enzim katepsin

87
1 AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall) SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN Rustamaji DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Transcript of enzim katepsin

Page 1: enzim katepsin

1

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE

DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall)

SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN

Rustamaji

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 2: enzim katepsin

2

RINGKASAN

RUSTAMAJI. C34050694. Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari

Daging Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran

Mutu Ikan. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH.

Salah satu penyebab terjadinya proses kemunduran mutu ikan adalah

adanya aktivitas enzim terutama enzim proteolitik diantaranya enzim katepsin dan

kolagenase. Katepsin merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan

tubuh ikan. Enzim ini sangat berperan dalam proses pelunakan tekstur daging ikan

akibat degradasi protein miofibril sehingga turut mempercepat proses kemunduran

mutu ikan. Kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu

mendegradasi ikatan polipeptida saat protein belum mengalami denaturasi.

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) penentukan fase post

mortem ikan secara organoleptik, (2) penentuan pola kemunduran mutu ikan,

(3) ekstraksi enzim katepsin, dan (4) ekstraksi enzim kolagenase. Pengamatan

dilakukan terhadap empat kelompok ikan, yaitu ikan bandeng P (tidak dipuasakan,

penyimpanan suhu ruang), ikan bandeng Q (dipuasakan, penyimpanan suhu

ruang), ikan bandeng R (tidak dipuasakan, penyimpanan suhu chilling), dan ikan

bandeng S (dipuasakan, penyimpanan suhu chilling). Uji organoleptik dilakukan

setiap satu jam selama 19 jam penyimpanan suhu ruang dan setiap 12 jam selama

540 jam (23 hari) penyimpanan suhu chilling. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas

enzim katepsin dan kolagenase serta konsentrasi protein enzim dilakukan pada

fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.

Kondisi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan

suhu ruang (ikan P dan Q) selama 19 jam dengan interval waktu pengamatan

satu jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Kondisi

pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan suhu chilling

(ikan R dan S) selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan

12 jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, dan 540.

Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) diketahui bahwa perlakuan

kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-

masing ikan P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

terhadap nilai pH, TPC (Total Plate Count), TVB (Total Volatile Base), aktivitas

enzim katepsin dan kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji ragam

(ANOVA α=0,05) dengan rancangan acak kelompok pada fase kemunduran mutu

ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) menunjukkan bahwa dari

masing-masing ikan P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap nilai pH, TPC, TVB serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada

tingkat kepercayaan 95 %. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa

aktivitas enzim katepsin dan kolagenase memiliki hubungan yang sangat erat (r ≥

0,7) secara linier dengan parameter kesegaran ikan kecuali pada nilai pH selama

proses kemunduran mutu dari fase pre rigor hingga post rigor dan menjadi kurang

erat setelah memasuki fase busuk. Namun aktivitas enzim kolagenase masih

memiliki hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7) hingga fase busuk pada parameter

nilai organoleptik dan TPC.

Page 3: enzim katepsin

3

AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE

DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall)

SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Rustamaji

C34050694

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

Page 4: enzim katepsin

4

Judul Skripsi : Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase

dari Daging Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall)

selama Periode Kemunduran Mutu Ikan

Nama : Rustamaji

NIM : C34050694

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Dra. Ella Salamah, M.Si.

NIP. 197008071996032002 NIP. 195306291988032001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc

NIP. 196205281987032003

Tanggal Lulus :

Page 5: enzim katepsin

5

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul

“Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng

(Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran Mutu Ikan” adalah hasil

karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang

diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Agustus 2009

Rustamaji

C34050694

Page 6: enzim katepsin

6

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

”Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng

(Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran Mutu Ikan”. Penelitian ini

berjalan atas pembiayaan dari program Hibah Bersaing 2008 atas nama

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,

terutama kepada :

1. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Dra. Ella Salamah, M.Si selaku

komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan

kepada penulis.

2. Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil

Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol dan Ibu

Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji yang telah memberikan

pengarahan dan saran kepada penulis.

4. Ayah dan ibunda tercinta, atas semua dukungan dan kasih sayang yang

diberikan serta doanya selama ini.

5. Bapak Darmawan, atas dukungan moril dan materiil kepada penulis selama

menjalani perkuliahan.

