1 PENDAHULUAN Praktik Lapang merupakan salah satu mata kuliah dalam bentuk praktik yang
-
Upload
bogoragriculturaluniversity -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of 1 PENDAHULUAN Praktik Lapang merupakan salah satu mata kuliah dalam bentuk praktik yang
1
PENDAHULUAN
Praktik Lapang merupakan salah satu mata kuliah dalam bentuk praktik yang
diselenggarakan Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor. Tujuan kegiatan ini untuk menambah wawasan,
pengalaman, dan keterampilan dalam pengembangan ilmu dan teknologi, memberikan
gambaran nyata dunia kerja, serta mengembangkan potensi mahasiswa untuk penelitian.
Lembaga yang digunakan untuk praktik lapang ini adalah Pusat Penelitian
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berlokasi di Cibinong.
Laboratorium yang digunakan untuk praktik lapang adalah laboratorium mikrobiologi.
Topik yang diberikan pada praktik lapang ini berjudul “Pemanfaatan Limbah Jerami
dan POME (Palm Oil Mill Effluent) untuk Produksi Gas Metana“.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman flora dan dengan
komoditas pertaniannya yang sangat besar. kondisi iklim yang tropis membuat
Indonesia cocok ditumbuhi berbagai jenis tanaman. Hal ini menjadikan pertanian
sebagai salah satu sumber penghasilan negara Indonesia yang utama. Penghasilan yang
didapat tersebut salah satunya berupa ekspor hasil pertanian ke luar negeri. Beberapa
dari hasil pertanian yang diekspor tersebut adalah tanaman perkebunan dan tanaman
hortikultura berupa buah-buahan.
Banyaknya hasil pertanian Indonesia yang diekspor membuat produksi tanaman
pertanian semakin lama semakin meningkat. Hal ini juga diiringi dengan meningkatnya
limbah hasil pertanian. Beberapa contoh tanaman pertanian yang menghasilkan limbah
pertanian dalam jumlah besar adalah padi dan kelapa sawit.
Sejumlah besar daerah di indonesia menganggap jerami hanyalah sampah dan
pada akhirnya hanya akan dibakar begitu saja tanpa ada pemanfaatan lebih lanjut,
padahal setiap tahunnya Indonesia menghasilkan jerami dengan jumlah yang sangat
besar, yaitu 230 juta ton jerami. Jerami terdiri atas 38% selulosa, 24% hemiselulosa dan
8% lignin (Abednifar et al. 2009). Selama ini pemanfaatan jerami masih terbatas
sebagai makanan ternak dan bahan bakar rumah tangga untuk memasak, selain itu
belum ada pemanfaatan lain yang dapat secara optimal memanfaatkan kandungan
2
jerami padi. Padahal kandungan selulosa yang cukup tinggi pada jerami memungkinkan
jerami untuk dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan mikroorganisme.
Laju perkembangan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia semakin pesat.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, produksi kelapa sawit Indonesia
sebesar 17.54 juta ton pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 24.43 juta ton dengan
laju pertumbuhan rata-rata 6.82%. Produksi minyak kelapa sawit menyebabkan
meningkatnya produksi limbah cair dari proses pengolahan Crude Palm Oil (CPO).
Setiap ton tandan buah segar yang diolah menghasilkan limbah cair sekitar 50% (Sutarta
et al. 2003).
Limbah cair kelapa sawit atau lebih dikenal Palm Oil Mill Effluen (POME)
merupakan sisa buangan yang tidak bersifat toksik namun memiliki tingkat pencemaran
yang tinggi karena kandungan organiknya yang terlihat dari nilai Biological Oxygen
Demand (BOD) sebesar 18.000 – 48.000 mg/L dan nilai Chemical Oxygen Demand
(COD) sebesar 45.000 – 65.000 mg/L (Chin et al. 2013). Namun kandungan organik
yang tinggi pada POME ini bisa dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber
karbon untuk tumbuh.
Pengendalian limbah secara biologis dapat dilakukan dengan proses aerobik dan
anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan terjadi fermentasi gula terfermentasi menjadi
asam organik. Proses ini dikenal sebagai fermentasi anaerobik (Drapcho et al. 2008).
Fermentasi anaerobik akan mengkonversi bahan organik menjadi gas metan yang
dilakukan oleh bakteri-bakteri dengan kemampuan sebagai bakteri fermentasi, bakteri
asetogenik penghasil hidrogen, bakteri asetogenik pengguna hidrogen, bakteri
metanogenik pereduksi CO2, dan bakteri methanogenik asetoclastic. Bakteri fermentasi
mengubah senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Bakteri
asetogenik penghasil hidrogen mengubah Volatile Fatty Acid (VFA) menjadi asam
asetat dan CO2/H2. Bakteri metanogenik pereduksi karbondioksida mengubah CO2/H2
menjadi metan dan bakteri methanogenik asetoclastic mengubah asetat menjadi gas
metan (Demirel dan Scherer 2008).
Mikrobia yang digunakan dalam penelitian ini adalah Staphylococcus warneri dan
konsorsia mikroba metanogen. Staphylococcus warneri adalah anggota dari genus
bakteri Staphylococcus yang merupakan kelompok dari bakteri Gram-positif. S. warneri
3
biasanya terdapat pada kulit manusia dan hewan. S. warneri jarang menyebabkan
penyakit, tetapi mungkin akan menyebabkan infeksi pada seseorang dengan kekebalan
tubuh yang kurang. Koloni dari S. warneri biasanya berwarna kuning, dan memiliki
diameter sekitar 2-4 mm (Koneman 1992). Menurut penelitian Pradani (2014), aktivitas
bakteri Staphylococcus warneri dalam 5 L substrat POME mampu menurunkan kadar
karbon organik total sebanyak 22, 49% selama 14 hari. Konsorsia bakteri metanogen
diambil dari anaerobic digestion tank pengolahan limbah POME di Riau. Konsorsia
atau campuran bakteri dinilai memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan
dengan mikrobia tunggal. Menurut penelitian yang dilakukan Mulyana dan Sudrajat
(2012) formulasi konsorsia mikrobia Rhizosfer dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Dalam penelitian lainnya menunjukkan hubungan antara ATH
2147 dan Y34 yang bersifat tidak antagonis. Meskipun keduanya berkompetisi dalam
mendapatkan nutrien tetapi keduanya tidak mengeluarkan metabolit untuk menghambat
pertumbuhan yang lain (Eliezabeth 2014).
