BUNGA RAMPAI: SERATUS LIMAPULUH TAHUN KEKRISTENAN DI LUAT ANGKOLA
-
Upload
stt-abdisabda -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of BUNGA RAMPAI: SERATUS LIMAPULUH TAHUN KEKRISTENAN DI LUAT ANGKOLA
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
LAPORAN BUKU
BUNGA RAMPAI:
SERATUS LIMAPULUH TAHUN KEKRISTENAN
DI LUAT ANGKOLAby
Ramli SN. Harahap (Ed.)Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2011
OLEH : RAMLI SN HARAHAP
N I M : 57120008
DOSEN : Dr. Kees De Jong
Pdt.Dr. Djoko Prasetyo
Pdt.Prof.Dr.(Hc.) E.Gerrit Singgih,Ph.D.
LAPORAN BUKU PADA AREA KONSENTRASI STUDI I
PROGRAM STUDI PASCASARJANADOKTOR THEOLOGIAE
Laporan Buku – Konsentrasi I
0
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
MARET 2015
BUNGA RAMPAI:
SERATUS LIMAPULUH TAHUN KEKRISTENAN
DI LUAT ANGKOLA1
1. PENDAHULUAN
Laporan Buku Pertama ini berjudul “Bunga Rampai: Seratus
Limapuluh Tahun Kekristenan di Luat (Daerah) Angkola”. Buku ini
merupakan Bunga Rampai yang terdiri dari 10 tulisan yang disunting
oleh Ramli SN Harahap2 pada 2011 dalam rangka memperingati seratus
lima puluh tahun kekristenan di Tanah Batak Angkola. Buku setebal
119 halaman ini diterbitkan untuk kalangan sendiri. Dalam buku ini
ada beberapa orang yang memberikan kata sambutannya seperti: Pucuk
Pimpinan GKPA, Ketua Umum Panitia, Ketua Umum PGI, Mitra GKPA dari
Ausschuss des Krirchenkreises Braunfels Jerman, dari dari FKUB
Kabupaten Tapanuli Selatan.
Buku ini saya pilih sebagai laporan buku pertama karena buku ini
akan menolong saya untuk melihat perkembangan kekristenan di Tanah
Batak Angkola setelah 150 tahun menerima Yesus. Dengan membaca
1 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai: Seratus Limapuluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola,(Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2011).2 Saat itu saya sebagai sekretaris Panitia 150 Tahun Kekristenan di Luat Angkola dan menjabat sebagai Kepala Biro I GKPA di Kantor Pusat GKPA Padangsidimpuan. Perayaan Puncak 150 Tahun Kekristenan ini dilaksanakan di desa Parausorat, Sipirok, Tapanuli Selatan. Di tempat inilah orang Batak pertama dibaptiskan.
Laporan Buku – Konsentrasi I
1
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
beberapa tulisan dalam buku ini, saya tertarik untuk membenahi
Sejarah Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA).
2. ISI DAN ULASAN BUKU
2.1. GKPA DAN PERAN STRATEGISNYA DI LUAT ANGKOLA (Pdt.A.L.Hutasoit,MA)3
Tulisan pertama dalam buku ini ditulis oleh Pdt.Abraham Lincoln
Hutasoit,MA (Ephorus VI GKPA). Dalam tulisan ini Hutasoit
menjelaskan beberapa pemikirannya tentang GKPA dan Peran Stategisnya
di Luat (daerah) Angkola. Beliau menjelaskan empat point pemikirannya,
yaitu: pertama adalah latar belakang berdirinya GKPA, kedua Konteks
GKPA dalam bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
ketiga, peran strategis yang dapat dilakukan oleh GKPA dalam
kebedaraannya dan keempat, adalah kesimpulan dan saran-saran.
Bagian pertama, tulisan ini membahas latarbelakang berdirinya GKPA
dan gambaran umum dewasa ini. Penulis menjelaskan secara umum proses
berdirinya GKPA. Menurut beliau, Gereja Kristen Protestan Angkola
(GKPA) lahir dari hasil rekonsiliasi antara Huria Kristen Batak
Prorestan Angkola (HKBP-A) dengan Gereja Protestan Angkola (GPA)
pada 2 Juli 1988 setlah menerima kemandirian (panjaeon) dari HKBP di
Bunga Bondar pada 26 Oktober 1975.4 Menurutnya, gerakan kemandirian
ini didorong oleh motivasi untuk menigkatkan pelayanan di daerah
Angkola (Patanakkon Hata ni Debata di Bona Bulu) oleh orang-orang Kristen
Angkola yang tinggal di perantauan khususnya kota Medan dan Jakarta.
Motivasi ditandai dengan berdirinya perkumpulan yang bernama Sauduran
3 Pdt.A.L.Hutasoit,M.A,M.Th adalah Ephorus GKPA yang keenam Periode 2011-2016 dansaat ini sudah menjalani masa pensiun dari GKPA. Setelah menjabat Ephorus GKPAbeliau ditugaskan menjada tenaga dosen di STT Abdi Sabda Medan.4 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 1-2.
Laporan Buku – Konsentrasi I
2
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Kristen Angkola di Medan Barat, di Medan Timur dengan nama Marsiurupan Kristen
Angkola, di Medan Selatan dengan nama Satahi Kristen Angkola dan di Medan
Utara bernama Saroha Kristen Angkola. Dan motivasi tersebut membuat para
perantau Angkola lebih perduli pada kampung (bonabulu) sambil
mencuatkan gagasan untuk mendirikan gereja mandiri bagi masyarakat
Angkola.5
Hutasoit memberikan tiga pertimbangan utama untuk memandirikan
gereja HKBP Angkola, sebagaimana tercantum dalam naskah kemandirian
(panjaeon), yaitu pertama, pertimbangan budaya: “Bahwa gereja dewasa ini
terpanggil menunaikan tugas panggilannya secara fungsional dalam
bidang pelayanan dan kesaksian untuk memberitakan injil se-efektif
mungkin di setiap masyarakat agar Injil itu dapat dikomunikasikan
dengan memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan tertentu dalam rangka
penyelematan manusia dan pembangunan masyarakat.” Yang kedua,
struktur dan organisasi baru HKBP Angkola diyakini sebagai alat agar
dunia percaya kepada Kristus, dan yang ketiga adalah atas permintaan
jemaat sendiri yang memungkinkan untuk membentuk gereja baru.6
Hal lain yang disoroti Hutasoit dalam bagian pertama ini adalah
dampak kemandirian bagi umat Kristen Angkola. Menurutnya, dampak
yang paling besar dari panjaeon tersebut adalah GKPA memiliki
potensi yang besar untuk pengembangan dirinya, karena dengan
kemandirian tersebut maka GKPA dapat memainkan peran strategisnya
untuk akses ke semua pihak. GKPA bisa langsung mengakses ke
pemerintah di semua tingkatan, mulai dari pemerintah setempat,
propinsi dan tingkat nasional. Demikian juga GKPA bisa mengakses
hubungannya ke lembaga-lembaga nasional dan internasional,
tergantung bagaimana kita mengaksesnya.7
5 Ibid., hl. 2.6 Ibid.7 Ibid., hl. 3.
Laporan Buku – Konsentrasi I
3
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Bagian kedua, tulisan ini membahas konteks GKPA dalam bergereja,
bermasyarakat dan bernegara. Pemikiran penulis pada bagian kedua ini
didasarkan pada pendapat Emmanuel Gerrit Singgih dalam bukunya
Mengantisipasi Masa Depan (56-67) yang mengatakan bahwa gereja yang
kontekstual adalah gereja yang menyadari konteksnya di mana konteks
di sini dipahami sebagai masalah-masalah atau kenyataan yang
dihadapi oleh gereja atau sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut,
penulis menyebutkan bahwa ada empat hal penting yang menjadi konteks
GKPA, yakni: pertama, GKPA berada dalam masyarakat majemuk (plural).
GKPA berada di tengah-tengah masyarakat, yang penduduknya mayoritas
Islam dan juga bersama-sama dengan penganut agama Buddha dan Kong Hu
Chu. Dalam hal kekristenan sendiri, GKPA berada bersama-sama dengan
gereja-gereja lain seperti HKBP, GKPI, HKI, GMI, GKPS, Khatolik,
gereja-gereja Pentakostal atau kharismatik dan lainnya.8
Konteks yang kedua, GKPA berada bersama-sama dengan
masyarakat/jemaat yang masih mengalami kemiskinan. Penulis melihat
konteks ini berdasarkan data statistik yang dibuat oleh Pemerintah
kota Padangsidimpuan sebagai salah satu sampel yang dianggap sebagai
basis GKPA bahwa pada tahun 2006 penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan adalah 12,22%. Itu berarti terdapat 21.900 jiwa penduduk
miskin. Ukuran yang dipakai oleh pemerintah kota menentukan penduduk
miskin adalah penghitungan kebutuhan dasar makanan, yang
memungkinkan seseorang bisa bekerja untuk memperoleh pendapatan
serta kebutuhan non makanan. Penduduk miskin Padangsidimpuan adalah
mereka yang bekerja di bidang pertanian, buruh industri, buruh
bangunan dan yang berprofesi sebagai pengemudi angkutan umum.
Kebanyakan dari mereka adalah dalam sektor pertanian.9
8 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 4-5.9 Ibid., hl. 5-6.
Laporan Buku – Konsentrasi I
4
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Konteks yang ketiga, adalah masalah penderitaan. Penderitaan
yang diakibatkan oleh banyaknya pengangguran, dimana menurut data
statistik bahwa jumlah orang yang menganggur di kota Padangsidimpuan
adalah sebanyak 11,51% dari angkatan kerja. Angka ini menunjuk
kepada mereka yang benar-benar tidak memiliki pekerjaan. Menurut
penulis bahwa banyak pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk
dikarenakan keterpaksaan karena menyangkut skill yang dimiliki.
Katakanlah misalnya pekerjaan seperti supir becak yang begitu banyak
di kota ini. Pekerjaan dilakukan karena disamping modal yang kecil,
juga skill untuk melakukannya tidak begitu sulit didapatkan. Jadi bukan
pekerjaan yang dianggap memiliki suatu prestise yang menyenangkan.
Jenis penderitaan lain adalah yang diakibatkan oleh penyakit baik
penyakit yang sudah sering dikenal maupun penyakit-penyakit baru,
seperti HIV/AIDs, narkoba, yang umumnya diderita oleh angkatan muda
yang tidak dapat melanjutkan pendidikan.10 Konteks yang keempat, GKPA
berada dalam lingkungan alam (environtment) yang mengalami kerusakan
yang parah, sama seperti yang dialami oleh masyarakat global.
Kerusakan hutan, polusi udara, perubahan iklim dan juga pemanasan
global.11
Menurut Hutasoit, konteks tersebut perlu diungkapkan agar gereja
yang kontekstual melakukan usaha-usaha untuk merespons keempat hal
tersebut, sehingga GKPA dapat disebut sebagai gereja yang
kontekstual.
Bagian ketiga, tulisan ini akan membahas peran strategis yang dapat
dilakukan oleh GKPA dalam kebedaraannya. Untuk menununjukkan
10 Ibid., hl. 6.11 Ibid., hl. 7.
Laporan Buku – Konsentrasi I
5
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
responsnya terhadap konteks tersebut di atas, Hutasoit menjelaskan
setidaknya ada empat respons GKPA, yakni:
Pertama, GKPA berperan sosial dalam memelihara dan membangun
masyarakat yang toleran, yang menghormati kemajemukan. Peran sosial
ini didasari pemikiran bahwa daerah Angkola sudah dikenal sebagai
masyarakat yang toleran. Dari sejarah kehadiran agama-agama di
daerah ini, para nenek moyang Angkola telah menanamkan rasa
solidaritas yang tinggi untuk menghormati perbedaan kepercayaan
dalam hal agama. Hal itu terlihat dalam perilaku sehari-hari, dimana
orang Angkola hidup bersamaan/berdampingan baik tempat tinggal,
tempat beribadah bahkan tempat perhentian sementara di dunia ini
(kuburan). Salah satu yang mendasari hubungan baik ini menurut
Hutasoit adalah budaya/adat yang dimiliki adalah sama. Misalnya
saja, dalam satu keluarga, sudah merupakan hal yang biasa bahwa
keluarga dekat memiliki agama yang berbeda namun selalu melakukan
hal-hal yang berhubungan dengan adat secara bersamaan. Untuk itulah
GKPA harus berperan sebagai alat untuk memelihara hubungan harmonis
di antara masyarakat yang berbeda agama, apakah itu dilakukan dengan
pertemuan-pertemuan formal seperti dialog antar umat beragama atau
pun dialog kehidupan.12
Kedua, GKPA berperan menjaga kepelbagaian gereja (ekumenisme).
Menurut Hutasoit, untuk menjaga kepelbagaian gereja yang ada di
Tapanuli Selatan, GKPA menjaga kebersamaan dengan beberapa cara,
seperti: pertama, mengintensifkan dialog-dialog13 dan kedua, dialog
12 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl.7-8.13 Menurut Hutasoit, dalam aspek yang sangat umum, ada tiga aspek yang pentingdipahami dari arah dialog tersebut : 1). Hanya jika kita berusaha memahamikepercayaan dan nilai-nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita,maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh. 2). Hanya jika kitaberusaha memahami perbedaan dengan orang lain, maka kita dapat memahami iman kitasendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan danyang berubah-ubah. 3). Hanya jika kita berusaha berkomunikasi melalui dialog
Laporan Buku – Konsentrasi I
6
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
tidak hanya meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga pengalaman
transformatif bagi pihak-pihak yang terlibat14. Menurut Hutasoit,
tujuan dialog tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi, melainkan
pro-eksistensi: tidak hanya membiarkan orang lain, tetapi juga ikut
mengadakannya secara afektif. Dialog semacam ini lebih menuntut
sikap terbuka daripada defensif, semangat belajar satu sama lain
daripada mentalitas ‘self-sufficient’, sikap rendah hati daripada perasaan
dirinya selalu benar, dan lain sebagainya.
Ketiga, GKPA berupaya mengatasi kemiskinan dan penderitaan umat.
Menurut Hutasoit, peran ini telah dimulai sejak masuknya para
misionaris ke Tanah Batak Selatan. Misalnya, pada tahun-tahun
permulaan penginjilan abad ke 19, khususnya setelah jemaat terbentuk
di Pakantan dan Dolok Siantar, para missionaris telah melakukan
usaha untuk mengatasi kemiskinan jemaat dengan membeli dan mengelola
lahan pertanian atas bantuan dana dari gereja Mennonite Ukraine.
Yang mengelola lahan pertanian ini adalah terbatas pada anggota
jemaat sendiri. Hingga saat ini lahan-lahan tersebut masih diberikan
oleh GKPA menjadi usaha jemaat di daerah tersebut.15 Bentuk lain di
kemudian hari dalam kepedulian gereja terhadap jemaat (1881), gereja
memulai usaha pendidikan kepada orang-orang tua supaya pandai
membaca dan menulis dan juga melatih warga jemaat mampu mengolah
susu sapi. Semua usaha ini dilakukan oleh para missionaris bersama-
sama dengan jemaat dan mendapat bantuan dana dari gereja Mennonite
Ukraine.16 Usaha lainnya yang sudah dimulai sejak para misionaris
dengan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama -meskipun adaperbedaannya- dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secaradamai.14 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 9.15 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 9-10.16 Ibid., hl. 10.
Laporan Buku – Konsentrasi I
7
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
berada di daerah Angkola adalah dengan membuka “sekolah topas17” di
Parausorat. Tamatan sekolah ini kemudian dikirim ke daerah lain
seperti Depok dan ke Belanda, yang kemudian dijadikan oleh
pemerintah Belanda menjadi guru-guru resmi pemerintah. GKPA
meneruskan warisan tersebut hingga saat ini. Sekolah topas mengalami
perubahan seiring dengan perubahan zaman. Umumnya GKPA saat ini
melanjutkan diakonia pendidikan di daerah-daerah terpencil dimana
pemerintah belum menyelenggarakan pendidikan. Hutasoit lebih dalam
menjelaskan, bahwa peran GKPA sejak 1986 sampai dengan 2005 dalam
mengembangkan dan meningkatkan kesejahteraan jemaat adalah dengan
berbagai kegiatan, seperti: (1) Pendirian Training Center di
Silandit Padangsidimpuan, (2) pengadaan proyek pengembangan
peternakan di Simangumban dan Aek Bingke, (3) Pendirian Poliklinik
di Silantom dan Muara Sipongi, (4) Pembangunan sarana air minum
untuk masyarakt desa. Proyek ini dilakukan di 3 (tiga) desa yaitu di
desa Parluasan, Parurean dan Damparan, dan (4) Pendirian Kredit
Union.18
Keempat, GKPA berperan memperbaiki lingkungan hidup (restorasi). GKPA
dalam hal ini melakukan pendampingan-pendampingan guna membangun
kesadaran bersama bahwa ketika kita berpartisipasi melakukan
restorasi alam, maka dengan sendirinya semua makhluk turut
bersukaria akibat dampak-dampak positifnya. GKPA dapat juga berperan
langsung seperti melakukan reforestrasi, perubahan gaya hidup dan
juga melakukan bakti social untuk melakukan kebersihan lingkungan,
guna mengurangi pencemaran air dan udara. Dalam hal ini GKPA bisa
melakukan peran mediator antara masyarakat dan institusi-institusi
yang peduli dengan lingkungan hidup. Banyak institusi baik17 Topas sejenis bambu yang dijadikan menjadi sebuah tempat pendidikan bagi para misionaris.18 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 10-11.
Laporan Buku – Konsentrasi I
8
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
pemerintah dan non pemerintah memiliki program dalam hal ini,
sehingga mereka membutuhkan mitra kerja. Oleh karena potensi GKPA
yang bisa mengakses ke luar maka peran mediator dapat dilakukan
dengan intensif.19
Bagian terakhir, tulisan ini adalah penutup dan saran-saran.
Hutasoit menutup tulisannya dengan memberikan beberapa rekomendasi
dan saran-saran praktis yang intinya bahwa GKPA adalah gereja yang
terbuka untuk masyarakat yang plural. GKPA memiliki peran strategis
untuk mewujudkan pelayanan yang holistik baik dalam keagamaan,
sosial, ekumenis dan peran restorasi lingkungan.20
2.2. KEHIDUPAN EKUMENISME DAN MAKNANYA DI DAERAH ANGKOLA
(Pdt.Dr.Andreas Yewangoe)21
Tulisan ini dipersembahkan oleh Pdt.Dr.Andreas Yewangoe kepada
GKPA yang saat itu sedang merayakan 150 tahun kekristenan di daerah
Angkola. Yewangoe menitik beratkan tulisannya dari sudut pandang
keesaan gereja di Indonesia, yang di dalamnya GKPA turut ambil
bagian dalam proses menuju keesan gereja itu. Dalam bagian
pendahuluan, Yewangoe menjelaskan bahwa keesaan adalah persoalan
yang tak habis-habisnya. Selama gereja hidup dalam dunia, upaya-
upaya menuju keesaan akan terus dilakukan, tentunya dengan
reinterpretasi sesuai konteks yang terus berubah.22 Menurutnya,
dengan peringatan 150 tahun kekristenan di Luat Angkola, GKPA yang
memberi porsi khusus bagi pemaknaan kehidupan ekumenis bagi dirinya,
menunjukkan niat yang besar untuk ikut serta dalam gerakan keesaan
19 Ibid., hl. 12.20 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 12-13.21 Pdt. Dr.Andreas Yewangoe adalah Ketua Umum PGI Periode 2004-2009 dan 2009-2014.Seorang pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) dan sekarang tinggal di Jakarta setelahmenyelesaikan tugasnya sebagai Ketua Umum PGI.22 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 15.
Laporan Buku – Konsentrasi I
9
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
di Indoenesia secara kontinu. Memaknai kehidupan dan gerakan keesaan
yang terus berlanjut, baiknya selalu dimulai dengan kesadaran
sejarah keesaan gereja.23
Yewangoe memberikan tiga catatan khusus tentang GKPA dalam arak-
arakan gerakan ekumenisme di Indonesia, yakni:
Pertama, Tapak Tilas Gerakan Ekumenisme Indonesia. Yewangoe
memulai catatannya dengan sejarah pergerakan ekumenisme di
Indonesia. Menurut Yewangoe, gerakan ekumenisme itu sendiri
merupakan gerakan yang tua bahkan setua gereja itu sendiri. Gerakan
ekumenis dalam pengertian praktis kemudian menjadi fenomena utama
abad ke 20, khususnya di kalangan Protestantisme. Gerakan ekumenis
ini dilatarbelakangi oleh kerinduan untuk mempersatukan gereja-
gereja yang selama ini terpisah-pisah. Kemunculan gerakan ekumenis
ini dipicu oleh persoalan-persoalan seperti persaingan antar gereja,
persaingan di lapangan pekabaran Injil, serta kebutuhan untuk adanya
kesaksian yang bersifat sosial. Alasan-alasan tersebut menyebabkan
gerakan keesaan pada awal abad ke 20 hanya dilihat secara
pragmatis.24
Lebih lanjut, Yewangoe menjelaskan posisi gerakan ekumenisme itu
di Indonesia, bahwa gerakan keesaan tidak terjadi dalam ruang vakum
namun dalam kenyataan sejarah bahwa sekian banyak gereja-gereja di
Indonesia lahir dari suku-suku tertentu. Bila kemudian gereja-gereja
yang dilatarbelakangi sifat kesukuan itu mempunyai kesadaran untuk
bersatu, bahkan mencita-citakan terbentuknya Gereja Kristen Yang Esa
(GKYE), adalah sesuatu yang luar biasa. Bahkan gerakan keesaan di
Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh gerakan keesaan dunia
melalui dua lembaga internasional, yaitu Dewan Pekabaran Injil
23 Ibid.24 Ibid., hl. 15.
Laporan Buku – Konsentrasi I
10
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Sedunia (International Missionary Council) dan Federasi Pekabaran Injil
Sedunia (World Christian Student Christian Federation).25 Menurutnya, kesadaran
akan pentingnya gerakan keesaan di Indonesia tidak pudar bahkan
dalam situasi krisis seperti masa Perang Dunia II ataupun masa
dominasi Jepang yang memutus hubungan lembaga-lembaga zending dengan
gereja-gereja di Indonesia. Semangat keesaan ini bahkan semakin
intensif dilakukan dalam rangka memaknai kesetiaan kepada Tuhan,
terlebih-lebih dalam era perang kemerdekaan (1947-1950). Masa krisis
ini justru mematangkan pemahaman gereja-gereja di Indonesia untuk
memahami dirinya sebagai suatu kesatuan dan sekaligus menjalin
kebersamaan dengan teman-teman sebangsa, termasuk yang berbeda
kepercayaan.26
Selanjutnya, Yewangoe menjelaskan tentang semangat gerakan
keesaan itu menjadi pemantik terbentuknya Dewan Gereja-gereja di
Indonesia (DGI) pada 25 Mei 1950. Dinamika perjalanan organsiasi DGI
ini mengalami fluktuasi yang bergelombang. Menurut Yewangoe, dalam
25 tahun pertama semenjak berinya DGI, pemaknaan gereja yang esa
tersebut masih menjadi persoalan dan tantangan mengenai keesaan mana
yang sesungguhnya diharapkan. Apakah keesaan yang dimaksud adalah
keesaan fungsional yang menekankan fungsi dan peranan sehingga
walaupun gereja belum esa namun dalam kesaksian dan pelayanannya
terlihat keesaannya. Ataukah yang dimaksud adalah keesaan struktural
yang menekankan keesaan secara institusional.27 25 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 16.26 Ibid.27 Ibid., hl. 17-18. Yewangoe menjelaskan bahwa untuk menyikapi kebingungan ini,setidaknya ada tiga pendapat mengenai GKYE pada masa ini, yang diwakili olehpandangan G.H.M. Siahaan (HKBP), P.H. Rompas (GPI) dan R. Sudarmo (GKJ). MenurutSiahaan, keesaan gereja tidak terletak pada kesatuan organisasi tetapi kepadakesatuan Roh. Berbeda dengan H. Rompas yang berpendapat bahwa keesaan gerejaterwujud jika gereja-gereja anggotanya bersama-sama merupakan satu gereja, tetapimasing-masing hidup menurut susunannya sendiri. Sedangkan R. Sudarmo melihat bahwakeesaan itu didasarkan pada doa Yesus supaya semua menjadi satu. Kesatuan itu
Laporan Buku – Konsentrasi I
11
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Persoalan keesaan ini masih menjadi topik hangat dalam 25 tahun
berikutnya. Dalam Sidang Raya IX tahun 1980 di Tomohon, bentuk
keesaan masih diperdebatkan dan pada akhirnya dicapai hasil diskusi
yang menelurkan “Lima Ciri Pokok Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia”.28 Perkembangan selanjutnya, dalam Sidang Raya DGI tahun
1984 di Ambon, DGI berubah menjadi PGI. Kata “Persekutuan”
menggantikan kata “Dewan” sebab dianggap lebih gerejawi. Dengan
demikian, setiap gereja yang menyatakan diri sebagai anggota PGI
memiliki semacam keyakinan dan perasaan kesatuan dan persekutuan
yang semakin mendekatkan kita pada GKYE. Lalu menurut Yewangoe,
dalam perkembangan selanjutan PGI kelihatan ambigu dalam rangkwa
mewujudkan keesaan gereja itu. Sebab PGI dalam Sidang Raya 2000 di
Palangka Raya dianggap semakin mendekati perwujudan GKYE. Namun
ternyata tidak mudah mencapai target tersebut sebab GKYE dalam arti
struktur organisasi yang memiliki suatu kepemimpinan pusat, sulit
untuk terbentuk. Yang terjadi malah ada banyak sekali gereja-gereja
yang melamar menjadi anggota PGI hingga mencapai 81 anggota. Hal ini
kemudian memunculkan semacam sinisme, apakah PGI sedang
mempromosikan keesaan atau melestarikan perpecahan. Pada Sidang Raya
XIV kemudian disadari bahwa keesaan gereja yang diperjuangkan
tersebut senantiasa berada dalam ketegangan dan dialektika terus-
terlihat dalam pengakuan, tugas, dan bentuk gereja itu. Permasalahan tentangbentuk keesaan gereja tersebut kemudian dibahas beberapa kali lagi dalam SidangRaya DGI. Dalam Sidang Raya VII diputuskan penerimaan dan pengesahan struktur bariDGI di mana gereja-gereja anggota langsung bertanggung jawab atas usaha perwujudangerakan keesaan gereja; serta penempatan keesaan gereja dalam hubungan dengankesaksian dan pelayanan.28 “Lima Ciri Pokok Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”, yaitu: a. Satu PengakuanIman; b. Satu wadah bersama; c. Satu tugas panggilan dalam wilayah bersama; d.Saling mengakui dan menerima; dan e. Saling menopang. Dari sinilah kemudian lahir“Simbol-simbol Keesaan” dalam sidang Badan Pekerja Lengkap (BPL)-DGI 1981 yangmeliputi 4 dokumen yakni: 1. Piagam Prasetya Keesaan; 2. Pemahaman Iman Bersama;3. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima; dan 4. Tata Gereja Dasar.