4. Seluruh staf dosen dan TU THP, terima kasih atas dukungan dan bantuannya

selama ini.

5. Ibu Ema (Laboran THP), Pak Wahyu (FKH), serta mbak Martini dan Pak Arya

(Biokimia) yang telah banyak membantu selama penelitian.

6. Tim seperjuangan : Kak Rijan, Kak Dede, Pak Kur, Nina, Irfan dan Jamal,

terima kasih atas semua bantuan tenaga dan semangat selama melakukan

penelitian.

Page 7: enzim katepsin

7

7. Pak Oci beserta staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tangerang, terima

kasih atas bantuannya selama pengambilan sampel penelitian.

8. Rekan-rekan THP 42 yang selalu memberi kesan indah setiap saat.

9. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 41) dan adik-adik kelasku (THP 43

dan THP 44) atas semangat dan kebersamaannya.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan

skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang

memerlukannya.

Bogor, Agustus 2009

Rustamaji

Page 8: enzim katepsin

8

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Rustamaji. Penulis dilahirkan

pada tanggal 18 Agustus 1986 di Pati, Jawa Tengah. Penulis

adalah anak ke-3 dari empat bersaudara dari pasangan Bapak

Yarman dan Ibu Kasiati. Penulis mengawali pendidikan pada

tahun 1993 di SDN Manjang 02 dan menyelesaikan pendidikan

pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1

Jaken (1999-2002). Penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Rembang dan

menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis

diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi

Masuk IPB (USMI) di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif menjadi asisten beberapa

mata kuliah, antara lain asisten mata kuliah Avertebrata Air (2007/2008), asisten

Pendidikan Agama Islam (2007/2008), dan asisten Fisiologi, Formasi, dan

Degradasi Metabolit Hasil Perairan (2008/2009). Penulis pernah didanai oleh

DIKTI dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian tahun 2006.

Penulis juga merupakan salah satu finalis Mahasiswa Berprestasi tahun 2008

Departemen THP FPIK IPB. Pada bulan Juli 2009 penulis melaksanakan praktek

lapang di PT Misaja Mitra, Pati, Jawa Tengah dengan judul “Teknik Sanitasi dan

Higiene pada Unit Pembekuan Udang (Penaeus sp.) di PT Misaja Mitra, Pati,

Jawa Tengah”. Selama masa kuliah penulis memperoleh beasiswa dari beberapa

sumber, diantaranya adalah Beasiswa Bank Mandiri, Beasiswa Peningkatan

Prestasi Akademik, Beasiswa Mahasiswa Berprestasi PPSDMS Nurul Fikri, dan

Beasiswa Women’s International Club Jakarta. Penulis juga aktif berorganisasi

baik intra kampus maupun ekstra kampus. Penulis pernah menjabat sebagai

Sekretaris Ikatan Alumni Ikasabiq SMAN 1 Rembang (2005/2006), Kepala Divisi

Profesi dan Keilmiahan Himasilkan FPIK IPB (2006/2007), Ketua Umum Ikatan

Alumni Ikasabiq SMAN 1 Rembang (2006/2008), Kepala Dept. KP2K BEM

FPIK IPB (2007/2008), Kepala Biro Kewirausahaan Yayasan FKP Foundation

(2008), dan pada tahun 2008 penulis mendirikan sekaligus menjabat sebagai

Direktur Ikasabiq Scholarship Program SMAN 1 Rembang yang merupakan

Page 9: enzim katepsin

9

program beasiswa dari alumni bagi siswa-siswi berprestasi SMAN 1 Rembang.

Pada awal tahun 2009 penulis bekerja sebagai management trainee di Lembaga

Pendidikan Unggul College. Saat penyusunan skripsi ini, penulis menjabat

sebagai Kepala Cabang Lembaga Pendidikan Unggul College Bogor.

Penulis menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul

“Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng

(Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran Mutu Ikan”, dibawah

bimbingan Dr. Tati Nurhyati, S.Pi, M.Si dan Dra. Ella Salamah, M.Si.

