WRAP UP SK 2

79
SKENARIO 2 TRAUMA PADA KEPALA Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas empat jam yang lalu. Ia mengendarai motor tanpa menggunakan helm, lalu tertabrak mobil, kemudian terpental dan jatuh. Menurut pengantar, saat jatuh ia pingsan, kemudian sempat sadar seketika setengah jam, dan muntah-muntah disertai darah dan kembali tidak sadar. Pasien mengalami perdarahan hidung dan telinga sisi kanan. Tanda Vital Airway : terdengar bunyi snoring Breathing : frekuensi nafas 12x/menit Circulation : tekanan darah 150/100mmHg, frekuensi nadi 50x/menit Regio Wajah Trauma didaerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi. Status Neurologi GCS E1 M3 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 3 mm/5 mm, RCL +/-, RCTL +/-, kesan hemiparesis sinistra, refleks patologis Babinsky -/+. 1

Transcript of WRAP UP SK 2

Page 1: WRAP UP SK 2

SKENARIO 2 TRAUMA PADA KEPALA

Seorang laki-laki, berusia 18 tahun, dibawa ke UGD RS dalam keadaan tidak sadar setelah mengalami kecelakaan lalu lintas empat jam yang lalu. Ia mengendarai motor tanpa menggunakan helm, lalu tertabrak mobil, kemudian terpental dan jatuh. Menurut pengantar, saat jatuh ia pingsan, kemudian sempat sadar seketika setengah jam, dan muntah-muntah disertai darah dan kembali tidak sadar. Pasien mengalami perdarahan hidung dan telinga sisi kanan.

Tanda VitalAirway : terdengar bunyi snoringBreathing : frekuensi nafas 12x/menitCirculation : tekanan darah 150/100mmHg, frekuensi nadi 50x/menit

Regio WajahTrauma didaerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal rhinorrhea, mobilitas maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.

Status NeurologiGCS E1 M3 V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 3 mm/5 mm, RCL +/-, RCTL +/-, kesan hemiparesis sinistra, refleks patologis Babinsky -/+.

1

Page 2: WRAP UP SK 2

KATA SULIT

1. Snoring : bunyi nafas seperti mengorok yang menandakan adanya kebuntuan jalan nafas bagian atas.

2. Babinsky : tes untuk mengetahui adanya tanda rangsang meningeal.

3. Maloklusi : kelainan susunan gigi bagian atas dan bawah yang berhubungan dengan bentuk rongga mulut, serta fungsi.

4. Cerebrospinalis rhinorrhea : suatu kondisi di mana CSL menyusup ke saluran hidung dan sinus dan muncul sebagai pilek yang sangat berair.

5. Mobilitas maxilla : terjadinya pergeseran maxilla.

6. Anisokor : ukuran pupil yang tidak sama pada kedua mata.

7. Hemiparesis : kelemahan pada satu sisi tubuh.

2

Page 3: WRAP UP SK 2

PERTANYAAN

1. Mengapa refleks patologis babinskynya (+) ?2. Apa yang menyebabkan pasien muntah-muntah, dan sebelumnya mengapa pasien pingsan ?3. Bagaimana bisa terjadi pupil yang anisokor ?4. Kenapa bisa terjadi fase di mana pasien sadar kemudian tidak sadar ?5. Kenapa keluar cairan di hidung dan telinga ?6. Penanganan pertama apa bagi pasien pada kasus ini ?7. Pemeriksaan apa yang dapat dilakukan pada kasus tersebut ?8. Apakah tindakan pertama yang di lakukan apabila pasien mengalami snoring ?9. Apa penyebab tekanan darah meningkat, tapi terjadi bradikardi ?10. Kenapa terdengar bunyi snoring ?

JAWABAN

1. Karena terdapatnya gangguan atau masalah di bagian meningen.2. Terdapatnya kenaikan tekanan Intrakranial.3.Terjadinya pendarahan yang menyebabkan hematom sehingga terjadi herniasitentorial sehingga menutup medulla oblungata dan N.III terhambat4.Tekanan Intrakranial meningkat , menekan kapiler cerebral, sehingga cerebral hipoksia difus, sehingga terjadi penurunan kesadaran.5. Karena trauma pada kepala bisa menyebabkan serabut pada tulang tengkorak hingga dapat merobek lapisan durameter, LCS keluar melalui saluran hidung dan telinga.6. Pemeriksaan Airway, Breathing , Circulation.7. CT scan dan MRI.8. Dilihat dengan cara crossfinger : menggunakan jari tengah dan jari telunjuk, lalu di singkirkan yang menghalang.9. Pendarahan - faso kontriksi pembuluh darah - tekanan darah meningkat.10. Bisa karena adanya sumbatan jalan nafas.

3

Page 4: WRAP UP SK 2

HIPOTESIS

TRAUMA KEPALA

PERDARAHAN A.MENINGEAE MEDIAE

HEMATOM

PENEKANAN OTAK

TIK TERKENA JARAS MOTORIK

MENEKAN MEDULA OBLUNGATA YANG

MENEKAN N.III

TRIAS CUSHING

- HIPERTENSI

-BRADIKARDI

BRADIPNEA

MUNTAHMENYILANG GARIS TENGAH

MENUJU GARIS BERLAWANAN PADA FORAMEN MAGNUM

MENYEBABKAN TEKANAN PADA TRAKTUS PIRAMIDALIS SEHINGGA

PARESIS OTOS DAN LESI KONTRALATERAL

ANISOKOR

PEMERIKSAAN : MRI DAN CT SCAN

TRAUMA KEPALA BERAT

4

Page 5: WRAP UP SK 2

SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala

1.1. Definisi Trauma Kepala

1.2. Etiologi Trauma Kepala

1.3. Klasifikasi Trauma Kepala

1.4. Patofisiologi Trauma Kepala

1.5. Manifestasi Klinik Trauma Kepala

1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Trauma Kepala

1.7. Tatalaksan Trauma Kepala

1.8. Komplikasi Trauma Kepala

1.9. Prognosis Trauma Kepala

2. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial

3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranium

4. Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing

5

Page 6: WRAP UP SK 2

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala

1.1. Definisi Trauma Kepala

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006). Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).

