A Dynamic Religious Identity in Endo Shusaku’s Chimmoku: A Cross Cultural Study with Religious...

25
Identitas Agama yang Dinamis dalam Novel Chimmoku Karya Endo Shusaku: Kajian Lintas Budaya dan Religiusitas Aldrie Alman Drajat 1 Abstrak Agama Kristen sempat tergolong subversif di Jepang pada zaman Edo, tepatnya pada pemerintahan Tokugawa. Hal tersebut disebabkan oleh dugaan bahwa kaum nasrani terlibat dalam pemberontakan Shimabara. Di dalam tekanan tersebut muncul berbagai resistensi dari para penganut Katolik untuk mempertahankan identitas agama mereka. Novel Chimmoku karya Endo Shusaku merepresentasikan aspek-aspek tersebut dengan narasi yang dibawakan oleh tokoh yang adalah seorang pendeta dari Eropa. Tulisan ini akan membahas bagaimana hegemoni budaya dan kekuasaan menyebabkan fenomena perubahan identitas para penganut Katolik pada masa itu, terutama pada para misionaris Eropa. Analisis menunjukkan bahwa fenomena perubahan identitas disebabkan oleh kegamangan keimanan para penganutnya sendiri yang dipicu oleh pengaruh pemikiran asing mengenai agama dan pertahanan hidup. Kata kunci: Identitas, Agama, Lintas budaya, Chimmoku, religiusitas Pendahuluan Ada sebuah peristiwa besar yang boleh dikatakan sebagai salah satu pemicu kecenderungan Jepang untuk menolak kehadiran agama. Peristiwa tersebut adalah Pemberontakan Shimabara (Shimabara no Ran 島 島 島 島 ) yang terjadi pada Jepang zaman Edo, tepatnya 17 Desember 1637 sampai pada 15 April 1638. Peristiwa tersebut terjadi karena adanya perlawanan 1 Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Ilmu Susastra FIB UI 1

Transcript of A Dynamic Religious Identity in Endo Shusaku’s Chimmoku: A Cross Cultural Study with Religious...

Identitas Agama yang Dinamis dalam Novel Chimmoku Karya

Endo Shusaku: Kajian Lintas Budaya dan Religiusitas

Aldrie Alman Drajat1

Abstrak

Agama Kristen sempat tergolong subversif di Jepang padazaman Edo, tepatnya pada pemerintahan Tokugawa. Haltersebut disebabkan oleh dugaan bahwa kaum nasrani terlibatdalam pemberontakan Shimabara. Di dalam tekanan tersebutmuncul berbagai resistensi dari para penganut Katolik untukmempertahankan identitas agama mereka. Novel Chimmoku karyaEndo Shusaku merepresentasikan aspek-aspek tersebut dengannarasi yang dibawakan oleh tokoh yang adalah seorangpendeta dari Eropa. Tulisan ini akan membahas bagaimanahegemoni budaya dan kekuasaan menyebabkan fenomenaperubahan identitas para penganut Katolik pada masa itu,terutama pada para misionaris Eropa. Analisis menunjukkanbahwa fenomena perubahan identitas disebabkan olehkegamangan keimanan para penganutnya sendiri yang dipicuoleh pengaruh pemikiran asing mengenai agama dan pertahananhidup.

Kata kunci: Identitas, Agama, Lintas budaya, Chimmoku, religiusitas

Pendahuluan

Ada sebuah peristiwa besar yang boleh dikatakan sebagai

salah satu pemicu kecenderungan Jepang untuk menolak

kehadiran agama. Peristiwa tersebut adalah Pemberontakan

Shimabara (Shimabara no Ran 島島島島 ) yang terjadi pada Jepang

zaman Edo, tepatnya 17 Desember 1637 sampai pada 15 April

1638. Peristiwa tersebut terjadi karena adanya perlawanan

1 Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Ilmu Susastra FIB UI

1

para kaum petani kepada daimyo wilayah Shimabara, Matsukura

Katsuie dan daimyo wilayah Karatsu, Terasawa Katataka.2

Alasan para petani melakukan perlawanan adalah pajak yang

terlampau tinggi. Pajak yang ditetapkan oleh para daimyo

Shimabara dan Karatsu menyebabkan para petani, perajin, dan

nelayan dilanda kelaparan. Pembelotan kaum petani didukung

oleh para ronin3 yang sempat melayani Amakusa dan Shiki,

keluarga penguasa pada wilayah tersebut. (Bellah, 1957: 23-

24).

Daimyo wilayah Shimabara sebelum Matsukura Shigemasa adalah

Arima yang beragama Kristen. Oleh karena itu, hampir semua

penduduk Shimabara adalah pemeluk agama Kristen. Setelah

menjadi daimyo Shimabara, Shigemasa menggagas pengetatan

hierarki dalam politik keshogunan. Dengan alasan itu, ia

membangun kastil dan bangunan besar lainnya sebagai

ekspansi dari kastil Edo (Tokyo pada zaman Edo) dan

merencanakan untuk merebut pulau Luzon dari Spanyol. Karena

pembangunan yang pesat, Shigemasa menaikkan pajak dengan

jumlah yang tidak wajar dan menekan para kaum nasrani. Pola

ini terus berlangsung selama dua puluh tahun dan diteruskan

oleh Katsuie, daimyo penerus. Hal ini membuat marah warga

Shimabara, yang mayoritas beragama Katolik. (Bolitho, 1974:

33).2 Pada zaman Edo (1603-1868), setiap teritori mempunyai penguasa yangdisebut dengan Daimyo. Daimyo memiliki hak penuh atas segala propertidan politik pada han-nya (teritori yang dikuasainya). Daimyo adalahpenguasa yang memiliki posisi yang sangat kuat pada masa feodalJepang. Yang ada di atas posisi Daimyo hanya Shogun.3 Sebutan untuk para samurai tak bertuan.