Page 10: enzim katepsin

10

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR TABEL .......................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii

1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Tujuan ................................................................................................. 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) ... 3

2.2 Mutu Ikan ............................................................................................ 4

2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan ........................................................... 5

2.3.1 Pre rigor ................................................................................... 7

2.3.2 Rigor mortis .............................................................................. 7

2.3.3 Post rigor .................................................................................. 8

2.4 Enzim .................................................................................................. 10

2.4.1 Enzim katepsin.......................................................................... 10

2.4.2 Enzim kolagenase ..................................................................... 11

2.4.3 Peranan enzim katepsin dan kolagenase dalam

kemunduran mutu ..................................................................... 12

3. METODOLOGI ........................................................................................ 14

3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................... 14

3.2 Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 14

3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................... 15

3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik

(BSN 2006) .............................................................................. 15

3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan .................................... 15

3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ............................. 15

3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu

dalam Kim et al. 2002)............................................................. 16

3.4 Analisis ................................................................................................. 17

3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006) ................................................... 17

3.4.2 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989) ..................................... 17

3.4.3 Uji TPC (Fardiaz 1987) ............................................................ 17

3.4.4 Uji TVB (Apriyantono et al. 1989) .......................................... 18

3.4.5 Aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002) .............................. 19

Page 11: enzim katepsin

11

3.4.6 Aktivitas enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu

dalam Park et al. 2002) ............................................................ 20

3.4.7 Pengukuran konsentrasi protein enzim (Breadford 1976) ........ 21

3.5 Analisis Data ....................................................................................... 21

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 24

4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan ...................................................... 24

4.2 Kemunduran Mutu Ikan ...................................................................... 25

4.2.1 Nilai organoleptik ..................................................................... 26

4.2.2 Nilai pH ..................................................................................... 30

4.2.3 Nilai TPC .................................................................................. 32

4.2.4 Nilai TVB .................................................................................. 34

4.3 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Katepsin......................................... 37

4.4 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Kolagenase .................................... 40

4.5 Hubungan antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan .... 42

4.6 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan ........................................ 45

5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 51

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 51

5.2 Saran .................................................................................................... 52

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 53

LAMPIRAN .................................................................................................... 57

Page 12: enzim katepsin

12

DAFTAR TABEL

No Teks Hal

1. Kandungan gizi ikan bandeng (Chanos chanos Forskall)........................... 4

2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan busuk ............................................................. 5

3. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan ................. 11

4. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml....................... 21

5. Aktivitas enzim katepsin B dan L daging Longissimus porcine

selama penyimpanan suhu 4 0C................................................................... 38

6. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter

kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk pada ikan P, Q, R, dan S 45

Page 13: enzim katepsin

13

DAFTAR GAMBAR

No Teks Hal

1. Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) ................................. 3

2. Dasar perubahan setelah ikan mati ............................................................ 6

3. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S ............... 26

4. Rata-rata nilai organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R, dan S ............. 29

5. Rata-rata nilai pH ikan bandeng P, Q, R, dan S ....................................... 31

6. Rata-rata nilai log TPC ikan bandeng P, Q, R, dan S ............................... 33

7. Rata-rata nilai TVB ikan bandeng P, Q, R, dan S ..................................... 35

8. Rata-rata aktivitas enzim katepsin ............................................................ 37

9. Rata-rata konsentrasi protein enzim katepsin ........................................... 39

10. Rata-rata aktivitas enzim kolagenase ........................................................ 41

11. Rata-rata konsentrasi protein enzim kolagenase ....................................... 42

12. Koefisien korelasi aktivitas enzim fase pre rigor hingga post rigor

sampel P, Q, R, dan S ................................................................................ 43

13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel P ...... 46

14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel Q ..... 47

15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel R ..... 48

16. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel S ...... 49

Page 14: enzim katepsin

14

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1. Diagram alir tahapan penelitian secara keseluruhan ............................... 58

2. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) ........................ 59

3a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ............ 61

3b. Diagram alir ekstraksi enzim katepsin ................................................... 61

4a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954

diacu dalam Park et al. 2002) ................................................................. 61

4b. Diagram alir ekstraksi enzim kolagenase ............................................... 62

5a. Diagram alir analisis nilai pH ................................................................. 62

5b. Diagram alir analisis nilai TPC .............................................................. 62

5c. Diagram alir analisis nilai TVB ............................................................. 63

6a. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin

(Dinu et al. 2002) .................................................................................... 63

