ABDUL BAGAS ALKATIRI-FST.pdf

72
PERILAKU MAKAN DAN STATUS GIZI SIAMANG (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA TEGAL ALUR, JAKARTA ABDUL BAGAS ALKATIRI PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M / 1442 H

Transcript of ABDUL BAGAS ALKATIRI-FST.pdf

PERILAKU MAKAN DAN STATUS GIZI

SIAMANG (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)

DI PUSAT PENYELAMATAN SATWA TEGAL ALUR, JAKARTA

ABDUL BAGAS ALKATIRI

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M / 1442 H

i

Perilaku Makan dan Status Gizi Siamang (Symphalangus syndactylus

Raffles, 1821) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur, Jakarta

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ABDUL BAGAS ALKATIRI

NIM 11160950000033

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M / 1442 H

ii

Perilaku Makan dan Status Gizi Siamang (Symphalangus syndactylus

Raffles, 1821) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur, Jakarta

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ABDUL BAGAS ALKATIRI

11160950000033

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Narti Fitriana, M.Si

NIP.197006282014112002 NIDN. 0331107403

Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Priyanti, M.Si

NIP. 197505262000122001

iii

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Perilaku Makan dan Status Gizi Siamang (Symphalangus

syndactylus Raffles, 1821) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur, Jakarta” yang

ditulis oleh Abdul Bagas Alkatiri, NIM 11160950000033 telah diuji dan dinyatakan

LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 November 2020. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)

Program Studi Biologi.

Menyetujui:

Penguji I, Penguji II,

Dr. Nani Radiastuti, M.Si Etyn Yunita, M.Si

NIP. 197505262000122001 NIP. 197006282014112002

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Narti Fitriana, M.Si

NIP.197006282014112002 NIDN. 0331107403

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Ketua Program Studi Biologi,

Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env., Stud. Dr. Priyanti, M. Si

NIP. 196904042005012005 NIP. 197505262000122001

iv

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR

HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 19 November 2020

Abdul Bagas Alkatiri

11160950000033

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum w.w.

Bismillahirrohmaanirrohiim, hamdan wa syukron lillah. Puji syukur penulis

panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat – Nya, sehingga pelaksanaan dan

penulisan laporan penelitian dengan judul “Perilaku Makan dan Status Gizi Siamang

(Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal

Alur, Jakarta” dapat diselesaikan.

Penyusunan laporan penelitian dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat

untuk menyelesaikan gelar sarjana Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan

Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Penulis menyampaikan rasa

terima kasih kepada semua pihak yang atas segala bimbingan dan bantuan kepada

penulis selama ini dalam membuat dan menyusun laporan ini dan agar dapat bermanfaat

dan memberikan informasi yang berguna untuk semua pihak. Dalam penulisan laporan,

penulis ingin memberikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Dr. Priyanti, M. Si. selaku Ketua Program Studi Biologi Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta dan penguji II pada seminar proposal dan hasil yang

telah memberikan saran dan masukan yang membangun kepada Penulis.

3. Narti Fitriana, M. Si selaku Sekretaris Program Studi Biologi Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Pembimbing II yang senantiasa

membimbing dan memberi banyak ilmu, arahan dan bimbingan selama penelitian.

4. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku Pembimbing I yang senantiasa membimbing dan

memberi banyak ilmu, arahan dan bimbingan selama penelitian.

5. Khohirul Hidayah, M.Si selaku Penguji II pada seminar proposal dan hasil yang

telah memberikan saran dan masukan yang membangun kepada Penulis.

6. Dian Banjar Agung, S.Hut., M.Sc yang telah memberikan izin dan kesempatan

untuk melakukan penelitian di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur.

7. Teman-teman seperjuangan dari Program Studi Biologi, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Angkatan 2016.

vi

Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu. Untuk itu penulis berharap saran dan kritik yang membangun agar laporan

ini dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembaca untuk menambah informasi

dan pengetahuan.

Jakarta, 19 November 2020

Penulis

vii

ABSTRAK

Abdul Bagas Alkatiri. Perilaku Makan dan Status Gizi Siamang Symphalangus

syndactylus Raffles, 1821) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur, Jakarta.

Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Fahma Wijayanti dan

Narti Fitriana.

Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) adalah salah satu jenis kera hitam

berlengan panjang terancam punah yang dilindungi oleh regulasi nasional dan

internasional, oleh karena itu upaya konservasi eksitu perlu dilakukan dengan

pengelolaan yang baik. Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur Jakarta merupakan

satu-satunya tempat konservasi eksitu di bawah BKSDA Jakarta yang melakukan

pengelolaan siamang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku makan,

manajemen pengelolaan pakan dan status gizi siamang di PPS Tegal Alur. Penelitian

dilakukan pada bulan Maret - Juli 2020, dengan metode focal animal sampling dan ad

libitum sampling. Pengumpulan data manajemen pengelolaan pakan meliputi informasi

pemberian pakan dan jumlah pakan, sedangkan status gizi meliputi ciri fisik,

antropometri dan analisis komposisi pakan (energi, protein, karbohidrat, lemak dan air).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jadwal pemberian pakan siamang sudah sesuai

dengan waktu makan siamang di alam, yaitu pukul 07.00 WIB, 13.00 WIB dan 15.00

WIB. Pihak PPS Tegal Alur memberikan pakan berupa sembilan jenis buah, dua jenis

sayur dan satu jenis dedaunan. Siamang di PPS Tegal Alur sudah memenuhi jumlah

konsumsi pakan sesuai dengan bobot tubuhnya. Status gizi berdasarkan antropometri

menunjukkan bobot tubuh siamang belum sesuai dengan habitat alaminya. Pengamatan

morfologi memperlihatkan kondisi gigi dan mata siamang sehat, sedangkan beberapa

siamang memiliki kondisi rambut yang rontok dan mengalami depigmentasi. Kebutuhan

gizi belum memenuhi standar pada seluruh siamang karena zat protein yang terlalu

tinggi dan lemak yang terlalu rendah.

Kata kunci: Manajemen pakan; perilaku makan; PPS Tegal Alur; siamang; status gizi

viii

ABSTRACT

Abdul Bagas Alkatiri. Feeding Behavior & Nutritional Status of Siamang

Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) at Tegal Alur Animal Rescue Center,

Jakarta. Undergraduate Thesis. Department of Biology. Faculty of Science and

Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019. Advised

by Fahma Wijayanti dan Narti Fitriana.

Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) is an endangered species of black

long-armed ape that is protected by national and international regulations, therefore

conservation efforts need to be carried out with good management. The Tegal Alur

Jakarta Animal Rescue Center (PPS) is the only existing conservation area under the

Jakarta BKSDA which manages gibbons. This study aims to analyze feeding behavior,

feed management and nutritional status of gibbons in PPS Tegal Alur. The study was

conducted in March - July 2020, using focal animal sampling and ad libitum sampling

methods. Food management data collection includes information on feeding and the

amount of feed, while nutritional status includes physical characteristics of the body,

anthropometry and analysis of feed composition (energy, protein, carbohydrates, fat and

water). The results showed that the feeding schedule for gibbons was in accordance with

the feeding times of gibbons in nature, namely 07.00 WIB, 13.00 WIB and 15.00 WIB.

PPS Tegal Alur provides food in the form of nine types of fruit, two types of vegetables

and one type of leaves. Siamang at Tegal Alur PPS has met the amount of feed

consumption according to body weight. The nutritional status based on anthropometry

shows that the body weight of the gibbon is not in accordance with its natural habitat.

Morphological observations showed that the gibbon’s teeth and eyes were healthy,

while some gibbons had hair loss and depigmentation. Nutritional needs have not met

the standards in all gibbons due to too high protein and too low fat.

Keywords: Feeding behavior; food management; nutritional status; siamang; Tegal

Alur animal rescue center

ix

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v

ABSTRAK..................................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. xiii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah........................................................................................... 3

1.3. Tujuan ............................................................................................................. 3

1.4. Manfaat ........................................................................................................... 4

1.5. Kerangka Berpikir .......................................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siamang .......................................................................................................... 5

2.1.1. Perilaku ................................................................................................ 7

2.2. Pakan Siamang ............................................................................................... 8

2.3. Pemilihan Pakan Siamang ............................................................................ 10

2.4. Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur ......................................................... 11

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................................ 12

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................ 12

3.3. Metode Pengumpulan Data .......................................................................... 13

3.3.1. Penelitian Pendahuluan..................................................................... 13

3.3.2. Perilaku Makan ................................................................................. 13

3.3.3. Status Gizi......................................................................................... 14

3.3.4. Manajemen Pemberian Pakan .......................................................... 14

3.4. Analisis Data................................................................................................. 15

3.4.1. Aktivitas Harian ................................................................................ 15

3.4.2. Konsumsi Pakan ............................................................................... 15

3.4.3. Konsumsi Gizi .................................................................................. 15

3.4.4. Analisis Deskriptif ............................................................................ 16

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum ............................................................................................. 17

4.1.1. Kondisi Lingkungan ......................................................................... 17

4.1.2. Kondisi Kandang .............................................................................. 19

4.1.3. Kondisi Satwa ................................................................................... 22

4.2. Manajemen Pakan ......................................................................................... 23

4.2.1. Waktu dan Cara Pemberian Pakan ................................................... 23

4.2.2. Pakan Siamang ................................................................................. 24

4.2.3. Palatabilitas Pakan ............................................................................ 25

4.2.4. Jumlah Konsumsi Pakan ................................................................... 27

x

4.3. Status Gizi..................................................................................................... 28

4.3.1. Ciri Fisik dan Antropometri ............................................................. 28

4.3.2. Konsumsi Nutrisi Pakan ................................................................... 33

4.4. Perilaku Harian ............................................................................................. 36

4.4.1. Perilaku yang Berhubungan Langsung dengan Pola Makan ............ 36

4.4.2. Perilaku yang Tidak Berhubungan Langsung dengan Pola Makan .. 42

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ................................................................................................... 47

5.2. Saran ............................................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 48

LAMPIRAN - LAMPIRAN ......................................................................................... 54

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Berpikir .......................................................................................... 4

Gambar 2. Aktivitas Bersuara Siamang (Symphalangus syndactylus) di Alam ................ 6

Gambar 3. Peta Kawasan PPS Tegal Alur ....................................................................... 12

Gambar 4. Kandang Siamang Betina dan Jantan di PPS Tegal Alur ............................. 19

Gambar 5. Tempat Makan dan Minum Siamang di PPS Tegal Alur .............................. 20

Gambar 6. Beberapa Postur Tubuh Siamang di PPS Tegal Alur .................................... 29

Gambar 7. Kondisi Rambut Siamang di PPS Tegal Alur ................................................ 31

Gambar 8. Morfologi Gigi Siamang di PPS Tegal Alur ................................................. 32

Gambar 9. Morfologi Mata Siamang di PPS Tegal Alur ............................................... 33

Gambar 10. Persentase Aktivitas Harian Siamang di PPS Tegal Alur ............................ 36

Gambar 11. Aktivitas Makan Siamang di PPS Tegal Alur ............................................. 37

Gambar 12. Aktivitas Minum Siamang Betina di PPS Tegal Alur ................................ 40

Gambar 13. Aktivitas Urinasi dan Defakasi Siamang Jantan di PPS Tegal Alur .......... 41

Gambar 14. Tekstur Feses Siamang di PPS Tegal Alur .................................................. 42

Gambar 15. Aktivitas Bergerak dan Bersuara Siamang di PPS Tegal Alur .................... 44

Gambar 16. Aktivitas Istirahat Siamang di PPS Tegal Alur ........................................... 45

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jenis Tumbuhan Pakan Siamang di TSTJ dan THRWAR .................................. 9

Tabel 2. Urutan Pemilihan Pakan dan Bagian Yang Dikonsumsi di TSTJ .................... 11

Tabel 3. Kondisi Fisik Lingkungan Kandang ................................................................. 18

Tabel 4. Jenis Pakan Siamang di PPS Tegal Alur .......................................................... 25

Tabel 5. Palatabilitas Pakan Siamang di PPS Tegal Alur ............................................... 26

Tabel 6. Rata-rata Jumlah Pakan Siamang di PPS Tegal Alur ........................................ 28

Tabel 7. Hasil Pengamatan Ciri Fisik dan Antropometri Siamang di PPS Tegal Alur ... 30

Tabel 8. Konsumsi Gizi Pakan Siamang di PPS Tegal Alur .......................................... 34

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pakan Siamang di PPS Tegal Alur ............................................................. 54

Lampiran 2. Perhitungan Rata-Rata Faktor Fisik Kandang Siamang Betina ................. 55 Lampiran 3. Perhitungan Rata-Rata Faktor Fisik Kandang Siamang Jantan ................. 55

Lampiran 4. Jumlah Pakan yang Diberikan Selama 14 Hari ......................................... 56

Lampiran 5. Jumlah Pakan Sisa ...................................................................................... 56 Lampiran 6. Jumlah Pakan yang Dikonsumsi ................................................................ 56

Lampiran 7. Kandungan Gizi Pakan Siamang di PPS Tegal Alur ................................. 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Siamang (Symphalangus syndactylus) adalah salah satu jenis kera hitam

berlengan panjang yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah (PP) Republik

Indonesia tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa liar, juga termasuk jenis

terancam punah prioritas berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi

Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: SK 180/IV-KKH/2015 (Ditjen

KSDAE, 2015). Pada tingkat internasional, siamang termasuk Appendix I

berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of wild

fauna and flora (CITES) dan dikategorikan status genting (Endangared)

berdasarkan International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources Red List (IUCN) 2016.

Siamang memiliki sebaran terbatas di Pulau Sumatera dan beberapa

wilayah Semenanjung Melayu. Populasi siamang di Pulau Sumatera yang tersisa

hanya menempati kawasan lindung dan konservasi. Menurut Yanuar (2009),

penurunan populasi siamang terjadi setidaknya 50% sejak 40 tahun terakhir.

Penurunan populasi siamang diakibatkan oleh perburuan untuk perdagangan

hewan peliharaan. Ditambah deforestasi habitat yang cepat akibat alih fungsi

lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pembukaan lahan menjadi lahan

pertanian juga membuat populasinya berkurang di alam (Nijman dan Geissman,

2006). Masuknya siamang ke dalam daftar satwa langka membuat masyarakat

memiliki daya minat yang tinggi untuk memelihara primata tersebut. Oleh

karenanya dimasukan dalam Appendix I yang artinya dilarang dalam segala

bentuk perdagangan internasional dengan jumlahnya di alam kurang dari 800 ekor

(CITES, 2020). Namun demikian, sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat

akan konservasi cukup efektif dalam mengurangi jumlah masyarakat yang

memelihara satwa liar dilindungi. Hal ini ditandai dengan banyaknya masyarakat

yang menyerahkan satwa dilindungi kepada pihak berwajib.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi bertambahnya satwa liar yang

punah di alam. Salah satunya adalah didirikannya Pusat Penyelamatan Satwa

(PPS) di Bogor pada bulan Juli tahun 2000 yang merupakan hasil lokakarya

2

penanganan satwa liar yang dilindungi. Tujuan utama PPS adalah mengelola

satwa hasil sitaan atau penyerahan sukarela dari masyarakat untuk dirawat dan

direhabilitasi agar kemudian dapat dilepasliarkan kembali ke alam (YGI, 2006).

Dalam usaha pengelolaan tersebut, prinsip penting yang harus diperhatikan adalah

kesejahteraan satwa dengan membuat kondisi dimana kebutuhan hidup satwa

tersebut terpenuhi sesuai dengan habitat aslinya di alam. Salah satu faktor penentu

kelangsungan hidup satwa liar dan memegang peranan kunci dalam pengelolaan

satwa di PPS adalah pakan (Akbar, 2011). Keberhasilan usaha konservasi ini

didukung dengan informasi mengenai perilaku makan yang menyesuaikan dengan

perilaku satwa di alam.

Pemberikan pakan berupa sayur dan buah segar merupakan upaya

pemenuhan gizi berupa protein, lemak dan vitamin yang diperlukan dengan

menyesuaikan kebutuhan alaminya. National Research Council (2003),

merekomendasikan makanan untuk primata mengandung 15-22% protein

berdasarkan bahan kering, karena pada umumnya hewan akan makan untuk

memenuhi kebutuhan energi mereka. Kebutuhan energi primata juga meningkat

sekitar ¾ kekuatan massa tubuh, yang artinya primata perlu proporsi pakan yang

lebih tinggi dari berat tubuhnya dalam makanan setiap hari untuk memenuhi

keseimbangan nutrisinya. Kondisi primata yang sehat juga ditandai dengan

normalnya aktivitas harian yang dilakukan selama di kandang. Dalam

penelitiannya, Mahardika (2008) menunjukkan bahwa kondisi owa jawa di

penangkaran yang sehat dilihat dari normalnya keseluruhan aktivitas yang

dilakukan, yaitu primata tersebut akan makan saat merasa lapar, minum saat

merasa haus, melakukan aktivitas defekasi saat ingin defekasi dan juga aktivitas

lainnya. Penelitian di Javan Gibbon Center menyatakan bahwa primata lain

seperti owa jawa yang sehat, ditandai dengan tidak adanya luka disekujur tubuh

(Yohanna et al., 2014). Kesehatan fisik primata juga dapat dilihat dari sehatnya

kondisi rambut, gaya berjalan, nafsu makan, berat dan tinggi badan (National

Research Council, 1998).

