BAB I - Repository Poltekkes Semarang

44
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakikt tidak menular (PTM) merupakan penyebab kematian terbesar di dunia ini. Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena penyakit tidak menular (63% dari seluruh kematian). Secara global PTM penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah seperti penyakit jantung koroner, penyakit gagal jantung, atau payah jantung, hipertensi dan stroke. Lebih dari 9 juta kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular terjadi sebelum usia 60 tahun dan 90% dari kematian “dini” tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Kematian “dini” yang disebabkan oleh penyakit jantung terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah (Pusdatin Kementrian Kesehatan RI, 2013). Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Irwan, 2016, p. 25). Di Indonesia penyakit jantung terus meningkat dan memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial ekonomi bagi keluarga, pasien, masyarakat dan negara (Depkes, 2014). Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang. Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah pasien penyakit gagal jantung di Jawa Tengah 43.361 orang (0,18%), sedangkan berdasarkan diagnosis/ gejala, sebanyak 72.268 orang (0,3%) (Pusdatin Kementrian Kesehatan RI, 2013).

Transcript of BAB I - Repository Poltekkes Semarang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakikt tidak menular (PTM) merupakan penyebab kematian terbesar

di dunia ini. Setiap tahunnya lebih dari 36 juta orang meninggal karena

penyakit tidak menular (63% dari seluruh kematian). Secara global PTM

penyebab kematian nomor satu setiap tahunnya adalah penyakit

kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan

gangguan fungsi jantung dan pembuluh darah seperti penyakit jantung

koroner, penyakit gagal jantung, atau payah jantung, hipertensi dan stroke.

Lebih dari 9 juta kematian disebabkan oleh penyakit tidak menular terjadi

sebelum usia 60 tahun dan 90% dari kematian “dini” tersebut terjadi di negara

berpenghasilan rendah dan menengah. Kematian “dini” yang disebabkan oleh

penyakit jantung terjadi berkisar sebesar 4% di negara berpenghasilan tinggi

sampai dengan 42% terjadi di negara berpenghasilan rendah (Pusdatin

Kementrian Kesehatan RI, 2013).

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung sebagai

pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan

(Irwan, 2016, p. 25). Di Indonesia penyakit jantung terus meningkat dan

memberikan beban kesakitan, kecacatan dan beban sosial ekonomi bagi

keluarga, pasien, masyarakat dan negara (Depkes, 2014). Prevalensi penyakit

gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sebesar

0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan

diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang.

Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah pasien penyakit gagal jantung

di Jawa Tengah 43.361 orang (0,18%), sedangkan berdasarkan diagnosis/

gejala, sebanyak 72.268 orang (0,3%) (Pusdatin Kementrian Kesehatan RI,

2013).

2

Di RSUD Batang pada tahun 2015 tercatat jumlah pasien gagal jantung

sebanyak 188 pasien dan mayoritas berusia antar 25 sampai 65 tahun (Rekam

Medik RSUD Batang, 2015).

Gagal jantung bukan merupakan diagnosis dan penyebab yang

mendasarinya harus selalu dicari. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung

relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan

klinis yang lebih berat (Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, 2015). Gagal

jantung adalah alasan yang sangat sering, mencakup 5% dari pasien yang

dirawat di bangsal rumah sakit. Sekitar 3-20 per orang 100 orang pada

populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring

pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun), dan angka

ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan

hidup setelah infark miokard akut (Gleadle, 2008, p. 116).

Manifestasi klinik yang utama pada kegagalan jantung berkaitan dengan

curah jantung yang tidak memadai diantaranya gejala kelemahan, fatigue,

berkurangnya toleransi exercise dan gejala-gejala hipoperfusi jaringan yang

lain seperti ekstremitas yang dingin dan pucat, oliguria, kebingungan mental,

gangguan daya ingat serta insomnia (R. Kumar, 2009, p. 224) dan yang paling

menonjol pada pasien gagal jantung adalah munculnya rasa lelah, terutama

setelah melakukan aktivitas (Sholeh, 2012, p. 97). Hal tersebut dapat

menyebabkan intoleransi aktivitas sesuai dengan Muttaqin (2009, p. 200) yang

menyatakan bahwa klien dengan gagal jantung berat hanya mungkin

melakukan aktivitas yang sangat terbatas. Klien dengan gagal jantung yang

lebih ringan pun harus membatasi aktivitas fisiknya. Sekali klien menderita

gagal jantung, kemungkinan ia akan selalu mempunyai kapasitas latihan yang

menurun. Intoleransi aktivitas merupakan suatu diagnosa yang lebih

menitikberatkan respon tubuh yang tidak mampu untuk bergerak terlalu

banyak karena tubuh tidak mampu memproduksi energi yang cukup secara

fisiologis untuk meneruskan atau menyelesaikan aktivitas yang diminta atau

aktivitas sehari-hari. Untuk membentuk energi, tubuh memerlukan nutrisi dan

O2. Pada kondisi gagal jantung, dimana menurunnya aliran darah otot

3

sehingga suplai nutrisi dan O2 tidak sampai ke sel dapat mengakibatkan

kelelahan (Rubenstein dan Bradley, 2007).

Toleransi aktivitas yang menurun pada pasien gagal jantung dapat

menyebabkan konstipasi pada sistem gastrointestinal dan dapat tejadi

penurunan turgor kulit pada sistem integumen serta kerusakan permukaan

kulit yang dapat menyebabkan luka dekubitus. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Suriadi (2007) bahwa insiden kejadian dekubitus di Indonesia pada

pasien yang mengalami intoleransi aktivitas mencapai 33,3%.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka Penulis tertarik untuk

menyusun sebuah karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan

Intoleransi Aktivitas pada Tn. S dengan Gagal Jantung di RSUD Batang”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Melaporkan Asuhan Keperawatan Intoleransi Aktivitas Pada Tn. S

dengan Gagal Jantung di RSUD Batang.

2. Tujuan Khusus

a. Menggambarkan:

1) Pengkajian intoleransi aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.

2) Masalah keperawatan intoleransi aktivitas yang ada pada Tn. S

dengan gagal jantung.

3) Perencanaan keperawatan intoleransi aktivitas untuk memecahkan

masalah yang ditemukan pada Tn. Sdengan gagal jantung.

4) Tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan

intoleransi aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.

5) Penilaian evaluasi pencapaian tujuan pengelolaan intoleransi

aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.

b. Membahas kesenjangan yang ditemukan pada pengelolaan

keperawatan intoleransi aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung.

4

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi institusi pendidikan

Laporan kasus ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang pendidikan dan

sebagai pengetahuan tambahan mahasiswa.

2. Bagi penulis

Laporan kasus ini sebagai bahan perbandingan bagi penulis untuk

mengembangkan karya tulis ilmiah selanjutnya dan sebagai dasar untuk

memberikan asuhan keperawatan intoleransi aktivitas pada pasien dengan

gagal jantung.

3. Bagi rumah sakit

Untuk informasi dan sebagai evaluasi kepada rumah sakit dalam

memberikan asuhan keperawatan intoleransi aktivitas pada pasien dengan

gagal jantung.

4. Bagi masyarakat

Dapat memberikan informasi pada masyarakat tentang intoleransi aktivitas

pada pasien dengan gagal jantung.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gagal Jantung

1. Pengertian Gagal Jantung

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik yang mana jantung

sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk

metabolisme jaringan (Irwan, 2016, p. 25).

Menurut Brunner dan Suddarth (2001) seperti dikutip dari Irwan

(2016) gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa

darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrien.

Muttaqin (2009, p. 196) mengemukakan bahwa gagal jantung

bukanlah suatu penyakit yang terbatas pada satu sistem organ, melainkan

suatu sindrom klinis akibat kelainan jantung yang ditandai dengan suatu

respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal serta suatu keadaan

patologis dimana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan

jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya

dapat memenuhinya dengan meningkatkan tekanan pengisian.

2. Klasifikasi

Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association

(NYHA) dalam Muttaqin (2009, p. 197).

a. Kelas I (disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik)

Klien dengan kelainan jantung tetapi tanpa pembatasan aktivitas.

a. Kelas II (gagal jantung ringan)

Klien dengan kelainan jantung yang menyebabkan sedikit pembatasan

aktivitas fisik.

b. Kelas III (gagal jantung sedang)

Klien dengan kelainan jantung yang menyebabkan banyak

pembatasan aktivitas fisik.

6

c. Kelas IV (gagal jantung berat)

Klien dengan kelainan jantung yang segala bentuk aktivitas fisiknya

menyebabkan keluhan.

3. Etiologi

Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala

jenis penyakit jantung kongenital maupun yang didapat. Mekanisme

fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan

yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau menurunkan

kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban

awal meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel, dan beban

akhir meningkat pada keadaan di mana terjadi stenosis aorta dan

hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark

miokardium, kardiomiopati, dan miokarditis.