6b. Prosedur pengukuran aktivitas enzim katepsin ....................................... 64

6c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase (Moore

dan Stein 1954 diacu dalam Park et al. 2002) ......................................... 64

6d. Prosedur pengukuran aktivitas enzim kolagenase .................................. 65

6e. Diagram alir pengukuran konsentrasi protein enzim ............................. 66

6f. Kurva standar penentuan konsentrasi protein .......................................... 66

7a. Hasil uji ragam ANOVA terhadap pH .................................................... 69

7b. Hasil uji ragam ANOVA terhadap Log TPC .......................................... 69

7c. Hasil uji ragam ANOVA terhadap TVB ................................................. 69

7d. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim katepsin .................. 70

7e. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim kolagenase .............. 70

8. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada penentuan

pola kemunduran mutu ........................................................................... 71

9. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu ................... 72

10. Dokumentasi penelitian ........................................................................... 73

Page 15: enzim katepsin

15

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton

per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi

Eksklusif dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton

per tahun atau sekitar 80 % dari potensi lestari. Potensi tersebut merupakan salah

satu peluang untuk meningkatkan jumlah produksi ikan baik pada perikanan

tangkap maupun perikanan budidaya. Jumlah produksi perikanan tangkap dari

penangkapan ikan dilaut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing

sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton. Produksi perikanan budidaya pada

tahun 2006 mencapai 2.625.800 ton yang didominasi oleh udang 327.260 ton,

rumput laut 1.079.850 ton, ikan mas 285.250 ton, bandeng 269.530 ton, nila

227.000 ton, lele 94.160 ton, gurame 35.570 ton, dan kerapu 8.430 ton

(BRKP 2007). Data tersebut menunjukkan bahwa produksi ikan bandeng

menduduki urutan ke-4 setelah rumput laut, udang, dan ikan mas.

Catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa penawaran ikan

bandeng nasional tahun 2002 mencapai sekitar 300.000 ton dengan pertumbuhan

penawaran rata-rata 3,82 % per tahun (BPS 2002). Namun yang menjadi kendala

dalam penawaran ikan bandeng tersebut adalah masalah konsistensi mutu. Hal ini

disebabkan ikan bandeng sebagaimana jenis ikan pada umumnya cepat mengalami

pembusukan atau penurunan mutu.

Penurunan mutu ikan terjadi segera setelah ikan ditangkap atau mati.

Kecepatan penurunan mutu dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis

kelamin, jenis ikan, ukuran ikan, kondisi lingkungan, perlakuan fisik, jumlah jasad

renik, dan aktivitas enzim (Ridwansyah 2002). Salah satu jenis enzim yang

berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan adalah enzim-enzim

pengurai protein (enzim proteolitik) yang menguraikan protein menjadi pepton,

polipeptida, dan asam-asam amino (Kreuzer 1965).

Page 16: enzim katepsin

16

Diantara enzim proteolitik tersebut adalah enzim katepsin dan kolagenase.

Katepsin merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan tubuh ikan.

Enzim ini sangat berperan dalam proses pelunakan tekstur daging ikan akibat

degradasi protein miofibril sehingga turut mempercepat proses kemunduran mutu

ikan (Jiang 2000). Enzim kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim

yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida dari kolagen saat protein belum

mengalami denaturasi (Kim et al. 2002). Aktivitas enzim ini sangat berpengaruh

terhadap proses kemunduran mutu ikan (Siswanto dan Soedarto 2008). Oleh

karena itu, perlu diketahui peranan aktivitas kedua enzim tersebut dalam proses

kemunduran mutu sehingga dapat mengambil langkah yang tepat dalam

penanganan dan pengolahan ikan.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

(1) Menentukan fase post mortem ikan bandeng selama penyimpanan suhu ruang

dan chilling.

(2) Menentukan pola kemunduran mutu ikan bandeng selama penyimpanan suhu

ruang dan chilling berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan.

(3) Menentukan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase ikan bandeng serta

korelasinya terhadap parameter kesegaran ikan.

Page 17: enzim katepsin

17

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos-chanos)

Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang

potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolelir salinitas perairan yang

luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng

mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan

kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).

