pokjainklusifkalteng.files.wordpress.com · Web viewModel Laporan Hasil Belajar (Raport) Jakarta,...
Transcript of pokjainklusifkalteng.files.wordpress.com · Web viewModel Laporan Hasil Belajar (Raport) Jakarta,...
PEDOMAN KHUSUSPENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
PENGEMBANGAN KURIKULUM
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL
MANAJEMAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAHDIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA
TAHUN 2007
1
KATA PENGANTAR
Dalam rangka mensukseskan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan
perwujudan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus perlu lebih
ditingkatkan.
Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak di selenggarakan secara
segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Sementara itu
lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada di ibu kota kabupaten, padahal anak-anak
berkebutuhan khusus banyak tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya
sebagian anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB dan SDLB
yang ada jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah umum belum memiliki kesiapan
untuk menerima anak berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu untuk memberikan
pelayanan kepada ABK di sekolahnya.
Untuk itu perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan dan peluang kepada anak
berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum (SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, dan SMK/MAK), yang disebut “Pendidikan Inklusif”. Untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam implementasi pendidikan inklusiff, maka pemerintah
melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa menyusun naskah Prosedur Operasi
Standar Pendidikan Inklusif. Selanjutnya, dari naskah ini dikembangkan ke dalam beberapa
pedoman yang terdiri atas:
1. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
2. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:
1) Pedoman Khusus Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.
2) Pedoman Khusus Pengembangan Kurikulum.
3) Pedoman Khusus Kegiatan pembelajaran.
4) Pedoman Khusus Penilaian.
5) Pedoman Khusus Manajemen Sekolah.
6) Pedoman Khusus Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Pendidik.
7) Pedoman Khusus Pemberdayaan Sarana dan Prasarana
8) Pedoman Khusus Pemberdayaan Masyarakat.
9) Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling
3. Suplemen Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:1) Model Program Pembelajaran Individual2) Model Modifikasi Bahan Ajar
2
3) Model Rencana Program Pembelajran4) Model Media Pembelajaran5) Model Program Tahunan6) Model Laporan Hasil Belajar (Raport)
Jakarta, Juni 2007
Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa
Ekodjatmiko Sukarso
NIP. 130804827
3
KATA SAMBUTAN
Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun disemangati
oleh seruan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai
kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal Tahun 2000, penuntasan EFA
diharapkan tercapai pada Tahun 2015.
Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara
untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Sedang pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan
Salamanca Tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education Fol All
dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk menggalakkan
pendekatan pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolah–sekolah reguler
dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus. Di
Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 telah dirintis
pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif yang melayani Penuntasan Wajib
Belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Pendidikan terpadu yang ada pada saat ini diarahkan untuk menuju pendidikan inklusif sebagai wadah
yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua, terutama anak-anak
yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk
memperoleh pendidikan layaknya seperti anak-anak lain. Sebagai wadah yang ideal, pendidikan
inklusif memiliki empat karakteristik makna yaitu: (1) Pendidikan Inklusif adalah proses yang
berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, (2)
Pendidikan inklusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam
belajar, (3) Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan utuk hadir (di
sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan (4)
Pendidikan inklusif diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan
membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.
Akses pendidikan dengan memperhatikan kriteria yang terkandung dalam makna inklusif masih sangat
sulit dipenuhi. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam melaksanakan usaha pemerataan
kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus baru merupakan rintisan awal menuju pendidikan
4
inklusif. Sistem pendekatan pendidikan inklusif diharapkan dapat menjangkau semua anak yang
tersebar di seluruh nusantara.
Untuk itu, maka kebijakan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi anak yang
memerlukan layanan pendidikan khusus diakomodasi melalui pendekatan ”Pendidikan Inklusif”.
Melalui pendidikan ini, penuntasan Wajib Belajar dapat diakselerasikan dengan berpedoman pada azas
pemerataan serta peningkatan kepedulian terhadap penanganan anak yang memerlukan layanan
pendidikan khusus.
Sebagai embrio, pendidikan terpadu menuju pendidikan inklusif telah tumbuh di berbagai kalangan
masyarakat. Ini berarti bahwa tanggungjawab penuntasan wajib belajar utamanya bagi anak yang
memiliki kebutuhan pendidikan khusus telah menjadi kepedulian dari berbagai pihak sehingga dapat
membantu anak-anak yang berkebutuhan khusus dalam mengakses pendidikan melalui ”belajar
untuk hidup bersama dalam masyarakat yang inklusif”.
Agar dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan,
maka Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa telah menyusun pedoman pendidikan inklusif.
Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan buku pedoman ini dan semoga buku ini dapat bermanfaat serta berguna bagi semua pihak.
Jakarta, Juni 2007Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Prof. H. Suyanto, Ph. DNIP. 130606377
5
DAFTAR ISI
PRAKATAKATA SAMBUTANDAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUANA. Latar BelakangB. Tujuan Penulisan C. Difersifikasi Kurikulum
BAB II KURIKULUM, PESERTA DIDIK, DAN PROGRAM
PEMBELAJARAN INDIVIDUAL
A. KurikulumB. Peserta DidikC. Program Pembelajaran Individual
BAB III PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM DALAM PROGRAM INKLUSIFA. Dasar Pengembangan Kurikulum B. Tujuan Pengembangan KurikulumC. Model Pengembangan Kurikulum D. Implementasi Pengembangan Kurikulum dalam Setting Inklusif
6
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU
No. 20 Tahun 2003, Pasal 3). Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut,
perlu dikembangkan model kurikulum yang dapat menjamin berkembangnya potensi semua
peserta didik. Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan inklusif yang memberikan
kesempatan kepada semua anak belajar bersama-sama di sekolah umum dengan
memperhatikan keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat
berkembang secara optimal.
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua anak belajar bersama-sama di sekolah umum dengan memperhatikan
keragaman dan kebutuhan individual, sehingga potensi anak dapat berkembang secara
optimal.
Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk
mewujudkan tujuan pendidikan. Melalui kurikulum, sumber daya manusia dapat diarahkan,
dan kemajuan suatu bangsa akan ditentukan. Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan
tahap perkembangan peserta didik, kebutuhan pembangunan nasional, serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejak akhir milenium kedua ada kecenderungan penyelenggaraan pendidikan bagi peserta
didik berkebutuhan khusus dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Pendidikan semacam
ini disebut pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menyertakan
semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses pembelajaran dengan
layanan pendidikan yang layak dan sesuai kebutuhan individu peserta didik tanpa
7
membeda-bedakan anak yang berasal dari latar belakang etnik/suku, kondisi sosial,
kemampuan ekonomi, afiliasi politik, bahasa, geografis (keterpencilan) tempat tinggal, jenis
kelamin, agama/kepercayaan, dan perbedaan kondisi fisik atau mental. Dalam kebersamaan
tersebut perlu ada penyesuaian komponen-komponen pendidikan terhadap kebutuhan
khusus peserta didik.
Pendidikan inklusif sebagai wacana baru dalam bidang pendidikan memerlukan pedoman
dalam sistem penyelenggaraannya. Sehubungan dengan hal tersebut perlu disusun pedoman
dalam pengembangan kurikulum dalam penyelenggaraan sekolah inklusif.
B. Tujuan Penulisan Buku
Buku ini disusun sebagai pedoman bagi para pembaca terutama para pembina dan
pelaksana pendidikan dan diharapkan mampu mengembangkan kurikulum (program
pembelajaran) pendidikan inklusif.
C. Diversifikasi Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum berisi seperangkat
rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan
daerah dan sekolah.
Dalam hal ini diversifikasi kurikulum diperlukan mengingat keberagaman karakteristik
peserta didik, daerah dan sekolah sehingga cara penyampaian dan pencapaian kompetensi
harus disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah, Jadi, pengertian
diversifikasi kurikulum adalah pelayanan pendidikan dengan cara menyesuaikan,
memperluas, dan memperdalam kompetensi dan materi pelajaran dalam rangka untuk
melayani keberagaman penyelenggaraan satuan pendidikan, kebutuhan serta kemampuan
daerah dan sekolah ditinjau dari segi geografis, budaya, serta kemampuan, kebutuhan dan
8
minat serta potensi peserta didik. Diversifikasi kurikulum yang melayani keberagaman
kemampuan peserta didik ini dikelompokkan ke dalam: normal, sedang, dan rendah.
