BAB II KAJIAN PUISI

35
BAB II PEMBAHASAN 1. Tema Perjuangan dalam Puisi-Puisi Chairil Anwar (Tinjauan Sosiologis) 1. Pendahuluan Puisi merupakan karya sastra yang merupakan pendramaan realita kehidupan masyarakat (Altenbert, 1970). Puisi- puisi perjuangan adalah puisi-puisi yang mengisahkan persoalan perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Oleh sebab itu, sangat tepat jika puisi-puisi kemerdekaan dikaji dari aspek sosiologi. Bersumber dari pemikiran Joko Soemardjo (1979: 11) dan Mayor Pollak (1979: 6) didapatkan pengertian, bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya bukan sesuatu segi khusus masyarakat, terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang menyangkut interaksi dan interelasi antar manusia, syarat-syaratnya dan akibat-akibatnya. Sehubungan dengan kegiatan interaksi sosial Soeryono Soekanto

Transcript of BAB II KAJIAN PUISI

BAB II

PEMBAHASAN

1. Tema Perjuangan dalam Puisi-Puisi Chairil Anwar

(Tinjauan Sosiologis)

1. Pendahuluan

Puisi merupakan karya sastra yang merupakan

pendramaan realita kehidupan masyarakat (Altenbert,

1970). Puisi- puisi perjuangan adalah puisi-puisi

yang mengisahkan persoalan perjuangan untuk merebut

kemerdekaan dari tangan penjajah. Oleh sebab itu,

sangat tepat jika puisi-puisi kemerdekaan dikaji

dari aspek sosiologi.

Bersumber dari pemikiran Joko Soemardjo (1979:

11) dan Mayor Pollak (1979: 6) didapatkan

pengertian, bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan

yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya

bukan sesuatu segi khusus masyarakat, terutama yang

berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang

menyangkut interaksi dan interelasi antar manusia,

syarat-syaratnya dan akibat-akibatnya. Sehubungan

dengan kegiatan interaksi sosial Soeryono Soekanto

(1984: 2) mengemukakan bahwa bentuk umum proses

sosial adalah interaksi sosial. Oleh sebab itu,

interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya

aktifitas-aktifitas sosial. Lebih lanjut Soeryono

Soekanto mengemukakan fungsi sosiologi adalah untuk

memahami perilaku manusia karena peranan kehidupan

manusia sangat dipengaruhi substansi sosialnya.

Substansi sosial tersebut, pada dasarnya mencakup

unsure-unsur individu dalam masyarakat maupun

tatanan kehidupan yang dihasilkan oleh masyarakat.

Bouman (1967: 17) mengemukakan bahwa sosiologi

adalah ilmu tentang kehidupan manusia dalam hubungan

kelompok. Sosiologi mempunya objek yang sama dengan

ilmu kemasyarakatan yang lainnya, tetapi ia

memandang peristiwa-peristiwa sosial lebih mendalam

termasuk pembentukkan kelompok, hakikat kerjasama,

serta kehidupan bersama dalam arti pembendaan dan

kebudayaan.

Puisi-puisi perjuangan karya Chairil Anwar

adalah karya yang berisi luapan perasaan dan

pemberontakkan jiwa pengarang. Semangat kemerdekaan

yang diungkapkan sebetulnya juga mewakili semangat

rakyat Indonesia yang mendambakan kemerdekaan.

Penderitaan rakyat yang diakibatkan dari penjajahan

benar-benar menginspirasi penyair untuk mengkritik

dan menentang tradidi dan system pemerintahan yang

bertentangan dengan hati nurani rakyat Indonesia.

2. Pembahasan

Selain penyair, Chairil Anwar juga dikenal juga

sebagai seorang nasionalis tullen. Hal ini dapat

dibuktikan melalui karya-karya puisinya yang mampu

mengobarkan semangat rakyat untuk berjuang merebut

kemerdekaan dari tangan penjajah. Semngat

kemerdekaan yang terungkat dalam puisi yang berjudul

“Aku” yang sebenarnya judul sebelumnya adalah

“Semangat”, sebetulnya bukan semata-mata ingin bebas

dari penjajah tetapi lebih dari itu, Chairil Anwar

menginginkan kemerdekaan sejati. Sebagai manusia

yang tertekan yang hidup dalam masa penjajahan,

Chairil Anwar tidak mau terbelenggu oleh karena itu,

ia dengan penuh percaya diri mengandaikan dirinya

sebagai mentamorfosis sebagai seekor binatang

jalang. Sifat binatang jalang yang cenderung sesuka

hati dan tidak mau diatur adalah puncak luapan jiwa

yang tertindas dan terinjak-injak harga dirinya oleh

bangsa asing.

AKU

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret, 1943

Dalam puisi “Aku”, Chairil Anwar mengandaikan

dirinya sebagai binatang jalang yang tidak lagi punya

harga diri dan terbuang.Sebagai binatang jalng yang

buas dan pemberan maka harus memberontak untuk merebut

kemerdekaan. Agar cita-citanya tercapai maka binatang

jalang harus menpunyai rasa nonasionalisme yang tinggi

sehinga tidak mudah dirayu dan dipatahkan semangatnya.

Hal ini terungkap [ada bait pertama, yaitu , “Kalau

sampai waktuku/kumau tak seorang kan merayu/Tidak jiga

kau.

Untuk mewujudkan cita-citanya bangsnya “Merdeka”

binatang jalang tidak merasa takut walaupun kulitnya

harus tertenbus perulu. Hal ini terungakap pada bait

kedua, yaitu, “Biar peluru menembus kulitnyaku/Aku

tetap meradang menerjang”. Perjuangan binatang jalang

yang digambarkan tidak takut luka dan rasa sakit. Rasa

sakit ang dirasakan tidaklah sebanding, bila

dibandingkan dengan penderitaan rakyat yang sudah

berlangsung ratusan tahun. Hal ini trungkap pada bait

ketiga dan keempat “luka dan bisa kubawa

berlari/Berlari/hingga hinga pedih perih”. Penyair

menyakinkan bangsannyabahwa akan lahir binatang-

binatang jalang yang lain dengan membawa semangat

perjuangan merebut kemerdekaan. Hal ini terungkap pada

bait terakhir, “Dan aku akan lebih tidak peduli/Aku

akan hidup seribu tahun lagi”.

Puisi “Diponegoro” adalah termasuk puisi perjuangan.

Chairil anwar memiliki tokoh Diponegoro

untukmenumbuhkan jiwa heroism bangsa Indonesia untuk

terus berjuangan merebut kemerdeaan.

Diponegoro

Di masa pembangunan ini Tuan hidup kembali

Dan para kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menntiTak gentar. Lawan bnayak seratus kali

Pedang di kanan keris di kiriBerselempang semangat yang tak bisa mati

MAJUIni barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda menyerbu

Sekali berartiSudah itu mati

MAJU Bagimu negeriMenyedihkan apiPunah di atas menghambaBinasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

MajuSerbuSerang terjang

Semangat Diponegoro yang pernah menggerakkan rakyat

Jawa Tengah dan Yogyakarta untukmengusir penjajah pada

tahun 1825-1830, dihidupkan kembali oleh Chairil

anwar. Kebernian Diponegoro dalam memmimpin perang

mengusir penjajah Belanda digambarkan pada bait

ketiga, “Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar.

/Lawan banyak seratus kali”.

Kegagahan dan keberanian Diponegoro dalam melawan

penjajah juga digambarkan bahwa Diponegoro menhunus

pedang dan keris untuk menghadapin tentara Belanda

yang menggunakan senjata yang modern, bahka Diponegoro

digambarkan memiliki semangat yang tak bisa mati. Hal

ini terungkap pada bait keempat, “Pedang di kanan

keris di kiri/Berselembang semangat yang tak bisa

mati”.

Berjuang ikhlas tanpa pamrih digambarkan begitu

jelas oleh Chairil Anwar melalui kebermaknaan hidup.

Hal ini terungkap pada baik keenam, “Sekali

berarti/Sudah itu mati”. Semangat pantang mundur

adalah modal untuk berjuang sampai kemerdekaan. Oleh

sebab itu, Chairil Anwar mengajak pada rakyat

Indonesia untuk terus maju dengan semangat berapi-api

demi kejayaan bangsa Indonesia. Hal ini terungkap pada

bait ketujuh, “Bagimu Negeri/Menyediakan api”.

Perjuangan untuk merebut kemerdekaan sampai tetes

darah akhir digambarkan oleh Chairil Anwar. Walaupun

tidak menikmati kemerdekaan Karen gugur di medan

perang, itu lebih hormat dari pada harus hidup

ditindas oleh penjajah. Hal ini terungkap pada bait

kedelapan, “Punah di atas mengamba/Binasa di atas

ditindasi”.

Ketika cita-cita bangsa Indonesia untuk merebut

kemerdekaan sudah tercapai, Perjuangan Chairil Anwar

belum berakhir. Ia mengajak kepada seluruh rakyat

Indonesia untuk memepertahankan dan mengisi

kemerdekaan. Sebagai penyair yang mempunyai jiwa

nasionalis, Chairil Anwar mengajak kepada seluruh

rakyat Indonesia untuk mendukung pemerintahan yang

ketika di pimpin oleh Bung Karno. Dukungan Chairil

Anwar juga disampaikan dalam bentuk puisi.

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &

berlabuh

Melalui puisi tersebut, Chairil Anwar menggambarkan

semangatnya untuk membangun Negara dan mengajak

pmerintah untuk segera membuat kesepakatan dengan

rakyat dan segera melaksanakan pembangunan, tidak

cukup sekedar janji. Hal ini terungkap pada bait

pertama, “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin

janji/Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/dipanggang

atas apimu, digarami oleh lautmu”.

Sebelum Indonesia merdeka, Chairil Anwar juga pernag

bergabung bersama pemuda untuk mengusir penjajah dan

selalu setia terhadap negara. Oleh karena itu, Chairil

Anwar mengandaikan dirinya sebagai “api” prjuangan

(semangat 45) dan sebagai “laut” (perjuangan

universal). Hal ini terungkap pada bait kedua, dari

mula tgl. 17 agustus 1945/Aku melangkah ke depan

berada di sisimu/Aku sekarang api aku sekarang laut”.

Pada bait ketiga sebagai penutup, Chairil Anwar

menggambarkan bahwa pemerintah adalah milik rakyat.

Oleh karena itu, pemerintah dan rakyat harus bersatu

menggalang persatuan. Dengan modal persatuan yang

kokoh maka sebuah Negara akan dapat mempertahankan

kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan. Hal ini

terungkap pada bait ketiga, “Bung Karno! Kau dan aku

satu zat satu urat,/Di zatmu di zatku kapal-kapal kita

bertolak dan berlabuh”.

3. Penutup

Berdasarkan tinjauan sosiologis puisi-puisi

perjuangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Chairil

Anwar adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam

merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat

dan menekspresikan melalui puisi-puisinya. Selain

pelopor angkatan 45, Chairil Anwar juga di kenal

sebagai nasionalis tulen. Demikianlah semangat

perjuangan yang terkandung dalam puisi-puisi Chairil

Anwar.

4. Daftar Pustaka

Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:

Sinar Baru

Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta:

Pembangunan.

____________ 1978. Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang

Putus. Jakarta: Dian Rakyat

Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi: analisi Atrata

Normal dan Analisi Struktural dan Semantik. Yogyakarta: Gajah

Mada University Pers.

Wahyuningtyas, Sri Santoso, dan Wijaya Heru. 2011.

Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.

2. Hipogramatik Cerita Wayang dalam Puisi Indonesia

Modern

1. Latar Belakang

Puisi merupakan bagian dari karya sastra. Seperti

halnya karya sastra yang lain, pemunculan sebuah puisi

sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya.

Sehingga pemberian makna sebuah puisi akan lebih

lengkap jika keseluruhan makna unsure digali dan

diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsure

kesejarahannya. Karen itu sebuah puisi, tidak hadir

atau dicipta karena kekosongan bidaya (Teeuw, 1980:

11).

Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di

masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-

teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Teks dalam

pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya

teks tertulis atau lisan, adat itiadat, kebudayaan,

film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh

karea itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal

yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara

umum maupun khusus.

Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi

karya sastra yang kemudian disebut hipogram (Rifatere,

1978: 23). Istilah hipogram, barangkali dapat

diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walaupun

mungkin tak secara eksplisit,bagi penuisan karya lain.

Ini berarti, sebuah puisi tidak begitu saja lahor

melainkan sebelumnya sudah ada puisi lain, yang

tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi masyarakat

yang bersangkutan. Salah satu tradisi yang dikenal

baik oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa adalah

wayang. Tradisi tersebut mendasari dan berperan besar

dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa. Cerita

wayang merupakan hasil karya seni yang luhung,

monumental, dan amat berharga, bukan saja karena

kehebatan cerita, keindahan pnyampaian, ketegasan pola

karakter tetapi jga filosofi dan “ajaran-ajarannya”-

nya yang tidak ternilai dan masih saja relevan dengan

keadaan kini (Mulyono dalam Nurgiyantoro, 1998: 6).

Olehkarena itu, bukan merupakan hal yang aneh jika

nilai tradisional dan mitologi pewayangan banyak

berpengaruh terhadap penulisan kerya sastra Indonesia

Modern khususnya puisi.

Beberapa penyair seperti Sapardi Djoko Damono,

Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Moehamad, Sony Farid

Maulana, dan Dorothea Herliany banyak menampilkan

cerita wayang dalam beberapa puisinya. Kecuali Sony

Farid Maulana yang berasal dari Sunda umumnya beberapa

penyair di atas berasal dari Jawa yang lekat dengan

budaya pewayangan.

Pengangkatan cerita wayang oleh beberapa penyair

tersebut selain untuk mengenalkan wayang kepada

khalayak yang lebih luas juga dipandang sebagai bentuk

penafsiran kembali nilai-nilai secara kontekstual

dengan menyesuaikan kondisi sosial budaya masyarakat

masa kini. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam

penulisan puisi tersebut diolah secara kreatif

sehingga karya tersebut merupakan respon atau

tanggapan penyair. Karena pada hakikatnya karya sastra

merupakan respon (sarapan, olahan, mosaic kutipan,

transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam larya

sastra lain (Theeuw, 1983: 65). Respon tersebut dapat

erupa kata, frase, klaimay, bentuk, gagasan, dan

sejenis di dalam teks transformatif sehingga kadang

pembaca sering tidak ingat lagi akan karya yang

menjadi latarnya.

Oleh karena itu berbagai pusisi yang muncultidak

hanya mengukuhkan mitologi pewayangan tetapi juga

melakukan penyimpangan dan sejumlah perubahan yang

ada. Hal itu merupakan usaha mereformasi keadaa

untukmenyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan

zaman, termasuk dengan menghadirkan kontra mitos

secara ekstrem.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas,

tulisan ini hendak memperlihatkan bentuk-bentuk

hipogram cerita wayang dalam puisi Indonesia modern dan

pandangan pengarang terhadap nilai-nilai yang

terkandung dalam cerita wayang tersebut.

2. Landasan Teori

Untuk memberikan makna secara lengkap atau penuh

sebuah karya sastra (puisi) harus dilihat karya-karya

yang ditulis dan diciptakan orang sebelumnya. Karya

puisi yang ditulis sebelumnya, biasanya, mendasarkan

diripada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya,

baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara

meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutar

balikan esensi) konvensi.

Dalam istilah lain penerusan tradisi dapat juga

disebut mitos pengukuhan (myth of concern), sedangkan

penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakkan (myth of

frededom). Kedua ha tersebut boleh dikatakan sebagai

sesuat yang “wajib” hadir dalam penulisan teks

kesusastraan, sesuai dengan hakikat kesusastraan yang

selalu berada dalam ketegangan antara konvensi, mitos,

danpemberontakan (Nurgiyantoro, 1991: 51).

Wujud konvensi tersebut dapat berupa karya-karya

yang ditulis dapat juga berupa cerita-cerita rakyat

yang berwujud lisan (folklore) yang diwariskan secara

turun-temurun tanpa sarana tulisan seperti halnya

cerita-cerita wayang. Cerita-cerita wayang. Cerita-

cerita wayang yang bersumber pada epos Mahabrata dan

Ramayana dalam bahasa Sansekerta yang berasal dari

India. Setelah masuk ke Jawa kemudian disadur dan

mendapatkan kreasi baru sesuai masyarakat setempat.

Cerita-cerita wayang yang menjadi sumber bagi

penciptaan puisi dalam konsep interteks dipandang

sebagai bentuk hipogram (Rifatere dalam Nurgiyantoro,

1998: 15). Hipogram merupakan karya, tradisi, dan

konvensi sebelumnya yang dipandang sebagai suatu

tantangan yang perlu disikapi yang dijadikan dasar

bagai penulisan karya lain sesudahnya. Adanya unsur

hipogram dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari

mungkin tidak oleh pengrangnya.

Hipogram merupakan “induk” yang akan melahirkan

karya-karya baru. Pengidentifikasi hal-hal itu dapat

dilakukan dengan memperbandingkan atau mengkonstraskan

antara karya “induk” dan “baru”. Usha tersebut menurut

Endrawasra (3008: 132) dapat menggambarkan bentuk-

bentuk hipogram yang meliputi :

(1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan

karya sastra. Ekspansi tak sekedar repetisi,

teteapi termasukperubahan gramatikal dan

perubahan jenis kata; (2) konversi adalah

pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis

kan memodifikasi kalimat ke dalam karya baru; (3)

modifikasi, adalah perubahan tataran linguistic,

manipulasi, urutan kata dan kalimat. Dapat saja

pengarang hanya mengganti nama tokoh,padahal tema

dan ceritanya sama; (4) ekserp, adalah semacam

intisari dari unsur-unsur atau episode dalam

hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp

biasanya lebih halus, da sangat sulit dikenali,

jika peneliti belum terbiasa memandingkan kerya.

Dalam penulisan teks kesusastraan hipogram ada dua

macam, yakni hipogram potensial dan hipogram actual

(Riffatere, 1978: 23). Hipogram potensial tidak

eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari

teks. Hipogram potensial merupakan potensi system tanda

pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami

pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang

sudah ada sebelumnya.

Hipogram actual adalah teks nyata, yang dapat berupa

kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks,

yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga

signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada

teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks

dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis tau

teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan,

agama dan bahkan seluruh isi alam semesta (dunia) ini

adalah teks (Pradopo, 1995: 132).

Oleh sebab itu, Hipogram yang menjadi latar

penciptaan teks abru itu, bukan hanya teks tertulis

atau teks lisan tetapi juga dapat berubah adat

istiadat, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut

direspon atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggepan

tersebut dapat berupa penerusan, atau penentangan

tradisi atau konvensi (Abdullah, 2001: 110). Adanya

tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks

sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan

kepada pembaca (Soeratno, 2001: 147).

Sedangkan sebagaimana telah diungkapkan oleh

Kristeva teks yang menyerap dan menstransformasikan

hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk

mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra yang

mengandung teks transformasi semacam itu, digunakan

metode intertekstual, yaitu

membandingkan, menjajarkan, dan mengonstraskan

sebuah teks transformasi dengan hipogramnya.

3. Pembahasan

Cerita wayang yang menjadi latar dalam penulisan

oleh penyair Indonesia berasal kitab Ramayana (dari

Sansekerta Ramayana; yang berasal dari kata Rama dan

Ayana yang berarti “Perjalanan Rama”), cerita epos

dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau

Balmiki dianggap sebagau kavia (kakawin) pertama dalam

sastra India yang terdiri dari 24.000 seloka (sajak 2

baris, tiap baris terdiri 16 suku kata) dan

mengisahkan riwayat Ramajaya atau Sri Rama, Raya

Ayodya.

Kitab lain yang menjadi latar dalam penulisan puisi

ialah Kitab Mahabrata yang ditulis Begawan Byasa atau

Vyasa dari India. Kisah ini terdiri 100.000 seloka

kisa epos terbesar dalam sastra India ini menceritakan

perebutan kekuasaan antara keluarga Pandawa (keturunan

Pandu) dengan Kurawa (keturunan Kuru) terdiri 18 kitab

atau bagian karena itu disebut Astadasaparwa dengan

menggunakan bahasa Sansekerta.

Kedua kitab tersebut menjadi cerita pakem, cerita

standar dalam pewayangan. Selain berdasar pada cerita

pakem, terdapat cerita yang berada di luar garis

standar yang berasal dari cerita carangan yang berasal

dari kreasi baru dalang yang tidak jauh dari cerita

pakem. Selain itu terdaopat cerita carangan yang

paling dikanal di antaranya adalah Bambang Wisenggeni,

Dewa Ruci, dan Arjuna Sastrabahu.

Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan

puisi tersebut diolah secara kreatif sehingga karya

tersebut merupakan respon atau tanggapan penyair.

Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon

(sarapan, olahan, mosaic kutipan, transformasi)

terhadap apa yang telah ada dlam karya sastra lain

(Teeuw, 1983: 65). Respon tersebut dapat berupa kata,

frase, kalimat, bentuk, gagasan. Dan sejenis di dalam

teks transformatif sehingga kadang pembaca sering

tidak ingat lagi akan karya yang menjadi latarnya.

Oleh karena itu berbagai puisi yang muncul tidak

hanya mengukuhkan mitos-mitos pewayangan tetapi juga

melakukan penyimpangan dan pemberontakan serta

sejumlah perubahan yang ada. Hal itu merupakan usaha

mereformasi keadaan untuk menyesuaikan diri dengan

kebutuhan dan tuntunan zaman, termasuk dengan

menghadirkan kontra mitos secara ekstrem.

Salah satu tokoh wayang yang sering bicarakan pada

berbagai puisi yang berlatar wayang adalah tokoh Sita

atau Dewi Sinta. Ia merupakan tokoh sentral dalam epos

besar Ramayana karena senantiasa diutamakan dalam

penceritaan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang

dikenai kejadian.

Dalam pewayangan tokoh Sita adalah putri Prabu

Janaka, Raja Negeri Mantili. Dewi Sinta diyakini

sebagai titisan Batari Sri Widowati, Istri Batara

Wisnu, Dewa Wisnu selalu di damping Batari Sri

Widowati. Sosok Sita selama ini dimitoskan sebagai

istri yang setia, jatmika (sopan santun), dan suci trilaksa

(ucapan, pikiran, dan hatinya). Ia mendampingi

suaminya, Sri Rama dalam suka dan suka.

Namun, mitos-mitos kebaikan Sita tidak berlaku bagi

Dorothea Rosa Herliany, Sapardi Djoko Damono, Subagio

Sastrawardoyo, dan Sony Farid Maulana. Para penyair

ini berusaha menampilkan perspektif yang berbeda

tentang Sita. Sita yang digambarkan tidak sebagai

perempuan setia dan taat kepada suami tetapi juga

sebagai perempuan yang berani menentukan nasibnya

sendiri.

Puisi yang memberontak mitos-mitos kesetiaan Sita

salah satunya “Elegi Sinta” karya Dorothea Rosa

Herliany. Dorothea memakai judul elegy yang berarti

sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau

keluh kesah karena sedih, rindu atau murung terutama

Karena kematian seorang. Hal itu merupakan

representasi ungkapan duka cita Sinta karena

ketidakadilan yang dilakukan Sri Rama, suaminya.

Secara tegas Dorothe membuka puisinya “Elegi Sinta”

dengan penolakan Sinta untuk melompat ke dalam api.

Tidak hanya menolak, Sinta juga memakai Rama sebagai

“lelaki yang paling pengecut” dan “para penakut dan

pendusta”. Kemarahan besar menjadi hal wajar bag

seorang perempuan yang telah bersungguh-sungguh setia.

Akan tetapi, kesetiaan, kesetiaan itu justru diragukan

oleh laki-laki yang diikutinya dengan berbagai

kesetiaan dan pengorbanan. Berkai-kali Rama selalu

meminta untuk membuktikan kesuciannya termasuk lompat

ke kobaran api. Dalam pakem cincin saat dalam tawanan

Rahwana untuk menguji kesetiannya. Dorothea berusaha

menyampaikan bahwa wanita tidak selemah yang selama

ini dibayangkan kaum pria melalui tokoh Sinta yang

dikenal sebagai sosok yang konservatif. Namun, dalam

puisi ini digambarkan Sinta berani menantang sosok

Rahwana.

Sinta bahkan lebih memilih Rahwana untuk

menyetubuhinya daripada ia harus kembali ke tangan

Rama. Sinta inginmembiarkan keraguan Rama padanya

benar-benar menjadi nyata. Sebuah pengakuan juga

terlontar dari seorang Sinta tentang cintanya yang

abu, cinta yang tak sepenuhnya putih. Mitos

pemberintakan terhadap kesetiaan Sita, sosok wanita

ideal dan suci, Sita diungkapkan pula oleh Sapardi

dalam “Sihir Sita”.

Sapardi memberikan awal yang baik bagi Sita karena

ia dapat bebas baik dari cakar garuda yang ingin

menyelamatkannya maupan dari Dasamuka (sebutan lain

Rahwana). Namun, setelah itu ia menggambarkan Sita

yang baru saja merasakan kesendirian. Rama seakan

tidak sabar untuk melihat Sita melompat dari atas

menara. Menurutnya hanya dengan cara itu kesucian atau

kemurnian Sita dapat kembali. Terungkap keinginan Sita

untuk bebas pula dari sihir Rama.

Ironi yang diciptakan Subagio mengejutkan dan

mendobrak citra Sita selama ini. Dengan jelas Subagio

menuliskan bahwa Sita menyukai kejantanan Rahwana.

Hubungan intim penuh birahi pun tidak sapat dihindari.

Subagio menutup puisi dengan doa singkat Sita yang

sekarat dakam kobaran api, doa yang masih meminta agar

nikmat dari persetubuhannya sengan Rahmwana tidak

turut terbakar dalam kobaran api. Penggambaran Sita

yang benar-benar berbeda telah dilakukan Subagio.

Soni Farid mempunyai gambaran tersendiri mengenai

Sita, soni mengungkapkan bahwa Sita jatuh cinta kepada

Rahwana. Perbedaannya terletak pada cinta yang

dirasakan Sita. Cinta Sita adalah cinta yang tulus,

karena ia rela melompat ke dalam api hanya untuk laki-

laki yang dicintainya.

4. Simpulan

Penyair Indonesia banyak mengangkat cerita-cerita

wayang sebagai latar dalam penulisan puisinya. Cerita

tersebut diolah secara kreatif sehingga karya tersebut

merupakan respon atau tanggapan penyair. Sebagai

penafsir penyair berhak menganggapi berbagai mitos

yanga da dengan melakukan penyimpangan dan sejumlah

perubahan yang ada. Mitos-mitos tentang kesetiaan,

kepada suami, raha dan negara, guru adalah mitos-mitos

yang diangkat para penyair tersebut.

Pengangkatan cerita wayang beserta mitos-mitosnya

tidak hanya mengenalkan cerita wayang ke masyarakat

yang lebih luas tetapi membuktikan bahwa tradisi-

tradisi lama dapat memperkaya kesusastraan Indonesia

modern khususnya perpuisian.

5. Daftar Pustaka

Aizid,Rizem.2012 Atlas Tokoh-tokoh Wayang. Yogyakarta:

Diva Press.

Damono, Sapardi Djoko 2003. Hujan Bulan Juni,

Jakarta : Gramedia. 2003

Endraswara,Suwardi, 2008. Metodologi Penelitian

Sastra, Yogyakarta: Media Pressiondo.

Herliany, Dorothe Rosa. 2006. Santa Rosa. Yogyakarta:

Indonesia Tera.

Maulana, Soni Farid. 2004. Tepi Waktu Tepi Salju

Bandung: Kelir.

Christa, Maria “Milik Siapa Cinta Sinta? : Gambaran

Sinta Dalam Puisi-puisi Indonesia Modern” Nyanian

bahasa.wordpress.com diakses Senin, 25 Desember

2012.

C. PUISI DAN LATAR BELAKANG SOSIALA BUDAYA

Oleh :aswinarko

Karya sastra itu unik karena merupakan perpaduan

antara imajinasi pengarang dengan kehidupan social

yang kompleks. Oleh sebab itu, sering dikatakan

bahwa sastra adalah cermin kehidupan social

masyarakat, karena masalah-masalah yang dilukiskan

dalam karya satra merupakan masalah-masalah yang di

alami, dirasakan dan disaksikan oleh pengarang

sebagai anggota masyarakat.

Berkaitan dengan hal berikut di atas, sapardi Djoko

Damogo mengungkapkan bahwa;

Sastra adalah lembaga social yang menggunakan bahasa

sebagai medium, bahasa ini merupakan ciptaan social.

Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan

itu sendiri adalah kenyataan social. Dalam

pengertian ini kehidupan mencakup hubungan

antarmanusia, atarperistiwa yang terjadi dalam batin

seseorang. Yang sering menjadibahan sastra adalah

pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau

dengan masyarakat (1978;2)

Untuk dapat memaknai sebuah karya sastra, selain

dianalisa struktur intrinsiknya (secara struktual) dan

dihubungkan dengan kerangka keseajarannya, di

antaranya dengan intertekstualitas. Menurut (teeuw:

61-62) analisis tidak dapat dipisahkan dari kerangka

social budaya. Hal itu disebabkan karena karya sastra

itu adalah cerminan sebuah masyarakat. Seorang

pengarang tidak dapat lepas dari pengaruh social

budaya masyarakat. Latar social-budaya itu akan

terwujud dalam tokoh-tokoh yang dimunculkan,

sistemkemasyarakan, adat istiadat, pandangan

masyarakat, kesenian, dan benda-benda terkait dengan

kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.

Secara nasional. Penyair Indonesia berasal dari

berbagai macam masyarakat dengan suku dan budaya

daerah yang berbeda. Oleh karena itu, ada latar

social-budaya. Jawa, Sunda, bali, Madura, Ambon,

Batak, Minang Kabau dan lain-lain.

Ber ikut adalah puisi yang berjudul “Donngeng

Sebelum Tidur” yang berlatar belakang social budaya

Jawa.

DONGENG SEBELUM TIDUR

“cikcak itu, cintaku, berbicara tentang kita.

Aitu nonsense”

Itulah yang dikatakan baginda kepeda permaisurinya

Pada malam itu , nafsu diranjang telih jadi teduh

Dan senyap merayap antara sendi dan sprei

“Mengapakah tak percara ? Mimpi aku meyakinkan

Seperti matahari pagi.”

Perempuan itu terisak, ketika anglingdarma

menutupkan

Kembali kain kedalamnya dengan nafsu yang dingin

Meskipun ia megecup rambutnya.

Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api

Dan baginda pun mendapat akal bagaimana ia harus

Melarikan diri dengan pertolongan dewa-dewa entah

Dari mana untuk tidak setia

“batik madrim, Batik Madrim, mengapa harus patihku?

Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari

Kehidupan dan sebagainya dan sebagainya”

(Goenawan Mohamad, 1971)

Untuk memahami puisi di atas, ita perlu mengenal

apakah Goemawan Mohamad? Gomawan Mohamad adalah

penyair Jawa lahir di Batang Jawa tengah, 29 juli

1941. Geomawan mohamad adfalah penyair JAwa yang

Tengah untuk puisi-puisi naratifnya. Makna dan

amanat cerita klasik dijadikan akibat yang bersifat

pendidikan atau filsofi. Puisi=puisi rabel (alegori)

karya Goemawan Mohamad di antarnya “Parikessit”,

“Asmaranda” dan “Donging Sebelum Tidur”.

Untuk menafsikan makna puisi “Dongeng Sebelum

Tidur”, kita perlu meanalisis setiap bait.

Bait pertama:

Berisi ucapan anglingdarma yang mengatakan kepada

permaisuri bahwa cicak membicarakan mereka berdua.

Isiya monsense karena raja harus merahasiakannya dari

kutukan Dewa.

Bait kedua :

Permaisuri kecewa karena sang raja tidak mau

berterus terang tentang apa yang disengar dari

percakapan cicak, sehingga permaisuri merasa

diremehkan, tidak dipercaya dan dikhianati yang

mengakibatkan hubungan raja dan permaisuri manjadi

dingin.

Bait ketiga :

Kekecewaan permaisuri semakin memuncak dan membuat

dirinya menangis. Sang raja mencoba menengkan

permaisuri dan menunjukan kasih sayangnya.

Bait kelima :

Akibat dari kekecewaan yang memuncak terhadap sang

raja yang dianggap telah merendahkan harga diri,

maka permaisuri mengambil keputusan tragis, yaitu

dengan bunuh diri dalam api.

Bait keenam:

Mencerintakan sang raja setelah permaisuri bunuh

diri, ia hendak melarikan diri dari kutukan Dewa,

karena ia telah membuka rahasia tentang

kepandaiannya dapat berbicara dengan binatang. Ia

tidak dapay lepas dari kutukan Dewa Prabu

Anglingdarma mengembara di samping menjalani kutukan

Dewa ia juga mencari arwah permaisuri. Kepergian

sang raja adalah bentuk pelanggaran terhadap

kesetiaan terhadap suatu tanggung jawab sebagai

seorang raja.

Bait ketujuh:

Pernyatan filosofi seorang raja kepada patihnya

(Batik Madrim) Seorang raja yang telah kehilangan

segalanya karena untuk sebuah janji setia. Mengapa

kesetian harus lebih dari segala-galanya? Jika harus

kehilangan segalanya apa artinya kesetiaan itu? Pada

bait ini penyair berpikir sebelum bertindaj, jangan

sampai menyesal atas tindakan kita.

Amanat yang disampaikan penyair berdasarkan tema

adalah sebagai berikut :

1. Sebagai raja hendaknya jangan mencapuradukan

antara tugas sebagai kepala Negara dan tugas

sebegai kepala rumah tangga.

2. Sebagai raja hendaknya harus terbuka dalam

batasan-batasan tertentu terhadap permaisuri

sehingga tumbuh kepercayaan dan keharminisan

dalam rumah tangga.

3. Sebagai permaisuri hendaknya mendukung tugas raja

yang pada kenyataannya bukanlah miliknya semata,

melainkan juga milik rakyat;

4. Kesetiaan dan harga diri adalah sesuatu yang

harus dijaga, tetapi hendaknya jangan karena

kesetiaan dan harga kita korban segalanya.

3. POTRET INDONESIA YANG KELABU DALAM KUMPULAN PUISI MALU

(AKU) JADI ORANG INDONESIA KARYA TAUFIQ ISMAIL

1. Pendahuluan

“Sejarah merupakan serangkaian dongeng yang

disepakati”, demikian menurut Voltaire, nama samara

dari Fracois-Marie Arouet, pengarang, ahli filsafat,

dan tokoh besar Perancis Abad Pencerahan (Aufkalrung).

Siapa yang berkuasa dapat merangkai dongeng tersebut

sesuai dengan keinginannya untuk melangganengkan

kekuasaannya sehingga tak aenh setiap pergantian

kekuasaan buku-buku sejarah senantiasa digugat oleh

semua pihak.

2. Pembahasan

Puisi-puisi dalam kumpulan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

tidak hanya memotret informasi tetapi perjalanan bangsa

Indonesia yang suram. Potret suram tersebut salah

satunya kebobrokan akhlak bangsa karena bangsa ini

sudah sesak dengan para maling, perampok, pencopet,

penipu, dan pemeras yang memenuhi negara ini.

Kebobrokan tersebut diperparah dengan degradasi

moral para pemegang kekuasaan yang menghalalkan segala

keinginannya. Upeti, suap, proyek-proyek fiktif, mork

up anggaran serta komisi menjadi bagian hidup yang tak

dapat dipisahkan. Taufiq Ismail tidak hanya

menyaksikan kejadian-kejadian bersejarah lewat di

depan matanya. Tetapi ia juga aktif dalam rentetan-

rentetan sejarah yang membuka episode-episode penting

dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Karena

dalam perjalanan hidupnya sarat dengan hal-hal

tersebut.

Dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia banyak

pandangan yang berbicara luas dalam berbagai aspek

kehidupan. Sebagai seorang yang konsisten menentang

pertandingan tinju, karena menanamkan kepada semua

orang bibit kekerasan dan kebringasan. Namun dengan

begitu ia bukan seorang yang antiolahraga, ia

mengagumi keindahan saat pertandingan sepakbola antara

kesebelasan Belanda dan Brasil yang kemudian

dituangkan dalam puisi yang berjudul “Brasil lawan

Belanda”. Atau kebanggaannya terhadap bulu tangkis

karena prestasi yang diperoleh oeh para pemain di

tingkat dunia.

Kedekatan dengan Sam Bersaudara, (nama panggilan

Muhammad Samsudin Hardjakusumah), karena sering

berkolaborasi dalm menciptakan lagu untuk grup

musiknya. Ia juga banyak bekerja sama dengan penyanyi

lain seperti: Harry Rusli, Iwan Fals, Chrisye, Farnky,

dan Ebiet G Ade. Mereka adalah sahabat-sahabat yang

enak diajak bekerja sama sehingga banyak menghasilkan

menjadi musikalisasi yang sedap di dengar.

3. Penutup

Demikian aspek-aspek kehidupan yang begitu luas yang

digarap Taufiq Ismail selain potret gambaran kelam

sejarah bangsanya. Walaupun kumpulan puisi ini berisi

sebgian besar saja potret sejarah tetapi bahasa yang

digunakan adalah bahasa yang jernih dan tetap berada

pada koridor keindahan.

Puisi-puisi tersebut meskipun tidak dapat mengubah

kondisi bangsa Indonesia yang mengalami gradasi moral

akan tetapi Taufiq Ismail telah menggambarkan

kebobrokan, keserakahan, kesewenangan dari penguasa

yang tirani dan dapat mengingatkan kepada generasi

muda yang akan dating agar kejadian-kejadian tersebut

tidak terulang lagi.

4. Daftar pustaka

Ismail, Taufiq, 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

Jakarta : Yayasan Ananda