Beberapa penelitian mengenai perilaku makan dan kandungan gizi pakan

siamang pada tempat konservasi eksitu telah dilakukan, namun belum ada yang

memperhatikan status gizi siamang dari kondisi kesehatan fisik dan

3

antropometrinya. Menurut Thamaria (2017), antropometri merupakan salah satu

metode penentuan status gizi dengan mengukur ukuran tubuh yang mencerminkan

perubahan karena adanya pertumbuhan. Tiyawati et al., (2016) dalam

penelitiannya menemukan bahwa siamang yang terdapat di Taman Agro Satwa

dan Wisata Bumi Kedaton diberikan pakan berupa ubi, kangkung, bayam, kacang

panjang, wortel, timun, dan pisang muli, dengan kandungan gizi terbesar yaitu

pisang muli dan termasuk dalam makanan yang paling banyak dikonsumsi per

harinya, yaitu 780 g. Penelitian Sharafina, (2017) menunjukkan bahwa jenis

pakan yang diberikan di Taman Satwa Taru Jurug, antara lain beberapa jenis

buah, sayur, tempe, telur dan daun, dengan jumlah konsumsi zat gizi tertinggi

pada siamang betina, yaitu energi sebesar 103,62 kal/bb/h, protein sebesar 3,72

g/bb/h, lemak sebesar 1,17 g/bb/h, karbohidrat sebesar 22,07 g/bb/h, dan air

sebesar 97,04 g/bb/h.

Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur Jakarta merupakan satu-

satunya tempat konservasi eksitu dibawah BKSDA Jakarta yang melakukan

pengelolaan siamang. Siamang tersebut diperoleh sebagian besar dari hasil sitaan

petugas PPS atau penyerahan sukarela dari masyarakat. Manajemen pengelolaan

siamang saat ini bergantung pada informasi umum seluruh satwa di PPS.

Penelitian terkait perilaku makan, manajemen pengelolaan pakan dan status gizi

siamang di PPS perlu dilakukan dengan harapan dapat menunjang

keberlangsungan hidup siamang yang sesuai dengan perilaku dan kebutuhannya.

1.2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana manajemen pemberian pakan siamang di PPS Tegal Alur?

b. Bagaimana status gizi siamang di PPS Tegal Alur?

1.3. Tujuan

a. Menganalisis manajemen pemberian pakan siamang pada PPS Tegal Alur.

b. Menganalisis status gizi siamang di PPS Tegal Alur.

4

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan

informasi bagi pengelola PPS Tegal Alur dalam melakukan perbaikan

pengelolaan pakan siamang.

1.5. Kerangka Berpikir

Penelitian perilaku makan dan status gizi siamang (Symphalangus

syndactylus) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur Jakarta memiliki kerangka

berpikir yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian perilaku makan dan status gizi siamang

(Symphalangus syndactylus) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur,

Jakarta

Analisis Perilaku Makan dan Status Gizi Siamang (Symphalangus

syndactylus) di Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur, Jakarta

Focal Animal

Sampling

- Suhu

- Kelembapan

- Kebisingan

- Intensitas cahaya

- Pemilihan

pakan

- Konsumsi

pakan

- Makan

- Minum

- Urinasi

- Defekasi

- Bergerak

- Grooming

- Istirahat

Perilaku

Makan

Aktivitas yang

mempengaruhi

pola makan

Aktivitas Harian Status

Gizi

Manajemen

Pemberian

Pakan

Lingkungan Kandang

PPS Tegal Alur

Siamang (Symphalangus syndactilus)

- Energi

- Protein

- Lemak

- Karbohidrat

- Air

- Berat badan

- Tinggi badan

- Mata

- Rambut

- Postur Tubuh

Ciri Fisik dan

Antropometri

Analisis

Proksimat

Pakan

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Siamang

Siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis kera hitam kecil

berlengan panjang yang termasuk keluarga Hylobatidae. Siamang memiliki

rambut hitam pekat yang hampir menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian muka

yang berwarna kecoklatan. Dibandingkan dengan keluarga Hylobatidae lainnya,

primata jenis ini berukuran lebih besar. Tubuhnya memiliki berat mencapai 11 kg,

dengan panjang 80-90 cm dan rentangan tangannya mampu mencapai 1,5 m.

Kantung suara pada leher memungkinkannya untuk bersuara keras dan dapat

menggelembung (BKSDA Lampung, 2007). Suara dikeluarkan secara bersama-

sama atau bersahutan antara jantan dan betina pasangannya. Kantung suaranya

mampu sebanding dengan ukuran kepala siamang saat sepenuhnya meningkat

(Supriatna & Ramadhan, 2016).

Siamang memiliki taksonomi sebagai berikut: Kingdom : Animalia;

Phylum : Chordata; Class : Mamalia; Order : Primata; Family : Hylobatidae;

Genus : Symphalangus; Spesies : Symphalangus syndactylus (Raffles, 1821)

bersinonim dengan Hylobates syndactylus, Symphalangus continentis,

Symphalangus gibbon, Symphalangus subfossilis dan Symphalangus volzi

(Nijman & Geissman, 2008). Jenis yang mendiami semenanjung Malaysia dan

Sumatera telah dianggap subjenis yang berbeda. S. syndactylus terbagi menjadi

dua subjenis yaitu S.s. syndactylus yang tersebar di Pulau Sumatera dan disebut

siamang Sumatera dan S.s.continentis yang tersebar di wilayah semenanjung

Malaysia dan disebut siamang Malaysia (Supriatna & Ramadhan, 2016). Siamang

juga terdapat di daerah kecil semenanjung Thailand (Nijman & Geissman, 2008).

Nama lokal dikenal dengan siamang, atau kimbo di beberapa daerah Pulau

Sumatera, imbo sebutan siamang untuk masyarakat suku batak di Sumatera Utara.

Hylobatidae memiliki habitat asli hanya di Asia Tenggara dan sekitarnya

termasuk sebagian wilayah Indonesia. Terdapat 3 jenis di Pulau Sumatera, yaitu

H. agilis, H. lar dan S. Syndactylus (Geissmann, 1995).

6

Gambar 2. Aktivitas bersuara siamang (Symphalangus syndactylus) di alam

(Fountain, 2011). Garis putih horizontal di bawah gambar sampel

menunjukkan skala 30 cm

Siamang tidak memiliki ekor, namun terdapat rumbai genital mengarah ke

bawah sepanjang 13,5 cm dan mirip ekor yang dapat dijumpai pada pejantan.

Terdapat semacam selaput kulit (web) yang dapat dijumpai pada penyatuan antara

jari kedua dan ketiga pada tangannya, kondisi tersebut tercermin dari nama ilmiah

jenis. Terkadang jari keempat dan kelima juga berselaput. Subjenis pada siamang

dibedakan dari morfologi hidung (Supriatna & Ramadhan, 2016). Menurut

Kuswanda & Garsetiasih (2016), bobot tubuh siamang sangat bervariasi sesuai

kelas umur sebagai berikut:

a. Rata-rata bayi dan anak (1-4 tahun) diperkirakan 0,6-4 kg,

b. Muda dan remaja (5-6 tahun) di atas 4-7 kg,

c. Sub remaja (7-8 tahun) di atas 7-10 kg, dan

d. Dewasa (di atas 9 tahun) untuk betina 10,5 kg dan jantan 12,8 kg.

Habitat siamang dari hutan dataran rendah (> 300 mdpl) hingga hutan

primer dataran tinggi 1.500 mdpl sampai 1828,8 mdpl (Nijman & Geissman,

2008) hingga 3.800 mdpl. Tiga jenis Hylobatidae tinggal di hutan hujan tropis

Sumatera, yaitu siamang (Symphalangus syndactylus), owa tangan putih (H. lar),

dan ungko (H. agilis) (Mubarok, 2012). Di Provinsi Sumatera Utara, siamang

tercatat dapat ditemukan di Cagar Alam Dolok Sipirok, Taman Nasional Gunung

Leuser, kawasan hutan Batang Toru (Mubarok, 2012).

Berdasarkan perlindungan dalam negeri, siamang termasuk satwa yang

telah dilindungi undang-undang dan peraturan perlindungan satwa liar pada tahun

1931, selanjutnya Menteri Pertanian mengeluarkan SK pada tanggal 14 Februari

1973 No. 66/Kpts/um/2/1973, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-

II/1991 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 (Rosyid, 2007). Peraturan

7

terakhir menyebutkan bahwa siamang termasuk satwa dilindungi dalam Permen

LHK No. P.20/MENLHK /SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan

satwa yang dilindungi. Perlindungan luar negeri seperti IUCN (International

Union on Conservation for Nature) Redlist Version 2014, menempatkan siamang

pada kategori terancam punah (Endangered), yang artinya dalam waktu

mendatang akan menghadapi risiko kepunahan yang tinggi di alam liar (Tiyawati

et al., 2016). Kemudian berdasarkan ketentuan perdangangan satwa liar, CITES

(Convention on International trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora), siamang termasuk Appendix I, yaitu jumlah yang sangat sedikit di alam,

dikhawatirkan akan punah dan larangan keras segala bentuk perdagangan

internasional secara komersil.

2.1.1. Perilaku

Siamang menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas pohon (arboreal).

Pergerakan siamang biasanya dibagi dalam empat kelompok utama, yaitu

climbing, leaping, brakiasi dan bipedal walking. Menurut WCS-IP (2000),

pergerakan yang paling umum dilakukan siamang adalah brakiasi, sedangkan

memanjat (climbing) berkisar 9-11%, berjalan dengan dua kaki (bipedal walking)

berkisar 8-11% dan melompat (leaping) berkisar 1-2%. Aktivitas harian siamang

dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Aktivitas Istirahat

Aktivitas istirahat ditandai dengan turunnya siamang ke bagian tajuk

paling rendah untuk menghindari teriknya sinar matahari (Yuliana, 2011).

Siamang memanfaatkan periode tidak aktif ini dengan berinteraksi sosial dengan

anggota kelompoknya seperti mencari kutu, menelisik dan bermain dengan

anaknya (Harianto, 1998).

2) Aktivitas Makan

Makan merupakan aktivitas yang sebanding dengan waktu istirahatnya

dibanding dengan aktivitas bergerak. Aktivitas ini memakan waktu yang besar

setiap harinya. Berkaitan dengan ketersediaan pakan dan perilaku makannya,

siamang sangat selektif dalam memilih pakannya (Harianto, 1998). Menurut

Chivers (1974), siamang menghabiskan 25% untuk makan dari aktivitas

8

hariannya. Aktivitas ini sangat aktif dilakukannya saat siang hari sampai matahari

terbenam (Andriansyah, 2005).

3) Aktivitas Berpindah

Aktivitas berpindah terbagi menjadi empat tipe, yaitu memanjat, berjalan,

brakiasi dan melompat. Atmanto et al. (2014) menuturkan bahwa pergerakan

siamang sebagian besar (81,64%) dilakukan dengan cara brakiasi. Dalam satu

hari, siamang mampu bergerak sampai 1 km dengan luas teritorialnya sekitar 47

ha (Supriatna & Ramadhan, 2016). Saat melakukan penjelajahan di wilayahnya,

betina lebih sering memimpin dibanding jantan (Chivers, 1974). Andriansyah

(2005) menambahkan individu betina sering terlihat berjalan terlebih dahulu dan

kadang menunggu untuk beberapa saat kemudian kembali ke belakang jika

anggota yang lain tidak mengikuti.

4) Aktivitas Bersuara

Berbeda dengan aktivitas siamang di alam, bersuara merupakan salah satu

aktivitas pertama yang biasa dilakukan di penangkaran (Sari & Sugeng, 2015).

Semua jenis Hylobatidae menghasilkan suara atau vokalisasi menyerupai

nyanyian dengan pola yang spesifik dan biasanya dilakukan pada pagi hari

(Nijman & Geissman, 2006). Dalam penelitiannya di Taman Agro Satwa dan

Wisma Bumi Kedaton, siamang melakukan aktivitas bersuara hampir di setiap

kegiatannya (Tiyawati et al., 2016). Siamang aktif bersuara jika banyak

pengunjung dan pada pukul 11.00 WIB – 13.00 WIB. Kegiatan bersuara

merupakan kegiatan yang selalu dilakukan oleh kelompok siamang yang

berfungsi untuk mempertahankan dan menunjukkan teritorialnya serta pengaturan

ruang antar kelompok (spacing mechanism) (Rinaldi, 1992).

2.2. Pakan Siamang

Fleagle (1988) mengategorikan sumber pakan menjadi tiga, yaitu:

1) Struktural, yaitu bagian tumbuhan yang meliputi daun, batang, cabang dan

materi tumbuhan lainnya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa);

2) Bagian reproduktif, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan

buah (matang atau mentah);

9

3) Materi dari hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata

maupun invertebrata.

Tabel 1. Jenis tumbuhan pakan siamang di Taman Satwa Taru Jurug, Surakarta

dan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Andriansyah, 2005;

Sharafina, 2017)

Kelompok Nama lokal Nama ilmiah

Buah

Nanas Ananas comosus

Mentawa Arthocarpus anisophylus

Pepaya Carica papaya

Semangka Citrullus lonatus

Jeruk Citrus sinensis

Melon Cucumis melo

Timun Cucumis sativus

Simpur Dillenia aurea

Jenitri Elaucarpus sphaericus

Tanaman salam Eugenia polyantha

Tin Ficus carica

Nyawai Ficus fariegata

Fikus Ficus fulva

Rukem Flacuurtia rukem

Petai Leucaena aurea

Litsea Litsea firma

Pisang Musa sp.

Bengkuang Pachyrrhizus erosus

Apel Pyrus malus

Trembesi Samanea saman

Surian Toona sureni

Jagung rebus Zea mays

Sayur Wortel Daucus corota

Kacang panjang Vigna Sinensis

Olahan Tempe rebus -

Telur ayam rebus -

Siamang adalah satwa liar yang sangat selektif memilih pakan. Pakan

utama siamang di habitat aslinya yaitu buah-buahan yang matang dan daun muda

(Rosyid, 2007a). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Atmanto et al.

(2014), jenis daun yang merupakan pakan alami siamang adalah ara (Ficus sp.),

aseman (Polygonum chinense), kenanga (Cananga odorata), nangkan (Palaquium

rostatum), kiteja (Cinnamomum inners), kemang (Mangifera caesia), Sempu air

(Dillenia excelsa), mengris (Kompassia excelsa), dan Polyalthia grandiflora.

Sedangkan jenis tumbuhan pakan buah siamang di alam, yaitu ara (Ficus sp.),

10

aseman (Polygonum chinense), deluak (Grewia paniculata), gandaria (Bouea

macrophylla), kenaren (Dacryodes rostrata), pelangas (Aporosa aurita) dan sapen

(Aplaia palembanica).

Selain kebutuhan pakan daun dan buah, siamang sering terlihat memakan

serangga-serangga kecil yang ada di dinding kandang, hal ini dikarenakan

siamang termasuk satwa omnivora dengan jenis pakan berupa daun, buah, bunga,

serangga dan binatang kecil lainnya. International center for Gibbon Studies,

California memberikan pakan siamang berupa apel, bayam, wortel, brokoli, kiwi,

seledri, ubi jalar, pisang dan selada (Mootnick, 1997). Berdasarkan penelitian

Sharafina (2017), di Taman Satwa Taru Jurug, siamang diberi pakan yang

komersial, seperti buah, sayur, tempe dan telur ayam, juga pakan non komersial

seperti daun, sedangkan dalam penelitian (Andriansyah, 2005) di Taman Hutan

Raya Abdul Rachman, siamang diberi pakan berupa buah (Tabel 1).

2.3. Pemilihan Pakan Siamang

Pemilihan pakan adalah urutan pakan yang dikonsumsi oleh satwa.

Berdasarkan penelitian Sharafina (2017), urutan pengambilan pakan siamang di

Taman Satwa Taru Jurug hampir sama setiap harinya dengan makanan yang

disukai yaitu buah-buahan, terutama nanas dan apel. Selanjutnya, jenis pakan

yang terakhir dikonsumsi oleh siamang jantan dan disukai oleh siamang betina

yaitu bengkuang. Perbedaan preferensi pakan antara siamang jantan dan betina di

penangkaran dapat disebabkan karena pola makan terdahulu yang berbeda

sebelum dirawat oleh pihak penangkaran, perilaku harian dan fisiologis

(Rasmada, 2008). Umumnya, kebutuhan makanan satwa jantan lebih tinggi

dibandingkan dengan satwa betina. Kondisi kesehatan satwa juga merupakan

faktor yang mampu mempengaruhi jumlah konsumsi pakan (Masy’ud & Ginoga,

2016).