Laporan Buku – Konsentrasi I
12
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
menerus yang bergerak dari keesaan struktural-organisatoris ke
fungsional-organisatoris dan sebaliknya.29
Akhirnya, pada Sidang Raya 2004 PGI memperkenalkan pamahaman
keesaan “in action” yakni keesaan yang tidak bisa diukur hanya pada
terbentuknya satu gereja tetapi juga sifat-sifat lainnya yaitu
ketika gereja-gereja melaksanakan fungsi bersama untuk melayani dan
bersaksi di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.30
Kedua, GKPA Memaknai Kehidupan Ekumenisme. Pada bagian kedua
tulisannya ini, Yewangoe melihat posisi dan peran GKPA dalam mengisi
dan bergulat dalam perjalanan gerakan ekumenisme di Indonesia.
Menurutnya, Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) yang berdiri
sejak 26 Oktober 1975 kini memaknai kembali kehadiran kekristenan
yang sudah 150 tahun di Luat Angkola. Berbicara mengenai kehadiran
kekristenan di Luat Angkola tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
kekristenan di Indonesia, termasuk kiprahnya dalam gerakan keesaan
gereja. GKPA sebagai salah satu anggota PGI, tentunya ikut serta
untuk mewujudkan tujuan bersama memaknai keesaan.31
Lebih dalam Yewangoe mengatakan, keikutsertaan GKPA dalam
gerakan keesaan gereja lebih tampak dalam visi dan misinya yang
tidak terpisah dari visi dan misi gereja-gereja di Indonesia yang
secara bersama-sama bersaksi dan bertumbuh menuju kedewasaan. Untuk
mencapai visinya ini, GKPA harus menghadirkan nilai-nilai Kerajaan
Allah di dunia. Berdasarkan visi ini, maka GKPA dalam pertumbuhannya
tidak boleh bersifat statis melainkan dinamis.32
29 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 19.30 Ibid.31 Ibid., hl. 19.32 Ibid., hl. 20-21.
Laporan Buku – Konsentrasi I
13
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Yewangoe melihat keikutsertaan GKPA dalam gerakan keesaan Gereja
di Indonesia terlihat dari pemikiran Pdt.Dr.Ginda P.Harahap.33 Lebih
dari itu, Harahap memaknai keikutsertaan GKPA dalam gerakan
ekumenisme sebagai visi masa depan GKPA. Secara khusus, ia
menyinggung bahwa gerakan keesaan gereja dapat memberikan pengaruh
yang positif bagi pengembangan perspektif kepemimpinan dan pelayanan
GKPA.34
Ketiga, Catatan Penutup. Pada bagian akhir tulisannya, Yewangoe
memberikan beberapa catatan. Catatan pertama, refleksi 20 tahun
GKPA. Pada usia 20 tahun GKPA sebuah pertanyaan yang muncul “Kemana
GKPA di Masa Mendatang?” Pertanyaan ini pada saat itu dijawab dengan
tiga persepsi jati diri dan identitas GKPA, yakni: pertama, GKPA
memiliki visi dan misi pelayanan yang kontinu dari zaman ke zaman.
Kedua, GKPA adalah gereja yang bedoa. Ketiga, GKPA bersama Kristus
selamanya. Sudahkah GKPA sendiri melihat ke belakang sembari
mengevaluasi diri atas cita-citanya terdahulu? Keikutsertaan GKPA
dalam gerakan ekumenis juga selalu menyisakan pertanyaan mengenai
tujuan keesaan bagi GKPA sendiri di masa mendatang. Visi dan misi
kepemimpinan dan pelayanan di atas merupakan kesempatan menjanjikan
yang dimiliki GKPA untuk ikut serta dalam gerakan keesaan gereja di
Indonesia maupun internasional.35
Catatan kedua, Perjuangan menuju keesaan selalu menjadi PR kita
bersama. Yewangoe melihat bahwa masih banyak agenda gereja-gereja di
Indonesia dalam mewujudkan kehidupan yang ekumenis, seperti:
persoalan mengenai masyarakat sipil yang masih menjadi perjuangan
33 Pdt.Dr.Ginda P.Harahap,M.ST. adalah Ephorus GKPA ketiga Periode 1986-1991 dan1991-1996. Seusai melaksanakan tugasnya sebagai Ephorus GKPA beliau melayanisebagai Sekretaris Asia Desk Lutheran World Federation (LWF) sejak 1998-2011. Dansekarang tinggal di Bumi Serpong Damai, Banten.34 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 21.35 Ibid., hl. 22.
Laporan Buku – Konsentrasi I
14
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
bersama bangsa kita, bagaimana memelihara ketegangan kreatif antara
perjuangan keesaan dan perwujudan masyarakat sipil tanpa membeda-
bedakan agama dan suku yang hidup di dalamnya, kekerasan yang
bernafaskan agama dan penutupan gereja serta kekerasan terhadap
saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan.36
Catatan ketiga, keikutsertaan GKPA dalam gerakan keesaan Gereja.
Menurut Yeswangoe, Core business gerakan keesaan bersama ke depan
adalah, “Mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia.” Namun ini
bukanlah tujuan akhir melainkan sebuah proses bersama-sama yang
kontinu untuk hidup di dalam dunia yang layak didiami.37
Catatan keempat, Gereja pun tidak boleh melihat dirinya sebagai
pusat segala sesuatu. Yewangoe mengatakan bahwa Gereja mesti
menyadari kemajemukan yang adalah identitas masyarakatnya. Dengan
adanya adagium Sidang Raya XVI PGI tentang “Gereja Bersama Orang
Lain”, sudah menjadi keharusan bagi gereja-gereja agar lebih
menggiatkan lagi jalinan relasinya dengan sesama yang beragama dan
berkepercayaan lain.38
2.3. MAKNA SEJARAH GEREJA MASA KINI: SUATU ANALISA HISTORIS
TENTANG SEJARAH KEKRISTENAN DI LUAT ANGKOLA 15 MARET 1861-15
MARET 2011 (Pdt.Dr.JR.Hutauruk)39
J.R.Hutauruk dalam bagian pendahuluan tulisannya menjelaskan
bahwa penulisan sejarah kekristenan di daerah Angkola tidaklah
mudah. Menurutnya, bagi setiap pengamat sejarah kekristenan di Luat
Angkola tidaklah mudah melukiskan seperti apa wajah Luat Angkola
dan penduduknya sebelum pendudukan kolonial Belanda, karena minimnya36 Ibid., hl. 22-23.37 Ibid., hl.. 23.38 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 23-24.39 Pdt.Dr.J.R.Hutauruk adalah Ephorus HKBP Periode 1998-2002. Saat ini masih aktifmengajar di beberapa sekolah teologi di Medan dan beliau tinggal di Medan.
Laporan Buku – Konsentrasi I
15
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
dokumen-dokumen yang mencatat sejarah sosial suku bangsa Batak pra
kekristenan. Satu-satunya peristiwa yang membentuk ingatan kolektif
masyarakat Batak pada umumnya ialah pendudukan kaum Pidari atau
Bonjol yang tidak lepas dari tindakan-tindakan pembakaran desa dan
pembantaian penghuninya tahun 1820-an dalam rangka pengislaman luat
tersebut.40
Lalu J.R. Hutauruk menjelaskan bahwa ada tiga kekuatan asing
yang membentuk dan mempengaruhi sejarah kekristenan di daerah
Angkola, yakni: kolonial Belanda, agama Islam dan agama Kristen.
Ketiga kekuatan ini saling merebut simpati dan impian manusia Luat
Angkola dan luat-luat Batak lainnya sejak 1820an hingga 1940an.
Bahkan menurutunya, persaingan di antara ketiga kekuatan itu tidak
selalu sehat karena beragam faktor yang muncul, itulah yang menjadi
perhatian manusia Luat Angkola dari generasi ke generasi.41
Penulis membatasi tulisannya pada tiga aspek sejarah
kekristenan itu di Luat Angkola, yaitu hubungan jemaat-jemaat yang
beragam latarbelakang sending, yang akhirnya bermuara pada gereja
GKPA dan bagaimana jiwa rekonsiliasi telah mendamaikan gereja-gereja
Luitheran (LWF:Lutheran World Federation) bersama gereja Mennonit
pada Sidang Raya LWF 2010.
Pertama, Injil Kristus Masuk Ke Luat Angkola (1850an – 1940an).
J.R.Hutauruk menjelaskan masuknya kekristenan ke luat Angkola
melalui rute perjalanan kapal yang datang dari Eropa ke Sumatera
bagian barat melalui pintu pelabuhan Padang di Tanah Minangkabau ke
Tapian na Uli di Sibolga, lalu menuju daerah Angkola.42
40 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl.. 25.41 Ibid.42 Ibid., hl.26
Laporan Buku – Konsentrasi I
16
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Menurutnya, ada empat lembaga sending protestan telah memasuki
bagian selatan Tanah Batak tersebut, a.l.43 (1) Jemaat Ermelo dari kota Ermelo, Belanda. Utusan pertamanya
ialah penginjil Gerrit van Asselt 1857. (2) “Rheinsiche Missionsgesellschaft (RMG) dua tahun kemudian
(1859) oleh penginjil C.J.Klammer dari tiba di Angkola. (3) “Java Comite” (1864) dari Belanda tiba di Angkola untuk
membantu pelayanan jemaat Ermelo di bidang tenaga dan dana. (4) Sending Mennonit-Anabaptist dari Belanda (dan Rusia,
Ukraine) 1871, melakukan penginjilan ke kawasan Angkola-Jae danMandailing. Sending Mennonit dikenal pula dengan nama “DoopgezindeZendingsvereeniging” (DZV) yang berkantor pusat di Amsterdam.
Hutauruk melihat dengan keragaman lembaga sending Protestan
yang masuk ke daerah Angkola itu membuahkan tiga ragam jemaat-jemaat
Kristen Angkola, seperti: jemaat-jemaat dibawah pimpinan lembaga
sending RMG, jemaat-jemaat “Java Comite” dan jemaat-jemaat “DZV”
atau
jemaat-jemaat Mennonit. Bahkan menurutunya, kepelbagaian ini menjadi
suatu fakta sejarah kekristenan di Luat Angkola, bahwa para
penginjil Barat diutus oleh berbagai lembaga sending
Protestan.44
Dengan kepelbagaian badan zending itu, maka timbul pulalah
kepelbagaian tradisi ajaran yang berbeda misalnya di bidang
pemahaman akan arti baptisan sebagai satu ajaran hakiki dalam
kehidupan orang Kristen. Tiga lembaga sending mengajarkan baptisan
anak-anak, sedang sending Menonit mengajarkan baptisan orang dewasa,
masing-masing dengan landasan dogma yang telah mengakar di dunia
kekristenan di Barat sejak munculnya zaman reformasi oleh Marthin
Luther.45
43 Ibid.44 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 27.45 Ibid.
Laporan Buku – Konsentrasi I
17
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Hutauruk dalam tulisannya ini memamparkan situasi dan kondisi
politik pada saat masuknya kekristenan ke daerah Angkola. Daerah
Angkola pada saat kedatangan Gerrit van Asselt masih berada di bawah
pemerintahan gubernur Belanda berkedudukan di Padang Sumatera Barat.
Namun Van tetap berusaha meminta ijin untuk melalukan penginjilan ke
bukan ke daerah Angkola tetapi kepada orang Batak yang masih memeluk
agama arkhais animis-magis di wilayah Batak Toba, akhirnya Ariens
menugaskan G.van Asselt menjadi administator gudang kopi milik
Belanda di kota-kecil, Sipirok yang sudah direbut Belanda dari kaum
Padri. Dalam surat pengangkatannya, van Asselt diizinkan melakukan
pekerjaan sampingan yaitu menyebarkan Injil kepada kaum Batak
kafir. Beliau menerima tawaran tersebut menjadi pegawai dan
sekalian izin penginjilan ke tengah-tengah orang kafir. Beberapa
rekannya dari Ermelo segera menyusul, yakni para Penginjil
Friedrick Wilhelm Betz, Dammerboer, Van Dalen dan Koster.46
Pada masa pelayanan itu, Van Asselt berhasil membaptis dua orang
Batak pertama pada hari raya paskah 30 Maret 186147, yakni Pagar
Siregar dengan nama baptis Simon Petrus, bersama-sama dengan si Main
Tampubolon yang diberi nama Jakobus di setasi sending Sipirok. Simon
Petrus adalah putra raja pamusuk (raja-kampung), Sutan Doli, dari
Bungabondar, sementara Jakobus adalah seorang
anak rantau asal Barus yang dibeli van Asselt di salah satu pasar
kemu dian dijadikan pelayan pembantu van Asselt. Hingga 7 Oktober
1861 van Asselt dan rekan-rekannya masih bekerja atas nama jemaat
Ermelo, tetapi sejak 7 Oktober 1861 bersama seorang penginjil
46 Ibid.47 Penetapan tanggal ini masih dalam perdebatan. Karena HKBP menetapkan pada 30Maret 1861, sementara GKPA menetapkan pada 15 Maret 1861 oleh misionaris yangsama. Persoalan ini perlu diteliti lebih mendalam agar tidak menjadi perdebatantanpa akhir. Karena pasti kedua belak pihak memiliki argumentasi atas penetapantanggal dimaksud.
Laporan Buku – Konsentrasi I
18
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
jemaat Ermelo lainnya (Betz) bergabung dengan dua penginjil Jerman
Rhein (Rheinisiche Missionsgesellschaft / RMG) yaitu Heine
dan Klammer disepakati membuka penginjilan itu secara bersama untuk
seluruh Tanah Batak. Beliau melanjutkan pelayanannya di Tanah Batak
bagian utara hingga 1875 di bawah pimpinan lembaga sending Rhein
Jerman (RMG). 48
Menurut Hutauruk, setelah bergabungnya van Asselt ke badan
sending RMG, di daerah Angkola telah berdiri beberapa jemaat dan
sebuah seminari di Parausorat yang dipimpin Dr.A.Schreiber pada
1868. Para guru sending tamatan seminari tersebut telah melayani
jemaat-jemaat di seluruh daerah sending Jerman, baik di Angkola dan
Mandailing maupun di bagian utara Tanah Batak. Selain seminari
Parausorat, kaum muda Angkola juga mendapat kesempeatan untuk
belajar di seminari Depok, Jawa Barat sejak 1880-an.49
Catatan lain yang dibuat Hutauruk adalah Sipirok pernah menjadi
suatu kekuatan Krsiten di luat Angkola kalau ditinjau dari sudut
kemapuan guru-guru Kristen mengajar di sekolah-sekolah sending dan
juga dari segi jumlah warganya. Lembaga Sending Java Comite
mengirimkan penginjil ke Angkola dan Mandailing sejak 1864 guna
membantu penginjilan jemaat Ermelo. Penginjilan jemaat Ermelo
bersama Java Comite itu tetap eksis, melayani di Sipirok,
Bungabondar, Sipiongot (di tanah datar luas Padangbolak),
Hutarimbaru dan Pargarutan. Lalu Hutauruk juga menjelaskan bahwa
Sending Mennonit di daerah Mandailing dirintis oleh Heinrich Dirks
dari sebuah desa Kristen Mennonit di Rusia. Beliau memilih tempat
tinggalnya di Pakantan – Mandailing sejak awal 1871. Beliau
melayani jemaat-jemaat Mennonit di Mandailing seperti Pakantan,
48 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 27-28.49 Ibid., hl. 28.
Laporan Buku – Konsentrasi I
19
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Huta na godang dan Penyabungan dari tahun 1871 sampai akhir
dasawarsa 1920an. Ketibaan Heinrich Dirks itulah yang kemudian
dijadikan hari jadi Gereja Mennonit di Mandailing.50
Kedua, Upaya Penyatuan (1929-1970an). Dalam bagian ini Hutauruk
menjelaskan bagaimana upaya-upaya penyatuan jemaat hasil sending
Ermelo, Mennonite dan Java Comite ke sending RMG. Hutauruk juga
menunjukkan fakta empiris bahwa tidak semua lembaga sending
Protestan di Tanah Batak Angkola dapat bertahan melakakukan tugas
penginjilan karena tekanan ekonomi di Eropa dan situasi politik di
negeri pengutus mereka. Dari empat lembaga sending yang datang ke
Tanah Batak Angkola, hanya satu yang bisa bertahan, yakni RMG.
Sementara tiga lembaga sending lainnya, seperti Sending Ermelo, Java
Comite dan Sending Mennonit-Anabaptis (DZV) tutup karena mengalami
kesulitan di bidang dana dan tenaga karena jemaat-jemaat pendukung
dan kelompok-kelompok pendukung mereka di negeri Belanda dan Rusia
mengalami kesulitan dana dan tenaga.51 Lebih dalam Hutauruk
menjelaskan bahwa alasan tutupnya ketiga lembaga sending itu adalah
persoalan yang sedang dihadapi oleh Kaum Mennonit-Baptis di Rusia
yang pada waktu itu mengalami tindak kekerasan dari pemipimpin
Rusia Lenin dan Stalin, a.l. menjalani hidup kerja-paksa, sampai
akhir khayat mereka di Siberia. Penindasan terhadap kaum Mennonit-
Baptis itu pula yang membuat kegiatan pelayanan sending di Luat
Mandailing itu jadi terkendala, karena jemaat-jemaat Mennonit Rusia
kekurangan tenaga dan dana, sehingga akhirnya jemaat-jemaat Mennonit
terpaksa diserahkan kepada pelayanan sending Java Comite. Jalan
yang sama ditempuh oleh Java-Comite 1929 dengan penyerahan jemaat-
50 Ibid., hl. 29.51 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 29.
Laporan Buku – Konsentrasi I
20
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
jemaat asal Java Comite dan juga asal jemaat Mennonit kepada lembaga
Sending Rhein Jerman.52
Fakta lain yang disampaikan Hutauruk adalah Ephorus Dr. Johannes
Warneck (1920-1932) memandang proses penggabungan itu sebagai
langkah awal penyatuan jemaat-jemaat Batak, yang saat itu memakai
bahasa Angkola buat jemaat-jemaat berlatarbelakang Angkola dan
bahasa Toba buat orang-orang Kristen Batak Toba. Ephorus Warneck
melihat penyatuan jemaat-jemaat itu dalam sebuah wadah kegerejaan
yaitu gereja Batak, yang sejak 1929 punya nama Huria Kristen Batak
Protestan, disingkat HKBP. Jadi bukan ke lembaga sending Jerman
Rhein. Beliau membedakan organisasi sending yaitu Rheinische
Missonsgesellschaft (RMG) di Sumatra dan HKBP (1929). Bagi beliau
jemaat-jemaat asal Ermelo dan Java Comite itu bukan disatukan pada
lembaga sending Rhein RMG tetapi kepada Gereja Batak HKBP.53
Hutauruk juga menjelaskan bahwa proses penyatuan itu tidak
berjalan dengan mulus. Karena dikemudian hari jemaat-jemaat asal
penginjilan jemaat Ermelo dan Java Comite itu kemudian memisahkan
diri dari HKBP dan bergabung dengan Gereja Muria di Jawa Tengah.
Menurutnya, fakta historis ini perlu dicermati dan mencari faktor-
faktor apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Alasan yang dikemukakan
Hutauruk, pemisahan itu terjadi karena soal prinsip. Jemaat hasil
sending Ermelo, Java Comite dan Mennonite tidak setuju dengan
prinsip jemaat yang mandiri di bidang dana. Mereka sudah terbiasa
dengan prinsip diberi atau menerima dari dan oleh para lembaga
sending.54
Jemaat Mennonite itu akhirnya begabung dengan HKBP-A (GKPA) yang
mandiri dari HKBP 1975. Konsekuensi penggabungan ini tentunya ada.52 Ibid.53 Ibid., hl. 29-30.54 Ibid., hl. 31.
