaan643. Analogi aspek

kesamaan adalah perbedaan adalah seperti cahaya. Cahaya seratus derajat dan cahaya

639 Sadrâ, Mullâ, Al-Masya’ir…, 12. 640 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 65. 641 Sadrâ, Mullâ, Al-Masya’ir…, 3. 642 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 67–68. 643 Mâ bî al-isytarak ’ain mâ bihi al-ikhtiâf. Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan

Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 69.

157

sepuluh derajat, kesamaannya adalah pada cahaya. Perbedaannya juga pada cahaya

itu sendiri. Perbedaannya adalah pada intensitas. Intensitas yang berbeda (menjadi

majemuk) itu adalah pada kesamaannya, yakni cahaya. Dalam sistem tâskîk al-wujûd,

satu entitas memiliki acuan yang berbeda. Misalnya, perbedaan pada sisi

kualitasnya644.

Dalam sistem tâskîk al-wujûd, tidak ada padanya perbedaan secara totalitas

karena bila berbeda total, tidak ada keragaman atau kesatuan padanya. Tidak pula

dalam tâskîk al-wujûd yang benar-benar tunggal. Bila demikian, keberagaman tidak

akan ada. Dalam tasykîk, ketunggalan dan sekaligus kemajemukan itu ada. Tâskîk

hanya ada dalam wujûd, sementara pada mâhiyâh tidak karena antar mâhiyâh sama

sekali tidak ada aspek kesamaan. Syarat-syarat dalam tasykîk al-wujûd adalah

kesatuan wujûd itu riil, kemajemukan wujûd itu riil, kemajemukan kembali kepada

kesatuan, dan kesatuan mengalir dalam kemajemukan645.

Kesan yang dapat ditangkap dalam hal ini adalah pengakuan bahwa

kemajemukan itu sebenarnya kembali kepada ketunggalan dan kesatuan itu mengalir

dalam kemajemukan sehingga sebenarnya kemajemukan itu tidak benar-benar lepas

dari ketunggalan. Kemajemukan senantiasa berada dalam ketunggalan. Ketunggalan

selalu nyata dalam kemajemukan646. Maka dari itu, mengesankan bahwa yang benar-

benar nyata adalah ketunggalan. Kemajemukan memang riil, tetapi di dalam

ketunggalan. Oleh sebab itu, apabila diberikan pertanyaan, “Bagaimana status

kemajemukan?” Maka jawabannya adalah, “Kemajemukan itu adalah ketunggalan.”

Kemajemukan harus riil. Bila tidak, gradasi tidak dapat berlaku. Sekaligus

kesatuan juga harus riil. Bila tidak, tidak ada penghubung kemajemukan.

Kemajemukan mengalir dalam ketunggalan. Juga kemajemukan kembali kepada

ketunggalan. Karena itu, semua kemajemukan itu sebenarnya berlandaskan pada satu

hakikat, yakni ketunggalan. Kemajemukan itu hanya pada kualitas647. Karena kualitas

itu berada pada level aksiden, sejatinya kemajemukan itu hanya suatu aksiden. Dan

aksiden adalah proyeksi mental, tidak memiliki realitas hakiki. Akan tetapi,

penyimpulan ini tidak diterima sebagian pengikut Mullâ Sadrâ, seperti Muhammad

Taqî Misbâh Yazdî. Sadrian sepertinya mengeklaim bahwa kemajemukan itu harus

benar-benar eksis karena bila tidak, tidak ada yang bisa disebut sebagai kesatuan.

Sebagian pengkaji Mullâ Sadrâ lainnya berpandangan, setiap entitas yang

berbeda-beda yang ditemukan pada realitas eksternal bukanlah perbedaan total. Ada

aspek kesamaan dalam perbedaan-perbedaan itu sehingga membuat wujûd dari setiap

keberagaman itu dapat diabstraksikan. Abstraksi juga hanya dapat dilakukan apabila

terdapat keberagaman. Karena itu, terdapat satu entitas tunggal yang mendasari

keberagaman. Perbedaan antarentitas yang beragam adalah dalam satu wujûd tunggal

yang bergradasi648.

Dalam sistem tâskîk al-wujûd, dibuktikannya bahwa gradasi itu memang riil

pada realitas eksternal adalah dengan adanya wujûd yang lebih dahulu, seperti wujûd

644 Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi…), 35. 645 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 38. 646 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 27. 647 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 73. 648 Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 35.

158

akal dan ada wujûd yang lebih kemudian seperti wujûd imajinal. Ada pula wujûd yang

lebih kuat, seperti wujûd sebab dan ada pula wujûd yang lebih lemah, seperti wujûd

akibat. Pandangan tersebut sebenarnya berbeda dengan pandangan Wujudiah dan

tentunya tidak memiliki kesamaan dengan pemikiran filsafat sebelumnya. Namun,

Mullâ Sadrâ mengeklaim bahwa gagasan tâskîk al-wujûd itu tidak bertentangan

dengan pandangan sufi Wujudiah. Mullâ Sadrâ649 menjelaskan:

و مما يجب أن يعلم أن إثباتنا لمراتب الوجودات المتكثرة و مواضعتنا في مراتب البحث و التعليم على

تعددها و

ينافي ما نحن بصدده من ذي قبل إن شاء هللا من إثبات وحدة الوجود و الموجود ذاتا و حقيقة تكثرها ل

كما هو مذهب األولياء و العرفاء من عظماء أهل الكشف و اليقين

Artinya:

“Perlu dipahami bahwa pembuktian kami terhadap tingkatan-tingkatan

wujûd yang berbeda-beda dan meletakkannya pada dasar dalam tingkatan-

tingkatan pembahasan dan pengajaran atas keragamannya dan

kemajemukannya (wujûd), tidak bertentangan dengan apa yang akan kami

buktikan pada pembahasan selanjutnya (insya’ Allah) tentang pembuktian

bahwa wujûd dan mawjûd secara esensi dan secara hakikat adalah sebagaimana

yang diyakini para aulia dan ‘urafâ’ yang mana mereka semua adalah orang-

orang yang telah memperoleh pengingkapan batin dan telah memperoleh

pengetahuan hakiki”

Namun, sepertinya Mullâ Sadrâ dalam pernyataan di atas ingin menegaskan

bahwa gagasan tâskîk al-wujûd adalah sebuah sintesis dari pemikiran-pemikiran

sebelumnya. Diskursus ini berakar dari pemikiran Ibn Sînâ. Karena menerima

mumkin al-wujûd bergantung secara mutlak kepada Wajib al-Wujûd, seharusnya Ibn

Sînâ menerima kesatuan wujûd. Akan tetapi sebaliknya, malah menerima

keberagaman wujûd para realitas eksternal. Padahal, makna kebergantungan mutlak

mumkin al-wujûd atas Wajib al-Wujûd bȋ nafsihȋ sehingga mumkin al-wujûd menjadi

wajȋb al-wujud bȋ ghayrihȋ, menunjukkan wajȋb al-wujud bȋ ghayrihȋ yang majemuk

itu sebenarnya adalah satu kesatuan sekaligus kemajemukan dalam status gradasi

(taskik). Fazlur Rahman selaku pengkaji serius pemikiran Ibn Sînâ mengatakan

bahwa Ibn Sînâ menerima dualitas wujûd dan mâhiyâh para realitas eksternal. Oleh

sebab itu, Fazlur Rahman mengkritik Mullâ Sadrâ dengan mengatakan bahwa Mullâ

Sadrâ tidak tepat mengandalkan pemikiran Ibn Sînâ untuk mengkritik pendapat

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî untuk menegaskan bahwa yang nyata pada realitas

adalah wujûd, bukan mâhiyâh. Sebenarnya, Mullâ Sadrâ sudah tepat menggunakan

argumentasi Ibn Sînâ untuk menegaskan pandangan bahwa yang nyata pada realitas

eksternal adalah wujûd. Karena sebenarnya Ibn Sînâ, sebagaimana dijelaskan Nasr

al-Dîn Thûsî, bermaksud mengatakan bahwa sebenarnya dualitas wujûd dan mâhiyâh

(dalam pandangan Ibn Sînâ) adalah pada ranah mental, bukan pada realitas eksternal.

Dalam hal ini, Fazlur Rahman mengikuti penafsiran Ibn Rusyd terhadap pemikiran

649 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta’aliyyah Fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol.

1, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002), 92.

159

Ibn Sînâ. Pandangan Ibn Rusyd dan Fazlur Rahman meyakini bahwa dualitas wujûd

dan mâhiyâh pada realitas eksternal tampaknya ingin membuat konsistensi dengan

pandangan kemajemukan wujûd pada realitas eksternal yang dipegang Ibn Sînâ.

Sebab itulah, meskipun pada beberapa bagian pembahasan lain Fazlur Rahman

mengakui bahwa Mullâ Sadrâ mengambil penafsiran Nasr al-Dîn Thûsî, pada bagian

ini tidak. Karena itu, sebenarnya Mullâ Sadrâ menerima gagasan Ibn Sînâ

sebagaimana ditafsikan Nasr al-Dîn Thûsî bahwa perbedaan wujûd dan mâhiyâh

adalah pada ranah mental. Namun sayangnya, Ibn Sînâ malah menerima gagasan

bahwa wujûd itu nyata pada realitas eksternal, tetapi majemuk berdasarkan perbedaan

mâhiyâh. Padahal, mâhiyâh itu adalah proyeksi mental. Mullâ Sadrâ juga menerima

kemajemukan, tetapi memahami kemajemukan itu berdasarkan kemajemukan

mâhiyâh pada ranah mental maka sebenarnya gagasan Mullâ Sadrâ sangat dekat

dengan Wujudiah sekaligus telah meluruskan kesimpulan Ibn Sînâ. Dalam perspektif

lain, dapat ditafsirkan bahwa Mullâ Sadrâ menerima kemajemukan wujûd riil pada

realitas eksternal sebagai konsekuensi atas akomodasinya atas sistem filsafat. Sebab

itulah, gagasan tâskîk al-wujûd dimaknai beragam oleh para pengkaji Mullâ Sadrâ.

Dalam hal ini, dapat diduga bahwa gagasan tâskîk al-wujûd ingin menyintesis ajaran

Ibn Sînâ dan Ibn ‘Arabî, sekaligus ajaran Syihab al-Dîn al-Suhrawardî.

Gagasan tâskîk itu sendiri dirumuskan dari semangat manifestasi cahaya

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Sementara itu, meski sebenarnya dapat diketahui

bahwa kaum sufi Wujudiah tidak menjelaskan tentang gagasan gradasi (tâskîk),

namun sebagaimana pernyataan di atas, Mullâ Sadrâ mengeklaim gagasan tersebut

sejalan dengan sufi Wujudiah. Klaim tersebut melahirkan pandangan dari kelompok

Sadrian untuk menegaskan bahwa ajaran Mullâ Sadrâ memang sangat cocok

dimaknai sebagai sebuah ajaran tasawuf filosofis sebagaimana Ibn ‘Arabî dan

lainnya. Akan tetapi, sebagian Sadrian lainnya tidak dapat menerima pandangan

demikian karena dengan jelas mereka dapat menemukan bahwa konsep tâskîk al-

wujûd itu berbeda dengan ajaran Wujudiah. Perdebatan tersebut masih berlangsung

hingga hari ini.

9. Kefakiran Akibat dalam Kausalitas (Illîyah)

Bagian penting lainnya yang membuat ajaran filsafat Mullâ Sadrâ menjadi unik

adalah konsep tentang kefakiran akibat dalam kausalitas (Illiyah). Kausalitas adalah

untuk menunjukkan bagaimana sebenarnya hubungan antara sebab dan akibat.

Kausalitas merupakan bagian penting dalam aliran filsafat dan kâlâm. Mutakallimîn

menilai bahwa keniscayaan bergantungnya akibat pada sebab adalah pada sisi

kebaruannya. Sementara Mullâ Sadrâ berpandangan, keniscayaan bergantungnya

akibat kepada sebab adalah karena status wujûd akibat yang bergantung (mumkîn,

contigent) pada wujûd sebab. Selama mengada, wujûd akibat selalu bergantung pada

wujûd sebab650.

Dalam pandangan kâlâm, wujûd akibat itu independen dari wujûd sebab.

Wujûd akibat itu sifatnya baru, sementara wujûd sebab itu tetap. Maka dari itu,

keduanya dianggap berbeda. Dalam pandangan mutakallimîn, sebab dan akibat itu

650 Riahi, “A Study Of The Effect Of Human Soul On External Objects : Between

Copenhagen School And Mulla Sadra,” 19.

160

memiliki wujûd yang berbeda. Wujûd sebab lain, wujûd akibat lain651. Demikian juga

dalam al-Hikmah al-Masyâ'iyyah maka wujûd sebab lain, wujûd akibat lain. Segala

entitas pada realitas eksternal memiliki wujûd masing-masing yang berbeda. Padahal

seharusnya, akibat dalam pandangan al-Hikmah al-Masyâ'iyyah, persis seperti sebab

karena al-Hikmah al-Masyâ'iyyah menerima bahwa akibat adalah mumkîn. Sebagai

mukmin al-wujûd, akibat bergantung secara mutlak kepada Wajîb al-Wujûd bî

Nafsîhî652. Kebergantungan akibat pada sebab sebagai kebergantungan mumkîn pada

wajîb persis kebergantungan kopula pada subjek. Kopula benar-benar tidak memiliki

eksistensi. Kopula benar-benar tunduk kepada subjek. Demikian seharusnya

kebergantungan akibat sebagai mumkîn kepada sebagai sebab sebagai wajîb sesuai

dengan pandangan filsafat Mullâ Sadrâ653.

Dengan menerima mumkîn al-wujûd sebagai akibat, sekalipun telah menjadi

wajîb al-wujûd bî ghayrîhî, tetap saja adalah akibat dari Wajîb al-Wujûd bî Nafsîhî.

Sementara al-Hikmah al-Masyâ'iyyah berpandangan bahwa pada setiap wajîb al-

wujûd bî ghayrîhî berbeda dengan wajîb al-wujûd bî ghayrîhî lainnya karena

perbedaan setiap mâhiyâh-nya. Karena itu, sudah seharusnya setiap wajîb al-wujûd

bî ghayrîhî sebagai akibat bergantung pada Wujûd Tunggal, yakni Wajîb al-Wujûd bî

Nafsîhî yang menjadi sebabnya. Akan tetapi, pengakuan demikian tidak ada dalam

al-Hikmah al-Masyâ'iyyah. Sebab itulah, Mullâ Sadrâ terkesan semacam meluruskan

al-Hikmah al-Masyâ'iyyah 654. Alasan lainnya al-Hikmah al-Masyâ'iyyah

berpandangan wujud sebab dan wujud akibat berbeda adalah karena konsekuensi

pandangannya yang membedakan wujûd pada realitas eksternal menurut tiap-tiap

mâhiyâh-nya.

Dalam usaha menyempurnakan filsafat, Mullâ Sadrâ melihat akibat sebagai

sesuatu yang bergantung secara mutlak kepada sebab. Sebenarnya, pandangan ini

terinspirasi dari gagasan al-Hikmah al-Masyâ'iyyah tentang status mumkîn al-wujûd

sebagai akibat yang mutlak bergantung kepada wajîb al-wujûd sebagai sebab. Akan

tetapi, mumkîn al-wujûd hanya cocok untuk sistem kemendasaran mâhiyâh. Karena

sebenarnya dalam kemendasaran wujûd, yang riil seharusnya hanyalah wujûd.

Sementara selainnya adalah realitas konseptual. Maka dari itu, akibat harus

dipandang sebagai sesuatu yang tidak memiliki eksistensi, kecuali eksistensinya

adalah kehadiran sebab. Akibat sejatinya tidak memiliki zat sehingga akibat bukan

tambahan bagi zat akibat karena sejatinya zat akibat adalah akibat itu sendiri ('ain al-

rabith bî al-illah). Hal ini karena akibat itu adalah kefakiran mutlak655. Sistem filsafat

Mullâ Sadrâ melihat akibat sebagai kefakiran. Akibat bergantung mutlak kepada

sebab sehingga dinamai rabith illî. Karena dalam sistem kausalitas yang berbasis

kemendasaran wujûd, wujûd hanya dapat dibagi kepada wujûd mandiri yang

651 Perbedaan signifikan pandangan teolog dan ’urafa, lihat, Nasution, “Termination

OF Wahdah al-Wujûd In Islamic Civilization In Aceh: Critical Analysis of Ithaf Ad-Dhaki,

The Works of Ibrahim Kurani,”…, 401. 652 Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 33–34. 653 Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam…, 82–83. 654 Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 63–64. 655 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 74–76.

161

dipandang sebagai sebab (mustaqil) dan wujûd yang bergantung secara mutlak

kepada wujûd sebab (rabith)656.

Wujûd akibat dalam sistem proposisi dipandang sebagai kopula sebagai

penghubung antara subjek dan predikat. Misalnya, dalam proposisi "Ahmad adalah

penulis", suatu kopula sama sekali tidak memiliki independensi. Kata “adalah”

benar-benar bergantung (rabith), tidak memiliki independensi. Yang memiliki

independensi (mustaqil) hanya “Ahmad” dan “penulis” karena dapat dipahami secara

mandiri. Suatu kopula hanya berfungsi sebagai penghubung bagi subjek dan predikat.

Kata “Ahmad” dan kata “penulis” dapat ditemukan acuannya di realitas eksternal.

Sementara kopula tidak memiliki acuan pada realitas ekstenal. Kopula hanya

berfungsi untuk menunjukkan keterangan subjek yang riil pada realitas eksternal.

Karena itu, status kopula sebagai penjelasan bagi status akibat dalam sistem

kausalitas, hanya memiliki nama, tetapi tidak memiliki wujûd.

Dalam sistem kausalitas, Mullâ Sadrâ menegaskan bahwa sebenarnya akibat

itu bukan suatu hakikat yang berdiri sendiri. Akibat adalah sesuatu yang tidak bisa

dilepaskan dari akibat. Dalam hal ini, Mullâ Sadrâ657 menulis:

” ء و المعلول بما هو معلول ل يعقل إل مضافا إلى العلة فانفسخ ما أصلناه من الضابط في كون الشي

العتبار سوى كونه مضافا و لحقا و ل علة و معلول هذا خلف فإذن المعلول بالذات ل حقيقة له بهذا

معنى له غير كونه أثرا و تابعا من دون ذات تكون معروضة لهذه المعاني كما أن العلة المفيضة على

اإلطلق إنما كونها أصل و مبدأ و مصمودا إليه و ملحوقا به و متبوعا هو عين ذاته"

Terjemahannya:

“Akibat sebagaimana dianya akibat sama sekali tidak memiliki hakikat kecuali

dihubungkan dengan sebab. Dan hal ini tidak berarti kecuali akibat adalah efek

sebab dan mengikuti sebab. Tanpa memiliki zat sebagai lokus aksiden dari

makna-makna tersebut. Sebagaimana sebab yang memberikan emanasi secara

mutlak, bahwa sesungguhnya makna dari inti, sumber, yang memenuhi

kebutuhan yang lain, yang diikuti adalah hakikat zat sebab pemberi emanasi

itu sendiri.

Dalam hal ini, Mullâ Sadrâ ingin menjelaskan bahwa sejatinya akibat itu sama

sekali tidak memiliki eksistensi. Akibat itu adalah kefakiran mutlak. Hakikat akibat

tidak lain kecuali kefakirannya atas sebab. Hakikat akibat hanyalah keakibatan itu

sendiri. Dalam hal ini, hakikat hanya dimiliki oleh wujûd sebab (mustaqîl). Sementara

status akibat itu seperti kopula (râbith). Kopula itu sendiri dianggap hanya eksis

dalam ranah mental.

Namun, ada yang mirip dengan wujûd rabith pada realitas eksternal, yaitu

wujûd aksiden. Seperti “putih” sebagai wujûd aksiden yang pada realitas eksternal

hanya bisa eksis dengan menjadi sifat bagi wujûd lainnya, seperti putih pada realitas

eksternal yang hanya bisa eksis sebagai aksiden bagi tembok. Akan tetapi, wujûd

aksiden memiliki eksistensi untuk dirinya sekalipun dirinya itu menjadi sifat bagi

yang lain, seperti putih yang menjadi sifat bagi tembok. Sementara kopula untuk

656 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 74. 657 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta’aliyyah Fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol.

2, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002), 244.

162

dirinya saja tidak memiliki eksistensi. Eksistensi kopula adalah kebergantungan itu

sendiri658. Demikian status setiap ekstensi (mawjûdat) sama sekali tidak memiliki

eksistensi (wujûd). Eksistensinya adalah kebergantungan itu sendiri.

Dalam sistem kopula kausal Mullâ Sadrâ, hakikat akibat adalah keakibatan itu

sendiri. Bila tidak, sebab menjadi tambahan bagi hakikat akibat sehingga akibat tidak

membutuhkan sebab. Hal ini mustahil. Karena pada kenyataannya, akibat bergantung

secara mutlak kepada sebab. Hakikat akibat adalah kebutuhan dan kefakiran mutlak.

Tidak ada apa pun pada diri akibat, kecuali kebergantungan itu sendiri kepada

sebab. Dalam sistem kopula kausal, pada realitas eksternal, hanya ada satu wujûd

yang menjadi dasar realitas. Namun, dalam analisis mental terdapat tiga entitas, yakni

sebab yang memberikan wujûd, akibat sebagai yang memberikan wujûd, dan aktivitas

pemberian wujûd659.

10. Hakikat Sederhana (Basith al-Haqîqah)

Konsep basith al-haqîqah (hakikat sederhana) adalah segala sesuatu dan tidak

ada ada apa pun darinya (منها وليسا بشعين آسيا كل ي الحقيقة sebenarnya merupakan ,(بسث

pintu masuk fondasi dan prinsip dasar seluruh bangunan al-Hikmah al-Muta’alliyah.

Mullâ Sadrâ menjelaskan pandangan tersebut secara panjang lebar dalam

karyanya660. Sebenarnya, prinsip inilah yang menghantarkan kaidah-kaidah lain

dalam konsep-konsep filsafat Mullâ Sadrâ, termasuk kemendasaran wujûd (aslât al-

wujûd) yang merupakan salah satu fondasi penting ajarannya661. Melalui prinsip

basit al-haqîqah (hakikat sederhana), Mullâ Sadrâ tidak hanya hendak menyelesaikan

banyak persoalan filsafat yang diwariskan oleh para filosof masa lalu, tetapi juga

melalui fondasi ini, Mullâ Sadrâ ingin menyelesaikan persoalan aliran pemikiran

lainnya, seperti kâlâm, khususnya mengenai keesaan Tuhan dan mengenai hubungan

antara Dzat dan Sifat Tuhan662.

Konsep basith al-haqîqah adalah sebuah terobosan baru dalam filsafat Islam.

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî telah menunjukkan kegagalan definisi sebagai prasyarat

proposisi dalam filsafat. Lalu, dia menegaskan bahwa hanya dengan ilmu hudhûrî

saja pengetahuan sejati dapat diperoleh663. Menerima pandangan Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî ini, Mullâ Sadrâ melakukan revolusi filsafat dari sistem definisi menuju

sistem presentasi (hudhûrî) sebagai prasyarat proposisi. Mullâ Sadrâ mengaku

konsep hakikat sederhana yang dia perkenalkan adalah hasil kontemplasi dan

658 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol.

I, 319. 659 Hal ini mempertemukan konsep kesatuan subjek dan objek dalam filsafat Mulla

sadra dan kesatuan yang mengetahui, yang diketahui dan pengetahuan dalam tasawuf Hamzah

Fansûrî. Al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra: Konsep Ittihad Al-’Aqil Wa Al-Ma’qul Dalam

Epistemologi Filsafat Dan Makrifat Ilahiyyah, 127; Al-Attas, The Mysticism of Hamzah

Fansûrî…, 274. 660 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol.

I…, 12–13. 661 Mullâ Sadrâ, Al-Masya’ir…, 3. 662 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol.

I…, 16–17. 663 Suhrawardi, “Hikmah Al-Isyrâq,”…, 11-`16.

163

perenungan mendalam sehingga terbukalah baginya hijab. Maka dengan itu, Mullâ

Sadrâ meraih pengetahuan presentasi. Dalam berbagai biografi tentang riwayat hidup

Mullâ Sadrâ, disebutkan bahwa dia melakukan kontemplasi selama lima belas tahun

hingga memperoleh pengetahuan presentasi. Hasil pengetahuan ini menjadi dasar

Mullâ Sadrâ menulis filsafatnya dalam Asfar dan beberapa buku lainnya, seperti

Hikmah Arsyiyah', 'al-Masya'ir, dan sebagainya664.

Pengalaman presentasi (hudhûrî) itu disebut Mullâ Sadrâ sebagai hikmah

'arsyiyah malakûtî Ilahî. Karena itu, kegiatan filsafat Mullâ Sadrâ dapat dikatakan

sebagai sebuah filsafat tertinggi dengan alasan bahwa dia menjadikan pengetahuan

yang bersifat pasti, terang, dan meyakinkan, yaitu ilmu presentasi sebagai elemen

mendasar kegiatan filsafatnya. Oleh Mullâ Sadrâ, pengetahuan ini disebut sebagai

burhan 'arsyî665 karena pembuktian filsafat yang dia lakukan adalah menjustifikasi

pengetahuan tertinggi atau al-hikmah al-ilahiyah melalui argumentasi filsafat. Sistem

ini membuat filsafat Mullâ Sadrâ memiliki basis argumentasi yang solid. Sistem

demikian perlu diambil semangatnya dalam pengembangan filsafat dan ilmu

pengetahuan.

Konsep basit al-haqîqah hanya dapat diperoleh melalui ‘ilmû ladunnî666. Dasar

pengetahuan yang diperoleh melalui cara demikian atau disebut dengan ilmu hudhûrî

dianggap oleh Mullâ Sadrâ dan para pengikutnya sebagai prasyarat bagi filsafat yang

berkualitas. Sependapat dengan penekanan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî bahwa filsuf

sejati adalah mereka yang memperoleh dasar pengetahuan melalui ilmu presentasi

sekaligus mampu mengemukakan pengetahuannya itu dengan argumentasi filsafat

yang sistematis dan solid, diakui sebagian filosof pengikut Mullâ Sadrâ tidak akan

sempurna melakukan kegiatan berfilsafat sebelum memperoleh burhân ‘arsyî atau

kasyaf. Berdasarkan pengalaman presentasi, Mullâ Sadrâ melakukan kegiatan

berfilsafat yang sistematis melalui argumentasi-argumentasi yang solid667.

Makna basith dalam konsep basit al-haqîqah adalah berarti mutlak, tidak

rangkap atau tidak komposit dengan apa pun. Kesederhanaannya tidak terdiri atas

berbagai rangkap, baik itu rangkap materi dan bentuk, rangkap genus dan differensia,

rangkap wujûd dan mâhiyâh, maupun rangkap wujdin (ada) dan fiqdan (tiada). Basit

al-haqîqah bebas dari berbagai jenis rangkapan. Ia sederhana, tidak rangkap.

Melampaui genus dan differensia yang disebut Wujûd Mutlak668. Dalam Wujudiah,

disebut Wujûd Haqq Ta’ala669.

Dalam hal ini, Mullâ Sadrâ670 menegaskan:

664 Rahman, The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 2–3. 665 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol.

I…, 135. 666 Mullâ Sadrâ mengatakan pengetahuan tersebut diperoleh melalui “hikmah 'arsyiyah

malakuti Ilahi” yang disebut dengan ’burhan ‘arsyi’. Sadrâ, Mullâ,, Al-Hikmah Al-

Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol. I…, 135. 667 Miswari, Filsafat Terakhir…, 178–178. 668 Dalam filsafat Islam, Wujud mutlak melampaui genus dan differensia telah

dikemukakan sejak Al-Kindi. Lihat, Al-Kindi, On First Philosophy, (Harvard: Harvard

University Press, 1974), 14. 669 Nasr, “Introduction to Mystical Tradition,”…, 367. 670 Sadrâ, Mullâ, al-Masya’ir…, 8-9.

164

" كما -شمول حقيقة الوجود لألشياء الموجودة ليس كشمول معنى الكلي للجزئيات، و صدقه عليهامن أن حقيقة الوجود ليست جنسا و ل نوعا و ل عرضا إذ ليست كليا. طبيعيا، بل شموله -نبهناك عليه

”ضرب آخر من الشمول

Terjemahannya:

Kemencakupan hakikat wujûd atas segala mawjudat, bukan seperti

kemencakupan universalia atas partikularitas, dan (bukan pula sepeti

kemencakupan) predikasi universal atas partikular-partikularnya. Dari karena

hakikat wujûd bukan genus, dan bukan spesies, dan bukan pula seperti kulî tabi’i

(universal natural). Tetapi kemencakupan (hakikat wujûd) berbeda dengan

kemencakupan-kemencakupan (universalia itu).

Sebagaimana dijelaskan Mullâ Sadrâ di atas, wujûd yang sederhana dan

mencakup segala sesuatu, tetapi bukan segala sesuatu itu. Kemencakupan wujûd

bukan sebagaimana kemencakupan universalia atas partikular dan bukan pula seperti

kemencakupan genus atas spesies. Dalam hal ini, wujûd juga tidak dapat didefinisikan

karena segala hal yang dapat didefinisikan adalah hal-hal yang memiliki genus dan

differesia. Sementara wujûd tidak memiliki genus dan differensia.

Pada realitas eksternal terdapat wujûd yang menjadi acuan basit al-haqîqah

sebagai suatu kesederhanaan mutlak. Sebagai kesederhanaan mutlak, eksistensinya

memiliki kesempurnaan segala sesuatu. Sebagai kesempurnaan segala sesuatu, basit

al-haqîqah memiliki kesempurnaan segala sesuatu, bukan menjadi segala sesuatu671

sehingga basit al-haqîqah itu menjadi segala sesuatu. Hal ini karena segala sesuatu

itu kesempurnaannya adalah pada wujûd. Maka dari itu, basit al-haqîqah al-haqîqah

adalah wujûd segala sesuatu, tetapi bukan segala sesuatu karena segala sesuatu itu

adalah komposisi wujûd dan mâhiyâh. Wujûd adalah realitas segala sesuatu,

sementara mâhiyâh adalah proyeksi mental.

Meskipun diakui inspirasi konsep hakikat sederhana adalah dari pengalaman

hudhûrî, Mullâ Sadrâ, sebagaimana konsep-konsep lainnya, seperti ashalat al-wujûd,

tâskîk al-wujûd, illiyah, dan lainnya mempertahankan argumentasinya, antara lain,

dengan pendekatan filsafat672. Argumentasi basit al-haqîqah setidaknya dibangun

melalui tiga premis. Pertama, berdasarkan ashalat al-wujûd dan tâskîk al-wujûd.

Rangkaian kausalitas dimulai dari puncak piramida wujûd hingga wujûd paling

bawah, yakni wujûd alam materi. Kedua, sebagaimana dalam pembahasan kausalitas,

sebab hakiki adalah yang memberikan wujûd atau kesempurnaan kepada akibat

sehingga tentunya sebab memiliki kesempurnaan karena sesuai dengan kaidah filsafat

yang tidak memiliki mustahil dapat memberikan. Karena itu, wujûd sebab atau basit

al-haqîqah pasti memiliki kesempurnaan yang terdapat pada tingkatan wujûd

setelahnya. Ketiga, dalam skema piramida wujûd, berbagai mawjûdat yang ada pada

tingkatan bawah memiliki rangkap, baik itu rangkap dengan mâhiyâh maupun

rangkap dengan sempurna dan kurang sempurna. Yang paling sempurna adalah

hakikat sederhana karena tidak memiliki rangkap. Berdasarkan tiga premis

argumentasi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesederhanaan hakiki pada

671 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 79. 672 Murtadha Mutahhari, Filsafat Hikmah…, 77–78.

165

basit al-haqîqah karena tidak memiliki rangkap sehingga segala sesuatu (al-asya')

hakikatnya berada dalam hakikat sederhana (basith al-haqiqî). Segala sesuatu adalah

pancaran hakikat sederhana. Pada segala sesuatu adalah kehadiran basit al-haqîqah.

Skema ini sama dengan tâskîk al-wujûd yang terkandung dalam satu wujûd673.

Meskipun hanya menerima satu wujûd yang dinisbahkan kepada Haqq Ta’ala

yang tunggal, Wujudiah dan filsafat Mullâ Sadrâ tidak sama dengan nihilisme yang

menolak eksistensi realitas eksternal. Dua ajaran tersebut tidak menolak realitas

eksternal selain Haqq Ta’ala. Wujudiah berpandangan bahwa selain Haqq Ta’ala

adalah manifestasi (tajallî) atau penampakan (zuhûr) Haqq Ta’ala yang terjadi pada

Nama-nama Haqq Ta’ala. Sementara filsafat Mullâ Sadrâ berpandangan bahwa

wujûd itu tunggal sekaligus bergradasi.

11. Gerak Substansi (al-Harakah al-Jawhayiah)

Gerak substansi (al-harakah al-jawhayiah) adalah revolusi yang dilakukan

Mullâ Sadrâ dalam sistem pemikiran filsafat filsafat. Sebelumnya, para filosof

menerima prinsip ajaran Aristotelian yang menegaskan gerak hanya terjadi pada level

aksiden. Bagi Mullâ Sadrâ, perubahan aksiden adalah karena substansinya yang

bergerak. Gerak substansi yang dirumuskan Mullâ Sadrâ ini dipengaruhi gerak cinta,

khususnya ajaran dalam Wujudiah Ibn ‘Arabî. Dengan gerak substansi maka

perubahan satu entitas wujûd menjadi entitas wujûd lainnya menjadi keniscayaan.

Pandangan ini sejalan dengan prinsip tasykîk al-wujûd yang dirumuskan Mullâ Sadrâ

sendiri.

Setidaknya terdapat tiga argumen yang dinisbahkan kepada dalil Mullâ Sadrâ

dalam membuktikan gerak substansi. (1) Premis pertama: (a) perubahan aksiden

adalah akibat alami dari perubahan substansi. Agen terdekat dari gerak mustahil di

luar materi. Karena itu, pasti dari materi itu sendiri. Ini berarti dari substansinya.

Premis kedua: (b) sebab gerak pasti bergerak. Bila sebab terdekatnya tetap, padahal

perantara antara subjek dan objek tidak ada maka pastinya objeknya tetap juga.

Misalnya, cahaya lampu yang bergerak mengindikasikan lampu yang bergerak. (2)

Premis pertama: (a) aksiden tidak terpisah dengan substansi, bahkan aksiden adalah

pancaran substansi: (b) setiap perubahan yang terjadi pada pancaran (aksiden) adalah

indikasi perubahan pada sumbernya (substansi). Kesimpulannya: gerak aksiden

adalah bukti gerak substansi. Argumen kedua ini dibangun berdasarkan pancaran

sebagaimana pancaran cahaya, suatu pendekatan yang lebih senyawa, dibandingkan

argumen pertama yang melalui kausal yang mungkin dianggap parsial. (3) Mullâ

Sadrâ menyatakan waktu adalah dimensi keempat dari karakteristik materi. Karena

itu, mewaktu adalah keniscayaan bagi materi. Keniscayaan ini tentunya terjadi pada

substansi. Konsekuensinya, setiap materi pasti bergerak secara terus-menerus674.

Gerak adalah kesempurnaan pertama pada sesuatu yang bersifat potensi

ditinjau dari keberadaannya sebagai potensi (kamal al-awwal li ma bi al-quwwah min

haitsu inna hu bi al-quwwah). Makna dari “kesempurnaan pertama” (kamal al-

awwal) aktualitas sesuatu sebagai substansi sebagai lokus aksiden untuk ikut

mengaktual. Makna “potensi ditinjau dari keberadaannya sebagai potensi” (min

673 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 80–81. 674 Thabâthabâ’î, Nihayah Al-Ḥikmah…, 208-210.

166

haitsu innahu bȋ al-quwwah) adalah sempurnanya aktualitas potensi pertama

sekaligus sempurnanya potensialitas bagi aktualisasi potensi baru yang menjadi

aktualitas potensi pertama. Sebab itulah, gerak juga didefinisikan sebagai ‘keluarnya

sesuatu dari potensi menuju aktualitas secara gradual’ (khuruju al-syai‟i min al-

quwwah ila al-fi‟il tadrijan). Gerak merupakan kesempurnaan (kamal), namun

kesempurnaan pada dalam gerak berbeda dengan kesempurnaan pada yang lain.

Kesempurnaan pada gerak adalah ketika kesempurnaan pertama yang di dalamnya

terdapat potensi yang sempurna sebagai persiapan aktualisasi selanjutnya. Gerak

merupakan proses pembaharuan terus menerus wujûd suatu entitas. Gerak merupakan

perjalanan terus-menerus sebagai suatu proses munculnya suatu mawjûdat dari

potensialitas menuju aktualitas.

Gerak pada aksiden terjadi pada empat kategori aksiden, yaitu kualitas (al-

kaif), kuantitas (al-kam), tempat (al-ain), dan posisi (al-wadh‟). Keberadaan gerak

pada empat kategori ini diakui oleh umumnya filosof sebelum Mullâ Sadrâ. Adapun

Mullâ Sadrâ melihat gerak yang terjadi pada empat kategori aksiden itu terjadi karena

akibat adanya gerak pada substansinya. Mullâ Sadrâ675 menjelaskan:

"إذا جاز في الكم والكيف وأنواعهما كون أنواع بالنهاية بين طرفيها بالقوة مع كون الوجود المتجدد

,’أمر أشخصيا من باب الكم أو الكي فليجز مثل ذلك في الجوهر الصوري؛ فيمكن اشتداده واستكماله

اته بحيث يكون وجود واحد شخصى مستمر متفاوت الحصول في شخصيته ووحدته الجوهرية".في ذ

Terjemahannya:

“Bila terjadi (gerak) pada kuantitas dan kualitas dan bagian-bagiannya yang

tak terbatas antara keduanya terjadi secara potensial, dalam arti bahwa wujûd

itu selalu baharu dalam identitasnya, baik pada kuantitas ataupun kualitas.

Maka hal tersebut dapat juga terjadi pada ranah substansi. Sehingga

memungkinkan terjadinya penguatan dan penyempurnaan pada zat-nya

sebagai wujud dengan identitas yang satu secara terus-menerus, berbeda

dalam sampainya identitas dan kesatuan substansial”

Bagi Mullâ Sadrâ, relasi aksiden dan substansi adalah satu realitas. Ini adalah

konsekuensi dari prinsip kesatuan wujûd. Aksiden adalah kondisi-kondisi substansi

bukan tegaknya dua entitas. Mullâ Sadrâ mengistilahkan relasi antara substansi dan

aksiden adalah relasi illuminatif (idhafah isyraqiyah). Gerak pada substansi

merupakan sumber semua gerak dalam kategori aksidennya, yakni kuantitas, kualitas,

posisi, dan tempat. Penyebab gerak itu adalah wujûd yang satu.

Dalam gerak terdapat enam unsur, yakni penggerak (muharrik), yang

digerakkan (mutaharrik), titik awal (mabda’), titik akhir (muntaha atau ghayah),

aspek yang bergerak (mâ fîhî al-ḥarakah), dan waktu (zaman). Mullâ Sadrâ

menjelaskan bahwa penggerak adalah wujûd. Titik awal adalah wujûd bî al-kuwwah

(potensi). Titik akhir adalah wujûd wujûd bî al-al-fi’il (aktual). Aspek yang bergerak

adalah modus kehadiran penggerak (muharrik) berupa substansi dan empat aksiden

yang terlibat gerak. Waktu adalah abstraksi mental terhadap wujûd yang bergerak.

675 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta‟aliyyah fî Al-Ashfâr Al’Aqliyyah Al-Arba’ah, Vol.

3, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002), 69.

167

Pandangan kesatuan antara substansi dan aksiden yang meniscayakan konsep

gerak substansi dalam filsafat Mullâ Sadrâ tidak dapat dimungkiri adalah penegasan

bagi konsep kesatuan wujud sebagaimana diakui pemikir Wujudiah. Mullâ Sadrâ

mencoba menjelaskan kesatuan wujûd dalam bentuk kesatuan wujûd yang bergradasi

(taskîk). Mullâ Sadrâ mengajarkan wujûd adalah satu, namun bergradasi (tasykîk).

