Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks ...

11
Proceedings The 1 st UMYGrace 2020 (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference) 62 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Kebahagiaan Di Indonesia (Studi Kasus Indonesia Family Life Survey Tahun 2014) Rifka Putri Parasari 1 , Lilies Setiyartiti 2 1,2 Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia, 5518 ABSTRAK Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup setiap orang. Dengan adanya perkembangan mengenai alat pengukur kesejahteraan suatu negara yaitu subjective well- being (indeks kebahagiaan) yang melihat dari faktor sosial dan ekonomi menjadikan kebahagiaan individu sangat penting untuk diperhatikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan individu di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data cross-section yang diambil dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2014 dengan sampel sebanyak 13.271 responden. Dengan menggunakan model regresi logistik, model ini dipilih oleh penulis karena sampel yang digunakan merupakan skala dikotomi. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kebahagiaan dipengaruhi oleh status pernikahan, status kesehatan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan ketaatan beragama secara signifikan. Secara keseluruhan, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kata kunci: status pernikahan, status kesehatan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, ketaatan bergama. PENDAHULUAN Saat ini ilmu ekonomi telah mengalami berbagai tahapan evolusi yang menarik, salah satunya ditandai dengan mulainya ilmu ekonomi berpadu dengan disiplin ilmu lainnya. Dalam hal perpaduan, disiplin ilmu yang memiliki hubungan paling dekat dengan ilmu ekonomi ialah ilmu psikologi. Dimana ilmu psikologi dapat memperluas pandangan para ekonom mengenai perilaku manusia dalam kegiatan konsumsi, produksi, maupun distribusi (Putra dan Sudibia, 2013). Dengan lebih luasnya pandangan para ekonom, indikator kesejahteraan masyarakat yang selama ini digunakan dapat dikembangkan dengan menambahkan faktor-faktor non ekonomi. Kebahagiaan ekonomi (Economics of Happiness) ialah sebuah pendekatan yang dilakukan untuk mengukur kesejahteraan dengan cara menggabungkan teknik yang digunakan oleh seorang psikolog dan teknik yang digunakan oleh seorang ekonom (Graham, 2009). Ilmu ekonomi selama ini hanya menggunakan patokan Produk Domestik Bruto sebagai ukuran pencapaian kesejahteraan masyarakat suatu negara. Namun, GDP memiliki kelemahan dimana indikator tersebut mengabaikan adanya variasi kekayaan, jasa produksi rumah tangga, kerusakan lingkungan alam, kualitas relasi sosial, keamanan ekonomi dan keselamatan personal dan harapan hidup (Fleurbaey, 2009). “Gross Domestic Products (GDP) memiliki kelemahan diantaranya tidak diperhitungkannya biaya sosial, peningkatan pendapatan absolut sangat diperhatikan, mengabaikan distribusi pendapatan, tidak mengukur aktivitas di luar pasar atau transaksi informal, dan mengabaikan dampak aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup”, (Bergh, 2009). Selanjutnya pada tahun 2011, dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai digunakannya indeks kebahagiaan (happiness index) sebagai pengukur kesejahteraan suatu negara. Kebahagiaan merupakan tujuan akhir hidup bagi seseorang di seluruh dunia dan pada kenyataannya memang setiap manusia menginginkan rasa bahagia dalam hidupnya (Frey dalam Putra dan Sudibia, 2013). Dalam perspektif Islam, kesejahteraan atau kebahagiaan dapat tercapai apabila manusia melakukan seluruh kegiatannya sesuai dengan landasan hukum islam atau sesuai syariah. Hal yang berkaitan dengan kesejahteraan juga terdapat dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 dimana salah satu tujuan negara Indonesia pada alinea ke-empat yang berbunyi “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui program-program pembangunan yang merupakan tugas dan tanggung jawab negara dalam pencapaian kesejahteraan masyarakatnya, namun tidak hanya negara yang bertanggung jawab sepenuhnya tetapi juga tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan laporan World Happiness Report peringkat Indonesia dilihat dari indeks kebahagiaan diantara negara ASEAN lainnya terdapat pada Tabel 1.1. Tabel 1. 1. Rangking Negara di ASEAN dalam World Happiness Report Sumber: World Happiness Report 2019 Negara ASEAN Tahun 2018 Tahun 2019 Singapura 34 34 Thailand 46 52 Malaysia 35 80 Philipina 71 69 Indonesia 96 92 Vietnam 95 94

Transcript of Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks ...

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

62 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Kebahagiaan Di

Indonesia (Studi Kasus Indonesia Family Life Survey Tahun 2014)

Rifka Putri Parasari1, Lilies Setiyartiti2 1,2 Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia, 5518

ABSTRAK

Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup setiap

orang. Dengan adanya perkembangan mengenai alat

pengukur kesejahteraan suatu negara yaitu subjective well-

being (indeks kebahagiaan) yang melihat dari faktor sosial

dan ekonomi menjadikan kebahagiaan individu sangat

penting untuk diperhatikan. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

kebahagiaan individu di Indonesia. Data yang digunakan

dalam penelitian ini merupakan data cross-section yang

diambil dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun

2014 dengan sampel sebanyak 13.271 responden. Dengan

menggunakan model regresi logistik, model ini dipilih oleh

penulis karena sampel yang digunakan merupakan skala

dikotomi. Hasil penelitian menunjukkan tingkat

kebahagiaan dipengaruhi oleh status pernikahan, status

kesehatan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan

ketaatan beragama secara signifikan. Secara keseluruhan,

penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam membuat kebijakan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kata kunci: status pernikahan, status kesehatan, tingkat

pendidikan, status pekerjaan, ketaatan

bergama.

PENDAHULUAN

Saat ini ilmu ekonomi telah mengalami berbagai tahapan

evolusi yang menarik, salah satunya ditandai dengan

mulainya ilmu ekonomi berpadu dengan disiplin ilmu

lainnya. Dalam hal perpaduan, disiplin ilmu yang memiliki

hubungan paling dekat dengan ilmu ekonomi ialah ilmu

psikologi. Dimana ilmu psikologi dapat memperluas

pandangan para ekonom mengenai perilaku manusia dalam

kegiatan konsumsi, produksi, maupun distribusi (Putra dan

Sudibia, 2013). Dengan lebih luasnya pandangan para

ekonom, indikator kesejahteraan masyarakat yang selama

ini digunakan dapat dikembangkan dengan menambahkan

faktor-faktor non ekonomi. Kebahagiaan ekonomi

(Economics of Happiness) ialah sebuah pendekatan yang

dilakukan untuk mengukur kesejahteraan dengan cara

menggabungkan teknik yang digunakan oleh seorang

psikolog dan teknik yang digunakan oleh seorang ekonom

(Graham, 2009). Ilmu ekonomi selama ini hanya

menggunakan patokan Produk Domestik Bruto sebagai

ukuran pencapaian kesejahteraan masyarakat suatu negara.

Namun, GDP memiliki kelemahan dimana indikator

tersebut mengabaikan adanya variasi kekayaan, jasa

produksi rumah tangga, kerusakan lingkungan alam,

kualitas relasi sosial, keamanan ekonomi dan keselamatan

personal dan harapan hidup (Fleurbaey, 2009). “Gross

Domestic Products (GDP) memiliki kelemahan diantaranya

tidak diperhitungkannya biaya sosial, peningkatan

pendapatan absolut sangat diperhatikan, mengabaikan

distribusi pendapatan, tidak mengukur aktivitas di luar

pasar atau transaksi informal, dan mengabaikan dampak

aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup”, (Bergh,

2009).

Selanjutnya pada tahun 2011, dalam Sidang Umum

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai digunakannya

indeks kebahagiaan (happiness index) sebagai pengukur

kesejahteraan suatu negara. Kebahagiaan merupakan tujuan

akhir hidup bagi seseorang di seluruh dunia dan pada

kenyataannya memang setiap manusia menginginkan rasa

bahagia dalam hidupnya (Frey dalam Putra dan Sudibia,

2013). Dalam perspektif Islam, kesejahteraan atau

kebahagiaan dapat tercapai apabila manusia melakukan

seluruh kegiatannya sesuai dengan landasan hukum islam

atau sesuai syariah. Hal yang berkaitan dengan

kesejahteraan juga terdapat dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 dimana salah satu tujuan negara

Indonesia pada alinea ke-empat yang berbunyi

“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum…”. Berbagai upaya dilakukan oleh

pemerintah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

melalui program-program pembangunan yang merupakan

tugas dan tanggung jawab negara dalam pencapaian

kesejahteraan masyarakatnya, namun tidak hanya negara

yang bertanggung jawab sepenuhnya tetapi juga tanggung

jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Berdasarkan laporan World Happiness Report peringkat

Indonesia dilihat dari indeks kebahagiaan diantara negara

ASEAN lainnya terdapat pada Tabel 1.1.