2

Pemberontakan dimulai pada 17 Desember 1637 oleh para ronin

dan petani yang bertemu diam-diam untuk menyusun rencana

pemberontakan. Pada hari itu pula menteri pajak Shimabara,

Hayashi Hyozaemon dibunuh. Setelah itu jumlah pemberontak

semakin besar dan dipimpin oleh Amakusa Shiro.

Pemberontakan yang berlangsung selama kurang lebih empat

bulan tersebut berakhir pada kekalahan para pemberontak.

Pada tahun 1639, para shogun mencurigai bahwa para pendeta

Katolik dari Eropa berperan dalam penyebaran rencana

pemberontakan. Pada saat itu para pedagang dari Portugis

diusir dari Jepang dan represi pemerintah terhadap kaum

nasrani makin parah. Para umat Katolik hanya dapat bertahan

dengan menyamarkan identitas nasraninya. (Bellah, 1957:

76).

Fenomena penyamaran identitas agama pada masa itu

dihadirkan kembali oleh Endo Shusaku (1923-1996), pelopor

roman genre Kirishitan Bungaku 島 島 島 島 島 島 島 (sastra Kristen), di

dalam novel masterpiece-nya Chimmoku 島島 (Silence) (1966). Endo

yang beragama Katolik, dibaptis pada umur 11 tahun,

merasakan hidupnya sangat dekat dengan spiritualitas

Kristen, namun di satu sisi Ia juga merasa bahwa agama

Katolik bukanlah miliknya. Endo mulai menulis pada tahun

1955 dan menghasilkan novel pertamanya Shiroi Hito 島島島(The White

Man) yang memenangkan penghargaan Akutagawa. Karya-karya

Endo Shusaku memiliki nuansa Katolikisme yang kental,

ditandai dengan retorika-retorika yang mengindikasikan

3

hubungan yang dekat antara tokoh dan Tuhan, dan juga

beberpa kutipan dari injil. Konsistensi tema yang dibawakan

Endo membuat dirinya dilabeli sebagai penulis sastra

Kristen dan acapkali disebut sebagai “Japanese Graham

Greene”.4

Chimmoku mendapat penghargaan Tanizaki dan menjadi karya

agung Endo. Chimmoku selain dikatakan sebagai novel

Kristen, sering juga disebut sebagai novel sejarah

mengingat latar yang disajikan di dalamnya adalah Jepang

pada masa pemberontakan Shimabara. Chimmoku bercerita

tentang pergulatan pastor Portugis Rodrigues yang datang ke

Jepang, saat dimana agama Kristen ditentang, untuk

memastikan kabar mengenai misionaris Portugis bernama

Ferreira5 yang mendeklarasikan dirinya murtad di hadapan

para prajurit Tokugawa setelah menjalani siksaan anadzuri6.

Rodrigues menghadapi represi dengan terus memohon

pertolongan Tuhan. Akan tetapi, ia menyadari bahwa Tuhan

hanya diam. Sampai akhirnya ia melakukan fumie7.

4 Graham Greene (1904-1991) adalah penulis dan kritikus sastra dariInggris yang sebagian besar karyanya betema Katolik. Beberapa karyanyayang terkenal adalah The Man Within (1929), Stamboul Train (1932),It’s a Battlefield (1934), England Made Me (1935), dll.5 Tokoh yang ditulis berdasarkan figur sejarah, Cristovao Ferreira.Misionaris Portugis yang dikirim ke Jepang pada abad 17 dan murtadsecara formalitas.6 Bentuk siksaan pada zaman Edo dengan digantung terbalik sampaiberdarah perlahan-lahan.7 Arti harfiahnya adalah ‘injakan gambar’. Di dalam konteks zaman Edo,fumie adalah kegiatan menginjak-injak papan bergambar ukiran Yesus danBunda Maria untuk memastikan kemurtadan seseorang dari agama Kristen.Jika seorang murtad terlihat ragu untuk menginjaknya maka akandisiksa.

4

Poin yang menarik dari novel ini adalah masalah identitas

keagamaan seorang pastor yang berubah. Pastor sebagai

seorang dekat dengan Tuhan tentu memiliki keimanan yang

kuat dan tidak seharusnya runtuh karena represi yang

dilakukan oleh manusia. Penulis beranggapan ada faktor lain

yang belum disadari. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan

konsep Hegemoni Budaya Antonio Gramsci, penulis akan

mencoba untuk mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan

kegamangan keyakinan tokoh-tokoh murtad di dalam novel

Chimmoku.

Sebenarnya Gramsci mengembangkan istilah hegemoni yang

dikemukakan oleh Karl Marx. Gramsci melihat adanya kuasa

pada kaum borjuis dan akhirnya mengontrol suatu sistem

masyarakat. Pemikiran borjuis yang diaplikasi oleh rakyat

menjadi sebuah common sense dan nilai. Gramsci mengemukakan

bahwa nilai-nilai yang ada pada pemikiran budaya borjuis

berkaitan erat dengan foklor dan agama. Salah satu contoh

yang dikemukakan Gramsci adalah pengaruh Katolikisme Roman

bisa merangkul semua kalangan; yang terdidik dan yang

kurang terdidik. Hegemoni budaya, dalam konteks ini adalah

agama, dapat menjadi common sense yang dimiliki oleh semua

kalangan. (Perry, 1976: 20).