Menurut Bagarinao (1994) ikan bandeng memiliki hubungan yang erat

dengan ikan-ikan yang hidup di air tawar. Ikan bandeng diduga berasal dari

wilayah Eropa dan Amerika Utara dan melakukan migrasi ke wilayah laut tropis.

Saat ini ikan bandeng lebih banyak ditemukan pada daerah tropis.

Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Malacopterigii

Famili : Chanidae

Genus : Chanos

Spesies : Chanos-chanos

Gambar 1. Morfologi ikan bandeng (Chanos-chanos)

Sumber : www.oceanleader.com

Ikan bandeng mempunyai badan yang memanjang seperti terpedo dengan

sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan bandeng tergolong sebagai

perenang cepat. Kepala ikan bandeng tidak bersisik, mulut kecil terletak di ujung

rahang tanpa gigi, lubang hidung terletak di depan mata. Mata diliputi

Page 18: enzim katepsin

18

oleh selaput bening (subcutaneus). Warna badan putih keperak-perakan dan

punggung biru kehitaman (Ghufron dan Kardi 1997).

Di Indonesia, ikan bandeng dapat dengan mudah ditemukan di daerah

Sumatra Selatan, Borneo, Jawa, dan Sulawesi. Ikan bandeng mempunyai

komposisi zat gizi yang cukup tinggi. Kandungan masing-masing zat gizi ikan

bandeng disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng (Chanos chanos Forskall)

Kandungan zat gizi per

100 g BDD

Jumlah Satuan

Energi 129 Kkal

Protein 20,0 Gram

Lemak 4,8 Gram

Karbohidrat 0,0 Gram

Sumber : BRKP (2007)

2.2 Mutu Ikan

Dibidang pasca panen kualitas ikan merupakan bahan pertimbangan bagi

orang yang mengkonsumsi atau membeli ikan. Dengan batasan tersebut, faktor

pembatas kualitas dapat mencakup nilai gizi atau nutrisi, tingkat kesegaran,

kerusakan selama transportasi, penanganan, pengolahan, penyimpanan, distribusi,

dan pemasaran serta hal-hal lain seperti bahaya terhadap kesehatan dan kepuasan

untuk mengkonsumsinya (BPTP 2009).

Kesegaran bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan

baik. Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan

biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan

berat pada daging ikan (Irawan 1995). Adapun ciri-ciri ikan segar dan ikan busuk

dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 19: enzim katepsin

19

Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan busuk

No Bagian Ikan segar Ikan busuk

1. Mata

Cerah, bening,

cembung,

menonjol

Pudar, berkerut,

tenggelam,

cekung

2. Insang

Merah, berbau segar,

tertutup, lendir bening

Coklat/kelabu, berbau

asam,

tertutup lendir keruh

3. Warna Terang, lendir bening Pudar, lendir kabur

4. Bau Segar seperti

bau air laut

Asam busuk

5. Daging

Kenyal, bila ditekan

bekasnya segera

kembali

Warna merah,

terutama di

sekitar tulang

punggung

6. Sisik Menempel kuat pada

kulit

Mudah lepas

7. Dinding

perut

Elastis

Menggelembung/

pecah/isi

perut keluar

8. Ikan utuh Tenggelam dalam air Terapung

Sumber : Dwiari et al. (2008)

2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan

Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena adanya aktivitas

enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat

kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan tersebut dapat terlihat

dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Semua proses

perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan yang

terjadi pada ikan meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim,

aktivitas mikroba, dan oksidasi (Junianto 2003).

Dasar perubahan yang terjadi setelah kematian ikan disajikan secara

ringkas dalam Gambar 2. Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus

berlangsung jika tidak dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat

dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan

dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan

dan perlakuan manusia. Faktor biologis (internal) tidak mudah ditangani karena

berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri (Yunizal dan Wibowo 1998).

Page 20: enzim katepsin

20

Ikan mati Kerja fagosit terhenti

Aliran darah terhenti

Pemasukan oksigen terhenti

Oksidasi-reduksi potensial terhenti

Respirasi terhenti Mulai glikolisa

Glikogen -/->CO2 Glikogen -> Asam laktat

ATP dan kreatin fosfat turun pH turun

Rigor mortis Denaturasi Katepsin bebas dan

mulai protein aktif

Akumulasi Pemucatan Pemecahan protein Pertumbuhan

metabolit bakteri

prekursor

cita rasa

Gambar 2. Dasar perubahan setelah ikan mati

Sumber : Tranggono dan Sutardi (1990)

diacu dalam Ridwansyah (2002)

Ikan yang berpenyakit seringkali berada dalam kondisi stres dan kurang

dapat menahan serangan bakteri baik internal maupun eksternal. Ikan yang sedang

mengalami pemijahan banyak menggunakan energi untuk proses reproduksi,

menyebabkan otot tidak sekenyal biasanya dan bila dibekukan akan terjadi

Page 21: enzim katepsin

21

pengeluaran air berlebihan (drip loss). Adapun ikan yang kelelahan (karena

menggelepar) banyak menggunakan energi sehingga proses rigor mortis

berlangsung cepat. Bila penanganan ikan dilakukan saat ikan masih mengalami

rigor mortis, maka akan terjadi kerusakan otot, yang akan semakin nyata bila ikan

difillet (BPTP 2009). Fillet ikan sebaiknya dilakukan pada saat ikan memasuki

fase pre rigor. Penelitian Park et al. (1990) menunjukkan bahwa ikan yang di fillet

saat fase pre rigor masih memiliki kandungan protein yang lebih tinggi daripada

fase rigor mortis dan post rigor.

2.3.1 Pre rigor

Perubahan pre rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar

di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari

glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri

(Junianto 2003). Lendir-lendir yang terlepas tersebut membentuk lapisan bening

yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini

merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak

menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat banyak

hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman 2000).

2.3.2 Rigor mortis

Seperti terjadi pada daging sapi dan daging hewan lainnya, fase ini

ditandai oleh mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan

alat-alat yang terdapat dalam tubuh ikan yang berkontraksi akibat adanya reaksi

kimia yang dipengaruhi atau dikendalikan oleh enzim (Dwiari et al. 2008).

Rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi relaksasi antara miosin

dan aktin didalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen.

Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan. Selain dapat

memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai

petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan sangat segar (Eskin 1990).

Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Jika

penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram

dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan

kelenturan otot. Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan

Page 22: enzim katepsin

22

semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari

0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna (Dwiari et al. 2008).

Pada fase rigor mortis pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari

mula-mula pH 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada

jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging

ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat,

asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir

dan proses pembusukan berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral

hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat

keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat

basa. Pada kondisi ini pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin

banyak senyawa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan

(Junianto 2003).

Kenaikan nilai pH tergantung pada lama penyimpanan. Kenaikan nilai pH

selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu panas, komposisi garam, kondisi

fisiologis, kandungan protein dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003). Nilai pH

daging ikan bandeng yang disimpan pada suhu 10 0C selama 6 jam adalah sebesar

5,60-5,78 dan 5,64-5,89 pada bagian kulitnya (Azanza et al. 2001).

2.3.3 Post rigor

Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang

meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Autolisis merupakan proses

terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh

ikan (FAO 1995). Proses autolisis ditandai dengan melemasnya daging ikan.

Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat

sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi

yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008).

Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula protein

dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan

dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi protease, lalu pecah

menjadi pepton, polipeptida, dan akhirnya menjadi asam amino. Selain itu

dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada

waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak

Page 23: enzim katepsin

23

menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Murniyati dan Sunarman 2000).

Pemecahan penyusun jaringan ikan juga akan berakibat pada penurunan sifat

organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan kadang-kadang warna (BPTP 2009).

Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi

sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian

makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah

lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat

(Moeljanto 1992). Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit

ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi

seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi senyawa-senyawa busuk berupa

indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lain-lain (BPTP 2009).

Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan

kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umum ditemukan pada

ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium,

Serratia, dan Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas,

Lactobacillus, Bevibacterium, dan Streptococcus (Junianto 2003). Jumlah bakteri

ikan bandeng yang disimpan selama 6 jam pada suhu 12 0C adalah antara

2,30-5,78 log cfu/g (Azanza et al. 2001). Menurut Hidayati (2005) berbagai

kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan

protein dan total koloni ikan bandeng.

Adapun kerusakan kimiawi yang sering kali terjadi adalah proses oksidasi

lemak yang mengakibatkan rasa pahit dan bau tengik serta perubahan warna

(BPTP 2009). Proses oksidasi lemak menghasilkan sejumlah substansi yang dapat

menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan.

Proses ini dipercepat dengan adanya logam-logam berat, enzim-enzim

lipooksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida

merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol,

asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi atau bau

tengik pada ikan (FAO 1995).

Page 24: enzim katepsin

24

2.4 Enzim

Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Unit ini bekerja

dengan urutan yang teratur. Enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang

mengurai molekul nutrisi, reaksi yang menyimpan, dan mengubah energi kimiawi

dan yang membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana (Lehninger 1993).

Enzim bersifat sangat aktif. Pada reaksi-reaksi tertentu hanya diperlukan

beberapa molekul enzim saja untuk mengkatalisis sejumlah substrat. Hal ini

dimungkinkan karena protein enzim dapat direaksikan secara berulang-ulang.

Kerja enzim dimulai saat molekul enzim berikatan dengan substrat, kemudian

mengubahnya menjadi produk dalam waktu yang singkat. Enzim yang telah bebas

dapat dipakai untuk mengikat molekul substrat lainnya (Suhartono 1989).

2.4.1 Enzim katepsin

Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada

jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi

polipeptida. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan. Pada jaringan

otot ikan, katepsin dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan dalam organel

sub selluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua tempat, yakni pada serabut

otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Matriks ekstraselluler

terdiri dari protein fibrin, protein adesif serta gel proteoglikan. Matriks

ekstraselluler berfungsi mendukung motilitas sel dan mengatur proliferasi sel

(Revianti dan Parisihni 2009). Sejumlah enzim dalam lisosom mampu

mengkatalisis protein jaringan. Beberapa enzim lisosom yang telah dicatat pada

jaringan ikan adalah katepsin A, B, C, D, serta protein asam, netral, dan alkali

(Cowey dan Walton 1988 diacu dalam Affandi dan Tang 2002). Enzim katepsin

yang terdapat pada lisosom dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 25: enzim katepsin

25

Tabel 3. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan

Enzim Famili Aktivitas Asal enzim pH

optimum

Kemampuan

degradasi

Katepsin B sistein endopeptidase otot dari

berbagai

spesies ikan

- miosin dan

miofibril

Katepsin H sistein endopeptidase otot ikan

salmon

7 miosin

Katepsin J sistein endopeptidase - - -

Katepsil L sistein endopeptidase otot ikan

salmon dan

mackerel

- miosin dan

miofibril

Dipeptidil

peptidase

(Katepsin C)

sistein eksopeptidase otot

berbagai

spesies ikan

- -

Dipeptidil

peptidase II

sistein eksopeptidase - - -

Katepsin D aspartat eksopeptidase otot

berbagai

spesies ikan

3,5 aktin dan

miosin

γ-glutamil

karboksi-

peptidase

aspartat endopeptidase - - -

Karboksi-

peptidase A

(Katepsin A

dan I)

serin eksopeptidase otot dari

berbagai

spesies ikan

5-6 -

Katepsin S sistein eksopeptidase otot

mackerel

- -

Sumber : Goll et al. (1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994)

2.4.2 Enzim kolagenase

Enzim kolagenase mampu mendegradasi protein dibawah kondisi fisiologis.

Enzim ini berasal dari bakteri maupun dari jaringan. Enzim kolagenase dapat

diproduksi oleh beberapa tipe sel yang terdapat pada periodontium, epithelium

dalam, fibroblast, leukosit, makropag, dan sel tulang (Golub et al. 1976).

Kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu

mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda

berdasarkan pada fungsi fisiologisnya. Serin kolagenase terlibat dalam produksi

hormon dan farmakologi. Fungsi tersebut meliputi pencernaan protein,

penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks, dan fertilisasi

(Neurath 1984; Bond and Van Mart 1987 diacu dalam Park et al. 2002). Enzim ini

Page 26: enzim katepsin

26

secara luas juga digunakan dalam industri kimia, industri obat, makanan, dan

eksperimen biologi molekuler. Tipe kedua adalah metallokolagenase terdiri dari

zinc yang mengandung enzim yang membutuhkan kalsium untuk kestabilan

(Strieklin et al. 1977 diacu dalam Park et al. 2002). Selain itu metallokolagenase

termasuk dalam enzim ekstraselluler dengan berat molekul yang bervariasi dari

30 hingga 150 kDa. Jenis enzim ini telah banyak dipelajari dari berbagai jaringan

mamalia (Sellers dan Murphy 1981; Harris dan Vater 1982 diacu dalam

Paark et al. 2002). Enzim kolagenase mempunyai aktivitas maksimum pada pH

7,4 sampai 8,0 (Iijima et al. 1983).