Tujuan kegiatan lapang ini adalah mengetahui kondisi optimum produksi gas
metana memanfaatkan limbah cair kelapa sawit (POME) dan jerami padi sebagai
sumber karbon utama yang diinokulasi dengan Staphylococcus warneri dan konsorsia
mikroba methanogen.
4
KEADAAN UMUM PUSAT LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (LIPI)
Sejarah singkat
Pada tahun 1956, melalui UU no. 6 tahun 1956 pemerintah Indonesia
membentuk Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Kemudian pada tahun 1962
pemerintah membentuk Departemen Urusan Riset Nasional (DURENAS) dan
menempatkan MIPI didalamnya. Tahun 1966 pemerintah merubah status DURENAS
menjadi Lembaga Riset Nasional (LEMRENAS). Pada bulan Agustus 1967 pemerintah
membubarkan LEMRENAS dan MIPI dengan SK Presiden RI no. 128 tahun 1967,
kemudian berdasarkan Keputusan MPRS no. 18/B/1967 pemerintah membentuk
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan menampung seluruh tugas
LEMRENAS dan MIPI.
Sejalan dengan perkembangan kemampuan nasional dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, organisasi lembaga-lembaga ilmiah di Indonesia telah pula
mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Oleh sebab itu dipandang perlu untuk
mengadakan peninjauan dan penyesuaian tugas pokok dan fungsi serta susunan
organisasi LIPI sesuai dengan tahap dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka Keppres no. 128 tahun 1967, tanggal 23 Agustus 1967 diubah dengan
Keppres no. 43 tahun 1985, dan dalam rangka penyempurnaan lebih lanjut, tanggal 13
Januari 1986 ditetapkan Keppres no. 1 tahun 1986 tentang Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, dan terakhir dengan Keppres no. 103 tahun 2001.
Visi dan Misi
Visi
Menjadi lembaga ilmu pengetahuan berkelas dunia yang mendorong terwujudnya
kehidupan bangsa yang adil, cerdas, kreatif, integratif dan dinamis yang didukung oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi yang humanis.
5
Misi
1. Menciptakan great science (ilmu pengetahuan berdampak penting) dan invensi
yang dapat mendorong inovasi dalam rangka meningkatkann daya saing
perekonomian nasional;
2. Mendorong peningkatan pemanfaatan pengetahuan dalam proses
penciptaan good governance dalam rangka memantapkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI);
3. Turut serta dalam proses pencerahan kehidupan masyarakat dan kebudayaan
berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan kaidah etika keilmuan;
4. Memperkuat peran Indonesia (yang didukung ilmu pengetahuan) dalam
pergaulan internasional;
5. Memperkuat infrastruktur kelembagaan (penguatan manajemen dan sistem).
Fungsi
1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang penelitian ilmu
pengetahuan.
2. Penyelenggaraan riset keilmuan yang bersifat mendasar.
3. Penyelenggaraan riset inter dan multi disiplin terfokus.
4. Pemantauan, evaluasi kemajuan, dan penelaahan kecenderungan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
5. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas LIPI.
6. Pelancaran dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang ilmu
pengetahuan.
7. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian,
keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Kewenangan
Untuk menjalankan fungsinya, LIPI mempunyai kewenangan :
1. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang terkait.
6
2. Perumusan kebijakan di bidang terkait untuk mendukung pembangunan secara
makro.
3. Penetapan sistem informasi di bidang terkait.
4. Kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang
penelitian ilmu pengetahuan.
b. Penetapan pedoman dan penyelenggaraan riset ilmu pengetahuan
dasar.
c. Penetapan pedoman etika ilmiah, kedudukan dan kriteria
kelembagaan ilmiah.
d. Pemberian ijin Peneliti Asing.
e. Pemegang kewenangan ilmiah dalam keanekaragaman hayati.
Riwayat Kepala dan Wakil Kepala LIPI
Kepala LIPI
1. Sarwono Prawirohardjo (1967 - 1974)
2. Tb. Bachtiar Rifai (1974 - 1984)
3. Doddy A. Tisna Amidjaja (1984 - 1989)
4. Samaun Samadikun (1989 - 1995)
5. Soefjan Tsauri (1995 - 2000)
6. Taufik Abdullah (2000 - 2002)
7. Umar Anggara Jenie (2002 - 2010)
8. Lukman Hakim (2010 - sekarang)
Wakil Kepala LIPI
1. Didin Sumarna Sastrapradja
2. Suparka (xxxx - 2003)
3. Lukman Hakim (2003 - 2010)
4. Endang Sukara (2010 - 2012)
5. Djusman Sajuti (2012 – sekarang)
7
TINJAUAN PUSTAKA
POME (Palm Oil Mill Effluent)
Palm Oil Mill Effluent atau limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan salah satu
limbah agroindustri yang paling sering menyebabkan polusi. Palm Oil Mill Effluent
(POME) adalah cairan berwarna coklat dan bersifat asam (Rupani et al. 2010).
