Dissociative Disorder

33
GANGGUAN DISOSIATIF (DISSOCIATIVE DISORDERS) Disusun oleh : ROMIYATUN, S.Pd. MAGISTER PSIKOLOGI PASCASARJANA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2015

Transcript of Dissociative Disorder

GANGGUAN DISOSIATIF

(DISSOCIATIVE DISORDERS)

Disusun oleh :

ROMIYATUN, S.Pd.

MAGISTER PSIKOLOGI

PASCASARJANA

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI DAN CIRI-CIRI

Gangguan disosiatif itu artinya sebuah kelompok gangguan yang ditandai oleh suatu

kekacauan atau disosiasi dari fungsi identitas, ingatan, atau kesadaran. Gangguan identitas

disosiatif biasanya disebut sebagai kepribadian ganda.

Gejala-gejala disosiatif: a) gangguan-gangguan yang tidak diminta dalam hal kesada-

ran diri dan perilaku, diikuti dengan hilangnya kontinuitas dalam pengalaman subjektif

(gejala “positif” disosiatif: pemecahan identitas, depersonalisasi, dan derealisasi); b) keti-

dakmampuan untuk mengolah informasi atau mengontrol fungsi mental yang seharusnya

secara normal mampu untuk dikontrol (gejala “negatif” disosiatif: amnesia). Gangguan

disosiatif dapat terjadi akibat trauma. Gejala-gejala yang terjadi, termasuk hal yang mema-

lukan dan membingungkan dalam gejala atau hasrat untuk menyembunyikan gejala-gejala

tersebut, diakibatkan karena trauma. (DSM V, 2013)

Gejala utama disosiatif adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari inte-

grasi normal di bawah kendali kesadaran antara :

Ingatan masa lalu

Kesadaran identitas dan pengindraan segera (awareness of identity and immediate

sensation) dan,

Kontrol terhadap gerakan tubuh (PPDGJ III (1993))

Menurut DSM V, 2013 gangguan disosiatif dibagi menjadi beberapa jenis sebagai

berikut.

1) Gangguan Depersonalisasi/Derealization (Depersonalization/Desealization Disorder)

2) Amnesia Disosiatif (Dissociative Amnesia)

3) Fugue Disosiatif (Dissociative Fugue)

4) Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity Disorder)

5) Gangguan Disosiatif Lainnya (Other Specified Dissociative Disorder)

2

A. Jenis-jenis Gangguan Disosiatif

a. Gangguan Identitas Disosiatif

DID adalah suatu gangguan disosiatif dimana seseorang memiliki dua atau le-

bih kepribadian yang berbeda atau kepribadian pengganti (alter). DID dulu dikenal

dengan nama kepribadian ganda (multiple personality disorder) adalah suatu gang-

guan psikologis di mana penderita akan menciptakan dua atau lebih kepribadian

dan kondisi emosi yang masing-masing memiliki persepsi dan interaksi berbeda ter-

hadap lingkungannya. Dua atau lebih di antara kepribadian ini berulang kali meng-

ontrol perilaku orang itu, dengan beberapa kehilangan ingatan di antara kepribadian

itu. Kepribadian orisinalnya sangat mungkin mengalami amnesia untuk kepribadian

barunya (Halgin, 2012:266).

Menurut Welldan (2012) di salah satu artikelnya yang berjudul Kepribadian

Ganda, kepribadian ganda terbentuk dari rasa traumatik masa kecil yang biasanya

terjadi antara umur 4-6 tahun. Penderita menghibur diri sendiri dari sesuatu yang

menyakitkan dengan menciptakan kepribadian lain buat menampung semua perasa-

annya. Dengan kata lain anak berusaha melindungi dirinya dari hal yang kurang

mengenakan yang pernah dialami.

Agar lebih jelas misalnya, ada kepribadian yang tahu soal peristiwa traumatik

itu, dan ada kepribadian yang sama sekali tidak mengetahui. Akhirnya mereka ter-

biasa saling melindungi diri dari masalah dengan mengganti kepribadiannya hingga

mereka tumbuh dewasa. Menurut sumber dari blog Enigma, kepribadian ganda da-

pat juga didefinisikan sebagai kelainan mental dimana seseorang yang mengidap-

nya akan menunjukkan adanya dua atau lebih kepribadian (alter) yang masing-

masing memiliki nama dan karakter yang berbeda.

Orang dengan kepribadian ganda seringkali sangat imajinatif pada masa ke-

cilnya karena terbiasa dengan permainan “make-believe” (pura-pura atau bermain

peran) mereka mungkin sudah mengadopsi identitas pengganti, terutama bila mere-

ka belajar bagaimana menampilkan peran kepribadian ganda dan ada sumber eks-

ternal yang membenarkan.

Dalam kasus kepribadian ganda masih terdapat kontroversi, karena selama ta-

hun 1920-1970 dilaporkan hanya sedikit kasus di seluruh dunia tentang kepribadian

ganda. Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat didiagnosis

3

pada orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa saja hanya mengikuti su-

gesti bahwa mereka mungkin memiliki gangguan tersebut (APA, 2000). Sejumlah

pakar terkenal, seperti Alm. Psikolog Nicholas Spanos (1994) via Emery (2013)

dan para psikolog lainnya telah menentang keberadaan gangguan identitas disosia-

tif. Bagi Spanos, kepribadian ganda bukanlah suatu gangguan tersendiri, namun

suatu bentuk bermain peran dimana individu pertama-tama mulai menganggap diri

mereka memiliki self ganda dan kemudian mulai bertindak dengan cara yang kon-

sisten dengan konsepsi mereka mengenai gangguan tersebut. Pada akhirnya perma-

inan peran mereka tertanam sangat dalam sehingga menjadi kenyataan bagi mereka.

Berdasarkan DSM V (2013):

Kriteria Diagnostik : 300.14 (F 44.81)

A. Disruption of identity characterized by two or more distinct personality states,

which may be described in some cultures as an experience of possession. The

disruption in identity involves marked discontinuity in sense of self and sense

of agency, accompanied by related alterations in affect, behavior, conscious-

ness, memory, perception, cognition, and/or sensory-motor functioning. These

signs and symptoms may be observed by others or reported by the individual.

(Gangguan identitas ditandai dengan dua atau lebih keadaan kepribadian

yang berbeda, yang dapat dijelaskan dalam beberapa kebudayaan sebagai

pengalaman kepemilikan. Gangguan identitas melibatkan diskontinuitas

ditandai dalam kesadaran diri dan sense of agency, disertai dengan perubahan

alter yang berkaitan dengan afek, perilaku, kesadaran, memori, persepsi,

kognisi, dan/atau fungsi sensorik-motorik. Tanda-tanda dan gejala dapat

diamati oleh orang lain atau dilaporkan oleh individu.)

B. Recurrent gaps in the recall of everyday events, important personal infor-

mation, and/or traumatic events that are inconsistent with ordinary forgetting.

(Kegagalan mengingat kembali kegiatan sehari-hari, informasi pribadi yang

penting, dan /atau peristiwa traumatik yang tidak sesuai dilupakan.)

C. The symptoms cause clinically significant distress or impairment in social, occu-

pational, or other important areas of functioning. (Gejalanya menyebabkan dis-

tress klinis signifikan atau penurunan bidang sosial, pekerjaan, atau lainnya

yang penting dari fungsi.)

4

D. The disturbance is not a normal part of a broadly accepted cultural or religious

practice. (Gangguan ini bukan bagian normal dari praktik budaya atau agama

diterima secara luas.)

Note: In children, the symptoms are not better explained by imaginary play-

mates or other fantasy play. (Catatan: Pada anak-anak, gejalanya tidak dije-

laskan lebih baik oleh teman bermain imaji atau fantasi bermain lainnya)

E. The symptoms are not attributable to the physiological effects of a substance

(e.g., blackouts or chaotic behavior during alcohol intoxication) or another me-

dical condition. (e.g., complex partial seizures). (Gejala tidak disebabkan oleh

efek fisiologis dari substansi (misalnya, hilang kesadaran atau perilaku kacau

selama mabuk alkohol) atau kondisi medis lain. (misalnya, kejang parsial

kompleks).)

Dalam DSM V, 2013, identitas disosiatif merupakan kemunculan dua atau

lebih kepribadian yang berbeda. Kejelasan atau ketidakjelasan dari kepribadian ini

bagaimanapun bervariasi dari fungsi motivasi psikologis, level stress sekarang, bu-

daya, konflik internal dan dinamik, serta naik turunnya emosi. Penekanan periode-

periode dari gangguan identitas mungkin terjadi ketika tekanan psikososial parah

dan/atau berkepanjangan. Dalam beberapa kasus “possession-form” dari gangguan

identitas disosiatif, dan dalam proporsi kasus “non-possession-form” yang kecil,

perwujudan dari identitas alter akan sangat jelas. Kebanyakan individu dengan

gangguan identitas disosiatif “non-possession-form”, tidak secara jelas menunjuk-

kan ketidaksinambungan identitas diri dalam periode waktu yang lama; hanya se-

dikit bagian menunjukkan pada perhatian klinis dengan identitas alternatif yang ter-

observasi. Ketika kepribadian alternatif tidak secara langsung terobservasi, gang-

guan tersebut dapat diidentifikasi oleh dua bagian dari gejala: 1) perubahan/alter

yang tiba-tiba atau diskontinuitas dari dalam diri (Kriteria A) dan 2) amnesia

disosiatif yang berulang (Kriteria B).