Selain dari ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal

jantung, terdapat faktor-faktor lain yang dapat pula mengakibatkan

jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor yang mengganggu

pengisian ventrikel, seperti stenosis katup atriovantrikularis dapat

menyebabkan gagal jantung. Keadaan seperti perikarditis konstriktif dan

tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui gabungan

beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi

ventrikel.

Faktor sistemik juga dapat berperan dalam perkembangan dan

bertanya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme, hipoksia dan

anemia memerlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi

kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan

suplai oksigen ke jantung.

7

4. Manifestasi klinis

Menurut Kasron (2012, p. 69) manifestasi klinis gagal jantung meliputi:

a. Dispneu

Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu

pertukaran gas.

b. Mudah lelah

Terjadi karena curah jantung yang kurang sehingga menghambat

jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya

pembuangan sisa hasil katabolisme. Kelelahan juga diakibatkan

meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia

karena distress pernapasan.

c. Kegelisahan dan kecemasan

Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan

bernapas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.

d. Edema ekstremitas bawah

Biasanya edema pitting, penambahan berat badan.

e. Hepatomegali

Sinus-sinus hati pada gagal jantung selalu terdapat darah yang

berlebihan, sehingga hati akan membengkak dan pada palpasi terasa

lunak dan nyeri.

f. Anorexia dan mual

Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga

abdomen.

g. Nokturia

Pasien akan kencing beberapa kali pada waktu malam hari dengan

porsi urine sedikit dan saat kencing terasa sakit seperti terbakar.

h. Sianosis

Tanda penting pada kebanyakan kasus gagal jantung adalah warna

biru di kulit tangan, kaki, mukosa bibir, dan pipi.

8

5. Patofisiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantarnya yaitu

disfungsi miokard, beban tekanan berlebih pada sistolik, dan peningkatan

kebutuhan metabolisme. Pada disfungsi miokard dimana terjadi kelainan

kontraktilitas, beban sistol yang berlebih menyebabkan jumlah darah yang

mengisi jantung juga meningkat, dan kebutuhan metabolisme yang tinggi

memaksa jantung untuk bekerja lebih berat lagi yang akhirnya keadaan

tersebut mengganggu pengosongan ventrikel sehingga meningkatkan

volume ventrikel. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya gagal jantung.

Jika ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang cukup ke

aorta untuk memenuhi kebutuhan organ-organ yang terletak di perifer,

berarti curah jantung sangat rendah, sehingga suplai nutrisi dan oksigen

tidak adekuat samapai ke sel yang dapat menyebabkan pasien menjadi

lemah dan menimbulkan respon tubuh berupa intoleransi aktivitas.

Penurunan suplai darah keseluruh tubuh termasuk juga suplai darah ke

ginjal akan mempengaruhi mekanisme pelepasan ranin-angiotensin dan

akhirnya terbentuk angiotensin II mengakibtakan terangsangnya sekresi

aldosteron dan menyebabkan retensi natrium dan air, perubahan tersebut

meningkatkan cairan ekstra-intravaskulaer sehingga terjadi

ketidakseimbangan volume cairan dan tekanan yang selanjutnya terjadi

edema.

Bila ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari

vena pulmonalis, maka akan terjadi pengisian darah yang berlebihan dari

pembuluh darah di paru-paru sehingga meningkatkan tekanan kapiler dan

vena paru-paru. Jika tekanan hidrostatik dari kapiler paru-paru melebihi

tekanan osmotik vaskuler, maka akan terjadi edema interstitial.

Peningkatan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke alveoli

dan terjadilah edema paru-paru yang dapat menurunkan pertukaran

oksigen dan karbondioksida.

9

6. Pathways

Gambar 2.1.Pathway gagal jantung

Sumber: Hariyanto dan Sulistyowati. Keperawatan Medikal Bedah1. 2015

Disfungsi miokard

Kontraktilitas

Beban sistol

Preload

Keb.metabolisme

Beban kerja jantung

Hambatan pengosongan ventrikel

Beban jantung

Gagal jantung kongestif

Gagal pompa ventrikel

Forward failure

Backward failure

Curah jantung (COP)

Tek. Vena pulmo

Suplai darah jaringan

Nutrisi & O2 sel

Tek. Kapiler paru

Edema paru

Renal flow

Pelepasan RAA

Metabolisme sel Retensi Na & air Gg. Pertukaran gas

Lemah & letih

Intoleransi aktivitas

Edema

Kelebihan volume cairan

10

7. Komplikasi

Menurut Wijaya dan putri (2013, p. 160), komplikasi yang mungkin

muncul pada gagal jantung diantaranya:

a. Edema paru akut terjadi akibat gagal jantung kiri.

b. Syok kardiogenik: stadium dari gagal jantung kiri, kongestif akibat

penurunan curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke

organ vital (jantung dan otak).

c. Episode trombolitik

Trombus terbentuk karena imobilitas pasien dan gangguan sirkulasi

dengan aktivitas trombus dapat menyumbat pembuluh darah.

d. Efusi perikardial dan tamponade jantung

Masuknya cairan ke kantung perikardium, cairan adapat meregangkan

perikardium sampai ukuran maksimal. COP menurun dan aliran balik

vena ke jantung sehingga menyebabkan tamponade jantung.

8. Pemeriksaaan diagnostik

a. Ekokardiografi

Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan

klinis gagal jantung. Ekokardiografi dapat menilai dimensi ruang

jantung, fungsi ventrikel kiri, dan abnormalitas gerakan dinding dan

untuk menyingkirkan penyakit katup.

b. Elektrokardiografi

Untuk mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, infark,

penyimpanan aksis, iskemia dan kerusakan pola.

c. Tes laboratorium darah

Direkomendasikan untuk menyingkirkan anemia dan menilai fungsi

ginjal sebelum terapi dimulai.

1) Enzim hepar: meningkat dalam gagal jantung.

2) Ureum dan elektrolit: melihat bukti gangguan fungsi ginjal sebagai

akibat penyebab retensi cairan atau akibat menurunnya perfusi

ginjal.

11

3) Oksimetri nadi: kemungkinan situasi oksigen rendah.

4) Albumin: mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan

protein.

d. Radiologis

Sonogram ekokardiogram dapat menunjukkan pembesaran bilik

perubahan dalam fungsi struktur katup, penurunan kontraktilitas

ventrikel.

1) Scan jantung: tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan

gerakan dinding.

2) Rontgen dada: menunjukkan pembesaran jantung, hipertensi vena,

atau edema paru. Bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertrofi

bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau peningkatan

tekanan pulmonal.

9. Penatalaksanaan

Sasaran penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah untuk

menurunkan kerja jantung, meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas

miokard, serta utnuk menurunkan retensi garam dan air (Muttaqin, 2009,

p. 222).

a. Tirah baring

Tirah baring sebagai usaha untuk menurunkan kerja jantung.

b. Pemberian oksigen

Pemberian oksiegen terutama pada klien gagal jantung disertai dengan

edema paru. Pemenuhan oksigen akan mengurangi kebutuhan

miokardium dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.

c. Diuretik

Pembatasan garam dan air serta diuretik, baik oral atau parenteral,

akan menurunkan preload dan kerja jantung. Diuretik memiliki efek

antihipertensi dengan meningkatkan pelepasan air dan garam natrium.

Hal ini menyebabkan penurunan volume cairan dan merendahkan

tekanan darah.

12

d. Morfin

Dapat berefek vasodilatasi pembuluh darah perifer menurunkan aliran

balik vena dan kerja jantung.

e. Lanotropik

Memperbaiki kontraktilitas jantung dan mendilatasi ginjal.

f. Digitalis

Untuk meningkatkan kontraktilitas jantung.

B. Konsep Dasar Aktivitas

1. Pengertian aktivitas

Aktivitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana

manusia memerlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto,

2009).

2. Fisiologi pergerakan

Pergerakan merupakan rangkaian aktivitas yang terintegrasi antara

sistem muskloskeletal dan sistem persarafan di dalam tubuh (Mubarak

dan Chayatin, 2008, p. 245).

a. Sistem muskuloskeletal

Sistem muskuloskeletal terdiri atas rangka (tulang), otot, dan sendi.

Sistem ini sangat berperan dalam pergerakan dan aktivitas manusia.

Rangka berfungsi untuk menyokong jaringan tubuh, termasuk

memberi bentuk pada tubuh dan sebagai tempat melekatnya otot,

tendon dan ligamen. Sedangkan otot berperan dalam proses

pergerakan, memberi bentuk pada postur tubuh, dan memproduksi

panas melalui aktivitas kontraksi otot.

b. Sistem persarafan

Proses terjadinya sebuah gerakan melibatkan sistem persarafan yaitu:

1) Saraf aferen (reseptor), berfungsi menerima rangsangan dari luar

kemudian meneruskannya ke susunan saraf pusat.

13

2) Sel saraf atau neuron, berfungsi membawa impuls dari bagian

tubuh satu ke bagian tubuh yang lainnya.

3) Sistem saraf pusat (SSP), berfungsi merespon impuls dan

memberikan respons melaului saraf eferen.

4) Saraf eferen, berfungsi menerima respon dari SSP kemudian

meneruskannya ke otot rangka.

3. Faktor yang mempengaruhi aktvitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas menurut Mubarak dan

Chayatin (2008, p. 220) yaitu:

a. Pertumbuhan dan perkembangan

Usia serta perkembangan sistem muskuloskeletal dan persarafan

akan berpengaruh terhadap postur, proporsi tubuh, massa tubuh,

pergerakan, serta refleks tubuh seseorang.

b. Kesehatan fisik

Gangguan pada sistem muskuloskeletal atau persarafan dapat

menimbulkan dampak yang negatif pada pergerakan dan mekanika

tubuh seseorang. Adanya penyakit, trauma, atau kecacatan dapat

mengganggu pergerakan dan struktur tubuh.

c. Status mental

Gangguan mental atau afektif seperti depersi atau stress kronis dapat

mempengaruhi keinginan seseorang untuk bergerak. Individu yang

depresi cenderung tidak antusias dalam mengikuti kegiatan.

Demikian pula dengan stress yang berkepanjangan dapat menguras

energi sehingga individu kehilangan semangat untuk beraktivitas.

d. Gaya hidup

Gaya hidup terkait dengan kebiasaan yang dilakukan individu sehari-

hari. Individu dengan gaya hidup yang tidak sehat dapat mengalami

gangguan kesehatan yang akhirnya menghambat pergerakannnya.

e. Sikap dan nilai personal

14

Nila-nilai yang tertanam dalam keluarga dapat mempengaruhi

aktivitas yang dijalani oleh individu.

f. Nutrisi

Nutrisi berguna bagi organ tubuh untuk mempertahankan status

kesehatan. Apabila pemenuhan nutrisi tidak adekuat, hal ini bisa

menyebabkan kelelahan dan kelemahan otot yang akan

mengakibatkan penurunan aktivitas atau pergerakan. Sebaliknya

kondisi nutrisi berlebih (misal obesitas) dapat menyebabkan

terbatasnya pergerakan tubuh sehingga individu menjadi mudah

lelah.

g. Stress

Status emosi seseorang akan berpengaruh terhadap aktivitas

tubuhnya. Perasaan tertekan, cemas, dan depresi dapat menurunkan

semangat seseorang untuk beraktivitas.

h. Faktor sosial

Individu dengan tingkat kesibukan yang tinggi secara tidak langsung

akan sering menggerakkan tubuhnya. Sebaliknya, individu yang

jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar tentu akan lebih

sedikit beraktivitas/menggerakkan tubuhnya.

C. Konsep Dasar Intoleransi aktivitas pada Gagal Jantung

1. Pengertian intoleransi aktivitas

Intoleransi aktivitas adalah penilaian diagnostik yang menjelaskan

individu yang memiliki kondisi fisik yang terganggu (Lynda Juall

Carpenito, 2013, p. 31).

2. Batasan karakteristik

a. Mayor (harus ada, satu atau lebih)

1) Pernapasan

b) Dispnea

c) Sesak napas

15

d) Peningkatan frekuensi secara berlebihan

e) Penurunan frekuensi

2) Nadi

a) Lemah

b) Peningkatan frekuensi secara berlebihan

c) Perubahan irama

d) Penurunan fungsi

e) Kegagalan untuk kembali ke tingkat aktivitas sebelumnya

setelah tiga menit

3) Tekanan darah

a) Kegagalan meningkatkan aktivitas

b) Peningkatan tekanan diastolik >15 mm Hg

b. Minor (mungkin ada)

1) Pucat atau sianosis

2) Konfusi

3) Vertigo

3. Akibat dari intoleransi aktivitas

Mubarak dan Chayatin (2008) menjelaskan dampak yang

mungkin muncul pada pasien gagal jantung yang mengalami intoleransi

aktivitas dapat berupa fisik maupun psikologis. Secara psikologis, dapat

menyebabkan penurunan motivasi, kemunduran kemmapuan dalam

memecahkan masalah, dan perubahan konsep diri. Selain itu, kondisi ini

juga disertai dengan ketidaksesuaian antara emosi dan situasi, perasaan

tidak berharga dan tidak berdaya, serta kesepian yang diekspresikan

dengan perilaku menarik diri dan apatis. Sedangkan masalah fisik yang

dapat terjadi diantaranya:

a. Sistem muskuloskeletal

Intoleransi aktivitas dapat menyebabkan osteoporosis, atrofi otot,

kontraktur, dan kekakuan serta nyeri pada sendi.

b. Eliminasi urine

16

Masalah umum yang ditemui pada sistem perkemihan akibat

intoleransi aktivitas adalah stasis urine, batu ginjal, retensi urine, dan

infeksi perkemihan.

c. Gastrointestinal

Keadaan intoleransi aktivitas umumnya menyebabkan konstipasi

akibat menurunannya peristaltik dan motilitas usus.

d. Respirasi

Gangguan yang biasanya muncul pada sistem respirasi pada keadaan

intoleransi aktivitas diantaranya penurunan gerak pernapasan,

penumpukan sekret, dan atelektasis.

e. Sistem kardiovaskular

Pada sistem kardivaskular, intoleransi aktivitas dapat mengakibatkan

hipotensi ortostatik dan edema dependen.

f. Metabolisme dan nutrisi

Penurunan laju metabolisme, keseimbangan nitrogen negatif dan

anoreksia mungkin terjadi pada keadaan intoleransi aktivitas.

g. Sistem integumen

Kondisi intoleransi aktivitas dapat mengganggu sirkulasi dan suplai

nutrien menuju area tertentu. Hal ini mengakibatkan iskemia dan

nekrosis jaringan superfisial yang dapat menimbulkan ulkus

dekubitus.

h. Sistem neurosensorik

Ketidakmampuan mengubah posisi menyebabkan terhambatnya

input sensorik, menimbulkan perasaan lelah, iritabel, persepsi tidak

realistis, dan mudah bingung.

17

D. Proses Keperawatan

1. Pengkajian

a. Riwayat keperawatan

Menurut Taylor dan Ralph (2011, p.159), pengkajian yang perlu

dilakukan pada pasien yang mengalami intoleransi aktivitas pada

pasien gagal jantung adalah:

1) Riwayat penyakit saat ini

2) Usia

3) Pengalaman imobilitas atau tirah baring yang dianjurkan

4) Status kardiovaskular meliputi tekanan darah, denyut dan irama

jantung pada saat beristirahat dan beraktivitas, hitung darah

lengkap, temperatur dan warna kulit, edema, nyeri atau rasa

tidak nyaman pada dada.

5) Status pernapasan meliputi kadar gas darah arteri, auskultasi

suara napas, nyeri atau rasa tidak nyaman yang berkaitan dengan

respirasi, dan kecepatan, irama, kedalaman, serta pola respirasi

pada saat beristirahat dan beraktivitas.

6) Status neurologik meliputi tingkat kesadaran, orientasi, status

mental, status sensori, status motorik.

7) Status muskuloskeletal meliputi rentang pergerakan (range of

motion, ROM), ukuran, kekuatan, tonus otot, dan mobilitas

fungsional seperti:

0= mandiri penuh

1= perlu menggunakan peralatan atau alat

2= perlu bantuan, pengawasan, atau bimbingan dari orang lain

3= perlu bantuan dari orang lain dan peralatan atau alat

4= ketergantungan, tidak dapat berpartisipasi dalam aktivitas

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasien gagal jantung

dengan intoleransi aktivitas yaitu:

18

1) Kesejajaran tubuh

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginspeksi pasien dari sisi

lateral, anterior, dan posterior guna mengamati apakah bahu dan

pinggul sejajar, jari-jari kaki mengarah ke depan, dan tulang

belakang lurus, tidak melengkung ke sisi yang lain.

2) Cara berjalan

Pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi mobilitas klien

dan risiko cedera akibat jatuh. Hal ini dilakukan dengan

meminta klien berjalan sejauh sekitar 10 kaki, kemudian amati

kepala tegak, pandangan lurus, dan tulang belakang lurus serta

gaya berjalan halus, terkoordinasi, dan berirama, ayunan tubuh

dari sisi ke sisi minimal dan tubuh bergerak lurus ke depan.

3) Penampilan dan pergerakan sendi

Pemeriksaan ini meliputi apakah ada kemerahan atau

pembengkakan sendi, deformitas, perkembangan otot yang

terkait dengan masing-masing sendi, nyeri tekan, krepitasi,

peningkatan temperatur di sekitar sendi dan derajat gerak sendi.

4) Kemampuan dan keterbatasan gerak

Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang

adanya indikasi rintangan dan keterbatasan pada pergerakan dan

kebutuhan untuk memperoleh bantuan. Hal yang perlu dikaji

yaitu keseimbangan dan koordinasi klien, adanya hipotensi

ortostatik sebelum berpindah tempat, dan adanya hambatan

dalam bergerak.

5) Kekuatan dan massa otot

Pengkajian ini bertujuan untuk menurunkan risiko tegang otot

dan cedera tubuh, baik pada klien maupun perawat.

19

Tabel 2.1 Derajat Kekuatan Otot

Skala Presentase

kekuatan

normal

Karakteristik

0 0 Paralisis sempurna

1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat

dipalpasi atau dilihat

2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi

dengan topangan

3 50 Gerakan yang normal melawan

gravitasi

4 75 Gerakan penuh yang normal melawan

gravitasi dan melawan tahanan minimal

5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang

melawan gravitasi dan tahanan penuh

6) Toleransi aktivitas

Alat ukur yang paling tepat utnuk memperkirakan toleransi klien

terhadap aktivitas adalah frekuensi, kekuatan, dan irama denyut

jantung.

7) Masalah terkait mobilitas

Pengkajian ini dilakukan melalui metode inspeksi, palpasi, dan

auskultasi, pemeriksaan hasil tes laboratorium, pengukuran

berat badan, asupan cairan dan haluaran cairan.

20

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan

gangguan aktivitas adalah intoleransi aktivitas yang berhubungan

dengan:

a. Gangguan sistem transpor oksigen, sekunder akibat gagal jantung

kongestif, infark miokard, PPOK, atelektasis, anemia, hipovolemia,

gangguan endokrin atau metabolik, dan penyakit kronis (Mubarak

dan Chayatin, 2008, p. 252).

b. Ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan

kebutuhan sekunder penurunan curah jantung (Muttaqin, 2008, p.

230).

3. Perencanaan

Hampir semua klien membutuhkan bantuan dan bimbingan

perawat untuk mempelajari, memperoleh seta mempertahankan mekanika

tubuh yang tepat. Dalam hal ini, perawat dapat mengajarkan anggota

keluarga berbagai teknik untuk bergerak, mengangkat tubuh atau

berpindah tempat di sekitar lingkungan rumah. Sebagai bagian dari

asuhan keperawatan, perawat bertanggung jawab mengidentifikasi klien

yang membutuhkan bantuan dengan postur tubuh dan menentukan

besarnya bantuan yang mereka butuhkan (Mubarak dan Chayatin, 2008,

p. 252).

Dari diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan

dengan dispnea akibat turunnya curah jantung memiliki tujuan yaitu

diharapkan intoleransi aktivitas dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien

dapat berpartisipasi pada aktivitas yang ditoleransi, terpenuhinya

aktivitas sehari-hari, mencapai peningkatan toleransi aktivitas,

peningkatan kekuatan otot, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.

(Mubarak dan Chayatin, 2008, p. 252).

21

Rencana tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani

masalah intoleransi aktivitas pada pasien gagal jantung diantaranya yaitu

(Muttaqin, 2008, p. 236):

a. Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan tekanan darah selama

dan sesudah aktivitas.

Rasional: respon kien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan

adanya penurunan oksigen miokard.

b. Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas senggang

yang tidak berat.

Rasional: menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen.

c. Anjurkan klien untuk menghindari peningkatan abdomen, misal:

mengejan saat defekasi.

Rasional: dengan mengejan dapat menyebabkan bradikardi,

menurunkan curah jantung dan takikardia, serta peningkatan tekanan

darah.

d. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas. Contoh:

bangun dari kursi, bila tidak ada nyeri lakukan ambulasi, kemudian

istirahat selam 1 jam setelah makan.

Rasional: aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung,

meningkatkan regangan, dan mencegah aktivitas berlebihan.

e. Pertahankan klien pada posisi tirah baring sementara sakit akut.

Rasional: untuk mengurangi beban jantung.

f. Tingkatkan klien duduk di kursi dan tinggikan kaki klien.

Rasional: untuk meningkatkan venous return.

g. Petahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis. (Prosedur ROM

pasif terlampir).

Rasional: meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous

return.

h. Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi.

Rasional: untuk mengetahui fungsi jantung bila dikaitkan dengan

aktivitas.

22

i. Berikan waktu istirahat diantara waktu aktivitas.

Rasional: untuk mendapatkan cukup waktu resolusi bagi tubh dan

tidak terlalu memaksa kerja jantung.

j. Pertahankan penambahan oksigen sesuai kebutuhan.

Rasional: untuk meningkatkan oksigenasi jantung.

k. Kaji EKG, dispnea, sianosis, kerja dan frekuensi napas, serta keluhan

subjektif selama aktivitas.

Rasional: melihat dampak dari aktivitas terhadap fungsi jantung.

l. Berikan diet sesuai kebutuhan (pembatasan air dan natrium).

Rasional: untuk mencegah retensi cairan dan edema penurunan

kontraktilitas jantung.

m. Rujuk ke program rehabilitasi jantung.

Rasional: meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemkaian

miokardium sekaligus mengurangi ketidaknyamanan sampai dengan

iskemia.

4. Implementasi

Impelmentasi dilakukan berdasarkan intervensi yang telah dibuat

dan disesuaikan terhadap kondisi fisik dan psikologis pasien agar hasil

yang diharapkan dapat tercapai.

Pelaksanaan untuk menangani intoleransi aktivitas pada pasien

gagal jantung yaitu:

a. Mencatat frekuensi jantung, irama, dan perubahan tekanan darah

selama dan sesudah aktivitas

b. Meningkatkan istirahat, membatasi aktivitas, dan memberikan

aktivitas senggang yang tidak berat.

c. Menganjurkan klien untuk menghindari peningkatan abdomen, misal:

mengejan saat defekasi.

d. Menjelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas. Contoh:

bangun dari kursi, bila tidak ada nyeri melakukan ambulasi, kemudian

istirahat selam 1 jam setelah makan.

23

e. Mempertahankan klien pada posisi tirah baring sementara sakit akut.

f. Mempertahankan rentang gerak pasif selama sakit kritis.

g. Mengevaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi.

h. Memberikan waktu istirahat diantara waktu aktivitas.

i. Mempertahankan penambahan oksigen sesuai kebutuhan.

j. Mengkaji EKG, dispnea, sianosis, kerja dan frekuensi napas, serta

keluhan subjektif selama aktivitas.

k. Memberikan diet sesuai kebutuhan (pembatasan air dan natrium).

l. Merujuk ke program rehabilitasi jantung.

5. Evaluasi

Menurut Muttaqin (2008, p. 241) hasil yang diharapkan pada

proses keperawatan klien gagal jantung dengan intoleransi aktivitas:

a. Berpartisipasi dalam aktivitas yang meningkatkan kemampuan untuk

melakukan aktivitas harian.

b. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari.

c. Mencari dukungan dari orang lain untuk memelihara tingkat aktivitas

optimal.

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penulisan

Metode penulisan dalam penelitian ini menggunakan metode

deskriptif untuk menggambarkan hasil asuhan keperawatan dengan

memfokuskan satu masalah penting menggunakan analisis sederhana.

Penelitian ini dillakukan untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien gagal

jantung dengan masalah intoleransi aktivitas pada Tn. S di RSUD Batang.

B. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dapat

digunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2008).

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien gagal jantung dengan masalah

intoleransi aktivitas.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

purposive sampling dimana sampel dipilih berdasarakan kemudahan dan

keinginan penulis yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel yang penulis ambil

yaitu salah satu pasieng gagal jantung dengan masalah intoleransi aktivitas

yang di rawat inap di ruang penyakit dalam dewasa RSUD Batang.

Pengambilan sampel karya tulis dilakukan berdasarkan kriteria berikut:

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakter umum subjek penelitian dari suatu target

yang akan diteliti. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Pasien gagal jantung ringan (kelas II) dengan masalah intoleransi

aktivitas.

b. Pasien yang bersedia menjadi responden.

c. Pasien kooperatif dengan kesadaran compos mentis.

d. Pasien rawat inap dengan kriteriausia 25 sampai 65 tahun.

25

2. Kriteria eksklusi

Adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang tidak memenuhi

kriteria inklusi dari studi karena beberapa sebab.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Pasien yang dirawat inap kurang dari 3 hari.

b. Pasien yang tiba-tiba mengalami penurunan kesadaran saat proses

asuhan keperawatan berlangsung.

c. Pasien yang pindah ke ruangan lain.

d. Pasien yang pindah atau dirujuk ke rumah sakit lain.

e. Pasien yang pulang paksa.

f. Pasien yang menolak untuk dilakukan tindakan keperawatan.

C. Ruang Lingkup Karya Tulis Ilmiah

Tempat dan waktu

1. Tempat: pengambilan kasus karya tulis ilmiah ini dilakukan di RSUD

Batang.

2. Waktu: pengambilan kasus karya tulis ini dilaksanakan pada 1-3 Feruari

Februari 2017.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diambil secara langsung dari

sumber atau objek yang diamati (Nalim dan Tarmudi, 2012). Tujuannya

sesuai dengan keperluan penelitian yang ditujukan langsung pada pasien.

Data sekunder yaitu data dari pihak lain, tidak diperoleh dari subjek

penelitian langsung. Data primer dan data sekunder penelitian ini adalah data

salah satu pasien yang menderita gagal jantung dengan masalah intoleransi

aktivitas di RSUD Batang.

Menurut Nursalam (2008, p. 111) teknik pengumpulan data yang

dapat digunakan antara lain:

a. Wawancara

26

Teknik pengumpulan data dengan mewawancarai atau memberikan

pertanyaan yang sesuai dengan studi pembelajaran yang dilakukan guna

mendapatkan data yang diinginkan.

b. Observasi partisipatif

Merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti ikut mengobservasi

atau mengamati suatu subjek untuk mendapatkan data yang diinginkan.

c. Pemeriksaan fisik

Dengan melakukan pemeriksaan fisik dari rambut sampai kaki dengan

metode inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada klien.

d. Teknik dokumentasi

Merupakan pendataan dari berbagai teknik pengumpulan data yang telah

dilakukan agar tercatat data yang relevan.

E. Analisis

Dalam laporan karya tulis ilmiah ini penulis menganalisis data dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara,

observasi, dan studi dokumentasi yang selanjutnya menguraikan data dari

hasil pengkajian yang kemudian akan dibandingkan antara teori dengan

kenyataan yang ada pada asuhan keperawatan pada pasien gagal jantung di

RSUD Batang.

Indikator pasien dengan intoleransi aktivitas yaitusesak napas, lemah,

kegagalan meningkatkan aktivitas, pucat atau sianosis (Wijaya dan Putri,

2013, p. 159). Tindakan pada pasien apabila inoleransi aktivitas teratasi yaitu

dengan meningkatkan aktivitas secara bertahap sesuai kemampuan pasien,

seperti bangun dari kursi, bila tidak ada nyeri lakukan ambulasi, kemudian

istirahat selam satu jam setelah makan (Muttaqin, 2008, p. 236).

Tindak lanjut pada pasien apabila bersihan jalan napas belum teratasi

yaitu dengan meningkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas

senggang yang tidak berat serta tetap memberikan waktu istirahat diantara

waktu aktivitas. Selain itu jika diperlukan penambahan oksigen sesuai

kebutuhan dan penuhi diet pasien sesuai kebutuhan (pembatasan air dan

27

natrium). Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi mutlak

diperlukan untuk mengetahui fungsi jantung bila dikaitkan dengan aktivitas.

28

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pada hasil penulis akan memaparkan tentang tinjauan kasus asuhan

keperawatan pada Tn. S dengan gagal jantung kongestif yang meliputi

pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,

implementasi dan evaluasi. Data diperoleh berdasarkan wawancara dengan

pasien dan keluarga pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta

rekam medis pasien.

1. Pengkajian

Pengkajian dilakukan pada hari Rabu tanggal 1 Februari 2017 pukul 14.30

WIB di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Batang dengan

nomor rekam medis 366229. Pasien masuk ke Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Batang ruang Melati pada tanggal 31 Januari 2017 pukul 11.30

WIB.

a. Biodata Pasien

Pasien bernama Tn. S berusia 60 tahun jenis kelamin laki-laki, alamat

Warungasem, Batang dengan diagnosa medis gagal jantung kongestif.

Pasien bekerja sebagai buruh bangunan, pasien tidak sekolah. Pasien

bersuku Jawa dan berbangsa Indonesia serta beragama islam.

b. Identitas penanggung jawab

Saat pengkajian diperoleh data penanggung jawab nama Ny. A umur 52

tahun, jenis kelamin perempuan, hubungan dengan pasien sebagai istri

yang beralamat di Warungasem, Batang.

c. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan utama

Pasien mengatakan cepat lelah dan sesak napas. Sesak napas

bertambah saat beraktivitas.

29

2) Riwayat kesehatan sekarang

Pasien mengeluh lemas, cepat lelah dan sesak napas sekitar

satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Selama di rumah pasien

meminum obat yang dibeli di apotek dan beristirahat. Namun dua

hari terakhir sesak napas dirasakan semakin bertambah. Kemudian

keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke rumah sakit. Pasien

datang ke IGD pada hari selasa 31 Januari 2017 pukul 11.30 WIB

diantar oleh keluarga. Pasien datang dengan keadaan composmentis,

nilai GCS 15 E : 4 V : 5 M : 6 dan dengan keluhan sesak napas. Saat

dilakukan pemeriksaan di IGD diperoleh hasil tekanan darah 120/80

mmHg, nadi 80x/menit, suhu 37,1º C, frekuensi pernapasan

28x/menit. Pasien mendapat terapi obat berupa infus RL 20 tpm,

injeksi Ondancetron 4 mg per 8 jam dan Ketorolac 30 mg per 12

jam. Kemudian pada pukul 15.00 WIB pasien dipindahkan ke Ruang

Melati untuk mendapatkan perawatan yang lebih lanjut.

Saat dilakukan pengkajian pada hari Rabu tanggal 1 Februari

2017 pukul 14.15 WIB ditemukan data sebagai berikut. Data

subjektif pasien mengatakan sesak napas yang bertambah berat saat

beraktivitas. Pasien mengatakan lemas, hanya bisa berbaring

ditempat tidur dan sulit beraktivitas.

Sedangkan data objektif yang ditemukan adalah pasien

tampak lemas dan hanya berbaring ditempat tidur, tingkat aktivitas 2,

dalam melakukan aktivitas pasien tampak dibantu keluarga dan

perawat, seperti : dalam melakukan aktivitas sehari-hari makan,

berpakaian, eliminasi, dan mobilisasi ditempat tidur, berpindah dan

ambulasi, kekuatan otot 3, terdapat edema di kedua kaki. Pasien

tampak menahan mualnya, tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 86

x/menit, frekuensi pernapasan 23 x/menit, suhu 36,4 0C, terdapat

edema pada kedua ekstremitas bawah, turgor kulit kering, cappilary

refile time 2 detik.

30

3) Riwayat kesehatan dahulu

Pasien mengatakan mempunyai penyakit tekanan darah tinggi namun

belum pernah dirawat di rumah sakit

4) Riwayat kesehatan keluarga

Pasien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang menderita

penyakit Jantung, tekanan darah tinggi, Diabetes ataupun penyakit

menular seperti Tuberculosis.

5) Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik diperoleh data: tingkat kesadaran

pasien composmentis, tanda-tanda vital: tekanan darah 110/90

mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi pernapasan 23 x/menit, suhu 36,4 0C. Pada pemeriksaan dada terlihat tarikan otot bantu pernapasan,

pengembangan dada simetris kanan dan kiri, taktil vocal fremitus

teraba sama, paru-paru terdengar ronkhi. Pada pemeriksaan jantung

ictus cordis tidak tampak, ictus cordis teraba di intercosta V sinistra,

dan terdengar bunyi jantung I/SI (lup) dan bunyi jantung II/S2 (dup).

Pada pemeriksaan abdomen tidak terdapat lesi, bentuk perut

cembung, terdapat nyeri tekan pada abdomen kanan atas. Pada

pemeriksaan ekstremitas atas tidak terdapat edema, tidak ada lesi,

akral hangat, arteri radialis teraba lemah, akral hangat, terpasang

infus Ringer laktat 20 tetes/menit. Pada ekstremitas bawah terdapat

edema pada kedua kaki, tidak terdapat lesi, capillary refill time 2

detik.

6) Data penunjang

a) Pemeriksaan radiologi thorak tanggal 31 Januari 2017

Kardiomegali dengan kecurigaan pembesaran atrium dextra dan

ventrikel sinistra

b) Dilakukan pemeriksaan penunjang pada tanggal 31 Januari 2017

berupa pemeriksaan darah dengan hasil sebagai berikut :

31

Hemoglobin L 13.1 g/dL, Hematokrit L 39.1 % Glukosa

sewaktu 105 mg/dL

c) Pemeriksaan EKG pada tanggal 31 januari dapat disimpulkan

non stemi yang menunjukkan tidak adanya Led I dan II, tidak

ditemukan ST elevasi pada Led I dan II dan tidak ada

gelombang Q.

7) Penatalaksanaan pengobatan

Terapi yang didapatkan pasien pada tanggal 1 Februari 2017 sampai

dengan 3 Februari 2017 adalah infus ringer laktat 20 tpm, obat oral

ambroxol per 8 jam, rebamipid per 8 jam, dan candesartan 8 mg per

24 jam serta obat injeksi ondansetron 4 mg per 8 jam, ketorolac 30

mg per 12 jam, furosemid 2 ampul per 8 jam.

2. Perumusan Masalah keperawatan

Saat dilakukan pengkajian pada hari Rabu tanggal 1 Februari

2017 pukul 14.15 WIB ditemukan data sebagai berikut. Data subjektif

pasien mengatakan sesak napas yang bertambah berat saat beraktivitas.

Pasien mengatakan lemas, hanya bisa berbaring ditempat tidur dan

sulit beraktivitas.

Sedangkan data objektif yang ditemukan adalah pasien tampak

lemas dan hanya berbaring ditempat tidur, dalam melakukan aktivitas

pasien tampak dibantu keluarga dan perawat dalam melakukan

aktivitas sehari-hari makan, berpakaian, eliminasi, dan mobilisasi

ditempat tidur, berpindah dan ambulasi. pasien tampak menahan

mualnya, tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi

pernapasan 23 x/menit, suhu 36,4 0C, turgor kulit kering, cappilary

refile time 2 detik.

Berdasarkan data subjektif dan objektif di atas maka ditemukan

masalah keperawatan Tn. S yaitu intoleransi aktivitas berhubungan

dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dengan

kebutuhan sekunder penurunan curah jantung.

32

3. Perencanaan keperawatan

Setelah merumuskan diagnosa keperawatan dari masalah

keperawatan yang muncul pada klien, kemudian penulis membuat

perencanaan pada tanggal 1 Februari 2017 pukul 15.30 WIB,

perencanaan tindakan tersebut meliputi tujuan dan kriteria hasil serta

rencana tindakan keperawatan. Dari diagnosa keperawatan intoleransi

aktivitas memiliki tujuan yaitu setelah dilakukan asuhan keperawatan

selama 3 x 24 jam diharapkan intoleransi aktivitas dapat teratasi

dengan kriteria hasil dapat berpartisipasi pada aktivitas yang

ditoleransi, memenuhi kebutuhan diri sendiri, mencapai peningkatan

toleransi aktivitas, peningkatan kekuatan otot, dan tanda-tanda vital

dalam batas normal.

Rencana tindakan yang akan dilakukan meliputi monitor tanda-

tanda vital, observasi kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas

sehari-hari, latih pasien melakukan rentang gerak pasif, beri posisi

yang nyaman (posisi semi fowler), berikan bantuan pada pasien dalam

melakukan aktivitas, libatkan keluarga dalam pemenuhan Activity

Daily Living (ADL) pasien, pertahankan penambahan oksigen sesuai

kebutuhan, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi.

4. Pelaksanaan Keperawatan

Pada tahap ini penulis bekerja sama dengan perawat ruangan untuk

melaksanakan rencana tindakan keperawatan yang telah disusun.

Pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan dari tanggal 1 Februari

2017 sampai 3 Februari 2017 yaitu:

a. Hari Pertama

Penulis melakukan implementasi keperawatan Pada hari

Rabu tanggal 1 Februari 2017 pukul 15.35 WIB membina

hubungan saling percaya diperoleh hasil pasien dan keluarga

tampak kooperatif dengan penulis. Pada pukul 15.40 WIB

mengkaji kemamapuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-

33

hari didapatkan hasil : pasien mengatakan membutuhkan bantuan

keluarga dalam melakukan aktivitas sehari-hari hari seperti makan,

minum, BAK yang dibantu istrinya. Pada pukul 17.15 WIB

membimbing pasien melakukan rentang gerak pasif didapatkan

hasil pasien mengatakan mau diajari pergerakan yang ringan,

pasien melakukan latihan rentang gerak bagian tangan, kekuaran

otot 3. Pada pukul 17.35 WIB mengukur tanda-tanda vital

dilakukan dan didapatkan hasil : tekanan darah 120/90 mmHg, nadi

: 90 kali/menit, RR: 23 kali/menit, suhu : 36.7 0C. Pada pukul

17.45 WIB mengatur posisi yang nyaman didapatkan hasil : pasien

tidur dengan posisi semi fowler dan pasien mengatakan lebih

nyaman dengan posisi tidur yang sekarang. Pada pukul 20.15 WIB

memberikan obat injeksi ondansetron 4 mg, ketorolac 30 mg,

furosemid 1 amp dan obat oral ambroxol, rebamipid didapatkan

hasil : injeksi diberikan secara IV melalui selang infus, tidak

terdapat tanda-tanda alergi.

b. Hari Kedua

Implementasi hari kedua pada kamis 2 Februari 2017 yaitu

pada pukul 04.00 memberikan injeksi obat ondansetron 4 mg dan

furosemid 2 amp diperoleh hasil furosemid 2 amp dan ondansetron

4 mg masuk secara IV melalui selang infus, tidak terdapat tanda-

tanda alergi. Pada pukul 05.30 WIB mengobservasi tanda-tanda

vital dengan hasil : tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 90

kali/menit, RR 23 kali/menit, suhu 36.5 0C. Pada pukul 06.00 WIB

memberikan obat oral ambroxol, rebamipid, candesartan 8 mg

diperoleh hasil : pasien mengatakan akan meminum obatnya, obat

masuk per oral. Pada pukul 09.30 WIB membimbing pasien

melakukan rentang gerak pasif, diperoleh hasil : pasien melakukan

latihan rentang gerak bagian kaki dan tangan, kekuatan otot 3. Pada

pukul 12.00 WIB memantau tanda-tanda vital pasien, diperoleh

34

hasil: pasien mau dilakukan tindakan, tekanan darah TD: 120/90

mmHg, nadi 80 kali/menit, RR 23 kali/menit, suhu 36.8 0C.

Pada pukul 17.00 WIB mengobservasi tanda-tanda vital,

diperoleh hasil tekanan darah 130/80 mmHg, nadi : 82 kali/menit,

RR 24 kali/menit, suhu 37.2 0C. Pada pukul 17.10 mengobservasi

kemampuan paisen dalam melakukan aktivitas sehari-hari

didapatkan hasil: pasien mengatakan dalam beraktivitas masih

dibantu keluarganya, pasien mengatakan masih sesak saat

beraktivitas, pasien berganti pakaian dibantu istrinya. Pada pukul

18.00 memberikan obat injeksi ondansetron 4 mg dan obat oral

ambroxol, rebamipid diperoleh hasil: pasien mengatakan bersedia

di injeksi, pasien tenang, injeksi diberikan per IV melalui selang

infus, obat masuk, tidak terdapat tanda-tanda infeksi.

c. Hari ketiga

Implementasi pada hari ketiga Jumat tanggal 3 Februari

2017 yaitu pada pukul 04.00 WIB memberikan injeksi obat

ondansetron 4 mg dan furosemid 2 amp diperoleh hasil furosemid

2 amp dan ondansetron 4 mg masuk secara IV melalui selang infus,

tidak terdapat tanda-tanda alergi. Pada pukul 06.00 WIB

memberikan obat injeksi ketorolac 30 mg, diperoleh hasil: pasien

mengatakan mau dilakukan tindakan, obat masuk kedalam tubuh

pasien melalui selang infus dan tidak terdapat tanda-tanda alergi.

Pada pukul 08.50 membimbing pasien melakukan rentang pasif

didaptakan hasil pasien melakukan latihan rentang gerak pasif

bagian kaki, kekuatan otot 3. Pada pukul 09.15 WIB mengevaluasi

pasien melakukan gerak pasif yang telah diajarkan, diperoleh hasil

: pasien mengatakan lupa untuk melakukannya.

Pada pukul 12.00 WIB memantau tanda-tanda vital pasien,

diperoleh hasil: pasien mau dilakukan tindakan, tekanan darah:

130/90 mmHg, nadi 86 kali/menit, RR 25 kali/menit, suhu 36.8 0C.

Pada pukul 12.20 WIB mengobservasi kemampuan pasien dalam

35

melakukan aktivitas sehari-hari diperoleh hasil : pemenuhan

aktivitas sehari-hari pasien seperti makan, minum, BAK, masih

dibantu istrinya. Pada pukul 12.20 WIB melibatkan keluarga dalam

pemenuhan kebutuhan sehari hari diperoleh hasil: keluarga pasien

mengatakan bersedia membantu pasien, pasien makan dibantu

istrinya.

Pada pukul 19.30 WIB mengobservasi kemampuan pasien

dalam melakukan aktivitas sehari-hari diperoleh hasil: pasien

mengatakan dalam beraktivitas masih dibantu keluarganya, pasien

BAK dibantu istrinya dengan pispot. Pukul 20.30 WIB mengatur

posisi senyaman pasien dengan hasil : pasien mengatakan lebih

nyaman dengan posisi setengah duduk ini, pasien tidur dengan

posisi semi fowler. Pukul 20.05 WIB memberikan obat injeksi

ondansetron 4 mg, furosemid 2 ampul dan obat oral ambroxol,

rebamipid, candesartan dengan hasil pasien mengatakan mau

dilakukan tindakan dan akan meminum obatnya, obat injeksi

masuk kedalam tubuh melalui selang infus, tidak terdapat tanda-

tanda alergi, obat oral diminum dengan bantuan perawat.

5. Evaluasi Keperawatan

Setelah dilakukan beberapa tindakan, didapatkan evaluasi dari respon

pasien. Evaluasi terdiri dari subjektif (S), Objektif (O), Analisis (A),

dan Planning (P).

a. Hari pertama

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil implementasi pada

tanggal 1 Februari 2017 pukul 19.05 WIB oleh penulis didapatkan

catatan perkembangan pasien yaitu secara subjektif pasien

mengatakan kebutuhan sehari-hari masih dibantu oleh istrinya,

pasien mengatakan masih sesak saat beraktivitas. Berdasarkan data

objektif pasien mampu melakukan latihan rentang gerak pasif

bagian tangan, kekuatan otot 3, tanda-tanda vital: tekanan darah

36

120/90 mmHg, nadi : 90 kali/menit, RR: 23 kali/menit, suhu : 36.7 0C. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum,

BAB, BAK, mandi masih dibantu oleh istrinya. Dari hasil analisa

masalah belum teratasi, maka rencana selanjutnya adalah

melanjutkan intervensi dengan melatih pasien rentang gerak pasif,

latih pasien miring kanan dan kiri serta duduk, observasi tanda-

tanda vital, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi.

b. Hari kedua

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil implementasi pada

tanggal 2 Februari 2017 pukul 18.00 WIB oleh penulis didapatkan

catatan perkembangan pasien yaitu data subjektif pasien

mengatakan aktivitas sehari-hari masih dibantu oleh istrinya, pasien

mengatakan masih sesak saat melakukan aktivitas. Dari data

objektif kegiatan sehari-hari pasien seperti makan, minum, mandi,

BAB, BAK, masih dibantu istrinya, kekuatan otot 3, tanda-tanda

vital: tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 90 kali/menit, RR 23

kali/menit, suhu 36.5 0C. Keadaan umum pasien baik. Hasil

analisisnya yaitu masalah belum teratasi, maka direncanakan

intervensi selanjutnya yaitu latih rentang gerak pasif, observasi

kemampuan pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari,

observasi tanda vital pasien, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian obat.

c. Hari ketiga

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil implementasi pada

tanggal 3 Februari 2017 pukul 18.25 WIB oleh penulis didapatkan

catatan perkembangan pasien sebagai berikut: dari data subjektif

pasien mengatakan sudah bisa melakukan beberapa aktivitas

sendiri namun masih terasa sesak napas saat melakukan aktivitas.

Dari data objektif makan, minum dan mobilisasi di tempat tidur

secara mandiri, toileting dan mengganti pakaian masih dibantu oleh

istrinya, kekuatan otot 3, tanda-tanda vital: tekanan darah: 130/90

37

mmHg, nadi 86 kali/menit, RR 25 kali/menit, suhu 36.8 0C. Hasil

analisa didapatkan masalah belum teratasi, dan rencana selanjutnya

adalah observasi tanda vital, latih pasien melakukan rentang pasif

serta lanjutkan advice dokter dalam pemberian terapi.

B. PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas kesenjangan yang terjadi antara teori dengan

kondisi riil kasus yang dilaporkan yaitu pengelolaan keperawatan pada Tn. S

dengan gagal jantung kongestif di ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Batang. Pengelolaan keperawatan dilakukan selama tiga hari

terhitung dari tanggal 1 Februari 2017 hingga 3 Februari 2017. Pengumpulan

data tersebut telah penulis lakukan dengan menggunakan teknik wawancara,

observasi, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi catatan perkembangan

kesehatan pasien (buku rekam medik). Dalam hal ini, penulis akan

memfokuskan pembahasan mulai dari pengkajian, perumusan masalah,

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1. Pengkajian

Pengkajian pada Tn. S pada tanggal 1 Februari 2017 dengan

mengumpulkan data menggunakan alat ukur pendekatan fungsional pola

Gordon, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaaan diagnostik. Dalam

melakukan pengkajian penulis tidak menemukan hambatan yang berarti,

hal ini dikarenakan sikap pasien dan keluarga yang kooperatif terhadap

tindakan yang dilakukan oleh penulis.

Pada pengkajian yang dilakukan oleh penulis, didapatkan data

subjektif pasien mengatakan sesak napas yang bertambah berat saat

beraktivitas. Pasien mengatakan lemas, hanya bisa berbaring ditempat

tidur dan sulit beraktivitas.

Sedangkan data objektif yang ditemukan adalah pasien tampak

lemas dan hanya berbaring ditempat tidur, tingkat aktivitas 2, dalam

melakukan aktivitas pasien tampak dibantu keluarga dan perawat, seperti :

38

dalam melakukan aktivitas sehari-hari makan, berpakaian, eliminasi, dan

mobilisasi ditempat tidur, berpindah dan ambulasi, kekuatan otot 3,

terdapat edema pada kedua kaki. Pasien tampak menahan mualnya,

tekanan darah 110/90 mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi pernapasan 23

x/menit, suhu 36,4 0C, terdapat edema pada ekstremitas bawah kanan,

turgor kulit kering, cappilary refile time 2 detik.

Data yang penulis dapatkan pada pengkajian adalah pasien

menderita gagal jantung, hal ini sesuai dengan teori Kasron (2012, p. 69)

yang menyatakan bahwa manifestasi klinis gagal jantung yaitu dispneu,

mudah lelah, edema ekstremitas bawah, sianosis, anorexia dan mual.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan analisa data yang dikembangkan dari hasil pengkajian

yang terdiri dari data subjektif dan data objektif terdapat beberapa masalah

pada Tn. S berdasarkan data-data sebagai berikut: data subjektif yang

diperoleh adalah pasien mengatakan cepat lelah dan sesak napas saat

beraktivitas sehingga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti

makan, minum, gosok gigi, BAB, BAK, mandi, mengganti pakaian

dibantu oleh istri pasien. Dari data objektif terlihat bahwa pada saat

bergerak dari posisi semi fowler ke posisi miring kanan maupun miring

kiri serta posisi duduk dibantu oleh istrinya serta pasien terlihat sesak

napas. Pasien BAK dibantu istrinya dengan menggunakan pispot, pasien

makan disuapi istrinya serta minum juga dibantu oleh istrinya, pasien

hanya tidur di tempat tidur dengan posisi semi fowler.

Menurut Muttaqin, Arif (2009, p. 228) diagnosa keperawatan yang

muncul berdasarkan data-data diatas adalah intoleransi aktivitas

berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen ke jaringan

dengan kebutuhan sekunder penurunan curah jantung. Pada pasien gagal

jantung ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang cukup ke aorta

untuk memenuhi kebutuhan dari organ-organ yang terletak di perifer,

berarti curah jantung sangat rendah sehingga supali nutrisi dan oksigen

39

tidak adekuat sampai ke sel yang dapat menyebabkan pasien menjadi

lemah dan menimbulkan respon tubuh berupa intoleransi aktivitas.

3. Perencanaan

Pada tahap perencanaan, penulis menyusun tujuan keperawatan

yang diharapkan, kriteria hasil dan rencana tindakan yang akan dilakukan.

Sehingga memudahkan dalam pengelolaan perencanaan asuhan

keperawatan selanjutnya.

Tujuan dari tindakan keperawatan ini adalah setelah dilakukan

tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan intoleransi aktivitas

dapat teratasi dengan kriteria hasil dapat berpartisipasi pada aktivitas yang

ditoleransi, memenuhi kebutuhan diri sendiri, mencapai peningkatan

toleransi aktivitas, peningkatan kekuatan otot, dan tanda-tanda vital dalam

batas normal.

Rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah monitor

tanda-tanda vital, observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas

sehari-hari, latih pasien melakukan rentang gerak pasif, ciptakan

lingkungan yang nyaman, beri posisi yang nyaman (semi fowler), berikan

bantuan pada pasien dalam melakukan aktivitas, selingi aktivitas dengan

periode istirahat, libatkan keluarga dalam pemenuhan kegiatan sehari-hari

pasien, observasi keadaan umum, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian terapi.

Pemeriksaan tanda-tanda vital perlu dilakukan sebagai acuan

melakukan intervensi selanjutnya karena pasien yang mengalami

intoleransi aktivitas cenderung mengalami kenaikan tekanan darah

diastolik serta peningkatan frekuensi nadi dan pernapasan secara

berlebihan (Lynda Juall Carpenito, 2013, p. 31). Latihan fisik

meningkatkan kemandirian seseorang, memasukkan latihan rentang gerak

dalam rutinitas sehari-hari dapat mendukung kondisi normal pasien.

Latihan rentang gerak meningkatkan massa otot, tonus otot, kekuatan otot,

memperbaiki fungsi jantung, pernapasan, mobilitas sendi dan sirkulasi

40

(Wahit Iqbal, Mubarak, 2008, p. 229). Menurut Muttaqin Arif (2009, p.

222) pemenuhan oksigen akan mengurangi kebutuhan miokardium dan

membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat dan tidak

terjadi kelemahan yang dapat menimbulkan intoleransi aktivitas. Posisi

semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45 derajat yaitu

menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru

sehingga oksigen didalam paru-paru semakin meningkat dan mengurangi

tekanan abdomen pada diafragma sehingga memperingan kesukaran

bernapas (Supadi, 2008, p. 98). Pemberian terapi furosemid digunakan

untuk membuang cairan berlebih pada tubuh (edema) sehingga tidak

menghambat pasien dalam beraktivitas. Obat furosemid bekerja pada

glomerulus ginjal untuk mengahambat penyerapan kembali natrium oleh

tubulus. Furosemid akan meningkatkan pengeluaran air, natrium, klorida,

dan kalium tanpa mempengaruhi tekanan darah normal.

4. Pelaksanaan

Sesuai dengan rencana tindakan dan tujuan yang telah disusun,

pelaksanaan tindakan keperawatan dilaksanakan selama tiga hari dimulai

tanggal 1 Februari 2017 samapi 3 Februari 2017. Tahap ini penulis

bekerjasama dengan perawat ruangan dalam pelaksanaan rencana tindakan

keperawatan yang telah disusun.

Dalam pelaksanaannya, seluruh rencana keperawatan intoleransi

aktivitas pada Tn. S dengan gagal jantung kongestif telah dilakukan sesuai

dengan rencana yang telah dibuat. Menurut Muttqin (2008, p. 236) salah

satu intervensi yang perlu dilakukan pada pasien intoleransi aktivitas

karena gagal jantung yaitu rujuk ke program rehabilitasi jantung, namun

dalam kasus Tn. S hal itu dilakukan karena menurut dokter tambahan

oksigen lewat kanul atau masker oksigen sudah cukup membantu bagi

pasien. Dalam melaksanakan tindakan penulis menemukan adanya faktor

pendukung dalam pelaksanaan tindakan keperawatan yaitu respon pasien

dan keluarga yang kooperatif (bersedia melakukan) dalam setiap tindakan.

41

Pada pelaksanaan asuhan keperawatan di lapangan, latihan rentang

gerak tepat dilakukan pada Tn. S karena kondisinya dinilai masih mampu

melakukan pergerakan yang ringan. Semua intervensi pada dasarnya dapat

dilaksanakan karena keluarga dan pasien yang kooperatif saat dilakukan

tindakan keperawatan. Namun dalam pelaksanaannya terdapat

kesenjangan antara kasus riil dengan teori yaitu saat dilakukan tindakan

latihan rentang gerak pasif, pasien mengatakan selama dirawat tidak

dilakukan latihan rentang gerak oleh perawat ataupun petugas kesehatan

yang lain. Hal ini karena menurut perawat cukup sekali saja latihan

rentang gerak diajarkan kepada pasien dan keluarga. Keluarga pasien juga

tidak ikut berperan dalam membimbing pasien melakukan latihan rentang

gerak, keluarga mengatakan tidak melakukannya secara mendiri karena

lup. Menurut Tarwoto & Wartonah (2006, p. 89) menyatakan salah satu

tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktivitas

seperti berdiri, berjalan, dan bekerja. Pasien dengan gagal jantung

kongestif akan merasakan kelelahan dan kelemahan jika melakukan

aktivitas fisik, hal ini disebabkan karena kurangnya jumlah darah pada

otot-otot rangka. Latihan rentang gerak pasif diperlukan untuk mencegah

terjadinya kelemahan otot-otot rangka. Kelemahan otot-otot rangka dapat

meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik.

5. Evaluasi

Setelah melakukan tindakan keperawatan selama 3 hari, maka pada

hari ketiga tanggal 3 Februari 2017 pukul 18.00 WIB penulis melakukan

evaluasi akhir terhadap asuhan keperawatan yang telah diberikan dan

didapatkan catatan perkembangan pasien sebagai berikut: dari data

subjektif pasien mengatakan aktivitas dibantu oleh istrinya dan masih

sesak napas saat melakukan aktivitas. Dari data objektif pasien tampak

lemah, tampak penggunaan otot bantu pernapasan, kegiatan sehari-hari

masih dibantu oleh istrinya dan kekuatan otot 3.

42

Dari data yang diperoleh, masalah intoleransi aktivitas belum

teratasi karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah

direncanakan yaitu pasien masih belum bisa mencapai peningkatkan

aktivitas secara bertahap, kekuatan otot belum meningkat, dan tekanan

darah dan frekuensi pernapasan masih tinggi. Rencana selanjutnya adalah

observasi tanda vital, bimbing dan motivasi pasien melakukan rentang

gerak pasif serta lanjutkan advice dokter dalam pemberian terapi.

Mengingat Tn. S sangat kooperatif dalam pelaksanaan tindakan

keperawatan contohnya Tn. S selalu meminum obat secara rutin, dengan

kondisi pasien yang seperti ini seharusnya dalam waktu 3x 24 jam dapat

teratasi namun dalam kondisi riilnya terdapat kesenjangan karena pada

Tn.S sampai hari ketiga dilakukannya tindakan keperawatan, masalah

intoleransi aktivitas belum teratasi total karena sampai hari ketiga

dilakukannya perawatan, walaupun sudah mengalami peningkatan dalam

aktivitasnya tetapi pasien masih memerlukan bantuan orang lain untuk

memenuhi aktivitasnya dan pasien masih mengalami kelemahan dan

kelelahan saat beraktivitas. Setelah dilakukan pengkajian yang lebih dalam

kemungkinan besar hal ini terjadi karena ternyata pasien hanya melakukan

latihan rentang gerak hanya saat diajarkan oleh penulis. Padahal latihan

gerak setidaknya harus dilakukan dua kali sehari, itupun pada pasien yang

tirah baring lama (Wahit Iqbal, Mubarak, p. 253). Latihan rentang gerak

berfungsi mencegah terjadinya kelemahan otot-otot rangka. Kelemahan

otot-otot rangka dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik.

43

BAB V

SIMPULAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dan tujuan dari penulisan asuhan

keperawatan gagal jantung kongestif pada Tn. S di ruang Melati Rumah Sakit

Umum Daerah (RSUD) Batang, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai

berikut:

Asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada pasien gagal jantung

dengan intoleransi aktivitas meliputi pengkajian, perumusan masalah,

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi telah sesuai dengan konsep asuhan

keperawatan yang komprehensif. Pada proses pengkajian dilakukan

menggunakan format Gordon yang telah dilakukan dapat memberikan

gambaran secara menyeluruh teradap kondisi pasien dan permasalahan yang

terjadi. Perumusan masalah disusun berdasarkan data sujektif dan objektif

yang ditemukan. Pada perencanaan disusun mengacu pada masalah yang

dialami pasien dengan tujuan dan kriteria hasil sesuai dengan teori yang ada.

Pelaksanaan asuhan keperawatan dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang

telah penulis susun. Pelaksanaaan dilakukan menyesuaikan kondisi pasien

dan kondisi lingkungan ruang perawatan yang ada. Masalah intoleransi

aktivitas belum teratasi total karena sampai hari ketiga dilakukannya

perawatan, walaupun pasien sudah mengalami peningkatan dalam

aktivitasnya tetapi pasien masih memerlukan bantuan orang lain untuk

memenuhi aktivitasnya, kekuatan otot belum meningkat dan tanda-tanda vital

belum dalam batas normal. Hal ini berarti belum sesuai dengan tujuan dan

kriteria hasil yang telah disusun penulis.

Terdapat kesenjangan antara teori dan praktik pelaksanaan yaitu tidak

adanya tindakan perawat untuk mengajarkan latihan rentang gerak secara

bertahap, kebanyakan hanya dilakukan pemantauan tingkat aktivitas yang

dicapai oleh pasien.

44

B. Saran

Dalam memberikan asuhan keperawatan intoleransi aktivitas pada

pasien gagal jantung. Pada proses pengkajian sebaiknya tetap menggunakan

format pengkajian Gordon karena data-data yang muncul memudahkan dalam

perumusan masalah. Perencanaan yang baik harus disusun berdasarkan teori

yang ada sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan masalah. Pada

implementasi harus memperhatikan kodisi dan lingkungan pasien agar hasil

yang dicapai maksimal. Masalah intoleransi aktivitas dapat teratasi jika

adanya partisipasi yang baik antara perawat dan keluarga dalam membimbing

pasien melakukan latihan rentang gerak secara bertahap minimal dua kali

sehari dengan memperhatikan tanda-tanda vital dan tidak memperberat kerja

jantung.