Diversifikasi kurikulum yang melayani minat peserta didik dan kebutuhan daerah dirancang
oleh daerah dan sekolah. Diversifikasi kurikulum juga dilaksanakan untuk melayani peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena adanya
kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. Diversifikasi kurikulum juga perlu dilaksanakan untuk melayani peserta didik
dari daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi
9
BAB II
KURIKULUM, PESERTA DIDIK, DAN
PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL
A. Kurikulum
Dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 1 angka 19 disebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, teknik penilaian, serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional telah menetapkan Standar Isi dan Standar Kompetensi lulusan, yang
meliputi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Untuk pengembangan
kurikulum selanjutnya diserahkan pada satuan pendidikan masing-masing yang nantinya
dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Substansi pengembangan
kurikulum yang lebih rinci dilakukan berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan, Standar
Kelompok Mata Pelajaran, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran. Kurikulum ini
dikembangkan di tingkat satuan pendidikan dengan mengingat kondisi daerah dan kondisi
kemampuan peserta didik.
B. Peserta Didik
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif memiliki peserta didik yang berbeda
dengan sekolah lain pada umumnya. Ada tiga hal yang perlu dibahas sekilas tentang peserta
didik sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, yaitu: pengertian peserta didik
berkebutuhan khusus dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa;
karakteristik dan kebutuhan khusus peserta didik; dan tingkat kecerdasan.
10
1. Pengertian Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan/
perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan/penyimpangan (phisik,
mental-intelektual, sosial, emosional) dibanding dengan anak-anak lain seusianya
sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Jika peserta didik yang
mengalami kelainan atau penyimpangan yang tidak signifikan dan telah dapat dikoreksi
dengan alat bantu tidak memerlukan pendidikan khusus, peserta didik tersebut tidak
termasuk peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Untuk keperluan pendidikan inklusif, peserta didik berkebutuhan khusus atau yang
memiliki kelainan dapat dikelompokkan menjadi: khusus yang dapat dilayani melalui
pendidikan inklusif diantaranya, cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, cerdas dan
atau berbakat istimewa, anak yang tinggal di daerah terpencil/terbelakang, suku
terasing, korban bencana alam/sosial, kemiskinan, warna kulit, gender, ras, bahasa,
budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu,
anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat
dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis,
anak terkena dampak narkoba HIV/AIDS (ODHA), anak gelandangan dan nomaden, dll
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
2. Hambatan-hambatan peserta didik berkebutuhan khusus
Setiap peserta didik berkebutuhan khusus memiliki hambatan-hambatan tertentu yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan hambatan-hambatan tersebut
juga menggambarkan adanya perbedaan kebutuhan layanan pendidikan bagi setiap
peserta didik, baik yang berkaitan dengan kemampuan/kesanggupan maupun
ketidakmampuan peserta didik secara individual.
Untuk keperluan pengembangan pengajaran pendidikan inklusif, kebutuhan khusus
peserta didik perlu dilakukan asesmen dan identifikasi keunggulan dan hambatan-
hambatannya serta kebutuhan khusus peserta didik.
11
C. Program Pendidikan/Pembelajaran Individual
Guru kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru Pendidikan Luar
Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh) sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran
bagi peserta didik berkebutuhan khusus terlebih dahulu perlu menjabarkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar dalam rencana pembelajaran reguler, modifikasi
pembelajaran serta program pengajaran individual (PPI) untuk anak berkebutuhan khusus.
PPI merupakan rencana pengajaran yang dirancang untuk satu orang peserta didik yang
berkebutuhan khusus atau yang memiliki kecerdasan/bakat istimewa. PPI harus merupakan
program yang dinamis artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta
didik, dan disusun oleh sebuah tim terdiri dari orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata
pelajaran, guru pendidikan khusus/ PLB, dan peserta didik yang bersangkutan yang disusun
secara bersama-sama.