Sistem tasykîk diinspirasikan dari ajaran Syihab al-Dîn al-Suhrawardî tentang

illuminasi cahaya. Perbedaan dalam satu wujûd adalah pada kedahuluan-

kebelakangan atau kesempurnaan-kekurangsempurnaan676

Dalam ajaran Mullâ Sadrâ, wujûd itu sederhana sekaligus meliputi segala

sesuatu. Wujûd itu mengisi keseluruhan realitas, tetapi setiap entitasnya bukan wujûd.

Secara teori kefilsafatan dalam diskursus tentang kategorisasi wujûd, Mullâ Sadrâ

menerima prinsip pembagian wujûd Ibn Sînâ. Mullâ Sadrâ menerima kategorisasi

wujûd, yakni Wâjib al-Wujûd lî nafsihî, wâjib al-wujûd lî ghayrihî, mumkîn al-wujûd,

dan mumtanî’ al-wujûd. Perbedaan dari Ibn Sînâ adalah Mullâ Sadrâ tidak menerima

pembagian entitas wujud bagi setiap mawjûdat pada realitas eksternal (kharijî).

Kemendasaran wujûd yang dimaksud Ibn Sînâ dan Mullâ Sadrâ berbeda. Bagi Ibn

Sînâ, wujûd memang mendasar pada realitas, tetapi tiap-tiap wujûd itu berbeda

menurut perbedaan mâhiyah-nya. Sementara bagi Mullâ Sadrâ, wujûd itu mendasar

pada realitas eksternal dan sekaligus tunggal mencakupi segala sesuatu. Mullâ Sadrâ

sepakat dengan Ibn Sînâ dalam pembedaan wujûd dengan mâhiyah pada ranah

konseptual. Ketika masuk ke ranah konseptual, wujûd hanya sebagai predikat yang

tidak mendasar dan mâhiyah menjadi subjek yang mendasar. Maka dari itu, wujûd

hanya menjadi tambahan bagi mâhiyah dalam ranah mental. Sementara pada realitas

eksternal, wujûd-lah yang mendasar.677

Gagasan ontologi Mullâ Sadrâ sangat dekat dengan Wujudiah Ibn ‘Arabî.

Prinsip kesatuan wujûd merupakan ajaran ‘irfân. Sementara Mullâ Sadrâ ikut

berdialog secara intens dengan filsafat maka dia tidak dapat menerima wahdat al-

wujûd, kecuali ditempatkan dalam sistem tasykîk al-wujûd dan basîth haqîqat kulli

asyya’ (wujûd sebagai entitas sederhana, tetapi meliputi segala sesuatu). Gagasan

kesatuan dan kemendasaran wujûd ini berkonsekuensi kepada pemahaman Mullâ

Sadrâ tentang gerak sehingga merumuskan konsep gerak substansi. Gerak substansi

adalah pergerakan menuju kesempurnaan. Pada dirinya sebagai aktualitas, wujûd

jasmani sekaligus adalah potensialitas. Potensialitas ini menjadi aktual ketika jiwa

terlepas dari jasad. Jiwa yang telah terlepas dari jasad adalah aktualitas murni.678

Karena gerak substansi merupakan proses menuju kesempurnaan, mustahil terjadi

gerak terbalik. Sesuatu yang dari lebih sempurna menjadi kurang sempurna adalah

mustahil. Gerak menuju kesempurnaan itu dinamis dan aktualitas sejati adalah setelah

jiwa melepaskan diri dari jasad maka bagi Mullâ Sadrâ reinkarnasi itu mustahil.

676 Muḫammad Nur Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Filsafat Wujûd Mulla

Sadrâ..,71. 677 Seyyed Hossein Nasr, “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic

Philosophy,” International Philosophical Quarterly 29, no. 4 (1989), 409–428. 678 Kerwanto, “Manusia Dan Kesempurnaannya (Telaah Psikologi Transendental

Mullā Shadrā),”…, 133.

168

Sistem filsafat yang dibangun Mullâ Sadrâ dapat menjelaskan pengalaman

spiritual berdasarkan argumentasi rasional. Dapat dikatakan bahwa apa yang

dilakukan Mullâ Sadrâ merupakan suatu terobosan dalam pemikiran Islam. Mullâ

Sadrâ meyakini gerak tidak hanya pada tataran aksiden, tetapi juga substansi. Gerak

jiwa misalnya, diketahui secara hudhûrî, seperti bertambah atau berkurangnya rasa

cinta atau rasa benci. Pergerakan aksiden sebenarnya adalah tanda bagi gerak

substansi.

12. Kesatuan Subjek dan Objek (Ittihad Aqil wa Ma’qûl)

Dalam filsafat Mullâ Sadrâ, pengetahuan adalah menyatunya subjek dan objek.

Penyatuan Konsep ini juga merupakan bagian dari gagasan kesatuan dan

kemendasaran wujûd. Prinsip sistem pengetahuan ini adalah penerimaan atas ilmu

presentasi (hudhûrî) yang sebenarnya merupakan sistem tasawuf filosofis. Mullâ

Sadrâ mengembangkan sistem tersebut dalam sistem filsafat. Sebab itulah, filsafatnya

tidak dapat dilepaskan dari ajaran Wujudiah.

Dalam sistem epistemologi yang dirumuskan Mullâ Sadrâ, pengetahuan

representasi terbagi menjadi konsepsi (tasawwur) dan afirmasi (tasydiq). Sebuah

proposisi bisa hanya sebatas konsepsi, bisa pula disertai afirmasi. Konsepsi adalah

sebuah penerimaan atas suatu pernyataan tanpa penilaian, misalnya penilaian apakah

pernyataan itu benar atau diterima atau pernyataan itu tidak benar atau tidak

diterima679. Dalam pengetahuan representasi, berdasarkan keragaman acuan (referen

atau rujukan atau acuan), terbagi menjadi universal (kullî), yaitu acuan plural, seperti

“manusia”, “kota”, dan acuan tunggal, seperti “Sukarno”, “Jakarta”680. Di samping

itu, epistemologi filsafat Mullâ Sadrâ juga menerima pembagian pengetahuan dalam

bentuk pengetahuan aksiomatis (badîhî) dan pengetahuan teoretis (nazharî).

Pengetahuan aksiomatis adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui inferensi

atau deduksi. Sementara pengetahuan teoretis adalah pengetahuan yang diperoleh

melalui inferensi atau deduksi681.

Dalam pemikirannya, Mullâ Sadrâ berpendapat bahwa pengetahuan empiris

menjadi awal pengetahuan. Akan tetapi, rasio juga berperan penting dalam

menentukan atau mengonstruksi pengetahuan melalui fakultas jiwa yang

mencakup indra (hiss), fantasi (khayalî), estimasi (wahmî), dan inteleksi (buhanî).

Selain mengakomodasi realis sekaligus empiris, filsafat Mullâ Sadrâ juga dapat

679 Konsepsi masih berupa gambar yang dari ke dalam mental. Tetapi afirmasi telah

terkandung justifikasi [baik afirmasi maupun negasi]. Mustahil ada afirmasi tanpa didahului

afirmasi. Miswari, Filsafat Pertama…, 23. 680 Konsep terbagi menjadi [1] konsep universal dan [2] konsep partikular. Konsep

universal terbagi menjadi [1] konsep universal gradasional dan [2] konsep universal univokal.

Konsep partikular terbagi menjadi: [1] Konsep partikular hakiki, yaitu tidak ada lagi partikular

di bawahnya, contoh: Jakarta, Soekarno. [2] Konsep partikular relatif, yaitu yang menjadi

partikular ketika dibandingkan dengan konsep lebih luas darinya, contoh: konsep ‘manusia’

jika dibandingkan konsep ‘hewan’. Konsep partikular relatif menjadi konsep partikular hakiki

bila: hanya dapat diterapkan pada satu eksistensi dan menjadi partikular universal ketika:

konsepnya dapat dibagi menjadi beberapa konsep lagi. Penjelesan lengkap mengenai kaidah

ini, lihat, Miswari, Filsafat Pertama…, 23, 3. 681 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 39–40.

169

dikatakan sebagai filsafat realis karena menerima pengetahuan presentasi (hudhûrî)

dan menjadikannya sebagai sistem pengetahuan yang lebih mendasar682. Sistem

epistemologi ilmu presentasi (hudhûrî) dalam filsafat Mullâ Sadrâ mengakui bahwa

hakikat realitas (ke-ada-annya) dapat diketahui melalui kehadiran subjek kepada

objek tersebut dengan kemenyatuan antara subjek dan objek atau dalam filsafat

istilahnya disebut ittihad aqil wa ma’qûl683. Sistem ini meniscayakan tiga aspek

dalam sistem pengetahuan, yaitu subjek yang mengetahui (‘aqil), objek yang

diketahui (ma’qûl), dan pengetahuan (‘aql) sebagai proses pengetahuan684. Sistem ini

mirip dengan sistem pengetahuan Tuhan dalam Wujudiah.

Pencapaian pengetahuan presentasional (hudhûrî) merupakan capaian tertinggi

filsafat Mullâ Sadrâ sehingga disebut al-hikmah al-muta'alliyah. Filsafat semacam

ini sebenarnya telah dirintis oleh Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Menurut Syihab al-

Dîn al-Suhrawardî, seorang filsuf yang baik adalah yang telah mencapai pengetahuan

tertinggi, namun mampu mengemukakan kesaksiannya secara rasional685. Peringatan

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî ini dipegang dengan baik oleh Mullâ Sadrâ dan para

pengikutnya. Dalam hal ini, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî mengatakan, bangunan

rasional filsafat seharusnya sesuai dengan ilmu presentasi sehingga filsafat dan

tasawuf sebenarnya adalah dua bidang ilmu yang integral686.

Pengetahuan menurut sistem Mullâ Sadrâ adalah kehadiran jiwa pada objek.

Jiwa adalah kesempurnaan utama dari raga alami wadah yang mengandung potensi

kehidupan687. Maksud kesempurnaan utama adalah sesuatu yang esensial yang

membentuk differensia dari satu spesies. Misalnya, pembentuk “berpikir” bagi

“hewan” sehingga menjadi “manusia”688. Raga alami maksudnya adalah raga palsu

(misalnya, patung manusia). Wadah (instrumen, 'aliy) maksudnya adalah batasan

raga yang menjadi aktualitas jiwa. Sementara "memiliki potensi kehidupan”

maksudnya memiliki potensi tumbuh, menyerap nutrisi, berkembang biak, bergerak

dengan kehendak, dan mengindrai689.

682 Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemikiran Mulla Sadra…, 204. 683 Kholid Al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra: Konsep Ittihad Al-’Aqil Wa Al-Ma’qul

Dalam Epistemologi Filsafat Dan Makrifat Ilahiyyah, (Bandung: MPress, 2005), 114–115. 684 Faiz, “Eksistensialisme Mulla Sadra,” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran

Islam (2015)…, 436. 685 Suhrawardi, “Hikmah Al-Isyrâq,”…, 11–13. 686 Taqi Miṣbâḥ Yazdî, Al-Manhaj Al-Jadîd Fî Ta’lîm Al-Falsafah Vol. 1, (Beirut: Dâr

at-Ta’ârûf lî al-Mathbu'at, 1990), 85–86. 687 Kamal awal jism thabi’i allazî hayatî bî al-quwwah, lihat, Hasan Zadeh Amuli, Al-

Ta’lîqât ‘Alâ Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fî al-Asfâr al-'Aqliyyah al-Arba’ah, (Teheran:

Mu‟assasah al-Ŝibâ‟ah wa al-Nasyr li Wizârah al-Tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1386H),

73. 688 Terdapat pula kesempurnaan sekunder seperti menulis bagi manusia. Gama,

Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, dan Filsafat Barat Kontemporer…, 126 . 689 Fakultas atau daya jiwa meliputi: (1) tumbuh, (2) menyerap nutrisi, (3) berkembang

biak, (4) bergerak dengan keehendak, (5) menginderai, (6) fantasi, (7) estimasi, dan (8)

inteleksi. Dari nomor satu hingga tiga dimiliki tumbuhan. Dari nomor satu hingga tujuh

dimilihi hewan dan semuanya dimiliki manusia. Dari nomor lima hingga delapan disebut

170

Meskipun menjadi kesempurnaan utama jiwa, raga materi komposit dengan

jiwa. Misalnya, keberlangsungan jasad bergantung pada menyerap nutrisi karena

keberlangsungan raga bergantung pada materi. Kedirian seseorang bersifat utuh. Itu

karena kedirian itu adalah jiwa. Sementara raga bersifat komposit. Kehilangan bagian

tertentu dari jasad tidak menyebabkan diri seseorang menjadi tidak utuh. Sementara

keberlangsungan jiwa juga tidak bergantung pada raga. Raga hanya menjadi

instrumen persiapan bagi kehadiran jiwa690. Misalnya, seseorang pernah mengetahui

sesuatu, lalu dia lupa. Kemudian, dapat mengingat kembali tanpa membutuhkan raga

untuk mengindrainya kembali691. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan itu

bersifat immateri. Persepsi, imajinasi, estimasi, dan inteleksi itu adalah daya jiwa.

Salah satu pensyarah ajaran Mullâ Sadrâ, Jawadî Amûlî, mengatakan bahwa setiap

penentu suatu spesies adalah substansi, jiwa adalah penentu spesies maka jiwa adalah

substansi692.

Kekuatan jiwa manusia digambarkan Mullâ Sadrâ sebagai sesuatu yang sangat

mengagumkan. Selain mampu mengendalikan objek pengetahuan di alam mental,

bahkan oleh orang yang kehadiran Ilahi sangat kental padanya mampu mewujudkan

yang hadir ke dalam alam mentalnya untuk aktual di alam eksternal. Kemampuan

tersebut dapat terjadi karena manusia yang suci adalah pancaran yang baik bagi

Wujûd Ilahi.

Pengetahuan yang sebenarnya bukanlah pengetahuan melalui aksiden. Karena

aksiden-aksiden itu tidak terbantahkan diterima sebagai proyeksi inteleksi, tentunya

pengetahuan itu adalah pada wujûd-nya. Jadi, pengetahuan adalah kehadiran wujûd

pada wujûd sehingga sebenarnya wujûd itu adalah sesuatu yang tunggal. Dengan

keunikan jiwa manusia yang juga merupakan bagian dari kesatuan wujûd maka daya

jiwa membentuk aksiden atas wujûd sehingga memunculkan kemajemukan. Karena

itu, sebenarnya daya jiwa manusia adalah suatu karunia yang sangat unik.

Kemampuan membuat predikasi-predikasi, termasuk membuat predikasi negatif juga

sebenarnya adalah bagian dari keagungan jiwa.

Dalam penjelasan tentang konsep Ittihad Aqil wa Ma’qûl, Mullâ Sadrâ693

menjelaskan:

فان الصورة المعقولة من الشئ المجردة عن المادة سواء كان تجردها بتجريد مجرد إياها عن المادة أم بحسب الفطرة فهي معقولة بالفعل ابدا سواء عقلها عاقل من خارج أم ال

Terjemahannya:

persepsi atau idrak. Sepertinya Mulla Sadra menerima secara utuh pandangan Ibn Sînâ

tentang tingkatan jiwa. Lihat, Miswari, Filsafat Terakhir, 205. 690 Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat Kontemporer…,

131. 691 Sadrâ, Mullâ, Al-Hikmah Muta’aliyyah fî Al-Asfâr al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol. 8

(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002), 225-226. 692 Amuli, Al-Ta’lîqât ‘Alâ Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fî al-Asfâr al-'Aqliyyah al-

Arba’ah…, 207–211. 693 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta‟aliyyah Fî Al-Ashfâr Al’Aqliyyah Al-Arba’ah,

Vol. 3…, 249.

171

“Forma-forma dalam objek akal itu bersifat abstrak (immateri), baik melalui

abstraksi dari materi oleh seorang subjek atau pun telah hadir sejak awal dalam

dirinya. Itu semua merupakan objek akal yang aktual, baik ditangkap oleh akal

seorang subjek dari realitas eksternal ataupun tidak.”

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa objek pengetahuan itu sebenarnya

bukannya sesuatu yang bersifat immaterial, melainkan kehadiran wujûd pada wujûd

melalui kreativitas jiwa. Jiwa itu sendiri merupakan bagian dari wujûd. Semua

kejadian pengetahuan atau hal-hal yang terlibat dalam pengetahuan, yakni subjek

yang mengetahui, objek yang diketahui, dan hubungan antara keduanya yang disebut

pengetahuan, semuanya terjadi dalam wujûd. Pengetahuan sejatinya adalah perluasan

jiwa. Pengetahuan merupakan bagian dari proses penyempurnaan jiwa.

Karakteristik pengetahuan hushûlî sebenarnya adalah proyeksi kreativitas jiwa

melalui fakultas tertentu dari jiwa dan sebenarnya adalah pengetahuan hudhûrî maka

apabila belum memahami bahwa kemajemukan yang merupakan proyeksi mental,

jiwa akan selalu merasa gelisah karena belum memahami bahwa sebenarnya dia

sedang menciptakan hijab bagi dirinya yang sebenarnya merupakan bagian dari

kesatuan wujûd atas objek pengetahuannya yang sebenarnya adalah juga merupakan

bagian dari kesatuan wujûd. Jiwa yang demikian selalu melahirkan waham negatif.

Sementara jiwa yang telah memahami bahwa dirinya sebagai subjek pengetahuan dan

objek pengetahuannya adalah satu kesatuan wujûd, dapat senantiasa melahirkan

pandangan positif. Meskipun demikian, jiwa dalam kategori ini menyadari bahwa

segala proyeksi atas wujûd tidak sama dengan realitas sejati wujûd. Untuk itulah,

pandangan yang harus selalu dimunculkan adalah mengakui bahwa, “Maha Suci

Engkau, tiada kukenal Diri-Mu dengan sempurna kenal”.

D. Pemaknaan Filsafat Mullâ Sadrâ

Mullâ Sadrâ mendayagunakan berbagai khazanah pemikiran Islam dalam

mengembangkan ajarannya. Dia melakukan sangat banyak kritik terhadap berbagai

varian intelektual Islam. Di samping itu, dia juga mengambil sangat banyak inspirasi

dari berbagai khazanah tersebut. Mullâ Sadrâ membangun sistem filsafatnya dengan

menyintesis berbagai varian pemikiran sehingga konsep-konsep dalam filsafatnya

harus dibangun dengan argumentasi yang luas dan mendalam. Sistem tersebut sesuai

dengan konteks keilmuan dan budaya masa Mullâ Sadrâ karena pada masa tersebut,

diskursus keilmuan berlangsung pesat dan para ilmuwan di sana sedang berlomba

melakukan sintesis berbagai varian ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, Mullâ Sadrâ

tidak perlu mengkhawatirkan komunitas pembaca karyanya meskipun dirumuskan

dalam sistem yang berat dan rumit.

Sekalipun memberi perhatian yang tinggi pada pengkajian filsafat, masyarakat

Persia selalu memiliki ekspektasi bahwa gagasan yang dikembangkan para pemikir

yang mereka miliki berorientasi pada mistisme. Hal ini dapat ditunjukkan dengan

bagaimana mereka sangat mengapresiasi karya pamungkas Ibn Sînâ al-Hikmah al-

Masyriqiyyah sekalipun sebenarnya gagasan penting Ibn Sînâ adalah corak filsafat

Aristotelian. Demikian juga mereka sangat berbangga dengan capaian Syihab al-Dîn

al-Suhrawardî yang melahirkan gagasan filsafat cahaya yang bercorak mistis dan

mengkritik gagasan utama Aristotelian. Oleh komunitas intelektual Persia, awalnya

172

gagasan Mullâ Sadrâ itu ditentang karena dianggap menghidupkan kembali sistem

Aristotelian karena Mullâ Sadrâ menerima banyak kaidah filsafat Ibn Sînâ, seperti

tingkatan fakultas jiwa, pembagian konsep wujûd, kategori substansi dan aksiden, dan

beberapa gagasan lainnya. Namun, penyelidikan yang lebih luas dan mendalam

menunjukkan bahwa filsafat Mullâ Sadrâ juga bernuansa mistis yang sangat dekat

dengan Wujudiah atau ‘irfan dalam istilah populer di Persia.

Mullâ Sadrâ telah melakukan sebuah integrasi keilmuan yang canggih dengan

melibatkan Wujudiah dan berbagai aliran filsafat sebelumnya, seperti Wujudiah, al-

Hikmah al-Isyrâqiyyah, al-Hikmah al-Masyâ'iyyah, dan lainnya untuk mengonstruksi

sebuah aliran dalam filsafat Islam, yakni al-Hikmah al-Muta’alliyah. Bagaimana

sistem integrasi antardisiplin ilmu dilakukan dalam pemikiran Islam dapat dipelajari

dari sistem sintesis Mullâ Sadrâ. Filsafat Mullâ Sadrâ sangat unik dari berbagai

dimensi. Dia mendayagunakan khazanah pemikiran sebelumnya dengan sangat

efektif. Mullâ Sadrâ menerima prinsip kemendasaran wujûd dari Ibn Sînâ, menerima

prinsip kesatuan Wujûd dari Ibn ‘Arabî, sekaligus menerima gradasi wujûd yang

diinspirasikan dari Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Hal yang tidak kalah penting dari

penyerapan Mullâ Sadrâ dari khazanah sebelumnya adalah penolakan validitas

definisi dan menggantikannya dengan presentasi (hudhûrî). Semangat ini juga

diambil dari Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Sintesis ini menjadikan filsafat Mullâ

Sadrâ menjadi sangat unik dan menjadi mirip dengan Wujudiah.

Mullâ Sadrâ melanjutkan diskursus penting dalam filsafat Islam mengenai

diskursus mana yang lebih mendasar antara wujûd dan mâhiyâh. Tugas ini awalnya

dibahas oleh Al-Farabî, dilanjutkan oleh Ibn Sînâ dan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî.

Mullâ Sadrâ beruntung karena hidup pasca Nasr al-Dîn Thusî. Hal ini karena nama

terakhir ini telah memperjelas konteks diskursus tersebut yang sebelumnya

disalahpahami oleh Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Keuntungan tersebut membuat

Mullâ Sadrâ menjadi lebih mudah dalam mendiskusikan problem tersebut.

Kesimpulan Mullâ Sadrâ tentang kemendasaran wujûd semakin membuat ajarannya

secara prinsipiel makin mirip dengan iktikad Wujudiah.

Pemahaman Mullâ Sadrâ dalam epistemologi tentang keidentikan subjek dan

objek juga sangat mirip dengan sistem Wujudiah. Mullâ Sadrâ dan Wujudiah sepakat

bahwa tiga perangkat dalam pengetahuan, yakni subjek yang mengetahui, objek yang

diketahui, dan hubungan keduanya yang disebut pengetahuan adalah klasifikasi

mental atas pengetahuan yang sebenarnya adalah kehadiran Wujûd Wujûd jiwa pada

Wujûd objek pengetahuan yang mana sebenarnya keduanya adalah satu wujûd.

Pandangan tersebut berangkat dari prinsip kesatuan wujûd yang dipahami Wujudiah

dan Mullâ Sadrâ.

Kemendasaran wujûd (ashalat al-wujûd) merupakan prinsip ajaran Mullâ

Sadrâ yang menjadi landasan atas segala konsep pemikirannya. Prinsip tersebut

bukan sebatas penerimaan konseptual dalam filsafat dengan mendukung gagasan Ibn

Sînâ. Mullâ Sadrâ mengakui prinsip tersebut diperoleh melalui pengalaman spiritual

yang tinggi sebagaimana dialami para penganut Wujudiah. Prinsip kemendasaran

wujûd itu tidak benar-benar identik dengan gagasan Wujudiah karena dalam

sistemnya, Mullâ Sadrâ merumuskan konsep gradasi wujûd (tâskîk al-wujûd) yang

mana gagasan tersebut tidak dikenal dalam ajaran Wujudiah. Konsep gradasi wujûd

173

(tâskîk al-wujûd) yang dirumuskan Mullâ Sadrâ termasuk gagasan yang penuh

ambiguitas. Pada satu sisi dia menerima ketunggalan, namun keberagaman juga

diakui nyata adanya. Ketunggalan mengalir dalam keberagaman, sekaligus

keberagaman kembali kepada ketunggalan. Jadi, secara sekaligus Mullâ Sadrâ

menerima ketunggalan sekaligus menerima keberagaman sama-sama nyata694.

Berbeda dengan konsep gradasi wujûd (tâskîk al-wujûd) yang membuat ajaran

Mullâ Sadrâ menjadi berbeda dengan Wujudiah, gagasan Mullâ Sadrâ tentang

kefakiran akibat atas sebab membuat ajarannya sangat mirip dengan iktikad

Wujudiah. Pemahaman tentang hal ini mengakui bahwa makhluk itu benar-benar

tidak memiliki apa pun di hadapan Haqq Ta’ala. Jadi, Mullâ Sadrâ, sesuai dengan

Wujudiah, berpandangan bahwa jangankan apa pun, makhluk itu wujûd saja tidak

punya. Demikianlah kefakiran mutlak akibat atas sebab.

Kefakiran akibat atas sebab menunjukkan bahwa yang benar-benar nyata

hanya satu hakikat. Hakikat tunggal itu benar-benar mendasar dan mengisi realitas.

Pemahaman demikian dirumuskan dalam konsep hakikat sederhana (basith al-

haqîqah). Konsep ini adalah suatu realitas sempurna sehingga menjadi penegak bagi

setiap ekstensi (mawjûdat). Segala entitas realitas itu bukanlah apa-apa, kecuali

kehadiran wujûd secara terus-menerus. Kehadiran ini terjadi karena kesempurnaan

dari hakikat sederhana (basith al-haqîqah) yang bukan apa pun dari berbagai entitas

sekaligus menjadi segalanya bagi entitas-entitas itu. Konsep hakikat sederhana

(basith al-haqîqah) juga masih mengusung kesan ambiguitas sebagaimana konsep

gradasi wujûd (tâskîk al-wujûd).

Di antara gagasan Mullâ Sadrâ yang membuat pemikirannya sangat unik dalam

konstelasi filsafat dan membuatnya tidak dapat dilepaskan dari tasawuf filosofis,

yakni gagasan tentang gerak substansi (al-harakah al-jawhayiah). Biasanya dalam

sistem filsafat yang diterima para filosofnya adalah gerak itu merupakan perubahan

yang terjadi pada empat level aksiden, yakni kualitas, kuantitas, tempat, dan posisi.

Namun, oleh Mullâ Sadrâ gerak aksiden itu dikatakan terjadi karena adanya gerak

pada substansi. Filosof sebelumnya tidak menerima gerak pada substansi karena

substansi anggap sebagai penopang bagi aksiden yang bergerak. Gagasan gerak

substansi itu diinspirasikan oleh gagasan gerak cinta dari ajaran Wujudiah Ibn ‘Arabȋ.

694 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 38.

174

BAB V

ANALISIS PERBANDINGAN WUJUDIAH HAMZAH FANSÛRÎ

DAN FILSAFAT MULLÂ SADRÂ

Antara Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ memiliki banyak persamaan dan

perbedaan. Persamaan-persamaan antara dua pemikir ini adalah bagian-bagian yang

sangat prinsipiel dalam ajaran masing-masing. Hal yang menjadi alasan utama

pembentukan berbagai persamaan itu tidak lepas dari prinsip Mullâ Sadrâ yang

menerima sistem pengetahuan hudhûrî sebagai sumber pengetahuan yang valid. Di

samping itu, proses menuju pengetahuan valid itu juga ditempuh dengan cara yang

sama, yakni dengan perjalanan ke dalam diri, yakni sebuah perjalanan yang bersifat

kontemplatif dalam rangka menghidupkan daya terpenting dari jiwa, yakni

penyingkapan spiritual.

Sementara itu, perbedaan yang sangat mencolok dari pemikiran Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ adalah latar belakang budaya yang berbeda dari tiap-tiap

pemikir ini. Hamzah Fansûrî hidup dan menyebarkan ajarannya di tanah Melayu yang

mana masyarakatnya tidak menghidupkan sistem filsafat Aristotelian, namun

mengenal sistem pemikiran Wujudiah. Sementara Mullâ Sadrâ hidup dalam konteks

masyarakat ilmiah Persia yang mengenal baik sistem filsafat Aristotelian di samping

ajaran Wujudiah yang dikenal dengan istilah ‘irfan. Corak lingkungan ilmiah Persia

itu membuat Mullâ Sadrâ banyak mendiskusikan sistem pemikiran Aristotelian dalam

bentuk kritik pada bagian tertentu dan dukungan pada bagian lainnya. Konsekuensi

dari latar belakang inilah yang membuat Mullâ Sadrâ berbeda dengan Hamzah

Fansûrî dalam penerimaannya pada keabsahan kemajemukan. Sementara Hamzah

Fansûrî sebagai pengajar Wujudiah tidak dapat menerima bahwa kemajemukan itu

benar-benar eksis pada realitas eksternal. Bagi Hamzah Fansûrî, wujûd sebagai

hakikat realitas adalah satu dan mutlak, tidak ada kemajemukan, kecuali hanya

konstruksi mental (wahmî). Sementara Mullâ Sadrâ menerima ketunggalan sekaligus

kemajemukan wujûd sebagai hal yang riil pada realitas eksternal.

A. Persamaan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Filsafat Mullâ Sadrâ

Antara Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ memiliki banyak kesamaan dalam

prinsip ajaran. Beberapa persamaan yang dapat ditunjukkan dengan jelas sesuai

dengan potret analisis dari tiap-tiap pemikir, yakni pertama, persamaan dalam

pemahaman kesatuan dan kemendasaran wujûd. Keduanya berpandangan bahwa

wujûd adalah entitas mendasar yang menjadi pembentuk realitas. Kedua, Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ mengakui bahwa pengenalan diri sebagai awal menuju

pengetahuan sejati. Persamaan kedua ini berkonsekuensi pada kesamaan mereka pada

bagian kesamaan lainnya, yakni, ketiga, pengakuan bahwa ilmu hudhûrî sebagai

pengetahuan sejati.

Di samping itu, terdapat persamaan keempat, yaitu Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ juga sama-sama mengakui bahwa alam potensial itu nyata adanya.

Mereka mengakui bahwa pluralitas di alam itu semuanya berpangkal pada suatu alam

175

potensial yang telah eksis dalam Ilmu Tuhan. Dalam hal ini, keduanya menggunakan

istilah yang berbeda695 dan sepakat bahwa alam potensial itu nyata. Kelima, Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ juga sepakat bahwa makhluk itu semuanya bergantung

secara mutlak kepada Haqq Ta’ala. Tiap-tiap persamaan ini akan dikategorikan

kepada salah satu dari tiga relasi, yakni relasi ekuivalen, relasi umum-khusus mutlak,

dan relasi umum-khusus satu sisi.

6. Univokasi dan Kemendasaran Wujûd

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ memiliki kesamaan dalam salah satu aspek

paling sakral dalam metafisika pemikiran Islam, yakni pemahaman tentang wujûd

sebagai dasar realitas. Kedekatan itu paling terlihat adalah keidentikan pandangan

kemendasaran wujûd sebagai suatu sistem ontologi dan kesamaan acuan makna

wujûd sebagai suatu konsep univokal. Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ

Sadrâ sama-sama menerima wujûd sebagai univokal, yakni jenis kata (penanda) yang

hanya memiliki satu acuan (petanda) pada realitias. Kesamaan inilah yang membuat

ajaran keduanya berkonsekuensi pada kesamaan ajaran yang meyakini wujûd itu

adalah tunggal. Wujûd yang tunggal itu adalah Wujud Mutlak, yakni Haqq Ta’alâ.

Haqq Ta’alâ adalah wujûd yang mutlak bersifat Tunggal. Selain-Nya adalah

manifestasi dari Wujûd-Nya.

Segala manifestasi itu oleh sistem Wujudiah dianalogikan sebagai bayangan

bagi wujûd yang nyata. Segala realitas alam adalah seperti bayangan dan cermin

adalah diri manusia. Diri manusia yang paling sempurna merefleksikan bayangan

adalah al-insân al-kâmîl. Hal ini dapat terjadi karena al-insân al-kâmîl adalah wujûd

yang paling bersih sehingga dapat menghasilkan pantulan paling sempurna dari

Wujûd Ilahi. Dalam hal ini, imajinasi manusia sempurna adalah sangat utama karena

dapat menangkap suatu gambaran paling sempurna dari Hakikat Ilahi. Realitas yang

menjelma di alam materi adalah pengungkapan diri Haqq Ta’alâ yang merupakan

satu-satunya Hakikat Realitas696. Pengungkapan Diri Ilahi ini paling terang dapat

dilihat adalah oleh manusia sempurna yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad697.

Dalam sistem Hamzah Fansûrî, alam semesta memiliki wujûd. Akan tetapi,

wujûd yang dimiliki bukan wujûd hakiki, melainkan hanya sebagai wujûd wahmî.

Yang disebut dengan alam semesta adalah batu, kursi, kertas, dan sebagainya. Itu

semua memiliki wujûd sehingga dapat menjelma, tetapi mereka hanyalah bayangan

wujûd698. Alam semesta dapat terpancar karena adanya cermin, yakni diri manusia

sempurna. Pancaran tersebut menghasilkan bayangan Haqq Ta’alâ. Alam semesta

695 Meskipun penggunaan istilah antara dua pemikir ini berbeda dalam pengakuan

masing-masing atas eksistensi alam potensial, namun terkadang mereka menggunakan istilah-

istilah yang bersinggungan. Misalnya, Mullâ Sadrâ juga menggunakan istilah ‘ayan tsabitah

dan Hamzah Fansûrî menggunakan istilah mumkin al-wujûd. 696 Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology…,

15. 697 Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology…,

403. 698 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 282.

176

sebagai bayangan Haqq Ta’alâ tidak dapat dipahami, kecuali oleh orang-orang yang

menempuh penyucian diri. Mereka yang melakukan penyucian diri seperti berusaha

membersihkan permukaan cermin. Makin bersih cermin maka akan menjadi sarana

yang baik untuk memantulkan bayangan Ilahi699.

Dalam skema Mullâ Sadrâ, realitas alam semesta yang majemuk adalah

himpunan dari wujûd dan dan mâhiyâh. Apabila pengetahuan hanya terbatas pada

pengenalan mâhiyâh semata, sebenarnya itu adalah hijab untuk mengenal wujûd.

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ mengetahui dan menyadari wujûd melalui

pengalaman langsung (hudhûrî) adalah mereka yang telah membersihkan diri dari

kecenderungan duniawi yang menjadi hijab bagi pengenalan wujûd. Jauh sebelum

para filosof eksistensialis di Barat memperkenalkan konsep kesadaran diri, Hamzah

Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ telah memperkenalkan konsep kesadaran dan

pengenalan diri700. Pengenalan diri ini bertujuan bahwa segala sesuatu yang

disandang diri, termasuk pengetahuan-pengetahuan konseptual yang dimiliki adalah

bersifat wahmî.

“Barang siapa yang mengenal dirinya, maka telah mengenal Tuhannya.”701

Pengenalan ini bukanlah pengenalan atribut-atribut yang melekat pada diri. Atribut-

atribut itu, seperti nama yang diberikan orang tua, gelar yang diberikan masyarakat,

pangkat yang diberikan lembaga, dan sebagainya semuanya bersifat wahmî.

Sejadinya yang nyata adalah Diri. Diri yang dimaksud bukan pula organ tubuh, kulit,

dan tulang. Diri itu adalah kesadaran Haqq Ta’alâ. Hal ini tidak sama dengan objek

yang disadari702.

Dalam sistem Mullâ Sadrâ, segala entitas dan realitas alam semesta menjadi

majemuk adalah karena proyeksi mental. Inteleksi menciptakan batas-batas bagi

wujûd dan membentuk aksiden-aksiden padanya, lalu diberikan nama. Sejatinya,

realitas eksternal hanyalah satu dan mendasar, yakni wujûd703. Proyeksi mental itulah

yang disebut bayang-bayang oleh Hamzah Fansûrî. “Sungguhpun pada zahirnya ada

ia berwujûd, tetapi wahmî juga, bukan wujûd haqiqi; seperti bayang-bayang dalam

chermin, rupanya ada hakikatnya tiada.”704 Apabila masih menerima kemajemukan

alam semesta sebagai eksistensi yang hakiki, itu berarti belum dapat mengenal

hakikat. Bahkan, apabila masih mengakui bahwa kedirian sebagai eksistensi yang

hakiki, juga belum dapat mengenal hakikat. Karena pada hakikatnya, wujûd yang

hakiki hanya dinisbahkan pada Haqq Ta’alâ. Sementara selainnya adalah wujûd

wahmî.

Fenomena-fenomena alam semesta tentunya adalah hasil konstruksi pikiran

manusia yang melahirkan suatu justifikasi705. Demikian juga dengan kekhasan setiap

entitas yang menjadi dasar pembangunan definisi, pada satu sisi dianggap sebagai

proyeksi mental. Misalnya, aktivitas meringkik pada kuda dan aktivitas

699 Hakiki, “Insan Kamil Dalam Perspektif Syaikh Abd Al-Karim Al-Jili.”…, 175-186. 700 Açıkgenç, Being and Existence in Ṣadrā and Heidegger…, 87. 701 Açıkgenç, Being and Existence in Ṣadrā and Heidegger…,, 107. 702 Açıkgenç, Being and Existence in Ṣadrā and Heidegger…, 198. 703 Sadrâ, Mullâ, Al-Masya’ir…, 3. 704 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 282. 705 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 21–22.

177

menggonggong pada anjing, adalah aktivitas yang muncul pada level aksiden. Karena

itu, kekhasan itu menjadi wilayah tinjauan ilmu hushûlî sehingga segala

kemajemukan alam adalah bentukan persepsi pikiran dari aktivitas inteleksi.

Dalam analogi Hamzah Fansûrî, menjadi raja, menjadi menteri, menjadi gajah,

menjadi kuda, menjadi benteng, dan menjadi bidak sejatinya “… asalnya kayu

sepuhun jua. Maka dilarik berbaga-bagai; dinamainya raja, dan menteri, dan gajah,

dan kuda, dan tir dan baidaq. Asalnya kayu sekerat juga dijadikan banyak.”706 Yang

melarik itu adalah aktivitas inteleksi. Lalu, setelah inteleksi melariknya menjadi

berbagai-bagai, dinamailah kuda, batu, kursi, dan sebagainya makhluk-makhluk di

alam. Namun sejatinya, yang berbagai-bagai itu adalah wujûd yang dianalogikan

dengan kayu. Mullâ Sadrâ mengatakan bahwa aksiden itu adalah aktualitas substansi

maka dapatlah dipahami bahwa segalanya adalah dari substansi: akal, jiwa, materi

primer, bentuk, dan jasad. Kelima komponen substansi itu adalah berada dalam status

wujûd. Menjadi berbeda untuk setiap substansi entitas karena gradasi. Karena aksiden

adalah aktualitas substansi yang berada dalam wujûd, tentunya aksiden merupakan

bagian dari wujûd dari sisi eksistensinya, bukan gejala-gejala aksiden yang dipersepsi

indra707.

Bila konsep hakikat sederhana dikaitkan dengan gradasi wujûd, dapat dibuat

skema gradasi dalam konsep hakikat sederhana. Makin jauh segala sesuatu dengan

hakikat sederhana maka segala sesuatu menjadi makin majemuk. Sebaliknya, makin

dekat segala sesuatu dengan basit al-haqîqah maka makin sedikit keberagaman dan

menjadi makin sederhana708. Pola yang mirip dengan skema emanasi ini mungkin

dapat dicari kemiripannya dalam analogi dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî tentang

buah catur, makin rendah tingkatan biji catur, makin banyak jumlahnya. Misalnya,

raja dan ratu yang tinggi tingkatannya hanya berjumlah satu, selanjutnya yang lebih

rendah, yakni gajah, benteng, dan kuda berjumlah dua. Sementara bidak yang paling

rendah jumlahnya paling banyak, yaitu delapan709.