Tabel 1. 1. Rangking Negara di ASEAN dalam World Happiness

Report

Sumber: World Happiness Report 2019

Negara ASEAN Tahun 2018 Tahun 2019

Singapura 34 34

Thailand 46 52

Malaysia 35 80

Philipina 71 69

Indonesia 96 92

Vietnam 95 94

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

63 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

Berdasarkan Tabel 1.1 diatas, pada regional ASEAN dapat

dilihat bahwa Singapura merupakan negara yang berada

pada peringkat teratas kemudian diikuti oleh negara

Thailand, Malaysia, Philipina, Indonesia, dan Vietnam.

Adapun peringkat Indonesia dari keseluruhan negara-

negara di dunia pada tahun 2018 yaitu peringkat ke-96 dari

156 negara, sedangkan pada tahun 2019 Indonesia

menempati peringkat ke-92 dari 156 negara. Hal tersebut

menunjukkan adanya peningkatan indeks kebahagiaan

berdasarkan pada beberapa penilaian antara lain Gross

Domestic Products per kapita, harapan hidup sehat,

generosity, kebebasan dalam membuat pilihan hidup,

dukungan sosial, dan persepsi korupsi.

Sementara itu, di Indonesia sendiri sejak tahun 2012 lalu

sudah mulai melakukan pengukuran indeks kebahagiaan

yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui

metode survei. Adapun indeks indikator penyusun indeks

kebahagiaan dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1. 2. Indikator Penyusun Indeks Kebahagiaan Indonesia

Indikator Penyusun Tahun 2014 Tahun 2017

Pendapatan Rumah

Tangga

63,09 62,99

Kondisi Rumah dan Aset 65,01 69,28

Pekerjaan 67,08 67,15

Pendidikan 58,28 59,90

Kesehatan 69,72 71,12

Ketersediaan Waktu

Luang

71,74 72,08

Hubungan Sosial 74,29 75,45

Keharmonisan Keluarga 78,89 80,05

Kondisi Keamanan 76,63 77,15

Keadaan Lingkungan 74,86 76,09

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Berdasarkan Tabel 1.2 dapat disimpulkan bahwa rata-rata

dari kesepuluh indikator penyusun indeks kebahagiaan

menunjukkan secara umum masyarakat Indonesia pada

tahun 2014 maupun tahun 2017 sudah merasa bahagia. Hal

ini menunjukkan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan

di Indonesia tidak hanya pendapatan saja, tetapi faktor

sosial juga ikut mempengaruhi.

Studi tentang kebahagiaan di Indonesia sendiri masih perlu

dilakukan, beberapa penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak hanya dipengaruhi

oleh pendapatan secara absolut. Untuk itu, penelitian ini

berfokus pada faktor non-ekonomi seperti status

pernikahan, status kesehatan, tingkat pendidikan, status

pekerjaan, dan ketaatan beragama. Dengan meneliti faktor

yang mempengaruhi indeks kebahagiaan di Indonesia dapat

dijadikan acuan dalam membuat kebijakan dalam

meningkatkan kesejahteraan di Indonesia.

Sub-Bab 2: Rumusan Masalah

(1) Bagaimana pengaruh variabel status pernikahan

terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?

(2) Bagaimana pengaruh variabel status kesehatan

terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?

(3) Bagaimana pengaruh variabel tingkat pendidikan

terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?

(4) Bagaimana pengaruh variabel status pekerjaan

terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?

(5) Bagaimana pengaruh variabel ketaatan beragama

terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?

Sub-Bab 3: Tujuan Penelitian

(1) Untuk mengetahui pengaruh variabel status

pernikahan terhadap indeks kebahagiaan di

Indonesia tahun 2014

(2) Untuk mengetahui pengaruh variabel kesehatan

terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun

2014

(3) Untuk mengetahui pengaruh variabel pendidikan

terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun

2014

(4) Untuk mengetahui pengaruh variabel status

pekerjaan terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia

tahun 2014

(5) Untuk mengetahui pengaruh variabel ketaatan

beragama terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia

tahun 2014

KAJIAN LITERATUR

Penelitian Terdahulu

Bagian ini memuat hasil penelitian terdahulu yang berkaitan

dengan subjective well-being baik di Indonesia maupun luar

negeri dengan beberapa kesamaan variabel yang digunakan

dalam penelitian ini dengan hasil sebagai berikut:

Aryogi & Wulansari (2016) dan Nuqul &

Mauliawati (2018), dengan menggunakan status pernikahan

sebagai salah satu variabel independen yang digunakan

dalam penelitiannya didapatkan bahwa terdapat perbedaan

hasil penelitian dari kedua penelitian tersebut. Dalam

penelitian Aryogi & Wulansari dengan menggunakan

metode regresi logit dan probit dan menggunakan beberapa

variabel lain seperti pendapatan, status pekerjaan, tingkat

pendidikan, dan inflasi, ketimpangan, & kebijakan

pemerintah medapatkan hasil bahwa secara stimulan,

seluruh variabel independen berpengaruh signifikan

terhadap variabel dependennya. Secara parsial, status

pernikahan berpengaruh signifikan positif terhadap

kebahagiaan yang berarti bahwa seseorang yang telah

menikah kemungkinan untuk bahagia lebih besar dibanding

dengan seseorang yang belum menikah atau pernah

menikah. Dalam penelitian yang dilakukan Nuqul dan

Mauliawati (2018) dengan menggunakan metode analisis

deskripsi dan analisis koverian dan menggunakan variabel

status pernikahan dan kebermaknaan hidup mendapatkan

hasil bahwa secara simultan, status pernikahan dan

kebermaknaan hidup berpengaruh terhadap kebahagiaan.

Secara parsial, hanya kebermaknaan hidup yang

berpengaruh terhadap kebahagiaan, sedangkan status

pernikahan tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan

seseorang. Hal ini kemungkinan dikarenakan subyek yang

digunakan dalam penelitian ini kebanyakan mahasiswi

dengan usia pernikahan yang belum lama. Rahayu (2016)

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

64 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

dalam penelitiannya yang menggunakan metode regresi

oprobit menyatakan bahwa semakin seseorang merasa sehat

semakin besar kebahagiaanya, adapun unsur kesehatan

yang paling berpengaruh ialah kesehatan yang

dibandingkan dengan orang lain yang memiliki usia sama.

Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Putra dan

Sudibia (2019) dengan menggunakan metode analisis

deskriptif yang menyatakan bahwa faktor mental dan

kesehatan psikologis berpengaruh pada fungsi fisik serta

memiliki fungsi positif terhadap kesehatan secara fisik,

diasumsikan kebahagiaan itu kondusif untuk kesehatan

fisik.

Cuñado dan de Gracia (2012) melakukan

penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan dan

kebahagiaan di Spanyol dengan menggunakan metode

Ordinal Logit Models. Dari penelitian tersebut didapatkan

hasil bahwa pertama, tingkat pendidikan seseorang

berpengaruh positif signifikan terhdap kebahagiaannya.

Kedua, terdapat efek langsung dan tidak langsung pada

pendapatan dan status pekerjaan yaitu dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi maka lebih tinggi pendapatan

seseorang dan lebih tinggi pula kemungkinan ia akan

dipekerjakan sehingga lebih tinggi kebahagiaan seseorang.

Selanjutnya, terdapat efek positif langsung yang didapatkan

jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi

yaitu self-confidence atau self-estimation dari pengetahuan

yang ia miliki. Hasil penelitian lain oleh Hidayat,

Purwandari dan Bachrudin (2016) yang dilakukan di

Bandung dengan menggunakan model Hybrid mendapatkan

hasil bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka

semakin tinggi pula indeks kebahagiaan. Penduduk yang

tamat SD/MI mempunyai indeks kebahagiaan paling rendah

(67,80), sementara indeks kebahagiaan tertinggi dimiliki

oleh penduduk dengan tingkat pendidikan S2 atau S3

(77,45).