Gejala-gejala dari kriteria A berhubungan dengan diskontinuitas pengalaman

yang dapat berpengaruh pada berbagai aspek fungsi individu. Individu dengan

gangguan identitas disosiatif dapat menunjukkan perasaan yang tiba-tiba menjadi

pengamat yang didepersonalisasi dari perkataan dan tindakan mereka, dimana me-

reka merasa tidak berdaya untuk menghentikannya (sense of self). Beberapa indi-

5

vidu juga menunjukkan persepsi suara (contoh: suara anak; tangisan; dan suara

roh). Pada beberapa kasus, suara-suara tersebut terasa banyak, membingungkan, pi-

kiran bebas mengalir melalui individu yang tidak terkontrol. Emosi yang kuat, im-

puls, dan perkataan atau tindakan lain tiba-tiba muncul tanpa rasa kepemilikan diri

atau tanpa kontrol. Emosi-emosi dan impuls ini seringkali ditunjukkan sebagai ego

yang tidak kuat dan membingungkan. Sikap, penampilan dan kesukaan pribadi

(makanan, aktivitas, pakaian) dapat berubah secara tiba-tiba dan berubah lagi. Indi-

vidu juga merasa tubuhnya berbeda (seperti tubuh anak-anak, jenis kelampin ber-

beda, besar dan berotot). Perubahan dalam perasan diri sendiri dan kehilangan agen

personal dapat diikuti rasa bahwa sikap, emosi, dan perilaku – dalam satu tubuh –

bukan milik sendiri dan bukan dalam kontrol diri. Walaupun kebanyakan gejala

Kriteria A bersifat subjektif, kebanyakan dari diskontinuitas yang tiba-tiba dalam

berbicara, pengaruh, dan perilaku dapat diamati oleh keluarga, teman, dan terapis.

Serangan non-epilepsi dan gejala konversi lainnya menonjol dalam beberapa pen-

jelasan dari identitas disosiatif, khususnya dalam setting non-Barat (DSM V, 2013).

Individu yang memiliki gangguan identitas disosiatif berbeda dalam kesada-

ran diri dan sikap terhadap amnesia. Hal ini umum pada individu tersebut untuk

memperkecil gejala amnesia mereka. Beberapa perilaku amnesia dapat menjadi

nyata pada lainnya – seperti ketika orang-orang tidak mengingat kembali sesuatu

yang mereka sadari dalam berbuat atau berkata, ketika mereka tidak bisa mengingat

nama mereka, atau ketika mereka tidak mengenal pasangan, anak, atau teman

dekatnya (DSM V, 2013).

Identitas “possession-form” dalam identitas disosiatif nyata sebagai perilaku

yang muncul seperti ada “spirit”, kekuatan supernatural, atau ada orang lain di luar

yang mengontrol. Contohnya, perilaku individu dapat memunculkan bahwa identi-

tas mereka telah digantikan dengan “hantu” dari perempuan yang bunuh diri dalam

komunitas mereka beberapa tahun yang lalu, berbicara dan berperilaku seakan-akan

perempuan itu masih hidup. Atau, individu diambil alih oleh iblis, sebagai tuntutan

dari individu untuk mendapatkan hukuman atas perilaku yang telah dia lakukan di

masa lalu. Bagaimanapun, bagian utama dari keadaan kepemilikan di dunia ini nor-

mal, biasanya bagian dari spiritual dan tidak termasuk dalam gangguan identitas di-

sosiatif. Identitas yang meningkat selama gangguan disosiatif disorder “possession-

form” muncul berulang tidak diinginkan dan terpaksa yang menyebabkan distress

6

atau kerusakan klinis yang signifikasn (Kriteria C) dan tidak dapat diterima oleh

budaya atau agama secara luas (Kriteria D) (DSM V, 2013).

Perkembangan dan rangkaiannya (DSM V, 2013):

Identitas disosiatif dihubungkan dengan pengalaman yang berlimpah, peristi-

wa traumatik, dan pelecehan yang terjadi di masa kanak-kanak. Keseluruhan gang-

guan dapat terjadi pertama kali secara nyata hampir di seluruh umur (masa kanak-

kanak awal sampai lansia). Disosiatif di masa anak berhubungan dengan permasa-

lahan memori, konsentrasi, kelekatan, dan permainan traumatik. Bagaimanapun,

anak-anak biasanya tidak menunjukkan perubahan identitas; malahan, mereka

awalnya menunjukkan overlap dan campuran dari keadaan mental (Fenomena

kriteria A) dengan gejala yang berhubungan dengan diskontinuitas dari penga-

laman. Perubahan identitas secara tiba-tiba pada saat remaja dapat muncul hanya

menjadi keadaan kacau atau tingkat awal dari gangguan mental lainnya. Individu

yang lebih tua dapat memunculkan hal yang muncul pada gangguan mood, obsesif

kompulsif, paranoid, gangguan mood psikotik, bahkan gangguan kognitif yang

disebabkan karena amnesia disosiatif. Dalam beberapa kasus, pengaruh gangguan

dan memori dapat meningkat, memaksakan kesadaran diri dengan mempercepat

umur. Perubahan nyata dalam identitas dapat ditekan dengan 1) penghilangan dari

situasi trauma; 2) kanak-kanak dari individu tersebut mencapai umur dimana indi-

vidu tersebut mengalami pelecehan atau peristiwa traumatik; 3) pengalaman trau-

matik selanjutnya, biasanya tidak penting 4) kematian dari, atau onset dari penyakit

fatal, pelaku pelecehan seksual.

Faktor resiko dan prognosis (DSM V, 2013):

Lingkungan. Hubungan fisik interpersonal dan pelecehan seksual dikaitkan dengan

meningkatnya resiko dari gangguan identitas disosiatif. Pelecehan seksual dan

pengabaian adalah penyebab 90% penderita identitas disosiatif di United States,

Canada dan Eropa di antara penderita. Bentuk-bentuk lain adalah pengalaman trau-

matik, termasuk prosedur operasi dan penanganan medis anak, perang, prostitusi

anak, dan terorisme.

7

Lainnya. Pelecehan yang sedang terjadi, pengulangan trauma di kehidupan-selan-

jutnya, berkaitan dengan gangguan mental, penyakit medis yang parah, dan penun-

daan dalam beberapa treatmen dengan prognosis yang lemah.

Perbedaan diagnosis dengan: (DSM V, 2013)

Gangguan disosiatif spesifik lainnya. Ciri gangguan identitas disosiatif adalah

terbaginya identitas dengan berulangnya gangguan dari fungsi kesadaran dan

pendirian. Sedangkan gangguan disosiatif spesifik lainnya tidak termasuk da-

lam kriteria A dan tidak diikuti amnesia berulang.

Major depressive disorder. Depresi yang ditemukan dalam gangguan identitas

disosiatif memiliki segi sendiri: mood depresi dan fluktuasi kognisi dalam

beberapa identitas, tapi yang lain tidak.

Gangguan bipolar. Dalam gangguan bipolar, pergantian mood yang secara ce-

pat terjadi dalam waktu menit/jam dalam diri individu tanpa perbedaan iden-

titas. Dalam identitas disosiatif, penaikan atau penurunan mood ditunjukkan

dengan identitas yang jelas berbeda. Jadi, mood lain akan mendominasi dalam

jangka waktu yang relatif lama (hari) atau menit.

PTSD dan identitas disosiatif. Untuk membedakan individu dengan gangguan

PTSD saja atau PTSD dan identitas disosiatif cukup sulit. Beberapa individu

dengan PTSD menunjukkan gejala disosiatif yang juga dapat terjadi di identitas

disosiatif: 1) amnesia pada aspek traumatik, 2) dissosiative flashbacks, 3) geja-

la pengacauan dan penghindaran, perubahan negatif dalam kognisi dan mood,

dan berlebihan dalam peristiwa traumatik. Sebaliknya, individu dengan iden-

titas disosiatif menunjukkan gejala yang bukan menunjukkan PTSD : 1) amne-

sia yang terjadi hampir setiap hari (peristiwa non-traumatic) 2) dissosiative

flashbacks yang diikuti amnesia dari konten flashbacks 3) gangguan yang ka-

cau (tidak berhubungan dengan kerjadian traumatik) dalam pendirian 4) peru-

bahan identitas diri yang tidak terduga.

Gangguan psikotik (schizophrenia). Gangguan identitas disosiatif seringkali di-

bingungkan dengan gangguan psikotik karena munculnya suara-suara tertentu

(halusinasi psikotik). Individu dengan gangguan identitas disosiatif dapat me-

nunjukkan penglihatan, taktil, rasa, penciuman, halusinasi somatik yang biasa-

nya berhubungan dengan posttraumatic dan faktor disosiatif, seperti bagian

8

dari masa lalu. Individu merasakan gejala ini karena perubahan identitas yang

dimilikinya, bukan karena delusi saja dan sering menjelaskan gejala tersebut

dengan sendirinya (“aku merasa seperti orang lain ingin menangis dengan

mataku”). Identitas yang kacau dan kerusakan akut yang mengganggu pikiran,

serta amnesia yang terjadi dalam beberapa episode pada identitas disosiatif

dapat membedakan dengan gangguan psikotik.

Gangguan obat-obatan. Gangguan identitas disosiatif tidak disebabkan karena

penggunaan obat.

Gangguan kepribadian. Individu yang memiliki gangguan identitas disosiatif

terlihat seperti memiliki gangguan kepribadian. Bagaimanapun, gangguan

identitas disosiatif tidak memiliki identitas yang menetap pada dirinya. Orang

yang memiliki gangguan kepribadian tidak akan mengalami perubahan

identitas, namun memiliki gangguan kepribadian yang lebih menetap.

Malingering. Individu yang mempunyai gangguan malingering biasanya mem-

buat secara terbatas, berdasarkan stereotip tertentu, berpura-pura lupa, dan ber-

hubungan dengan peristiwa yang terlihat kasat mata. Contohnya, mereka

biasanya menunjukkan semua “identitas yang baik” dan “identitas yang buruk”

dalam diri. Mereka juga serasa “enjoy” untuk berpura-pura memiliki gangguan

tersebut. Orang yang memiliki gangguan identitas disosiatif akan bersikap

malu dengan gejala-gejalanya dan menyangkal gejala tersebut. Maka, harus

ada observasi secara beruntut, mengumpulkan sejarah dari individu, dan

assesment psikologi.

b. Amnesia disosiatif

Amnesia disosiatif sebelumnya disebut amnesia psikogenik, individu tidak

mampu untuk mengingat detail personal yang penting dan pengalaman yang

seringkali berhubungan dengan kejadian traumatis atau sangat menekan (Halgin,

2012). Amnesia diambil dari kata Yunani a-, berarti “tanpa” dan mnasthai, berarti

“untuk mengingat”. Dalam amnesia disosiatif sebelumnya disebut sebagai amnesia

psikogenik, orang menjadi tidak mampu menyebutkan kembali informasi pribadi

yang penting, biasanya melibatkan pengalaman yang traumatis atau penuh tekanan,

dalam bentuk yang tidak dapat dianggap sebagai lupa biasa. Kehilangan ingatan ini

juga tidak disebabkan oleh penyebab organis tertentu, seperti kerusakan pada otak

9

atau kondisi medis tertentu, bukan pula efek langsung dari obat-obatan atau

alkohol. Ingatan yang hilang dalam amnesia disosiatif dapat kembali, meski

gangguan ini dapat berlangsung selama beberapa hari, minggu atau bahkan tahun.

Mengingat kembali dalam amnesia disosiatif dapat terjadi secara bertahap tapi

sering muncul secara tiba-tiba atau spontan.

Berdasarkan DSM V, 2013 :

Kriteria Diagnostik : 300.12 (F 44.0)

A. An inability to recall important autobiographical information, usually of a trau-

matic or stressful nature, that is inconsistent with ordinary forgetting.

(Ketidakmampuan untuk mengingat informasi otobiografi penting, biasanya bersifat

traumatik atau stres, yang tidak konsisten dengan lupa biasa.)

Note: Dissociative amnesia most often consists of localized or selective amnesia

for specific event or events; or generalized amnesia for identity and life history.

(Catatan: amnesia disosiatif paling sering terdiri dari lokal atau selektif amnesia untuk

acara tertentu atau peristiwa; atau amnesia secara umum pada identitas dan sejarah

kehidupan)

B. The symptoms cause clinically significant distress or impairment in social,

occupational, or other important areas of functioning. (Gejala klinis menyebabkan

distress signifikan atau penurunan bidang sosial, pekerjaan, atau lainnya yang penting

dari fungsi.)

C. The disturbance is not attributable to the physiological effects of a substance

(e.g., alcohol or other drug of abuse, a medication) or a neurological or other

medical condition (e.g., partial complex seizures, transient global amnesia,

sequelae of a closed head injury/traumatic brain injury, other neurological

condition). (Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari substansi (misalnya,

alkohol atau obat lain penyalahgunaan, obat) atau kondisi medis neurologis atau

lainnya (misalnya, kejang kompleks parsial, transient global amnesia, gejala sisa dari

cedera kepala tertutup / cedera otak traumatis, kondisi neurologis lainnya).

D. The disturbance is not better explained by dissociative identity disorder, post-

traumatic stress disorder, acute stress disorder, somatic symptom disorder, or

major or mild neurocognitive disorder. (Gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan

10

oleh gangguan disosiatif identitas, gangguan stres pasca trauma, gangguan stres akut,

gangguan gejala somatik, atau gangguan neurokognitif besar atau ringan.)

Coding note: The code for dissociative amnesia without dissociative fugue is

300.12 (F44.0). The code for dissociative amnesia with dissociative fugue is

300.13 (F44.1). Specify if ; 300.13 (F44.1)

With dissociative fugue: Apparently purposeful travel or bewildered wandering

that is associated with amnesia for identity or for other important autobio-

graphical information. (Dengan fugue disosiatif: perjalanan tampak terarah atau

bingung mengembara yang terkait dengan amnesia untuk identitas atau informasi

penting lainnya otobiografi.)

Definisi karakteristik dari amnesia disosiatif adalah ketidakmampuan untuk

mengingat kembali informasi autobiografi penting yang 1) seharusnya dengan

sukses dikeluarkan dari memori; 2) biasanya selalu siap untuk diingat (mudah

untuk diingat) (Kriteria A). Amnesia disosiatif dibedakan dari amnesia permanen

yang disebabkan oleh kerusakan neurologis atau keracunan yang mencegah tempat

penyimpanan memori atau mengingat kembali informasi yang selalu berpotensi

untuk mudah dikembalikan karena memori tersebut sudah tersimpan secara

sukses (DSM V, 2013).

Halgin dan Withbourne (2012:276) menjelaskan ada empat bentuk amnesia

disosiatif.

a. Localize Amnesia

Bentuk umum dari localize amnesia adalah ketika individu lupa semua kejadian

yang terjadi selama interval waktu tertentu. Biasanya interval waktu ini diikuti

dengan cepat oleh kejadian yang sangat mengganggu, seperti kecelakaan mobil,

kebakaran, atau bencana alam.

b. Selective Amnesia

Dalam selective amnesia, individu gagal mengingat kembali beberapa hal, tetapi

tidak semua hal, detail kejadian-kejadian yang terjadi selama periode waktu terse-

but. Misalnya, orang-orang yang dapat selamat dari kebakaran dapat mengingat saat

ambulans membawanya menuju rumah sakit, namun tidak dapat mengingat saat

selamat dari rumah yang terbakar.

11

c. Generalized Amnesia

Adalah sebuah sindrom ketika seseorang tidak dapat mengingat semua hal dalam

kehidupannya.

d. Continuous Amnesia

Mencakup kegagalan untuk mengingat kembali kejadian khusus dan mencakup

waktu saat itu. Sebagai contoh, seorang veteran perang dapat mengingat masa

kanak-kanak dan masa mudanya hingga ia masuk dalam militer. Namun ia lupa

semua hal yang terjadi setelah perjalanan pertamanya dalam tugas pertempuran.

Perkembangan dan rangkaian (DSM V, 2013):

Onset dari amnesia menyeluruh biasanya terjadi tiba-tiba. Hanya sedikit yang

mengetahui tentang onset dari amnesia terlokalisasi dan selektif karena jarang ter-

lihat, bahkan pada individu tersebut. Walaupun pengalaman yang berlebihan dan

intoleran mengawali amnesia terlokalisasi, onset tersebut dapat tertunda beberapa

jam, hari, atau lebih lama lagi.

Individu dapat menunjukkan banyak episode dari amnesia disosiatif. Episode

tunggal dapat mempengaruhi episode-episode selanjutnya. Di antara episode-episo-

de amnesia, individu dapat atau tidak dapat muncul secara jelas. Durasi dari peris-

tiwa yang dilupakan mempunyai rentang waktu dari menit sampai dekade. Bebera-

pa episode amnesia disosiatif berubah dengan cepat (ketika orang tersebut dising-

kirkan dari pertempuran atau situasi stress lainnya, dimana episode lainnya berlang-

sung dalam jangka waktu yang lama. Beberapa individu dapat secara bergantian

mengingat kembali memori disosiatif beberapa tahun kemudian. Kapasitas diso-

siatif dapat berkurang dengan umur, tapi tidak selalu.

Amnesia disosiatif telah diamati pada anak, remaja, dan dewasa. Anak mung-

kin menjadi yang paling sulit untuk dievaluasi karena mereka sering mengalami

kesulitan untuk mengerti pertanyaan mengenai amnesia dan pewawancara menga-

lami kesulitan untuk memformulasikan pertanyaan tentang memori dan amnesia.

Dalam observasi amnesia disosiatif, sering sulit membedakan antara kecemasan,

perilaku berlawanan, dan gangguan belajar. Maka, dibutuhkan informasi dari sum-

ber yang berbeda (guru, terapis, rekan kerja) untuk mendiagnosis amnesia pada

remaja.

12

Faktor resiko dan prognosis (DSM V, 2013):

Lingkungan. Kejadian traumatik yang sekali terjadi atau berulang merupakan pe-

nyebab utama. Amnesia disosiatif dapat terjadi pada 1) pengalaman anak yang me-

rugikan dalam jumlah banyak, fisik/pelecehan seksual 2) kekerasan interpersonal,

dan 3) meningkatnya kekerasan, frekuensi, dan kekerasan dari trauma.

Genetik dan physiological. Tidak ada faktor genetik.

Lainnya. Penghilangan dari keadaan traumatik yang mendasari amnesia disosiatif

dapat membawa kembali memori secara cepat. Kehilangan memori dari individu

yang mengalami fugue disosiatif yang sedikit sukar. Onset dari PTSD dapat

menurun dalam jenis terlokalisasi, selektif, atau amnesia tersistematis. Kembalinya

memori, bagaimanapun, dapat dialami sebagai bentuk flashbacks.

Perbedaan amnesia disosiatif dari (DSM V, 2013):

Gangguan identitas disosiatif. Individu dengan amnesia disosiatif, baik terlokali-

sasi, selektif dan tersistematis biasanya relatif stabil. Sedangkan gangguan iden-

titas disosiatif mengalami amnesia yang berfluktuasi termasuk amnesia pada pe-

ristiwa sehari-hari, terkadang dapat melakukan keahlian tertentu dan terkadang

tidak, celah utama untuk mengingat kembali sejarah dan secara singkat amnesia

dalam interaksi interpersonal.

Posstraumatic stress disorder. Beberapa individu dengan PTSD tidak dapat meng-

ingat kembali bagian atau sebagian besar peristiwa trauma spesifik. Ketika am-

nesia memperluas waktu terjadinya trauma, maka diagnosis komorbiditas untuk

amnesia disosiatif dibenarkan.

Gangguan disosiatif amnesia cukup sulit dibedakan ketika seseorang yang me-

miliki gangguan tersebut menggunakan alkohol atau substansi lainnya. Maka,

harus diteliti berapa lama individu minum minuman alkohol yang dapat menye-

babkan substance-induced neurocognitive disorder yang diikuti rusaknya fungsi

kognitif. Pada amnesia disosiatif, tidak terbukti dari ketetapan rusaknya fungsi

intelektual.

Posttraumatic amnesia karena kerusakan otak (TBI). Amnesia dapat terjadi da-

lam konteks kerusakan otak traumatik, ketika ada serangan ke kepala atau ge-

rakan atau pergantian di otak. Selain itu, penderita biasanya kehilangan kesadar-

an, disorientasi, dan bingung. Perbedaan terhadap amnesia disosiatif adalah ke-

13

sulitan dalam daerah atensi, fungsi eksekutif, belajar, dan memori, melambatnya

pemrosesan informasi dan gangguan dalam kognisi sosial.

Stupor katatonik. Mutism dalam stupor katatonik dapat menunjukkan amnesia

disosiatif, namun tidak menghadirkan kegagalan untuk mengingat kembali.

Malingering. Amnesia pura-pura secara umum terjadi dalam individu: 1) akut,

penuh hiasan dalam amnesia disosiatif; 2) mengalami masalah finansial, seksual,

atau umum; 3) berharap untuk lari dari keadaan stressful. Kebanyakan individu

yang berpura-pura mengakui secara spontan atau ketika ditekan.

Berdasarkan PPDGJ (F 44.0)

Ciri utamanya adalah hilangnya daya ingat biasanya mengenai kejadian

penting yang baru terjadi (selective), yang bukan disebabkan oleh gangguan mental

organik dan terlalu luas untuk dijelaskan atas dasar keluoaan yang umum terjadi

atau atas dasar kelelahan.

c. Fugue disosiatif

Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri, fugue sa-

ma dengan amnesia ”dalam pelarian”. Dalam fugue disosiatif memori yang hilang

lebih luas dari pada amnesia dissosiative, individu tidak hanya kehilangan seluruh

ingatannya (misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya), mereka secara mendadak

meninggalkan rumah dan pekerjaannya serta memiliki identitas yang baru (parsial

atau total) (APA, 1994). Namun mereka mampu membentuk hubungan sosial yang

baik dengan lingkungan yang baru. Fugue, seperti amnesia, relatif jarang dan

diyakini mempengaruhi sekitar 2 orang di 1.000 di antara populasi umum (APA,

1994).

Gangguan ini muncul sesudah individu mengalami stress atau konflik yang

berat, misalnya pertengkaran rumah tangga, mengalami penolakan, kesulitan dalam

pekerjaan dan keuangan, perang atau bencana alam (Emery, 2013).

Perilaku seseorang pasien dengan fugue disosiatif adalah lebih bertujuan dan

terintegrasi dengan amnesianya dibandingkan pasien dengan amnesia disosiatif. Pa-

sien dengan fugue disosiatif melakukan perjalanan secara fisik dari rumah dan

situasi kerjanya dan tidak dapat mengingat aspek penting identitas mereka sebelum-

nya (nama, keluarga, pekerjaan). Pasien tersebut seringkali, tetapi tidak selalu,

14

mengambil identitas dan pekerjaan yang sepenuhnya baru, walaupun identitas baru

biasanya kurang lengkap dibandingkan kepribadian ganda yang terlihat pada gang-

guan identitas disosiatif (Emery, 2013).

Penyebab dissociative fugue serupa kepada dissociative amnesia. Dissociative

fugue sering disalaharti sebagai malingering, karena kedua kondisi bisa terjadi di

bawah keadaan bahwa seseorang mungkin tidak bisa memahami keinginan untuk

menghindar. Kebanyakan fugue tampak melambangkan pemenuhan keinginan yang

disembunyikan (misal, lari dari tekanan yang berlebihan, seperti perceraian atau

kegagalan keuangan). Fugues lainnya berhubungan dengan perasaan ditolak atau

dipisahkan atau mereka bisa melindungi orang tersebut dari bunuh diri atau impul

pembunuhan. Ketika dissociative fugue berulang labih dari beberapa waktu, orang

tersebut biasanya memiliki gangguan identitas dissociative yang mendasari. Fugue

bisa berlangsung dari hitungan jam sampai mingguan, atau kadangkala bahkan

lebih lama (David Grann untuk New York Times-13 Januari 2012 via Emery 2013).

Berdasarkan PPDGJ (F 44.1)

Ciri-ciri fugue disosiatif: melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang

umum dilakukannya sehari-hari. Kemampuan mengurus diri yang dasar tetap ada

seperti makan, mandi, dsb dan melakukan interaksi sosial sederhana dengan orang-

orang yang belum dikenalnya misalnya membeli bensin, menanyakan arah, dan

memesan makanan.

d. Gangguan Depersonalisasi (DPD)

Ada tiga macam gangguan depersonalisasi (DSM V, 2013):

1. Depersonalisasi (depersonalization) mencangkup kehilangan atau perubahan

temporer dalam perasaan yang biasa mengenai realitas diri sendiri. Dalam suatu

tahap depersonalisasi, orang merasa terpisah dari dirinya sendiri dan lingkungan

sekitarnya. Mereka mungkin merasa seperti sedang bermimpi atau bertingkah

laku seperti robot (Guralnik, Schmeidler, & Simeon, 2000; Maldonado, Butler,

& Speigel, 1998).

2. Derealisasi (Derealization) suatu perasaan tidak nyata mengenai dunia luar yang

mencakup perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar,

atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul. Orang dan

15

objek dapat berubah ukuran atau bentuk dan dapat pula mengeluarkan suara

yang berbeda. Semua perasaan ini dapat diasosiasikan dengan kecemasan,

termasuk pusing dan ketakutan akan menjadi gila, atau dengan depresi.

3. Gangguan depersonalisasi didiagnosis hanya bila pengalaman seperti itu persis-

ten atau berulangkali terjadi dan menimbulkan distress yang jelas.

Menurut DSM V, 2013

Kriteria Diagnostik : 300.6 (F 48.1)

A. The presence of persistent or recurrent experiences of depersonalization, dereali-

zation, or both: (Hadirnya pengalaman yang persisten atau berulang depersonalisasi,

derealisasi, atau keduanya)

1. Depersonalization: Experiences of unreality, detachment, or being an outside

observer with respect to one’s thoughts, feelings, sensations, body, or actions

(e.g., perceptual alterations, distorted sense of time, unreal or absent self, emo-

tional and/or physical numbing). (Depersonalisasi: Pengalaman tidak nyata, pe-

lepasan, atau menjadi seorang pengamat di luar sehubungan dengan seseorang pi-

kiran, perasaan, sensasi, tubuh, atau tindakan (misalnya, perubahan persepsi, rasa

terdistorsi waktu, nyata atau tidak ada diri, mati rasa emosional dan / atau fisik) .)

2. Derealization: Experiences of unreality or detachment with respect to sur-

roundings (e.g., individuals or objects are experienced as unreal, dreamlike,

foggy, lifeless, or visually distorted). (Derealisasi: Pengalaman tak nyata atau

pelepasan terhadap lingkungan (misalnya, individu atau objek yang dialami sebagai

nyata, mimpi, berkabut, tak bernyawa, atau visual terdistorsi).

B. During the depersonalization or derealization experiences, reality testing remains

intact. (Selama mengalami depersonalisasi atau derealisasi, uji realitas tetap utuh.)

C. The symptoms cause clinically significant distress or impairment in social, occu-

pational, or other important areas of functioning. (Gejala menyebabkan distress kli-

nis signifikan atau penurunan sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang penting lainnya

berfungsi)

D. The disturbance is not attributable to the physiological effects of a substance

(e.g., a drug of abuse, medication) or another medical condition (e.g., seizures).

(Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari substansi (misalnya, penyalahgu-

naan obat, obat) atau kondisi lain medis (misalnya, kejang).)

16

E. The disturbance is not better explained by another mental disorder, such as schi-

zophrenia, panic disorder, major depressive disorder, acute stress disorder, post-

traumatic stress disorder, or another dissociative disorder. (Gangguan ini tidak

lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain, seperti skizofrenia, gangguan panik,

gangguan depresi mayor, gangguan stres akut, gangguan stress pasca trauma, atau

gangguan disosiatif lain).

Hal utama/penting dari gangguan depersonalisasi/derealisasi adalah episode

menetap atau berulang dari depersonalisasi/derealisasi, atau keduanya. Episode dari

depersonalisasi dikaraktersitikan dari perasaan yang tidak nyata atau tidak familiar

dari keseluruhan diri seseorang atau dari aspek-aspek diri (Kriteria A1). Individu

tersebut dapat merasa terpisah dari dirinya (“saya bukan siapa-siapa”, “saya tidak

mempunyai diri saya”). Dia juga merasa terpisah secara subjektif dari aspek diri,

termasuk perasaan (“saya tahu saya mempunyai perasaan, tapi saya tidak merasa-

kannya”), pikiran (“pikiran saya tidak terasa seperti milik saya”, keseluruhan

tubuh/bagian tubuh, atau sensasi (sentuhan, lapar, libido). Ada juga pengurangan

rasa memiliki dari agen diri (terasa seperti robot, kurang dalam kontrol perkataan

atau gerakan). Pengalaman depersonalisasi terkadang menjadi satu dalam pemisah-

an diri, dengan satu bagian mengamati dan bagian lain berpartisipasi (“out-of-body

experience” adalah bentuk paling ekstrim). Kesatuan gejala dari “depersonalisasi”

terdiri dari beberapa faktor gejala: pengalaman diri menyimpang dari biasanya (diri

yang tidak nyata dan perubahan persepsi); emosi atau merasa mati rasa secara fisik;

dan distorsi diri yang temporal dengan mengingat kembali penyimpangan diri

(DSM V, 2013).

Episode derealisasi dikarakteristikan oleh perasaan tidak nyata atau memisah-

kan dari atau tidak familiar dengan, dunia (individu, benda mati, dan sekitarnya)

(Kriterian A2). Individu tersebut dapat merasa bahwa dia dalam kabut, mimpi, atau

gelembung, atau pengalaman buatan, tidak berwarna, atau tidak hidup. Derealisasi

secara umum diikuti dengan distorsi visual subjektif, seperti kekaburan, merasa

lingkungan sekitar makin sempit/makin luas, dua-dimensi/rata, melebih-lebihkan

tiga dimensi, atau perubahan jarak/ukuran dari objek. Distorsi auditori dapat terjadi,

dimana suara mengecil atau mengeras. Kriteria C memerlukan kehadiran dari

distress signifikan secara klinis atau kerusakan sosial, pekerjaan, atau area penting

dari fungsi. Kriteria D dan E mendiskripsikan diagnosis tersendiri (DSM V, 2013).

17

Perkembangan dan rangkaiannya (DSM V, 2013):

Seseorang memiliki onset gangguan depersonalisasi/derealisasi rata-rata pada

umur 16 tahun, walaupun gangguan ini dapat muncul di awal atau tengah masa

kanak-kanak. Kurang dari 20% onset muncul setelah umur 20 thaun dan 5% setelah

umur 25 tahun. Jarak dari onset dapat terjadi tiba-tiba dan ekstrim sampai bertahap.

Durasi dari depersonalisasi/derealisasi berbeda jauh, dari beberapa jam dan hari

sampai minggu, bulan, atau bertahun-tahun. Gangguan di usia lebih dari 40 tahun

sangat jarang, maka dalam beberapa kasus individu harus diperiksa lebih detail lagi

berdasarkan kondisi medis.

Rangkaian terjadinya gangguan ini sering menetap. Sepertiga dari kasus

mempunyai ciri-ciri tersendiri dalam episodenya, sepertiga lainnya memiliki gejala

berkesinambungan dari awal, dan sepertiga lainnya episodik berinisial (gejala awal

tertentu) yang kemudian menjadi berkesinambungan. Faktor internal dan eksternal

yang dapat mempengaruhi gangguan ini berbeda tiap individunya. Gangguan ini

dapat semakin buruk karena tekanan stress, bertambah buruknya mood/gejala

cemas.

Faktor risiko dan prognosis (DSM V, 2013):

Tempramental. Individu dengan gangguan depersonalisasi/derealisasi memiliki

karakteristik bertempramen bahaya-menghindari, ketidakdewasaan pertahanan diri,

dan hilangnya hubungan/hubungan berlebihan dari skema. Ketidakdewasaan perta-

hanan diri seperti idealisasi/devaluasi, proyeksi dan actiong out saat menyangkal

kenyataan dan kurang dapat beradaptasi. Hilangnya hubungan skema dapat menye-

rang kerusakan dan menahan emosi dan menggolongkan tema-tema pelecehan, pe-

ngabaian, dan perusakan. Hubungan skema yang berlebihan menyebabkan perusak-

an autonomi dengan tema-tema kebebasan, sifat mudah terkena penyerangan

(vulnerability), dan tidak berkompetensi.

Lingkungan. Ada hubungan yang jelas antara gangguan dan trauma interpersonal

masa kanak-kanak dalam beberapa porsi individu, walaupun hubungan ini tidak se-

umum dan seekstrim asal mula dari trauma seperti dalam gangguan disosiatif lain-

nya, yaitu gangguan identitas disosiatif. Dalam beberapa bagian, emosi pelecehan

dan emosi pengabaian telah secara kuat dan konsisten dihubungkan dengan gang-

18

guan ini. Stressor lain dapat termasuk pelecehan fisik; melihat kekerasan; tumbuh

dalam kelainan yang serius, sakit mental; atau kematian yang tidak terpredik-

si/bunuh diri dari anggota keluarga. Pelecehan seksual tidak terlalu umum menjadi

dasar penyebab, tetapi dapat ditemui. Hal yang mempercepat terjadinya gangguan

ini adalah stress yang berlebihan (hubungan interpersonal, finansial, pekerjaan), de-

presi, kecemasan (serangan panik), dan narkotika. Gejala-gejala dapat secara spesi-

fik terstimulasi dari halusinogens, ketamine, MDMA, ekstasi, dan salvia. Penggu-

naan marijuana dapat mempercepat onset baru dari serangan panik dan gejala de-

personalisasi/derealisasi secara sekaligus.

Perbedaan dengan gangguan (DSM V, 2013):

Gangguan kecemasan penyakit. Pembedaan terhadap gangguan tersebut adalah

gangguan depersonalisasi ditunjukkan pada kehadirian kumpulan tipikal gejala

depersonalisasi dan ketidakhadiran dari gejala gangguan kecemasan penyakit.

Gangguan depresi mayor. Depresionalisasi menunjukkan perasaan bukan diri-

nya, serasa ingin mati, dan berada di dalam mimpi tidak umum dalam hal episo-

de depresi mayor.

Gangguan Obsesif-kompulsif. Gejala gangguan obsesif-kompulsif tidak berkait-

an dengan depersonalisasi/derealisasi walaupun beberapa gejala depersonalisasi

memunculkan perilaku obsesif dalam pengalaman subyektif.

Gangguan kecemasan. Gangguan depersonalisasi/derealisasi tidak boleh ditetap-

kan ketika gejala terjadi pada saat serangan panik, kecemasan sosial, atau phobia

spesifik. Komponen depersonalisasi/derealisasi sangat mennjol, jelas-jelas mele-

bihi durasi dan intensitas serangan panik. Depersonalisas/derealisasi berlanjut

setelah gangguan panik telah berhasil ditreatmen.

Gangguan psikotik. Pengadaan test kenyataan yang utuh secara spesifik dari ge-

jala depersonalisasi/derealisasi penting untuk membedakan gangguan tersebut

dari schizophrenia.

Berdasarkan PPDGJ III, 1993:

Ciri utamanya adalah perasaan dan/atau pengalaman terlepas dari dirinya, ja-

uh, bukan darinya (depersonalisasi). Objek, orang, dan/atau lingkungan menjadi se-

perti tidak sesungguhnya. Individu memahami bahwa hal tersebut merupakan peru-

19

bahan spontan dan subjektif, dan bukan disebabkan oleh kekuatan luar. Pengindera-

an tidak terganggu.

e. Gangguan Disosiatif Lainnya

Berdasarkan DSM V, 2013

1. Chronic and recurrent syndromes of mixed dissociative symptoms (Sindrom

kronis dan berulang dari gejala disosiatif campuran) sindrom gejala disosiatif

campuran: kategori ini meliputi gangguan identitas terkait dengan kurang

ditandai diskontinuitas dalam arti diri dan lembaga, atau perubahan identitas atau

episode kepemilikan pada individu yang melaporkan tidak ada amnesia

disosiatif.

2. Identity disturbance due to prolonged and intense coercive persuasion

(Gangguan Identitas karena berkepanjangan dan intens persuasi koersif):

individu yang telah mengalami persuasi koersif intens (misalnya brainswashing,

pikir reformasi, indoktrinasi ketika ditawan, penyiksaan, pemenjaraan politik

jangka panjang, perekrutan oleh sekte/sekte atau dengan organisasi teror) mung-

kin hadir dengan berkepanjangan berubah dalam, atau pertanyaan comscious

dari, mereka identitas.

3. Acute dissociative reactions to stressful events (Reaksi disosiatif akut peristiwa

stres): time slowing, macropsia); kategori ini adalah untuk, kondisi transien akut

yang biasanya berlangsung kurang 1 bulan, dan kadang-kadang hanya beberapa

jam atau hari. kondisi ini ditandai dengan penyempitan kesadaran;

depersonalisasi; derealization; gangguan persepsi (misalnya waktu melambat,

makropsia); mikro-amnesia; sementara pingsan, dan / atau perubahan dalam

sensorik-motorik (misalnya analgesia, kelumpuhan).

4. Gangguan Trans: Pada trans disosiatif, seseorang mungkin benar-benar responsif

terhadap luar, sekitar rangsangan (misalnya, seseorang yang mencoba untuk

berbicara dengan mereka dapat diabaikan). Orang ini mungkin menganggap

bahwa hal-hal di sekitar mereka yang "nyata", "kabur" atau bergerak di sekitar

mereka sementara mereka tetap lumpuh dapat mendapatkan kontrol atas

lingkungan mereka.

20

Gangguan ini menunjukkan adanya kehilangan sementara aspek penghayatan

akan identitas diri dan kesadaran akan lingkungannya. Dalam beberapa kejadian,

individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain,

kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan lain”. Hanya gangguan trans yang

“involunter” (diluar kemampuan individu) dan bukan merupakan aktivitas yang

biasa dan bukan merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya, yang boleh

dimasukkan dalam pengertian ini. Tidak ada penyebab organik misalya epilepsi,

cidera kepala, dan lain-lain, dan bukan bagian gangguan jiwa tertentu.

Berdasarkan PPDGJ III, 1993

1. Stupor Disosiatif (F 44.2)

Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter dan

respon normal terhadap rangsangan luar seperti misalnya cahaya, suara, dan

perabaan (sedangkan kesadaran tidak hilang). Tidak ditemukan adanya

gangguan fisik ataupun gangguan jiwa lain yang dapat menjelaskan keadaan

stupor tersebut.

2. Gangguan Trans dan Kesurupan (F 44.3)

Gangguan ini menunjukan adanya kehilangan sementara aspek penghayatan

akan identitas diri dan kesadaran akan lingkungannya. Dalam beberapa

kejadian, individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian

lain, kekuatan gaib, malaikat atau “kekuatan lain” . hanya gangguan trans yang

“involunter” (diluar kemampuan individu) dan bukan merupakan aktivitas yang

biasa dan bukan merupakan kegiatan keagamaan ataupun budaya, yang boleh

dimasukan dalam pengertian ini. Tidak ada penyebab organik misalya epilepsi,

cidera kepala, dan lain-lain, dan bukan bagian gangguan jiwa tertentu.

3. Gangguan Motorik Disosiatif (F 44.4)

Bentuk yang umum dari gangguan ini adalah ketidakmampuan menggerakan

seluruh atau sebagian dari anggota gerak (tangan atau kaki). Gejala tersebut

seringkali menggambarkan konsep dari penderita mengenai gangguan fisik

yang berbeda dengan prinsip fisiologik dan anatomik.

4. Konvulsi Disosiatif (F 44.5)

Konvulsi disosiatif (pseudo seizures) dapat sangat mirip dengan kejang,

epileptik dalam hal gerakan gerakannya, akann tetapi sangat jarang disertai

21

lidah tergigit, luka serius karena jatuh saat serangan dan mengompol juga tidak

dijumpai kehilangan kesadaran atau hal tersebut diganti dengan keadaan seperti

stupor atau trans.

5. Anestesia dan Kehilangan sensorik disosiatif (F 44.6)

Gejala anestesia pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang tegas

(menggambarkan pemikiran pasien mengenai kondisi tubuhnya dan bukan

menggambarkan kondisi klinis sebenarnya). Dapat pula terjadi perbedaan

antara hilangnya perasaan pada berbagai jenis modalitas penginderaan yang

tidak mungkin desebabkan oleh kerusakan neurologis, misalnya hilangnya

perasaan dapat disertai dengan keluhan parestesia. Kehilangan penglihatan

jarang bersifat total, leih banyak berupa gangguan ketajaman penglihatan,

kekaburan atau “tunnel vision”. Meskipun ada gangguan penglihatan, mobilitas

penderita dan kemampuan motoriknya masih baik. Tuli disosiatif dan anosmia

jauh lebih jarang terjadi dibandingkan dengan hilang rasa dan penglihatan.

6. Gangguan Disosiatif (konversi) Campuran

Merupakan campuran dari gangguan-gangguan di atas.

7. Gangguan Disosiatif (konversi) Lainnya

a. Dalam gangguan disosiatif ini terdapat

b. Sindrom ganzer (ciri khas appro ximate answer disertai beberapa gejala

disosiatif lainnya.

c. Gangguan kepribadian multiple

d. Gangguan disosiatif (konversi) sementara masa kanak dan remaja

e. Gangguan disosiatif (konversi) lainnya YDT, (termasuk psychogenic

confusion, twilight state)

8. Gangguan disosiatif (konversi) YTT

22

B. Prevalensi (DSM V, 2013)

Prevalensi gangguan identitas disosiatif (DID) (12 bulan), pada orang dewasa

dalam studi comumunity kecil di US adalah 1,5%. Prevalensi pada jenis kelamin

dalam penelitian laki-laki adalah 1,6% dan 1,4% untuk perempuan.

Prevalensi amnesia disosiatif (12 bulan) pada orang dewasa AS dalam studi

comunity adalah 1,8% (1,0% untuk laki-laki, 2,6% untuk wanita).

Prevalensi gangguan depersonalisasi / derealization (12 bulan) dianggap nyata

kurang dari gejala sementara, meskipun perkiraan pasti untuk gangguan ini tidak

tersedia. Secara umum, sekitar satu setengah dari semua orang dewasa mengalami

setidaknya satu episode hidup depersonalisasi / derealization / namun, gejala-gejala

yang memenuhi criteria penuh untuk depersonalizations / gangguan derealization

adalah nyata kurang umum daripada symtops sementara. Prevalensi seumur hidup di

AS dan negara-negara non US adalah sekitar 2% (kisaran 0,8% menjadi 2,8%). Rasio

jenis kelamin untuk gangguan adalah 1: 1.

C. Pandangan-pandangan Teoretis

Gangguan disosiatif adalah fenomena yang sangat mengagumkan dan menarik, namun

membingungkan. Meski gangguan-gangguan ini tetap misterius dalam beberapa hal,

petunjuk-petunjuk yang memberikan pemahaman akan asal-muasalnya tetap ber-

munculan.

a. Pandangan Psikodinamika

Amnesia disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus

atau mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadaran akan pengalaman traumatis

atau sumber-sumber lain dari nyeri maupun konflik psikologis (Dorahy, 2001).

Bagi teoretikus psikodinamika, gangguan disosiatif melibatkan penggunaan represi

secara besar-besaran, yang menghasilkan “terpisahnya” impuls yang tidak dapat di-

terima dan ingatan yang menyakitkan dari kesadaran seseorang. Dalam amnesia

dan fugue disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan de-

ngan mengeluarkan ingatan-ingatan yang mengganggu atau dengan mendisosiasi

impuls menakutkan yang bersifat seksual atau agresif. Pada kepribadian ganda,

orang mungkin mengekspresikan impuls-impuls yang tidak dapat diterima melalui

pengembangan kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi orang berada di luar

23

dirinya sendiri, aman dengan cara menjauh dari pertarungan emosional di dalam

dirinya (Carr, 2001).

b. Pandangan Kognitif dan Belajar

Teoretikus belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respon

yang dipelajari yang meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran

yang mengganggu dalam rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang ditim-

bulkan oleh pengalaman-pengalaman itu. Kebiasaan tidak berpikir tentang masalah-

masalah tersebut secara negatif dikuatkan dengan adanya perasaan terbebas dari ke-

cemasan, atau dengan memindahkan perasaan bersalah atau malu. Sejumlah teoreti-

kus sosial kognitif, percaya bahwa gangguan identitas disosiatif adalah suatu ben-

tuk bermain peran yang dikuasai melalui observasi yang melibatkan proses pem-

belajaran dan reinforcement. Ini tidak dengan berpura-pura atau malingering, orang

dapat secara jujur mengorganisasikan pola perilaku mereka menurut peran tertentu

yang telah mereka amati. Mereka juga dapat menjadi sangat mendalami permainan

peran mereka hingga ‘lupa’ bahwa mereka sedang menampilkan sebuah peran

(Carr, 2001).

c. Disfungsi Otak

Beberapa bukti terakhir menunjukkan perbedaan dalam aktivitas metabo-

lisme otak antara orang dengan gangguan depersonalisasi dan subjek yang sehat.

Ada penemuan yang menekankan pada kemungkinan adanya disfungsi di bagian

otak yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu menjelaskan perasaan

terpisah dari tubuh yang diasosiasikan dengan depersonalisasi.

24

Berikut adalah gambar perbedaan volume otak pada pasien dengan DPD dibanding-

kan dengan otak yang sehat, Daniels et al.( J Psychiatry Neurosci: 2015).

Gambar. 1: Perbedaan signifikan dalam volume kecerdasan otak pada pasien dengan

gangguan depersonalisasi (DPD; n = 25) dibandingkan dengan kontrol yang sehat (HC; n =

23), pengambangan pada p <0,001 dengan klaster nonstationary koreksi sejauh k> 49.

DPD HEALTH

thalamus

caudatus

Occipital lobe

thalamus

caudatus

Occipital lobe

25

Kelompok DPD menunjukkan secara signifikan penurunan volume kecer-

dasan otak di caudatus kanan dan thalamus. Thalamus dianggap pintu gerbang

untuk input sensorik yang berhubungan dengan bagian-bagian kortikal. Oleh karena

itu, telah melibatkan munculnya kesadaran sensorik, yang sangat terganggu pada

pasien dengan gangguan disosiatif, seperti DPD. Sedikit ada perubahan pada

anatomi thalamus dan caudate karena itu akan berdampak integrasi komunikatif dan

mungkin berhubungan dengan perubahan dalam emosional dan sensorik kesadaran.

Secara terpusat, pengurangan kepemilikan tubuh subjektif telah berhubungan

dengan luka yang halus di talamus dan caudate, dan lesi akut melalui dalam-

farction di wilayah ini sebelumnya telah berhubungan dengan timbulnya gejala

parah depersonalisasi dan derealization pada 2 single kasus yang dipelajari (Daniels

et al, 2015)..

Occipital (Oksipital) daerah korteks menunjukkan pengurangan kecerdasan

otak dalam kelompok DPD yang diperkirakan menjalankan persepsi gerak, khusus-

nya persepsi dalamnya disampaikan dengan stimuli gerak. Temuan ini mungkin

bisa berhubungan dengan penurunan dalam visi 3-dimensi dilaporkan secara

subyektif oleh pasien (Daniels et al, 2015).

Kelompok DPD memperlihatkan peningkatan volume kecerdasan otak di

cluster kanan lateralized mencakup postsentral dan superior temporal gyri serta

dalam cluster kiri-lateralized di superior gyrus frontal. Volume kecerdasan otak di

gyrus frontal unggul secara signifikan berkorelasi positif dengan tingkat gejala

keparahan, kecemasan sosial dan Alexythymia serta secara signifikan berkorelasi

negatif dengan kesadaran. Bagian ini dikenal untuk menjalankan kendali eksekutif

pada perhatian dan emosi dan fungsional terhubung dengan thalamus. Kenaikan

volumetrik dalam medial superior gyrus frontal sebelumnya telah dilaporkan pada

pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif, berpotensi menghubungkan

peningkatan volume pada pasien dengan DPD ke disfungsional fokus diri dan

regulasi emosi yang menyimpang diamati dalam kelompok ini. Dalam meta-analisis

baru-baru ini, daerah homolog di belahan kanan telah dikaitkan dengan gangguan

pada bagian rasa diri dan atribusi eksternal karena pengaruh tindakan. Dalam

hubungannya, wilayah ini berpotensi terlibat dalam hyperregulation karena mem-

pengaruhi dan bagian terbaru dinyatakan oleh model dari trauma terkait

dissociation (Daniels et al, 2015).

26

Peningkatan terdeteksi volume kecerdasan otak di kanan postsentralis dan

superior temporal gyri sangat menarik, karena bagian utama dari korteks

somatosensory (bagian Brodmann [BA] 3) menerima proyeksi talamokortikal dari

masukan medan sensorik dan terlibat dalam proses dari proprioception dan tubuh

pemilik (Daniels et al, 2015).

d. Model Diatesis-Stres

Walaupun banyak bukti trauma masa kanak-kanak dalam kasus gangguan

identitas disosiatif, hanya sedikit anak yang mengalami penyiksaan yang mengem-

bangkan kepribadian ganda. Trait-trait kepribadian tertentu, seperti kecenderungan

berfantasi, tingkat kemudahan tinggi untuk dihipnotis dan keterbukaan pada kondisi

kesadaran alter, dapat menjadi predisposisi bagi individu untuk mengembangkan

pengalaman disosiatif bila dihadapkan dengan stress yang ekstrim, seperti

penyiksaan yang traumatis. Walaupun demikian, trait-trait tersebut belum tentu

mengakibatkan seseorang mengalami gangguan disosiatif. Orang yang memiliki

kecenderungan rendah untuk berfantasi atau kemudahan dihipnotis kemungkinan

mengalami semacam karakteristik pikiran-pikiran cemas dan intrusif yang

merupakan gangguan stress pasca trauma (PTSD) pada periode setelah stress yang

traumatis dan bukan gangguan disosiatif (en.wikipedia.org/wiki/Diathesis–stress).

D. Penanganan Gangguan Disosiatif

Identitas Disosiatif

Psikoanalisis berusaha membantu orang yang menderita gangguan identitas

disosiatif untuk mengungkapkan dan belajar mengatasi trauma-trauma masa kecil.

Mereka sering merekomendasikan membangun kontak langsung dengan kepribadian-

kepribadian alter. Setiap dan semua kepribadian dapat diminta untuk berbicara tentang

memori dan mimpi-mimpi mereka sebisa mereka. Setiap dan semua kepribadian dapat

diyakinkan bahwa terapis akan membantu mereka untuk memahami kecemasan

mereka untuk “membangkitkan” pengalaman traumatis mereka secara aman dan

menjadikan pengalaman-pengalaman tersebut disadari. Kecemasan yang dialami saat

sesi akan menyebabkan perpindahan kepribadian. Bila terapi berhasil, self akan mam-

pu bergerak melalui ingatan traumatis dan tidak lagi perlu melarikan diri ke dalam self

27

pengganti untuk menghindari kecemasan yang diasosiasikan dengan trauma, sehingga

terjadi integrasi kepribadian (Percy, 1995).

Idealnya, pasien dengan DID harus ditangani oleh terapis dengan pelatihan

khusus dalam disosiasi. Pelatihan khusus ini penting karena switch kepribadian pasien

dapat membingungkan atau mengejutkan. Selain itu, banyak pasien dengan DID

memiliki kepribadian alter bermusuhan atau bunuh diri. Kebanyakan terapis yang

mengobati pasien DID memiliki aturan atau kontrak untuk perawatan yang mencakup

isu-isu seperti tanggung jawab pasien untuk keselamatan nya. Psikoterapi untuk pasien

DID biasanya memiliki beberapa tahap: tahap awal untuk mengungkap dan

"pemetaan" alter pasien; fase mengobati kenangan traumatis dan "sekering" alter; dan

fase konsolidasi kepribadian yang baru terintegrasi pasien (Percy, 1995).

Kebanyakan terapis yang mengobati kelipatan, atau DID pasien, merekomen-

dasikan perawatan lebih lanjut setelah integrasi kepribadian, dengan alasan bahwa

pasien tidak belajar keterampilan sosial yang kebanyakan orang memperoleh pada

masa remaja dan dewasa awal (Percy, 1995).

Perawatan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut.

Hipnosis

Meskipun tidak selalu diperlukan, hipnosis (atau hipnoterapi) adalah metode

standar pengobatan untuk pasien DID. Hipnosis dapat membantu pasien pulih dari ide

dan keangan yang direpresi. Selanjutnya, hipnosis juga dapat digunakan untuk

mengontrol perilaku bermasalah yang banyak ditunjukkan pasein DID, seperti melukai

diri sendiri, atau gangguan makan seperti bulimia nervosa. Pada stadium akhir

pengobatan, terapis dapat menggunakan hipnotis untuk "sekering" alter sebagai bagian

dari proses integrasi kepribadian pasien (Percy, 1995).

Melalui hypnosis, terapis akan mengungkap semua kepribadian yang terdapat

dalam diri penderita. Proses ini berlangsung dengan menghipnosis individu untuk

dapat menerima dan bersatu dengan kepribadian lainnya. Pada tahap ini, penderita

dapat merasakan semua hal-hal yang dialami kepribadian lainnya, seperti perasaan

takut, disakiti, dilecehkan. Dalam kasus tertentu, diperlukan bantuan medis, seperti

obat-obatan anti depresan dan anti psikotik untuk mempertahankan pikiran dan

perasaan penderita dalam kondisi normal (Percy, 1995).

28

Terapi Keluarga

Terapi keluarga sering dianjurkan untuk membantu keluarga pasien memahami

DID dan perubahan yang terjadi selama reintegrasi kepribadian.

Banyak pasien DID dibantu oleh terapi kelompok serta perawatan individu,

asalkan kelompok terbatas pada orang-orang dengan gangguan disosiatif. Pasien DID

kadang-kadang memiliki kemunduran dalam kelompok terapi campuran karena pasien

lain terganggu atau takut dengan switch kepribadian mereka (Percy, 1995).

Pengobatan

Beberapa dokter akan meresepkan obat penenang atau antidepresan untuk pasien

DID karena kepribadian alter mereka mungkin memiliki gangguan kecemasan atau

suasana hati. Namun, terapis lain yang merawat pasien DID lebih memilih untuk tidak

memberi obat-obatan karena pasien ini dapat dengan mudah menjadi psikologis ter-

gantung pada obat-obatan. Selain itu, banyak pasien DID merupakan penyalahguna

narkoba atau alkohol, zat-zat yang berbahaya dalam kombinasi dengan sebagian besar

obat penenang (Percy, 1995).

