Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks ...
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
62 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Indeks Kebahagiaan Di
Indonesia (Studi Kasus Indonesia Family Life Survey Tahun 2014)
Rifka Putri Parasari1, Lilies Setiyartiti2 1,2 Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia, 5518
ABSTRAK
Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan hidup setiap
orang. Dengan adanya perkembangan mengenai alat
pengukur kesejahteraan suatu negara yaitu subjective well-
being (indeks kebahagiaan) yang melihat dari faktor sosial
dan ekonomi menjadikan kebahagiaan individu sangat
penting untuk diperhatikan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan individu di Indonesia. Data yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan data cross-section yang
diambil dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun
2014 dengan sampel sebanyak 13.271 responden. Dengan
menggunakan model regresi logistik, model ini dipilih oleh
penulis karena sampel yang digunakan merupakan skala
dikotomi. Hasil penelitian menunjukkan tingkat
kebahagiaan dipengaruhi oleh status pernikahan, status
kesehatan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan
ketaatan beragama secara signifikan. Secara keseluruhan,
penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam membuat kebijakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kata kunci: status pernikahan, status kesehatan, tingkat
pendidikan, status pekerjaan, ketaatan
bergama.
PENDAHULUAN
Saat ini ilmu ekonomi telah mengalami berbagai tahapan
evolusi yang menarik, salah satunya ditandai dengan
mulainya ilmu ekonomi berpadu dengan disiplin ilmu
lainnya. Dalam hal perpaduan, disiplin ilmu yang memiliki
hubungan paling dekat dengan ilmu ekonomi ialah ilmu
psikologi. Dimana ilmu psikologi dapat memperluas
pandangan para ekonom mengenai perilaku manusia dalam
kegiatan konsumsi, produksi, maupun distribusi (Putra dan
Sudibia, 2013). Dengan lebih luasnya pandangan para
ekonom, indikator kesejahteraan masyarakat yang selama
ini digunakan dapat dikembangkan dengan menambahkan
faktor-faktor non ekonomi. Kebahagiaan ekonomi
(Economics of Happiness) ialah sebuah pendekatan yang
dilakukan untuk mengukur kesejahteraan dengan cara
menggabungkan teknik yang digunakan oleh seorang
psikolog dan teknik yang digunakan oleh seorang ekonom
(Graham, 2009). Ilmu ekonomi selama ini hanya
menggunakan patokan Produk Domestik Bruto sebagai
ukuran pencapaian kesejahteraan masyarakat suatu negara.
Namun, GDP memiliki kelemahan dimana indikator
tersebut mengabaikan adanya variasi kekayaan, jasa
produksi rumah tangga, kerusakan lingkungan alam,
kualitas relasi sosial, keamanan ekonomi dan keselamatan
personal dan harapan hidup (Fleurbaey, 2009). “Gross
Domestic Products (GDP) memiliki kelemahan diantaranya
tidak diperhitungkannya biaya sosial, peningkatan
pendapatan absolut sangat diperhatikan, mengabaikan
distribusi pendapatan, tidak mengukur aktivitas di luar
pasar atau transaksi informal, dan mengabaikan dampak
aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup”, (Bergh,
2009).
Selanjutnya pada tahun 2011, dalam Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai digunakannya
indeks kebahagiaan (happiness index) sebagai pengukur
kesejahteraan suatu negara. Kebahagiaan merupakan tujuan
akhir hidup bagi seseorang di seluruh dunia dan pada
kenyataannya memang setiap manusia menginginkan rasa
bahagia dalam hidupnya (Frey dalam Putra dan Sudibia,
2013). Dalam perspektif Islam, kesejahteraan atau
kebahagiaan dapat tercapai apabila manusia melakukan
seluruh kegiatannya sesuai dengan landasan hukum islam
atau sesuai syariah. Hal yang berkaitan dengan
kesejahteraan juga terdapat dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 dimana salah satu tujuan negara
Indonesia pada alinea ke-empat yang berbunyi
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum…”. Berbagai upaya dilakukan oleh
pemerintah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
melalui program-program pembangunan yang merupakan
tugas dan tanggung jawab negara dalam pencapaian
kesejahteraan masyarakatnya, namun tidak hanya negara
yang bertanggung jawab sepenuhnya tetapi juga tanggung
jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan laporan World Happiness Report peringkat
Indonesia dilihat dari indeks kebahagiaan diantara negara
ASEAN lainnya terdapat pada Tabel 1.1.
Tabel 1. 1. Rangking Negara di ASEAN dalam World Happiness
Report
Sumber: World Happiness Report 2019
Negara ASEAN Tahun 2018 Tahun 2019
Singapura 34 34
Thailand 46 52
Malaysia 35 80
Philipina 71 69
Indonesia 96 92
Vietnam 95 94
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
63 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
Berdasarkan Tabel 1.1 diatas, pada regional ASEAN dapat
dilihat bahwa Singapura merupakan negara yang berada
pada peringkat teratas kemudian diikuti oleh negara
Thailand, Malaysia, Philipina, Indonesia, dan Vietnam.
Adapun peringkat Indonesia dari keseluruhan negara-
negara di dunia pada tahun 2018 yaitu peringkat ke-96 dari
156 negara, sedangkan pada tahun 2019 Indonesia
menempati peringkat ke-92 dari 156 negara. Hal tersebut
menunjukkan adanya peningkatan indeks kebahagiaan
berdasarkan pada beberapa penilaian antara lain Gross
Domestic Products per kapita, harapan hidup sehat,
generosity, kebebasan dalam membuat pilihan hidup,
dukungan sosial, dan persepsi korupsi.
Sementara itu, di Indonesia sendiri sejak tahun 2012 lalu
sudah mulai melakukan pengukuran indeks kebahagiaan
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui
metode survei. Adapun indeks indikator penyusun indeks
kebahagiaan dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1. 2. Indikator Penyusun Indeks Kebahagiaan Indonesia
Indikator Penyusun Tahun 2014 Tahun 2017
Pendapatan Rumah
Tangga
63,09 62,99
Kondisi Rumah dan Aset 65,01 69,28
Pekerjaan 67,08 67,15
Pendidikan 58,28 59,90
Kesehatan 69,72 71,12
Ketersediaan Waktu
Luang
71,74 72,08
Hubungan Sosial 74,29 75,45
Keharmonisan Keluarga 78,89 80,05
Kondisi Keamanan 76,63 77,15
Keadaan Lingkungan 74,86 76,09
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Berdasarkan Tabel 1.2 dapat disimpulkan bahwa rata-rata
dari kesepuluh indikator penyusun indeks kebahagiaan
menunjukkan secara umum masyarakat Indonesia pada
tahun 2014 maupun tahun 2017 sudah merasa bahagia. Hal
ini menunjukkan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
di Indonesia tidak hanya pendapatan saja, tetapi faktor
sosial juga ikut mempengaruhi.
Studi tentang kebahagiaan di Indonesia sendiri masih perlu
dilakukan, beberapa penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak hanya dipengaruhi
oleh pendapatan secara absolut. Untuk itu, penelitian ini
berfokus pada faktor non-ekonomi seperti status
pernikahan, status kesehatan, tingkat pendidikan, status
pekerjaan, dan ketaatan beragama. Dengan meneliti faktor
yang mempengaruhi indeks kebahagiaan di Indonesia dapat
dijadikan acuan dalam membuat kebijakan dalam
meningkatkan kesejahteraan di Indonesia.
Sub-Bab 2: Rumusan Masalah
(1) Bagaimana pengaruh variabel status pernikahan
terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?
(2) Bagaimana pengaruh variabel status kesehatan
terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?
(3) Bagaimana pengaruh variabel tingkat pendidikan
terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?
(4) Bagaimana pengaruh variabel status pekerjaan
terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?
(5) Bagaimana pengaruh variabel ketaatan beragama
terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun 2014?