Hasil penelitian Abdel-Khalek dan Korayem

(2018) yang dilakukan di beberapa negara seperti Algeria,

Egypt, Lebanon, Kuwait, Qatar, Oman, Inggris, dan

Amerika dengan menggunakan analisis data menunjukkan

bahwa terdapat korelasi negatif antara status pekerjaan

dengan kebahagiaan seseorang. Hasil tersebut sejalan

dengan penelitian Winkelmann (2008) yang menyatakan

bahwa tidak terdapat pengaruh antara pengangguran dengan

kebahagiaan seseorang. Berbeda dengan hasil penelitian

yang dilakukan Soujanen (2012) menunjukkan bahwa

seseorang lebih bahagia ketika mereka beranggapan

pekerjaan itu penting, tetapi tidak melihatnya sebagai

sumber utama makna dan aktualisasi diri dalam kehidupan.

Aghili dan Kumar (2008) dalam penelitiannya

memperoleh hasil bahwa secara signifikan sikap religius

seorang karyawan berpengaruh terhadap kebahagiaannya.

Kebahagiaan memiliki korelasi dengan kehidupan masa

depan dan spirits, sedangkan spiritual tidak memiliki

korelasi dengan agama formal. Dalam kasus karyawan pria,

korelasi antara sikap religius dan kebahagiaan sangat

signifikan. Untuk karyawan wanita, korelasi antara sikap

religius dan kebahagiaan juga signifikan. Kebahagiaan

sangat berkorelasi dengan kehidupan masa depan dan dunia

spiritual, tetapi kurang berkorelasi dengan agama formal.

Peneliti menyadari bahwa Indonesia memiliki

berbagai macam suku, budaya, ras, dan juga agama,

sehingga peneliti menggunakan salah satu keragaman

tersebut sebagai variabel pembeda dari penelitian-penelitian

sebelumnya yang dilakukan di Indonesia. Variabel ketaatan

beragama dipilih sebagai salah satu variabel karena

masyarakat Indonesia sendiri menganut agama yang

berbeda-beda yang tersebar di seluruh Indonesia. Agama

memiliki peran penting bagi kehidupan bermasyarakat di

Indonesia, dimana hal ini tertuang dalam ideologi bangsa

Indonesia yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam

Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, di

Indonesia agama yang secara resmi diakui oleh negara

hanya 6 agama yaitu islam, protestan, katolik, hindu, budha,

dan khonghucu. Seperti yang tertuang dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1998 Pasal 1 tentang arti dari

kesejahteraan, kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan

dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang

diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir

batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk

mengadakan pemenuhan jasmani, rohani, dan sosial yang

sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai

dengan Pancasila. Untuk mewujudkan kesejahteraan di

Indonesia, ketaatan beragama memiliki peran penting

dalam bermasyarakat. Dengan keanekaragaman agama di

Indonesia, masyarakat Indonesia harus memiliki rasa

toleransi yang tinggi hal ini tentu dapat terwujud salah

satunya dengan adanya ketaatan yang dimiliki oleh masing-

masing penganut agama maka mereka akan mencoba

mengamalkan atau mentaati ajaran agama masing-masing,

dimana pada setiap agama mengajarkanumatnya untuk

memiliki rasa toleransi terhadap agama lain dan

mengajarkan kerukunan antar umat. Hal ini yang

menjadikan Indonesia selalu damai dan tidak terjadi perang

saudara karena perbedaan agama seperti di beberapa negara

saat ini.

Dengan demikian ketaatan beragama memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kebahagiaan seseorang.

Seperti penjelasan diatas kebahagiaan atau kesejahteraan

tidak hanya secara material saja, namun juga dalam hal

spiritual. Tidak hanya pemenuhan secara jasmani, akan

tetapi pemenuhan secara rohani juga sangat diperlukan.

Pemenuhan secara rohani dilakukan dengan cara

mendekatkan diri pada Tuhan agar tercapainya ketentraman

secara lahir dan batinnya. Seseorang yang memiliki tingkat

religiusitas yang tinggi akan memaknai setiap kejadian atau

peristiwa dalam hidupnya secara positif, dengan begitu

orang tersebut dapat merasakan kesejahteraan dalam

hidupnya. Seseorang akan selalu bersyukur dengan apa

yang ia miliki, tidak pernah membandingkan kehidupannya

dengan kehidupan orang lain, dan menyadari bahwa apa

yang dimilikinya hanya bersifat sementara serta semua yang

ia miliki harus dipertanggungjawabkan nantinya. Dengan

begitu, seseorang yang taat beragama akan selalu berusaha

untuk mengamalkan apa yang diajarkan dalam agamanya.

Semakin tinggi ketaatan beragama seseorang, maka

semakin tinggi pula kebahagiaan seseorang.

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

65 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

Tinjauan Pustaka

Subjective Well-Being (SWB)

Definisi kebahagiaan sendiri sebenarnya tidak mempunyai

definisi yang berlaku secara umum. Menurut sosiologi,

kebahagiaan memiliki kesamaan dengan life satisfaction

(Veenhoven dalam Rahayu, 2016). Dalam Veenhoven

dinyatakan definisi kebahagiaan sebagai “over all

appreciation of one’s life as a whole”. Hal tersebut sejalan

dengan pengertian kebahagiaan yaitu “the sum of pleasure

and pains” yang dituliskan oleh Jeremy Bentham. Dalam

hal ini kebahagiaan memiliki kesamaan makna dengan

makna life satisfaction dan subjective well-being. Terdapat

dua komponen kebahagiaan yang disebutkan oleh

Veenhoven antara lain afektif dan kognitif. Definisi dari

Life satisfaction adalah tingkat seseorang dalam melakukan

penilaian terhadap keseluruhan kualitas hidupnya sebagai

sesuatu yang bersifat positif atau menyenangkan bagi

dirinya. Jika dalam sosiologi kebahagiaan disamakan

dengan life satisfaction, hal ini bertolak belakang dengan

ilmu psikologi dimana kebahagiaan berbeda dengan life

satisfaction. Ilmu psikologi menjelaskan konsep subjective

well-being sebagai suatu keadaan well-being secara umum

dalam jangka waktu yang panjang dan meliputi komponen

afektif dan kognitif. Kata Subjective well-being mempunyai

kesamaan makna (sinonim) dengan being happy, sedangkan

kata happiness mempunyai kesamaan makna (sinonim)

dengan feeling happy. Menurut Kahneman (1999), well-

being terdiri dari pleasure atau happiness. Terdapat dua

pengertian tentang kesejahteraan psikologis atau

kebahagiaan yang dibedakan dalam ilmu psikologi, yang

pertama pengertian ini didasarkan pada pendapat yang

dinyatakan oleh Badburn (Mayasari, 2014) psychological

well-being merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai

atau diraih oleh setiap manusia dalam hidupnya.

Selanjutnya dijelaskan oleh Badburn bahwa kebahagiaan

terjadinya keseimbangan antara perasaan (afek) positif

dengan perasaan (afek) negatif. Kedua, pengertian

kebahagiaan berasal dari pembuatan alat ukur Life

Satisfaction Index yang digunakan sebagai alat pembeda

kesuksesan bagi individu yang lanjut usia antara yang

sukses dalam kehidupannya dan yang tidak mengalami

kesuksesan dalam kehidupannya oleh Havighrust,

Neugarten, dan Tobin (Mayasari, 2014). Dalam hal ini

kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai kepuasaan

hidup (life satisfaction). Dari kedua pengertian tentang

kesejahteraan psikologis tersebut, secara umum dapat

dinamakan dengan subjective well-being (SWB) yang

dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai

kesejahteraan subyektif.

Banyak ilmuwan muslim juga mendefinisikan

makna kebahagiaan, baik ilmuwan klasik hingga ilmuwan

masa kini. Salah satunya Ibnu Miskawaih, beliau

mendefinisikan kebahagiaan berdasarkan dua bentuk yaitu

pertama, kebahagiaan badan (materi) yang berada pada

tataran yang rendah dan tidak abadi atau bersifat sementara

dan kedua, kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan materi dapat

juga diartikan kebahagiaan duniawi yang hanya bersifat

sementara yang dapat mengandung penyesalan, kepedihan,

dan menghambat perkembangan jiwa kepada Allah.

Sedangkan, kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan

sempurna yang mengantar manusia menuju derajat

malaikat. Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan (al-sa’adah)

tidak akan dicapai manusia secara tiba-tiba atau apa adanya

(taken for granted). Diperlukan cara-cara agar manusia

mampu mencapai kebahagiaan hakiki yang menjadi

tujuannya, kebahagiaan hakiki disini merupakan

kebahagiaan akhirat sedangkan kebahagiaan perlambang

atau majazi yaitu kebahagiaan di dunia. Selain itu, Ibnu

Khaldun juga mendefinisikan kebahagiaan ialah tunduk dan

patuh mengikuti garis-garis ketentuan agama Allah dan

perikemanusiaan. Dapat dimaknai bahwa ketika seseorang

mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya

maka Tuhan Yang Maha Mengetahui yang pengetahuan-

Nya meliputi semua hal niscaya yang paling tahu dengan

kebaikan dan kebahagiaan untuk makhluk-Nya (Munawir,

2014).

Status Pernikahan

Pernikahan merupakan salah satu pediktor lingkungan yang

memiliki pengaruh kuat terhadap kebahagiaan (Bailey et al.

dalam Nuqul dan Mauliawati, 2018). Seseorang yang sudah

menikah cenderung lebih bahagia daripada seseorang yang

belum menikah. Secara psikologis seseorang yang telah

menikah cenderung hidup lebih lama dan lebih sehat

dibanding yang belum atau tidak menikah (Doblhammer et

al., 2009) sehingga seseorang yang telah menikah memiliki

tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi daripada orang yang

belum atau tidak menikah, hal ini dikarenakan individu

yang sudah menikah cenderung mendapat dukungan sosial

yang lebih.

Status Kesehatan

Menurut WHO (1947) definisi kesehatan secara luas tidak

hanya aspek medis saja, tetapi juga aspek mental dan sosial,

dan tidak hanya keadaan yang terbebas dari penyakit, cacat,

dan kelemahan. Sedangkan, menurut UU Kesehatan No. 23

Tahun 1992 kesehatan didefinisikan sebagai keadaan

sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan

setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Dengan demikian, upaya kesehatan lebih diarahkan agar

masyarakat mencapai kesehatan yang cukup agar hidupnya

lebih produktif. Persepsi seseorang mengenai sehat dan

merasa sehat sangat bervariasi yang terbentuk dari

pengalaman, nilai dan harapan-harapan, serta pengetahuan.

Kesehatan obyektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan

kebahagiaan, yang penting adalah persepsi subyektif

seseorang terhadap seberapa sehat diri seseorang tersebut.

Persepsi tersebut yang akan mempengaruhi kebahagiaan

seseorang.

Tingkat Pendidikan

Pendidikan memiliki peran sebagai wadah untuk

meningkatkan kemampuan seseorang dalam segala aspek.

Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi

produktivitas seseorang. Dilihat dari segi ekonomi, semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin baik pula

pekerjaan dan pendapatannya. Hal ini sejalan dengan

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

66 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

pernyataan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan

membuka peluang yang lebih besar pula untuk menjalin

relasi yang lebih luas, sehingga membuka peluang kerja

yang lebih baik dan luas (Chen dalam Rahayu, 2016).

Pada umumnya hubungan antara tingkat

pendidikan dan kebahagiaan individu tidak dapat dilihat

secara langsung. Hal ini juga dinyatakan oleh Michalos

(2008) bahwa untuk melihat hubungan antara pendidikan

dengan kebahagiaan tidak dapat dilakukan secara langsung

namun tergantung pada definisi dan operasionalisasi

pendidikan, pengaruh dan kebahagiaan. Chen (2012)

mendapatkan bukti empiris bahwa pendidikan yang

dikombinasikan dengan kemampuan menjalin hubungan

yang lebih luas akan berdampak positif terhadap well-being.

Cuñado dan de Gracia (2012) menyatakan adanya dampak

langsung dan tidak langsung antara pendidikan terhadap

kebahagiaan. Dampak langsung dari hubungan antara

pendidikan dan kebahagiaan ialah meningkatkan rasa

kepercayaan diri dan kebanggaan serta rasa senang

seseorang karena mendapatkan tambahan pengetahuan.

Dampak tidak langsung hubungan antara pendidikan

dengan kebahagiaan ialah adanya peluang akan kesempatan

kerja yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebih baik, gaji yang

diharapkan lebih tinggi dan kesehatan yang lebih baik.

Status Pekerjaan

Pekerjaan sebagai salah satu domain dalam hidup untuk

dapat mencapai kebahagiaan. Pekerjaan merupakan hal

yang penting bagi kehidupan seseorang, bekerja juga

merupakan salah satu tugas perkembangan masa dewasa

yang harus dipenuhi (Putri dalam Wulandari dan

Widyastuti, 2014). Dengan bekerja seseorang dapat

memenuhi kebutuhannya mulai dari sandang, papan, dan

juga pangan. Pekerjaan tidak hanya menjadi alat untuk

memperoleh pendapatan (uang) tetapi juga menjadi isyarat

bahwa seseorang dihargai dan dibutuhkan orang lain, serta

meyakinkan bahwa individu tersebut mampu melakukan

suatu hal sehingga pekerjaan memberikan makna lain pada

kehidupan seseorang (Wulandari dan Widyastuti, 2014).

Menurut Lopez dan Synder (2007) terdapat tiga konsep

kerja yaitu pertama, pekerjaan yang berfokus pada masalah

keuangan sehingga memandang pekerjaan sebagai

keuntungan yang diperoleh dari provider untuk kebutuhan

keluarga. Kedua, pekerjaan merupakan suatu karir dengan

cara memfasilitasi motivasi berprestasi, menstimulasi

kebutuhan untuk berkompetisi, atau meningkatkan harga

diri dan kepuasan. Ketiga, pekerjaan merupakan suatu

panggilan hati yang bersumber dari kebermaknaan pribadi

yang berasal dari keyakinan individu melakukan tujuan

sosial yang bermanfaat sebagai bentuk pengembangan diri

ke arah yang lebih baik.

Ketaatan Beragama

Menurut Mayasari (2014) ada hubungan yang signifikan

antara religiusitas dengan psychological well being. Hal ini

menandakan jika semakin tinggi religiusitas seseorang

maka akan meningkatkan kesejahteraan psikologis

seseorang tersebut. Seseorang yang mempunyai rasa

keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa

kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian,

memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup,

dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup,

maka ia dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup

yang baik. Dimensi ini sangat berkaitan erat dengan

transendensi dimana segala persoalan hidup diarahkan

kepada Tuhan dan individu yang memiliki tingkat

religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian

hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih

bermakna.

Al-Ghazali lebih menekankan bahwa esensi

kebahagiaan hanya terletak pada jiwa, puncak kebahagiaan

seorang manusia ialah kebahagiaan jiwa yang bisa

diperoleh dengan cara pengenalan terhadap diri sendiri,

Allah, dunia, dan akhirat. Manusia dianggap berbahagia

jika mampu mengenali empat hal tersebut. Dari keempat

pengenalan tersebut diketahui bahwa puncak kebahagiaan

seseorang ialah ketika seseorang mampu mengenal

Tuhannya (ma’rifatullah). Dengan seseorang lebih

mengenal Tuhannya, maka seseorang tersebut seakan tidak

lagi membutuhkan apapun di dunia, karena kebahagiaan

jiwanya telah tercukupi dengan kedekatannya dengan Yang

Maha Kuasa (Sofia dan Sari, 2018). Menurut Al-Ghazali,

kebahagiaan (al-sa’adah) tidak akan dicapai manusia

secara tiba-tiba atau apa adanya (taken for granted).

Dibutuhkan cara atau usaha agar manusia mampu mencapai

kebahagiaan hakiki yang menjadi tujuannya. Cara yang

dapat ditempuh seseorang dalam mencapai kebahagiaan

dapat melalui usaha lahiriyah dan bathiniyah, usaha

lahiriyah yang dimaksukan ialah kebahagiaan yang dicapai

dengan pengindraan atau dengan memanfaatkan anggota

badan seperti mulut untuk membaca dzikir, telinga untuk

mendengarkan ayat al-quran, dan hal-hal baik lainnya yang

memanfaatkan anggota badan. Sedangkan usaha

bathiniyah, usaha untuk mencapai kebahagiaan melalui

batin seperti sholat dan membaca al-quran untuk

menenangkan jiwa. Hal tersebut menjelaskan bahwa

seseorang yang memiliki ketaatan beragama dan senantiasa

bertakwa kepada Sang Pencipta akan selalu merasa cukup

dan bersyukur terhadap apapun keadaan hidupnya, karena

ia percaya bahwa itu yang terbaik untuk hidupnya menurut

Tuhannya sehingga ia akan menjalaninya dengan ikhlas dan

senantiasa akan menjadikannya lebih tenang dan bahagia

dalam menjalani kehidupan setiap harinya.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data Indonesia

Family Live Survey (IFLS-5) Tahun 2014 dari Survei Aspek

Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI).

Penelitian ini merupakan penelitian cross-section dari 24

provinsi di Indonesia termasuk provinsi Sumatra Barat,

Jambi, Lampung, seluruh provinsi di Jawa, Bali, Nusa

Tenggara Barat (NTB), Riau, Bangka Belitung, seluruh

provinsi di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi

Barat. Dari 50.000 responden Indonesia Family Live Survey

(IFLS-5), penelitian ini menggunakan 13.271 responden

yang terdiri dari pasangan kepala rumah tangga atau wanita

kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga lain yang

berumur 15 tahun atau lebih yang dapat memberikan

informasi.

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

67 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

Dalam penelitian ini menggunakan analisis

statistika deskriptif berdasarkan uji model logistik dan

marginal effect untuk melihat pengaruh antar variabel.

Li = ln (𝑃𝑖

1−𝑃𝑖) = β0 + β1x1i + β2x2i + β3x3i + β4x4i +

β5x5i + µi

Berdasarkan persamaan diatas, Li = Logit Y; β0 =

intercept; X1 = Status Pernikahan; X2 = Status Kesehatan;

X3 = Tingkat Pendidikan; X4 = Status Pekerjaan; X5 =

Ketaatan Beragama; μ = Errorterm; β1234 = Slope. Berikut

deskripsi variabel yang digunakan dalam penelitian ini:

Tabel 2.1. Deskripsi Variabel

Variabel Deskripsi

Kebahagiaan

Individu

0 = Tidak Bahagia

1 = Bahagia

Status Pernikahan 0 = Tidak Menikah (Belum menikah, Pisah,

Cerai hidup, Cerai mati, dan Kohabitasi)

1 = Menikah (Menikah formal melalui Catatan

Sipil/KUA, Menikah formal menurut hukum

agama, Menikah formal menurut hukum adat)

Status Kesehatan 0 = Tidak Sehat

1 = Sehat

Tingkat

Pendidikan

0 = Tidak Sekolah

1 = SD dan Sederajat

2 = SMP dan Sederajat

3 = SMA dan Sederajat

4 = Diploma/S1/Universitas Terbuka

5 = S2/S3

Status Pekerjaan 0 = Tidak Bekerja (Tinggal

dirumah/Menganggur, Mencari pekerjaan)

1 = Bekerja (Bekerja/ Membantu

mendapatkan penghasilan)

Ketaatan

Beragama

0 = Tidak Taat

1 = Taat

Tabel dibawah menunjukkan jumlah individu dan

persentase status pernikahan terhadap kebahagiaan

individu.

Tabel 2.2. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Status

Pernikahan

Status

Kebahagiaan

Status Pernikahan Total

Tidak

Menikah

Menikah

Tidak Bahagia 548 578 1.126

(4,13) (4,35) (8,48)

Bahagia 3.829 8.316 12.145

(28,85) (62,67) (91,52)

Total 4.377 8.894 13.271

(32,98) (67,02) (100)

Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)

Sumber: Penulis (2020).

Tabel 2.2. menjelaskan deskripsi kebahagiaan individu

berdasarkan status pernikahan, sampel yang digunakan

dalam penelitian ini berjumlah 13.271 responden atau

individu dalam rumah tangga IFLS-5 tahun 2014 yang

terdiri dari 8.894 individu atau 67,02% berstatus menikah

dan 4.377 individu atau 32,98% berstatus tidak atau belum

menikah (belum menikah, pisah, cerai hidup, cerai mati,

dan kohabitasi). Data diatas menunjukkan bahwa sebanyak

8.316 atau 62,67% individu dengan status menikah merasa

bahagia, sedangkan sebanyak 578 atau 4,35% individu

dengan status menikah merasa tidak bahagia. Sementara itu,

sebanyak 3.829 atau 28,85% individu dengan status tidak

menikah merasa bahagia dan sebanyak 548 atau 4,13%

individu dengan status tidak menikah merasa tidak bahagia.

Data yang disajikan pada tabel dibawah

menunjukkan jumlah individu dan persentase status

kesehatan terhadap kebahagiaan individu.

Tabel 2.3. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Status Kesehatan

Status

Kebahagiaan

Status Kesehatan Total

Tidak Sehat Sehat

Tidak

Bahagia

441 685 1.126

(3,32) (5,16) (8,48)

Bahagia 2.087 10.058 12.145

(15,73) (75,79) (91,52)

Total 2.528 10.743 13.271

(19,05) (80,95) (100)

Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)

Sumber: Penulis (2020).

Tabel 2.3. menjelaskan deskripsi kebahagiaan individu

berdasarkan status kesehatan yang responden rasakan,

sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah

13.271 responden atau individu dalam rumah tangga IFLS-

5 tahun 2014 yang terdiri dari 10.743 individu atau 80,95%

merasa sehat dan 2.528 individu atau 19,05% merasa tidak

sehat. Data diatas menunjukkan bahwa 10.058 atau 75,79%

individu yang merasa dirinya sehat dan bahagia, sedangkan

sebanyak 685 atau 5,16% individu yang merasa dirinya

sehat tetapi tidak bahagia. Sementara itu, ada 2.087 atau

15,73% individu yang merasa dirinya tidak sehat dan

merasa bahagia dan ada 441 atau 3,32% individu yang

merasa dirinya tidak sehat dan merasa tidak bahagia.

Data yang disajikan pada tabel dibawah

menunjukkan jumlah individu dan persentase tingkat

pendidikan terhadap kebahagiaan individu.

Tabel 2.4. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Tingkat

Pendidikan Status

Kebahagia

an

Tingkat Pendidikan Total

Tidak

Sekol

ah

SD SMP SMA S1 S2/S

3

Tidak

Bahagia

75 477 217 280 74 3 1.126

(0,57) (3,59) (1,63) (2,11) (0,56) (0,0

2)

(8,48)

Bahagia 280 2.959 2.362 4.305 2.131 108 12.14

5

(2,11) (22,3

0)

(17,8

0)

(32,4

4)

(16,0

6)

(0,8

1)

(91,52

)

Total 355 3.436 2.579 4.585 2.205 111 13.27

1

(2,68) (25,8

9)

(19,4

3)

(34,5

5)

(16,6

2)

(0,8

3)

(100)

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

68 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)

Sumber: Penulis (2020).

Tabel 2.4. menjelaskan deskripsi kebahagiaan berdasarkan

tingkat pendidikan responden, sampel yang digunakan

dalam penelitian ini berjumlah 13.271 individu meliputi

355 individu atau 2,68% tidak bersekolah, 3.436 individu

atau 25,89% dengan tingkat pendidikan SD Sederajat, 2.579

individu atau 19,43% dengan tingkat pendidikan SMP

Sederajat, 4.585 individu atau 34,55% dengan tingkat

pendidikan SMA Sederajat, 2.205 individu atau 16,62%

dengan tingkat pendidikan S1/Diploma/Universitas

Terbuka, dan 111 individu atau 0,83% dengan tingkat

pendidikan S2/S3. Dari data diatas dapat dijelaskan bahwa

individu dengan status tidak bersekolah dan merasa bahagia

sebanyak 280 individu atau 2,11%, sedangkan individu

dengan status tidak bersekolah dan merasa tidak bahagia

sebanyak 75 individu atau 0,57%. Selanjutnya, individu

dengan tingkat pendidikan SD Sederajat dan merasa

bahagia sebanyak 2.959 individu atau 22,30%, sedangkan

individu dengan tingkat pendidikan SD Sederajat dan

merasa tidak bahagia hanya 477 individu atau 3,59%.

Individu dengan tingkat pendidikan SMP Sederajat dan

merasa bahagia sebanyak 2.362 individu atau 17,80%,

sedangkan individu dengan tingkat pendidikan SMP

Sederajat dan merasa tidak bahagia hanya 217 individu atau

1,63%. Selanjutnya, individu dengan tingkat pendidikan

SMA Sederajat dan merasa bahagia ada sebanyak 4.305

individu atau 32,44%, sedangkan individu dengan tingkat

pendidikan SMA Sederajat dan merasa tidak bahagia hanya

280 individu atau 2,11%. Individu dengan tingkat

pendidikan S1/Diploma/Universitas Terbuka dan merasa

bahagia ada 2.131 individu atau 16,62%, sedangkan

Individu dengan tingkat pendidikan

S1/Diploma/Universitas Terbuka dan merasa tidak bahagia

hanya 74 individu atau 0,56%. Individu dengan tingkat

pendidikan S2/S3 dan merasa bahagia sebanyak 108

individu atau 0,81%, sedangkan individu dengan tingkat

pendidikan S2/S3 dan merasa tidak bahagia hanya 3

individu atau 0,02%.

Data yang disajikan pada tabel dibawah

menunjukkan jumlah individu dan persentase status

pekerjaan terhadap kebahagiaan individu.

Tabel 2.5. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Status Pekerjaan

Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)

Sumber: Penulis (2020).

Tabel 2.5. menunjukkan deskripsi kebahagiaan berdasarkan

status pekerjaan dari responden dengan jumlah responden

mencapai 13.271 individu yang terdiri dari 12.074 individu

atau 90,98% dengan status bekerja dan 1.197 individu atau

9,02% dengan status tidak bekerja. Dari data diatas dapat

dijelaskan individu dengan status bekerja dan merasa

bahagia ada sebanyak 11.101 individu atau 83,65%,

sedangkan individu dengan status bekerja dan merasa tidak

bahagia ada 973 individu atau 7,33%. Selanjutnya, individu

dengan status tidak bekerja dan merasa bahagia ada

sebanyak 1.044 individu atau 7,87%, sedangkan individu

dengan status tidak bekerja dan merasa tidak bahagia ada

153 individu atau 1,15%.

Data yang disajikan pada tabel dibawah

menunjukkan jumlah individu dan persentase ketaatan

beragama terhadap kebahagiaan individu.

Tabel 2.6. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Ketaatan Beragama

Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)

Sumber: Penulis (2020).

Tabel 2.6. menjelaskan deskripsi kebahagiaan berdasarkan

ketaatan beragama responden dengan jumlah responden

13.271 individu yang terdiri dari 9.777 individu atau

73,68% dengan status taat beragama dan 3.494 individu

atau 26,32%. Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah

individu dengan status taat beragama dan merasa bahagia

sebanyak 9.043 individu atau 68,15%, sedangkan jumlah

individu dengan status taat beragama dan merasa tidak

bahagia sebanyak 734 individu atau hanya 5,53% saja.

Selanjutnya, jumlah individu dengan status tidak taat

beragama dan merasa bahagia sebanyak 3.102 individu atau

23,37%, sedangkan jumlah individu dengan status tidak taat

beragama dan merasa tidak bahagia sebanyak 392 individu

atau 2,95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berikut merupakan tabel dan penjelasan hasil regresi

logistik serta marginal effect:

Tabel 3. 1. Hasil Regresi Logit Kebahagiaan dengan Robust Standard Error

Status

Kebahagiaan

Status Pekerjaan Total

Tidak

Bekerja

Bekerja

Tidak Bahagia 153 973 1.126

(1,15) (7,33) (8,48)

Bahagia 1.044 11.101 12.145

(7,87) (83,65) (91,52)

Total 1.197 12.074 13.271

(9,02) (90,98) (100)

Status

Kebahagiaan

Ketaatan Beragama Total

Tidak Taat Taat

Tidak

Bahagia

392 734 1.126

(2,95) (5,53) (8,48)

Bahagia 3.102 9.043 12.145

(23,37) (68,15) (91,52)

Total 3.494 9.777 13.271

(26,32) (73,68) (100)

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

69 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

Sumber: Penulis (2020).

* Signifikan pada α=5%

Dari tabel 3.1 yang merupakan hasil dari regresi logistik

menjelaskan bahwa probabilitas individu untuk bahagia

dipengaruhi oleh semua variabel independen, antara lain

status pernikahan, dimana nilai siginifikansinya yang lebih

kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,000 sejalan dengan

pernyataan Badburn, Ada beberapa saran bahwa yang muda

lebih bahagia daripada yang tua, orang yang sudah menikah

daripada yang belum menikah, dan orang kulit putih

daripada orang kulit hitam (Easterlin, 1974). Variabel

status kesehatan, dimana nilai siginifikansinya yang lebih

kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,000 hal ini sejalan dengan

pernyataan bahwa seseorang yang sehat memberikan

kontirbusi positif pada kebahagiaan dibandingkan dengan

orang yang tidak sehat (Diener dan Seligman, 2004).

Variabel tingkat pendidikan, dimana nilai siginifikansinya

yang lebih kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,000 hal ini

menunjukkan bahwa pendidikan yang dikombinasikan

dengan kemampuan menjalin hubungan yang lebih luas

akan berdampak positif terhadap well-being (Chen, 2012).

Variabel status pekerjaan, nilai siginifikansinya yang lebih

kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,013 pada dasarnya bahwa

pekerjaan itu penting untuk kesejahteraan karena

meningkatkan persepsi individu tentang self-esteem (Darity

dan Goldsmith, 1996). Variabel ketaatan beragama, dimana

nilai siginifikansinya yang lebih kecil dari 0,005 yaitu

sebesar 0,000. Seligman (2002) menyatakan bahwa agama

itu penting untuk mengatasi berbagai masalah psikologi,

yaitu dengan cara membangun emosi positif.

Nilai Pseudo R2 yang terdapat pada tabel diatas

sebesar 0,0954 atau 9,54 persen yang berarti bahwa

persamaan model dalam penelitian ini mampu menjelaskan

sebesar 9,54 persen faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap probabilitas kebahagiaan individu. Meskipun hasil

nilai Pseudo R2 relatif kecil, hal itu tidak membuat suatu

model dianggap tidak bagus. Menurut Gujarati (2003), hal

utama yang diperhatikan dalam uji Goodness of Fit adalah

indikator signifikansi model, tingkat signifikan masing-

masing variabel, dan arah koefisien variabel, sedangkan

besaran nilai Pseudo R2 tidak perlu diperhatikan. Uji

Likelihood Ratio (LR) atau dalam uji regresi linier disebut

Uji F-statistic pada tabel diatas ditunjukkan dari nilai

pro>chi2 sebesar 0,0000 yang berarti bahwa secara

bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap

probabilitas individu untuk bahagia dalam rumah tangga

IFLS tahun 2014.

Marginal Effect digunakan untuk melihat besarnya

pengaruh perubahan suatu variabel predictor atau variabel

bebas terhadap variabel respon (variabel terikat) dengan

asumsi variabel lainnya tetap. Berikut merupakan tabel

hasil marginal effect regresi logit:

Tabel 3.2. Hasil Marginal Effect Logit

Sumber: Penulis (2020).

* Signifikan pada α=5%

Tabel 3.2. diatas menjelaskan marginal effect regresi

logistik kebahagiaan individu, dimana setiap kenaikan satu

unit variabel bebas akan mempengaruhi perubahan

kebahagiaan individu. Status pernikahan berpengaruh

signifikan terhadap probabilitas individu untuk bahagia,

dimana probabilitas untuk bahagia individu yang berstatus

menikah sebesar 5,3 persen lebih tinggi dari pada individu

yang berstatus tidak menikah (belum menikah, pisah, cerai

hidup, cerai mati, dan kohabitasi), hal ini ditunjukan oleh

nilai koefisien marginal effect yaitu 0,0529724 ≈ 0,053.

Variabel status kesehatan individu juga memiliki

pengaruh signifikan terhadap probabilitas individu untuk

bahagia, individu yang merasa sehat memiliki probabilitas

untuk bahagia 8,5 persen lebih tinggi dibandingkan individu

yang tidak sehat, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien

marginal effect yaitu 0,0846768 ≈ 0,085.

Variabel tingkat pendidikan memiliki pengaruh

positif terhadap probabilitas individu untuk bahagia, dengan

bertambah tingginya tingkat pendidikan individu akan

meningkatkan pula probabilitas kebahagiaan individu

sebesar 3,1 persen, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien

marginal effect yaitu sebesar 0,0307766 ≈ 0,031.

Variabel status pekerjaan berpengaruh positif

terhadap probabilitas kebahagiaan individu, dimana

probabilitas individu dengan status bekerja untuk bahagia

1,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang

berstatus tidak bekerja (tinggal dirumah/menganggur,

mencari pekerjaan), hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien

marginal effect yaitu sebesar 0,0170417 ≈ 0,017.

Variabel ketaatan beragama memiliki pengaruh

positif yang signifikan terhadap probabilitas individu untuk

bahagia, dimana probabilitas untuk bahagia individu yang

taat beragama 2,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan

Variabel Koefisien Robust

Standard

Error

P > |z|

Status

Pernikahan

0,7702097* 0,0692557 0,000

Status

Kesehatan

1,040026* 0,0680761 0,000

Tingkat

Pendidikan

0,5083354* 0,0310022 0,000

Status

Pekerjaan

0,2566068* 0,1027456 0,013

Ketaatan

Beragama

0,413875* 0,0696824 0,000

Pseudo R2

0,0954

Prob > chi2

0,0000

Variabel Marginal Effect dy/dx

Koefisien Standard

Error

Status Pernikahan 0,0529724* 0,00528

Status Kesehatan 0,0846768* 0,00703

Tingkat Pendidikan 0,0307766* 0,00173

Status Pekerjaan 0,0170417* 0,00746

Ketaatan Beragama 0,0273897* 0,00499

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

70 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

individu yang tidak taat beragama, hal ini dapat ditunjukkan

oleh nilai koefisien marginal effect yaitu sebesar 0,0273897

≈ 0,027.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor yang

mempengaruhi kebahagiaan individu dengan menggunakan

analisis regresi logit, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Variabel status pernikahan berpengaruh signifikan

positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di

Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value

sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar

0,053 maka probabilitas seseorang untuk bahagia

dengan status menikah lebih tinggi 5,3 persen

dibandingkan seseorang dengan status tidak

menikah.

2. Variabel status kesehatan berpengaruh signifikan

positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di

Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value

sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar

0,085 maka probabilitas seseorang untuk bahagia

dengan status sehat lebih tinggi 8,5 persen

dibandingkan seseorang yang merasa tidak sehat.

3. Variabel tingkat pendidikan berpengaruh signifikan

positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di

Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value

sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar

0,031 maka probabilitas seseorang untuk bahagia

dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah

sebesar 3,1 persen lebih tinggi dibandingkan

seseorang dengan status tidak bersekolah.

4. Variabel status pekerjaan berpengaruh signifikan

positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di

Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value

sebesar 0,013. Dengan nilai marginal effect sebesar

0,017 maka probabilitas seseorang untuk bahagia

dengan status bekerja lebih tinggi 1,7 persen

dibandingkan seseorang dengan status tidak bekerja.

5. Variabel ketaatan beragama berpengaruh signifikan

positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di

Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value

sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar

0,027 maka probabilitas seseorang untuk bahagia

dengan status taat beragama lebih tinggi 2,7 persen

dibandingkan seseorang dengan status tidak taat

beragama.

Secara keseluruhan probabilitas faktor-faktor

yang mempengaruhi kebahagiaan individu di

Indonesia dengan menggunakan analisis regresi

logit mendapatkan hasil yang baik sesuai teori yang

ada. Dengan menggunakan variabel dependen yaitu

kebahagiaan individu, dan variabel independen yaitu

status pernikahan, status kesehatan, tingkat

pendidikan, status pekerjaan, dan ketaatan

beragama. Dari hasil uji regresi logit didapatkan

bahwa seluruh variabel independen berpengaruh

positif dan signifikan terhadap kebahagiaan

individu.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, peneliti

dapat memberikan saran sebagai berikut:

1. Bagi Masyarakat

a. Dari hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh

positif signifikan status pernikahan, kesehatan,

pendidikan, pekerjaan, dan ketaatan beragama,

untuk itu bagi masyarakat yang tidak memiliki

kriteria dalam variabel penelitian ini seperti

berstatus tidak menikah, atau tidak sehat, atau

memiliki tingkat pendidikan rendah, atau tidak

bekerja, dan atau tidak taat beragama agar mencari

kegiatan atau variabel lain yang tidak ada dalam

penelitian ini yang dapat meningkatkan

kebahagiaan. Misalkan, kepuasan terhadap

lingkungan, adanya ketersediaan waktu luang, dan

lain sebagainya.

Yang terpenting ialah harus selalu bersyukur

seperti dalam QS. Ibrahim ayat 7 sebagai berikut:

بي لشديد وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لزيدنكم ولئن كفرتم إن عذا

Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu

memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu

bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)

kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-

Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

b. Bagi masyarakat secara umum diharapkan dapat

meningkatkan kesadaran akan pentingnya

membangun rumah tangga ketika sudah siap baik

secara mental dan psikis, menjalankan pola hidup

sehat, memiliki kesadaran akan pentingnya

pendidikan baik pendidikan formal maupun non-

formal agar dapat menambah wawasan maupun

skill untuk memperoleh pekerjaan yang layak,

melakukan aktivitas bekerja untuk meningkatkan

kesejahteraan seseorang dalam hal perekonomian,

dan menjaga komitmen beragama sesuai dengan

agama yang dianutnya.

2. Bagi Pemerintah

Diharapkan bagi Pemerintah untuk meningkatkan

fasilitas yang berhubungan dengan kesejahteraan

masyarakat seperti:

a. Menjalankan program Pranikah yang telah

diwacanakan untuk mengetahui seberapa siap

calon pasangan suami istri dalam menghadapi

jenjang pernikahan agar terciptanya kualitas

pernikahan yang baik.

b. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas

pelayanan dan fasilitas kesehatan di seluruh

daerah, seperti di daerah terpencil yang belum

terjamah oleh fasilitas kesehatan yang memadai.

Misalnya menambah jumlah klinik atau puskesmas

di daerah-daerah.

c. Meningkatkan kualitas dan fasilitas pendidikan

baik formal maupun non-formal, seperti

membangun Balai Latihan Kerja (BLK), Lembaga

Kursus lainnya yang dapat menunjang kualitas

sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi

orang yang kurang mampu.

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

71 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

d. Meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk

memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat,

seperti jembatan atau proyek rumah bersubsidi

yang dapat menyerap tenaga kerja sehingga

mampu mengurangi pengangguran.

e. Menyediakan fasilitas tempat beribadah bagi umat

beragama baik di pemukiman maupun di tempat-

tempat publik seperti tempat wisata. Misalnya

seperti di Jepang, adanya Masjid keliling dari bus

dan dapat berubah menjadi sebuah ruang

dilengkapi tempat wudhu didalamnya yang

biasanya berkeliling ke tempat-tempat publik

sehingga wisatawan maupun masyarakat bisa

beribadah saat waktu sholat tiba.

REFERENSI

Abdel-Khalek, A. M. and Korayem, A. S. 2018. The

Relationship Between Happiness, Income, And

Unemployment Rate In Arab And Western

Countries. Mankind Quarterly, 59(2), pp. 242–

254.

Aghili, M. and Venkatesh Kumar, G. 2008. Relationship

between Religious Attitude and Happiness

among Professional Employees. Journal of the

Indian Academy of Applied

Psychology,34(April): pp. 66–69.

Agresti, A., Mehta, C. R. and Patel, N. R. 1990. Exact

Inference For Contingency Tables With Ordered

Categories. Journal of the American Statistical

Association.85(410):pp.453–458.doi:

10.1080/01621459.1990.10476220.

Achor, S. (2010). The happiness advantage: How a positive

brain fuels success in work and life. Currency.

Al-Qur'an Al-Kareem. QS. An-Nisa ayat 9.

Al-Qur'an Al-Kareem. QS. Ibrahim ayat 7.

Aryogi, I. & Wulansari, D. 2016. Subjective Well-being

Individu dalam Rumah Tangga Di Indonesia.

Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 1(1).

Bartolini, S. and Bilancini, E. 2010. If Not Only GDP, What

Else? Using Relational Goods To Predict The

Trends Of Subjective Well-Being. International

Review of Economics, 57(2), pp. 199–213. doi:

10.1007/s12232-010-0098-1

Berger-Schmitt, R. 2002. Considering Social Cohesion In

Quality Of Life Assessments: Concept And

Measurement. Social Indicators Research, 58(1–

3), pp. 403–428. doi:

10.1023/A:1015752320935.

Bergh, J. C. J. M. va. den. 2009. The GDP Paradox. Journal

of Economic Psychology, 30(2), pp. 117–135.

doi: 10.1016/j.joep.2008.12.001.

Biswas-diener, R., Diener, E. and Tamir, M. 2004. The

Psychology of Subjective Well-Being.

Psychological Bulletin, pp. 18–25.

Blanchflower, D. G. et al. 1994. Estimating a Wage Curve

for Britain 1973-90 Published by : Wiley on

behalf of the Royal Economic Society Stable.

The Economic Journal, 104(426), pp. 1025–

1043.

BPS. 2017. Indeks Kebahagiaan 2014. Jakarta: Badan Pusat

Statistik.

BPS. 2017. Indeks Kebahagiaan 2017. Jakarta: Badan Pusat

Statistik.

Chen, H. 2015. An Analysis of Bhutan’s Gross National

Happiness. 4(2), pp. 66–74.

Chen, W. 2012. How Education Enhances Happiness:

Comparison of Mediating Factors in Four East

Asian Countries. Social Indicators Research,

106(1), pp. 117–131. doi: 10.1007/s11205-011-

9798-5.

Clark, A. E., Frijters, P. and Shields, M. A. 2008. Relative

Income, Happiness, And Utility: An Explanation

For The Easterlin Paradox And Other Puzzles.

Journal of Economic Literature, 46(1), pp. 95–

144. doi: 10.1257/jel.46.1.95.

Cuñado, J. and de Gracia, F. P. 2012. Does Education Affect

Happiness? Evidence for Spain. Social

Indicators Research, 108(1), pp. 185–196. doi:

10.1007/s11205-011-9874-x.

Darity, W. and Goldsmith, A. H. 1996. Social Psychology,

Unemployment and Macroeconomics. Journal of

Economic Perspectives, 10(1), pp. 121–140. doi:

10.1257/jep.10.1.121.

Diener, E. 1984. Subjective Well-Being. Psychological

Bulletin, 95(3), pp. 542–575. doi: 10.1037/0033-

2909.95.3.542.

Diener, E., Oishi, S. and Lucas, R. E. 2003. Personality,

Culture, and Subjective Well-Being: Emotional

and Cognitive Evaluations of Life. Annual

Review of Psychology, 54(1), pp. 403–425. doi:

10.1146/annurev.psych.54.101601.145056.

Diener, E. and Seligman, M. E. P. 2004. Beyond Money.

Psychological Science in the Public Interest,

5(1), pp. 1–31. doi: 10.1111/j.0963-

7214.2004.00501001.x.

Doblhammer, G. et al. 2009. A Systematic Literature

Review Of Studies Analyzing The Effect Of Sex,

Age, Education, Marital Status, Obesity, And

Smoking On Health Transitions. Demographic

Research, 20(June 2009), pp. 37–64. doi:

10.4054/demres.2009.20.5.

Easterlin, R. A. 1974. Does Economic Growth Improve the

Human Lot? Some Empirical Evidence, Nations

and Households in Economic Growth. Academic

Press, Inc. doi: 10.1016/b978-0-12-205050-

3.50008-7.

Emmons, R. A. and Diener, E. 1985. Personality Correlates

of Subjective Well-Being. Personality and

Social Psychology Bulletin, 11(1), pp. 89–97.

doi: 10.1177/0146167285111008.

Fleurbaey, M. 2009. Beyond GDP: The Quest For A

Measure Of Social Welfare. Part I. Voprosy

Proceedings The 1st UMYGrace 2020

(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)

72 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020

Ekonomiki, 2012(2), pp. 67–93. doi:

10.32609/0042-8736-2012-2-67-93.

Ghozali, I. 2007. Aplikasi Analisis Multilavare dengan

Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro.

Graham, Carol. 2009. Happiness Around The World: The

Paradox Of Happy Peasants And Miserable

Millionaires. New York: Oxford University

Press.

Gujarati, D. N., & Porter, D. C. 2003. Basic Econometrics

(ed.). New York: McGraw-HiII.

Gujarati, D. N. 2009. Basic Econometrics. Tata McGraw-

Hill Education.

Gujarati, D. N. 2013. Basic Econometrics (African Edition).

Hidayat, Y., Purwandari, T. and Bachrudin, A. 2016.

Mengukur Indeks Kebahagiaan Penduduk Kota

Bandung. Prosiding Seminar Nasional MIPA

2016, (2014), pp. 27–28.

Hosmer, D. W., Jovanovic, B. and Lemeshow, S. 1989. Best

Subsets Logistic Regression. Biometrics, 45(4),

p. 1265. doi: 10.2307/2531779.

Kahneman, D. 1999. Objective Happiness. Journal of High

Energy Physics, (3). doi:

10.1007/JHEP03(2016)040.

Kesebir, P. and Diener, E. 2008. In Pursuit of Happiness:

Empirical Answers to Philosophical Questions.

Notes, pp. 1–6. doi: 10.1007/978-90-481-2350-6.

Landiyanto, E. A. et al. 2011. Wealth and Happiness :

Empirical Evidence from Indonesia.

Chulalongkorn Journal of Economics, pp. 1–17.

Maulana, H. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.

Mayasari, R. 2014. Religiusitas Islam Dan Kebahagiaan.

Al-Munzir, 7(2), pp. 81–100. doi:

10.31332/am.v7i2.281.

Michalos, A. C. 2008. Education, Happiness and

Wellbeing. Connecting the Quality of Life

Theory to Health, Well-being and Education:

The Selected Works of Alex C. Michalos, pp.

277–299. doi: 10.1007/978-3-319-51161-0.

Munawir . 2014. Konsep Kenabian Menurut Ibnu

Khaldun. 15(1), pp. 116–132.

Nuqul, F. L. and Mauliawati, F. 2018. Kebahagiaan Ditinjau

Dari Status Pernikahan dan Kebermaknaan

Hidup. Jurnal Psikologi.

Purwana, A. E. 2014. Kesejahteraan Dalam Perspektif

Ekonomi Islam. Justicia Islamica, 11(1), pp. 21–

42.

Putra, G. B. B. and Sudibia, I. K. .2019. Faktor-Faktor

Penentu Kebahagiaan Sesuai Dengan Kearifan

Lokal Di Bali. Journal of Chemical Information

and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699. doi:

10.1017/CBO9781107415324.004.

Rahayu, I. K. 2015. Kesejahteraan Subjektif (Subjective

Well-Being) Pada Istri Narapidana Sekaligus

Penderita Kanker Ovarium (Studi Kasus Di Desa

Ngajum Kabupaten Malang). Skripsi.

Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Ibrahim Malang.

Rahayu, T. P. 2016. Determinan Kebahagiaan di Indonesia.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis.

Rahayu, T. P. and Harmadi, S. H. B. 2016. The Effect of

Income, Health, Education, and Social Capital on

Happiness in Indonesia. Asian Social Science,

12(7), pp. 75–87. doi: 10.5539/ass.v12n7p75.

Raufaidah, E. 2015. Ilmu Ekonomi. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

Robbins. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku dalam Organisasi.

Jakarta: Erlangga

Saptutyningsih, E., Sugiyanto, C., Adji, A., & Satriawan, E.

2015. Esai Tentang Produktivitas dan Keputusan

Merokok (Doctoral dissertation, Universitas

Gadjah Mada)

Seligman, M. E. P. 2002. Authentic Happiness: Using the

New Positive Psychology to Realize Your

Potential for Lasting Fulfillment. New York:

Free Press, 2002.

Sirgy, M. J. 1986. A Quality-of-Life Theory Derived from

Maslow’s Developmental Perspective.’

American Journal of Economics and Sociology,

45(3), pp. 329–342. doi: 10.1111/j.1536-

7150.1986.tb02394.x.

Smith, D. M. et al. 2005. Health, Wealth, and Happiness:

Financial Resources Buffer Subjective Well-

being After The Onset of a Disability.

Psychological Science, 16(9), pp. 663–666. doi:

10.1111/j.1467-9280.2005.01592.x.

Sofia, N. dan Sari, E. P. 2018. Indikator Kebahagiaan (Al-

Sa’adah) dalam Perspektif Alquran dan Hadis.

Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian

Psikologi, 23(2), pp. 91–108. doi:

10.20885/psikologika.vol23.iss2.art2.

Sohn, K. 2010. Considering Happiness For Economic

Development: Determinants Of Happiness In

Indonesia. KIEP Working Paper. Vol.10 No.9: 1

61

Soujanen, I. 2012. Work For Your Happiness: Theoretical

and empirical study defining and measuring

happiness at work.

Veenhoven, R. 1988. The Utility Of Happiness. Social

Indicators Research, 20(4), pp. 333–354. doi:

10.1007/BF00302332.

Winkelmann, R. 2008. Unemployment, Social Capital, And

Subjective Well-Being. Journal of Happiness

Studies, 10(4), pp. 421–430. doi:

10.1007/s10902-008-9097-2.

World Happiness Report. 2018. diakses pada November 27,

2019, http://worldhappiness.report/

World Happiness Report. 2019. diakses pada November 27,

2019, http://worldhappiness.report/

Wulandari, S. and Widyastuti, A. 2014. Faktor - Faktor

Kebahagiaan Di Tempat Kerja. Jurnal Psikologi

UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 10(Juni), pp. 41–

52.