Laporan Buku – Konsentrasi I
21
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Menurut Hutauruk, penggabungan jemaat Mennonite dengan GKPA menjadi
suatu beban bagi GKPA. GKPA tetap memberi kebebasan kepada jemaat-
jemaat Menonit melakukan tradisi Menonit di bidang baptisan orang
dewasa, tetapi partisipasi jemaat-jemaat Mennonit di bdiang dana,
tetap menjadi masalah ekklesiologis bagi jemaat-jemaat Mennonit dan
GKPA. GKPA tidak memaksakan jemaat Menonit menyesuaikan diri dengan
tradisi baptisan anak-anak seperti pada umumnya dilakukan oleh
Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Tetapi GKPA tetap
mempergumulkan dan berupaya untuk merubah citra jemaat dari sikap
hanya menerima kepada citra memberi melalui persembahan dalam
kebaktian. Juga di bidang kepemilikan atas aset-aset sending yang
dibangun oleh sending Mennonit di Pakantan hingga kini masih dalam
pergumulan, yaitu supaya asset itu menjadi aset gereja bukan asset
segolongan penduduk. Tetapi kendala yang sangat sulit dihilangkan
ialah kebiasaan waga jemaat Mennonit yang tidak pernah diarahakan
dan di bina untuk menjadi warga yang suka memberi, jemaat yang
manidiri di bidang dana. Seroang pendeta GKPA pernah menceritakan
betapa senangnya warga jemaat Mennonit menceritakan bahwa dulu
mereka diberi hadiah oleh penginjil Mennonit saat mereka
menginggalkan gedung gereja selesai kebaktian minggu.55
Ketiga, Rekonsiliasi. Bagian terakhir tulisan Hutauruk ini
ditutup dengan pemikiran rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang dimaksud
Hutauruk di sini bukanlah rekonsiliasi dari pergumulan dan persoalan
sending di Tanah Batak Angkola, melainkan rekonsiliasi atara pihak
Gereja Lutheran dengan Gereja Mennonit se dunia. Menurutnya, sejarah
berdirinya gereja Baptis-Mennonit di dunia meninggalkan sejarah
kelam dari gereja-gereja Barat abad ke-16 (Katolik dan Protetsant)
karena gerakan Baptis-Mennonit telah mengalami tindak kekerasan55 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 31-32.
Laporan Buku – Konsentrasi I
22
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
untuk menumpas gerakan itu karena perbedaan pemahaman tentang
baptisan. Gereja Mennonit-Baptis sebagai cabang dari gerakan
Reformasi abad ke-16 telah mengalami penganiayaan dari pihak raja-
raja setempat yang menganut ajaran Reformasi Martin Luther yaitu
baptisan kanak-kanak, sedang Gereja Mennonit-Baptis menganut
baptisan dewasa.56
Dalam sejarah dicatat bahwa hampir seluruh kaum Mennonit di
Eropah Barat mengalami tindak kekerasan berupa pembunuhan masal atau
bahkan pembakaran hidup-hidup, yang diprakarsai oleh raja-raja
beraliran protestan itu dan juga didukung oleh para teolog semisal
Martin Luther. Pihak kaum Mennonit sebaliknya tidak mau melakukan
tindak kekerasan untuk mempertahankan diri. Mereka memilih jalan
tanpa kekerasan. Justru tindak penganiayaan atau kekerasan yang
demikian melanggar HAM itulah maka seluruh gereja-gereja Lutheran
yang terhimpun pada Persekutuan gereja-gereja Lutheran Sedunia
(Lutheran World Ferderation) pada Sidang Raya LWF XI Juli 2010 di
Stuttgart, Jerman mengungkapkan minta maaf yang sejujurnya atas
perbuatan tak berperikemanusiaan kepada Gereja-gereja Mennonit, yang
hadir pada Sidang Raya tersebut. Suatu fakta historis yang sungguh
berkesan, betapa mahalnya dan mulianya sikap mengaku dosa dan minta
maaf dihadapan Tuhan dan di hadapan sesama manusia, sekalipun
masing-masing pihak tidak hidup lagi pada masa penganiayaan atau
tindak kekerasan itu. Namun kesalahan para leluhur itu yang selalu
terekam hingga ke masa kini menembus kehidupan generasi ke generasi
kaum Mennonit, harus dihadapi dengan sikap dan pemahaman yang baru.57
56 Ibid., hl. 32.57 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 33.
Laporan Buku – Konsentrasi I
23
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
2.4. JAWABAN GKPA TERHADAP TANTANGAN MASYARAKAT MAJEMUK DI
TAPANULI SELATAN (Pdt. Dr. G.P. Harahap, MST)
Dalam pendahuluan tulisannya ini, G.P.Harahap menjelaskan bahwa
pengalaman sejarah para misionaris yang datang ke Tanah Batak
Angkola memberi pelajaran tentang pengalaman missionaries dan
pelayan-pelayan gereja yang dapat memberikan inspirasi dan potensi
untuk mengembangkan generasi berikutnya. Pengalaman yang baik dari
pelayan-pelayan gereja di masa lampau boleh ditiru dan dikembangkan
dalam meneruskan perjalanan hidup gereja masa depan. Dengan
mempelajari sejarah perjalanan kekristenan selama 150 tahun yang
lalu, sudah pasti menawarkan banyak variasi kondisi dan pengalaman
aktivitas Kekristenan yang memberikan bekal dan titik pijak bagi
kita untuk membangun sejarah Kekristenan yang baru di Tapanuli
Selatan, terutama di luat Angkola.58
Ada empat pemikiran yang disumbangkan Ginda P.Harahap dalam
tulisannya ini, yakni:
Pertama, Masyarakat Majemuk Tapanuli Selatan. Dalam uraian ini,
Harahap memfokuskan pebahasannya mengenai kemajemukan kemajemukan
agama maysarakat Tapanuli Selatan. Agama atau kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat majemuk adalah hal yang paling menarik
dibicarakan, terutama dalam konteks masyarakat Angkola Tapanuli
Selatan. Kemajemukan agama sangat mewarnai sejarah kehidupan dan
sosial masyarakat yang membutuhkan sikap hidup berdampingan,
membangun kehidupan bersama, dengan tidak melupakan keunikan agama
masing-masing. Setiap orang menjadikan agamanya sebagai identitas
pribadinya sambil memelihara hidup spiritualitasnya sesuai ajaran
agamanya.59 Menurutnya, nilai agama atau kepercayaan sangat kuat
58 Ibid., hl. 35.59 Ibid., hl. 36.
Laporan Buku – Konsentrasi I
24
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
ditengah-tengah masyarakat Tapanuli Selatan. Kadang-kadang praktek
keagamaan kelihatan lebih kuat dibandingkan dengan praktek adat,
terutama di lingkungan suku masyarakat Angkola Mandailing. Ajaran
agama telah disosialisasikan kepada anak-anak sejak masa kecil,
umpamanya di lingkungan masyarakat Islam melalui pondok pesantren
sebagai sarana pendidikan agama. Demikian juga di lingkungan
masyarakat Kristen melalui pengajaran anak-anak di sekolah Minggu,
naik sidi, keaktifan mengikuti kebaktian Minggu, dan sebagainya.60
Harahap lebih dalam menguraikan bahwa kedua agama Kristen dan
agama Islam terutama di beberapa desa Angkola selalu ingin
mengembangkan seni hidup berdampingan secara damai, hidup bersama
dengan menghormati satu sama lain, dan berusaha untuk membangun
kerja sama yang baik. Saya ingin memberikan contoh tentang kebiasaan
yang baik dalam hal menciptakan kerukunan antar umat beragama di
daerah Angkola, seperti di Sipirok dan di desa Parausorat.61
Menurutunya, kemajemukan atau pluralitas agama telah merupakan suatu
hal yang tak dapat dielakkan. Hubungan dengan orang lain memberikan
kesempatan untuk dapat saling belajar mengenai kepercayaan agama
masing-masing dan memperluas wawasan mengenai sesuatu pandangan baru
dan menghargai perbedaan-perbedaan.62
Kedua, tantangan yang ditimbulkan oleh masyarakat majemuk. Ginda
Harahap menguraikan beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh
masyarakat majemuk, terutama tantangan yang mengakibatkan kesulitan
untuk menciptakan dan mengembangkan kerukunan antar umat beragama.
Tantangan itu dilihat dari dua sisi, yakni tantangan yang berakar
pada masa tempo dulu dan tantangan yang nampak secara jelas pada
masa kini. 60 Ibid.61 Ibid., hl. 37.62 Ibid., hl. 37-38.
Laporan Buku – Konsentrasi I
25
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Ginda Harahap menguraikan kedua agama memiliki beberapa sikap
negatif pada masa lampau yang sangat mempengaruhi masa kini. Agama
Islam memiliki sikap negatif terhadap agama Kristen.63 Begitu juga
sebaliknya, agama Kristen memiliki sikap negatif terhadap agama
Islam.64
Tantangan kemajemukan agama masa kini diuraikan Harahap
berdasarkan pemikiran Francis Arinze. Menurut Francis ada beberapa
tantangan kemajemukan agama pada masa kini, seperti:65
1. Pengaruh ingatan akan sejarah terjadinya konflik dan kesalah-pahaman pada masa silam, termasuk akibat-akibat faktor sosial-politik yang menyusahkan masyarakat.
2. Adanya sikap membela kebenaran agamanya sendiri walaupunpengetahuan tentang agama sendiri tidak cukup.
3. Sikap-sikap fundamentalist atau extremist memperkosa hak-hakazasi orang lain, bahkan melakukan aksi-aksi kekerasan, kekejamandan penderitaan orang lain.
63 Sikap-sikap negatif masyarakat Islam terhadap masyarakat Kristen sesuai ajaranyang diterima:1. Masyarakat Islam menganggap masyarakat Kristen sebagai yang tidak beragama
atau kafir berdasarkan ajaran Kristen mengenai Trinitatis.2. Masyarakat Islam menganggap orang Kristen sebagai orang yang tak
bersih dilihat dari sudut pantangan jenis makanan tertentu.3. Masyarakat Islam menganggap penganut agama Kristen sebagai orang-orang
kolot dengan dasar bahwa gama Islam adalah agama yang menyempurnahkan agama-agama sebelumnya.
4. Masyarakat Islam membenci orang-orang Kristen, karena orang-orangKristen dianggap menjijikkan.
5. Masyarakat Islam menganggap mereka superior atau lebih tinggi dariorang-orang Kristen, karena keyakinan bahwa agama Islam adalah pernyataanAllah yang terakhir dan Muhammad adalah Nabi yang terakhir dan terbesar.
64 Sikap-sikap negatif masyarakat Kristen terhadap masyarakat Islam akibat pengajaran Missionaris sebelumnya:1. Islam dianggap sebagai agama yang palsu.2. Muhammad dianggap sebagai nabi yang palsu.3. Masyarakat Islam dianggap berdiri di atas kepalsuan, karena agama
mereka berdasarkan kebohongan.4. Berdasarkan itu, Islam dianggap sebagai agama yang rapuh, yang tidak
mempunyai masa depan.5. Karena itu orang-orang Kristen tidak tertarik untuk mempelajari
kehidupan masyarakat Islam termasuk mempelajari agama Islam.
65 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 39.Laporan Buku – Konsentrasi I
26
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
4. Pengetahuan dan pengertian yang terbatas tentang kepercayaanagama lain, yang tidak akan pernah menghargai orangberagama lain. Orang yang tidak mengerti orang- orang lain dantidak memahami motivasi mereka, dapat dengan mudah mengembangkansikap kecurigaan, dan tidak percaya terhadap orang lain.
5. Keterbukaan yang kurang terhadap pengikut agama lain membawa kepadasikap membela diri dan bersikap menyerang.
Menurut Harahap, semua sikap-sikap diatas akan memperkuat
"tuntutan kebenaran" ("truth claim") masing-masing agama sehingga setiap
agama merasa "hanya agamanya yang benar dan agama lain tidak benar",
dan hanya "agamanya yang dapat menyelamatkan manusia."66 Bahkan
menurut Harahap, jika sikap-sikap seperti ini masih tetap
mempengaruhi masyarakat modern pada zaman kita ini, dimana pun,
kerukunan antara umat Islam dan umat Kristen tidak akan pernah
terwujud selamanya. Agama bukanlah masalah ideologi atau perjuangan
untuk mempertahankan ideologi, akan tetapi agama adalah masalah iman
kepercayaan kepada Allah pencipta yang hanya satu itu. Apapun usaha-
usaha untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama akan tetap
gagal dan tidak akan pernah berhasil selamanya sepanjang agama
dianggap sebagai sistem ideologis. Sikap superioritas masing-masing
agama tidak akan pernah bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih
baik.67
Ketiga, peranan GKPA sebagai jawaban terhadap tantangan pluralitas
agama. Dalam bagian ini, Harahap memberikan beberapa pemikiran
tentang peran GKPA dalam menjawab tantangan pluralitas agama yang
ada di Tapanuli Selatan. Menurutnya, salah satu tujuan kemandirian
("panjaeon") atau berdirinya GKPA secara otonom sejak 1976, adalah
untuk meng-kontekstualisasikan pelayanan Kekristenan di Tapanuli
Selatan, bukan hanya berkaitan dengan unsur bahasa dan budaya saja,
66 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 40.67 Ibid.
Laporan Buku – Konsentrasi I
27
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
melainkan sangat penting kaitannya juga dengan unsur keagamaan.68
Harahap yakin bahwa Allah telah memberikan suatu tanggung jawab
besar kepada GKPA untuk berpartsipasi dalam pelayanan dan misi Tuhan
sesuai konteksnya di Tapanuli Selatan. Kita mengakui bahwa GKPA
telah menjalankan tugas panggilannya untuk menjalankan pelayanan
yang cukup menghormati kemanusiaan tanpa perbedaan agama, suku,
bahasa dan kebudayaan.69
Harahap melihat peran GKPA terpanggil untuk meneruskan dan
membaharui tugas panggilan dan tanggung jawabnya terutama dalam hal
mengembangkan pelayanannya ditengah-tengah pluralitas agama. GKPA
pantas berperan sebagai tuan rumah dan promotor untuk mengembangkan
cara-cara baru dalam hal mewujudkan hidup kerukunan antar umat
beragama di luat Angkola/Mandailing Tapanuli Selatan.70
Harahap lebih lanjut menawarkan sebuah paradigma baru dalam
menjaga kerukunan umat beragama di daerah Tapanuli Selatan. Dia
mengusulkan agar GKPA meninggalkan pola dialog antar umat beragama
bersama pemuka agama Kristen dan Islam karena dialog semacam ini
selalu mengalami kegagalan, dan tidak menghasilkan sasaran yang
diharapkan menjadi model pola atau paradigma dialog ini disebut
"dialog dalam aksi" ("diapraxis"), atau "dialog in action", atau boleh
juga disebut "dialog dalam kehidupan" atau "dialog in life".71
Diapraxis sangat esensiil dalam konteks masyarakat agama majemuk
mewujudkan hidup kerukunan antar umat beragama, dimana pembicaraan
dalam dialog diapraxis memusatkan perhatian pada hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan kemanusiaan. Paradigma dialog Diapraxis
merupakan pendekatan "kontekstual antropology" untuk memampukan
68 Ibid., hl. 41.69 Ibid.70 Ibid.71 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 42.
Laporan Buku – Konsentrasi I
28
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
hidup bersama antar umat beragama, bekerja sama dan saling tolong
menolong. Dalam hal ini, kerja sama di desa Parausorat dan kota.72
Menurutnya, dialog yang dibangun itu adalah dialog yang
menyangkut dengan kehidupan manusia sehari-hari. Kita hidup
ditengah-tengah himpunan masyarakat yang secara bersama-sama
mengalami dan harus menanggulangi berbagai masalah sosial, ekonomi,
politik dan agama. Kita mengalami bersama masalah penyalah-gunaan
hak-hak azasi manusia, hak-hak azasi anak-anak, pemuda dan wanita,
pengangguran, pecandu minuman alkohol-pemabuk, perlakuan kejam
terhadap kelompok dan sektor masyarakat lainnya. Kita juga mengalami
penderitaan manusia, kerusakan ekologi, tsunami, gempa bumi, issu-
issu global, kemiskinan, HIV-AIDs, masalah gender, dan sebagainya.
Secara bersama-sama kita menghadapi banyak tantangan hidup, dan
untuk itu semua agama-agama memegang peranan yang sangat menentukan
untuk menghadapi tantangan masyarakat agama majemuk serta mewujudkan
kehidupan masyarakat yang harmonis.73
Harahap menjelaskan bahwa model seperti ini sudah dimulai oleh
LWF. Bahkan LWF-Kantor Asia telah mensponsori dan mengorganisir
model pola dialog Diapraxis ini baik di Medan dan di Bangladesh.
Model "Diapraxis" merupakan suatu cara pendekatan baru yang mampu
menjawab tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh pluralitas agama.
"Diapraxis" mampu menyediakan kemungkinan bagi orang Kristen dan Islam
dan semua agama-agama untuk hidup bersama secara rukun dan harmonis,
dimana penganut agama-agama mengenal satu sama lain sebagai orang
yang percaya pada Allah, berdoa dengan cara agama masing-masing.74
Keempat, Kesimpulan. Dalam bagiann akhir tulisannya ini, Harahap
memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, menurutnya keberhasilan72 Ibid.73 Ibid.74 Ibid., hl. 43.
Laporan Buku – Konsentrasi I
29
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
dialog "Diapraxis" itu dapat diraih jika semua penganut agama saling
kerjasama dalam mengatasi semua perrsoalan kehidupan. Harahap
menjelaskannya melalui sebuah illustrasi. Kedua, GKPA terpanggil dan
oleh karena itu mempunyai tanggung jawab besar bukan hanya untuk
melayani gereja dan anggota-anggotanya sendiri, akan tetapi juga
terpanggil menjadi hamba Allah untuk melayani orang-orang lain,
mewujudkan hidup yang harmonis dan saling tolong menolong ditengah-
tengah masyarakat agama majemuk. Ketiga, tujuan dialog antar umat
beragama bukanlah untuk menobatkan, menentang atau menganalisa
kepercayaan agama lain. Keempat, GKPA perlu mensponsori pembentukan
suatu team kerja-sama antar umat beragama untuk menciptakan hubungan
harmonis antar umat beragama sebagai kontribusi yang sangat
fundamentil untuk menciptakan masyarakat kita yang sehat di Tapanuli
Selatan.75
2.5. ADAT ANGKOLA DALAM PERKEMBANGAN KEKRISTENAN DI LUAT
ANGKOLA (Pdt. Laorensus Pasaribu, S.Th)76
Pada bagian pendahuluan Laorensus Pasaribu menjelaskan posisi
agama dan adat di Tapanuli Selatan. Menurutnya, ddat adalah salah
satu norma yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan dan perihidup
manusia. Akan tetapi karena kelemahannya, manusia sering terlena,
tergoda akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga kita
lupa akan jati diri kita sebagai seorang Angkola yang beradat,
berbudaya, berbangsa dan beragama. Selanjutnya, Pasaribu menjelaskan
bahwa adat budaya Dalihan na Tolu (Tungku nan Tiga) merupakan kekuatan
kerukukan di Tanah Angkola jauh sebelum kekristenan masuk.77
75 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 44-45.76 Praeses Distrik I Angkola-Mandailing Periode 2006-2011. Saat ini melayani sebagai Pendeta GKPA Resort P.Baru.77 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 47.
Laporan Buku – Konsentrasi I
30
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Dalam tulisannya ini, Pasaribu menjelaskan empat pokok
pemikirannya, yakni:
Pertama, KEHIDUPAN MASYARAKAT78 LUAT ANGKOLA SEBELUM PENGINJILAN.
Pasaribu memulai uraiannya dengan menjelaskan kepercayaan orang
Batak Angkola sebelum agama masuk ke daerah Angkola. Sebelum agama
masuk ke Luat Angkola, masyarakat telah percaya kepada seseorang
yang dianggap lebih berkuasa dari manusia yang lazim disebut dengan
“Debata Mulajadi Na Bolon”(Tuhan Yang Mahakuasa). Masyarakat Angkola juga
sudah percaya bahwa dunia ini dipimpin oleh 3 (tiga) Debata (Tuhan)
yang berada dibawah naungan Debata Mulajadi Na Bolon, yaitu: Debata Guru
(Tuhan Guru) yang berada di Langit, Debata Bala Sori (Tuhan Pengasih)
berada ti tengah di bumi, dan Debata Bala Bulan (Tuhan Bulan) yang
berada di bawah Bumi.79
Selanjutnya, Pasaribu menjelaskan masuknya agama-agama ke daerah
Angkola. Menurutnya, sejak 800-900 M, Luat Angkola telah dimasuki
oleh agama Hindu. Hal ini dibuktikannya dari peninggalan-
peninggalannya, seperti Candi Bahal, Candi Portibi di daerah Gunung
Tua (Padang Lawas), Pengunungan Batara Wisnu di daerah Saipar Dolok
Hole.80 Sementara itu, agama Islam masuk ke Angkola sejak perang
Paderi 1825. Tuanku Rao (Dari Sumatera Barat) bersama pasukannya
mempengaruhi bahkan memaksa orang Angkola untuk memeluk Agama Islam.
Peristiwa ini kemudian dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai hingga pada
1838. Pada perinsipnya ketika Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai
berkuasa, di luat Angkola agama Islam sungguh sangat berpengaruh.81
78 Masyarakat Batak Angkola pada perinsipnya bertempat tinggal di sekitar Sipirok,Saipar Dolok Hole, Gunung Tua, Padang Lawas, Padang Sidimpuan, Batang Toru, BatangAngkola, dan Tano Tombangan.79 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 48.80 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 48.81 Ibid., hl. 48-49.
Laporan Buku – Konsentrasi I
31
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Kehidupan masyarakat Angkola sebelum masuknya Penginjilan,
sebenarnya telah tersusun rapi oleh tatanan Adat Budaya Angkola yang
sering dikenal dengan sebutan “Adat Budaya Dalihan Na Tolu Na Jojak Di Bondul
Na Opat” (Adat Budaya Tungku nan Tiga yang berdiri pada Tungku yang
Empat). Kehidupan masyarakat Angkola berazaskan Adat Budaya Dalihan Na
Tolu Na Jojak Di Bondul Na Opat, sering kali dikenal dengan istilah “Surat
Tumbaga Holing; nada tarsurat tapi tarsise” (Surat Tembaga Tua, yang tidak
tersurat tetapi dapat dibaca).82
Lebih dalam Pasaribu menjelaskan peran Dalihan Na Tolu dalam
kehidupan masyarakat Angkola. Kehidupan Dalihan Na Tolu ini adalah
merupakan satu kesatuan yang sangat sepadan dan saling membutuhkan
serta saling menghormati antara dalihan/tungku yang satu dengan yang
lainnya. Pada dasarnya/mulanya orang Batak kalaulah ingin memasak
sesuatu maka ia akan membuat tungku/dalihan; dalihan/tungku itu
harus terdiri dari tiga agar baik dan sempurna. Dalihat Na Tolu ini
memiliki tiga prisip, yakni:83
a) Manat Mardongan Tubu (Berhati-hati kepada kakak/adik)
b) Elek Marboru (Menyayangi pihak keluarga mantu)
c) Somba Marhula-hula (Hormat kepada pihak mertua)
Pasaribu memahami, kehidupan Dalihan Na Tolu adalah merupakan jati
diri yang sekaligus merupakan filosofi masyarakat Angkola. Dengan
memegang prinsip Dalihan Na Tolu maka akan terwujudlah kehidupan
masyarakat yang rukun dan harmonis baik dalam kegiatan adat maupun
kegiatan agama.84
Kedua, MASA PENGINJILAN DAN PERKEMBANGAN KEKRISTENAN DI LUAT
ANGKOLA. Dalam bagian ini Pasaribu menjelaskan bagaimana cara
masuknya lembaga sending ke Tanah Batak. Menurutnya, tahap pertama82 Ibid., hl. 49.83 Ibid., hl. 50.84 Ibid.