Karir menulis Endo yang panjang dan konsistensinya pada

suatu tema tentu berimbas pada banyaknya penelitian yang

menggunakan karya-karya Endo sebagai objek. Salah satu

penelitian yang ditemukan oleh penulis adalah sebuah

5

disertasi berjudul Imaji Tuhan dalam Novel Chimmoku Karya Endo

Shusaku yang disusun oleh Kazuko Budiman, pengajar di

Kajian Wilayah Jepang Pascasarjana Universitas Indonesia.

Kazuko menelaah gagasan mengenai tuhan yang tersirat di

dalam teks novel Chimmoku. Kazuko menulusuri imaji tuhan

dengan memperhatikan tiga unsur naratif Tzvetan Todorov;

sintaksis, semantik, dan pragmatik. Hasil Sintaksis

memperlihatkan bahwa beberapa aktan (tokoh Rodrigues,

Ferreira, dan Garrpe) ingin mencapai objek berupa naiknya

citra agama Kristen atau harga diri gereja Roma namun tidak

tercapai. Sedangkan aktan yang berlawanan (tokoh Mokichi,

Ichizo, dan Kichijiro) berusaha untuk menghilangkan

Kristenisasi di Jepang dan berhasil. Analisis antaraktan

menghasilkan hipotesis bahwa semua alur cerita mengacu pada

pentingnya keagamaan. Hasil Semantik memperlihatkan tuhan

yang diwakili oleh alam-alam yang dideskripsikan di dalam

teks seperti fenomena pergerakan angin yang diasosiasikan

dengan ruh, bunyi tonggeret yang merepresentasikan

ketidakabadiaan, dll. Analisis struktural dan semiotis

menghasilkan simpulan bahwa tuhan yang dijelaskan oleh

Rodrigues melalui narasinya sebenarnya adalah kasih.

Selanjutnya, ada sebuah artikel jurnal yang ditulis oleh

Chen Ka dari Nagasaki University. Artikel tersebut berjudul

Endo Shuusaku ‘Chinmoku’ no Kenkyuu—Nihon-teki Seishin Fuushi no

Shouchou: Inoue Gomori ni tsuite— Penelitian Chen membahas

mengenai relevansi kejadian sejarah dengan konstruksi tokoh

6

Inoue Gomori. Chen menggunakan pendekatan naratologi dimana

ia menelusuri narasi yang disampaikan melalui sudut pandang

Rodrigues. Permasalahannya adalah Endo, yang adalah orang

Jepang seolah-olah mewujudkan dirinya dengan tokoh

Rodrigues, yang adalah seorang Portugis. Di sini terlihat

analisis subjektivitas Endo dalam memandang spiritualitas

orang Jepang melalui Rodrigues. Kesimpulannya kurang lebih

adalah teknik Endo mengkritik spiritualitas Jepang zaman

Edo dengan meminjam kacamata Barat yang ia dapatkan saat

sekolah di Prancis. Endo memiliki sebuah hipotesis bahwa

orang Jepang yang lahir di dalam lingkungan pantheis dengan

segara doktrin pemerintahan sulit untuk menerima Kristen

sepenuhnya seperti yang direpresentasikan oleh tokoh Inoue.

Pada umumnya penelitian seputar novel Chimmoku berkutat

pada permasalahan representasi sejarah zaman Edo dan

keagamaan Kristen orang Jepang. Belum, atau jarang sekali

penelitian novel Chimmoku yang digarap dengan perspektif

lintas budaya. Padahal masih banyak yang bisa digali dari

Chimmoku dengan memusatkan perhatian pada silang budaya

yang terjadi pada latar. Oleh karena itu, sebagai pembeda

sekaligus pelengkap, tulisan ini akan membahas fenomena

lintas budaya yang berpengaruh pada religiusitas tokoh-

tokoh novel Chimmoku.

Keyakinan Asing yang Tertekan

7

Bait pertama novel Chimmoku menjelaskan isu yang menggugah

cerita untuk bergerak. Pada bagian awal prolog dituliskan

fenomena seorang misionaris yang membuang agamanya.

“News reached the church in Rome. Christovao Ferreira, sent to Japan by

Society of Jesus in Portugal, after undergoing the torture of ‘the pit’ at

Nagasaki had apostatized. An experienced missionary held in the highest

respect, he had spent thirty three years in Japan, had occupied the high position

of provincial and had been a source of inspiration to priests and faithful alike

[...] It was unthinkable that such man would betray the faith, however

terrible the circumstances in which he was placed.” (Endo, 1972:

19).

Christovao Ferreira sebagai salah satu tokoh misionaris

yang terkenal sebagai ahli teologi dikabarkan telah

menyatakan murtad dari Katolik. Hal tersebut mengejutkan

para pastor gereja Roma dan menjadi alasan utama

keberangkatan Rodrigues, Garrpe, dan Valignano ke Jepang

untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Ferreira adalah

seorang misionaris yang telah lama menetap di Jepang

sebagai penyebar dan pemandu orang Jepang untuk memeluk

agama Katolik. Disebutkan bahwa Ferreira telah menetap di

Jepang selama kurang lebih tigapuluh tiga tahun. Berarti,

Ferreira sudah berada di Jepang prapemberontakan Shimabara.

Penulis beranggapan bahwa Ferreira yang tinggal di Jepang

selama tiga dekade, memahami kerohanian orang Jepang karena

tugasnya adalah membimbing spiritualitas orang Jepang pada

masa itu. Bisa juga diasumsikan dengan intensitas kegiatan

8

komunikasi dengan orang Jepang yang banyak, Ferreira secara

tidak sadar memiliki keyakinan tak sadar akan religiusitas

orang Jepang.