Sebab itulah, pada sisi analisis intelektual, gejala-gejala aksiden dari realitas

makhluk-makhluk di alam semesta, seperti “kualitas”, yakni jawaban terhadap

pertanyaan “bagaimana?” terhadap sesuatu, seperti baunya, suhunya, dan wataknya;

“kuantitas”, yakni ukuran atau volume; “relasi”, yaitu keberhubungan sesuatu dengan

sesuatu yang lain; “tempat”, seperti pulpen di atas meja; “waktu”, seperti pada pukul

20.00; “posisi”, seperti tegak atau miring atau duduk atau berdiri; “kepemilikan” atau

“posesi”, seperti pulpen milik Ahmad; “aktif”, seperti api menghanguskan; dan

“pasif”, seperti api dipadamkan. Semua aksiden itulah yang membentuk nama-nama,

seperti “raja”, “menteri”, “gajah”, “kuda”, “benteng”, dan “bidak”. Sejatinya, semua

itu hanya nama-nama karena pada hakikatnya semua itu adalah kayu. Demikian juga

706 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294. 707 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 14. 708 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 79–80. 709 Pierre Dangauthier et al., “TrueSkill through Time: Revisiting the History of

Chess,” in Advances in Neural Information Processing Systems 20 - Proceedings of the 2007

Conference (NIPS Proceedings, 2009), 1–8.

178

alam menjadi beragam karena inteleksi, lalu diberi nama-nama yang berbagai-bagai,

namun hakikat semuanya adalah wujûd yang tunggal710.

Dalam filsafat Mullâ Sadrâ, pengetahuan didefinisikan sebagai hadirnya

subjek kepada objek. Maka dari itu, meniscayakan status persoalan ini berada dalam

ranah ontologi. Dalam hal ini, tentunya realitas wujûd, baik dalam kesatuannya

maupun dalam gradasinya berada dalam status eksistensi. Karena itu, alam semesta

juga dianggap sebagai keberadaan, bukan ketiadaan ataupun objek yang diragukan.

Sama seperti Wujudiah Hamzah Fansûrî, epistemologi filsafat Mullâ Sadrâ menolak

sikap sofis yang mengakui realitas hanya proyeksi mental. Kedua ajaran tersebut juga

menolak sikap skeptis yang meragukan eksistensi realitas711.

Kemajemukan alam semesta yang dianalogikan dengan tumbuhan,

digambarkan Hamzah Fansûrî muncul dari ‘Ilmû Bâsîth yang dianalogikan dengan

tanah, dan Wujûd Bâsîth dianalogikan dengan air. Dalam pertemuan wujûd dan ilmu,

menjelmalah alam semesta. Sama halnya seperti dalam pertemuan air dan tanah terbit

tumbuh-tumbuhan. Aneka macam tumbuhan, aneka warna, dan beragam rasa

buahnya menjelma sebagai keberagaman dari air.

Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa ajarannya itu berbeda dengan ajaran ilmu

kâlâm yang membedakan wujûd Tuhan dengan wujûd makhluk. Karena bila

membedakan wujûd Tuhan dengan wujûd makhluk, akal manusia akan memberikan

kesan bahwa wujûd Tuhan itu terbatas, yaitu batasannya adalah wujûd makhluk.

Dengan mengatakan, “Tanah itulah asal wujûd sekalian bejana itu”, Hamzah Fansûrî

ingin memberikan jalan keluar untuk mengatasi kebingungan tersebut bahwa wujûd

Tuhan itu sama dengan wujûd makhluk. Akan tetapi, wujûd yang dimaksud bukanlah

hal-hal yang ditangkap pancaindra. Karena hal-hal yang ditangkap pancaindra itu

bukan wujûd, melainkan aksiden-aksiden wujûd yang menjadi berbagai bentuk yang

majemuk sebagaimana kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana yang menjadi

beragam nama karena bentuk-bentuknya saja.

Ajaran Mullâ Sadrâ dalam mempertegas bahwa yang mendasari realitas adalah

wujûd, memberikan argumen, di antaranya adalah karena pada realitas eksternal yang

memberikan efek adalah wujûd, bukan mâhiyâh712. Sementara Hamzah Fansûrî tidak

membuktikan secara burhanî dalam makna sistem Arstotelian bahwa yang mendasari

realitas adalah wujûd sehingga tidak perlu menyampaikan argumentasi-argumentasi

yang sesuai dengan kaidah filsafat Peripatetik. Hamzah Fansûrî menegaskan bahwa

wujûd itu hanya satu, sementara penampakan-penampakan realitas yang mejemuk

adalah bayangan atau tajallî wujûd yang satu itu713. Bagi Hamzah Fansûrî,

kemajemukan pada alam hanyalah penamaan-penamaan. Penamaan-penamaan ini

sebenarnya adalah kesadaran bahwa kemajemukan itu hanyalah proyeksi mental dari

wujûd yang satu. Segala perabotan, seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana

sebenarnya hanya nama-sama. Hakikatnya adalah tanah714. Demikian juga buah

710 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294. 711 Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam…, 57. 712 Thabâthabâ’î, Bidâyah Al-Ḥikmah…, 19. 713 Herawati, “Concerning Ibn ’Arabi’s Account of Knowlegde of God (Ma’rifa) Al

Haqq.”…, 219. 714 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268.

179

catur, seperti raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak hanya penamaan karena

hakikatnya adalah kayu715. Dalam hal ini, Mullâ Sadrâ dan Hamzah Fansûrî sepakat

bahwa realitas eksternal diisi oleh satu wujûd, sementara kemajemukan itu adalah

proyeksi mental meskipun menghasilkan kesimpulan Mullâ Sadrâ menerima

kesatuan dan gradasi wujûd, sementara Wujudiah Hamzah Fansûrî menerima

Kesatuan Wujûd yang manifestasinya terjadi dalam bentuk ta’ayyûn.

Wujûd kharijî dalam istilah Mullâ Sadrâ, yakni alam semesta yang disebut

athar oleh Hamzah Fansûrî, menjadi beraneka ragam sebagai pancaran cahaya Ilahi,

menjadi siang dan malam, maksudnya adalah alam semesta menjadi berbagai-bagai

jenis, ada yang disebut baik, ada yang disebut buruk, semuanya berada dalam Sifat-

Sifat Jamâl dan Jalâl yang muncul dari Rahman dan Rahim. Himpunan dua sifat itu

dianalogikan, seperti himpunan air dan tanah yang menumbuhkan berbagai jenis

kayu-kayuan. Meskipun sebagiannya manis, sebagiannya pahit, asalnya tetap

(isti’dad) dari air dan tanah716.

Kemajemukan alam dari kemajemukan Nama-nama dan Sifat-sifat.

Kemajemukan ini digambarkan sebagai kemajemukan dalam ketunggalan wujûd

dalam skema Mullâ Sadrâ717. Meskipun majemuk, semua kemajemukan itu mengalir

di dalam ketunggalan. “Adapun Dhat Allah Amat suchi,” kata Hamzah Fansûrî718.

Analoginya seperti bahr al-‘amiq, yakni laut yang dalam. Dzat Haqq Ta’alâ tidak

terjangkau. Dia tiada terhingga dan tiada berkesudahan.

Mullâ Sadrâ dengan mudah dapat menjelaskan bagaimana kemajemukan itu

muncul karena dia berpandangan bahwa objek pengetahuan sebenarnya adalah

berada dalam diri subjek719. Kemajemukan itu dibentuk oleh fakultas jiwa dalam

ranah inteleksi. Pembentukan ini terjadi karena pada realitas eksternal yang nyata

adalah satu wujûd yang bergradasi. Gradasi ini terjadi karena perbedaan

kecenderungan dari sifat-sifat Ilahi.

Bahkan, penjelasan-penjelasan Mullâ Sadrâ tentang munculnya kemajemukan

dari ketunggalan mirip dengan pandangan Wujudiah720. Keberadaan kemajemukan

objek dalam diri subjek itu tentunya diinspirasi oleh sistem Wujudiah yang telah

digambarkan oleh Ibn ‘Arabî. Di antara analogi yang digunakan Ibn ‘Arabî untuk

menggambarkan kejadian kemajemukan dari ketunggalan adalah angka. Yang

merupakan realitas hakiki adalah satu. Satu hadir pada setiap angka lainnya. Setiap

angka lainnya bertopang pada satu. Semua angka kembali kepada angka satu.

Gambaran inilah yang dapat diduga sepertinya menginspirasi Mullâ Sadrâ

715 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294. 716 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 151. 717 Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 141–142. 718 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 269. 719 Mullâ Sadrâ, Al-Hikmah Muta’aliyyah Fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol.

3…, 249. 720 Pandangan ini dikemukakan oleh Muhammad Nur Jabir. Dia mengatakan bahwa

kemajemukan hadir dari ketunggalan, oleh Mullâ Sadrâ berasal dari Nafs al-Rahman. Konsep

Nafs Al-Rahman sebenarnya adalah konsep dalam ’irfân. Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî

Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ.., 28.

180

menggambarkan gradasi wujûd karena skema analogi kesatuan dan kemajemukan

angka identik dengan skema gradasi wujûd721.

Realitas kemajemukan adalah pada kecenderungan Sifat-sifat dan Nama-nama.

Hamzah Fansûrî mengatakan, hal-hal yang dalam sensasi manusia dianggap baik

adalah karena kecenderungan Jamâl. Hal-hal yang dalam sensasi manusia dipandang

sebagai yang kurang baik, seperti cobaan dan teguran adalah karena kecenderungan

Jalâl. Namun demikian, semuanya muncul dari Rahman dan Rahîm melalui napas

Mahakasih. Adapun Rahman adalah segala himpunan Jalâl dan Rahim adalah segala

himpunan Jamâl722.

Dalam Wujudiah, alam semesta memiliki wujûd karena pemberian Haqq

Ta’alâ. Prosesnya adalah melalui tajallî Haqq Ta’alâ melalui Ilmu-Nya. Objek

pengetahuan-Nya adalah ‘ayân al-tsabîtah yang merupakan sumber segala modalitas

realitas eksternal yang majemuk. Sebagai objek pengetahuan Tuhan, tentunya

semuanya berada dalam Wujûd-Nya723. Hal ini sesuai dengan gambaran Mullâ Sadrâ

bahwa objek pengetahuan itu berada dalam diri subjek724. Sebagaimana suatu

mâhiyâh yang muncul dari persepsi sehingga memunculkan pengetahuan, demikian

juga alam semesta sebagai wujûd berada dalam wujûd Haqq Ta’alâ. Tidak terpisah,

dan bahkan “dalam” Diri-Nya725. Perbedaannya adalah, pengetahuan manusia adalah

pada menangkap aksiden dari wujûd. Sementara pengetahuan Tuhan yang menjadi

alam adalah pada hakikatnya, yakni pada Wujûd-Nya. Namun demikian, mâhiyâh

yang menjadi modus pengetahuan yang berada dalam diri manusia, juga tidak dapat

disebut ketiadaan karena mâhiyâh itu adalah cara intelek menangkap wujûd, yakni

dengan melimitasinya sedemikian rupa726. Dalam hal ini, limitasi bukan hanya

kecenderungan kreativitas inteleksi, melainkan karena gradasi dalam wujûd menurut

skema Mullâ Sadrâ727 atau kecenderungan Sifat-sifat dan Nama-nama dalam skema

Hamzah Fansûrî728.

Kemajemukan yang hadir dari kecenderungan-kecenderungan Nama-nama

dan Sifat-sifat dianalogikan Hamzah Fansûrî, “Seperti seorang Muhammad

namanya; jika ia ber’ilmû, ‘alîm namanya; jika ia pandai, utus namanya; jika ia tahu

menyurat, katib namanya; jika ia berniaga; saudagar namanya.”729 Persis seperti

satu orang yang sebutannya berbagai-bagai, tergantung pada hal-hal yang dapat

721 Kesatauan mengalir pada kemajemukan dan kemajemukan kembali kepada

kesatuan dalam gambaran taskîk al-wujûd Mullâ Sadrâ mirip dengan skema analogi angka

satu mengalir dalam angka-angka lainnya, dan semua angka kembali kepada angka satu dalam

gambaran Ibn ’Arabi. Lihat, Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla

Sadrâ, 27; Miswari, “Filosofi Komunikasi Spiritualitas: Huruf Sebagai Simbol Ontologi

Dalam Mistisme Ibn ’Arabî,” Al-Hikmah 9, no. 14 (2017): 12–30. 722 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 262–264. 723 Ansori, M. Afif, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansûrî…, 122. 724 Sadra, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol. III…,

313. 725 Rahman, Filsafat Sadra…, 111. 726 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Presen…t, 68–69. 727 Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 35–36. 728 M. Afif Ansori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansûrî…, 87. 729 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 240.

181

diidentifikasi darinya. Ketika berilmu, disebut ‘alîm’, ketika memiliki keahlian

tertentu disebut utus, ketika suka menulis disebut katîb, ketika berdagang disebut

saudagar. Demikian juga nama-nama Allah karena menjadikan makhluk disebut

Khâliq. Demikian juga wujûd yang satu, ketika wujûd dapat dianalisis menjadi

berbagai perspektif, dari satu wujûd memunculkan keberagaman730.

Terkait dengan hubungan ketunggalan dan kemajemukan, konsep cahaya

dalam pandangan Abû Hamid al-Ghazalî menyatakan bahwa cahaya adalah sesuatu

yang melaluinya menjelma sesuatu. Secara metaforis, dalam skema cahaya terdapat

pemberi dan penerima cahaya. Namun secara riil, yang terjadi adalah pemberian

cahaya sehingga dalam gambaran Abû Hamid al-Ghazalî, cahaya hanya menjadikan

sesuatu menjadi tampak731. Sementara menurut Mullâ Sadrâ, cahaya adalah wujûd

dengannya segala sesuatu menjelma732. Pandangan Mullâ Sadrâ733 tentang cahaya

mirip dengan pandangan Hamzah Fansûrî. Ketika menggambarkan alam semesta

sebagai athar cahaya wujûd, Hamzah Fansûrî hendak mengatakan bahwa alam

semesta adalah suatu eksistensi yang mengada dan dengannya alam semesta terjadi.

Tidak ada sensasi pemberi dan penerima dalam gambaran Hamzah Fansûrî. Hal ini

karena, “Memberikan wujûd pada sekalian ‘alam,” yang dimaksudkan Hamzah

Fansûrî adalah suatu athâr, yakni sebagai konsekuensi wujûd yang terjadi dalam

Asma’, Af’al, Sifat734.

Perbedaan pandangan antara Hamzah Fansûrî dan mutakâllimîn dalam

mengorientasikan terminologi cahaya adalah bahwa Hamzah Fansûrî menggunakan

cahaya sebagai analogi wujûd Haqq Ta’alâ yang digambarkan dengan matahari dan

cahayanya. Meskipun inteleksi memisahkan matahari dan cahayanya, hakikatnya

adalah satu735. Demikian pula pandangan Hamzah Fansûrî dalam menggambarkan

wujûd Haqq Ta’alâ dan wujûd makhlûqat. Sementara dalam pandangan

mutakallimîn, matahari berbeda dengan cahayanya sehingga wujûd Tuhan dibedakan

dengan wujûd makhluk736. Konsekuensi dari pandangan mutakâllimîn tersebut

adalah meniscayakan keterbatasan bagi wujûd Tuhan. Batas wujûd Tuhan adalah

wujûd makhluk. Padahal, Wujûd Tuhan meliputi segala sesuatu. Hal itulah yang

membuat pandangan wujûd sebagai ekuivokal bermasalah.

Mullâ Sadrâ melihat bahwa wujûd yang tunggal pada realitas itu bergradasi

sesuai dengan perbedaan antar mâhiyâh. Bila merujuk kembali pada status gradasi

dalam Mullâ Sadrâ, dalam penafsiran tertentu maka mâhiyâh adalah produksi mental

semata yang sifatnya identik dengan status bayangan di dalam cermin dalam

pandangan Wujudiah Hamzah Fansûrî. Sebab itulah, beberapa pengkaji Mullâ Sadrâ

berkesimpulan bahwa filsafat Mullâ Sadrâ adalah pandangan yang menerima

730 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 240. 731 Abû Hamid al-Ghazalî, Misykât al-Anwâr fî Tawhîd al-Jabbâr, (Lebanon: Dâr al-

Fikr, 1994), 76-77. 732 Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemikiran Mullâ Sadrâ…, 140. 733 Seyyed Hossein Nasr, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Mullâ Sadrâ : Sebuah Terobosan

Dalam Filsafat Islam (Jakarta: Sadra Press, 2017), 130. 734 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268. 735 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 128. 736 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 242.

182

kesatuan wujûd atau disebut dengan Wujudiah737. Namun, sebagian filosof Neo-

Sadrian sepakat bahwa filsafat Mullâ Sadrâ adalah menerima wahdah (kesatuan)

sekaligus taskîk (gradasi) wujûd738. Dalam sistem tasykîk, prinsipnya adalah

perbedaan adalah persamaan itu sendiri. Keragaman adalah ketunggalan itu sendiri.

Perbedaannya adalah pada sisi intensitas, prioritas, dan kesempurnaan. Dalam hal ini,

mengesankan bahwa keberagaman itu diterima Mullâ Sadrâ menunjukkan bahwa

ajarannya adalah tidak bisa dilepaskan dari varian filsafat karena sekaligus Mullâ

Sadrâ menerima kesatuan wujûd maka pada sisi ini Wujudiah Hamzah Fansûrî dan

filsafat Mullâ Sadrâ dapat ditemukan kesamaannya. Namun, kesamaan identik antara

keduanya adalah mereka sama-sama menerima wujûd sebagai univokal dan menjadi

dasar realitas.

Peneliti Mullâ Sadrâ, Cipta Bakti Gama mengatakan bahwa aksiomatik konsep

wujûd yang juga berstatus sebagai univokal tentunya meniscayakan ketunggalan

realitas wujûd sebagai acuan konsepnya739. Sehingga dalam hal ini, realitas wujûd

dalam filsafat Mullâ Sadrâ adalah tunggal740. Dengan demikian, pandangan ini mirip

dengan pandangan Hamzah Fansûrî yang menyatakan bahwa wujûd itu tunggal.

Sebagaimana raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak adalah berasal dari kayu.

Demikian juga kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana adalah dari tanah741. Tâskîk

dalam wujûd dianggap maknanya tetap merupakan satu wujûd karena gradasi terjadi

pada tingkat intensitas, prioritas, potensialitas-aktualitas, dan sebagainya, yang mana

semua itu terjadi dalam wujûd. Sementara wujûd itu tunggal sehingga tâskîk juga

merupakan kesatuan wujûd. Bahkan, peneliti Mullâ Sadrâ lainnya, Muhammad Nur

Jabir mengatakan bahwa tasykîk al-wujûd adalah tahapan yang dilakukan Mullâ

Sadrâ untuk menjustifikasi Wahdah al-Wujûd yang merupakan esensi filsafat Mullâ

Sadrâ742.

Sesuai dengan aksiomatik pengetahuan tentang wujûd dalam epistemologi

Mullâ Sadrâ, tasykîk itu sendiri bersifat aksiomatik. Cipta Bakti Gama menjustifikasi

pandangan bahwa tasykîk itu bersifat aksiomatik dengan menunjukkan bahwa

sejatinya pengetahuan adalah tentang wujûd, bukan kategori-kategorinya karena

kategori itu hanyalah hasil proyeksi mental. Sementara itu, kategori adalah alasan

munculnya tasykîk743. Sebenarnya, filosof yang menerima kesatuan wujûd tidak

hanya Mullâ Sadrâ. Ibn Sînâ sendiri, bahkan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî juga

menerima kesatuan wujûd. Sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman, Ibn Sînâ

mengatakan bahwa sesungguhnya wujûd adalah satu-satunya hakikat realitas yang

737 Diskursus hubungan Wahah al-Wujûd dan filsafat wujûd Mullâ Sadrâ , lihat, Labib,

Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi…, 203–205; Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn

‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 113–114. 738 Konsep ini disebut Fazlur Rahman sebagai ambiguitas sistem tasykîk. Rahman, The

Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi), 34. 739 Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat Kontemporer…,

115. 740 Sadra, Al-Masya’ir…, 3. 741 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268. 742 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 86–87. 743 Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat Kontemporer…,

116–117.

183

dimiliki Tuhan. Sementara wujûd lainnya, sebagai mumkîn al-wujûd, wujûd mereka

diberikan oleh Tuhan744. Demikian juga Syihab al-Dîn al-Suhrawardî yang

menyatakan bahwa Tuhan adalah wujûd Murni. Bahkan, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî

sempat mengatakan bahwa diri manusia juga merupakan wujûd murni dalam

intensitas yang berbeda745. Gagasan Syihab al-Dîn al-Suhrawardî tersebut sebenarnya

ikut menginspirasi Mullâ Sadrâ merumuskan konsep kemendasaran dan kesatuan

wujûd yang bergradasi. Namun sayangnya, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî mengingkari

pandangannya sendiri itu ketika mengulas persoalan epistemologis dengan

mengatakan bahwa wujûd dalam ranah mental hanyalah gagasan umum yang tidak

memiliki acuan pada realitas eksternal746. Namun demikian, pemikir yang secara

konsisten mengakui kemendasaran wujûd adalah Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ.

Dalam hal pengakuan kemendasaran wujûd, persamaan keduanya dapat dikatakan

ekuivalen (identik).

Meskipun mengenai mengenai kesatuan wujûd, antara Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ tidak dapat dikatakan identik karena penerimaan Mullâ Sadrâ atas

kemajemukan (taskîk). Namun, apabila hanya pada status univokasi konsep wujûd

dan kemendasaran status wujûd pada realitas eksternal, relasi antara gagasan wujûd

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ adalah relasi keidentikan (ekuivalen) karena secara

tegas keduanya meyakini bahwa konsep wujûd itu univokal. Sementara pada realitas

eksternal, keduanya juga berpandangan bahwa wujûd adalah dasar bagi realitas.

7. Pengenalan Diri sebagai Langkah Menuju Pengetahuan Sejati

Kesamaan lainnya antara ajaran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ adalah

pentingnya pengenalan diri sebagai langkah awal memperoleh pengetahuan sejati.

Keberhasilan tahap pengenalan diri adalah sucinya jiwa dari berbagai kecenderungan

yang sejatinya tidak bermanfaat. Dalam gambaran Hamzah Fansûrî, manusia adalah

umpama perahu yang harus mempersiapkan bekal. Sementara Mullâ Sadrâ

menegaskan bahwa daya jiwa manusia memiliki potensi besar untuk menghasilkan

pengetahuan sejati.

Jiwa butuh terjadinya kesempurnaan jasad untuk mengaktual. Namun

selanjutnya, jiwa tidak membutuhkan jasad karena setiap materi adalah aksiden asing

maka itu mustahil bagi jiwa yang bersifat nonmateri. Kebutuhan jiwa pada materi

hanya pada awal aktualitasnya747. Bila terjadi kerusakan pada raga, tidak berpengaruh

pada jiwa yang telah aktual748. Sebab itulah, Hamzah Fansûrî menganjurkan untuk

mempersiapkan bekal pada diri manusia yang dianalogikan dengan perahu selama di

dunia yang dapat dianalogikan dengan daratan. Karena setelah kematian nanti atau

selama di lautan, bekal yang dimaksud, yakni amalan menjadi andalan selama

pelayaran di lautan, yakni ketika terjadinya kesempurnaan aktualitas jiwa.

744 Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 28–29. 745 Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, “Hikmah Al-Isyrâq,…” 22. 746 Izutsu,Toshihiko, The Concept and Reality of Existence (Islamic Book Trus: Kuala

Lumpu, 2007), 175–176. 747 Sadra, Al-Syawâhid Al-Rubûbiyyah Fî Al-Manâhij Al-Sulûkiyyah…, 318. 748 Sadra, Al-Hikmah Muta’aliyyah Fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol. 8…,

225-226.

184

Hai muda arif budiman

Hasilkan kemudi dengan pedoman

Alat perahumu juga kerjakan

Di sanalah jalan membetuli insan

Perteguh juga alat perahumu

Hasilkan bekal air dan kayu

Dayung pengayuh taruh di situ

Supaya laju perahumu itu749

Filsafat Mullâ Sadrâ menerima fakultas jiwa sebagaimana digambarkan oleh

al-Hikmah al-Masya'iyyah, dan mengatakan bahwa bahwa persepsi adalah daya jiwa.

Kegiatan ini berada pada beberapa fakultas jiwa, yakni persepsi, imajinasi, estimasi,

dan inteleksi. Persepsi indrawi bersifat individual dengan gabungan materi dan

bentuk. Persepsi imajinasi bersifat fantasi individual, dengan telah melepaskan aspek

materi dan hanya menyimpan formanya750. Karya-karya Wujudiah Hamzah Fansûrî

yang merupakan sebuah informasi atas pengalaman hudhûrî tentunya disampaikan

melalui ilmu hushûlî. Dengan analogi-analogi yang disampaikan, Hamzah Fansûrî

ingin mengajak para pembacanya untuk memahami ajarannya751. Proses pemahaman

atas ajaran-ajaran tersebut melibatkan berbagai tingkatan daya jiwa. Pesan-pesan itu

ingin mengajak untuk menyadari bahwa berbagai analogi itu sebagai cara untuk

memudahkan pengetahuan atas hakikat ajaran yang dimaksud. Karena untuk

mencapai hakikat makna, adalah dengan melalui ilmu hudhûrî, bukan ilmu hushûlî.

Demikian juga Mullâ Sadrâ menggunakan pendekatan filsafat tujuannya juga untuk

menyampaikan pengalaman hudhûrî melalui ilmu hushûlî752.

Munculnya buih hanya sejenak saja, lalu kembali menjadi air. Sebenarnya,

demikianlah kehidupan di dunia dan segala aktualitas alam materi hanya bersifat

sementara. Mullâ Sadrâ mengatakan bahwa alam jasad hanya bersifat sementara.

Demikian juga Hamzah Fansûrî berpandangan bahwa makhluk secara zahir hanya

bersifat sementara dan akan kembali kepada batinnya. Zahirnya alam yang

dianalogikan dengan buih juga dianalogikan dengan pesuluk yang harus kembali

749 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 16. 750 Persepsi estimasi bersifat individual dengan melepaskan materi dan bentuk.

Persepsi inteksi adalah bersifat universal. Ketika dahaga, itu nama disebut estimasi. Ketika

membayangkan air, itu sedang berimajinasi. Ketika melihat air, itu namanya persepsi indrawi.

Ketika menalar bahwa air itu menghilangkan dahaga, itu namanya inteleksi. Kemajemukan

daya jiwa tidak menunjukkan keberagaman jiwa. Semua tingkatan pengetahuan adalah

kehadiran jiwa pada tingkatan yang berbeda. Miswari, Filsafat Terakhir…, 148. 751 Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa analogi-analogi yang dibuat itu maksudnya

agar ajaran Wujudiah yang diajarkan dapat dipahami. Dalam hal ini, antara lain dia

mengibaratkan laut dan ombak sebagai kiasan bagaimana sebenarnya yang dituntut dari

pengetahuan atas ombak sebagai pengetahuan representasi adalah untuk memahami laut

sebagai kiasan dari hakikat dibalik objek representasi (ombak). 752 Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemikiran Mullâ Sadrâ …, 204.

185

(wasil) kepada air yang dianalogikan dengan Haqq Ta’alâ753. Maksudnya adalah,

seorang pesuluk harus benar-benar melenyapkan dirinya hingga tidak lagi

menemukan dualitas antara dirinya dan Haqq Ta’alâ. Bila masih menemukan

dualitas, itu artinya belum sempurna perjalanan spiritualnya754. Namun untuk

menghindari salah paham terhadap pemikirannya, Hamzah Fansûrî mempertegas

bahwa makna wasil juga hanya sebagai kiasan untuk menggambarkan bahwa seorang

sufi harus benar-benar mampu melenyapkan identitas-identitas kediriannya hingga

menyadari bahwa hanya Haqq Ta’alâ saja wujûd yang tunggal. Itulah yang dimaksud

dengan tauhid sejati. Untuk itu, syariat tetap harus dijaga dengan teguh755.

Namun demikian, Hamzah Fansûrî tetap menegaskan pentingnya syariat

karena syariat adalah jalan yang objektif untuk memadu manusia menuju makrifat.

Syariat juga merupakan standar berkehidupan karena sufi yang benar adalah dia yang

tetap melakukan kerja-kerja kemanusiaan756. Syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat

adalah jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh pengetahuan sejati. Sementara

Mullâ Sadrâ mengatakan bahwa bahwa sufi muta’allih adalah dia yang melakukan

empat perjalanan, yaitu al-safâr min al-Khalq ilâ al-Haqq, yakni perjalanan dari

makhluk menuju al-Haqq; al-safar bi al-Haqq fî al-Haqq, yakni perjalanan dengan

al-Haqq dalam al-Haqq; al-safâr min al-Haqq ilâ al-Khalq bî al-Haqq, yakni

perjalanan dari al-Haqq menuju makhluk bersama al-Haqq; dan al-safâr bi al-Haqq

fî al-khalq, yakni perjalanan dalam makhluk bersama al-Haqq. Perjalanan terakhir ini

menunjukkan bahwa tingkat tertinggi perjalanan spiritual adalah dalam aktivitas

kemanusiaan guna transendensi umat manusia757.

Dalam hal ini, Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ menekankan pentingnya

pengenalan diri atau perjalanan ke dalam diri untuk meraih pengetahuan sejati.

Perbedaannya hanya konsep yang digunakan untuk menjelaskan langkah-langkah

tersebut. Hamzah Fansûrî menegaskan pentingnya syariat, tarekat, hakikat, dan

makrifat. Penjelasan makna dari empat perjalanan itu dijelaskan secara detail dalam

karyanya, Syarâb. Sementara Mullâ Sadrâ menjelaskan empat perjalanan spiritual

yang disebut asfar arba’ah secara detail dalam karyanya, Asfar758. Tujuan perjalanan

spiritual dan pengenalan diri yang disepakati Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

dengan bahasa teknis masing-masing yang berbeda itu supaya manusia memperoleh

pengetahuan sejati yang disebut dengan ilmu presentasi (hudhûrî).

Mullâ Sadrâ dan Hamzah Fansûrî Fansûrî sama-sama berpandangan bahwa

pengenalan diri sebagai langkah awal menuju pencapaian pengetahuan sejati

(hudhûrî). Kemudian, keduanya juga sepakat siapa yang telah mencapai pengetahuan

sejati itu, untuk terjun ke tengah masyarakat agar masyarakat juga dapat memperoleh

pengetahuan tersebut.

753 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294–295. 754 Schimmel, “Mystical Dimensions of Islam,”…, 448–450. 755 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 296. 756 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 296. 757 Dahlan Lama Bawa, “Pemikiran Pendidikan Mulla Shadra,” TARBAWI : Jurnal

Pendidikan Agama Islam 1, no. 2 (January 22, 2017): 123–128,

https://journal.unismuh.ac.id/index.php/tarbawi/article/view/365. 758 ahlan Lama Bawa, “Pemikiran Pendidikan Mulla Shadra,”…, 39–41.

186

Namun, terdapat sedikit perbedaan antara keduanya dalam konteks ini.

Menurut tinjauan atas karya-karya mereka masing-masing, Hamzah Fansûrî lebih

menekankan untuk berproses melalui syariat dan tarekat. Sementara Mullâ Sadrâ

lebih menekankan untuk berproses melalui kesadaran rasional dalam sistem filsafat.

Dalam hal ini, relasi keduanya adalah relasi umum-khusus satu sisi. Sisi

perbedaannya adalah Hamzah Fansûrî mengajak melalui syariat dan tarekat karena

untuk mencapai makrifat prosesnya adalah melalui syariat dan tarekat. Sementara

Mullâ Sadrâ mengajak melalui pemahaman rasional-filosofis (filsafat) karena

orientasi pengenalan diri dalam sistem filsafat Mullâ Sadrâ adalah sebagai prasyarat

memperoleh pengetahuan sejati (hudhûrî). Sementara ilmu hudhûrî baginya

merupakan sebuah persiapan menemukan aksioma bagi penalaran filsafat.

8. Ilmu Hudhûrî sebagai Pengetahuan Sejati

Persamaan lainnya antara ajaran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ adalah

pengakuan dan penerimaan bahwa pengetahuan sejati hanya bisa didapatkan melalui

ilmu presentasi (hudhûrî). Keduanya juga sepakat bahwa perjalanan menyucikan diri

sebagai langkah meraih pengetahuan tersebut. Pengetahuan hudhûrî inilah yang

menghantarkan pengetahuan pada hakikat realitas, yakni wujûd. Dalam ajaran Mullâ

Sadrâ, pengetahuan tentang wujûd adalah pengetahuan tentang hakikat realitas, yakni

eksistensi realitas. Sementara pengetahuan tentang mâhiyâh adalah limitasi mental

atas realitas yang membentuk identitas mental sehingga membedakannya dengan

mâhiyâh atau ke-sesuatu-an lainnya759. Demikian juga dalam analogi Hamzah

Fansûrî, secara hakikat seharusnya yang lebih dahulu diketahui adalah tanah yang

dianalogikan dengan wujûd, bukan kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana.

Namun, yang dialami adalah kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana lebih

terdahulu dikenal karena pengetahuan yang digunakan adalah pengetahuan

representasi (hushûlî) karena untuk mengetahui hakikat haruslah menggunakan ilmu

presentasi sehingga wujûd bisa dikenali. Pada hakikatnya, kendi, buyung, periuk,

tempat, dan bejana adalah tanah. Demikian juga secara hakikat, raja, menteri, gajah,

kuda, benteng, dan bidak adalah kayu. Namun untuk mengenal kayu, perlu dengan

ilmu presentasi (hudhûrî )760.

Pengetahuan representasi (hushûlî) sebagai suatu sistem epistemologi yang

dipisahkan dengan ontologi harus diterima sebagai transformasi konseptual761.

Karena itu, awal pengetahuan tentunya adalah mengetahui partikularitas (tajribî),

seperti mengetahui kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana atau mengetahui raja,

menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak. Selanjutnya, partikularitas-partikularitas

persepsi indrawi masuk ranah mental untuk dianalisis (burhanî) sehingga

menghasilkan konsep abstrak dari berbagai partikularitas. Misalnya, dalam

partikularitas raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak, dapat dihasilkan konsep

759 Thabâthabâ’î, Bidayah al-Ḥikmah…., 19. 760 Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts…,

160. 761 Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi…, 146.

187

abstrak “buah catur” atau dalam partikularitas kendi, buyung, periuk, tempat, dan

bejana menghasilkan konsep universal “perabotan”762.

Sistem kemenyatuan subjek dan objek yang menjadikan filsafat Mullâ Sadrâ

memiliki persamaan dengan dengan tasawuf Hamzah Fansûrî. Tasawuf Hamzah

Fansûrî meyakini bahwa realitas adalah aktualitas dari Haqq Ta’alâ dan keseluruhan

realitas adalah kehadiran Haqq Ta’alâ. Maka dari itu, Mullâ Sadrâ dalam hal ini

bertemu dengan tasawuf Hamzah Fansûrî karena mengakui bahwa pengetahuan

representasional hanyalah membentuk batasan bagi realitas yang tunggal sehingga

terproyeksi menjadi majemuk yang mana dengan itu aksidentalitas suatu identitas

terbentuk yang menjadikannya kesesuatuan (mâhiyâh)763. Sebab itulah, tasawuf

Hamzah Fansûrî mengatakan bahwa munculnya beragam bentuk perabotan rumah

tangga, seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana hanyalah penamaannya.

Penamaan itu muncul dari perbedaan kondisi dalam tinjauan representatif. Sementara

hakikatnya, atau yang mendasar padanya adalah tanah764.

Pengetahuan representasi (hushûlî) dengan beragam tingkatannya, seperti

indra, inteleksi765, imajinasi, dan estimasi, berhasil mengidentifikasi partikularitas,

seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana berarti hanya berhasil mengetahui

ke-apa-an sesuatu. Mengetahui ke-apa-an berarti belum mengetahui hakikatnya

karena mengetahui ke-apa-an hanya mengetahui mâhiyâh. Sementara pengetahuan

tentang mâhiyâh itu bersifat sekunder, sedangkan pengetahuan akan hakikat sesuatu

adalah berhasil mengetahui ke-ada-an atau eksistensinya (wujûd). Maka bila belum

mengetahui wujûd-nya, belumlah pengetahuan itu sejati. Mullâ Sadrâ mengatakan,

apabila belum mengetahui secara hudhûrî, belum dianggap memiliki pengetahuan766.

Begitulah pentingnya pengetahuan presentasi (hudhûrî) menurut Mullâ Sadrâ.

Karena itu, hanya mengetahui kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana, namun

belum mengetahui tanah, berarti belumlah memiliki pengetahuan atau baru

mengetahui raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak, namun belum mengetahui

kayu, belum dapat disebut memiliki pengetahuan. Hanya bila setelah mengetahui

tanah yang menjadi hakikat kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana atau telah

mengetahui kayu yang menjadi hakikat raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak,

barulah dapat disebut memiliki pengetahuan. Begitulah pentingnya pengetahuan

hudhûrî bagi Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ767.

Dengan demikian, aspek persamaan Mullâ Sadrâ dan Hamzah Fansûrî telah

dapat diidentifikasi pada ranah epistemologis. Keduanya menerima pengetahuan

representasi (hushûlî) adalah pengetahuan presentasi768. Hamzah Fansûrî

762 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 15. 763 Thabâthabâ’î, Bidayah Al-Ḥikmah…, 18. 764 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268. 765 Beserta ma’qulat awwal dan ma’qulat tsanî dan klasifikasi-klasifikasinya menurut

sistem epistemologi pemikiran Mullâ Sadrâ: Miswari, Filsafat Terakhir…, 179–180. 766 Sadra, Al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fî al-Manâhij al-Sulûkiyyah…, 141. 767 Lihat juga, Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi…, 168.; Taqi

Miṣbâḥ Yazdî, Al-Manhaj al-Jadîd fî Ta’lîm al-Falsafah Vol. 1…, 176. 768 Meskipun menurut Muhsin Labib, Muhammad Taqî Misbah Yazdî tidak

sepenuhnya menerima pendapat ini, namun Muhammad Taqî Misbah Yazdî tetap

menganggap ilmu presentasi tetap lebih signifikan dibandingkan ilmu representasi. Lihat,

188

menggambarkan tahapan-tahapan pencapaian pengetahuan presentasi (hudhûrî)

melalui syariat, tarekat, dan makrifat. Mullâ Sadrâ memberikan penjelasan rasional

mengenai posibilitas pencapaian pengetahuan presentasi769. Dalam skema wujûd,

jiwa termasuk mumkîn al-wujûd yang hanya aktual karena sesuatu selain dirinya.

Aktualitas jiwa terjadi karena sebab sempurna. Sebab sempurna terdiri atas sebab

material, sebab formal, sebab efisien, dan sebab final. Sebab efisien selalu inheren

pada jiwa. Bahkan, Mullâ Sadrâ menyebutkan sebab efisien sebagai Akal aktif ('aql

fa'al). Demikian juga dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî yang menegaskan bahwa

Haqq Ta’alâ adalah yang memberikan wujûd kepada sekalian alam. Dalam hal ini,

menyesuaikan dengan konteks kausalitas Mullâ Sadrâ, demarkasi wujûd dapat

diperbandingkan dalam skema wujûd hakiki dan wujûd wahmî yang dibuat Syed

Muhammad Naquib Al-Attas, bahwasanya alam semesta adalah athar atau efek dari

wujûd yang tunggal770.