11

Tabel 2. Urutan pemilihan pakan dan bagian yang dikonsumsi di Taman Satwa

Taru Jurug (Sharafina, 2017)

Kelompok Jenis pakan

Urutan

pemilihan pakan Bagian yang

dikonsumsi Jantan Betina

Buah Apel 2 1 Buah, kulit buah

Bengkuang 14 4 Buah

Jagung rebus 5 9 Biji

Jeruk 9 8 Buah, biji

Melon 8 7 Buah

Nanas 6 3 Buah, kulit buah

Pepaya 4 13 Buah, daun

Pisang 3 12 Buah

Semangka 7 6 Buah, kulit buah

Timun 10 5 Buah, kulit buah

Sayur Kacang panjang 12 14 Biji

Wortel 13 10 Umbi

Olahan Tempe rebus 11 11 Semua bagian tempe

Telur ayam rebus 1 2 Putih dan kuning telur

Biasanya, buah musim seperti apel, jeruk dan melon menjadi primadona

pakan siamang jantan dan betina (Sharafina, 2017). Siamang cenderung

mengkonsumsi buah yang memiliki warna menarik, rasa yang cukup enak, manis

asam dan sepah (Atmanto et al., 2014). Di habitat alaminya, pakan utama siang

berupa buah-buahan matang dan pucuk daun muda (Rosyid, 2007a).

2.4. Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur

Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) merupakan salah satu program nasional

dalam membantu penanganan satwa liar sebagai hasil konsekuensi upaya

penegakan hukum di bidang konservasi satwa liar melalui kegiatan penertiban dan

kampanye penyelamatan satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Kebutuhan dan

kesepakatan adanya program ini didasarkan kepada tindak lanjut Lokakarya

Penanganan Satwa Liar Peliharaan yang Dilindungi (SPL) di Bogor pada tanggal

20-21 Juli 2000. Lokakarya ini telah menghasilkan 11 rekomendasi penting, dan

satu di antaranya adalah kebutuhan akan fasilitas pengelolaan satwa liar

dilindungi, dari hasil proses penegakan hukum. Dalam konteks internasional,

Indonesia sebagai salah satu anggota CITES menyepakati resolusi untuk

menyediakan fasilitas transit satwa. Pusat Penyelamatan Satwa merupakan

program hasil kerjasama Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi

12

Alam Departemen Kehutanan Republik Indonesia (Ditjen PHKA Dephut RI),

dengan The Gibbon Foundation dan beberapa LSM di Indonesia (Prayudhi,

2015).

Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur adalah tempat transit

sementara satwa liar dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta

(BKSDA Jakarta), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. PPS ini

merupakan salah satu lembaga konservasi eksitu yang memiliki peran penting

untuk mendukung konservasi satwa liar secara insitu. Satwa tersebut berasal dari

hasil sitaan, temuan atau penyerahan dari masyarakat yang dirawat sementara

sebelum adanya penetapan penyaluran satwa (animal disposal) oleh Dirjen

KSDAE untuk pelepasliaran maupun translokasi ke Lembaga

Konservasi/Penangkaran. PPS Tegal Alur merupakan PPS yang paling banyak

melakukan translokasi satwanya ke beberapa PPS lain seperti PPS Cikananga, hal

ini dikarenakan lokasinya yang berdekatan dengan bandara Soekarno Hatta

sehingga apabila terdapat satwa yang ingin diperdagangkan dan disita oleh

petugas bea cukai bandara, maka satwa tersebut akan diserahkan ke PPS Tegal

Alur (Rino, 2009).

12

BAB II

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret – Juli

2020. Lokasi penelitian di PPS Tegal Alur, Jakarta tepatnya pada kawasan

kandang siamang (Gambar 3). Kegiatan pengambilan data dilakukan pada 3 bulan

pertama dan 2 bulan selanjutnya digunakan untuk kegiatan pengolahan dan

analisis data.

Gambar 3. Peta kawasan PPS Tegal Alur

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

data, yaitu kamera, alat tulis, jam tangan, timbangan, termometer udara,

higrometer, lux meter, sound level meter, panduan wawancara dan tally sheet.

Objek penelitian adalah lima individu siamang jantan dewasa (Sapri, Pixy, Gigih,

Mency & Patrick) dan satu individu betina dewasa (Noni). Umur siamang dewasa

mengacu pada Santosa et al., (2010), yaitu di atas 6 tahun. Siamang-siamang

tersebut adalah satwa hasil sitaan BKSDA dan penyerahan dari masyarakat.

13

3.3. Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan (preliminary) terlebih dahulu dilakukan sebelum

dimulainya pengambilan data penelitian. Preliminary bertujuan untuk

mendapatkan informasi aktivitas yang berhubungan dengan makan dan aktivitas

yang mempengaruhi pola makan siamang. Preliminary juga bertujuan untuk

mendekatkan pengamat pada satwa sebagai adaptasi. Metode yang digunakan

dalam penelitian preliminary adalah ad libitum, yaitu mengamati semua perilaku

pada siamang.

3.3.2. Perilaku Makan

Perilaku makan yang diamati dalam penelitian ini adalah palatabilitas

pakan, yaitu pengamatan urutan pemilihan dan pengambilan jenis pakan yang

dikonsumsi. Jenis pakan yang paling disukai oleh siamang yang diindikasikan

oleh banyaknya jumlah konsumsi jenis makanan tersebut. Urutan pengambilan

pakan diamati dengan cara melihat dari jenis pakan yang pertama kali dikonsumsi

oleh siamang sampai jenis pakan yang terakhir dikonsumsi oleh siamang.

Pengamatan aktivitas harian dilakukan selama 14 hari pengamatan untuk

masing-masing jenis kelamin. Pengamatan dimulai pukul 07.00 WIB – 16.00

WIB. Metode yang digunakan yaitu focal animal sampling, metode pengambilan

sampel yang berfokus pada satu individu atau unit yang diamati untuk jangka

waktu tertentu dalam pengamatan tingkah laku. Metode ini bertujuan untuk

mengetahui semua jenis tingkah laku yang dilakukan oleh individu yang diamati

(Altmann, 1974). Pencatatan perilaku siamang dilakukan dengan metode

Instantaneous, yaitu dengan mencatat perilaku siamang pada waktu atau periode

tertentu.

Kemudian pengamatan aktivitas siamang yang berhubungan langsung

dengan aktivitas makan, terdiri dari:

a. Aktivitas makan, yaitu memasukkan makanan ke dalam mulut, mengunyahnya

dan kemudian menelannya.

b. Aktivitas minum, yaitu memasukkan air/cairan ke dalam tubuh melewati

mulutnya.

14

c. Aktivitas defekasi, yaitu aktivitas mengeluarkan kotoran dalam bentuk padat.

d. Aktivitas urinasi, yaitu aktivitas mengeluarkan kotoran berbentuk cair.

Selain aktivitas yang berhubungan langsung dengan perilaku makan,

dilakukan juga pengamatan aktivitas harian yang mempengaruhi pola makan

siamang. Aktivitas yang diamati terdiri dari:

a. Lokomosi, yaitu aktivitas menggerakkan tubuh dengan cara berpindah dari

tempat yang satu ke tempat yang lain, bermain dan bersuara.

b. Grooming, yaitu aktivitas membersihkan diri atau merawat tubuh seperti,

menjilat dan menggaruk.

c. Istirahat, yaitu tidak adanya aktivitas yang terjadi, apabila siamang dalam

keadaan diam atau tidur dan duduk.

3.3.3. Status Gizi

Indikator penentuan status gizi dilihat dari ciri-ciri fisik, antropometri dan

analisis komposisi pakan. Ciri fisik primata yang diamati antara lain tanda fisik

pada tubuh, postur tubuh, rambut dan mata siamang. Selanjutnya antropometri,

yaitu salah satu metode penentuan status gizi dengan mengukur ukuran tubuh

yang mencerminkan perubahan karena adanya pertumbuhan (Thamaria, 2017).

Data antropometri berupa bobot tubuh dan tinggi siamang. Analisis komposisi

pakan dilakukan bersamaan dengan pengamatan perilaku makan. Setelah dilihat

komposisi pakan, dilanjutkan menganalisis nilai kandungan gizi dan kebutuhan

pakan yang dikonsumsi. Data dianalisis berdasarkan tabel komposisi pangan

Indonesia (PERSAGI, 2008) dengan menggunakan rumus konsumsi gizi tiap jenis

pakan. Konsumsi gizi pakan yang dinilai terdiri atas konsumsi energi, protein,

lemak, karbohidrat dan air.

3.3.4. Manajemen Pemberian Pakan

Data manajemen pakan akan dikumpulkan saat pengamatan meliputi

pembagian pakan, waktu pemberian pakan, cara pemberian pakan, jenis pakan

yang meliputi kelompok buah, sayur, serangga dan lain-lain, jumlah pakan yang

diberikan dan dikonsumsi (berat tiap pakan). Bobot pakan yang diberikan pada

satu hari ditimbang untuk setiap jenisnya dan sisa pakan keesokan harinya yang

15

masih berada di dalam kandang dikumpulkan dan ditimbang per jenis pakan

(Rahman, 2011).

Pengumpulan data lingkungan kandang meliputi kondisi kandang dan

faktor fisik lingkungan sekitar kandang. Kondisi kandang siamang meliputi

ukuran, alas, tempat pemberian pakan dan jeruji kandang. Faktor fisik yang diukur

meliputi pengukuran suhu, kelembapan, intensitas cahaya dan kebisingan.

Pencatatan faktor fisik dilakukan pada pagi pukul 07.00 WIB, siang pada pukul

12.00 WIB, dan sore hari pada pukul 15.00 WIB.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Aktivitas Harian

Analisis aktivitas harian dilakukan dengan menguraikan segala bentuk

aktivitas yang nampak dalam sebuah katalog berbentuk ethogram. Persentase

aktivitas setiap individu adalah sebagai berikut :

% Aktivitas =

Keterangan:

X = Frekuensi/lama suatu perilaku dilakukan

Y = Total frekuensi pengamatan/total waktu (Altmann, 1974)

3.4.2. Konsumsi Pakan

Banyaknya pakan yang dikonsumsi per hari dihitung rata-ratanya selama

pengamatan dan dihitung selisih antara sebelum dan sesudah pemberian pakan.

Besarnya konsumsi setiap jenis pakan dihitung dengan cara sebagai berikut:

K = g0-g1

Keterangan:

K= konsumsi pakan (g)

g0= berat pakan semula (g)

g1= berat sisa pakan yang diberikan (g) (Sharafina, 2017)

3.4.3. Konsumsi Gizi

Kandungan gizi pakan siamang diperoleh melalui data sekunder. Informasi

kandungan gizi diperoleh dari hasil analisis proksimat pada penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Rahman (2011). Analisis proksimat yaitu analisis kimia

untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terdapat di dalam bahan

16

makanan. Besarnya konsumsi gizi setiap jenis pakan dihitung dengan cara sebagai

berikut.

K =

Keterangan:

K= konsumsi gizi pakan (g)

a = berat pakan semula (g)

b = kandungan gizi dalam 100 g (kkal atau g)

%BDD = berat dapat dimakan (Sharafina, 2017)

3.4.4. Analisis Deskriptif

Data yang sudah dianalisis secara kuantitatif, kemudian dianalisis dengan

cara deskriptif dengan cara dibuat dalam bentuk tabel dan grafik/diagram. Hasil

tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam suatu kalimat yang dapat menjelaskan

dan menyimpulkan hasil penelitian.

17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum

4.1.1. Kondisi Lingkungan

Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tegal Alur terletak di Jl. Benda Raya,

Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Kawasan PPS dikelilingi oleh Taman

Pemakaman Umum (TPU) Tegal Alur dengan bagian depan kawasan berbatasan

langsung dengan jalan raya. Lokasi kandang satwa, termasuk siamang terletak

kurang lebih 120 m dari jalan raya. Lokasi kandang siamang terdapat pada bagian

paling belakang kawasan PPS dengan beberapa primata dan mamalia besar

lainnya, yaitu owa jawa, lutung jawa, beruang madu dan binturong. Kandang yang

berdekatan dengan primata lain biasanya memicu adanya suara bising karena

primata yang saling bersahutan satu sama lain. Kebisingan lainnya ditimbulkan

oleh suara kendaraan bermotor yang lewat, terutama yang berukuran besar. Pakan

siamang bersumber dari dapur pakan yang letaknya paling belakang kawasan PPS

dengan jarak ke kandang siamang sekitar 10 m.

Letaknya yang berada pada ketinggian 18 m di atas permukaan laut

membuat adanya perbedaan faktor fisik dengan habitat alaminya. Di habitat

alaminya, siamang umum dijumpai pada ketinggian di atas 300 mdpl, tepatnya

pada hutan dataran rendah (Kuswanda et al., 2019). Satwa yang ditempatkan di

PPS memiliki waktu adaptasi yang berbeda-beda. Beberapa siamang di PPS sudah

cukup beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, namun ada juga siamang yang

masih terlihat takut dan stres. Keadaan tersebut ditandai dengan sikap atau

gerakan yang tiba-tiba menjadi aktif saat keeper atau peneliti lewat depan

kandang. Walaupun sifat dan fungsi dari PPS adalah sebagai tempat sementara

beberapa satwa untuk dilepasliarkan kembali, tetapi satwa yang ditempatkan di

PPS perlu mengalami adaptasi untuk menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya.

Faktor eksternal yang mempengaruhi aktivitas harian siamang antara lain,

suhu udara, kelembapan udara, kebisingan dan intensitas cahaya. Pada saat suhu

udara yang tinggi dan kelembapan udara yang rendah siamang akan mengurangi

aktivitasnya selama di kandang dan lebih banyak beristirahat, atau sekedar

18

membersihkan bagian tubuhnya (grooming). Hasil pengukuran faktor fisik

lingkungan kandang selama pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara

sebesar 31.05±0,17 oC (pagi), 31,50±0,08 oC (siang) dan 30,22±0,09 oC (sore),

sedangkan rata-rata kelembapan udara sebesar 66,29±0,51 % (pagi), 64,79±0,1 %

(siang) dan 67,21±0,91 % (sore) (Tabel 4).

Suhu yang meningkat dan kelembapan yang rendah di siang hari

menyebabkan udara menjadi sangat panas. Keadaan tersebut membuat siamang

lebih banyak melakukan aktivitas beristirahat dan tidak banyak melakukan

aktivitas bergerak. Kondisi cuaca pada pagi hari cukup sejuk karena suhu yang

rendah dan kelembapan yang tinggi. Hal ini menyebabkan siamang banyak

melakukan pergerakan dan menghangatkan tubuhnya dengan mencari sinar

matahari. Apabila dibandingkan dengan suhu dan kelembapan udara di habitat

alaminya, kondisi di PPS Tegal Alur kurang optimum. Menurut Kuswanda et al.

(2019), suhu dan kelembapan yang stabil dan ideal bagi siamang di habitat

aslinya, yaitu antara suhu 18 oC – 25 oC dan rata-rata kelembapan udara 70% –

100%.

Tabel 3. Rata-rata kondisi fisik lingkungan kandang

Waktu (WIB) Suhu udara

(oC)

Kelembapan

udara (%)

Kebisingan

(dB)

Intensitas cahaya

(Lux)

07.00 (pagi) 31,05±0,17 66,29±0,51 48,32±0,35 5185,43±2025.08

13.00 (siang) 31,50±0,08 64,79±0,1 45,38±0,06 3642,04±1298.21

16.00 (sore) 30,22±0,09 67,21±0,91 46,28±1,26 2314,89±1630.84

Sumber kebisingan di kawasan PPS didominasi oleh suara saut-sautan

primata, suara burung dan suara kendaraan bermotor. Rata-rata kebisingan

terbesar terdapat pada pagi hari, yaitu sebesar 48,32±0,35 dB (Tabel 3). Pagi hari

merupakan waktu aktif bagi satwa di kawasan PPS dalam melakukan aktivitas

bersuara, seperti apa yang dilakukan oleh satwa burung jenis elang dan paruh

bengkok. Terkadang siamang pada pagi hari juga mengeluarkan suara bisingnya

melalui kantung suara (gullar sac), kemudian dilanjutkan dengan saut-sautan

dengan primata lain seperti owa jawa. Penyumbang terbesar suara kendaraan

bermotor di pagi hari adalah mobil-mobil besar seperti truk pengangkut barang.

Tingkat kebisingan di kawasan PPS Tegal Alur masih jauh dibawah batas baku

19

mutu kebisingan berdasarkan keputusan menteri lingkungan hidup No. 48 tahun

1996 untuk lingkungan kegiatan maksimal 55 dB. Meskipun sudah terbiasa

dengan suara tersebut, pengelola harus tetap melakukan pengecekan harian karena

dikhawatirkan siamang mengalami ketakutan atau stres.

4.1.2. Kondisi Kandang

Secara umum letak kandang di PPS Tegal Alur saling berdekatan dengan

satwa lain sehingga mempengaruhi aktivitas satwa lainnya terutama siamang.

Sistem perkandangan di PPS Tegal Alur umumnya dibuat memungkinkan adanya

udara bebas keluar masuk kandang, sehingga ventilasi udaranya cukup baik.

Kandang berventilasi menjamin adanya aliran udara yang terus menerus melewati

kandang dan sekitar satwa (Tillman et al., 1991). Anggraeni (2006)

menambahkan, kondisi kandang berventilasi mencegah adanya debu dan bau-

bauan yang mempengaruhi kondisi satwa di kandang.

(A) (B)

Gambar 4. Kandang siamang betina (A) dan jantan (B) di PPS Tegal Alur

Letak kandang siamang jantan dan betina memiliki jarak sekitar 15 m.