Pascapemberontakan, gerakan untuk menekan kristenisasi

makin besar. Pada saat sebelum pemberontakan terjadi, kaum

nasrani hanya diposisikan sebagai golongan yang terbuang

dan tidak mendapatkan hak-hak yang sama dengan pengikut

Tokugawa. Akan tetapi setelah pemberontakan terjadi,

Represi yang dijalankan oleh pemerintah semakin kejam. Kaum

nasrani diburu untuk ditangkap dan dibuat untuk membuang

keyakinannya secara resmi, jika tidak mereka akan disiksa.

Penyiksaan ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu

penyebab kemurtadan pada saat itu.

“The cold weather made the steam arising from the bubbling lake look terrible

indeed, and the very sight of it would make a strong man faint, were it not

for the grace of God. But everyone of them, streghtened by God’s grace,

showed remarkable courage and even asked to be tortured, firmly

declaring that they would abandon their holy faith. Hearing this dauntless

reply, the officials tore off the prisoners’ clothes, bound them hand and foot to

posts, and scooping up the boiling water in ladles, poured it over their naked

bodies. [...] The heroes of Christ bore this terrible torment without flinching.

Only the young Maria, overcome with the excess of her suffering, fell to the

ground of agony. ‘She has apostatized! She has apostatized!’ They cried; and

carrying her to the hut they promptly sent her back to Nagasaki. Maria denied

that she had wished apostatize. Indeed she even pleaded to be tortured

9

with her mother and the rest. But they paid no attention to her prayers.”

(ibid: 23)

Diceritakan bahwa walaupun disiksa secara kejam, para

nasrani pada umumnya tidak menyerahkan keyakinannya begitu

saja. Dapat diasumsikan bahwa agama Kristen masuk ke Jepang

dan dapat diterima secara baik oleh para pengikutnya,

dibuktikan dengan keteguhan iman yang tidak tergoyahkan

oleh siksaan pemerintah Tokugawa. Maria adalah salah satu

contoh kaum muda yang imannya tidak tergoyahkan. Pada masa

pemberontakan Shimabara, penganut agama Kristen memang

banyak yang masih tergolong muda. Hal tersebut menjadi

contoh orang Jepang yang menganut Kristen untuk

mempertahankan keimanan mereka.

Karena tekanan dari pemerintah, banyak kaum muda yang

murtad secara fisik, yakni mendeklarasikan di hadapan para

petinggi Tokugawa bahwa mereka telah murtad, namun masih

memiliki keyakinan yang kuat di dalam batin mereka. Hal

tersebut diperlihatkan melalui tokoh Kichijiro yang ditemui

oleh Rodrigues di kapal saat mereka berangkat ke Jepang.

Kichijiro mengaku dirinya bukan seorang nasrani pada

Rodrigues dan pastor lain. Akan tetapi saat kapal terkena

badai, Kichijiro secara alamiah mengucapkan sebutan-sebutan

Kristen.

“Are you really a Japanese? Honestly, are you? It was a typical Garrpe

question, and not without a touch of bitterness. But Kichijiro, with a look of

10

astonishment, asserted emphatically that he was. Garrpe had too credulously

taken at its face value the talk of so many missionaries about ‘this nation whose

people don’t even fear death’. It is true, of course, that there are Japanese who

have endured torture for five days on end without wavering in their fidelity; but

there are also cowardly weaklings like Kichijiro.[...]’Give me a clear answer.

Are you, or are you not, a Christian?’ Kichijiro shook his head vigorously.If

Kichijiro were a Christian, why did he go so far as to conceal the whole

affair even from us priests? My guess was this cowardly fellow was afraid lest

on returning to Japan we might give him over to the officials, revealing the fact

that he was a Christian. On the other hand, if he was not really a Christian

how explain terror with which the words ‘gratia’ and ‘Santa Maria’ rose to

his lips.” (ibid: 44-45, 52)

Dapat dipahami bahwa Kichijiro sebenarnya adalah penganut

Kristen, akan tetapi ada sesuatu yang membuatnya berusaha

menutupi identitasnya tersebut. Rodrigues memahami alasan

yang paling memungkinkan, yakni politik. Mengingat Ferreira

juga dikabarkan murtad setelah menjalani siksaan anadzuri.

Dapat disimpulkan bahwa keimanan yang hilang hanya bersifat

fisik dan bersifat terpaksa, bukan suatu kesadaran.

Agama Kristen dikabarkan masuk ke Jepang sejak abad 16 pada

pemerintahan Toyotomi Hideyoshi. Agama Kristen dibawa oleh

para misionaris Eropa yang bercampur dengan para pedagang

dari Eropa, yang kebanyakan adalah dari Belanda. Agama

Kristen yang mengusung ketuhanan diakui dan diterima oleh

sebagian rakyat Jepang pada saat itu. Dijelaskan juga oleh

11

Rodrigues mengapa Kristen dapat diterima oleh batin orang

Jepang.

“The reason our religion has penetrated this territory like water flowing into

dry earth is that it has given to this group of people a human warmth they

never previously knew. For the first time they have met men who treated

them like human beings. It was the human kindness and charity of the

fathers that touched their hearts.” (ibid: 61)

Dapat dimengerti pada masa itu, hierarki ke-shogunan sangat

ketat. Kemasyarakatan Jepang pada saat itu dibagi

berdasarkan kasta yang sangat menentukan kesejahteraan.

Selain itu, shogun dan kaisar dianggap sebagai ‘dewa’.

Shogun dan kaisar tidak pernah luput dari ketamakan

pembangunan kastil dan rumah-rumah berpaviliun untuk para

kaum bushi (samurai) menyebabkan para rakyat kelas bawah

harus bekerja sangat keras karena pajak dinaikkan dengan

semena-mena.

Agama kristen yang berbasis pada ketuhanan mengenalkan

kasih, dimana Yesus dikisahkan sebagai pengemban dosa

manusia. Kisah-kisah di dalam injil tentu sangat berbeda

dengan ajaran agama-agama di Jepang (pada saat itu buddha

dan shinto) yang bersifat pantheis atau lebih dikenal

dengan agama bumi. Dengan doktrin agama Kristen orang

Jepang merasa seolah-olah ada sebuah kekuatan yang

membimbing jalan hidup mereka. Yesus dianggap seperti bapak

yang menuntun hidup mereka. (Budiman, 2006: 154).

12

Pada paruh akhir abab ke-16. Keyakinan Kristen yang semakin

besar dikhawatirkan dapat membuat rakyat membelot (yang

akhirnya terjadi pada abad ke-17, pemberontakan Shimabara)

maka Hideyoshi membantai para penyebar dan penganut

Kristen.

“From 1587 the regent Hideyoshi, reversing the policy of his predeccessor, had

initiated a frightful persecution of Christianity. It first began when twentysix

priests and faithful were punished at Nishizaka in Nagasaki; and following on

this Christian all over the country were evicted from their households, tortured

and cruelly put to death.” (Endo, 1972: 20).

Hideyoshi terkenal sebagai pemimpin yang menyatukan Jepang.

Masuknya agama Kristen mempengaruhi pemikiran sebagian

masyarakatnya. Oleh karena itu para misionaris yang

membawanya diburu dan dihukum mati agar sirkulasi doktrin

agama Kristen berhenti. Akan tetapi, agama Kristen masih

bertahan bahkan sampai pemerintahan beralih ke Tokugawa.

Pemerintahan Tokugawa memakai cara yang lebih ‘manusiawi’,

mereka tidak langsung membunuh, namun merepresi dengan

siksaan agar para nasrani murtad. Tokoh Andrew Palmeiro

mendeskripsikan keadaan pascapemerintahan Hideyoshi.

“The magistrate of Nagasaki, Takenaka Uneme, tried to make them apostatize

and to ridicule our holy faith and its adherents, for he hoped in this way to

destroy the courage of the faithful. [...] He gave orders that the five priests

be brought to Unzen and tortured until such time as they should renounce their

faith. [...] The others, being weak in health, could not be punished too

13

severely since the wish of the magistrate was not to put them to death but to

make them apostatize.” (ibid: 21, 24)

Kutipan tersebut mengindikasikan bahwa gagasan mengenai

kristenisasi tidak pernah mati. Kuasa yang dimiliki oleh

pemerintah Tokugawa digunakan tidak lagi untuk membunuh

penganut Kristen, namun untuk menghilangkan, atau

setidaknya mengubah keyakinan kaum nasrani akan Tuhan

mereka. Dari uraian pendek di atas dapat diketahui bahwa

hegemoni budaya terjadi dengan pola masuknya pemikiran

luar, yakni agama Kristen yang dapat mendoktrinasi

masyarakat Jepang. Pemerintahan Jepang pada saat itu merasa

terancam oleh agama baru tersebut dan menggunakan kuasa

untuk menghilangkan agama Jepang dari hati para

penganutnya.

Kegamangan Keyakinan, Mempertanyakan Tuhan

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, para penganut

Kristen memiliki dua pilihan yakni murtad atau disiksa. Hal

itu lah yang disebutkan menjadi pemicu kemurtadan Ferreira.

Akan tetapi bila ditelusuri kembali, kegamangan keyakinan

para tokoh terutama Rodrigues sebenarnya tidak hanya

disebabkan oleh represi penguasa, namun juga pemikiran

lokal Jepang yang mempengaruhinya.

“We were recalling the life we led with you in the monastery of Saint Xavier’s at

Lisbon. Needless to say, we don’t have here a bottle of wine nor a piece of meat.

The only food we get is the fried potatoes and the boiled vegetables that the

14

peasants of Tomogi bring us. But the conviction grows deeper and deeper in my

heart that all is well and that God will protect us.” (ibid: 68)

Kutipan di atas menjelaskan interaksi awal Rodrigues dengan

agama Jepang, yakni Buddha. Disebutkan bahwa ia mendapatkan

makanan yang tidak ada alkohol dan dagingnya dari para kaum

kakure kirishitan (hidden christian). Agama Buddha adalah agama

di Jepang yang mengharamkan pengikutnya untuk makan daging.

Rodrigues tetap merasa tidak ada yang aneh dengan itu,

bahkan ia merasa bahwa ia sedang dilindungi. Pada tahap itu

Rodrigues sudah mulai menerima kebiasaan Buddha yang

menjadi jalan hidup sebagian orang Jepang sebelum memeluk

agama Kristen.

Setelah hampir sebulan Rodrigues menetap di Jepang dengan

kaum kakure kirishitan, ia diperlihatkan sudah memiliki

pengetahuan mengenai sang Buddha Jepang. Saat ia

merencanakan untuk mengontak para umat Kristen di Goto

dengan menyamar, ia melihat wajah orang Jepang yang sangat

merefleksikan sang Buddha.

“Suddenly I was seized with terrible fear, doubt, suspicion. Was not this fellow

here to sell me? The people of Tomogi had warned me; and they were right.

