Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

30
Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD BIAS Modul ini membahas kesalahan sistematis yang mencederai validitas kesimpulan hasil-hasil riset epidemiologi yang disebut bias. Bias menyebabkan taksiran yang salah tentang hubungan antara paparan dan penyakit atau efek intervensi yang diteliti. Bias bisa terjadi pada semua desain studi, baik survei, studi analitik observasional, maupun studi eksperimental. Penilaian tentang peran bias sebagai penjelasan alternatif tentang hubungan antara paparan dan risiko penyakit, atau efek intervensi, merupakan langkah yang sangat penting dalam riset epidemiologi. Demikian juga eliminasi atau pencegahan sumber bias merupakan langkah yang tidak boleh dikesampingkan agar diperoleh kesimpulan hasil riset epidemiologi yang valid. Modul ini menyajikan definisi bias, klasifikasi bias, akibat-akibat bias, arah bias, besarnya bias, jenis bias, sumber penyebab bias, dan metode untuk mengatasi atau mencegah bias dalam penarikan kesimpulan tentang taksiran hubungan paparan- penyakit atau efek intervensi. DEFINISI BIAS Bias adalah kesalahan sistematis dalam memilih subjek penelitian atau mengumpulkan data yang menyebabkan taksiran yang salah (incorrect estimates) tentang hubungan antara paparan dan risiko mengalami penyakit, atau efek intervensi terhadap variabel hasil. Bias merupakan kesalahan dalam proses penelitian yang menyebabkan deviasi (penyimpangan) hasil-hasil penarikan kesimpulan (inferensi) dari kebenaran. Secara matematis, jika ukuran hubungan yang digunakan adalah odds ratio (OR), maka bias dapat definisikan sebagai berikut: di mana OR* merupakan taksiran OR yang teramati dari populasi sumber (implikasinya, pada populasi studi), sedang OR adalah odds ratio pada populasi sasaran. Jika OR*=OR, maka bias=0 (yakni, tidak terdapat bias). Jika OR*>OR, maka terdapat bias>0 (yakni, bias positif). Jika OR*<OR, maka terdapat bias<0 (yakni, bias negatif). Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS 1

description

statistik

Transcript of Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Page 1: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

BIAS

Modul ini membahas kesalahan sistematis yang mencederai validitas kesimpulan hasil-hasil riset epidemiologi yang disebut bias. Bias menyebabkan taksiran yang salah tentang hubungan antara paparan dan penyakit atau efek intervensi yang diteliti. Bias bisa terjadi pada semua desain studi, baik survei, studi analitik observasional, maupun studi eksperimental. Penilaian tentang peran bias sebagai penjelasan alternatif tentang hubungan antara paparan dan risiko penyakit, atau efek intervensi, merupakan langkah yang sangat penting dalam riset epidemiologi. Demikian juga eliminasi atau pencegahan sumber bias merupakan langkah yang tidak boleh dikesampingkan agar diperoleh kesimpulan hasil riset epidemiologi yang valid.

Modul ini menyajikan definisi bias, klasifikasi bias, akibat-akibat bias, arah bias, besarnya bias, jenis bias, sumber penyebab bias, dan metode untuk mengatasi atau mencegah bias dalam penarikan kesimpulan tentang taksiran hubungan paparan-penyakit atau efek intervensi.

DEFINISI BIASBias adalah kesalahan sistematis dalam memilih subjek penelitian atau mengumpulkan data yang menyebabkan taksiran yang salah (incorrect estimates) tentang hubungan antara paparan dan risiko mengalami penyakit, atau efek intervensi terhadap variabel hasil. Bias merupakan kesalahan dalam proses penelitian yang menyebabkan deviasi (penyimpangan) hasil-hasil penarikan kesimpulan (inferensi) dari kebenaran. Secara matematis, jika ukuran hubungan yang digunakan adalah odds ratio (OR), maka bias dapat definisikan sebagai berikut:

di mana OR* merupakan taksiran OR yang teramati dari populasi sumber (implikasinya, pada populasi studi), sedang OR adalah odds ratio pada populasi sasaran. Jika OR*=OR, maka bias=0 (yakni, tidak terdapat bias). Jika OR*>OR, maka terdapat bias>0 (yakni, bias positif). Jika OR*<OR, maka terdapat bias<0 (yakni, bias negatif).

Kebenaran penarikan kesimpulan dalam bahasa metodologi penelitian disebut validitas. Dalam aspek ini bias merujuk kepada ketiadaan atau defisiensi validitas internal di dalam kesimpulan yang ditarik tentang parameter populasi sasaran berdasarkan analisis yang dilakukan pada data sampel. Artinya, problem bias terletak pada ketiadaan validitas internal, bukan validitas eksternal. Validitas eksternal merujuk kepada generalisasi hasil-hasil penarikan kesimpulan dari sebuah populasi (yakni, populasi sasaran) kepada populasi lainnya (yang bukan populasi sasaran). Tentu validitas eksternal tergantung validitas internal. Artinya, ketiadaan validitas internal dengan sendirinya mempengaruhi validitas eksternal. Jika hasil-hasil penarikan kesimpulan tentang paarameter pada populasi sasaran tidak valid dengan sendirinya kesimpulan tersebut tidak valid pula ketika hendak digeneralisasikan kepada populasi di luar populasi sasaran.

Bias perlu dibedakan dengan kesalahan random ataupun ketiadaan presisi. Bias merupakan kesalahan sistematis dalam memilih subjek penelitian atau mengumpulkan data tentang subjek penelitian, bukan merupakan kesalahan random, yakni variasi-variasi yang bersifat kebetulan. Sebagai contoh, nilai p yang rendah atau CI95% dari OR atau RR yang sempit mengandung arti bahwa hubungan antara paparan dan penyakit atau efek intervensi yang teramati kecil kemungkinan terjadi karena kebetulan. Tetapi nilai p yang rendah atau CI95% yang sempit tidak berarti bahwa taksiran tentang hubungan paparan-penyakit atau efek intervensi tersebut tidak mengandung bias. Keberadaan bias tidak ada hubungannya dengan nilai p. Demikian juga keberadaan bias tidak ada hubungannnya dengan ukuran sampel dan tidak dapat diperbaiki dengan memperbesar ukuran sampel (Dorak, 2008).

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

1

Page 2: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

KLASIFIKASI BIASBias dapat diklasifikasikan menurut beberapa cara. Sebagai contoh, Sackett (1979) dan Choi (2000) dikutip Delgado-Rodriguez dan Llorca (2004) mengklasifikasi bias berdasarkan tahap-tahap riset di mana terjadi bias tersebut: pemilihan sampel, pengukuran paparan atau penyakit/ variabel hasil, pelaksanaan studi, analisis data, interpretasi hasil, maupun publikasi hasil studi.

Klasifikasi yang sederhana tetapi berguna adalah membagi bias ke dalam 2 kategori: (1) bias seleksi; dan (2) bias informasi (Kleinbaum et al., 1982; Hennekens dan Buring, 1987; Rothman, 1986; Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004).

Bias seleksiBias seleksi merupakan kesalahan sistematis dalam memilih subjek penelitian, sehingga menyebabkan deviasi taksiran hubungan paparan-penyakit, atau efek intervensi. Bias seleksi dapat terjadi karena kesalahan prosedur yang digunakan untuk memilih subjek penelitian, atau bisa juga terjadi karena terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan subjek ke dalam penelitian, sedemikian sehingga kelompok-kelompok studi, yakni kasus dan kontrol pada studi kasus kontrol, terpapar dan tidak terpapar pada studi kohor, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada studi eksperimental, menjadi tidak layak untuk diperbandingkan, atau populasi studi (sampel) yang diteliti tidak merepresentasikan populasi sasaran.

Bias seleksi sering terjadi pada studi kasus kontrol dan studi kohor retrospektif, karena paparan maupun penyakit sudah terjadi pada saat subjek dipilih ke dalam studi.. Dalam studi kasus kontrol, jika pemilihan kasus dan kontrol dipengaruhi oleh status paparan, maka akan terjadi bias seleksi. Sebaliknya, bias seleksi kecil kemungkinan terjadi pada studi kohor prospektif, sebab ketika peneliti memilih subjek penelitian berdasarkan status paparan belum terjadi penyakit, sehingga pemiliha tersebut tidak dipengaruhi oleh status penyakit (Hennekens dan Buring, 1987).