Sub-Bab 3: Tujuan Penelitian
(1) Untuk mengetahui pengaruh variabel status
pernikahan terhadap indeks kebahagiaan di
Indonesia tahun 2014
(2) Untuk mengetahui pengaruh variabel kesehatan
terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun
2014
(3) Untuk mengetahui pengaruh variabel pendidikan
terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia tahun
2014
(4) Untuk mengetahui pengaruh variabel status
pekerjaan terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia
tahun 2014
(5) Untuk mengetahui pengaruh variabel ketaatan
beragama terhadap indeks kebahagiaan di Indonesia
tahun 2014
KAJIAN LITERATUR
Penelitian Terdahulu
Bagian ini memuat hasil penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan subjective well-being baik di Indonesia maupun luar
negeri dengan beberapa kesamaan variabel yang digunakan
dalam penelitian ini dengan hasil sebagai berikut:
Aryogi & Wulansari (2016) dan Nuqul &
Mauliawati (2018), dengan menggunakan status pernikahan
sebagai salah satu variabel independen yang digunakan
dalam penelitiannya didapatkan bahwa terdapat perbedaan
hasil penelitian dari kedua penelitian tersebut. Dalam
penelitian Aryogi & Wulansari dengan menggunakan
metode regresi logit dan probit dan menggunakan beberapa
variabel lain seperti pendapatan, status pekerjaan, tingkat
pendidikan, dan inflasi, ketimpangan, & kebijakan
pemerintah medapatkan hasil bahwa secara stimulan,
seluruh variabel independen berpengaruh signifikan
terhadap variabel dependennya. Secara parsial, status
pernikahan berpengaruh signifikan positif terhadap
kebahagiaan yang berarti bahwa seseorang yang telah
menikah kemungkinan untuk bahagia lebih besar dibanding
dengan seseorang yang belum menikah atau pernah
menikah. Dalam penelitian yang dilakukan Nuqul dan
Mauliawati (2018) dengan menggunakan metode analisis
deskripsi dan analisis koverian dan menggunakan variabel
status pernikahan dan kebermaknaan hidup mendapatkan
hasil bahwa secara simultan, status pernikahan dan
kebermaknaan hidup berpengaruh terhadap kebahagiaan.
Secara parsial, hanya kebermaknaan hidup yang
berpengaruh terhadap kebahagiaan, sedangkan status
pernikahan tidak memiliki pengaruh terhadap kebahagiaan
seseorang. Hal ini kemungkinan dikarenakan subyek yang
digunakan dalam penelitian ini kebanyakan mahasiswi
dengan usia pernikahan yang belum lama. Rahayu (2016)
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
64 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
dalam penelitiannya yang menggunakan metode regresi
oprobit menyatakan bahwa semakin seseorang merasa sehat
semakin besar kebahagiaanya, adapun unsur kesehatan
yang paling berpengaruh ialah kesehatan yang
dibandingkan dengan orang lain yang memiliki usia sama.
Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Putra dan
Sudibia (2019) dengan menggunakan metode analisis
deskriptif yang menyatakan bahwa faktor mental dan
kesehatan psikologis berpengaruh pada fungsi fisik serta
memiliki fungsi positif terhadap kesehatan secara fisik,
diasumsikan kebahagiaan itu kondusif untuk kesehatan
fisik.
Cuñado dan de Gracia (2012) melakukan
penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan dan
kebahagiaan di Spanyol dengan menggunakan metode
Ordinal Logit Models. Dari penelitian tersebut didapatkan
hasil bahwa pertama, tingkat pendidikan seseorang
berpengaruh positif signifikan terhdap kebahagiaannya.
Kedua, terdapat efek langsung dan tidak langsung pada
pendapatan dan status pekerjaan yaitu dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi maka lebih tinggi pendapatan
seseorang dan lebih tinggi pula kemungkinan ia akan
dipekerjakan sehingga lebih tinggi kebahagiaan seseorang.
Selanjutnya, terdapat efek positif langsung yang didapatkan
jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
yaitu self-confidence atau self-estimation dari pengetahuan
yang ia miliki. Hasil penelitian lain oleh Hidayat,
Purwandari dan Bachrudin (2016) yang dilakukan di
Bandung dengan menggunakan model Hybrid mendapatkan
hasil bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka
semakin tinggi pula indeks kebahagiaan. Penduduk yang
tamat SD/MI mempunyai indeks kebahagiaan paling rendah
(67,80), sementara indeks kebahagiaan tertinggi dimiliki
oleh penduduk dengan tingkat pendidikan S2 atau S3
(77,45).
Hasil penelitian Abdel-Khalek dan Korayem
(2018) yang dilakukan di beberapa negara seperti Algeria,
Egypt, Lebanon, Kuwait, Qatar, Oman, Inggris, dan
Amerika dengan menggunakan analisis data menunjukkan
bahwa terdapat korelasi negatif antara status pekerjaan
dengan kebahagiaan seseorang. Hasil tersebut sejalan
dengan penelitian Winkelmann (2008) yang menyatakan
bahwa tidak terdapat pengaruh antara pengangguran dengan
kebahagiaan seseorang. Berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan Soujanen (2012) menunjukkan bahwa
seseorang lebih bahagia ketika mereka beranggapan
pekerjaan itu penting, tetapi tidak melihatnya sebagai
sumber utama makna dan aktualisasi diri dalam kehidupan.
Aghili dan Kumar (2008) dalam penelitiannya
memperoleh hasil bahwa secara signifikan sikap religius
seorang karyawan berpengaruh terhadap kebahagiaannya.
Kebahagiaan memiliki korelasi dengan kehidupan masa
depan dan spirits, sedangkan spiritual tidak memiliki
korelasi dengan agama formal. Dalam kasus karyawan pria,
korelasi antara sikap religius dan kebahagiaan sangat
signifikan. Untuk karyawan wanita, korelasi antara sikap
religius dan kebahagiaan juga signifikan. Kebahagiaan
sangat berkorelasi dengan kehidupan masa depan dan dunia
spiritual, tetapi kurang berkorelasi dengan agama formal.
Peneliti menyadari bahwa Indonesia memiliki
berbagai macam suku, budaya, ras, dan juga agama,
sehingga peneliti menggunakan salah satu keragaman
tersebut sebagai variabel pembeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya yang dilakukan di Indonesia. Variabel ketaatan
beragama dipilih sebagai salah satu variabel karena
masyarakat Indonesia sendiri menganut agama yang
berbeda-beda yang tersebar di seluruh Indonesia. Agama
memiliki peran penting bagi kehidupan bermasyarakat di
Indonesia, dimana hal ini tertuang dalam ideologi bangsa
Indonesia yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, di
Indonesia agama yang secara resmi diakui oleh negara
hanya 6 agama yaitu islam, protestan, katolik, hindu, budha,
dan khonghucu. Seperti yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1998 Pasal 1 tentang arti dari
kesejahteraan, kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan
dan penghidupan sosial baik material maupun spiritual yang
diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir
batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan pemenuhan jasmani, rohani, dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia sesuai
dengan Pancasila. Untuk mewujudkan kesejahteraan di
Indonesia, ketaatan beragama memiliki peran penting
dalam bermasyarakat. Dengan keanekaragaman agama di
Indonesia, masyarakat Indonesia harus memiliki rasa
toleransi yang tinggi hal ini tentu dapat terwujud salah
satunya dengan adanya ketaatan yang dimiliki oleh masing-
masing penganut agama maka mereka akan mencoba
mengamalkan atau mentaati ajaran agama masing-masing,
dimana pada setiap agama mengajarkanumatnya untuk
memiliki rasa toleransi terhadap agama lain dan
mengajarkan kerukunan antar umat. Hal ini yang
menjadikan Indonesia selalu damai dan tidak terjadi perang
saudara karena perbedaan agama seperti di beberapa negara
saat ini.
Dengan demikian ketaatan beragama memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kebahagiaan seseorang.
Seperti penjelasan diatas kebahagiaan atau kesejahteraan
tidak hanya secara material saja, namun juga dalam hal
spiritual. Tidak hanya pemenuhan secara jasmani, akan
tetapi pemenuhan secara rohani juga sangat diperlukan.
Pemenuhan secara rohani dilakukan dengan cara
mendekatkan diri pada Tuhan agar tercapainya ketentraman
secara lahir dan batinnya. Seseorang yang memiliki tingkat
religiusitas yang tinggi akan memaknai setiap kejadian atau
peristiwa dalam hidupnya secara positif, dengan begitu
orang tersebut dapat merasakan kesejahteraan dalam
hidupnya. Seseorang akan selalu bersyukur dengan apa
yang ia miliki, tidak pernah membandingkan kehidupannya
dengan kehidupan orang lain, dan menyadari bahwa apa
yang dimilikinya hanya bersifat sementara serta semua yang
ia miliki harus dipertanggungjawabkan nantinya. Dengan
begitu, seseorang yang taat beragama akan selalu berusaha
untuk mengamalkan apa yang diajarkan dalam agamanya.
Semakin tinggi ketaatan beragama seseorang, maka
semakin tinggi pula kebahagiaan seseorang.
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
65 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
Tinjauan Pustaka
Subjective Well-Being (SWB)
Definisi kebahagiaan sendiri sebenarnya tidak mempunyai
definisi yang berlaku secara umum. Menurut sosiologi,
kebahagiaan memiliki kesamaan dengan life satisfaction
(Veenhoven dalam Rahayu, 2016). Dalam Veenhoven
dinyatakan definisi kebahagiaan sebagai “over all
appreciation of one’s life as a whole”. Hal tersebut sejalan
dengan pengertian kebahagiaan yaitu “the sum of pleasure
and pains” yang dituliskan oleh Jeremy Bentham. Dalam
hal ini kebahagiaan memiliki kesamaan makna dengan
makna life satisfaction dan subjective well-being. Terdapat
dua komponen kebahagiaan yang disebutkan oleh
Veenhoven antara lain afektif dan kognitif. Definisi dari
Life satisfaction adalah tingkat seseorang dalam melakukan
penilaian terhadap keseluruhan kualitas hidupnya sebagai
sesuatu yang bersifat positif atau menyenangkan bagi
dirinya. Jika dalam sosiologi kebahagiaan disamakan
dengan life satisfaction, hal ini bertolak belakang dengan
ilmu psikologi dimana kebahagiaan berbeda dengan life
satisfaction. Ilmu psikologi menjelaskan konsep subjective
well-being sebagai suatu keadaan well-being secara umum
dalam jangka waktu yang panjang dan meliputi komponen
afektif dan kognitif. Kata Subjective well-being mempunyai
kesamaan makna (sinonim) dengan being happy, sedangkan
kata happiness mempunyai kesamaan makna (sinonim)
dengan feeling happy. Menurut Kahneman (1999), well-
being terdiri dari pleasure atau happiness. Terdapat dua
pengertian tentang kesejahteraan psikologis atau
kebahagiaan yang dibedakan dalam ilmu psikologi, yang
pertama pengertian ini didasarkan pada pendapat yang
dinyatakan oleh Badburn (Mayasari, 2014) psychological
well-being merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai
atau diraih oleh setiap manusia dalam hidupnya.
Selanjutnya dijelaskan oleh Badburn bahwa kebahagiaan
terjadinya keseimbangan antara perasaan (afek) positif
dengan perasaan (afek) negatif. Kedua, pengertian
kebahagiaan berasal dari pembuatan alat ukur Life
Satisfaction Index yang digunakan sebagai alat pembeda
kesuksesan bagi individu yang lanjut usia antara yang
sukses dalam kehidupannya dan yang tidak mengalami
kesuksesan dalam kehidupannya oleh Havighrust,
Neugarten, dan Tobin (Mayasari, 2014). Dalam hal ini
kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai kepuasaan
hidup (life satisfaction). Dari kedua pengertian tentang
kesejahteraan psikologis tersebut, secara umum dapat
dinamakan dengan subjective well-being (SWB) yang
dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai
kesejahteraan subyektif.
Banyak ilmuwan muslim juga mendefinisikan
makna kebahagiaan, baik ilmuwan klasik hingga ilmuwan
masa kini. Salah satunya Ibnu Miskawaih, beliau
mendefinisikan kebahagiaan berdasarkan dua bentuk yaitu
pertama, kebahagiaan badan (materi) yang berada pada
tataran yang rendah dan tidak abadi atau bersifat sementara
dan kedua, kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan materi dapat
juga diartikan kebahagiaan duniawi yang hanya bersifat
sementara yang dapat mengandung penyesalan, kepedihan,
dan menghambat perkembangan jiwa kepada Allah.
Sedangkan, kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan
sempurna yang mengantar manusia menuju derajat
malaikat. Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan (al-sa’adah)
tidak akan dicapai manusia secara tiba-tiba atau apa adanya
(taken for granted). Diperlukan cara-cara agar manusia
mampu mencapai kebahagiaan hakiki yang menjadi
tujuannya, kebahagiaan hakiki disini merupakan
kebahagiaan akhirat sedangkan kebahagiaan perlambang
atau majazi yaitu kebahagiaan di dunia. Selain itu, Ibnu
Khaldun juga mendefinisikan kebahagiaan ialah tunduk dan
patuh mengikuti garis-garis ketentuan agama Allah dan
perikemanusiaan. Dapat dimaknai bahwa ketika seseorang
mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya
maka Tuhan Yang Maha Mengetahui yang pengetahuan-
Nya meliputi semua hal niscaya yang paling tahu dengan
kebaikan dan kebahagiaan untuk makhluk-Nya (Munawir,
2014).
Status Pernikahan
Pernikahan merupakan salah satu pediktor lingkungan yang
memiliki pengaruh kuat terhadap kebahagiaan (Bailey et al.
dalam Nuqul dan Mauliawati, 2018). Seseorang yang sudah
menikah cenderung lebih bahagia daripada seseorang yang
belum menikah. Secara psikologis seseorang yang telah
menikah cenderung hidup lebih lama dan lebih sehat
dibanding yang belum atau tidak menikah (Doblhammer et
al., 2009) sehingga seseorang yang telah menikah memiliki
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi daripada orang yang
belum atau tidak menikah, hal ini dikarenakan individu
yang sudah menikah cenderung mendapat dukungan sosial
yang lebih.
Status Kesehatan
Menurut WHO (1947) definisi kesehatan secara luas tidak
hanya aspek medis saja, tetapi juga aspek mental dan sosial,
dan tidak hanya keadaan yang terbebas dari penyakit, cacat,
dan kelemahan. Sedangkan, menurut UU Kesehatan No. 23
Tahun 1992 kesehatan didefinisikan sebagai keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
Dengan demikian, upaya kesehatan lebih diarahkan agar
masyarakat mencapai kesehatan yang cukup agar hidupnya
lebih produktif. Persepsi seseorang mengenai sehat dan
merasa sehat sangat bervariasi yang terbentuk dari
pengalaman, nilai dan harapan-harapan, serta pengetahuan.
Kesehatan obyektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan
kebahagiaan, yang penting adalah persepsi subyektif
seseorang terhadap seberapa sehat diri seseorang tersebut.
Persepsi tersebut yang akan mempengaruhi kebahagiaan
seseorang.
Tingkat Pendidikan
Pendidikan memiliki peran sebagai wadah untuk
meningkatkan kemampuan seseorang dalam segala aspek.
Tingkat pendidikan seseorang juga akan mempengaruhi
produktivitas seseorang. Dilihat dari segi ekonomi, semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin baik pula
pekerjaan dan pendapatannya. Hal ini sejalan dengan
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
66 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
pernyataan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
membuka peluang yang lebih besar pula untuk menjalin
relasi yang lebih luas, sehingga membuka peluang kerja
yang lebih baik dan luas (Chen dalam Rahayu, 2016).
Pada umumnya hubungan antara tingkat
pendidikan dan kebahagiaan individu tidak dapat dilihat
secara langsung. Hal ini juga dinyatakan oleh Michalos
(2008) bahwa untuk melihat hubungan antara pendidikan
dengan kebahagiaan tidak dapat dilakukan secara langsung
namun tergantung pada definisi dan operasionalisasi
pendidikan, pengaruh dan kebahagiaan. Chen (2012)
mendapatkan bukti empiris bahwa pendidikan yang
dikombinasikan dengan kemampuan menjalin hubungan
yang lebih luas akan berdampak positif terhadap well-being.
Cuñado dan de Gracia (2012) menyatakan adanya dampak
langsung dan tidak langsung antara pendidikan terhadap
kebahagiaan. Dampak langsung dari hubungan antara
pendidikan dan kebahagiaan ialah meningkatkan rasa
kepercayaan diri dan kebanggaan serta rasa senang
seseorang karena mendapatkan tambahan pengetahuan.
Dampak tidak langsung hubungan antara pendidikan
dengan kebahagiaan ialah adanya peluang akan kesempatan
kerja yang lebih tinggi, pekerjaan yang lebih baik, gaji yang
diharapkan lebih tinggi dan kesehatan yang lebih baik.
Status Pekerjaan
Pekerjaan sebagai salah satu domain dalam hidup untuk
dapat mencapai kebahagiaan. Pekerjaan merupakan hal
yang penting bagi kehidupan seseorang, bekerja juga
merupakan salah satu tugas perkembangan masa dewasa
yang harus dipenuhi (Putri dalam Wulandari dan
Widyastuti, 2014). Dengan bekerja seseorang dapat
memenuhi kebutuhannya mulai dari sandang, papan, dan
juga pangan. Pekerjaan tidak hanya menjadi alat untuk
memperoleh pendapatan (uang) tetapi juga menjadi isyarat
bahwa seseorang dihargai dan dibutuhkan orang lain, serta
meyakinkan bahwa individu tersebut mampu melakukan
suatu hal sehingga pekerjaan memberikan makna lain pada
kehidupan seseorang (Wulandari dan Widyastuti, 2014).
Menurut Lopez dan Synder (2007) terdapat tiga konsep
kerja yaitu pertama, pekerjaan yang berfokus pada masalah
keuangan sehingga memandang pekerjaan sebagai
keuntungan yang diperoleh dari provider untuk kebutuhan
keluarga. Kedua, pekerjaan merupakan suatu karir dengan
cara memfasilitasi motivasi berprestasi, menstimulasi
kebutuhan untuk berkompetisi, atau meningkatkan harga
diri dan kepuasan. Ketiga, pekerjaan merupakan suatu
panggilan hati yang bersumber dari kebermaknaan pribadi
yang berasal dari keyakinan individu melakukan tujuan
sosial yang bermanfaat sebagai bentuk pengembangan diri
ke arah yang lebih baik.
Ketaatan Beragama
Menurut Mayasari (2014) ada hubungan yang signifikan
antara religiusitas dengan psychological well being. Hal ini
menandakan jika semakin tinggi religiusitas seseorang
maka akan meningkatkan kesejahteraan psikologis
seseorang tersebut. Seseorang yang mempunyai rasa
keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan bahwa
kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian,
memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup,
dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup,
maka ia dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup
yang baik. Dimensi ini sangat berkaitan erat dengan
transendensi dimana segala persoalan hidup diarahkan
kepada Tuhan dan individu yang memiliki tingkat
religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian
hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih
bermakna.
Al-Ghazali lebih menekankan bahwa esensi
kebahagiaan hanya terletak pada jiwa, puncak kebahagiaan
seorang manusia ialah kebahagiaan jiwa yang bisa
diperoleh dengan cara pengenalan terhadap diri sendiri,
Allah, dunia, dan akhirat. Manusia dianggap berbahagia
jika mampu mengenali empat hal tersebut. Dari keempat
pengenalan tersebut diketahui bahwa puncak kebahagiaan
seseorang ialah ketika seseorang mampu mengenal
Tuhannya (ma’rifatullah). Dengan seseorang lebih
mengenal Tuhannya, maka seseorang tersebut seakan tidak
lagi membutuhkan apapun di dunia, karena kebahagiaan
jiwanya telah tercukupi dengan kedekatannya dengan Yang
Maha Kuasa (Sofia dan Sari, 2018). Menurut Al-Ghazali,
kebahagiaan (al-sa’adah) tidak akan dicapai manusia
secara tiba-tiba atau apa adanya (taken for granted).
Dibutuhkan cara atau usaha agar manusia mampu mencapai
kebahagiaan hakiki yang menjadi tujuannya. Cara yang
dapat ditempuh seseorang dalam mencapai kebahagiaan
dapat melalui usaha lahiriyah dan bathiniyah, usaha
lahiriyah yang dimaksukan ialah kebahagiaan yang dicapai
dengan pengindraan atau dengan memanfaatkan anggota
badan seperti mulut untuk membaca dzikir, telinga untuk
mendengarkan ayat al-quran, dan hal-hal baik lainnya yang
memanfaatkan anggota badan. Sedangkan usaha
bathiniyah, usaha untuk mencapai kebahagiaan melalui
batin seperti sholat dan membaca al-quran untuk
menenangkan jiwa. Hal tersebut menjelaskan bahwa
seseorang yang memiliki ketaatan beragama dan senantiasa
bertakwa kepada Sang Pencipta akan selalu merasa cukup
dan bersyukur terhadap apapun keadaan hidupnya, karena
ia percaya bahwa itu yang terbaik untuk hidupnya menurut
Tuhannya sehingga ia akan menjalaninya dengan ikhlas dan
senantiasa akan menjadikannya lebih tenang dan bahagia
dalam menjalani kehidupan setiap harinya.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data Indonesia
Family Live Survey (IFLS-5) Tahun 2014 dari Survei Aspek
Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI).
Penelitian ini merupakan penelitian cross-section dari 24
provinsi di Indonesia termasuk provinsi Sumatra Barat,
Jambi, Lampung, seluruh provinsi di Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat (NTB), Riau, Bangka Belitung, seluruh
provinsi di Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Barat. Dari 50.000 responden Indonesia Family Live Survey
(IFLS-5), penelitian ini menggunakan 13.271 responden
yang terdiri dari pasangan kepala rumah tangga atau wanita
kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga lain yang
berumur 15 tahun atau lebih yang dapat memberikan
informasi.
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
67 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
Dalam penelitian ini menggunakan analisis
statistika deskriptif berdasarkan uji model logistik dan
marginal effect untuk melihat pengaruh antar variabel.
Li = ln (𝑃𝑖
1−𝑃𝑖) = β0 + β1x1i + β2x2i + β3x3i + β4x4i +
β5x5i + µi
Berdasarkan persamaan diatas, Li = Logit Y; β0 =
intercept; X1 = Status Pernikahan; X2 = Status Kesehatan;
X3 = Tingkat Pendidikan; X4 = Status Pekerjaan; X5 =
Ketaatan Beragama; μ = Errorterm; β1234 = Slope. Berikut
deskripsi variabel yang digunakan dalam penelitian ini:
Tabel 2.1. Deskripsi Variabel
Variabel Deskripsi
Kebahagiaan
Individu
0 = Tidak Bahagia
1 = Bahagia
Status Pernikahan 0 = Tidak Menikah (Belum menikah, Pisah,
Cerai hidup, Cerai mati, dan Kohabitasi)
1 = Menikah (Menikah formal melalui Catatan
Sipil/KUA, Menikah formal menurut hukum
agama, Menikah formal menurut hukum adat)
Status Kesehatan 0 = Tidak Sehat
1 = Sehat
Tingkat
Pendidikan
0 = Tidak Sekolah
1 = SD dan Sederajat
2 = SMP dan Sederajat
3 = SMA dan Sederajat
4 = Diploma/S1/Universitas Terbuka
5 = S2/S3
Status Pekerjaan 0 = Tidak Bekerja (Tinggal
dirumah/Menganggur, Mencari pekerjaan)
1 = Bekerja (Bekerja/ Membantu
mendapatkan penghasilan)
Ketaatan
Beragama
0 = Tidak Taat
1 = Taat
Tabel dibawah menunjukkan jumlah individu dan
persentase status pernikahan terhadap kebahagiaan
individu.
Tabel 2.2. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Status
Pernikahan
Status
Kebahagiaan
Status Pernikahan Total
Tidak
Menikah
Menikah
Tidak Bahagia 548 578 1.126
(4,13) (4,35) (8,48)
Bahagia 3.829 8.316 12.145
(28,85) (62,67) (91,52)
Total 4.377 8.894 13.271
(32,98) (67,02) (100)
Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)
Sumber: Penulis (2020).
Tabel 2.2. menjelaskan deskripsi kebahagiaan individu
berdasarkan status pernikahan, sampel yang digunakan
dalam penelitian ini berjumlah 13.271 responden atau
individu dalam rumah tangga IFLS-5 tahun 2014 yang
terdiri dari 8.894 individu atau 67,02% berstatus menikah
dan 4.377 individu atau 32,98% berstatus tidak atau belum
menikah (belum menikah, pisah, cerai hidup, cerai mati,
dan kohabitasi). Data diatas menunjukkan bahwa sebanyak
8.316 atau 62,67% individu dengan status menikah merasa
bahagia, sedangkan sebanyak 578 atau 4,35% individu
dengan status menikah merasa tidak bahagia. Sementara itu,
sebanyak 3.829 atau 28,85% individu dengan status tidak
menikah merasa bahagia dan sebanyak 548 atau 4,13%
individu dengan status tidak menikah merasa tidak bahagia.
Data yang disajikan pada tabel dibawah
menunjukkan jumlah individu dan persentase status
kesehatan terhadap kebahagiaan individu.
Tabel 2.3. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Status Kesehatan
Status
Kebahagiaan
Status Kesehatan Total
Tidak Sehat Sehat
Tidak
Bahagia
441 685 1.126
(3,32) (5,16) (8,48)
Bahagia 2.087 10.058 12.145
(15,73) (75,79) (91,52)
Total 2.528 10.743 13.271
(19,05) (80,95) (100)
Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)
Sumber: Penulis (2020).
Tabel 2.3. menjelaskan deskripsi kebahagiaan individu
berdasarkan status kesehatan yang responden rasakan,
sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah
13.271 responden atau individu dalam rumah tangga IFLS-
5 tahun 2014 yang terdiri dari 10.743 individu atau 80,95%
merasa sehat dan 2.528 individu atau 19,05% merasa tidak
sehat. Data diatas menunjukkan bahwa 10.058 atau 75,79%
individu yang merasa dirinya sehat dan bahagia, sedangkan
sebanyak 685 atau 5,16% individu yang merasa dirinya
sehat tetapi tidak bahagia. Sementara itu, ada 2.087 atau
15,73% individu yang merasa dirinya tidak sehat dan
merasa bahagia dan ada 441 atau 3,32% individu yang
merasa dirinya tidak sehat dan merasa tidak bahagia.
Data yang disajikan pada tabel dibawah
menunjukkan jumlah individu dan persentase tingkat
pendidikan terhadap kebahagiaan individu.
Tabel 2.4. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Tingkat
Pendidikan Status
Kebahagia
an
Tingkat Pendidikan Total
Tidak
Sekol
ah
SD SMP SMA S1 S2/S
3
Tidak
Bahagia
75 477 217 280 74 3 1.126
(0,57) (3,59) (1,63) (2,11) (0,56) (0,0
2)
(8,48)
Bahagia 280 2.959 2.362 4.305 2.131 108 12.14
5
(2,11) (22,3
0)
(17,8
0)
(32,4
4)
(16,0
6)
(0,8
1)
(91,52
)
Total 355 3.436 2.579 4.585 2.205 111 13.27
1
(2,68) (25,8
9)
(19,4
3)
(34,5
5)
(16,6
2)
(0,8
3)
(100)
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
68 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)
Sumber: Penulis (2020).
Tabel 2.4. menjelaskan deskripsi kebahagiaan berdasarkan
tingkat pendidikan responden, sampel yang digunakan
dalam penelitian ini berjumlah 13.271 individu meliputi
355 individu atau 2,68% tidak bersekolah, 3.436 individu
atau 25,89% dengan tingkat pendidikan SD Sederajat, 2.579
individu atau 19,43% dengan tingkat pendidikan SMP
Sederajat, 4.585 individu atau 34,55% dengan tingkat
pendidikan SMA Sederajat, 2.205 individu atau 16,62%
dengan tingkat pendidikan S1/Diploma/Universitas
Terbuka, dan 111 individu atau 0,83% dengan tingkat
pendidikan S2/S3. Dari data diatas dapat dijelaskan bahwa
individu dengan status tidak bersekolah dan merasa bahagia
sebanyak 280 individu atau 2,11%, sedangkan individu
dengan status tidak bersekolah dan merasa tidak bahagia
sebanyak 75 individu atau 0,57%. Selanjutnya, individu
dengan tingkat pendidikan SD Sederajat dan merasa
bahagia sebanyak 2.959 individu atau 22,30%, sedangkan
individu dengan tingkat pendidikan SD Sederajat dan
merasa tidak bahagia hanya 477 individu atau 3,59%.
Individu dengan tingkat pendidikan SMP Sederajat dan
merasa bahagia sebanyak 2.362 individu atau 17,80%,
sedangkan individu dengan tingkat pendidikan SMP
Sederajat dan merasa tidak bahagia hanya 217 individu atau
1,63%. Selanjutnya, individu dengan tingkat pendidikan
SMA Sederajat dan merasa bahagia ada sebanyak 4.305
individu atau 32,44%, sedangkan individu dengan tingkat
pendidikan SMA Sederajat dan merasa tidak bahagia hanya
280 individu atau 2,11%. Individu dengan tingkat
pendidikan S1/Diploma/Universitas Terbuka dan merasa
bahagia ada 2.131 individu atau 16,62%, sedangkan
Individu dengan tingkat pendidikan
S1/Diploma/Universitas Terbuka dan merasa tidak bahagia
hanya 74 individu atau 0,56%. Individu dengan tingkat
pendidikan S2/S3 dan merasa bahagia sebanyak 108
individu atau 0,81%, sedangkan individu dengan tingkat
pendidikan S2/S3 dan merasa tidak bahagia hanya 3
individu atau 0,02%.
Data yang disajikan pada tabel dibawah
menunjukkan jumlah individu dan persentase status
pekerjaan terhadap kebahagiaan individu.
Tabel 2.5. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Status Pekerjaan
Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)
Sumber: Penulis (2020).
Tabel 2.5. menunjukkan deskripsi kebahagiaan berdasarkan
status pekerjaan dari responden dengan jumlah responden
mencapai 13.271 individu yang terdiri dari 12.074 individu
atau 90,98% dengan status bekerja dan 1.197 individu atau
9,02% dengan status tidak bekerja. Dari data diatas dapat
dijelaskan individu dengan status bekerja dan merasa
bahagia ada sebanyak 11.101 individu atau 83,65%,
sedangkan individu dengan status bekerja dan merasa tidak
bahagia ada 973 individu atau 7,33%. Selanjutnya, individu
dengan status tidak bekerja dan merasa bahagia ada
sebanyak 1.044 individu atau 7,87%, sedangkan individu
dengan status tidak bekerja dan merasa tidak bahagia ada
153 individu atau 1,15%.
Data yang disajikan pada tabel dibawah
menunjukkan jumlah individu dan persentase ketaatan
beragama terhadap kebahagiaan individu.
Tabel 2.6. Deskripsi Kebahagiaan Berdasarkan Ketaatan Beragama
Keterangan: Tanda ( ) menunjukkan persentase (%)
Sumber: Penulis (2020).
Tabel 2.6. menjelaskan deskripsi kebahagiaan berdasarkan
ketaatan beragama responden dengan jumlah responden
13.271 individu yang terdiri dari 9.777 individu atau
73,68% dengan status taat beragama dan 3.494 individu
atau 26,32%. Dari tabel tersebut dapat diketahui jumlah
individu dengan status taat beragama dan merasa bahagia
sebanyak 9.043 individu atau 68,15%, sedangkan jumlah
individu dengan status taat beragama dan merasa tidak
bahagia sebanyak 734 individu atau hanya 5,53% saja.
Selanjutnya, jumlah individu dengan status tidak taat
beragama dan merasa bahagia sebanyak 3.102 individu atau
23,37%, sedangkan jumlah individu dengan status tidak taat
beragama dan merasa tidak bahagia sebanyak 392 individu
atau 2,95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut merupakan tabel dan penjelasan hasil regresi
logistik serta marginal effect:
Tabel 3. 1. Hasil Regresi Logit Kebahagiaan dengan Robust Standard Error
Status
Kebahagiaan
Status Pekerjaan Total
Tidak
Bekerja
Bekerja
Tidak Bahagia 153 973 1.126
(1,15) (7,33) (8,48)
Bahagia 1.044 11.101 12.145
(7,87) (83,65) (91,52)
Total 1.197 12.074 13.271
(9,02) (90,98) (100)
Status
Kebahagiaan
Ketaatan Beragama Total
Tidak Taat Taat
Tidak
Bahagia
392 734 1.126
(2,95) (5,53) (8,48)
Bahagia 3.102 9.043 12.145
(23,37) (68,15) (91,52)
Total 3.494 9.777 13.271
(26,32) (73,68) (100)
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
69 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
Sumber: Penulis (2020).
* Signifikan pada α=5%
Dari tabel 3.1 yang merupakan hasil dari regresi logistik
menjelaskan bahwa probabilitas individu untuk bahagia
dipengaruhi oleh semua variabel independen, antara lain
status pernikahan, dimana nilai siginifikansinya yang lebih
kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,000 sejalan dengan
pernyataan Badburn, Ada beberapa saran bahwa yang muda
lebih bahagia daripada yang tua, orang yang sudah menikah
daripada yang belum menikah, dan orang kulit putih
daripada orang kulit hitam (Easterlin, 1974). Variabel
status kesehatan, dimana nilai siginifikansinya yang lebih
kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,000 hal ini sejalan dengan
pernyataan bahwa seseorang yang sehat memberikan
kontirbusi positif pada kebahagiaan dibandingkan dengan
orang yang tidak sehat (Diener dan Seligman, 2004).
Variabel tingkat pendidikan, dimana nilai siginifikansinya
yang lebih kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,000 hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan yang dikombinasikan
dengan kemampuan menjalin hubungan yang lebih luas
akan berdampak positif terhadap well-being (Chen, 2012).
Variabel status pekerjaan, nilai siginifikansinya yang lebih
kecil dari 0,005 yaitu sebesar 0,013 pada dasarnya bahwa
pekerjaan itu penting untuk kesejahteraan karena
meningkatkan persepsi individu tentang self-esteem (Darity
dan Goldsmith, 1996). Variabel ketaatan beragama, dimana
nilai siginifikansinya yang lebih kecil dari 0,005 yaitu
sebesar 0,000. Seligman (2002) menyatakan bahwa agama
itu penting untuk mengatasi berbagai masalah psikologi,
yaitu dengan cara membangun emosi positif.
Nilai Pseudo R2 yang terdapat pada tabel diatas
sebesar 0,0954 atau 9,54 persen yang berarti bahwa
persamaan model dalam penelitian ini mampu menjelaskan
sebesar 9,54 persen faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap probabilitas kebahagiaan individu. Meskipun hasil
nilai Pseudo R2 relatif kecil, hal itu tidak membuat suatu
model dianggap tidak bagus. Menurut Gujarati (2003), hal
utama yang diperhatikan dalam uji Goodness of Fit adalah
indikator signifikansi model, tingkat signifikan masing-
masing variabel, dan arah koefisien variabel, sedangkan
besaran nilai Pseudo R2 tidak perlu diperhatikan. Uji
Likelihood Ratio (LR) atau dalam uji regresi linier disebut
Uji F-statistic pada tabel diatas ditunjukkan dari nilai
pro>chi2 sebesar 0,0000 yang berarti bahwa secara
bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap
probabilitas individu untuk bahagia dalam rumah tangga
IFLS tahun 2014.
Marginal Effect digunakan untuk melihat besarnya
pengaruh perubahan suatu variabel predictor atau variabel
bebas terhadap variabel respon (variabel terikat) dengan
asumsi variabel lainnya tetap. Berikut merupakan tabel
hasil marginal effect regresi logit:
Tabel 3.2. Hasil Marginal Effect Logit
Sumber: Penulis (2020).
* Signifikan pada α=5%
Tabel 3.2. diatas menjelaskan marginal effect regresi
logistik kebahagiaan individu, dimana setiap kenaikan satu
unit variabel bebas akan mempengaruhi perubahan
kebahagiaan individu. Status pernikahan berpengaruh
signifikan terhadap probabilitas individu untuk bahagia,
dimana probabilitas untuk bahagia individu yang berstatus
menikah sebesar 5,3 persen lebih tinggi dari pada individu
yang berstatus tidak menikah (belum menikah, pisah, cerai
hidup, cerai mati, dan kohabitasi), hal ini ditunjukan oleh
nilai koefisien marginal effect yaitu 0,0529724 ≈ 0,053.
Variabel status kesehatan individu juga memiliki
pengaruh signifikan terhadap probabilitas individu untuk
bahagia, individu yang merasa sehat memiliki probabilitas
untuk bahagia 8,5 persen lebih tinggi dibandingkan individu
yang tidak sehat, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien
marginal effect yaitu 0,0846768 ≈ 0,085.
Variabel tingkat pendidikan memiliki pengaruh
positif terhadap probabilitas individu untuk bahagia, dengan
bertambah tingginya tingkat pendidikan individu akan
meningkatkan pula probabilitas kebahagiaan individu
sebesar 3,1 persen, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien
marginal effect yaitu sebesar 0,0307766 ≈ 0,031.
Variabel status pekerjaan berpengaruh positif
terhadap probabilitas kebahagiaan individu, dimana
probabilitas individu dengan status bekerja untuk bahagia
1,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
berstatus tidak bekerja (tinggal dirumah/menganggur,
mencari pekerjaan), hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien
marginal effect yaitu sebesar 0,0170417 ≈ 0,017.
Variabel ketaatan beragama memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap probabilitas individu untuk
bahagia, dimana probabilitas untuk bahagia individu yang
taat beragama 2,7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan
Variabel Koefisien Robust
Standard
Error
P > |z|
Status
Pernikahan
0,7702097* 0,0692557 0,000
Status
Kesehatan
1,040026* 0,0680761 0,000
Tingkat
Pendidikan
0,5083354* 0,0310022 0,000
Status
Pekerjaan
0,2566068* 0,1027456 0,013
Ketaatan
Beragama
0,413875* 0,0696824 0,000
Pseudo R2
0,0954
Prob > chi2
0,0000
Variabel Marginal Effect dy/dx
Koefisien Standard
Error
Status Pernikahan 0,0529724* 0,00528
Status Kesehatan 0,0846768* 0,00703
Tingkat Pendidikan 0,0307766* 0,00173
Status Pekerjaan 0,0170417* 0,00746
Ketaatan Beragama 0,0273897* 0,00499
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
70 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
individu yang tidak taat beragama, hal ini dapat ditunjukkan
oleh nilai koefisien marginal effect yaitu sebesar 0,0273897
≈ 0,027.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan individu dengan menggunakan
analisis regresi logit, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Variabel status pernikahan berpengaruh signifikan
positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di
Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value
sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar
0,053 maka probabilitas seseorang untuk bahagia
dengan status menikah lebih tinggi 5,3 persen
dibandingkan seseorang dengan status tidak
menikah.
2. Variabel status kesehatan berpengaruh signifikan
positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di
Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value
sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar
0,085 maka probabilitas seseorang untuk bahagia
dengan status sehat lebih tinggi 8,5 persen
dibandingkan seseorang yang merasa tidak sehat.
3. Variabel tingkat pendidikan berpengaruh signifikan
positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di
Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value
sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar
0,031 maka probabilitas seseorang untuk bahagia
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah
sebesar 3,1 persen lebih tinggi dibandingkan
seseorang dengan status tidak bersekolah.
4. Variabel status pekerjaan berpengaruh signifikan
positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di
Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value
sebesar 0,013. Dengan nilai marginal effect sebesar
0,017 maka probabilitas seseorang untuk bahagia
dengan status bekerja lebih tinggi 1,7 persen
dibandingkan seseorang dengan status tidak bekerja.
5. Variabel ketaatan beragama berpengaruh signifikan
positif terhadap probabilitas kebahagiaan individu di
Indonesia, hal ini ditunjukkan oleh nilai p-value
sebesar 0,000. Dengan nilai marginal effect sebesar
0,027 maka probabilitas seseorang untuk bahagia
dengan status taat beragama lebih tinggi 2,7 persen
dibandingkan seseorang dengan status tidak taat
beragama.
Secara keseluruhan probabilitas faktor-faktor
yang mempengaruhi kebahagiaan individu di
Indonesia dengan menggunakan analisis regresi
logit mendapatkan hasil yang baik sesuai teori yang
ada. Dengan menggunakan variabel dependen yaitu
kebahagiaan individu, dan variabel independen yaitu
status pernikahan, status kesehatan, tingkat
pendidikan, status pekerjaan, dan ketaatan
beragama. Dari hasil uji regresi logit didapatkan
bahwa seluruh variabel independen berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kebahagiaan
individu.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, peneliti
dapat memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Masyarakat
a. Dari hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh
positif signifikan status pernikahan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, dan ketaatan beragama,
untuk itu bagi masyarakat yang tidak memiliki
kriteria dalam variabel penelitian ini seperti
berstatus tidak menikah, atau tidak sehat, atau
memiliki tingkat pendidikan rendah, atau tidak
bekerja, dan atau tidak taat beragama agar mencari
kegiatan atau variabel lain yang tidak ada dalam
penelitian ini yang dapat meningkatkan
kebahagiaan. Misalkan, kepuasan terhadap
lingkungan, adanya ketersediaan waktu luang, dan
lain sebagainya.
Yang terpenting ialah harus selalu bersyukur
seperti dalam QS. Ibrahim ayat 7 sebagai berikut:
بي لشديد وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لزيدنكم ولئن كفرتم إن عذا
Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-
Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
b. Bagi masyarakat secara umum diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran akan pentingnya
membangun rumah tangga ketika sudah siap baik
secara mental dan psikis, menjalankan pola hidup
sehat, memiliki kesadaran akan pentingnya
pendidikan baik pendidikan formal maupun non-
formal agar dapat menambah wawasan maupun
skill untuk memperoleh pekerjaan yang layak,
melakukan aktivitas bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraan seseorang dalam hal perekonomian,
dan menjaga komitmen beragama sesuai dengan
agama yang dianutnya.
2. Bagi Pemerintah
Diharapkan bagi Pemerintah untuk meningkatkan
fasilitas yang berhubungan dengan kesejahteraan
masyarakat seperti:
a. Menjalankan program Pranikah yang telah
diwacanakan untuk mengetahui seberapa siap
calon pasangan suami istri dalam menghadapi
jenjang pernikahan agar terciptanya kualitas
pernikahan yang baik.
b. Memperbaiki atau meningkatkan kualitas
pelayanan dan fasilitas kesehatan di seluruh
daerah, seperti di daerah terpencil yang belum
terjamah oleh fasilitas kesehatan yang memadai.
Misalnya menambah jumlah klinik atau puskesmas
di daerah-daerah.
c. Meningkatkan kualitas dan fasilitas pendidikan
baik formal maupun non-formal, seperti
membangun Balai Latihan Kerja (BLK), Lembaga
Kursus lainnya yang dapat menunjang kualitas
sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi
orang yang kurang mampu.
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
71 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
d. Meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk
memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat,
seperti jembatan atau proyek rumah bersubsidi
yang dapat menyerap tenaga kerja sehingga
mampu mengurangi pengangguran.
e. Menyediakan fasilitas tempat beribadah bagi umat
beragama baik di pemukiman maupun di tempat-
tempat publik seperti tempat wisata. Misalnya
seperti di Jepang, adanya Masjid keliling dari bus
dan dapat berubah menjadi sebuah ruang
dilengkapi tempat wudhu didalamnya yang
biasanya berkeliling ke tempat-tempat publik
sehingga wisatawan maupun masyarakat bisa
beribadah saat waktu sholat tiba.
REFERENSI
Abdel-Khalek, A. M. and Korayem, A. S. 2018. The
Relationship Between Happiness, Income, And
Unemployment Rate In Arab And Western
Countries. Mankind Quarterly, 59(2), pp. 242–
254.
Aghili, M. and Venkatesh Kumar, G. 2008. Relationship
between Religious Attitude and Happiness
among Professional Employees. Journal of the
Indian Academy of Applied
Psychology,34(April): pp. 66–69.
Agresti, A., Mehta, C. R. and Patel, N. R. 1990. Exact
Inference For Contingency Tables With Ordered
Categories. Journal of the American Statistical
Association.85(410):pp.453–458.doi:
10.1080/01621459.1990.10476220.
Achor, S. (2010). The happiness advantage: How a positive
brain fuels success in work and life. Currency.
Al-Qur'an Al-Kareem. QS. An-Nisa ayat 9.
Al-Qur'an Al-Kareem. QS. Ibrahim ayat 7.
Aryogi, I. & Wulansari, D. 2016. Subjective Well-being
Individu dalam Rumah Tangga Di Indonesia.
Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan, 1(1).
Bartolini, S. and Bilancini, E. 2010. If Not Only GDP, What
Else? Using Relational Goods To Predict The
Trends Of Subjective Well-Being. International
Review of Economics, 57(2), pp. 199–213. doi:
10.1007/s12232-010-0098-1
Berger-Schmitt, R. 2002. Considering Social Cohesion In
Quality Of Life Assessments: Concept And
Measurement. Social Indicators Research, 58(1–
3), pp. 403–428. doi:
10.1023/A:1015752320935.
Bergh, J. C. J. M. va. den. 2009. The GDP Paradox. Journal
of Economic Psychology, 30(2), pp. 117–135.
doi: 10.1016/j.joep.2008.12.001.
Biswas-diener, R., Diener, E. and Tamir, M. 2004. The
Psychology of Subjective Well-Being.
Psychological Bulletin, pp. 18–25.
Blanchflower, D. G. et al. 1994. Estimating a Wage Curve
for Britain 1973-90 Published by : Wiley on
behalf of the Royal Economic Society Stable.
The Economic Journal, 104(426), pp. 1025–
1043.
BPS. 2017. Indeks Kebahagiaan 2014. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
BPS. 2017. Indeks Kebahagiaan 2017. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Chen, H. 2015. An Analysis of Bhutan’s Gross National
Happiness. 4(2), pp. 66–74.
Chen, W. 2012. How Education Enhances Happiness:
Comparison of Mediating Factors in Four East
Asian Countries. Social Indicators Research,
106(1), pp. 117–131. doi: 10.1007/s11205-011-
9798-5.
Clark, A. E., Frijters, P. and Shields, M. A. 2008. Relative
Income, Happiness, And Utility: An Explanation
For The Easterlin Paradox And Other Puzzles.
Journal of Economic Literature, 46(1), pp. 95–
144. doi: 10.1257/jel.46.1.95.
Cuñado, J. and de Gracia, F. P. 2012. Does Education Affect
Happiness? Evidence for Spain. Social
Indicators Research, 108(1), pp. 185–196. doi:
10.1007/s11205-011-9874-x.
Darity, W. and Goldsmith, A. H. 1996. Social Psychology,
Unemployment and Macroeconomics. Journal of
Economic Perspectives, 10(1), pp. 121–140. doi:
10.1257/jep.10.1.121.
Diener, E. 1984. Subjective Well-Being. Psychological
Bulletin, 95(3), pp. 542–575. doi: 10.1037/0033-
2909.95.3.542.
Diener, E., Oishi, S. and Lucas, R. E. 2003. Personality,
Culture, and Subjective Well-Being: Emotional
and Cognitive Evaluations of Life. Annual
Review of Psychology, 54(1), pp. 403–425. doi:
10.1146/annurev.psych.54.101601.145056.
Diener, E. and Seligman, M. E. P. 2004. Beyond Money.
Psychological Science in the Public Interest,
5(1), pp. 1–31. doi: 10.1111/j.0963-
7214.2004.00501001.x.
Doblhammer, G. et al. 2009. A Systematic Literature
Review Of Studies Analyzing The Effect Of Sex,
Age, Education, Marital Status, Obesity, And
Smoking On Health Transitions. Demographic
Research, 20(June 2009), pp. 37–64. doi:
10.4054/demres.2009.20.5.
Easterlin, R. A. 1974. Does Economic Growth Improve the
Human Lot? Some Empirical Evidence, Nations
and Households in Economic Growth. Academic
Press, Inc. doi: 10.1016/b978-0-12-205050-
3.50008-7.
Emmons, R. A. and Diener, E. 1985. Personality Correlates
of Subjective Well-Being. Personality and
Social Psychology Bulletin, 11(1), pp. 89–97.
doi: 10.1177/0146167285111008.
Fleurbaey, M. 2009. Beyond GDP: The Quest For A
Measure Of Social Welfare. Part I. Voprosy
Proceedings The 1st UMYGrace 2020
(Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Undergraduate Conference)
72 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia, 27 Oktober 2020
Ekonomiki, 2012(2), pp. 67–93. doi:
10.32609/0042-8736-2012-2-67-93.
Ghozali, I. 2007. Aplikasi Analisis Multilavare dengan
Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Graham, Carol. 2009. Happiness Around The World: The
Paradox Of Happy Peasants And Miserable
Millionaires. New York: Oxford University
Press.
Gujarati, D. N., & Porter, D. C. 2003. Basic Econometrics
(ed.). New York: McGraw-HiII.
Gujarati, D. N. 2009. Basic Econometrics. Tata McGraw-
Hill Education.
Gujarati, D. N. 2013. Basic Econometrics (African Edition).
Hidayat, Y., Purwandari, T. and Bachrudin, A. 2016.
Mengukur Indeks Kebahagiaan Penduduk Kota
Bandung. Prosiding Seminar Nasional MIPA
2016, (2014), pp. 27–28.
Hosmer, D. W., Jovanovic, B. and Lemeshow, S. 1989. Best
Subsets Logistic Regression. Biometrics, 45(4),
p. 1265. doi: 10.2307/2531779.
Kahneman, D. 1999. Objective Happiness. Journal of High
Energy Physics, (3). doi:
10.1007/JHEP03(2016)040.
Kesebir, P. and Diener, E. 2008. In Pursuit of Happiness:
Empirical Answers to Philosophical Questions.
Notes, pp. 1–6. doi: 10.1007/978-90-481-2350-6.
Landiyanto, E. A. et al. 2011. Wealth and Happiness :
Empirical Evidence from Indonesia.
Chulalongkorn Journal of Economics, pp. 1–17.
Maulana, H. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.
Mayasari, R. 2014. Religiusitas Islam Dan Kebahagiaan.
Al-Munzir, 7(2), pp. 81–100. doi:
10.31332/am.v7i2.281.
Michalos, A. C. 2008. Education, Happiness and
Wellbeing. Connecting the Quality of Life
Theory to Health, Well-being and Education:
The Selected Works of Alex C. Michalos, pp.
277–299. doi: 10.1007/978-3-319-51161-0.
Munawir . 2014. Konsep Kenabian Menurut Ibnu
Khaldun. 15(1), pp. 116–132.
Nuqul, F. L. and Mauliawati, F. 2018. Kebahagiaan Ditinjau
Dari Status Pernikahan dan Kebermaknaan
Hidup. Jurnal Psikologi.
Purwana, A. E. 2014. Kesejahteraan Dalam Perspektif
Ekonomi Islam. Justicia Islamica, 11(1), pp. 21–
42.
Putra, G. B. B. and Sudibia, I. K. .2019. Faktor-Faktor
Penentu Kebahagiaan Sesuai Dengan Kearifan
Lokal Di Bali. Journal of Chemical Information
and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699. doi:
10.1017/CBO9781107415324.004.
Rahayu, I. K. 2015. Kesejahteraan Subjektif (Subjective
Well-Being) Pada Istri Narapidana Sekaligus
Penderita Kanker Ovarium (Studi Kasus Di Desa
Ngajum Kabupaten Malang). Skripsi.
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang.
Rahayu, T. P. 2016. Determinan Kebahagiaan di Indonesia.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis.
Rahayu, T. P. and Harmadi, S. H. B. 2016. The Effect of
Income, Health, Education, and Social Capital on
Happiness in Indonesia. Asian Social Science,
12(7), pp. 75–87. doi: 10.5539/ass.v12n7p75.
Raufaidah, E. 2015. Ilmu Ekonomi. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Robbins. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku dalam Organisasi.
Jakarta: Erlangga
Saptutyningsih, E., Sugiyanto, C., Adji, A., & Satriawan, E.
2015. Esai Tentang Produktivitas dan Keputusan
Merokok (Doctoral dissertation, Universitas
Gadjah Mada)
Seligman, M. E. P. 2002. Authentic Happiness: Using the
New Positive Psychology to Realize Your
Potential for Lasting Fulfillment. New York:
Free Press, 2002.
Sirgy, M. J. 1986. A Quality-of-Life Theory Derived from
Maslow’s Developmental Perspective.’
American Journal of Economics and Sociology,
45(3), pp. 329–342. doi: 10.1111/j.1536-
7150.1986.tb02394.x.
Smith, D. M. et al. 2005. Health, Wealth, and Happiness:
Financial Resources Buffer Subjective Well-
being After The Onset of a Disability.
Psychological Science, 16(9), pp. 663–666. doi:
10.1111/j.1467-9280.2005.01592.x.
Sofia, N. dan Sari, E. P. 2018. Indikator Kebahagiaan (Al-
Sa’adah) dalam Perspektif Alquran dan Hadis.
Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Psikologi, 23(2), pp. 91–108. doi:
10.20885/psikologika.vol23.iss2.art2.
Sohn, K. 2010. Considering Happiness For Economic
Development: Determinants Of Happiness In
Indonesia. KIEP Working Paper. Vol.10 No.9: 1
61
Soujanen, I. 2012. Work For Your Happiness: Theoretical
and empirical study defining and measuring
happiness at work.
Veenhoven, R. 1988. The Utility Of Happiness. Social
Indicators Research, 20(4), pp. 333–354. doi:
10.1007/BF00302332.
Winkelmann, R. 2008. Unemployment, Social Capital, And
Subjective Well-Being. Journal of Happiness
Studies, 10(4), pp. 421–430. doi:
10.1007/s10902-008-9097-2.
World Happiness Report. 2018. diakses pada November 27,
2019, http://worldhappiness.report/
World Happiness Report. 2019. diakses pada November 27,
2019, http://worldhappiness.report/
Wulandari, S. and Widyastuti, A. 2014. Faktor - Faktor
Kebahagiaan Di Tempat Kerja. Jurnal Psikologi
UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 10(Juni), pp. 41–
52.