Kedua kandang berbentuk rumah panggung sehingga mudah dibersihkan karena

feses dan urine langsung jatuh ke bawah. Kandang siamang betina berukuran 2 m

(p) x 2 m (l) x 1 m (t), sedangkan kandang siamang jantan berukuran 3 m (p) x 2

m (l) x 2,5 m (t) (Gambar 4). Dinding kedua kandang siamang dibatasi dengan

ubin. Pada bagian atap, depan dan alas kandang terbuat dari besi galvanis. Pada

kandang betina terdapat tempat pakan permanen berbentuk seperti laci bervolume

20 cm2, sedangkan kandang jantan berbentuk seperti laci setengah lingkaran

bervolume 30 cm2 di bagian depan kandang (Gambar 5).

20

(A) (B) (C)

Gambar 5. Tempat minum (A) - makan siamang betina (B) dan jantan (C) di PPS

Tegal Alur

Posisi kandang siamang yang berbatasan langsung dengan satwa lain

membuat kemungkinan adanya interaksi satwa satu sama lain. Oleh karena itu

asbes putih di kandang siamang betina dipasang oleh pengelola PPS dengan

tujuan agar siamang tidak melakukan kontak fisik kepada satwa tetangga.

Kandang siamang betina berbatasan langsung dengan satwa binturong (Arctictis

binturong) dan lutung jawa timur (Trachypithecus auratus), sedangkan kandang

individu-individu siamang jantan berbatasan langsung dengan beruang madu

(Helarctos malayanus). Salah satu faktor penting dalam upaya modifikasi

kandang yang sesuai dengan habitat alaminya, pengelola melakukan beberapa

pengayaan di dalam kandang siamang. Kandang betina ditempatkan tali ban karet

dan batang pohon, sedangkan kandang jantan ditempatkan ban bekas, tali ban

karet dan tempat istirahat siamang yang terbuat dari kayu kaso.

Kandang merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan

kesejahteraan hewan. Peningkatan kualitas ruang kandang mampu meningkatkan

kesejahteraan hewan untuk memungkinkan melakukan pergerakan, eksplorasi dan

mengekspresikan perilaku alaminya. Belum ada standar khusus dalam penentuan

kualitas kandang untuk tempat penyelamatan satwa (animal rescue center).

Melalui pendekatan dengan standar kebun binatang, menurut Exhibited Animals

Protection (2000) tentang kebijakan yang berkaitan dengan kondisi primata di

kebun binatang, ukuran minimum kandang dengan maksimum tinggi siamang 89

cm, yaitu sebesar 9 m (p) x 13,5 m (l) x 4 m (t). Kandang yang ditempati siamang

jantan ialah kandang terbesar untuk kategori mamalia besar. Pengelola PPS perlu

memperhatikan ukuran kandang untuk siamang betina dikarenakan ukurannya

yang berbeda dengan ukuran kandang jantan dan jauh dari standar yang

ditetapkan oleh Exhibited Animals Protection (2000). Perkins (1992) menemukan

21

bahwa tingkat aktivitas orang utan meningkat dengan ukuran kandang yang lebih

luas.

Hal penting lainnya dalam menunjang kualitas kandang adalah bagaimana

primata memanfaatkan ruang yang tersedia untuk mereka beraktivitas. Pada

beberapa modifikasi satwa arboreal seperti primata, pengayaan kandang dapat

difokuskan pada akses bidang vertikal (Anderson, 2014). Menurut Ross et al.

(2011) kandang yang luas tidak terlalu penting bagi kesejahteraan hewan daripada

kompleksitas dan kegunaan ruang di dalamnya. Dengan menambahkan furnitur

yang membuat bagian ruang tengah dan atas dapat diakses, membuat area

kandang menjadi lebih berguna (Maple & Perkins, 1995). Pendekatan

rekomendasi oleh Sian (2002) di Kebun Binatang Ragunan yang memiliki luas

kandang siamang sebesar 2,5 m (p) x 2 m (l) x 3 m (t) , antara lain perlu dilakukan

pengayaan kandang primata, seperti cabang, tali, kayu gelondongan untuk

memberi hewan banyak aktivitas yang dapat dikerjakan di kandangnya.

Yohanna et al. (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa di Javan

Gibbon Center (JGC) kondisi kandang pada primata lain seperti owa jawa

dibedakan menjadi dua, yaitu kandang introduksi dan kandang pasangan. Kedua

kandang ini memiliki perbedaan yang jelas pada jenis kandang, lantai kandang

dan kondisi saluran kandang. Berbeda dengan PPS Tegal Alur, kebersihan lantai

kandang di JGC masih ditemukan feses yang menumpuk pada tanah, karena lantai

berupa semen dan tanah yang ditumbuhi vegetasi. Kondisi ini dikhawatirkan

menjadi tempat hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Terkait dengan aspek

kenyamanan, ukuran tempat tidur owa jawa di JGC sama seperti ukuran tempat

tidur siamang di PPS Tegal Alur, yaitu masih tergolong kecil dan belum sesuai

dengan yang direkomendasikan oleh Campbell (2008), yakni 1,6 m (p) x 2,0 m (l)

x 2,4 m (t). Pada penelitian Mahardika (2008), kondisi kandang owa jawa di PPS

Gadog memiliki sistem perkandangan yang hampir menyerupai dengan PPS Tegal

Alur, yaitu kandang setengah tertutup, berbentuk rumah panggung dan kotak

pakan yang berukuran 30 cm2. Dalam hal penyediaan air, pihak PPS Gadog

menyediakan tempat minum yang terbuat dari bahan aluminium berbentuk bulat

berdiameter 15 cm. Tempat minum tersebut telah mendukung primata dalam

melakukan aktivitas minumnya di alam. Pada siamang sendiri, aktivitas minum

22

dilakukan dengan cara mendulang air dengan telapak tangan dari lubang batang

pohon, kemudian dialirkan ke dalam mulut sambil menjilati tangannya (Rosyid,

2007).

4.1.2. Kondisi Satwa

Populasi siamang di PPS Tegal Alur sebanyak 7 ekor, yang terdiri dari 6

ekor jantan dan 1 ekor betina. Siamang yang digunakan dalam penelitian ini

sebanyak 6 ekor, yaitu 5 ekor siamang dewasa jenis kelamin jantan (Sapri, Pixy,

Gigih, Mency & Patrick) dan 1 ekor siamang dewasa jenis kelamin betina (Noni).

Terdapat beberapa siamang yang sedang menderita penyakit diare dan masih

dalam kondisi penyembuhan. Kondisi siamang yang dijadikan objek penelitian

ialah siamang yang sehat dan sudah berumur lebih dari 6 tahun. Kondisi siamang

yang sehat mengurangi kekhawatiran adanya penularan pada peneliti dan

memudahkan peneliti dalam melihat aktivitas hariannya. Sehatnya siamang dapat

ditandai dengan normalnya aktivitas hariannya, yaitu siamang akan makan saat

merasa lapar, minum saat merasa haus, melakukan urinasi saat ingin urinasi dan

sebagainya.

Beberapa persyaratan yang dibutuhkan dalam pemeliharaan primata antara

lain kualitas kandang yang baik, layanan dokter hewan spesialis, pengayaan

lingkungan dan berbagai macam makanan dan suplemen (NIDirect, 2014a). Salah

satu upaya yang dilakukan pengelola PPS dalam menjaga kesejahteraan siamang

ialah dengan memperhatikan kondisi satwa dengan adanya pengecekan rutin

setiap hari (daily check-up) dan 2 kali setahun (periodic check-up) oleh dokter

hewan dan penjaga (keeper). Daily check-up dilakukan dengan pemantauan satwa

pada pagi dan sore hari, sedangkan periodic check-up dilakukan dengan adanya

pengukuran kesehatan siamang secara fisik, analisis feses maupun pengecekan

darah. Menurut NIDirect (2014), primata pintar dalam menyembunyikan tanda

fisik. Oleh karena itu mengenali kondisi fisik yang baik dan perilaku normal

ketika sehat akan membantu menemukan tanda-tanda awal adanya perilaku yang

abnormal yang memperburuk kesehatan fisik, sehingga tindakan yang diperlukan

dapat diambil.

23

Aspek kesehatan satwa menjadi salah satu hal yang diperhatikan dalam

penelitian Yohanna et al. (2014) terhadap owa jawa yang merupakan satu

keluarga dengan siamang di Javan Gibbon Center (JGC). Setidaknya aspek-aspek

pengelolaan kesehatan owa jawa yang diperhatikan antara lain, aspek pemeriksaan

feses, luka, vaksinasi, kebersihan kandang dan pencegahan penularan penyakit

pada pengelola satwa. Pihak JGC tidak menjadwalkan secara rutin mengenai

pengecekan feses owa jawa, namun disebutkan beberapa owa sudah diketahui

kondisi kesehatannya melalui feses. Menurut Campbell (2008), setidaknya

pemeriksaan feses pada primata harus dilakukan dua kali dalam setahun dan harus

dilaksanakan ke dalam prosedur karantina rutin. Hal ini telah sesuai dengan apa

yang dilakukan pengelola PPS Tegal Alur dalam memasukan pemeriksaan feses

pada periodic check-up. Penelitian lain yang dilakukan oleh Akbar (2011) di PPS

Cikananga menjelaskan bahwa sebelum dikarantina setiap satwa termasuk

primata, akan dilakukan pengecekan kesehatan terlebih dahulu untuk mengetahui

kondisi fisik dan kesehatan satwa, meliputi penimbangan bobot tubuh,

pengukuran panjang atau tinggi tubuh dan pengecekan penampilan fisik. Hal

tersebut dilakukan untuk mengetahui penilaian awal dalam membuat keputusan

pelepasliaran.

4.2. Manajemen Pakan

4.2.1. Waktu dan Cara Pemberian Pakan

Pakan utama siamang di PPS Tegal Alur diberikan sebanyak tiga kali

sehari setiap pukul 07.00 WIB, 13.00 WIB dan 15.00 WIB. Pemberian pakan oleh

pengelola PPS telah sesuai dengan waktu pemberian pakan siamang di

International Center for Gibbon Studies, California sebanyak tiga kali dalam

sehari, yaitu sekitar pukul 07.00, 10.30 dan 14.30 (Mootnick, 1997). Pemberian

pakan tersebut memang sudah sepatutnya mengacu pada aktivitas makan siamang

di habitat alaminya (Sibarani, 2012). NIDirect (2014) menambahkan, primata

harus diberi makan sebanyak tiga kali untuk mengurangi kebosanan dan masalah

pada lambung. Hal yang dilakukan keeper sebelum pemberian pakan antara lain

dilakukan pencucian dan pemotongan pakan terlebih dahulu dengan tidak dibuang

24

bagian kulit dan bijinya, kemudian keeper meletakkan pakan yang siap diberikan

ke siamang di tempat pakan permanen.

Pemasokan pakan satwa di PPS dilakukan dua kali sehari dengan variasi

pakan yang beragam. Semua pasokan pakan untuk satwa diletakkan di dapur

pakan dan kotak penyimpanan untuk pakan jenis daging. Penyediaan air dalam

botol minum hanya dilakukan pada individu siamang betina dengan diberikan

secara ad libitum sehingga air selalu tersedia. Pakan siamang di pagi dan siang

hari diberikan di tempat pakan permanen tepat di depan kandang, sedangkan

pakan di sore hari diletakkan di atas kandang berupa dedaunan. Pemberian pakan

yang diletakkan di atas kandang telah mendukung siamang untuk melakukan

aktivitas makannya seperti di habitat alaminya, sedangkan letak tempat pakan

permanen yang posisinya di bawah kandang terkadang membuat siamang tidak

melakukan aktivitas makan sesuai dengan perilaku di alamnya. Menurut Rosyid,

(2007) sebagai satwa arboreal, siamang melakukan aktivitas makannya di atas

pohon.

Dalam menjamin kebebasan berperilaku alami, pengelola PPS perlu

menyediakan media khusus pemberian pakan di bagian atas kandang melihat

tempat pakan kandang yang permanen. Seperti tempat pakan khusus dari wadah

plastik yang digantung pada ketinggian ½ - ¾ kali dari tinggi kandang, namun

harus tetap disesuaikan dengan jangkauan keeper. Peletakan tempat pakan yang

tidak mendukung siamang dalam melakukan aktivitas alaminya, belum memenuhi

prinsip kesejahteraan apalagi ditunjukkan dengan perilaku abnormal, yakni

perilaku yang sering berada di lantai kandang, baik saat makan, bergerak maupun

tidur, karena secara alami siamang selalu berada di bagian atas kandang atau atas

pohon.

4.2.2. Pakan Siamang

Pakan siamang dibagi menjadi pakan utama dan pakan tambahan. Pakan

utama berupa buah dan sayur, sedangkan pakan tambahan berupa dedaunan

(Lampiran 1). Siamang juga diberikan vitamin seminggu sekali untuk memenuhi

kebutuhan nutrisinya. Pakan yang diberikan terdiri dari 12 jenis, dengan jenis

buah-buahan lebih banyak dibanding jenis sayur dan dedaunan (Tabel 4). Hal ini

25

disebabkan karena siamang adalah satwa frugivorous dan kemungkinan besar

sangat berperan dalam proses pemencaran biji di habitat alaminya (Santosa et al.,

2010). Pemberian pakan berupa dedaunan yaitu daun pepaya (Carica papaya)

dilakukan pada sore hari. Terkadang terlihat siamang jantan dan betina memakan

serangga-serangga kecil di sekitar dinding kandang, seperti laba-laba dinding

(Parasteatoda sp.). Hal ini telah sesuai karena memang primata pada umumnya

merupakan tipikal omnivora (Dunbar & Cowlishaw, 2000).

Tabel 4. Jenis pakan siamang di PPS Tegal Alur

Kelompok Nama lokal Nama ilmiah

Buah Pepaya Carica papaya Jeruk Citrus sinensis Semangka Citrullus lanatus

Timun Cucumis sativus Pisang lampung Musa paradisiaca Pisang kepok Musa cuminata balbisiana Jambu biji Psidium guajava Salak Salacca zalacca

Kacang panjang Vigna unguiculata ssp.

Sayur Sawi Brassica chinensis Wortel Daucus corota

Dedaunan Daun pepaya Carica papaya

Jenis pakan siamang di setiap tempat konservasi berbeda-beda. Taman

Satwa Taru Jurug memberikan jenis pakan siamang meliputi pisang, nanas,

pepaya, timun, bengkuang, apel, melon, semangka, jeruk, jagung rebus, wortel,

kacang panjang, tempe rebus dan telur ayam rebus (Sharafina, 2017).

International Center for Gibbon Studies memberikan siamang pakan berupa apel,

bayam, brokoli, kiwi, seledri, ubi jalar, pisang dan selada (Mootnick, 1997).

4.2.3. Palatabilitas Pakan

Pemilihan jenis pakan merupakan awal dimulainya aktivitas makan

siamang karena pengelola PPS memberikan jenis pakan yang cukup bervariasi.

Menurut Church (1976), sifat seleksi yang dimiliki hewan cukup tinggi terhadap

pakan yang tersedia. Siamang merupakan primata yang sangat selektif dalam

memilih pakan. Pakan yang disukai siamang akan diambil terlebih dahulu,

kemudian memakannya sampai habis. Pakan yang tidak disukai akan diambil

terakhir kali dan tidak dihabiskan atau dibuang. Berdasarkan peringkat

26

palatabilitas pakan, siamang di PPS Tegal Alur sangat menyukai pisang lampung

kemudian dilanjutkan buah pepaya dan salak, sedangkan semangka berada pada

tingkat kesukaan paling akhir (Tabel 5). Pakan yang diberikan pada pagi dan sore

sebagian besar dihabiskan oleh siamang. Terkadang sisa pakan yang jatuh

dibawah kandang, diambil oleh siamang kemudian dikonsumsi kembali.

Tabel 5. Palatabilitas pakan siamang di PPS Tegal Alur

Jenis pakan Tingkat

palatabilitas

Nama lokal Nama ilmiah

Pisang lampung Musa paradisiaca 1

Pisang kepok Musa cuminata balbisiana 4

Sawi Brassica chinensis 5

Timun Cucumis sativus 9

Salak Salacca zalacca 3

Wortel Daucus corota 6

Jeruk Citrus sinensis 7

Kacang panjang Vigna unguiculata ssp. 10

Pepaya Carica papaya 2

Jambu Psidium guajava 8

Semangka Citrullus lanatus 11

Keterangan : Angka 1 sampai 11 menunjukkan nomor urutan pemilihan pakan

yang pertama sampai yang terkahir kali dikonsumsi

Urutan pemilihan pakan merupakan salah satu bentuk pendekatan untuk

mengetahui tingkat kesukaan pakan yang diberikan. Dengan mengetahui pakan

kesukaan siamang, memudahkan keeper dan dokter hewan untuk melakukan

variasi pakan setiap harinya dan modifikasi pakan saat siamang sakit. Tingkat

pakan yang sangat disukai siamang akan diberikan secara jarang. Hal ini bertujuan

untuk memudahkan pemberian pakan pada siamang yang sakit. Umumnya

siamang yang sakit akan mengalami nafsu makan yang menurun, sehingga dengan

diberikannya pakan yang sangat disukai ditambah dengan vitamin, diharapkan

siamang memilih pakan tersebut, kemudian memakannya. Hal ini dapat

memudahkan fase penyembuhannya.