Amnesia dan fugue disosiatif : Berfokus pada penanganan kecemasan atau depresinya.

Penanganan Fugue Disosiatif

Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan disosiatif ini. Bentuk

terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi psikososial, meliputi berbicara

tentang gangguan yang diderita oleh pasien jiwa. Terapinya akan membantu anda

mengerti penyebab dari kondisi yang dialami. Psikoterapi untuk gangguan disosiasi

sering mengikutsertakan teknik seperti hipnotis yang membantu kita mengingat

trauma yang menimbulkan gejala disosiatif.

Penanganan gangguan disosiatif yang lain meliputi :

1. Terapi kesenian kreatif. Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe terapi ini

menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit mengekspresikan

pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu meningkatkan kesadaran

diri. Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari, drama dan puisi (Corey, 2013).

29

2. Terapi kognitif. Terapi kognitif ini bisa membantu untuk mengidentifikasikan ke-

lakuan yang negatif dan tidak sehat dan menggantikannya dengan yang positif dan

sehat, dan semua tergantung dari ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa

yang menjadi perilaku pemeriksa (Corey, 2013).

3. Terapi obat. Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal, walaupun tidak

ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif ini. Biasanya pasien

diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-cemas untuk membantu

mengontrol gejala mental pada gangguan disosiatif ini (Corey, 2013).

Ahli terapi biasanya merekomendasikan menggunakan hypnosis yang biasanya

berupa hypnoterapi atau hipnotis sugesti sebagai bagian dari penanganan pada

gangguan disosiatif. Hypnosis menciptakan keadaan relaksasi yang dalam dan tenang

dalam pikiran. Saat terhipnotis, pasien dapat berkonsentrasi lebih intensif dan spesifik.

Karena pasien lebih terbuka terhadap sugesti saat pasien terhipnotis. Ada beberapa

konsentrasi yang menyatakan bahwa bisa saja ahli hipnotis akan menanamkan memori

yang salah dalam mensugesti.

Selain itu, kita juga bisa melakukan pencegahan. Anak-anak yang secara fisik,

emosional dan seksual mengalami gangguan, sangat beresiko tinggi mengalami

gangguan mental yang dalam hal ini adalah gangguan disosiatif. Jika terjadi hal yang

demikian, maka bersegeralah mengobati secara sugesti, agar penangan tidak berupa

obat anti depresan ataupun obat anti stress, karena diketahui bahwa jika menanamkan

sugesti yang baik terhadap usia belia, maka nantinya akan didapatkan hasil yang

maksimal, dengan penangan yang minimal.

Penanganan Amnesia Disosiatif

Gangguan disosiatif merupakan produk akhir dari pengalaman traumatis yang

kuat pada masa kanak-kanak, khususnya mencakup penyiksaan atau bentuk lain dari

kesalahan penanganan emosi. Walaupun demikian, sebagai tambahan pengalaman ke-

kerasan pasa masa kanak-kanak, beberapa jenis peristiwa traumatis juga dapat meng-

hasilkan pengalaman disosiatif, bebrapa yang bersifat sementara dan beberapa lainnya

berakhir dalam jangka waktu yang lama (Halgin, 2013).

Treatment untuk gangguan disosiatif ada bermacam-macam, sebagian besar ka-

rena kondisinya juga bervariasi. Tujuan utama dalam memberikan treatment terhadap

orang dengan simptom-simptom disosiatif adalah dengan membawa kestabilan dan

30

integrasi dalam hidup mereka. Hal yang penting dalam treatment mereka adalah mem-

bangun sebuah lingkungan yang aman, jauh dari stressor yang mengancam yang

mungkin dapat membangkitkan disosiasi. Pada keamanan dalam konteks treatment,

klinisi akan mengenalkan teknik yang menenangkan, beberapa bersifat psikoterapeutik

dan yang lain bersifat psikofarmakologis. Beberapa klinisi akan menambah obat dan

intervensi, juga dapat membantu meningkatkan kondisi tenang. Obat yang paling

umum digunakan adalah sodium pentobarbital dan sodium amobarbital yang mem-

fasilitasi proses wawancara, khususnya pada klien yang mengalami amnesia disosiatif

dan fugue disosiatif. Jika amnesianya telah hilang, maka klinisi akan membanti klien

menemukan kejadian apa dan factor-faktor apa yang menyebabkan amnesia (Halgin,

2013).

Gangguan disosiatif menyajikan kesempatan unik menghargai kompleksitas pikir-

an manusia dan variasi cara yang tak biasa ketika beberapa orang merespons penga-

laman-pengalaman hidup yang penuh tekanan. Penting untuk mengingat bahwa gang-

guan amnesia dan fugue sangat jarang terjadi dan sulit untuk diterapi, meskipun pen-

jelasan yang saat ini ada bergantung pada perspektif psikologis.

Penanganan Depersonalisasi

Karena gangguan disosiatif tampaknya dipicu sebagai respon terhadap trauma

atau pelecehan, Pengobatan untuk individu dengan gangguan tersebut adalah psi-

koterapi stress, meskipun kombinasi perawatan psychopharmacological dan psiko-

sosial sering digunakan. Banyak gejala gangguan disosiatif terjadi dengan gangguan

lain, seperti kecemasan dan depresi, dan dapat dihilangkan dengan mengatasi

penyebab dari kecemasan dan depresi. Sedangkan obat yang sama digunakan untuk

kecemasan dan depresi (misalnya, anti ansietas obat atau antidepresan) sering

diresepkan untuk orang dalam pengobatan untuk gangguan disosiatif, gejala

kecemasan dan depresi juga bisa mendapatkan keuntungan dari psikoterapi (Daniels et

al. 2015).

Pengobatan gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:

1. Konseling psikologis

Konseling psikologis akan membantu pasien memahami mengapa terjadi

depersonalisasi dan melatih pasien untuk berhenti khawatir mengenai gejala yang

31

terjadi. Gangguan depersonalisasi juga dapat membaik ketika konseling membantu

dengan kondisi psikologis lain, seperti depresi (Daniels et al. 2015).

2. Obat-obatan

Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati gangguan

depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya digunakan untuk mengobati

depresi dan kecemasan juga dapat membantu kondisi gangguan depersonalisasi

(Daniels et al. 2015). Beberapa contoh yang telah ditunjukkan untuk meredakan

gejala tersebut termasuk:

a) Fluoxetine (Prozac) :

Fluoxetine adalah salah satu obat diandalkan untuk pengobatan depre-

si. mekanisme aksi dari Fluoxetine adalah dengan meningkatkan tingkat sero-

tonin dalam otak. bahwa Pasien dengan Depresi memiliki tingkat serotonin da-

lam otak mereka. Fluoxetine memudahkan gejala depresi dengan memperlaku-

kan ketidakseimbangan serotonin dalam otak.

b) Clomipramine (Anafranil)

c) Clonazepam (Klonopin)

32

DAFTAR PUSTAKA

Carr, Alan. 2001. Abnormal Psychology. Britain: Biddles Ltd.

Corey, Gerald. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Canada:

Brooka/Cole.

Daniels et al. 2015. Grey matter alterations in patients with depersonalization disorder: a

voxel-based morphometry study. Journal J Psychiatry Neurosci 2015;40(1):19–27.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) DSM V. 2013. APA.

Friedl1, Monica C., Nel Draijer, Peter de Jonge. 2000. Prevalence of dissociative disorders

in psychiatric in-patients: the impact of study characteristics. Acta Psychiatr Scand

2000: 102: 423±428 Printed in UK.

Halgin, Richard P & Whitbourne, Susan Krauss. 2012. Psikologi Abnormal-Perspektif

Klinis pada Gangguan Psikologis. Jakarta: Salemba Humanika

http://en.wikipedia.org/wiki/Dissociative_identity_disorder

http://welldan.web.ugm.ac.id/?p=7 2012/Welldan, “Kepribadian Ganda”

http://www.hindawi.com/journals/eri/2011/404538/

http://www.intropsych.com/ch11_personality/dissociative_identity_disorder.html

http://www.psychone.net/disorders/dissociative-fugue-disorder.php

http://www.studentpulse.com/articles/525/2/dissociative-identity-disorder-overview-and-

current-research.

http://xfile-enigma.blogspot.com/2010/09/memahami-fenomena-kepribadian-ganda.html

(akses 26 mei 2012).

Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-III). Jakarta : PT Nuh

Jaya.

Megan Rich, MD; Chris Bernheisel, MD. Sudden Onset Of Amnesia In A Healthy Woman.

Family Medicine Inpatient Service, University of Cincinnati bernheiseljfp@me.

com Vol 59, no 1 | january 2010 | The journal of family pracTice.

Nevid, Jeffry S, Spencer A.Rathus, Beverly Greene. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi ke-5.

Oltmanns, Thomas F & Emery, Robert E. 2013. Psikologi Abnormal. Edisi Ketujuh.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Percy, William., Davidson, Charme S. 1995. Dissociative Identity Disorder and Systems

Theory. Maryland: Minnesota Center for Dissociative Disorders.

Wade, Carol & Tavris, Carol. 2007. Psikologi. Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga.