ydrika69.files.wordpress.com€¦  · Web viewMetabolisme atau biotransformasi adalah reaksi...

32
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I PERCOBAAN II METABOLISME OBAT Disusun Oleh: Mudrika Yulianti E0014016 Tingkat IA Laboratorium Farmakologi Program Studi S1 Farmasi

Transcript of ydrika69.files.wordpress.com€¦  · Web viewMetabolisme atau biotransformasi adalah reaksi...

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I

PERCOBAAN II

METABOLISME OBAT

Disusun Oleh:

Mudrika Yulianti

E0014016

Tingkat IA

Laboratorium Farmakologi

Program Studi S1 Farmasi

STIKes Bhakti Mandala Husada Slawi

2015

PERCOBAAN II

METABOLISME OBAT

A. TUJUAN PRAKTIKUM

Mahasiswa dapat mempelajari senyawa kimia terhadap enzim metabolisme obat dengan mengukur efek farmakiloginya.

B. DASAR TEORI

Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah obat dalam tubuh dapat berkurang karena proses metabolisme dan ekskresi. Hati merupakan organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif mengeksresi obat yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami reabsorpsi di tubulus setelah melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat yang lipofil harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya reabsorpsinya berkurang sehingga mudah diekskresi.

Dasar Teori Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresikan dari dalam tubuh. (Arief, 2000).

Metabolisme obat mempunyai dua efek penting yaitu :

1. Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat ekskresinya melalui ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal.

2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama aktifnya (atau lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai contoh, diazepam (obat yang digunakan untuk mengobati ansietas) dimetabolisme menjadi nordiazepam dan oxazepam, keduanya aktif. (Neal, 2005).

Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat dibedakan  berdasarkan letaknya dalam sel, yaitu enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi invitro membentuk kromosom) dan enzim non mikrosom. Kedua enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain, misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang dihasilkan flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, reaksi reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).

Walaupun antara metabolisme dan biotransformasi sering dibedakan, sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya diperuntukkan bagi perubahan- perubahan biokimia atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen, sedangkan biotransformasi adalah peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika) (Anonim,1999)

Pada dasarnya,tiap obat merupakan zat asing bagi badan yang tidak diinginkan, maka badan berusaha merombak zat tadi menjadi metabolit sekaligus bersifat hidrofil agar lebih lancar diekskresi melalui ginjal. Jadi reaksi biotransformasi adaah merupakan peristiwa detoksifikasi (Anief,1984)

Obat lebih banyak dirusak di hati meskipun setiap jaringan mempunyai sejumlah kesanggupan memetabolisme obat. Kebanyakan biotransformasi metabolik obat terjadi pada titik tertentu antara absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik dan pembuangannya melalui ginjal. Sejumlah kecil transformasi terjadi di dalam usus atau dinding usus. Umumnya semua reaksi ini dapat dimasukkan ke dalam dua katagori utama, yaitu reaksi fase 1 dan fase 2 (Katzung, 1989).

1. Reaksi Fase I (Fase Non Sintetik).

Reaksi ini meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang lebih polar melalui  pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional (misalnya – OH, -NH2, -SH). (Neal, 2005).

Reksi fase I bertujuan untuk menyiapkan senyawa yang digunakan untuk metabolisme fase II dan tidak menyiapkan obat untuk diekskresi. Sistem enzim yang terlibat  pada reksi oksidasi adalah sistem enzim mikrosomal yang disebut juga sistem Mixed Function Oxidase (MFO) atau sistem monooksigenase. Komponen utama yang berperan pada sistem MFO adalah sitokrom P450, yaitu komponen oksidase terminal dari suatu sistem transfer elektron yang berada dalam retikulum endoplasma yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi oksidasi obat dan digolongkan sebagai enzim yang mengandung hem (suatu hem protein) dengan protoperfirin IX sebagai gugus prostatik. (Gordon dan Skett, 1991).