Salah satu sumber penyebab bias seleksi adalah perbedaan tingkat surveilans (ascertainment bias), diagnosis, hospitalisasi (bias Berkson), dan rujukan, di antara subjek-subjek penelitian, dan perbedaan tersebut berkaitan dengan status paparan. Sebagai contoh, Sartwell et al. (1969) dikutip Hennekens dan Buring (1987) melakukan studi kasus kontrol berbasis rumah sakit untuk meneliti hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral (OC) dan risiko tromboemboli. Studi tersebut menyimpulkan terdapat peningkatan risiko tromboemboli pada wanita pengguna OC. Validkah kesimpulan tersebut? Sejumlah pembaca meragukan validitas kesimpulan itu, karena data kasus dan kontrol berbasis rumah sakit yang digunakan dalam studi tersebut besar kemungkinan telah dipengaruhi oleh tingkat admisi (admission rate) kasus yang dipengaruhi oleh status paparan. Karena para dokter umumnya menduga terdapat kemungkinan hubungan antara kejadian tromboemboli dan penggunaan OC, maka keputusan mereka untuk memasukkan dan merawat kasus tromboemboli di rumah sakit dipengaruhi oleh status penggunaan OC. Kasus tromboemboli yang dimasukkan ke rumah sakit umumnya merupakan kasus yang menggunakan OC, sedang kasus tromboemboli yang tidak menggunakan OC tidak dimasukkan ke dalam rumah sakit. Bias dalam memilih subjek penelitian ini disebut bias Berkson (admission rate bias), yang menyebabkan taksiran hubungan antara OC dan risiko tromboemboli yang lebih besar daripada sesungguhnya (overestimate).

Sumber lain penyebab bias seleksi adalah penolakan subjek penelitian (disebut non-reponden), baik dari kelompok kasus ataupun kelompok kontrol dalam studi kasus kontrol, sehingga disebut bias non-respons. Sesungguhnya rendahnya partisipasi pada tingkat yang sama atau berbeda pada kedua kelompok studi tidak menyebabkan bias jika tidak berkaitan dengan status paparan. Rendahnya partisipasi pada tingkat yang sama atau berbeda pada kedua kelompok studi menyebabkan bias jika berhubungan dengan status paparan. Sebagai contoh, jika kontrol dari sebuah studi kasus kontrol diperoleh dari survei rumahtangga, maka terdapat kemungkinan bahwa ketidaksediaan subjek untuk mengikuti penelitian berkaitan dengan variabel-variabel

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

2

Page 3: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

demografis dan gaya hidup. Jika ternyata variabel-variabel tersebut berhubungan dengan paparan yang sedang diteliti, maka studi kasus kontrol tersebut akan mengalami bias seleksi.

Bias seleksi dapat juga terjadi pada studi kohor retrospektif, jika pemilihan subjek terpapar dan tidak terpapar dipengaruhi oleh status penyakit. Bias seleksi bisa juga terjadi pada studi potong lintang (cross-sectional) ketika desain studi tersebut digunakan dalam studi analitik. Sebagai contoh, andaikata sebuah survei memilih subjek penelitian dengan teknik pencuplikan relawan (volunteer sampling), atau pencuplikan sekenanya (grab sampling) (Murti, 2006), maka teknik tersebut berpotensi menghasilkan bias seleksi, sehingga populasi studi yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran.

Bias informasiBias informasi (bias pengamatan, observation bias) merupakan kesalahan sistematis di dalam pengumpulan data, yakni kesalahan dalam mengukur paparan, penyakit, atau variabel hasil, dan derajat kesalahan tersebut berbeda secara sistematis antara kelompok-kelompok studi, sehingga diperoleh taksiran yang salah tentang hubungan paparan-penyakit, atau efek intervensi terhadap variabel hasil yang diteliti. (Kleinbaum et al., 1982; Hennekens dan Buring, 1987; Last, 2001; Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004). Sumber penyebab bias informasi mencakup penggunaan alat ukur yang cacat; kuesioner atau prosedur wawancara yang tidak mengukur apa yang seharusnya diukur; prosedur diagnostik penyakit yang tidak akurat (untuk menentukan status penyakit); perbedaan akurasi dalam mengingat kembali riwayat paparan (recall bias).

AKIBAT BIASBias menyebabkan deviasi taksiran parameter hubungan paparan dan risiko penyakit (misalnya, odds ratio atau OR) atau efek intervensi dari nilai-nilai parameter tersebut yang sebenarnya. Terdapat tiga macam penyimpangan taksiran parameter (Kleinbaum et al., 1982; Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004; Schoenbach, 2006): (1) bias menuju nol; (2) bias menjauhi nol; dan (3) bias melintasi nol. Bias menuju nol menghasilkan taksiran yang mendekati nilai nol. Sebagai contoh, andaikata OR yang benar= 5. Taksiran hasil suatu studi OR=2, maka taksiran tersebut menunjukkan bias menuju nol. Disebut bias menuju “nol”, karena arah bias menuju hipotesis nol, yakni OR=1. Bias menuju nol menunjukkan taksiran hubungan antara paparan dan penyakit atau efek intervensi yang teramati yang lebih rendah daripada sesungguhnya (underestimate), sehingga disebut juga bias negatif.

Bias menjauhi nol menghasilkan taksiran yang menjauhi nilai nol, yakni taksiran yang lebih tinggi daripada sebenarnya (overestimate). Sebagai contoh, andaikata OR yang sebenarnya= 2. Taksiran hasil studi OR=5, maka taksiran tersebut menunjukkan bias menjauhi nol. Bias menjauhi nol menunjukkan taksiran hubungan antara paparan dan penyakit atau efek intervensi yang teramati yang lebih tinggi daripada sesungguhnya (overerestimate), sehingga disebut juga bias positif. Pengertian bias positif berlaku untuk hubungan yang bersifat risiko (OR>1) maupun protektif (1/∞<OR<1).

Bias lintas nol (switch-over bias), menghasilkan penyimpangan yang demikian besar sehingga melintasi nilai nol. Sebagai contoh, OR yang sebenarnya= ½, tetapi taksiran sebuah studi OR=2, atau OR yang sebenarnya= 4, tetapi taksiran hasil sebuah studi OR=1/3, maka kedua contoh tersebut menunjukkan bias melintasi nilai nol. Ketiga jenis penyimpangan taksiran tersebut merupakan problem serius yang mengancam validitas hasil riset epidemiologi, tetapi yang paling “keterlaluan” tentu saja bias melintasi nilai nol. Dalam bias melintasi nilai nol, paparan yang sesungguhnya protektif bagi terjadinya penyakit disimpulkan sebagai faktor risiko, atau sebaliknya paparan yang sesungguhnya merupakan faktor risiko disimpulkan sebagai protektif bagi terjadinya penyakit.

Menilai dengan kritis kemungkinan bias, mengenal arah bias, dan mengkuantifikasi besarnya bias, mengidentifikasi penyebab (sumber) bias, serta mencegah atau mengatasi bias, dalam kesimpulan taksiran hubungan paparan-penyakit atau efek intervensi, baik yang Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

3

Page 4: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan, merupakan langkah sangat penting yang tidak boleh dikesampingkan, agar hasil-hasil studi dapat ditafsirkan dengan benar dan proporsional.

Pada umumnya pencegahan bias lebih mudah dilakukan daripada mengatasi bias yang sudah terjadi. Intinya bias bisa dihindari dengan cara merancang desain studi seteliti mungkin dan melakukan studi dengan hati-hati (Dorak, 2008).

JENIS-JENIS BIAS Dalam riset epidemiologi dikenal puluhan jenis bias. Sebagai contoh Sackett (1979) mengidentifikasi dan menjelaskan 35 jenis bias dengan cukup terinci. Demikian juga Dorak (2008) membuat daftar puluhan jenis bias. Tidak perlu menghafal semua jenis bias, karena yang lebih penting adalah mengenal prinsip-prinsip terjadinya bias dalam sebuah studi, menilai apakah hasil sebuah studi mengandung bias atau tidak, mengklasifikasi bias, mengidentifikasi sumber bias, mengetahui arah dan besarnya bias, dan mengatasi atau mencegah terjadinya bias. Berikut disajikan sejumlah bias yang paling penting untuk dikenal, mencakup: (1) bias seleksi; (2) bias informasi; dan (3) bias pada studi eksperimental.

1. Bias seleksi

Bias akses pelayanan kesehatanBias akses pelayanan kesehatan (healthcare access bias) terjadi jika pasien-pasien yang mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan tidak merepresentasikan kasus-kasus yang sesungguhnya terdapat pada komunitas. Bias akses pelayanan dapat mengambil berbagai bentuk. Bias popularitas terjadi ketika petugas kesehatan lebih menaruh perhatian kepada suatu jenis kasus tertentu dan cenderung memasukkannya ke rumah sakit. Bias sentripetal terjadi ketika keputusan pasien untuk mengunjungi fasilitas kesehatan disebabkan oleh reputasi dari fasilitas kesehatan tersebut atau dokter yang bekerja pada fasilitas kesehatan tersebut. Bias saringan rujukan (referral filter bias) terjadi ketika kasus-kasus yang diteliti merupakan kasus-kasus “sulit” sebagai hasil akhir dari proses panjang penyaringan kasus yang berlangsung mulai dari tingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder, hingga tersier. Bias akses diagnostik/ pengobatan (diagnostic/ treatment access bias) terjadi ketika keputusan pasien untuk menggunakan fasilitas kesehatan disebabkan alasan-alasan kultural, geografis, ataupun ekonomis (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004)

Bias BerksonBias Berkson (admission rate bias) terjadi ketika terdapat perbedaan probabilitas untuk memasukkan ke rumah sakit (hospitalisasi) antara kasus dan kontrol, dan perbedaan itu dipengaruhi oleh status paparan. Bias ini pertama kali ditunjukkan oleh Berkson tahun 1946 dalam sebuah studi kasus kontrol. Sebagai contoh, sebuah studi kasus kontrol dilakukan untuk meneliti hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral (OC) dan tromboemboli. Tabel 1 mengasumsikan, bahwa persentase pengguna OC yang sesungguhnya pada wanita dengan tromboemboli pada populasi adalah 50 persen. Demikian pula persentase pengguna OC pada wanita tanpa tromboemboli adalah 50 persen. Dengan demikian OR= 1.00. Artinya, odd (=risiko) untuk mengalami tromboemboli adalah sama antara menggunakan dan tidak menggunakan OC. Andaikata para dokter di rumah sakit tempat dilakukan studi tersebut menduga bahwa penggunaan OC mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko tromboemboli, sehingga mereka cenderung mendiagnosis dan memasukkan ke rumah sakit wanita dengan tromboemboli jika wanita tersebut memiliki riwayat menggunakan OC. Tabel 2 menunjukkan, persentase pengguna OC pada kasus tromboemboli di rumah sakit tersebut adalah 70 persen. Sedang persentase pengguna OC pada kontrol (tidak tromboemboli) adalah 50 persen. Dengan demikian

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

4

Page 5: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

OR= 2.33. Artinya, odd (=risiko) untuk mengalami tromboemboli 2.3 kali lebih besar jika menggunakan OC daripada tidak menggunakan OC. Taksiran hasil studi berbasis rumah sakit tersebut mengalami bias menjauhi nol, sebesar 1.33.

Tabel 1 Hubungan antara pemakaian kontrasepsi oral (OC) dan tromboli pada populasi sasaran (data hipotetis) Kontrasepsi oral (OC)

Ya Tidak

Tro

mbo

embo

li

Ya 100 100 200Tidak 9900 9900 19800

10000 10000 20000

Tabel 2 Hubungan antara pemakaian kontrasepsi oral (OC) dan tromboli pada populasi studi (data hipotetis)

Kontrasepsi oral (OC)Ya Tidak

Tro

mbo

embo

li

Ya 70 30 100Tidak 200 200 400

270 230 500

Bias Berkson dalam contoh tersebut terjadi karena terdapat perbedaan probabilitas untuk memasukkan ke rumah sakit antara kasus tromboemboli dan kontrol, dan perbedaan itu dipengaruhi oleh status penggunaan OC.

Bias NeymanBias Neyman (bias insidensi-prevalensi, bias kelangsungan hidup selektif) terjadi karena terdapat keterlambatan pengamatan terhadap subjek penelitian, sehingga peneliti gagal mengamati kasus-kasus berdurasi pendek, baik kasus-kasus dengan episode fatal (mematikan), kasus-kasus ringan (mild case), kasus-kasus dengan gejala dan tanda tidak jelas (silent case), ataupun kasus-kasus yang telah sembuh. Akibat keterlambatan pengamatan tersebut peneliti hanya mendapatkan kasus-kasus yang masih bertahan hidup (itulah sebabnya bias ini disebut bias kelangsungan hidup selektif/ selective survival bias), dan gagal mengamati dan menghitung kasus-kasus yang telah mencapai kesudahan penyakit, baik meninggal, sembuh spontan, dan sebagainya (Streiner et al., 1989; Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004).

Bias Neyman sering terjadi pada studi potong-lintang ataupun studi kasus kontrol yang menggunakan data prevalensi. Sebagai contoh, sebuah studi kasus kontrol dilakukan di rumah sakit tersier untuk meneliti hubungan antara merokok tembakau dan infark myokard akut (IMA). Studi tersebut mungkin mengalami bias Neyman sebab gagal mengidentifikasi: (1) kasus IMA yang telah meninggal sebelum mencapai rumah sakit tersier; dan (2) kasus IMA ringan yang tidak memiliki indikasi untuk dirujuk ke rumah sakit tersier.

Bias spektrumBias spektrum terjadi ketika peneliti hanya memasukkan ke dalam penelitian kasus-kasus yang menunjukkan tanda dan gejala klinis yang jelas saja, sehingga tidak merepresentasikan spektrum keseluruhan dari penyakit, atau hanya memasukkan kontrol yang jelas saja, sehingga tidak merepresentasikan kondisi-kondisi pembanding. Bias ini bisa terjadi karena penggunaan tes diagnostik dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi. Termasuk dalam bias spektrum adalah bias diagnostik murni (purity diagnostic bias), yang terjadi ketika peneliti mengeksklusi komorbiditas

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

5

Pada sampel: Persen pengguna OC pada kasus

tromboemboli= 70 persen Persen pengguna OC pada

kontrol= 50 persen OR*= (7 x 200)/(30 x 200)= 2.33

Pada populasi: Persen pengguna OC pada wanita

dengan tromboemboli= 50 persen Persen pengguna OC pada wanita

tanpa tromboemboli= 50 persen OR= (7 x 200)/(30 x 200)= 1.00

Page 6: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

(penyakit penyerta) sedemikian rupa sehingga sampel yang diteliti tidak merepresentasikan spektrum kasus-kasus pada populasi sasaran (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004).

Length-biasLength-bias terjadi karena dipilihnya kasus-kasus penyakit berdurasi panjang (yakni, kasus-kasus yang bertahan hidup lebih lama) secara tidak proporsional, yakni terlalu banyak kasus berdurasi panjang pada satu kelompok tetapi terlalu sedikit pada kelompok lainnya. Bias ini bisa terjadi dalam studi kasus kontrol ketika data yang digunakan adalah data prevalensi ketimbang data insidensi (Last, 2001). Jika kelompok kasus menggunakan kasus-kasus berdurasi panjang, maka akan diperoleh taksiran yang lebih besar daripada sesungguhnya (overestimate).

Bias eksklusiBias eksklusi terjadi ketika peneliti mengeksklusi kontrol dengan kondisi (misalnya, komorbiditas) yang berkaitan dengan paparan yang diteliti, tetapi tidak mengeksklusi kasus dengan kondisi tersebut (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004). Contoh, sebuah studi meneliti hubungan antara penggunaan reserpin dan kanker payudara. Andaikata peneliti mengeksklusi kontrol yang memiliki suatu komorbiditas (misalnya, hipertensi), tetapi tidak mengeksklusi kasus yang memiliki komorbiditas tersebut. Karena penggunaan reserpin berkaitan dengan hipertensi, maka eksklusi tersebut akan mengakibatkan frekuensi kontrol yang menggunakan reserpin lebih rendah daripada sesungguhnya. Implikasinya, keadaan ini menghasilkan bias menjauhi nol (overestimate) tentang hubungan antara penggunaan reserpin dan risiko kanker payudara.

Bias inklusiBias inklusi terjadi pada studi kasus-kontrol berbasis rumah sakit, ketika inklusi sebuah atau lebih kondisi pada kontrol berhubungan dengan paparan yang diteliti (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004). Akibatnya, frekuensi paparan lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada sesungguhnya, sehingga menghasilkan bias menuju nol.

PencocokanPencocokan (matching) merupakan sebuah metode untuk memilih kontrol dalam studi kasus kontrol, atau memilih kelompok tak terpapar dalam studi kohor, yang dapat dilakukan secara individual (individual matching) atau kelompok (frequency matching). Pencocokan berguna untuk mengontrol kerancuan (confounding). Tetapi pencocokan yang diterapkan pada studi kasus kontrol justru dapat mengakibatkan bias. Mengapa demikian? Pada studi kasus kontrol, jika faktor yang dicocokkan (matching factor) merupakan faktor perancu (confounding factor), maka pencocokan tersebut dapat membuat kelompok kasus dan kelompok kontrol sebanding dalam distribusi faktor tersebut. Tetapi “pemaksaan keserupaan” dengan cara pencocokan tersebut tidak menjamin bahwa distribusi faktor perancu lainnya, baik yang diketahui maupun tidak diketahui peneliti, juga menjadi sebanding antara kelompok kasus dan kontrol. Bisa jadi faktor perancu lainnya menjadi berubah antara kelompok kasus dan kontrol, sehingga menyebabkan hasil analisis yang keliru tentang hubungan antara paparan dan penyakit (Dorak, 2008; Chen, 2008).