Dalam ajaran Mullâ Sadrâ, pengetahuan adalah kehadiran kausa sempurna

sebagai aktualitas jiwa. Status kausa efisien, yakni Akal aktif sebagai aktualisasi jiwa

selalu eksis. Karena bersifat immaterial, maka independen dari kausa material pada

awal aktualitasnya. Sebagai suatu aktualitas, jiwa identik dengan kausa forma

sehingga tidak mungkin hilang. Jiwa aktual mustahil tidak eksis. Eksistensi jiwa

aktual meniscayakan keberadaan objek pengetahuan dalam jiwa atau dalam skema

Hamzah Fansûrî yang disebut dengan athar771. Dengan menyebutkan alam sebagai

athar maka makna segala makhlûqat yang dianalogikan dengan kendi, buyung,

periuk, tempat, dan bejana, meskipun rupa-nya wahmî, ia adalah wujûd. Maksudnya,

rupa-rupa, atau bentuk-bentuk, adalah proyeksi mental yang dalam skema filsafat

disebut mâhiyâh772, namun hakikatnya adalah wujûd karena merupakan athar-Nya773

dalam istilah Hamzah Fansûrî atau mazahir Ilahiyah dalam istilah filsafat Mullâ

Sadrâ.

Mengikuti definisi tentang jiwa, dan menerima sistem kausalitas maka dapat

dikatakan bahwa pengetahuan adalah kehadiran wujûd secara presentasi tanpa

komposisi, kecuali dalam tinjauan mental. Dalam tinjauan mental, berbagai bentuk,

seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana muncul. Namun sebagai suatu objek

pengetahuan, perabotan-perabotan itu adalah athar yang wujûd karena telah diberikan

wujûd. Oleh karena itu, “akibat” dalam tinjauan representasional, realitas

pengetahuan, dan konsepsinya bersifat identik seperti keidentikan substansi dan

Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi…, 167–168 Bandingkan, ; Taqi

Miṣbāḥ Yazdī, Al-Manhaj al-Jadîd fî Ta’lîm al-Falsafah Vol. 1…, 176–177. 769 Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy: Knowledge by

Presence…, 25. 770 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 156–158. 771 Penjelasan tentang makna “athar” dalam skema Hamzah Fansûrî, lihat, Al-Attas,

The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 158–159. 772 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 63. 773 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268.

189

aksiden atau seperti rangkaian gradasi wujûd. Hal ini karena “akibat” dalam skema

Mullâ Sadrâ 774 itu identik dengan athar’775 dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî.

Pandangan tersebut sejalan dengan sistem ontologi Mullâ Sadrâ bahwa realitas

itu tunggal sekaligus bergradasi. Komposisi substansi dan aksiden hanya terjadi pada

ranah mental. Misalnya, tembok putih adalah satu kesesuatuan pada realitas, lalu

hanya menjadi terkomposisi di ranah mental sehingga ketunggalan jiwa dan

keberagaman persepsi adalah wujûd yang satu dan bergradasi776. Kualitas dan aksi

sendiri adalah aksiden. Persepsi adalah aksi, sementara objek pengetahuan adalah

kualitas dari jiwa sehingga pengetahuan adalah kesatuan substansi dan

aksidennya. Kausa efisien dari setiap objek persepsi sesuai dengan surah ilmiyyah

dalam skema Wujudiah Hamzah Fansûrî777 adalah sesuai dengan entitas immaterial

yang disebut intelek aktif (‘aql fa'al) dalam istilah Mullâ Sadrâ778.

Kausa efisien dan kausa final adalah kausa eksternal. Kausa material dan kausa

final adalah kausa internal. Kausa eksternal terbagi menjadi kausa dekat dan kausa

jauh. Kausa dekat adalah hubungan langsungnya dengan efek menjadi pengetahuan

presentasi. Sementara kausa jauh adalah hubungan dengan efek melalui perantara

konsep yang menjadi pengetahuan representasi779. Dalam hal ini, filsafat Mullâ Sadrâ

menunjukkan bahwa pengetahuan itu adalah kesatuan subjek dan objek. Sejatinya,

pengetahuan adalah presentasi. Menjadi representasi karena mental mencoba

memahami pengetahuan dalam bentuk konsep. Sebagaimana analogi Hamzah

Fansûrî, pada hakikatnya pengetahuan adalah tanah. Menjadi kendi, buyung, periuk,

tempat, dan bejana karena mental berusaha memahami objek pengetahuan dalam cara

parsial780.

Sebagaimana dipegang oleh Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ, pengetahuan

adalah bertemunya gagasan abstrak sebagaimana dalam sistem ta’ayyûn Hamzah

Fansûrî: Dia menyaksikan (syuhûd) dirinya dan Dia juga yang disaksikan oleh Diri-

Nya781; dan dalam sistem ittihad aqil wa ma’qûl Mullâ Sadrâ: subjek yang

mengetahui (‘aqil) objek yang diketahui (ma’qûl), dan pengetahuan (‘aql) sebagai

774 Ali Arshad Riahi, “A Study of the Effect of Human Soul on External Objects :

Between Copenhagen School And Mullâ Sadrâ ,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic

Philosophy and Mysticism (2015): 19. 775 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268. 776 Susilo, “Teori Gradasi : Komparasi antara Ibn Sina, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî

dan Mullâ Sadrâ .”…, 159. 777 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 316–317. 778 Rustom, Mohammed, “Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on

Existence, Intellect, and Intuition,” Iranian Studies 45, no. 3 (May 2012): 457–461,

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00210862.2012.655066. 779 Pembahasan lengkap tentang jenis-jenis kausa: Miswari, Filsafat Terakhir, 184–

185 Bandingkan, ; Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam…, 152–

155. 780 Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat Kontemporer,

124. 781 Sandigu, Wahdah al-Wujûd : Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansûrî

Dan Syamsuddin Sumatrani Dan Nuruddin Al-Raniri…, 63.

190

proses pengetahuan782. Baik dalam skema ta’ayyûn Hamzah Fansûrî maupun dalam

skema taskîk al-wujûd Mullâ Sadrâ, pengetahuan terjadi dalam wujûd. Namun, hal

itu merupakan pengetahuan yang subjek dan objeknya berada dalam status ontologis.

Dalam skema Hamzah Fansûrî adalah pengetahuan tentang tanah dan kayu783, atau

dalam skema Mullâ Sadrâ disebut sebagai wujûd784.

Di samping menjadikan pengetahuan hudhûrî sebagai sistem pengetahuan

hakiki, Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ juga menerima pengetahuan

representasional (hushûlî). Pengetahuan yang dapat diperoleh melalui

representasional (hushûlî) adalah pengetahuan mengenai realitas materi yang

diperoleh melalui indra, inteleksi, dan imajinasi785. Dalam sistem hushûlî,

pengetahuan tentang kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana, sebagai bentuk-

bentuk pengetahuan partikular (juz’i). Pengetahuan indrawi yang memersepsikan

partikularitas disebut sebagai ilmu tajribî. Ranah ini disebut juga dengan observasi.

Sains mengutamanakan pendekatan ini786. Selanjutnya, dalam analisis inteleksi dari

partikularitas itu menjadi pengetahuan pengetahuan umum atau abstrak (kullî)

“berbagai-bagai” dapat disebut sebagai konsep “perabotan”. Konsep “perabotan”

sebagai konsep abstrak merupakan kesempurnaan partikularitas. Ranah ini disebut

dengan burhanî. Filsafat dan matematika berada dalam ranah ini.

Objek yang dipersepsikan dengan indra, inteleksi, dan imajinasi, adalah

pengetahuan dalam pembahasan pengetahuan representasi787. Dalam sistem

representasi, indra, inteleksi, dan imajinasi menjadi pendekatannya. Dalam skema

Mullâ Sadrâ, objek pengetahuannya disebut dhihnî karena merupakan proyeksi indra

dan akal. Objek-objek pengetahuan itu meskipun disebut dhihnî, ia bukan merupakan

ketiadaan mutlak788. Sejalan dengan Hamzah Fansûrî, meskipun menyebutkan objek-

objek partikular itu (kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana) sebagai disebut

dengan “nama” dan “rupa” yang sifatnya wahmî, tidak dapat dikatakan ‘adam atau

ketiadaan mutlak. Hal ini karena sebagai aktualitas pengetahuan, seperti kendi,

buyung, periuk, tempat, dan bejana yang menjadi analogi alam semesta, berada dalam

level martabat dalam skema ta’ayyûn789.

Dengan menegaskan bahwa alam semesta adalah wujûd yang meskipun

bentuk-bentuknya beraneka ragam itu adalah proyeksi mental maka ketika

782 Al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra: Konsep Ittihad Al-’Aqil wa Al-Ma’qul dalam

Epistemologi Filsafat dan Makrifat Ilahiyyah, 114. 783 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 268. 784 Sadrâ, Mullâ, Al-Masya’ir (Teheran: Amir Kabir, t.t.), 2–3. 785 Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yazdi…, 144–145. 786 Brambor, Thomas, William Roberts Clark, dan Matt Golder, “Understanding

Interaction Models: Improving Empirical Analyses,” Political Analysis 14, no. 1 (January 4,

2006): 63–82,

https://www.cambridge.org/core/product/identifier/S1047198700001297/type/journal_articl

e. 787 Pembahasan relasi dan demarkasi ranah ontologi dan ranah epistemologi. Lihat,

Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi…, 144–147. 788 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 26. 789 Sandigu, Wahdah al-Wujûd : Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansûrî

Dan Syamsuddin Sumatrani Dan Nuruddin Al-Raniri…, 63.

191

mengatakan keberagaman itu sebagai bentuk, ia bersifat wahmî karena bentuk itu

muncul dari proyeksi mental. Namun, bila yang diacu adalah eksistensinya, ia ada

dan bahkan menjadi dasar realitas790. Bentuk-bentuk partikular itu muncul dari

analisis inteleksi yang merupakan hasil tinjauan aksidentalitas. Aksiden-aksiden itu

adalah buatan inteleksi sehingga disebut wahmî. Akan tetapi, substansinya adalah

wujûd sehingga alam semesta disebut ada dan nyata791.

Melalui pendekatan hushûlî, realitas alam semesta yang merupakan wujûd

dikenal melalui aksiden-aksidennya. Aksiden-aksiden itulah yang menjadi pembeda

antarentitas792. Dalam skema Mullâ Sadrâ, pembeda wujûd disebut mâhiyâh. Melalui

mâhiyâh setiap entitas-entitas dapat dikenali melalui ilmu representasi793. Melalui

ilmu representasi diketahuilah buah catur, seperti raja, menteri, gajah, kuda, benteng,

dan bidak794. Semua itu direpersepsi melalui fakultas jiwa terendah, yakni indra. Indra

dan inteleksi membedakan raja dengan menteri, membedakan gajah dengan kuda, dan

membedakan benteng dengan bidak. Perbedaan-perbedaan itu muncul dari perbedaan

aksiden-aksidenya sehingga membentuk mâhiyâh-nya masing-masing795.

Hasil analisis ilmu hushûlî yang menjelmakan berbagai mâhiyâh: raja, menteri,

gajah, kuda, benteng, dan bidak, ingin dikatakan Hamzah Fansûrî bahwa itu semua,

“Asalnya kayu sepuhun jua. Maka dilarik berbaga-bagai; dinamainya raja, dan

menteri, dan gajah, dan kuda, dan tir dan baidaq. Asalnya kayu sekerat juga

dijadikan banyak796”. Menjadi banyak karena inteleksi telah “melarik” wujûd yang

dianalogikan dengan kayu dalam inteleksi sehingga dalam konsep partikular menjadi

“raja”, “menteri”, “gajah”, “kuda”, “benteng”, dan “bidak” yang sebenarnya pada

realitas eksternal adalah entitas yang satu, yaitu kayu. Sementara dalam konsep

universal, raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak diabstraksikan menjadi

konsep “buah catur”.

Sebenarnya, maksud Hamzah Fansûrî adalah ingin mengatakan bahwa dasar

realitas adalah satu, yakni wujûd yang dianalogikan dengan kayu797. Sementara

kemajemukan yang hadir dalam persepsi, sesuai dengan skema Mullâ Sadrâ798,

adalah berkat karakteristik inteleksi yang menghasilkan aksiden-aksiden untuk tiap-

tiap entitas sehingga menghasilkan kesan berbagai-bagai799. Berbagai perbedaan di

alam yang muncul dari entitas yang satu itu dinamai berbagai nama: batu, gunung,

meja, kursi, dan sebagainya. Disebut “raja”, disebut “menteri”, disebut “gajah”,

disebut “kuda”, disebut “benteng”, dan disebut “bidak”. Meskipun muncul berbagai

nama, hakikatnya itu adalah wujûd yang dari Haqq Ta’ala.

790 Sadrâ, Mullâ, al-Masya’ir…., 3. 791 Alam semesta atau makhluk-makhlum bukan ketiadaan ('adam) tetapinyata, karena

diberikan wujûd oleh Haqq Ta’âlâ. 792 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari…, 16. 793 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 63. 794 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294. 795 Nasr, Seyyed Hossein “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic

Philosophy,” International Philosophical Quarterly (1989): 409. 796 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…., 294. 797 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…., 294. 798 Izutsu, Struktur Metafisika Sabzawari, 153. 799 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294.

192

Hamzah Fansûrî telah menegaskan bahwa karyanya itu hanyalah sebuah

penjelasan konseptual tentang pengalaman hudhûrî. Sementara bila ingin

mengalaminya secara langsung, perlu dengan mencari guru yang benar dalam

suluk800. Syihab al-Dîn al-Suhrawardî sebelumnya telah menegaskan bahwa untuk

mencapai pengalaman tersebut, diperlukan pelatihan yang ketat801. Pentingnya

pengalaman tersebut, untuk dibedakan dengan segala penjelasan penjelasan

tentangnya adalah seperti tamsilan Jalal al-Dîn Rûmî antara mencium mawar dengan

mencium tulisan: m.a.w.a.r802.

Sementara itu, Hamzah Fansûrî dalam Asrâr telah memberikan sedikit

panduan menempuh jalan tersebut, selain dengan mencari guru yang tepat yang dapat

membimbing ke dalam suluk, yaitu dengan menjauhi kecenderungan dunia,

memperbanyak puasa, dan menerapkan kehidupan yang zuhud803. Karena hanya

dengan pengalaman itulah, Haqq Ta’alâ yang tiada awal, tiada akhir, tidak dekat,

tidak jauh, dan tidak di enam arah (sebagaimana analogi buah bundar) menjadi dapat

dikenal sejauh potensi yang dimiliki seorang insan804.

Dalam penerimaan atas perlunya ilmu hudhûrî sebagai sumber pengetahuan

sejati, Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ memiliki kesamaan. Namun, hubungan

kesamaan ini tidak benar-benar identik. Hal ini karena bagi Mullâ Sadrâ, ilmu

hudhûrî hanya menjadi landasan aksiomatis dalam filsafatnya sebagai alternatif bagi

kegagalan definisi dalam pembangunan filsafat. Sementara bagi Hamzah Fansûrî,

ilmu hudhûrî adalah tujuan akhir dari perolehan pengetahuan. Dengan demikian,

relasi dari kesamaan ini adalah relasi umum-khusus mutlak karena bagi Mullâ Sadrâ,

ilmu hudhûrî hanya hanya sebagai modal persiapan dalam berfilsafat. Sementara bagi

Hamzah Fansûrî, ilmu hudhûrî itu adalah fondasi pembangunan sekaligus merupakan

kesempurnaan dari pengetahuan. Sehingga dalam hal ini, ilmu hudhûrî bagi Mullâ

Sadrâ merupakan bagian dari pengetahuan karena dia juga mengembangkan

gagasannya melalui filsafat dalam pendekatan burhanî.

9. Eksistensi Alam Potensial

Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ sama-sama menerima

eksistensi alam potensial yang menjadi sumber menjelmanya realitas alam semesta

yang majemuk. Keduanya memiliki istilah masing-masing dalam mengistilahkan

alam potensial itu. Mullâ Sadrâ sesuai dengan skema Wujudiah mengistilahkannya

dengan ‘ayan al-tsabitah. Sementara Mullâ Sadrâ yang menjelaskan ajarannya dalam

perspektif filsafat mengistilahkannya dengan materi primer (hayûlâ). Sistem ini telah

dibicarakan sejak filsafat Yunani. Dalam pemikiran Islam, sistem tersebut

diakomodir dengan baik dalam filsafat Islam. Dalam tasawufi filosofis, sistem

tersebut juga coba dikaitkan dengan dalil-dalil dalam agama, khususnya dari hadis

qudsi, seperti:

800 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 234. 801 Sholikhin, Muhammad, Menyatu Diri Dengan Ilahi (Yogyakarta: Narasi, 2010),

538. 802 Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), 123. 803 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 279. 804 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 126.

193

“Terdapat suatu ketika Tuhan itu Ada, sementara belum ada apapun bersama-

Nya. Sebenarnya kondisi demikian juga terjadi saat ini. Demikian juga nanti

dan kapan pun.805”

Allama Sir Muhammad Iqbal mengutip pernyataan Abû Yazid al-Bistamî

dengan maksud ingin mengatakan bahwa kemajemukan realitas alam dan bergulirnya

waktu dalam kehidupan manusia sama sekali tidak mengubah apa pun bagi kondisi

Tuhan806. Situasi ini persis seperti yang digambarkan Hamzah Fansûrî bahwa

sekalipun situasi air berubah menjadi uap, menjadi awan, menjadi hujan, menjadi

sungai, kembali lagi ke laut, sama sekali tidak mengubah kemurnian lautan807.

Penjelasan itu untuk menunjukkan bahwa perubahan dalam keberagaman tidak

mengganggu ketetapan Ilahi. Eksistensi alam potensial itu dijadikan bagian dari

argumentasinya. Sebagaimana menganalogikan laut sebagai Wajib al-Wujûd yang

tiada apa pun berubah darinya meskipun berbagai bentuk ombak808, demikian juga

analogi buah yang bundar juga digunakan untuk menyatakan maksud yang sama809.

Bahwa Haqq Ta’alâ dianalogikan dengan:

“… buah [yang] buntar; tiada berhujung dan tiada berpuhun, tiada permulaan

dan tiada berkesudahan, tiada di tengah dan tiada tepinya, dan tiada hadapan

dan tiada belakangnya, tiada kiri dan tiada kanan, tiada atas dan tiada

bawahnya.”810. Ketetapan dan ketidakberhinggaan Haqq Ta’alâ yakni Qadîm

tidak berlaku baginya perubahan dan keberhinggaan811.

Dalam pengalaman fânâ, pesuluk dan ‘urafa tidak lagi mengidentifikasi alam,

merujuk istilah Mullâ Sadrâ, fakultas indrawi, fakultas inteleksi, fakultas imajinasi,

dan fakultas inteleksi812. Semua fakultas itu merupakan fakultas jiwa yang memiliki

batasan. Semua fakultas itu ditempuh melalui ilmu hushûlî813. Karakteristiknya

adalah pembentukan entitas yang meniscayakan perbedaannya dengan entitas yang

lain (nonkontradiksi).

Hamzah Fansûrî menganalogikan kondisi tersembunyi seperti biji. Haqq

Ta’alâ sebagai Dzat yang tidak dapat dijangkau oleh siapa pun dianalogikan dengan

bahr al-amiq. Sebagai entitas yang sama sekali tidak dapat dijangkau, Hamzah

Fansûrî menyebut ranah itu sebagai lâ ta’ayyûn, yakni kunhî al-dhatî al-haqqî814.

Tidak ada yang dapat menjangkau. Sementara dalam filsafat, ranah tersebut sama

sekali tidak disentuh. Meskipun filsafat Mullâ Sadrâ menerima keniscayaan ilmu

805 Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Relegius dalam Islam…, 129. 806 Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Relegius dalam Islam…, 54. 807 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 274. 808 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 274. 809 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 126. 810 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 240. 811 Mufrodi, “Alam Semesta Dan Keabsolutan Tuhan.”…, 335. 812 Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 225. 813 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 13. 814 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn…, 315.

194

hudhûrî815, dikaitkan dengan pengalaman fânâ ‘urafâ maka ‘urafâ mengaku bahwa

wilayah yang dapat mereka jangkau dalam pengalaman itu hanyalah ‘ayân al-

tsabîtah. Mereka mengakui adanya maqâmât di atasnya, tetapi tidak dapat

menjangkaunya816.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Hamzah Fansûrî yang mengakui bahwa,

jangankan sufi, nabi, dan malaikat muqarrabîn sekalipun tidak dapat menjangkau

Dzat Haqq Ta’alâ. Hal ini didukung dengan hadis Nabi Muhammad yang

mengatakan, “Maha Suci Engkau, tiada kukenal Diri-Mu dengan sempurna

kenal”817. Situasi ini digambarkan Hamzah Fansûrî dalam ‘Syarâb al-Asyiqin’:

“Ketahui bahwa kuhi Dhat Haqq Subhanahu wa Ta’ala ini dinamai Ahlul

Suluk la ta’ayyûn. Maka dinamai la ta’ayyûn karena budi (burhanî), dan

bichara (bayanî), ‘ilmu (nazarî), dan ma’rifat (‘irfanî) kita tiada lulus

kepadanya. Jangankan ilmu dan ma’rifat kita, anbiya dan uwliya pun

hayran.”818

Maka dengan itu, adalah mustahil membahas tentang Dzat Haqq Ta’alâ

sebagaimana dianalogikan Hamzah Fansûrî dengan bahr al-amiq. Segenap potensi

yang dimiliki manusia tidak membuka peluang untuk itu. Ranah yang dapat dijangkau

adalah maqamat ta’ayyûn. Ranah ini dianalogikan dengan laut yang telah berelasi

dengan ombak.

Pada pembahasan ta’ayyûn yang telah menjadi manifestasi atau tajallî itulah

yang dapat menjadi pembahasan tasawuf, filsafat, dan logika. Pada ta’ayyûn pertama,

terdapat ‘Ilmû, Wujûd, Syuhûd, dan Nûr. Dalam status ini, dengan adanya ‘Ilmû maka

terdapat tiga entitas, yakni “yang mengetahui (alîm)”, “yang diketahui (ma’lûm)”,

dan hubungan keduanya disebut dengan “ilmû (pengetahuan)”. Skema ini sesuai

dengan konsep ittihâd aqîl wa ma’qûl dalam sistem filsafat Mullâ Sadrâ819.

Kesatuan yang mengetahui dan yang diketahui dianalogikan oleh Hamzah

Fansûrî dengan laut dan ombak. Laut dianalogikan dengan yang mengetahui dan

ombak dianalogikan dengan yang diketahui. Hubungan keduanya disebut dengan

pengetahuan820. Dengan demikian, ombak yang menjadi analogi pengetahuan dari

Haqq Ta’alâ, berada dalam manifestasi Haqq Ta’alâ sehingga dapat diketahui

manusia. Demikian pula dengan alam semesta dan segenap makhluk dapat dikenal

manusia karena telah menjelma. Persis seperti laut, yang dapat dilihat adalah ombak

pada permukaannya821.

Dalam Syarâb, objek pengetahuan Tuhan itu disebut dengan ‘ayân al-tsabîtah,

yaitu sumber tetap yang menjadi potensi segala sesuatu atau disebut suwar ilmiyah

815 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 87. 816 Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology…,

354. 817 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 271. 818 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn"…, 315. 819 Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra…., 112. 820 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 154. 821 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 252.

195

yaitu gambaran ilmu Tuhan atau disebut haqîqat al-asyâ’, yaitu hakikat segala

sesuatu atau disebut rûh idhâfî, yaitu sumber segala jiwa822. Dalam skema Hamzah

Fansûrî, semua itu disebut ta’ayyûn awwal yang dianalogikan dengan laut. Ketika

laut timbul dinamakan ombak, yakni ketika Tuhan memandang Diri-Nya. Ketika

memancarkan Diri-Nya kepada ‘ayân al-tsabîtah disebut dengan rûh idhâfî, itu

dianalogikan dengan uap air laut823 dan berhimpun di udara disebut dengan ‘ayân al-

tsabîtah yang dianalogikan dengan awan karena padanya berhimpun segala ketetapan

yang hendak memancar ke alam. Ketika rûh idhâfî dengan ‘ayân al-tsabîtah keluar

dengan kûn, dianalogikan dengan air hujan. Ketika mengalir di bumi, yakni ‘ayan

tsabiytah, rûh idhafî, dan isti’dad aslî, dianalogikan dengan sungai. Semua itu

kembali ke laut yang tetap seperti pada pemberian Haqq Ta’alâ yang tidak sedikit

pun mengubah Diri-Nya824.

Gambaran kejadian semesta seperti analogi di atas hendak menunjukkan

bahwa wujûd alam semesta berasal dari Haqq Ta’alâ yang dianalogikan dengan laut

dan semuanya kembali kepada laut. Kejadian kemajemukan dalam kesatuan ini

sangat mudah ketika dipahami dalam sistem taskîk al-wujûd Mullâ Sadrâ, yang mana

segala kemajemukan berasal dari ketunggalan, ketunggalan mengalir di dalam

kemajemukan, dan kemajemukan kembali kepada ketunggalan825. Karena itu, segala

ta’ayyûn itu sejatinya berada dalam Haqq Ta’alâ. Tidak ada apa pun yang terpisah

dari-Nya. Dalam hal ini, Hamzah Fansûrî juga hendak menyanggah pandangan

teologis yang mengatakan makhluk-makhluk berasal dari ketiadaan, menjadi ada, lalu

kembali tiada826. Problem ini pernah menjadi perdebatan antara pemikiran Ibn Sînâ,

Abû Hamid al-Ghazalî, dan Ibn Rusyd827. Pandangan Hamzah Fansûrî dan penganut

tasawuf filosofis lainnya dalam hal ini sejalan dengan para filosof, termasuk Mullâ

Sadrâ828.

“Laut dan ombak keduanya rafîq829”, yakni dalam tinjauan epistemologis

ketika menggunakan bayanî dan burhanî, ombaklah yang terlihat dan terpahami.

Sementara ketika dalam ilmu hudhûrî, seperti yang dialami pesuluk dan para filosof

muta’allih, ombak menjadi tak terlihat, mereka tenggelam ke dalam lautan. Dalam

kondisi ini, kesadaran diri menjadi lenyap. Mereka dalam kondisi fânâ830.

Dalam kondisi ini, dapatlah dipandang hakikat wujûd, bukan wujûd wahmî.

Pada pengalaman itu, tidak ada limitasi dan persepsi serta inteleksi, imajinasi, dan

822 Darinyalah bermanifestasi menjadi sumber jasmani sekalian makhluk. Lihat,

Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn"…, 316. 823 Hamzah Fansûrî menyebutnya asap. Lihat, Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn"…, 316. 824 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn…, 316–317. 825 Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 35–36. 826 Fansûrî, “Syarâb Al-Asyiqîn…, 317. 827 Syamsuddin Arif, “Filsafat Islam Antara Tradisi Dan Kontroversi,” TSAQAFAH 10,

no. 1 (May 31, 2014): 1,

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/61. 828 Dalam hal ini, pemikiran Mullâ Sadrâ sependapat dengan para filosof lainnya yang

meyakini bahwa yang tidak memiliki mustahil dapat memberikan, sehingga dari ketiadaan

mustahil muncul keberadaan. Miswari, Filsafat Terakhir, 36. 829 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 274. 830 Chittick, The Sufi Doctrine of Rumi .., 71.

196

estimasi. Jalan untuk dapat menempuh pengetahuan itu adalah dengan menghindari

kecenderungan hati kepada kenikmatan materi, kenikmatan indrawi, kenikmatan

inteleksi, kenikmatan imajinasi, dan kenikmatan estimasi831. Syihab al-Dîn al-

Suhrawardî membuat aturan yang sangat ketat untuk dapat memperoleh pengetahuan

itu. Sementara Mullâ Sadrâ telah mengasingkan diri dari kesibukan duniawi untuk

memperoleh pengalaman hudhûrî. Oleh sebab itu, dia dapat membangun filsafat yang

menggantikan posisi definisi dengan hudhûrî sebagai elemen mendasar merumuskan

proposisi832.

Perdebatan tentang ‘ayân al-tsabîtah telah lama menjadi diskursus

intelektualisme Islam di Kepulauan Indonesia. Sejak Kesultanan Samudra Pasai,

persoalan itu sudah muncul dan melibatkan para cendekiawan Samudra Pasai, Negeri

Melayu, Jawa, dan dunia. Keterlibatan ulama Pasai tentang persoalan tersebut

menunjukkan pada masa itu, diskursus intelektual telah berada pada level tertinggi.

Tentunya hal ini tidak terjadi dengan seketika, tetapi telah mengalami proses yang

panjang dari penyelenggaraan pendidikan Islam tinggi hingga kondisi politik yang

kondusif833. Tentunya orang yang sedang kelaparan dan menderita krisis ekonomi

tidak punya waktu membicarakan persoalan metafisika tinggi, seperti ‘ayân al-

tsabîtah. Orang-orang dalam kondisi politik yang kacau juga tidak sempat

membahasnya. Maka dari itu, dapat menjadi bukti bahwa, sebelum ekspansi

Majapahit, Portugal, dan Aceh Darussalam, Samudra Pasai adalah sebuah kerajaan

yang memiliki kemakmuran yang baik834. Tentunya karena pada masa itu mereka

mendominasi pos pelayaran Jalur Sutra Selat Malaka. Kondisi politik juga menjadi

stabil (sebelum atau sesudah) konflik dengan Maharaja Bakoy dan Syaikh ‘Abd al-

Jalîl835. Samudra Pasai memiliki perguruan tinggi Islam yang menghasilkan ilmuwan

besar di Dayah Blang Pria sehingga pembahasan metafisika tinggi menjadi lumrah di

sana. Bahkan, pembahasan tersebut berdampak pada persoalan politik. Atau

sebaliknya, persoalan politik yang ikut menyeret diskursus keagamaan sehingga

memunculkan konflik dengan Maharaja Ahmad Bakoy dan Syaikh ‘Abd al-Jalîl 836.

Dalam dunia Islam dengan perspektif yang luas, perdebatan metafisika telah

berlangsung jauh sebelumnya hingga persinggungan filsuf, seperti Al-Kindî dan para

teolog, ahli fikih, dan ahli hadis837. Dominasi teologi yang bernuansa doktrin

diberikan alternatif dalam nuansa filosofis oleh Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Nuansa

filosofis tentunya sangat dipengaruhi oleh warisan filsafat Yunani838. Sebenarnya,

mutakallimîn, ahli fikih, dan ahli hadis juga banyak mengambil manfaat dari filsafat

831 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 283–284. 832 Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemikiran Mullâ Sadrâ…, 205. 833 Ali Hasjmy mengatakan bahwa Dayah Blang Pria yang terletak di Geudong Pasai,

tidak jauh dari pusat kerajaan Kesultanan Samudra Pasai, adalah Perguruan Tinggi terbesar di

Asia Tenggara sekitar abad ke-13 dan abad ke-15, Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi Dari

Tanah Aceh…, 57–59. 834 Kosmopolitanisme Kesultanan Samudra Pasai. Lihat, Said, Aceh Sepanjang Abad

Vol. I…, 70–73. 835 Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansûrî.., 1. 836 Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansûrî.., 1. 837 Jackson, What Is Islamic Philosophy?..., 33–34. 838 Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas…, 60.

197

Yunani. Akan tetapi, mereka tetap mengkritik filosof karena kesimpulan-kesimpulan

pemikiran mereka jauh berseberangan dengan paham mutakallimîn839.

Para filosof menyatakan bahwa alam telah sedia bersama Wajîb al-Wujûd.

Alam mustahil merupakan sesuatu yang baru karena bila demikian, meniscayakan

perubahan pada Wajîb al-Wujûd” yang mana itu mustahil sebagaimana pandangan

mutakallimîn, filosof, dan ‘urafâ. “Alam juga mustahil berasal dari ketiadaan karena

yang tidak memiliki mustahil dapat memberikan”. Proposisi ini juga diterima

mutakallimîn, filosof, dan sufi Wujudiah sehingga tidak ada alasan untuk menolak

pernyataan bahwa, “Alam telah mengada bersama Wajib al-Wujûd sejak asali.” Abû

Hamid al-Ghazalî membantah pandangan filosof yang menyatakan alam telah ada

sejak asali karena dalam Kehendak Allah yang tetap, alam itu niscaya belum ada

hingga menjadi ada.

Sebenarnya, para filosof hendak mengatakan bahwa Wajîb al-Wujûd sebagai

wujûd kekal dengan wujûd-nya senantiasa dalam kesibukan atau menjadikan alam

secara terus-menerus sehingga alam bukan terjadi dari ketiadaan, melainkan dari

sesuatu yang telah ada sebelumnya dan seterusnya840. Pandangan para filosof sesuai

dengan pengajar Wujudiah, termasuk Hamzah Fansûrî yang menyatakan bahwa

Haqq Ta’alâ selalu dalam kesibukan (shâ’n)841. Hamzah Fansûrî dan para penganut

Wujudiah lainnya berpandangan bahwa segala kebaruan kejadian alam semesta

adalah hal-hal yang tetap dalam ‘ayân al-tsabîtah. ‘Ayân al-tsabîtah adalah suatu

manifestasi Ilmu dari Haqq Ta’alâ. Ilmu, sebagaimana Sifat-sifat lainnya bersifat

tetap842. Karena bila sifat berubah, meniscayakan perubahan pada sifat. Posisi antara

sifat dan Zat, seperti gambaran Mullâ Sadrâ antara subjek dan predikat. Segala

predikat bergantung pada subjek. Misalnya seseorang bernama Ahmad, segala

predikasi yang diberikan kepadanya bergantung pada bagaimana kondisi Ahmad

diamati, lalu diberikan predikat kepadanya.

Mullâ Sadrâ dalam hal ini mengatakan bahwa kejadian alam semesta karena

Sifat-sifat dari Wajîb al-Wujûd, seperti Al-Murîd, Al-Karîm, dan Al-Muhsîn. Alam

semesta adalah aktualitas dari Nama-nama dan Sifat-sifat. Aktualitas alam berasal

dari alam immateri yang bersifat kekal bersama Nama dan Sifat. Sementara alam

materi itu baharu secara tempo karena waktu merupakan bagian dari aksiden.

Sementara itu aksiden adalah perangkat untuk alam materi843. Mullâ Sadrâ menerima

kekekalan eksistensi alam immateri sebagai konsekuensi dari kesatuan dan

kemajemukan wujûd dalam sistem gradasi (taskîk)844. Pandangan Mullâ Sadrâ yang

mengatakan alam jasmani itu baharu dan alam materi itu kekal sesuai dengan

pernyataan Hamzah Fansûrî bahwa secara lahiriah alam materi ini baharu, namun

839 Harahap, Islam Dan Modrrnitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan

Kesalehan Modern…, 156. 840 Iqbal, Muhammad, Ibn Rusyd Dan Averroisme: Pemberontakan Terhadap Agama

(Medan: Cipustakan Media Perintis, 2011), 68–69. 841 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 276. 842 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 261–262. 843 Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat Kontemporer…,

131. 844 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 26–27.

198

secara batiniah ia kekal. “Adapun kata Ahlul Suluk, sungguhpun tiada ia mawjûd

pada zahirnya, tetapi pada batinnya ia mawjûd.”845 Dengan analogi pohon yang

akarnya, batangnya, cabangnya, dahannya, daunnya, rantingnya, dan buahnya sudah

terkandung dalam biji846. Hamzah Fansûrî menunjukkan ilmu Tuhan yang terbukti

melalui eksistensi alam semesta persis seperti seorang raja yang memiliki kekuasaan.

Apabila tidak memiliki kekuasaan, seseorang tidak dapat disebut sebagai raja.

Seseorang disebut sebagai raja karena memiliki kekuasaan. Hal ini dianalogikan

dengan bukti eksistensi ilmu Tuhan dengan eksistensi alam semesta847.

Aktualitas alam semesta sebagai aktualitas Ilmu Haqq Ta’alâ dianalogikan

oleh Hamzah Fansûrî dengan eksistensi sebuah bangunan dalam pikiran seorang utus.

Antara sang utus dan gambar bangunan itu adalah satu kesatuan mutlak. Gambar

bangunan itu adalah objek pengetahuan utus yang menyatu dengan sang subjek, yakni

utus. Ketika bangunan itu dibuat, itu merupakan aktualitas ilmu sang utus848.

Bagaimana Hamzah Fansûrî menganalogikan seorang utus dengan aktualitas suatu

bangunan, melalui skema kesatuan subjek dan objek dalam sistem Mullâ Sadrâ, dapat

menunjukkan orientasi analogi Hamzah Fansûrî tentang bagaimana alam semesta

mengaktual dengan ilmu dari Haqq Ta’alâ.

Dalam skema ittihâd aqîl wa ma’qul ditunjukkan Mullâ Sadrâ bahwa objek

pengetahuan berada dalam diri subjek849. Demikian juga dengan eksistensi alam

semesta berada dalam Ilmu Haqq Ta’alâ dalam bentuk ‘ayân al-tsabîtah. Dari ‘ayân

al-tsabîtah itu mengaktual menjadi realitas alam semesta850. Sebagai konsekuensi

dari kesatuan wujûd yang dipahami Mullâ Sadrâ bahwa wujûd manusia yang

merupakan kesatuan wujûd memiliki potensi perkembangan wujûd yang terus-

menerus dapat menjangkau alam yang dalam terminologi ‘irfân disebut ‘ayân al-

tsabîtah. Maka dari itu, dapat memiliki pengetahuan Ilahiah sesuai dengan

kemampuan aktualitas dirinya.

Kehidupan manusia di alam dunia dianalogikan Hamzah Fansûrî dengan

sebuah kapal yang sedang bersandar di dermaga. Bersandar hanya sementara karena

kapal harus menempuh lautan yang luas. Segala perbekalan harus dipersiapkan.

Demikian juga manusia harus mempersiapkan amal kebaikan sebagai bekal jiwa yang

menempuh tahap perjalanan selanjutnya bagi jiwa851. Mullâ Sadrâ dalam hal ini dapat

membantu menjelaskan secara rasional bagaimana jasad manusia di dunia ini bersifat

baharu sementara yang kekal adalah jiwanya. Hasan Zâdeh Amûlî852 menjelaskan

bahwa dalam pemikiran Mullâ Sadrâ, jasad hanya menjadi persiapan bagi jiwa dalam

845 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 247. 846 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 132. 847 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 253–254. 848 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 253–254. 849 Sadra, Al-Hikmah Al-Muta’âliyah Fî Al-Asfâr Al-‘Aqliyyah Al-Arba’Ah Vol. III…,

313. 850 Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansûrî…, 263. 851 Abdul Hadi WM., Tasawuf yang Tertindas…, 168. 852 Hasan Zadeh Amuli, Sarh al-‘Uyûn fî Syarh Al-‘Uyûn (Qum: Markaz Intesyârât-e

Daftar-e Tablîghât-e Islâmî, 1421H), 273–275.

199

kariernya yang panjang. Jiwa memang membutuhkan jasad untuk awal aktualitasnya,

tetapi kontinuitas jiwa tidak bergantung pada jasad853.

Dalam filsafat Mullâ Sadrâ, jasad dipandang sebagai aktualitas jiwa. Tetapi

pada kelanjutan kariernya, jiwa tidak membutuhkan jasad. Buktinya adalah, ketika

terjadi masalah tertentu pada jasad, tidak berpengaruh pada kualitas jiwa. Misalnya,

ketika terjadi suatu kecelakaan yang menyebabkan amputasi pada bagian tertentu dari

jasad, pengetahuan tidak berkurang dengan kejadian itu854. Untuk itulah dapat

dipahami bagaimana kelanjutan karier jiwa terjadi terus-menerus setelah

meninggalkan jasad. Untuk itu, selama masih menyandang jasad yang dengannya

menunjukkan masih adanya potensialitas, segala amal kebaikan perlu dipersiapkan

persis seperti kapal yang masih sedang bersandar di dermaga. Bila nantinya kapal

telah berlabuh, tidak bisa lagi mempersiapkan perbekalan. Ketika jiwa sudah terpisah

dengan jasad, itu telah menjadi aktualitas murni. Ketika telah terpisah dengan jasad,

tidak bila lagi mempersiapkan perbekalan.

Dalam sistem kesatuan subjek dan objek, subjek yang mengetahui tentunya

adalah tunggal855. Sementara objek yang diketahui bisa beragam. Karena subjek dan

objek adalah tunggal, subjek dapat disebut yang dibagi sementara objeknya adalah

bagian. Dalam hal ini, subjek yang mengetahui yang dianalogikan dengan dapat

disebut sebagai sesuatu yang tersembunyi yang disebut sebagai kanzân makfî

(perbendaharaan tersembunyi). Sementara objek yang diketahui yang dianalogikan

dengan buih yang beragam corak, beragam warna, dan berbagai bentuk sejatinya

adalah aktualitas air. Demikian keberagaman alam semesta merupakan aktualitas dari

perbendaharaan tersembunyi.