Secara umum siamang di lokasi penelitian terlihat menyukai buah-buahan

yang sudah matang, kemudian dilanjutkan dengan jenis sayur-sayuran. Tingkat

palatabilitas pakan dipengaruhi oleh tekstur, aroma, warna dan rasa dari pakan

yang diberikan. Berdasarkan pengamatan, buah yang disukai siamang memiliki

27

warna dan rasa yang beragam seperti jenis pisang dan pepaya. Hal ini sesuai

dengan Rosyid (2007), bahwa pakan utama yang disukai oleh siamang di alam

berupa buah-buahan yang masak. Buah yang dihabiskan siamang umumnya

memiliki warna yang menarik dan rasa yang cukup enak, manis, asam dan sepah

(Atmanto et al., 2014).

Pisang merupakan jenis pakan yang paling disukai siamang diantara pakan

yang diberikan. Hal ini diduga karena pisang memiliki warna yang menarik,

aroma yang khas dan tekstur yang lunak sehingga mudah dicerna oleh sistem

pencernaan siamang. Di habitat aslinya pisang juga mudah didapat. Pengelola

biasanya menggunakan pisang sebagai media tempat pemberian vitamin setiap

minggunya. Hasil serupa juga dialami oleh Sharafina (2017) bahwa siamang di

Taman Satwa Taru Jurug juga menempatkan pisang sebagai pakan yang paling

disukai siamang. Palatabilitas pakan tiap siamang yang berbeda diduga karena

perbedaan pola makan terdahulu, kondisi lingkungan kandang, fisiologis dan

aktivitas hariannya.

4.2.4. Jumlah Konsumsi Pakan

Pakan yang disukai siamang dapat ditentukan juga dengan mengetahui

palatabilitas pakannya dengan menghitung jumlah konsumsi pakan hariannya.

Tabel jenis pakan yang direkomendasikan pengelola sudah terdapat di dapur

pakan, namun jumlah pakan yang diberikan oleh keeper setiap harinya berbeda

karena biasanya tidak ditimbang terlebih dahulu. Pemberian pakan hanya

berdasarkan estimasi kebutuhan pakan tiap individu. Berikut merupakan tabel

rata-rata jumlah pakan yang diberikan dan dikonsumsi selama penelitian 14 hari

(Tabel 6).

Siamang di PPS Tegal Alur mengonsumsi rata-rata 559.63 g setiap hari

dengan sisa pakan berkisar 21.86 g (Tabel 6). Selama pengamatan konsumsi

pakan individu-individu siamang jantan lebih banyak dibanding siamang betina.

Secara umum siamang jantan memang mengkonsumsi lebih banyak pakan

dibanding siamang betina (Masy’ud & Ginoga, 2016). Seluruh siamang memiliki

nafsu makan yang cukup tinggi ditandai dengan nilai rata-rata persentase

konsumsi di atas 90%. Nafsu makan yang tinggi menunjukkan adanya kesehatan

28

yang baik pada siamang, karena menurut Masy’ud & Ginoga (2016), kondisi

kesehatan satwa dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan.

Tabel 6. Rata-rata jumlah pakan yang diberikan dan konsumsi siamang setiap hari

Hari ke- Jumlah yang

diberikan (g) Sisa (g)

Jumlah yang

dikonsumsi (g)

Persentase

konsumsi (%)

1 524,67 17,83 507,83 96,79

2 532,50 24,83 506,67 95,15

3 573,67 19,50 553,67 96,51

4 622,00 25,50 596,33 95,87

5 527,17 13,33 513,17 97,34

6 535,67 16,17 522,00 97,45

7 705,00 23,17 681,83 96,71

8 621,17 13,83 607,33 97,77

9 481,50 19,33 462,17 95,98

10 571,83 36,50 535,33 93,62

11 519,50 22,33 497,17 95,70

12 503,50 13,83 489,67 97,25

13 699,17 32,33 666,83 95,38

14 722,33 27,50 694,83 96,19

Jumlah 8139,67 306,00 7834,83 1347,73

Rata-rata 581,40 21,86 559,63 96,27

Standar deviasi 76.99 6.78 73.93 1.03

Berdasarkan bobot tubuh siamang di PPS Alur yang berkisar antara 4 – 6

kg, maka jumlah konsumsi makan sudah memenuhi minimal 10% dari bobot

tubuhnya, yaitu sebesar 400 g – 600 g. Menurut Elly et al. (2013), kebutuhan

pakan hewan ternak 10% dari bobot badannya. Alikodra (1990) menambahkan,

tingkat konsumsi pakan satwa liar dapat ditentukan dari nilai bobot tubuhnya yang

membutuhkan makanan sekitar 10%-20% bobot tubuhnya setiap hari.

4.3. Status Gizi

4.3.1. Ciri fisik dan Antropometri

Kondisi fisik siamang menggambarkan keadaan tubuh siamang yang

tampak dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kesehatan siamang juga dapat

ditandai dengan kondisi fisik yang normal. Menurut Bennett et al. (1995),

kesehatan fisik merupakan langkah paling mudah untuk menilai kesejahteraan

umum primata. Dalam menunjang kesejahteraannya, sejatinya primata harus

bebas dari ketidaknyamanan fisik dan rasa sakit yang dialami. Ukuran dimensi

tubuh primata juga dapat menunjukkan status gizinya dengan mengetahui ukuran

29

tubuh normalnya. Data fisik dan postur tubuh siamang selama pengamatan

disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan hasil pengamatan, siamang di PPS Tegal Alur berumur

sekitar 7 – 9 tahun. Individu-individu jantan memiliki bobot tubuh lebih berat

dibanding individu betina. Menurut Napier (1967), secara fisik memang bobot

tubuh siamang jantan lebih besar dibandingkan dengan betina. Umur seluruh

siamang sudah menunjukkan kelompok dewasa (adult) pada fase pertumbuhannya

menurut Santosa et al. (2010), yaitu fase pertumbuhan siamang dimulai dari bayi

saat lahir sampai berumur 2-3 tahun, kemudian anak (juvenile-1) saat berumur

kira-kira 2-4 tahun, muda (juvenile-2) saat berumur kira-kira 4-6 tahun, sub-

dewasa (sub-adult) saat mulai umur 6 tahun, dan dewasa (adult) melebihi umur 6

tahun.

(A) (B) (C) (D) (E)

Gambar 6. Postur tubuh siamang betina berdiri hadap belakang (tangan & kaki

bergetar) (A), duduk (B), rebahan (C), postur tubuh siamang jantan

berdiri hadap depan (D) dan duduk (E)

Bobot tubuh siamang di PPS Tegal Alur berkisar antara 5 - 6 kg. Standar

antropometri penilaian status gizi primata saat ini belum ada, oleh karena itu

dilakukan pendekatan dengan membandingkan bobot tubuh dan tinggi siamang

berdasarkan literatur. Beberapa siamang di alam diketahui bahwa jantan dewasa

memiliki bobot rata-rata 11,9 kg sedangkan betina 10,7 kg (Kuswanda et al.,

2019). Hasil survei di penangkaran, bobot rata-rata jantan dewasa sebesar 12,8 kg

dan betina sebesar 10,5 kg (Gron, 2008). Bobot tubuh siamang di lokasi penelitian

memiliki perbedaan sekitar 5 – 6 kg dibandingkan dengan sampel di alam dan di

penangkaran.

30

Tabel 7. Hasil pengamatan ciri fisik dan antropometri siamang di PPS Tegal Alur

Data fisik dan

postur

Siamang Standar normal kesehatan

siamang Noni ♀ Sapri ♂ Pixy ♂ Gigih ♂ Mency ♂ Patrick ♂

Tahun

penempatan 2017 2016 2009 2009 2009 2016

Dewasa (adult) : > 6 tahun [7]

Umur (tahun) 9 7 7 8 8 7

Antropometri

Tinggi (cm) 90 110 85 100 90 85 100 cm [2]

80 – 90 cm [3]

Bobot tubuh

(kg) 5 6 5 6 6 5,5

Jantan dewasa min 6,8 kg, max

19,4 kg; betina dewasa min 6,8

kg, max 15,7 kg [1]

Di alam : jantan dewasa (11,9

kg), betina dewasa (10,7 kg) [2]

Di penangkaran : jantan dewasa

(12,8 kg), betina dewasa (10,5

kg) [3]

Ciri fisik

Mata Sklera coklat, iris

hitam kecoklatan

Sklera coklat, iris

hitam kecoklatan

Sklera coklat, iris

hitam kecoklatan

Sklera coklat, iris

hitam kecoklatan

Sklera coklat, iris

hitam kecoklatan

Sklera coklat, iris

hitam kecoklatan

Sebagian besar primata memiliki

warna skrela coklat atau hitam [6]

Gigi Putih & lengkap Putih & lengkap Putih & lengkap Lengkap, kusam Putih & lengkap Putih & lengkap Susunan gigi 2/2, 1/1. 2/2, 3/3 :

32 [4]

Rambut

Hitam,

depigmentasi,

rontok dan jarang

Hitam, lebat Hitam, depigmentasi Hitam, lebat Hitam, lebat Hitam, lebat

Rambut tubuh : hitam pekat

mengkilap; Rambut wajah :

kecokelatan [3]

Bekas luka - -

Pada kepala, tangan

kiri, kaki kiri,

pinggul kanan

- Pada sebelah mata

kanan

Pada sebelah mata

kanan Tidak ditemukan bekas luka [5]

Postur tubuh

abnormal

Istirahat - - - - - - Tangan, kaki dan jari-jari yang

panjang memungkinkan siamang

menjangkau sel-sel kandang

untuk melakukan pergerakan

berayun secara bebas di alam /

kandang [5]

Brakiasi Gemetar pada kaki

dan tangan - - - - -

Bergerak Gemetar pada kaki

dan tangan - - - - -

Keterangan : 1. NRC (2003); 2. Kuswanda et al., (2019) ; 3. Gron (2008); 4. Myers et al., (2000); 5. Nidirect.gov (2020), 6. Than (2006), 7. Santosa et

al., (2010)

31

Pengamatan secara langsung memang menunjukkan bahwa kondisi

siamang memiliki badan yang kurus, terutama pada siamang betina. Hal ini bisa

menjadi perhatian khusus bagi pengelola untuk memperhatikan asupan gizi dan

pengecekan secara rutin apakah ada penyakit tertentu yang membuat kondisi

siamang belum sesuai dengan rata-rata bobot tubuh di alam ataupun di

penangkaran. Data tinggi tubuh seluruh siamang sudah menunjukkan rata-rata

tinggi siamang normal yaitu mencapai 1 m. Menurut Kuswanda et al. (2019),

tinggi siamang dapat mencapai 1 meter dengan bobot mencapai 14 kg.

(A) (B) (C)

Gambar 7. Kondisi rambut siamang betina yang rontok (Noni) (A), jantan yang

mengalami depigmentasi (Pixy) (B) dan jantan yang lebat (Sapri) (C)

di PPS Tegal Alur

Perawatan diri adalah perilaku normal primata yang ditandai dengan

melakukan aktivitas membersihkan diri seperti menggaruk dan menjilat rambut.

Perawatan diri yang berlebihan hingga menimbulkan stres, mampu membuat

rambut primata rontok dan menimbulkan luka pada kulit. Warna rambut yang

hitam lebat merupakan ciri siamang sehat dan normal. Rambut siamang berwarna

hitam dan sedikit abu-abu gelap di bagian antara dagu dan mulutnya (Palombit,

1997). Berdasarkan pernyataan tersebut, Sapri, Gigih, Mency dan Patrick

menunjukkan kondisi rambut yang normal, sedangkan Noni dan Pixy memiliki

kondisi rambut yang sedikit berbeda, yaitu mengalami depigmentasi dan rontok

(Gambar 7). Rambut yang rontok dapat mengurangi fungsi dari rambut itu sendiri,

yaitu sebagai pelindung dari serangan luar dan penghangat tubuh. Siamang

dengan rambut yang rontok dan mengalami depigmentasi dikhawatirkan berada

dalam kondisi stres atau memiliki penyakit tertentu seperti achromotrichia.

Menurut NRC (2003), achromotrichia pada beberapa jenis mamalia disebabkan

karena kelebihan unsur Zink, sehingga menyebabkan defisiensi Cu. Mann (1968)

32

menambahkan, rambut rontok pada monyet capuchin (Cebus albifron) disebabkan

karena kekurangan vitamin B6.

Gambar 8. Morfologi gigi siamang jantan di PPS Tegal Alur dengan susunan gigi

lengkap dan bersih

Semua primata patut memiliki kesehatan gigi dan mulut yang baik.

Menurut NIDirect (2014), masalah dengan kesehatan mulut dan kerusakan gigi

pada umumnya terjadi pada primata tawanan, terutama sebagai akibat dari diet

yang tidak tepat. Pengamatan secara morfologi menunjukkan bahwa siamang di

PPS Tegal Alur memiliki susunan gigi yang lengkap dan terlihat bersih, yaitu

berjumlah 32. Siamang memiliki susunan gigi 2/2, 1/1, 2/2, 3/3 = 32 (Myers et al.,

2000) dengan fungsi dasarnya yaitu mengumpulkan dan mengunyah makanan

(Karyawati, 2012). Selain itu mata yang sehat menjadi salah satu tanda kesehatan

fisik pada primata. Penglihatan yang sehat pada mata siamang di lokasi penelitian

ditandai dengan adanya respons mata saat ada pergerakan di depan kandang,

seperti lewatnya keeper atau peneliti. Berdasarkan pengamatan morfologi, mata

seluruh siamang memiliki sklera berwarna coklat dan iris berwarna hitam

kecokelatan. Hal ini sesuai dengan Than (2006), bahwa sebagian besar primata

memiliki warna skrela berwarna coklat atau hitam seragam, sehingga cukup sulit

menentukan arah yang mereka lihat dari mata mereka sendiri.

33

(A) (B) (C)

(D) (E) (F)

Gambar 9. Morfologi mata siamang betina (Noni) (A), jantan 1 (Sapri) (B), jantan

2 (Gigih) (C), jantan 3 (Mency) (D), jantan 4 (Pixy) (E) dan jantan 5

(Patrick) (F) di PPS Tegal Alur

Ketidaknyamanan fisik pada primata dapat dilihat dari tanda-tanda yang

tidak normal, seperti kehilangan nafsu makan, tidak responsif, melukai diri sendiri

dan postur tubuh yang tidak biasa. Hasil pada Tabel 9 menunjukkan bahwa

terdapat postur tubuh yang tidak biasa pada siamang betina (Noni). Selama

pengamatan teramati postur tubuh Noni saat makan, bergelantung dan berdiri

menunjukkan kaki dan tangan yang bergetar (Gambar 6). Kondisi yang dialami

Noni diduga karena umurnya yang sudah tua dan penempatan yang lama di PPS

Tegal Alur. Struktur tangan, kaki dan jari-jari yang panjang seharusnya

memungkinkan siamang untuk menjangkau sel-sel kandang untuk melakukan

pergerakan berayun seperti apa yang dilakukan di tajuk-tajuk pohon (NIDirect,

2014a). Lanjutnya, primata yang menua dan mengalami gangguan pada

pergerakannya mungkin menderita penyakit artritis atau akibat dari umur yang

sudah menua (NIDirect, 2014a). Hal ini perlu diperhatikan pengelola PPS untuk

menghindari ketidaknyamanan dan rasa sakit pada primata yang merupakan

bagian dari kesejahteraan satwa.

4.3.2. Konsumsi Nutrisi Pakan

Kebutuhan nutrisi merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam

menunjang kesejahteraan siamang. Nutrisi yang diperoleh digunakan siamang

dalam upaya mendapatkan energi dan kebutuhan gizi lainnya seperti protein,

lemak, karbohidrat dan air. Gizi tersebut berguna untuk melakukan aktivitas dan

fisiologis tubuhnya. Menurut Kurniawaty (2009), jumlah konsumsi pakan dan

34

kandungan zat makanan tiap bahan pakan mempengaruhi nutrisi pakan yang

dikonsumsi siamang. Rasmada (2008) menambahkan, kandungan nutrisi pakan

sejalan dengan peningkatan konsumsi pakan pada satwa. Kandungan nutrisi tiap

jenis pakan berbeda-beda disajikan pada Lampiran 8.

Informasi pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa kedua jenis pisang

mengandung karbohidrat paling tinggi, kemudian dilanjutkan dengan semangka.

Pisang mengandung banyak pati sehingga mudah dirombak tubuh untuk menjadi

sumber energi utama bagi siamang. Kebutuhan energi ini dibutuhkan siamang

untuk melakukan aktivitas hariannya. Menurut Rahman (2011), energi pada pakan

dikatakan terlalu tinggi jika lebih dari 3000 kal/g. Kandungan energi untuk semua

jenis pakan menunjukkan angka yang rendah, yaitu di bawah 3000 kal/g.

Cuaca di Jakarta pada periode April - Juni 2020 tergolong panas dan

memiliki curah hujan yang rendah, yakni 0-20 mm (BMKG, 2020). Kondisi

tersebut membuat siamang di PPS Tegal Alur membutuhkan lebih banyak air

untuk memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuhnya. Siamang memperoleh

kebutuhan air dengan mengkonsumsi pakan berupa semangka, sawi dan pepaya.

Semangka diketahui sebagai buah yang bersifat dingin, penyejuk tubuh dan

penghilang haus (Safuan, 2007). Menurut NRC (2003), kebutuhan air pada

primata beragam, tergantung komposisi pakan, metabolisme tubuh dan aktivitas

hariannya.

Tabel 8. Konsumsi gizi pakan siamang di PPS Tegal Alur

Individu

Zat Gizi

Energi

(kal/g/h)

Protein

(g/bb/h)

Lemak

(g/bb/h)

Karbohidrat

(g/bb/h)

Air

(g/bb/h)

Noni 356,99 9,32 2,14 85,10 517,45

Sapri 384,49 9,66 2,19 141,31 553,04

Pixy 375,75 9,03 1,83 149,01 421,14

Gigih 309,84 7,35 1,56 137,04 357,98

Mency 389,99 8,42 1,70 184,00 431,53

Patrick 391,51 8,50 1,73 180,46 427,57

Jumlah 2208,57 44,02 11,74 1994,72 2304,76

Rata-rata 368,09 7,34 1,96 332,45 384,13

Berdasarkan hasil perhitungan konsumsi gizi, rata-rata siamang di PPS

Tegal Alur memperoleh zat gizi berupa energi sebesar 368,09 kal/g/h, protein

sebesar 7,34 g/bb/h, lemak sebesar 1,96 g/bb/h, karbohidrat sebesar 332,45 g/bb/h

35

dan air sebesar 384,13 g/bb/h (Tabel 8). Perbedaan konsumsi gizi tiap siamang

yang tidak jauh berbeda disebabkan karena selama pengamatan seluruh siamang

dalam keadaan sehat sehingga memiliki nafsu makan yang tinggi. Namun tetap

perlu diperhatikan konsumsi gizi tiap individu karena tidak semua satwa bereaksi

terhadap pemberian pakan yang sama. Menurut NIDirect (2014b), salah satu

langkah untuk memantau asupan makanan tiap individu adalah memastikan

palatabilitas pakan yang disukai (seperti pisang), tidak mengarah pada perilaku

makan yang tidak seimbang.

Standar kebutuhan energi, protein, lemak dan karbohidrat pada siamang

belum tersedia, oleh karena itu dilakukan pendekatan pada kebutuhan energi

monyet ekor panjang dewasa, yaitu sebesar 100-210 kal/bb/h, kebutuhan protein

primata dewasa sebesar 3 g/bb/ h dan kebutuhan lemak Trachypitecus cristatus

sebesar 9,17 g/bb/h (NRC, 2003). Berdasarkan informasi tersebut, kebutuhan

energi siamang di PPS Tegal Alur melebihi standar dari NRC (2003) untuk

ukuran monyet ekor panjang dewasa yang umumnya memiliki berat 3 - 4 kg pada

betina dan 5 -7 kg pada jantan (Payne et al., 2000). Jika dibandingkan dengan

ukuran bobot tubuh siamang dewasa yang berkisar 10 – 12 kg, maka dapat

diasumsikan kebutuhan energi seluruh siamang sudah mendekati standar normal.

Konsumsi protein seluruh siamang melebihi kebutuhan protein primata dewasa

yang direkomendasikan NRC (2003), yaitu memiliki rata-rata sebesar 7,34 g/bb/h.

Kebutuhan konsumsi lemak juga menunjukkan adanya kekurangan dari jumlah

yang direkomendasikan oleh NRC (2003).

Kekurangan konsumsi lemak disebabkan karena pemberian berlebih pada

pakan yang mengandung protein tinggi. Protein yang tinggi pada pakan

disebabkan oleh pemberian berlebih daun pepaya yang memiliki kadar protein

sebanyak 8 g kandungan gizi per 100 gram pakan. Pengelola melakukan

pemberian daun pepaya dengan tujuan melancarkan sistem pencernaan siamang.

Diketahui memang daun pepaya mengandung serat kasar tinggi dan enzim papain

sehingga dapat melancarkan defekasi. Namun perlu adanya batasan pemberian

daun pepaya karena memiliki kadar protein yang tinggi. Menurut Burek et al.

(1988), walaupun kelebihan protein patologis pada jenis monyet jarang terjadi,

namun kasus ini memungkinkan adanya perubahan patologis di ginjal yang

36

kadang menyebabkan gagal ginjal terminal. Pemberian pakan berupa daun pepaya

harus dikurangi dan digantikan dengan pemberian pakan alternatif berupa buah

yang mengandung lemak tinggi, seperti alpukat atau sawo tiap harinya. Sharafina

(2017) dalam penelitiannya merekomendasikan pemberian jagung rebus sebagai

pakan pengganti tempe sebagai sumber energi dan lemak.

4.4. Perilaku Harian

Pengamatan perilaku harian siamang di PPS Tegal Alur dilakukan pada

pukul 07.00 WIB - 16.00 WIB, selama 126 jam. Pengamatan dilakukan pada

waktu aktif siamang yaitu pada siang hari. Menurut Mubarok (2012), aktivitas

harian yang dilakukan oleh kelompok Hylobatidae di tajuk pohon dimulai dari

sebelum matahari terbit hingga sore hari. Aktivitas yang diamati dikelompokkan

menjadi dua golongan aktivitas, yaitu aktivitas yang berhubungan langsung

dengan pola makan, meliputi aktivitas makan, minum, urinasi dan defekasi,

kemudian aktivitas yang tidak berhubungan langsung dengan pola makan meliputi

aktivitas grooming, bergerak dan istirahat. Persentase aktivitas siamang di PPS

Tegal Alur disajikan pada Gambar 10.

14.68

1.09 1.48 0.99

17.14

21.42

43.21

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

50.00

Makan Minum Urinasi Defakasi Grooming Bergerak Istirahat

% A

ktiv

itas

Jenis Aktivitas

Gambar 10. Rata-rata persentase aktivitas harian siamang di PPS Tegal Alur

4.4.1. Perilaku yang berhubungan langsung dengan pola makan

Perilaku yang berhubungan langsung dengan pola makan, yaitu aktivitas

makan, minum, defekasi dan urinasi. Aktivitas makan menempati urutan paling

37

tinggi pada perilaku pola makan itu sendiri, yaitu memiliki rata-rata persentase

sebesar 14,68 %, kemudian diikuti dengan aktivitas urinasi sebesar 1,48 %,

aktivitas minum sebesar 1,09% dan aktivitas defekasi sebesar 0,99% (Gambar

10).

Aktivitas makan merupakan salah satu perilaku harian siamang. Menurut

Alikodra (1990), aktivitas makan dijadikan sebagai kebutuhan energi untuk

melakukan aktivitas harian dan menjaga kelangsungan hidup siamang. Aktivitas

makan siamang berturut-turut dimulai dari pemilihan pakan, kemudian

mengambil pakan, memeriksa pakan, mengolah pakan, menggigit pakan,

mengunyah pakan, menelan pakan, mengeluarkan pakan, sampai membuang

pakan. Terkadang terlihat juga siamang mengambil pakan yang telah dibuang

untuk diolah dan dikonsumsi kembali.

(A) (B)

Gambar 11. Aktivitas makan siamang betina (A) dan jantan (B) di PPS Tegal Alur

Aktivitas makan menempati urutan keempat dalam rata-rata persentase

aktivitas harian siamang di PPS Tegal Alur. Setiap siamang memiliki persentase

aktivitas makan yang berbeda-beda. Perbedaan aktivitas makan tiap siamang

disebabkan karena adanya perbedaan cara menghabiskan pakannya. Contohnya

saat pemberian pakan siamang betina (Noni) dan dua individu siamang jantan

(Pixy & Gigih), mereka langsung menghabiskan pakan saat itu juga, sedangkan

individu-individu lainnya tidak langsung menghabiskan pakanannya saat itu,

tetapi berangsur-angsur sambil melakukan aktivitas lokomosi dan grooming.

Setelah mengambil pakan pertamanya, biasanya beberapa siamang bergerak ke

bagian atas kandang kemudian menghabiskan waktu makannya di atas kandang,

seperti di tempat istirahatnya atau di sel kandang bagian atas (Gambar 11).

38

Hal ini sejalan dengan Rosyid (2007) yang mengatakan bahwa posisi

siamang saat makan biasanya duduk atau berdiri dan dapat pula menggantung di

cabang pohon. Lain halnya dengan siamang betina (Noni) yang kebanyakan

menghabiskan waktu untuk makan dilantai kandang. Sebagai satwa arboreal,

sudah sepatutnya siamang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk makan

dan bergerak di bagian atas kandang untuk membiasakan pada perilaku alaminya.

Berdasarkan pengamatan, alasan Noni tidak melakukan aktivitas makannya di atas

kandang karena ukuran kandang yang terlalu kecil sehingga sangat membatasi

pergerakannya. Pihak PPS perlu memberikan perhatian khusus pada Noni untuk

terbiasa kembali pada perilaku alaminya dalam upaya persiapan pelepasliaran ke

alam atau ke lembaga konservasi. Terlihat selama pengamatan siamang

melakukan aktivitas makannya dengan cara duduk di atas kandang, batang kayu

atau tempat istirahatnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Sharafina (2017), bahwa

aktivitas makan siamang di Taman Satwa Taru Jurug kebanyakan dilakukan

dengan cara duduk di batang kayu. Siamang di habitat alaminya memerlukan

vegetasi yang saling terhubung antar cabang pohon, karena termasuk satwa

arboreal yang melakukan sebagian besar aktivitasnya ditajuk pohon dan jarang

sekali turun ke lantai hutan (Sultan et al., 2009).

Jumlah pakan yang diberikan pengelola PPS untuk seluruh siamang sama,

sehingga kelimpahan jenis pakan tidak mempengaruhi aktivitas makannya.

Menurut Meijaard et al. (2001), palatabilitas dan kelimpahan jenis pakan mampu

mempengaruhi aktivitas makan siamang. Pakan yang dikonsumsi Sapri umumnya

tidak bersisa. Sisaan pakan yang biasa dijumpai berupa kulit dan biji buah-

buahan. Kulit buah-buahan yang tidak bisa diolah antara lain kulit pisang kepok,

salak, jeruk dan kacang panjang, sedangkan kulit pisang lampung mampu

dihabiskan karena memiliki tekstur lunak dan ketebalan yang tipis. Adanya variasi

tekstur dalam pemberian pakan membantu siamang memanfaatkan gigi-giginya

yang kuat. Diketahui bahwa siamang mempunyai gigi taring yang sama pada

jantan dan betina (Christyanti, 2014), yang berguna untuk mengunyah dan

mencabik makanan.

Siamang memiliki kebiasaan yang unik saat mengkonsumsi pakan yang

diberikan keeper. Saat mengupas kulit, siamang menggunakan kaki untuk

39

mencengkeram buah, kemudian salah satu tangannya mengupas kulit, lalu tangan

dan kaki lainnya mencengkeram sel-sel kandang. Keunikan lainnya ditunjukkan

saat memakan kacang panjang. Siamang menggunakan salah satu tangannya

untuk mencengkeram dan mengelupas kacang panjang, kemudian mengeluarkan

isinya menggunakan gigi serinya. Siamang hanya memakan kacang panjang yang

masih segar dan muda, sedangkan kacang panjang yang sudah tua tidak akan

dimakan. Selain itu siamang suka menjilat sisa makanan yang terdapat pada

tangan atau bagian tubuh mereka. Kulit buah yang biasa dikonsumsi kembali atau

sekedar dijilat, yaitu kulit pisang kepok, kulit jeruk dan kulit salak. Selama

pengamatan, Noni, Mency dan Patrick terlihat selektif dalam memilih pakan. Hal

ini ditandai dengan perilaku mengeluarkan kembali pakan yang kurang disukai

dari mulut. Aktivitas ini umumnya terlihat saat mengkonsumsi jeruk karena hanya

mengambil sari jeruknya saja. Ketika sari jeruk sudah didapat, maka sisanya akan

dikeluarkan dari mulut.

Dalam memenuhi kebutuhan air, pengelola PPS Tegal Alur menyediakan

wadah air berupa botol pada beberapa satwa liar salah satu diantaranya yaitu pada

siamang betina (Noni). Rata-rata persentase aktivitas minum siamang sebesar

1,09% (Gambar 10). Rendahnya persentase minum siamang disebabkan karena

pengelola PPS hanya memberikan minum kepada Noni. Individu-individu

siamang jantan tidak diberikan minum berupa wadah botol berisi air dikarenakan

mereka memiliki tingkah laku yang agresif dan suka memainkan wadah minum

tersebut, sehingga menyebabkan wadah banyak yang hancur. Pihak PPS perlu

memperhatikan pemasangan wadah minum untuk individu-individu siamang

jantan demi menunjang kebutuhan air untuk tubuh mereka. Noni meminum air

dengan cara menyedot air yang tersedia di dalam botol. Cara meminum seperti ini

tidak mencerminkan perilaku minum siamang di habitat aslinya. Menurut Rosyid

(2007), cara minum siamang di alam yaitu dengan mendulang air dengan telapak

tangan dari lubang batang pohon, kemudian dialirkan ke dalam mulut sambil

menjilati tangannya.

40

Gambar 12. Aktivitas minum siamang betina di PPS Tegal Alur

Pada siamang betina (Noni), persentase aktivitas minum merupakan

aktivitas kedua setelah makan, kemudian diikuti dengan aktivitas urinasi dan

defekasi. Noni biasanya melakukan aktivitas minum setelah aktivitas makan

selesai. Aktivitas minum berhubungan dengan aktivitas bergerak siamang selama

di kandang, dimana semakin tinggi siamang melakukan berbagai macam gerakan

maka akan lebih tinggi siamang untuk minum. Selain itu aktivitas minum

berhubungan juga dengan aktivitas makan. Pakan berupa buah dan sayur segar

mengandung air yang tinggi sehingga semakin tinggi aktivitas makan, maka

aktivitas minumnya akan rendah. Hal ini dapat dilihat dari individu-individu

siamang jantan yang banyak menghabiskan pakan berupa buah segar untuk

memenuhi kebutuhan airnya dalam sehari. Buah-buahan yang diketahui

mengandung banyak air, yaitu semangka, timun dan sawi. Dalam penelitian

Yohanna et al. (2014), primata lain seperti owa jawa terlihat jarang

mengkonsumsi air, karena diduga kebutuhan air telah terpenuhi dari buah-buahan

yang dikonsumsi. Kappeler (1981) menambahkan, kebutuhan air pada primata

dapat dipenuhi dari buah-buahan dan bahan makanan lainnya. Tiga sumber utama

air pada tubuh hewan berasal dari air minum, air pada bahan makanan dan air

metabolik yang didapat sebagai hasil oksidasi makanan (McDonald et al., 2010).

41

(A) (B)

Gambar 13. Aktivitas urinasi (A) dan defakasi (B) siamang jantan di PPS Tegal

Alur

Rata-rata persentase aktivitas urinasi siamang di PPS Tegal Alur sebesar

1,48% (Gambar 10). Aktivitas urinasi siamang biasanya diawali dengan

melakukan aktivitas bergerak pada kandang, kemudian diam di suatu tempat

sambil berpegangan pada sel atap kandang dan kedua kaki berpegangan pada

bagian bawah kandang seperti posisi jongkok (Gambar 13). Urinasi pada siamang

betina (Noni) dilakukan di bagian bawah kandang, sedangkan pada individu-

individu siamang jantan dilakukan di bagian atas sel kandang.

Aktivitas urinasi dipengaruhi oleh asupan makanan dan faktor lingkungan.

Selama pengamatan aktivitas urinasi siamang betina (Noni) lebih tinggi dibanding

individu-individu siamang jantan. Hal ini disebabkan oleh asupan makanan

berupa air yang lebih banyak dikonsumsi. Oleh karena itu, aktivitas minum yang

tinggi diikuti dengan banyaknya siamang melakukan urinasi. Faktor lingkungan

yang mempengaruhi aktivitas urinasi adalah suhu lingkungan dan aktivitas

pembersihan kandang. Keeper membersihkan kandang siamang pada pagi hari

membuat kandang menjadi basah dan terkadang terkena bagian tubuh siamang.

Rata-rata kelembapan udara sekitar kandang yang tinggi membuat suhu

lingkungan kandang menjadi lebih rendah, sehingga aktivitas urinasi menjadi

cukup tinggi. Oleh karena itu, salah satu penyebab tinggi rendahnya aktivitas

urinasi adalah suhu lingkungan yang berubah-ubah. Menurut Anggraeni (2006),

suhu lingkungan yang tinggi memungkinkan terjadinya proses penguapan

(evaporasi) air dalam tubuh sehingga tubuh membutuhkan cairan. Guna

42

memenuhi kebutuhan air dan mencegah terjadinya dehidrasi, maka air yang

terdapat di dalam tubuh dipertahankan.

(A) (B) (C)

Gambar 14. Tekstur feses padat-cair (A), padat (B) dan cair tidak terbentuk (C)

(Medical Youth Research Club, 2018) pada siamang di PPS Tegal

Alur

Aktivitas defekasi dan urinasi merupakan bagian dari aktivitas membuang

kotoran dari tubuh. Aktivitas defekasi memiliki tanda-tanda yang hampir mirip

dengan aktivitas urinasi, namun perbedaannya hanya pada zat yang dikeluarkan,

yaitu pada urinasi berbentuk cairan berupa urin, sedangkan defekasi berbentuk

padatan berupa feses. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata persentase

aktivitas defekasi menempati urutan terakhir pada perilaku yang berhubungan

langsung dengan pola makan, yaitu sebesar 0,99%. Tinggi rendahnya aktivitas

defekasi dipengaruhi oleh metabolisme tubuhnya, konsumsi pakan dan pada

tingkat pencernaannya. Diantara semua siamang di PPS Tegal Alur, siamang

betina (Noni) terlihat lebih banyak melakukan aktivitas defekasi. Padahal

individu-individu siamang lainnya lebih banyak mengonsumsi pakan yang

diberikan. Hal ini diduga karena organ pencernaan pada Noni tidak dapat

mengolah secara sempurna bahan pakan yang telah dikonsumsi. Menurut NRC

(2003), ciri khas sistem pencernaan kelompok frugivora yaitu memiliki lambung

yang relatif sederhana dan dinding yang licin, saluran usus kecil yang pendek dan

memiliki sekum.

4.4.2. Perilaku yang tidak berhubungan langsung dengan pola makan

Perilaku yang tidak berhubungan langsung dengan pola makan terdiri dari

aktivitas grooming, lokomosi dan istirahat. Rata-rata persentase aktivitas tertinggi

pada siamang di PPS Tegal Alur, yaitu aktivitas istirahat sebesar 43,21%, diikuti

43

aktivitas bergerak sebesar 21,42%, kemudian aktivitas grooming sebesar 17,14%

(Gambar 10).

Aktivitas grooming yang dilakukan yaitu auto-grooming (membersihkan

tubuh sendiri) yang ditandai dengan pencarian kotoran atau ektoparasit di sekujur

tubuhnya. Aktivitas ini dimulai dengan mencari kotoran tersebut di sela-sela

rambut, menjilat kemudian mengunyahnya (Rahman, 2011). Aktivitas grooming

selama pengamatan dengan frekuensi tertinggi terjadi pukul 10.00 WIB - 13.00

WIB, pada waktu tersebut siamang telah mendapatkan asupan makanan yang

cukup sehingga dilakukan aktivitas istirahat yang biasanya dibarengi dengan

aktivitas grooming. Hal ini sejalan dengan penelitian Rahayu (2007), bahwa di

habitat aslinya primata banyak melakukan aktivitas beristirahat dan grooming

dibawah pohon pada saat suhu udara tinggi (siang) sampai menunggu suhu udara

turun.

Persentase aktivitas grooming siamang di PPS Tegal Alur memiliki nilai

lebih tinggi jika dibandingkan dengan aktivitas lainnya seperti makan dan minum,

yaitu 17,14%. Tingginya aktivitas tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya yaitu pakan yang hanya tersedia pada waktu-waktu tertentu dan

sedikitnya pengayaan kandang di ruang lingkup siamang, sehingga siamang

banyak melakukan aktivitas istirahat yang diselingi dengan aktivitas grooming.

Berbeda seperti apa yang siamang lakukan di alam, mereka memiliki lebih banyak

pilihan untuk beraktivitas, seperti mencari makan di dahan-dahan pohon, bersosial

dan bermain dengan individu lainnya. Penelitian Sari & Harianto (2015)

menyebutkan bahwa siamang di Repong Damar Pahmungan melakukan aktivitas

grooming sesekali saat siamang-siamang dalam kelompok tersebut berinteraksi

(allo-grooming). Perilaku primata lain seperti monyet ekor panjang di Cagar

Budaya Ciung Winara menunjukkan aktivitas makan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan aktivitas grooming (Rahayu, 2007).

Secara umum siamang di PPS Tegal Alur melakukan aktivitas grooming

dengan membersihkan diri dari kotoran dan parasit dengan cara meraba,

menggaruk, menjilat dan menggigit. Menggaruk merupakan tingkah laku yang

sering dilakukan pada auto-grooming. Beberapa kali juga terlihat siamang

menggigit parasit yang ditemukan di sekujur tubuhnya. Siamang memulai

44

aktivitas grooming-nya dengan mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat,

lalu meraba bagian tubuh yang kotor atau gatal, kemudian dilanjutkan dengan

menggaruk bagian tubuh tersebut. Posisi tubuh siamang saat grooming bermacam-

macam, bisa dalam posisi terbaring, miring, duduk, menggantung, hingga

telentang.

Aktivitas bergerak siamang di habitat aslinya terdiri dari jalan, berlari,

memanjat, menuruni pohon dan brakiasi (Rahman, 2011). Pergerakan siamang

yang mendominasi yaitu brakiasi. Hampir 80% dari pergerakannya bergantung di

dahan pohon (Gron, 2008). Selama di kandang aktivitas bergerak siamang lebih

terbatas, yaitu hanya terdiri dari jalan, memanjat, menuruni sel kandang dan

brakiasi. Siamang di PPS Tegal Alur memiliki rata-rata persentase aktivitas

bergerak sebesar 21,42%. Sebagian besar siamang selama pengamatan memiliki

tipe gerakan yang beragam, seperti berjalan, brakiasi, hingga memanjat dan

menuruni sel kandang. Tak jarang terlihat siamang yang hanya melakukan

pergerakan brakiasi dan jalan jongkok saja, seperti pada siamang betina (Noni)

dan satu individu siamang jantan (Mency). Aktivitas brakiasi siamang dilakukan

pada jeruji besi bagian atas kandang. Rendahnya aktivitas bergerak disebabkan

oleh ukuran kandang yang terbatas sehingga memperkecil ruang bergerak

siamang. Pengayaan kandang yang minim juga mampu mengurangi aktivitas

gerak siamang selama di kandang.

(A) (B)

Gambar 15. Aktivitas bergerak dan bersuara siamang jantan (A) dan betina (B) di

PPS Tegal Alur

Faktor lain yang mempengaruhi aktivitas bergerak adalah lingkungan

sekitar. Terkadang siamang bertingkah lebih aktif apabila merasa bahaya

mendekat, seperti kedatangan keeper atau peneliti. Hal ini ditandai dengan

45

munculnya gerakan brakiasi dan memanjat ke atas sel saat kandang siamang

dibersihkan. Siamang juga banyak melakukan gerakan ketika mengeluarkan suara.

Kantung suara (gullar sac) yang dimiliki siamang mampu mengeluarkan suara

yang keras untuk menandakan daerah teritorialnya. Selama pengamatan, siamang

betina (Noni) biasanya memulai mengeluarkan suaranya, kemudian diikuti oleh

individu-individu siamang jantan dan primata lainnya seperti owa jawa. Siamang

dengan primata lainnya aktif bersuara pada pagi menjelang siang hari pukul 09.00

WIB – 10.00 WIB. Tidak terlihat adanya aktivitas suara yang dilakukan di pagi

hari karena tidak banyak hal yang dapat dilakukan siamang pada pagi hari.

Menurut Sari dan Harianto (2015), salah satu aktivitas pertama yang dilakukan

siamang di pagi hari adalah bersuara.

Aktivitas istirahat siamang di PPS Tegal Alur merupakan aktivitas yang

paling dominan dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Di habitat alaminya,

siamang melakukan aktivitas istirahat dengan cara merebahkan badannya pada

pohon (Gron, 2008). Menurut Ganesa dan Aunurohim (2012), aktivitas istirahat

ditandai dengan keadaan dimana siamang tidak melakukan aktivitas apapun,

hanya sekedar berbaring, tiduran dan duduk. Aktivitas istirahat memiliki rata-rata

persentase tertinggi dibanding dengan aktivitas harian lainnya, yaitu sebesar

43,21% (Gambar 10). Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang dilakukan

di penangkaran seperti Sharafina (2017), menyatakan bahwa aktivitas tertinggi

yang dilakukan siamang adalah aktivitas beristirahat (56%), kemudian Mahardika

(2008) juga menyebutkan aktivitas istirahat merupakan aktivitas dominan dari

owa jawa dibanding dengan aktivitas lainnya.

(A) (B) (C)

Gambar 16. Aktivitas istirahat siamang betina saat duduk (A), rebahan (B) dan

jantan saat duduk (C) di PPS Tegal Alur

46

Tinggi rendahnya aktivitas bergerak dan beristirahat dipengaruhi oleh

suhu. Demi menjaga agar kondisi tubuhnya tetap stabil, pada suhu yang tinggi

(siang hari), siamang banyak melakukan aktivitas istirahat sambil melakukan

grooming. Suhu udara yang tinggi dapat menguras energi dan cairan tubuh

siamang, oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut siamang mengurangi

aktivitas pergerakannya. Posisi tubuh siamang saat istirahat bervariasi, mulai dari

duduk sampai merebahkan tubuhnya di alas kandang (Gambar 16). Saat suhu

udara sangat panas, biasanya individu-individu siamang jantan duduk di dalam

kotak kayu tempat tidurnya atau jendela kandang, sambil sesekali memejamkan

matanya.

Faktor lain yang membuat aktivitas istirahat mendominasi perilaku harian

dikarenakan kecilnya ruang lingkup tempat tinggal siamang. Siamang yang berada

di kandang tentunya memiliki aktivitas yang lebih terbatas dibandingkan dengan

di habitat aslinya yang bergerak bebas ke tempat yang diinginkan, seperti

lokomosi, mencari makan dan bersosial. Pada habitat aslinya banyak pakan yang

tersedia sehingga siamang bebas bergerak untuk memilih pakan apa saja yang

diinginkan, namun di PPS Tegal Alur siamang hanya diberikan pakan yang

terbatas dan pada waktu-waktu tertentu saja.

47

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Siamang di PPS Tegal Alur diberikan pakan sebanyak tiga kali sehari,

yaitu pada pukul 07.00 WIB, 13.00 WIB dan 15.00 WIB. Pihak PPS Tegal Alur

memberikan pakan berupa sembilan jenis buah, dua jenis sayur dan satu jenis

dedaunan. Pakan diberikan dalam bentuk yang sudah terpotong dan utuh

kemudian diletakkan di tempat pakan permanen siamang. Vitamin diberikan

sebanyak seminggu sekali. Siamang di PPS Tegal Alur sudah memenuhi jumlah

konsumsi pakan sesuai dengan bobot tubuhnya. Status gizi berdasarkan

antropometri menunjukkan bobot tubuh siamang belum sesuai dengan habitat

alaminya. Pengamatan morfologi memperlihatkan kondisi gigi dan mata siamang

sehat, sedangkan beberapa siamang memiliki kondisi rambut yang rontok dan

mengalami depigmentasi. Konsumsi gizi berupa protein dan lemak pada seluruh

siamang belum memenuhi standar kebutuhan.

5.2. Saran

Dalam menunjang kualitas kandang sebaiknya pengelola PPS perlu

melakukan pengayaan kandang, seperti penambahan furnitur yang memuat bagian

ruang tengah dan atas kandang agar siamang mampu mengekspresikan sifat-sifat

dan perilaku alaminya. Pencatatan informasi satwa meliputi profil satwa dan

kesehatan fisik secara periodik membantu pengelola untuk menemukan tanda-

tanda awal adanya perilaku abnormal yang memperburuk kesehatan fisik,

sehingga tindakan yang diperlukan dapat diambil. Dalam pemberian pakan perlu

adanya penyediaan serangga dan penambahan jenis dedaunan sebagai salah satu

kebutuhan pakan alami siamang. Selain itu, sebaiknya pengelola tetap

menyediakan wadah minum kepada tiap siamang dan buah-buahan segar yang

diberikan pada siang hari untuk mengurangi rasa panas dan menghilangkan haus.

48

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, H. (2011). Perawatan dan rehabilitasi satwa tangkapan di Pusat Penyelamatan

Satwa Cikananga, Sukabumi dan Gadog, Bogor. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Alikodra. (1990). Pengelolaan satwa liar jilid 1. Bogor, Indonesia: Institut Pertanian

Bogor.

Altmann, J. (1974). Observational study of behavior: sampling methods. Allee

Laboratory of Animal Behavior, University of Chicago, Chicago, Illinois, U.S.A.,

49, 227–265. https://doi.org/10.1080/14794802.2011.585831.

Anderson, M. R. (2014). Reaching new heights: the effect of an environmentally

enhanced outdoor enclosure on gibbons in a zoo setting. Journal of Applied Animal

Welfare Science, 17(3), 216–227.

Andriansyah, O. (2005). Studi adaptasi perilaku siamang (Hylobates syndactylus) pada

habitat yang mengalami aktivitas perladangan di Taman Hutan Raya Wan Abdul

Rachman. (Skripsi). Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Atmanto, A. D., Dewi, B. S., & Nurcahyani, N. (2014). Peran siamang (Hylobates

syndactylus) sebagai pemencar biji di Resort Way Kanan Taman Nasional Way

Kambas Lampung. Sylva Lestari, 2(1), 49–58.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. (2007). Daftar satwa

dilindungi. Lampung, Indonesia: BKSDA Lampung.

Bennett, B., Abee, C., & Henrickson, R. (1995). Nonhuman primates in biomedical

research - 1st edition (p. 428) (2020, July 30). Retrieved from

https://www.elsevier.com/books/nonhuman-primates-in-biomedical-research/benn

ett/978-0-12-088661-6.

BMKG. (2020). Prakiraan Cuaca (2020, May 20). Retrieved from https://www.bmkg.

go.id/cuaca/pra kiraan-cuaca-indonesia.bmkg.

Burek, J.D., P. Duprat, R. Owen, C.P. Peter, and M.J. Van Zwieten. (1988).

Spontaneous renal disease in laboratory animals. Int. Rev. Exp. Path, 30, 231-319.

Chivers, D. (1974). The siamang in Malaya. Evolution, 30, 196. https://doi.org/

10.1111/j.1558-5646.1976.tb00901.x.

Christyanti, M. (2014). Kompetisi dan tumpang-tindih relung antara siamang

(Symphalangus syndactylus) dan mamalia arboreal lainnya di Taman Nasional

Bukit Barisan Selatan. (Skripsi). Dept Biologi, Universitas Indonesia.

49

Church, D. C. (1976). Digestive physiology and nutrition of ruminant. vol. 1. digestive

physiology. 2nd edition. Oregon, Portland: Metropolitan Point. https://doi.org/10.

3168/jds.s0022-0302(70)86388-3.

CITES. (2020). Convention on international trade in endangered species of wild fauna

and floran (2020, February 2). Retrieved from http://cites.org/eng /app/appendices

.php.

Dunbar, R., & Cowlishaw, G. (2000). Primate conservation biology. Chicago, Illnois:

University of Chicago Press.

Elly, F. H., Manese, M. A. V., & Polakitan, D. (2013). Pemberdayaan kelompok tani

ternak sapi melalui pengembangan hijauan di Sulawesi Utara. Journal of Tropical

Forage Science, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/C BO9781107415324

.004.

Fleagle, J. G. (1988). Locomotor behavior and skeletal morphology of two sympatric

pitheciine monkeys, Pithecia pithecia and Chiropotes satanas. American Journal

of Primatology, 16(3), 227–249. https://doi.org/10.10 02/ajp.1350160305.

Fountain. (2011). Primate factsheets: siamang (symphalangus syndactylus) taxonomy,

morphology, & ecology (2020, February 22). Retrieved from http://pin.primate.

wisc.edu/factsheets/entry/siamang.

Ganesa, A., & Aunurohim. (2012). Perilaku harian harimau sumatera (Panthera tigris

sumatrae) dalam konservasi ex-situ Kebun Binatang Surabaya. Jurnal Sains Dan

Seni Its, 1(1), 48–53.

Geissmann, T. (1995). Hylobatidaes systematic and species identification. International

Zoo News, 42(8), 467–501.

Gron. K.J. (2008). Primate factsheets: siamang (Symphalangus syndactylus)

taxonomy, morphology, and ecology (2020, June 20). Retrieved from

http://pin.primate.wisc.edu/factsheets/.

Harianto. (1998). Habitat dan tingkah laku siamang (Hylobates syndactylus) di

taman nasional way kambas. (Tesis). Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor. Tidak

dipublikasikan.

Kappeler. (1981). The Javan silvery gibbon (Hylobates moloch): ecology and

behaviour. (2020, June 23). Retrieved from http://www.markus kappeler.ch

/gib/fragib.html.

Karyawati, A. (2012). Tinjauan umum tingkah laku makan pada hewan primata. Jurnal

Penelitian Sains, 15(1), 44-47.

KSDAE, D. (2015). Keputusan direktur jendral konservasi sumber daya alam dan

50

ekosistem. Nomor: SK. 180/IVKKH/2015 tentang penetapan dua puluh lima satwa

terancam punah prioritas untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10% Pada Tahun

2015-2019. Ditjen KSDAE, Jakarta.

Kurniawaty, N. D. (2009). Pendugaan kebutuhan nutrien dan kecernaan pakan pada

lutung kelabu (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) di Pusat Penyelamatan

Satwa Gadog Ciawi, Bogor. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kuswanda, W., & Garsetiasih, R. (2016). Daya dukung dan pertumbuhan populasi

siamang (Hylobates syndactylus Raffles, 1821) di Cagar Alam Dolok Sipirok,

Sumatera Utara. Buletin Plasma Nutfah, 22(1), 67–8. https://doi.org/10.21082

/blpn.v22n1.2016.p67-80.

Kuswanda, W., Rozza Tri Kwatrina, Barus, S., Karlina, E., Rinaldi, D., & Pratiara.

(2019). Siamang : dari riset menuju konservasi. Bogor, Indonesia: Percetakan IPB.