1.2. Etiologi Trauma Kepala

Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul

Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam

Trauma kepala akibat tembakan

Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak

1.3. Klasifikasi Trauma Kepala

Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah

a. Trauma kepala tertutup

Fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.

b. Trauma kepala terbuka

Luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod,2006).

Berdasarkan mekanisme terjadinya :

a. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

6

Page 7: WRAP UP SK 2

b. Cedera tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

Berdasarkan morfologi cedera kepala:

a. Luka pada kepala:

Laserasi kulit kepala

Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

Luka memar (kontusio)

Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.

Abrasi

Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

Avulsi

Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan.

b. Fraktur tulang kepala

Fraktur linier

Fraktur dengan bentuk garis tunggal. Fraktur linier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fraktur yang masuk ke dalam rongga intrakranial.

Fraktur diastasis

Jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

Fraktur kominutif

Jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

7

Page 8: WRAP UP SK 2

Fraktur impresi

Fraktur ini terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada durameter dan jaringan otak.

Fraktur basis cranii

Berdasarkan tingkat keparahan :

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari

Traumatic Brain Injury yaitu :

Cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

Cedera otak fokal yang meliputi :

o Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

8

Page 9: WRAP UP SK 2

o Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

o Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang

o Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.

o Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

9

Page 10: WRAP UP SK 2

Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)

Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi :

o Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .

o Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

o Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

o Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

10

Page 11: WRAP UP SK 2

1.4. Patofisiologi Trauma Kepala

11

Page 12: WRAP UP SK 2

1.5. Manifestasi Klinik Trauma Kepala

Assesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala, harus dipandu secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk dewasa dan anak-anak dan ini diturunkan dari Glasgow Coma Score.Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15 adalah yang terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal terbaik, dan respon motor terbaik

12

Page 13: WRAP UP SK 2

Glasgow Coma Scale (Dewasa)Respon Mata Terbaik (4) 4. Mata membuka spontan3. Mata membuka dengan perintah verbal2. Mata membuka dengan rangsang nyeri1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)5. Terorientasi baik4. Bingung / disorientasi3. Kata-kata tidak tepat2. Suara-suara yang tidak bisa dipahami1. Tidak ada respon verbal

Respon Motorik Terbaik (6)6. Mematuhi perintah5. Melokalisasi rasa nyeri4. Menghindari nyeri3. Fleksi terhadap nyeri2. Ekstensi terhadap nyeri1. Tidak ada respon motoric

Glasgow Coma Scale (Pediatric)Respon Mata Terbaik (4)4. Mata membuka spontan3. Mata membuka dengan perintah verbal2. Mata membuka dengan rangsang nyeri1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)5. Terjaga, mengoceh, kata/kalimat biasanya sesuai kemampuan.4. Kurang dari kemampuan biasa dan/atau menangis irritable spontan3. Menangis tidak tepat2. Kadang-kadang merengek dan/atau merintih1. Tidak ada respon vocal

Komunikasi dengan infant atau anak-anak diperlukan perhatian yang seksama untuk menentukan respon verbal terbaik yang sesuai. ”Grimace” adalah alternatif dari respon verbal, harus digunakan untuk pre-verbal atau pasien-pasien intubasi.

Grimace Response (5)

13

Page 14: WRAP UP SK 2

5. Facial normal spontan/aktifitas oro-motor4. Kurang dari kemampuan spontan biasa atau hanya respon untuk menyentuh stimuli3. Menyeringai dengan semangat pada nyeri2. Menyeringai ringan pada nyeri1. Tidak ada respon pada nyeri

Respon Motor Terbaik (6)6. Mematuhi perintah atau menunjuukan gerakan spontan normal5. Melokalisasi rangsang nyeri atau menghindari untuk menyentuh4. Menghindari rangsang nyeri3. Fleksi abnormal pada nyeri (decorticate)2. Ekstensi abnormal pada nyeri (decerebrate)1. Tidak ada respon pada nyeri

Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8. lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik (7).

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah: a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os

mastoid)

b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan; a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat

kemudian sembuh.

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

c. Mual atau dan muntah.

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

e. Perubahan keperibadian diri.

f. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;

14

Page 15: WRAP UP SK 2

a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak menurun atau meningkat.

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstrimitas.

1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Trauma Kepala

ANAMNESISDiagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.Anamnesis lebih rinci tentang:a. Sifat kecelakaan.b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa.Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)

Indikasi Rawat Inap :1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.2. Fraktur tulang tengkorak.3. Terdapat defisit neurologik.4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif.5. Adanya faktor sosial seperti :a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :

15

Page 16: WRAP UP SK 2

1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam selama periode tidur.2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.5. Kejang, pingsan.6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman (4,5).

PEMERIKSAAN FISIKHal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital dan status kesadaran pasien.

STATUS FUNGSI VITALYang dinilai dalam status fungsi vital adalah:

• Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).

• Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat kesadaran.

• Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

16

Page 17: WRAP UP SK 2

STATUS KESADARAN PASIENCara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon motoric

STATUS NEUROLOGISPemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis..Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin

PEMERIKSAAN PENUNJANGFoto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala.Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang.

17

Page 18: WRAP UP SK 2

18

Page 19: WRAP UP SK 2

PENANGGULANGAN PERAWATANSetelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan kesembilan aspek sebagai berikut.

1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak.2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan.3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru, mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi.6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk mencegah keratitis.7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam tengkorak, kandung kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan diatasi, baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan menambah kegelisahan, yang

19

Page 20: WRAP UP SK 2

justru akan menaikkan tekanan intrakranial.8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak dan kenaikan tekanan darah serta memperberat edem otak.

Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi luka. Reaksi tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan kolitis pseudomembranosa, dan mengundang terjadinya sepsis.

1.7. Tatalaksan Trauma Kepala

PENANGANAN SEBELUM SAMPAI DI RUMAH SAKIT ATAU FASILITAS

YANG LEBIH MEMADAI

I. Pada pertolongan pertama :

Perhatikan imobilisasi kepala leher, lakukan pemasangan neck collar, sebab sering trauma kepala disertai trauma leher.

Hyperventilasi dengan oksigen 100 %, monitor tingkat sat.O2 dan CO2 Pada kasus berat mungkin diperlukan pemasangan ETT Pasang BACK BOARD ( spinal board) Sediakan suction untuk menghindari penderita aspirasi karena muntah. Hentikan perdarah dengan melakukan penekanan pada daerah luka sebelum

dilakukan penjahitan situsional. Perdarahan kepala yang tidak terkontrol akan mengakibatkan syock. Atasi

syok dengan pemasangan IV canule yang besar (bila perlu 2 line ), beri cairan yang memadai. (lihat penatalaksanaan hemoragik syok)

Pemberian obat-obatan lasix, manitol dilapangan tidak dianjurkan, begitu pula obat penenang tidak boleh diberikan tanpa supervisi dokter.

II. Penatalaksanaan di Rumah Sakit.

Begitu diagnosa ditegakan, penanganan harus segera dilakukan Cegah terjadinya cedera otak sekunder dengan cara :

Pertahankan metabolisme otak yang adekuat Mencegah dan mengatasi hyper tensi

20

Page 21: WRAP UP SK 2

A. Mempertahankan kebutuhan metabilisme otak

Iskemia otak atau hypoxia terjadi akibat tidak cukupnya penyampaian oksige ke otak, metabolisme perlu oksigen dan glucosa.

Usahakan PaO2 > 80 mmHg

Pertahankan PaCO2 26 – 28 mmHg

Trnsfusi darah mungkin diperlukan sebagai “ oxygen carrying capacity”

B. Mencegah hypertensi intra cranial

Hypertensi ini dapat terjadi akibat : Masa lesi Pembengkakan otak akut Odema otakCara mengatasi HT. :

a. Lakukan hypocapnia Konsentrasi Co2 arteri mempengaruhi sirkulasi otak Co2 meningkat terjadi vasodilatasi sehingga menigkatkan volume

intrakranial Co2 menurun terjadi tekanan intra kranial menurunTindakan hyperventilasi :

Menurunkan intra cerebral acidosis Meningkatkan metabolisme otak Anjurkan hyperventilasi dan pertahankan Pco2 antara 26 – 28 mmHg

Hati-hati pada saat melakukan tindakan intubasi

b. Kontrol cairan Cegah overhidrasi IV jangan hypoosmolar Jangan dilakukan loading

c. Diuretic : Manitol menurunkan volume otak dan menurunkan tekanan intra

kranial Dosis 1 gr / kg BB IV cepat Furosemid 40 – 80 mg IV (Dewasa) Lakukan observasi dengan ketat

d. SteroidTidak direkomendasikan pada cedera kepala akut

21

Page 22: WRAP UP SK 2

I. CEDERA KEPALA RINGAN (GCS = 14 – 15 ) Idealnya semua penderita cedera kepala diperiksa dengan CT scan,

terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia atau sakit kepala hebat.3 % penderita CK. Ringan ditemukan fraktur tengkorak

Klinis :a. Keadaan penderita sadarb. Mengalami amnesia yang berhubungna dengan cedera yang

dialaminyac. Dapat disertai dengan hilangnya kesadaran yang singkat

Pembuktian kehilangan kesadaran sulit apabila penderita dibawah pengaruh obat-obatan / alkohol.

d. Sebagain besar penderita pulih sempurna, mungkin ada gejala sisa ringan

Fractur tengkorak sering tidak tampak pada foto ronsen kepala, namun indikasi adanya fractur dasar tengkorak meliputi :a. Ekimosis periorbitalb. Rhinorea c. Otorea d. Hemotimpanie. Battle’s sign

Penilaian terhadap Foto ronsen meliputi :a. Fractur linear/depresib. Posisi kelenjar pineal yang biasanya digaris tengah c. Batas udara – air pada sinus-sinus d. Pneumosefaluse. Fractur tulang wajahf. Benda asing

Pemeriksaan laboratorium :a. Darah rutin tidak perlub. Kadar alkohol dalam darah, zat toksik dalam urine untuk diagnostik /

medikolagel Therapy :

a.Obat anti nyeri non narkotikb. Toksoid pada luka terbuka

Penderita dapat diobservasi selama 12 – 24 jam di Rumah Sakit

II. CEDERA KEPALA SEDANG ( GCS = 9 13 ) Pada 10 % kasus :

Masih mampu menuruti perintah sederhana Tampak bingung atau mengantuk Dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemi paresis

Pada 10 – 20 % kasus : Mengalami perburukan dan jatuh dalam koma Harus diperlakukan sebagai penderita CK. Berat.

Tindakan di UGD : Anamnese singkat Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan

neulorogis

22

Page 23: WRAP UP SK 2

Pemeriksaan CT. scan Penderita harus dirawat untuk diobservasi Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat bila :

Status neulologis membaik CT. scan berikutnya tidak ditemukan adanya lesi masa yang

memerlukan pembedahan Penderita jatuh pada keadaan koma, penatalaksanaanya sama dengan CK.

Berat. Airway harus tetap diperhatikan dan dijaga kelancarannya

III. CEDERA KEPALA BERAT ( GCS 3 – 8 ) Kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun

status kardiopulmonernya telah distabilkan CK. Berat mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi

Diagnosa dan therapy sangat penting dan perlu dengan segara penanganan Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita CK. Berat harus

dilakukan secepatnya.

A. Primary survey dan resusitasiDi UGD ditemukan : 30 % hypoksemia ( PO2 < 65 mmHg ) 13 % hypotensia ( tek. Darah sistolik < 95 mmHg ) Mempunyai

mortalitas 2 kali lebih banyak dari pada tanpa hypotensi 12 % Anemia ( Ht < 30 % )

1. Airway dan breathingSering terjadi gangguan henti nafas sementara, penyebab kematian karena terjadi apnoe yang berlangsung lama

Intubasi endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala berat dengan memberikan oksigen 100 %

Tindakan hyeprveltilasi dilakukan secara hati-hati untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran

PCo2 harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

2. Sirkulasi Normalkan tekanan darah bila terjadi hypotensi Hypotensi petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat

pada kasus multiple truama, trauma medula spinalis, contusio jantung / tamponade jantung dan tension pneumothorax.

Saat mencari penyebab hypotensi, lakukan resusitasi cairan untuk mengganti cairan yang hilang

UGS / lavase peritoneal diagnostik untuk menentukan adanya akut abdomen

23

Page 24: WRAP UP SK 2

B. seconady surveyPenderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain.

C. Pemeriksaan Neurologis Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil,

pemeriksaan terdiri dari : GCS Reflek cahaya pupil Gerakan bola mata Tes kalori dan Reflek kornea oleh ahli bedah syaraf Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum

penderita dilakukan sedasi atau paralisis Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 – 6 mg ) IV Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh

respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik

Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita

Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah Catat nilai GCS dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau

perburukan pasien.

Prosedur DiagnosisVII. TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera

A. Cairan IntravenaCairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik

Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih

Penggunaan cairan yang mengandung glucosa dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yangn cedera

Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl o,9 % atau Rl

Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati secara agresig

B. HyperventilasiTindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak

24

Page 25: WRAP UP SK 2

HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun

PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah

Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. ManitolDosis 1 gram/kg BB bolus IV

Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis

Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia

D. FurosemidDiberikan bersamaan dengan manitol untuk menurunkan TIK dan akan meningkatkan diuresis

Dosis 0,3 – 0,5 mg/kg BB IV

E. SteroidSteroid tidak bermanfaat

Pada pasien cedera kepala tidak dianjurkan

F. BarbituratBermanfaat untuk menurunkan TIK

Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah

G. AnticonvulasanPenggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma

Phenobarbital & Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke I

Obat lain diazepam dan lorazepam

VIII. PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit kepalaHal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan

Penyebab infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat

25

Page 26: WRAP UP SK 2

Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok, perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung, kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka

Lakukan insfeksi untuk fraktur dan adanya benda asing, bila ada CSS pada luka menunjukan adanya robekan dura. Consult ke dokter ahli bedah saraf

Lakukan foto teengkorak / CT Scan

Tindakan operatif

B. Fractur depresi tengkorakTindakan operatif apabila tebal depresi lebih besar dari ketebalan tulang di dekatnya

CT Scan dapat menggambarkan beratnya depresi dan ada tidaknya perdarahan di intra kranial atau adanya suatu kontusio

C. Lesi masa IntrakranialTrepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian

Prosedur ini penting pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan

Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

1.8. Komplikasi Trauma Kepala

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi

a. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

b. Kejang/Seizure

Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy

c. Infeksi

26

Page 27: WRAP UP SK 2

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

d. Hilangnya kemampuan kognitif.

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.

e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.

Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

1.9. Prognosis Trauma Kepala

Tengkorak anak masih elastis dan mempunyai kesanggupan untuk mengalami deformasi, maka tengkorak anak dapat mengabsorpsi sebagian energi kekuatan fisik

tersebut sehingga dapat memberikan perlindungan pada otak.Prognosis cj pada anak lebih baik dibandingkan orang dewasa. Kelainan yang seringdijumpai adalah: epilepsi post cedera kepala. Angka kejadian epilepsi post cederakepala kurang dari 5%.Subdural efusi kronik merupakan komplikasi yang sering terjadi disebabkanpengobatan yang tidak adekuat. Apabila ditemukan adanya pembesaran lingkarankepala secara cepat dan pemeriksaan transiluminasi menunjukkan adanya cairan,maka kemungkinan terdapat subdural efusi. Menurut Evans pada cedera kepala yangberat, 80% akan mengalami perbaikan, 20% menunjukkan gangguan neurologikyang berat dan 10% mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki/meninggal.

2. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial

Perdarahan epidural

27

Page 28: WRAP UP SK 2

Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar dura mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya arteri meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan ekstradural.

Perdarahan epidural atau kita singkat dengan EDH adalah perdarahan yang terjadi di antaraselaput pembungkus otak (duramater) dan tulang kepala. Perdarahan ini terjadi akibat retaknya tulang kepala pada trauma kepala yang selanjutnya retakan tulang itu akan menjadi sumber perdarahan atau dapat pula mencederai pembuluh darah yang berada diselaput pembungkus otak tersebut. Darah kemudian akan berkumpul dan bertambah banyak baik secara perlahan-lahan atau dalam tempo yang singkat. Pada awalnya dimana jumlah darah masih sangat sedikit, mungkin penderita tidak merasakan suatu keluhan yang berat atau berarti sehingga sering diabaikan. Namun bila jumlah perdarahannya sudahcukup banyak maka dampaknya sangat berat hingga kematian.

Gejala: lucid interval, pupil midriasis,Adanya garis fraktur menyokong didiagnosis hematom epidural dan lokasinya. Sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Etiologi

Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan spontan bisa saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga mencakup perdarahan pada bayi baru lahir. Manifestasi klinik

Gejala klinis yang khas adalah : Lucid Interval (adanya fase sadar diantara 2 fase tidak sadar karena bertambahnya volume darah). Gelaja paling menonjol yaitu penurunan kesadaran secara progresif.  Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.

Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :

Hipertensi Bradikardi BradipneuKontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma. Dilatasi

pupil, lebam, pupil yang terfixasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi. Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai adanya epidural hematom.

Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap, yaitu:

Coma Fixasi dan dilatasi pupil DeserebrasiGejala lain yang sering tampak :   Bingung  Penglihatan kabur  Susah bicara  Nyeri kepala yang hebat Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

28

Page 29: WRAP UP SK 2

Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala  Mual  Pusing  Berkeringat  Pucat  Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar

Pemeriksaan penunjangFoto polos : sulit untuk menentukanCT Scan akan tampak area hiperdens biconvex.MRI 

PenatalaksanaanPenatalaksaan epidural hematoma dapat dilakukan segera dengan cara trepanasi

dengan tujuan melakukan evakuasi hematoma dan menghentikan perdarahan  Prognosis 

Prognosis tergantung pada : • Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )• Besarnya • Kesadaran saat masuk kamar operasi.  Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.  

SUBDURAL HEMATOMA

DEFINISI Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena.

ETIOLOGY Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan mendadak, dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan fraktur tengkorak.

29

Page 30: WRAP UP SK 2

Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik otak.

Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan darah kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada pengumpulan subdural kronik, darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena head injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua.

Hematom subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran vaskuler yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa hematom subdural

Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:- Trauma kapitis- Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

- Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak – anak.

- Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.

- Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

- Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

PATOFISIOLOGI Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid,

kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini

30

Page 31: WRAP UP SK 2

seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar.Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus.

Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital dan suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama kegagalan vena

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.

31

Page 32: WRAP UP SK 2

Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

KLASIFIKASI Terbagi atas 3 bagian iaitu:

a) Perdarahan subdural akut - Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan,

respon yang lambat, serta gelisah. - Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. - Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar

dan cedera batang otak.

32

Page 33: WRAP UP SK 2

b) Perdarahan subdural subakut - Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah

cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. - Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat

kesadaran. c) Perdarahan subdural kronis

- Terjadi karena luka ringan. - Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural. - Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan

secara pelan-pelan ia meluas. - Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. - Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.

Perdarahan Intraserebral

Defenisi

Perdarahan intrasereblar adalah perdarahan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak intrasereblar, sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak, bukan disebabkan oleh trauma.

Etiologi

Etilogi terbanyak adalah hipertensi yang berlangsung lama atau kronis (60-90%), deformitas pembuluh darah bawaan, tumor otak yang kaya pembuluh darah, dan kelainan hemostasis darah. Faktor resiko untuk perdrahan intrasereblar adalah hipertensi, kelainan jantung, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus. obesitas, polisitemia vera, merokok, usia lanjut dan herediter.

Perdarahan intraserebral ini juga dapat dicetuskan oleh stress fisik, emosi, peningkatan tekanan darah mendadak, yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak intraserebral.

Patofisiologi

Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriol berdiameter 100-400µ mengalami perubahan patologis pada dinding pembuluh darah berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid, keduanya menyebabkan kelemahan muskularis arteriol. Hipertensi yang terus berlangsung akan mendesak dinding arteriol yang lemah tadi, membuat herniasi atau pecahnya tunika intima yang kemudian menjadi aneurisma atau terjadi robekan-robekan kecil.

Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlangsung sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Jika perdarahannya sedikit maka darah hanya akan menyela diantara selaput akson tanpa merusaknya. Pada keadaan ini, absorpsi darah akan diikuti oleh pulihnya fungsi-fungsi neurologis,

33

Page 34: WRAP UP SK 2

sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intra kranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, thalamus, dan pons.

Selain kerusakan parenkim otak, akibat dari volume perdarahan yang relatif banyak akan menyebabkan peninggian tekanan intra kranial, dan myebabkan perdarahan intra kranial dan menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak karena terganggunya drainase otak. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila jumlah darah yang keluar lebih dari 60 cc maka resiko kematian mencapai 93% pada perdarahan dalam. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebral dengan volume 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 70%, tetapi volume darah 5 cc yang terdapat pada pons sudah berakibat fatal.

Gejala Klinis

Secara umum gejala perdarahan pada otak adalah :

1. Sakit kepala, muntah, pusing (vertigo), gangguan kesadaran.

2. Defisit neurologis, tergantung lokasi perdarahan.

3. Bila perdarahan ke kapsula interna (perdarahan kapsuler) maka ditemukan :

Hemiparese kontralateral

Hemiplegia

koma

Perdarahan terjadi di pons (batang otak) :

1. Kuadriplegik dan flaksid, kadang dijumpai rigiditas deserebri.

2. Pupil kecil (pin point), reaksi cahaya minimal.

3. Depresi pernafasan atau Cheyne stokes.

4. Hipertensi

5. Febris.

6. Penurunan kesadaran yang cepat tanpa didahului sakit kepala, vertigo, mual dan muntah.

34

Page 35: WRAP UP SK 2

Perdarahan di Thalamus :

1. Defisit hemisensorik

2. Hemiparesis atau hemiplegi kontralateral

3. Afasia, anomia dan mutisme bila mengenai hemisfer yang dominan.

Perdarahan di Putamen :

1. Hemiparesis atau hemiplegi kontralateral.

2. Defisit hemisensorik dan mungkin disertai hemianopsia homonim.

3. Afasia bila mengenai hemisfer dominan.

Perdarahan di Lobus :

1. Frontalis : hemiparesis kontralateral dengan lengan lebih nyata, sakit kepala bifrontal, deviasi konjugae.

2. Parietalis : defisit persepsi sensorik kontralateral dengan hemiparesis ringan.

3. Oksipitalis : hemianopsia dengan atau tanpa hemiparesis minimal, pada ipsilateral dengan hemianopsia.

4. Temporalis : afasia sensorik, bila area wernicke hemisfer dominant terkena, hemianopsia atau kuadranopsia.

Gambaran Patologi Anatomi

1. Terdorongnya massa otak.

2. Invasi sekunder ke ventrikel di ruang subarakhnoid.

3. Kompresi ventrikel

4. Edema perifokal karena hematom dan nekrosis sel saraf

5. Peningkatan tekanan intrakranial, konstriksi foramen medulla oblongata, tentorium mesensefalon, diensefalon.

6. Massa difagosit oleh makrofag dan diganti dengan sel glia sehingga terjadi parut kistik.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : Darah rutin (Hemoglobin, Laju endap darah, Leukosit, Hitung jenis, Hematokrit, Trombosit, Waktu perdarahan dan pembekuan, Gula darah puasa, Gula darah 2 jam post prandial, Total kolesterol, HDL-Kolesterol, LDL-Kolesterol, Trigliserida, Asam urat, Natrium, Kalium, Klorida).

35

Page 36: WRAP UP SK 2

Elektrokardiografi

Elektroensefalografi

CT-Scan kepala

Rontgen foto thoraks

Angiografi

Penatalaksanaan

1. Terapi Umum

a. Breathing : menjaga jalan nafas dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi untuk mencegah lidah jatuh ke belakang, pemberian oksigen 2-3 L/menit.

b. Blood : kontrol tekanan darah dan nadi

c. Brain : mengurangi edema, memenuhi intake cairan dengan pemberian cairan isotonis seperti RL 12 jam/kolf, atasi gelisah dan kejang.

d. Bladder : pasang kateter untuk miksi dan mengetahui output urine

e. Bowel : memenuhi asupan makanan, kalori dan elektrolit

d. Burn : demam diatasi.

2. Terapi Khusus

a. Anti udema : manitol bolus 1 gr/kgBB dalam 20-30 menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,5 gr/kgBB setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam. Target osmolaritas 300-320 mosm/L atau dengan gliserol 10% 10 ml/kg dalam 3-4 jam atau dengan furosemide 1 mg/kgBB IV. Pemberian steroid tidak diberikan secara rutin, bila ada indikasi harus diikuti oleh pengamatn yang ketat.

b. Obat homeostasis : Transamic acid 6 gram/hari IV (2 minggu), berperan sebagai antiinflamasi dan mencegah perdarahan ulang.

c. Anti hipertensi : bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik > 140 mmHg berikan : Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu. Bila tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik 105-140 mmHg, atau tekanan darah arterial rata-rata 130 mmHg berikan : Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, ulangi atau gandakan setiap 10 menit sampai maksimmum 300 mg atau berikan dosis awal bolus diikuti oleh Labetalol drip 2-8 mg/menit atau Nikardipin 5-15 mg/jam infus kontinyu atau Diltiazem 5-40 mg/kg/menit infus kontinyu atau

36

Page 37: WRAP UP SK 2

Nimodipin. Bila tekanan sistolik <180 mmHg atau tekanan diastolic < 105 mmHg, tangguhkan pemberian obat anti hipertensi.

d. Bila terdapat kejang diatasi segera dengan Diazepam IV perlahan atau dengan antikonvulsan lain.

e. Neurotropik agent : Piracetam 3x400 mg.

f. Tindakan bedah dilakukan dengan pertimbangan usia dan skala Glasgow > 4, dan hanya dilakukan pada penderita dengan : peradarahan serebelum dengan diameter lebih dari 3 cm dilakukan kraniotomi dekompresi, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum dapat dilakukan VP shunting, perdarahan lobus diatas 60 cc dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial akut disertai dengan ancaman herniasi.

g. Rehabilitasi : penderita perlu perawatan lanjutan secara intensif dan dimobilisasi sesegera mungkin bila klinis neurologis dan hemodinamik stabil. Perubahan posisi badan dan ekstremitas setiap 2 jam untuk mencegah dekubitus.

3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranium

Definisi

Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua bagian yang terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahang bawah atau rahang, dan tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula adalah satu-satunya bagian dari tengkorak yang tidak bergabung dengan sutura.

Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting termasuk: mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk jarak antara mata, membentuk posisi telinga untuk membantu otak menentukan arah dan jarak suara dan menjaga serta membentuk rongga/cavitas otak.

Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang pada tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang lebih besar adalah bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang berada di dalam tengkorak dapat terlindungi. Fragmen kecil dari tengkorak juga bisa pecah dan menyebabkan kerusakan tambahan pada otak. Selain itu, energi yang dipakai dalam benturan tengkorak bisa melukai jaringan otak.

Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari dua cara, baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya. Sebuah fraktur tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera yang sangat jarang terjadi hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur ini pada dasarnya adalah fraktur linear, atau retak garis lurus di dasar tengkorak. Patah tulang tengkorak

37

Page 38: WRAP UP SK 2

basilar bisa sangat berbahaya karena batang otak dapat terluka, yang antara lain mengirimkan pesan dari otak ke sumsum tulang belakang. Jika otak atau batang otak terluka maka kematian seringkali sangat mungkin terjadi.

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang menyebabkan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini sering dikaitkan dengan perdarahan di sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga (Battle sign). Garis fraktur dapat meluas ke sinus wajah yang memungkinkan bakteri dari hidung dan mulut untuk masuk keadalam dan kontak dengan otak, menyebabkan infeksi yang potensial.

Anatomi

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os sphenoidal, Os occipital dan Os temporal, pada regio temporal strukturnya lebih tipis, namun pada bagian ini dilindungi oleh otot-otot temporalis.

Basis Craniii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa Cranii anterior, fossa Cranii media dan fossa Cranii posterior

38

Page 39: WRAP UP SK 2

Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20% fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.

Fossa crania anterior : Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di media. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubang-lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.

Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior

Fossa Cranii media : Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n.occulomotorius dan n.abducens.

39

Page 40: WRAP UP SK 2

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis Cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.

Fossa Cranii posterior melindungi otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa Cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.

Pada fraktur fossa Cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.

Patofisiologi

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.

Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami

40

Page 41: WRAP UP SK 2

tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Trauma dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak yang diklasifikasikan menjadi :• fraktur sederhana (simple) suatu fraktur linear pada tulang tengkorak• fraktur depresi (depressed) apabila fragmen tulang tertekan ke bagian lebih dalam dari tulang tengkorak• fraktur campuran (compound) bila terdapat hubungan langsung dengan lingkungan luar. Ini dapat disebabkan oleh laserasi pada fraktur atau suatu fraktur basis cranii yang biasanya melalui sinus-sinus. Pada dasarnya, suatu fraktur basiler adalah suatu fraktur linear pada basis cranii. Biasanya disertai dengan robekan pada duramater dan terjadi pada pada daerah-daerah tertentu dari basis cranii.Fraktur Temporal terjadi pada 75% dari seluruh kasus fraktur basis cranii. Tiga subtipe dari fraktur temporal yaitu : tipe longitudinal, transversal, dan tipe campuran (mixed).

a. Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan pars skuamosa os temporal, atap dari canalis auditorius eksterna, dan tegmen timpani. Fraktur-fraktur ini dapat berjalan ke anterior dan ke posterior hingga cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir di fossa media dekat foramen spinosum atau pada tulang mastoid secara berurut.

b. Fraktur transversal mulai dari foramen magnum dan meluas ke cochlea dan labyrinth, berakhir di fossa media.

c. Fraktur campuran merupakan gabungan dari fraktur longitudinal dan fraktur transversal. Masih ada sistem pengelompokan lain untuk fraktur os temporal yang sedang diusulkan. Fraktur temporal dibagi menjadi fraktur petrous dan nonpetrous; dimana fraktur nonpetrous termasuk didalamnya fraktur yang melibatkan tulang mastoid. Fraktur-fraktur ini tidak dikaitkan dengan defisit dari nervus cranialis.

Fraktur condylus occipital adalah akibat dari trauma tumpul bertenaga besar dengan kompresi ke arah aksial, lengkungan ke lateral, atau cedera rotasi pada ligamentum alar. Fraktur jenis ini dibagi menjadi tiga tipe berdasarkan mekanisme cedera yang terjadi. Cara lain membagi fraktur ini menjadi fraktur bergeser dan fraktur stabil misalnya dengan atau tanpa cedera ligamentum yakni :

a. Fraktur tipe I, adalah fraktur sekunder akibat kompresi axial yang

41

Page 42: WRAP UP SK 2

mengakibatkan fraktur kominutif condylus occipital. Fraktur ini adalah suatu fraktur yang stabil.

b. Fraktur tipe II merupakan akibat dari benturan langsung. Meskipun akan meluas menjadi fraktur basioccipital, fraktur tipe II dikelompokkan sebagai fraktur stabil karena masih utuhnya ligamentum alae dan membran tectorial.

c. Fraktur tipe III adalah suatu fraktur akibat cedera avulsi sebagai akibat rotasi yang dipaksakan dan lekukan lateral. Ini berpotensi menjadi suatu fraktur yang tidak stabil.

Fraktur clivus digambarkan sebagai akibat dari benturan bertenaga besar yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sumber literatur mengelompokkannya menjadi tipe longitudinal, transversal, dan oblique. Fraktur tipe longitudinal memiliki prognosis paling buruk, terutama bila mengenai sistem vertebrobasilar. Biasanya fraktur tipe ini disertai dengan defisit n.VI dan n.VII.

Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe

42

Page 43: WRAP UP SK 2

transversal dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini.

(A)Transverse temporal bone fracture and (B)Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

A B

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.

Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.

Manifestasi Klinik

43

Page 44: WRAP UP SK 2

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Khusus di regio temporal, kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot temporalis. Basis Craniii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Lantai dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu: fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat lobus temporalis dan fossa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang otak dan otak kecil (serebelum).

Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis Craniii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis Craniii dan tulang kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan

44

Page 45: WRAP UP SK 2

resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Tanda/gejala klinis fraktur tulang tengkorak antara lain:

1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign) ditemukan jika frakturnya pada bagian basis Craniii fossa anterior.

2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran cairan serebro spinal (CSS) dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) dimana keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping membrane timpani tidak robek tanda ini ditemukan jika frakturnya pada bagian basis Craniii fossa media.

Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII (parase otot wajah dan kehilangan pendengaran), yang dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.

Diagnosis

Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :• Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung• Keluar darah atau cairan jernih dari telinga• Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)• Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)• Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi• Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Pemeriksaan LaboratoriumSebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.b. Pemeriksaan Radiologi• Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan daripada foto Rontgen kepala.Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat

45

Page 46: WRAP UP SK 2

memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.

• CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.• MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.

c. Pemeriksaan Penunjang Lain Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang kemudian disebut suatu “halo” atau “ring” sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.

Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis Craniii antara lain:

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, fungsi

2. Pemeriksaan radiologi

a. Foto rontgen

b. CT-scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya.

c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)

d. Pemeriksaan arteriografi

Diagnosis Banding

Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III,

46

Page 47: WRAP UP SK 2

dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital). Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :• Kongenital• Ablasi tumor atau hidrosefalus• Penyakit-penyakit kronis atau infeksi• Tindakan bedah

TERAPI

A. Penananganan Khusus

Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.

a) Fistula cairan serebrospinal:

Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.

Rinore

Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus

Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada

47

Page 48: WRAP UP SK 2

kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.

Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.

Pendekatan bedah Sinus

endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.(1)

Otore

Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)

48

Page 49: WRAP UP SK 2

Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)

Pnemocephalus:

Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.(2)

Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:

Penatalaksanaan :

1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial

Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena efek osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg

2. Mengontrol tekanan perfusi otak

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.

3. Mengontrol hematokrit

Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.

4. Obat obatan

49

Page 50: WRAP UP SK 2

Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular. Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan untuk membatasi nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.

5. Pengaturan suhu

Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala , hipertermia harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.

6. mengontrol bangkitan

Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma , menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural , adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila terjadi bangkitan.

7. Kontrol cairan

NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik . 8. posisi kepala

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan meningkatkan venous return ke jantung.

9. merujuk ke dokter bedah saraf

Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:

• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal

• Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam

• penurunan skor GCS terutama respon motoric

• tanda-tanda neurologis fokal progresif

• kejang tanpa pemulihan penuh

• cedera penetrasi

• kebocoran cairan serebrospinal(4)

A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cederaB Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri

50

Page 51: WRAP UP SK 2

C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV lineD Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutinE Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang.

Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil, dan kelemahan ekstremitas. Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis. Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT scan. Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF. Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat membantu pada paralisis nervus fasialis. Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan tindakan operasi.

Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.

Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan

51

Page 52: WRAP UP SK 2

hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang cranium tidak memerlukan tindakan operasi.

4. Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing

DEFINISISindrom Cushing merupakan kumpulan gejala-gejala berupa peningkatan berat badan yang cepat terutama pada perut (obesitas sentral) dan wajah (moon face), penumpukan lemak pada leher bagian belakang (buffalo hump), hiperhidrosis (berkeringat berlebihan), striae pada abdomen, penipisan kulit, hirsutisme, hipertensi, penurunan libido, gangguan menstruasi, dan lain-lain. Kelainan ini disebabkan oleh kelebihan hormon kortisol dalam darah. Patologi penyakit ini dijelaskan oleh Harvey Cushing pada 1932.

ETIOLOGI & PATOGENESISSecara umum penyebab dari sindrom Cushing adalah kelebihan sekresi hormon kortisol dalam darah. Namun penyebab dari berlebihnya sekresi hormon kortisol tersebut dapat berbeda-beda.

Segala kondisi yang menyebabkan peningkatan sekresi dari hormon kortisol adalah penyebab terjadinya sindrom Cushing. Sindrom Cushing ini dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan penyebabnya yaitu eksogen dan endogen. Pada umumnya sindrom Cushing disebabkan oleh penyebab eksogen yaitu administrasi glukokortikoid jangka lama (disebut juga Sindrom Cushing iatrogenik). Biasanya terapi steroid ini diberikan untuk penyakit asma atau reumatoid artritis dan terapi imunosurpresi setelah transplantasi organ. Penyebab eksogen lainnya adalah administrasi ACTH namun lebih jarang ditemukan.

Sindrom Cushing juga dapat disebabkan oleh penyebab endogen dimana terjadi kelainan pada sekresi kortisol dalam tubuh kita sendiri. Penyebab endogen sindrom Cushing ini bisa dibagi menjadi 2 macam yaitu ACTH-dependent (kelainan terdapat pada kelenjar pituitari) dan ACTH-independent (kelainan terdapat pada kelenjar adrenal) seperti dapat dilihat pada tabel di atas.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ACTH-secreting pituitary adenoma adalah penyebab tersering sindrom Cushing yang disebabkan penyebab endogen. Pada kebanyakan kasus adenoma yang terjadi adalah mikroadenoma (<10mm). ACTH-secreting pituitary adenoma bertanggung jawab atas 70% kasus sindrom Cushing endogen dan sering juga disebut Cushing disease.

Sekresi dari ACTH ektopik oleh sel tumor nonpituitari terjadi pada sekitaar 10% kasus sindrom Cushing endogen. Pada sebagian besar kasus, tumor yang menyebabkan hal ini adalah small cell carcinoma pada paru-paru. Varian ini biasa terjadi pada usia antara 40 sampai 50 tahun.

Neoplasma adrenal primer seperti adenoma adrenal dan karsinoma adrenal merupakan penyebab tersering pada sindrom Cushing ACTH-independent. Secara biokimia tanda yang bisa dilihat adalah peningkatan kortisol serum namun ACTH

52

Page 53: WRAP UP SK 2

rendah. Hiperkortisolisme pada karsinoma biasanya lebih parah daripada adenoma atau hiperplasia.

MANIFESTASI KLINIS Hiperkortisolisme mendorong penumpukan lemak ke jaringan-jaringan tertentu

khususnya pada wajah bagian atas (menyebabkan moon face), diantara tulang belikat (buffalo hump) dan mesenterik (obesitas sentral). Alasan untuk distribusi jaringan adiposa yang aneh ini belum diketahui namun diperkirakan berhubungan dengan resistensi insulin atau peningkatan kadar insulin.

Selain itu hiperkortisolisme juga menyebabkan atrofi selektif pada otot fast-twitch (tipe 2) yang berakibat pada penurunan massa otot dan kelemahan pada ekstremitas bagian proksimal. Glukokortikoid dapat menginduksi glukoneogenesis dan menghambat pengambilan glukosa oleh sel yang menyebabkan hiperglikemia, glucosuria, dan polidipsi. Efek kataboliknya menyebabkan resorpsi tulang dan hilangnya kolagen sehingga kulit menjadi tipis, mudah luka, penyembuhan luka yang buruk, dan striae. Resorpsi tulang menyebabkan osteoporosis.

Pada wanita, peningkatan androgen adrenal menyebabkan jerawat, hirsutisme, oligomenorea atau amenorea. Hipertensi sering terjadi dan dapat dijumpai perubahan emosional, mudah tersinggung dan emosi labil sampai depresi berat, bingung, atau psikosis.

TATA LAKSANA Sebagian besar kasus Sindrom Cushing merupakan kasus iatrogenik akibat

administrasi glukokortikoid jangka panjang. Jadi untuk tata laksana nya adalah memberikan terapi secara hati-hati dengan pengawasan atau menghentikan terapi glukokortikoidnya.

Pada pasien dengan adenoma pituitari ataupun adenoma adrenal, adenoma dapat dicabut (opeerasi) setelah diagnosis ditegakkan. Biasanya pasien akan membutuhkan terapi replacement steroid pascaoperasi tidak peduli dimana lokasi adenomanya. Pada pasien yang dicabut kedua kelenjar adrenalnya, replacement dapat dilakukan dengan hydrocortisone dan prednisolone.

Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis karena terjadi metastasis. Metastasis tersering terjadi di hati dan paru. Obat utama untuk karsinoma adrenal adakah mitotan. Obat ini menekan produksi kortisol dan menurunkan kadar kortisol dalam darah dan urine. Obat ini biasa diberikan 3-4 kali sehari dengan dosis ditingkatkan bertahap 8-10g perhari.

DAFTAR PUSTAKA

53

Page 54: WRAP UP SK 2

1. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.

2. Anonym,Epiduralhematoma,www.braininjury.com/epidural-subdural-hematoma.html.

3. Anonym,Epidural hematoma,http://www.nyp.org

4. Anonym, Intracranial Hemorrhage, http://www.ispub.com

5. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22

6. Ekayuda I., Angiografi, Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006, 359-366

7. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819

8. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, http://www.emedicine.com9. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 31410. Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi

Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-25911. Price D., Epidural Hematoma,

http://www.emedicine.com12. Sain I, Asuhan Keperawatan Klien Dengan Trauma Kapitis,

http://iwansain.wordpress.com/200713. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranio Serebral, Updates

In Neuroemergencies, Tjokronegoro A., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2002, 80

14. Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging, fifth edition, Churchill Living Stone, London,1993, 1423

54

Page 55: WRAP UP SK 2

55