Pada umumnya pencocokan pada studi kasus kontrol menyebabkan bias seleksi yang harus diperhitungan dengan cara mengendalikan faktor pencocokan tersebut pada analisis data. Taksiran hasil pencocokan akan mengalami bias, tetapi bisa diatasi dengan cara melakukan stratifikasi menurut faktor yang dicocokkan (Chen, 2008).

Terkait dengan pencocokan adalah overmatching, bias yang terjadi ketika peneliti melakukan pencocokan berlebihan yang tak perlu, yakni pencocokan terhadap variabel yang sesungguhnya bukan merupakan variabel perancu (non-confounding factor), yakni variabel yang hanya berhubungan dengan paparan tetapi tidak berhubungan dengan penyakit (Dorak, 2008). Overmatching bisa terjadi pada studi kasus kontrol, kohor, maupun eksperimental. Sebagai contoh, dalam studi kasus kontrol, overmatching terjadi ketika kasus dan kontrol dicocokkan

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

6

Page 7: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

menurut sebuah variabel yang bukan perancu (non-confounding variable) yang berhubungan dengan paparan tetapi tidak berhubungan dengan penyakit.

Bias sitasiBias sitasi (citation bias) terjadi ketika artikel-artikel yang sering dikutip memiliki probabilitas yang lebih besar untuk terpilih ke dalam systematic review atau meta-analisis daripada artikel yang jarang dikutip. Artikel yang kerap dikutip biasanya merupakan artikel yang menunjukkan temuan-temuan yang bermakna secara statistik (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004). Bias sitasi mengakibatkan taksiran yang menjauhi nilai nol (overestimate).

Bias bahasaBias bahasa (language bias) terjadi ketika hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris memiliki peluang lebih besar untuk dimasukkan ke dalam systematic review atau meta-analisis) daripada bahasa lainnya. Seharusnya, systematic review dan meta-analisis memasukkan semua hasil studi, baik yang ditulis dalam bahasa Inggris maupun non-bahasa Inggris.

Bias publikasiBias publikasi terjadi ketika editor jurnal atau penulis cenderung untuk mempublikasikan artikel-artikel yang melaporkan temuan positif (yakni, hasil penelitian yang menemukan hubungan atau pengaruh yang secara statistik signifikan), dan tidak mempublikasikan temuan-temuan yang secara statistik tidak signifikan (Last, 2001; Olson et al., 2002)). Bias publikasi mengakibatkan distorsi menjauhi nilai nol tentang hubungan antara paparan-penyakit atau efikasi suatu terapi.

Bias pubikasi dapat berdampak pada systematic review dan meta-analisis. Pada systematic review atau meta-analisis, prinsipnya semua hasil penelitian, baik yang dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan, baik yang menunjukkan atau tidak menunjukkan kemaknaan statistik, memiliki peluang yang sama untuk dimasukkan ke dalam analisis. Jika artikel-artikel hasil penelitian yang dimasukkan ke dalam systematic review atau meta-analisis mengandung bias publikasi, maka hasil systematic review atau meta-analisis tidak menghasilkan kesimpulan yang benar dari semua hasil penelitian tentang hubungan paparan-penyakit atau efikasi terapi.

Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya bias publikasi: (1) kemaknaan statistik (temuan yang bermakna secara statistik memiliki peluang lebih besar untuk dipublikasikan daripada tidak bermakna), (2) ukuran sampel studi (studi dengan sampel besar memiliki kemungkinan lebih besar untuk dipublikasikan daripada sampel kecil), (3) pendanaan (sponsor menyebabkan konflik kepentingan), (4) prestise (hasil riset menjadi monumental yang akan mendongkrak reputasi peneliti seandainya melaporkan hubungan yang signifikan), (5) jenis desain studi (sejumlah penulis mengatakan, studi kohor cenderung menunjukkan hasil yang lebih positif daripada studi eksperimental, dan (6) kualitas studi (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004).

Loss to follow-up biasLoss to follow-up bias terjadi jika proporsi subjek yang hilang atau mengundurkan diri dalam suatu studi longitudinal (studi khor atau studi eksperimental) cukup banyak, yakni berkisar antara 30-40 persen, atau tidak sebanyak itu tetapi hilangnya atau pengunduran diri subjek penelitian berkaitan dengan status paparan, status penyakit, atau keduanya (Hennekens dan Buring, 1987; Last, 2001). Sebagai contoh, dalam studi kohor tentang hubungan antara merokok tembakau dan risiko kanker paru, andaikata subjek perokok yang kemudian menderita kanker paru lebih banyak yang mengundurkan diri daripada subjek bukan perokok yang menderita kanker paru, maka taksiran tentang efek merokok akan mengalami bias menuju nilai nol (underestimate).

Contoh, Tabel 3 menyajikan data studi kohor yang lengkap, yakni tidak terdapat subjek yang hilang atau mengundurkan diri. Perhatikan bahwa dalam contoh ini rasio antara kelompok

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

7

Page 8: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

terpapar dan tak terpapar= 200:200= 1:1. Ketika tidak terdapat peserta yang hilang, maka RR=2. Artinya, paparan meningkatkan risiko sebesar dua kali lipat untuk terjadinya penyakit.

Sekarang andaikata selama follow-up terdapat sejumlah peserta studi yang hilang dengan proporsi yag sama pada kelompok terpapar dan tak terpapar, yakni 20%, sehingga rasio kelompok terpapar dan tak terpapar= 150:150= 1:1. Tetapi perhatikan, Tabel 4 menunjukkan bahwa hilangnya peserta tersebut berkaitan dengan status penyakit, yaitu peserta terpapar yang kemudian mengalami penyakit menunjukkan kecenderungan lebih besar untuk hilang daripada peserta tak terpapar yang kemudian mengalami penyakit. Data kohor dengan kehilangan peserta yang bersifat diferensial menurut status penyakit tersebut menghasilkan RR=1.7.

Jadi akibat loss to follow-up bias yang bersifat diferensial terjadi bias menuju nol. Secara umum loss to follow-up bias yang bersifat diferensial dapat menyebabkan bias menuju nol atau menjauhi nol. Tetapi jika peserta hilang secara random, yakni dengan proporsi yang sama antara kelompok terpapar dan tak terpapar, dan hilangnya peserta tidak berkaitan dengan status penyakit, yakni terjadi secara random dengan proporsi yang sama menurut status penyakit, maka kondisi tersebut tidak menyebabkan loss to follow up bias, sejauh tidak melebihi 30-40 persen. Meskipun demikian hilangnya peserta yang bersifat random menyebabkan berkurangnya ukuran sampel dan penurunan presisi taksiran hubungan antara paparan dan penyakit yang diteliti.

Contoh, Tabel 5 menyajikan data paparan dan penyakit pada kohor yang teramati di mana terdapat kehilangan peserta secara random dengan proporsi sama antara kelompok terpapar dan tak terpapar, yakni sebesar 20%. Perhatikan, hilangnya peserta tersebut tidak berkaitan dengan status penyakit, sehingga tidak menyebabkan bias.

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

Tabel 3 Data paparan dan penyakit pada kohor yang lengkap

E D 40 20

160 180200 200 400

Tabel 4 Data paparan dan penyakit pada kohor yang teramati (terdapat kehilangan peserta secara diferensial menurut status penyakit)

ED 25 15

125 135150 150 300

Tabel 5 Data paparan dan penyakit pada kohor yang teramati (terdapat kehilangan peserta secara random denga proporsi sama)

E D 30 15

120 135150 150 300

8

Proporsi yang sakit pada kelompok terpapar = 40/200= 0.20

Proporsi yang sakit pada kelompok tak terpapar = 20/200= 0.10

RR= 0.20/0.10= 2

Proporsi yang sakit pada kelompok terpapar = 25/150= 0.17

Proporsi yang sakit pada kelompok tak terpapar = 15/150= 0.10

RR= 0.17/0.10= 1.7

Proporsi yang sakit pada kelompok terpapar = 30/150= 0.20

Proporsi yang sakit pada kelompok tak terpapar = 15/150= 0.10

RR= 0.207/0.10= 2.0

Page 9: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

Bias non-responsBias non-respons terjadi ketika pemilihan subjek penelitian menghasilkan peserta studi (responden) yang berbeda dengan bukan peserta (non-responden), sehingga populasi studi (sampel) yang diamati berbeda dengan populasi sasaran. Sesungguhnya bias non-respons prinsipnya sama dengan loss to follow up bias, ataupun bias seleksi lainnya. Bedanya hanya terletak pada konteks. Pada loss to follow up bias, berkurangnya sampel akibat hilangnya peserta selama periode follow-up. Pada bias non-respons, berkurangnya sampel akibat ketidaksediaan sejumlah peserta untuk mengikuti studi pada awal rekrutmen peserta. Contoh, Tabel 6 menyajikan data tentang hubungan antara paparan dan penyakit pada populasi sasaran. Perhatikan OR= 1. Artinya, tidak terdapat hubungan antara paparan dan penyakit.

Sekarang andaikata sebuah studi kasus kontrol dilakukan untuk meneliti hubungan paparan dan penyakit tersebut. Tetapi sebagian dari populasi studi (sampel) yang memenuhi syarat tidak bersedia mengikuti studi. Tabel 7 menyajikan data tentang hubungan antara paparan dan penyakit pada sampel. Mula-mula dalam sampel tersebut terdapat 600 kasus. Tetapi hanya 90% dari 200 kasus yang terpapar bersedia mengikuti studi, sehingga terdapat 180 kasus terpapar dalam sampel. Demikian pula hanya 75% dari 400 kasus tak terpapar bersedia mengikuti studi, sehingga terdapat 300 kasus tak terpapar dalam sampel. Sampel tersebut menghasilkan OR= 1.2. Artinya, paparan meningkatkan risiko terjadinya penyakit sebesar 1.2 kali.

Jadi akibat bias telah disimpulkan terdapat hubungan antara paparan dan penyakit, meskipun sesungguhnya tidak ada hubungan tersebut pada populasi sasaran. Secara umum bias non-respons yang bersifat diferensial bisa menyebabkan bias kedua arah, menuju nol atau menjauhi nol.

Termasuk dalam jenis bias non-respons adalah efek relawan sehat (healthy volunteer effect), yaitu bias yang terjadi ketika peserta studi lebih sehat daripada populasi umum. Contoh, sebuah studi meneliti efektivitas tes skrining dalam memperpanjang kelangsungan hidup. Jika peserta studi yang menjalani tes skrining merupakan relawan yang lebih sehat daripada peserta studi yang tidak menjalani tes tersebut, maka taksiran tentang manfaat dari tes skrining akan lebih besar daripada sesungguhnya, bias yang menjauhi nol (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004).

2. Bias informasi

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

Tabel 6 Data paparan dan penyakit pada populasi sasaran

E D 200 400 600

20,000 40,000 60,000

Tabel 7 Data paparan dan penyakit pada populasi studi (dengan bias non-respons)

ED 180 300 480

200 400 600

9

OR= (200 x 40,000)/(400 x 20,000)= 1.00

Proporsi kasus terpapar yang bersedia ikut studi = 90% x 200= 180

Proporsi kasus tak terpapar yang bersedia mengikuti studi= 75% x 400= 300

OR*= (180 x 400)/ (300 x 200)= 1.2

Page 10: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

Bias informasi dapat dibagi menjadi dua kategori besar: (1) bias misklasifikasi; (2) bias informasi lainnya.Bias misklasifikasiBias misklasifikasi (bias pengukuran, measurement bias) terjadi karena ketidaksempurnaan alat ukur di dalam mendeteksi paparan, penyakit, atau variabel hasil yang diteliti, ataupun kesalahan dalam pengukuran itu sendiri yang bersifat sistematis (measurement error). Ketidaksempurnaan alat tersebut, ditunjukkan oleh sensitivitas dan spesifisitas alat ukur yang tidak sempurna, menyebabkan subjek terpapar dapat diklasifikasikan secara keliru sebagai terpapar, subjek tak terpapar diklasifikasikan secara keliru sebagai tak terpapar. Demikian juga sebaliknya, subjek berpenyakit dapat diklasifikasikan secara keliru sebagai tidak berpenyakit, subjek tak berpenyakit diklasifikasikan secara keliru sebagai berpenyakit.

Bias misklasifikasi sesungguhnya sangat relevan untuk hampir semua penelitian. Sebab alat ukur yang benar-benar sempurna untuk mengumpulkan data jarang ditemukan. Karena itu di dalam sebagian besar studi harus diasumsikan bahwa sampai pada derajat tertentu selalu terdapat misklasifikasi (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004).

Terdapat dua jenis utama bias misklasifikasi: (1) bias misklasifikasi diferensial; dan (2) bias misklasifikasi non-diferensial.

Bias misklasifikasi non-diferensialPada bias misklasifikasi non-diferensial (bias misklasifikasi random), misklasifikasi variabel-variabel yang diteliti terjadi dengan derajat yang sama antara kelompok-kelompok studi yang dibandingkan. Untuk variabel biner, bias yang diakibatkan menuju nol. Tetapi untuk variabel dengan lebih dari dua kategori (politomi), bias yang diakibatkan bisa menuju kedua arah, menuju nol atau menjauhi nol (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004).

Contoh, Tabel 8 menyajikan data tentang hubungan yang sesungguhnya antara paparan dan penyakit pada populasi sasaran (tidak ada misklasifikasi). Perhatikan, RR= 2. Artinya, subjek tepapar memiliki risiko mengalami penyakit dua kali lebih besar daripada subjek tak terpapar.

Sekarang andaikata sebuah studi kohor dilakukan untuk meneliti hubungan tersebut. Asumsikan alat diagnostik status penyakit tidak sempurna, dengan sensitivitas yang sama, yakni 0.8, baik untuk kelompok terpapar maupun kelompok terpapar. Demikian juga spesifisitas alat ukur itu sama, yakni 0.9, baik untuk kelompok terpapar maupun tak terpapar. Asumsikan juga bahwa alat untuk menentukan status paparan tidak menyebabkan misklasifikasi. Hasil klasifikasi status penyakit pada kelompok terpapar dan tidak terpapar disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Data status penyakit pada kelompok terpapar maupun kelompok terpapar pada populasi studi (dengan misklasifikasi non-diferensial)

Status sesungguhnya (E) Status sesungguhnya ( )

D DD 320 60 380 D 160 80 240

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

Tabel 8 Data paparan dan penyakit pada populasi sasaran (tanpa misklasifikasi)

ED 400 200

600 8001,000 1,000

10

Page 11: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

80 540 620 40 720 760400 600 1,000 200 800 1,000

Selanjutnya Tabel 10 menyajikan gabungan dari klasifikasi status penyakit pada kelompok terpapar maupun tak terpapar yang terjadi pada populasi studi. Perhatikan, data populasi studi menghasilkan RR=1.58. Artinya, subjek tepapar memiliki risiko mengalami penyakit 1.5 kali lebih besar daripada subjek tak terpapar.

Tabel 10 Data paparan dan penyakit pada populasi sasaran (misklasifikasi non-diferensial)

ED 380 240

620 7601,000 1,000

Jadi terdapat bias misklasifikasi menuju nol sebesar -0.21. Secara umum, deviasi dalam taksiran hubungan antara paparan dan penyakit akan selalu menuju ke arah nilai nol jika misklasifikasi bersifat non-diferensial. Tetapi jika sensitivitas ataupun spesifisitas berbeda, sehingga menyebabkan bias misklasifikasi diferensial, maka deviasi yang terjadi bisa menuju nol atau menjauhi nol (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002).

Bias misklasifikasi diferensialPada bias misklasifikasi diferensial terjadi misklasifikasi variabel-variabel yang diteliti dengan derajat yang berbeda antara kelompok-kelompok studi yang dibandingkan. Distorsi yang diakibatkan bisa menuju kedua arah, yakni menuju nilai nol atau menjauhi nilai nol (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004). Sebagai contoh, pada studi kasus kontrol, jika akurasi atau kelengkapan dalam mengingat kembali pengalaman terpapar tidak sama antara kasus dan kontrol, maka akan terjadi bias misklasifikasi diferensial yang disebut recall bias. Jika kasus mengingat riwayat paparan dengan lebih baik daripada kontrol, maka recall bias yang diakibatkan akan

menjauhi nilai nol (overestimate).Contoh, Tabel 11 menyajikan data

tentang hubungan yang sesungguhnya antara paparan dan penyakit pada populasi sasaran (tidak ada misklasifikasi). Perhatikan, OR= 3.5. Artinya, subjek tepapar memiliki odd (=risiko) mengalami penyakit 3.5 kali lebih

besar daripada subjek tak terpapar.

Sekarang andaikata sebuah studi kasus kontrol dilakukan untuk meneliti hubungan tersebut. Asumsikan alat yang digunakan untuk mengukur status paparan tidak sempurna, dengan sensitivitas yang berbeda, yakni 0.9 untuk kelompok kasus dan 0.6 untuk kelompok kontrol. Demikian juga spesifisitas alat ukur itu berbeda, yakni 0.7 untuk kelompok kasus dan 0.9 untuk Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

Tabel 11 Data paparan dan penyakit pada populasi sasaran (tanpa misklasifikasi)

ED 400 400 1,000

300 700 1,000

11

Page 12: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

kelompok kontrol. Asumsikan juga bahwa alat untuk menentukan status penyakit tidak menyebabkan misklasifikasi. Hasil klasifikasi status paparan pada kelompok kasus dan kontrol disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Data status paparan pada kelompok kasus maupun kelompok kontrol pada populasi studi (dengan misklasifikasi diferensial)

Status sesungguhnya (D) Status sesungguhnya ( )

E EE 540 120 660 E 180 70 250

60 280 340 120 630 750600 400 1,000 300 700 1,000

Selanjutnya Tabel 13 merupakan gabungan dari klasifikasi status paparan pada kelompok kasus maupun kontrol yang dilakukan pada populasi studi. Perhatikan, diperoleh OR=5.82. Artinya, subjek tepapar memiliki odd (=risiko) risiko mengalami penyakit 5.82 kali lebih besar daripada subjek tak terpapar.

Jadi terdapat bias misklasifikasi menjauhi nol sebesar 0.66. Secara umum, deviasi dalam taksiran hubungan antara paparan dan penyakit akan menuju nol atau menjauhi nol jika misklasifikasi bersifat diferensial. Tetapi jika hanya status pparan yang mengalami misklasifikasi dan misklasifikasi itu bersifat non-diferensial, maka deviasi yang terjadi selalu menuju nol (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002).

Bias deteksiBias deteksi terjadi ketika terdapat perbedaan akurasi dalam menentukan diagnosis atau memverifikasi kasus-kasus (Last, 2001). Sebagai contoh, kasus-kasus yang masuk ke rumah sakit diverifikasi dengan tes laboratorium, tetapi kasus-kasus di luar rumah sakit tidak dilakukan verifikasi dengan tes yang sama. Bias pewawancaraBias pewawancara (interviewer bias) terjadi ketika terdapat perbedaan yang sistematis yang dilakukan oleh pewawancara, baik secara sadar atau tidak, di dalam mewawancarai, mengumpulkan, mencatat, atau menginterpretasi informasi yang diperoleh dari subjek penelitian (Hennekens dan Buring, 1987; Last, 2001). Bias pewawancara bisa terjadi pada setiap jenis studi epidemiologi. Dalam studi kasus kontrol, pengetahuan pewawancara tentang status penyakit subjek penelitian dapat menyebabkan perbedaan intensitas dalam mengorek informasi tentang riwayat paparan sebelumnya. Demikian juga dalam studi kohor retrospektif, pengetahuan tentang status penyakit (yang sudah terjadi) dapat menyebabkan perbedaan akurasi pewawancara dalam menentukan status paparan subjek penelitian. Dalam studi kohor prospektif, bias pewawancara

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

Tabel 13 Data paparan dan penyakit pada populasi studi (misklasifikasi diferensial)

ED 660 340 1,000

250 750 1,000

12

Page 13: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

bisa terjadi jika penentuan status penyakit dipengaruhi pengetahuan pewawancara tentang status paparan dari subjek tersebut.

Recall biasBias memanggil kembali (recall bias) terjadi jika subjek-subjek dengan penyakit yang sedang diteliti mengingat dan melaporkan tentang pengalaman terpapar sebelumnya dengan lebih akurat dan lengkap daripada subjek-subjek tanpa penyakit yang diteliti, atau subjek-subjek yang telah terpapar melaporkan terjadinya gejala-gejala penyakit dengan lebih lengkap dan akurat daripada subjek-subjek yang tidak terpapar (Hennekens dan Buring, 1987). Recall bias bisa terjadi pada studi kasus kontrol maupun studi kohor rerospektif.

Dalam suatu penelitian, kadang-kadang wawancara dilakukan antara pewawancara dan responden pengganti (substitute). Tidak jarang responden pengganti tersebut merupakan anggota keluarga. Recall bias bisa terjadi ketika anggota keluarga dari subjek dengan penyakit yang diteliti melaporkan riwayat paparan dengan lebih akurat dan lengkap daripada anggota keluarga dari subjek tanpa penyakit tersebut. Recall bias jenis ini disebut juga family information bias (Sackett, 1979). Recall bias menyebabkan taksiran yang menjauhi nol, yakni taksiran yang lebih besar daripada sesungguhnya (overestimate).

Bias pelaporanBias pelaporan terjadi jika terdapat pengungkapan atau penutupan informasi secara selektif tentang pengalaman riwayat paparan atau medik sebelumnya, misalnya perilaku seks sebelumnya (Last, 2001). Bias pelaporan dapat mengambil berbagai bentuk (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004). Obsequiousness bias terjadi jika subjek penelitian “bekerjasama” dengan peneliti dan memberikan jawaban-jawaban ke arah yang dipandang sesuai dengan keinginan peneliti.

Family aggregation bias terjadi bila adanya kasus di dalam sebuah keluarga menyebabkan keluarga tersebut melaporkan riwayat paparan dengan lebih lengkap. Bias ini hakikatnya sama dengan family informasion bias. Underreporting bias terjadi ketika subjek penelitian menolak menjawab dengan akurat atau lengkap pertanyaan-pertanyaan yang sensitif, misalnya kebiasaan melakukan hubungan seks dengan wanita pekerja seks.

Mode for mean bias terjadi pada studi yang menggunakan kuesioner untuk menghitung frekuensi/ kuantitas paparan, di mana subjek penelitian cenderung memberikan jawaban tentang paparan dengan frekuensinya paling banyak (yaitu, modus) daripada paparan dengan frekuensi rata-rata (yaitu, mean).

Bias informasi lainnya

Hawthorne effectHawthorne effect pertama kali ditunjukkan terjadi di antara para pekerja pabrik Hawthorne pada Western Electric Company (Chicago, Illinois, AS) tahun 1920. Hawthorne effect merupakan bias akibat dari subjek penelitian mengubah perilakunya karena mengetahui bahwa mereka sedang diamati atau diteliti. Dalam contoh asli, Hawthorne effect merujuk kepada peningkatan produktivitas yang ditunjukkan oleh para pekerja pabrik Hawthorne karena mereka mengetahui bahwa kinerja mereka sedang diamati (Streiner et al., 1989; Last, 2001; Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004). Efek yang dihasilkan positif, menimbulkan bias menjauhi nilai nol (overestimate).

Hawthorne effect dapat dicegah dengan menggunakan attention control group dan melakukan “pembutaan” (blinding), yakni kelompok kontrol yang diperlakukan presis sama dengan kelompok eksperimental tetapi tidak mendapatkan intervensi aktif melainkan plasebo (Streiner et al., 1989; Gluud, 2006)). Pembutaan dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya bias yang berkaitan dengan ekspektasi pasien ataupun peneliti..Pembutaan dapat dilakukan dengan menggunakan plasebo. Plasebo merupakan intervensi “kosong” yang memiliki

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

13

Page 14: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

tampilan fisik yang sama dengan intervensi yang sesungguhnya, baik dalam warna, rasa, bau, maupun cara pemberian, tetapi tidak memiliki substansi aktif. Sebagai contoh, dalam studi untuk meneliti efektivitas psikoterapi dalam menurunkan depresi, maka kelompok kontrol dapat diatur sedemikian rupa untuk bertemu dengan terapis dengan frekuensi dan durasi yang presis sama dengan kelompok eksperimen, tetapi isi dari setiap sesi tidak bersifat terapetik.

Lead time biasLead time bias (disebut juga “zero-time shift”) merupakan bias yang terjadi ketika kelompok-kelompok yang diikuti dalam studi longitudinal memulai penelitian pada tahap yang tidak sebanding sepanjang riwayat alamiah penyakit, yakni ada subjek yang diteliti lebih awal, ada subjek yang diteliti kemudian (Last, 2001; Albertsen et al., 2005). Ketika penyakit seperti kanker payudara dideteksi dengan lebih dini melalui prosedur skrining, maka waktu kelangsungan hidup (survival time) akan tampak lebih panjang (overestimate) daripada sesungguhnya, karena waktu kelangsungan hidup tersebut tidak hanya merepresentasikan durasi yang sesungguhnya dari penyakit tetapi juga sebagian masa laten yang ditunjukkan oleh prosedur skrining. Jika efektivitas skrining tersebut diteliti, maka taksiran tentang efektivitas skrining akan mengalami overestimasi apabila peneliti gagal memisahkan durasi (yang seharusnya dihitung) dan sebagian masa laten hasil deteksi dini oleh skrining (yang seharusnya tidak ikut dihitung).

Protopathic biasBias protopatik terjadi pada penilaian efektivitas suatu intervensi ketika gejala-gejala pertama atau awal (gejala prodromal) ketimbang gejala klinis penyakit digunakan sebagai alasan (indikasi) untuk menggunakan intervensi (Last, 2001). Ketika intervensi diberikan secara lebih dini, maka efektivitas intervensi akan tampak lebih baik daripada sesungguhnya.

Bias protopatik hakikatnya identik dengan sejenis kerancuan yang disebut “confounding by indication”, di mana gejala awal penyakit berperan sebagai faktor perancu yang berhubungan dengan variabel hasil maupun intervensi yang diteliti. Gejala-gejala awal penyakit bisa merupakan faktor perancu karena memenuhi tiga syarat faktor perancu. Pertama, gejala awal penyakit merupakan faktor prognostik bagi hasil intervensi, karena akan meningkat hasil positif intervensi yang diharapkan. Kedua, gejala-gejala awal berhubungan dengan status pemberian intervensi, karena intervensi diberikan berdasarkan adanya gejala-gejala awal tersebut. Ketiga, gejala awal penyakit bukan merupakan variabel antara dalam mekanisme kausal antara intervensi dan variabel hasil yang diteliti. Dengan demikian maka bias protopatik ataupun “confounding by indication” menghasilkan bias menjauhi nilai nol (overestimasi) tentang efek intervensi.

Fenomena Will RogersFenomena Will Rogers merupakan bias dalam mengklasifikasikan stadium penyakit sebagai akibat reklasifikasi dengan menggunakan alat diagnostik atau skema klasifikasi baru yang lebih sensitif, sehingga terjadi migrasi stadium penyakit (misalnya, migrasi stadium ringan ke stadium berat penyakit kanker), meskipun perubahan yang sesungguhnya dari stadium tersebut tidak ada (Albertsen et al., 2005). Feinstein et al. (1985) memberi nama bias tersebut untuk menghormati filsuf Will Rogers (Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2004; Albertsen et al., 2005). Will Rogers sebagaimana dikutip Feldstein et al. mengemukakan kalimat humoris tetapi bermakna sebagai berikut, “when the Okies moved to California, the IQ of both states went up” (catatan: Okies adalah sebutan penduduk yang berasal dari negara bagian Oklahoma). Artinya, karena migrasi sebagian penduduk, maka di negara bagian yang ditinggalkan (Oklahoma) maupun yang didatangi (California) terjadi peningkatan IQ.

Sebagai contoh, Albertsen et al. (2005) melakukan studi untuk melihat dampak reklasifikasi kanker prostat dengan skor Gleason antara tahun 1992 dan 2002 terhadap insidensi kanker prostat. Data kohor berbasis populasi terdiri atas 1858 pria berusia ≤75 tahun

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

14

Page 15: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Tabel 14 Distribusi skor Gleason kontemporer untuk masing-masing skor Gleason asli dari sampel biopsi prostat

Skor Gleason asli (jumlah)

Skor Gleason kontemporer

Sumber: Albertsen et al., 2005

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

dikumpulkan secara retrospektif dari Connecticut Tumor Registry. Angka kematian kanker prostat pada kohor yang dihitung dengan skor Gleason asli dibandingkan dengan angka yang dihitung dengan skor Gleason kontemporer.

Tabel 14 menunjukkan migrasi stadium dari skema klasifikasi Gleason yang asli ke skema Gleason kontemporer. Perhatikan terdapat migrasi stadium yang meningkat, menurun, atau tetap, tetapi kebanyakan meningkat, dari skema klasifikasi Gelason asli ke skema kontemporer pada sampel biopsi prostat yang diteliti. Sebagai contoh, sebanyak 21 (dari 37) sampel biopsi yang semula diklasifikasikan sebagai skor 2 pada skema asli meningkat menjadi skor 6 pada skema kontemporer. Sebanyak 1 (dari 16) sampel biopsi yang semula diklasifikasikan sebagai skor 10 pada skema asli turun menjadi skor 6 pada skema kontemporer. Sebanyak 261 (dari 454) sampel biopsi yang semula diklasifikasikan sebagai skor 6 pada skema asli tetap diklasifikasikan sebagai skor 6 pada skema kontemporer.

Hasil analisis memang menunjukkan bahwa skor Gleason kontemporer lebih tinggi daripada skor Gleason asli, dan perbedaan tersebut secara statistik signfikan (mean skor meningkat dari 5.95 menjadi 6.8; beda= 0.85, CI95% 0.79 hingga 0.91; p<0.001). Migrasi ke arah stadium kanker yang lebih tinggi tersebut menyebabkan kelangsungan hidup yang tampaknya lebih baik di dalam kohor tersebut. Analisis dalam studi tersebut menemukan, angka kematian kanker prostat dengan skor Gleason kontemporer (1.50 kematian per 100 orang-tahun) 28% lebih rendah daripada angka kematian kanker prostat dengan skor Gleason asli (2.08 kematian per 100 orang-tahun), bukan disebabkan terjadinya perbaikan klinis yang sesungguhnya sehingga terjadi angka kematian yang lebih rendah, melainkan karena sebagian pasien yang semula tidak diklasifikasikan sebagai mengalami kanker prostat menurut skor Gleason asli berubah menjadi diklasifikasikan sebagai mengalami kanker prostat menurut skor Gleason kontemporer.

Studi tersebut menyimpulkan, reklasifikasikan stadium kanker prostat menghasilkan kesudahan klinis yang tampaknya memperlihatkan perbaikan, meskipun sesungguhnya hanya merupakan artifak statistik yang dikenal sebagai fenomena Will Rogers.

Ecologic fallacyEcologic fallacy merupakan bias yang lazim dijumpai pada studi ekologis, ketika analisis yang dilakukan pada level ekologis (yakni, level kelompok, populasi) digunakan untuk menarik kesimpulan (inferensi) pada level individu. Ecologic fallacy bisa terjadi karena hubungan antara paparan dan risiko penyakit yang tampak sebagai hasil analisis yang dilakukan pada level

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

15

Page 16: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

populasi belum tentu sama dengan hubungan antara paparan dan penyakit sebagaimana diukur dan dianalisis pada level individu. Sebagai contoh, hubungan antara tingkat polusi udara dan insidensi kanker paru pada berbagai kota jika digunakan untuk menarik kesimpulan tentang adanya hubungan variabel-variabel tersebut pada level individu, dapat mengakibatkan ecologic fallacy, sebab dengan desain studi ekologis tidak dapat dipastikan apakah mereka yang mengalami kanker paru adalah sama dengan mereka yang terpapar polusi udara.

Regresi ke arah meanArti regresi dalam bahasa Inggris adalah “kembali kepada keadaan semula”. Regresi ke arah mean (regression toward the mean, regression artifact) merupakan fenomena statistik yang terjadi ketika subsampel individu-individu dengan nilai-nilai ekstrim (yaitu, jauh dari mean populasi) diukur dua kali, sedemikian sehingga pada pengukuran kedua akan terjadi kecenderungan regresi nilai-nilai pada subsampel ke arah mendekati mean populasi. Makin jauh nilai-nilai individu pada subsampel tersebut dari mean populasi pada pengukuran pertama, makin kuat kecenderungan nilai-nilai pada subsampel itu untuk mengalami regresi ke arah mean populasi pada pengukuran kedua (Cheng, 1997; Trochim, 2006; Raiffa dan Schlaifer, 2000; dan Casella dan Berger, 2001 sebagaimana dikutip Wikipedia, 2008).

Regresi ke arah mean khususnya merupakan ancaman bagi validitas internal taksiran efek intervensi pada pada studi eksperimental kuasi yang tidak menggunakan kelompok pembanding (Cheng, 1997; Trochim, 2006; Wikipedia, 2008). Gambar 1 menunjukkan regresi ke arah mean jika subsampel terdiri atas individu-individu dengan nilai jauh di bawah mean populasi.

Sebagai contoh, sebuah studi eksperimental kuasi dengan desain “sebelum dan sesudah menggunakan satu kelompok” (“one group before and after experimental design”) dilakukan untuk meneliti efektivitas suatu obat antianemia. Kadar hemoglobin (Hb) diukur pada 200 ibu hamil. Sebanyak 50 ibu hamil yang menunjukkan anemia dengan Hb <11 g/dl (WHO, 1968) diberi obat antianemia (misalnya, besi-folat). Jika pada 50 orang tersebut diukur untuk kedua kalinya setelah pemberian obat antianemia, maka peningkatan Hb yang teramati untuk sebagian disebabkan oleh pemberian obat antianemia, tetapi sebagian lainnya disebabkan oleh “ulah” fenomena statistik yang disebut regresi ke arah mean. Jika keberadaan regresi ke arah mean tidak

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

16

Mean pretest kelompok dengan nilai-nilai jauh di bawah mean

Mean populasi

Letak mean posttest jika tidak ada regresi

Letak mean posttest

Prestest

Posttest

Regresi ke arah mean

Mean populasi

Gambar 1 Regresi ke arah mean

Page 17: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

disadari dan tidak diantisipasi oleh peneliti, maka taksiran tentang efek obat antianemia yang teramati akan lebih besar (overestimate) daripada sesungguhnya.

Regresi ke arah mean akan dialami tidak hanya pada subsampel individu-individu dengan nilai-nilai jauh di bawah mean populasi seperti pada contoh di atas, tetapi juga nilai-nilai jauh di atas mean populasi ketika diukur dua kali, sehingga pada pengukuran kedua akan terjadi kecenderungan regresi nilai-nilai ke arah mendekati mean (Cheng, 1997; Trochim, 2006; Wikipedia, 2008). Sebagai contoh, dalam suatu studi tentang efektivitas obat antihipertensi, penurunan tekanan darah sistolik pada individu-individu dengan TDS ≥140 mmHg tidak hanya disebabkan oleh pemberian efek obat antihipertensi tersebut tetapi juga “ulah” fenomena regresi ke arah mean.

Salah satu sebab terjadinya regresi ke arah mean adalah sampel yang dicuplik secara asimetris dari populasi. Kalau saja sampel dicuplik secara random dari populasi, maka populasi dan sampel akan memiliki mean yang sama pada pengukuran pertama. Karena mean sampel sudah sama dengan mean populasi, maka pada pengukuran kedua sampel tersebut tidak mungkin lagi mengalami regresi ke arah mean populasi (Trochim, 2006). Dengan demikian regresi ke arah mean merupakan sebuah contoh yang cukup unik, di mana variasi random bisa menyebabkan terjadinya kesalahan sistematis (Davis, 1976, dikutip Dorak, 2008).

Regresi ke arah mean mudah diatasi dengan cara menggunakan kelompok kontrol dalam studi eksperimental. Dengan cara demikian maka dapat diharapkan bahwa baik kelompok eksperimental maupun kelompok kontrol akan memperlihatkan perbaikan dalam variabel hasil yang diteliti (misalnya, penurunan tekanan darah). Lalu intervensi yang diberikan (yakni, obat antihipertensi) disimpulkan efektif hanya jika kelompok eksperimen menunjukkan penurunan yang lebih besar daripada kelompok kontrol (Cheng, 1997; Delgado-Rodriguez dan Llorca, 2005; Trochim 2006; Wikipedia, 2008).

3. Bias pada studi eksperimental

Bias alokasi intervensiBias alokasi intervensi terjadi jika alokasi intervensi kepada subjek-subjek yang diteliti dalam studi eksperimental tidak dilakukan dengan cara random, sehingga dipengaruhi oleh karakteristik subjek penelitian yang memiliki hubungan dengan variabel hasil yang diteliti. Bias ini dapat menyebabkan deviasi taksiran efek intervensi menjauhi nilai nol (overestimate). Bias alokasi intervensi dapat dicegah dengan cara mengalokasikan intervensi secara random.

Bias kontaminasiBias kontaminasi terjadi ketika subjek-subjek penelitian di dalam kelompok kontrol terkontaminasi oleh intervensi yang diberikan kepada kelompok eksperimental. Bias ini akan melemahkan efek intervensi yang sebenarnya, menyebabkan deviasi taksiran efek intervensi menuju nol.

Bias kontaminasi sering terjadi pada studi intervensi komunitas, karena anggota komunitas yang mendapat intervensi tidak bisa dicegah untuk bersosialisasi, sehingga mempengaruhi anggota komunitas yang tidak mendapat intervensi. Bias kontaminasi mudah terjadi ketika intervensi yang diteliti merupakan barang publik (public good), misalnya kampanye perilaku sehat melalui media massa (misalnya, radio). Sifat barang publik adalah “non-excludable”, sehingga sulit untuk mencegah terjadinya bias kontaminasi.

Bias kepatuhan (compliance bias) Pada studi eksperimental yang membutuhkan kepatuhan untuk menggunakan intervensi yang diberikan, maka derajat kepatuhan pasien dalam menggunakan intervensi akan mempengaruhi penilaian tentang efikasi intervensi. Ketidakpatuhan akan menyebabkan deviasi taksiran efek intervensi menuju nol.Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

17

Page 18: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

Loss to follow-up bias Dalam studi eksperimen random (randomized controlled trial, RCT), alokasi subjek ke dalam kelompok eksperimental atau kelompok kontrol dilakukan dengan prosedur random. Tujuan randomisasi adalah untuk mencegah kerancuan dan bias seleksi. Tetapi tidak jarang dalam perjalanan implementasi intervensi terdapat peserta yang hilang. Jika hilangnya peserta cukup banyak, sekitar 30-40 persen, atau tidak banyak tetapi hilangnya peserta berhubungan dengan variabel hasil yang diteliti, maka kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak layak lagi untuk diperbandingkan.

Intinya terdapat dua pendekatan analisis data RCT: (1) intention to treat analysis; dan (2) per protocol analysis. Intention to treat analysis mengikutsertakan semua peserta, memperhitungkan dan menganalisis data yang hilang (missing data). Ada beberapa strategi yang dianjurkan untuk memperhitungkan data yang hilang: (1) melanjutkan respons terakhir yang ditunjukkan oleh peserta sebelum hilang; (2) melakukan ekstrapolasi respons yang paling mungkin berdasarkan respons yang ditunjukkan peserta-peserta lainnya (Gluud, 2006).

Per protocol analysis mengeluarkan peserta dengan data yang hilang dari analisis. Jika data yang hilang tersebut merupakan outlier (pencilan), maka per protocol analysis dapat meningkatkan homogenitas data dan meningkatkan presisi. Tetapi jika hilangnya peserta berkaitan dengan faktor-faktor prognostik, efek samping yang tidak diinginkan, atau intervensi yang dipandang tidak memberikan perbaikan, maka per protocol analysis dapat menyebabkan overestimasi efek intervensi (Gluud, 2006). Sebagai contoh, jika sebagian besar peserta yang mengundurkan diri disebabkan intervensi yang diberikan tidak memberikan perubahan yang diinginkan, maka per protocol analysis akan memberikan taksiran efek intervensi yang lebih besar daripada sesungguhnya (overestimate).

Pada umumnya para penulis menganjurkan intention to treat analysis sebagai pendekatan yang lebih baik untuk menganalisis data RCT. Meskipun demikian ada baiknya untuk melengkapi analisis itu dengan per protocol analysis, sebab perbedaan hasil antara intention to treat analysis dan per protocol analysis dapat memberikan informasi tambahan yang berguna untuk menafsirkan taksiran efek intervensi yang diteliti (Gluud, 2006).

REFERENSI

Albertsen PC, Hanley JA, Barrows GA, Penson DF, Kowalczyk PDH, Sanders MM, Fine J (2005). Prostate cancer and the Will Rogers phenomenon. J Nat Cancer Inst, 97(17): 12481253

Cheng LP (1997). Regression toward the mean. www.cornell.edu. Diakses Oktober 2008.Delgado-Rodrıguez M, Llorca J (2005). Bias. J Epidemiol Community Health,;58:635–641.Dorak MT (2008). Bias and confounding. www.dorak.info/epi/bc.html -Diakses Oktober 2008.Gluud LL (2006). Bias in clinical intervention research. Am J Epidemiol;163:493–501Hennekens CH, Buring JE (1987). Epidemiology in medicine. Boston: Little, Brown, and

Company.KleinbaumDG, Kupper LL, Morgenstern H (1982). Epidemiologic research: principles and

quantitative methods. New York: Van Nostrand Reinhold.Last JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press.Murti B (2006). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif di bidang

kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Olson CM; Rennie D, Cook D; et al. (2002).Publication bias in editorial decision making. JAMA;

287(21):2825-2828Rothman KJ (1986). Modern epidemiology. Boston: Little, Brown and Company__________ (2002). Epidemiology: An introduction. New York: Oxford University Press.

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

18

Page 19: Wshop BP4 Bias Dr Bhisma

Dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

Schoenbach VJ (2006). Source of error: selection bias. www.unc.edu/epid600/. Diakses September 2008

Streiner DL, Norman GR, Blum HM (1989). Epidemiology. Burlington, ON: BC Decker Inc.Trochim WMK (2006). Regression to the mean. Research methods Knowledge Base. www.social

researchmethods.net/kb/regrmean.php. Diakses Oktober 2008.WHO (1968). Nutritional anemias. Report of a WHO Scientific Group. Technical Report Series

No. 405.Wikipedia (2008). Regression toward the mean. en.wikipedia.org/wiki/ Regression_toward

_the_mean. Diakses Oktober 2008.

Workshop Peningkatan Kemampuan Tenaga Kesehatan dalam Penelitian Kesehatan -Surakarta, 28-29 Oktober 2008 – BBKPM Surakarta & Bagian IKM FK-UNS

19