Why had the fellow with the bloodstained feet not come? And the other with no

teeth? I looked at the Japanese face in front of me. It was impassive and

expressionless like Buddha.” (ibid: 76)

Saat Rodrigues masih memiliki iman yang mantap, ia melihat

Jepang yang merepresi agamanya sebagai sesuatu yang jahat.

15

Buddha yang ia lihat di dalam diri orang Jepang terlihat

seperti sosok yang tidak membimbing manusia. Bahkan lebih

jauh lagi, Buddha menganggap manusia sebagai budak.

“My hunch from some time back was not wrong. What are the Japanese

peasants looking for in me? These people who work and live and die like beasts

find for the first time in our teaching path in which they can cast away the

fetters that bind them. The biddhist bonzes simply treat them like cattle. For a

long time they have just lived in resignation to such fate.” (ibid: 79).

Jepang yang saat itu masih menerapkan sistem kasta dalam

struktur masyarakat, memperlihatkan kondisi yang

menyedihkan bagi para kaum petani yang diperas melalui

pajak yang terlampau tinggi. Para penguasa lahan yang

mengaku sebagai Buddha mempengaruhi pemikiran Rodrigues

akan sang Buddha sendiri yang hanya memihak pada penguasa.

Rodrigues, baru menyaksikan dan merasakan sendiri apa yang

disebut dengan ‘cobaan’ dan pernderitaan. Ia merasakan

penderitaan yang mendalam saat berada di Jepang, negara

yang merepresi identitas terpentingnya sebagai seorang

pastor, agama. Ia mulai mempertanyakan mengapa Tuhan

memberikan cobaan kepada orang yang dekat denganNya.

“I do not believe that God has given us this trial to no purpose. I know that the

day will come when we will clearly understand why this persecution with all its

sufferings has been bestowed upon us—for everything that Our Lord does is for

good. And yet, even as I write these words I feel the oppresive weight in my

heart of those last stammering words of Kichijiro on the morning of his

16

departure: ‘Why has Deus Sama8 imposed this suffering upon us?’ And then

the resentment in those eyes that he turned upon me. ‘Father’, he had said,

‘What evil we have done?’

I suppose I should simply cast from my mind these meaningless words of

the coward; yet why does his plaintive voice pierce my breast with all the

pain of a sharp needle? Why has Our Lord imposed this torture and this

persecution on poor Japanese peasants?[...] The silence of God. Already

twenty years have passed since the persecution broke out; the black soil of

Japan has been filled with the lament of so many Christians; the red blood of

priests has flowed profusely; the walls of the churches have fallen down; and in

the face of this terrible and merciless offered up to Him, God has remain

silent.” (ibid: 96-97).

Kutipan di atas adalah tahap pertama kegamangan Rodrigues

dalam memahami keyakinannya. Kichijiro adalah orang Jepang

yang tumbuh dengan suasana pantheis, ia memeluk agama

Kristen karena dibaptis. Jadi, berbeda dengan Rodrigues,

Kichijiro bukan seorang nasrani murni. Rodrigues yang

mempercayai ajaran Kristen dari kecil merasa Tuhan Yesus

adalah sosok yang paling dekat dengannya. Di Eropa ia

menjalani kehidupannya sebagai pastor secara wajar. Hal itu

dapat dipahami karena mayoritas penduduk Eropa beragama

Kristen. Akan tetapi berbeda kisahnya begitu ia datang ke

Jepang di mana Kristen direpresi. Kichijiro tidak pernah

merasa hidup sebagai nasrani adalah hidup yang tergolong

wajar. Di dalam ajaran Kristen, Tuhan akan membantu dan

8 Tuhan

17

tidak akan memalingkan perhatiannya pada mereka yang

mempercayainya seperti potongan injil yang dideskripsikan

oleh Rodrigues di dalam kapal yang menuju Jepang: “’Go into

the whole world and preach the gospel to every creature. He who believes and

is baptized will be saved; he that does not believe will be condemned.’

Such were the words of the risen Christ to be disciples assembled for supper.

And now as I obey this injunction the face of Christ rises up before my eyes.”

(ibid: 46). Keadaan di Jepang dan pertanyaan Kichijiro

kepadanya menyadarkan Rodrigues bahwa ada kemungkinan Tuhan

sebenarnya tidak ada, karena janjinya yang tertulis di

dalam alkitab tidak seperti kenyataan yang dihadapinya.

Ajaran Buddha yang mengajarkan bahwa manusia akan mengalami

reinkarnasi ke dalam bentuk sesuai amal perbuatannya kepada

dunia setelah malalui penyucian di nirwana mungkin lebih

tepat jika dikatakan sebagai pedoman hidup manusia untuk

berbuat baik ke sesamanya. Dijelaskan bahwa orang-orang

Jepang yang akan dieksekusi sudah sangat mengandalkan Tuhan

agar mengantarkan mereka ke Surga. Kaum kakure kirishitan

dinilai sudah seperti meninggalkan arti dari kemanusiaan

dan hanya memikirkan kuil di surga yang dijanjikan oleh

Tuhan.

“Why does the song of the exhausted Mokichi, bound to the stake, gnaw

constantly at my heart: ‘We’re on our way, we’re on our way, we’re on our way

to temple of Paradise. To the temple of Paradise...To the great Temple...’ I have

heard from the people of Tomogi that many Christians when dragged off to the

place of execution sang this hymn—amelody filled with dark sadness.Life in

18

this world is too painful for these Japanese peasants. Only by relying on

‘the temple of Paradise’ have they been able to go on living.” (ibid:

105)

Kutipan di atas memperlihatkan kebahagiaan semu di dalam

keyakinan para kaum petani. Mereka tidak merasakan

kebahagiaan sebagai penganut Kristen di Jepang, sebaliknya

mereka hanya menemukan penderitaan sampai akhir hayat.

Keadaan itu makin menggoyahkan keyakinan Rodrigues. Ia

berpikir bagaimana bisa Tuhan yang akan menyelamatkan

umatnya malah berpaling dari mereka.

Rodrigues kemudian masih merasakan kegelisahan yang sama,

yakni diamnya Tuhan. Teman-teman Jepangnya, Mokichi dan

Ichizo yang juga penganut agama Kristen telah mati dibunuh

oleh pasukan Tokugawa dan dikremasi kemudian abunya dibuang

ke laut. Menghadapi laut yang menelan sisa-sisa temannya,

Rodrigues kembali bertanya-tanya.

“This was the sea that relentlessly washed the dead bodies of Mokichi and

Ichizo, the sea that swallowed them up, the sea that, after their death, stretched

out endlessly with unchanging expressions. And like the sea, God was silent. His

silence continued. No, no! I shook my head. If God does not exist, how can

man endure the monotony of the sea and its cruel lack of emotion? (But

supposing...of course, supposing, I mean.) From the deepest core of my being

yet another voice made itself heard in a whisper. Supposing God does not

exist.” (ibid: 117).

19

Menghadapi diamnya Tuhan, Rodrigues akhirnya menyadari

bahwa Tuhan tidak sedang bersama dengan dirinya, bahkan ia

mengakui bahwa batinnya mengatakan Tuhan tidak ada. Yang

dapat disimpulkan adalah, Jepang seolah-olah membangunkan

kesadaran Rodrigues sebagai manusia, bukan lagi sebagai

utusan Tuhan. Selama ia masih di Eropa , Rodrigues meyakini

Tuhan karena dari kecil ia dididik dengan ajaran Katolik.

Memang, ajaran Kristen dirasa relevan dengan kehidupannya

di Eropa. Akan tetapi di Jepang keadaannya jauh berbeda.

Kristen menjadi musuh dan para pengikutnya mengalami banyak

kemalangan. Di situ, Rodrigues merasa ada yang salah pada

Tuhan. Ada yang salah pada janjinya. Ia terus menunggu

jawaban Tuhan, namun Tuhan tetap diam dan penderitaan umat

Kristen di Jepang seakan-akan tidak menemui akhir.

Seorang tokoh pria Jepang (tidak diberi nama) mengungkapkan

pemikirannya sebagai orang Jepang yang menganut Kristen

kepada pastor Valignano. Ia mengungkapkan betapa tidak

cocoknya Kristen dengan kualitas orang Jepang.

“’The fathers always ridiculed us. I knew Father Cabral—he had nothing but

contempt for everything Japanese. He despised our language; he despised our

food and our customs—and yet he lived in Japan. Even those of us who

graduated from the seminary he did not allow to become priests.’[...]

‘Father, sometimes courage only causes trouble for other people. We call that

blind courage. And many of the priests, fanatically filled with this blind courage,

forget that they are only causing trouble to the Japanese.’ ‘Is that all the

missionaries have done? Have they only caused trouble?’ ‘If you force on

20

people things that they don’t want, they are inclined to say: “Thanks for

nothing!” And Christian doctrine is something like that here. We have our

own religion; we don’t want a new, foreign one. I myself learned Christian

doctrine in the seminary, but I tell you I don’t think it ought to be

introduced into this country.’ ‘Your and my way of thinking are different,’ said

the priest quitely dripping his voice. ‘If they were the same I would not have

crossed the sea from far away to come to this country.’ This was his first

controversy with a Japanese. Since the time of Xavier had many fathers

engaged in such an exchange with the Buddhist? [...] ‘Well, then, let me ask

a question.’ Opening and closing his fan as he spoke, he came to attack. ‘The

Christians say that their Deus is the source of goodness and virtue,

whereas the buddhas are all men and cannot possess these qualities, is

this your stand also, father?’ A buddha cannot escape death any more than

we can. He is something different from the Creator.’ ‘Only a father who is

ignorant of Buddhist teaching could say such a thing. In fact, you cannot say

that the buddhas are no more than men.There are three kinds of buddhas—

hossin, gosbin, and oka. The oka buddha shows eight aspects for delivering

human beings and giving them benefits; but the hossin has neither

beginning nor end, and he is unchangable. [...] ‘It is only Christian who

could regard the buddhas as mere human beings.’ [...]‘But you hold that

everything exist naturally, that the world has neither the beginning nor end,’

said the priest, seizing on the other’s weak point and taking the offensive.

[...] ‘But an object without life must either be moved from outside by

something else, or from within. How were the buddhas born? Moreover, I

understand that these buddhas have merciful hearts—but antecedent to all

this, how was the world made? Our Deus is the source of his own existence, he

created man; he gave existence to all things.’ ‘Then the Cristian God created

21

evil men. Is that what are you saying? Is evil also the work of your Deus?’”

(ibid: 145-148)

Rodrigues yang menyaksikan Valignano berdebat mengenai

Kristen dan Buddha, mendengarkan argumen-argumen yang

berpengaruh pada keyakinannya. Sebelumnya ia belum pernah

mengetahui wajah asli buddha. Pandangannya sebagai pastor

hanya berasal dari ajaran Kristen yang ditekuninya dari

kecil. Pastor-pastor seperti itu terlihat tidak bisa

memberikan pemahaman Kristen yang cocok dengan orang

Jepang. Orang Jepang memahami agama sebagai kasih.

Valignano, sama seperti Rodrigues dan penganut Kristen

lainnya, memandang Tuhan sebagai sesuatu yang absolut—

kekal. Akan tetapi Rodrigues sebenarnya menyadari bahwa

kekekalan adalah omong kosong. Keyakinannya terhadap Tuhan

semakin dinamis dan ia mulai meragukan keadilan yang

diberikan Tuhan. Segala sesuatu yang bersifat dinamis

seperti keyakinan Rodrigues sebenarnya sangat sejalan

dengan konsep Mujo 島 島 yang berarti tidak ada yang abadi.

Gagasan ini adalah inti dari ajaran Buddha Dogen. Rodrigues

yang semakin mempertanyakan sifat Tuhan mengindikasikan

adanya perubahan keyakinan yang disebabkan oleh pemikiran

religius lain. Rodrigues setelah menghadapi kesengasaraan

nasrani di Jepang, melihat adanya ketidakmampuan Tuhan

untuk menepati janjinya dalam menyelamatkan kaum nasrani.

Oleh karena itu “diam”nya Tuhan ia artikan sebagai sebuah

kemungkinan bahwa Tuhan itu tidak pernah ada.

22

Dapat disimpulkan bahwa agama dan keyakinan sesungguhnya

bersifat dinamis. Hal ini ditunjukkan jelas pada narasi-

narasi yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang berkeyakinan

pada suatu agama, terutama Rodrigues. Jika diperhatikan

kembali, terlihat bahwa Jepang tak dapat dipisahkan dari

pantheisme. Oleh karena itu terlihat pada narasinya para

kaum nasrani Jepang memahami Tuhan dengan sedikit berbeda

dengan Rodrigues dan para misionaris dari Eropa. Dinamika

dapat diperkirakan terjadi karena episteme atau semangat

zaman yang ada pada wilayah yang ditinggali oleh si

penganut. Hal tersebut dapat dilihat dari perubahan cara

Rodrigues memandang Tuhan setelah ia tinggal di Jepang.

Kesimpulan

Chimmoku adalah novel yang merepresentasikan sejarah zaman

Edo pascapemberontakan Shimabara. Endo mengangkat isu

tersebut dengan narasi yang disampaikan oleh tokoh

misionaris fiktif, Rodrigues. Dengan didukung oleh elemen-

elemen faktual seperti tokoh Ferreira, represi terhadap

agama Kristen terlihat cukup jelas. Di dalam novel memang

diceritakan bahwa Rodrigues dan tokoh lain yang mendekati

kemurtadan, mengalami tekanan yang luar biasa sampai

mempertanyakan Tuhan. Akan tetapi jika ditelaah lebih jauh,

ada elemen-elemen luar seperti ajaran agama Buddha Dogen

yang sebenarnya mempengaruhi tokoh Rodrigues dan misionaris

lainnya melalui interaksi mereka dengan orang Jepang pada

masa itu. Ajaran Buddha Dogen yang menjelaskan bahwa kasih

23

adalah Tuhan menggerakkan hati Rodrigues untuk

mendekonstruksi arti Tuhan baginya. Selain itu, yang perlu

disebutkan adalah peran Jepang dalam membangun kesadaran

Rodrigues untuk memikirkan kembali eksistensi Tuhan.

Rodrigues yang memiliki pendidikan Kristen dari kecil

melihat Tuhan sebagai sosok yang absolut, setidaknya sampai

sebelum ia datang ke Jepang. Setelah melihat penderitaan

yang terdapat pada kaum nasrani di Jepang, ia meragukan

Tuhan karena Tuhan terkesan mengingkari janjinya untuk

melindungi umatnya.

Dapat dikatakan keyakinan pada seorang penganut tidak

bersifat dogmatis. Memang secara mendasar, pengetahuan

mengenai agama pada diri seseorang dengan penganut lainnya

yang berkeyaakinan sama, mirip secara grafis namun sangat

mungkin berbeda karena pengalaman spiritual setiap orang

tentu berbeda. Maka dari itu, nilai keagamaan dalam diri

seseorang dipengaruhi oleh unsur-unsur dari luar, seperti

budaya dan politik. Ini merupakan salah satu hipotesis yang

bisa diambil dari novel Chimmoku. Tentu sebagai karya yang

besar, masih dapat aspek yang dapat digali dari novel ini.

Jika boleh menyarankan, penelitian selanjutnya bisa dicoba

penelaahan area psikologis para tokoh utama. Selain itu

analisis dengan pendekatan historis mengenai hubungan

kekuasaan daimyo dan para nasrani dapat melengkapi

penelitian seputar novel Chimmoku dan religiusitas Jepang.

24

Daftar Pustaka

Bellah, Robert. 1957. Tokugawa Religion. New York: The Free

Press.

Bolitho, Harold. 1974. Treasures Among Men: The Fudai Daimyo in

Tokugawa Japan. New Haven: Yale University Press

Budiman, Kazuko. 2006. Sastra Agama Endo Shusaku: Dilema

Memahami Tuhan. Depok: Universitas Indonesia.

―――――――. 2004. Imaji Tuhan dalam Novel Chimmoku Karya Endo Shusaku.

Depok: Universitas Indonesia.

Chen Ka. 2007. Endo Shuusaku ‘Chinmoku’ no Kenkyuu—Nihon-teki Seishin

Fuushi no Shouchou: Inoue Gomori ni tsuite—. Nagasaki: Nagasaki

University’s Academic

Endo, Shusaku. 1972. Chimmoku (Silence). Tokyo: The Kawata

Press.

Gorai, Shigeru. 2002. Nihonjin to Gokuraku. Kyoto: Jinbunshoin.

Perry, Anderson. 1976. The Antinomies of Antonio Gramsci. London:

New Left Review.

25