Terkait bagian ini, jenis hubungan dalam kesamaan antara Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ adalah relasi ekuivalen. Meskipun masing-masing menggunakan bahasa

teknis dan pendekatan penjelasan yang berbeda, sama-sama memahami bahwa alam

potensial itu sudah eksis sejak sedia kala dan menjadi sumber bagi menjelmanya

realitas alam semesta.

10. Kefakiran Mutlak Makhluk kepada Khalik

Segala makhluk memperoleh wujûd dari Haqq Ta’alâ. Kebergantungan

makhluk kepada Khalik adalah kebergantungan eksistensial. Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ sama-sama menerima pandangan ini. Hamzah Fansûrî menganalogikan

kebergantungan makhluk seperti besi yang tunduk secara mutlak kepada tukang besi.

Mullâ Sadrâ menjelaskannya dalam konsep kefakiran akibat atas sebab. Dalam

pandangan Hamzah Fansûrî, segenap makhluk adalah seperti bayangan karena sama

sekali tidak memiliki kehendak atas dirinya. Segenap kejadian dan aktivitas makhluk

adalah benar-benar tunduk pada Haqq Ta’alâ. Makhluk yang sama-sekali tidak

memiliki daya dan kehendak oleh Hamzah Fansûrî dianalogikan dengan batu. Batu

benar-benar tunduk pada yang memegangnya.

Untuk memiliki kehendak harus memiliki ilmu, untuk memiliki ilmu harus

memiliki kehidupan, untuk memiliki kehidupan harus memiliki wujûd. Sementara

853 Mullâ Sadrâ, Al-Syawâhid Al-Rubûbiyyah fî Al-Manâhij Al-Sulûkiyyah, 310. 854 Amuli, Sarh Al-‘Uyûn fî Syarh Al-‘Uyûn…, 401. 855 Al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra…,127.

200

semua makhluk tidak memiliki wujûd, kecuali Wujûd Haqq Ta’alâ.

Ketidakberdayaan makluk dalam gambaran Hamzah Fansûrî persis seperti posisi

kopula dalam sebuah kalimat dalam skema filsafat Mullâ Sadrâ. Kopula benar-benar

bergantung pada subjek meskipun dapat diberikan nama yang berbeda.

Kemajemukan nama predikat adalah hasil pengamatan dari gejala dan kondisi

subjek856. Ketidakberdayaan makhluk di hadapan Haqq Ta’alâ dalam skema Mullâ

Sadrâ juga dapat digambarkan seperti posisi akibat bagi sebab857. Sebab dapat

dinisbahkan kepada Haqq Ta’alâ. Sementara akibat dapat dinisbahkan kepada

makhluk-makhluk. Pada makhluk sejatinya adalah kehadiran Haqq Ta’alâ secara

menyeluruh sehingga jangankan memiliki kehendak, sang makhluk, bahkan tidak

memiliki wujûd858.

Seorang manusia sebagai makhluk dalam perjalanan spiritualnya harus

mendapatkan pengetahuan sejati, yakni kesadaran bahwa dirinya sama sekali tidak

memiliki daya, persis seperti suatu kopula yang benar-benar tunduk kepada subjek.

Karena memang sebagai makhluk, manusia persis seperti suatu akibat yang benar-

benar diisi oleh sebab sehingga sejatinya sang makhluk seperti akibat, benar-benar

bergantung pada sebab. Dalam ajaran Mullâ Sadrâ, sebab menjadi eksis karena fokus

peninjauan hanya pada sebab. Namun, bila ditinjau secara keseluruhan, yang tampak

hanyalah kehadiran sebab secara menyeluruh dan berlangsung secara terus-

menerus859.

Munculnya dua nama atau dua perspektif bukanlah hakikat yang nyata. Karena

pada hakikat yang nyata ada adalah Haqq Ta’alâ yang dianalogikan dengan emas.

Sementara eksistensi makhluk seperti batu. Apabila masih menemukan dualitas emas

dan batu, berarti dalam perjalanan spiritual, belum menemukan hakikat yang nyata860.

Apabila pesuluk telah mengalami fânâ, tidak ada apa pun yang dilihatnya, kecuali

emas. Tidak tampak lagi batu pada emas itu861. Dalam kondisi fânâ pesuluk insaf

bahwa dirinya dan segala makhluk benar-benar seperti batu: sama sekali tidak

memiliki kehendak, sama sekali tidak berdaya, dan tidak memiliki kekuatan, kecuali

pada Haqq Ta’alâ.

Kesamaan wujûd kopula dalam ajaran Mullâ Sadrâ dengan analogi buah catur

dan perabotan dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî adalah keduanya merupakan

gambaran terhadap wujûd selain Tuhan. Semua makhluk dalam ajaran Mullâ Sadrâ

diibaratkan dengan kopula bagi subjek. Demikian juga Hamzah Fansûrî

menggambarkan buah catur dan perabotan seperti makhluk-makhluk. Mullâ Sadrâ

melihat dasar realitas adalah wujûd. Segala selain wujûd terjadi dalam wujûd862.

Demikian juga dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî, segalanya adalah wujûd yang

856 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 35. 857 Ibid., 74–76. 858 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”, 268. 859 Riahi, “A Study Of The Effect Of Human Soul On External Objects : Between

Copenhagen School And Mullâ Sadrâ ,”…, 19. 860 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 287–288. 861 Ibid., 288. 862 Sadra, Al-Masya’ir…, 10.

201

dianalogikan dengan kayu. Segala bentuk seperti raja, menteri, gajah, kuda, benteng,

dan bidak keseluruhannya adalah kayu. Semuanya terjadi dalam kayu863.

Dalam sistem kopula kausal Mullâ Sadrâ, sebab sebagai wujûd hakiki

memberikan wujûd kepada akibat sehingga kebergantungan akibat kepada sebab

adalah kebergantungan wujûd864. Demikian juga dengan kebergantungan buah catur

kepada kayu adalah kebergantungan wujûd. Yang memilliki wujûd dalam skema

analogi ini hanyalah kayu. Sementara raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak

sama sekali tidak memiliki wujûd. Keseluruhan buah catur adalah kayu. Demikian

juga kebergantungan kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana pada tanah adalah

kebergantungan wujûd865. Kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana tidak memiliki

wujûd. Keseluruhan perabotan itu adalah tanah. Demikian juga setiap akibat adalah

kehadiran wujûd sebab866.

Gambaran ini juga mirip dengan sistem Wujudiah Hamzah Fansûrî dalam

analogi air. Pada hakikatnya, hanya ada satu wujûd yang dianalogikan dengan air.

Dalam analisis mental terdapat tiga entitas, yakni qasîm, maqsûm, dan syu'un.

Sebagai yang dibagi air disebut qasîm yang dianalogikan dengan laut. Sebagai

bagian, disebut dengan maqsûm yang dianalogikan dengan ombak. Aktivitas

pembagian disebut dengan syu'un yang dianalogikan dengan topan. Adapun air

tersebut adalah analogi untuk wujûd867. Karena itu, Mullâ Sadrâ dan Hamzah Fansûrî

menerima bahwa sejatinya sebagai hakikat realitas eksternal adalah wujûd yang

mendasar dan tunggal meskipun di dalamnya memunculkan banyak nama sebagai

aktivitas mental868.

Makhluk-makhluk menjadi wujûd karena diberikan wujûd oleh Haqq Ta’alâ.

Sesuai dengan skema ta’ayyûn rabi’ dan ta’ayyûn khamis869, pemberian wujûd ini

terjadi secara terus-menerus870. Begitu bergantungnya makhluk kepada Haqq Ta’alâ,

makhluk dapat disebut sebagai kefakiran mutlak. Kondisi ini oleh Hamzah Fansûrî

dianalogikan dengan kondisi buah catur. Buah catur sama sekali tidak memiliki daya

untuk mengendalikan dirinya. Buah catur benar-benar tunduk kepada pemain catur.

Buah catur sama sekali tidak dapat memiliki kehendak dan menggerakkan dirinya.

Semua kehendak dan geraknya mutlak bergantung pada kehendak dan digerakkan

oleh pemain catur. Sebagai akibat dari kayu, buah catur secara keseluruhan adalah

kehadiran kayu. Buah catur sendiri, raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak,

sebagai akibat dari kayu secara mutlak bergantung pada kayu. Raja, menteri, gajah,

kuda, benteng, dan bidak, adalah kefakiran mutlak. Buah catur itu menjadi ada adalah

karena secara terus-menerus mendapatkan kayu. Persis seperti alam semesta yang

menjadi ada karena secara terus-menerus diberikan wujûd melalui Rahman dan

863 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”, 294. 864 Taqi Miṣbāḥ Yazdī, Al-Manhaj Al-Jadîd Fî Ta’lîm Al-Falsafah Vol. 1…, 70–74. 865 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 294. 866 Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi…, 227–228. 867 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 275. 868 Sadra, Al-Masya’ir…, 3. 869 Sandigu, Wahdah al-Wujûd: Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansûrî

dan Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Al-Raniri…, 61–62. 870 Kejadian ini dianalogikan oleh Hamzah Fansûrî dengan aliran sungai yang mengalir

terus-menerus. Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…., 265.

202

Rahîm. Raja, menteri, gajah, kuda, benteng, dan bidak adalah akibat dari kayu. Kayu

sebagai sebab dapat disebut dengan wujûd mandiri (rabith). Raja, menteri, gajah,

kuda, benteng, dan bidak dapat disebut wujûd yang bergantung secara mutlak

(mustaqil). Dalam skema suatu proposisi, eksistensi raja, menteri, gajah, kuda,

benteng, dan bidak hanya sebagai kopula bagi subjek kayu871.

Meskipun menggunakan argumentasi melalui pendekatan yang berbeda,

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ sama-sama beritikad bahwa makhluk itu benar-

benar fakir wujûd dan wujûd itu hanya dari Khalik. Karena itu, hubungan kesamaan

keduanya dalam konteks ini adalah relasi ekuivalen. Adapun Hamzah Fansûrî

menjelaskan kefakiran makhluk melalui pendekatan tasawuf Wujudiah. Sementara

Mullâ Sadrâ menjelaskannya melalui perspektif filsafat.

B. Perbedaan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Filsafat Mullâ Sadrâ

Sebenarnya, perbedaan antara Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ

Sadrâ sangat banyak dan tidak dapat dihitung. Namun, perbedaan yang dianalisis

dalam penelitian ini adalah beberapa yang terkait dengan limitasi objek kajian.

Pertama adalah perbedaan konteks budaya. Perbedaan ini adalah niscaya dan dapat

dipahami secara umum karena konteks Melayu dan Persia sekitar abad ke-17

tentunya berbeda. Perbedaan ini tidak terlepas dari perbedaan dunia intelektual yang

memengaruhi keilmuan, pengajaran, dan karya-karya Hamzah Fansûrî dan Mullâ

Sadrâ. Kedua adalah perbedaan pemahaman atas status kemajemukan realitas

eksternal. Hamzah Fansûrî menegaskan realitas eksternal itu tidak nyata. Sementara

Mullâ Sadrâ ambigu dalam hal ini karena selain menerima ketunggalan, sekaligus dia

menerima kemajemukan realitas eksternal. Pada sisi penerimaan kemajemukan

realitas eksternal ini, pandangan Mullâ Sadrâ menjadi berbeda dengan Hamzah

Fansûrî yang dengan tegas menolak eksistensi kemajemukan. Ketiga adalah

perbedaan multiperspektif varian dan sasaran kritikan. Maksudnya adalah, setelah

melahirkan ajaran masing-masing, kondisi ajaran mereka berbeda. Meski sempat

ditolak sementara oleh sebagian kalangan, ajaran Mullâ Sadrâ selanjutnya diterima

dengan baik di negerinya. Ajaran tersebut hanya membuat para pengikutnya berbeda

pemahaman dalam memaknai ajaran Mullâ Sadrâ. Sebagian menganggapnya sebagai

ajaran tasawuf filosofis. Sebagian menganggapnya sebagai ajaran filsafat murni.

Sementara ajaran Hamzah Fansûrî yang sempat diapresiasi dengan baik, misalnya

oleh oleh Shams al-Dîn al-Sumatranî berubah menjadi ajaran yang dikritik secara

tajam oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî sehingga Wujudiah mengalami kemunduran, bahkan

masih dianggap sebagai ajaran yang tabu hingga hari ini. Semua perbedaan ini

digolongkan ke dalam relasi nonekuivalen karena tiap-tiap kondisinya berbeda.

1. Perbedaan Konteks Kebudayaan

Perbedaan utama yang secara umum tidak terbantahkan adalah konteks

penyebaran ajaran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ yang berbeda. Hamzah Fansûrî

menyebarkan ajarannya di negeri Melayu, sementara Mullâ Sadrâ mengembangkan

ajarannya di negeri Persia. Konteks negeri Melayu membuat Hamzah Fansûrî

871 Penjelasan tentang jenis-jenis dan posisi kopula, lihat, Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn

‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 35–38.

203

menyebarkan ajarannya melalui cara-cara yang sederhana, yakni melalui objek-objek

analogi yang mudah dipahami masyarakat Melayu pada masa itu. Sementara konteks

Persia yang telah memiliki khazanah yang luas mencakup perkembangan filsafat

Aristotelian, menjadikan Mullâ Sadrâ menyebarkan ajaran yang sintesis dengan

mendialogkannya dengan berbagai khazanah keilmuan, termasuk filsafat

Aristotelian.

Berbeda dengan Persia, masyarakat Melayu memang memiliki tradisi

pembelajaran keilmuan yang luas, seperti tasawuf dan teologi. Tetapi di negeri

Melayu, diskursus filsafat Aristotelian kurang berkembang. Diskursus filosofis

memang memiliki tradisi, tetapi yang berkembang adalah corak Neoplatonisme yang

ditransmisi ke dalam ajaran tasawuf filosofis872. Diskursus tersebut telah dikenal

sejak Kerajaan Samudra Pasai. Menariknya, sekalipun tidak benar-benar lepas dari

tradisi Wujudiah, Hamzah Fansûrî tetap menggunakan cara-cara yang membuat

ajarannya mudah dipahami.

Namun, Wujudiah Hamzah Fansûrî dianggap ajaran yang rumit. Padahal

sebenarnya, ajaran itu yang sebagian besarnya dihadirkan dalam bentuk metafora,

bukan untuk menjadikan karyanya sebagai sesuatu yang sulit dipahami, tetapi malah

untuk membuat Wujudiah benar-benar dekat dengan masyarakat melalui analogi-

analogi yang dekat dengan keseharian semua masyarakat, seperti tanah, air, kayu,

buah, cahaya, batu, sungai, cermin, besi, dan sebagainya. Dalam pendekatan melalui

analogi, tidak diperlukan suatu epistemologi burhanî yang sistematis sebagaimana

berlaku dalam filsafat. Namun demikian, sistem epistemologi filsafat memiliki

keunikan pada bidang tertentu, yakni memberikan kepuasan atas objek yang dikaji

karena kejelasannya dan memuaskan nalar. Dalam sistem analogi, terdapat tantangan,

yakni ketika sifat dasar dari instrumen analogi tidak dapat diketahui, otomatis

menggagalkan pemahaman atas maksud sesuatu yang ingin dianalogikan. Namun,

bila telah mengetahui sifat dasar objek analogi, ajaran Wujudiah Hamzah Fansûrî

dapat mudah dipahami.

Seperti dalam analogi tanah sebagai wujûd dan segala perabotan yang dibentuk

darinya, seperti kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana sebagai analogi makhluk-

makhluk, itu sangat mudah dilakukan masyarakat sehingga sangat mudah dipahami

analoginya. Memproduksi perabotan sederhana untuk dan oleh masyarakat umum

memang dilakukan secara individual dengan jumlah yang dibutuhkan saja. Tidak

seperti produksi perabotan hari ini yang diproduksi oleh pihak tertentu dalam jumlah

yang banyak untuk didistribusikan kepada masyarakat luar. Tidak pula produksi

perabotan tanah pada masa itu seperti produksi batu-bata dari tanah liat hari ini yang

juga diproduksi dengan jumlah yang sangat banyak oleh sekelompok orang, lalu

didistribusikan kepada banyak orang873.

872 Humaidi, “Mystical-Metaphysics: The Type of Islamic Philosophy in Nusantara in

the 17th-18th Century,” Jurnal Ushuluddin 27, no. 1 (July 30, 2019): 90. 873 Semakin modern sebuah zaman, maka hegemoni alat produksi semakin

tersentralisasi. Semmy Tyar Armandha, “Komunitas Ekonomi Asean Dan Meningkatnya Arti

Penting ADMM: Sebuah Analisis Ekonomi Politik Keamanan,” Jurnal Pertahanan & Bela

Negara 4, no. 3 (August 8, 2018), http://jurnal.idu.ac.id/index.php/JPBH/article/view/338.

204

Hamzah Fansûrî yang mengajarkan Wujudiah yang dalam ajaran tersebut

wujûd dilihat sebagai satu kesatuan mutlak, sementara dalam kehidupan kita

menemukan banyak wujûd, melahirkan kebingungan dalam memahami ajaran

tersebut. Akan tetapi, Hamzah Fansûrî punya jalan keluar untuk membuat ajarannya

itu menjadi sangat sederhana dan mudah sekali untuk dipahami secara baik oleh siapa

saja, yaitu dengan analogi tanah dan perabotan-perabota, seperti kendi, buyung,

periuk, tempat, dan bejana. Sementara Mullâ Sadrâ merumuskan ajarannya dengan

sangat rumit dan penuh ambigu. Bila ajaran Hamzah Fansûrî dapat dipahami hanya

dengan memahami sifat dasar analoginya, ajaran Mullâ Sadrâ hanya memungkinkan

untuk dipahami apabila telah memahami berbagai prinsip ajaran pemikiran

sebelumnya, seperti Wujudiah Ibn ‘Arabi yang rumit, al-Hikmah al-Isyrâqiyyah, dan

al-Hikmah al-Masyâ'iyyah.

Sebagaimana tanah dan perabotan-perabotan dari tanah, dalam analogi catur

juga Hamzah Fansûrî telah membuat ajaran Wujudiah yang sangat rumit menjadi

sangat mudah dipahami. Ajaran Hamzah Fansûrî hanya terkesan rumit dan

membingungkan ketika telah dipengaruhi stigma yang menyatakan bahwa ajaran

Hamzah Fansûrî itu berat. Padahal, tidak hanya ajaran tasawuf Hamzah Fansûrî,

hampir semua ajaran itu tidak diusahakan menjadi berat oleh pengarangnya.

Sebaliknya, pengarang berusaha supaya ajarannya itu dipahami pembaca karena

memang tujuan sebuah ajaran untuk menyampaikan sebuah pesan. Mustahil pesan

yang disampaikan ingin tidak diketahui. Demikian juga Mullâ Sadrâ yang meskipun

ajarannya dianggap rumit dan membutuhkan berbagai bekal keilmuan dalam

khazanah pemikiran Islam, ajarannya itu sesuai dengan konteks masyarakatnya yang

memiliki lingkungan filsafat yang diestimasikan mudah memahami ajaran Mullâ

Sadrâ.

Melalui skema estimasi kesederhanaan sebuah ajaran maka ekspektasi untuk

mendekati ajaran Hamzah Fansûrî menjadi lebih sederhana menjadi mungkin.

Dengan demikian, pembaca menjadi tidak membawa beban sebelum membaca suatu

ajaran sehingga tidak dihantui rasa takut ketika mempelajarinya seperti dalam karya-

karya Hamzah Fansûrî yang dianggap sangat berat dan membuat orang enggan

mendekatinya. Padahal, karya-karya Hamzah Fansûrî disajikan dalam bentuk

sastrawi yang amat puitis dan menggunakan analogi-analogi yang sangat sederhana.

Hamzah Fansûrî sangat mampu dalam menyederhanakan tema yang oleh sufi

sebelumnya dijelaskan dengan sangat rumit sehingga tema itu dianggap memang

sangat berat dan tidak mudah dipahami. Kajian interdisipliner yang digunakan Ibn

‘Arabî dalam menjelaskan ajaran Wujudiah membuat ajaran tersebut menjadi sangat

rumit. Perlu menguasai berbagai disiplin keilmuan, minimal ilmu-ilmu rasional,

seperti matematika, filsafat, dan logika untuk dapat memahami ajaran-ajaran Ibn

‘Arabî, khususnya salah satu karya terpentingnya, al-Futûhât al-Makkiyah’874.

Di tangan Hamzah Fansûrî, ajaran Wujudiah menjadi sangat sederhana. Dari

analogi-analogi sekunder seperti dalam menjelaskan tentang Ilmu Tuhan, Hamzah

Fansûrî mengambil analogi Ibn ‘Arabî tentang biji875. Ilmu Tuhan telah eksis dan

874 Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s Cosmology…,

x. 875 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 138.

205

bersifat tetap. Kandungan ilmu Tuhan itu seperti biji. Di dalamnya telah terkandung

keseluruhan buah. Dalam biji telah terkandung batang, daun, akar, cabang, ranting,

dan buah. Memang analogi itu dipinjam oleh Hamzah Fansûrî dari Ibn ‘Arabî. Akan

tetapi, Ibn ‘Arabî sendiri menjelaskan tentang ilmu Tuhan secara panjang lebar

dengan melibatkan berbagai disiplin keilmuan. Hal ini dilakukan Ibn ‘Arabî karena

dia hidup di jantung kebudayaan dan peradaban Islam sehingga harus berdialog

dengan ragam pemikiran besar. Misalnya dalam membahas tentang ilmu Tuhan,

selain dengan menggunakan analogi, Ibn ‘Arabî perlu menanggapi gagasan besar

mutakallimîn, seperti Abû Hamid al-Ghazalî dan gagasan besar filosof, seperti Ibn

Sînâ. Demikian juga Mullâ Sadrâ yang menyampaikan ajarannya dengan berdialog

dengan berbagai khazanah filsafat secara luas, mendalam, dan panjang lebar. Itu

memungkinkan dilakukan untuk konteks masyarakat ilmiah Persia pada masa

tersebut.

Sementara di dunia Melayu, meskipun perdebatan tentang ilmu Tuhan telah

terjadi sejak kemajuan Kesultanan Samudra Pasai, Hamzah Fansûrî memilih

merespons persoalan tersebut dengan analogi yang signifikan sehingga tidak perlu

melibatkan diri dalam perdebatan yang panjang lebar agar tidak membuat persoalan

tersebut menjadi makin rumit876. Perdebatan yang terjadi di Indonesia hanya antara

mutakallimîn dan sufi falsafi. Problem filsafat murni tidak terjadi di Indonesia877.

2. Perbedaan Pemahaman atas Status Kemajemukan Realitas Eksternal

Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ menolak sikap skeptis

yang berpandangan bahwa alam semesta hanyalah proyeksi mental878. Dalam

pandangan kedua pemikir ini, realitas eksternal adalah kehadiran wujûd yang tunggal.

Sementara kemajemukan secara ontologis diterima sebagai proyeksi mental dari

realitas eksternal yang tunggal. Namun secara epistemologis, Wujudiah Hamzah

Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ memiliki bahasa teknis masing-masing dalam

menjelaskan kehadiran kemajemukan879. Perbedaan dimensi epistemologis ini sangat

menentukan perbedaan pandangan atas status kemajemukan pada realitas eksternal.

Pemikiran Mullâ Sadrâ sebagai bagian dari disiplin filsafat, antara lain,

menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbasis pada argumentasi yang sesuai

dengan kaidah pembuktian filsafat. Mullâ Sadrâ menawarkan bahwa kemajemukan

adalah proyeksi inteleksi yang merupakan bagian dari daya jiwa. Daya ini juga hadir

dalam bentuk pengindraan (tajribî) sebagai langkah awal persepsi. Lalu, intelek

(burhânî) menganalisis realitas eksternal dan membaginya menjadi substansi dan

aksiden untuk membentuk identitas tiap-tiap entitas. Tiap-tiap entitas oleh intelek

dibedakan menjadi dua akspek, yakni mâhiyâh dan wujûd. Wujûd adalah dasar

876 Di Samudra Pasai, diskursus tasawuf falsafi yang diwakili Syaikh Abdul Jalil dan

Maharaja Bakoy Ahmad Permala dan teologi yang diwakili ulama arus utama. Tempaknya

perdebatan ini sangat bernuansa politis untuk meneguhkan dominasi raja di Pasai. Lihat,

Hasjmy, Ruba’i Hamzah Fansûrî, 1. 877 Humaidi, “Mystical-Metaphysics: The Type of Islamic Philosophy in Nusantara in

the 17th-18th Century,”…, 90. 878 Gharawiyan, Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam…, 57. 879 Thabâthabâ’î, Bidâyah al-Ḥikmah…, 1.

206

realitas yang tunggal, sementara mâhiyâh adalah limitasi bagi wujûd yang berguna

sebagai media pengenalan wujûd bagi intelek880. Pengenalan atas wujûd adalah

karena kecenderungan wujûd yang satu sekaligus beragam.

Adapun dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî, kemajemukan realitas eksternal

adalah berasal dari pancaran bayangan Haqq Ta’ala yang mana manusia sebagai

cerminnya881. Dalam hal ini, baik Wujudiah Hamzah Fansûrî yang menganalogikan

manusia dengan cermin maupun Mullâ Sadrâ yang mengandalkan inteleksi, sama-

sama sepakat bahwa kemajemukan diproyeksikan oleh manusia. Dalam hal ini, Mullâ

Sadrâ menggambarkan sistem kerja inteleksi secara sangat sistematis. Namun

demikian, Mullâ Sadrâ mengakui bahwa daya inteleksi merupakan bagian dari

rangkaian daya jiwa yang mana jiwa tersebut adalah bagian dari gradasi wujûd882.

Dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî, aktualitas alam semesta yang majemuk

adalah aktualitas Ilmu Tuhan yang terkandung dalam ‘‘ayân al-tsabîtah. Akan tetapi,

Mullâ Sadrâ tidak dengan tegas menyatakan bahwa alam semesta adalah aktualitas

dari kecenderungan Sifat ‘Ilmû dari Tuhan883. Meskipun demikian, Mullâ Sadrâ

menyatakan bahwa Tuhan mengetahui perkara-perkara universal dan perkara-perkara

partikular yang tentunya maksud partikular dalam hal ini adalah kemajemukan alam

semesta. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa Tuhan mengetahui perkara

partikular melalui pengetahuan manusia, seperti melalui indra (tajribî), intelek

(burhânî), presentasi (‘irfânî), dan sebagainya karena bentuk-bentuk pengetahuan itu

adalah daya jiwa. Sementara jiwa merupakan bagian dari wujûd. Adapun dalam hal

ini, Wujudiah Hamzah Fansûrî dengan tegas mengatakan bahwa manusia sama sekali

tidak memiliki daya, kecuali daya Tuhan sehingga wujûd, kehidupan, ilmu, dan

kehendak yang dimiliki manusia adalah sepenuhnya dari Tuhan. Pandangan

Wujudiah Hamzah Fansûrî dalam hal ini dapat dibanding dengan konsep imkân al-

faqr dalam Mullâ Sadrâ 884 sebagaimana status buah catur di hadapan pemain catur

dan status besi di hadapan pandai besi885.

Secara ontologis realitas eksternal yang majemuk diakui sebagai realitas yang

nyata, baik oleh Wujudiah Hamzah Fansûrî maupun Mullâ Sadrâ sehingga

hubungannya dapat digolongkan ekuivalen, tetapi secara epistemologis, sebagai

konsekuensi Wujudiah Hamzah Fansûrî yang berlandaskan pada metode irfânî dan

Mullâ Sadrâ yang sangat melibatkan burhânî maka hubungan keduanya tidak dapat

dikategorikan ekuivalen. Secara epistemologis, kemajemukan dalam Mullâ Sadrâ

dapat dikatakan riil karena status mental itu riil sebagai bagian dari status wujûd yang

880 Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 215. 881 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,”…, 282. 882 Kerwanto, “Manusia Dan Kesempurnaannya (Telaah Psikologi Transendental

Mullā Shadrā).”…, 133. 883 Fazlur Rahman yang mengkaji pemikiran Mullâ Sadrâ mengklaim bahwa

munculnya gradasi adalah karena perbedaan kecenderungan dalam wujûd yang tunggal yang

dimaknai sebagai Sifat-sifat Tuhan. Lihat, Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-

Din Al-Shirazi)…, 37–38. 884 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 85. 885 Ali Arshad Riahi, “A Study of the Effect of Human Soul on External Objects :

Between Copenhagen School And Mullâ Sadrâ,” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic

Philosophy and Mysticism (2015)…, 19.

207

satu dalam gradasinya. Karena itu, kandungan dalam realitas mental itu juga

merupakan sesuatu yang riil, termasuk prinsip-prinsip identitas dan nonkontradiksi

sebagai prasyarat kemajemukan. Hal ini dapat diperkuat dengan penerimaan Mullâ

Sadrâ atas objek persepsi sebagai kesatuan dengan subjek. Objek yang diketahui itu

adalah satu sekaligus bergradasi. Keniscayaan kemajemukan dalam epistemologi

Mullâ Sadrâ merupakan konsekuensi atau konsistensi dari prinsip taskîk al-wujûd

dalam ontologinya886.

Sementara dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî, sekalipun menerima objek

pengetahuan sebagai sesuatu yang nyata pada dirinya (think by it self), secara

epistemologis kemajemukan ekstensi tidak dapat diterima, bukan hanya karena istilah

yang digunakan adalah wahmî, melainkan karena Wujudiah Hamzah Fansûrî secara

prinsipiel tidak menerima gradasi wujûd sehingga tidak memiliki alasan menerima

kemajemukan. Memang Wahdah wujûd menerima perbedaan antara kendi, buyung,

periuk, tempat, dan bejana. Juga menerima perbedaan antara raja, menteri, gajah,

kuda, benteng, dan bidak. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut diakui hanya

sebagai majasi, bukan secara hakiki. Hal ini karena, “Sungguhpun pada zahirnya ada

ia berwujûd, tetapi wahmî juga, bukan wujûd haqiqi; seperti bayang-bayang dalam

chermin, rupanya ada hakikatnya tiada.”887 Seperti raja, menteri, gajah, kuda,

benteng, dan bidak, hanya diterima sebagai satu kesatuan, yakni buah catur.

Demikian juga kendi, buyung, periuk, tempat, dan bejana hanya diterima sebagai satu

kesatuan, yakni tanah. Kemajemukannya hanya majasi sehingga persamaannya

hanya pada status ontologis, yakni realitas tajribî itu satu kesatuan wujûd. Akan

tetapi, secara epistemologis Mullâ Sadrâ menerima sekaligus kemajemukan, namun

Wujudiah Hamzah Fansûrî tidak menerima kemajemukan.

Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ sama-sama menerima bahwa alam

materi seperti jasad bersifat temporer dalam waktu, sementara jiwa bersifat kekal.

Hamzah Fansûrî mengakui bahwa meskipun alam materi bersifat baharu dalam

aktualitasnya, menurutnya alam rohani bersifat kekal. Demikian juga Mullâ Sadrâ

mengatakan bahwa alam materi hanyalah bagian dari perjalanan jiwa yang sangat

panjang. Materi bisa bersifat baharu, tetapi jiwa bersifat kekal888.

Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ sama-sama menerima

kemajemukan itu berada dalam ranah mental. Bagi Mullâ Sadrâ, kemajemukan

realitas eksternal adalah karena gradasi dari satu wujûd. Sementara bagi Wujudiah

Hamzah Fansûrî, kemajemukan itu adalah produksi dari jiwa. Sebenarnya, keduanya

sepakat bahwa kemajemukan itu adalah produksi dari daya jiwa. Baik dalam

Wujudiah Hamzah Fansûrî maupun filsafat Mullâ Sadrâ, kemajemukan itu diterima

sebagai hal-hal yang eksis pada dirinya (thing by it self). Akan tetapi, karena masing-

masing berangkat dari pendekatan yang berbeda, penjelasan status kemajemukan itu

menjadi berbeda. Dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî, kemajemukan itu dianalogikan

dengan bayangan.

Dalam hal ini, menjadi penting memperjelas bayangan yang dibuat Hamzah

Fansûrî. Bagi Hamzah Fansûrî yang menganut kesatuan wujûd, wujûd bayangan yang

886 Rahman, The Philosophy of Mullâ Sadrâ (Sadr Al-Din Al-Shirazi)…, 34. 887 Fansûrî, “Asrâr Al-‘Arifîn,” …, 282. 888 Mullâ Sadrâ, Al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fî al-Manâhij al-Sulûkiyyah …, 310.

208

majemuk, pada diri sang bayangan adalah eksistensi yang tidak terpisah dengan

empunya bayangan. Sang bayangan menjadi wahmî adalah pada atributnya yang

dibentuk oleh inteleksi, bukan pada eksistensinya karena eksistensi bagi bayangan

adalah nyata. Eksistensi tersebut adalah satu dengan empunya bayangan. Dalam

ajaran Wujudiah yang dipegang Hamzah Fansûrî, ketundukan bayangan terhadap

empunya bayangan adalah konsekuensi dari satu wujûd yang hanya berbeda dalam

sisi wahmî (inteleksi). Sementara wahmî yang dimaksud bukan ketiadaan, tetapi

adalah suatu daya inteleksi yang mana intelek merupakan bagian dari daya jiwa.

Sementara jiwa adalah bagian dari wujûd yang satu889.

Wujudiah Hamzah Fansûrî menerima eksistensi realitas eksternal sebagai hal

yang memiliki wujûd pada dirinya, yang mana dalam hal ini pandangan tersebut

ekuivalen atau identik dengan Mullâ Sadrâ yang juga menerima kemajemukan

realitas eksternal sebagai yang nyata. Sementara meskipun menerima eksistensi

realitas eksternal, Wujudiah Hamzah Fansûrî tidak menerima kemajemukan sehingga

dalam kasus kemajemukan realitas eksternal, hubungan antara Wujudiah Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ adalah nonekuivalen atau berbeda. Hal ini karena Hamzah

Fansûrî tidak menerima kemajemukan realitas eksternal, sementara Mullâ Sadrâ

menerimanya.

3. Multiperspektif Varian dan Sasaran Kritikan

Perbedaan penting lainnya antara ajaran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

adalah nasib ajaran mereka masing-masing. Ajaran Mullâ Sadrâ ditolak dalam waktu

tidak lama. Selanjutnya, setelah dipelajari secara mendalam dan menyeluruh, ajaran

tersebut diterima dengan baik. Awalnya, ajaran Mullâ Sadrâ dicurigai bertentangan

dengan prinsip-prinsip mistisme khas Persia. Namun ternyata, Mullâ Sadrâ secara

keseluruhan dalam ajarannya tidak bertentangan dan bahkan dalam penafsiran

tertentu dapat dicari kemiripannya dengan tradisi mistisme Persia sebelumnya.

Ajaran Mullâ Sadrâ menjadi diterima dengan baik oleh kalangan intelektual di sana.

Di antara alasannya karena pada masa itu, para pemikir sedang berusaha merumuskan

karya yang mampu menyintesis berbagai varian pemikiran. Kehadiran Mullâ Sadrâ

dianggap mampu mewujudkan ekspektasi itu.

Sementara itu, ajaran Hamzah Fansûrî sebelum kedatangan Nûr al-Dîn al-

Ranîrî diterima dengan baik. Ajaran tersebut memang dirumuskan dengan sangat

sesuai bagi masyarakat Melayu. Ajaran Wujudiah yang sebelumnya dikenal sangat

rumit dihadirkan dalam bahasa yang indah dan menggunakan analogi yang mudah

dipahami masyarakat. Sayangnya, ajaran Hamzah Fansûrî diklaim sesat oleh Nûr al-

Dîn al-Ranîrî. Meskipun sempat mendapatkan pembelaan dari Sayf al-Rizâl,

Wujudiah Hamzah Fansûrî tetap menjadi asing bagi masyarakat, bahkan hingga kini.

Dalam Tibyan dan Hujjat, Nûr al-Dîn al-Ranîrî memberikan porsi besar untuk

menunjukkan hal-hal yang dianggapnya penuh ketimpangan di dalam ajaran

Wujudiah Hamzah Fansûrî. Dalam Tibyan, Nûr al-Dîn al-Ranîrî tidak menyebutkan

ajaran Wujudiah Ibn ‘Arabî itu sesat. Bahkan di dalam Hujjat, Nûr al-Dîn al-Ranîrî

889 Gambaran bayangan menurut ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî dapat dilihat pada pengantar

Tanbih al-Masyi. Lihat, Fathurahman, Tanbih Al-Masyi: Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus

Abdurrauf Singkel Di Aceh Abad 17, 1.

209

memuji Ibn ‘Arabî sebagai sufi yang menganut ajaran yang benar. Ajaran Hamzah

Fansûrî dikritik secara mendalam. Ajaran Hamzah Fansûrî ditegaskan benar-benar

sesat. Padahal, Hamzah Fansûrî dengan jelas merupakan pengikut ajaran Wujudiah

sebagaimana Ibn ‘Arabî. Bahkan, memahami Wujudiah Hamzah Fansûrî lebih

sederhana dan tidak serumit pendekatan Ibn ‘Arabî. Penentangan itu terjadi, antara

lain, karena Wujudiah yang diajarkan Hamzah Fansûrî menggunakan analogi-analogi

yang berpotensi mengarahkan pemahaman mirip kepada ajaran reinkarnasi milik

Tanasukhiyyah, Jawhar Basith dalam filsafat, Wathaniyah, Barahimah, dan

Hululiyyah.

Dikatakan Nûr al-Dîn al-Ranîrî, bahwa Hamzah Fansûrî dan Shams al-Dîn al-

Sumatranî berpaham demikian. Dikatakan juga ajaran ini meyakini kejadian (takwin)

dengan yang menjadikan (mukawwin), dan aktivitas (tafa'ul) pengaktif (mufa'al)

adalah satu. Di samping itu, Jahamiyyah Zanadiqiyyah yang meyakini kekekalan

alam mirip dengan iktikad Hamzah Fansûrî dan Shams al-Dîn al-Sumatranî karena

bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah-lah yang menjadikan

segala sesuatu (QS. 13: 16). Ditegaskan Nûr al-Dîn al-Ranîrî, dalam pandangan Ahlu

Sunnah wal Jama’ah, siapa yang meyakini ma'lum, maksudnya, objek pengetahuan

Tuhan itu ada sesuatu maka dia itu kafir. Dikatakan mereka adalah yang meyakini

eksistensi materi primer dan a'yan tsabitah.

Nûr al-Dîn al-Ranîrî mengatakan, Hamzah Fansûrî dalam al-Muntahî

meyakini makna hadis qudsi, “Siapa kenal diri, maka telah kenal Rabb-nya.” Bahwa

dirinya dan sekalian alam dalam ilmu Allah seumpama sekalian bagian pohon telah

lengkap dalam biji. Maka dari itu, keluarlah alam dari ilmu Allah seperti keluarnya

batang, daun, dan buah dari biji. Dikatakan paham demikian adalah kufur.890 Menurut

Nûr al-Dîn al-Ranîrî pula, Hamzah Fansûrî tidak membenarkan menyifatkan melihat

Haqq Ta’ala seperti kain basah dan air karena air dan kain berbeda, tetapi harus

seperti laut dan ombak karena laut adalah satu dengan ombak sehingga makhluk

dengan Allah satu. Matahari, cahaya matahari, dan panas matahari, meski nama dan

rupanya tiga, hakikatnya satu. Nûr al-Dîn al-Ranîrî mengatakan paham demikian

seperti paham falasifah atau paham Nasrani yang meyakini wujûd Bapa, wujud Anak,

dan dan wujûd Ibu adalah tiga nama yang hakikatnya satu wujûd. Dalam pemahaman

Hamzah Fansûrî, ''Siapa kenal dirinya ...'' bukan mengenal jantung, paru-paru, kaki

atau tangan, dimaknai Nûr al-Dîn al-Ranîrî adalah bermaksud mengiktikadkan wujud

makhluk dan wujûd Tuhan adalah Esa. Padahal, Wujudiah Hamzah Fansûrî hanya

menerima satu wujûd, yakni Haqq Ta’ala dan selain-Nya adalah bayangan (wahmî).