Reaksi-reaksi yang termasuk dalam fase I antara lain:

a) Reaksi Oksidasi

Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masing-masing struktur kimianya, yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan alkil, aril, dan heterosiklik; reaksi oksidasi alkohol dan aldehid; reaksi pembentukan N-oksida dan sulfoksida; reaksi deaminasi oksidatif;  pembukaan inti dan sebagainya.

Reaksi oksidasi dibagi menjadi dua, yaitu oksidasi yang melibatkan sitokrom P450 (enzim yang bertanggungjawab terhadap reaksi oksidasi) dan oksidasi yang tidak melibatkan sitokrom P450. (Anonim, 1999).

b) Reaksi Reduksi (reduksi aldehid, azo dan nitro).

Reaksi ini kurang penting dibanding reaksi oksidasi. Reduksi terutama berperan pada nitrogen dan turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada karbon. Hanya beberapa obat yang mengalami metabolisme dengan jalan reduksi, baik dalam letak mikrosomal maupun non mikrosomal. (Anonim, 1999).

c) Reaksi Hidrolisis (deesterifikasi).

Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah hidrolisis dari ester dan amida oleh enzim. Esterase yang terletak baik mikrosomal dan nonmikrosomal akan menghidrolisis obat yang mengandung gugus ester. Di hepar,lebih banyak terjadi reaksi hidrolisis dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis peptidin oleh suatu enzim. Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan beberapa jaringan.

(Anief, 1995).

2. Reaksi Fase II (Fase sintetik).

Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat atau metabolit fase I nya dengan zat endogen. Konjugat yang dihasilkan hampir selalu kurang aktif dan merupakan molekul polar yang mudah diekskresi oleh ginjal. (Neal, 2005).

Reaksi konjugasi bekerja pada berbagai substrat alamnya dengan proses enzimatik terikat  pada gugus reaktif yang telah ada sebelumnya atau terbentuk pada fase I. reaksi yang terjadi pada fase II ini ini meliputi konjugasi glukoronidasi, asilasi, metilasi,  pembentukan asam merkapturat, dan konjugasi sulfat. (Gordon dan Skett, 1991).

Reaksi fase II terdiri dari :

a) Konjugasi asam glukoronat

Konjugasi dengan asam glukoronat merupakan cara konjugasi umum dalam proses metabolisme. Hampir semua obat mengalami konjugasi ini karena sejumlah besar gugus fungsional obat dapat berkombinasi secara enzimatik dengan asam glukoronat dan tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah yang cukup pada tubuh. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Koenzim antara (UDPGA : uridine diphosphoglucorinic acid) bereaksi dengan obat dengan bantuan enzim UDP glukoronosil-transferase (UGT) untuk memindahkan glukoronida ke atom O pada alkohol, fenol, atau asam karboksilat; atau atom S pada senyawa tiol; atau atom N  pada senyawa2 amina dan sulfonamida.

b) Metilasi

Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses biosintesis beberapa senyawa endogen, seperti norepinefrin, epinefrin, dan histaminserta untuk  proses bioinaktivasi obat. Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah S-adenosil-metionin(SAM). Reaksi ini dikatalis oleh enzim metiltransferase yang terdapat dalam sitoplasma dan mikrosom. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).  

c) Konjugasi Sulfat

Terutama terjadi pada senyawa yang mengandung gugus fenol dan kadang-kadang juga terjadi pada senyawa alkohol, amin aromatik dan senyawa N-hidroksi. Konjugasi sulfat pada umumnya untuk meningkatkan kelarutan senyawa dalam air dan membuat senyawa menjadi tidak toksik. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

d) Asetilasi

Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amin primer, sulfonamida, hidrasin, hidrasid, dan amina alifatik primer. Fungsi utama asetilasi adalah membuat senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi.(Siswandono dan Soekardjo, 2000)

Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase tersebut ada obat yang mengalami reksi fase I saja(satu atau beberapa macam reaksi ) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi), tetapi kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit. Misalnya, fenobarbital membutuhkan reaksi fase I sebagai persyaratan reaksi konjugasi.

Glukuronid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol, atau asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu. Glukuronid yang diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim β-glukuronidase yang dihasilkan oleh  bakteri usus dan obat dibebaskan dapat diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat. (Syarif, 1995)

Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat meningkat, hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian tinggi hingga seluruh molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati terus-menerus oleh molekul obat dan tercapai kecepatan biotransformasi yang konstan. (Tan Hoan Tjay dkk, 1978).

Disamping konsentrasi adapula beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi, yaitu

1. Faktor intrinsik

Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat, lipofilitas, dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama yang lipofil dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati. Sebaliknya dikenal  pula obat yang menghambat atau menginaktifkan enzim tersebut, misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral, sulfonamide, antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram. (Tan Hoan Tjay dkk, 1978).

2. Faktor fisiologi

Meliputui sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti: jenis atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.

· Perbedaan spesies dan galur

Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada  perbedaan yang cukup besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan  pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat sudah  banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya atau perbedaan kuantitatif. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

· Faktor Genetik

Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan terhadap kecepatan metabolisme obat. (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

· Perbedaan umur

Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang muda. (Neal, 2005).  

· Perbedaan Jenis Kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal dimetabolisme secara berbeda  pada pria dan wanita.

3. Faktor Farmakologi

Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor. Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme (deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek farmakologinya berkurang dan sebaliknya.

4. Faktor Patologi

Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita stroke,  pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis akan mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2) akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat-obat lain.

5. Faktor makanan

Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi enzim CYP1A, sedang jus  buah anggur diketahui menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap substrat obat yang diberikan secara bersamaan.

6. Faktor lingkungan

Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret memetabolisme  beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian mempersulit penentuan dosis yang efektif dan aman dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit

PROFIL OBAT

1. Petidhine

Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.

a. Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.

b. Farmakokinetik

Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

c. Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.

2. Cimetidin

Cimetidin merupakan antihistamin paenghambat reseptor Histamin H2 yang berperan dalam efek histamine terhadap sekresi cairan lambung.

a. Farmakodinamik 

Cimetidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung srhingga pada pemberian Cimetidin sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi cimetidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak  begitu penting.Walaupun tidak lengkap cimetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat muskarinik atau gastrin. Cimetidin mengurangi volume dan kadar ion hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.

b. Farmakokinetika

Cimetidin Bioavailabilitas cimetidin sekitar 70 % sama dengan pemberian IV atau Im ikatan  protein plasma hanya 20 %.Absorbsi simetidin diperlambat oleh makanan sehingga cimetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode paska makan. Absorpsi terutama terjadi pada menit ke 60 -90. Cimetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2 jam.

c. Interaksi Obat

Cimetidin terikat ole sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, sehingga obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama Cimetidin

Contohnya: warfarin, fenitoin, kafein, fenitoin, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol dan imipramin. Simetidin dapat menghambat alkhohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan alkohol serum. Obat ini tak tercampurkan dengan barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal.

d. Indikasi

Cimetidin digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui secara jelas. Efek penghambatannya selama 24 jam, Cimetidin 1000 mg/hari menyebabkan penurunan kira-kira 50%, sedangkan terhadap sekresi malam hari, menyebabkan penghambatan 70% dan 90%.