Karakteristik POME dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik Palm Oil Mill Effluent (POME) Tanpa Perlakuan
Parameter konsentrasiPH 4.7Temperatur 80-90
BOD 3 hari, 30oC 25000
COD 50000
Total solids 40500Suspended solids 18000Total Volatile Solids 34000Amoniacal-Nitrogen 35
Total Nitrogen 750Phosporus 18Potassium 2270
Magnesium 615Kalsium 439Boron 7.6
Iron 46.5Manganese 2.0Copper 0.89
Zinc 2.3
*Seluruh parameter dalam mg/l kecuali pH dan temperatur (oC)
Sumber : Lang (2007)
Limbah cair POME umumnya bersuhu tinggi, mengandung padatan terlarut dan
tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan kandungan Biological Oxygen
Demand (BOD) yang tinggi. Karakteristik limbah berdasarkan sifat fisik meliputi suhu,
kekeruhan, bau, dan rasa, berdasarkan sifat kimia meliputi kandungan bahan organik,
protein, BOD, Chemical Oxygen Demand (COD), sedangkan berdasarkan sifat biologi
meliputi kandungan bakteri patogen dalam air limbah (Siregar 2011).
POME mengandung unsur hara yang tinggi seperti N, P, K, Mg, dan Ca, sehingga
limbah cair tersebut berpeluang untuk digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman
8
kelapa sawit, di samping memberikan kelembapan tanah, juga dapat meningkatkan
status hara tanah (Loebis dan Tobing 1989).
Jerami Padi
Jerami padi merupakan bagian dari batang tumbuhan padi tanpa akar yang
tertinggal setelah dipanen butir buahnya. Komposisi jerami padi dalam 1 mm3
terkandung C-organik 46,13%, N-total 0,52%, selulosa 32%, dan lignin 13,3% (Nandi
et al. 2000). Bagian-bagian jerami padi dapat dibedakan menjadi helai daun, pelepah
daun dan batang yang dapat dipilah atas ruas dan buku yang proporsinya sangat kecil.
Proporsi helai daun, pelepah daun dan ruas adalah 15-27%, 23-30% dan 15-37%
(Sitorus 2002).
Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak di Indonesia baru mencapai 31 - 39
%, sedangkan yang dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk 36 - 62 %, dan
sekitar 7 - 16 % digunakan untuk keperluan industri (Abdullah 2008).
Jerami padi sebagai limbah tanaman tua, dinding selnya telah mengalami
lignifikasi lanjut membentuk ikatan kompleks, termasuk selulosa dan hemiselulosa.
Pemanfaatan limbah berlignoselulosa dengan menggunakan mikroorganisme dapat
menghasilkan enzim ekstraseluler yang mampu mendegradasi bahan berligneselulosa
menjadi fraksi penyusunnya (Budiman dan Setyawan 2009).
Staphylococcus warneri
Staphylococcus warneri adalah anggota dari genus bakteri Staphylococcus yang
merupakam kelompok dari bakteri Gram-positif. S. warneri biasanya terdapat pada kulit
manusia dan hewan. S. warneri jarang menyebabkan penyakit, tetapi mungkin akan
menyebabkan infeksi pada seseorang dengan kekebalan tubuh yang kurang. Koloni dari
S. warneri biasanya berwarna kuning, dan memiliki diameter sekitar 2-4 mm setelah
inkubasi 48 jam pada suhu 35o C (Koneman 1992).
Klasifikasi S. warneri adalah sebagai berikut:
Kingdom: Bacteria
Phylum : Firmicutes
9
Class : Bacilli
Order : Bacillales
Family : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : S. warneri
Gambar 1 Staphylococcus warneri (Dennis 2007)
Metana
Gas metana merupakan senyawa hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk
gas yang tidak berwarna dan berbau dengan rumus kimia CH4. Selain tidak berwarna
dan berbau, sifat-sifat lain gas metana antara lain dapat terbakar pada kadar antara 5-
15% , mempunyai titik didih −161°C dan mempunyai kelarutan dalam air sekitar 35
mg/L pada tekanan 1 atmosfir.
Metana merupakan gas rumah kaca yang dihasilkan dari proses penguraian bahan
organik oleh bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi tanpa udara). Metana
terdapat secara alami dan merupakan unsur utama biogas dan gas bumi. Metana mudah
terbakar, dan menghasilkan karbon dioksida sebagai hasil sampingan (Kantor Menteri
Negara Lingkungan Hidup 1992).
Metana dihasilkan secara alami oleh bakteri yang hidup dan tumbuh subur di
rawa-rawa. Bakteri ini menghasilkan metana di dalam selnya. Metana dihasilkan ketika
jenis-jenis mikroorganisme tertentu menguraikan bahan organik pada kondisi tanpa
udara (anaerob). Metana juga terdapat di dalam sistem pencernaan binatang. Binatang
10
pemamah biak seperti sapi dan kambing mempunyai mikroba dalam perutnya yang
biasanya digunakan untuk mencerna rerumputan. Beberapa mikroba ini melepaskan
metana sebesar 250 gram setiap harinya (Rusbiantoro D 2008).
Dibandingkan dengan gas rumah kaca lainnya misalnya gas karbon dioksida
(CO2), gas metana dapat menimbulkan efek pemanasan global 72 kali dalam periode 20
tahun atau 25 kali dalam periode 100 tahun (Keppler F et al 2006) . Tempat
pembuangan sampah merupakan tempat dimana terdapat bahan-bahan organik dalam
jumlah yang cukup besar. Karena sampah yang dibuang ke lokasi pembuangan tersebut
terus menumpuk maka terjadilah tumpukan sampah yang makin lama makin tinggi.
Tumpukan sampah yang mengandung bahan organik di lapisan bawah akhirnya
mengalami keadaan kekurangan oksigen (anaerobik) dan terjadilah proses dekomposisi
yang menghasilkan gas metana.
Jumlah emisi gas metana dari pembuangan akhir sampah secara keseluruhan
mencapai kira-kira 30 – 70 juta ton per tahunnya. Kebanyakan gas metana dari sumber
ini berasal dari negara-negara berkembang yang kadar pembuangan sampahnya
cenderung besar. Data penelitian di India memperkirakan bahwa emisi gas metana dari
waduk-waduk di negara tersebut mencapai 33.3 juta ton per tahunnya, terdiri dari 1,1
juta ton dari permukaan waduk, 13.2 ton dari spillways dan 19.2 ton dari turbin (Lima et
al. 2008).