Dalam penilaian Nûr al-Dîn al-Ranîrî, Hamzah Fansûrî mengatakan keadaan

makhluk berawal dengan keadaan Tuhan dan melihat Tuhan dengan penglihatan-

Nya. Paham demikian menjadikan wujûd dan sifat makhluk yang baharu bersatu

dengan wujûd dan sifat Qadim Tuhan. Hamzah Fansûrî meyakini wujûd itu pada zahir

majemuk dan berubah-ubah karena Dia Awal dan Dia Akhir. Awal tiada ketahuan,

Akhir tiada Kesudahan; Batin tiada terjangkau, pada zat, pada sifat, pada perbuatan,

dan pada jejak (atsar), yang mana empat itu hakikatnya adalah satu. Paham tersebut

menjadikan makhluk dan Khalik bersuatu. Bagi Nûr al-Dîn al-Ranîrî, pernyataan

890 Nûr al-Dîn Al-Ranîrî, Al-Tibyan fî Ma’rifat al-Adyân, ed. Muhammad Kalam Daud

(Banda Aceh: PeNa, 2011), 168–169.

210

Hamzah Fansûrî, ''Pada zahirnya wujud makhluk, tetapi pada hakikatnya Allah,''

adalah paham ittihad. Nûr al-Dîn al-Ranîrî mengecam pandangan ittihad

sebagaimana dipegang oleh Abû Yazid al-Bistamî.

Hamzah Fansûrî disebutkan meyakini pada hakikatnya Zahir dengan mazhar

tiada bercerai. Hamzah Fansûrî meyakini ilmu pertama adalah pengetahuan terhadap

Allah. ''Adapun kesudahan-sudahan makrifat itu tatkala datanglah kepada had faqir

bahwa ialah Allah.'' Maksud Nûr al-Dîn al-Ranîrî, paham penganalogian makhluk

dengan Haqq dengan bertiup angin ombak timbul, berhenti angin, ombak kembali,

adalah kufur karena kesalahannya telah nyata891.

Nûr al-Dîn al-Ranîrî mengecam keyakinan yang menganalogikan Khaliq

seperti biji dengan pohon kayu di dalamnya sebagai paham zindik yang menyebabkan

kekufuran. Disimpulkan bahwa paham demikian meyakini dua zahir kelihatan,

namun hakikatnya satu. Paham demikian dianggap sama dengan paham Abû Mansûr

al-Hallaj yang menyatakan zatnya tiada dilihat lagi, kefakiran adalah tiada suatu apa

pun baginya. Hamzah Fansûrî dikatakan telah menyerukan, ''Jika tiada menerima

kufur, maka tiada bertemu dengan kufur.''

Maksud Hamzah Fansûrî menganalogikan makhluk sudah terkandung dalam

Ilmu Allah sebagaimana keseluruhan pohon sudah terkandung dalam biji adalah

untuk menjelaskan bahwa eksistensi alam bukan dari ketiadaan, namun berasal dari

eksistensi juga sekalipun keberadaannya belum aktual. Statusnya dalam filsafat

adalah seperti materi primer. Statusnya adalah mukmin al-wujûd. Mumkin al-wujûd

tidak dikategorikan wujud karena belum aktual, namun bukan merupakan ketiadaan

karena berpotensi mengada. Ketiadaan tidak memiliki potensi untuk mengada.

Keadaan ini dianalogikan seperti dalam sebuah biji yang telah terkandung padanya

keseluruhan pohon dari akar, batang, cabang, ranting, hingga buahnya.892

Hamzah Fansûrî tidak menginginkan penyifatan hubungan Tuhan dengan

makhluk seperti kain basah karena air dan kain itu berbeda. Hamzah Fansûrî tidak

beriktikad wujûd itu majemuk, tetapi tunggal. Kepercayaan wujûd itu majemuk dalam

pandangan sufi Wujudiah adalah syirik. Nûr al-Dîn al-Ranîrî sendiri dalam Tibyan

telah menyatakan bahwa iktikad yang benar itu adalah meyakini hanya wujûd Allah

yang nyata, sementara wujud yang lain itu hanya seperti bayangan di dalam cermin.

Dalam hal ini, baik Hamzah Fansûrî maupun Hamzah Fansûrî berpandangan mirip.

Masalahnya adalah Nûr al-Dîn al-Ranîrî tidak menginginkan analogi hubungan

Tuhan dan makhluk seperti hubungan laut dan ombak. Hal ini karena mengesankan

wujûd makhluk menyatu dengan wujud Tuhan. Padahal dalam tulisan-tulisannya,

berulang kali Hamzah Fansûrî menegaskan bahwa selain Haqq Ta’ala, wujudnya

majasi atau wahmî. Mengenal diri dalam pandangan Hamzah Fansûrî bukan

mengenal organ tertentu, melainkan mengenal wujûd. Di sana, ditemukan wujûd itu

hanya satu. Sementara segala objek material yang terindrai itu bukan wujudnya,

melainkan aksiden-aksidennya. Wujûd itu satu. Dia adalah Awal dan Akhir.893 Dia

hadir pada setiap realitas. Akan tetapi, yang dimaksud dengan realitas adalah wujûd

-nya, bukan modus wujûd, yakni aksiden-aksiden yang terindrai.

891 Nûr al-Dîn Al-Ranîrî, Al-Tibyan fî Ma’rifat al-Adyân…,172. 892 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 132. 893 Doorenbos, De Gefchriften van Hamzah Pansoeri…, 162.

211

Dalam hal ini, secara umum Nûr al-Dîn al-Ranîrî menentang Wujudiah

Hamzah Fansûrî karena analogi-analogi yang digunakan. Analogi-analogi, seperti

matahari dan cahayanya, laut dan ombak, serta buah dan biji. Dalam hal ini,

penyasaran Nûr al-Dîn al-Ranîrî atas analogi-analogi dalam Asrâr merupakan bagian

dari kecemerlangan Nûr al-Dîn al-Ranîrî untuk menemukan inti gagasan Hamzah

Fansûrî. Hal lain yang sangat mendukung alasan utama penolakan Nûr al-Dîn al-

Ranîrî atas Wujudiah Hamzah Fansûrî adalah karena sufi Melayu itu tidak hanya

menyerap ajaran Wujudiah yang dianggap lurus, seperti Ibn ‘Arabî, tetapi juga

menyerap ajaran Wujudiah yang dianggap sesat oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî, seperti

ajaran Abû Mansûr al-Hallaj dan Abû Yazid al-Bistamî. Namun, Nûr al-Dîn al-Ranîrî

tetap menganggap Ibn ‘Arabî sebagai sufi Wujudiah yang lurus (muwahid) meskipun

Ibn ‘Arabî sebelumnya telah menggunakan analogi-analogi yang dianggap tidak

akurat saat digunakan Hamzah Fansûrî. Dengan kritik tajam dari Nûr al-Dîn al-Ranîrî

meskipun sempat dibela kembali oleh Sayf al-Rizâl, Mufti Aceh Darussalam dari

Minangkabau, selanjutnya ajaran Hamzah Fansûrî tetap tidak diterima secara luas.

Sementara itu, di dunia Persia, filsafat Mullâ Sadrâ mengalami nasib yang

sangat baik. Meskipun sempat dicurigai hendak melemahkan semangat al-Hikmah

al-Isyrâqiyyah yang telah terlanjur membuat kagum masyarakat Persia, ternyata

setelah dipelajari secara utuh dan mendalam, filsafat Mullâ Sadrâ diterima dengan

baik karena masih mengusung semangat mistisme khas Persia. Masyarakat Persia

sangat bangga dengan kegemilangan mistisme khas budaya mereka, termasuk al-

Hikmah al-Isyrâqiyyah. Sebab itulah, filsafat Mullâ Sadrâ itu dicurigai pada awal

kemunculannya. Namun, selanjutnya begitu diminati karena dianggap mampu

menyintesis berbagai varian pemikiran sebelumnya.

Di samping itu, filsafat Mullâ Sadrâ diterima dengan baik karena memiliki

dimensi sistem rasional bergaya Aristotelian yang didayagunakan untuk

memantapkan argumentasi mistisme. Kehadiran Mullâ Hâdî Sabzawârî yang

melakukan radikalisasi aspek mistis filsafat Mullâ Sadrâ, khususnya dalam gaya

bahasa Arab yang sangat sastrawi membuat ajaran itu makin diminati. Maka dari itu,

tak heran pada era modern filsafat Mullâ Sadrâ sangat diapresiasi dalam pemaknaan

mistisnya. Terdapat kemungkinan kecenderungan tersebut terjadi karena krisis

spiritualitas memang melanda umat manusia pada era modern894.

Hasan Zâdeh Amûlî, Sayyid Yadullah Yazdan Panah, dan Hasan Mu’allimî

menulis karya-karya tasawuf dengan mengambil aspek mistik dari filsafat Mullâ

Sadrâ. Karya-karya mereka itu bercorak sangat mistis dan jauh dari gaya filsafat

Aristotelian. Sayyid Yadullah Yazdan Panah misalnya, sebagaimana dijelaskan Nur

Jabir, menggunakan sistem tasawuf filosofis yang diistilahkan dengan ‘irfân nazârî

dalam menjelaskan filsafat Mullâ Sadrâ. Dia menggunakan sistem tiga relasi model

aspek (haitsiyyah), yaitu haitsiyah ithlaqiyyah (model aspek kemutlakan), haitsiyah

ta’liliyah (model aspek kausatif), dan haitsiyah taqyidiyah (model aspek kondisional)

yang sebenarnya itu merupakan konsep mistisme. Konsep tersebut digunakan untuk

894 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (Chicago: Kazi

Publications, 2001), 18.

212

menegaskan bahwa rasionalisasi Mullâ Sadrâ dalam menjelaskan hubungan

ketunggalan dan kemajemukan bermuara pada penegasan ketunggalan wujûd.

Haitsiyah ithlaqiyyah (model aspek kemutlakan) atau relasi model aspek

absolut adalah wujûd subjek tanpa perantara, tidak memerlukan sebab dan tidak

berlaku limitasi padanya untuk eksis. “Haqq Ta’ala adalah Wujûd Sejati” karena

Haqq Ta’ala tidak membutuhkan perantara ataupun sebab untuk eksis. Haitsiyah

ta’liliyah (model aspek kausatif) adalah predikasi suatu subjek melalui perantaranya,

yang mana perantara itu adalah penyebab subjek dan merupakan wujûd sekaligus

menjadi pemberi wujûd bagi subjek. Jika perantara ini tidak ada, wujûd subjek tidak

akan memiliki wujûd. Misalnya, air yang dipanaskan melalui api. Api menjadi panas

secara hakiki, tetapi sebab panas bukan air, melainkan api. Dalam hal ini, api disebut

model aspek kausatif.

Haitsiyah taqyîdîyah (model aspek kondisional) adalah wujûd dipredikatkan

pada sebuah subjek melalui perantara karena antara subjek dan perantara tersebut

memiliki sebuah relasi. Relasi ini melekat pada perantara hanya ketika subjek

dikaitkan dengan perantara karena antara subjek dan perantara hanya berhubungan

secara kondisional atau hubungan aksiden. Misalnya, proposisi "banku itu bocor",

sebenarnya yang bocor adalah ban mobil, namun mobil dan pengendaranya punya

relasi tertentu sehingga ban dinisbahkan kepada pengendara895.

Hâitsiyah taqyîdîyah (model aspek kondisional) terbagi menjadi model aspek

hâitsiyah taqyîdîyah nafâdîyah, haitsiyah taqyidiyah indimâjiîyah, dan hâitsiyah

taqyîdîyah sya'niyah. Hâitsiyah taqyîdîyah nafâdîyah dipakai dalam analisis filsafat

Mullâ Sadrâ untuk menjelaskan hubungan wujûd dan mâhiyâh dalam prinsip

kemendasaran wujûd atas mâhiyâh896. Wujûd mengada dengan zatnya sendiri,

sementara mâhiyâh mengada dengan hâitsiyah taqyîdîyah wujûd. Misalnya, wujûd

pohon eksis dengan sendirinya, tetapi “pohon” (sebagai mâhiyâh) eksis dengan

hâitsiyah taqyîdîyah897.

Hâitsiyah taqyîdîyah indimajiyah, adalah sistem yang digunakan dalam

menganalisis pemikiran Mullâ Sadrâ dalam menjelaskan mau'qulat tsanî falsafî yang

menerangkan bahwa konsep abstrak mental yang memiliki acuan pada realitas

eksternal. Dalam prinsip kemendasaran wujûd, realitas eksternal itu adalah

sepenuhnya diisi oleh wujûd sehingga dalam abstraksi mental, konsep-konsep, seperti

sebab-akibat, wajîb-mumkîn, adalah wujûd; sementara konsep-konsep itu bukan

tambahan bagi wujûd, melainkan eksis dengan wujûd, yaitu eksis dengan hâitsiyah

taqyîdîyah indîmîjiyah. Konsep-konsep itu berada dalam wujûd dengan tidak

membuat wujûd menjadi majemuk.

Haitsiyah taqyîdîyah sya'niyah digunakan untuk menjelaskan konsep jiwa

dalam filsafat Mullâ Sadrâ yang memandang jiwa sebagai sesuatu yang sederhana

sekaligus memiliki fakultas indrawi, fakultas imajinasi, dan fakultas inteleksi.

Kehadiran jiwa dalam fakultas-fakultas itu adalah hubungan haitsiyah taqyidiyah

sya'niyah898. Meskipun dalam Wahdah al-Wujûd hanya menerima satu wujûd,

895 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 35–38. 896 Nasr, Islamic Philosophy From Its Origin to the Present…, 68–69. 897 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 38. 898 Jabir, Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla Sadrâ…, 40–42.

213

sementara selainnya bukan lokus wujûd, tetapi bukan berarti kemajemukan itu tidak

memiliki nafs al-amar. Sebenarnya, kemajemukan itu mengada dengan wujûd

melalui mode kondisi sebagaimana dijelaskan melalui hâitsiyah taqyîdîyah sya'niyah.

Maka dari itu, dalam sistem yang digunakan Sayyid Yadullah Yazdan Panah itu,

filsafat Mullâ Sadrâ menjadi sangat bernuansa mistis persis seperti Wujudiah yang

diajarkan Ibn ‘Arabî dan Hamzah Fansûrî. Dalam pemaknaan melalui perspektif ini,

sistem taskȋk al-wujûd Mullâ Sadrâ sekalipun menjadi termaknai sebagai kesatuan

wujûd yang sama seperti ajaran Wujudiah, yakni sama sekali tidak menerima

eksistensi kemajemukan.

Namun, tidak semua pemikir di sana memahami demikian. Sebagian pemikir,

seperi Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i dan Muhammad Taqî Misbah Yazdî berusaha tidak

melibatkan aspek mistis dalam filsafat Mullâ Sadrâ dan berfokus pada filsafat

sistematis bercorak Aristotelian yang terkandung di dalamnya. Sayyid Hussîn

Thabattâbâ'i menulis dua karangan tentang filsafat Mullâ Sadrâ, yakni Bidayat al-

Hikmah dan Nihayat al-Hikmah untuk menjelaskan filsafat Mullâ Sadrâ dalam aspek

filsafat bercorak Aristotelian dalam artian sistem yang sangat rigid dan penuh

argumentasi bercorak silogisme. Demikian juga Muhammad Taqî Misbah Yazdî.

Ali Akbar Rashad menunjukkan bahwa, setidaknya terdapat tiga usaha besar

Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i dalam usaha meradikalkan filsafat Mullâ Sadrâ menjadi

makin bercorak Peripatetik. Pertama adalah memisahkan argumen mistis (shuhûd)

dengan argumen rasional (burhân) untuk selanjutnya fokus pada argumentasi-

argumentasi rasional. Kedua, melacak akar persoalan yang dibahas Mullâ Sadrâ

dengan menunjukkan bahwa persoalan-persoalan yang menjadi fokus respons Mullâ

Sadrâ adalah persoalan-persoalan filsafat. Maksudnya adalah hendak ditunjukkan

bahwa kehadiran Mullâ Sadrâ utamanya adalah hendak berdialog dalam persoalan

filsafat. Ketiga, perbandingan dengan berbagai tradisi filsafat. Dalam hal ini, Sayyid

Hussîn Thabattâbâ'i menguatkan sistem filsafat Mullâ Sadrâ dengan mengganti

tradisi-tradisi keilmuan kuno dan menggantikannya dengan filsafat kontemporer

dalam rangka membuat sistem Aristotelian dalam filsafat Mullâ Sadrâ 899.

Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i sangat menghindari proposisi-proposisi yang

didasarkan pada pengetahuan yang ditemukan dari pengalaman mistik. Karena dalam

filsafat Mullâ Sadrâ sendiri, argumentasi-argumentasi yang dibangun sangat sering

menjadikan pengalaman hudhûrî sebagai basis argumentasi. Dalam hal ini, Sayyid

Hussîn Thabattâbâ'i bukan hendak menolak validitas pengalaman mistik itu,

melainkan ingin berfokus pada argumentasi bercorak filsafat. Terkadang, Mullâ

Sadrâ juga mengakomodir pandangan-pandangan sains kuno, seperti fisika dan

kosmologi. Hal ini sangat dihindari Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i. Sebagai gantinya,

dia mengintegrasikan filsafat Mullâ Sadrâ dengan argumentasi filsafat Modern dan

penemuan-penemuan sains modern. Misalnya, kosmologi masa lalu menganggap

unsur terkecil adalah air, api, dan tanah. Digantikan dengan molekul dan artikel sub-

atomik yang merupakan gagasan sains kontemporer900.

899 Ali Akbar Rashad, “Neo-Sadrian Pilosophical Discourse,” in Sadra Islamic

Philosophy Research (Tehran: SIPRIn Publication, 1999), 38–39. 900 Cipta Bakti Gama, Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam, Dan Filsafat Barat

Kontemporer…, 104.

214

Muhammad Taqî Misbah Yazdî adalah pengikut ajaran Mullâ Sadrâ lainnya di

samping Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i yang melihat ajaran Mullâ Sadrâ dalam sisi yang

bercorak filsafat dan menjauhkannya dari pandangan bercorak tasawuf filosofis.

Muhammad Taqî Misbah Yazdî berpandangan bahwa Mullâ Sadrâ menerima

kemajemukan realitas sebagaimana sistem taskîk al-wujûd901. Menurutnya, filsafat

Mullâ Sadrâ itu bukan kesatuan wujûd. Berpandangan bahwa kemajemukan itu riil

adanya dan tidak bertentangan dengan kesatuannya. Kemajemukan wujud itu

digambarkan seperti mata rantai yang saling berhubungan, terdapat yang lebih dahulu

dan lebih belakangan serta lebih kuat dan tidak lebih kuat, semuanya adalah satu

kesatuan sekaligus ketunggalan dalam wujûd yang mendasar.

Dengan demikian, nasib ajaran Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ

menjadi sangat berbeda. Ajaran Hamzah Fansûrî hingga hari ini masih dianggap tabu

dan ditolak karena masih diyakini sesat oleh banyak masyarakat Indonesia.

Sementara ajaran Mullâ Sadrâ sangat diapresiasi dan sangat berkontribusi

meningkatkan semangat intelektual dan pembelajaran filsafat di negerinya. Bahkan,

perdebatan penggolongan varian dalam memahami ajaran Mullâ Sadrâ antara

pemaknaan bercorak mistik dan bercorak filsafat malah menciptakan dialektika

pemikiran yang membuat studi pemikiran di sana menjadi makin berkembang.

C. Pemaknaan Perbandingan Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Filsafat Mullâ

Sadrâ

Relasi Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ yang sama-sama

memahami wujûd sebagai univokal, mendasari realitas, dan bersifat tunggal

menjadikan dua ajaran ini paling dekat secara ontologis. Kesamaan ini bersifat

ekuivalen. Meskipun dalam tinjauan yang lebih umum dapat dikatakan filsafat Mullâ

Sadrâ sebagai disiplin filsafat Islam lebih dekat dengan al-Hikmah al-Isyrâqiyyah dan

al-Hikmah al-Masyâ'iyyah, demikian pula Wujudiah Hamzah Fansûrî sebagai bagian

ajaran tasawuf filosofis secara rumpun keilmuan dianggap lebih dekat dengan

tasawuf amal atau tasawuf akhlak, namun relasi identik univokal antara Wujudiah

Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ menunjukkan bahwa pembagian dan

pengelompokan antardisiplin keilmuan bukan berdasarkan kesamaan aspek esensial

tiap-tiap keilmuan, yakni kefilsafatan tiap-tiap keilmuan yang mencakup aspek

ontologi, aspek epistemologi, dan aspek aksiologi. Pembagian dan pengelompokan

antardisiplin keilmuan biasanya dilakukan berdasarkan kemiripan aspek aksidennya,

khususnya dari aspek istilah dan penamaannya saja902. Pada sisi pemerimaan

ekuivokasi dan kemendasaran wujûd, Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ

Sadrâ dapat dikatakan ekuivalen. Namun secara keseluruhan dalam pandangan

tentang wujûd, hubungan kesamaannya adalah relasi umum khusus satu sisi karena

Mullâ Sadrâ menerima kesatuan sekaligus kemajemukan wujûd.

Kesamaan penting lainnya antara Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ

Sadrâ adalah mereka sepakat bahwa manusia harus mempersiapkan bekal untuk

mengenali diri melalui bahasa teknis yang berbeda, yakni Hamzah Fansûrî

menekankan pentingnya mengikuti jalan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.

901 Labib, Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi…, 217 902 Penjelasan antara univokal dan ekuivokal, lihat, Miswari, Filsafat Terakhir…,, 169.

215

Sementara Mullâ Sadrâ menekankan pentingnya empat perjalanan spiritual dalam

skema empat perjalanan (asfâr arba’ah)903. Kesamaan ini dapat dikatakan sebagai

relasi umum-khusus satu sisi. Hal ini karena meskipun keduanya bersamaan pada

aspek menjadikan perjalanan ke dalam diri itu bertujuan untuk menemukan

penyingkapan spiritual sehingga memperoleh ilmu hudhûrî yang merupakan sumber

pengetahuan hakiki, masing-masing menggunakan fokus pendekatan berbeda untuk

mencapai tujuan pengenalan diri itu. Pada satu sisi, Hamzah Fansûrî lebih

menekankan prosesnya melalui syariat dan tarekat. Pada sisi lain, Mullâ Sadrâ lebih

menekankan melalui penalaran rasional.

Kesamaan lainnya adalah penerimaan atas ilmu hudhûrî dan menjadikannya

sebagai sistem pengetahuan yang meyakinkan. Filsafat Mullâ Sadrâ menjadikan

hudhûrî sebagai bagian dari fondasi burhanî. Posisi irfânî adalah prasyarat bagi

validitas proposisi. Hudhûrî bagi filsafat Mullâ Sadrâ adalah alternatif bagi definisi

yang telah tertolak oleh argumentasi Syihab al-Dîn al-Suhrawardî. Maka dari itu,

filsafat Mullâ Sadrâ menjadikan hudhûrî sebagai alternatif prasyarat proposisi untuk

menggantikan definisi904. Dalam filsafat Mullâ Sadrâ, realitas dapat diketahui melalui

pendekatan tajribî, bayanî, burhânî, dan hudhûrî. Hudhûrî diandalkan untuk

mengetahui realitas sebagaimana adanya. Tajribî berguna untuk mengonfirmasi

eksistensi realitas. Wujudiah Hamzah Fansûrî dan filsafat Mullâ Sadrâ sepakat bahwa

hudhûrî adalah pendekatan untuk mengenal wujûd. Hamzah Fansûrî menggunakan

analogi dalam menjelaskan pengetahuan hudhûrî. Sementara Mullâ Sadrâ

menggunakan ilmu hudhûrî untuk memenuhi prasyarat elementer dari proposisi

untuk meneguhkan validitas burhânî. Dengan pendekatan hudhûrî, Wujudiah

Hamzah Fansûrî mengaku pengetahuan manusia dapat menjangkau ‘ayân al-tsabîtah,

yakni realitas yang menjadi perantara alam dengan maqâm Ilahi. Sementara bagi

ajaran Mullâ Sadrâ sebagai suatu perspektif ajaran filsafat, ranah tersebut tidak

dieksplorasi secara mendalam905. Tidak ada eksplorasi kondisi realitas immaterial

dalam filsafat. Filsafat hanya mengakui validitas irfânî yang dengannya Mullâ Sadrâ

menunjukkan bahwa realitas itu tunggal sekaligus bergradasi. Dalam Wujudiah,

hudhûrî menjadi pintu masuk untuk mengeksporasi realitas-realitas yang ada dalam

berbagai maqâmat alam immaterial hingga spekulasi tentang kondisi-kondisi realitas

Ilahiah yang mana oleh Hamzah Fansûrî dijelaskan melalui analogi. Sementara dalam

ajaran Mullâ Sadrâ, hudhûrî dijadikan titik tolak dalam kegiatan berfilsafat. Bagi

Wujudiah Hamzah Fansûrî, hudhûrî adalah keseluruhan dari epistemologinya.

Sementara metode lainnya hanya dijadikan bagian-bagian aksidental yang bertujuan

mengukuhkan hudhûrî. Sementara bagi Mullâ Sadrâ, hudhûrî diterima sebagai bagian

dari metodenya untuk mengukuhkan burhânî. Karena itu, hubungan kesamaan

Wujudiah Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ tentang posisi ‘irfânî tergolong relasi

umum dan khusus mutlak906.

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ juga sama-sama menerima eksistensi alam

potensial. Hamzah Fansûrî mengistilahkannya dengan ‘ayan tsabiytah, rûh idhafî,

903 Sadrâ, al-Hikmah al-Muta’âliyah fî al-Asfâr al-‘Aqliyyah al-Arba’ah Vol. I..,, 39 904 Al-Mandary, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemikiran Mullâ Sadrâ…, 204. 905 Nasution, Filsafat Ilmu Pengetahuan…, 87. 906 Skema tersebut, terdaapat dalam: Fadli, Logika Praktis, 37–38.

216

dan isti’dad aslȋ. Sementara Mullâ Sadrâ juga menerima hal yang sama dengan

menggunakan istilah materi primer (hayûlâ). Penerimaan mereka atas eksistensi alam

potensial meniscayakan pandangan bahwa aktualitas alam itu berasal dari

keberadaan, bukan ketiadaan. Hal ini karena secara logika, ketiadaan mustahil dapat

menghasilkan keberadaan. Eksistensi alam potensial menjadi kajian yang mendalam

dalam Wujudiah Hamzah Fansûrî. Keunikan filsafat dan tasawuf filosofis adalah

penerimaan mereka atas eksistensi alam potensial. Dalam hal ini, penerimaan

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ atas eksistensi alam potensial dapat disebut

ekuivalen.

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ sepakat bahwa kefakiran makhluk atas

Khalik adalah kebergantungan wujud. Hamzah Fansûrî menjelaskan kebergantungan

itu seperti bergantungnya besi kepada tukang besi. Tukang besi memiiki kehendak

mutlak atas besi. Sementara besi sendiri sama sekali tidak memiliki daya. Sementara

Mullâ Sadrâ menjelaskan kebergantungan mutlak makhluk atas Khalik dengan

menggunakan istilah kefakiran akibat dalam kausalitas (illiyah). Meskipun

menggunakan pendekatan istilah teknis yang berbeda, keduanya sepakat bahwa

makhluk bergantung mutlak kepada Khalik. Dalam hal ini, persamaan kedua pemikir

ini dalam mengakui kefakiran makhluk atas Khalik juga dapat dikatakan ekuivalen.

Gambar 2. Orientasi relasi

Pemikiran

Hamzah Fansûrî

Titik temu pemikiran

Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ

Pemikiran

Mullâ Sadrâ

Gambar 3. Persamaan pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

No. Unit Relasi Jenis

Persamaan Argumentasi Gambar

Relasi

1 Ekuivalen Univokasi dan

Kemendasaran

Wujûd

Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ meyakini

konsep wujûd itu

univokal, dan wujûd

adalah dasar bagi realitas.

2 Umum-

khusus satu

sisi

Pengenalan Diri

sebagai

Langkah

Menuju

Pengetahuan

Sejati

Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ sama-sama

berpandangan bahwa

pengenalan diri sebagai

langkah menuju

pengetahuan sejati.

217

Namun Hamzah Fansûrî

lebih menekankan untuk

berproses melalui syariat

dan tarekat. Sementara

Mullâ Sadrâ lebih

menekankan untuk

berproses melalui

kesadaran rasional dalam

sistem filsafat.

3 Umum-

khusus

mutlak

Ilmu Hudhûrî

sebagai

Pengetahuan

Sejati

Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ sama-sama

mengakui perlunya ilmu

hudhûrî sebagai sumber

pengetahuan sejati.

Namun bagi Mullâ Sadrâ,

ilmu hudhûrî hanya

menjadi persiapan (awal)

bagi kegiatan berfilsafat.

Sementara bagi Hamzah

Fansûrî, ilmu hudhûrî

adalah kesempurnaan

dari pengetahuan.

4 Ekuivalen Eksistensi

Alam Potensial

Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ sama-sama

memahami bahwa alam

potensial itu sudah eksis

sejak sedia kala dan

menjadi sumber bagi

menjelmanya realitas

alam semesta.

5 Ekuivalen Kefakiran

Mutlak

Makhluk

kepada Khalik

Hamzah Fansûrî dan

Mullâ Sadrâ sama-sama

beritikad bahwa makhluk

itu benar-benar fakir

wujûd dan wujûd itu

hanya dari Khalik.

Sementara itu, pada sisi perbedaan, yang berada pada status nonekuivalen

dalam skema relasi, Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ memiliki sangat banyak

perbedaan yang tidak terhitung. Namun berdasarkan fokus penelitian, terdapat

beberapa berbedaan signifikan yang merupakan relasi nonekuivalen, yakni perbedaan

konteks kebudayaan, perbedaan pemahaman atas status kemajemukan realitas

218

eksternal, dan perbedaan multiperspektif varian dan sasaran kritikan. Konteks

kebudayaan yang berbeda dari Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ menentukan corak

yang berbeda dari kedua tokoh ini dalam menyampaikan ajarannya. Hamzah Fansûrî

perlu menyederhanakan Wujudiah dengan cara yang sederhana dan dalam bahasa

yang mudah dipahami masyarakat Melayu pada masanya. Sementara Mullâ Sadrâ

memiliki tuntutan untuk melanjutkan usaha sistesis berbagai model pemikiran dalam

karyanya.

Status kemajemukan alam dalam pandangan Hamzah Fansûrî tidak nyata

karena alam semesta dalam pandangannya hanyalah bayangan atau ‘athar dari Haqq

Ta’ala. Sementara Mullâ Sadrâ menegaskan bahwa kemajemukan itu riil berdasarkan

konsep taskîk al-wujûd. Meskipun demikian, konsep ambigu ini menimbulkan

perdebatan antar pemikir Sadrian. Sebagian meyakini taskîk al-wujûd adalah

pengantar bagi penjelasan wahdat al-wujûd. Sebagian lainnya meyakini taskîk al-

wujûd adalah final dari pemikiran Mullâ Sadrâ.

Perbedaan pandangan atas tiap-tiap tokoh menjadi bagian penting dari

perbedaan pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ sebagai implikasi gagasan

masing-masing yang sangat ditentukan oleh konteks sosialnya yang berbeda. Ajaran

Hamzah Fansûrî meski sempat diterima pada masa Shams al-Dîn al-Sumatranî,

namun ditolak oleh Nûr al-Dîn al-Ranîrî. Cara pandang sebagaimana Nûr al-Dîn al-

Ranîrî terhadap pemikiran Wujudiah Hamzah Fansûrî secara umum berlaku hingga

hari ini.

Sementara gagasan Mullâ Sadrâ, meski sempat ditolak karena dicurigai

bertentangan dengan tradisi pemikiran dan mistisme Persia klasik, selanjutnya

diterima dengan baik dengan memunculkan multiperspektif. Pada satu sisi, pemikiran

Mullâ Sadrâ dipandang sebagai pemikiran mistisme, pada sisi lain dipandang sebagai

pemikiran filsafat.

Gambar 4. Perbedaan pemikiran Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ

No. Unit Perbedaan Keunikan Hamzah

Fansûrî Keunikan Mullâ Sadrâ

1 Perbedaan Konteks

Kebudayaan Hamzah Fansûrî

menyebarkan ajarannya

dalam bahasa yang

sederhana, puitis,

dengan analogi-analogi

yang mudah dipahami

masyarakat Melayu.

Budaya sisntesa berbagai

dimensi pemikiran Islam

di Persia menjadikan

Mullâ Sadrâ berdialog

dengan berbagai

khazanah pemikiran

Islam secara luas,

mendalam, dan panjang

lebar.

2 Perbedaan

Pemahaman atas

Status

Kemajemukan

Realitas Eksternal

Hamzah Fansûrî

menegaskaan tidak

menerima kemajemukan

realitas eksternal.

Mullâ Sadrâ menerima

kemajemukan (sekaligus

ketunggalan) realitas

eksternal (ambigu).

219

3 Multi Perspektif

Varian dan Sasaran

Kritikan

Ajaran Hamzah Fansûrî

awalnya diterima,

kemudian ditolak.

Ajaran Mullâ Sadrâ

awalnya ditolak,

kemudian diterima.

220

BAB VI

PENUTUP

Tradisi intelektual dan sosiokultural yang berbeda antara negeri Melayu dan

Persia pada sekitar abad ke-16 dan ke-17 berpengaruh pada lahirnya corak pemikiran

yang berbeda pada tiap-tiap konteks kebudayaan. Namun, kedua konteks itu sama-

sama telah melahirkan pemikir besar yang mampu melakukan kritik dan sintesis dari

khazanah pemikiran sebelumnya. Karena tradisi filsafat bercorak Aristotelian kurang

eksis di negeri Melayu, para pemikirnya kurang mendialogkan corak filsafat tersebut.

Sementara di negeri Persia, meskipun kecenderungan mistiknya juga sangat kuat

seperti di negeri Melayu, memiliki ruang yang luas dalam diskursus filsafat

Aristotelian. Hal ini tergambarkan dari corak pemikiran Persia, seperti Ibn Sînâ,

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, dan termasuk Mullâ Sadrâ yang terlibat dalam

diskursus filsafat Aristotelian. Sementara pemikir Melayu, seperti Hamzah Fansûrî

fokus pada diskursus tasawuf filosofis atau disebut juga dengan ‘irfan atau Wujudiah.

Perbedaan tradisi tersebut memengaruhi perbedaan jalan pemikiran Hamzah Fansûrî

dan Mullâ Sadrâ. Namun, keduanya memiliki kesamaan penting, yakni

mengembangkan gagasan pemikiran ketuhanan yang bercorak mistis sekaligus

filosofis. Dalam perspektif esensi pemikiran, keidentikan Hamzah Fansûrî dan Mullâ

Sadrâ adalah mereka sama-sama menerima wujûd sebagai konsep univokal dan

menjadi dasar bagi realitas.

Hamzah Fansûrî melanjutkan dan mengembangkan tradisi Wujudiah yang

telah lama berkembang dalam dunia Islam. Wujudiah yang dianggap sebagai kajian

berat dan rumit oleh Hamzah Fansûrî disampaikan dengan bahasa Melayu yang indah

dan menggunakan analogi-analogi yang mudah dipahami oleh masyarakatnya. Secara

umum, ajaran Hamzah Fansûrî menekankan agar manusia waspada atas

kecenderungan duniawi, pentingnya mengenal diri dan taat pada syariat, tarekat,

hakikat, dan makrifat agar memperoleh pengetahuan hakiki. Hamzah Fansûrî

menjelakan tujuh Sifat utama Haqq Ta’ala, yakni Hayy, 'Ilmû, Irâdat, Qudrat,

Kâlâm, Sâmî', dan Basyar. Hubungan antara ketunggalan dan kemajemukan

dijelaskan melalui sistem ta’ayyûn yang terdiri atas tujuh tingkatan, yakni ahadiyah,

wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah, ta’ayyûn ‘alâm mitsal, ‘alâm ajsâm, dan ‘alam

insân. Dalam mengupayakan agar Wujudiah dapat dipahami dengan mudah,

khususnya dalam menjelaskan hubungan ketunggalan dan kemajemukan Hamzah

Fansûrî menggunakan analogi-analogi yang mudah dipahami masyarakat Melayu,

seperti tanah dan perabotan, kayu dan buah catur, cahaya dan sinarnya, laut dan

ombak, buah bundar, biji dan kandungan potensinya, cermin dan bayangannya,

manusia dan atributnya, sungai dan alirannya, air dan sifatnya, batu dan kepasifannya,

besi dan tukang besi, dan lainnya.

Sementara itu, Mullâ Sadrâ melanjutkan tradisi filsafat Islam tentang

pembahasan wujûd dengan melahirkan pandangan bahwa wujûd adalah dasar realitas

sementara mâhiyâh hanyalah konsepsi mental sebagai modus pengenaan wujûd.

Pandangan tersebut dikenal dengan istilah ashalat al-wujûd wa ‘itibar al-mâhiyâh.

Di samping itu, dalam filsafat Mullâ Sadrâ dikenal pula istilah taskîk al-wujûd.

221

Pandangan ini menegaskan bahwa wujûd yang tunggal itu sekaligus beragam. Mullâ

Sadrâ juga memperkenalkan konsep kausalitas yang unik. Dia menegaskan bahwa

akibat itu tidak memiliki entitas mandiri, kecuali hakikatnya adalah kebergantungan

itu sendiri atas sebab ('ain al-rabith bî al-illah). Diperkenalkan pula konsep basith al-

haqîqah, yaitu konsep yang menyatakan bahwa keseluruhan realitas itu diisi oleh satu

entitas tunggal yang sederhana, yakni wujûd. Mullâ Sadrâ juga melakukan suatu

revolusi dalam filsafat dengan menggagas konsep al-harakah al-jawhayiah. Dia

menyanggah para filosof sebelumnya dengan menegaskan bahwa pergerakan aksiden

merupakan indikasi bagi pergerakan substansi. Konsep ittihad aqil wa ma’qûl makin

menegaskan pandangan kesatuan wujûd yang menjelaskan bahwa pengetahuan

adalah terjadinya konfirmasi atas wujud yang tunggal.

Keunikan filsafat Mullâ Sadrâ dibandingkan berbagai aliran filsafat Islam

sebelumnya tampak sangat dipengaruhi oleh ajaran Wujudiah. Prinsip kemendasaran

wujud (ashalat al-wujûd) memang telah ada sejak filsafat Islam sebelumnya. Namun,

konsep-konsep, seperti kefakiran akibat dalam kausalitas (illiyah), hakikat sederhana

(basith al-haqîqah), gerak substansi (al-harakah al-jawhayiah), dan kesatuan subjek

dan objek (ittihad aqil wa ma’qûl) tidak lepas dari pengaruh ajaran Wujudiah.

Bahkan, konsep kemendasaran wujud (ashalat al-wujûd) sendiri yang dipertegas

kembali oleh Mullâ Sadrâ dalam filsafat Islam juga tidak terlepas dari pengaruh

Wujudiah. Karena itu, dapat dikatakan Mullâ Sadrâ mengambil semangat ontologis

dari ajaran Wujudiah dan membangun metodologi filsafatnya dengan mengambil

semangat rasional dari filsafat Islam, baik dari al-Hikmah al-Isyrâqiyyah maupun al-

Hikmah al-Masyâ'iyyah untuk membangun sebuah aliran baru dalam filsafat Islam

dengan dinamai al-Hikmah al-Muta’alliyah. Jadi, akomodasi Mullâ Sadrâ atas

Wujudiah yang kemungkinan besar diambil dari semangat Ibn ‘Arabî inilah yang

membuat ajaran Mullâ Sadrâ memiliki banyak kemiripan dengan ajaran Wujudiah

Hamzah Fansûrî yang tentunya juga sangat banyak menyerap ajaran Ibn ‘Arabî.