C. ALAT DAN BAHAN

1. Alat

a) Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)

b) Jerum berujung tumpul (jarum peroral)

c) Sarung tangan

d) Masker

e) Stopwatch

f) Keranjang

g) Baskom

h) Lap/serbet

2. Bahan

a) Mencit

b) Petidhin 50 mg/Ml

c) Smetidhine 200 mg

d) Alkohol

D. CARA KERJA

(Satu kelas dibagi 3 kelompok masing-masing mendapat 3 mencit mencit)

(Kelompok 1(tanpa pra perlakuan)Diberikan injeksi petidhin secara ipAmati onset dan durasi) (Kelompok 2(perlakuan selama 3hari sebelum praktikum)Diberikan simetidin secara peroral selama 3 hari Diberikan injeksi petidin waktu hari praktikum secara ipAmati onset dan durasi) (Kelompok 3(perlakuan 1jam sebelum praktikum)Diberikan simetidin i jam sebelum praktikum secara peroralDiberikan injeksi petidin waktu hari praktikum secara ip.Amati onset dan durasi)

(Catat data hasil percobaan, lalu bandingkan hasil percobaan secara statistic menggunakan analisa anova)

E. HASIL PRAKTIKUM

Mencit

CPO

Onset

Durasi

M1

M2

M3

M1

M2

M3

Tanpa pra perlakuan

35

6

39

37

90

Perlakuan 3 hari sebelum praktikum

8

9

15

51

24

20

Perlakuan 1 jam sebelum praktikum

2

13

10

10

27

20

Perhitungan anova

1) Onset

Mencit

CPO

X1

X2

X3

X12

X22

X33

Tanpa pra perlakuan

36

6

39

1225

36

1521

Perlakuan 3 hari

8

9

15

64

81

225

Perlakuan 1 jam

2

13

10

4

169

100

TC

45

28

64

(∑X)

137

NC

3

3

3

N

9

Jumlah Kuadrat

1293

286

1848

∑(X)2

3425

· Jumlah kuadrat perlakuan (SST)

SST = ∑

=

=

=

= 2301,67 – 2085,44

= 216,23

· Jumlah kuadrat kesalahan (SSE)

SSE =

= 3425 – 2301,67

=1123,33

· Keseragaman total (SS Total)

SS Total= SST + SSE

= 216,23 + 1123,33

= 1339,56

· Masukan dalam tabel anova

Sumber keseragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

(1)/(2)

Antar perlakuan

SST = 216,23

DK1 = K–1

= 3–1

= 2

MSTR = SST/ Dk1

= 216,23/2

= 108,115

Kesalahan (dalam perlakuan)

SSE = 1123,33

DK2 = N–K

= 9–3

= 6

MSE = SSE/ Dk2

= 1123,33/ 6

= 187,22

SS Total

1339,56

· F hitung = 0

· F tabel pada α = 0,05 dk1= 2 dan dk2 = 6 adalah 5,1432

· F tabel = 5, 1432

· F hitung ˂ f tabel

Kesimpulan : Ho diterima tidak ada perbedaan yang nyata antara rata- rata hitung dari berbagai cara pemberian obat.

2) Durasi

Mencit

CPO

X1

X2

X3

X12

X22

X33

Tanpa pra perlakuan

37

90

1369

8100

Perlakuan 3 hari

51

24

20

261

576

400

Perlakuan 1 jam

10

27

20

100

729

400

TC

88

130

(∑X)

NC

3

3

3

N

Jumlah Kuadrat

2674

8900

∑(X)2

· Jumlah kuadrat perlakuan (SST)

SST = ∑

=

=

=

= 13340 – 12966

= 374

· Jumlah kuadrat kesalahan (SSE)

SSE =

= 17704 – 13340

=4364

· Keseragaman total (SS Total)

SS Total= SST + SSE

= 374 + 4364

= 4738

· Masukan dalam tabel anova

Sumber keseragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat tengah

(1)/(2)

Antar perlakuan

SST = 374

DK1 = K–1

= 3–1

= 2

MSTR = SST/ Dk1

= 374/2

= 187

Kesalahan (dalam perlakuan)

SSE = 4364

DK2 = N–K

= 9–3

= 6

MSE = SSE/ Dk2

= 4364/ 6

= 727,33

SS Total

4738

· F hitung = 0

· F tabel pada α = 0,05 dk1= 2 dan dk2 = 6 adalah 5,1432

· F tabel = 5, 1432

· F hitung ˂ f tabel

Kesimpulan : Ho diterima tidak ada perbedaan yang nyata antara rata- rata hitung dari berbagai cara pemberian obat.