Selain sebagai gas rumah kaca yang menimbulkan efek buruk bagi lingkungan,
metana juga merupakan kandungan utama dari biogas. Biogas merupakan salah satu
bahan bakar non fosil bersifat renewable (dapat diperbaharui) yang dapat dijadikan
bioenergi alternatif. Biogas diperoleh dari proses fermentasi biomassa yang
mengandung karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme. Metana juga dapat berfungsi
sebagai bahan bakar (biofuel) (Hambali 2007).
Kadar gas metana dapat diukur menggunakan alat Gas kromatografi dengan
detektor jenis Flame Ionization Detector (FID). Alat ini mengukur kadar gas metana
dari contoh air atau gas (Kampbell dan Vandegrif 1998).
11
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah POME fermentor: Konsorsia bakteri metanogen
yang diambil dari anaerobic digestion tank pengolahan limbah POME di Riau,
Staphylococcus warneri, jerami padi, POME, aquades, NaCl, NaOH, KH2PO4, CaCO3,
ammonium sulfat, alumunium sulfat, sludge dari Dumai, HCl pekat, fenol 5% , H2SO4
pekat, larutan DNS, yeast extract, peptone, meat extract, agar, D+glukosa, starch,
CH3COONa, dan L-cystenium chloride, vitamin, trace element.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah fermentor, autoklaf Tomy 5x-
500, laminar air flow cabinet Hitachi Clear Bench, botol beling, inkubator Central
Kagaku Corp CB-5, CB-L 30oC dan 50oC, sentrifugasi KOKUSAN H-15FR Pupick
Fled, tabung reaksi, tabung eppendorf, erlenmeyer, tip, gelas ukur, gelas piala,
spektrofotometer UV-Vis MAPADA V-1100D, magnetic stirer, kapas, plastik,
alumunium foil, Furnish Ep-type Isuzu Seisa Kusho Co.Ltd, cawan petri, shaker BR-
3000LF, tusuk sate, vortex SIBATA TTM-1, spatula drygalski, pipet mikro 1000 µL
dan 200 µL, tip 1000 µL dan 200 µL,dan pH meter Az 86505.
Metode Percobaan
Preparasi sampel. Sebanyak 3 kg jerami kering dipotong kemudian diblender
hingga halus dan disimpan dalam suatu wadah.
Pembuatan medium RCM (Chong et al. 2009). Meat extract 10 gr, pepton 5 gr,
yeast extract 3 gr, D+glukosa 5 gr, starch 1 gr, NaCl 5 gr, CH3COONa 3 gr, dan L-
cysteimil chloride 0,5 gr masing-masing dimasukkan satu persatu ke dalam tabung
Erlenmeyer yang berisi aquades 100 mL dan 1 L. Semua komposisi medium RCM
dicampur dengan menggunakan magnetic stirer. Kemudian disterilisasi pada suhu 121o
C selama 15 menit. Setelah itu ditambahkan vitamin 1 mL dan trace element 1 mL ke
dalam masing-masing medium RCM. Medium 100 mL disimpan dalam shaker BR-
3000LF selama 3 hari. Medium 1 L disimpan 3 hari dalam suhu ruang.
Inokulasi bakteri. Staphylococcus warneri yang ada pada cawan Petri
dipindahkan dengan menggunakan tusuk sate ke medium cair RCM 100 mL di dalam
laminar air flow cabinet Hitachi Clear Bench dan disimpan selama 3 hari dalam shaker
12
BR-3000LF. Setelah 3 hari medium cair RCM 100 mL dipindahkan ke dalam medium
cair RCM 1 L dan dimasukkan ke dalam fermentor POME.
Penyiapan inokulan methanogen. Sebanyak 5 % (w/v) lumpur aktif yang
diambil dari anaerobic digestion tank pengolahan limbah POME di Riau, digunakan
sebagai inokulan pembentukan gas metan dalam proses methanogenis dimasukkan ke
dalam fermentor metanogenesis.
Pengisian fermentor. POME sebanyak 5 mL, jerami sebanyak 2 mL, dan air
sebanyak 9 mL dimasukkan ke dalam fermentor. Setiap hari fermentor dikocok dengan
menggoyang badan fermentor.
Pembuatan medium penghasil gas metana. Pepton 2 g, glukosa 2 g, KH2PO4
0.1 g, CaCO3 0.1 g, NaCl 0.1 g, Ammonium sulfat 0.1 g, MgSO4 0.1 g, dan alumunium
sulfat 0.1 g masing-masing dimasukkan satu persatu ke dalam tabung erlenmeyer yang
berisi aquades 500 mL dan 1 L. Kemudian disterilisasi pada suhu 1210 C selama 15
menit. Setelah itu ditambahkan 10 mL POME dan 10 mL sludge dari Dumai ke dalam
medium 500 mL. Medium 500 mL disimpan dalam shaker BR-3000LF selama 3 hari.
Medium 1 L disimpan pada suhu ruang selama 3 hari. Setelah 3 hari medium 500 mL
dipindahkan ke dalam medium 1 L dan dimasukkan ke dalam fermentor POME.
Biomassa sel (Pradani 2014). Sampel sebanyak 1 mL diukur absorbansi
menggunakan MAPADA V-1100P Spectrophotometer pada panjang gelombang 600
nm dengan POME steril yang ditambah dengan 1% jerami sebagai larutan blanko.
Uji Gula Reduksi (Gayang 2013). Sampel sebanyak 2 mL dimasukkan ke
dalam tabung eppendorf lalu di sentrifus 4oC kecepatan 6000 rpm selama 5 menit.
Supernatan diambil 0.5 mL untuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan
aquades 0.5 mL. Untuk Go ditambahkan 0.2 mL larutan DNS dan panaskan selama 7
menit, kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
Sedangkan untuk Gt diinkubasi pada suhu 30oC selama 60 menit, stelah itu
ditambahkan 0.2 mL larutan DNS dan panaskan selama 7 menit. Kemudian diukur
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis MAPADA V-1100D pada panjang
gelombang 540 nm.
Pembuatan kurva standar glukosa (Gayang 2013). Kurva standar glukosa
dibuat dengan menggunakan larutan DNS. Sebanyak 100 ppm, 200 ppm, 500 ppm, dan
13
1000 ppm larutan DNS yang ditambahkan glukosa kemudian diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 540 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis MAPADA
V-1100D.
Pengukuran karbon organik total (Suligandi 2013). Sampel sebanyak 2 mL
dimasukkan ke dalam tabung eppendorf lalu di sentrifus 4oC kecepatan 6000 rpm
selama 5 menit. Supernatan diambil 0.5 mL untuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan ditambahkan HCl pekat 50 µl. Kemudian dipanaskan selama 2 jam. Setelah itu
ditambah fenol 5% 50 µl dan H2SO4 pekat 0,25 mL, dipanaskan selama 1 jam.
Kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis MAPADA V-1100D
pada panjang gelombang 490 nm.
Pengukuran pH (Siwi 2011). Sebanyak 2 mL sampel diukur pH-nya dengan
menggunakan pH meter Az 86505.
Penentuan Produksi Gas Metan dengan 3 perlakuan (Sudiana et al. 2013).
Sampel sebanyak 40 mL dimasukkan ke dalam botol beling. Perlakuan pertama
ditambahkan jerami 0.2 g dan Natrium asetat 0.4 g. Perlakuan 2 ditambahkan jerami 0.2
g, Natrium asetat 0.1 g, dan glukosa 0.2 g. Perlakuan 3 ditambahkan Natrium asetat 0.8
g. Botol ditutup lalu udara yang ada di dalam botol dibuang dengan menggunakan
syringe dan diganti dengan gas N2. Sampel diinkubasi pada suhu 37°C. Pada hari
berikutnya dilakukan pengukuran gas dengan GC-FID.
Pengukuran Gas Metan dengan GC-FID (Breysse dan Lees 2003) Gas yang
dihasilkan oleh sampel diinjeksi sebanyak 100µl, lalu gas metan yang dihasilkan
terdeteksi pada waktu retensi 0.3 – 0.4 pada alat.
Konsentrasi kemurnian gas metan (ppm) = Luas area sampelLuas area standar x 10000
Konsentrasi kemurnian gas metan (%) = Luas area sampel
Luas area standarx 100
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel mikroba yang digunakan pada percobaan ini adalah Staphylococcus
warneri dan konsorsia mikroba metanogen yang berasal dari anaerobic digestion tank
pengolahan limbah Palm Oil Mill effluent (POME), dengan substrat jerami dan POME
yang merupakan hasil samping dari pengolahan kelapa sawit.
Percobaan pertama pada penelitian ini adalah penambahan air dan jerami ke
dalam POME fermentor. Penambahan jerami dinilai tepat sebagai substrat karena
mengandung selulosa yang tinggi sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan
mikroorganisme dan sumber karbon yang dapat digunakan dalam proses metanogenesis
(Juliano 1985). Kemudian setelah 3 hari ditambahkan Staphylococcus warneri yang
telah ditumbuhkan pada medium RCM, konsorsia mikroba metanogen dan medium
penghasil gas metana yang terdiri atas campuran anaerobic sludge dengan POME.
Percobaan kedua pada penelitian ini adalah pemindahan isian POME fermentor ke
botol beling sebanyak 40 mL dengan beberapa perlakuan. Perlakuan pertama dengan
penambahan jerami steril 0.2 g dan natrium asetat 0.4 g. Perlakuan kedua dengan
penambahan jerami steril 0.2 g, natrium asetat 0.1 g, dan glukosa 0.2 g. Perlakuan
ketiga dengan penambahan natrium asetat 0.8 g dan jerami 0.2 g. Masing-masing
tabung divakum kemudian diisi dengan gas nitrogen, setelah itu disimpan dalam
inkubator dengan suhu 37oC.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran produksi gas metana dengan 4
pengukuran parameter, yaitu Total Organic Carbon (TOC), biomassa, gula reduksi, dan
pH.
1. Penentuan Total Organic Carbon (TOC)
Kandungan organik merupakan salah satu parameter yang sangat umum untuk
diolah dalam suatu sistem pengolahan air limbah. Ada beberapa pendekatan dalam
menyatakan keberadaan zat organik di dalam limbah, salah satunya adalah TOC (Total
Organic Carbon). Karbon organik total (TOC) adalah parameter yang menyatakan
jumlah total karbon organik. Penentuan TOC merupakan suatu cara analisis senyawa
organik dengan menentukan kadar karbon secara total dalam senyawa organik tersebut
dari proses oksidasi sempurna.
15
Gambar 2 Absorbansi total organik karbon
Gambar 1 menunjukkan total organik karbon dari hari pertama pengukuran hingga
hari ke-12. Pada hari pertama hingga hari ke-4 terlihat bahwa TOC mengalami
penurunan. Namun setelah hari keempat hingga hari ke-12, TOC kembali naik. Hal ini
mungkin terjadi karena jerami yang digunakan tidak mengalami proses pre hidrolisis
terlebih dahulu melalui proses sterilisasi sehingga waktu yang dibutuhkan mikroba
untuk menghidrolisis lebih lama. Menurut Sanjaya dan Adrianti (2010) jerami padi
perlu diberikan perlakuan awal terlebih dahulu untuk menghidrolisis selulosa dan
hemiselulosa menjadi gula sederhana. Hal ini menyebabkan mikroba hanya mampu
menghidrolisis senyawa organik dalam limbah POME dan menjadikannya sebagai
sumber karbon. Setelah hari ke-4 jerami sudah mulai terhidrolisis namun jumlah
mikroba sudah mengalami penurunan sehingga hanya sedikit karbon yang digunakan
sebagai substrat.
4. Penentuan Biomassa Sel
Gambar 3 Biomassa sel Staphylococcus warneri
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
1.4000
0 5 10 15A
bsor
bans
iTO
C (
nm)
Waktu fermentasi (hari)
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
0 5 10 15Abs
orba
nsiB
iom
assa
sel
Waktu fermentasi (hari)
16
Pertumbuhan mikroba dapat diukur dengan melihat kenaikan biomassa atau
jumlah sel. Gambar 2 menunjukkan grafik pertumbuhan Staphylococcus warneri dalam
POME fermentor pada hari pertama hingga hari ke-12. Pada hari pertama hingga hari
ke-4 biomassa sel mengalami peningkatan, namun setelah hari keempat mengalami
penurunan hingga hari ke-12. Hal ini berkaitan dengan hasil penentuan TOC pada
POME fermentor, terbukti bahwa pada hari keempat hingga hari ke-12 mikroba terus
mengalami penurunan sehingga karbon organik total yang sudah dihasilkan dari proses
hidrolisis jerami dan POME tidak mampu digunakan secara maksimal.
3. Penentuan Gula Reduksi
Penentuan Gula reduksi dilakukan berdasarkan metode Gayang (2013). Prinsipnya
adalah gula reduksi akan mereduksi asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS) dalam suasana
alkali dan membentuk senyawa yang kemudian diukur serapannya pada panjang
gelombang 550 nm. Metode ini adalah metode kimiawi yang menentukan komposisi
gula reduksi dalam sampel yang mengandung karbohidrat. DNS merupakan senyawa
aromatis yang akan bereaksi dengan gula reduksi untuk membentuk 3 amino 5
nitroalicylic acid dalam suasana basa. Semakin banyak gula reduksi pada sampel,
semakin tinggi nilai absorbannya (Hardjono 2005).
Reagen DNS dibuat dengan penambahan NaOH ke dalam larutan. penambahan
NaOH bertujuan memberikan suasana basa. Selain menambahkan NaOH, juga
ditambahkan kalium natrium tartrat 40% (Rochelle Salt). Hal ini dilakukan untuk
menstabilkan warna yang terbentuk pada saat reaksi terjadi yaitu merah bata/kecoklatan
(Lehninger 1982). Kemudian pengukuran gula reduksi pada percobaan ini akan diukur
dengan spektroforometri pada panjang gelombang 540 nm sehingga didapat nilai
absorbansi dari warna yang terbentuk.
Tabel 2 Konsentrasi uji gula reduksi
Go (nm) [G. red] (ppm)
0.8030.2660.2030.174
427158.5127
112.5
Data awal menjelaskan gula reduksi dalam POME fermentor sebesar 427 ppm.
Untuk memperoleh konsentrasi total gula reduksi dibuat juga kurva standar pada
17
konsentrasi 0, 100, 200, 400, 500, 1000 diperoleh persamaan dari kurva y =
0.002x+0.051.
.
Gambar 4 Konsentrasi gula reduksi
Gambar 3 menunjukkan konsentrasi gula reduksi pada POME fermentor. Dari
grafik tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi gula reduksi mengalami penurunan
sampai hari ke-12. Hal itu disebabkan karena gula reduksi awal yang merupakan hasil
dari proses hidrolisis POME dan jerami digunakan sebagai sumber karbon oleh sel
bakteri untuk proses metabolisme. Menurut Sudiyana et al. (2013) tingkat hidrolisis
sampel dapat diperkirakan melalui produksi gula reduksi. Hal ini dapat diartikan
inokulan yang digunakan, yaitu konsorsia metanogen dan Staphylococcus warneri
mampu menghidrolisis substrat yang digunakan, yaitu jerami dan POME menjadi gula
reduksi.
4. Pengukuran pH
Gambar 5 pH POME fermentor
050
100150200250300350400450
0 5 10 15
Kon
sent
rasi
gul
a re
duks
i (p
pm)
Waktu fermentasi (hari)
4.654.7
4.754.8
4.854.9
4.955
5.05
0 2 4 6 8 10 12 14
pH
Waktu fermentasi (hari)
18
Data pH sampel menunjukkan bahwa pH dari hari pertama hingga hari ke-12
terus-menerus meningkat. Tercatat pH awal sampel adalah 4.71 dan pH akhir, yaitu
pada hari ke-12 adalah 5.01. Peningkatan tersebut terjadi karena senyawa hasil
fermentasi maupun asetogenesis sudah dikonversi menjadi H2, CO2, H2O, dan CH4 ,
serta pemecahan protein menjadi NH4+ yang kemudian mudah membentuk senyawa
yang bersifat basa. Bakteri metanogen mengkonsumsi asam asetat dan mengubahnya
menajdi metana dan CO2 (Boone 1985) sehingga konsentrasi asam asetat dalam air
limbah turun dan pH naik.
5. Penentuan Produksi Gas MetanaPenentuan produksi gas metana dilakukan dengan menggunakan GC-FID. Prinsip
dasarnya adalah pemisahan komponen-komponen berdasarkan daya absorpsinya
terhadap fasa diamnya. Data awal pengukuran menunjukkan konsentrasi gas metana
tanpa perlakuan. Seperti ditunjukkan pada Tabel 5 konsentrasi metana yang terbentuk
adalah 93.4980 ppm. Konsentrasi gas metana yang rendah terjadi karena jumlah glukosa
sebagai sumber karbon dalam fermentor masih rendah. Oleh karena itu, sebanyak 40
mL sampel dipindahkan ke botol kemudian diberi beberapa perlakuan.
Tabel 3 Konsentrasi metana awal pada POME
Ulangan Area sampel
Area standar
Total area
Konsentrasi (ppm)
Rata-rata konsentrasi
(ppm)
Konsentrasi (%)
Rata-rata konsentrasi
(%)1 6096 594854 6765 102.4789 93.4980 90.1109 45.05542 8305 594854 8572 139.6141 96.8852
Gambar 6 Konsentrasi gas metana
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
0 1 2 3 4 5
Kon
sent
rasi
met
ana
(ppm
)
Waktu fermentasi (hari)
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
19
Gambar 5 menunjukkan perbandingan pembentukan konsentrasi gas metana
dengan 3 perlakuan. Perlakuan pertama dengan penambahan jerami steril sebanyak 0.2
g dan Natrium asetat 0.4 g. Perlakuan kedua dengan penambahan jerami steril 0.2 g,
Natrium asetat 0.1 g, dan glukosa 0.2 g. Perlakuan ketiga dengan penambahan Natrium
asetat 0.8 g. Seluruh perlakuan ini ditambahkan pada substrat POME yang sudah
dipindahkan ke botol beling sebanyak 40 mL. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
pengukuran gas metana yang terbentuk. Selain itu seluruh perlakuan diinkubasi dalam
suhu 37oC selama pengukuran produksi gas metana berlangsung. Menurut McMahon et
al. (2004) pertumbuhan bakteri Methanosarcina yaitu salah satu bakteri yang memiliki
kemampuan metanogenik optimum pada temperatur 30-40°C (McMahon et al. 2004).
Penelitian lainnya tentang desain sederhana reaktor biogas sampah organik, kondisi
optimum untuk menghasilkan gas metan adalah pada suhu 36°C (Paulus et al. 2009).
Pada percobaan dengan perlakuan 1, produksi gas metana yang terbentuk pada
hari ke-1,2, dan 3 berturut-turut adalah 622.5225 ppm, 136.5293 ppm, dan 13492.95
ppm. Pada percobaan dengan perlakuan 2, produksi gas metana yang terbentuk pada
hari ke-1, 2, 3 dan 4 berturut-turut adalah 2595.6958 ppm, 333.9055 ppm, 6137.245
ppm, dan 1233 ppm. Pada percobaan dengan perlakuan 3, produksi gas metana yang
terbentuk pada hari ke-1 dan 2 berturut-turut adalah 3357.16 ppm dan 7679.842 ppm.
Tidak stabilnya produksi gas metana mungkin disebabkan ketika injeksi menggunakan
syringe volume sampel terlalu banyak atau terlalu sedikit atau sampel yang terambil
tidak seluruhnya masuk ke dalam detektor.
Berdasarkan hasil keseluruhan produksi gas metana paling besar adalah pada
perlakuan 1, yaitu sampel dalam POME fermentor ditambahkan jerami 0.2 g dan
natrium asetat 0.4 g dengan konsentrasi metana sebesar 13492.95 ppm. Hal ini berkaitan
dengan pembentukan metana yang dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri
atas sub divisi acetoclastic methane bacteria yang menguraikan asam asetat menjadi
metana dan karbon dioksida. Karbon dioksida dan hidrogen yang terbentuk dari reaksi
penguraian di atas, disintesis oleh bakteri pembentuk metana menjadi metana dan air.
CH3COOH CH4 + CO2
(metana)
2H2 + CO2 CH4 + 2H2O
20
Pada perlakuan 3, yaitu sampel dalam POME fermentor yang ditambahkan
natrium asetat sebanyak 0.8 g menunjukkan produksi gas metana yang meningkat dari
hari pertama dan kedua. Hal ini terjadi karena Natrium asetat yang digunakan pada
perlakuan 2 memiliki jumlah 2 kali lipat dibandingkan perlakuan 1. Hal ini membuat
lebih banyak lagi asam asetat yang dikonversi menjadi metana dan karbondioksida oleh
bakteri metana. Namun produksi gas metana tertinggi tetap diperoleh dari perlakuan 1
pada hari ketiga. Sampel dengan perlakuan 2 tidak dilakukan pengukuran produksi gas
pada hari ketiga. Hal ini dilakukan karena produksi gas metana pada perlakuan 3 belum
melebihi produksi gas metana pada perlakuan 2.
Pada perlakuan 2, yaitu sampel dalam POME fermentor yang ditambahkan jerami
0.2 g, glukosa 0.2 g, dan natrium asetat 0.1 g menghasilkan produksi gas metana yang
paling rendah diantara ketiga perlakuan. Hal ini terjadi karena glukosa yang
ditambahkan perlu diubah terlebih dahulu menjadi asam asetat kemudian baru
dikonversi menjadi bentuk metana dan karbondioksida. Selain itu asam asetat yang
ditambahkan terlalu sedikit.
21
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Substrat POME dan jerami dengan penambahan asam asetat dengan jumlah 0.4 g
mampu memproduksi gas metana paling optimum. Hasil produksi gas metana diikuti
dengan beberapa parameter, yaitu TOC, biomassa, gula reduksi, dan pH yang
menunjukkan bahwa konsorsia metanogen dan Staphylococcus warneri mampu
menghidrolisis substrat, yaitu POME dan jerami padi. Hal ini membuktikan bahwa
POME dan jerami bisa dimanfaatkan sebagai substrat yang ekonomis untuk
menghasilkan biogas.
Saran
Sebaiknya perlu diuji lagi produksi gas metana dengan beberapa substrat
ekonomis lainnya atau dengan memodifikasi jumlah asam asetat atau glukosa yang
ditambahkan pada substrat POME dan jerami untuk melihat pengaruh penambahannya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. 2008. Pembuatan Jerami Padi Amoniasi Sebagai Sumber Pakan Ternak Potensial Di Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba. Program penerapan IPTEKS
Abedinifar S, Karimia K, Khanahmadi M, Taherzadeh MJ. 2009. Biomass and Bioenergy. 33: 828.
Boone DR. 1985. Fermentation Feactions of Anaerobic Digestion. Lancaster: Technomic Publishing Co. Inc.
Breysse PN, Lees PSJ. 2003. Analysis of Gases and Vapors. Amerika: AIHA Press
Budiman, A. dan Setyawan, S. 2005. Pengaruh konsentrasi substrat, lama inkubasi dan pH dalam proses isolasi enzim xylanase dengan menggunakan media jerami padi[Skripsi]. Semarang: Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Chin Kl, H’ng PS, Chai EW, Tey BT, Chin MJ, Paridah MT, et al. 2013. Puel characteristics of solid biofuel derived from oil palm biomass and fast growing timber species in Malaysia. Bioenergy Research. 6: 75-82
Chong ML, NAA Rahman, RA Rahim, SA Aziz, Y Shirai, MA Hassan. 2009. Optimization of biohydrogen production by Clostridium butyricum EB6 from Palm Oil Mill Effluent using response surface methodology. Int. J. Hydrogen Energy, 34:7475–82.
Demirel B, Scherer P. 2008. The roles of acetotrophic and hydrogenothropic methanogens during anaerobic conversion of biomass to methane: a review. Review in Enviromental Science and Biotechnology. 7(2): 173-190.
Drapcho C, Nghiem J, Walker T. 2008. Biofuels Engineering Process Technology. United States of America. Mc. Graw-Hill Inc.
Eliezabeth L. 2014. Pemanfaatan mikroba penghidrolisis selulosa untuk produksi gas metana dengan bahan dasar POME (Palm Oil Mill Effluent) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Gayang. 2013. Konversi Lignoselulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Gula Reduksi Menggunakan Enzim Xilanase dan Selulase Komersial [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Biokimia Institut Pertanian Bogor.
Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Patiwiri AW. 2007. Pengantar Teknologi Bioenergi. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat.
Hardjono S. 2005. Kimia Dasar. Yogyakarta: UGM Press.
Kampbell DH, Vandegrif SA. 1998. Analysis of dissolved methane, ethane and ethylene in groundwater by a standard gas chromatographic technique. Journal of Chromtographic Science. 36.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1992. Dampak Penipisan Lapisan Ozon. Jakarta.
23
Keppler F et al. 2006. Methane emissions from terrestrial plants under aerobic conditions. Nature 439: 187-191.
Koneman EW, Allen SD, Janda WM, Schreckenberger PC, Winn WC. 1992. Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology 4th Ed. Philadelphia: J.B. Lippincott Company.
Lang LY. 2007. Treatability of palm oil mill effluent (POME) using black liquor in an anaerobik treatment process [Tesis]. Malaysia: Universitas Sains Malaysia.
Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta. Ma, B., Q. Li, T. Niwa, T. Oura,W. Du, D. Liu, & S. Kajiwara. 2008. Improvement of Lipid Accumulation in an Oleaginous yeast. Abstracts/Journal of Biotechnology 136S (2008) S402–S459.
Lima IBT, Fernando MR, Luis AW, Bambace, Reinaldo RR. 2008. Methane emissions from large dams as renewable energy resources: a developing nation perspective. Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change Journal, 13 (2).
LIPI. 2013. Tentang LIPI. [terhubung berkala]. http://lipi.go.id (3 September 2013).
McMahon, Zheng D, Stams A, Mackie R, and Raskin L. 2004. Microbial population dynamic during strat up and overload condition of anaerobic digester treating municipal solid waste and sewage sludge. Biotech and Bioeng. 87: 823-834.
Mulyana N, Sudrajat D. 2012. Formulasi inokulan konsorsia mikroba rhizosfer berbasis kompos teriradiasi. Jurnal Penelitian. ISSN 0216-3128.
Nandi N, Rahman FH, Sinha NB, Hajra JN. 2000. Compatibility of lignin-degrading and cellulosedecomposing fungi during decomposition of rice straw. Journal Indian Soc. Soil Sci. 48(2): 387-389.
Loebis B, Tobing PL. 1989. Potensi Pemanfaatan Pabrik Kelapa Sawit. Buletin perkebunan Medan.
Paulus L, Dewang S, Pembonan, Wahab AW. 2009. Reaktor biogas sampah organik untuk menghasilkan gas metana. Jurnal Sains 2:99-104.
Pradani L. 2014. Pemanfaatan limbah cair kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent) sebagai substrat pertumbuhan bakteri penghasil biohidrogen dalam fermentor [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.
Rupani, Parveen F, et al. 2010. Review of Current Palm Oil Mill Effluent (POME) Treatment Methods : Vermicomposting as a Sustainable Practice. Malaysia: Universitas Sains Malaysia.
Rusbiantoro D. 2008. Global Warming For Beginner (Pengantar Komprehensif Tentang Pemanasan Global). Yogyakarta: Penerbit O2.
Sanjaya W, Andrianti S. 2010. Optimasi hidrolisis enzimatik jerami padi menjadi glukosa untuk bahan baku biofuel menggunakan selulase dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger [tesis]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
24
Siregar RS. 2011. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Compressed Natural Gas (CNG) dari Biogas Hasil Fermentasi thermofilik Limbah Cair Kelapa Sawit dengan Kapasitas 45 Ton TBS/Jam [Skripsi]. Medan: Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Sitorus, T.F,.2002. Peningkatan Nilai Nutrisi Jerami Padi dengan Fermentasi Ragi Isi Rumen. Program Studi Magister Ilmu Ternak Program Pasca Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Siwi. 2011. Karakterisasi dan identifikasi khamir anggota filum Ascomycota yang berpotensi sebagai oleaginous yeast. [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.
Sudiana, Kanti A, Octavia S, Helbert. 2013. Hidrolyses of POME with fungi and yeast for methane production. Jou of Ap Sci in En San. ISSN 0126-2807.
Suligundi. 2013. Penurunan kadar COD (Chemical Oxigen Demand) pada limbah cair karet dengan menggunakan reaktor biosand filter yang dilanjutkan dengan reaktor activated carbon. Jurnal Teknik Sipil Untan. 13(1): 29-44.
Sutarta, E.S., Winarna, P.L. Tobing dan Sufianto. 2003. Aplikasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit pada Perkebunan Kelapa Sawit. Makalah pada Pertemuan Teknis Kelapa Sawit pada Perkebunan Kelapa Sawit. Medan. 13-14 Juni 2003.