BAB II
PEMBAHASAN
1. Tema Perjuangan dalam Puisi-Puisi Chairil Anwar
(Tinjauan Sosiologis)
1. Pendahuluan
Puisi merupakan karya sastra yang merupakan
pendramaan realita kehidupan masyarakat (Altenbert,
1970). Puisi- puisi perjuangan adalah puisi-puisi
yang mengisahkan persoalan perjuangan untuk merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah. Oleh sebab itu,
sangat tepat jika puisi-puisi kemerdekaan dikaji
dari aspek sosiologi.
Bersumber dari pemikiran Joko Soemardjo (1979:
11) dan Mayor Pollak (1979: 6) didapatkan
pengertian, bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari masyarakat dalam keseluruhannya
bukan sesuatu segi khusus masyarakat, terutama yang
berhubungan dengan aspek-aspek masyarakat yang
menyangkut interaksi dan interelasi antar manusia,
syarat-syaratnya dan akibat-akibatnya. Sehubungan
dengan kegiatan interaksi sosial Soeryono Soekanto
(1984: 2) mengemukakan bahwa bentuk umum proses
sosial adalah interaksi sosial. Oleh sebab itu,
interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktifitas-aktifitas sosial. Lebih lanjut Soeryono
Soekanto mengemukakan fungsi sosiologi adalah untuk
memahami perilaku manusia karena peranan kehidupan
manusia sangat dipengaruhi substansi sosialnya.
Substansi sosial tersebut, pada dasarnya mencakup
unsure-unsur individu dalam masyarakat maupun
tatanan kehidupan yang dihasilkan oleh masyarakat.
Bouman (1967: 17) mengemukakan bahwa sosiologi
adalah ilmu tentang kehidupan manusia dalam hubungan
kelompok. Sosiologi mempunya objek yang sama dengan
ilmu kemasyarakatan yang lainnya, tetapi ia
memandang peristiwa-peristiwa sosial lebih mendalam
termasuk pembentukkan kelompok, hakikat kerjasama,
serta kehidupan bersama dalam arti pembendaan dan
kebudayaan.
Puisi-puisi perjuangan karya Chairil Anwar
adalah karya yang berisi luapan perasaan dan
pemberontakkan jiwa pengarang. Semangat kemerdekaan
yang diungkapkan sebetulnya juga mewakili semangat
rakyat Indonesia yang mendambakan kemerdekaan.
Penderitaan rakyat yang diakibatkan dari penjajahan
benar-benar menginspirasi penyair untuk mengkritik
dan menentang tradidi dan system pemerintahan yang
bertentangan dengan hati nurani rakyat Indonesia.
2. Pembahasan
Selain penyair, Chairil Anwar juga dikenal juga
sebagai seorang nasionalis tullen. Hal ini dapat
dibuktikan melalui karya-karya puisinya yang mampu
mengobarkan semangat rakyat untuk berjuang merebut
kemerdekaan dari tangan penjajah. Semngat
kemerdekaan yang terungkat dalam puisi yang berjudul
“Aku” yang sebenarnya judul sebelumnya adalah
“Semangat”, sebetulnya bukan semata-mata ingin bebas
dari penjajah tetapi lebih dari itu, Chairil Anwar
menginginkan kemerdekaan sejati. Sebagai manusia
yang tertekan yang hidup dalam masa penjajahan,
Chairil Anwar tidak mau terbelenggu oleh karena itu,
ia dengan penuh percaya diri mengandaikan dirinya
sebagai mentamorfosis sebagai seekor binatang
jalang. Sifat binatang jalang yang cenderung sesuka
hati dan tidak mau diatur adalah puncak luapan jiwa
yang tertindas dan terinjak-injak harga dirinya oleh
bangsa asing.
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret, 1943
Dalam puisi “Aku”, Chairil Anwar mengandaikan
dirinya sebagai binatang jalang yang tidak lagi punya
harga diri dan terbuang.Sebagai binatang jalng yang
buas dan pemberan maka harus memberontak untuk merebut
kemerdekaan. Agar cita-citanya tercapai maka binatang
jalang harus menpunyai rasa nonasionalisme yang tinggi
sehinga tidak mudah dirayu dan dipatahkan semangatnya.
Hal ini terungkap [ada bait pertama, yaitu , “Kalau
sampai waktuku/kumau tak seorang kan merayu/Tidak jiga
kau.
Untuk mewujudkan cita-citanya bangsnya “Merdeka”
binatang jalang tidak merasa takut walaupun kulitnya
harus tertenbus perulu. Hal ini terungakap pada bait
kedua, yaitu, “Biar peluru menembus kulitnyaku/Aku
tetap meradang menerjang”. Perjuangan binatang jalang
yang digambarkan tidak takut luka dan rasa sakit. Rasa
sakit ang dirasakan tidaklah sebanding, bila
dibandingkan dengan penderitaan rakyat yang sudah
berlangsung ratusan tahun. Hal ini trungkap pada bait
ketiga dan keempat “luka dan bisa kubawa
berlari/Berlari/hingga hinga pedih perih”. Penyair
menyakinkan bangsannyabahwa akan lahir binatang-
binatang jalang yang lain dengan membawa semangat
perjuangan merebut kemerdekaan. Hal ini terungkap pada
bait terakhir, “Dan aku akan lebih tidak peduli/Aku
akan hidup seribu tahun lagi”.
Puisi “Diponegoro” adalah termasuk puisi perjuangan.
Chairil anwar memiliki tokoh Diponegoro
untukmenumbuhkan jiwa heroism bangsa Indonesia untuk
terus berjuangan merebut kemerdeaan.
Diponegoro
Di masa pembangunan ini Tuan hidup kembali
Dan para kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menntiTak gentar. Lawan bnayak seratus kali
Pedang di kanan keris di kiriBerselempang semangat yang tak bisa mati
MAJUIni barisan tak bergenderang berpaluKepercayaan tanda menyerbu
Sekali berartiSudah itu mati
MAJU Bagimu negeriMenyedihkan apiPunah di atas menghambaBinasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
MajuSerbuSerang terjang
Semangat Diponegoro yang pernah menggerakkan rakyat
Jawa Tengah dan Yogyakarta untukmengusir penjajah pada
tahun 1825-1830, dihidupkan kembali oleh Chairil
anwar. Kebernian Diponegoro dalam memmimpin perang
mengusir penjajah Belanda digambarkan pada bait
ketiga, “Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar.
/Lawan banyak seratus kali”.
Kegagahan dan keberanian Diponegoro dalam melawan
penjajah juga digambarkan bahwa Diponegoro menhunus
pedang dan keris untuk menghadapin tentara Belanda
yang menggunakan senjata yang modern, bahka Diponegoro
digambarkan memiliki semangat yang tak bisa mati. Hal
ini terungkap pada bait keempat, “Pedang di kanan
keris di kiri/Berselembang semangat yang tak bisa
mati”.
Berjuang ikhlas tanpa pamrih digambarkan begitu
jelas oleh Chairil Anwar melalui kebermaknaan hidup.
Hal ini terungkap pada baik keenam, “Sekali
berarti/Sudah itu mati”. Semangat pantang mundur
adalah modal untuk berjuang sampai kemerdekaan. Oleh
sebab itu, Chairil Anwar mengajak pada rakyat
Indonesia untuk terus maju dengan semangat berapi-api
demi kejayaan bangsa Indonesia. Hal ini terungkap pada
bait ketujuh, “Bagimu Negeri/Menyediakan api”.
Perjuangan untuk merebut kemerdekaan sampai tetes
darah akhir digambarkan oleh Chairil Anwar. Walaupun
tidak menikmati kemerdekaan Karen gugur di medan
perang, itu lebih hormat dari pada harus hidup
ditindas oleh penjajah. Hal ini terungkap pada bait
kedelapan, “Punah di atas mengamba/Binasa di atas
ditindasi”.
Ketika cita-cita bangsa Indonesia untuk merebut
kemerdekaan sudah tercapai, Perjuangan Chairil Anwar
belum berakhir. Ia mengajak kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk memepertahankan dan mengisi
kemerdekaan. Sebagai penyair yang mempunyai jiwa
nasionalis, Chairil Anwar mengajak kepada seluruh
rakyat Indonesia untuk mendukung pemerintahan yang
ketika di pimpin oleh Bung Karno. Dukungan Chairil
Anwar juga disampaikan dalam bentuk puisi.
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &
berlabuh
Melalui puisi tersebut, Chairil Anwar menggambarkan
semangatnya untuk membangun Negara dan mengajak
pmerintah untuk segera membuat kesepakatan dengan
rakyat dan segera melaksanakan pembangunan, tidak
cukup sekedar janji. Hal ini terungkap pada bait
pertama, “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin
janji/Aku sudah cukup lama dengar bicaramu/dipanggang
atas apimu, digarami oleh lautmu”.
Sebelum Indonesia merdeka, Chairil Anwar juga pernag
bergabung bersama pemuda untuk mengusir penjajah dan
selalu setia terhadap negara. Oleh karena itu, Chairil
Anwar mengandaikan dirinya sebagai “api” prjuangan
(semangat 45) dan sebagai “laut” (perjuangan
universal). Hal ini terungkap pada bait kedua, dari
mula tgl. 17 agustus 1945/Aku melangkah ke depan
berada di sisimu/Aku sekarang api aku sekarang laut”.
Pada bait ketiga sebagai penutup, Chairil Anwar
menggambarkan bahwa pemerintah adalah milik rakyat.
Oleh karena itu, pemerintah dan rakyat harus bersatu
menggalang persatuan. Dengan modal persatuan yang
kokoh maka sebuah Negara akan dapat mempertahankan
kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan. Hal ini
terungkap pada bait ketiga, “Bung Karno! Kau dan aku
satu zat satu urat,/Di zatmu di zatku kapal-kapal kita
bertolak dan berlabuh”.
3. Penutup
Berdasarkan tinjauan sosiologis puisi-puisi
perjuangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Chairil
Anwar adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam
merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat
dan menekspresikan melalui puisi-puisinya. Selain
pelopor angkatan 45, Chairil Anwar juga di kenal
sebagai nasionalis tulen. Demikianlah semangat
perjuangan yang terkandung dalam puisi-puisi Chairil
Anwar.
4. Daftar Pustaka
Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:
Sinar Baru
Anwar, Chairil. 1959. Deru Campur Debu. Jakarta:
Pembangunan.
____________ 1978. Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang
Putus. Jakarta: Dian Rakyat
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi: analisi Atrata
Normal dan Analisi Struktural dan Semantik. Yogyakarta: Gajah
Mada University Pers.
Wahyuningtyas, Sri Santoso, dan Wijaya Heru. 2011.
Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.
2. Hipogramatik Cerita Wayang dalam Puisi Indonesia
Modern
1. Latar Belakang
Puisi merupakan bagian dari karya sastra. Seperti
halnya karya sastra yang lain, pemunculan sebuah puisi
sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya.
Sehingga pemberian makna sebuah puisi akan lebih
lengkap jika keseluruhan makna unsure digali dan
diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsure
kesejarahannya. Karen itu sebuah puisi, tidak hadir
atau dicipta karena kekosongan bidaya (Teeuw, 1980:
11).
Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di
masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-
teks kesusastraan yang ditulis sebelumnya. Teks dalam
pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya
teks tertulis atau lisan, adat itiadat, kebudayaan,
film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh
karea itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal
yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara
umum maupun khusus.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi
karya sastra yang kemudian disebut hipogram (Rifatere,
1978: 23). Istilah hipogram, barangkali dapat
diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walaupun
mungkin tak secara eksplisit,bagi penuisan karya lain.
Ini berarti, sebuah puisi tidak begitu saja lahor
melainkan sebelumnya sudah ada puisi lain, yang
tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi masyarakat
yang bersangkutan. Salah satu tradisi yang dikenal
baik oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa adalah
wayang. Tradisi tersebut mendasari dan berperan besar
dalam membentuk karakter dan eksistensi bangsa. Cerita
wayang merupakan hasil karya seni yang luhung,
monumental, dan amat berharga, bukan saja karena
kehebatan cerita, keindahan pnyampaian, ketegasan pola
karakter tetapi jga filosofi dan “ajaran-ajarannya”-
nya yang tidak ternilai dan masih saja relevan dengan
keadaan kini (Mulyono dalam Nurgiyantoro, 1998: 6).
Olehkarena itu, bukan merupakan hal yang aneh jika
nilai tradisional dan mitologi pewayangan banyak
berpengaruh terhadap penulisan kerya sastra Indonesia
Modern khususnya puisi.
Beberapa penyair seperti Sapardi Djoko Damono,
Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Moehamad, Sony Farid
Maulana, dan Dorothea Herliany banyak menampilkan
cerita wayang dalam beberapa puisinya. Kecuali Sony
Farid Maulana yang berasal dari Sunda umumnya beberapa
penyair di atas berasal dari Jawa yang lekat dengan
budaya pewayangan.
Pengangkatan cerita wayang oleh beberapa penyair
tersebut selain untuk mengenalkan wayang kepada
khalayak yang lebih luas juga dipandang sebagai bentuk
penafsiran kembali nilai-nilai secara kontekstual
dengan menyesuaikan kondisi sosial budaya masyarakat
masa kini. Cerita wayang yang dijadikan latar dalam
penulisan puisi tersebut diolah secara kreatif
sehingga karya tersebut merupakan respon atau
tanggapan penyair. Karena pada hakikatnya karya sastra
merupakan respon (sarapan, olahan, mosaic kutipan,
transformasi) terhadap apa yang telah ada dalam larya
sastra lain (Theeuw, 1983: 65). Respon tersebut dapat
erupa kata, frase, klaimay, bentuk, gagasan, dan
sejenis di dalam teks transformatif sehingga kadang
pembaca sering tidak ingat lagi akan karya yang
menjadi latarnya.
Oleh karena itu berbagai pusisi yang muncultidak
hanya mengukuhkan mitologi pewayangan tetapi juga
melakukan penyimpangan dan sejumlah perubahan yang
ada. Hal itu merupakan usaha mereformasi keadaa
untukmenyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan
zaman, termasuk dengan menghadirkan kontra mitos
secara ekstrem.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas,
tulisan ini hendak memperlihatkan bentuk-bentuk
hipogram cerita wayang dalam puisi Indonesia modern dan
pandangan pengarang terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita wayang tersebut.
2. Landasan Teori
Untuk memberikan makna secara lengkap atau penuh
sebuah karya sastra (puisi) harus dilihat karya-karya
yang ditulis dan diciptakan orang sebelumnya. Karya
puisi yang ditulis sebelumnya, biasanya, mendasarkan
diripada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara
meneruskan maupun menyimpangi (menolak, memutar
balikan esensi) konvensi.
Dalam istilah lain penerusan tradisi dapat juga
disebut mitos pengukuhan (myth of concern), sedangkan
penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakkan (myth of
frededom). Kedua ha tersebut boleh dikatakan sebagai
sesuat yang “wajib” hadir dalam penulisan teks
kesusastraan, sesuai dengan hakikat kesusastraan yang
selalu berada dalam ketegangan antara konvensi, mitos,
danpemberontakan (Nurgiyantoro, 1991: 51).
Wujud konvensi tersebut dapat berupa karya-karya
yang ditulis dapat juga berupa cerita-cerita rakyat
yang berwujud lisan (folklore) yang diwariskan secara
turun-temurun tanpa sarana tulisan seperti halnya
cerita-cerita wayang. Cerita-cerita wayang. Cerita-
cerita wayang yang bersumber pada epos Mahabrata dan
Ramayana dalam bahasa Sansekerta yang berasal dari
India. Setelah masuk ke Jawa kemudian disadur dan
mendapatkan kreasi baru sesuai masyarakat setempat.
Cerita-cerita wayang yang menjadi sumber bagi
penciptaan puisi dalam konsep interteks dipandang
sebagai bentuk hipogram (Rifatere dalam Nurgiyantoro,
1998: 15). Hipogram merupakan karya, tradisi, dan
konvensi sebelumnya yang dipandang sebagai suatu
tantangan yang perlu disikapi yang dijadikan dasar
bagai penulisan karya lain sesudahnya. Adanya unsur
hipogram dalam suatu karya, hal itu mungkin disadari
mungkin tidak oleh pengrangnya.
Hipogram merupakan “induk” yang akan melahirkan
karya-karya baru. Pengidentifikasi hal-hal itu dapat
dilakukan dengan memperbandingkan atau mengkonstraskan
antara karya “induk” dan “baru”. Usha tersebut menurut
Endrawasra (3008: 132) dapat menggambarkan bentuk-
bentuk hipogram yang meliputi :
(1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan
karya sastra. Ekspansi tak sekedar repetisi,
teteapi termasukperubahan gramatikal dan
perubahan jenis kata; (2) konversi adalah
pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis
kan memodifikasi kalimat ke dalam karya baru; (3)
modifikasi, adalah perubahan tataran linguistic,
manipulasi, urutan kata dan kalimat. Dapat saja
pengarang hanya mengganti nama tokoh,padahal tema
dan ceritanya sama; (4) ekserp, adalah semacam
intisari dari unsur-unsur atau episode dalam
hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp
biasanya lebih halus, da sangat sulit dikenali,
jika peneliti belum terbiasa memandingkan kerya.
Dalam penulisan teks kesusastraan hipogram ada dua
macam, yakni hipogram potensial dan hipogram actual
(Riffatere, 1978: 23). Hipogram potensial tidak
eksplisit dalam teks, tetapi dapat diabstraksikan dari
teks. Hipogram potensial merupakan potensi system tanda
pada sebuah teks sehingga makna teks dapat dipahami
pada karya itu sendiri, tanpa mengacu pada teks yang
sudah ada sebelumnya.
Hipogram actual adalah teks nyata, yang dapat berupa
kata, frase, kalimat, peribahasa, atau seluruh teks,
yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga
signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada
teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks
dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis tau
teks lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan,
agama dan bahkan seluruh isi alam semesta (dunia) ini
adalah teks (Pradopo, 1995: 132).
Oleh sebab itu, Hipogram yang menjadi latar
penciptaan teks abru itu, bukan hanya teks tertulis
atau teks lisan tetapi juga dapat berubah adat
istiadat, agama, bahkan dunia ini. Hipogram tersebut
direspon atau ditanggapi oleh teks baru. Tanggepan
tersebut dapat berupa penerusan, atau penentangan
tradisi atau konvensi (Abdullah, 2001: 110). Adanya
tanggapan itu menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks
sastra adalah dalam rangka fungsi yang ditujukan
kepada pembaca (Soeratno, 2001: 147).
Sedangkan sebagaimana telah diungkapkan oleh
Kristeva teks yang menyerap dan menstransformasikan
hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk
mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra yang
mengandung teks transformasi semacam itu, digunakan
metode intertekstual, yaitu
membandingkan, menjajarkan, dan mengonstraskan
sebuah teks transformasi dengan hipogramnya.
3. Pembahasan
Cerita wayang yang menjadi latar dalam penulisan
oleh penyair Indonesia berasal kitab Ramayana (dari
Sansekerta Ramayana; yang berasal dari kata Rama dan
Ayana yang berarti “Perjalanan Rama”), cerita epos
dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau
Balmiki dianggap sebagau kavia (kakawin) pertama dalam
sastra India yang terdiri dari 24.000 seloka (sajak 2
baris, tiap baris terdiri 16 suku kata) dan
mengisahkan riwayat Ramajaya atau Sri Rama, Raya
Ayodya.
Kitab lain yang menjadi latar dalam penulisan puisi
ialah Kitab Mahabrata yang ditulis Begawan Byasa atau
Vyasa dari India. Kisah ini terdiri 100.000 seloka
kisa epos terbesar dalam sastra India ini menceritakan
perebutan kekuasaan antara keluarga Pandawa (keturunan
Pandu) dengan Kurawa (keturunan Kuru) terdiri 18 kitab
atau bagian karena itu disebut Astadasaparwa dengan
menggunakan bahasa Sansekerta.
Kedua kitab tersebut menjadi cerita pakem, cerita
standar dalam pewayangan. Selain berdasar pada cerita
pakem, terdapat cerita yang berada di luar garis
standar yang berasal dari cerita carangan yang berasal
dari kreasi baru dalang yang tidak jauh dari cerita
pakem. Selain itu terdaopat cerita carangan yang
paling dikanal di antaranya adalah Bambang Wisenggeni,
Dewa Ruci, dan Arjuna Sastrabahu.
Cerita wayang yang dijadikan latar dalam penulisan
puisi tersebut diolah secara kreatif sehingga karya
tersebut merupakan respon atau tanggapan penyair.
Karena pada hakikatnya karya sastra merupakan respon
(sarapan, olahan, mosaic kutipan, transformasi)
terhadap apa yang telah ada dlam karya sastra lain
(Teeuw, 1983: 65). Respon tersebut dapat berupa kata,
frase, kalimat, bentuk, gagasan. Dan sejenis di dalam
teks transformatif sehingga kadang pembaca sering
tidak ingat lagi akan karya yang menjadi latarnya.
Oleh karena itu berbagai puisi yang muncul tidak
hanya mengukuhkan mitos-mitos pewayangan tetapi juga
melakukan penyimpangan dan pemberontakan serta
sejumlah perubahan yang ada. Hal itu merupakan usaha
mereformasi keadaan untuk menyesuaikan diri dengan
kebutuhan dan tuntunan zaman, termasuk dengan
menghadirkan kontra mitos secara ekstrem.
Salah satu tokoh wayang yang sering bicarakan pada
berbagai puisi yang berlatar wayang adalah tokoh Sita
atau Dewi Sinta. Ia merupakan tokoh sentral dalam epos
besar Ramayana karena senantiasa diutamakan dalam
penceritaan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian.
Dalam pewayangan tokoh Sita adalah putri Prabu
Janaka, Raja Negeri Mantili. Dewi Sinta diyakini
sebagai titisan Batari Sri Widowati, Istri Batara
Wisnu, Dewa Wisnu selalu di damping Batari Sri
Widowati. Sosok Sita selama ini dimitoskan sebagai
istri yang setia, jatmika (sopan santun), dan suci trilaksa
(ucapan, pikiran, dan hatinya). Ia mendampingi
suaminya, Sri Rama dalam suka dan suka.
Namun, mitos-mitos kebaikan Sita tidak berlaku bagi
Dorothea Rosa Herliany, Sapardi Djoko Damono, Subagio
Sastrawardoyo, dan Sony Farid Maulana. Para penyair
ini berusaha menampilkan perspektif yang berbeda
tentang Sita. Sita yang digambarkan tidak sebagai
perempuan setia dan taat kepada suami tetapi juga
sebagai perempuan yang berani menentukan nasibnya
sendiri.
Puisi yang memberontak mitos-mitos kesetiaan Sita
salah satunya “Elegi Sinta” karya Dorothea Rosa
Herliany. Dorothea memakai judul elegy yang berarti
sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau
keluh kesah karena sedih, rindu atau murung terutama
Karena kematian seorang. Hal itu merupakan
representasi ungkapan duka cita Sinta karena
ketidakadilan yang dilakukan Sri Rama, suaminya.
Secara tegas Dorothe membuka puisinya “Elegi Sinta”
dengan penolakan Sinta untuk melompat ke dalam api.
Tidak hanya menolak, Sinta juga memakai Rama sebagai
“lelaki yang paling pengecut” dan “para penakut dan
pendusta”. Kemarahan besar menjadi hal wajar bag
seorang perempuan yang telah bersungguh-sungguh setia.
Akan tetapi, kesetiaan, kesetiaan itu justru diragukan
oleh laki-laki yang diikutinya dengan berbagai
kesetiaan dan pengorbanan. Berkai-kali Rama selalu
meminta untuk membuktikan kesuciannya termasuk lompat
ke kobaran api. Dalam pakem cincin saat dalam tawanan
Rahwana untuk menguji kesetiannya. Dorothea berusaha
menyampaikan bahwa wanita tidak selemah yang selama
ini dibayangkan kaum pria melalui tokoh Sinta yang
dikenal sebagai sosok yang konservatif. Namun, dalam
puisi ini digambarkan Sinta berani menantang sosok
Rahwana.
Sinta bahkan lebih memilih Rahwana untuk
menyetubuhinya daripada ia harus kembali ke tangan
Rama. Sinta inginmembiarkan keraguan Rama padanya
benar-benar menjadi nyata. Sebuah pengakuan juga
terlontar dari seorang Sinta tentang cintanya yang
abu, cinta yang tak sepenuhnya putih. Mitos
pemberintakan terhadap kesetiaan Sita, sosok wanita
ideal dan suci, Sita diungkapkan pula oleh Sapardi
dalam “Sihir Sita”.
Sapardi memberikan awal yang baik bagi Sita karena
ia dapat bebas baik dari cakar garuda yang ingin
menyelamatkannya maupan dari Dasamuka (sebutan lain
Rahwana). Namun, setelah itu ia menggambarkan Sita
yang baru saja merasakan kesendirian. Rama seakan
tidak sabar untuk melihat Sita melompat dari atas
menara. Menurutnya hanya dengan cara itu kesucian atau
kemurnian Sita dapat kembali. Terungkap keinginan Sita
untuk bebas pula dari sihir Rama.
Ironi yang diciptakan Subagio mengejutkan dan
mendobrak citra Sita selama ini. Dengan jelas Subagio
menuliskan bahwa Sita menyukai kejantanan Rahwana.
Hubungan intim penuh birahi pun tidak sapat dihindari.
Subagio menutup puisi dengan doa singkat Sita yang
sekarat dakam kobaran api, doa yang masih meminta agar
nikmat dari persetubuhannya sengan Rahmwana tidak
turut terbakar dalam kobaran api. Penggambaran Sita
yang benar-benar berbeda telah dilakukan Subagio.
Soni Farid mempunyai gambaran tersendiri mengenai
Sita, soni mengungkapkan bahwa Sita jatuh cinta kepada
Rahwana. Perbedaannya terletak pada cinta yang
dirasakan Sita. Cinta Sita adalah cinta yang tulus,
karena ia rela melompat ke dalam api hanya untuk laki-
laki yang dicintainya.
4. Simpulan
Penyair Indonesia banyak mengangkat cerita-cerita
wayang sebagai latar dalam penulisan puisinya. Cerita
tersebut diolah secara kreatif sehingga karya tersebut
merupakan respon atau tanggapan penyair. Sebagai
penafsir penyair berhak menganggapi berbagai mitos
yanga da dengan melakukan penyimpangan dan sejumlah
perubahan yang ada. Mitos-mitos tentang kesetiaan,
kepada suami, raha dan negara, guru adalah mitos-mitos
yang diangkat para penyair tersebut.
Pengangkatan cerita wayang beserta mitos-mitosnya
tidak hanya mengenalkan cerita wayang ke masyarakat
yang lebih luas tetapi membuktikan bahwa tradisi-
tradisi lama dapat memperkaya kesusastraan Indonesia
modern khususnya perpuisian.
5. Daftar Pustaka
Aizid,Rizem.2012 Atlas Tokoh-tokoh Wayang. Yogyakarta:
Diva Press.
Damono, Sapardi Djoko 2003. Hujan Bulan Juni,
Jakarta : Gramedia. 2003
Endraswara,Suwardi, 2008. Metodologi Penelitian
Sastra, Yogyakarta: Media Pressiondo.
Herliany, Dorothe Rosa. 2006. Santa Rosa. Yogyakarta:
Indonesia Tera.
Maulana, Soni Farid. 2004. Tepi Waktu Tepi Salju
Bandung: Kelir.
Christa, Maria “Milik Siapa Cinta Sinta? : Gambaran
Sinta Dalam Puisi-puisi Indonesia Modern” Nyanian
bahasa.wordpress.com diakses Senin, 25 Desember
2012.
C. PUISI DAN LATAR BELAKANG SOSIALA BUDAYA
Oleh :aswinarko
Karya sastra itu unik karena merupakan perpaduan
antara imajinasi pengarang dengan kehidupan social
yang kompleks. Oleh sebab itu, sering dikatakan
bahwa sastra adalah cermin kehidupan social
masyarakat, karena masalah-masalah yang dilukiskan
dalam karya satra merupakan masalah-masalah yang di
alami, dirasakan dan disaksikan oleh pengarang
sebagai anggota masyarakat.
Berkaitan dengan hal berikut di atas, sapardi Djoko
Damogo mengungkapkan bahwa;
Sastra adalah lembaga social yang menggunakan bahasa
sebagai medium, bahasa ini merupakan ciptaan social.
Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan
itu sendiri adalah kenyataan social. Dalam
pengertian ini kehidupan mencakup hubungan
antarmanusia, atarperistiwa yang terjadi dalam batin
seseorang. Yang sering menjadibahan sastra adalah
pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau
dengan masyarakat (1978;2)
Untuk dapat memaknai sebuah karya sastra, selain
dianalisa struktur intrinsiknya (secara struktual) dan
dihubungkan dengan kerangka keseajarannya, di
antaranya dengan intertekstualitas. Menurut (teeuw:
61-62) analisis tidak dapat dipisahkan dari kerangka
social budaya. Hal itu disebabkan karena karya sastra
itu adalah cerminan sebuah masyarakat. Seorang
pengarang tidak dapat lepas dari pengaruh social
budaya masyarakat. Latar social-budaya itu akan
terwujud dalam tokoh-tokoh yang dimunculkan,
sistemkemasyarakan, adat istiadat, pandangan
masyarakat, kesenian, dan benda-benda terkait dengan
kebudayaan yang terungkap dalam karya sastra.
Secara nasional. Penyair Indonesia berasal dari
berbagai macam masyarakat dengan suku dan budaya
daerah yang berbeda. Oleh karena itu, ada latar
social-budaya. Jawa, Sunda, bali, Madura, Ambon,
Batak, Minang Kabau dan lain-lain.
Ber ikut adalah puisi yang berjudul “Donngeng
Sebelum Tidur” yang berlatar belakang social budaya
Jawa.
DONGENG SEBELUM TIDUR
“cikcak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Aitu nonsense”
Itulah yang dikatakan baginda kepeda permaisurinya
Pada malam itu , nafsu diranjang telih jadi teduh
Dan senyap merayap antara sendi dan sprei
“Mengapakah tak percara ? Mimpi aku meyakinkan
Seperti matahari pagi.”
Perempuan itu terisak, ketika anglingdarma
menutupkan
Kembali kain kedalamnya dengan nafsu yang dingin
Meskipun ia megecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api
Dan baginda pun mendapat akal bagaimana ia harus
Melarikan diri dengan pertolongan dewa-dewa entah
Dari mana untuk tidak setia
“batik madrim, Batik Madrim, mengapa harus patihku?
Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari
Kehidupan dan sebagainya dan sebagainya”
(Goenawan Mohamad, 1971)
Untuk memahami puisi di atas, ita perlu mengenal
apakah Goemawan Mohamad? Gomawan Mohamad adalah
penyair Jawa lahir di Batang Jawa tengah, 29 juli
1941. Geomawan mohamad adfalah penyair JAwa yang
Tengah untuk puisi-puisi naratifnya. Makna dan
amanat cerita klasik dijadikan akibat yang bersifat
pendidikan atau filsofi. Puisi=puisi rabel (alegori)
karya Goemawan Mohamad di antarnya “Parikessit”,
“Asmaranda” dan “Donging Sebelum Tidur”.
Untuk menafsikan makna puisi “Dongeng Sebelum
Tidur”, kita perlu meanalisis setiap bait.
Bait pertama:
Berisi ucapan anglingdarma yang mengatakan kepada
permaisuri bahwa cicak membicarakan mereka berdua.
Isiya monsense karena raja harus merahasiakannya dari
kutukan Dewa.
Bait kedua :
Permaisuri kecewa karena sang raja tidak mau
berterus terang tentang apa yang disengar dari
percakapan cicak, sehingga permaisuri merasa
diremehkan, tidak dipercaya dan dikhianati yang
mengakibatkan hubungan raja dan permaisuri manjadi
dingin.
Bait ketiga :
Kekecewaan permaisuri semakin memuncak dan membuat
dirinya menangis. Sang raja mencoba menengkan
permaisuri dan menunjukan kasih sayangnya.
Bait kelima :
Akibat dari kekecewaan yang memuncak terhadap sang
raja yang dianggap telah merendahkan harga diri,
maka permaisuri mengambil keputusan tragis, yaitu
dengan bunuh diri dalam api.
Bait keenam:
Mencerintakan sang raja setelah permaisuri bunuh
diri, ia hendak melarikan diri dari kutukan Dewa,
karena ia telah membuka rahasia tentang
kepandaiannya dapat berbicara dengan binatang. Ia
tidak dapay lepas dari kutukan Dewa Prabu
Anglingdarma mengembara di samping menjalani kutukan
Dewa ia juga mencari arwah permaisuri. Kepergian
sang raja adalah bentuk pelanggaran terhadap
kesetiaan terhadap suatu tanggung jawab sebagai
seorang raja.
Bait ketujuh:
Pernyatan filosofi seorang raja kepada patihnya
(Batik Madrim) Seorang raja yang telah kehilangan
segalanya karena untuk sebuah janji setia. Mengapa
kesetian harus lebih dari segala-galanya? Jika harus
kehilangan segalanya apa artinya kesetiaan itu? Pada
bait ini penyair berpikir sebelum bertindaj, jangan
sampai menyesal atas tindakan kita.
Amanat yang disampaikan penyair berdasarkan tema
adalah sebagai berikut :
1. Sebagai raja hendaknya jangan mencapuradukan
antara tugas sebagai kepala Negara dan tugas
sebegai kepala rumah tangga.
2. Sebagai raja hendaknya harus terbuka dalam
batasan-batasan tertentu terhadap permaisuri
sehingga tumbuh kepercayaan dan keharminisan
dalam rumah tangga.
3. Sebagai permaisuri hendaknya mendukung tugas raja
yang pada kenyataannya bukanlah miliknya semata,
melainkan juga milik rakyat;
4. Kesetiaan dan harga diri adalah sesuatu yang
harus dijaga, tetapi hendaknya jangan karena
kesetiaan dan harga kita korban segalanya.
3. POTRET INDONESIA YANG KELABU DALAM KUMPULAN PUISI MALU
(AKU) JADI ORANG INDONESIA KARYA TAUFIQ ISMAIL
1. Pendahuluan
“Sejarah merupakan serangkaian dongeng yang
disepakati”, demikian menurut Voltaire, nama samara
dari Fracois-Marie Arouet, pengarang, ahli filsafat,
dan tokoh besar Perancis Abad Pencerahan (Aufkalrung).
Siapa yang berkuasa dapat merangkai dongeng tersebut
sesuai dengan keinginannya untuk melangganengkan
kekuasaannya sehingga tak aenh setiap pergantian
kekuasaan buku-buku sejarah senantiasa digugat oleh
semua pihak.
2. Pembahasan
Puisi-puisi dalam kumpulan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
tidak hanya memotret informasi tetapi perjalanan bangsa
Indonesia yang suram. Potret suram tersebut salah
satunya kebobrokan akhlak bangsa karena bangsa ini
sudah sesak dengan para maling, perampok, pencopet,
penipu, dan pemeras yang memenuhi negara ini.
Kebobrokan tersebut diperparah dengan degradasi
moral para pemegang kekuasaan yang menghalalkan segala
keinginannya. Upeti, suap, proyek-proyek fiktif, mork
up anggaran serta komisi menjadi bagian hidup yang tak
dapat dipisahkan. Taufiq Ismail tidak hanya
menyaksikan kejadian-kejadian bersejarah lewat di
depan matanya. Tetapi ia juga aktif dalam rentetan-
rentetan sejarah yang membuka episode-episode penting
dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air. Karena
dalam perjalanan hidupnya sarat dengan hal-hal
tersebut.
Dalam kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia banyak
pandangan yang berbicara luas dalam berbagai aspek
kehidupan. Sebagai seorang yang konsisten menentang
pertandingan tinju, karena menanamkan kepada semua
orang bibit kekerasan dan kebringasan. Namun dengan
begitu ia bukan seorang yang antiolahraga, ia
mengagumi keindahan saat pertandingan sepakbola antara
kesebelasan Belanda dan Brasil yang kemudian
dituangkan dalam puisi yang berjudul “Brasil lawan
Belanda”. Atau kebanggaannya terhadap bulu tangkis
karena prestasi yang diperoleh oeh para pemain di
tingkat dunia.
Kedekatan dengan Sam Bersaudara, (nama panggilan
Muhammad Samsudin Hardjakusumah), karena sering
berkolaborasi dalm menciptakan lagu untuk grup
musiknya. Ia juga banyak bekerja sama dengan penyanyi
lain seperti: Harry Rusli, Iwan Fals, Chrisye, Farnky,
dan Ebiet G Ade. Mereka adalah sahabat-sahabat yang
enak diajak bekerja sama sehingga banyak menghasilkan
menjadi musikalisasi yang sedap di dengar.
3. Penutup
Demikian aspek-aspek kehidupan yang begitu luas yang
digarap Taufiq Ismail selain potret gambaran kelam
sejarah bangsanya. Walaupun kumpulan puisi ini berisi
sebgian besar saja potret sejarah tetapi bahasa yang
digunakan adalah bahasa yang jernih dan tetap berada
pada koridor keindahan.
Puisi-puisi tersebut meskipun tidak dapat mengubah
kondisi bangsa Indonesia yang mengalami gradasi moral
akan tetapi Taufiq Ismail telah menggambarkan
kebobrokan, keserakahan, kesewenangan dari penguasa
yang tirani dan dapat mengingatkan kepada generasi
muda yang akan dating agar kejadian-kejadian tersebut
tidak terulang lagi.
4. Daftar pustaka
Ismail, Taufiq, 1998. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Jakarta : Yayasan Ananda
Top Related