Idealnya PPI tersebut disusun oleh tim terdiri dari Kepala Sekolah, Komite Sekolah,
Tenaga ahli dan Profesi terkait, orang tua/wali murid, guru kelas, guru mata pelajaran dan
guru pendidikan khusus/PLB, serta peserta didik yang bersangkutan.
a. Prinsip-Prinsip PPI
1) Berorientasi pada peserta didik
2) Sesuai potensi dan kebutuhan anak
3) Memperhatikan kecepatan belajar masing-masing
4) Mengejar ketertinggalan dan mengoptimalkan kemampuan
b. Komponen PPI secara garis besar meliputi:
1) Deskripsi tingkat kemampuan peserta didik sekarang,
2) Tujuan jangka panjang (umum) dan tujuan jangka pendek (khusus),
3) Rincian layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang terkait, termasuk
Seberapa besar peserta didik dapat berpartisipasi di kelas reguler,
4) Sasaran
5) Metode
6) Ketercapaian sasaran
7) Evaluasi
12
BAB III
PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI KURIKULUM
DALAM PROGRAM INKLUSIF
A. Dasar Pengembangan Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan program inklusif pada dasarnya adalah
menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena
ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai
dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya di
lapangan, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kebutuhan peserta didik.
Untuk melakukan modifikasi dan pengembangan kurikulum dalam program inklusif harus
mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun perundang-
undangan yang menjadi landasan dalam pengembangan dan implementasi kurikulum dalam
program inklusif, antara lain sebagai berikut.
1. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya:
a. Pasal 5 ayat (1): setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu
b. Pasal 5 ayat (2): warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.
c. Pasal 5 ayat (3): warganegara di daerah terpencil atau terbelakang,
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus.
d. Pasal 5 ayat (4): warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
e. Pasal 6 ayat (1) setiap warganegara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar
f. Pasal 12 ayat (1.b): setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan
kemampuannya.
13
g. Pasal 36 ayat (1): pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
h. Pasal 36 ayat (2): kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, serta peserta didik.
i. Penjelasan Pasal 15: Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki
kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
2. Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
khususnya:
a. Pasal 1 ayat (13): Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
b. Pasal 1 ayat (15): Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan.
c. Pasal 17 ayat (1): Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB,
SMP/MTS/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK atau bentuk lain yang
sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta
didik.
d. Pasal 17 ayat (2): sekolah dan komite sekolah atau madrasah dan komite
madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di
bawah supervisi Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang
pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK dan Departemen yang menangani
urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.
3. Peraturan Mendiknas No. 22/2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
4. Peraturan Mendiknas No. 23/2006 tanggal 23 Mei 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
14
5. Peraturan Mendiknas No. 24/2006 tanggal 2 Juni 2006 tentang Pelaksanaan
Peraturan Mendiknas No. 22/2006 dan No. 23/2006.
B. Tujuan Pengembangan Kurikulum
1. Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan
belajar yang dialami semaksimal mungkin dalam setting sekolah inklusif
2. Membantu guru dan orang tua dalam mengembangkan program pendidikan bagi
peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di sekolah maupun di
rumah.
3. Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan, menilai dan
menyempurnakan program pendidikan inklusif.
C. Model Pengembangan Kurikulum
1. Model kurikulum umum (reguler)
Pada model kurikulum ini peserta didik berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum
umum, sama seperti peserta didik lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan
khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan
ketekunan belajarnya.
2. Model kurikulum umum dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini ABK menggunakan kurikulum perpaduan antara kurikulum
umum dengan kurikulum PPI. Operasional pengembangan kurikulum ini, dilakukan
dengan cara memodifikasi kurikulum umum disesuaikan dengan potensi dan
karakteristik ABK. Dengan kurikulum modifikasi ini diharapkan ABK dapat mengikuti
pembelajaran pada kelas umum secara klasikal bersama anak-anak umum lainnya.
3. Model kurikulum yang diindividualisasikan
Pada model kurikulum ini, ABK menggunakan kurikulum yang diindivualisasikan,
dalam format program pendidikan individual (PPI). Sesuai dengan sifat dan
karakteristiknya, kurikulum ini sering disebut model kurikulum PPI, yang
dikembangkan secara khusus oleh guru pendidikan khusus di sekolah inklusif.
Model kurikulum PPI ini dipersiapkan untuk ABK yang tidak dapat mengikuti
kurikulum umum maupun kurikulum modifikasi. Standar kompetensi dalam kurikulum
PPI dirumuskan berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan oleh guru pendidikan
khusus bersama tim ahli terkait.
15
D. Implementasi Pengembangan Kurikulum dalam Setting Inklusif
Implementasi pengembangan kurikulum dari ketiga model di atas dituangkan dalam format
lampiran berikut.
16