Mahardika. (2008). Pemilihan pakan dan aktivitas makan owa jawa (Hylobates moloch)

pada siang hari di Penangkaran Pusat Penyelamatan Satwa, Gadog - Ciawi.

(Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mann, G.V. (1968). Blood changes in experimental primates fed purified diets:

pyridoxine and riboflavin deficiency. Vit. Horm, 26, 465-485.

Maple, T. L., & Perkins, L. A. (1995). Enclosure furnishings and structural

environmental enrichment. In D. G. Kleiman, M. E. Allen, K. V. Thompson, & S.

Lumpkin (Eds.), Wild mammals in captivity. Chicago, Illinois: University of

Chicago Press.

Masy’ud, & Ginoga. (2016). Penangkaran satwa liar. Bogor, Indonesia: IPB Press.

McDonald, & Edwards, R. A. (1923). Animal nutrition. Nature, 111(2793), 651.

https://doi.org/10.1038/111651a0.

Medical Youth Research Club. (2018). Did you know?? feses anda aneh? berikut

penjelasannya (2020, September 22). Retrieved from https://med.unhas.ac.id/myrc

2018/12/21/did-you-know-feses-anda-aneh-berikut-penjelasannya/.

Meijaard. E, Rijksen HD, Kartikasari SN. (2001). Diambang kepunahan! kondisi

orangutan liar di awal abad ke-21. Jakarta, Indonesia: The Gibbon Foundation

Indonesia.

Mootnick, A. (1997). Management of gibbons hylobates spp at the international center

for gibbon studies, California: with a special note on pileated gibbons

hylobates.pileatus. International Zoo Yearbook, 35(1), 271–279. https://doi.org/10

.1111/j.1748-1090.1997.tb01220.x.

Mubarok. (2012). Distribusi dan kepadatan simpatrik ungko (Hylobates agilis) dan

siamang (Symphalangus syndactylus) di Kawasan Hutan Batang Toru, Sumater

51

Utara. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Myers, N., Mittermeier, R., Mittermeier, C. et al. (2000). Biodiversity hotspots

for conservation priorities. Nature, 403, 853–858.

NIDirect. (2014a). Welfare of primates: physical health (2020, June 20). Retrieved from

http://www. nidirect.gov.uk/welfare-of-primates-physical-health.

NIDirect. (2014b). Welfare of primates: the need for a suitable diet | nidirect Gov.Uk

(2020, June 20). Retrieved from https://www.nidirect.gov.uk/ articles/welfare-

primates-need-suitable-diet.

Nijman, V., & Geissman. (2006). In-situ and ex-situ status of the Javan Gibbon and the

ole of zoos in conservation of the species. Contributions to Zoology, 75(3–4), 161–

168. https://doi.org/10.1163/18759866-0750304005.

Nijman, V., & Geissman. (2008). IUCN red list of threatened species. choice reviews

online, 49, 49-6872-49–6872. https://doi.org/10.5860/choice.49-6872

National Research Council. (1998). The psychological well-being of nonhuman

primates. in the psychological well-being of nonhuman primates. Washington, DC:

The National Academies Press.

National Research Council. (2003). National research council. nutrient requirements of

nonhuman primates, 2nd revised edition. Washington, DC: The National

Academies Press

Palombit, RA. 1997. Inter- and intraspesific variation in the diets of sympatric siamang

(Hylobaes syndactylus) and lar gibbon (Hylobates lar). Folia Primatol, 68, 321-

337.

Perkins, L. A. (1992). Variables that influence the activity of captive orangutans. Zoo

Biology, 11(3), 177–186. https://doi.org/10.1002/zoo.1430110306.

PERSAGI. (2008). Tebel komposisi pangan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Elex Media

Komputindo.

Prayudhi, R. T. (2015). Penegakan hukum, rehabilitasi dan pelepasliaran satwa

dilindungi hasil sitaan negara ujung tombak upaya penstabilan ekosistem kawasan

konservasi. Researchgate, 1–18.

Protection, E. A. (2000). Policy on exhibiting primates in New South Wales. New South

Wales: NSW Agriculture.

Rahayu, R. (2007). Aktivitas makan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)

kelompok pancalikan periode juni-agustus di cagar budaya ciung wanara Ciamis,

Jawa Barat. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

52

Rahman, D. A. (2011). Studi aktivitas dan pakan owa jawa (Hylobates moloch) di Pusat

Studi Satwa Primata IPB dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango: penyiapan

pelepasliaran. (Tesis). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rasmada, S. (2008). Analisis kebutuhan nutrien dan kecernaan pakan pada owa jawa

(Hylobates moloch) di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog-Ciawi Bogor. (Skripsi).

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rinaldi, D. (1992). Penggunaan metode triangle dan concentration count dalam

penelitian sebaran dan populasi gibbon (Hylobatidae). Media Konservasi, 4(1), 9–

21.

Rini Anggraeni (IPB). (2006). Perilaku yang berhubungan dengan pola makan walabi

kecil (Dorcopsulus vanheurni) betina di penangkaran pada siang hari (Institut

Pertanian Bogor) (2020, July, 30). Retrieved from http://helios-

eie.ekt.gr/EIE/handle/10442/13107.

Rino. (2009). Pusat penyelamatan satwa (2020, January 2). Retrieved from

http://bksdadkijakarta.com/kawasan/pusat-penyelamatan-satwa/.

Ross, S. R., Calcutt, S., Schapiro, S. J., & Hau, J. (2011). Space use selectivity by

chimpanzees and gorillas in an indoor-outdoor enclosure. American Journal of

Primatology, 73(2), 197–208. https://doi.org/10.1002/ajp.20891.

Rosyid, A. (2007). Perilaku makan siamang dewasa (Hylobates syndacylus Raffles,

1821) yang hidup di hutan terganggu dan tidak terganggu. Agroland, 14, 237–240.

Santosa, Y., Nopiansyah, F., Mustari, A. H., & Rahman, D. A. (2010). Penggunaan

parameter morfometrik untuk pendugaan umur siamang sumatera (Symphalagus

syndactylus Raffles, 1821). Jurnal Pendidikan Hutan dan Konservasi Alam, 25–33.

Sari, E., & Sugeng, H. (2015). Studi kelompok siamang (Hylobates syndactylus) di

Repong Damar Pahmungna Pesisir Barat. Jurnal Sylva Lestari, 3(3), (85-94).

Sharafina, D. (2017). Manajemen pakan dan perilaku harian siamang (symphalangus

syndactylus) di Taman Satwa Taru Jurug, Surakarta. (Skripsi). Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Sian, W. (2002). An evaluation of five zoos in Indonesia. Bangor, Wales: SEI

Consultancy Ltd.

Sibarani, C. L. (2012). Manajemen pakan orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson,

1827) di Pusat Reintroduksi Orangutan Sumatera (pros) provinsi Jambi. (Skripsi).

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sultan, K., Mansjoer, S. S., & Bismark, M. (2009). Populasi dan distribusi ungko

(Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal

Primatologi Indonesia, 6(1), 25–31.

53

Supriatna, J., & Ramadhan, R. (2016). Pariwisata primata Indonesia. Jakarta,

Indonesia: Yayasan Pustaka Onor Indonesia.

Thamaria, N. (2017). Penilaian status gizi. Indonesia: Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia.

Than, K. (2006). Why eyes are so alluring. Retrieved June 20, 2020, from https://www.

livescience.com/4299-eyes-alluring.html.

Tillman, A., Lebdosukojo, S., R, S., & H, H. (1991). Data Ilmu Makanan Untuk

Indonesia. Utah: International Feedstuffs Institute.

Tiyawati, A., Harianto, S. P., & Widodo, Y. (2016). Kajian perilaku dan analisis

kandungan gizi pakan drop in siamang (Hylobates syndactylus) di taman agro

satwa dan wisata bumi kedaton. Jurnal Sylva Lestari, 4(1), 107 - 114.

WCS-IP. (2000). Siamang lestari. Jakarta, Indonesia: Wildlife Conservation Society

Indonesia Program.

Yanuar. (2009). The gibbons: new perspectives on small ape socioecology and

population biology. Choice Reviews Online, 47, 47-1422-47–1422. https://doi.org/

10.5860/choice.47-1422.

YGI. (2006). Penyelamatan satwa (2020, January 2). Retrieved from

http://www.gibbon-donesia.org/?option=com_content&view=article&id=8&I

temid=20.

Yohanna, Masy’ud, B., & Mariastuti, A. (2014). Tingkat kesejahteraan dan status

kesiapan owa jawa di pusat penyelamatan dan rehabilitasi satwa untuk

dilepasliarkan. Media Konservasi, 19(3), 183–197.

Yuliana R. (2011). Analisis habitat siamang (Hylobathes syndactilus) di repong damar

pekon pahmungan kecamatan pesisir tengah lampung barat. (Skripsi). Universitas

Lampung, Lampung.

54

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pakan siamang di PPS Tegal Alur

Salak Sawi Wortel Pisang Kepok

(Salacca zalacca) (Brassica chinensis) (Daucus corota) (Musa cuminata balbisiana)

Daun Pepaya Jambu Biji Jeruk Semangka

(Carica papaya) (Psidium guajava) (Citrus sinensis) (Citrullus lanatus)

Kacang Panjang Timun Pepaya Pisang Lampung

(Vigna unguiculata) (Cucumis sativus) (Carica papaya) (Musa paradisiaca)

55

Lampiran 2. Perhitungan rata-rata faktor fisik kandang siamang betina

Hari Ke-

Suhu Udara oC Kelembaban Udara (RH %) Kebisingan (Db) Intensitas Cahaya (Lux)

Waktu (WIB) Jam Jam Jam

7 13 16 7 13 16 7 13 16 7 13 16

1 31,2 31,5 28,9 60 62 61 50 38 48,3 909 2170 259

2 30,5 31,8 30 74 65 68 47 45,5 44,3 710 1155 615

3 31,6 30,1 31 72 78 61 49,7 45,8 46,7 758 909 484

4 31,1 317 30 57 66 68 42,9 47,1 47 1224 1349 520

5 33,1 33,,4 31 55 53 59 48,3 45,4 44,3 1093 710 390

6 28,8 30,6 31,4 73 73 70 48,5 46,9 50 140 615 707

7 31,2 30,3 30,7 69 74 70 51,3 45,6 44,6 608 259 370

8 30,6 33 29 60 61 61 50 41 48,3 909 2170 259

9 30 32 29,8 74 59 69 48 48 49,1 788 1349 702

10 31,4 30,3 30 72 61 65 53 44 47,1 980 890 520

11 30,2 31,2 29 57 65 70 44,5 47,9 51,2 1320 1272 489

12 32,4 32,9 30,3 58 53 62 46,9 44,1 45 930 756 401

13 29 30,5 31,1 71 63 71 50 48,3 49 210 758 698

14 32 31 30 71 73 77 42.9 47,1 45,4 710 320 298

SUM 433,1 4403 422,2 923 906 932 673 634,7 660,3 11289 14682 6712

AVG 30,93571 31,45 30,15714 65,92857 64,71429 66,57143 48,07143 45,33571 47,16429 806,3571 1048,714 479,4286

STDEV 1.20295 1.07971 0.81591 7.47780 7.57961 5.16965 3.00677 2.87392 2.23696 333.65 583.654 158.624

Lampiran 3. Perhitungan rata-rata faktor fisik kandang siamang jantan

Hari Ke-

Suhu Udara oC Kelembaban Udara (RH %) Kebisingan (Db) Intensitas Cahaya (Lux)

Waktu (WIB) Jam Jam Jam

7 13 16 7 13 16 7 13 16 7 13 16

1 32,7 31,7 30,2 68 60 70 49,8 37,8 44,1 9087 4458 1456

2 31 31,5 29 71 65 66 45 43,4 37,8 6009 5270 3249

3 30,8 29,8 29,8 73 78 67 525 40,7 49,5 11487 8955 9087

4 29,8 31,4 30.2 66 66 68 48,9 50,2 52,2 10872 5355 5752

5 32,6 32,7 31,1 61 54 60 52,8 45,1 45,7 16901 6009 1266

6 29 30,3 31,2 71 76 71 44,6 49,6 44,1 2601 10995 5752

7 33,9 30 30,4 57 74 70 49,2 48,8 49,2 10767 2875 1328

8 32,7 32,6 31 66 60 75 50,2 38 43,2 10872 4376 1534

9 30,8 32 30 76 58 69 45 43,4 40 7502 5752 2875

10 31,2 33,4 28,7 69 69 65 44 42,7 46,4 10995 8478 11334

11 28,7 31.4 30 63 66 62 49,2 51,5 50,4 9087 4458 4376

12 33 33 31.6 59 52 61 55 49,5 45,1 15387 5270 1328

13 28.2 31 31 74 57 72 44,6 50 40,7 3249 11766 7502

14 32 31 29,8 59 73 74 49,2 45,1 47 9087 3278 1266

SUM 436,4 441,8 424 933 908 950 680 635,8 635,4 133903 87295 58105

AVG 31,17143 31,55714 30,28571 66,64286 64,85714 67,85714 48,57143 45,41429 45,38571 9564,5 6235,357 4150,357

STDEV 1.754742 1.104337 0.835609 6.096747 8.346875 4.65514 3.486772 4.620166 4.145963 3964.1 2751.294 3299.235

56

Lampiran 4. Jumlah pakan yang diberikan selama 14 hari

Hari ke- Noni Sapri Pixy Gigih Mency Patrick Jumlah Rata-rata Standar deviasi

1 520 666 662 304 496 500 3148 524,6667 133.4026

2 554 473 594 400 589 585 3195 532,5 79.10689

3 685 769 473 359 580 576 3442 573,6667 146.1584

4 774 795 655 510 501 497 3732 622 139.2351

5 767 770 482 346 394 404 3163 527,1667 191.965

6 822 748 526 426 351 341 3214 535,6667 205.5185

7 676 824 689 500 768 773 4230 705 114.7833

8 508 582 566 664 761 646 3727 621,1667 88.75678

9 524 433 471 377 515 569 2889 481,5 69.23511

10 673 673 517 543 511 514 3431 571,8333 79.18691

11 740 776 515 337 357 392 3117 519,5 195.1417

12 710 670 485 395 395 366 3021 503,5 150.4377

13 757 691 719 536 702 790 4195 699,1667 87.9623

14 618 744 636 713 856 767 4334 722,3333 88.04241

Lampiran 5. Jumlah pakan sisa

Hari ke- Noni Sapri Pixy Gigih Mency Patrick Jumlah Rata-rata Standar deviasi

1 25 27 18 17 9 11 107 17,83333 7.22265

2 42 24 22 21 21 19 149 24,83333 8.565434

3 40 21 13 10 15 18 117 19,5 10.74709

4 34 26 17 30 24 22 153 25,5 5.991661

5 24 6 21 5 14 10 80 13,33333 7.840068

6 43 25 14 5 4 6 97 16,16667 15.3547

7 40 39 16 15 15 14 139 23,16667 12.67149

8 34 10 8 11 11 9 83 13,83333 9.948199

9 55 13 13 10 10 15 116 19,33333 17.58029

10 92 42 18 16 26 25 219 36,5 28.68972

11 67 29 12 5 9 12 134 22,33333 23.37235

12 31 23 13 5 8 3 83 13,83333 11.03479

13 89 46 13 13 12 21 194 32,33333 30.61808

14 73 26 13 16 21 16 165 27,5 22.75742

Lampiran 6. Jumlah pakan yang dikonsumsi

Hari ke- Noni Sapri Pixy Gigih Mency Patrick Jumlah Rata-rata Standar Deviasi

1 639 495 644 287 487 495 3047 507,8333 130,5962

2 449 512 572 379 568 560 3040 506,6667 78,13749

3 748 645 460 349 565 555 3322 553,6667 139,2116

4 769 740 638 480 477 474 3578 596,3333 137,7892

5 764 743 461 341 380 390 3079 513,1667 190,2666

6 723 779 512 421 347 350 3132 522 188,1276

7 785 636 673 485 753 759 4091 681,8333 111,8793

8 572 474 558 653 750 637 3644 607,3333 94,3544

9 420 469 458 367 505 554 2773 462,1667 65,06433

10 631 581 499 527 485 489 3212 535,3333 58,83423

11 747 673 503 332 348 380 2983 497,1667 176,9897

12 647 679 472 390 387 363 2938 489,6667 139,5932

13 645 668 706 523 690 769 4001 6668333 82,06684

14 718 545 623 697 835 751 4169 694,8333 100,9483

57

Lampiran 7. Kandungan Gizi Pakan Siamang di PPS Tegal Alur

Pakan Zat gizi dalam 100 gram pakan

Energi (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Air (g)

Daun Pepaya 87 8 2 11,9 75,4

Jambu Biji 49 0,9 0,3 12,2 86

Jeruk 45 0,9 0,2 11,2 87,2

Kacang Panjang 44 2,7 0,3 7,8 88,5

Pepaya 46 0,5 0 12,2 86,7

Pisang Kepok 109 0,8 0,5 26,3 71,9

Pisang Lampung 99 1,3 0,2 25,6 72,1

Salak 77 0,4 0 20,9 78

Sawi 22 2,3 0,4 4 92,2

Semangka 28 0,5 0,2 21,6 92,1

Timun 12 0,7 0,1 2,7 96,1

Wortel 42 1,2 0,3 9,3 88,2

Sumber : PERSAGI (2008)