F. PEMBAHASAN

Tujuan praktikum kali ini adalah untuk mempelajari tentang proses metabolisme obat dalam tubuh (hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji karena mempunyai sistem metabolisme menyerupai manusia, lebih ekonomis, mudah didapatkan, dan metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan.

Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Jumlah obat dalam tubuh dapat berkurang karena proses metabolisme dan ekskresi. Hati merupakan organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif mengeksresi obat yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami reabsorpsi di tubulus setelah melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat yang lipofil harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya reabsorpsinya berkurang sehingga mudah diekskresi.

Tujuan metabolisme obat adalah untuk mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi lebih polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal dan empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif. Tapi sebagian  berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug),kurang aktif,atau menjadi toksik.

Adapun faktor-farmakodinamik yang mempengaruhi aktifitas metabolisme obat, yaitu :

1. Sitokrom P450 yang merupakan enzim pereduksi

2. Pembentukan metabolit yang dapat memberikan efek farmakologi yang lebih kompleks dibanding obat awalnya.

3. Lokasi atau tempat kerja dari metabolit yang dihasilkan

4. Perbedaan antara profil farmakokinetik dan farmakodinamik dari metabolit aktif dan obat awal. Perbedaan ini menyebabkan konsentrasi dan intensitas efek farmakologik metabolit dan obat awal sulit dibedakan.

Efek obat kadang–kadang ditimbulkan oleh metabolitnya. Metabolit itu mempunyai peran penting sebagai obat oleh karena :

a. Metabolit kemungkinan menimbulkan toksisitas atau efek samping lebih rendah dibanding pro-drugnya.

b. Secara umum metabolit mengurangi variasi respon klinik dalam populasi yang disebabkan perbedaan kemampuan metabolisme oleh individu-individu atau oleh adanya penyakit tertentu

Senyawa kimia yang mempengaruhi enzim metabolisme antara lain, induktor dan inhibitor. Induktor adalah senyawa kimia yang dapat mempercepat kerja dari enzim metebolisme. Inhibitor adalah sentawa kimia yang dapat menghambat kerja dari enzim metabolisme.

Percobaan ini diawali dengan pembagian kelompok menjadi 3 yaitu tanpa pra perlakuan, pra perlakuan selama 3 hari dan dan pra perlakuan 1 jam sebelum praktikum.

Obat yang digunakan pada percobaan ini adalah simetidin dan petidhin. Petidin merupakan narkotika sintetik derivat fenilpiperidinan dan terutama berefek terhadap susunan saraf pusat. Mekanisme kerja petidin menghambat kerja asetilkolin (senyawa yang berperan dalam munculnya rasa nyeri) yaitu pada sistem saraf serta dapat mengaktifkan reseptor, terutama pada reseptor µ, dan sebagian kecil pada reseptor kappa. Sedangkan simetidin merupakan antihistamin paenghambat reseptor Histamin H2 yang berperan dalam efek histamine terhadap sekresi cairan lambung. Petidhin dapat meningkatkan kerja sitokrom p-450 serta meningkatkan kecepatan beberapa reaksi metabolisme. Fungsi ini berkebalikan dengan fungsi atau efek yang ditimbulkan oleh obat Simetidin, di mana Simetidin merupakan antagonis reseptor-H2 yang dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450 dalam memetabolisme obat–obat lain. Hal ini dapat menyebabkan metabolisme obat lain terganggu. Jadi, alasan digunakan obat petidhin dan cimetidin pada percobaan ini adalah karena efeknya yang berlawanan dalam proses metabolisme obat dan akan diamati pengaruhnya jika kedua obat tersebut diberikan secara bersamaan.

Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Durasi adalah waktu lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Pada kelompok satu dilakukan dengan tanpa pra perlakuan menghasilkan rata–rata waktu onset 26 menit dan durasi 63 menit.

Pada kelompok 2 dilakukan pra perlakuan selama 3 hari sebelum praktikum. Jenis pra perlakuan yang diberikan adalah adalah pemberian simetidin tablet yang diencerkan dengan 10 ml air. Larutan yang diberikan adalah 10 ml. Hal ini bertujuan untuk memperkecil konsentrasi obat, sebab konsentrasi obat yang digunakan merupakan dosis obat untuk manusia, sedangkan yang akan diberikan obat pada percobaan kali ini adalah mencit, sehingga kadar obat harus dikurangi mengikuti dosis mencit. Selanjutnya pada hari praktikum pada jam yang sama diberikan injeksi petidin secara intra peritoneal. Waktu rata–rata onset yang dihasilkan adalah 10 menit dan durasi 31 menit. Hal ini membuktikan bahwa pemberian simetidin dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450 yang merupakan enzim yang berperan dalam proses metabolisme pada obat petidhin. Terhambatnya aktivitas enzim tersebut menyebabkan metabolisme obat petidin terganggu sehingga efek terapeutik yang dihasilkanpun kurang optimal.

Pada kelompok 3 pra perlakuan yang dilakukan adalah 1 jam sebelum praktikum. Obat yang diberikan sama yaitu larutan simetidin secara peroral. Waktu rata–rata onset yang dihasilkan adalah 8 menit dan durasi 19 menit. Antara pra perlakuan 3 hari dan 1 jam lebih cepat yang 1 jam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil antara lain:

1. Cara pemberian obat

Cara pemberian sangat berpengaruh karena pemberian obat yang tidak tepat akan mempengaruhi dosis dari obat itu sendiri, bahkan terjadi kesalahan dalam penyuntikan kepada hewan uji. Cara pemberian obat haruslah tepat dan benar.

2. Dosis

Dosis yang diberikan berkaitan dengan cara pemberian obat, terkadang dosis yang diberikan bisa melebihi atau kurang dari yang telh diperhitungkan, sehingga reaksi yng terjadi pada hewan uji tidak sesuai dengan teori karena obat tidak bekerja dengan semestinya.

3. Kondisi hewan uji

Secara umum mungkin sulit untuk mngetahui kondisi dari hewan uji,  jika hewan uji dalam keadaan sakit maka ini akan sangat berpengaruh  pada saat proses pemberian obat.

G. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya.

2. Tujuan metabolisme obat adalah untuk mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi lebih polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal dan empedu.

3. Petidhin dapat meningkatkan kerja sitokrom p-450 serta meningkatkan kecepatan beberapa reaksi metabolisme sedangkan simetidin merupakan antagonis reseptor-H2 yang dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P-450.

4. Hasil praktikum menjelaskan bahwa simetidin dapat mengghambat metabolisme petidin. Hal tersebut dibuktikan antara pra perlakuan dan tanpa pra perlakuan menghasilkan waktu yang berbeda yaitu lebih lama yang tanpa pra perlakuan.

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1984.Ilmu Farmasi.Ghalia Indonesia. Jakarta

 

Anief, Moh. 995. Perjalanan Dan Nasib Obat Dalam Badan. Gadjah Mada Univ Press. Yogyakarta.

 

Devissaguet dan Aiache JM. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika. Airlangga. Jakarta

 

Gibson, Gordon Dan Paul Skett. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. UI Press.Jakarta

 

Katzung, Bertramg. 1989. Farmakologi Dasar Dan Klinik. EGC. Jakarta

 

Mutscler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. UI Press. Jakarta

 

Neal, MJ. 2005. Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta.

 

Syarif, Amin. 1995. Farmakologi Dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

 

Siswandono dan Bambang Soekarjo. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press. Jakarta.

 

Tjay, Tan Hoan. Dkk. 1978. Obat–obat Penting Edisi IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta