DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN 2 0 0 6

111
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN 2 0 0 6

Transcript of DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN 2 0 0 6

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYADIREKTORAT PERBENIHAN

2 0 0 6

KATA PENGANTAR Dalam upaya memenuhi kebutuhan induk dan benih ikan yang berkualitas untuk mendukung program Percepatan Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Ekspor (PROPEKAN), Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Konsumsi Masyarakat (PROKSIMAS) dan Perlindungan dan Rehabilitasi Sumberdaya Perikanan Budidaya (PROLINDA), maka diperlukan optimalisasi pemanfaatan sarana Balai-Balai benih ikan, yang telah dibangun, berupa Balai Benih Ikan Seal (BBIS), Balai Benih Ikan Lokal (BBIL), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) guna penyediaan benih bermutu untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan perikanan budidaya.

Dalam rangka peningkatan kinerja Balai-Balai Benih tersebut untuk mencapai sasaran produksi yang diharapkan maka perlu disusun buku Petunjuk Pelaksanaan (Juklak). Petunjuk pelaksana ini diharapkan dapat memberikan gambaran serta pedoman dalam pembangunan dan operasional balai-balai benih ikan didaerah. Juklak Pembangunan ini juga mencakup tujuan pembangunan, deskripsi teknis, skala usaha, tata letak, konstruksi sarana prasarana, pembinaan SDM dan pedoman pembenihan, aspek manajemen dan organisasi UPTD, Standar sarana dan fasilitas fisik dan operasional. Disadari bahwa dalam penyusunan Juklak ini tentu masih banyak kekurangan, untuk itu saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan demi perbaikan Juklak BBIS, BBIL, BBU, BBUG dan BBIP di berbagai daerah. Akhirnya kami menyadari bahwa kondisi daerah dan kendala yang dihadapi pada umumnya berbeda dimasing-masing daerah. Oleh karena itu deskripsi teknis instalasi unit perbenihan ikan yang dibangun, dapat disesuaikan dengan kondisi daerah tanpa merubah prinsip dan pedoman yang telah digariskan. Jakarta, Desember 2006 Direktur Jenderal Perikanan Budidaya DR. Ir. Made L. Nurjana

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

NOMOR : 1106 /DPB.O/HK...../X/2006

TENTANG

PETUNJUK TEKNIS BALAI BENIH IKAN (BBI), BALAI BENIH IKAN SENTRAL (BBIS), BALAI BENIH UDANG (BBU), BALAI BENIH UDANG GALAH (BBUG),

DAN BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP)

DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA,

Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Balai Benih Ikan (BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) untuk komoditas air tawar, Balai Benih Udang (BBU) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) untuk komoditas air payau dan laut dalam meningkatkan produktivitas dan produksi pembudidayaan ikan, perlu adanya petunjuk pelaksanaan Unit Pelaksana Teknis Dinas bidang perbenihan perikanan, standar sarana, standar fasilitas fisik dan operasional sebagai pedoman baku untuk melaksanakan kegiatan;

b. bahwa untuk mencapai maksud diatas, dipandang perlu untuk menetapkan Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP).

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992; 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) 4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; 6. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006; 7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; 8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2006;

M E M U T U S K A N

Menetapkan : PERTAMA : Petunjuk Teknis Pembinaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD

Perikanan Propinsi Bidang Perbenihan Perikanan, sebagaimana yang dimaksud dalam lampiran 1 Keputusan ini sebagai pedoman pembinaan perbenihan perikanan di daerah.

KEDUA : Standar Sarana, Fasilitas Fisik, dan Operasional Balai Benih Ikan (BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) sebagaimana dalam lampiran 2 Keputusan ini sebagai pedoman pembinaan dan pengelolaan Balai Benih Ikan (BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS).

KETIGA : Standar Sarana, Fasilitas Fisik dan Operasional Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) sebagaimana dalam lampiran 3 keputusan ini sebagai pedoman pembinaan dan pengelolaan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) untuk komoditas air payau dan laut.

KEEMPAT : Menyiapkan Balai Benih Ikan Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG), dan dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) sebagai unit pelaksana teknis Dinas Perikanan Propinsi bidang Perbenihan Perikanan.

KELIMA : Melengkapi Balai Benih Ikan Sentral, Balai Benih Ikan Pantai, dengan struktur organisasi maupun tugas fungsi seperti dalam lampiran keputusan ini.

KEENAM : Seluruh unit kerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan Dinas Perikanan Daerah wajib mempedomani dan melaksanakan Petunjuk Teknis Pembinaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perikanan Propinsi bidang Perbenihan Perikanan, Standar Sarana, Fasilitas Fisik, dan Operasional Balai Benih Ikan Sentral, serta Standar Sarana, Fasilitas Fisik dan Operasional Balai Benih Ikan Pantai.

KETUJUH : Sejak diberlakukannya Keputusan ini, maka Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: 12057/Kpts/IK.330/X/99 dinyatakan tidak berlaku lagi.

KEDELAPAN : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : Desember 2006

DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

DR. Ir. MADE L. NURDJANA NIP 080.032.270

Tembusan Yth. : 1. Menteri Kelautan dan Perikanan; 2. Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan; 3. Inspektur Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan; 4. Direktur Jenderal Lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan; 5. Para Gubernur seluruh Indonesia; 6. Para Kepala Dinas Perikanan Propinsi seluruh Indonesia; 7. Para Kepala Balai Unit Pelaksana Teknis Dirjen Perikanan Budidaya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan usaha perikanan budidaya beberapa tahun terakhir telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Data pada periode 2000-2004, terjadi peningkatan luas areal 2,3 % per tahun, peningkatan produksi 10,4 % per tahun, dengan produksi mencapai 1.468.610 ton pada tahun 2004. Disamping peningkatan tersebut, ternyata berbagai permasalahan masih menjadi hambatan pada pengembangan usaha perikanan budidaya diantaranya tingkat produktivitas yang masih rendah, beberapa teknologi pembenihan belum sepenuhnya dikuasai, mutu benih yang masih rendah dan terbatas jumlahnya, adanya serangan hama dan penyakit, serta proses alih teknologi yang aplikatif adaptif belum berjalan dengan baik dan terasa lambat.

Pengembangan usaha perikanan budidaya sangat tergantung pada

ketersediaan induk dan benih unggul, karena induk dan benih merupakan salah satu sarana produksi yang mutlak dan akan menentukan keberhasilan usaha budidaya. Proses penyediaan dan distribusi benih unggul harus memenuhi kriteria 7 tepat seperti yang dipersyaratkan, yakni : tepat jenis, waktu, mutu, jumlah, tempat, ukuran dan tepat harga.

Sehubungan dengan fungsi penyediaan induk dan benih tersebut, maka

keberadaan Balai Benih Ikan Sentral, Balai Benih Udang, Balai Benih Udang Galah, dan Balai Benih Ikan Pantai selaku Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten/Kota , menjadi sangat penting terkait dengan misi dan Tupoksi yang diembannya.

Di samping fungsinya sebagai penghasil induk dan benih unggul untuk

keperluan Unit Pembenihan Rakyat/Penangkar Benih dan pembudidaya ikan diwilayahnya, UPTD juga bertugas untuk melakukan pembinaan dan pemantauan penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih, pengendalian mutu benih, pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan, serta memberi kontribusi kepada PAD. Pelaksanaan Tupoksi UPTD tersebut akan lebih efisien dan efektif bila didukung dengan sarana dan prasarana yang cukup, kelembagaan yang mantap disertai sistem tata laksana yang memadai serta sumberdaya manusia yang memenuhi standar keahlian keterampilan yang didukung oleh dedikasi tinggi.

Kenyataan saat ini belum semua UPTD yang ada di daerah mampu melaksanakan Tupoksi tersebut dengan baik. Karena itu guna meningkatkan kinerja serta menyatukan visi dan misi UPTD, khususnya guna mendukung dan menyukseskan program Revitalisasi Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menerbitkan buku Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP).

1.2. Maksud dan tujuan

Petunjuk Teknis ini disusun dengan maksud agar dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka mempersiapkan dan mengoperasionalkan BBI/BBU/BBUG/ dan BBIP sebagai UPTD, dengan tujuan utamanya adalah :

a. Meningkatkan pembinaan dan kinerja balai-balai benih ikan dalam rangka

mendukung pelaksanaan fungsi UPTD; b. Meningkatkan kelengkapan fasilitas fisik dan SDM di balai-balai benih ikan

sehingga dapat mendukung tugas dan fungsinya sebagai UPTD ; c. Menyediakan wadah bagi pejabat fungsional didaerah; d. Membantu Dinas yang membidangi perikanan di daerah, dalam pendataan

perikanan melalui UPTD untuk mendapatkan data dan informasi secara kontinyu, akurat dan tepat waktu.

II. KEBIJAKAN DAN KEGIATAN PENGEMBANGAN PERBENIHAN 2.1. Sistem Perbenihan Perikanan

Kebijakan dan program pengembangan perbenihan perikanan dilaksanakan

dengan mengacu pada sistem perbenihan perikanan. Sistem perbenihan perikanan adalah suatu tatanan strategis dalam pengembangan perbenihan perikanan untuk mendukung pembangunan perikanan dengan memanfaatkan IPTEK, modal, sumberdaya ikan dan sumberdaya lainnya. Sistem sumberdaya perikanan terdiri dari tiga subsistem yaitu subsistem penelitian, subsistem pengadaan, dan subsistem pengawasan.

Subsistem penelitian merupakan rangkaian kegiatan penelitian dan

pengembangan perbenihan untuk mendukung kegiatan subsistem pengadaan dan subsistem pengawasan. Dukungan penelitian dan pengembangan bagi subsistem pengadaan diperlukan terutama yang berkaitan dengan domestika, reproduksi, pemulian, biotek, dan sosial ekonomi. Sedangkan penelitian dan pengembangan bagi subsistem pengawasan diperlukan terutama yang berkaitan dengan pengembangan standarisasi dan metode pengujian mutu benih.

Pembinaan penelitian dan pengembangan adalah menjadi tugas Lembaga

Penelitian Pemerintah, sedangkan kegiatan pelaksanaanya dapat dilakukan oleh siapa saja baik lembaga pemerintah maupun swasta. Kegiatan penelitian terutama dilaksanakan atas dasar tuntutan kebutuhan dan dukungan untuk pengembangan. Penelitian yang bersifat mendasar dan berjangka panjang sebaiknya dirintis oleh Lembaga Litbang Pemerintah karena memerlukan biaya mahal dan hasilnya tidak langsung terpakai. Adapun penelitian praktis dan berjangka pendek serta tidak memerlukan biaya tinggi dapat dilakukan oleh pihak swasta atau pihak yang langsung memerlukan. Sedangkan kerjasama penelitian antar negara dan antar pemerintah dengan swasta sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan demi kemajuan perbenihan perikanan. Pengakuan Hak Patent atau Hak Kekayaan Intelektual atas hasil penelitian perbenihan perlu diatur dalam peraturan perundangan. Lembaga Litbang Pemerintah dapat mambangun Bank Plasma Nutfah dalam rangka pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman sumberdaya hayati perikanan. 2.2. Kegiatan Pengembangan Perbenihan Perikanan 2.2.1. Tujuan Kegiatan pengembangan perbenihan adalah :

a. Menunjang pengembangan budidaya ikan dalam rangka pembangunan

perikanan; b. Tersedianya benih yang memenuhi tujuh (7) tepat yaitu tepat jenis, jumlah,

ukuran , waktu, tempat, mutu dan harga; c. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani pembudidaya dan

nelayan pengumpul benih alam melalui pembinaan kegiatan usaha perbenihan yang berorientasi agribisnis;

d. Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha dibidang perbenihan;

e. Menciptakan kegiatan perbenihan yang berwawasan lingkungan dalam upaya pelestarian sumberdaya ikan (termasuk plasma nuftah) dan lingkungan hidup;

f. Meningkatkan devisa secara langsung atau tidak langsung melalui ekspor benih atau hasil perikanan budidaya.

2.2.2. Kegiatan Utama

a. Kegiatan pembinaan produksi benih

Pengadaan benih akan selau mengutamakan produksi dan pemanfaatan sumber benih dalam negeri. Impor benih hanya dilakukan apabila situasinya telah mendesak untuk dapat mempertahankan kelangsungan usaha budidaya didalam negeri.

Pembinaan produksi benih diarahkan pada upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas benih untuk kepentingan budidaya air tawar, payau maupun laut. Kegiatan ini dilaksanakan melalui peningkatan dukungan teknologi sarana dan prasarana perbenihan serta pemanfaatan benih alam. Sasaran pembinaan produksi dititik beratkan pada kelompok-kelompok pembenih/penangkar yang potensial namun lemah dalam permodalan dan ketinggalan dalam penerapan IPTEK sebagai contoh Unit Pembenihan Rakyat (UPR) dan Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Pola usaha selanjutnya diarahkan pada pola kemitraan dengan peningkatan peranan Dinas Perikanan Daerah, khususnya didalam penanganan komoditas andalan masing-masing daerah.

b. Kegiatan pembinaan distribusi dan pemasaran Kegiatan pembinaan distribusi dan pemasaran ini diarahkan pada

upaya memperlancar arus distribusi benih dari tingkat produsen ke konsumen melalui mekanisme pasar dan penanganan transportasi yang layak sehingga saling menguntungkan produsen maupun konsumen. Dengan adanya pembinaan distribusi dan pemasaran diharapkan pula dapat mengendalikan harga dan lebih mendorong pengembangan perbenihan maupun budidaya.

c. Kegiatan pembinaan sumber daya manusia

Kegiatan pembinaan ini diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan

keterampilan para pembenih/penangkar khususnya yang berorientasi agribisnis. Peningkatan keterampilan dapat dilaksanakan melalui pelatihan, magang, pembinaan kelompok serta studi banding kedaerah lain yang relatif lebih maju usaha pembenihannya. Disamping itu dilakukan pula peningkatan

kualitas SDM petugas pembina dan penyuluh melalui pendidikan dan latihan yang memadai.

d. Kegiatan pengawasan mutu benih

Kegiatan pengawasan benih diarahkan pada upaya terjaminnya kualitas benih sejak dari pembenih sebagai produsen sampai kepada pengguna benih sebagai konsumen (pembudidaya). Melalui mutu benih yang terjamin, maka kepercayaan konsumen terhadap benih akan meningkat dan pada gilirannya pendapatan pembenih akan meningkat. Pengawasan mutu benih mencakup pula kegiatan pengendalian lingkungan akibat kegiatan perbenihan. Karena didalam pengawasan mutu benih dipersyaratkan proses-proses kegiatan yang berwawasan lingkungan.

e. Kegiatan Pengembangan Sistem Informasi Perbenihan Kegiatan pengembangan sistem informasi perbenihan ini dilaksanakan

khususnya untuk mengembangkan sistem informasi perbenihan secara lebih baik, sekaligus meningkatkan ketersedian data dan informasi perbenihan yang akurat dan muktahir. Melalui program pengembangan ini maka pengguna data perbenihan akan dapat memperoleh data tersebut secara lebih baik, akurat dan tepat waktu.

2.2.3. Kegiatan Penunjang

a. Kegiatan pengembangan teknik perbenihan

Paket teknologi dan penemuan-penemuan teknologi baru dibidang perbenihan ada yang bersifat sederhana dan langsung bisa diadopsi atau diaplikasikan oleh kebanyakan penangkar benih atau pengusaha perbenihan lainnya. Namun adapula paket teknologi dan penemuan-penemuan teknologi baru dibidang perbenihan yang rumit sehingga memerlukan perekayasaan untuk dapat diaplikasikan secara tepat guna sesuai dengan komoditi daerah tertentu. Tugas pengembangan teknik perbenihan ini dapat dilaksanakan di Balai Benih Pusat (UPT Pusat) ataupun balai benih daerah (UPTD Propinsi).

b. Kegiatan peningkatan penerapan diseminasi teknologi

Usaha pembenihan diupayakan dapat berkembang sebagai usaha agribisnis yang berbasis pedesaan. Dengan demikian usaha perbenihan dapat merupakan salah satu peluang usaha bagi masyarakat pedesaan.

Keberhasilan usaha pembenihan tidak bisa terlepas dari penguasaan

teknologi pembenihan. Oleh karena itu agar diseminasi teknologi pembenihan dapat segera mencapai wilayah pedesaan, maka diperlukan program percepatan diseminasi dengan sasaran utama pembenih pedesaan.

Pelaksanaan diseminasi akan dilakukan melalui pemanfaatan lembaga dan instansi yang sudah ada antara lain Balai Penelitian, Balai Pengembangan Budidaya, Balai Benih dan Lembaga Penyuluhan.

c. Kegiatan pengkayaan ragam genetik budidaya ikan budidaya

Beberapa jenis ikan exotic yang telah berkembang pembudidayaanya seperti ikan nila, nila merah, lele dumbo dll telah mengalami penurunan mutu genetik. Hal ini terjadi karena populasi species tersebut waktu pertama kali diimport jumlahnya sangat sedikit, sehingga dalam jangka beberapa tahun telah terjadi depresi inbreeding. Masalah tersebut dapat diatasi dengan mengimport kembali sejumlah parent stock untuk memperkaya ragam genetik dan memperlambat terjadinya depresi inbreeding ikan-ikan tersebut.

d. Kegiatan pengembangan agribisnis perbenihan

Dalam era globalisasi persaingan pada dunia usaha menjadi sedemikian ketatnya dan berdampak pada semua sektor termasuk sektor perikanan. Maka pengembangan perikanan yang berorientasi agribisnis merupakan strategi yang harus ditempuh pemerintah dalam mewujudkan sektor perikanan yang maju, tangguh dan efisien guna mensejahterahkan pembudidaya.

Pengembangan perbenihan perikanan yang berorientasi agribisnis

akan diarahkan pada segala aktivitas perbenihan dari mulai kegiatan penyedian sarana dan prasarana perbenihan, operasional produksi benih sampai dengan distribusi dan pemasaran benih.

e. Kegiatan pengembangan sentra produksi benih

Kelangsungan usaha produksi benih sering dihadapkan pada kendala konflik kepentingan lahan dan kerusakan lingkungan disamping kendala pemasaran karena lokasi produksi yang terisolasi. Guna mengatasi kendala tersebut perlu direncanakan dan ditetapkan sntra-sentra produksi benih dengan pertimbangan lingkungan, kepentingan agribisnis, pembangunan daerah dan dengan mengantisipasi perkembangan sektor lain yang mempunyai dampak terhadap perkembangan perbenihan perikanan. Kegiatan ini perlu dilaksanakan dan sangat penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pembangunan Perikanan Berbasis Pedesaan di daerah.

III. ORGANISASI UPT DAERAH

Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) adalah suatu unit kerja dibawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Perikanan atau Dinas yang membidangi Perikanan baik di Propinsi/Kabupaten/Kota, yang melaksanakan tugas operasional teknis dalam menunjang keberhasilan pembangunan perikanan. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) bidang perbenihan perikanan dapat dikatagorikan atas dua (2) bidang tugas yaitu UPTD Perbenihan Air Tawar yang meliputi Balai Benih Ikan Lokal (BBI Lokal) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS); dan UPTD Perbenihan Budidaya Pantai yang meliputi Balai Benih Udang/Balai Benih Udang Galah (BBU/BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) yang meliputi budidaya air payau dan laut. 3.1. Lokasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi

Secara umum UPTD Perbenihan Perikanan yang meliputi UPTD BBI dan UPTD BBIP adalah merupakan sarana bimbingan secara langsung kepada unit-unit Usaha Pembenihan Rakyat (UPR) serta Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) dalam rangka pengadaan dan pengendalian mutu benih. Maka UPTD Perbenihan Perikanan mempunyai tugas pokok melaksanakan bimbingan peningkatan produksi benih dalam jumlah dan mutu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, UPTD Perbenihan Perikanan mempunyai fungsi sebagai berikut :

3.1.1. Lokasi UPTD Perbenihan Perikanan : a. UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau

dan Budidaya Laut terdapat masing-masing satu (1) unit di setiap propinsi di Indonesia dengan wilayah kerja meliputi Propinsi dimana UPTD berada.

b. UPTD Kabupaten/Kota Perbenihan Perikanan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau dan Budidaya Laut terdapat masing-masing satu (1) unit dengan fasilitas lengkap disetiap Kabupaten/Kota di Indonesia, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten/Kota tempat UPTD tersebut berada dan BBI lainnya merupakan Unit Instalasi dari BBI yang sudah mapan.

3.1.2. Kedudukan a. UPTD Perbenihan Perikanan adalah unit pelaksana teknis Dinas Perikanan

Propinsi atau Kabupaten/Kota dibidang perbenihan air tawar, air payau dan laut, berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi atau Kabupaten/Kota.

b. UPTD perbenihan air tawar, air payau, dan laut masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala.

3.1.3. Tugas

UPTD Perbenihan mempunyai tugas melaksanakan penerapan teknik perbenihan budidaya air tawar, budidaya air payau dan budidaya laut serta pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan di wilayah Propinsi untuk UPTD Propinsi dan Kabupaten.

3.1.4. Fungsi

Dalam melaksanakan tugas UPTD Propinsi perbenihan budidaya air tawar

menyelenggarakan fungsi : a. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; b. Perbanyakan induk ”Grand Parent Stock” (GPS) menjadi induk/calon induk

”Parent Stock” dan distribusi induk; c. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik

pengendalian hama dan penyakit; d. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih; e. Pengawasan mutu benih.

Dalam melaksanakan tugas UPTD Propinsi perbenihan budidaya air payau/laut menyelenggaran fungsi :

a. Perbanyakan induk ikan air payau; b. Pengadaan telur/nauplii; c. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; d. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik

pengendalian hama dan penyakit; e. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih; f. Pengawasan mutu benih.

Dalam melaksanakan tugas UPTD Kabupaten perbenihan budidaya air tawar menyelenggarakan fungsi :

a. Pemeliharaan calon induk ”Parent Stock” menjadi induk induk ”Parent Stock” dan distribusi induk;

b. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; c. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik

pengendalian hama dan penyakit; d. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih.

Dalam melaksanakan tugas UPTD Kabupaten perbenihan budidaya air payau/laut menyelenggarakan fungsi :

a. Pengadaan induk, telur/nauplii; b. Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; c. Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik

pengendalian hama dan penyakit; d. Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih.

3.1.4. Susunan Organisasi

UPTD Perbenihan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau dan Budidaya Laut terdiri dari :

a. Urusan Tata Usaha; b. Sub Seksi Pelayanan Teknik Produksi dan Sub Seksi Standarisasi dan

Informasi; c. Kelompok Jabatan Fungsional.

Susunan Struktur Organisasi UPTD sebagai berikut :

Urusan Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha UPTD Perbenihan.

Dalam melaksanakan tugas urusan Tata Usaha mempunyai fungsi

pelaksanaan urusan kepegawaian, surat menyurat, rumah tangga dan perlengkapan serta keuangan.

Sub Seksi Pelayanan Teknis Produksi mempunyai tugas melakukan pelayanan

dan publikasi teknis kegiatan penerapan teknik perbenihan, pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan, pengendalian hama penyakit serta melakukan pelaksanaan sertifikasi sistem mutu atau sertifikasi benih dan pengawasan mutu benih.

Sub Seksi Standarisasi dan Informasi mempunyai tugas penyiapan perumusan

kebijakan, standarisasi, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi dibidang standarisasi.

Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari jabatan fungsional, perekayasa dan

jabatan fungsional lain xccyang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

K E P A L A

SUB SEKSI STANDARISASI DAN INFORMASI

URUSAN TATA USAHA

SUB SEKSI PELAYANAN TEKNIK PRODUKSI

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

Kelompok Jabatan Fungsional tersebut dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior, yang ditunjuk oleh kepala UPTD.

Jumlah tenaga fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan dan

beban kerja.

Jenis dan jenjang jabatan fungsional tersebut diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

IV. PEMBINAAN 4.1. Tata Hubungan Kerja

Segenap kebijaksanaan pokok mengenai pembinaan perbenihan perikanan

secara nasional ditetapkan oleh Diektur Jenderal Perikanan Budidaya. Pembinaan dan supervisi tentang perbenihan perikanan dari pusat dilaksanakan Direktorat Perbenihan perikanan beserta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yaitu : BBBAP Jepara (Jawa Tengah), BBBAT Sukabumi (Jawa Barat), BBBL Lampung (Lampung), BBBAP Situbondo (Jawa Timur), BBAT Jambi (Jambi), BBAT Mandiangin (Kalimantan Selatan), BBAT Tatelu (Sulawesi Utara), BBAP Aceh (NAD), BBAP Takalar (Sulawesi Selatan), BBL Batam (Kepulauan Riau), BBL Lombok (NTB) dan BBL Ambon (Maluku).

Kegiatan-kegiatan Pembinaan yang dilakukan meliputi : a. Memberikan petunjuk pelaksanaan pengelolaan dan petunjuk teknis kegiatan

UPTD Perbenihan Perikanan. b. Mengadakan supervisi dan bimbingan teknis perbenihan pada unit kerja UPTD

perbenihan perikanan di daerah. c. Memberikan penilaian kemampuan UPTD Perbenihan perikanan dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya. d. Memberikan konsultasi pengadaan sarana produksi dan peningkatan

kemampuan personil UPTD. e. Memberikan konsultasi dan persetujuan gambar detil dan desain konstruksi

pembangunan atau rehabilitasi prasarana fisik bangunan UPTD. f. Memantau kegiatan dan perkembangan perbenihan ikan air tawar, laut dan air

payau didaerah.

Disamping pelaksanaan kegiatan pembinaan dan supervisi tersebut diatas, UPT Pusat juga membantu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam melaksanakan pembinaan UPTD terutama yang berkaitan dengan bimbinan teknis, perekayasaan, teknologi perbenihan, penyebaran induk-induk ikan bermutu dan pelatihan keterampilan personil lapangan di masing-masing wilayah kerja pembinaannya.

Dinas Perikanan Propinsi mengelola unit kerja UPTD Propinsi yaitu Balai

Benih Ikan Sentral (BBIS) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP); sedangkan unit kerja UPTD Kabupaten yaitu Balai Benih Ikan Lokal (BBIL) berada dibawah pengelolaan Dinas Perikanan Kabupaten. Untuk melaksanakan pembinaan dan koordinasi kegiatan, Kepala Dinas Perikanan Propinsi Propinsi dibantu oleh Kepala Sub Dinas Produksi, sedangkan Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota dibantu oleh Kepala Sub Dinas Produksi.

Untuk pembinaan mutu induk dan benih ikan akan dilakukan Sub Direktorat Standarisasi dan Sertifikasi Direktorat Perbenihan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk merumuskan standar dan sistem sertifikasi mutu benih. Badan Litbang Kelautan Perikanan akan membantu merumuskan paket-paket teknologi perbenihan perikanan, produksi induk ikan varietas unggul dan diseminasi teknologi.

UPT Pusat setelah mendapatkan petunjuk dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan masukan teknologi serta produk varietas unggul, selanjutnya akan membina UPTD Propinsi dalam bentuk masukan teknologi perbenihan, grand parent stock varietas induk unggul dan sertifikasi personil. Demikian selanjutnya UPTD Propinsi akan membina UPTD Kabupaten dalam teknologi, hasil induk unggul dan sertifikasi mutu benih. UPTD Kabupaten selanjutnya membina Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) didaerah yang akhirnya bermuara di Pembudidaya Ikan di daerah. Secara terinci alur pembinaan dapat dilihat pada skema tata hubungan kerja pembinaan perbenihan halaman 13.

4.2. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan

UPTD Perbenihan Perikanan dengan segala tugas dan fungsinya merupakan sarana pembinaan yang strategis dalam rangka perbenihan didaerah. Sehubungan dengan itu keberadaan dan peran UPTD akan tetap dipertahankan dan ditingkatkan kemampuannya agar dapat selalu memdukung pengembangan perbenihan perikanan didaerah. Oleh karena itu diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan dan perkembangan perbenihan perikanan didaerah agar apabila terjadi penyimpangan dari tugas dan fungsi atau timbul permasalahan perbenihan lain maka akan dapat segera diketahui dan dicarikan pemecahan masalahnya.

Monitoring di daerah Kabupaten dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten,

Propinsi dilakukan oleh Dinas Perikanan Propinsi, dan secara Nasional dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q. Direktorat Perbenihan.

4.2.1. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Perikanan Propinsi

Dinas Perikanan Kabupaten/Kota melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan setiap unit UPTD Lokal dan perkembangan perbenihan perikanan didaerahnya. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan maupun melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik, perkembangan UPR, produksi dan pemasaran benih Kabupaten.

4.2.2. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Perikanan Kabupaten

Dinas Perikanan Kabupaten melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

kegiatan setiap unit UPTD Propinsi dan Kabupaten perbenihan perikanan didaerahnya. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan maupun melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik, perkembangan UPR, produksi dan pemasaran Propinsi.

4.2.3. Monitoring dan Evaluasi oleh Direktorat Jenderal Perikaan Budidaya

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya melakukan monitoring dan evaluasi

terhadap kegiatan unit UPTD Propinsi dan Kabupaten perbenihan perikanan yang

dibiayai oleh APBN dan perkembangan perbenihan ikan air tawar diseluruh Indonesia.

Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan maupun

melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik, UPTD, perkembangan UPR, HSRT, produksi dan pemasaran benih.

UPT Pusat yang ada di balai benih ikan air tawar membantu Direktorat

Jenderal Perikanan Budidaya memonitoring pelaksanaan uji lapangan di UPTD mengenai teknik pembenihan yang dilaksanakan dan kegiatan peningkatan mutu induk. Sedangkan UPT Pusat yang ada di balai benih ikan air payau/laut memonitoring pelaksanaan uji lapangan terhadap Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) dan Balai Benih Udang (BBU/BBUG) yang ada didaerah.

Sejalan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi ini maka secara periodik

dua (2) tahun sekali akan dilakukan pula pemilihan UPTD terbaik dengan cara menilai seberapa jauh UPTD telah melaksanakan kegiatan perbenihan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam penilaian ini kriteria yang akan digunakan antara lain:

1. Pencapaian target produksi benih. 2. Pembinaan yang dilakukan UPTD Propinsi terhadap UPTD Kabupaten baik

dalam pengadaan induk bermutu maupun dalam penyampaian teknologi pembenihan.

3. Pembinaan yang dilakukan UPTD Kabupaten terhadap UPR atau HSRT dalam penyampaian teknologi pembenihan.

4. Kegiatan penebaran benih untuk perairan umum. 5. Keterlibatan dan dukungan UPTD terhadap program Budidaya di daerah.

Penilaian terhadap UPTD ini akan dilaksanakan secara terpisah antara UPTD

Propinsi perbenihan Perikanan dan UPTD Kabupaten perbenihan perikanan lokal. Laporan kegiatan UPTD dan perkembangan perbenihan dibuat secara berjenjang berdasaran hasil monitoring yang telah dilakukan baik oleh UPTD Dinas Perikanan Kabupaten, Dinas Perikanan Propinsi, maupun Direktorat jenderal Perikanan Budidaya yang meliputi segala aspek yang berkaitan dengan benih antara lain aspek produksi, distribusi pemasaran, teknologi penelitian dan peraturan perundangan. Laporan ini disusun dengan maksud agar semua kegiatan UPTD dan perkembangan perbenihan dapat dievaluasi sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan perbenihan di Indonesia. a. Prosedur Pelaporan

Laporan kegiatan UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya dibuat secara periodik bulanan, triwulan, dan tahunan berdasarkan tahun anggaran yang dimulai bulan April dan berakhir bulan Maret tahun berikuitnya. Laporan dibuat bertingkat yaitu :

Kepala UPTD Kabupaten Perikanan Budidaya berkewajiban menyampaikan

laporan triwulan dan tahunan kegiatan unit kerja yang dipimpinnya kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi.

Kepala UPTD Propinsi Perikanan Budidaya berkewajiban menyampaikan laporan triwulan dan tahunan kegiatan unit kerja yang dipimpinnya kepada Kepala Dinas Perikanan Kabupaten.

Dinas Perikanan Kabupaten berkewajiban menyampaikan laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya yang ada di Kabupaten yang bersangkutan kepada Dinas Perikanan Propinsi. Disamping itu Dinas Perikanan Kabupaten menyampaikan laporan Triwulan dan Tahunan tentang perkembangan perbenihan di Kabupaten yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan perkembangan ikan adalah perkembangan semua aspek yang berkaitan dengan benih ikan air tawar antara lain : Perkembangan UPR, HSRT, harga benih, produksi dan distribusi benih dan sebagainya.

Dinas perikanan Propinsi berkewajiban menyerahkan Laporan Triwulan dan Tahunan UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya dan UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya lain yang dibiayai oleh APBN ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q. Direktorat perbenihan. Disamping itu Dinas Perikanan Propinsi berkewajiban pula menyampaikan Laporan Triwulan dan Tahunan tentang perkembangan perbenihan perikanan di Propinsi yang bersangkutan.

Semua Laporan Triwulan dan Tahunan dari Dinas Perikanan Propinsi akan dihimpun oleh Direktorat Perbenihan, Direktorat jenderal Perikanan Budidaya sebagai bahan Laporan Tahunan Perkembangan Perbenihan Ikan Perikanan di Indonesia.

b. Materi Laporan

Kepala UPTD Propinsi dan Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya membuat Laporan Triwulan dan Tahunan mengenai segala kegiatan unit kerja yang dipimpinnya baik yang menyangkut kegiatan yang kompleks maupun kegiatan perkembangan perbenihan disekitarnya atau kegiatan-kegiatan lain yang ditugaskan oleh Dinas Perikanan Daerah (contoh Laporan Triwulan dan Tahunan dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten menyusun Laporan Triwulan dan Tahunan UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan dan perkembangan perbenihan di Kabupaten yang bersangkutan. Laporan dari Dinas Perikanan Propinsi terdiri dari :

1) Laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Kabupaten Perbenihan

Perikanan Budidaya di Kabupaten dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2;

2) Laporan Triwulan dan Tahunan perkembangan Perbenihan Perikanan Budidaya di Kabupaten dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2.

Kepala Dinas perikanan Propinsi menyusun Laporan Triwulan dan Tahunan UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya dan perkembangan Perbenihan di Propinsi yang bersangkutan. Laporan Dinas Propinsi yang harus disampaikan ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan terdiri dari :

1) Laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan

Budidaya di Kabupaten yang dibiayai APBN dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2;

2) Laporan Triwulan dan Tahunan perkembangan Perbenihan Perikanan Budidaya di Propinsi yang bersangkutan dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2.

c. Waktu Pelaporan

Laporan Triwulan dari UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya kepada Dinas Perikanan Kabupaten dikirim paling lambat satu (1) minggu setelah akhir triwulan.

Laporan Triwulan dari Dinas Perikanan Kabupaten dikirimkan paling lambat dua (2) minggu setelah akhir Triwulan ke Dinas Perikanan Propinsi. Selanjutnya Laporan Triwulan dari Dinas Perikanan Propinsi dikirim ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan paling lambat satu (1) bulan setelah akhir triwulan.

Laporan Tahunan dari Dinas Perikanan Kabupaten dikirimkan ke Dinas Perikanan Propinsi paling lambat dua (2) minggu setelah akhir tahun, sedangkan laporan tahunan dari Dinas Perikanan Propinsi dikirimkan ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan paling lambat satu (1) bulan setelah akhir tahun anggaran.

V. PENUTUP Panduan pembinaan dan pengelolaan BBIS, BBU, dan BBUG untuk dipersiapkan sebagai UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya ini berisi pedoman pokok pelaksanaan pembinaan untuk meningkatkan pembinaan dan kinerja unit-unit kerja di daerah yang dipersiapkan sebagai UPTD. Diodalam penjabarannya menjadi kegiatan langsung dilapangan masih dimungkinkan untuk disesuaikan lebih lanjut sesuai situasi, kondisi, serta program pengembangan budidaya air tawar di daerah. Selain itu panduan ini dapat dijadikan acuan dalam penyusunan kegiatan atau program-program sebagai usulan kegiatan untuk mendapat bantuan anggaran APBD maupun APBN. Panduan ini akan ditindak lanjuti dengan Juknis kegiatan UPTD yang diterbitkan setiap tahun dan berisi antara lain : tentang penjelasan khusus pelaksanaan kegiatan setiap tahun anggaran.

Berhasil tidaknya UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya akan dapat dijadikan sebagai indikator dan tolak ukur keberhasilan pembangunan budidaya perikanan didaerah yang bersangkutan.

Lampiran 1 LAPORAN BULANAN/TAHUNAN PERKEMBANGAN PERBENIHAN DIMASING-MASING BALAI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA : BULAN : TAHUN ANGGARAN : 1. Produksi Benih Tabel 1. Jumlah produksi benih menurut jenis dan sumbernya

Sumber Benih NO Jenis Ikan BBIS BBIP BBI HSRT Hatchery Alam

2. Distribusi Benih Tabel 2. Jumlah benih yang masuk dan keluar daerah

Keluar Masuk

Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Daerah Lain Luar Negeri No Jenis Ikan Nama Daerah

Jumlah (1.000 ekor)

Nama Negara

Jumlah (1.000 ekor)

Nama Daerah

Jumlah (1.000 ekor)

Nama Negara

Jumlah (1.000 ekor)

Catatan : Distribusi benih harus menyertakan dokumen kelayakan :

1. SK Asal 2. SK Uji Bebas Virus dan Bacteri

3. Produsen Benih Milik Propinsi/Kabupaten/Kota Tabel 3. Daftar Produsen Benih dan Produksinya

No Nama BBIP/BBIS/BBI Lokasi Luas (Ha)

Tahun dibangun

Sumber Dana Jenis Ikan Kapasitas Produksi

(ekor) Produksi Benih

(ekor)

4. Produksi Induk Tabel 4. Jumlah induk yang masuk dan keluar daerah

No Jenis Ikan Keluar Masuk Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Nama Daerah ekor kg ekor kg

Nama Daerah ekor kg ekor kg

Nama Daerah ekor kg ekor kg

Nama Negara ekor kg ekor kg

5. Pembenihan Swasta Tabel 5. Daftar Pembenihan Swasta yang berada di Propinsi/Kabupaten

No Nama Lokasi Luas (Ha) Tahun berdiri Jenis Ikan Produksi/tahun (1.000 ekr) Kapasitas Produksi

6. Harga Induk Tabel 6. Harga induk per Bulan dalam Tahun berjalan

Ukuran (Kg) Kisaran Harga No Jenis Jantan Betina Terendah (Rp) Tertinggi (Rp)

7. Distribusi/Pemasaran Tabel 7. Lalu Lintas Benih

Keluar dari Kabupaten/Kota Masuk ke Kabupaten/Kota Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Daerah Lain Luar Negeri No Jenis Ikan Nama

Daerah Jumlah

(1.000 ekor) Nama

Negara Jumlah

(1.000 ekor) Nama

Daerah Jumlah

(1.000 ekor) Nama

Negara Jumlah

(1.000 ekor)

8. Pembinaan Perbenihan

Tabel 8. Kegiatan Pembinaan Perbenihan

No Uraian Kegiatan Waktu Pelaksanaan Penyelenggaraan Sumber Dana 1. Contoh : Desiminasi

teknologi Kakap Putih dalam rangka peningkatan produksi

9. Permasalahan Perbenihan

9.1. Produksi a. Teknologi b. Mutu c. Tenaga d. Sarana Produksi e. Wabah Penyakit f. Pencemaran g. dan lain-lain

9.2. Distribusi/Pemasaran

a. Transportasi b. Pengepakan c. Harga d. Supplay – Demand e. dan lain-lain

9.3. Pengaturan

a. Hambatan b. dan lain – lain

10. Pemecahan Masalah dan Saran Pengembangan Perbenihan

Lampiran 2 : Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor : 1106/DPB.0/HK.150/XII/2006

STANDAR SARANA, FASILITAS FISIK DAN OPERASIONAL

BALAI BENIH IKAN (BBI) DAN BALAI BENIH IKAN SENTRAL (BBIS)

DIREKTORAT JENDERAL PERIKAAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN

J A K A R T A 2006

D A F T A R I S I

I. PENDAHULUAN .............................................................. 1 II. MAKSUD DAN TUJUAN .............................................................. 1 III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI ........................................ 2 3.1. Kriteria Teknik .............................................................. 2 3.2. Perkolaman .............................................................. 5 IV. Sarana BBI .............................................................. 6 4.1. Bahan – Bahan .............................................................. 6 4.2. Peralatan .............................................................. 8 4.3. Bangunan Gedung .............................................................. 11 V. OPERASIONAL .............................................................. 12 5.1. Pengelolaan Induk .............................................................. 12 5.2. Pemijahan .............................................................. 12 L A M P I R A N

I. PENDAHULUAN

Benih ikan merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan produksi budidaya perikanan. Tersedianya benih ikan yang terjamin pengadaannya baik species, tempat, jumlah, mutu, ukuran, waktu dan harga yang tepat akan sangat mempengaruhi suksesnya usaha budidaya tersebut. Dari total produksi benih secara nasional, 97% dihasilkan oleh Usaha Pembenihan Rakyat (UPR) dan hanya 3% berasal dari produksi Balai Benih Ikan (BBI) milik pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa usaha pembenihan merupakan usaha komersial yang cuckup menarik minat masyarakat. Karena itu didalam upaya meningkatkan produksi benih nasional, kebijaksanaan Pemerintah terutama diarahkan pada pembinaan dan pengembangan usaha pembenihan rakyat. Semakin berkembangnya teknologi budidaya dikolam air deras, keramba dan sebagainya, serta perluasan areal budidaya membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan benih ikan yang bermutu tinggi. Dilain pihak, benih yang dihasilkan rakyat mutunya semakin menurun sebagai akibat langkanya induk-induk ikan yang unggul. BBI adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan induk dan benih ikan yang bermutu baik dalam jumlah yang memadai dan juga merupakan sarana untuk pengujian lapangan terhadap teknologi yang dihasilkan oleh Balai Budidaya Air Tawar. Karena itu BBI mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

1. Penghasil induk unggul dalam rangka menunjang Usaha Perbenihan Rakyat (UPR) dan pengendalian mutu benih;

2. Penghasil benih untuk keperluan penebaran diperairan umum dan bila perlu untuk mengisi kekurangan benih yang dihasilkan oleh rakyat;

3. Tempat melaksanakan adaptasi teknik pembenihan yang lebih baik; 4. Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dan Lembaga Sertifikasi Produk.

Selain tugas dan fungsi tersebut diatas, BBI diharapkan dapat pula sebagai perintis pembangunan budidaya ikan air tawar didaerah baru. II. MAKSUD, TUJUAN DAN PENGERTIAN

Maksud dan tujuan disusunnya buku standar ini iakah untuk mewujudkan keseragaman BBI dalam struktur, ruang lingkup, status, dan pola operasionalnya, sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsi serta melaksanakan sertifikasi sistem mutu dan produk.

Pada buku standar ini dilampirkan pula gambar contoh konstruksi, komposisi

pakan ikan dan beberapa petunjuk pengelolaan BBI. Yang dimaksud dengan standar fisik adalah standar rancang bangun,

konstruksi dan sarana yang harus dimiliki/ada di Balai Benih Ikan (BBI). Yang

dimaksud standar operasional adalah standar pengelolaan pemijahan, pendederan ikan mas dan nila.

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI 3.1. Kriteria Teknik. (1). Prasarana Tahap Pembangunan balai Benih Ikan :

Studi Kelayakan meliputi :

• Species dan jumlah ikan yang ingin diproduksi; • Teknologi yang ingin diaplikasikan dan dikembangkan; • Lokasi BBI tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan budidaya ikan

danpasar benih; • Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga

memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan BBI dan hasil-hasil dari BBI;

• Fasilitas hatchery yang akan dibangun untuk memproduksi benih sesuai dengan permintaan pasar;

• Perkiraan dana untuk konstruksi; • Jumlah dan kualifikasi SDM yang dibutuhkan; • Perkiraan dana operasional yang dibutuhkan per tahun • Analisa ekonomi.

Detail Desain :

• Gambar detail setiap penampang bangunan; • Gambar teknis bangunan BBI; • Spesifikasi teknis dan bahan bangunan yang digunakan; • Rencana Angaran Biaya (RAB); • Jadual pelaksanaan pembangunan fisik/konstruksi

Pelaksanaan Konstruksi :

• Prasarana pokok pembenihan perioritas pertama, baru prasarana lainnya; • Pengawasan (konsultan pengawas + tim teknis) • Semua fasilitas dipastikan berfungsi baik

Konsepsi Pengembangan Prasarana Budidaya :

Konsep-konsep yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan pembangunan prasarana budidaya terutama kegiatan pembenihan antara lain:

Aspek operasional Aspek fungsi Aspek konstruksi Aspek pemeliharaan.

Dalam pengembangan dan perencanaan Prasarana perlu diperhatikan:

Tujuan Tingkat pengembangan yang dilakukan Potensi Kendala (constrain) Prakondisi

Sehingga prasarana yang dibangun tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal.

Faktor-Faktor Yang Harus dipertimbangkan Dalam Perencanaan

Pembangunan Prasarana Budidaya. A. Faktor Teknis

Yang dimaksud dengan faktor teknis adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kegiatan budidaya antara lain: • Ketersediaan lahan; • Potensi lahan; • Kesesuaian komoditas perikanan yang akan dikembangkan; • Skala usaha yang akan dikembangkan (skala rumah tangga, skala sedang, skala lengkap)

B. Faktor Non Teknis

Yang dimaksud dengan faktor non teknis adlah faktor-faktor diluar teknis perikanan budidaya yang berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya : • Aspek sosial; • Aspek ekonomi; • Aspek manfaat; • Ketersediaan dana.

Prioritas Pembangunan Prasarana Budidaya

Untuk mendukung optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya maka dalam pembangunan prasarana budidaya harus dibuat skala prioritas pembangunan prasarana budidaya berdasarkan kebutuhan dan dana yang tersedia. Untuk menentukan skala prioritas maka prasarana budidaya dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) komponen bangunan yaitu : i. Bangunan pokok; ii. Bangunan pendukung; iii. Bangunan penunjang;

iv. Bangunan pengaman; v. Bangunan pelengkap.

1. Prasarana pokok adalah bangunan yang harus ada karena terkait langsung

dalam proses produksi benih. Misalnya : kolam/bak induk, kolam/bak pemijahan, dll.

Prasana pendukung adalah bangunan yang keberadaannya mempermudah, mempercepat, dan memperkecil biaya proses pembenihan. Misalnya : kantor, jaringan jalan dan tempat parkir, laboratorium, dll.

2. Prasarana penunjang adalah : bangunan yang keberadaannya bersifat melengkapi dan tidak mempengaruhi proses perbenihan. Misalnya : Gedung pertemuan, fasilitas olahraga, dll.

Prasana Pengaman adalah : bangunan yang diperlukan untuk pengamanan fasilitas perbenihan.

Misalnya : pagar keliling/lingkungan , pos jaga, dll.

Prasana Pelengkap adalah : bangunan yang fungsinya melengkapi bangunan pendukung, bangunan penunjang dan bangunan pengaman sehingga bangunan perbenihan dimaksud beroperasi lebih optimal dan lebih berdaya guna.

Misalnya : rumah pompa, rumah genset, garasi kendaraan, dll.

Sehingga kedudukan prasarana dalam kegiatan budidaya perikanan yaitu : a. Merupakan unsur penunjang pokok yang sangat penting untuk mendukung

kegiatan budidaya perikanan; b. Direncanakan terakhir dari seluruh kegiatan budidaya; c. Dilaksanakan pertama kali dari keseluruhan kegiatan usaha budidaya. (2). Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lahan. Ketinggian tempat sedapat mungkin tidak lebih dari 700 m diatas permukaan laut, sedangkan kemiringan tanah yang ideal berkisar antara 1 – 5% (3). Tanah. Tanah yang baik untuk BBI adalah tanah dengan struktur yang kuat, dapat menahan air (tidak poreus), subur dan tidak berbatu-batu, teksturnya terdiri dari tanah liat dan liat berpasir (4). Sifat Fisika dan Kimia Air; Sifat fisika yang harus diperhatikan adalah : Suhu air optimal berkisar antara 250 – 300C; Kekeruhan air 25 – 100 JTU; Muatan suspensi 25 – 400 ppm; Kecerahan lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan.

Sifat kimia air yang harus diperhatikan adalah : PH air berkisar antara 4 – 9, optimum 6,7 – 8,0; Kadmium (Cd) maksimum 0,01 ppm; Timbal (Pb) maksimum 0,02 ppm; Sulfida (S) maksimum 0,002 ppm; Ammoniak bebas (NH3) maksimum 0,01 ppm; Nitrit (NO2) maksimum 0,2 ppm; Phosphat maksimum 0,01 ppm; Alkalinitas produktif 50 – 500 ppm; Oksigen terlarut (DO) diisyaratkan > 3 ppm

(5). Sistem Pengairan Untuk menjamin suplai air pada BBI secara kontinyu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan, maka diperlukan langkah-langkah lebih lanjut sebagai berikut : a. Sebaiknya air berasal dari sumber mata air, sumur artesis atau sumur bor yang

sepenuhnya dikuasai BBI. Debit air mineral 20 liter/ha/detik untuk kolam induk, pembenihan, pembesaran dan terpadu, sedangkan untuk kolam air deras sebesar 250 liter/detik/100 m2. Untuk meningkatkan kualitas air (temperatur dan oksigen terlarut) mengurangi adanya gas terlarut, dan mengurangi pengendapan lumpur, maka perlu dibuat filter biologis dengan menggunakan tanaman air (Hidrilla sp).

b. Terhadap BBI yang memperoleh suplai air dari sungai dan irigasi perlu perlakuan melalui sistem pengendapan dan filterisasi mekanik maupun biologis, utamanya untuk kolam-kolam pembenihan dan pendederan. Untuk itu perlu dilengkapi dengan bak pengendapan air dan bak-bak filter yang dapat berfungsi secara baik dengan luas minimal 10% dari luas kolam pendederan P1.

c. Untuk menjamin kontinuitas suplai air yang berasal dari irigasi khususnya pada saat perbaikan saluran, maka Dinas Perikanan Daerah seyogyanya mengadakan pendekatan dengan pihak pengairan untuk mencari jalan pemecahannya. Dalam hubungan ini disarankan agar Dinas Perikanan Daerah menjadi anggota Panitia Irigasi Daerah.

(6). Luas BBI Luas keseluruhan BBI Sentral minimal 5 Ha, sedangkan luas keseluruhan BBI Lokal minimal 2 Ha. 3.2. Perkolaman (1). Standar Perkolaman Jumlah kolam dan luas masing-masing kolam dalam BBI dperhitungkan seperti pada table 1 dan contoh tata letaknya dapat dilihat dalam lampiran 1 dan lampiran 2.

Tabel 1. Jumlah dan luas minimal masing-masing kolam di BBI :

BBI Lokal BBI Sentral No Macam Kolam Jumlah Luas

(m2) Total Jumlah Luas (m2) Total

1 Kolam induk betina Kolam induk betina

6 6

100 100

600 600

8 8

100 100

800 800

2 Kolam Pemijahan 4 20 80 6 20 120 3 Kolam Pendederan I

Kolam Pendederan II Kolam Pendederan III Kolam Pendederan IV

5 5 5 5

250 500 1000 1500

1250 2500 5000 7500

6 6 6 6

250 500 1000 1500

1500 3000 6000 9000

4 Kolam Pembesaran 2 100 200 4 100 400 5 Kolam calon induk 6 500 3000 6 1000 6000 6 Kolam makanan alami - - - 2 500 1000 Jumlah 40 20730 58 - 28620 (2). Konstruksi Kolam Kelandaian saluran yang baik adalah 0,5% dan pada pinggiran pematang dibuat peluncuran atau terjunan. Pada lampiran 18 dapat dilihat konstruksi saluran dan peluncuran. Saluran pembuangan haraus dihubungkan dengan jaringan drainase (selokan atau sungai) diluar komplek BBI harus dapat menyalurkan air buangan dengan lancar. Dasar saluran pembuangan minimal harus lebih rendah 25 cm dari dasar kolam dengan lebar 0,5 m. Setiap kolam harus dapat bebas memperoleh air langsung dari saluran pemasukan dan bebas pula melepaskan air kesaluran pembuangan. (3). Petunjuk Tata Air Sistem pengaturan air dengan bangunan-bangunan pengontrol air digambarkan dengan ikhtisar air pada lampiran 19. IV. SARANA BBI Sarana BBI yang disediakan dalam pedoman BBI ini diperhitungkan pada kebutuhan minimal operasional BBI dan merupakan paket pembenihan ian mas dan nila di BBI. Jumlah paket yang disediakan untuk operasional BBI dapat diminta sesuai dengan rencana kerja dan operasional tahunan BBI. Dengan demikian tiap BBI akan mempunyai dana operasional yang berbeda. 4.1. Bahan-bahan (1). Induk Ikan Induk ikan yang dimaksud dalam pedoman BBI adalah induk ikan mas dan nila dengan kriteria ikan mas dengan deskripsi yang jelas. Ditinjau dari mutu induk ikan tersebut mempunyai criteria sebagai berikut :

Karakter morfometrik dan genetic sesuai dengan varietasnya, meliputi : bentuk tubuh, warna, bentuk sisik, cepat pertumbuhannya, respon terhadap pakan buatan dan relatif tahan terhadap penyakit.

Deskripsi varietas jelas. Fekunditas ikan mas antara 80.000 – 120.000 butir/kg berat induk, dan untuk

ikan nila rata-rata 900 butir per 300 gram berat induk. Tidak cacat. Sehat, tidak berpenyakit. Gerakan normal. Ratio panjang berat sesuai dengan deskripsi varitasnya.

Jumlah induk yang dimiliki BBI didasarkan pada jumlah minimal induk yang

akan digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan jumlah induk minimal yang harus dimiliki oleh BBI :

Tabel 2. Jumlah minimal induk yang diperlukan BBI :

Induk Ikan (ekor) Keterangan Jenis Ikan Jantan Betina Ikan mas 100 100 1 : 1 Ikan nila 100 300 1 : 3 Keterangan :

• Berat rata-rata induk ikan mas betina ≥ 3 Kg • Berat rata-rata induk ikan mas jantan ≥ 1,5 kg • Berat rata-rata induk ikan nila betina = 0,3 – 0,4 kg • Barat rata-rata induk ikan nila jantan = 0,4 – 0,5 kg

(2). Bahan baku makanan ikan (pellet). Pengadaan pakan dapat dilakukan dengan membeli pakan komersial didaerah daerah dimana terdapat penyalur pakan. Pakan ikan (pellet) yang dimaksud adalah pakan dengan kandungan protein minimal 26% dan atau pakan induk dengan kandungan protein 30 – 40%. Selain hal tersebut pakan dapat juga disediakan dengan membuat formulasi tersendiri dengan bahan seperti tersebut dibawah ini :

a. Sumber protein, misalnya tepung ikan, cincangan bekicot, ampas tahu dan tepung banawa.

b. Sumber karbohidrat dan lemak, misalnya bekatul, dedak, singkong, bungkil kacang dan kedelai.

c. Sumber mineral misalnya: tepung tulang, darah dan cangkang kerang-kerangan.

d. Sumber serat, misalnya daun singkong, daun gamal dan daun petai cina. e. Sumber perekat, misalnya tepung kanji. f. Vitamin dan mineral.

Contoh formulasi pakan seperti tertera dalam lampiran 3. Bahan makanan (pellet) yang dibutuhkan berdasarkan ransum 3 – 5% berat ikan tiap hari adalah dirinci sebagai berikut : Pakan induk ikan mas = 600 kg Pakan induk ikan nila = 600 kg Pakan benih = 900 kg Total kebutuhan pakan adalah 2.100 kg per tahun.

(3). Pupuk Pupuk organic diperlukan untuk memperbaiki kesuburan dan struktur dasar kolam, berupa pupuk kotoran ayam, Pemberian pupuk anorganik tidak dianjurkan karena sering menyebabkan blooming algae. Kebutuhan pupuk organic di BBI adalah sebesar 250 – 500 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (4) Kapur Kapur tohor (CaO dipakai sebesar 50 – 100 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (5) Insektisida Insektisida sebanyak 2 liter per siklus. (6) Bahan Pereaksi Kimia/Tahun

a. Bahan pereaksi kimia dan obat-obatan + 1 kg KmnO4; b. Aceton/alcohol sebanyak 2 liter; c. Hormon buatan (Ovaprim) sebanyak 15 ampul, dan 17 alpha

methylestosteron 10 gram; d. Aquades + 20 liter; e. Antibiotik (tetramycine, kemicitine) 100 gram f. Metylane Blue 10 gram; g. Hormon HCg 500 IV h. Natrum Chlorida 90,9 %) sebagai pengencer sperma

4.2. Peralatan (1) Peralatan pembenihan yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam table 5. Tabel 3. Peralatan pembenihan di BBIS dan BBI No Peralatan BBI Sentral

Jumlah BBI Lokal Jumlah

1 Timbangan - kapasitas 1 kg 2 buah 1 buah - kapasitas 10 kg 2 buah 1 buah

- Kapasitas 50 kg 2 buah 1 buah 2 Mistar (Ukuran 50 cm) 4 buah 2 buah 3 Fish bus (krembeng) 2 buah 2 buah 4 Kreneng 2 buah 2 buah 5 Aerator/Hyblower 4 buah 2 buah 6 Kaca pembesar 2 buah 1 buah 7 Alat hypophisa 4 buah 2 buah - jarum suntik 2 buah 2 buah - centifuge 1 buah - - centrifuge elektrik 4 buah 2 buah - mortar homogenezer 4 buah 2 set - alat bedah 2 buah 2 buah - kain handuk 4 buah 2 buah - cawan porselin/email Secukupnya Secukupnya - pengaduk telur/bulu ayam Secukupnya Secukupnya - kelenjar hypophisa/hormon 4 set 2 set 8 Gelas ukur (5,10,25 cc) 1 buah 1 buah 9 Freezer 2 buah 2 buah 10 Thermos es 20 set 10 set 11 Happa (2x1x0,75 cm dan

2x4x0,75 cm) 20 buah 10 buah

12 Kakaban 50 buah 25buah 13 Corong penetas ( 0,5 m; t 0,5 m) 8 buah 4 buah 14 Pipet Secukupnya Secukupnya 15 Slang plastik 2 buah 2 buah 16 Counter 2 buah 2 set 17 Pisau bedah 2 buah 1 buah 18 Gergaji/bor 2 buah 1 buah 19 Aquarium (60 cm x 40 cm x 45

cm) Minimal 40 buah Minimal 40 buah

20 Kateter 10 buah 10 buah 21 Serok halus 5 buah 5 buah 22 Serok kasar 5 buah 5 buah (2) Peralatan perkolaman Peralatan perkolaman yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam lampiran 6. Tabel 4. Peralatan perkolaman di BBIS dan BBIL No Peralatan BBI Sentral

Jumlah BBI Lokal Jumlah

1 Cangkul 6 buah 5 buah 2 Sekop 6 buah 3 buah 3 Garpu 6 buah 3 buah 4 Bakul dan pikulan 4 set 2 set

5 Parang/Grobak 6 buah 3 buah 6 Ember 6 buah 3 buah 7 Traktor kecil/penggaruk 1 buah 1 buah 8 Waring 8 buah 6 buah 9 Geser 6 buah 4 buah 10 Cawan email 2 buah 1 buah 11 Sabit 3 buah 1 buah 12 Pakaian lapangan 20 set 10 set 13 Hapa pemijahan 2 set 1 set 14 Happa pematang gonad 2 set 1 set 15 Baskom 10 buah 10 buah (3). Peralatan distribusi benih/induk Peralatan distribusi benih/induk yang digunakan dalam kegiatan BBI diuraikan seperti dalam tabel 7. Tabel 5. Peralatan distribusi benih/induk :

No Peralatan BBI Sentral Jumlah

BBI Lokal Jumlah

1 Tabung oksigen (kap. 1 dan 2 m3) 2 buah 2 buah 2 Kantong plastik Secukupnya Secukupnya 3 Tali plastik dan karet Secukupnya Secukupnya 4 Kotak karton/stroform Secukupnya Secukupnya 5 Ember plastik tertutup 15 buah 10 buah 6 Fish bus (kreneng) - - 7 Aerator 15 buah 10 buah 8 Kendaraan roda 4 (pick-up 0,75 ton) 2 buah 1 buah 9 Buffer, es batu, dry ice secukupnya secukupnya (4). Peralatan lainnya Selain peralatan untuk kegiatan pembenihan, perkolaman dandistribusi benih/induk, diperlukan peralatan lain yang diuraikan dalam tabel 8. Tabel 6. Peralatan lainnya :

No Peralatan BBI Sentral Jumlah

BBI Lokal Jumlah

1 Pompa air diesel 10 PK 2 buah 1 buah 2 Hi-blow 3 buah 2 buah 3 Alat-alat pembuatan makanan ikan/pellet

: 2 buah 1 buah

- Kompor 2 buah 1 buah - Tapisan/saringan 2 buah 2 buah - Ember 4 buah 2 buah

- Nyiru 4 buah 1 buah - Timbangan 1kg, 50 kg 1 buah - - Mesin penggiling basah/berminyak 1 buah - - Mesin penyaring 1 buah - - Mesin pengaduk 1 buah 1 buah - Mesin pencetak pellet 1 buah 1 buah - Mesin peremah 1 buah 1 buah 4 Generator 10 KVA atau PLN 5.000 Watt - 1 buah 5 Generator 20 KVA atau PLN 10.000 Watt 1 buah - 6 Mesin potong rumput 2 buah 2 buah 7 Sepatu lapangan dan senter 8 setel 4 buah 8 Alat transport - Mobil pick up 1 buah 1 buah - Sepeda motor 3 buah 2 buah 9 Alat audiovisual 1 unit 2 unit 10 Buku Petunjuk Pelaksanaan - Jenis ikan dan gambarnya secukupnya Secukupnya - Teknik pembenihan ikan secukupnya Secukupnya - Perawatan benih/induk secukupnya Secukupnya - Pengangkutan dan distribusi secukupnya Secukupnya -Teknik perkolaman secukupnya Secukupnya - Pemupukan secukupnya Secukupnya - Pemberantasan hama secukupnya Secukupnya - Penyedian makanan hidup dan

makanan buatan secukupnya Secukupnya

11 Meja tulis, lemari, kursi, kardek, peta dsb secukupnya 12 Mesin tik manual 1 buah 1 buah 13 Komputer 2 buah 1 buah 4.3. Bangunan gedung Tabel 7. Bangunan gedung di BBIS dan BBIL

BBI LOkal BBI Sentral Luas (m2) Jumlah Luas (m2) Macam Bangunan Jumlah Satuan Jumlah Satuan Jumlah

- Kantor 1 50 50 1 75 75 - Garasi 1 20 20 1 40 40 - Gudang 1 15 15 1 30 30 - Rumah generator 1 9 9 1 9 9 - Rumah mesin pellet dan gudang makanan

1 30 30 1 50 50

- Rumah pimpinan 1 45 45 1 70 70 - Rumah staf 3 36 103 4 45 180 - Rumah pekerja tetap (Kopel)

6 36 216 6 36 216

- Rumah jaga 1 36 36 2 36 170 - Asrama 1 100 100 1 200 200 - Aula 1 100 100 1 100 100 Jumlah 18 477 724 20 691 1140

V. OPERASIONAL 5.1. Pengelolaan Induk 5.1.1. Ikan Mas Induk ikan betina dan pejantannya dipelihara dalam wadah secara terpisah. Induk-induk tersebut dipeliharadalam kolam air mengalir dengan debit air 1,5 liter air per 1.000 m2 luas kolam induk. Selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet dengan kandungan protein 26 – 30% dengan dosis 3 – 5% dari berat badan per hari yang diberikan 3 kali sehari. Kepadatan induk ikan dalam kolam adalah 1 kg/m2 luas kolam. Kondisi kimia – fisika ideal untuk pemeliharaan induk adalah sebagai berikut :

Suhu air : 25 – 320C PH : 6,5 – 8 DO : > 5ppm Ammoniak : < 1 ppm

5.1.2. Ikan Nila Kolam seluas 200 m2 dengan sistem air mengalir diperlukan untuk menyimpan induk ikan. Penyimpanan induk dilakukan dalam hapa berukuran 2 x 3 x 1,25 m3 yang ditempatkan dalam kolam seluas 200 m2 tersebut. Setiap hapa dapat menampung 30 ekor induk ikan betina atau 15 ekor ikan jantan. Dengan jumlah induk sebanyak 90 ekor betina dan 30 ekor jantan, diperlukan 5 buah hapa berukuran seperti tersebut diatas. Tiap hapa diberi tanda, misalnya hapa 1 untuk induk betina kelompok I, hapa 2 untuk induk betina kelompok II, hapa 3 untuk pejantan dan seterusnya. Penempatan hapa-hapa diupayakan sedemikian rupa sehingga induk ikan memperoleh air segar yang mengandung O2 jenuh. Selama pemeliharaan kolam diairi 24 jam terus-menerus, induk ikan diberi makan dengan pellet komersial 3% dari berat biomas per hari, diberikan 3 kali dala sehari. Dengan cara ini induk betina akan matang telur setiap 1 bulan sekali. 5.2. Pemijahan 5.2.1. Pemijahan Ikan Mas a. Wadah Pemijahan

Induk ikan dipijahkan dalam wadah berupa bak tembok, atau hapa pemijahan berukuran 4x2x1 m3 atau tergantung fasilitas kolam pemijahan yang ada di BBI. Dalam kondisi normal, kepadatan induk dalam hapa/kolam pemijahan adalah 2 kg/m2. Dalam hapa seukuran tersebut dipijahkan 4 ekor induk ikan betina dengan berat rata-rata 2 kg per ekor. Kakaban dibuat dari ijuk berukuran panjang 100 cm

dengan lebar 20 cm yang diletakkan dalam wadah pemijahan, sehingga jumlah kakaban setiap pemijahan adalah 30 buah.

b. Proses pemijahan

Wadah pemijahan harus dijemur/dikeringkan terlebih dahulu. Pada wadah

pemijahan berupa kolam tanah, pengeringan dilakukan hingga dasar kolam retak-retak. Hapa kemudian dipasang tegak sehingga mampu menampung induk ikan yang akan dipijahkan. Setelah itu wadah pemijahan diairi hingga kedalaman air didalam hapa 80 – 100 cm.

Sebelum induk dimasukan kedalam wadah pemijahan, kakabandipasang

dalam wadah pemijahan. Pemasangan kakaban diusahakan sedemikian rupa sehingga kakaban tenggelam 5 cm dibawah permukaan air.

Menjelang sore hari induk betina dan jantan yang telah matang telur

dimasukan bersamaan kedalam wadah pemijahan. Padat tebar induk betina adalah 2 kg per m2 dalam wadah pemijahan, sehingga untuk wadah dengan luas 8 m2 diperlukan 4 ekor induk betina. Dengan perbandingan berat yang sama dengan induk betina, maka ikan jantan yang diperlukan adalah seberat 8 kg, dengan jumlah 8 ekor atau berat rata-rata per ekornya adlah 1 kg.

Selama pemijahan berlangsung air dibiarkan mengalir masuk kedalam kolam

dengan debit 2 liter/detik/200 m2 luas wadah pemijahan. Induk ikan yang telah memijah ditangkap untuk dikembalikan kekolam induk (kolam pematangan gonad).

c. Teknik Pemanenan Larva Telur menetas dalam waktu 48 – 72 jam, tergantung dari suhu air media. Sekitar 7 hari dalam bak penetasan telur, larva dipanen untuk didederkan lebih lanjut. Setelah telur pada kakaban menetas, kakaban diangkat dan larva dibiarkan pada bak/hapa pemijahan sampai kuning telurnya habis. Setelah 7 hari dalam hapa/bak pemijahan, larva dipanen dan didederkan lebih lanjut. Dengan asumsi bahwa setiap induk ikan menghasilkan 100.000 butir telur, maka telur yang dihasilkan dari 8 kg induk adalah 800.000 butir telur. Selanjutnya diasumsikan pula bahwa tingkat penetasan telur adalah 50% sehingga telur yang menetas menjadi larva adalah 400.000 larva. 5.2.2. Pendederan Ikan Mas a. Wadah pendederan

Sebelum larva ditebar, kolam pendederan seluas 1.000 m2 ( 2 kolam) harus

dipersiapkan terlebih dahulu antara lain : kolam dikeringkan, pematang yang bocor diperbaiki, diberi kapur sebanyak 50 gram/m2 luas kolam dan untuk menumbuhkan pakan alami kolam perlu dipupuk dengan kotoran ayam dosis 250 gram per m2 luas kolam. Penebaran larva dilakukan setelah 2 – 3 hari sejak pengisian air. Benih lepas

hapa ditebar dengan padat penebaran 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan air dialirkan dengan kolam pendederan I dialiri air dengan debet 1,5 ltr/detik/1.000 m2.

Pakan tambahan berbentuk tepung atau remahan pellet dengan kandungan protein 30% dan diberikan 10% dari total berat benih dengan frekuensi 3 kali sehari. Untuk menumbuhkan infusoria dan pakan phytoplankton lainnya, penyemprotan dengan insektisida jenis organophosphat dengan dosis 4 ppm dianjurkan.

Dengan lama pemeliharaan 21 hari, benih ikan dipanen untuk pendederan di

P2 (pendederan kedua). Tingkat kelulushidupan larva menjadi benih ditingkat P1 adalah 60%. Dengan demikian dari jumlah larva lepas hapa yang ditebar sebanyak 400.000 ekor akan dihasilkan benih sebanyak 240.000 ekor.

b. Pola produksi

Jumlah induk yang diperlukan untuk memproduksi benih minimal 32 kg induk

betina. Tiap pemijahan diperlukan 8 kg induk. Jadi terdapat 4 kelompok induk, dimana tiap kelompok berjumlah 8 kg. Pola produksi benih ikan sampai pendederan 1 (P1) seperti terlihat dalam tabel berikut: Bln I II III IV M 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 KLP I LI II LII III LIII IV LIV I LI II LII III LIII IV LIVPi BI BI BII BII BIII BIII BIV BIV BI BI BII BII BIII BIII Keterangan : Bln : Bulan L : Larva Kelompok Induk M : Minggu B : Benih Kelompok Induk KLP : Kelompok Induk P1 : Pendederan 1 Pada gambar terlihat pemijahan pertama dilakukan pada minggu pertama dengan kelompok induk I (KLP I), penetasan telurnya pada minggu II (M2) dan perawatan larva/pendederan I dilakukan pada minggu III dan IV (M# dan M4), sehingga panen dilakukan pada M4 dan I. Sementara itu pada bulan I, minggu III (M3), kelompok induk II sudah dipijahkan lagi sehingga induk dari kelompok II akan dipanen pada minggu ke II bulan II. Untuk induk kelompok III benih dipanen pada M4 bulan I dan untuk induk kelompok IV benihnya dipanen pada M2 bulan III. Dengan memperkirakan kelompok induk I sudah matang gonad kembali dalam jangka waktu 2 bulan maka pada M1 bulan III, kelompok induk I sudah dipijahkan. Demikian seterusnya berlaku untuk kelompok induk II, III dan IV, sehingga dalam 1 tahun dapat diproduksi 23 siklus pemeijahan atau sekurang-kurangnya20 siklus pemijahan dan pemeliharaan larva.

5.2.3. Pemijahan Ikan Nila a. Wadah Pemijahan

Pemijahan dilakukan dalam kolam tanah seluas 400 m2 yang mempunyai

sistem pemasukan dan pengeluaran air sistem monik. Ditengah kolam dipasang hapa pemijahan ukuran 4 x 8 x 1 m3 .

b. Persiapan Pemijahan

Sebelum digunakan kolam pemijahan dikeringkan terlebih dahulu dengan tujuan selain membunuh bibit penyakit juga untuk memberikan rangsangan pada ikan untuk memijah. Setelah dasar kolam cukup kering ditandai dengan permukaannya yang retak-retak, air dialirkan kedalam kolam perlahan-lahan sampai ketinggian lebih kurang 80 cm, selanjutnya induk ikan betina (kelompok induk I) dan pejantan (kelompok pejantan I) dimasukan kedalam hapa pemijahan dengan jumlah masing-masing 30 ekor induk betina dan 15 ekor induk jantan.

c. Proses Pemijahan

Selang beberapa hari setelah induk betina dan jantannya dimasukan,

sebagian ikan akan memijah. Diperkirakan sebanyak 60% induk betina atau 20 ekor akan memijah dalam hapa pemijahan.

d. Pemanenan Benih

12 hari setelah induk-induk ikan dimasukan kedalam kolam pemijahan, benih

ikan/larva ikan dapat dipanen dengan cara mengangkat hapa pemijahan sehingga induk dan benih ikan akan tertangkap. Produksi benih dari pemijahan ini diperkirakan 26.000 ekor larva persiklus (12 hari).

e. Proses Pejantanan Benih Ikan

Siapkan 5 liter air bersih yang dimasukan kedalam ember beraerasi. Masukan

benih ikan yang baru ditangkap tersebut, lalu masukan serbuk hormone 17 alpha methyl testoeteron sebanyak 5 miligram kedalam 5 liter air di ember. Biarkan selama 6 – 10 jam agar proses sex reversal berlangsung. Dengan cara ini diharapkan benih ikan nila menjadi jantan semua.

5.2.4. Pendederan Ikan Nila a. Wadah

Wadah pendederan ikan niladapat dilakukan dikolam. Luas kolam

pendederan sekurang-kurangnya 500 m2, dengan rata-rata padat tebar benih 30 ekor per m2. Kolam tidak porus, dilengkapi dengan pintu pemasukan air dan pintu pengeluaran air berhadapan, artinya tidak dipasang pada satu garis pematang yang

sama. Kolam mini harus mampu menampung air hingga kedalaman 60 cm, sehingga tinggi kolam yang dibuat/rehab sekitar 80 cm. b. Kegiatan Pendederan

Kegiatan pendederan ikan nila dilakukan dikolam dengan tahapan

kegiatan sebagai berikut :

Persiapan kolam : Kolam dikeringkan hingga dasar kolam retak-retak, pematang diperbaiki, lumpur dasar kolam dikeduk teplok dan diangkat ke pematang. Kemalir/saluran air diagonal diperbaiki. Kolamselanjutnya diberi kapur sebanyak 50 gr/m2 dan diberi pupuk kotoran ayam (organik) sebanyak 250 gr/m2. Setelah kolam dikapur dengan kapur tohor dan dipupuk, air dimasukan perlahan-lahan setinggi 20 cm kemudian kolam dibiarkan 2 hari tergenang untuk memberi kesempatan pakan alami tumbuh. Setelah atu air dinaikan lagi hingga air didalam kolam mencapai ketinggian 60 cm. Pengisia air dilakukan secara hati-hati agar sampah tidak masuk kedalam kolam, sehubungan dengan hal itu pada saluran pemasukan harus dipasang saringan kasa.

Penebaran benih : Benih berumur 30 hari ditebarkan dengan kepadatan 30 ekor per m2. Untuk mencegah kematian benih massal, penebaran dilakukan pada udara sejuk yaitu pada pagi atau sore hari. Benih ditebar dengan mengadaptasikannya terlebih dulu. Caranya adalah memasukan air kolam sedikit demi sedikit sehingga tercapai keseimbangan suhu air antara air dalam wadah transportasi dengan air kolam. Jika air diperkirakan telah mempunyai suhu yang sama maka benih ikan dapat ditebar kedalam kolam.

Pemeliharaan benih : Setiap hari benih ikan diberi pakan tambahan berupa pakan buatan berbentuk tepung, dengan kandungan protein lebih kurang 30%. Jumlah pemberian pakan sebanyak 10% perharinya yang diberikan 3 kali sehari. Pengawasan terhadap air dan lingkungan perkolaman senantiasa diperhatikan setiap harinya. Air harus dijaga agar tetap mengalir dan pematang yang bocor diperbaiki.

Pemanenan Benih : Setelah berumur satu bulan pemeliharaan, benih sudah dapat dipanen. Adapun cara pemanenannya adalah kolam disurutkan airnya secara perlahan-lahan, tetapi air tetap dibiarkan mengalir perlahan-lahan agar ikan mudah ditangkap sebab ikan akan menyongsong air baru. Penangkapan ikan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan waring dan seser. Benih ikan yang sudah ditangkap ditampung dalam wadah/hapa penampung benih yang ditempatan pada kolam ikan yang berair bersih dan mengalir. Seleksi benih dilakukan berdasarkan ukuran benih tertentu. Benih yang diperoleh dari hasil pendederan biasanya berukuran 3 – 5 cm dengan derajat kelangsungan hidup lebih kurang 90%, akan dihasilkan benih ikan untuk setiap 500 m2 luas kolam sebanyak 13.500 ekor.

5.2.5. Contoh Komposisi Makanan a. Remah untuk benih ikan Mas :

dedak halus 35% tepung ikan 25% tepung kedelai 27% tepung daun 10% vitamin dan mineral 3%

b. Pellet untuk ikan Mas ukuran konsumsi dan induk :

dedak halus 30% tepung ikan 23% tepung kedelai 5% tepung tulang 5% silase ikan 10% tepung daun 10% bungkil kelapa 5% vitamin dan mineral 3%

c. Makanan untuk ikan Tawes :

tepung daun (petai cina) 30% tepung ikan 15% tepung kedelai 10% tepung jagung 5% bungkil kelapa 5% silase ikan 10% dedak halus 23% vitamin dan mineral 2%

5.2.6. Contoh Rencana Kerja BBI A. Alternatif tanrget produksi benih (ribuan ekor) tahun 20....

Jenis Tahun 20.... Triwulan I 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

Triwulan II dst Keterangan

Disesuaikan Dengan ke- Butuhan Nyata di daerah

B. Target produksi induk (ekor/kg) tahun 20... (khusus BBI Sentral)

Tahun 20... Triwulan I Betina Jantan Jumlah Betina Jantan Jumlah Jenis ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg

Triwulan II dst Keterangan

Disesuaikan dengan keperluan semua BBI lokal dan UPR

C. Rencana Distribusi Benih, Tahun 20...

Distribusi

No Jenis Ukuran Jumlah (1000 ekor)

Maksud Penggunaan

Daerah Tujuan

Keterangan

1 Mas 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

Diisesuaikan dengan keperluan perairan umum, bantuan proyek gizi, bantuan daerah transmigrasi, dsb

2 Tawes 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

dst dst dst dst dst D. Rencana Distribusi Calon Induk dan Induk, Tahun 20...

Distribusi

No Jenis Ukuran Jumlah (1000 ekor) Maksud Penggunaan

Daerah Tujuan

Keterangan

1 Mas 1.calon induk 2.induk

Diisesuaikan dengan keperluan BBI Lokal dan UPR

2 Tawes 1.calon induk 2.induk

dst dst dst dst dst

I. PENDAHULUAN

Benih ikan merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan produksi budidaya perikanan. Tersedianya benih ikan yang terjamin pengadaannya baik species, tempat, jumlah, mutu, ukuran, waktu dan harga yang tepat akan sangat mempengaruhi suksesnya usaha budidaya tersebut. Dari total produksi benih secara nasional, 97% dihasilkan oleh Usaha Pembenihan Rakyat (UPR) dan hanya 3% berasal dari produksi Balai Benih Ikan (BBI) milik pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa usaha pembenihan merupakan usaha komersial yang cuckup menarik minat masyarakat. Karena itu didalam upaya meningkatkan produksi benih nasional, kebijaksanaan Pemerintah terutama diarahkan pada pembinaan dan pengembangan usaha pembenihan rakyat. Semakin berkembangnya teknologi budidaya dikolam air deras, keramba dan sebagainya, serta perluasan areal budidaya membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan benih ikan yang bermutu tinggi. Dilain pihak, benih yang dihasilkan rakyat mutunya semakin menurun sebagai akibat langkanya induk-induk ikan yang unggul. BBI adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan induk dan benih ikan yang bermutu baik dalam jumlah yang memadai dan juga merupakan sarana untuk pengujian lapangan terhadap teknologi yang dihasilkan oleh Balai Budidaya Air Tawar. Karena itu BBI mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :

5. Penghasil induk unggul dalam rangka menunjang Usaha Perbenihan Rakyat (UPR) dan pengendalian mutu benih;

6. Penghasil benih untuk keperluan penebaran diperairan umum dan bila perlu untuk mengisi kekurangan benih yang dihasilkan oleh rakyat;

7. Tempat melaksanakan adaptasi teknik pembenihan yang lebih baik; 8. Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dan Lembaga Sertifikasi Produk.

Selain tugas dan fungsi tersebut diatas, BBI diharapkan dapat pula sebagai perintis pembangunan budidaya ikan air tawar didaerah baru. II. MAKSUD, TUJUAN DAN PENGERTIAN

Maksud dan tujuan disusunnya buku standar ini iakah untuk mewujudkan keseragaman BBI dalam struktur, ruang lingkup, status, dan pola operasionalnya, sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsi serta melaksanakan sertifikasi sistem mutu dan produk.

Pada buku standar ini dilampirkan pula gambar contoh konstruksi, komposisi

pakan ikan dan beberapa petunjuk pengelolaan BBI. Yang dimaksud dengan standar fisik adalah standar rancang bangun,

konstruksi dan sarana yang harus dimiliki/ada di Balai Benih Ikan (BBI). Yang

dimaksud standar operasional adalah standar pengelolaan pemijahan, pendederan ikan mas dan nila.

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI 3.1. Kriteria Teknik. (1). Prasarana Tahap Pembangunan balai Benih Ikan :

Studi Kelayakan meliputi :

• Species dan jumlah ikan yang ingin diproduksi; • Teknologi yang ingin diaplikasikan dan dikembangkan; • Lokasi BBI tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan budidaya ikan

danpasar benih; • Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga

memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan BBI dan hasil-hasil dari BBI;

• Fasilitas hatchery yang akan dibangun untuk memproduksi benih sesuai dengan permintaan pasar;

• Perkiraan dana untuk konstruksi; • Jumlah dan kualifikasi SDM yang dibutuhkan; • Perkiraan dana operasional yang dibutuhkan per tahun • Analisa ekonomi.

Detail Desain :

• Gambar detail setiap penampang bangunan; • Gambar teknis bangunan BBI; • Spesifikasi teknis dan bahan bangunan yang digunakan; • Rencana Angaran Biaya (RAB); • Jadual pelaksanaan pembangunan fisik/konstruksi

Pelaksanaan Konstruksi :

• Prasarana pokok pembenihan perioritas pertama, baru prasarana lainnya; • Pengawasan (konsultan pengawas + tim teknis) • Semua fasilitas dipastikan berfungsi baik

Konsepsi Pengembangan Prasarana Budidaya :

Konsep-konsep yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan pembangunan prasarana budidaya terutama kegiatan pembenihan antara lain:

Aspek operasional

Aspek fungsi Aspek konstruksi Aspek pemeliharaan.

Dalam pengembangan dan perencanaan Prasarana perlu diperhatikan:

Tujuan Tingkat pengembangan yang dilakukan Potensi Kendala (constrain) Prakondisi

Sehingga prasarana yang dibangun tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal.

Faktor-Faktor Yang Harus dipertimbangkan Dalam Perencanaan

Pembangunan Prasarana Budidaya. C. Faktor Teknis

Yang dimaksud dengan faktor teknis adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kegiatan budidaya antara lain: • Ketersediaan lahan; • Potensi lahan; • Kesesuaian komoditas perikanan yang akan dikembangkan; • Skala usaha yang akan dikembangkan (skala rumah tangga, skala sedang, skala lengkap)

D. Faktor Non Teknis

Yang dimaksud dengan faktor non teknis adlah faktor-faktor diluar teknis perikanan budidaya yang berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya : • Aspek sosial; • Aspek ekonomi; • Aspek manfaat; • Ketersediaan dana.

Prioritas Pembangunan Prasarana Budidaya

Untuk mendukung optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya maka dalam pembangunan prasarana budidaya harus dibuat skala prioritas pembangunan prasarana budidaya berdasarkan kebutuhan dan dana yang tersedia. Untuk menentukan skala prioritas maka prasarana budidaya dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) komponen bangunan yaitu : i. Bangunan pokok; ii. Bangunan pendukung; iii. Bangunan penunjang; iv. Bangunan pengaman;

v. Bangunan pelengkap.

1. Prasarana pokok adalah bangunan yang harus ada karena terkait langsung dalam proses produksi benih. Misalnya : kolam/bak induk, kolam/bak pemijahan, dll.

Prasana pendukung adalah bangunan yang keberadaannya mempermudah, mempercepat, dan memperkecil biaya proses pembenihan. Misalnya : kantor, jaringan jalan dan tempat parkir, laboratorium, dll.

2. Prasarana penunjang adalah : bangunan yang keberadaannya bersifat melengkapi dan tidak mempengaruhi proses perbenihan. Misalnya : Gedung pertemuan, fasilitas olahraga, dll.

Prasana Pengaman adalah : bangunan yang diperlukan untuk pengamanan fasilitas perbenihan.

Misalnya : pagar keliling/lingkungan , pos jaga, dll.

Prasana Pelengkap adalah : bangunan yang fungsinya melengkapi bangunan pendukung, bangunan penunjang dan bangunan pengaman sehingga bangunan perbenihan dimaksud beroperasi lebih optimal dan lebih berdaya guna.

Misalnya : rumah pompa, rumah genset, garasi kendaraan, dll.

Sehingga kedudukan prasarana dalam kegiatan budidaya perikanan yaitu : a. Merupakan unsur penunjang pokok yang sangat penting untuk mendukung

kegiatan budidaya perikanan; b. Direncanakan terakhir dari seluruh kegiatan budidaya; c. Dilaksanakan pertama kali dari keseluruhan kegiatan usaha budidaya. (2). Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lahan. Ketinggian tempat sedapat mungkin tidak lebih dari 700 m diatas permukaan laut, sedangkan kemiringan tanah yang ideal berkisar antara 1 – 5% (3). Tanah. Tanah yang baik untuk BBI adalah tanah dengan struktur yang kuat, dapat menahan air (tidak poreus), subur dan tidak berbatu-batu, teksturnya terdiri dari tanah liat dan liat berpasir (4). Sifat Fisika dan Kimia Air; Sifat fisika yang harus diperhatikan adalah : Suhu air optimal berkisar antara 250 – 300C; Kekeruhan air 25 – 100 JTU; Muatan suspensi 25 – 400 ppm; Kecerahan lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan.

Sifat kimia air yang harus diperhatikan adalah : PH air berkisar antara 4 – 9, optimum 6,7 – 8,0; Kadmium (Cd) maksimum 0,01 ppm; Timbal (Pb) maksimum 0,02 ppm; Sulfida (S) maksimum 0,002 ppm; Ammoniak bebas (NH3) maksimum 0,01 ppm; Nitrit (NO2) maksimum 0,2 ppm; Phosphat maksimum 0,01 ppm; Alkalinitas produktif 50 – 500 ppm; Oksigen terlarut (DO) diisyaratkan > 3 ppm

(5). Sistem Pengairan Untuk menjamin suplai air pada BBI secara kontinyu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan, maka diperlukan langkah-langkah lebih lanjut sebagai berikut : d. Sebaiknya air berasal dari sumber mata air, sumur artesis atau sumur bor yang

sepenuhnya dikuasai BBI. Debit air mineral 20 liter/ha/detik untuk kolam induk, pembenihan, pembesaran dan terpadu, sedangkan untuk kolam air deras sebesar 250 liter/detik/100 m2. Untuk meningkatkan kualitas air (temperatur dan oksigen terlarut) mengurangi adanya gas terlarut, dan mengurangi pengendapan lumpur, maka perlu dibuat filter biologis dengan menggunakan tanaman air (Hidrilla sp).

e. Terhadap BBI yang memperoleh suplai air dari sungai dan irigasi perlu perlakuan melalui sistem pengendapan dan filterisasi mekanik maupun biologis, utamanya untuk kolam-kolam pembenihan dan pendederan. Untuk itu perlu dilengkapi dengan bak pengendapan air dan bak-bak filter yang dapat berfungsi secara baik dengan luas minimal 10% dari luas kolam pendederan P1.

f. Untuk menjamin kontinuitas suplai air yang berasal dari irigasi khususnya pada saat perbaikan saluran, maka Dinas Perikanan Daerah seyogyanya mengadakan pendekatan dengan pihak pengairan untuk mencari jalan pemecahannya. Dalam hubungan ini disarankan agar Dinas Perikanan Daerah menjadi anggota Panitia Irigasi Daerah.

(6). Luas BBI Luas keseluruhan BBI Sentral minimal 5 Ha, sedangkan luas keseluruhan BBI Lokal minimal 2 Ha. 3.2. Perkolaman (1). Standar Perkolaman Jumlah kolam dan luas masing-masing kolam dalam BBI dperhitungkan seperti pada table 1 dan contoh tata letaknya dapat dilihat dalam lampiran 1 dan lampiran 2. Tabel 1. Jumlah dan luas minimal masing-masing kolam di BBI :

BBI Lokal BBI Sentral

No Macam Kolam Jumlah Luas (m2) Total Jumlah Luas

(m2) Total

1 Kolam induk betina Kolam induk betina

6 6

100 100

600 600

8 8

100 100

800 800

2 Kolam Pemijahan 4 20 80 6 20 120 3 Kolam Pendederan I

Kolam Pendederan II Kolam Pendederan III Kolam Pendederan IV

5 5 5 5

250 500 1000 1500

1250 2500 5000 7500

6 6 6 6

250 500 1000 1500

1500 3000 6000 9000

4 Kolam Pembesaran 2 100 200 4 100 400 5 Kolam calon induk 6 500 3000 6 1000 6000 6 Kolam makanan alami - - - 2 500 1000 Jumlah 40 20730 58 - 28620 (2). Konstruksi Kolam Kelandaian saluran yang baik adalah 0,5% dan pada pinggiran pematang dibuat peluncuran atau terjunan. Pada lampiran 18 dapat dilihat konstruksi saluran dan peluncuran. Saluran pembuangan haraus dihubungkan dengan jaringan drainase (selokan atau sungai) diluar komplek BBI harus dapat menyalurkan air buangan dengan lancar. Dasar saluran pembuangan minimal harus lebih rendah 25 cm dari dasar kolam dengan lebar 0,5 m. Setiap kolam harus dapat bebas memperoleh air langsung dari saluran pemasukan dan bebas pula melepaskan air kesaluran pembuangan. (3). Petunjuk Tata Air Sistem pengaturan air dengan bangunan-bangunan pengontrol air digambarkan dengan ikhtisar air pada lampiran 19. IV. SARANA BBI Sarana BBI yang disediakan dalam pedoman BBI ini diperhitungkan pada kebutuhan minimal operasional BBI dan merupakan paket pembenihan ian mas dan nila di BBI. Jumlah paket yang disediakan untuk operasional BBI dapat diminta sesuai dengan rencana kerja dan operasional tahunan BBI. Dengan demikian tiap BBI akan mempunyai dana operasional yang berbeda. 4.1. Bahan-bahan (1). Induk Ikan Induk ikan yang dimaksud dalam pedoman BBI adalah induk ikan mas dan nila dengan kriteria ikan mas dengan deskripsi yang jelas. Ditinjau dari mutu induk ikan tersebut mempunyai criteria sebagai berikut :

Karakter morfometrik dan genetic sesuai dengan varietasnya, meliputi : bentuk tubuh, warna, bentuk sisik, cepat pertumbuhannya, respon terhadap pakan buatan dan relatif tahan terhadap penyakit.

Deskripsi varietas jelas. Fekunditas ikan mas antara 80.000 – 120.000 butir/kg berat induk, dan untuk

ikan nila rata-rata 900 butir per 300 gram berat induk. Tidak cacat. Sehat, tidak berpenyakit. Gerakan normal. Ratio panjang berat sesuai dengan deskripsi varitasnya.

Jumlah induk yang dimiliki BBI didasarkan pada jumlah minimal induk yang

akan digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan jumlah induk minimal yang harus dimiliki oleh BBI :

Tabel 2. Jumlah minimal induk yang diperlukan BBI :

Induk Ikan (ekor) Keterangan Jenis Ikan Jantan Betina Ikan mas 100 100 1 : 1 Ikan nila 100 300 1 : 3 Keterangan :

• Berat rata-rata induk ikan mas betina ≥ 3 Kg • Berat rata-rata induk ikan mas jantan ≥ 1,5 kg • Berat rata-rata induk ikan nila betina = 0,3 – 0,4 kg • Barat rata-rata induk ikan nila jantan = 0,4 – 0,5 kg

(2). Bahan baku makanan ikan (pellet). Pengadaan pakan dapat dilakukan dengan membeli pakan komersial didaerah daerah dimana terdapat penyalur pakan. Pakan ikan (pellet) yang dimaksud adalah pakan dengan kandungan protein minimal 26% dan atau pakan induk dengan kandungan protein 30 – 40%. Selain hal tersebut pakan dapat juga disediakan dengan membuat formulasi tersendiri dengan bahan seperti tersebut dibawah ini :

g. Sumber protein, misalnya tepung ikan, cincangan bekicot, ampas tahu dan tepung banawa.

h. Sumber karbohidrat dan lemak, misalnya bekatul, dedak, singkong, bungkil kacang dan kedelai.

i. Sumber mineral misalnya: tepung tulang, darah dan cangkang kerang-kerangan.

j. Sumber serat, misalnya daun singkong, daun gamal dan daun petai cina. k. Sumber perekat, misalnya tepung kanji. l. Vitamin dan mineral.

Contoh formulasi pakan seperti tertera dalam lampiran 3. Bahan makanan (pellet) yang dibutuhkan berdasarkan ransum 3 – 5% berat ikan tiap hari adalah dirinci sebagai berikut : Pakan induk ikan mas = 600 kg Pakan induk ikan nila = 600 kg Pakan benih = 900 kg Total kebutuhan pakan adalah 2.100 kg per tahun.

(3). Pupuk Pupuk organic diperlukan untuk memperbaiki kesuburan dan struktur dasar kolam, berupa pupuk kotoran ayam, Pemberian pupuk anorganik tidak dianjurkan karena sering menyebabkan blooming algae. Kebutuhan pupuk organic di BBI adalah sebesar 250 – 500 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (4) Kapur Kapur tohor (CaO dipakai sebesar 50 – 100 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (5) Insektisida Insektisida sebanyak 2 liter per siklus. (6) Bahan Pereaksi Kimia/Tahun

i. Bahan pereaksi kimia dan obat-obatan + 1 kg KmnO4; j. Aceton/alcohol sebanyak 2 liter; k. Hormon buatan (Ovaprim) sebanyak 15 ampul, dan 17 alpha

methylestosteron 10 gram; l. Aquades + 20 liter; m. Antibiotik (tetramycine, kemicitine) 100 gram n. Metylane Blue 10 gram; o. Hormon HCg 500 IV p. Natrum Chlorida 90,9 %) sebagai pengencer sperma

4.2. Peralatan (1) Peralatan pembenihan yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam table 5. Tabel 3. Peralatan pembenihan di BBIS dan BBI No Peralatan BBI Sentral

Jumlah BBI Lokal Jumlah

1 Timbangan - kapasitas 1 kg 2 buah 1 buah

- kapasitas 10 kg 2 buah 1 buah - Kapasitas 50 kg 2 buah 1 buah 2 Mistar (Ukuran 50 cm) 4 buah 2 buah 3 Fish bus (krembeng) 2 buah 2 buah 4 Kreneng 2 buah 2 buah 5 Aerator/Hyblower 4 buah 2 buah 6 Kaca pembesar 2 buah 1 buah 7 Alat hypophisa 4 buah 2 buah - jarum suntik 2 buah 2 buah - centifuge 1 buah - - centrifuge elektrik 4 buah 2 buah - mortar homogenezer 4 buah 2 set - alat bedah 2 buah 2 buah - kain handuk 4 buah 2 buah - cawan porselin/email Secukupnya Secukupnya - pengaduk telur/bulu ayam Secukupnya Secukupnya - kelenjar hypophisa/hormon 4 set 2 set 8 Gelas ukur (5,10,25 cc) 1 buah 1 buah 9 Freezer 2 buah 2 buah 10 Thermos es 20 set 10 set 11 Happa (2x1x0,75 cm dan

2x4x0,75 cm) 20 buah 10 buah

12 Kakaban 50 buah 25buah 13 Corong penetas ( 0,5 m; t 0,5 m) 8 buah 4 buah 14 Pipet Secukupnya Secukupnya 15 Slang plastik 2 buah 2 buah 16 Counter 2 buah 2 set 17 Pisau bedah 2 buah 1 buah 18 Gergaji/bor 2 buah 1 buah 19 Aquarium (60 cm x 40 cm x 45

cm) Minimal 40 buah Minimal 40 buah

20 Kateter 10 buah 10 buah 21 Serok halus 5 buah 5 buah 22 Serok kasar 5 buah 5 buah (2) Peralatan perkolaman Peralatan perkolaman yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam lampiran 6. Tabel 4. Peralatan perkolaman di BBIS dan BBIL No Peralatan BBI Sentral

Jumlah BBI Lokal Jumlah

1 Cangkul 6 buah 5 buah 2 Sekop 6 buah 3 buah 3 Garpu 6 buah 3 buah

4 Bakul dan pikulan 4 set 2 set 5 Parang/Grobak 6 buah 3 buah 6 Ember 6 buah 3 buah 7 Traktor kecil/penggaruk 1 buah 1 buah 8 Waring 8 buah 6 buah 9 Geser 6 buah 4 buah 10 Cawan email 2 buah 1 buah 11 Sabit 3 buah 1 buah 12 Pakaian lapangan 20 set 10 set 13 Hapa pemijahan 2 set 1 set 14 Happa pematang gonad 2 set 1 set 15 Baskom 10 buah 10 buah (3). Peralatan distribusi benih/induk Peralatan distribusi benih/induk yang digunakan dalam kegiatan BBI diuraikan seperti dalam tabel 7. Tabel 5. Peralatan distribusi benih/induk :

No Peralatan BBI Sentral Jumlah

BBI Lokal Jumlah

1 Tabung oksigen (kap. 1 dan 2 m3) 2 buah 2 buah 2 Kantong plastik Secukupnya Secukupnya 3 Tali plastik dan karet Secukupnya Secukupnya 4 Kotak karton/stroform Secukupnya Secukupnya 5 Ember plastik tertutup 15 buah 10 buah 6 Fish bus (kreneng) - - 7 Aerator 15 buah 10 buah 8 Kendaraan roda 4 (pick-up 0,75 ton) 2 buah 1 buah 9 Buffer, es batu, dry ice secukupnya secukupnya (4). Peralatan lainnya Selain peralatan untuk kegiatan pembenihan, perkolaman dandistribusi benih/induk, diperlukan peralatan lain yang diuraikan dalam tabel 8. Tabel 6. Peralatan lainnya :

No Peralatan BBI Sentral Jumlah

BBI Lokal Jumlah

1 Pompa air diesel 10 PK 2 buah 1 buah 2 Hi-blow 3 buah 2 buah 3 Alat-alat pembuatan makanan ikan/pellet

: 2 buah 1 buah

- Kompor 2 buah 1 buah - Tapisan/saringan 2 buah 2 buah

- Ember 4 buah 2 buah - Nyiru 4 buah 1 buah - Timbangan 1kg, 50 kg 1 buah - - Mesin penggiling basah/berminyak 1 buah - - Mesin penyaring 1 buah - - Mesin pengaduk 1 buah 1 buah - Mesin pencetak pellet 1 buah 1 buah - Mesin peremah 1 buah 1 buah 4 Generator 10 KVA atau PLN 5.000 Watt - 1 buah 5 Generator 20 KVA atau PLN 10.000 Watt 1 buah - 6 Mesin potong rumput 2 buah 2 buah 7 Sepatu lapangan dan senter 8 setel 4 buah 8 Alat transport - Mobil pick up 1 buah 1 buah - Sepeda motor 3 buah 2 buah 9 Alat audiovisual 1 unit 2 unit 10 Buku Petunjuk Pelaksanaan - Jenis ikan dan gambarnya secukupnya Secukupnya - Teknik pembenihan ikan secukupnya Secukupnya - Perawatan benih/induk secukupnya Secukupnya - Pengangkutan dan distribusi secukupnya Secukupnya -Teknik perkolaman secukupnya Secukupnya - Pemupukan secukupnya Secukupnya - Pemberantasan hama secukupnya Secukupnya - Penyedian makanan hidup dan

makanan buatan secukupnya Secukupnya

11 Meja tulis, lemari, kursi, kardek, peta dsb secukupnya 12 Mesin tik manual 1 buah 1 buah 13 Komputer 2 buah 1 buah 4.3. Bangunan gedung Tabel 7. Bangunan gedung di BBIS dan BBIL

BBI LOkal BBI Sentral Luas (m2) Jumlah Luas (m2) Macam Bangunan Jumlah Satuan Jumlah Satuan Jumlah

- Kantor 1 50 50 1 75 75 - Garasi 1 20 20 1 40 40 - Gudang 1 15 15 1 30 30 - Rumah generator 1 9 9 1 9 9 - Rumah mesin pellet dan gudang makanan

1 30 30 1 50 50

- Rumah pimpinan 1 45 45 1 70 70 - Rumah staf 3 36 103 4 45 180 - Rumah pekerja tetap (Kopel)

6 36 216 6 36 216

- Rumah jaga 1 36 36 2 36 170 - Asrama 1 100 100 1 200 200

- Aula 1 100 100 1 100 100 Jumlah 18 477 724 20 691 1140

V. OPERASIONAL 5.1. Pengelolaan Induk 5.1.1. Ikan Mas Induk ikan betina dan pejantannya dipelihara dalam wadah secara terpisah. Induk-induk tersebut dipeliharadalam kolam air mengalir dengan debit air 1,5 liter air per 1.000 m2 luas kolam induk. Selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet dengan kandungan protein 26 – 30% dengan dosis 3 – 5% dari berat badan per hari yang diberikan 3 kali sehari. Kepadatan induk ikan dalam kolam adalah 1 kg/m2 luas kolam. Kondisi kimia – fisika ideal untuk pemeliharaan induk adalah sebagai berikut :

Suhu air : 25 – 320C PH : 6,5 – 8 DO : > 5ppm Ammoniak : < 1 ppm

5.1.2. Ikan Nila Kolam seluas 200 m2 dengan sistem air mengalir diperlukan untuk menyimpan induk ikan. Penyimpanan induk dilakukan dalam hapa berukuran 2 x 3 x 1,25 m3 yang ditempatkan dalam kolam seluas 200 m2 tersebut. Setiap hapa dapat menampung 30 ekor induk ikan betina atau 15 ekor ikan jantan. Dengan jumlah induk sebanyak 90 ekor betina dan 30 ekor jantan, diperlukan 5 buah hapa berukuran seperti tersebut diatas. Tiap hapa diberi tanda, misalnya hapa 1 untuk induk betina kelompok I, hapa 2 untuk induk betina kelompok II, hapa 3 untuk pejantan dan seterusnya. Penempatan hapa-hapa diupayakan sedemikian rupa sehingga induk ikan memperoleh air segar yang mengandung O2 jenuh. Selama pemeliharaan kolam diairi 24 jam terus-menerus, induk ikan diberi makan dengan pellet komersial 3%

dari berat biomas per hari, diberikan 3 kali dala sehari. Dengan cara ini induk betina akan matang telur setiap 1 bulan sekali. 5.2. Pemijahan 5.2.1. Pemijahan Ikan Mas c. Wadah Pemijahan

Induk ikan dipijahkan dalam wadah berupa bak tembok, atau hapa pemijahan berukuran 4x2x1 m3 atau tergantung fasilitas kolam pemijahan yang ada di BBI. Dalam kondisi normal, kepadatan induk dalam hapa/kolam pemijahan adalah 2 kg/m2. Dalam hapa seukuran tersebut dipijahkan 4 ekor induk ikan betina dengan berat rata-rata 2 kg per ekor. Kakaban dibuat dari ijuk berukuran panjang 100 cm dengan lebar 20 cm yang diletakkan dalam wadah pemijahan, sehingga jumlah kakaban setiap pemijahan adalah 30 buah. d. Proses pemijahan

Wadah pemijahan harus dijemur/dikeringkan terlebih dahulu. Pada wadah

pemijahan berupa kolam tanah, pengeringan dilakukan hingga dasar kolam retak-retak. Hapa kemudian dipasang tegak sehingga mampu menampung induk ikan yang akan dipijahkan. Setelah itu wadah pemijahan diairi hingga kedalaman air didalam hapa 80 – 100 cm.

Sebelum induk dimasukan kedalam wadah pemijahan, kakabandipasang

dalam wadah pemijahan. Pemasangan kakaban diusahakan sedemikian rupa sehingga kakaban tenggelam 5 cm dibawah permukaan air.

Menjelang sore hari induk betina dan jantan yang telah matang telur

dimasukan bersamaan kedalam wadah pemijahan. Padat tebar induk betina adalah 2 kg per m2 dalam wadah pemijahan, sehingga untuk wadah dengan luas 8 m2 diperlukan 4 ekor induk betina. Dengan perbandingan berat yang sama dengan induk betina, maka ikan jantan yang diperlukan adalah seberat 8 kg, dengan jumlah 8 ekor atau berat rata-rata per ekornya adlah 1 kg.

Selama pemijahan berlangsung air dibiarkan mengalir masuk kedalam kolam

dengan debit 2 liter/detik/200 m2 luas wadah pemijahan. Induk ikan yang telah memijah ditangkap untuk dikembalikan kekolam induk (kolam pematangan gonad).

c. Teknik Pemanenan Larva Telur menetas dalam waktu 48 – 72 jam, tergantung dari suhu air media. Sekitar 7 hari dalam bak penetasan telur, larva dipanen untuk didederkan lebih lanjut. Setelah telur pada kakaban menetas, kakaban diangkat dan larva dibiarkan pada bak/hapa pemijahan sampai kuning telurnya habis. Setelah 7 hari dalam hapa/bak pemijahan, larva dipanen dan didederkan lebih lanjut. Dengan asumsi bahwa setiap induk ikan menghasilkan 100.000 butir telur, maka telur yang dihasilkan dari 8 kg induk adalah 800.000 butir telur. Selanjutnya diasumsikan pula

bahwa tingkat penetasan telur adalah 50% sehingga telur yang menetas menjadi larva adalah 400.000 larva. 5.2.2. Pendederan Ikan Mas c. Wadah pendederan

Sebelum larva ditebar, kolam pendederan seluas 1.000 m2 ( 2 kolam) harus

dipersiapkan terlebih dahulu antara lain : kolam dikeringkan, pematang yang bocor diperbaiki, diberi kapur sebanyak 50 gram/m2 luas kolam dan untuk menumbuhkan pakan alami kolam perlu dipupuk dengan kotoran ayam dosis 250 gram per m2 luas kolam. Penebaran larva dilakukan setelah 2 – 3 hari sejak pengisian air. Benih lepas hapa ditebar dengan padat penebaran 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan air dialirkan dengan kolam pendederan I dialiri air dengan debet 1,5 ltr/detik/1.000 m2.

Pakan tambahan berbentuk tepung atau remahan pellet dengan kandungan protein 30% dan diberikan 10% dari total berat benih dengan frekuensi 3 kali sehari. Untuk menumbuhkan infusoria dan pakan phytoplankton lainnya, penyemprotan dengan insektisida jenis organophosphat dengan dosis 4 ppm dianjurkan.

Dengan lama pemeliharaan 21 hari, benih ikan dipanen untuk pendederan di

P2 (pendederan kedua). Tingkat kelulushidupan larva menjadi benih ditingkat P1 adalah 60%. Dengan demikian dari jumlah larva lepas hapa yang ditebar sebanyak 400.000 ekor akan dihasilkan benih sebanyak 240.000 ekor.

d. Pola produksi

Jumlah induk yang diperlukan untuk memproduksi benih minimal 32 kg induk

betina. Tiap pemijahan diperlukan 8 kg induk. Jadi terdapat 4 kelompok induk, dimana tiap kelompok berjumlah 8 kg. Pola produksi benih ikan sampai pendederan 1 (P1) seperti terlihat dalam tabel berikut: Bln I II III IV M 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 KLP I LI II LII III LIII IV LIV I LI II LII III LIII IV LIVPi BI BI BII BII BIII BIII BIV BIV BI BI BII BII BIII BIII Keterangan : Bln : Bulan L : Larva Kelompok Induk M : Minggu B : Benih Kelompok Induk KLP : Kelompok Induk P1 : Pendederan 1 Pada gambar terlihat pemijahan pertama dilakukan pada minggu pertama dengan kelompok induk I (KLP I), penetasan telurnya pada minggu II (M2) dan perawatan larva/pendederan I dilakukan pada minggu III dan IV (M# dan M4), sehingga panen dilakukan pada M4 dan I. Sementara itu pada bulan I, minggu III (M3), kelompok induk II sudah dipijahkan lagi sehingga induk dari kelompok II akan

dipanen pada minggu ke II bulan II. Untuk induk kelompok III benih dipanen pada M4 bulan I dan untuk induk kelompok IV benihnya dipanen pada M2 bulan III. Dengan memperkirakan kelompok induk I sudah matang gonad kembali dalam jangka waktu 2 bulan maka pada M1 bulan III, kelompok induk I sudah dipijahkan. Demikian seterusnya berlaku untuk kelompok induk II, III dan IV, sehingga dalam 1 tahun dapat diproduksi 23 siklus pemeijahan atau sekurang-kurangnya20 siklus pemijahan dan pemeliharaan larva. 5.2.3. Pemijahan Ikan Nila f. Wadah Pemijahan

Pemijahan dilakukan dalam kolam tanah seluas 400 m2 yang mempunyai

sistem pemasukan dan pengeluaran air sistem monik. Ditengah kolam dipasang hapa pemijahan ukuran 4 x 8 x 1 m3 .

g. Persiapan Pemijahan

Sebelum digunakan kolam pemijahan dikeringkan terlebih dahulu dengan tujuan selain membunuh bibit penyakit juga untuk memberikan rangsangan pada ikan untuk memijah. Setelah dasar kolam cukup kering ditandai dengan permukaannya yang retak-retak, air dialirkan kedalam kolam perlahan-lahan sampai ketinggian lebih kurang 80 cm, selanjutnya induk ikan betina (kelompok induk I) dan pejantan (kelompok pejantan I) dimasukan kedalam hapa pemijahan dengan jumlah masing-masing 30 ekor induk betina dan 15 ekor induk jantan.

h. Proses Pemijahan

Selang beberapa hari setelah induk betina dan jantannya dimasukan,

sebagian ikan akan memijah. Diperkirakan sebanyak 60% induk betina atau 20 ekor akan memijah dalam hapa pemijahan.

i. Pemanenan Benih

12 hari setelah induk-induk ikan dimasukan kedalam kolam pemijahan, benih

ikan/larva ikan dapat dipanen dengan cara mengangkat hapa pemijahan sehingga induk dan benih ikan akan tertangkap. Produksi benih dari pemijahan ini diperkirakan 26.000 ekor larva persiklus (12 hari).

j. Proses Pejantanan Benih Ikan

Siapkan 5 liter air bersih yang dimasukan kedalam ember beraerasi. Masukan benih ikan yang baru ditangkap tersebut, lalu masukan serbuk hormone 17 alpha methyl testoeteron sebanyak 5 miligram kedalam 5 liter air di ember. Biarkan selama 6 – 10 jam agar proses sex reversal berlangsung. Dengan cara ini diharapkan benih ikan nila menjadi jantan semua.

5.2.4. Pendederan Ikan Nila c. Wadah

Wadah pendederan ikan niladapat dilakukan dikolam. Luas kolam

pendederan sekurang-kurangnya 500 m2, dengan rata-rata padat tebar benih 30 ekor per m2. Kolam tidak porus, dilengkapi dengan pintu pemasukan air dan pintu pengeluaran air berhadapan, artinya tidak dipasang pada satu garis pematang yang sama. Kolam mini harus mampu menampung air hingga kedalaman 60 cm, sehingga tinggi kolam yang dibuat/rehab sekitar 80 cm. d. Kegiatan Pendederan

Kegiatan pendederan ikan nila dilakukan dikolam dengan tahapan

kegiatan sebagai berikut :

Persiapan kolam : Kolam dikeringkan hingga dasar kolam retak-retak, pematang diperbaiki, lumpur dasar kolam dikeduk teplok dan diangkat ke pematang. Kemalir/saluran air diagonal diperbaiki. Kolamselanjutnya diberi kapur sebanyak 50 gr/m2 dan diberi pupuk kotoran ayam (organik) sebanyak 250 gr/m2. Setelah kolam dikapur dengan kapur tohor dan dipupuk, air dimasukan perlahan-lahan setinggi 20 cm kemudian kolam dibiarkan 2 hari tergenang untuk memberi kesempatan pakan alami tumbuh. Setelah atu air dinaikan lagi hingga air didalam kolam mencapai ketinggian 60 cm. Pengisia air dilakukan secara hati-hati agar sampah tidak masuk kedalam kolam, sehubungan dengan hal itu pada saluran pemasukan harus dipasang saringan kasa.

Penebaran benih : Benih berumur 30 hari ditebarkan dengan kepadatan 30 ekor per m2. Untuk mencegah kematian benih massal, penebaran dilakukan pada udara sejuk yaitu pada pagi atau sore hari. Benih ditebar dengan mengadaptasikannya terlebih dulu. Caranya adalah memasukan air kolam sedikit demi sedikit sehingga tercapai keseimbangan suhu air antara air dalam wadah transportasi dengan air kolam. Jika air diperkirakan telah mempunyai suhu yang sama maka benih ikan dapat ditebar kedalam kolam.

Pemeliharaan benih : Setiap hari benih ikan diberi pakan tambahan berupa pakan buatan berbentuk tepung, dengan kandungan protein lebih kurang 30%. Jumlah pemberian pakan sebanyak 10% perharinya yang diberikan 3 kali sehari. Pengawasan terhadap

air dan lingkungan perkolaman senantiasa diperhatikan setiap harinya. Air harus dijaga agar tetap mengalir dan pematang yang bocor diperbaiki.

Pemanenan Benih : Setelah berumur satu bulan pemeliharaan, benih sudah dapat dipanen. Adapun cara pemanenannya adalah kolam disurutkan airnya secara perlahan-lahan, tetapi air tetap dibiarkan mengalir perlahan-lahan agar ikan mudah ditangkap sebab ikan akan menyongsong air baru. Penangkapan ikan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan waring dan seser. Benih ikan yang sudah ditangkap ditampung dalam wadah/hapa penampung benih yang ditempatan pada kolam ikan yang berair bersih dan mengalir. Seleksi benih dilakukan berdasarkan ukuran benih tertentu. Benih yang diperoleh dari hasil pendederan biasanya berukuran 3 – 5 cm dengan derajat kelangsungan hidup lebih kurang 90%, akan dihasilkan benih ikan untuk setiap 500 m2 luas kolam sebanyak 13.500 ekor.

5.2.5. Contoh Komposisi Makanan c. Remah untuk benih ikan Mas :

dedak halus 35% tepung ikan 25% tepung kedelai 27% tepung daun 10% vitamin dan mineral 3%

d. Pellet untuk ikan Mas ukuran konsumsi dan induk :

dedak halus 30% tepung ikan 23% tepung kedelai 5% tepung tulang 5% silase ikan 10% tepung daun 10% bungkil kelapa 5% vitamin dan mineral 3%

c. Makanan untuk ikan Tawes :

tepung daun (petai cina) 30% tepung ikan 15% tepung kedelai 10% tepung jagung 5% bungkil kelapa 5% silase ikan 10% dedak halus 23% vitamin dan mineral 2%

5.2.6. Contoh Rencana Kerja BBI A. Alternatif tanrget produksi benih (ribuan ekor) tahun 20....

Jenis Tahun 20.... Triwulan I 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

Triwulan II dst Keterangan

Disesuaikan Dengan ke- Butuhan Nyata di daerah

B. Target produksi induk (ekor/kg) tahun 20... (khusus BBI Sentral)

Tahun 20... Triwulan I Betina Jantan Jumlah Betina Jantan Jumlah Jenis ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg ekor kg

Triwulan II dst Keterangan

Disesuaikan dengan keperluan semua BBI lokal dan UPR

C. Rencana Distribusi Benih, Tahun 20...

Distribusi

No Jenis Ukuran Jumlah (1000 ekor)

Maksud Penggunaan

Daerah Tujuan

Keterangan

1 Mas 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

Diisesuaikan dengan keperluan perairan umum, bantuan proyek gizi, bantuan daerah transmigrasi, dsb

2 Tawes 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

dst dst dst dst dst D. Rencana Distribusi Calon Induk dan Induk, Tahun 20...

No Jenis Ukuran Jumlah (1000 ekor) Distribusi Keterangan

Maksud Penggunaan

Daerah Tujuan

1 Mas 1.calon induk 2.induk

Diisesuaikan dengan keperluan BBI Lokal dan UPR

2 Tawes 1.calon induk 2.induk

dst dst dst dst dst

E. Rencana Pembenihan Triwulan ke : .................................. Kg

Jenis Bulan ekor kg ekor kg frequensi

Dan seterus-nya

Keterangan

Diperkirakan Dapat meghasilkan benih sesuai target

F. Rencana Kerja Bulan ........./ 20.....

Tanggal No Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 dst Keterangan

1 Produksi Benih o persiapan kolam o pemijahan o pembiakan induk o pemijahan o penetasan/perawatan induk o pendederan I o pendederan II o pendederan III o pendederan IV o pendederan V o pemungutan hasil

Diberi kode sikluspembenihan dan nomor kolam

2 Produksi Induk o pendederan benih o seleksi I o seleksi II

o seleksi III o seleksi IV o pemeliharaan calon induk terpilih

3 Perkolaman o pengeringan/perawatan o pengolahan dasar kolam o pemupukan o pemberantasan hama/penyakit o babat rumput o pengisian air o dst

Tiap kolam diberi nomor dan dibuatkan catatan khusus

Pekerjaan mengatur air, perbaikan cocoran kecil dsb adalah pekerjaan rutin (tanpa perencanaan khusus

4 Penyaluran Benih o persiapan o pengepakan o pengiriman o dst

5 Pembuatan pellet o pengumpulan bahan- bahan o penepungan o pembuatan pellet o penjemuran o dst

6 Perawatan Mesin dan Kendaraan o servis genset o servis mesin pellet o servis kendaraan o KIR kendaraan o STNK o dst

G. Rencana Pembenihan Triwulan ke : .................................. Kg

Jenis Bulan ekor kg ekor kg frequensi

Dan seterus-nya

Keterangan

Diperkirakan Dapat meghasilkan benih sesuai target

H. Rencana Kerja Bulan ........./ 20.....

Tanggal No Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 dst Keterangan

1 Produksi Benih o persiapan kolam o pemijahan o pembiakan induk o pemijahan o penetasan/perawatan induk o pendederan I o pendederan II o pendederan III o pendederan IV o pendederan V o pemungutan hasil

Diberi kode sikluspembenihan dan nomor kolam

2 Produksi Induk o pendederan benih o seleksi I o seleksi II o seleksi III o seleksi IV o pemeliharaan calon induk terpilih

3 Perkolaman o pengeringan/perawatan o pengolahan dasar kolam o pemupukan o pemberantasan hama/penyakit o babat rumput o pengisian air o dst

Tiap kolam diberi nomor dan dibuatkan catatan khusus

Pekerjaan mengatur air, perbaikan cocoran kecil dsb adalah pekerjaan rutin (tanpa perencanaan khusus

4 Penyaluran Benih o persiapan o pengepakan o pengiriman o dst

5 Pembuatan pellet o pengumpulan bahan- bahan o penepungan o pembuatan pellet o penjemuran o dst

6 Perawatan Mesin dan

Kendaraan o servis genset o servis mesin pellet o servis kendaraan o KIR kendaraan o STNK o dst

Lampiran 3 : Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor : 1106/DPB.0/HK.150/XII/2006

STANDAR SARANA, FASILITAS FISIK DAN OPERASIONAL BALAI BUDIDAYA UDANG (BBU), BALAI BUDIDAYA UDANG GALAH

(BBUG) DAN BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP)

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN

J A K A R T A 2006

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................ 1 1.2. Maksud dan Tujuan ........................................................... 2 II. PEDOMAN KERJA ........................................................... 2 2.1. Perencanaan ........................................................... 4 2.2. Penetapan Kapasitas produksi ...................................... 4 III. PERSYARATAN LOKASI ........................................................... 9

3.1. Kriteria Teknis ............................................................ 9 3.2. Kriteria Non Teknis ............................................................ 9

IV. FASILITAS BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP) ......................... 12

4.1. Lahan dan Bangunan ........................................................ 12 4.2. Peralatan dan Mesin ....................................................... 13 4.3. Tata Letak ....................................................... 14

V. PEDOMAN TEKNIK PEMBENIHAN ............................................ 16 5.1. Pedoman Teknik Pembenihan Udang Windu ...................... 16 5.2. Pedoman Teknik Pembenihan Ikan Bandeng ...................... 23 LAMPIRAN - LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah lahan perairan laut yang sangat luas mencakup lebih dari 70 % total wilayah. Wajar apabila harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditumpukan pada kemampuan pemanfaatan sumber daya alam laut terutama sumber daya ikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan melalui perikanan tangkap telah menunjukkan ambang batas jenuh, kecuali melalui sistem pengelolaan yang optimal. Di lain pihak kebutuhan ikan sebagai sumber protein dunia menunjukkan peningkatan dan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 105 - 110 juta ton yang tidak mungkin dapat dipenuhi hanya dari hasil perikanan tangkap.

Kecenderungan menunjukkan bahwa perikanan budidaya dapat menjadi alternatif penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan dunia yang sekaligus juga mampu menciptakan lapangan kerja baru dan menghasilkan devisa yang nyata. Permintaan negara-negara maju terhadap “healthy and luxury seafood” seperti ikan kerapu, kakap, teripang, rumput laut dan juga mutiara (“ornament product”) yang terus meningkat merupakan prospek cerah dan sekaligus menjadi tantangan bagi pengembangan usaha budidaya laut di Indonesia. Potensi lahan perairan laut yang mencapai 1.706.000 hektar, masih cukup besar bagi pengembangan usaha budidaya laut .

Penguasaan teknologi budidaya laut di Indonesia baru dirintis sejak tahun 1990, dan hingga saat ini telah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Berbagai jenis komoditi yang berhasil dibudidayakan diantaranya adalah udang windu, udang vanamei, udang galah, ikan bandeng, kakap putih, beberapa jenis kerapu, kekerangan termasuk tiram mutiara, teripang, kuda laut serta rumput laut. Namun demikian diseminasi teknologi ini ke daerah-daerah potensial belum terlaksana dengan baik. Diseminasi teknologi budidaya akan terlaksana dengan baik bila daerah tersebut memiliki fasilitas perbenihan. Keberadaan fasilitas pembenihan selain dimaksudkan sebagai tempat penyedia benih, juga akan mendorong berkembangnya usaha perbenihan dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi benih didaerah. Saat ini sebagai unit pembenihan milik pemerintah dibidang perbenihan budidaya air payau/laut adalah Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP). Pembangunan Balai Benih Ikan Pantai di daerah tidak hanya akan memberikan kontribusi pemasokan benih, tetapi juga akan menjadi pendorong berkembangnya kawasan baru usaha budidaya serta mampu menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah yang nyata.

Sebagai sarana pemerintah balai-balai benih tersebut melaksanakan kegiatan sebagai berikut : 1. Menjamin ketersediaan benih ikan budidaya pantai terutama benur baik

benurudang windu, udang galah dan udang vanamei yang memadai dalam rangka intensifikasi dan diversifikasi usaha budidaya tambak sekaligus meningkatkan pendapatan petambak.

2. Sebagai tempat melaksanakan adaptasi teknologi pembenihan budidaya pantai yang aktual.

3. Penyaluran benih ikan air payau/laut yang merata diwilayah potensial budidaya air payau/laut

Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, bahwa usaha budidaya

udang windu sedang mengalami kelesuhan yang mengakibatkan permintaan benih udang windu menurun dengan tajam, sehingga banyak unit-unit perbenihan baik pemerintah maupun swasta tidak mampu berproduksi lagi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu diambil kebijaksanaan untuk mengembangkan jenis-jenis ikan laut yang memiliki nilai ekonomis penting dan diunggulkan. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa BBU/BBUG tidak hanya digunakan bagi kegiatan pembenihan udang windu dan udang galah saja, tetapi dapat digunakan untuk pembenihan ikan budidaya pantai seperti bandeng, kakap, kerapu atau komoditas lainnya. Dengan demikian sudah selayaknya sarana dan prasarana BBU/BBUG dipersiapkan untuk dapat mendukung kebijaksanaan dan program perbenihan dimasa mendatang dengan memanfaatkan BBU/BBUG menjadi Balai Budidaya Ikan Pantai. Artinya Balai Benih Ikan Pantai sebagai unit pelaksana teknis pemerintahan daerah yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tidak terbatas pada pengembangan benih komoditas udang windu dan udang galah, melainkan ikut menjamin ketersediaan benih ikan atau komoditas budidaya air payau/laut dan unggulan lainnya serta pendistribusiannya sampai kepada adaptasi teknologi perbenihannya ditingkat pembudidaya.

1.2. Maksud dan Tujuan

Buku Pedoman Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) adalah dimaksudkan untuk menyeragamkan kelengkapan fasilitas fisik dan operasional dalam rangka mempersiapkan keberadaan BBU/BBUG sebagai Balai Benih Ikan Pantai, baik dalam struktur, lingkup organisasi maupunstatus dan pola operasionalnya. Sehingga BBIP mampu melaksanakan fungsi dan tugas pokok yang telah ditetapkan sesuai dengan Pedoman yang telah ditetapkan. Oleh karena itu BBU/BBUG dan BBIP yang

beroperasional sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah dibidang perbenihan perikanan pantai, maka dalamperkembangannya perlu dilengkapi dengan :

a. Komponen Teknis

Penerapan teknologi pembenihan udang windu, udang galah dan ikan/komoditas laut lainnya yang lebih maju sesuai dengan komoditas laut lainnya yang lebih maju sesuai dengan komoditas yang berkembang didaerah/wilayah kerjanya pada saat itu.

Penekanan mortalitas terutama pada stadia larva. Sistem pemeliharaan larva pada stadia lebih lanjut dan mampu menampung hasil pemijahan pada frekuensi tinggi, serta dapat menghasilkan benur dan larva sesuai dengankebutuhan dalam jumlah dan ukuran yang diperlukan.

Penyediaan telur, benih udang dan ikan budidaya pantai yang unggul, sehat serta bebas hama bagi kepentingan pembenihan skala rumah tangga/pembenihan rakyat.

b. Sarana Operasional

Penyebaran jenis udang dan ikan budidaya pantai komoditas spesifik yang berkembang diwilayah kerjanya.

Peningkatan produktifitas dengan alih teknologi hasil rekayasa teknologi perbenihan dari UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya.

Kelengkapan sarana sebagai lembaga sertifikasi mutu dan sertifikasi uji laboratorium.

Keadaan lingkungan dan tingkat kemajuan budidaya pantai (budidaya di

tambak dan budidaya laut) dimasing-masing daerah diseluruh Indionesia tidak selalu sama, sehingga tuntutan terhadap Balai Benih Ikan Pantai dimasing-masing daerah juga berbeda. Oleh karena itu penerapan standar unit perbenihan ikan tersebut diharapkan dapat disesuaikan tanpa merubah prinsip dan pedoman yang telah digariskan.

BAB II

PEDOMAN KERJA

2.1. Perencanaan Rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai, disusun menurut kegiatan dan jadwal

yang disesuaikan dengan rencana produksi, distribusi dan penyaluran benih ikan yang tepat waktu. Penjadwalan yang menyangkut kegiatan produksi benih, distribusi dan penyaluran benih serta bimbingan teknis pada hakekatnya merupakan rangkaian kegiatan yang dirinci kedalam uraian pelaksanaan tugas bagi setiap petugas yang harus dilaksanakan. Kegiatan produksi benih, distribusi dan penyaluran benih, bimbingan teknis harus diwujudkan dalam satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satusama lain yang tertuang dalam perencanaan. Dengan demikian, penjadwalan dan rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai harus berpedoman kepada rencana operasional.

Penjadwalan dan rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai dapat berbentuk daftar atau ikhtisar kegiatan yang diperuntukkan untuk jangka pendek (bulanan dan tahunan) atau jangka menengah (triwulan atau semester). Setiap jadwal dan rencana kerja merupakan rincian kegiatan penjabaran dari rencana kerja jangka waktu menengah, dan terbagi habis kedalam rincian kegiatan tahunan dan bulanan. Rincian kegiatan itu, dapat digolongkan seperti dibawah :

a. Kegiatan Bulanan merupakan uraian pelaksanaan tugas bagi pejabat struktural

dan fungsional yang terdapat dalam lingkup struktur organisasi Balai Benih Ikan Pantai seperti contoh pada lampiran.

b. Kegiatan Tahunan merupakan kegiatan yang menyangkut rencana berupa target dan pencapaian perencanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam rencana operasionaltugas pokok dan fungsi Balai Benih Ikan Pantai seperti contoh pada lampiran.

2.2. Penetapan Kapasitas Produksi Benih

Perencanaan kapasitas produksi benih diperlukan dalam pembangunan suatu unit perbenihan. Perumusan kapasitas produksi benih merupakan rancangan usaha dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik dalam rangka pemenuhan permintaan benih yang menjadi beban tugas di masing-masing unit pembenihan di wilayah kerjanya maupun merupakan salah satu bentu tanggung jawab operasioan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Balai Benih Ikan Pantai. Sehingga dengan menentukan kapasitas produksi benih, maka dapat ditentukan target produksi benih yang diinginkan sesuai dengan kemampuan fisik suatu unit balai benih. Berikut ini diuraikan masing-masing pedoman penetapan kapasitas produksi benih Udang Windu dan ikan bersirip (Bandeng, Kakap Putih dll).

2.2.1. Penetapan Kapasitas Produksi Benih Udang Windu

Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan harus disesuaikan dengan pencapaian potensi/target produksi benih tertentu yang kemudian akan menentukan ukuran unit pembenihan. Kapasitasnya berdasarkan atas perkiraan rasio antara bak untu menghasilkan pakan alami, bak pemeliharaan larva maupun bak induk. Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang dibutuhkan yang didasarkan atas jumlah induk yang dipijahkan.

Berdasarkan teknik pemijahan udang windu yang telah dilakukan, baik mulai

dari UPT Pusat Ditjen Perikanan, panti-panti benih swasta dan penti benih milik masyarakat, maka dalam merencanakan produksi nauplii dan benur dapat diperkirakan kebutuhan bak-bak dengan asumsi sebagai berikut:

Setiap induk udang windu dapat dipijahkan 2 kali atau lebih melalui seleksi dan pengawasan yang ketat;

Untuk memelihara nauplii hingga siap ditebarkan ketambak dibutuhkan waktu + 21(dua puluh satu) hari;

Dalam 1 tahun unit pembenihan udang windu dapat melakukan pemeliharaan 8 (delapan) siklus.

Dari keseluruhan induk yang matang telur diasumsikan yang bertelur sebanyak 80 %.

Dari 1 ekor induk betina dalam 1 (satu) siklus pemijahan dapat dihasilkan + 500.000 nauplii.

Padat tebar nauplii 75 – 150 ekor per liter air. Survival Rate (SR) sebesar 30 %.

Sehingga dengan demikian produksi nauplii dapat diperkirakan sebagai

berikut :

Bak perkawinan induk sebesar 6 x 6 x 0,75 m sebanyak 4 unit; Induk yang dibutuhkan 576 ekor (padat tebar 4 ekor/m2); Perbandingan jantan dan betina 2 : 3; Induk betina yang dibutuhkan 345 ekor; Nauplii yang dihasilkan dapat diperkirakan sebesar 172,5 juta. Jumlah bak larva yang dimiliki 12 unit @ 10 ton; Jumlah nauplii yang dapat dipelihara dalam satu siklus sebesar 18 juta ekor,

sedang sisanya dapat digunakan untuk memenuhi permintaan + 25 HSRT dengan perkiraan per unit HSRT memiliki bak pemeliharaan larva 40 ton.

Produksi PL yang dapat dihasilkan diperkirakan 5,4 juta PL 12 per siklus, atau dalam 1 tahun diperkirakan dapat menghasilkan 65 juta PL 12. 2.2.2. Penetapan Kapasitas Produksi Benih Ikan Bersirip (Bandeng, Kakap Putih, dan lainnya)

Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan harus disesuaikan dengan pencapaian potensi/target produksi benih tertentu yang kemudian akan menentukan ukuran unit pembenihan. Kapasitasnya berdasarkan atas perkiraan rasio antara bak untuk menghasilkan pakan alami, bak pemeliharaan

larva maupun bak induk. Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang dibutuhkan yang didasarkan atas jumlah induk yang dipijahkan.

A. Bandeng

Secara teknis, pemijahan ikan bandeng telah dilakukan di UPT maupun

UPTD Ditjen Perikanan Budidaya, Balai Penelitian Perikanan Pantai Gondol Bali maupun pembenihan lengkap milik masyarakat. Kebutuhan fasilitas pembenihan ikan bandeng diasumsikan sebagai berikut :

Setiap induk bandeng dipijahkan 8 (delapan) kali; Dalam pemeliharaan larva nener, siap ditebarkan ke pendederan dibutuhkan

waktu + 20 hari; Selama 1 tahun pembenihanbandeng dapat dilakukan 8 (delapan) siklus; Jumlah induk dalam 1 bak ukuran 300 M3 adalah 50 ekor (25 ekor jantan dan 25

ekor betina); Dari 25 ekor induk betina, 80 % dapat memijah atau 20 ekor; Diperkirakan 1 ekor induk betina menghasilkan telur sejumlah 5 juta telur; Telur yang dihasilkan dalam 1 siklus : 20 ekor x 5 juta telur = 100 juta telur; Jumlah bak larva yang dimiliki 10 buah @ 5 ton; Padat tebar telur 30 telur per liter; Telur yang dapat dipelihara menjadi larva 50 ton x 1.000 x 30 telur = 1,5 juta

telur; Sisa telur dapat dimanfaatkan oleh 197 HSRT, dengan perkiraan setiap unit

HSRT memiliki bak pemeliharaan larva sebesar 20 ton; Tingkat penetasan (Hatching Rate) 80 %. Telur yang menetas 80% x 1,5 juta telur = 1,2 juta ekor nener; Survival Rate nener sampai pendederan 20 % Produksi nener yang dihasilkan 20% x 1,2 juta = 240.000 ekor nener.

B. Kakap Putih

Berdasarkan teknik pemijahan yang pernah dilakukan dalam memproduksi benih kakap putih di UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya, maka perkiraan-perkiraan berikut dapat digunakan dalam merencanakan kapasitas produksi benih, selanjutnya dipergunakan untuk memperkirakan kebutuhan bak-bak yang diperlukan. Asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam penghitungannya adalah sebagai berikut :

♣ Induk kakap putih dalam lingkungan panti benih memijah secara bulanan untuk

jangka waktu 8 bulan dalam 1 tahun (1 tahun 8 siklus); ♣ Tingkat kehidupan larva dari umur 1 – 45 hari adalah 15 %; ♣ Tingkat produksi larva umur 45 hari (D-45) pada bak pemeliharaan larva adalah 3

ekor/liter; ♣ Waktu pemeliharaan larva adalah 45 hari. Satu bak pemeliharaan larva hanya

dapat dipakai 4 kali selama musim pemijahan, karena ikan memijah secara

bulanan/siklus, maka harus mempunyai 2 unit bak pemeliharaan larva untuk melayani produksi benih secara bulanan/siklus;

♣ Kapasitas bak untuk kultur pakan alami adalah sama seperti bak pemeliharaan larva. Perbandingan antara bak kultur algae dan bak kultur rotifer adalah 2 : 1.

Berikut sebagi contoh perkiraan kapasitas produksi benih (asumsi

menghasilkan D-45) beserta kapasitas bak yang dibutuhkan untuk kegiatan pemijahan, pemeliharaan larva dan kultur pakan alami untuk kakap putih sebagai berikut : ♦ Perkiraan produksi benih yang

dapat dihasilkan per tahun : 2.000.000 ekor umur 45 hari (D-

45) ♦ Musim pemijahan : 8 siklus dalam setahun ♦ Target produksi per-siklus : 2.000.000/8 = 250.000 ekor ♦ Padat tebar benih : 3 ekor/ltr atau 3.000 ekor/ton ♦ Kebutuhan bak larva per-siklus : 250.000/3.000 ekor/ton ♦ Waktu pemeliharaan : 45 hari ♦ Kapasitas total bak larva produksi

bulanan/siklus : 84 ton x 2 = 168 ton

♦ Kebutuhan bak kultur pakan alami : 168 ton ♦ Perbandingan bak kultur algae dan

rotifer 2 : 1 : 112 : 56 ton (112 ton algae, 56 ton

rotifer ♦ Jumlah total larva baru menetas

yang dibutuhkan : 2.000.000/15% SR = 14.000.000

larva ♦ Rata-rata tingkat penetasan (HR) : 70 % ♦ Jumlah telur yang dibutuhkan : 14.000.000/70%= 20.000.000 telur ♦ Rata-rata telur per induk : 1 juta telur (fekunditas 1,5 – 3,5

juta telur/16 kg ♦ Jumlah induk betina yang

dibutuhkan : 20.000.000/1.000.000 = 20 induk

betina ♦ Ratio sex betina dan jantan : 1 : 1 ♦ Jumlah induk jantan yang

dibutuhkan : 20 ekor

♦ Tingkat penebaran induk : 1 ekor induk per 5 ton air ♦ Kebutuhan bak induk : 40 ekor x 5 ton = 200 ton

Rincian untuk standar bak, kebutuhan dan bentuk selanjutnya dijelaskan pada Bab 4.

BAB III

PERSYARATAN LOKASI

3.1. Kriteria Teknis a. Lokasi Balai Benih Ikan Pantai harus terletak pada daerah terlindung, bebas

banjir serta ombak yang kuat. Lokasi tersebut juga harus terdiri dari tanah yang padat/kompak. Karena akan dibangun bak-bak pemeliharaan larva yang bertonase cukup besar, maka tanah dasar harus dipilih yang cukup stabil misalnya menghindari bekas timbunan sampah, agar kekuatan bak terjamin.

b. Lokasi berada didaerah pantai dimana suhu udara cukup tinggi, sehingga suhu air pemeliharaan dapat mencapai kisaran 26o – 33 o C. Pada kisaran suhu tersebut akan sangat mendukung keberhasilan usaha pemeliharaan larva.

c. Sumber air laut yang dipergunakan untuk pembenihan harus bersih dan jernih sepanjang tahun tidak tercemar baik limbah industri, limbah pertaniaan maupun limbah rumah tangga. Perubahan salinitas sebaiknya relatif kecil. Jumlah dan kualitas air laut yang digunakan harus cukup dan memenuhi persyaratan teknis kimia/fisika sebagai berikut :

Ψ Salinitas/kadar garam : 28 – 35 ppt Ψ pH : 7,8 – 8,3 Ψ Alkalinitas : 33 – 60 ppm Ψ Bahan organik : < 10 ppm Ψ Suhu : 28 – 30 o C Ψ Amoniak : < 2 ppm Ψ Nitrit : < 1 ppm Ψ Kecerahan : maksimum (cahaya matahari

sampai kedasar pelataran) d. Sumber air tawar yang dibutuhkan untuk menurunkan salinitas air laut yang

diperlukan sesuai kebutuhan, selain itu air tawar juga digunakan untuk mencuci bak dan peralatan pembenihan lain.

3.2. Kriteria Non Teknis

BBU/BBUG sebagai unit perbenihan ikan pantai disamping harus memnuhi

persyaratan sesuai kriteria teknis seperti tersebut diatas, perlu memenuhi kriteria non teknis sebagai berikut :

a. Daerah pengembangan budidaya pantai

BBU/BBUG sebagai Balai Benih Ikan Pantai idealnya berlokasi didaerah sentra produksi benih dan didukung oleh akses kedaerah pengembangan budidaya tambak atau budidaya laut. Kapasitas produksi unit perbenihan budidaya pantai tersebut adalah seperti telah diuraikan pada Bab II.

b. Pemasaran

Seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa Tupoksi BBU?BBUG sebagai unit pembenihan ikan pantai selain menjamin ketersediaan benih dan penyaluran benih ikan pantai, maka tugas dan fungsi unit perbenihantersebut adalah juga menjamin ketersediaan benih ikan budidaya pantai serta penyalurannya, disamping tetap sebagai tempat pelaksanaan adaptasi dan perekayasaan teknologi perbenihan pantai diwilayah masing-masing. Oleh karena itu output yang diusahakan oleh unit perbenihan budidaya pantai tersebut memang dibutuhkan oleh masyarakat baik jumlah maupun jenis komoditasnya, dan mempunyai nilai ekonomis penting.

c. Prasarana dan saran pengangkutan

Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan dan dihasilkan oleh BBU/BBUG sebagai unit perbenihan ikan pantai. Disamping itu unit perbenihan tersebut tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan seperti kegiatan budidaya ikan dan pasar benih. Disamping itu adanya sarana pengangkutan sendiri agar segala keperluan dapat segera dikerjakan tanpa menunggu pihak lain.

d. Prasarana dan sarana komunikasi

Mengingat perkembangan pembangunan terutama dibidang komunikasi akhir-akhir ini cukup pesat, maka sudah selayaknya suatu unit perbenihan ikan pantai milik pemerintah ini juga dilengkapi dengan sarana komunikasi seperti telepon dan faxcimili.

e. Sumber listrik

Suatu usaha perbenihan tidak dapat dioperasikan tanpa tenaga listrik, maka listrik sangat penting sebagai sumber tenaga untuk menjalankan peralatan pembenihan seperti blower, pompa air dan sistem penunjang lainnya. Pemasangan generator mutlak diperlukan terutama untuk daerah yang sering terjadi pemadaman aliran listrik.

f. Perkembangan kota dan industri

Lokasi unit pembenihan ikan pantai tidak terkena oleh pemekaran kota atau pengaruh yang kurang baik dari industri dalam jangka waktu minimal 10 tahun.

g. Luas lahan

Luas lahan keseluruhan unit pembenihan ikan pantai minimal 5 Ha (hektar persegi), mengingat komoditas yang ditangani paling tidak terdapat 3 jenis yaitu udang windu, bandeng dan kakap putih atau komoditas ikan bersirip lainnya maka sarana, bak-bak pemijahan, pemeliharaan larva, pemeliharaan induk serta sarana penunjang lain yang perlu dibangun cukup banyak, sehingga dapat melebihi kebutuhan seluas 5 Ha lahan.

BAB IV

FASILITAS BALAI BENIH IKAN PANTAI

4.1. Lahan Dan Bangunan Lahan yang diperlukan pada sebuah Balai Benih Ikan Pantai untuk

meletakkan bangunan-bangunan, peralatan dan mesin keseluruhannya mempunyai luas minimum 2 Ha, termasuk untuk pengembangan hatchery dan fasilitas pendukung lainnya.

Fasilitas minimum yang diperlukan untuk lahan dan bangunan Balai Benih

Ikan Pantai dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Lahan dan Bangunan Balai Benih Ikan Pantai

No J e n i s Ukuran Jumlah A Lahan 2 Ha - B Gedung dan Bangunan 1 Kantor, perpustakaan dan ruang

staf 200 m2 1 unit

2 Bangsal kerja 400 m2 1 unit 3 Rumah pimpinan 54 m2 1 unit 4 Rumah karyawan 36 m2 4 unit 5 Rumah jaga 21 m2 2 unit 6 Asrama 150 m2 1 unit 7 Rumah pompa 12 m2 1 unit 8 Rumah blower 12 m2 1 unit 9 Rumah genset 12 m2 2 unit 10 Gudang 20 m2 1 unit 11 Laboratorium (lab. Basah, kimia,

algae, hama penyakit & pakan)

150 m2 1 unit

12 Ruang pertemuan 100 m2 1 unit

Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan ikan pantai perencanaannya harus disesuaikan dengan pencapaian target produksi tertentu yang kemudian akan menentukan ukuran suatu panti benih. Kapasitasnya berdasarkan atas perkiraan rasio antara bak untuk menghasilkan pakan alami dan bak pemeliharaan larva . Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang ditargetkan berdasarkan jumlah induk yang akan dipijahkan.

Berdasarkan teknik pemijahan yang pernah dilakukan oleh UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya misalnya dalam produksi benih ikan kakap putih, maka contoh perkiraan/asumsi-asumsi yang digunakan seperti pada sub Bab 2.2. Bak-bak pada Balai Benih Ikan Pantai dipergunakan untuk berbagai keperluaan seperti untuk pemeliharaan induk pada pemiahan berikutnya, penetasan, pemeliharaan larva dan pakan alami. Standar fasilitas fisik sarana Balai Benih Ikan Pantai dapat dilihat pada tabel 2 berikuit ini. Tabel 2. Standar fasilitas fisik sarana Balai Benih Ikan Pantai.

No Fasilitas Ukuran/ Kapasitas

Jumlah (Uni

t) Bentuk/Bahan

1 Bak filter dan tower 4x4x1,5 m 2 Segi empat, semen 2 Bak reservoar air

tawar 1 ton 2 Segi empat, semen

3 Bak induk φ 10 m, dalam 3

m

3 Bulat, beton

4 Bak larva 5x2x1,25 m 18 Segi empat 5 Bak algae :

a. Algae massal : - phytoplankton - Rotifera

b. Algae semi massal

40 M3

40 M3

1 – 2 M3

6 3

10

Segi empat, semen Segi empat, semen

persegi, fiberglas

6 Penetasan artemia 500 liter 5 Konikel, fiberglas

4.2. Peralatan dan Mesin

Peralatan dan mesin untuk operasional teknis Balai Benih Ikan Pantai untuk perbenihan udang dan ikan bersirip (bandeng, kakap putih dan ikan lainnya) terdiri dari peralatan untuk induk, peralatan pembenihan dan peralatan laboratorium minimum dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Peralatan dan Mesin Balai Benih Ikan Pantai.

No Jenis Peralatan/Mesin Jumlah Keterangan A Peralatan Umum : 1 Genset

♦ 50 KVA ♦ 30 KVA

2 buah1 buah

Bila tidak ada PLN Bila ada PLN

2 Pompa air laut ♦ 4 inchi ♦ 2 inchi

2 buah2 buah

3 Pompa air tawar/deep wheel 1 unit 4 Pompa celup

♦ 1 inchi ♦ 2 inchi

2 buah2 buah

5 Blower 3,5 inchi dan instalasi 4 unit 6 Aerator listrik/high blower 2 unit B Peralatan laboratorium 1 paket C Kendaraan

♦ Roda 4 ♦ Roda 2

1 unit2 unit

4.3. Tata Letak

Tata letak semua fasilitas Balai Benih Ikan Pantai harus diatur sedemikian rupa secara matang dan menunjukkan dimensi yang tepat sehingga lahan dan fasilitas yang tersedia dapat digunakan seefisien mungkin, yang pada gilirannya dapat memudahkan pekerjaan sehari-hari dan menekan biaya operasional. Salah satu contoh tata letak fasilitas unit Perbenihan Ikan Pantai seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Contoh Desain/Tata Letak Fasilitas Fisik Sarana Balai Benih Ikan Pantai

A

A

A

E

B

Keterangan : A. Bak induk B. Bak filter

& tower C. Bak larva D. Bak algae E. Bak

D

C

B A B V

PEDOMAN TEKNIK PEMBENIHAN

5.1. Pedoman Teknik Pembenihan Udang Windu 5.1.1. Pengadaan dan Pematangan Induk

Berat tubuh induk yang berasal dari laut 200 + 25 gr (induk betina) dan 125 +

25 gr (induk jantan). Sedang untuk induk tambak minimum 125 gr (betina) dan 80 gr (jantang. Anggota tubuh tidak ada yang cacat (lengkap), punggung tidak retak khususnya untuk induk betina serta organ kelaminnya tidak luka. Sebaiknya dihindari juga induk yang tubuhnya banyak ditempeli parasit. Bentuk punggung udang betina relatif mendatar dengan warna tubuh cerah atau kehijau-hijauan.

Metode pematangan gonad udang dilaksanakan dengan ablasi mata bagi

induk udang yang belum matang telur. Namun bila udang yang distok sudah matang telur, ablasi mata tidak diperlukan lagi, sehingga induk udang langsung dimasukan kedalam bak perkawinan.

Ablasi dilakukan untuk dirangsang perkembangan telur yaitu dengan merusak

sistem syaraf tertentu yang terdapat dalam tubuh udang. Tempat syaraf yang berpengaruh dalam proses perkembanganbiakan ada pada tangkai mata. Ablasi dilakukan setelah induk beradaptasi dengan lingkungan barunya (biasanya setelah 2-3 hari). Ablasi hanya dilakukan pada induk betina yang sehat dengan cara yang umum digunakan adalah dengan menjepit salah satu tangkai mata dengan gunting panas pada bagian pangkal matanya. Segera setelah dilakukan ablasi, induk betina dan induk jantan dimasukan dalam bak perkawinan/pemijahan. Proses pematangan gonad pada udang windu dapat dilihat pada gambar 2.

Adaptasi penting artinya untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi

lingkungan diperbenihan, baik terhadap kualitas air maupun lingkungan yang baru. Adaptasi sekaligus juga merupakan proses seleksi, dimana induk-induk yang ditempatkan pada bak berwarna terang warna kulit induk yang sehat akan jernih, sebaliknya induk yang tidak sehat warna kulitnya cenderung merah dan gelap.

Selama dalam masa adaptasi induk udang tidak perlu diberi makan bila waktu

yang diperlukan kurang dari 24 jam. Untuk waktu yang lebih lama, kepadatan harus dikurangi dan harus diberi makan. Proses penyesuaian lingkungan dilakukan secara pelan-pelan akan memberikan hasil yang lebih memuaskan. Sebelum dimasukan kedalam bak induk udang sebaiknya diberi disenfektan Methylen Blue 5 ppm selama 2 jam. Padat penebaran induk udang 2 ekor per m2 dengan perbendingan antara jantan dan betina adalah 2 berbanding 3. Selama pemeliharaan dilakukan pergantian air 200% perhari.

Gambar 2. Proses pematangan gonad pada udang windu

(air mengalir). Jenis makanan yang diberikan adalah cumi-cumi, kepiting,

rajungan atau kerang-kerangan dengan jumlah 10 – 20 % dari berat badan udang setiap hari. Selama pemeliharaan desinfektan yang diberikan adalah Methylen Blue 5 ppm selama 2 minggu.

Perkawinan akan terjadi pada saat induk betina ganti kulit dan biasanya

terjadi pada malam hari. Selama dalam bak perkawinan/pemijahan pengelolaan rutin yang dilakukan meliputi pemberian pakan, pergantian air, pemeriksaaan kesehatan serta pemeriksaan terhadap perkembangan ovary.

Pemeriksaaan perkembangan telur dilakukan 3 – 4 hari setelah ablasi. Waktu

pemeriksaan sore hari bersamaan dengan waktu penggantian air dengan menggunakan senter dan diamati pada bagian punggungnya. Telur pada tingkat I kelihatan seperti garis berwarna hijau kehitam-hitaman dan pada akhir tingkat I garis

tingkah tak birahi

perkembangan sperma

Gland Hormone

Androgenic Androgenic

menghamb

Pada individu jantan

Rangsangan dari luar

Central Nervous system

X-Organ Sinus Gland

Gonad Inhibiting Hormone

Aktivitas bertelur

Fimale

Hormone Ovary

Y-Organ Gonad-Stimulatory

Hormone

Thoracic Ganglion

Otak tingkah

laku birahi

Pada individu batina

semakin jelas. Tingkat II ovary semakin jelas dan tampak berbentuk gelembung pada ruas tubuh kedua. Tingkat III berbentuk satu gelembung lagi sehingga ovary mempunyai dua gelembung pada ruas pertama membentuk cabang dibagian kiri dan kanan yang menyerupai setengah bulan sabit. Pada kondisi ini udang betina siap melepaskan telur induk betina yang telah mencapai matang telur tingkat III dipindahkan ke bak perkawinan/pemijahan. Induk akan melepaskan telur pada malam hari antara pukul 22.00 – 04.00. Pada saat melepaskan telurnya induk betina berenang dipermukaan air dan telur keluar dari lubang gonophornya yang diikuti pelepasan kantong sperma dari thelicum. Proses ini berjalan antara 3 – 5 menit. Pelepasan telur akan lebih sempurna apabila keadaan gelap. Keadaan terang menyebabkan telur hanya sebagian saja yang dikeluarkan, sedang sisanya kemungkinan akan diserap kembali oleh induk yang bersangkutan. Karena itu permukaan bak perlu ditutup dengan gedek bambu atau kain sehingga gelap. Induk yang selesai bertelur segera diambil dan dikembalikan kedalam bak induk. Jumlah telur yang dihasilkan sangat tergantung pada ukuran induk dan asal induk.

Pada kondisi suhu air 300 – 310C dan salinitas 30 – 31 ppt telur akan

menetas menjadi nauplius dalam waktu 12 – 15 jam setelah dilepaskan. Telur diberi aerasi 1 batu/m2 dengan kekuatan 1,5 liter/menit/batu. Pengadukan dasar bak 3 kali selama proses penetasan, dan desinfektan telur dengan menggunakan Methylene Blue 1 ppm sampai dengan menetas.

Segera setelah yelur menetas menjadi nauplius, aerasi diperbesar menjadi

sekitar 10 liter/menit, dan sebaiknya menggunakan batu aerasi yang dapat menghasilkan gelembung-gelembung halus. Batu aerasi sebaiknya ditempatkan tidak terlalu dekat dengan dinding, kurang lebih 50 cm dari dinding, karena jika penempatan batu aerasi terlalu dekat dengan dinding akan meyebabkan larva membentur dinding bak sehingga dapat mengakibatkan kematian. Pada stadia nauplius bak tetap ditutup untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Cara ini juga dapat mengurangi angka kematian, disamping mencegah kemungkinan blooming plankton. Penutupan permukaan bak dimaksudkan juga agar fluktuasi suhu dukendalikan supaya tetap pada batas yang sesuai bentuk kehidupan larva. Pemanenan dilakukan saat stadia nauplius-5. Panen dilakukan dengan mengeluarkan nauplius melalui pipa pembuangan yang sebelumnya pada tempat penampungan telah dipasang saringan. Nauplius akan keluar bersama air dan terkumpul dalam kain sarng. Cara lain panen nauplius dapat dilakukan dengan memanfaatkan sifat nauplius yang tertarik pada sinar. Bak yang sebelumnya ditutup, dibuka sedikit pada salah satu sisinya dan dipasang lampu. Pada saat aerasi dimatikan nauplius akan naik kepermukaan air dan mengumpul kearah sinar. Pengambilan dilakukan dengan menyedot memakai selang dan ditampung dalam wadah tertentu. Pemanenan dengan cara ini sekaligus merupakan cara seleksi kualitas nauplius, dimana nauplius yang berda dipermukaan air adalah nauplius yang sehat. Perhitungan nauplius dilakukan dengan cara sampling, yaitu dengan menghitung jumlah nauplius dalam wadah kecil yang volumenya sudah diketahui, kemudian dibandingkan dengan wadah besar tempat nauplius ditampung. Pengambilan nauplius untuk dihitung harus secara acak dan rapi tetapi merata.

5.1.2. Pemeliharaan Larva

Persiapan Bak

Bak-bak sebelum digunakan harus dibersihkan atau dicuci dan disikat, lalu dikeringkan 2 – 3 hari sampai betul-betul kering. Pengeringan ini dimaksudkan untuk mematikan organisme yang menempel dalam bak serta mencegah timbulnya penyakit. Disamping itu pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak dengan kain yang diselupkan kedalam chlorine 150 ppm (150 ml larutan chlorine 10% dalam 1 m3 air), kemudian didiamkan selama 1- 2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat dengan dosis 40 ppm yang berguna untuk menghilangkan chlor yang bersifat racun bagi larva udang maupun alga. Desinfektan lain yang dapat digunakan yaitu Formalin 50 ppm.

Air media pemeliharaan larva dapat langsung diambil dari laut dengan menggunakan pompa air maupun menggunakan air tambak yang jernih dan tidak tercemar. Air laut dimasuknan kebak pemeliharaan larva manggunakan kain saringan ukuran 100 mikron dan diaerasi. Pemberian aerasi bertujuan untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam air dan menciptakan sirkulasi air dalam media pemeliharaan serta mempercepat penguapan gas beracun sebagai proses pembusukan sisa-sisa makanan dan kotoran. Jumlah batu aerasi yang diperlukan 2 – 5 buah/m2 permukaan air. Batu aerasi yang digunakan dipilih yang menimbulkan gelembung halus, hal ini untuk memperbesar diffusi oksigen dalam air media. Batu aerasi dipasang menggantung pada jarak + 15 cm dari dasar bak.

Sehari sebelum nauplius ditebarkan ke bak, air diberi EDTA sebanyak 2 ppm (untuk volume + 20 ton dibutuhkan 40 gram EDTA) yang berfungsi mengendapkan logam-logam berat.

Penebaran Naplius

Nauplius dapat diperolehdengan menetaskan telur yang dibeli dari penampungan indik atau membeli nauplius langsung dari pembenihan skala besar. Pada saat pembelian nauplius, harus dipilih yang betul-betul sehat yang dicirikan dengan aktivitas berenang yang khas danmemberikan reaksi lebih cepat terhadap cahaya. Pengangkutan nauplius dapat dilakukan dengan 2 cara : a. Tertutup : menggunakan kantong plastik dengan penambahan oksigen. b. Terbuka : mengunakan jerigen yang dilengkapi aerasi. Penebaran nauplius dilakukan setelah salinitas dan suhu air dibak pemeliharaan larva sama dengan salinitas dan suhu air pengangkutan larva. Padat penebaran nauplius ini antara 75 – 150 ekor/liter. Setelah nauplius mencapai sub stadia nauplius enam (N6) atau + 2 hari setelah dilakukan penebaran, kedalam air media pemeliharaan larva diberi antibiotik Erithromycin 1,33 ppm dan treflan 0,05 ppm.

Pemberian Pakan Makanan yang diberikan pada larva udang selama pemeliha ada 2 jenis yaitu makanan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan makan buatan. Masing-masing jenis makanan tersebut diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai dengan stadia larva.

Makanan alami yang dapat digunakan untuk makanan larva dan mudah dikultur adalah Tetraselmis chui, Skeletoma costatum, Chaeteceros calcitrans dan nauplii Artemia sp. Sebagai makanan larva, plakton (alga) terlebih dahulu dikultur dibak kultur alga. Bibit yang digunakan untuk kultur dapat dibeli dari pembenihan skala besar atau UPT Budidaya milik Pemerintah. Untuk mempercepat pertumbuhan alga, maka perlu pemupukan air media kultur sebelum dilakukan penebaran bibit. Pemanenan alga dilakukan pada saat mencapai puncak populasi, dimana untuk setiap species berbeda berkisar antara 24 jam sampai 1 minggu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada saat puncak populasi ini akan terjadi : 1) unsur hara dalam bak alga sudah terserap habis oleh alga, sehingga kekhawatiran adanya sisa pupuk yang terbawa kedalam bak dapat dihindari; 2) jumlah populasi adalah yang terbesar selama daur hidupnya. Ada 2 cara pemanenan alga yaitu : a. Pemanenan alga bersama-sama dengan air media kultur, khususnya untuk jenis

Tetraselmis dan Chaetoceros. b. Pemanenan alga dengan cara kering atau pemanenan alga tanpa masa air yaitu

dengan cara menyaring menggunakan plankton net, untuk jenis Skeletonema. Makanan alami ini mulai diberikan setelah nauplius berubah menjadi Zoea 1. Jenis alga yang baik dan sering digunakan untuk makanan larva udang adalah Skeletonema, Tetraselmis dan Chaetoceros. Jumlah alga yang diberikan pada larva + 30.000 sel/ml air media, jumlah alga ini dalam bak larva perlu dipertahankan. Untuk menghitung kepadatan alga dapat digunakan Haemacytometer. Bila belum mempunyai haemacytometer, jumlah makanan yang harus diberikan dapat dilihat dengan mengamati dibawah mikroskop apakah dalam alat pencernaan (perut) larva terdapat makanan. Kalau perut larva kosong, maka perlu pemberian makanan secukupnya. Frekuensi pemberian makanan alami ini 2 kali perhari, masing-masing pada pukul 08.00 pagi dan 20.00 malam.

Disamping makanan alami, pada stadia zoea juga diberi makanan buatan atau tahu. Hal penting yang harus diperhatikan dan mempersiapkan makanan buatan antara lain :

Nilai gizi, kandungan protein + 60%; Ukuran disesuaikan dengan bukaan mulut pada stadia udang tersebut; Kualitas fisik bahan baik artinya tidak menyebabkan penurunan kualitas air.

Frekuensi pemberian makanan buatan ini dalam 24 jam minimal 5 kali, dimana dalam setiap kali pemberian makanan jumlah yang diberikan tidak boleh berlebih. Dengan kata lain 0,5 – 1 ppm makanan yang diberikan harus tepat jumlah dan waktu pemberiannya.

Setelah larva mencapai stadia mysis, disamping diberi makanan buatan dan alga juga diberi makanan alami nauplii artemia. Artemia yang digunakan untuk makanan larva udang ini sebelum ditetaskan terlebih dahulu didekapsulasi (penghilangan lapisan yang keras dengan menggunakan kaporit dan chlorin) untuk mempertinggi daya tetas. Disamping itu dengan penggunaan kaporit atau chlorin nauplii artemia yang digunakan dapat terbebas dari hama dan tidak meninggalkan kulit-kulit bekas dalam media pemeliharaan. Penetasan telur artemia biasanya memerlukan waktu + 24 jam.

Perawatan Larva

Perawatan larva selama pemeliharaan ini sangat penting, karena larva udang sangat sensitif perubahan kondisi lingkungan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Untuk itu penanganan larva selama pemeliharaan mulai dari stadia nauplius sampai post larva harus benar-benar diperhatikan.

Pada stadia nauplius, zoea dan mysis dimana pada ketiga stadia ini merupakan stadia yang sangat rawan, maka perlu dihindari hal-hal yang dapat menimbulkan stress pada larva tersebut. Misalnya pada waktu pengambilan sampling untuk perkembangan pertumbuhan larva dan pengamatan menghitung kepadatan dalam bak, harus dilakukan dengan cermat. Memasuki stadia Post Larva 1 (PL1), larva udang sudah mulai sering menempel (bersifat benthic) dan pada dasar atau dinding bak. Untuk memperluas permukaan tempat menempel larva dan mengurangi sifat kanibal larva, maka didalam bak pemeliharaan bisa dimasukan jaring atau daun kelapa kering yang berfungsi sebagai substrat untuk menempel larva dan tempat berlindung larva.

Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air didalam bak pemeliharaan larva harus dipertahankan sebaik mungkin. Kualitas air ini meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Beberapa parameter yang dapat diamati secara langsung dengan mata dan peralatan yang sederhana yaitu suhu, salinitas, kekeruhan, blooming alga, warna dan gelembung-gelembung kecil dipermukaan air sebagai akibat kelebihan alga.

Pada pembenihan udang dimungkinkan untuk tidak dilakukan pengganti air, maka pengamatan kualitas air dan jumlah makanan yang ada dalam bak pemeliharaan larva harus benar-benar mendapatkan perhatian khusus. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore hari. Jika terdapat makanan dilakukan secara hati-hati.

Pengendalian Penyakit

Timbulnya penyakit pada larva udang yang dipelihara biasanya sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak stabil, misalnya pada waktu musim penghujan dimana suhu dan salinitas labil serta sering berfluktuasi. Keadaan ini akan membuat larva menjadi lemah dan mudah terserang penyakit.

Untuk mencegah timbulnya penyakit ini, dapat ditempuh beberapa cara yaitu : Peningkatan salinitas lingkungan; Mengoptimalkan lingkungan hidup larva misalnya dengan pemberian pakan

yang tepat guna sehingga dapat meningkatkan ketahanan tubuh; Optimalisasi : kadar garam (28%-32%), suhu (300-320C) dan oksigen (6-9

ppm); Pemberian obat-obatan.

Panen

Pemanenan dilakukan setelah larva mencapai PL 12 – 15 dan dilakukan secara serentak untuk satu bak. Cara panen benur adalah sebagai berikut :

Cara I : Pertama-tama dilakukan pengurangan air, kemudian benur diambil dengan

seser yang selanjutnya benur dituang secara hati-hati kedalam wadah berisi air yang dilengkapi dengan aerasi.

Cara II : Air dibuang lewat lubang pembuangan air yang ada dibagian bawah larva kedalam saluran pembuangan yang dilengkapi dengan kotak kain saringan untuk menahan benur yang dipanen. Kemudian benur diciduk dan dipindah kedalam wadah berisi air yang dilengkapi dengan aerasi. Selama pemanenan air tetap menggenang.

5.2. Pedoman Teknik Pembenihan Ikan Bandeng 5.2.1. Pengadaan dan Pematangan Induk

Pemeliharaan Induk

Pemeliharaan induk dilakukan dengan menggunakan bak semen dengan konstruksi bulat berdiameter 10 meter serta kedalaman bak 3 meter ( kapasitas air bak + 225 ton). Bak ditempatkan diudara terbuka, air laut dipompakan kedalam bak sampai penuh dan air dialirkan terus menerus dengan tingkat pengantian 200 – 300% per hari. Aerasi dengan menggunakan sistem water lift (AWL) sehingga memungkinkan air selalu dalam kondisi berputar sekaligus berfungsi untuk mensuplai oksigen kedalam bak, untuk itu pemeliharaan induk perlu dilengkapi dengan selang aerasi disekeliling bibir bak.

Induk bandeng dengan ukuran berat rata-rata 4 – 5 kg/ekor sejumlah 56 ekor dapat distok kedalam bak (kepadatan 1 ekor/4 m3). Selama masa pemeliharaan induk diberikan pakan pellet komersial 2% – 3 % dari total berat badan perhari, diberikan dua kali sehari pada pagi dan sore hari.

Pematangan Gonad Pematangan gonad dengan menggunakan hormon kronik dilakukan dengan cara implantasi (penanaman) secara intramuskular pada otot punggung sekitar 5 cm dibawah sirip punggung. Penggunaan hormon kronik dalam bentuk pellet atau tube silastik ini lebih efektif karena hormon tersebut dapat larut dalam darah secara

perlahan-lahan dan berkesinambungan dalam jangka waktu yang relatif lama 3 – 4 minggu. Penyiapan hormon dan cara implantasi dijelaskan pada bagian akhir dari pedoman ini.

5.2.2. Pemijahan Induk dan Penanganan Telur Pemijahan induk bandeng yang telah matang gonad (dengan implantasi hormon) terjadi secara spontan dalam lingkungan bak terkontrol.

Panen Telur

Bak pemijahan dilengkapi dengan saringan pengumpulan telur (egg collector) dengan mesh size 850 micron. Untuk menjaga agar telur yang terkumpul tidak kekeringan maka egg collektor dipasang pada sebuah bak kecil yang diletakkan dibawah saluran pembuangan air permukaan, sehingga telur yang terkumpul selalu terendam air.

Inkubasi Telur

Telur yang terkumpul dipindahkan secara hati-hati kedalam ember yang telah

diisi air kurang lebih sepertiga sampai setengah volume ember, kemudian dipindahkan kedalam bak inkubasi (akuarium kaca). Bak inkubasi diisi air laut dan dilengkapi dengan aerasi yang cukup kuat. Tingkat pembuahan (fertilasi) dihitung dengan cara menghitung100 butir contoh telur dibawah mikroskop. Telur yang dibuahi transparan dengan bintik kekuningan pada dasarnya, sedangkan telur yang tidak dibuahi berwarna putih opak. Tingkat pembuahan telur dapat dihitung sebagai berikut :

Tingkat Fertilasi = Telur yang dibuahi X 100 % 100 Pengumpulan telur dari bak inkubasi dilakukan dengan penambahan garam

dapur kedalam medium agar salinitas air mencapai 40 ppt, sehingga sebagian besar telur yang dibuahi (fertilized eggs) terapung dan memudahkan untuk melakukan penyeseran. Sebelum dilakukan penyeseran aerasi dimatikan dan dibiarkan + 10 menit sehingga telur yang baik terpisah dari telur yang tidak dibuahi (non fertilized eggs) dan kotoran-kotoran lain. Telur yang baik (dibuahi) dipindahkan kedalam bak yang telah diisi air laut dengan kapasitas 8 ton dan diberi aerasi secukupnya. Jumlah total telur dalam bak tersebut dihitung dengan metoda scooping.

Jumlah Total Telur = contoh telur X Volume bak

Volume contoh

Penetasan Telur

Telur yang telah dihitung dipindahkan kedalam bak pemeliharaan laeva yang telah dicuci air tawar dan diisi air laut yang telah disaring dengan saringan 20 micron. Pemindahan telur dilakukan dengan hati-hati. Kepadatan telur yang ideal sekitar 25 – 30 butir per liter dengan perkiraan persentase penetasan sekitar 80% – 90%.

Telur menetas dalam waktu 24 – 35 jam setelah pemijahan pada suhu 280 –

320C, dan dianggap sebagai larva hari ke 0 (D-0). Cangkang telur dan telur yang tidak dibuahi akan mengendap didasar bak dan segera disifon agar tidak merusak kualitas air. Daya tetas telur (hatching rate) dihitung dengancara menghitung cangkang telur atau telur yang tidak menetas (telur mati) dari hasil penyifonan dengan menggunakan metode scooping.

5.2.3. Teknik Pemeliharaan Larva Kepadatan larva yang ideal adalah 10 – 20 ekor per liter. Aerasi diatur sedemikian rupa (cukup agar larva dapat terus terlarut) karena kondisi larva masih lemah.

Pemberian Pakan

Pemberian pakan dimulai pada hari ke-2 karena pada saat tersebut persedian pakan dari kantong kuning telur (yolk sac) mulai habis. Pakan yang diberikan berupa fitoplankton Chlorella sp dengan kepadatan 200.000 – 500.000 sel/ml atau Tetraselmis chuii dengan kepadatan 10.000 – 20.000 sel/ml. Pemberian pakan fitoplankton ini berlangsung terus sampai dengan pemeliharaan hari ke-21.

Fungsi pakan fitoplankton ini disamping sebagai stabilisator kualitas air juga

diperlukan sebagai pakan rotifera (Brachionus plicatilis) yang merupakan pakan langsung larva bandeng. Pemberian pakan rotifera dengan kepadatan 20 – 30 individu/ml dimulai pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-10 dan mulai hari ke-11 sampai hari ke-21 kepadatan rotifera diturunkan menjadi 10 – 20 individu/ml. Penghitungan kepadatan pakan berfungsi untuk memaksimumkan kesempatan pakan termakan oleh larva, mencegah over feeding, dan memanfaatkan pakan secara efisien.

Sejak hari ke-10 sudah dapat diberikan pakan tambahan berupa pakan

komersial (flake dengan dosis 0,5 – 1 ppm atau dengan jumlah awal yang sedikit, tergantung kepada respon larva terhadap pakan tersebut, dengan maksud agar tidak terjadi kelebihan pakan buatan dalam medium yang dapat merusak kualitas air.

Mulai hari ke-15 dapat diberikan pakan nauplii artemia (instar I-II) dengan

kepadatan 0,3 individu per ml air. Pemberian pakan artemia tidak mutlak diberikan pada umur larva tersebut hal ini tergantung kepada ukuran dan respon larva terhadap pakan nauplii artemia. Nauplii artemia penting diberikan sebagai pakan

larva pada tahap-tahap akhir pemeliharaan ketika larva membutuhkan organisme pakan dengan ukuran yang lebih besar.

Larva pada umur ke-21 sudah cukup kuat untuk dipanen, namun kadang-

kadang pemeliharaan larva dapat diteruskan sampai hari ke-28 bila pada hari ke-21 kondisi larva masih lemah.

Pengelolaan Air

Sejak hari ke-0 hingga ke-8 pemeliharan larva dilakukan dengan sisitem air

diam (stagnan). Mulai hari ke-10 air sudah dapat dialirkan dengan tingkat pergantian 25% perhari. Tingkat pergantian air ini ditambah setiap hari sehingga mulai hari ke-21 sudah dapat mencapai 100% perhari. Penyifonan dasar bak yang disebabkan oleh akumulasi kotoran dari sisa-sisa hasil metabolisme atau sisa pakan perlu dilakukan untuk menjaga agar kualitas air tetap baik.

Pemanenan

Pemanenan dilakukan dengan cara mengurangi volume air dibak

emeliharaan larva secara perlahan-lahan. Setelah tinggi air kira-kira mencapai 25 cm dari dasar bak baru dipanen dengan menggunakan waring, yaitu dengan menggiring nener ke sudut bak. Setelah itu nener dipindahkan kedalam bak penampungan dari fibreglass volume 1 ton yang sebelumnya sudah diisi air dengan salinitas 15 ppt. Penurunan salinitas hingga 15 ppt berfungsi untuk mengadaptasi nener dengan air di tambak apabila nener ditebar di tambak. Untuk menentukan tingkat kelangsungan hidup (survival Rate) nener yang baru dipanen dilakukan dengan metode sampling.

Survival Rate = Larva saat panen X 100 %

Larva awal

5.2.4. Pembuatan Pellet Hormon LHRH-a, Pellet Cholesterol dan Silastik Hormon 17 Alpha Methyl Testosteron untuk Implantasi Induk Bandeng.

Secara umum sistem reproduksi dalam tubuh ikan dimulai dengan adanya

rangsangan dari luar, yaitu pertama karena pengaruh faktor lingkungan (temperatur, fotoperiod, salinitas dan sebagainya). Pengaruh lingkungan akan menyebakan sistem endokrinologi dalam tubuh ikan berjalan secara normal dan ikan akan bertelur secara alami. Pengeruh lingkungan ini dapat terjadi secara alami, dapat pula secara buatan. Pengaruh kedua adalah adanya pengaruh hormonal yang diinduksian kedalam tubuh ikan. Faktor-faktor tersebut secara sendiri-sendiri ataupu bersamaan dapat merangsangbatau memacu perkembangan gonad dalam proses reproduksi ikan seperti terlihat dalam skema pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. Skema Umum Proses Reproduksi Ikan Penyuntikan ikan dengan hormon Gonadotropin berfungsi untuk

mempercepat pemijahan ikan, dalam hal ini bisa digunakan jenis hormon yang mempunyai sifat acute hormon. Sedangkan dalam proses maturation/pematangangonad diperlukan hormon yang sifatnya dapat melepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormon). Suatu bahan potensial yang dapat menggantikan fungsi Gonadotropin Releasing Hormon adalah Leutenizing Hormon. Releasing Hormon atau suatu bahan superaktif tiruan yang berfungsi dalam proses endocrine yaitu LHRH-analog). LHRH-a adalah hormon pemacu/perangsang perkembangan gamet yang sifatnya dapat melepaskan gonadotropin. Hal tersebut dapat dibuat dalam bentuk pellet.

Hormon CNS Enviromenta

Hypothalam

Pituitar

Ovary

Ovulation

Spawning

Gth-RH

Gth

Tabel 4. Pembuatan Pellet LHRH-a dan pellet Cholesterol :

Peralatan : Fungsi : 1. Lempengan plastik 60X60X5 mm 2. Alat pelobang lempengan pastik 3. Bor 3/32 inchi 4. Bor 9/64 inchi 5. Alat pemanas 6. Beaker glass 50 ml+air 7. Test tube 8. Timbangan matler 9. Kertas timbang 10. Spatula 11. Alkohol 50 % 12. Pipet volume 1 ml 13. Cawan pengaduk (mortal) 14. Incubator (suhu 370C) 15. Paku tumpul (3/32 inchi) 16. Pemukul

Membuat lubang cetakan pellet s d a s d a s d a

Mencairkan Cocoa Butter s d a s d a

Timbangan Cholesterol s d a

Melarutkan LHRH-1 s d a s d a

Melarutkan LHRH-a dan Cholesterol Pengering campuran Packing pellet

s d a

Bahan-bahan : Fungsi : 1. LHRH des GLY-10 (D-ala6) 2. Cholesterol (C27H460) 3. Cocoa Butter

Hormon Pengantar Hormon Binder (pengikat)

Cara pembuatan : 1. Membuat cetakan pellet atau paku pencetak :

a. Buat lobang ukuran 3/32 inchi pada lempengan plastik; b. Bagian lobang teratsa dibesarkan sedikit dengan bor ukuran 9/64 inchi agar

mempunyai bentuk yang mudah untuk memasukan bahan hormon; c. Potong pada ukuran 3/32 inchi pada bagian yang lancip, ratakan.

2. Membuat pellet Cholesterol untuk kontrol

a. Ambil sedikit cocoa butter dalam test tube, masukan kedalam beaker glass 50 ml yang berisi air dan panaskan dengan alat pemanas;

b. Timbang sejumlah 190 mg cholesterol powder dengan timbangan analitik; c. Masukan kedalam mortal, tambahkan 0,2 ml alkohol 50%, ratakan dengan

pengaduk dan lumatkan; d. Inkubasi selama satu jam atau lebih pada suhu 370C; e. Setelah kering, keruk dan kumpulkan bahan dengan spatula; f. Tambahkan satu tetes cocoa butter yang sudah mencair, aduk berkali-kali

sampai rata (homogen) kemudian tutup dengan plastik

Tabel 5. Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Sepenggal; No Sarana Ukuran Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Bak larva Bak kultur pakan hidup Bak stater pakan hidup Bak filter Bak penetasan artemia Mini blower Pompa air laut Jaringan air laut Jaringan aerasi Peralatan kerja

2x5x1x1,25 m 2x5x1x1,25 m 500 liter 2x5x1x1,25 m 250 liter 80 watt 2 inchi

- - -

2 buah 4 buah 3 buah 1 buah 4 buah 4 buah 1 buah 1 paket 1 paket 1 paket

Tabel 6.Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Lengkap Skala Sedang; No Sarana Ukuran Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Tanah Bak induk Bak larva Bangsal bak larva (indoor) Bak pendederan Bangsal bak pendederan Bak pakan hidup Bak stater pakan hidup Bak penetasan artemia Aquarium Lab,kantor, gudang Mess karyawan Rumah pimpinan Rumah pompa Rumah genset Rumah blower Bak tandon air laut Filter air laut Instalasi air laut (laut&darat) Instalansi aerasi Instalansi air tawar Pompa air laut Pompa air tawar Blower (vortex) Generator set Peralatan laboratorium Peralatan kerja

0,5 ha d: 7m, t: 2,5m d: 3m, t: 2 m 5x2x1,25 m 19x13 m 2x1x0,8 m 15x8 m 5x4x1,5 m 1 ton 500 liter 100 liter 50 m2 150 m2 36 m2 12 m2 30 m2 12 m2 5x10x2 m 500 m 400 m 300 m 3 inchi 1,5 inchi 2 inchi 40 KVA - -

-

1 buah 2 buah 12 buah 1 buah 20 buah 1 buah 5 buah 6 buah 6 buah 6 buah 1 unit 1 unit

1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 paket 1 paket 1 paket 4 buah 1 buah 4 buah 2 buah 1 paket 1 paket

No Sarana Ukuran Jumlah 28 29 30 31

Meja, kursi, dll Freezer Refrigerator Pemasangan PLN

- - - 40 KVA

1 paket 1 buah 2 buah 1 paket

Tabel 7.Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Lengkap Skala Besar; No Sarana Ukuran Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Tanah Bak induk Bak larva Bangsal bak larva (indoor) Bak pendederan Bangsal bak pendederan Bak pakan hidup Bak stater pakan hidup Bak penetasan artemia Aquarium Lab,kantor, gudang Mess karyawan Rumah pimpinan Rumah pompa Rumah genset Rumah blower Bak tandon air laut Filter air laut Instalasi air laut (laut&darat) Instalansi aerasi Instalansi air tawar Pompa air laut Pompa air tawar Blower (vortex) Generator set Peralatan laboratorium Peralatan kerja Meja, kursi, dll Freezer Refrigerator Pemasangan PLN

0,5 ha d: 7m, t: 2,5m d: 3m, t: 2 m 5x2x1,25 m 26x13 m 2x1x0,8 m 29x8 m 5x4x1,5 m 1 ton 500 liter 100 liter 50 m2 150 m2 36 m2 12 m2 30 m2 12 m2 5x10x2 m 500 m 400 m 300 m 1 inchi 1,5 inchi 2,5 inchi 60 KVA - - - - - 60 KVA

-

1 buah 2 buah

20 buah 1 buah

40 buah 1 buah 8 buah

10 buah 10 buah 12 buah

1 unit 1 unit

1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 paket 1 paket 1 paket 4 buah 1 buah 4 buah 2 buah 1 paket 1 paket 1 paket 1 buah 2 buah 1 paket

Tata Letak Unit Pembenihan Skala Lengkap

Gambar 4. Tata Letak Balai Benih Ikan Pantai

Gambar 5. Tata Letak Unit Pembenihan Sepenggal (HSRT) Keterangan : A. Bak Penetasan Artemia; B. Bak Penampungan Air; C. Bak Pemeliharaan Larva; D. Bak Kultur Phytoplankton; E. Bak Kultur Rotifer/Zooplankton;

B

C

C C

D

E

2. Contoh Tata Letak Kolam BBI Sentral (5 Ha)

Keterangan :A. Bak PengendapanB. Bak FilterC. ReservoarD. Bangsal PerbenihanE. Kolam PemijahanF. Kolam IndukG. Kolam PendederanH. Kolam DonorI. Kolam Calon IndukJ. Kolam Air DerasK. Kolam Makanan

AlamiL. Areal untuk Kantor

dan Bangunan Lainnya

Saluran Pemasukan dengan Pintu Pemasukan

Saluran Pengeluaran dengan Pintu Pengeluaran

Parit Kolam

I

I

G G G

G G G

I I H G

I I H G

G G G G

G G G G

F F

F F

F F

F FE E E E E E

KK

F F

F F

F F

F F

F F

G G G

G

G

G

G G

G G

G G

DC

B

AJ

JJJ

F F

1. Contoh Tata Letak Kolam BBI Lokal (2 Ha)

G

G

G G G

G G G

E D C

B

A

Keterangan :A. Bak

PengendapanB. Bak FilterC. ReservoarD. Bangsal

PerbenihanE. Kolam

PemijahanF. Kolam IndukG. Kolam

PendederanH. Kolam DonorI. Areal untuk

Kantor dan Bangunan Lainnya

J. Kolam Makanan Alami

Saluran Pemasukan dengan Pintu Pemasukan

Saluran Pengeluaran dengan Pintu Pengeluaran

Parit Kolam

H

H

F

F

F

F EEE

J

F

F

F

F

G

G

G

G

G

G G

100

200

Keterangan :A. Bak makanan alami Saluran pemasukanB. Bak pendederan intensifC. Bak pemijahanD. Bak penetasan Saluran pengeluaranE. Bak penampungan benihF. Bak pengobatanG. Bak sortasiH. Meja HipofisaI. Ruang Pengepakan

14. Contoh Tata Letak Bak di Bangsal Pembenihan BBI Lokal

A

A

B C

GGGG

C C

HFF

E E E D D

18.4

14.2

19. Ikhtisar Tata Air di BBI

Keterangan :

A. Dam G. Bangsal Pembebenihan danB. Bak Pengendapan kolam/bak pemberokanC. Bak Filter H. Kolam pendederan ID. Reservoar I. Kolam Pendederan II,III dstE. Kolam Makanan AlamiF. Kolam induk, calon induk, Saluran pemasukan

dengan air deras dan kolam donor Saluran pembuangan

B

C

D

A

E

F

G

H

IUntuk penyaluran airyang melimpah

Untuk pengurasan

Batas areal BBI

A

A

A

A

B

B

B

B

B

I C

H

EEEEEE

DDDD

C

C

C

CGGGGGG F

F

Filter

Keterangan :A. Bak makanan alami H. Meja HipofisaB. Bak pendederan intensif I. Bak pematangan gonad induk ikanC. Bak pemijahan dengan sistem resurkulasiD. Bak penetasan J. Ruang pengepakanE. Bak penampungan benihF. Bak pengobatan Saluran pemasukanG. Bak sortasi Saluran pengeluaran

15. Contoh Tata Letak Bak di Bangsal Pembenihan BBI Sentral

A

B

CD

E

F

G

F1 F2 F3

G1 G2

19. Ikhtisar Tata Air di Balai Benih Ikan

Keterangan :A. DAMB. Bak PengendapanC. Bak ReservoirD. Bak Induk

E. BangsalF. Bak PendederanG. Bak Pembesaran

Saluran pemasukan air

Saluran pengeluaran air