Hubungan ekuivalen itu, bahkan terletak pada landasan ontologisnya, yakni

kesamaan pandangan tentang univokasi dan kemendasaran wujud.

Dalam fokus penelitian, teridentifikasi lima persamaan dan tiga perbedaan.

Persamaannya, pertama adalah kesamaan iktikad bahwa istilah wujûd itu ekuivokal

dan menjadi dasar bagi realitas. Dalam ajaran Hamzah Fansûrî, wujûd yang

dianalogikan dengan tanah menjadi dasar bagi kemajemukan realitas, seperti kendi,

buyung, periuk, tempat, dan bejana. Dalam hal ini, Mullâ Sadrâ juga berpandangan

sama dengan menegaskan bahwa wujûd itu menjadi dasar realitas, sementara

mâhiyâh hanyalah konsepsi mental. Kedua, mereka juga memiliki kesamaan dalam

penegasan bahwa pengenalan diri sebagai awal menuju pengetahuan sejati. Maka dari

itu, ketiga, Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ sepakat bahwa pengetahuan sejati itu

adalah ilmu hudhûrî. Keempat, mereka juga sama-sama menerima eksistensi alam

potensial sebagai bekal bagi aktualitas alam semesta. Dalam hal ini, kelima, Hamzah

Fansûrî dan Mullâ Sadrâ juga sepakat bahwa makhluk itu fakir mutlak kepada Khalik.

Kefakirannya adalah kefakiran wujûd.

Dalam penelitian ini ditemukan tiga perbedaan penting antara pemikiran

Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ. Pertama adalah konteks sosial-budaya yang

222

berbeda yang melahirkan kultur ilmu pengetahuan yang berbeda. Hamzah Fansûrî

menyederhanakan ajaran Wujudiah dalam bentuk bahasa puitis dan analogi yang

mudah dipahami masyarakat Melayu. Sementara Mullâ Sadrâ melakukan sintesis

berbagai varian pemikiran yang luas karena sesuai dengan budaya ilmu pengetahuan

pada masanya, yakni para pemikirannya sedang berlomba melahirkan karya sintesis.

Kedua, perbedaannya adalah Hamzah Fansûrî mengakui dengan tegas bahwa realitas

eksternal itu hanyalah satu wujud. Sementara Mullâ Sadrâ sekalipun mengatakan

Mullâ Sadrâ itu tunggal, secara bersamaan Mullâ Sadrâ itu beragam. Ketiga,

perbedaannya adalah pada apresiasi masyarakatnya atas karya besar para intelektual

mereka. Karya Hamzah Fansûrî ditolak dan diklaim sesat setelahnya meskipun

sempat diapresiasi oleh Shams al-Dîn al-Sumatranî dan Sayf al-Rizâl. Sementara

karya Mullâ Sadrâ diterima dengan baik meskipun terjadi perdebatan penafsiran oleh

pengikutnya. Sebagian memaknai ajaran Mullâ Sadrâ dalam perspektif filsafat dan

sebagian memaknainya dalam perspektif tasawuf.

Masyarakat Indonesia perlu mempelajari semangat bangsa Persia dalam

mengapresiasi khazanah intelektual bangsanya sebagaimana dilakukan masyarakat

itu pada pemikiran Mullâ Sadrâ. Lagi pula, pemikiran Hamzah Fansûrî sebenarnya

memiliki kandungan nilai aksiologis yang kaya dan luas sehingga dapat ditawarkan

sebagai basis nilai dan semangat dalam berusaha mengatasi berbagai persoalan

kontemporer. Masyarakat Indonesia juga perlu mengambil semangat dari pemikiran

asing, seperti Mullâ Sadrâ, khususnya semangat sintesis berbagai khazanah ilmu

pengetahuan yang makin berkembang untuk membangun pemikiran yang

independen.

Masih sangat banyak tokoh yang dapat menjadi objek penelitian komparasi

pemikiran filsafat klasik. Kajian komparasi antara pemikir Nusantara sangat perlu

dilakukan untuk menemukan berbagai keunikan, persamaan, dan perbedaan tiap-tiap

tokoh. Setiap penelitian yang akan dilakukan perlu memperhatikan nilai

aksiologisnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat Indonesia.

Misalnya, penelitian tentang Ibn Sînâ, Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, Abû Hamid al-

Ghazalî, dan lainnya dapat dilakukan kajian komparasi secara umum maupun

memotret aspek tertentu dari pemikiran mereka untuk dikomparasikan dengan

pemikir Nusantara, seperti Shams al-Dîn al-Sumatranî, Nûr al-Dîn al-Ranîrî, ‘Abd al-

Ra’uf al-Sinkilî, dan sebagainya.

Untuk kajian tentang pemikiran Wujudiah Hamzah Fansûrî, masih sangat

banyak bagiannya yang perlu dikaji secara mendalam. Berbagai pendekatan juga

dapat dilakukan untuk mengkaji pemikiran Hamzah Fansûrî. Penelitian tentang

Wujudiah Hamzah Fansûrî masih sangat minim dilakukan. Untuk itu, perlu penelitian

yang lebih banyak atas pemikiran Hamzah Fansûrî.

Naskah Asrâr masih membutuhkan kajian yang lebih serius dan mendalam

dari berbagai aspek dan menggunakan berbagai pendekatan. Naskah Syarâb juga

mengandung penjelasan metafisika ajaran Hamzah Fansûrî yang sangat mendalam.

Demikian juga naskah al-Muntâhî memerlukan kajian yang serius karena karya

tersebut telah membuat para penentang pemikiran Hamzah Fansûrî menjadi salah

paham. Untuk itu, diperlukan kajian yang sangat serius untuk mendalami naskah-

naskah tersebut. Tentu saja modal keilmuan yang cukup sangat diperlukan supaya

kajiannya menjadi jelas dan membantu menjadikan pemikiran Hamzah Fansûrî

223

menjadi lebih mudah dipahami, menyebar luas, dan bermanfaat bagi berbagai

kalangan.

Pemikiran-pemikiran Hamzah Fansûrî bila dikaji dengan cermat dapat

memberikan inspirasi dan pedoman mengatasi masalah-masalah masa kini dan masa

akan datang. Untuk itulah penelitian atas pemikiran Hamzah Fansûrî perlu terus

menerus dilakukan. Beberapa masalah yang mendesak untuk diatasi dewasa ini

adalah krisis intelektualitas dan spiritualitas, ekslusivitas dan intoletansi beragama,

kesetaraan gender, ekologi dan sains, ketimpangan sosial, dan lainnya. Melalui kajian

pemikiran Hamzah Fansûrî, permasalahan tersebut dapat ditawarkan solusinya.

Penelitian tentang Mullâ Sadrâ juga menyediakan sangat banyak aspek untuk

diteliti di masa selanjutnya. Dapat juga misalnya dilakukan kajian komparasi kembali

antara Hamzah Fansûrî dan Mullâ Sadrâ yang berfokus pada tema khusus seperti

epistemologi, etika, eskatologi, dan sebagainya. Tentu dua tema itu akan sangat

berguna bagi dunia ilmu pengetahuan dan sosial dalam rangka mengembangkan

konsep epistemologi ilmu pengetahuan, pembangunan konsep etika, dan eskatologi.

Sekalipun secara teologis gagasan Mullâ Sadrâ berbeda dengan masyarakat Indonesia

secara umum, tetapi sangat banyak aspek ilmu pengetahuan dan filsafatnya dapat

memberikan nilai aksiologis bagi masyarakat Indonesia.

224

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdullah, M. Amin. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung:

Mizan, 2002.

Açıkgenç, Alparslan. Being and Existence in Ṣadrā and Heidegger: A Comparative

Ontology. Kuala Lumpur: ISCAC, 1993.

Ahmad, Zakaria. Sekitar Keradjaan Atjeh dalam Tahun 1520-1675. Medan:

Monoro, 1972.

Akbarian, Reza. Trans-Subtantial Motion and Its Philosophical Consequencess,

dalam Mullâ Sadrâ and Transendent Philosophy; Islam-West Philosophical

Dialog. Shadra Islamic Philosophical Institute Publication. Teheran, 1999.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nûr

Al-Dîn Al-Ranirî. Kuala Lumpu: Kuala Lumpu, 1986.

———. Aims and Objectivesof Islamic Education. Jeddah: Jeddah: King Abdul

Aziz University, 1979.

———. Commens on The Re-Examination of Al-Ranirî ‘s Hujjat Al-Shiddiq:

Revitation. Kuala Lumpu: Muzium Negara, 1975.

———. Islam dan Sejarah Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1990.

———. Raniri and the Wujûdiyah of 17th Century Acheh. Singapore: MBRAS,

1966.

———. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: University of Malaya

Press, 1970.

———. The Nature of Man and Phsycology of Human Soul. Kuala Lumpur:

ISTAC, 1990.

Al-Farabi. Ihsa‘ Al-‘Ulum. Diedit oleh Usman Amin. Kairo: Maktabah Angels Al-

Misriyyat, 1968.

———. Al-Fârâbî, Ara Ahl al-Madînah al Fâdhilah, (Mesir: Dâr wa Maktabah al-

Hilal, 1995).

Al-Ghazali, Abû Hamid, Mi’yâr Al-‘Ilm Fî Al-Manthiq. II. Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 2013.

_________, Misykât al-Anwâr fî Tawhîd al-Jabbâr, Lebanon: Dâr al-Fikr, 1994.

_________, Tahâfut al-Falâsifah. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, t.t..

Al-Kindi. On First Philosophy. Harvard: Harvard University Press, 1974.

Al-Mandary, Mustamin. Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemikiran Mulla

Sadra. Polman: Rumah Ilmu, 2018.

Al-Ranîrî, Nûr al-Dîn, Al-Tibyan fî Ma’rifat al-Adyân, Banda Aceh: PeNa, 2011.

_______. Rahasia Menyingkap Makrifat Allah. Jakarta: Diadat Media, 2009.

Al-Walid, Khalid. Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat. Jakarta: Sadra Press, 2012.

———. Tasawuf Mulla Shadra: Konsep Ittihad Al-’Aqil Wa Al-Ma’qul dalam

Epistemologi Filsafat dan Makrifat Ilahiyyah. Bandung: MPress, 2005.

Amuli, Hasan Zadeh Al-Ta’lîqât ‘Alâ Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fî al-Asfâr al-

'Aqliyyah al-Arba’ah Teheran: Mu‟assasah al-Ŝibâ‟ah wa al-Nasyr li Wizârah

al-Tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islâmî, 1386H.

———. Sarh Al-‘Uyûn fî Syarh Al-‘Uyûn. Qum: Markaz Intesyârât-e Daftar-e

Tablîghât-e Islâmî, 1421H.

225

Ansori, M. Afif. Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri. Yogyakarta: Gelombang

Pasang, 2004.

'Arabî, Muhyiddin Ibn, Al-Fûtûhât Al-Makkiyah Vol. 2, Beirut: Dâr al-Shadir, t.t..

Azhari, Ichwan. Kapur Dari Barus: Islam dan Jaringan Perdagangan Kuno.

Medan, 2019.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII & XVIII. Jakarta: Kencana, 2013.

Azwar, Pocut Haslinda Muda Dalam. Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh:

Hubungannya dengan Raja-Raja Melayu Nusantara. Jakarta: Yayasan Tun Sri

Lanang, n.d.

Baehaqi, Imam. Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.

Yogyakarta: LKiS, 2000.

Bagir, Haidar. Semesta Cinta. Bandung: Mizan, 2015.

Bakhsh, Wahid. Sufisme Islam. Jakarta: Sahara Publisher, 2004.

Bakhtiar, Amsal. Tasawuf dan Gerakan Tarekat. Bandung: Angkasa, 2003.

Baskara, Benny. Islam Bajo: Agama Orang Laut. Pamulang: Javanica, 2016.

Bertens, K. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Teraju, 2005.

Black, Deborah L. “Al-Farabi.” In History of Islamic Philosophy Vol. I, Diedit oleh

Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 224–225. London & New York:

Routledge, 1996.

———. “Knowledge ('ilm) and Certitude (Yaqīn) in Al-Fārābī’s Epistemology.”

Arabic Sciences and Philosophy, 2006.

Braginsky, Vladimir. Satukan Hangat dan Dingin: Kehidupan Hamzah Fansuri

Pemikir Dan Penyair Sufi Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka, 2003.

———. Yang Indah, Berfaedah Dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad

7-19. Jakarta: INIS, 1998.

Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. Kontribusi Charles Taylor, Syed Muhammad

Naquib Al-Attas, and Henry Corbin Dalam Studi Metafisika & Meta Teori

Terhadap Islam Nusantara Di Indonesia. Banda Aceh: BandarPublishing,

2017.

Chittick, Willam C. The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s

Cosmology. New York: State University of New York Press, 1997.

Chittick, William C. Ibn ’Arabi: Heir to the Prophet. Oxford: Oneworld, 2005.

———. Imaginal Worlds: Ibn Al-’Arabi and the Problem of Religious Diversity.

New York: State University of New York Press, 1994.

———. The Sufi Doctrine of Rumi . Indiana: World Wisdom, Inc., 2005.

Chodjim, Achmad. Syeikh Siti Jenar: Makna Kematian. Jakarta: Baca, 2018.

———. Syekh Siti Jenar: Makrifat Dan Makna Kehidupan. Jakarta: Serambi, 2007.

Chodri, Abdul Ghaffar. The Mirror of Mohammed. Yogyakarta: Laksana, 2018.

Cibro, Ramli. Aksiologi Ma’rifat Hamzah Fansuri. Banda Aceh: Pade Books, 2017.

Corbin, Henry. Creative Imagination in the Sufism of Ibn Arabi. Princeton:

Princeton Legacy Library, 2014.

———. History of Islamic Philosophy. London & New York: Routledge, 2014.

Cruz, Melissa de la. Blue Bloods. Diterjemah. Jakarta: GagasMedia, 2011.

Dahlan, Abdul Aziz. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Padang: IAIN IB Press, 2000.

226

———. Penilaian Teologis Atas Paham Wahdatul Wujûd dalam Tasawuf

Syamsuddin Sumatrani. Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1992.

Doorenbos, Johan. De Gefchriften van Hamzah Pansoeri. Leiden: Betteljee &

Terpstra, 1933.

Drewes, G.W.J., dan L.F Brakel. The Poems of Ḥamzah Fansûrî. Dordetch: Forish

Publication Holland, 1986.

El-Hanawy, Ahmed Fouad. “Al-Kindi.” Dalam A History of Muslim Philosophy

Vol. I, Diedit oleh M.M. Sharif, 421. III. New Delhi: Low Price Publications,

1995.

Epicurus. Seni Berbahagia. Yogyakarta: Basabasi, 2019.

Ernest, Carl W. Words of Ecstasy in Sufism. New York: State University of New

York Press, 1985.

Fadli, Abdul Hadi. Logika Praktis. Jakarta: Sadra Press, 2016.

Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University

Press, 1970.

Fansuri, Hamzah, “Asrâr Al-‘Arifîn,” dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, ed.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Kuala Lumpur: University of Malaya

Press, 1970).

———. “Syarâb Al-Asyiqîn,” dalamThe Mysticism of Hamzah Fansuri, ed. Syed

Muhammad Naquib Al-Attas (Kuala Lumpur: University of Malaya Press,

1970),

———. “Al-Muntahî,”dalam The Mysticism of Hamzah Fansuri, ed. Syed

Muhammad Naquib Al-Attas (Kuala Lumpur: University of Malaya Press,

1970),

Fathurahman, Oman. Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujûd Bagi Muslim

Nusantara. Bandung: Mizan, 2012.

———. Tanbih Al-Masyi: Menyoal Wahdatul Wujûd: Kasus Abdurrauf Singkel di

Aceh Abad 17. Bandung: Mizan, 1999.

Fazeli, Seyyed Ahmad. Mazhab Ibn Arabi: Mengurai Paradoksalitas Tasybih Dan

Tanzih. Translated. Jakarta: Sadra Press, 2016.

Fenton, Paul B. “Judaism and Sufism.” Dalam History of Islamic Philosophy Vol. I,

Diedit oleh Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 758. London & New

York: Routledge, 1995.

Gama, Cipta Bakti. Filsafat Jiwa: Dialektika Filsafat Islam dan Filsafat Barat

Kontemporer. Malang: Pustaka Sophia, 2018.

———. Fondasi Psikopatologi Islam. Malang: Pustaka Sophia, 2019.

Gharawiyan, Mohsen. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam. Jakarta:

Sadra Press, 2012.

Guillot, C., dan Ludvik Kalus. Enskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta:

Gramedia, 2008.

Gullot, Claude. Barus: Seribu Tahun Yang Lalu. Jakarta: KPG, 2008.

———. Lobu Tua: Sejarah Awal Barus. Jakarta: Obor, 2002.

Hadi, Abdul W.M. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya.

Bandung: Mizan, 1995.

———. Hermeneutika, Estetika, Dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan

Seni Rupa. Jakarta: Sadra Press, 2017.

227

———. Hermeneutika Sastra Barat dan Timur. Jakarta: Sadra Press, 2014.

———. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeunetik Terhadap Karya Hamzah

Fansuri. Jakarta: Paramadina, 2001.

Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Jakarta: Obor, 2010.

———. “Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh a

Study of Seventeenth-Century Aceh (Islamic History and Civilization).”

Mc.Gill University, 1999.

Halverson, Jeffry R. Theology and Creed. dalam Sunni Islam: The Muslim

Brotherhood, Ash’Arism and Political Sunnism. New York: Palgrave

Macmillan, 2010.

Hamzuri, and Tiarma Rita Siregar. Permainan Tradisional Indonesia. Jakarta:

Direktorat Permuseuman, 1998.

Hanafi, Ahmad. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Harahap, Syahrin. Islam Dan Modrrnitas: Dari Teori Modernisasi Hingga

Penegakan Kesalehan Modern. Jakarta: Kencana, 2015.

Hasjmy, Ali. Bunga Rampai Revolusi Dari Tanah Aceh. Jakarta: Bulan Bintang,

1978.

———. Nusantara, Syi’ah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh dan

Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam Di Kepulauan. Surabaya: Bina Ilmu,

1983.

———. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Medan: Pustaka

Al-Ma’arif, 1981.

———. Ruba’i Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,

1976.

Heriyanto, Husein. Refleksi Kritis Terhadap Persepsi Populer Tentang Logika

Modern dan Indonsivisme. Jakarta, 2019.

Hitti, Philip K. History of the Arab. London: Macmillan, 1990.

Humaidi. Paradigma Sains Integratif Al-Farabi. Jakarta: Sadra Press, 2015.

Hurgronje, Snouck. Orang Aceh. Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.

Hye, M. Abdul. “Ash’arism.” In A History of Muslim Philosophy Vol. I, Diedit oleh

M.M. Syarif, 220. New Delhi: Adam Publisher & Distributors, 2001.

Inati, Shams. “Ibn Sînâ.” In History of Islamic Philosophy Vol. I, Diedit oleh

Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 231. London & New York:

Routledge, 1996.

Iqbal, Allama Sir Muhammad. Metafisika Persia: Suatu Sumbangan Untuk Sejarah

Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 1990.

____. Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, Bandung: Mizan, 2016.

Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd dan Averroisme: Pemberontakan Terhadap Agama.

Medan: Cipustakan Media Perintis, 2011.

Izutsu, Toshihiko. Struktur Metafisika Sabzawari. Bandung: Pustaka, 2003.

———. Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts.

Berkeley, Los Ageles London: University of California Press, 1983.

———. The Concept and Reality of Existence. Islamic Book Trus: Kuala Lumpu,

2007.

———. Struktur Metafisika Sabzawari, Bandung: Pustaka, 2003.

Jabir, Muhammad Nur. Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabî Dan Filsafat Wujûd Mulla

228

Sadrâ. Makassar: Chamran Press, 2012.

———. Perempuan: Perspektif Tasawuf. Makassar: Rumi Press, 2019.

Jackson, Roy. What Is Islamic Philosophy? London & New York: Routledge, 2014.

Kalin, Ibrahim. Knowledge in Later Islamic Philosophy. Knowledge in Later

Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition.

Oxford: Oxford University Press, 2010.

———. Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy. Mulla Sadra’s Transcendent

Philosophy. Routledge, 2016.

Kamal, Zainun. Ibn Taimiyah Versus Para Filosof: Polemik Logika. Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006.

Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam.

Jakarta: Lentera Hati, 2006.

———. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy, 2005.

———. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, 2005.

———. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas. Jakarta:

Erlangga, 2007.

———. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.

———. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung:

Mizan, 2003.

Kennedy-Day, Kiki. “Al-Kindi.” Dalam Books of Definition in Islamic Philosophy,

19–31. Abingdon, UK: Taylor & Francis, 2010.

———. “Ibn Sînâ.” Dalam Books of Definition in Islamic Philosophy, 47–60.

Abingdon, UK: Taylor & Francis, 2010.

Kersten, Carool. A History of Islam in Indonesia. Edinburgh: Edinburgh University

Press, 2017.

———. Islam In Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values. New York:

Oxford University Press, 2015.

Kerwanto. Metode Tafsir Esoeklektik. Bandung: Mizan, 2018.

Khalidi, Muhammad Ali. Medieval Islamic Philosophical Writings. Diedit oleh

Muhammad Ali Khalidi. Medieval Islamic: Philosophical Writings.

Cambridge: Cambridge University Press, 2005.

Kilic, Mahmud Erol. “Mysticism.” Dalam History of Islamic Philosophy Vol. II,

Diedit oleh Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 947. London & New

York: Routledge, 1996.

Kindî, Abû Isḥâq. On First Phylosophy. Harvard: Harvard University Press, 1974.

———. “Risâlah Fî Ḥudûd Al-Asyyâ.” Dalam Rasâ‛il Al-Kindiy Al-Falsafiyyah,

Diedit oleh Muḥammad ‘Abdulhâdî, 16. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, n.d.

Klein-Franke, Felix. “Al-Kindi.” dalam History of Islamic Philosophy Vol. I, Diedit

oleh Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, 165. London & New York:

Routledge, 1996.

L. Askandar. Jiwa Bahari Sebagai Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia.

Jakarta: Biro Sejarah Maritim AL, 1973.

Labib, Muhsin. Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Misbah Yadzi. Jakarta: Sadra

Press, 2011.

Leaman, Oliver. A Brief Introduction to Islamic Philosophy. Cambridge: Policy

Press, 1999.

229

Lee, Jonathan Scott, dan Dominic J. O’Meara. “Plotinus: An Introduction to the

Enneads.” The Classical World (1996).

Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Jakarta: Gramedia, 2014.

Louis Massignon. “Mystical Theology.” Dalam The Passion of Al-Hallaj, Mystic

and Martyr of Islam, 3–52. Princeton University Press, 2019.

———. The Passion of Al-Hallaj: Mystic and Martyr of Islam. Princeton: Princeton

University Press, 1994.

———, Diwan Al-Hallaj. Yogyakarta: Putra Langit, 2003.

Madjid, Nurcholish, Ibn Taimiyah tentang Kalam dan Falsafah, Jakarta, Nurcholish

Madjid Society, 2020,

McGinnis, Jon. “Avicenna (Ibn Sînâ).” Dalam The History of Western Philosophy

of Religion, Diedit oleh Graham Oppy, 61–72. Durham: Acumen Publishing

Limited, 2011.

Melchert, Christopher. “Origins and Early Sufism.” Dalam The Cambridge

Companion to Sufism, 2014.

Miswari, Filsafat Terakhir, Lhokseumawe: Unimal Press, 20016.

_______. Filsafat Pertama, Lhokseumawe: Unimal Press, 20018.

Mitha, Farouk. Al-Ghazali and the Ismailis: Debate on Reason and Authority in

Medieval Islam. London & New York: I.B. Taurus Publisher, 2001.

Mohamad, Goenawan. Tuhan Dan Hal-Hal Yang Tak Selesai. Yogyakarta: Diva

Mujieb, M. Abdul, and H. Ahmad Ismail M Syafi’ah. Ensiklopedia Tasawuf Imam

Al-Ghazali. Jakarta: Hikmah, 2009.

Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka. Jakarta:

Kencana, 2017.

Muthahhari, Murtadha. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra. Bandung:

Mizan, 2002.

Nasr, Seyyed Hossein. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Mullâ Sadrâ : Sebuah Terobosan

Dalam Filsafat Islam, Jakarta: Sadra Press, 2017.

———. “Existence (Wujūd) and Quiddity (Māhiyyah) in Islamic Philosophy.”

International Philosophical Quarterly (1989).

———. “Introduction to Mystical Tradition.” In History of Islamic Philosophy Vol.

I, Diedit oleh Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 367. London & New

York: Routledge, 1996.

———. Islam and the Plight of Modern Man. Chicago: Kazi Publications, 2001.

———. Islamic Philosophy From Its Origin to the Present. New York: State

University of New York Press, 2006.

———. “Mir Damad.” In An Anthology of Philosophy in Persia, Vol. 5: From the

School of Shiraz to the Twentieth Century, Diedit oleh Seyyed Hossein Nasr

and Mehdi Aminrazavi, 200. London & New York: I.B. Taurus Publisher,

2015.

———. “The Meaning and Concept of Philosophy in Islam.” In History of Islamic

Philosophy Vol. I, Diedit oleh Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, 21.

London & New York: Routledge, 1996.

———. Three Muslim Sages: Avicenna-Suhrawardi-Ibn Arabi. Harvard: Harvard

University Press, 1969.

230

Nasution, Hasan Bakti. “Hikmah Muta’alliyah: Analisa Terhadap Proses Sintesa

Filosofis Mulla Sadra.” IAIN Jakarta, 2001.

Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana, 2015.

Netton, Ian Richard. “Al-Farabi and His School.” Philosophy East and West (1994).

Noer, Kautsar Azhari, ed. “Al-Risalah Fi Al-’Ilm Al-Tshawwuf Al-Qusyairi.”

Dalam Warisan Agung Tasawuf: Mengenal Karya Besar Para Sufi, 240.

Jakarta: Sadra Press, 2015.

———. Ibn ‘Arabi: Wahdat Al-Wujûd dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina,

1995.

Nur, Syaifan. Filsafat Hikmah Mulla Sadra. Yogyakarta: Rausyan Fikr, 2012.

Nusution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam: Filsafat Islam, Mistisme

Islam, dan Tasawuf. Jakarta: Bulan Bintang, 2018.

———. Teologi Islam. Jakarta: UIP, 2006.

Parsania, Hamid. Existence and the Fall: Spiritual Anthropology of Islam. London:

ICAS, 2006.

Perret, Daniel. Sejarah Johor-Riau-Lingga Sehingga 1914: Sebuah Esei Bibliografi.

Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Pelancongan

Malaysia, 1998.

Purwanto, Agus. Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Quran Sebagai Basis

Konstruksi Ilmu Pengetahuan. Bandung: Mizan, 2015.

Qadir, C.A. Philosophy and Science in The Islamic World. London & New York:

Routledge, 2013.

Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mulla Sadra (Sadr Al-Din Al-Shirazi). New York:

State University of New York Press ,1975.

Razavi, Mehdi Amin Suhrawardi and the School of Illumination, London: Routledge,

2014.

Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. London & New York: Routledge,

2004.

Rusyd, Ibn, Tahâfut al- Tahâfut, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1964.

Sadra, Mulla. Mulla Sadra, Al-Hikmah Muta’aliyyah fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-

Arba’ah Vol. 1, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002.

———. Al-Hikmah Muta’aliyyah fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol. 2, Beirut:

Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002.

———. Al-Hikmah Muta’aliyyah fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol. 3, Beirut:

Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002.

———. Al-Hikmah Muta’aliyyah fî Al-Asfâr Al-’Aqliyyah Al-Arba’ah Vol. 8, Beirut:

Dar Ihya’ al-Turats al-’Arabi, 2002.

———. Al-Masya’ir, Teheran: The Institute for Culturan Studies, 1992.

———. Al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fî al-Manâhij al-Sulûkiyyah. Teheran: Bustan

Kitab, 1388H.

Safi, Louay. The Foundation of Knowledge. Selangor: IIUM Press, 1996.

Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad Vol. I. Medan: Waspada, n.d.

Sandigu. Wahdatul Wujûd: Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri Dan

Syamsuddin Sumatrani DAN Nuruddin Al-Raniri. Yogyakarta: Gama Media,

2003.

Sheikh, M. Saeed. Islamic Philosophy. London: The Octagon Press, 1982.

231

Shihab, Quraish. Menyingkap Tabir Ilahi: Asmā Al-Husnā dalam Perspektif Al-

Qurʼan. Jakarta: Lentera Hati, 2006.

______. (Penerj.) Alquran dan Maknanya. II. Jakarta: Lentera Hati, 2013.

Sholikhin, Muhammad. Menyatu Diri Dengan Ilahi. Yogyakarta: Narasi, 2010.

Siddiqui, Abdur Rashid. Qur’anic Keywords: A Reference Guide. Kano: The Islamic

Foundation, 2010.

Sînâ, Ibn, al-Nafs min Kitâb al-Syifâ, Qum: Markaz al-Nasyr-Maktab al-

I‟lâm al-Islâmî, 1417 H.

Siregar, Rivay. Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: Rajawali Press, 2002.

Siroj, KH. Said Aqid, Allah dan Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi, Jakarta:

Yayasan Said Aqid Siroj, 2021.

Smith, Margaret. Rābiʿa the Mystic and Her Fellow-Saints in Islām. Rabia the Mystic

and Her Fellow-Saints in Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 2010.

Solihin, and Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Stace, Walter Terence. Mysticism and Philosophy. L.A.: Jeremy P. Tracher, 1980.

Suhrawardi, Sihabuddin. “Hikmah Al-Isyrâq.” In Majmû’ah Muśannafât Syaikh Al-

Isyrâq Vol. II, 11–13. Teheran: Pezhuhesgâh „Olûm-e Insânî va Moțâla‟ât-e

Farhangge, 1979.

Thabâthabâ’î, Muḥammad Ḥusein. Bidâyah Al-Ḥikmah. Qum: Muʽassasah an-Nasyr

al-Islâmî, 1428H.

———. Nihayah Al-Ḥikmah. Qum: Muʽassasah an-Nasyr al-Islâmî, 1428H.

Wijaya, Teuku Safir Iskandar. Falsafah Kalam. Lhokseumawe: Nadiya Foundation,

2003.

Yazdi, Mehdi Haeri. The Principles of Epistemology in Islamic Phlosophy:

Knowledge by Presence. New York: State University of New York Press, 1992.

Yazdī,Taqi Miṣbāḥ Muhammad. Al-Manhaj Al-Jadîd fî Ta’lîm Al-Falsafah Vol. 1.

Beirut: Dâr at-Ta’arûf li al-Mathbu’at, 1990.

Ziai, Hossein. “Shihab Al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist.” In

History of Islamic Philosophy Vol. I, Diedit oleh Seyyed Hossein Nasr and

Oliver Leaman, 434. London & New York: Routledge, 1996.

———. Suhrawardi Dan Filsafat Illuminasi. Jakarta: Sadra Press, 2012.

Zuchron, Daniel. Menggugat Manusia Dalam Konstitusi. Jakarta: Rayyana

Komunikasindo, 2017.

Jurnal:

Arif, Syamsuddin. “Filsafat Islam Antara Tradisi Dan Kontroversi.” TSAQAFAH 10,

no. 1 (May 31, 2014):

Arifin, Miftah. “Tuhfah Al-Mursalah: Studi Terhadap Pemikiran Martabat Tujuh Al-

Burhanpury.” AL-’Adalah 7, no. 2 (2004): 41–52.

Arrauf, Ismail Fahmi. “Mencerna Akar Filsafat Dalam Islam.” Ulumuna 17, no. 1

(November 8, 2017): 1–18.

http://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/236.

Bagir, Haidar. “Diskusi Pengalaman Religius.” Kanz Philosophia : A Journal for

Islamic Philosophy and Mysticism (2011).

232

Bawa, Dahlan Lama. “Pemikiran Pendidikan Mulla Shadra.” TARBAWI : Jurnal

Pendidikan Agama Islam 1, no. 2 (January 22, 2017): 123–128.

https://journal.unismuh.ac.id/index.php/tarbawi/article/view/365.

Biran, Michal, and Thomas T. Allsen. “Culture and Conquest in Mongol Eurasia.”

Journal of the American Oriental Society (2003).

———. “Knowledge ('ilm) and Certitude (Yaqīn) in Al-Fārābī’s Epistemology.”

Arabic Sciences and Philosophy, 2006.

Braginsky, V.Y. “Some Remarks on the Structure of the ‘Sya’ir Perahu’by Hamzah

Fansuri.” Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the

Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 131, no. 4 (January 1, 1975):

407–426. https://brill.com/abstract/journals/bki/131/4/article-p407_1.xml.

———. “Towards the Biography of Hamzah Fansuri. When Did Hamzah Live ? Data

From His Poems and Early European Accounts.” Archipel 57, no. 2 (1999):

135–175. https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1999_num_57_2_3521.

Brambor, Thomas, William Roberts Clark, and Matt Golder. “Understanding

Interaction Models: Improving Empirical Analyses.” Political Analysis 14, no.

1 (January 4, 2006): 63–82.

https://www.cambridge.org/core/product/identifier/S1047198700001297/type/

journal_article.

Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. “A Study of Panglima La’ōt: An ‘Adat

Institution in Aceh.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 55, no. 1 (June 26,

2017): 155–188. http://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/view/55107.

__________. “Memahami Sejarah Intelektual Isaiah Berlin (1909-1997).” Esensia:

Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin (2016).

C. Inati, Shams, and Elsayed M. H. Omran. “Al-Junayd on Unification and Its Stages:

A Critical Examination.” Digest of Middle East Studies 3, no. 3 (July 1994):

23–35.

Chittick, Willam C. The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn Al-’Arabi’s

Cosmology. New York: State University of New York Press, 1997.

Dabashi, Hamid. “’Ain Al-Qudhat Hamadani and Intellectual Climate in His Times.”

In History of Islamic Philosophy Vol. I, Diedit oleh Seyyed Hossein Nasr and

Oliver Leaman, 374. London & New York, 1996.

Dangauthier, Pierre, Ralf Herbrich, Tom Minka, and Thore Graepel. “TrueSkill

through Time: Revisiting the History of Chess.” In Advances in Neural

Information Processing Systems 20 - Proceedings of the 2007 Conference, 1–8.

NIPS Proceedings, 2009.

Downum, Garland, and Sufi Mutiur Rahman Bengalee. “The Life of Muhammad.”

Books Abroad 17, no. 1 (1943): 75.

https://www.jstor.org/stable/10.2307/40083214?origin=crossref.

van Ess, Josef, and Ali Hassan Abdel-Kader. “The Life, Personality and Writings of

Al-Junayd.” Oriens 20 (1967): 217.

Faiz, Faiz. “Eksistensialisme Mulla Sadra.” Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran

Islam (2015).

Fakhry, Majid. “Al-Farabi and the Reconciliation of Plato and Aristotle.” Journal of

the History of Ideas (1965).

Fazeli, Seyyed Ahmad. “Argumentasi Seputar Ineffability (Kualitas Tak

233

Tertuliskannya Pengalaman Mistis).” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic

Philosophy and Mysticism 1, no. 1 (August 2011): 1.

———. “The System of Divine Manifestation in The Ibn ‘Arabian School of

Thought.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism

1, no. 2 (December 2011): 109.

Gama, Cipta Bakti. “Reduksionisme Eksplanatif Untuk Antropologi Transendental

Jawadi Amuli.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and

Mysticism 5, no. 2 (2015): 147–164.

Guillot, Claude, and Ludvik Kalus. “La Stèle Funéraire de Hamzah Fansuri.”

Archipel 60, no. 4 (2000): 3–24. https://www.persee.fr/doc/arch_0044-

8613_2000_num_60_4_3577.

Hadi, Amirul. “The Ṭāj Al-Salāṭīn and Acehnese History.” Al-Jami’ah: Journal of

Islamic Studies 42, no. 2 (2004): 258–293.

Hakiki, Kiki Muhamad. “Insan Kamil Dalam Perspektif Syaikh Abd Al-Karim Al-

Jili.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 3, no. 2 (December

30, 2018): 175–186.http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw/article/view/2287.

Hakimelahi, Abdolmajid, and Basrir Hamdani. “Belief in God by Intuitive

Knowledge.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and

Mysticism 6, no. 1 (June 13, 2016): 73.

Hambali, Yoyo. “Eksistensi Manusia Dalam Filsafat Pendidikan : Studi Komparatif

Filsafat Barat Dan Filsafat Islam.” Jurnal FAI: Turats 7, no. 1 (2011): 42–56.

Haq, Syed Nomanul. “Al-Farabi.” In The History of Western Philosophy of Religion,

Diedit oleh Graham Oppy, 47–60. Durham: Acumen Publishing Limited, 2011.

Herawati, Andi. “Concerning Ibn ’Arabi’s Account of Knowlegde of God (Ma’rifa)

Al Haqq.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism

3, no. 2 (December 25, 2013): 219.

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/49.

Hidayatullah, Syarif. “Perspektif Filosofis Sir Muhammad Iqbal Tentang Pendidikan

Islam.” Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 2 (January 1, 1970): 419.

http://ejournal.uin-suka.ac.id/tarbiyah/index.php/JPI/article/view/1154.

Holy, Ladislav, and V. Y. Mudimbe. “The Invention of Africa: Gnosis, Philosophy

and the Order of Knowledge.” Man 24, no. 2 (June 1989): 374.

https://www.jstor.org/stable/2803348?origin=crossref.

Hozien, Muhammad. “Philosophy, Theology and Mysticism in Medieval Islam.”

Journal of Islamic Philosophy 2, no. 1 (2006): 205–206.

http://www.pdcnet.org/oom/service?url_ver=Z39.88-

2004&rft_val_fmt=&rft.imuse_id=islamicphil_2006_0002_0001_0205_0206

&svc_id=info:www.pdcnet.org/collection.

Humaidi. “Mystical-Metaphysics: The Type of Islamic Philosophy in Nusantara in

the 17th-18th Century.” Jurnal Ushuluddin 27, no. 1 (July 30, 2019): 90.

http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin/article/view/5438.

Hutahean, Juniar, and Cici Ramadayani Sirait. “Analisis Nilai Resistivitas Di Tanah

Peninggalan Sejarah Purbakala Menggunakan Metode Geolistrik Di Daerah

Lobu Tua Kabupaten Tapanuli Tengah.” Einstein e-Journal 5, no. 3 (January 9,

2019). https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/einsten/article/view/12003.

Imron, Muhammad Al, Sodikin Sodikin, and Romlah Romlah. “Meteor Dalam

234

Perspektif Al-Qur’an Dan Sains.” Indonesian Journal of Science and

Mathematics Education (2019).

Indrawan, Irjus. “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam.” Al-Afkar : Jurnal

Keislaman & Peradaban 2, no. 1 (December 27, 2016).

http://ejournal.fiaiunisi.ac.id/index.php/al-afkar/article/view/90.

Ivanow, W. “Some Poems in the Sabzawari Dialect.” Journal of the Royal Asiatic

Society of Great Britain & Ireland 59, no. 1 (January 15, 1927): 1–41.

https://www.cambridge.org/core/product/identifier/S0035869X00056914/type/

journal_article.

Jabir, Muhammad Nur. “Takwil Dalam Pandangan Mulla Sadra.” Kanz Philosophia :

A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism (2012).

Janssens, J. “Al-Ghazzali’s Tahafut: Is It Really a Rejection of Ibn Sînâ’s

Philosophy?” Journal of Islamic Studies 12, no. 1 (January 1, 2001): 1–17.

https://academic.oup.com/jis/article-lookup/doi/10.1093/jis/12.1.1.

Johns, A.H. “The Poems of Hamzah Fansuri.” Bijdragen tot de taal-, land- en

volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia

146, no. 2 (January 1, 1990): 325–331.

http://booksandjournals.brillonline.com/content/journals/10.1163/22134379-

90003221.

Kalin, Ibrahim. Knowledge in Later Islamic Philosophy. Knowledge in Later Islamic

Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford: Oxford

University Press, 2010.

http://www.oxfordscholarship.com/view/10.1093/acprof:oso/9780199735242.

001.0001/acprof-9780199735242.

———. “Mulla Sadra and Metaaphysics: Modulation of Being.” Iranian Studies 43,

no. 4 (September 2010): 563–566.

http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00210862.2010.495583.

Kamal, Muhammad. “Existence and Non-Existence in Sabzawari’s Ontology.”

Sophia 51, no. 3 (September 14, 2012): 395–406.

http://link.springer.com/10.1007/s11841-011-0283-z.

———. Mulla Sadra’s Transcendent Philosophy. Mulla Sadra’s Transcendent

Philosophy. Routledge, 2016.

https://www.taylorfrancis.com/books/9781315596211.

Keeler, Annabel. “Wisdom in Controversy.” Journal of Sufi Studies 7, no. 1–2

(December 2018): 1–26.

Kerwanto. "Epistemologi Tafsir Mulla Sadra.” Jurnal Theologia 30, no. 1 (June 10,

2019): 23–50.

http://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/3238.

———. “Manusia Dan Kesempurnaannya (Telaah Psikologi Transendental Mullā

Shadrā).” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism

5, no. 2 (December 20, 2015): 133.

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/136.

———. “Pemikiran Filosofis Sadra Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim : Surah Al-

’A‘La.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 4,

no. 2 (December 25, 2014): 23–50.

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/63.

235

Khan, Israr Ahmad. “Identifying Entity and Attributes of God: An Islamic

Perspective Mengenal Pasti Entiti Dan Sifat-Sifat Allah: Satu Perspektif Islam.”

Journal of Islam in Asia (E-ISSN: 2289-8077) 13, no. 1 (July 19, 2016): 248–264.

https://journals.iium.edu.my/jiasia/index.php/Islam/article/view/531.

Miswari, “Mu‘ḍilat Al-Aqlīyah Al-Masīḥīyah Fī Ḥudūd Balad Al-Sharī‘ah Al-

Islāmīyah,” Studia Islamika (August 2018).

_______, “Cara Gila Jatuh Cinta: Analisa Qasidah Dan Muqataat Mansur Al-Hallaj,”

Al-Mabhats 4, no. 1 (2019): 51–74

_______, “Filosofi Komunikasi Spiritualitas: Huruf Sebagai Simbol Ontologi Dalam

Mistisme Ibn ’Arabî,” Al-Hikmah 9, no. 14 (2017): 12–30.

Koestoro, Lucas Partanda. “Gampong Pande, Situs Penting Di Ujung Utara Pulau

Sumatera.” Berkala Arkeologi SANGKHAKALA 19, no. 2 (May 21, 2017): 75.

http://sangkhakala.kemdikbud.go.id/index.php/SBA/article/view/27.

Koshul, Basit B. “Fazlur Rahman’s ‘Islam and Modernity’: Revisited.” Islamic Studie

33, no. 4 (1994): 403–417.

Laksana, Bagus. “The Mystery Of The Human Person : Mystical Anthropology In

Hamzah Fansuri’s Shair.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy

and Mysticism 6, no. 1 (2016): 33–51.

Madjid, Nurcholish. “Pemikiran Filsafat Islam Di Dunia Modern: Problem

Perbenturan Antara Warisan Islam Dan Perkembangan Zaman.” Jurnal Al-

Hikmah 6 Juli-Okt (1992): 70.

Marpaung, Irwan Malik. “Alam Dalam Pandangan Abu Hamid Al-Ghazali.”

KALIMAH 12, no. 2 (September 15, 2014): 281.

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah/article/view/240.

Mawardi. “Reaktualisasi Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Kemajemukan

Sosial.” Substantia 17, no. April (2015): 55–66.

McGinnis, Jon. “Avicenna (Ibn Sînâ).” In The History of Western Philosophy of

Religion, Diedit oleh Graham Oppy, 61–72. Durham: Acumen Publishing

Limited, 2011.

———. “Scientific Methodologies in Medieval Islam.” Journal of the History of

Philosophy 41, no. 3 (2003): 307–327.

http://muse.jhu.edu/content/crossref/journals/journal_of_the_history_of_philos

ophy/v041/41.3mcginnis.html.

Mokhtar, Sarimah, Mohd Kashfi Mohd Jailani, Ab. Halim Tamuri, and Kamarulzama

Abdul Ghani. “Kajian Persepsi Penghayatan Akhlak Islam Dalam Kalangan

Pelajar Sekolah Menengah Di Selangor.” Global Journal Al-Thaqafah (2012).

Mondza, Iil Askar. “Rekaman Tsunami Di Gua Ek Leuti.” Tempo. Last modified

2019. Accessed February 6, 2020. https://majalah.tempo.co/read/ilmu-dan-

teknologi/158346/rekaman-tsunami-di-gua-ek-leuntie.

Mufid, Fathul. “Epistemologi Ilmu Hudhuri Mulla Shadra.” Al-Qalam 29, no. 2

(August 31, 2012): 215.

http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/866.

———. “Perkembangan Paradigma Epistemologi Dalam Filsafat Islam.” Ulumuna

(2013).

Mufrodi, H. Udi. “Alam Semesta Dan Keabsolutan Tuhan.” ALQALAM 22, no. 3

(December 30, 2005): 335.

236

http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqalam/article/view/1365.

Muslih, Muhammad. “Kesadaran Intuitif Plus Cahaya Ilahiyah: Husserl Di Muka

Cermin Suhrawardi.” Tsaqafah 5, no. 1 (May 31, 2009): 29.

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/146.

Nasution, Ismail Fahmi Arrauf. “Buku Panduan Pengkafiran: Evaluasi Kritis Tibyān

Fī Ma’rifat Al-Adyān Karya Nūr Al-Dīn Al-Ranīrī.” Jurnal Theologia 29, no.

1 (September 2, 2018): 59.

http://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/2313.

———. “Humanisasi Pendidikan Islam Melalui Antropologi Transendental Hamzah

Fansûrî.” Edukasia : Jurnal Penelitian Pendidikan Islam (2017).

———. “Termination OF Wahdatul Wujud In Islamic Civilization In Aceh: Critical

Analysis of Ithaf Ad-Dhaki, The Works of Ibrahim Kurani.” ADDIN 11, no. 2

(August 1, 2017): 401.

http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/view/3356.

———. “Waḥdat Al-Wujûd Dalam Alquran.” Mutawattir 6, no. 2 (2016): 258–283.

Nasution, Ismail Fahmi Arrauf, and Miswari. “Islam Agama Teror?: Analisis

Pembingkaian Berita Media Online Kompas.Com.” Al-Balagh 2, no. 1 (2017):

45–61.

_______. “Al-‘Ulamā’ Warathat Al-Anbiyā’: Modernity and Nurture of Authority in

Aceh Society,” Jurnal Theologia 30, no. 2 (December 23, 2019): 197,

http://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/3845.

Nio Song, Ai. “Evolusi Fotosintesis Pada Tumbuhan.” Jurnal Ilmiah Sains (2012).

Noer, Kautsar Azhari. “Tasawuf Dalam Peradaban Islam: Apresiasi Dan Kritik.”

Ulumuna (2017).

Nur, Syaifan. “Kritik Terhadap Pemikiran Tasawuf Al-Raniri.” Kanz Philosophia : A

Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 3, no. 2 (2013): 137.

Rasmianto, Rasmianto. “Mengurai Problem Dikotomik Eksistensial Manusia Dalam

Perspektif Agama Dan Teori Evolusi.” El-Harakah 6, no. 2 (August 13, 2008):

75. http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/infopub/article/view/4669.

Rastam, Rohaimi, Yusri Mohamad Ramli, and Mohd Syukri Yeoh Abdullah.

“Penilaian Terhadap Pengajaran Syariat Islam Oleh Al-Hallaj, Hamzah Al-

Fansuri, Dan Shamsuddin Al-Sumatera’i.” International Journal of Islamic

Thought 12, no. 1 (December 1, 2017): 59–71. http://www.ukm.my/ijit/wp-

content/uploads/2017/11/IJIT-Vol-12-Dec-2017_6_59-71.pdf.

Reid, Anthony. “ Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern

Identities .” Journal of Southeast Asian Studies (2001).

Rescher, Nicholas. “Al-Farabi on Logical Tradition.” Journal of the History of Ideas

(1963).

Reza, Syah. “Konsep Nafs Menurut Ibnu Sina.” Kalimah 12, no. 2 (September 15,

2014): 263.

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/kalimah/article/view/239.

Riahi, Ali Arshad. “A Study Of The Effect Of Human Soul On External Objects :

Between Copenhagen School And Mulla Sadra.” Kanz Philosophia : A Journal

for Islamic Philosophy and Mysticism (2015).

Riddell, Peter G. “Breaking the Hamzah Fansuri Barrier: Other Literary Windows

into Sumatran Islam in the Late Sixteenth Century CE.” Indonesia and the

237

Malay World 32, no. 93 (2004): 125–140.

Rusdiana, A. “Pemikiran Ahmad Tafsir Tentang Manajemen Pembentuk Insan

Kamil.” At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam (2017).

Rusli, Ris’an, and Y. Yanto. “Relevansi Dan Kontinuitas Pemikiran Islam Klasik

Dalam Intelektualisme Islam Melayu Nusantara.” Wawasan: Jurnal Ilmiah

Agama dan Sosial Budaya 3, no. 2 (December 30, 2018): 187–197.

http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw/article/view/4396.

Rustom, Mohammed. “Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mullā Ṣadrā on

Existence, Intellect, and Intuition.” Iranian Studies 45, no. 3 (May 2012): 457–

461. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00210862.2012.655066.

Saleh, Sujiat Zubaidi. “Kritik Ibn Rusyd Terhadap Pandangan Para Filsuf Tentang

Ketuhanan.” Tsaqafah (2009).

Saliyo, Saliyo. “Selayang Pandang Harmonisasi Spiritual Sufi Dalam Psikologi

Agama.” Psikoislamika : Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam 11, no. 2

(December 30, 2014). http://ejournal.uin-

malang.ac.id/index.php/psiko/article/view/6383.

Septiawadi, Septiawadi. “Pergolakan Pemikiran Tasawuf di Indonesia: Kajian Tokoh

Sufi Ar-Raniri.” Kalam 7, no. 1 (March 2, 2017): 183.

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/448.

Shah, Ainul Abidin. “Epistemologi Sufi : Perspektif Al-Hakim Al-Tirmidzi.” Kanz

Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 2, no. 1 (June

23, 2012): 153.

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/28.

Soleh, A. Khudori. “Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam.” TSAQAFAH

10, no. 1 (May 31, 2014): 63.

http://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/64.

Soleh, A Khudori. “Filsafat Isyraqi Suhrawardi.” Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu

Ushuluddin 12, no. 1 (January 22, 2011): 1. http://ejournal.uin-

suka.ac.id/ushuluddin/esensia/article/view/121-01.

Stocker, Roman. “Marine Microbes See a Sea of Gradients.” Science, 2012.

Subahri, Subahri. “Aktualisasi Akhlak Dalam Pendidikan.” Islamuna: Jurnal Studi

Islam 2, no. 2 (December 5, 2015): 167.

http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/islamuna/article/view/660.

Suhrawardi, Sihabuddin. “Hikmah Al-Isyrâq.” In Majmû’ah Muśannafât Syaikh Al-

Isyrâq Vol. II, 11–13. Teheran: Pezhuhesgâh „Olûm-e Insânî va Moțâla‟ât-e

Farhangge, 1979.

Susilo, Benny. “Teori Gradasi : Komparasi Antara Ibn Sînâ, Suhrawardi Dan Mulla

Sadra.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 5,

no. 2 (December 29, 2015): 159.

http://journal.sadra.ac.id/index.php/kanzphilosophia/article/view/139.

Tanusaputra, Daniel Nugraha. “Kerohanian Dan Pelayanan Seorang Hamba Tuhan.”

Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan 14, no. 2 (October 1, 2013): 253–276.

https://ojs.seabs.ac.id/index.php/Veritas/article/view/281.

Ula, Miftahul. “Simbolisme Bahasa Sufi: Kajian Hermeneutika Terhadap Puisi

Hamzah Fansuri.” Religia 19, no. 2 (February 20, 2017): 26. http://e-

journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/view/748.

238

Watt, W. Montgomery. “The Political Attitudes of the Mu’tazilah.” Journal of the

Royal Asiatic Society 95, no. 1–2 (April 15, 1963): 38–57.

https://www.cambridge.org/core/product/identifier/S0035869X00121392/type/

journal_article.

Yani, Zulkarnain. “Analisis Tematik Terhadap Syair Burung Pingai Karya Hamzah

Fansuri.” Penamas Balai Litbang Agama Jakarta XXII, no. Tema-Tema

Sufistik (2009): 20.

Zakaria, Zakaria. “Dakwah Sufistik Hamzah Fansuri: Kajian Substantif Terhadap

Syair Perahu.” Jurnal Ilmiah Islam Futura 13, no. 1 (2013): 105–125.

Zulkarnain, Dzikrullah. “Syaţaḥat Kaum Sufi: Sebuah Telaah Psikologis: Sebuah

Telaah Psikologis.” Smart 1, no. 1 (June 10, 2015): 77–110.

http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/smart/article/view/232.

239

GLOSARI

‘Ayân tsabîtah adalah status eksistensi dalam irfan yang menjadi bekal, ketetapan,

dan potensi segala realitas sebelum teraktualisasi (menjelma).

‘Urafâ adalah pengajar dan penganut ajaran Irfan atau tasawuf falsafi.

Abstraksi adalah proses penggambaran atau pencerapan gagasan atas objek-objek

yang ditangkap indera, baik eksternal maupun internal, ke dalam dataran

konsep.

Akal merupakan salah satu alat ilmu dalam diri manusia yang berperan dalam

menangkap objek-objek abstrak seperti penalaran dan imajinasi,

Aksiologi ilmu merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat

manfaat suatu ilmu, antara lain mempertanyakan bagaimana dan untuk apa

manusia menggunakan ilmunya, kaitan penggunaannya dengan kaidah-

kaidah moral, cara menentukan objek kajian atau metodenya berdasarkan

pilihan moral ilmuwannya.

Al-insân al-kâmîl adalah istilah dalam irfan yang dialamatkan kepada seorang

manusia yang telah mencapai tingkatan spiritual tertinggi. Nabi Muhammad

adalah al-insân al-kâmîl.

Ashalât al-wujûd adalah prinsip ajaran Ibn Sînâ dan Mulla Sadrâ yang meyakini

bahwa wujûd itu menjadi dasar realitas sementara mâhiyah hanya tambahan

bagi wujûd.

Asrâr al-‘Ărifîn adalah karya Hamzah Fansûrî yang ditulis dalam bentuk prosa yang

berisi ajarannya tentang penjelasan filosofis tentang Wahdat al-Wujûd.

Basit al-haqîqah adalah konsep ajaran Mulla Sadra yang menjadi prinsip ajarannya

yang menjelaskan bahwa segala realitas itu prinsipnya adalah kesederhanaan

yakni wujûd yang tunggal tanpa komposisi.

Bayanî adalah pendekatan keilmuan yang menjadikan doktrin kitab suci sebagai

landasan pendekatannya. Pendekatan ini adalah andalan utama ilmu kalâm.

Burhanȋ adalah metode perolehan pengetahuan melalui sistematika penalaran

filosofis. Metode ini adalah landasan pendekatan filsafat

Demonstrasi merupakan bentuk inferensi atau pembentukan kesimpulan yang

merupakan konsekuensi logis dari premis-premis yang dibangun

sebelumnya.

Epistemologi merupakan cabang filsafat dan menjadi landasan bagi ilmu yang

membicarakan hakikat, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, dasar, dan

segala hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan.

Fanâ merupakan keadaan atau modus hilangnya kesadaran inteleksi, imajinasi

sehingga yang tinggal hanya wujûd rohaninya kemudian mengalami

persatuan dengan yang transenden.

Filsafat adalah ilmu yang mempelajari segala yang ada dan mungkin ada secara

mendasar, rasional, kritis, dan radikal untuk menemukan hakikat persoalan

yang dikaji.

240

Hâitsiyah taqyîdîyah adalah model aspek kondisi yang menjadi konsep kunci untuk

menjelaskan hubungan ketunggalan dan kemajemukan.

Hakim adalah istilah untuk penganut dan pengajar hikmah.

Hati merupakan salah satu alat ilmu yang berperan dalam menangkap objek-objek

metafisika melalui kontak langsung dengan objek ilmunya.

Hayûlâ adalah istilah filosof Islam bagi salah satu kategori substansi yakni materi

primer salah satu kategori substansi lainnya yakni potensi aktualitas realitas

yang hanya menjelma apabila bergabung dengan sûrah (form).

Hikmah adalah bidang ilmu pengetahuan dalam pemikiran Islam yang membahas

tentang segala yang ada dan mungkin ada dan hal-hal yang berkaitan

dengannya dengan menjadikan burhanî sebagai landasan utama

pendekatannya. Ilmu ini disebut juga dengan filsafat Islam.

Hudhûrî merupakan bentuk pengetahuan langsung yang hadir dalam diri seseorang

(subjek) tanpa perantara dengan yang diketahui (objek).

Hûshûlî yakni pengetahuan yang hadir melalui proses konfirmasi dan afirmasi.

Ilmu adalah pengetahuan sistematis mengenai realitas ada yang dikonstruksi

berdasarkan metode yang relevan dengan objek yang menjadi wilayah

kajiannya.

Indra adalah salah satu alat ilmu yang dimiliki manusia yang berfungsi menangkap

objek-objek fisikal baik secara eksternal maupun internal.

Intuisi merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan dengan segera dan langsung

tentang sesuatu, tanpa melalui prosedur logis yang baku.

Irfan adalah bidang ilmu tasawuf yang membahas persoalan-persoalan mistik secara

filosofis sehingga disebut juga dengan tasawuf falsafi yang dibedakan dengan

bidang tasawuf lain yakni tasawuf akhlak atau tasawuf amal.

Ittihad aqil wa ma’qûl yakni konsep dalam al-Hikmah al-Muta’alliyah yang

menjelaskan bahwa sebenarnya dalam pengetahuan itu, subjek dan objeknya

adalah satu kesatuan.

Kalâm yakni bidang ilmu pengetahuan dalam pemikiran Islam yang membahas

tentang Tuhan dan hal-hal yang berkaitan dengannya dengan menjadikan

bayanî sebagai landasan utama pendekatannya. Ilmu ini disebut juga dengan

teologi Islam.

Lâ ta’ayyûn adalah kondisi Haqq Ta’ala sebagai mâhiyah tidak terjangkau atau

disebut dengan ghaib al- ghûyûb.

Majâzî adalah istilah untuk wujûd yang hanya ada dalam ranah imajinasi tanpa

memiliki acuan pada realitas indrawi.

Maqâm adalah istilah untuk tingkatan capaian spiritual ‘urafâ.

241

mumkîn al-wujûd adalah materi primes yang wujûd nya masih sebatas potensialitas.

Ketika diberikan wujûd oleh wajîb al-wujûd bî nafsîhî maka menjadi Wajîb

al-wujûd bî ghayrihî.

Mutakallimîn adalah sebutan untuk penganut dan pengajar ilmu kalâm.

Ontologi adalah cabang filsafat yang berfokus mengjkaji segala yang ada dan

mungkin ada.

Realitas adalah eksistensi atau wujûd sesuatu pada ranah fisik, rasional, daan

metafisik.

Rûh idhâfî disebut juga haqîqat al-asyâ’ yaitu hakikat segala sesuatu yaitu sumber

segala jiwa yang berada pada ta’ayyûn awal dalam skema ontologi Hamzah

Fansûrî.

Ta’ayyûn adalah status tajallî Haqq Ta’ala ke dalam lima tingkatan.

Tajallî adalah manuifestasi Haqq Ta’ala yang digambarkan dalam skema ta’ayyûn.

Tajrȋbȋ adalah metode perolehan pengetauan melalui observasi dan eksperimen

indrawi yang berperan dalam menelaah objek-objek fisik. Metode ini adalah

landasan bagi pendekatan sains.

Tanzih adalah menyucikan Allah dari segala keidentikan apapun dengan makhluk.

Istilah ini disebut juga dengan transendensi.

taskîk al-wujûd adalah gradasi wujûd yang satu dalam berbagai status realitas dalam

al-Hikmah al-Muta’alliyah.

Tasybih adalah manifestasi Haqq Ta’ala dalam bentuk nama dan sifat. Istilah ini

disebut juga dengan manifestasi.

Wahdat al-wujûd adalah ajaran yang meyakini bahwa wujûd itu hanya satu. Ajaran

ini dipopulerkan oleh Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya termasuk Hamzah

Fansûrî.

Wajîb al-wujûd adalah wujûd yang aktual dan niscaya.

Wajîb al-wujûd bî ghayrihî adalah wujûd aktual yang mengada karena diberikan

wujûd oleh wajîb al-wujûd bî nafsîhî.

wajîb al-wujûd bî nafsîhî adalah wujûd yang niscaya ada dengan dirinya sendiri yang

dinisbahkan kepada Haqq Ta’ala.

242

DAFTAR INDEKS

A

‘Abd al-Karim Al-Jîlî, 14

‘Abd al-Karîm al-Jîlî, 12, 30, 59

‘Abd al-Ra’uf al-Sinkilî, 26, 205, 217

‘Abd al-Rahman Jâmî, 45

‘Ain al-Qudat al-Hamadanî, 30, 45,

55, 56, 57

Abd al-Samad a-Falimbanî, 14

Abdul Aziz Dahlan, 62, 90

Abdul Hadi WM, 15, 18, 19, 20, 24,

27, 61, 62, 66, 67, 68, 69, 81, 83,

86, 87, 90, 91, 93, 104, 123, 128,

131, 196

abstraksi, 40, 144, 148, 163, 167, 210

Abstraksi, 154, 234

Abû Hamid al-Ghazalî, 4, 20, 26, 42,

55, 58, 102, 178, 192, 194, 202,

217

Abû Mansûr al-Hallaj, 3, 10, 30, 45,

46, 48, 51, 54, 55, 57, 62, 64, 75,

79, 83, 207, 208

Abû Yazid al-Bistamî, 3, 30, 46, 47,

51, 53, 54, 56, 57, 64, 75, 79, 83,

190, 207, 208

Aceh Darussalam, 7, 10, 26, 66, 67,

92, 94, 95, 96, 97, 104, 193, 208

Achmad Chodjim, 6

Ahlû Sunnah wa al-Jama’ah, 3

akal, 35, 37, 38, 41, 44, 52, 59, 80,

84, 109, 143, 144, 145, 146, 148,

154, 167, 174, 175, 185, 187

Akal, 36, 41, 84, 143, 144, 148, 234

Aksiologi, 17, 220, 234

Alâ al-Daulah al-Simmananî, 48

A

Al-Fârâbî, 31, 36, 37, 38, 62, 84, 194,

219

Al-Furqan, 59

al-Futûhat al-Makkiyah, 84

al-harakah al-jawhayiah, 22, 28, 132,

149, 161, 170, 216

al-Hikmah al-Isyrâqiyyah, 2, 13, 63,

133, 168, 201, 208, 212, 216

al-Hikmah al-Masyâ'iyyah, 2, 4, 13,

34, 36, 38, 42, 133, 134, 156, 168,

201, 212, 216

al-Hikmah al-Muta’alliyah, 2, 5, 30,

64, 138, 158, 168, 216, 235, 236

Alî bin Abî Thalib, 75

al-insân al-kâmil, 59, 60, 78, 234

Al-Kindî, 31, 34, 35, 36, 194

Allama Sir Muhammad Iqbal, 4, 8,

20, 137, 190

al-Muta'alliyah fî al-Asfar 'Aqliyah

al-Arba'aah, 133

Al-Qur’an, 10, 25, 38, 47, 48, 49, 50,

51, 59, 68, 69, 74, 76, 82, 101, 102,

107, 109, 128, 129, 133, 143, 206,

229, 230

Anak Dagang, 86

Aristoteles, 30, 31, 33, 35, 36, 38, 39,

42, 43, 62, 135, 138

Aristotelian, 4, 16, 32, 37, 38, 43,

142, 161, 168, 171, 200, 208, 209,

210, 211, 215

ashalat al-wujûd, 22, 28, 132, 138,

149, 152, 160, 169, 216

Ashalât al-wujûd, 234

Asrâr al-‘Ărifîn, 18, 86, 234

Ayan al-tsabîtah, 59, 60, 76

Ayân tsabîtah, 234

243

B

Bahâ al-Dîn al-‘Amilî, 133

Bahr al-‘Amiq, 106

Barus, 67, 93, 94, 95, 97, 99, 220,

221

barzakh, 60, 61, 85, 148

Basit al-haqîqah, 160, 234

basith al-haqîqah, 22, 28, 132, 149,

158, 159, 169, 216

bayanî, 109, 191, 193, 212, 235

Bayanî, 234

biji, 65, 73, 82, 103, 105, 106, 111,

112, 113, 114, 125, 126, 127, 174,

191, 195, 202, 206, 207, 208, 215

biji catur, 103, 105, 106, 174

Braginsky, 11, 19, 25, 67, 79, 88, 89,

94, 220, 227

Buah, 102, 111, 198

buah catur, 102, 103, 105, 106, 126,

198, 199

Burhanȋ, 234

C

catur, 65, 73, 96, 102, 103, 104, 105,

106, 124, 126, 174, 176, 184, 188,

198, 201, 204, 215

cermin, 59, 65, 73, 74, 76, 90, 111,

115, 116, 124, 126, 134, 151, 172,

173, 179, 200, 203, 208, 215

Cina, 92, 94, 95, 104

cinta, 47, 48, 89, 90, 113, 142, 161,

164, 170

D

Demonstrasi, 234

Dhu’nûn al-Misrî, 30, 51, 52, 54, 64

Drewes, 15, 18, 19, 20, 24, 62, 66,

67, 77, 80, 92, 93, 94, 104, 110,

121, 130, 221

E

emanasi, 31, 36, 37, 38, 60, 84, 102,

157, 174

Enneads, 35, 38, 224

Epistemologi, 48, 57, 70, 107, 135,

137, 139, 143, 158, 165, 187, 219,

223, 229, 231, 232, 234

Eropa, 67, 92, 95, 103, 104

F

Fadhl Allah al-Burhânpûrî, 14, 30, 56

Fanâ, 234

fânâ, 47, 53, 54, 55, 64, 73, 79, 80,

90, 122, 123, 129, 148, 190, 191,

193, 197

Fânâ, 79

Fansur, 65, 66, 67, 91, 92, 93, 94, 95,

96, 97, 119

Farîd al-Dîn Attâr, 88

Fazlur Rahman, 19, 20, 134, 136,

148, 155, 179, 180, 203, 230

filsafat Barat, 32, 39

G

gerak, 22, 28, 40, 41, 132, 134, 138,

142, 143, 148, 149, 161, 162, 163,

164, 170

H

Haidar Bagir, 6, 48, 61

Hâitsiyah, 209, 210, 235

hâitsiyah taqyîdîyah, 209, 210

Hâitsiyah taqyîdîyah, 209, 210, 235

Hakim, 48, 107, 232, 235

Hasan Bakti Nasution, 19, 20, 26,

133, 135, 136

Hasan Mu’allimî, 9, 209

Hasan Zâdeh Amûlî, 9, 196, 209

Hati, 31, 82, 109, 223, 226, 235

Hayûlâ, 235

244

Henry Corbin, 10, 17, 25, 62, 136,

220

hudhûrî, 11, 29, 33, 61, 73, 107, 109,

135, 143, 144, 146, 147, 148, 149,

151, 159, 160, 164, 165, 167, 168,

171, 173, 181, 183, 184, 185, 187,

189, 191, 193, 211, 212, 216

Hudhûrî, 183, 212, 235

hûlûl, 48, 56, 64

hushûlî, 109, 143, 144, 146, 147, 148,

149, 150, 167, 174, 181, 183, 184,

185, 187, 188, 190

Hûshûlî, 235

Hyle, 38

I

Ibn ‘Arabî, 3, 9, 15, 19, 22, 46, 48,

51, 56, 57, 58, 59, 61, 64, 65, 78,

80, 81, 83, 84, 97, 108, 111, 113,

114, 116, 124, 127, 134, 142, 152,

153, 155, 157, 160, 161, 163, 164,

168, 174, 176, 177, 179, 187, 195,

197, 199, 202, 204, 206, 208, 209,

210, 216, 222

Ibn Farîd, 48

Ibn Rusyd, 4, 30, 155, 192, 194, 222,

232

Ibn Sînâ, 11, 13, 19, 30, 31, 32, 36,

37, 38, 39, 40, 41, 42, 57, 58, 62,

63, 77, 83, 84, 132, 134, 136, 138,

139, 142, 145, 150, 154, 163, 166,

168, 169, 180, 192, 194, 202, 215,

217, 222, 223, 224, 229, 230, 232,

234

Ibn Taimiyah, 42, 56, 223, 224

Ibrâhîm al-Kurânî, 3

Ibrahim Kalin, 17, 147

Ilahiyah, 13, 31, 32, 33, 35, 37, 44,

60, 61, 185, 213, 231

illiyah, 22, 28, 132, 149, 152, 160,

213

imkân al-faqr, 204

Indra, 77, 188, 235

Intuisi, 235

I

ittihad aqil wa ma’qûl, 22, 29, 132,

149, 152, 165, 186, 216

J

Jalal al-Dîn Rûmî, 79, 123, 125, 189

Jawadî Amulî, 133

jiwa, 33, 34, 35, 37, 41, 43, 46, 70,

86, 87, 88, 119, 128, 134, 135, 137,

142, 143, 144, 148, 164, 165, 166,

167, 168, 169, 171, 174, 176, 180,

181, 185, 186, 188, 190, 192, 196,

203, 204, 205, 210, 236

Junayd al-Baghdadî, 10, 30, 54, 75,

79

K

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad,

17, 25, 118

kanzân makfî, 113, 114, 118, 125,

129, 196

kanzân makhfiyyân, 113, 127

kasyaf, 34, 59, 78, 81, 135, 143, 147,

159

Kautsar Azhari Noer, 1, 48, 55, 56,

58, 62, 107

kosmopolitan, 95, 123, 124

Kudus, 93, 94

Kutaraja, 66, 93, 96

L

lâhût, 48, 64

laut, 58, 65, 72, 73, 74, 77, 80, 96,

105, 106, 107, 108, 109, 110, 111,

115, 120, 121, 125, 126, 128, 176,

181, 190, 191, 192, 198, 206, 208,

215

245

logika, 10, 12, 33, 35, 36, 37, 38, 42,

58, 133, 135, 143, 145, 191, 202,

213

M

Mahabaratha, 103

Maharaja Bakoy, 5, 12, 193, 202

mâhiyâh, 13, 31, 37, 38, 39, 40, 44,

77, 90, 134, 138, 139, 140, 141,

142, 147, 149, 150, 151, 152, 153,

155, 156, 160, 161, 168, 173, 175,

177, 178, 183, 184, 185, 188, 203,

209, 215, 216

Majapahit, 92, 193

Mantiqut Tayr’, 88

Martabat Tujuh, 10, 12, 66, 89, 226

matahari, 76, 96, 100, 101, 102, 124,

126, 178, 207

Melayu, 5, 9, 10, 16, 24, 25, 45, 46,

62, 65, 67, 73, 74, 76, 87, 89, 92,

93, 104, 106, 110, 111, 115, 117,

119, 121, 123, 124, 125, 171, 193,

199, 200, 202, 206, 208, 214, 215,

217, 219, 220, 231, 232

Minangkabau, 208

Mîr ‘Abd al-Qâshim Findirîskî, 133

Misykât al-Anwâr, 178, 219

Muhammad Hidâjî, 136

Muhammad Salîh Kassânî, 136

Muhammad Taqî Misbah Yazdî, 9,

30, 185, 210, 211

Mulla Alî Mudarris Zunûzî, 136

Mullâ Alî Nûrî, 136

Mullâ Hâdî Sabzawârî, 18, 19, 20, 30,

150, 209

Mulyadhi Kartanegara, 19, 26, 31,

40, 84, 137, 143

mumkîn al-wujûd, 156, 163, 180,

185, 236

Murtadha Mutahhari, 136, 161

mutakallimîn, 12, 31, 35, 47, 63, 75,

76, 78, 84, 97, 100, 109, 112, 113,

114, 117, 119, 120, 127, 133, 156,

178, 194, 202

N

Nasr al-Dîn Thûsî, 39, 133, 155

nâsut, 47, 64

Nazarî, 146

Neo-Platonis, 31, 32, 35, 37, 38

Nûr al-Dîn al-Ranîrî, 3, 4, 5, 8, 14,

15, 19, 26, 46, 62, 75, 200, 206,

207, 208, 214, 217

O

Ombak, 72, 106, 107, 108, 110

Ontologi, 11, 31, 58, 73, 138, 177,

230, 236

P

penalaran, 11, 31, 33, 36, 37, 40, 43,

44, 52, 75, 112, 135, 143, 234

perabotan, 65, 73, 86, 96, 97, 98, 99,

100, 102, 104, 124, 126, 176, 184,

185, 187, 198, 200, 201, 215

Persia, 4, 8, 16, 19, 20, 21, 26, 92, 93,

95, 101, 103, 104, 125, 132, 133,

134, 136, 146, 168, 171, 199, 200,

202, 205, 208, 214, 215, 217, 222,

224

Peureulak, 10, 92, 93

Plato, 33, 38, 84, 228

Plotinus, 35, 38, 84, 101, 224

Portugal, 96, 103, 193

Prima Causa, 30, 35, 38

proposisi, 31, 33, 43, 139, 144, 146,

147, 151, 157, 159, 164, 193, 199,

209, 211, 212

prosa, 5, 18, 24, 27, 46, 61, 67, 73,

74, 81, 125, 234

puisi, 21, 24, 46, 61, 67, 68, 70, 81,

83, 89, 123, 125, 133

246

Q

Qutb al-Dîn Shirazî, 30, 44

R

Rabi’ah al-Adawiyah, 30, 51, 52, 53,

64

Rûh idhâfî, 236

S

Sadr al-Dîn al-Qunâwî, 56

Samudra Pasai, 5, 10, 12, 67, 92, 97,

104, 105, 193, 200, 202

Sayf al-Rizâl, 206, 208, 217

Sayyid Hussîn Thabattâbâ'i, 9, 141,

144, 146, 150, 210, 211

Sayyid Nasîmî, 75

Sayyid Yadullah Yazdan Panah, 9,

209, 210

Seyyed Hossein Nasr, 1, 30, 32, 33,

34, 36, 39, 40, 45, 46, 48, 56, 101,

136, 138, 146, 147, 163, 178, 188,

209, 220, 221, 222, 223, 224, 226,

227

Shams al-Dîn al-Sumatranî, 18, 20,

25, 46, 49, 56, 62, 66, 78, 89, 90,

91, 199, 206, 214, 217

sintesis, 5, 6, 7, 8, 9, 16, 26, 32, 125,

132, 154, 168, 200, 215, 217

Suryani, 34, 35

Syahri Nawi, 93

Syaikh ‘Abd al-Jalîl, 193

Syaikh Abdul Muhyî, 7

Syaikh Siti Jenar, 6, 7, 10, 12

Syaikh Yusuf al-Maqassarî, 7

Syair Burung Pinggai, 88

Syams al-Dîn al-Sumatranî, 10, 18

Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 9,

15, 17, 24, 25, 27, 45, 62, 65, 67,

73, 92, 99, 100, 185, 220, 221

Syihab al-Dîn al-Suhrawardî, 4, 8, 13,

19, 30, 31, 32, 33, 39, 42, 43, 44,

63, 84, 102, 132, 134, 135, 138,

139, 140, 142, 144, 145, 146, 147,

150, 155, 159, 163, 165, 168, 180,

186, 189, 193, 212, 215, 217

syu’un, 107

T

ta’ayyûn, 60, 74, 85, 124, 176, 186,

187, 191, 192, 198, 215, 235, 236

Tajallî, 58, 84, 236

Tajrȋbȋ, 236

tanah, 9, 65, 73, 74, 76, 77, 86, 93,

96, 97, 98, 99, 100, 102, 104, 122,

124, 125, 126, 171, 175, 176, 179,

183, 184, 186, 187, 198, 200, 201,

204, 211, 215, 216

tanzih, 57, 59, 64, 90

Tanzih, 60, 84, 90, 221, 236

Tapanuli, 94, 99, 229

tasawuf akhlak, 13, 46, 54, 212, 235

tasawuf falsafi, 6, 13, 51, 54, 235

tasawuf filosofis, 10, 11, 13, 22, 34,

48, 200, 209

taskîk al-wujûd, 135, 177, 187, 192,

204, 211, 214, 216, 236

tâskîk al-wujûd, 16, 22, 28, 132, 134,

149, 152, 153, 154, 155, 160, 169

tasybih, 57, 59, 64, 90

Tasybih, 60, 84, 221, 236

tasybîh, 59

Timur Tengah, 14, 92, 93, 94, 103,

104, 105, 110, 120, 122, 123, 124,

220

Toshihiko Izutsu, 19, 20, 21, 26, 28,

31, 130, 139

V

Vladimir Braginsky, 11, 18, 25, 67

W

Wahdah al-Syûhûd, 48

247

Wahdah al-Wujûd, 3, 12, 25, 48, 56,

57, 61, 78, 83, 85, 86, 104, 115,

156, 179, 186, 187, 198, 210

Wahdat al-wujûd, 236

Wajîb al-wujûd, 40, 236

Wajîb al-wujûd bî ghayrihî, 236

wajîb al-wujûd bî nafsîhî, 236

wâra', 48, 63

Y

Yunani, 32, 34, 35, 101, 120, 132,

141, 190, 194

Z

Zoroastrian, 8

248

BIODATA PENULIS

Miswari (Scopus id: 57203862000, Sinta id: 6012322) adalah pengajar filsafat Islam pada IAIN

Langsa, Aceh. Lahir di Paya Cut, Peusangan, Bireuen, Aceh, pada 12 September 1986. Menyelesaikan

magister filsafat Islam ICAS-Paramadina Jakarta pada 2014 dengan tesis berjudul “Hamzah Fansûrî dan

Pemikiran Wahdat Al-Wujûd dalam Asrar Al-‘Arifîn” di bawah bimbingan Prof. Dr. Abdul Hadi, WM.

Tesis tersebut telah diterbitkan oleh BasaBasi Yogyakarta pada 2018 dengan judul ‘Wahdah Al-Wujûd:

Konsep Kesatuan Wujûd Antara Hamba dan Tuhan Menurut Hamzah Fansuri’. Melanjutkan program

doktor filsafat Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil

Konsentrasi Filsafat Islam dengan disertasi berjudul “Kajian Perbandingan Wujudiah Hamzah Fansri dan

Filsafat Mulla Sadra”.

Pernah terlibat dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) mulai dari Pengurus Daerah Bireuen,

Pengurus Wilayah Aceh sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat Pelajar pada 2006-2008, dan

Pengurus Besar bermarkas di Menteng Raya 58 Jakarta Pusat sebagai Ketua Bidang Eksternal pada 2010-

2012.

Telah menulis sekitar 40 artikel untuk berbagai jurnal terindeks Scopus, Sinta, dan lainnya. Di

antaranya adalah “Mu‘ḍilat al-aqlīyah alMasīḥīyah fī ḥudūd balad alsharī‘ah al-Islāmīyah” (Studia

Islamika, 2018), “Preserving Identity through Modernity: Dayah al-Aziziyah and Its Negotiations with

Modernity in Aceh” (Hayula, 2019), “al-‘Ulamā’ Warathat Al-Anbiyā’: Modernity and Nurture of

Authority in Aceh Society” (Theologia, 2019). Telah menulis sekitar 20 buku, diantaranya ‘Filsafat

Terakhir’ (Unimal Press, 2016 revisi Zahir Publishing, 2020), ‘Tasawuf Terakhir’ (Zahir Publishing, 2020),

dan ‘Teologi Terakhir’ (Zahir Publishing, 2021). Juga telah mengedit belasan buku yang telah diterbitkan

oleh Unimal Press dan Bandar Publishing.

Miswari dapat dihubungi WA 081295570747 dan email [email protected].