Laporan Buku – Konsentrasi I
32
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
penginjilan di Tanah Batak itu dimulai oleh Sir Thomas Stamford
Raffles (1781-1826) yang diutus Gereja Baptis Inggris untuk bermisi
kepada suku Batak yang berada di Sumatera bagian Utara. Lalu pada
1818-1824 mengutus tiga orang misionaries untuk wilayah Sumatera
bagian Utara, antara lain: Nathanael Ward (ahli dibidang kesehatan)
berkedudukan di Bengkulu, Pdt. Evans (Ahli bidang pendidikan)
berkedudukan di Padang, dan Richard Burton (ahli dibidang etnologi
dan bahasa) berkedudukan di Sibolga.85 Tetapi misi ini tidak berhasil
masyarakat Batak masih kuat memegang adat-istiadatnya dan mereka
tidak mau adat tersebut terusik karena pembaharuan yang dibawakan
missionaries tersebut. Akhirnya Injil belumlah nyata pada saat itu
di daerah Silindung.86
Tahap kedua, dimulai pada 1834 Badan Missi Belanda mengutus
Pdt. Verhoeven ke Pakantan-Mandailing. Verhoeven sempat mendirikan
gereja yang sangat sederhana yakni terbuat dari dingding tepas dan
atap ilalang dan kemungkinan sempat membaptiskan Kalirancak Lubis
dan Jamandatar Lubis dua orang prajurit Paderi yang kembali dari
daerah Toba. Pdt. Verhoeven ingin memperluas daerah misinya lebih
jauh lagi ke Luat Angkola, ia meninggalkan Pakantan dan berangkat ke
daerah Sipirok. Untuk menindaklanjuti pelayanan di daerah Mandailing
ia menyurati Badan Zending Belanda demikian juga Badan Missi
Amerika. Pada tanggal 17 Juni 1834 Pdt. Henry Lyman dan Munson
adalah utusan dari American Board of Commissioners for Foreign
Mission (ABCFM) sebagai jawaban surat Pdt. Verhoeven telah tiba di
Sibolga. Dan pada tanggal 23 Juni 1834 kedua Pekabar Injil ini
berangkat meninggalkan Sibolga mengikuti jejak Burton dan Ward ke
Lembah Silindung, kemudian terbunuh di desa Lobu Pining.87
85 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 51.86 Ibid., hl. 51.87 Ibid., hl. 52.
Laporan Buku – Konsentrasi I
33
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Tahap ketiga, dimulai pada 1850 di Ermelo sebuah kota kecil di
Belanda mengadakan Gerakan Rohani yang jemaatnya adalah petani ingin
mewujudkan kesaksian mereka lewat Pekabaran Injil. Hal ini terwujud
pada 1856 setelah Gustav Van Asselt ditahbis menjadi Pendeta dan
beliau diutus ke Sumatera dan tiba di Padang pada bulan Desember
1856. Selanjutnya beliau dipekerjakan oleh Gubernur Sumatera Barat
pada Perkebunan Kopi di daerah Angkola-Sipirok. Sejak tahun 1857 –
1861, daerah penginjilan di Luat Angkola sudah semakin nyata dan
semakin meluas terbukti dari kedatangan para misionaris dan tempat
pelayanannya, seperti: Van Asselt menetap di daerah Parau Sorat,
Dammerboer di Huta Imbaru, Van Dalen di Simapilapil, Betz di Bunga
Bondar dan Koster di Pargarutan.88
Tahap keempat, pada 1860 badan zending Jerman (Reinische Mission
Gesellschaft = RMG ) mengutus missionarisnya Pdt. Klammer yang
ditarik dari Kalimantan dan Pdt. Heine yang berangkat dari Jerman
dan keduanya bergabung dengan van Asselt di Sipirok.89
Setelah menjelaskan tahapan masuknya para badan sending itu,
Pasaribu kemudian menguraikan perkembangan kekristenan di Tanah
Angkola. Untuk memudahkan penginjilan di Tanah Batak Angkola, pada 7
Oktober 1861 Pdt. Van Asselt mengumpulkan para missionaries di rumah
Bondanalolot Nasution di Parau Sorat. Pertemuan ini adalah untuk
memusyawarahkan tempat pelayanan. Dalam pertemuan itu maka
diputuskanlah pembagian wilayah pelayanan, sebagai berikut:90 a) Pdt. Heine bertugas di Silindung dan Tapanuli bagian Utarab) Pdt. Klammer bertugas di wilayah Sipirokc) Pdt. Betz bertugas di wilayah Bunga Bondard) Pdt. Van Asselt di wilayah Pahae.
88 Ibid.89 Ibid.90 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 53.
Laporan Buku – Konsentrasi I
34
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Setelah adanya pembagian wilayah pelayanan masing-masing bagi
para missionaries sejak itu pulalah kekristenan semakin berkembang
di Luat Angkola. Klammer lewat pelayanannya di daerah Sipirok
disekitar bulan Mei tahun 1864 bangunan gereja telah berdiri di
Sipirok dan pada tahun yang sama ketika peringatan hari kelahiran
Tuhan Yesus tanggal 25 Desember 1864, Klammer membaptiskan tiga
orang menjadi Kristen yaitu: Thomas umur 17 tahun, Philipus umur 15
tahun dan Johannes umur 123 tahun. Demikian juga dengan Pdt. Betz di
Bunga Bondar pada tanggal 27 Desember 1865 membaptiskan Jalem
Siregar dari Batu Horpak menjadi Markus Siregar dan pada tanggal 26
Agustus 1868 berdirilah gedung gereja di Bunga Bondar.91
Melihat perkembangan penginjilan ini, maka pada 1868 misi Barmen
mengutus Schutz untuk membantu pelayanan Betz di daerah Bunga Bondar
dan beberapa tahun kemudian beliau dapat mendirikan jemaat Tuhan di
daerah Batu Horpak, Sipogu, Gadu, Arse dan Huta Padang. Demikian
juga halnya di sekitar Parau Sorat tahun 1867/1868 oleh A. Schreiber
telah membaptiskan 118 orang menjadi Kristen. Disekitar tahun 1880
kekristenan sudah semakin berkembang di Luat Angkola, bahkan telah
menyebar ke daerah Silindung dan Sumatera bagian Utara. Untuk lebih
mengefektifkan pengembangan Injil maka pada tahun 1880 an
diangkatlah menjadi Ephorus Pdt. I.L. Nommensen untuk jemaat di
wilayah Sumatera Bagian Utara dan Pdt. Schutz menjadi Ephorus untuk
jemaat di Sumatera bagian Selatan yang bertempat tinggal di Bunga
Bondar.92 Bahkan untuk mempercepat laju perkembangan kekristenan di
Luat Angkola, Pdt. P. Chr. Schutz menterjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Batak Angkola dan buku-buku nyanyian.93
91 Ibid.92 Ibid., hl. 53-54.93 Ibid., hl. 54.
Laporan Buku – Konsentrasi I
35
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Ketiga, PERANAN ADAT ANGKOLA DALAM PERKEMBANGAN KEKRISTENAN. Dalam
bagian ini Pasaribu menjelaskan peran adat dalam rangka
mengembangkan kekristenan di daerah Angkola. Menurutnya, dalam
masyarakat Angkola adat mencakup berbagai sendi kehidupan; tidak
hanya dalam kehidupan yang praktis sehari-hari tapi sampai keyakinan
seseorang. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa adat adalah
merangkumi seluruh kehidupan termasuk soal agama, peradilan,
hubungan kekeluargaan, hidup dan mati seseorang.94 Pasaribu
menjelaskan peran adat itu dalam mengembangkan kekristenan terlihat
dari kehidupan keluarga Djaroemahot. Djaroemahot seorang muslim yang
kaya raya pada saat itu menghibahkan sebidang tanah kepada Pdt. G.
Van Asselt di Parau Sorat untuk dijadikan tempat tinggalnya,
mendirikan Sekolah Topas dan Perkebunan Pisang. Karena begitu
indahnya kerukunan itu yang terikat dalam naungan Dalihan Na Tolu,
Djaroemahot yang memiliki tujuh orang anak; enam putera dan seorang
puteri. Tiga putranya adalah penganut agama Islam, dua diantaranya
menjadi tokoh Penyebar Agama Islam di daerah Angkola yaitu Haji Ali
Nasution dan Kholifah Djamariloen Nasution. Tiga putra lainnya
adalah beragama Kristen yaitu Sintua Johannes Nasution (Djamalajoe),
Pendeta Petroes Nasution (Djadestor) dan Tandoek Nasution. Seorang
putrinya yang bernama Ambe boru Nasution menjadi wanita Batak
Pertama yang dapat membaca dan menulis latin pada masa itu.
Djaroemahot juga sudah menanamkan kehidupan berkeluarga yang rukun
diantara anak-anaknya. Juga dalam bermasyarakat untuk saling
menghormati dalam beribadah dan memeluk agamanya masing-masing.95
Keempat, PENUTUP. Dalam penutup tulisannya ini, pertama, Pasaribu
mengakui bahwa untuk membicarakan tentang Adat Angkola dan
94 Ibid., hl.54-55.95 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 55-56.
Laporan Buku – Konsentrasi I
36
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Perkembangan keKristenan di Luat Angkola tidaklah dapat diuraikan
dengan sempurna dalam suatu tulisan singkat. Kedua, peranan adat
budaya sungguh sangat erat hubungannya dalam keberhasilan perjalanan
missi, baik itu misi agama maupun yang lainnya.96
2.6. SEJARAH KEKRISTENAN DI LUAT ANGKOLA (Pdt.Mangara
P.Marpaung,S.Th.)97
Dalam tulisan ini, Mangara Marpaung memberikan delapan pemikirantentang sejarah kekristenan di daerah Angkola, yakni:
Pertama, KONDISI MASYARAKAT BATAK MULA-MULA. Untuk menjelaskansituasi dan kondisi masyarakat Batak mula-mula ini, Marpaungmelihatnya dalam empat bagian, yaitu:98
a) Kerohanian. Mangara Marpaung menjelaskan bahwa masyarakat Bataktelah memiliki kepercayaan sebelum masuknya gama Islam maupunKristen. Orang Batak percaya kepada Debata Mula Jadi Na Bolon sebagaiTuhan yang Mahakuasa.
b) Sosiologis. Di seluruh Tanah Batak, dari Mandailing sampai ke Utaradi Simalungun maupun Karo, tidak terkecuali di kalangan orangToba maupun Pakpak dan Dairi bahwa perbudakan (”parhatobanan”) ituadalah sesuatu hal yang sah-sah saja dilakukan. Hatoban/budakadalah anak manusia yang direndahkan martabatnya sehinggaderajatnya tidak lagi setingkat dengan manusia. Mereka dianggaphanyalah mahluk yang hanya mempunyai kewajiban tetapi tidakmeiliki hak apapun dari pemiliknya.
c) Agama Islam. Sebelum para pemberita Injil memasuki Tanah BatakSelatan, agama Islam sudah masuk dan dianut oleh sebahagianpenduduk. Kapan penduduk mulai manganut agama Islam tidak dapatdipastikan, tetapi adalah hal yang pasti oleh pengaruh saudagar-saudagar dari luar negeri seperti misalnya dari Gujarat yangmencari rempah-rempah di pelabuhan-pelabuhan pantai BaratSumatera seperti di Barus, Natal, dan Singkuang. Sambil berniagamereka menanamkan agamanya kepada penduduk pribumi. Juga disepanjang pantai Timur Sumatera (selat Malaka) yang silihberganti dikuasai penguasa-penguasa luar, pasti menanamkan agamaIslam kepada penduduk pedalaman.
d) Pendudukan Belanda. Tahun 1842, keresidenan Air Bangis yang selamaini termasuk bagian dari pemerintahan Sumatera Barat dihapuskan
96 Ibid., hl. 56.97 Pendeta pensiun GKPA tinggal di Padangsidimpuan. Pada masa skisma HKBPA, beliau pernah menjadi Ephorus Gereja Protestan Angkola (GPA) yang akhirnya bergabung dengan HKBPA pada 3 Juli 1988.98 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 57-61.
Laporan Buku – Konsentrasi I
37
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
dan diganti dengan keresidenan Tapanuli yang berpusat danberkedudukan di Sibolga. Wilayah keresidenan ini meliputi daerahMandailing, Angkola dan beberapa daerah di wilayah Utara. Tahun1847 daerah Angkola Dolok/Sipirok ditaklukkan oleh Belanda danberlanjut ke daerah sebelah utara Sipirok tahun 1851. Sesaatsetelah menguasai Tanah Batak Selatan, Belanda menyusun konseppeta daerah ini menurut keinginannya.
Kedua, PERBUDAKAN (PARHATOBANAN). Dalam bagian ini Marpaung
menjelaskan lebih dalam tentang posisi budak di tengah-tengah
masyarakat Angkola. Menurutnya, ada beberapa alasan sehingga
seseorang jatuh menjadi budak atau “hatoban”, yaitu: hutang, dan
perampokan/samun.99 Menurutnya, hampir sepertiga penduduk Mandailing,
Natal, Angkola, dan Padang Lawas adalah budak, yang berarti orang
yang berhutang. Budak menjadi mata dagangan yang laris pada masa
itu.100 Perbudakan di daerah Angkola ini akhirnya dihapuskan atas
usaha dari Alexander Phillippus Godon (1816-1899), assisten residen
Mandailing Angkola (1848-1857) bersama Sutan Humala Yang Dipertuan
Huta Siantar yang disebut-sebut orang Belanda sebagai “primus
interpares”. Dan pada 1876, pemerintah Belanda secara resmi
menghapuskan perbudakan di seluruh Tapanuli bagian Selatan, kecuali
di Padang Lawas. Tercatat jumlah budak yang dibebaskan di Angkola
2.280 orang, Sipirok sebanyak 802 orang, di Mandailing dan Natal
sebanyak 954 orang dan di Mandailing Kecil berjumlah 902 orang.
Budak- budak tersebut ditebus dengan harga untuk laki-laki dewasa £
60, untuk perempuan £ 50, dan untuk anak-anak sebanyak £ 40.101
Ketiga, KEKRISTENAN DI EROPA. Dalam bagian ini, Marpaung
menjelaskan kekristenan di Eropa dengan melihat beberapa hal:102
99 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 63.100 Ibid., hl. 65.101 Ibid.102 Ibid., hl. 67-72.
Laporan Buku – Konsentrasi I
38
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
a) Kondisi kekristenan di Barat. Pada abad XIX memperlihatkan gejalaproses sekularisasi yang membuat masyarakat barat Kristen makinlama semakin kehilangan sifat kekristenannya. Tetapi di segi lainjustru pada abad XIX itu pulalah yang disebut abad PekabaranInjil. Kemunduran agama Kristen di Eropa berjalan bersama-samadengan kemenangan penyebaran Injil di benua lain. Itulah tandapimpinan dan pemeliharaan serta penguasaan Tuhan atas duniapilihanNya yang senantiasa dilindungiNya.
b) Pietisme. Petisme ini merupakan suatu gerakan pembangunan rohaniyang sangat penting terutama di Belanda dan Jerman. Pietismemerupakan reaksi terhadap suasana gereja yang sudah suam danterhadap semangat dunia yang sudah merajalela di dalammasyarakat. Penganut-penganut pietisme sangat menyesalkan sifatintelektualitas watak khotbah-khotbah yang diperdengarkan dandisajikan dari mimbar-mimbar gereja baik di Calvinis di Belandamaupun di gereja Lutheran di Jerman. Pietisme berjuangmemberantas semangat yang suram ini dengan mengutamakn beberapahal yang hendak membina kembali hidup rohani jemaat-jemaat.
c) Semangat pekabaran Injil. Menurut Marpaung, semangat untukmengabarkan Injil orang Eropa sangat tinggi. Hal ditu terlihatdari sifat jemaat Hernhut yang luar biasa untuk Pekabaran Injil.Lalu di Eropa banyak berdiri lembaga sending seperti: PekabaranInjil Babtis yang didirikan oleh William Carey. Lembaga inimenjadi pekabar Injil ke India ke kalangan orang Batak diSilindung, yakni Burton dan Ward. Di Inggris berdiri lembaga Misiseperti London Missionary Society (LMS) oleh gereja-gerejakongregasionalis dan Church Missionary Society oleh gereja-gerejaAnglikan. Juga di Amerika bertumbuh pula badan-badan zendingantara lain di Boston. Lembaga ini mengutus missionaris memasukiTanah Batak yakni Munson dan Henry Lyman. Keduanya mati terbunuholeh orang Batak tanggal 28 Juni 1834 dan menjadi martir yangpertama di wilayah kalangan orang Batak. Di Jerman terbentukpula badan-badan zending antara lain Basler Mission tahun 1815,Rheinische Mission Gesselschaft, dan lain-lain. RMG-lah dikemudian hari yang paling berhasil mengkristenkan orang Batakterutama di kalangan Batak Toba. Di Belanda, walaupun dengantekanan yang berbeda dari Pietis di Jerman, kalangan Pietisdisana juga mendorong lahirnya semangat Pekabaran Injil sampaiterbentuknya kongsi-kongsi Zending seperti NZG (Nederland ZendingGenoschaft) di Rotterdam. Dan oleh karena perbedaan pendapat ditubuh NZG, terbentuk dua badan zending yang baru yakniNederlandse Zending Vereniging (NZV) dan Utrechtse ZendingVereniging (UZV). Ketiga badan zending ini bekerja di Indonesiadi daerah-daerah yang berbeda.
d) Penginjil Tukang. Untuk membantu usaha Pekabaran Injil dengancara yang baru yang lebih murah dan diharapkan hasilnya lebih
Laporan Buku – Konsentrasi I
39
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
berjaya maka pada tahun 1847 dibentuk perhimpuan “PenginjilTukang”oleh Ds. OG. Heldring. Maksudnya ialah supaya utusan-utusan Injil itu bekerja selaku tukang atau petani untuk memenuhikebutuhannya sendiri sambil melayani dan memberi teladan bagisuku-suku bangsa yang beragama suku dan disamping pekerjaan itumereka boleh mengabarkan Injil dengan leluasa. Penginjil-penginjil tukang seperti itu tidak perlu mendapat latihan diBelanda, mereka tidak usah diberikan gaji, mereka lebih mudahmenarik hati bagi orang-orang beragama suku daripada pendetabiasa dan mereka lebih bebas memilih tempat dan cara penginjilanmereka, begitulah pendapat Heldring.
Keempat, PENGUTUSAN PEKABAR INJIL. Dalam bagian ini Marpaung
menjelaskan bagaimana masuknya para misionaris ke Tanah Batak. a)Jemaat Ermello mengutus Penginjil. Menurut uraiannya, Marpaung
menjelaskan bahwa jemaat Ermelo memegang peran penting dalampenginjilian di Tanah Batak Angkola. Sampai 1858 Heldring mengutusberpuluh-puluh utusan tukang. Tetapi ternyata sulit sekalimewujudkan cita-cita tersebut dalam praktek. Kebanyakan utusan-utusan tukang ini mengalami kesulitan dan kekurangan sehingga carapengutusan ini tidak diteruskan. Sebagai bagian integral darimasyarakat Kristen Belanda, pendeta jemaat Ermelo turut menerimagagasan penginjilan yang dicetuskan oleh Ds. OG. Heldring. Ds.Witteven, pendeta jemaat Ermelo menjadi alat di tangan Tuhan untukpekerjaan pengembangan kerajaan Allah di negeri seberang yakni dipulau Sumatera di kalangan orang Batak lewat seorang pemuda anggotajemaatnya. Allah mempersiapkan seorang pemuda yang bernama Gerritvan Asselt. Marpaung lebih dalam menjelaskan proses pengutusanGerrit ke Tanah Angkola.103
b)Keberangkatan Gerrit Van Asselt ke Sumatera. Marpaung menjelaskankeberangkatan Gerrit menuju Sumatera selama kurang lebih lima bulanhingga tiba di pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Sumatera. LaluMarpaung menjelaskan bagaimana proses masuknya Gerrit ke Sipiroksetelah melalui diskusi yang alot dan panjang.104
c)Van Asselt mulai bekerja di kalangan Orang Batak. Setelah mendapatijin dari Gubernur Belanda di Padang, maka Gerrit memulai karyanyadi Sipirok. Sambil bekerja sebagai Opziter jalan bertempat tinggaldi Lumut antara Batang Toru dan Sibolga, Gerrit melakukan tugaspenginjilannya. Van Asselt benar-benar sangat mengasihi orang Batak.Jika tugas sehari-harinya mengurusi jalan sudah selesai dia mencarikesempatan untuk berbincang dengan orang Batak. Dia mengajak merekapada hari Minggu berkumpul untuk mendengar Firman Tuhan, karena
103 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 73-74.104 Ibid., hl. 74-75.
Laporan Buku – Konsentrasi I
40
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
setiap hari Minggu orang yang bekerja libur beristirahat daripekerjaan. Dan setiap malam dia membuka kelas belajar untuk anak-anak dan para remaja. Dia mengajar mereka menulis, membaca,berhitung dan yang paling utama adalah memberitahukan Firman Tuhanbaik melalui cerita maupun nyanyian.105 Dalam tulisannya ini,Marpaung menjelaskan ada tiga orang yang menjadi sahabat Gerritdalam tugas penginjilannya, yaitu: Pagar Siregar, Jakobus PohanTampu Bolon (nama aslinya sebelum dibabtis adalah si Main), danJaogot.106
d)Van Asselt Di Sipirok. Sesudah tugasnya sebagai opziter jalan diLumut selesai, Van Asselt pindah ke Sipirok, daerah yang sudahberada di bawah kekuasaan Belanda. Dalam perpindahannya ke Sipirok,Van Asselt juga membawa sahabat-sahabat pertamanya. Di Sipirok VanAsselt beroleh kerja menjadi tukang packing kopi (pakkuis maskr)hasil tanaman paksa yang sudah diterapkan pemerintah Belanda. Gudangkopi di daerah Sipirok ada dua yakni si Sipirok di tempat pembangkitlistrik sekarang dan di Sipogu, di tempat masjid raya Sipogusekarang.107
e)Pertambahan Tenaga Missionaris dari Belanda. Sesudah van Asseltbekerja di Sipirok datanglah tenaga-tenaga penginjil yang baru keTanah Batak Selatan antara lain: Tuan Koster yang memilih daerahpelayanan kerjanya di Pargarutan, Tuan Van Dalen memilih tempatpelayanan di Simapilapil Angkola Julu, Dammerbur memilih tempatkerja di Huta Imbaru dan Betz memilih sama dengan Van Asselt diSipirok.108
f)1857 Van Asselt dengan Jarumahot. Marpaung menjelaskan hubungan VanAsselt serta kerjasamanya dengan Jarumahot dalam rangka membukapenginjilan di Parausorat, Sipirok. Melalui persahabatannya denganJarumahot, akhirnya van Asselt mendapatkan sebidang tanah untukdigunakan sebagai pusat penginjilan di Parausorat.109
g)1861 Van Asselt bergabung dengan RMG. Marpaung menjelaskan prosesbergabungnya van Asselt dengan badang sending RMG untuk lebih fokusmenginjili masyarakat Batak Angkola. Proses penggabungan ituditandai dengan rapat pendeta pertama pada 7 Oktober 1861 diParausorat, Sipirok. Peserta rapat itu adalah Pdt. Heine, Pdt.Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Asselt. Keputusan rapat ini adalahpembagian wilayah pelayanan bagi para misionaris yang bekerja diTanah Batak ini.110
h)Kedatangan Ingwer Lodeweyk Nommensen. Pada bagian ini, Marpaungmenjelaskan proses kedatangan Nommensen ke Tanah Batak khususnya keSipirok. Marpaung menjelaskan kehidupan Nommensen mulai kelahirannya
105 Ibid., hl. 75.106 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 75-77.107 Ibid., hl.77-78.108 Ibid., hl. 78.109 Ibid., hl. 78-79.110 Ibid., hl. 79-82.
Laporan Buku – Konsentrasi I
41
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
hingga panggilannya serta keberangakatannya ke Sipirok. Nommensentinggal di Parausorat dan di sana ia mendirikan rumahnya yangsekaligus menjadi sekolah. Nommensen hanya enam bulan berdiam diParau Sorat.111
i)Nommensen meninggalkan Parausorat. Keberangkatan Nommensen ini keSilindung merupakan penugasan dari RMG Jerman yang mengatakan agartidak melupakan daerah Silindung. Marpaung menjelaskan juga prosesperpindahan Nomennsen ke Silindung. Menjelang Silindung, Nomensenmemandang daerah Silindung dari atas Bukit Siatas Barita, sembariberjanji dan berdoa dan mengatakan, ”Hidup atau mati di tengah-tengah bangsa yang telah engkau tebus inilah saya akan tinggal danmemberitakan FirmanMu.” Penginjilan di daerah Silindung ini,Nomennesen mengalami banyak kesulitan.Tetapi berkat kegigihannyadalam menginjili orang Batak Silindung baik pribadi lepas pribadi,keluarga lepas keluarga, kampung lepas kampung akhirnya menerimaYesus sebagai Juru Selamat.112
Kelima, POS-POS PENGINJILAN DI TANAH BATAK SELATAN. Dalam bagian
ini Marpaung lebih memfokuskan penjelasannya tentang daerah Bunga
Bondar sebagai pos penginjilan di Tanah Batak Selatan. Sejak
diputuskan bersama para misionari bahwa salah satu pusat wilayah
penginjilan di Tanah Batak adalah di Bunga Bondar, maka Tuan Betz
memulai karyanya di Bunga Bondar. Mengapa Bunga Bondar menjadi pusat
penginjilan di Tanah Batak Selatan? Karena salah satu putra Batak
yang dibaptis menjadi Kristen yakni Pagar Siregar113 (nama baptis:
Simon Petrus Siregar) berasal dari Bunga Bondar.114 Tuan Betz
sementara tinggal di rumah Sutan Doli (Raja Bunga Bondar).
Dalam uraiannya ini, Marpaung menjelaskan lebih dalam tentang
kehidupan Betz dan hubungannya dengan Raja Bunga Bondar. Betz
mengalami tantangan dan olok-olok dari orang kampung karena tubuhnya
111 Ibid., hl. 83-86.112 Ibid., hl. 87-88.113 Orangtua dari Pagar Siregar adalah Sutan Doli dan Mingan Br.Pane. Mereka inijuga dikenal dengan nama Ompu Dera karena cucu mereka bernama Dera. Sutan dolisendiri tidak sempat dibabtis, karena dia meninggal dunia tiga bulan menjelangkedatangan Tuan Schutz menggantikan tuan Betz yang kembali ke Eropa karena seringsakit-sakitan114 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 89.
Laporan Buku – Konsentrasi I
42
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
yang agak bongkok. Sejak awal kesehatan Tuan Betz kurang begitu baik
tetapi kabar baik dari Tuhan Yesus Kristus tidak terhalang
dikabarkannya. Dengan cepat Tuan Betz sudah mendapat sahabat-sahabat
barunya yang terdiri dari anak-anak dan remaja dari kampung
Bungabondar dan kampung-kampung di sekitarnya disamping keluarga
Sutan Doli. Karya yang sempat dilakukan Betz di Bunga Bondar ialah
dengan mendidik anak-anak Bunga Bondar dengan baik, seperti: Helong
Siregar dan membaptiskannya dengan nama babtis Samuel.115
Marpaung juga menjelaskan kedatangan Pdt Philip Chritian Schutz
yang tiba di Bungabondar pada 26 Agustus 1868 untuk menggantikan
Tuan Betz karena sakit. Kehidupan Tuan Shutz sangat memprihatinkan
karena dua anaknya serta isterinya meninggal dunia di Bunga Bondar
pada saat masa-masa tugasnya. Tinggallah Pdt Schutz dalam derita
seorang duda untuk meneruskan penginjilannya di Bungabondar. Untuk
memberikan penghiburan dan penguatan bagi Shutz, maka dia diberikan
cuti ke Eropa pada 1889 untuk penyegaran semangat dan tenaga sambil
mencari pengganti istrinya. Sebagai penggantinya diutuslah Tuan
Gerike ke Bunga Bondar untuk memimpin penginjilan disana.116 Setelah
cuti, pada 1893 sending RMG di Barmen mengangkat Tuan Schutz menjadi
ephorus buat jemaat-jemaat yang berada di tanah Angkola, dari
Simangumban sampai ke Sipiongot. Schutz memimpin perkembangan
jemaat-jemaat di Tanah Batak Selatan (Angkola) dengan lembut hati
dan sabar sampai 1913 dalam usia lanjut dia mengadakan kebaktian
perpisahan dengan umat Kristen binaannya dari masa mudanya dengan
berkhotbah dari Philipi 1:6. “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya
yaitu, Ia, yang memulai pekerjaan yang baik itu diantara kamu, akan
meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” Inilah
115 Ibid., hl. 90-91.116 Ibid., hl. 92
Laporan Buku – Konsentrasi I
43
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
khotbahnya yang terakhir di kalangan orang Tanah Batak Selatan.
Kembalilah dia ke kampung halamannya di Jerman. Khabarnya pada saat
menjelang hari wafatnya, dia berpesan kepada anaknya bahwa di bawah
bantalnya ada sedikit lagi uang dan pesannya ,”Jika saya meninggal
tambahkanlah uang itu untuk memberli seperangkat musik tiup dan
kirimkanlah ke Bunga Bondar.” Saat-saat hendak menghembuskan nafas
terkahir, dia berdoa menyerahkan jiwanya ke tangan Tuhan Yesus dan
berdoa dalam bahasa Angkola.117
Pelayanan Tuan Shutz selanjutnya diserahkan kepada Pdt.Ameler
yang sebelumnya sudah bertugas di Sipiongot. Pada masa bakti Pdt
Ameler inilah jemaat-jemaat di Tanah Batak Selatan mengalami sedikit
kemunduran karena tabiat yang berbeda dari Tuan Schutz yang sangat
lembut sehingga angoota-anggota jemaat ada yang tidak dapat menerima
tabiat dan cara serta gaya Tuan Ameler, sehingga memilih masuk agama
Islam.118
Selain menjelaskan para tenaga misionaris yang bekerja di Bunga
Bondar, Marpaung juga mencatat peristiwa sejarah pada 26 Oktober
1940 di Bungabondar, yakni perkumpul seluruh utusan jemaat-jemaat di
Tanah Batak Selatan untuk mempersatukan niat menjadi satu gereja
yang mandiri dengan penuh keyakinan Tuhan akan menyertai dan
memberkati maksud ini. Tetapi sayang, tujuan kebulatan tekad ini
tidak dapat tercapai pada masa itu. Salah satu penyebabnya adalah
belum ada seorang pendeta pun yang memihak kepada kebulatan tekad
ini walaupun sudah banyak pendeta dari anak-anak jemaat yang di
Tanah Batak Selatan. Semua arsip kesepakatan ini disimpan rapi oleh
salah seorang dari peserta pengurus gagasan ini, yakni Patuan
Parlindungan Siregar, Kuriahooft Baringin, yang juga anggota
117 Ibid.118 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 93.
Laporan Buku – Konsentrasi I
44
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Kerkbestuur HKBP ketika itu. Sesudah kegagalan 26 Oktober 1940 di
Bungabondar, seluruh jemaat HKBP di Tanah Batak Selatan berjalan
sebagaimana biasa di bawah asuhan HKBP dan tetap merupakan bagian
integral dari HKBP seraya menunggu cara Allah mempersiapkan
berdirinya gereja Angkola yang mandiri di Tanah Batak Selatan.119
Keenam, PERKEMBANGAN JEMAAT DI TANAH BATAK SELATAN. Dalam bagian
ini Marpaung menjelaskan beberapa perkembangan yang terjadi di dalam
sejarah kekristenan di Tanah Batak Angkola. Menurutnya ada empat hal
yang terjadi dalam kekristenan di daerah Angkola, yaitu:120
a) Masuknya aliran Sevenday Adventis. Aliran ini masuk ke daerah Angkolakhususnya ke Bunga Bondar melalui Immanuel Siregar121 pada 1911.Beliau mempengaruhi beberapa keluarganya dan mendirikan jemaatAdventis di Bunga Bondar. Selain di Bungan Bondar, jemaat Adventisini juga berdiri di Sipogu dan Roncitan. Di Sipogu mereka jugaberhasil mendirikan Sekolah Inggris (semacam kursus bahasaInggris). Namun karena adanya revolusi kemerdekaan gedung sekolahdi Sipogu ini dibakar habis oleh tentara, termasuk rumah pendeta diBunga Bondar juga ikut dibakar ketika itu. Sejak saat itu Adventistidak berkembang lagi, tetapi perkembangannya beralih ke KotaPadangsidimpuan.
b) Pinksterkerk. Aliran Pentakosta ini masuk ke Tanah Angkola sejak 02Mei 1946 yang dibawa oleh Pdt.Gabriel Pane. Gereja Pentakosta inisempat berdiri di Sihulambu, Botung, Tapus na Bolak dan di SungaiPining. Namun pertumbuhan jemaat ini tidak bertahan lama, karenajemaat ini akhirnya masuk ke HKBP. Aliran Pentakosta ini sangatberkembang di Angkola Jae dan kota Padangsidimpuan.
c) Jemaat-jemaat yang berasal dari asuhan Java Committe yang diasuh olehpendetanya yang terakhir yaitu Ds Eggink ke HKBP tahun 1930. Menurut Marpaungjemaat hasil sending Java Commite mengalami kemunduran dan akhirnyatutup seperti jemaat di Simatorkis, Pargarutan, Paran Julu, Kantin,dan lain-lain.
d) Tekanan dari agama mayoritas yakni agama Islam. Menurut Marpaung,kekristenan di daerah Angkola mengalami banyak tekanan dari agamaIslam. Akibat tekanan ini, maka ada beberapa jemaat mengalamimigrasi ke tempat lain seperti: Jemaat Luat Harangan aliran sungaiBatang Ilung dan aliran sungai Batang Tura, jemaat Gadu dan jemaatSialang/Simaninggir. Ketiga jemaat ini memilih migrasi sebagian ke
119 Ibid.120 Ibid., hl. 95-97.121 Immanuel Siregar ini adalah anak bungsu Pdt Johannes Siregar, salah seorangpendeta pertama dari kalangan orang Batak yang bertugas di Muara.
Laporan Buku – Konsentrasi I
45
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Aek Bingke, Mandailing membentuk jemaat baru yakni Huta Tinggi.Sebahagian lagi migrasi Ke Tano Tombangan dan ditempat yang barumereka memilih masuk Pentakosta di Ingul Jae. Jemaat Saba Tarutungmemilih mencari tempat baru untuk memperoleh kebebasan beragamakemudian migrasi ke tempat yang jauh membuka permukiman baru (bonabulu) di Parurean di Perbatasan dengan kabupaten Tapanuli Utarasekarang. Disalanalah mereka bebas untuk beribadah memuji Tuhan.Walaupun di awal-awalnya hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarganamun mereka tetap setia dan saat ini jemaat Parurean sudah menjadijemaat yang lumayan besar. Selain migrasi ke tempat lain, jemaatyang mengalami tekanan agama Islam ini akhirnya memilih pergimerantau ke berbagai tempat bahkan sampai ke luar negeri.
Ketujuh, PARA MISSIONARIS TANAH BATAK SELATAN. Dalam bagian ini,
Marpaung menguraikan beberapa misionaris yang bekerja di Tanah Batak
Angkola, yakni:a. Pdt. KLAMMER. Klammer cepat beradaptasi dengan masyarakat Sipirok.
Karenanya ia cepat mendapatkan sahabat-sahabat barunya dan cepatjuga membuka pengajaran kepada anak-anak. Klammer mempunyai keahlianbertukang. Dia sekaligus mengajari dan melatih para pemuda untukmenjadi tukang kayu. Klammer membabtis Thomas dan Philippus sertaJohanes pada 1664. Tahun 1865, Pdt Klammer berhasil membangun gedunggereja yang pertama di tanah Batak. Tahun 1867, Klammer membabtisseratus tujuh belas orang lagi, masuk sebagi pengikut Kristus.122
b. Pdt. STAUDTE. Staudete adalah pengganti Klammer. Selama melayani diBunga Bondar Pdt. Staudte ini mengalami sakit sehingga pelayanannyaterbengkalai. Padahal sewaktu melayani di Pangaloan, Tapanuli Utara,isteri Staudte-lah yang sering sakit-sakitan. Setelah kepindahannyake Sipirok, ibu pendeta Staudte malah semakin sehat, dankebalikannya, Pdt Staudte yang semakin sering sakit. Pdt.Staudtedibawa berobat ke Padangsidimpuan dan penyakitnya perlahan-lahanberkurang. Tetapi tiba-tiba penyakitnya kambuh lagi dan akhirnyameninggal dunia dan jenazahnya di bawa ke Sipirok untuk dimakamkansesuai permintaan almarhum semasa hidupnya.123
c. Pdt. HEIENBROK. Setelah Pdt.Staudte meninggal, dia digantikan olehPdt.Heienbrok yang baru datang dari Eropa ke Sipirok. Sambil belajarbahasa Batak, dia membantu pelayanan di Jemaat-jemaat Sipirok danBungabondar. Pada masa pelayanannya dia sangat rajin mengajak danmelatih para pemuda untuk mengikuti pelatihan bermain musikterompet. Namun karena penyakit yang dideritanya, Heienbrok sangatsingkat masa pelayanannya di Sipirok, dan harus kembali ke Eropa.124
122 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 101.123 Ibid., hl. 101-102.124 Ibid., hl. 102-103.
Laporan Buku – Konsentrasi I
46
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
d. Pdt. LUDWIG HANSTEIN. Sesudah tuan Heinbrok pulang ke Eropa,datanglah Tuan Hansten menggantinya memelihara jemaat-jemaatSipirok. Selama pelayanannya, Tuan Hastein mendirikan beberapa rumahdi Situmba, Sipirok bagi orang-orang yang datang untuk berobat kemata air panas yang ada di sana seperti penyakit kudis, paru-parudan penyakit lainnya, bahkan bagi yang berpenyakit kusta.125
e. Pdt.Dr. AUGUST SCHREIBER. Dr. Schreiber tiba di Tanah Batak pada1866. Dia ditugaskan ke Parau Sorat. Dalam masa pelayanannya,Schriber telah membabtiskan empat puluh dua orang (Natal 1867), limabelas orang (Juli 1868 dan kemudian disusul tiga puluh enam orang(1868). Karya lainnya yang dikerjakan Dr.Schreiber adalah mendirikanSekolah Evangelist atau Seminari (1868). Murid-murid angkatanpertama di seminari Parausorat adalah Johanes, Paulus, dan Markus.Dia juga membangun satu gereja di Parau Sorat dan menuliskan satuayat di atas pintu gereja itu yaitu Kisah Para Rasul16:31 ,”Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus, maka engkau akanselamat, engkau dan seisi rumahmu.”126
f. LEIPOLT. Leipolt adalah tenaga yang ditempatkan di Seminari di ParauSorat. Namun karena kesehatannya, pada 1877 Leipolt kembali keEropa. Selanjutnya Parau Sorat dan seminari disana dilayani olehTuan Israel.127
Kedelapan, GEREJA YANG MANDIRI DI TAPANULI BAGIAN SELATAN. Pada
bagian ini Marpaung menjelaskan proses menuju lahirnya gereja yang
mandiri di Tapanuli bagian Selatan. Gerakan kemandirian ini sudah
dimulai sejak 1940-an. Pada saat itu utusan-utusan seluruh jemaat di
Tapanuli bagian Selatan berkumpul untuk menyatukan tekad untuk
menjadi satu badan gereja yang tetap menjadi bagian integral dari
HKBP, yakni HKBP-Angkola. Namun gerakan ini mengalami kegagalan
karena tidak seorang pun pendeta yang berasal dari Tapanuli Selatan
mau mendukung gerakan ini.128
Gerakan kemandirian ini kembali muncul pada 1974. Gerakan ini
muncul di Medan dengan nama Hasadaon Kristen Angkola (HKA) yang
didukung oleh organisasi sosial orang-orang Kristen Angkola yang
125 Ibid., hl. 103.126 Ibid., hl. 105-106.127 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl.106.128 Ibid., hl. 141.
Laporan Buku – Konsentrasi I
47
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
merantau di Medan dan sekitarnya. HKA inilah yang mengajukan
permohonan ke Sinode HKBP melalui Pucuk Pimpinan HKBP waktu itu,
Pdt. GHM Siahaan. Permohonan HKA ini ditanggapi sangat positif oleh
Sinode HKBP sebagai badan tertinggi. Tetapi secara faktual di
lapangan penanganan persiapan panjaeon ini ditangani langsung oleh
Sekretaris Jenderal HKBP, Pdt. Prof Dr. FH.Sianipar dibantu oleh
Praeses Pdt. Pontas L. Tobing, STh. Team yang dipimpin oleh Pdt Dr.
Frans Hanaehan Sianipar ini mengunjungi jemaat yang berada di
Tapanuli Bagian Selatan. Hasil tema ini sungguh dapat dikatakan
membingungkan serta meresahkan sebahagian warga jemaat dengan
pernyataan dari beliau bahwa apabila masih 1 (satu) orang warga
jemaat HKBP yang tinggal di HKBP maka gedung gereja dimana jemaat
tersebut berada masih tetap kepunyaan HKBP. Pernyataan inilah yang
menjadi alat yang menggoyahkan semangat untuk mandiri dan pencapaian
kebulatan tekad atas cita-cita panjaeon.
Walau dengan perjalanan yang berliku dan panjang, akhirnya HKBP
merestui keinginan orang Kristen Angkola menjadi sebuah gereja yang
mandiri dengan nama Huria Kristen Batak Protestan – Angkola (HKBP-
Angkola) pada 26 Oktober 1975 dengan hanya sembilan pendeta dan
sekitar lima ratus anggota jemaat.129
2.7. DIALOG MULTI AGAMA DAN TANGGUNGJAWAB GLOBAL: Suatu Kajian
mencari titik temu pluralitas agama-agama dalam tanggungjawab
global dewasa ini (Pdt.Josep P.Matondang,M.Th.)130
Dalam pendahuluan tulisannya ini, Josep P.Matondang mengakui
bahwa GKPA berada dalam situasi menghadapi dan mensikapi pergumulan
129 Ibid., hl. 114-115.130 Pendeta GKPA yang menjabat Kepala Biro III GKPA Periode 2009-2011. Saat inimenjabat sebagai Praeses GKPA Distrik IV: Jawa-Sumbagsel yang berkedudukan diJakarta.
Laporan Buku – Konsentrasi I
48
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
dan tantangan global. Khususnya dalam konteks keberadaan kekristenan
di luat Angkola sebagai bagian dari komunitas suku Batak Angkola.
Kita semua menyadari bahwa komunitas suku Batak Angkola memiliki
kebermacaman kepercayaan atau agama. Matondang menyajikan suatu
fakta pengalaman umat beragama bagaimana bentuk dan sikap dalam
berkomunikasi antar agama, kemudian mencoba untuk mengarahkan
pemikirannya kepada suatu pemikiran sikap, arah dan bentuk yang
lebih tepat dalam berdialog.131
Ada empat pemikiran yang disampaikan Matondang dalam tulisannya
ini, yaitu:
Pertama, FAKTA DIALOG MULTI AGAMA. Dalam bagian ini, Matondang
menjelaskan bahwa ada tiga model dialog dengan meminjam pemikiran
Alan Race, yaitu: a. Eksklusifisme. Model ini memandang agama lain harus bertobat karena
agama lain dianggap masih berada dalam dunia kekafiran, kegelapandosa dan terpisah dari kekristenan. Model eksklusifisme akanmemberikan penghakiman mutlak, agama yang satu dianggap benar danyang lain salah, sehingga agama lain harus bubar dan penganutnyamasuk menjadi anggota agama yang dianggap benar tersebut. Denganmodel ini, dialog tidak akan mungkin terjadi dalam pemahaman mencarikebenaran di antara agama–agama yang berbeda. Kalaupun dialogdilakukan, hanyalah ajang untuk mengalah, menghakimi, membenarkandiri sendiri, dan menghujat agama lain, sehingga kemungkinan yangterjadi adalah pemisahan yang tiada titik temu, konflik antar agamadan permusuhan. Menurut Matondang, penilaian seperti ini menunjukkankedangkalan iman seseorang, Tuhan seolah–olah ditarik dan dipaksauntuk berpihak dan mempersalahkan orang lain. Dengan model iniMatondang melihat akan menimbulkan dan menyuburkan prasangkakontroversi. Prasangka dalam kehidupan bersama yang pluralis akanmemunculkan konflik atau saling ketiadaaan dialog antar umatberagama akan menyebabkan masing – masing agama menutup diri ataujustru sedang memperkuat benteng karena rangsangan prasangka.132
b. Inklusifisme. Model ini memandang bahwa keselematan itu terbuka danberada di dalam agama-gama lain. Matondang menjelaskan perubahanpemikiran Katolik dan Protestan bahwa keselamatan itu bukan hanyaada di dalam gereja tetapi keselamatan itu juga ada di luar gereja.
131 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 117.132 Ibid., hl. 118-119.
Laporan Buku – Konsentrasi I
49
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Secara umum model Inklusifisme ini mengakui ada banyak jalankeselamatan, yang terdapat dalam agama–agama lain namun padaakhirnya Yesus Kristus yang akan memenuhi keselamatan. Keselamatanditawarkan untuk seluruh dunia, tapi gereja tidak boleh mengklaimbahwa keselamatan itu diberikan hanya melalui gereja, keselamatanada juga di luar gereja karena karya Kristus tidak dapat dibatasioleh gereja itu. Menurut Matondang, model ini adalah langkah majudalam teologi dan dialog agama–agama dibandingkan dengan modeleksklusif sehingga model yang pertama perlu ditinggalkan.133
c. Pluralisme. Model ini lebih terbuka luas menerima keberadaan agamalain. Menurut Knitter kesaksian seperti yang terdapat dalam kitabSuci dan tradisi tidak ditinggalkan, tetapi memahaminya lebihmendalam dan kemudian memeliharanya. Yang perlu diganti adalahpendekatannya dari Kristosentris dengan pendekatan Teosentris. Dalampendekatan ini Misteri Ilahi yang dikenal dalam Yesus lebih besardaripada realitas dan pengajaran Yesus, sehingga kita terbukaterhadap kemungkinan bahwa agama–agama lain juga memiliki pandangandan respon yang absah terhadap misteri ini. Matondang sendiri setujudengan model pluralisme dengan argumentasi mendasar padakepelbagaian sebagai ciptaan Allah, dimana ketika dialog terjadi,maka tujuan yang harus dicapai adalah untuk saling memperkaya danmemperkuat.134
Kedua, TANGGUNG JAWAB GLOBAL. Dalam bagian ini Matondang
menguraikan tentang pemikiran beberapa teolog tentang persolan
global yang menjadi tanggung jawab global untuk mencari keadilan dan
kesejahteraan umat manusia dan lingkungan. Penyelesaian persoalan
globas ini perlu didialogkan oleh multi agama dimana adanya
pengakuan suatu komitmen bersama terhadap keadilan dan kesejahteraan
manusia dan lingkungan. Matondang meminjam pemikiran Aloysius Pieris
yang mengatakan bahwa kemiskinan dan kereligiusan merupakan dua
fakta yang tidak terpisahkan; kemiskinan yang bertumpah ruah
(overwhelming poverty) dan kereligiusan yang majemuk (multifceted religiousness).
Pemikiran teolog lain yang dikutip Matondang adalah Hans Kung yang
mengatakan bahwa sangat diperlukan suatu etika global suatu
tantangan religious. Matondang juga mengutip pemikiran Emanuel133 Ibid., hl. 119-121.134 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 121-122.
Laporan Buku – Konsentrasi I
50
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Gerrit Singgih yang mengatakan bahwa gereja Indonensia harus
menyadari konteksnya, yaitu kemiskinan, penderitaan manusia, dan
ketidakadilan. Matondang mengakui bahwa sebenarnya persoalan–
persoalan ini telah disadari bersama yang dapat mengancam kehidupan,
sehingga peranan pluralisme agama mendesak untuk menetapkan dasar–
dasar etika yang dapat membangun kehidupan yang lebih baik ke depan.
Karenanya, Matondang sangat menghargai dan mendukung pendapat
Knitter akan adanya dialog korelasional, yang sungguh–sungguh
dikerjakan oleh agama–agama, bukan sebatas wacana, hingga akhirnya
menemukan etika global yang bertanggungjawab atas kesejahteraan umat
manusia dan lingkungan.135
Ketiga, LANGKAH–LANGKAH KONKRIT. Untuk melihat langkah-langkah
konkrit ke masa depan, Matondang meminjam pemikiran Kees de Jong
bahwa saat ini di Indonesia ada dua aliran utama (main stream) yang
menghargai hubungan antar agama–agama dan pembangunan suatu
masyarakat yang lebih baik. Dengan kedua aliran ini kita akan
melihat arah mana yang akan ditempuh. Kelompok yang pertama adalah
orang–orang yang ingin bekerjasama untuk membangun bersama suatu
masyarakat yang beradab (a civil society), orang Islam menyebutnya dengan
masyarakat madani. Masing–masing agama memiliki komitmen terhadap
agamanya masing–masing tetapi pada saat yang sama terbuka untuk
saling bekerjasama. Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk
masyarakat yang hidup harmonis. Kelompok yang kedua adalah yang
memberikan prioritas pada penekanan untuk menjadi umat beragama yang
baik yang benar–benar mengikuti ajaran agamanya, jika hal ini
disadari maka masyarakat akan lebih baik. Namun harus disadari bahwa
dalam kelompok kedua ini adalah sekelompok kecil golongan radikal
yang mempercayai bahwa hanya mereka saja yang benar, agama yang lain135 Ibid., hl. 122-124.
Laporan Buku – Konsentrasi I
51
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
salah, sehingga menimbulkan sikap untuk mengabaikan yang lain atau
berjuang untuk melawan yang lain dengan memaksa supaya yang lain
berpaling kepada agamanya.
Berdasarkan pemiran itu, Matondang bahwa langkah yang terbaik
yang akan ditempuh adalah dialog yang dibangun dari kepedulian yang
satu dengan yang lain, berhubungan dengan realitas sosial. Setiap
orang akan mengaktualisasikan diri atau bertindak dalam kebenaran
ketika berhadapan dengan yang mendesak untuk membangun masyarakat
yang lebih baik.136
Keempat, KESIMPULAN PENUTUP. Dalam bagian penutup ini, Matondang
menjelaskan bahwa Dialog Multi Agama dan Tanggungjawab Global akan
memberikan suatu harapan baru bagi semua orang dalam menemukan dasar
etika bersama, baik hubungan antar agama maupun hubungan agama
dengan dunia ini. Penganut agama–agama yang berbeda hidup dalam satu
bumi, yang sedang terancam oleh ketidakadilan dan kerusakan alam.
Kesadaran ini akan membawa kita kepada tanggungjawab bersama untuk
menciptakan kesejahteraan dan perbaikan lingkungan hidup.
Menurutnya, model dialog seperti ini harus merangkum semua aspek
kehidupan dan semua orang, sedikitnya memelihara dialog yang nyata
dalam kehidupan sehari hari melalui dialog of life.137
2.8. MENGAPA HARUS PASTORAL KONSELING ? (Pdt. Togar S.
Simatupang,M.Th)138
Dalam pendahuluan Togar Satria Simatupang menjeskan betapa
penting dan perlunya pelayanan pastoral konseling. Hal itu
disebabkan bahwa setiap pribadi memiliki masalah, entah
136 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 124-125.137 Ibid., hl. 125.138 Praeses GKPA Distrik II: Sipirok Dolok Hole Periode 2006-2011. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal GKPA Periode 2011-2016.
Laporan Buku – Konsentrasi I
52
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
interpersonal maupun intrapersonal.. Tragisnya, tidak semua pribadi
bersedia mengatasi masalahnya hingga tuntas. Menurutnya, pelayanan
konseling masih sering diremehkan dan disalahpahami oleh banyak
hamba Tuhan. Namun demikian, kehadiran pelayanan konseling
sebenarnya semakin dibutuhkan oleh banyak jemaat. Pentingnya
pelayanan konseling juga dicetuskan oleh seorang pendeta yang
bernama Anton Boisen.139
Dalam tulisan ini, Simatupang memberikan beberapa pemikirannya
tentang kebutuhan pastoral konseling di tengah-tengah pelayanan
jemaat, yaitu:
Pertama, PENGERTIAN PASTORAL KONSELING. Pada bagian ini,
Simatupang menjelaskan pengertian pastoral konseling. Pastoral
berasal dari kata pastor berarti gembala. Konseling adalah consul yang
artinya wakil, minta nasehat, berunding dengan; console yang artinya
menghibur dan consolide yang artinya menguatkan. Jadi konseling bisa
diartikan sebagai ’kegiatan seseorang yang menguatkan, menghibur
yang dimintakan nasehat dan merunding dengan seseorang’. Dengan
demikian, Simatupang mendifinisikan Pastoral Konseling artinya
gembala yang memberikan nasihat, penghiburan dan penguatan bagi
warga gerejanya. Pastoral Konseling juga diartikan sebagai ’hubungan
timbal balik’ (interpersonal relationaship) antara hamba Tuhan (pendeta,
penginjil, dsb.) sebagai konselor dengan konselinya (klien, orang
yang minta bimbingan).140
Kedua, PASTORAL KONSELING, PSIKOLOGI, DAN PSIKIATRI. Dalam bagian
ini, Simatupang menjelaskan pengertian dan perbedaan antara
psikologi, psikiatri dan konseling. Menurut Pdt. Dr. Dwijo Saputro,
psikologi adalah ilmu yang mempelajari suatu bidang yang menyangkut
139 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 127.140 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 127-128.
Laporan Buku – Konsentrasi I
53
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
perilaku dan otak. Ilmu psikologi yang berhubungan dengan konseling
adalah yang berhubungan dengan kesehatan mental, di mana dipelajari
dasar-dasar bagaimana seseorang berperilaku, berpikir, memiliki
emosi, mampu berelasi, berkembang dan memecahkan masalah yang ia
hadapi sehari-hari. Ilmu psikiatri adalah cabang dari ilmu
kedokteran yang berkaitan dengan pengobatan, penyembuhan, gangguan
masalah, penyakit yang berkaitan dengan perilaku yang berkaitan
dengan otak. Hal ini perlu dipahami karena banyak orang mencampur-
adukkan istilah-istilah di atas sehingga menimbulkan kerancuan. Jadi
memang ilmu konseling tidak dapat terlepas dari ilmu psikologi.
Dalam melakukan pelayanan konseling di gereja, seorang konselor
haruslah mengintegrasikan semua ilmu psikologi dan konselingnya
dengan teologi. Hal ini bukan berarti menjadi teologi plus karena
teologi dengan Alkitab sebagai kebenaran yang sejatilah yang menjadi
filter dari ilmu psikologi.141
Ketiga, SIAPAKAH YANG MEMBUTUHKAN KONSELOR? Simatupang menjelaskan
siapakah sebenarnya yang membutuhkan konselor. Menurut Simatupang,
yang membutuhkan konselor itu ialah setiap orang yang mengalami
pergumulan hidup baik itu warga jemaat maupun sang gembala itu
sendiri. Bila seorang jemaat menghadapi masalah kehidupan praktis
yang lebih berat, seharusnya mereka bertanya ke hamba Tuhan dan
hamba Tuhannya siap, mau dan mampu memberikan pembimbingan dan
mendoakannya. Simatupang juga mengatakan bahwa keluarga-keluarga
yang mengalami pergumulan juga membutuhkan pendampingan ‘prolog dan
epilog’, di mana pelayanan konseling mampu untuk mengisi masalah
mereka.142
141 Ibid., hl. 129.142 Ibid., hl. 129-130.
Laporan Buku – Konsentrasi I
54
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Keempat, PRO KONTRA PELAYANAN KONSELING. Dalam bagian ini ini
Simatupang menjelaskan adanya pertentangan antara psikologi dan
konseling. Dalam realita, bidang psikologi dan konseling mendapat
banyak hambatan dan tantangan dari berbagai pihak termasuk dari
kalangan gereja sendiri. Ada yang curiga psikologi hendak mengambil-
alih peran Firman Allah dll. Menurut Simatupang, harus diakui memang
ada perbedaan mendasar antara psikologi dan konseling duniawi dengan
psikologi dan konseling Kristen. Ilmu duniawi berangkat dari satu
asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya baik; sedangkan kekristenan
berangkat dari suatu kepastian bahwa semua manusia dilahirkan dalam
natur berdosa. Karena perbedaan ini maka tidak semua cara dan metode
duniawi diterima oleh konselor Kristen. Konselor Kristen mempunyai
sebuah tolok ukur yang sangat jelas, yaitu Alkitab. Karena itu,
menurut Simatupang, ilmu psikologi dan konseling, juga semua ilmu-
ilmu lain serta kebenaran-kebenaran dunia harus ditundukkan dan
diperiksa oleh satu-satunya sumber otoritas, yaitu Alkitab. Alkitab
tidak menulis semua kebenaran tetapi semua prinsip-prinsip kebenaran
ada di dalam Alkitab. Psikologi yang ditundukkan dalam kebenaran
prinsip-prinsip Firman Tuhan dapat menjadi ‘helping tools’ yang sangat
berguna bagi pelayanan gereja secara umum dan secara khusus bagi
jemaat yang membutuhkan.143
Kelima, PANDANGAN YANG KELIRU DALAM PELAYANAN KONSELING. Pada
bagian ini, Simatupang menjelaskan adanya pandangan yang keliru
dalam pelayanan konseling. Menurut Simatupang setidaknya ada lima
pandangan yang salah dalam pelayanan konseling: 1. Semua hamba Tuhan
pasti mempunyai talenta dan karunia konseling. Kadang kita lupa
bahwa sebenarnya skill dasar dari hamba Tuhan dan konselor
bertentangan dalam arti hamba Tuhan berbicara dan konselor143 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 130-131.
Laporan Buku – Konsentrasi I
55
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
mendengarkan, menganalisa dan membantu konseli menyadari
kesalahannya sendiri dan kemudian mengambil keputusan yang benar. 2.
Konselor hanya memberi nasihat dan mendoakan konseli. Hal ini sering
dilakukan oleh beberapa hamba Tuhan yang sebenarnya belum pernah
belajar konseling tanpa mau mengerti akar dari masalahnya. 3.
Konselor hanyalah mencoba ‘mengobati’ masalah yang hanya bersifat
kesementaraan. Konselor Kristen haruslah selalu mengkaitkan
pelayanannya dengan tujuan kekekalan. 4. Konselor mengajarkan
tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh konseli. Konselor
berperan sebagai tutor dan konseli sebagai muridnya. Konseling bukan
‘menggiring domba agar MAU masuk ke kandang, melainkan menuntun
domba sedemikian rupa sehingga MASUK ke kandang dengan kesadarannya
sendiri’. 5. Ada masyarakat mengangap konseling hanya untuk manusia
yang ‘agak gila’. Mungkin konseling adalah hal terakhir yang dipikirkan
manusia ketika menghadapi suatu masalah pribadi. Saat seorang istri
berpikir untuk membawa anaknya ke seorang psikolog karena ia
menganggap anak ini terlalu introvert, teman-teman dan gurunya kok
memandang dengan pandangan yang agak aneh. Hal ini diperberat dengan
lingkungan gereja yang juga ‘kurang celik arti penting konseling’.144
Keenam, KEUNIKAN PASTORAL KONSELING. Simatupang memberikan enam
keunikan konseling pastoral dibandingkan dengan sekuler, yakni:145 a. Konseling pastoral menempatkan orang dalam relasinya dengan Allah. b. Menjadikan Allah sebagai realita. Dengan menyadari bahwa Allah
adalah real, suatu kesadaran yang baru telah muncul dan siapdilanjutkan dalam tahap berikutnya.
c. Wilayah kerja dan kompetensi konselor pastoral adalah pertumbuhanspiritual. Membantu konseli menemukan keutuhan spiritual sebagaipusat pertumbuhan manusia secara utuh dengan bahasa yang eksplistdan tidak formal.
d. Menggunakan sumber-sumber agamais dalam konseling. Dalam hal inipengetahuan akan teologi dan pengalaman hidup yang diubahkan dapat
144 Ibid., hl. 131-132.145 Ibid., hl. 132-133.
Laporan Buku – Konsentrasi I
56
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
menjadi ‘tools’ yang sangat berguna bila digunakan tepat guna dantepat sasaran.
e. Membantu orang dalam belajar untuk hidup. Kata-kata yang sangatindah bagi saya. Memang manusia tidak ada yang ahli dalam semuabidang dan mempunyai kelemahan dibanyak bidang sehingga ini adalahproses seumur hidup. Hal ini selaras dengan proses penyucian diribersama Roh Kudus.
f. Membantu orang dalam pengembangan kompetensi hubungan antar-pribadi. Inilah salah satu implementasi dari mandat budaya.Komunikasi adalah hal penting yang sering menentukan hubungan antarsesama.
Ketujuh, FUNGSI PASTORAL KONSELING. Simatupang juga memberikan
empat fungsi konseling pastoral, yaitu:146
a. Penyembuhan : untuk mengatasi kerusakan dengan menuntun danmengembalikan fungsi dan kondisi sebelumnya.
b. Penopangan : menolong konseli untuk bertahan dan melewatikesulitannya/problemnya.
c. Pembimbingan : membantu konseli untuk menentukan pilihan di antaraberbagai alternatif.
d. Pendamaian : me-rekonstruksi ulang relasi manusia dengan sesama danAllahnya. Hal ini di mulai dari pengakuan, pengampunan dandisiplin.
Kedelapan, HUBUNGAN TIMBAL BALIK (INTERPERSONAL RELATIONSHIP)
ANTARA PENDETA DAN KONSELINYA. Pada bagian ini Simatupang
menjelaskan hubungan timbal balik antara pendeta dengan koselinya.
Menurutnya, hubungan timbal balik ini perlu kerana pertama, oleh
karena role (peran) seorang konselor tidak sama dengan role seorang
pengkhotbah. Sebagai pengkotbah, seorang hamba Tuhan membawa role yang
lebih cenderung pada role Nabi yang memberitakan firman Tuhan. Secara
praktis ia adalah seorang mediator (pada saat berada di atas mimbar
antara Allah dan umat-Nya. Kedua, sebagai konselor, hamba Tuhan
menyadari bahwa satu-satunya kemungkinan untuk membawa percakapan
konseling itu pada suasana percakapan yang ideal (condusive
atmosphere) adalah jika konselibetul-betul merasa diperlakukan146 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 133.
Laporan Buku – Konsentrasi I
57
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
sebagai satu subyek, pribadi yang utuh yang persoalannya,
perasaannya, cara berpikirnya bahkan segala sesuatu yang ada padanya
mempunyai nilai untuk dihargai.
Oleh karenanya, menurut Simatupan ada hal-hal yang perlu
diperhatikan konselor dalam hubungan timbal balik ini, yaitu:147
a. Sikap merugikan dari pihak konseli. Dalam hubungan interpersonalrelationship, konselor mesti menyadari adanya berbagai kemungkinanyang merugikan, ditimbulkan oleh sikap konseli terhadapkonselornya.
b. Dorongan yang merugikan dari dalam diri konselor sendiri. Dalaminterpersonal relationship itu, konselor sendiri mesti waspada terhadapdorongan dan rangsangan, yang sering kali timbul justru dari dalamdirinya sendiri, yang bisa menjadi penyebab kegagalan pelayanankonselingnya. PERTAMA, ialah kebutuhan untuk melakukan counter-transference. Counter-transference adalah istilah psikologis yangartinya tidak lain daripada sikap menyambut dan menanggapi gejalatranference dari konseli yang ditujukan padanya. KEDUA, ialahkebutuhan untuk menikmati simbol Allah yang ada padanya. Adabanyak hamba Tuhan yang tanpa sadar telah menyalahgunakan simbolAllah yang ada padanya untuk kepentingannya sendiri.
Kesembilan, ALKITAB DAN PASTORAL KONSELING. Pada bagian ini
Simatupang menjelaskan peranan Alkitab dalam pastoral konseling.
Menurut Simatupang, menetapkan suatu tema lebih baik daripada
mengambil satu bagian Alkitab secara asal-asalan, lalu menentukan
hubungan antara Alkitab dengan klien. Kalau pembimbing merasa
membaca Alkitab malah seakan membuat klien merasa terancam, maka
lebih baik ia mengutip Alkitab secara luar kepala, yaitu dengan cara
menghafalnya terlebih dulu. Lebih dalam Simatupang mengatakan,
kebanyakan klien yang membutuhkan "Pastoral Konseling", memang benar-
benar karena mereka gelisah. Namun, gembala harus menolak apabila ia
didesak untuk memberi keyakinan melalui Alkitab sebelum waktunya
(terlalu pagi). Janji Tuhan dapat dipakai lebih efektif sesudah
klien mendapat cukup kesempatan untuk mengemukakan kegelisahannya,147 Ibid., hl. 133-138.
Laporan Buku – Konsentrasi I
58
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
yang mendorongnya untuk mencari pertolongan. Klien yang sudah tidak
lagi mempunyai perasaan kuatir atau bersalah dalam sikapnya adalah
mereka yang dapat menerima pengajaran/nasihat Alkitab dengan tepat.
Prosedur ini hanya akan sesuai apabila pembimbing mempertimbangkan
sikap asal-asalan yang disengaja oleh klien untuk menutupi dosanya
atau persoalannya dengan cara lain. Nasihat dari Alkitab harus
selalu diselubungi dengan kasih. Bagian nats Alkitab dengan konteks
apa pun harus disertai kasih di dalamnya. Setiap pemakaian Alkitab
harus disertai doa. Renungan pribadi berdasarkan Alkitab merupakan
kualifikasi pembimbing yang paling baik dalam penggunaan Alkitab
secara tepat. Klien dapat pula mengambil bagian dalam meditasi untuk
menyelesaikan masalahnya. Meditasi ayat-ayat Alkitab yang telah
dipilih, harus ada hubungannya dengan pokok persoalan klien.148
Kesepuluh, MUSIK SEBAGAI ALAT KONSELING. Menurut Simatupang, musik
dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para pendengar
yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang menggubahnya. Menurut
Simatupang, ada dua fungsi musik dalam konseling, yaitu:149
a. Musik sebagai Terapi dan Ungkapan Perhatian. Penggunaan musiksebagai ungkapan perhatian dan suatu terapi tambahan bagikonseling pastoral melibatkan integrasi dari beberapa disiplinsejarah: pendidikan musik, pelayanan musik, dan terapi musik. Kataterapi dalam konteks ini berarti lebih daripada sekadar‘penyembuhan suatu penyakit’. Tetapi, dalam zaman stres, penuhkeraguan, penuh perpecahan, putus asa, dan kekalahan ini, musikdapat disebut sebagai terapi yang menstimulasi, memulihkan,menghidupkan, mempersatukan, membuat seseorang peka, menjadisaluran dan memerdekakan. Terapi musik memiliki suatu kapasitasyang unik dan mapan sehingga memungkinkan terjadinya perubahanhidup.
b. Musik sebagai Terapi Tingkah Laku. Secara tehnis, terapi musiktelah didefinisikan sebagai “suatu sistem yang telah dikembangkansecara maksimal untuk menstimulasi dan mengarahkan tingkah lakuuntuk mencapai sasaran terapi yang benar-benar jelas. Simatupang
148 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 138-139.149 Ibid., hl. 140-144.
Laporan Buku – Konsentrasi I
59
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
mengutip pemikiran William bahwa peran musi merubah tingkah lakuadalah bahwa a. Musik memberikan pengalaman di dalam struktur, b.Musik memberikan pengalaman dalam mengorganisasi diri, dan c.Musik memberikan pengalaman dalam, hubungan antarpribadi.
Kesebelas, REFLEKSI. Pada bagian ini Simatupang memberikan
refleksinya atas pelayanan pastoral konseling di tengah-tengah
gereja. Menurutnya, pertama, pelayanan konseling sangat dibutuhkan
oleh semua orang. Apalagi mengingat saat ini, manusia semakin banyak
mengalami masalah dan menanggung beban hidup yang semakin berat.
Gereja sudah sepatutnya bertindak aktif dalam menyikapi kenyataan
ini. Mengingat kian bertambah kompleksnya persoalan ini, pihak
gereja sudah seharusnya menyediakan dan membuka pelayanan konseling
pastoral yang dinamis bagi jemaat. Pelayanan konseling semacam itu,
tentu saja, wajib mengindahkan dimensi spiritual pada suatu
persoalan. Para pelayan Tuhan, khususnya pendeta, tidak mungkin
lepas dari pelayanan percakapan pastoral -- percakapan antara
pendeta dan jemaat mengenai pokok tertentu iman Kristen. Kapan pun
setiap hari, setiap saat, dan di mana pun, seorang pendeta bisa jadi
diharuskan melakukan pelayanan pastoral.150
Kedua, para pendeta perlu mengetahui dasar-dasar pelaksanaan
praktik percakapan pastoral dengan baik. Menurutnya, ada dua yang
harus diketahui para pendeta dalam pelayanan konseling ini, yaitu:151
a. Menjadi Konselor Yang Profesional. Menjadi konselor Kristen yangprofesional adalah beban yang tak terhindarkan bagi mereka yangmemang sudah menerima anugerah talenta dan spiritual gift dariTuhan. Di tengah tantangan pelayanan konseling Kristen yangsemakin lama semakin serius, banyak bermunculan konselor amatiryang menyediakan berbagai pelatihan yang sulitdipertanggungjawabkan. Munculnya upaya-upaya kemudahan untukmeraih gelar dalam bidang konseling telah mengaburkan keunikantalenta dan spiritual gift konseling yang Allah sediakan bagi
150 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 144.151 Ibid., hl. 144-145.
Laporan Buku – Konsentrasi I
60
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
umat-Nya. Setiap individu Kristen dipanggil untuk salingmenasihati, tetapi konseling tidak sama dengan pemberian nasihat.Pelayanan konseling yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan olehmereka yang mempunyai talenta dan spiritual gift konseling.
b. Pelayanan Konseling melalui Telepon. Pelayanan konseling adalahsalah satu jawaban paling nyata untuk manusia yang hidup dalamkeputusasaan, kerapuhan, dan ketidakberdayaan. Pelayanan konselingmelalui telepon menjadi alternatif terbaik. Pelayanan konselingmelalui telepon bukan sekedar pelayanan yang non-threatening("tidak menakutkan") bagi siapa saja, tetapi juga dapat menembusbatas ruang dan waktu. Pelayanan ini dapat dilakukan kapan sajadan di mana saja. Klien tidak perlu membuat janji, menungguberhari-hari, dan merasa takut rahasia kehidupan pribadinyadiketahui oleh lingkungan tertentu.
c.
d.
2.9. SEJARAH DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN IMAN ANTARA
PROTESTAN DAN KATOLIK (Ramli SN Harahap)
Dalam bagian pendahuluan Ramli SN Harahap menjelaskan hubungan
antara Gereja Katolik Roma (GKR) dengan Gereja Reformasi atau
Protestan. Sejak munculnya gerakan Reformasi pada tahun 1500-an,
khususnya Reformasi Martin Luther (1517), Gereja Katolik Roma (GKR)
menganggap Gereja Reformasi atau Protestan sebagai musuh dan bahkan
bidat. Kedua belah pihak saling mengutuk. Kutukan ini tidak hanya
dikenakan kepada para Reformator itu saja bahkan kepada para
pengikut Reformator itu sendiri pun pihak GKR terus bermusuhan.
Dengan adanya gerakan Reformasi ini maka kedua belah pihak baik GKR
dan Protestan semakin menggali dan mengembangkan doktrin-doktrinnya.
Di satu sisi GKR membaharui diri dari dalam dan melawan doktrin-
doktrin Protestan melalui Konsili-konsili dan hasil Konsili-konsili
ini mau melawan doktrin yang dikeluarkan oleh pihak Protestan.
Sementara itu, pihak Protestan pun semakin gencar melawan praktik-
praktik GKR yang dianggap tidak sesuai dengan iman Protestan.
Laporan Buku – Konsentrasi I
61
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Pertikaian doktrin antara GKR dan Protestan ini sudah berlangsung
selama lebih kurang lima abad sejak tahun 1500-an hingga tahun 1990-
an. Jurang pemisah di antara GKR dan Protestan ini bagi kalangan
Protestan khususnya Lutheran sudah perlu diperbaiki kembali.
Kerinduan untuk menjembatani pertemuan di antara GKR dan Protestan
ini pun dimulai dengan membahas salah satu di antara perbedaan itu
yakni doktrin pembenaran oleh iman. Pertikaian dan kutukan itu perlu
diakhiri. Salah satu cara menghentikannya ialah dengan menandatangai
sebuah dokumen oleh kedua belah pihak pada 31 Oktober 1999 di
Augsburg, yakni "Dokumen Deklarasi Bersama tentang Pembenaran oleh
Iman“ (Joint Declaration on the Doctrine of Justification by Faith).152
Ada empat catatan yang diuraikan Ramli Harahap dalam tulisannya
ini, yakni:
Pertama, PEMAHAMAN TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH IMAN. Pada
bagian ini, Ramli Harahap menjelaskan beberapa pemahaman tentang
ajaran pembenaran itu sendiri, yakni:a. Definisi pembenaran. Ramli Harahap menguraikan definisi pembenaran
berdasarkan KUBI, Kamus Teologi, Kamus Alkitab. Inti persoalan yangdiuraikan dalam hal ini adalah apa yang harus dilakukan oleh seorangindividu supaya diselamatkan. Pertanyaan ini di sepanjang sejarahgereja masih terus diperdebatkan bahkan mengalami kekacauan.Mengapa? Menurut McGrath ada beberapa faktor yang menyebabkannya.Pertama, tidak adanya pengumuman resmi dari gereja mengenai masalahini selama lebih dari seribu tahun. Kedua, ajaran mengenaipembenaran tampaknya telah menjadi topik perdebatan yang disukai diantara teolog-teolog periode akhir Abad Pertengahan dengan hasilbahwa sejumlah pendapat yang tidak proporsional atas persoalan itumasuk ke dalam peredaran. Menurut Ramli, pembenaran merupakan suatutindakan deklaratif, bukanlah sesuatu yang dikerjakan di dalammanusia, tetapi sesuatu yang dinyatakan tentang manusia. Pembenarantidak menjadikan seseorang benar, tetapi hanya menyatakan diabenar.153
b. Dasar Alkitabiah Ajaran Pembenaran oleh Iman. Dalam bagian ini Ramlimenjelaskan apa dasar pembenaran iman itu secara Alkitabiah. Kata
152 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 147.153 Ibid., hl. 148-149.
Laporan Buku – Konsentrasi I
62
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
yang dipergunakan untuk “membenarkan” di dalam Perjanjian Lama (PL)adalah hitsdik (Ibrani), yang dalam sebagian besar pemakaiannyaberarti “secara yuridis mengumumkan bahwa keadaan seseorang selarasdengan tuntutan hukum” (Kel. 23:7; Ul. 25:1; Ams. 17:15; Yes. 5:23).Artinya, kata pembenaran itu lebih bersifat hukum. Kata kerjalainnya adalah qdx (tsadaq). Istilah ini lebih bersifat religiusdaripada etis. Kata kerja ini artinya “sesuai dengan tolok-ukur yangdiberikan”; dalam bentuk hiphil kata kerja ini artinya “menyatakansebagai benar atau membenarkan”. Sementara dalam dalam PerjanjianBaru (PB) kata yang digunakan lebih variatif seperti: (1) ‘dikaio-o’yang berarti “menyatakan bahwa seseorang benar” dan kadang-kadangjuga dipakai untuk menunjuk suatu pernyataan pribadi sesuai menuruthukum (Mat. 12:37; Luk. 7:29; Rm.3:4). (2) ‘Dikaios’ . Kata ini dipakaidalam kaitan dengan manusia jika manusia dalam penilaian Tuhanmempunyai hubungan yang sesuai dengan hukum. (3) ‘Dikaiosis’ ,pembenaran yang dijumpai di dua tempat, yaitu Rm. 4:25, 5:18 yangmenunjukkan tindakan Tuhan yang menyatakan bahwa manusia bebas darikesalahan dan dapat diterima oleh-Nya. Berdasarkan data tersebut,maka pembenaran dalam PB merupakan tindakan Allah yang bersifathukum atau menyatakan kita benar seperti halnya keputusan hakim yangmembebaskan seorang terdakwa. Selanjutnya, Ramli menguraikan lebihdalam pengeritan pembenaran secara alkitbiah. Dalam Perjanjian Baru(PB), pembenaran oleh iman ini kita temukan dalam perumpamaan TuhanYesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Luk. 18:9-14). OrangFarisi dan pemungut cukai pergi ke Bait Allah untuk berdoa. OrangFarisi bangga dan sombong terhadap apa yang telah diperolehnya,mengucap syukur kepada Allah atas kekudusan dan moralitasnya yangbaik. Dalam Perjanjian Lama (PL), kata yang digunakan untukmenerjemahan sdq (bahasa Ibrani) adalah kata Yunani dikaioo. Para ahlimenyetujui kata ini dikaitkan dengan keadilan di dalam perjanjianyang Allah buat dalam pemilihan umat Israel. Dikaioo merujuk padahukum tanah dan tradisi dalam penafsiran mereka. Dalam kenyataan,tidak ada kata di dalam PL Ibrani yang secara harfiah berarti“sebuah pengadilan” (a court). Kata yang biasa digunakan adalah “pintukota” (the gate of the city). Kata Ibrani sdq berarti “menjadi benar” atau“menyatakan menjadi benar”. Konsep pembenaran juga ditemukan dalamtulisan-tulisan Paulus. Dalam tulisan-tulisan Paulus, pembenaranoleh iman ditemukan dalam surat Galatia dan Roma, namun masihditemukan juga dalam tulisan-tulisan lainnya seperti dalam Filipi3:9-11 dan Titus 3:3-7. Ajaran pembenaran oleh iman bukanlah beritayang aktual yang harus dikhotbahkan kepada orang kafir oleh Paulus.Namun, pembenaran oleh iman ini merupakan penjelasan bagaimana Injildidasarkan pada tema-tema PL mengenai kebenaran Allah dan imanmanusia. Ajaran pembenaran oleh iman ini ditujukan Paulus kepadaorang kafir di Galatia. Menurut Paulus, pembenaran manusia di dalamAllah tidak tergantung pada banyaknya atau sedikitnya ia mematuhi
Laporan Buku – Konsentrasi I
63
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
hukum Taurat; manusia dibenarkan oleh anugerah semata-mata. Manusiatidak dapat mengusahakan sendiri anugerah itu, tetapi harusmenerimanya dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Bagi Paulus,iman bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebaliknya penerimaananugerah Allah dalam Yesus Kristus (bnd. Rm. 1:6-7) dan dengandemikian justru iman itulah merupakan inti dan sumber dari kehidupanrohani, termasuk perbuatan-perbuatan (bnd. Rm. 9:31-10:3). MaksudAllah membenarkan manusia oleh karena iman (Rm. 3:30; Gal. 3:8)adalah bahwa Ia menerima manusia, bukan karena manusia itu beriman(karena manusia itu benar), melainkan karena kebaikan-Nya sendiri.Kebenaran manusia bukanlah dasar bagi kebenaran Allah. Sebaliknyakebenaran Allah adalah kesempatan bagi manusia untuk menerima (=percaya kepada) kebenaran Allah itu. Dengan membenarkan manusia yangberdosa, Allah tidak berarti membenarkan dosa manusia itu sendiri.Kebenaran oleh iman bukanlah asuransi hidup kekal, melainkankesempatan baru yang diberikan Allah kepada manusia yang dilumpuhkandosa, untuk hidup sebagai anak-anak-Nya.154
c. Pandangan Augustinus dan Thomas Aquinas tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman.Dalam bagian ini Ramli memaparkan pemahaman Bapa Gereja khususnyaAugustinus dan Thomas Aquinas tentang ajaran pembenaran oleh iman.Pandangan Augustinus tentang keselamatan (rahmat) hanya dapatdipahami kalau mengingat pandangannya mengenai dosa, yakni sebagaisuatu kuasa yang mengurung, membelenggu dan memperbudak manusia.Kuasa dosalah yang disebut “dosa asal”. Karena dosa Adam, manusiasudah masuk ke dalam lingkaran setan yang mengurungnya. Artinya, apasaja yang secara konkret diperbuat oleh manusia, hanya mengukuhkansaja perbudakannya terhadap dosa, biarpun perbuatan konkret itudilakukannya secara bebas dan atas tanggung jawab sendiri. Daridirinya sendiri manusia tidak dapat keluar dari lingkaran ini.Secara harfiah manusia berada dalam kuasa setan. Yang dapatmenyelamatkan manusia dari kuasa dosa itu hanyalah Allah. Dan, Allahmemang membebaskan manusia dari “lingkaran setan” itu. TindakanAllah itulah yang oleh Augustinus disebut “rahmat”. Berbeda denganThomas Aquinas yang mengajarkan bahwa Allah sebagai "ada yang takterbatas" (ipsum esse subsistens). Allah adalah "ada yang tertinggi",yang mempunyai keadaan yang paling tinggi. Allah adalah penggerakyang tidak bergerak. Dunia ini dan hidup manusia terbagi atas duatingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas danbawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami denganmempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisamenjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati)."Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan olehrahmat," demikian kata Thomas Aquinas.155
154 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 150-155.155 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 155-158.
Laporan Buku – Konsentrasi I
64
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
d. Pandangan Protestan tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman. Pandangan Luthertentang pembenaran ini dimulai dalam kuliah-kuliah yangdisampaikannya kepada mahasiswanya. Pada mulanya Luther adalahseorang pengikut yang setia dari pandangan via moderna. Allah telahmendirikan suatu perjanjian (pactum) dengan manusia. Melaluiperjanjian itu Allah wajib membenarkan siapa saja yang mencapaipersyaratan minimum tertentu (quod in se est). Akibatnya, Luthermengajarkan bahwa Allah memberikan anugerah-Nya kepada orang yangrendah hati sehingga semua orang yang merendahkan hatinya di hadapanAllah dapat mengharapkan untuk dibenarkan seperti yang sudahselayaknya. Lebih dalam Luther mengatakan bahwa dalam pembenaran,Allah adalah aktif, dan manusia adalah pasif. Ungkapan “pembenaranoleh anugerah melalui iman” (sola fide) memberikan arti dari ajaran itudengan lebih jelas; pembenaran orang berdosa didasarkan atasanugerah dan diterima melalui iman. Keyakinan Luther bahwakeselamatan hanya diperoleh berdasar kasih karunia melalui iman (solagratia dan sola fide), diungkapkan dengan jelas di dalam penafsiran danpengandalan gereja-gereja Lutheran atas Alkitab, dan dalam caramereka merayakan Menurut Luther, hakikat pembenaran mengubah statussebelah luar dari orang berdosa dalam pandangan Allah (coram Deo),sedangkan kelahiran kembali mengubah sifat dasar bagian dalam dariorang berdosa itu. Bagi Luther, orang-orang berdosa mempunyaikebenaran di dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak mempunyai apapun di dalam diri mereka yang dapat dianggap sebagai dasar bagikeputusan yang mahamurah dari Allah untuk membenarkan mereka.“Kebenaran yang asing dari Kristus” (iustitia Christi aliena) membuat jelasbahwa kebenaran yang membenarkan orang-orang berdosa adalah di luarmereka. Bagi Luther, iman yang membenarkan tidak lain dari keyakinanakan kemurahan Allah yang mengampuni dosa demi Kristus. Trentesendiri sepenuhnya mengakui bahwa kehidupan Kristen dimulai melaluiiman, jadi sebenarnya sangat dekat dengan pandangan Luther. BagiLuther, seseorang dapat benar-benar yakin akan keselamatannya.Keselamatan didasarkan pada kesetiaan Allah pada janji-janjikemurahan-Nya. Sementara itu, Calvin juga menekankan pembenaransebagai tindakan forensik (legal), di mana Allah mendeklarasikanorang berdosa yang percaya sebagai orang benar, suatu tindakan yangdimungkinkan berdasarkan anugerah Allah. Kontras dengan Luther,Calvin memulai doktrin keselamatan dengan pemilihan Allah atas orangberdosa. Calvin memahami pemilihan untuk keselamatan sebagai tanpasyarat, karena “apabila pemilihan bergantung pada iman dan perbuatanbaik manusia, maka anugerah itu tidak cuma-cuma, dan pada faktanyaakan berhenti menjadi anugerah“. Menurut Calvin, manusia dikatakandibenarkan di hadapan Allah, bila ia menurut penilaian Allahdianggap benar, dan karena kebenarannya itu berkenan pada Allah. Dandibenarkanlah barangsiapa yang tidak dianggap sebagai orang yangberdosa, tetapi sebagai orang yang benar, dan karena itu dapat
Laporan Buku – Konsentrasi I
65
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
bertahan di hadapan peradilan Allah, tempat semua orang yang berdosatersungkur. Jadi, barangsiapa dalam kehidupannya menunjukkankemurnian dan kesucian yang begitu besar di hadapan Allah, dialahyang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya. Bagi Calvin, hanyadengan perantaraaan kebenaran Kristuslah kita dapat dibenarkan dihadirat Allah. Sama artinya bila dikatakan bahwa manusia tidak benardalam dirinya sendiri, tetapi karena kebenaran Kristusdiperhitungkan kepadanya sehingga ia mendapat bagian di dalamnya.156
e. Pandangan Katolik tentang Ajaran Pembenaran oleh Iman. Menurut pemahamanGKR, rahmat Roh Kudus mempunyai kekuatan untuk membenarkan manusia,artinya Roh Kudus membersihkan dan memberikan kepada manusia"kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus“ (Rm. 3:22) melaluiPembaptisan. Karya pertama rahmat Roh Kudus adalah pertobatan yangmenghasilkan pembenaran. Manusia digerakkan oleh rahmat supayamengarahkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari dosa. Dengandemikian manusia menerima pengampunan dan pembenaran dari atas.Inilah unsur-unsur dari “pembenaran itu sendiri, yang bukan hanyapengampunan dosa, melainkan juga pengudusan dan pembaharuan manusiabatin” (Konsili Trente: DS 1528). Pembenaran melepaskan manusia daridosa, yang berlawanan dengan kasih kepada Allah dan memurnikanhatinya. Pembenaran terjadi karena prakarsa-prakarsa kerahiman Allahyang menawarkan pengampunan. Pembenaran mendamaikan manusia denganAllah, membebaskannya dari kuasa dosa dan menyembuhkannya. Lebihdalam, pembenaran mendasari satu kerja sama antara rahmat Allah dankebebasan manusia. Ia terungkap dalam kenyataan bahwa manusia denganpercaya menerima Sabda Allah, yang mengajaknya untuk bertobat danbahwa ia bekerja sama dalam kasih dengan dorongan Roh Kudus, yangmendahului persetujuan kita dan menopangnya.157 Katolik mengakui,pembenaran adalah karya kasih Allah yang paling agung. Ia diwahyukandalam Yesus Kristus dan diberikan oleh Roh Kudus. Santo Augustinusberanggapan bahwa “pembenaran seorang yang hidup tanpa Allah adalahkarya yang jauh lebih besar daripada penciptaan langit dan bumi”,karena “langit dan bumi akan lenyap, sementara keselamatan danpembenaran orang terpilih akan tetap tinggal”. Malahan Augustinusberpendapat, pembenaran orang berdosa melampaui penciptaan paramalaikat dalam kebenaran, karena ia memberi kesaksian mengenaikerahiman yang lebih besar lagi. Bagi Katolik, pembenaran “bukanlahhanya suatu pengampunan dosa tetapi juga penyucian dan pembaruankembali dari batin seseorang melalui penerimaan yang sukarela darianugerah dan pemberian yang menyebabkan seseorang yang tidak benarmenjadi seorang yang benar”. Pembenaran sangat erat dihubungkan
156 Ibid., hl.158-164.157 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl.158-164. Kalau Allah menjamah hatimanusia melalui terang Roh Kudus, maka manusia di satu pihak bukan tidak aktifsama sekali, karena ia menerima ilham yang dapat ia tolak juga, di lain pihak iatidak dapat mengangkat diri dengan kehendak bebasnya tanpa rahmat Allah ke dalamkeadilan di hadapan Allah (Konsili Trente: DS 1525).
Laporan Buku – Konsentrasi I
66
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
dengan sakramen baptisan dan penebusan dosa. Orang berdosa mula-muladibenarkan melalui baptisan: namun, oleh karena dosa, pembenaran itudapat hilang. Walaupun demikian, pembenaran itu dapat dibaruikembali dengan sakramen penebusan dosa.158
Kedua, SEJARAH DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH
IMAN. Dalam bagian ini Ramli menjelaskan proses lahirnya sebuah
deklarasi bersama antara GKR dan Protestan tentang ajaran pembenaran
oleh iman. a. Cikal-bakal lahirnya Deklarasi Bersama. Cikal-bakal lahirnya Deklarasi Bersama
(DB) ini dimulai dari pembahasan para teolog kedua belah pihak.Misalnya, pertama, disertasi Otto H.Pesch, yang membahas‘memperbaiki perbedaan’ di antara Luther dan Thomas Aquinas tentangdokrin pembenaran. Kedua, disertasi Prof. Joseph Ratzinger di Bonnyang menginvestigasi Konfesi Augsburg (25 Juni 1530) dan responsapologetik Katolik terhadap Konfesi Augsburg tersebut. Di sisi lain,teolog Lutheran juga melakukan pembahasan DB sejak tahun 1960-an,misalnya studi atas pemikiran Thomas Aquinas oleh Hans Vorster danUlrich Kuhn. Usaha dialog Protestan-Katolik ini juga sangatdipengaruhi ulasan Hans Küng dalam tesis doktoralnya yang berjudulThe Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection ("Pembenaran Doktrin Karl Barthdan sebuah refleksi Katolik"). Dalam tesisnya ini, Küng mencoba membukapeluang dialog antara Protestan-Katolik mengenai doktrin pembenaranoleh iman itu. Küng memaparkan hal-hal yang bisa membuka peluanguntuk dialog itu dengan mengatakan bahwa apa yang diputuskan didalam Konsili Trente tentang ajaran pembenaran iman Reformasimerupakan keputusan yang salah, karena keputusan itu didasarkan ataskesalahpahaman dan kekurang-mengertian tentang ajaran pembenaraniman itu sendiri. Padahal, di dalam deklarasi Lutheran–GKR MaltaReport disebutkan: “Lutheran dan GKR setuju bahwa Injil adalah dasaratas kebebasan Kristen. Kebebasan ini digambarkan di dalamPerjanjian Baru (PB) seperti bebas dari dosa, bebas dari kuasa HukumTaurat, bebas dari kematian, dan kebebasan melayani Allah dan sesamamanusia….” Pemrakarsa dialog Lutheran-Katolik ini adalah darikalangan Lutheran. Pada 1972 LWF mempublikasikan Laporan Malta (MaltaReport), yang berisikan uraian singkat tentang pembenaran oleh iman.Setelah Laporan Malta itu, dialog internasional Lutheran-Katolik mulaidilakukan.159
b. Dialog-Dialog. Untuk mewujudnyatakan Deklarasi Bersama ini, kedua belahpihak banyak terlibat dalam dialog-dialog, seperti: dialog GKR danLutheran World Ministries, cabang Lutheran World Federation di
158 Ibid., hl. 164-166.159 Ibid., hl. 167-168.
Laporan Buku – Konsentrasi I
67
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Amerika tentang Pembenaran Iman (Justification by Faith). Dialog yangdilakasanakan di Amerika ini menghasilkan sebuah Pernyataan Umum(Common Statement). Perkembangan selanjutnya, di Jerman telah diadakansebuah pertemuan Komisi Bersama Ekumenis (Joint Ecumenical Commission)pada 1986 yang membahas Pengujian pengutukan-pengutukan pada abadkeenambelas. Tahun 1985, Komisi ini menghasilkan Laporan SingkatAkhir yang diterbitkan di Jerman tahun 1986 yang terdiri dari limabelas esei tentang pembenaran. Dua tahun kemudian, Konferensi BishopKatolik Jerman membicarakan respons positif tentang masalah inidengan berdialog. Paus mendorong dialog tentang topik pembenaran inidengan pihak Protestan Jerman tahun 1996. Akhirnya, respons Katolikterhadap dialog inilah yang melahirkan Deklarasi Bersama (Joint Declaration)itu. Proses lahirnya Dokumen Bersama ini juga erat kaitannya dengandialog Komite Gereja Katolik Roma Inggris–Methodis (1988/1992) yangmendiskusikan tema pembenaran pada sejumlah pertemuan mereka darimusim gugur 1983. Dari 1986 hingga 1993, Komisi Bersama Lutheran-Katolik Roma telah bertemu membahas hubungan di antara pembenarandan eklesiologi yang menghasilkan laporan yang sangat panjang yangdipublikasikan di Jerman 1994 dan di dalam bahasa Inggris pada tahunyang sama. Sebuah konsensus dalam doktrin pembenaran harusmembuktikan dirinya sendiri secara eklesiologis. Doktrin gereja danpembenaran harus dimengerti dalam terang keduanya. Dalam dokumen iniada dua pertanyaan dari kedua belah pihak: Katolik bertanya apakahpemahaman Lutheran tentang pembenaran tidak mengurangi realitasgereja; Lutheran bertanya apakah pengertian Katolik tentang gerejatidak mengaburkan Injil sebagai doktrin pembenaran menjelaskangereja.160
c. Lahirnya Deklarasi Bersama (DB). Mernurut Ramli, lahirnya DB ini sangatdipengaruhi oleh kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Jerman pada 17November 1980 dengan mengadakan pertemuan dengan Gereja Lutheran danReformed (Calvinis) di Mainz. Pada saat itu, Landesbischof EduardLohse – ketua Dewan Gereja Evangelikal Jerman [The Council of theEvangelical Church in Germany (EKD)] – menyampaikan kebutuhan kerjasama yang lebih baik dengan GKR pada Ibadah Minggu, Perjamuan Kudusdan perkawinan campur. Maka dibentuklah sebuah Komisi EkumenisBersama (A Joint Ecumenical Commission). Komisi ini mengadakan pertemuanpertama pada 6-7 Mei 1981. Ketua pertemuan ini adalah Bishop Lohsedari Hannover dan bishop GKR Munich, Cardinal Joseph Ratzinger. Padapertemuan ini dirasakan sangat perlu membahas penghapusanpengutukan-pengutukan mengenai doktrin, hal-hal praktis dalampengakuan Lutheran abad keenambelas dan GKR. Lalu sejak 1990-antelah dimulai gerakan dialog tentang Deklarasi Bersama, yang dibangundalam dokumen-dokumen sebelumnya, khususnya laporan Pembenaran ImanAmerika dan laporan pengutukan-pengutukan Jerman. Tahun 1993Lutheran-Katolik membentuk Komite Koordinasi Bersama (Joint Coordinating
160 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 169-172.Laporan Buku – Konsentrasi I
68
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Committee). Tahun 1995 sebuah draft telah dibagikan pada gereja-gerejauntuk dibahas dan dikomentari. Dan pada tahun 1997, Deklarasi Bersamaini dipublikasikan yang diikuti dengan berbagai diskusi. LWF telahmeminta anggota-anggota gereja LWF untuk memberi masukan dan jawabanbulan Mei 1998 apakah anggota-anggota gereja LWF menerima kesimpulandeklarasi bersama tersebut. Sebuah diskusi yang hangat terjadi diJerman seperti pertemuan yang diprakarsai Frankfurter Allgemeine Zeitung.Pada Januari 1998 sebuah kelompok lebih dari 150 teolog yangdipimpin Gerhard Ebeling dan Eberhard Jungel, menandatanganipernyataan oposisi pada Deklarasi Bersama ini. Tetapi akhirnya, padasaat sinode Gereja-gereja Lutheran Jerman ternyata akhirnya merekamenerima Deklarasi Bersama ini melalui pemungutan suara. Para teologtidak merasa puas, sehingga tahun 1999 lebih dari 250 teologmenandatangani sebuah dokumen memprotes dan melawan Deklarasi Bersamaitu. Dari seluruh respons yang diterima LWF dari seluruh anggota-anggota LWF, maka pada bulan Juni 1998 LWF mengeluarkan responsresmi dari LWF terhadap deklarasi ini. Sementara di pihak Katolik,penerimaan deklarasi ini tidak begitu dramatik. Gereja Katolik jugamengeluarkan sikap resmi mereka terhadap deklarasi ini pada bulanJuni 1998. Tetapi respons Katolik ini tidak sepositif respons darigereja Lutheran. Deklarasi Bersama ini juga merupakan hasil darikerjasama dengan Pontifical Council for Promoting Christian Unity.Kedua lembaga ini sangat berperan aktif untuk mensosialisasikandokumen ini di dalam berbagai kegiatan, seperti konsultasi diColumbus, Ohio, USA pada tanggal 27-30 November 2001. Deklarasi Bersamaini bersama dengan Pernyataan Resmi Lembaga dan Annex,ditandatangani di Augsburg pada Hari Reformasi, 31 Oktober 1999.Beberapa minggu kemudian, Paus Johanes Paulus II mengatakan kepadaPresiden LWF bahwa dokumen ini tanpa diragukan lagi menjadi dasaryang kokoh dalam langkah dialog ekumenis selanjutnya. Deklarasi Bersamaini berisikan Pembukaan yang berisikan konteks deklarasi bersamadalam dialog pendahuluan. Bagian pertama membahas "Pesan Alkitabtentang Pembenaran“ dan diikuti bagian kedua ringkasan "DoktrinPembenaran sebagai masalah Ekumenis”. Bagian ketiga berisikan"Pengertian Pembenaran Iman masa kini“: Bersama kami mengaku: hanyadengan anugerah, di dalam iman dalam karya penyelamatan Kristus danbukan sebab kebaikan dalam kehidupan, kami diterima Allah danmenerima Roh Kudus, yang membarui hati kami yang memperlengkapi danmemanggil kami melakukan perbuatan baik. Bagian keempat berisikan“Perkembangan Pengertian Pembenaran”.161
Ketiga, RESPONS TERHADAP DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN
PEMBENARAN OLEH IMAN. Dalam bagian ini Ramli menjelaskan respons
161 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 172-174.Laporan Buku – Konsentrasi I
69
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
gereja-gereja Katolik dan Protestan atas lahirnya Deklarasi Bersama
itu. Menurutnya, ada banyak yang memberikan respons terhadap DB ini,
baik yang sifatnya positif maupun negatif. Dari sisi positif,
Bishop Paul-Werner Scheele, seorang Katolik mengatakan, “I am convinced
that October 31, 1999 was a kairos not only for Catholic and Lutheran Christians but for the
whole of Christianity”. Demikian juga pendapat seorang Reformed, Anna Case-
Winters yang mengatakan, “Joint Declaration is a truly remarkable step was taken in
advancing the unity of the church”. Menurut Case, DB ini memberikan peluang
bagi World Alliance of Reformed Churches (WARC) untuk merespons DB,
sebab dokumen DB ini merupakan dokumen terbuka untuk mengundang
setiap orang untuk menyatu di dalamnya. Reaksi positif juga
diberikan oleh berbagai gereja di dunia ini seperti yang di Inggris,
Brazil, Argentina, Chile, El Salvador, Venezuela, Australia, New
Zealand dan Bangladesh. LWF sendiri sangat menyambut baik hasil
dokumen DB ini.162
Menurut Ramli, dari sisi negatif, di Jerman, sekitar 243
akademisi dari teolog Protestan dari berbagai fakultas teologi
Protestan mengkritik dokumen DB ini. Dari kalangan Katolik Jerman,
reaksi kritikan hanya datang dari “Vereinigung der Initiativkreise
der Katholischen Laien und Priester“. Penilaian lainnya diberikan
oleh Lane yang mengatakan bahwa: pertama, teologi GKR secara
signifikan bergerak semakin dekat kepada doktrin Protestan. Kedua,
GKR pada level tertinggi telah membuat perobahan yang signifikan
dalam arahan ini, dalam DB, yang menyatakan bahwa doktrin Protestan
bukan lagi untuk dikutuk.163
Keempat, PENGARUH DEKLARASI BERSAMA TENTANG AJARAN PEMBENARAN OLEH
IMAN. Dalam bagian ini Ramli menjelaskan bagaimakah pengaruh Dokumen
162 Ibid., hl. 174-175.163 Ibid., hl.175.
Laporan Buku – Konsentrasi I
70
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Bersama ini bagi Gereja-gereja Katolik dan Protestan di Indonesia.
Menurutnya, konsep DB ini di Indonesia tidak begitu kelihatan
pengaruhnya secara langsung bagi masyarakat itu sendiri. Pengaruh
dokumen ini kelihatan dalam lingkungan orang Kristen saja. Kita
ambil contoh, dokumen-dokumen yang ada dalam lembaga-lembaga
ekumenis sudah menunjukkan adanya kerinduan untuk mencapai kesatuan
iman. PGI dalam Keputusan Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29
November – 5 Desember 2004 telah memutuskan sebuah Dokumen Keesaan
Gereja. Dalam dokumen ini sudah terlihat adanya harapan untuk mencapai
suatu kesatuan iman di seluruh anggota PGI. Dokumen Keesaan Gereja
tersebut memuat beberapa keinginan untuk menyatu di bidang: (1)
Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), (2) pemahaman bersama
iman Kristen, (3) Oikumene Gerejawi, dan (4) Tata Dasar PGI.
Pengaruh lain hubungan Protestan dengan Katolik juga tampak semakin
baik. Misalnya, dahulu jika seorang pemuda Protestan menikah dengan
gadis Katolik, maka oleh gereja si pemuda tadi akan mengenakan
sanksi siasat gereja kepada yang bersangkutan dengan mengeluarkannya
dari keanggotaan jemaat. Demikian juga sebaliknya, Katolik akan
mengenakan hukuman siasat gereja kepada salah seorang warganya yang
menikah dengan orang Protestan. Artinya, kedua belah pihak tidak
saling mengakui keabsahan perkawinan dua orang jemaat yang tidak
seiman dengan mereka. Namun sekarang, hal itu telah mengalami
perobahan. Baik Protestan maupun Katolik telah mengakui keabsahan
perkawinan warga jemaat yang menikah dengan agama Katolik dan atau
Protestan tanpa mengenakan hukum siasat Gereja kepada yang
bersangkutan.164
164 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 176-177.Laporan Buku – Konsentrasi I
71
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
2.10. RENCANA PEMBANGUNAN MONUMENT 150TH KEKRISTENAN DI LUAT
ANGKOLA: Monument ini akan dibangun di Bumi Zending Parausorat
(Ramli SN Harahap)
Tulisan ini merupakan sebuah ulasan Ramli Harahap tentang sebuah
pendirian Monument dalam rangka 150 tahun kekristenan di daerah
Angkola di Parausorat165. Dalam tulisan ini Ramli menjelaskan alasan
pendirian monument ini. Menurut Ramli, Parausorat merupakan tempat
yang sangat bersejarah. Sebab di daerah inilah penginjil Gerrith van
Asselt membaptiskan dua orang Batak menjadi Kristen, yakni: Simon
Siregar dan Jakobus Tampubolon pada 15 Maret 1861 yang lampau.
Peristiwa ini menjadikan Parausorat dikenal oleh umat Kristen Batak
karena melalui peristiwa pembaptisan inilah penyebaran agama Kristen
mulai dikembangkan ke tanah Batak lainnya, seperti ke tanah Batak
Utara, Toba dan hingga ke daerah Simalungun.166
Menurut Ramli, kini Parausorat tinggal kenangan. Umat Kristen
yang menetap tinggal sedikit. Lama kelamaan orang Kristen yang ada
sekarang pun akan habis. Parausorat akan menjadi catatan sejarah
saja. Daerah ini tidak dipelihara dengan baik oleh orang Kristen
Batak hasil penginjilan lembaga sending Belanda dan Jerman.
Berangkat dari kegelisahan itulah maka menurutnya perlu pembangunan
monument ini untuk melestarikan nilai-nilai sejarah yang sudah lama
terkubur itu. Dengan momentum Perayaan 150th Kekristenan di Luat
(Daerah) Angkola ini umat Kristen kembali sadar dan bangun dari
ketertidurannya untuk membangun sebuah “Monument Perayaan 150th
165 Parausorat adalah sebuah desa kecil di Kecamatan Sipirok, Tapanuli SelatanSumatera Utara. Desa kecil ini dihuni masyarakat petani yang pada umumnya beragamaIslam. Desa ini hanya dihuni 7 KK umat Kristen hasil dari lembaga penginjilan dariBelanda dan Jerman seratus lima puluh tahun yang silam.166 Ramli SN. Harahap,. (Ed, Bunga Rampai..., hl. 181-183..
Laporan Buku – Konsentrasi I
72
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Kekristenan di Luat Angkola” sebagai pertanda kenangan agar setiap
orang Kristen Batak dapat berkunjung ke situs kekristenan ini.167
2.11. LAMPIRAN-LAMPIRAN
Dalam buku ini disuguhkan beberapa lampiran-lampiran artikel
yang diberikan oleh keluarga pendeta yang pernah melayani di daerah
Angkola. Artikel ini dimasukkan sebagai lampiran karena artikeli ini
hanya berisi riwayat hidup singkat dari para pendeta atau guru yang
melayani di daerah Angkola. Artikel-artikel dimaksud adalah:
a. Riwayat Hidup singkat Pendeta Markus Siregar
b. Riwayat Hidup singkat Pendeta Immanuel Siregar
c. Riwayat Hidup singkat dari Guru Simon Petrus Siregar
d. Kapankah kita menghormati dan menghargai Pahlawan Pembaharuan
ini?
3. TANGGAPAN BUKU
Setelah membaca buku ini, tibalah saya akan memberikan beberapa
catatan dan tanggapan atas ini buku ini.
Pertama, buku ini hanya sekedar buku Bunga Rampai. Menurut saya
pada usia kekristenan 150 tahun di Tanah Batak Angkola, sudah
sepantasnya menerbitkan buku yang membahas perkembangan kekristenan
selama 150 tahun secara komprhensif. Menurut saya, buku ini hanya
merupakan kumpulan tulisan lepas yang tidak memiliki hubungan dengan
tulisan lainnya, sehingga bisa terjadi tumpang tindih tulisan oleh
para penulis. Karena penulis menulis tulisannya tanpa berkomunikasi
dengan penulis lainnya. Memang saya harus akui, semula buku ini
dipersiapkan Panitia 150 tahun Kekristenan di daerah Angkola untuk
membahas secara komprehensif sejarah misi dan kerkistenan di Tanah167 Bangunan Monument 150th Kekristenan ini telah diresmikan Pucuk Pimpinan GKPA pada 5 Juli 2013 yang lalu.
Laporan Buku – Konsentrasi I
73
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Batak Angkola dengan judul “SERATUS LIMA PULUH TAHUN KEKRISTENAN DI
LUAT ANGKOLA”. Namun dalam perjalanan kepanitiaan, tim yang telah
ditugaskan tidak bisa bekerja dengan baik dan maksimal, maka
akhirnya penerbitan buku ini diambli alih oleh Panitia Inti,
sehingga sekretaris panitia bertindak sebagai editor dan meminta
kesediaan para penulis untuk menuliskan tulisan yang berkaitan
dengan Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat Angkola. Judul
buku pun akhirnya dirubah menjadi “BUNGA RAMPAI: Seratus Lima Puluh
Tahun Kekristenan di Luat Angkola” dan diterbitkan untuk kalangan
sendiri (tidak terdaftar dalam ISBN). Buku ini tidak bisa
disetarakan dengan buku sejenisnya yang diterbitkan dalam rangka
jubileum maupun ulangtahun gereja lainnya, seperti yang diterbitkan
HKBP dalam rangka 150 tahun HKBP168, dan Jubileum 50 Tahun GKPI.169
Kedua, isi buku ini tidak sistematis. Artikel maupun tulisan dalam
buku ini tidak tersusun dengan sistematis. Tiga tulisan pertama buku
ini memaparkan peran strategis GKPA dalam menjawab tantangan di
daerah Angkola, lalu melompat pada artikel kehidupan ekumenis GKPA
dan jawaban GKPA terhadap tantangan masyarakat majemuk. Kemudian,
artikelnya tiba-tiba masuk ke topik lain tentang perkembangan adat
Angkola dan kekristenan. Anehnya, di tengah-tengah buku ini baru
muncul sejarah kekristenan di luat Angkola. Lalu tiga tulisan
terkahir sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sejarah
perkembangan kekristenan di daerah Angkola. Sebenarnya gereja-gereja
lain juga melakukan penerbitan buku sejenis ini (artinya, ditulis
oleh beberapa orang), namun isi buku itu memiliki sitematika yang
baik yang merangkum sejarah perkembangan gereja dimaksud, seperti:168 Lih. J.R. Hutauruk, Tuhan Menyertai UmatNya: 125 Tahun Jubileum HKBP, (Pearaja-Tarutung:Kantor Pusat HKBP), 1986. Lih. juga J.R. Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalamKristus, (Kantor Pusat HKBP: Tarutung), 2011.169 Lih. Jan S. Aritonang, Yubileum 50 Tahun GKPI: Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke Depan,(Pematangsiantar: Kolportase GKPI), 2014.
Laporan Buku – Konsentrasi I
74
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
HKBP170, HKI171, dan GKJW172. Buku-buku yang diterbitkan HKBP, HKI dan
GKJW ini merunut sejarah kekristenan di daerah mereka masing-masing
dari sejak awal masuknya kekristenan hingga perkembangan kekinian
gereja dimaksud. Buku Bunga Rampai ini tidak memuat perkembangan
kekristenan di daerah Angkola secara runut dari masuknya kekristenan
ke daerah Angkola hingga perkembangan kekinian dari kekristenan itu
di daerah Angkola.
Ketiga, isi buku ini tidak melanjutkan buku sebelumnya. Dalam
rangka merayakan ulangtahunnya, GKPA sudah menerbitkan beberapa
buku, baik brosur,173buku sejarah174 maupun buku kenangan175. Menurut
saya buku ini seharusnya melanjutkan tulisan dan pemikiran yang
telah dituangkan dalam kelima buku yang diterbitkan GKPA. Dengan
membaca dan melihat tulisan-tulisan yang ada di kelima buku itu,
seharusnya isi dari buku ini akan menguraikan lanjutan sejarah
kekristenan di tanah Batak Angkola dan perkembangannya hingga kini.
Memang harus saya akui, kelima buku yang saya sebut dalam catatan
kaki tidak dimiliki oleh Panitia Perayaan 150 tahun Kekristenan di
Luat Angkola ketika itu. Buku itu baru saya temukan dan berbagai
kalangan setelah menekuni studi sejarah Gereja Kristen Protestan
Angkola (GKPA) ini. Kelima buku dan buku bunga rampai ini, tak satu
pun dari antaranya yang diterbitkan secara penerbitan buku yang170 J.Sihombing, Seratus Tahun Kekristenan dalam Sedjarah Rakjat Batak, (Jakarta: Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP), 1961.171 Lih. Makmur Saragih, dkk., Baja Berpijar: Bunga Rampai Tulisan dalam rangka Jubileum 80 TahunHKI, (Pematangsiantar: Kantor Pusat HKI), 2007.172 Lih. Budyanto, dkk., Buku Kenangan 75 Tahun GKJW, (Malang: PHMA GKJW), 2006.173 H.Sutan Rarangan Lubis, Sejarah Ringkas Pekabaran Injil di Tapian Nauli Bagian Selatan Angkola-Sipirok-Padanglawas-Mandailing, (Medan: Seksi Publikasi/Dokumentasi Panitia Peresmian HKBP-Angkola), 1975.174S.P. Marpaung, Sejarah Ringkas Kekristenan Daerah Sipirok – Angkola, (Sipirok, Panitia PestaPenahbisan GKPA Sipirok), 1991. Lihat juga A.L.Hutasoit, Pesta Perak 25 Taon Parmingguondi GKPA Medan Timur, (Medan: Panitia Pesta Perak 25 Taon), 1998.175 Dahlan Harahap, (ed.)Bertumbuh Menuju Kedewasaan: Buku Kenangan Duapuluh Tahun GerejaKristen Protestan Angkola, (Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA), 1995. Lihat juga ArdenSiregar, Kenangan 35 Tahun GKPA, Medan: Panitia Pesta Olopolop 35 Tahun GKPA), 2010.
Laporan Buku – Konsentrasi I
75
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
standart namun masih dalam kalangan sendiri. Brosur Sejarah Ringkas
Pekabaran Injil hanya berisikan tiga topik, yakni: Pekabaran Injil di
Tapanuli bagian Selatan, Organisasi Jemaat, dan Perjuangan HKBP-
Angkola. Brosur yang tipis ini tidak memuat secara mendalam sejarah
kekristenan itu. Sementara buku Pesta Perak 25 Taon GKPA Medan Timur dan
Kenangan 35 Tahun GKPA di Medan Barat menuliskan hanya sejarah gereja GKPA
Medan Timur dan Medan Barat saja. Buku Sejarah Ringkas Kekristenan daerah
Sipirok-Angkola, telah mencoba menuliskan berita dari masuknya Injil ke
Sumatera hingga perkembangan GKPA pada tahun 1990-an. Lalu buku ini
juga lebih fokus membahas perkembangan GKPA Sipirok. Buku Bertumbuh
Menuju Kedewasaan, hanya berisikan penggalan-penggalan sejarah GKPA dan
perkembangan GKPA hingga 1995. Buku ini tidak mengulas tentang
sejarah misi Kristen di Tanah Batak Angkola.
Keempat, buku ini bukan buku Sejarah GKPA. Memang dari judulnya
saja sudah jelas bahwa buku ini tidak akan menuliskan tentang
sejarah GKPA. Buku ini lebih difokuskan kepada sejarah misi Kristen
di Tanah Batak Angkola dan perkembangannya. Walau bukan buku sejarah
GKPA, namun buku ini bisa menginspirasi penyempurnaan sejarah GKPA.
Buku sejarah GKPA yang sudah diterbitkan GKPA adalah buku Dari Zending
ke GKPA. Buku ini akan dilaporkan pada laporan buku 2 nanti.
4. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Setelah membaca buku ini maka saya berkesimpulan bahwa:
1. Buku ini perlu dihargai sebagai suatu usaha membangkitkan
nilai-nilai sejarah misi Kristen yang sudah mulai dilupakan di
daerah Angkola.
2. Buku ini walau isinya tidak menguraikan sejarah kekristenan di
daerah Angkola secara komprehensif namun buku ini menjadi
Laporan Buku – Konsentrasi I
76
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
sumber inspirasi untuk melanjutkan dan menyempurnakannya ke
masa depan.
Dari pembacaan saya atas buku ini, maka saya menarik beberapa
implikasi, yaitu:
1.Saya tertarik untuk melanjutkan dan menyempurnakan penulisan
sejarah ini demi melengkapi hal-hal yang belum dituliskan
dalam buku ini.
2.Saya juga tertarik untuk menuliskan sejarah GKPA yang lebih
baik demi menghadapi perkembangan jaman dan untuk
mempublikasikan sejarah misi Kristen di Tanah Batak Angkola
dengan baik dan benar. Sebab beberapa waktu yang lalu ada
sebuah pernyataan seorang Praeses HKBP Distrik I Tapanuli
Bagian Selatan dan Sumbar, Pdt.Sunggul Sirait,ST,MM, dalam
temu pisah praeses pada 21 Pebruari 2015 yang mengatakan:Kepada Pdt. Berlin Tamba, M.Div, Distrik I ini adalah Distriktertua di HKBP yang kurang perhatian. Banyak tantangan diDistrik I ini, agama tetangga, bahkan agama Kristen sendiriseperti GKPA yang hendak merebut sejarah.176
Menurut praeses Sunggul Sirait, GKPA adalah merupakan
tantangan bagi HKBP karena GKPA dia anggap akan merebut
sejarah HKBP. Pernyataan liar dan tak berdasar ini langsung
saya respons dengan mengirimkan surat keberatan kepada yang
bersangkutan dan kepada Ephorus HKBP. Dengan peristiwa ini,
saya semakin ditantang untuk menuliskan sejarah GKPA dari
orang Angkola sendiri.
176 http://hkbp.or.id/?p=11392 diakses pada Selasa, 3 Maret 2015 pkl. 16.00 wib.Namun setelah mendapat respons dari penulis maka HKBP telah merevisi redaksiberita ini dan menghilangkan pernyataan praeses dimaksud.
Laporan Buku – Konsentrasi I
77
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
5. DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Buku
Aritonang, Jan S. Yubileum 50 Tahun GKPI: Tinjauan Sejarah dan Pandangan ke
Depan, Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2014.
Budyanto, dkk., Buku Kenangan 75 Tahun GKJW, Malang: PHMA GKJW, 2006.
Harahap, Dahlan. (ed.) Bertumbuh Menuju Kedewasaan: Buku Kenangan
Duapuluh Tahun Gereja Kristen Protestan Angkola,
Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 1995.
Harahap, Ramli SN. (Ed, Bunga Rampai: Seratus Limapuluh Tahun Kekristenan di
Luat Angkola, Padangsidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2011.
Hutasoit, A.L. Pesta Perak 25 Taon Parmingguon di GKPA Medan Timur, Medan:
Panitia Pesta Perak 25 Taon, 1998.
Hutauruk, J.R. Tuhan Menyertai UmatNya: 125 Tahun Jubileum HKBP, Pearaja-
Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986.
____________ Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, Kantor Pusat
HKBP: Tarutung, 2011.
Lubis, H.Sutan Rarangan. Sejarah Ringkas Pekabaran Injil di Tapian Nauli Bagian
Selatan Angkola-Sipirok-Padanglawas-Mandailing, Medan: Seksi
Publikasi/Dokumentasi Panitia Peresmian HKBP-Angkola,
1975.
Marpaung, S.P. Sejarah Ringkas Kekristenan Daerah Sipirok – Angkola,
Sipirok, Panitia Pesta Penahbisan GKPA Sipirok, 1991.
Saragih, Makmur. dkk., Baja Berpijar: Bunga Rampai Tulisan dalam rangka Jubileum
80 Tahun HKI, Pematangsiantar: Kantor Pusat HKI, 2007.
Sihombing, J. Seratus Tahun Kekristenan dalam Sedjarah Rakjat Batak, Jakarta:
Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum 100 Tahun HKBP,
1961.
Laporan Buku – Konsentrasi I
78
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Siregar, Arden. Kenangan 35 Tahun GKPA, Medan: Panitia Pesta Olopolop 35
Tahun GKPA, 2010.
B. Internet:
http://hkbp.or.id/?p=11392 diakses pada Selasa, 3 Maret 2015 pkl.
16.00 wib
Laporan Buku – Konsentrasi I
79
Universitas Kristen Duta Wacana-Program Pasca Sarjana (S3) Teologi
Yogyakarta, 26 Maret 2015
Kepada Yth,
Dr. Kees de Jong
Dr. Djoko Prasetyo AW
Prof. Dr. (Hc.) E.Gerrit Singgih,Ph.D
Dosen Pembimbing UKDW Yogyakarta
“LAPORAN BUKU I”
Salam sejahtera,
Bersama ini saya sampaikan “Laporan Buku I” pada area Konsentrasi I.
Demikianlah saya sampaikan dengan harapan Bapak dapat membimbing
lebih mendalam lagi.
SALAM KASIH!
RAMLI SN HARAHAP
NIM 57120008Laporan Buku – Konsentrasi I
80