2.4.3 Peranan enzim katepsin dan kolagenase dalam kemunduran mutu ikan

Enzim proteolitik mempunyai peran dalam mengontrol berbagai proses

biologis dalam tubuh (Almeida et al. 2001). Peningkatan panas yang semakin

tinggi sampai batas tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim dalam hidrolisis

protein (Siswanto dan Soedarto 2008).

Proses penguraian protein terjadi akibat adanya penurunan pH jaringan

otot karena terbentuknya asam laktat. Nilai pH yang rendah dengan bantuan ATP

akan menyebabkan aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin yang

relatif mudah mengalami penguraian. Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa

rigor mortis (kekakuan). Selain itu proses penguraian protein ini akan

menyebabkan protein miofibril dan sarkoplasma terbongkar atau terhidrolisis

menjadi peptida dan asam amino bebas yang akan mempengaruhi cita rasa dan

akumulasi metabolit (Kreuzer 1965). Proses penguraian jaringan secara enzimatis

(autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang

kompleks. Beberapa enzim yang berperan dalam proses ini, antara lain katepsin,

enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari

mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan (Moeljanto 1992).

Katepsin berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan selama

masa post mortem. Ketika ikan mati (fase pre rigor), maka kondisi menjadi

anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam tubuh ikan dengan

melepaskan energi. Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang

menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat

menyebabkan terjadinya penurunan pH dan jaringan otot tidak mampu

Page 27: enzim katepsin

27

mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalannya). Kondisi inilah yang dikenal

dengan rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan katepsin

yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Pembebasan dan pengaktifan katepsin selanjutnya akan menyebabkan

terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.

Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan

senyawa-senyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan

peningkatan jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan

media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri

pembusuk (Lawrie 1985).

Peranan katepsin dalam proses kemunduran mutu ikan secara nyata

terlihat dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita rasa ikan. Aktivitas

katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat

menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis

dan jaringan daging ikan melunak (Haard dan Simpson 2000).

Enzim kolagenase dan beberapa subfamili metalloproteinase mampu

memecah triple helical dari kolagen yang akhirnya mendegradasi kolagen yang

menghasilkan hidrolisis asam amino glisin dan leusin dari rantai α molekul

kolagen. Serin kolagenase dan sistein akan mendegradasi bagian lain dari kolagen

yang tidak memiliki struktur helic (Saito et al. 2000).

.

Page 28: enzim katepsin

28

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juli 2008 di

Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia

Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi

Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Terpadu

Fakultas Kedoteran Hewan, dan Laboratorium Penelitian I, Departemen Biokimia,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama

ikan bandeng dengan ukuran 200-250 gr/ekor. Ikan bandeng yang digunakan

diberi empat perlakuan, yaitu ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum

dipanen dan disimpan pada suhu ruang (sampel P), ikan bandeng yang dipuasakan

dan disimpan pada suhu ruang (sampel Q), ikan bandeng yang tidak dipuasakan

sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (sampel R), dan ikan bandeng

yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (sampel S).

Bahan-bahan untuk analisis nilai pH (larutan buffer standar pH 7 dan 4, akuades),

analisis TPC (larutan garam 0,85 % steril, nutrient agar), analisis TVB (H3BO3,

K2CO3, TCA 7 %, HCl 0,032 N), ekstraksi enzim katepsin (buffer tris-HCl

pH 7,4), assay aktivitas katepsin (buffer tris-HCl pH 7,4; hemoglobin, HCl 1 N,

TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pembuatan kolagen (kulit ikan bandeng dan

asam asetat), ekstraksi enzim kolagenase (buffer tris-HCl (pH 8,0) yang terdiri

dari 0,25 % Triton-X 100 dan 10 mM CaCl2), assay aktivitas kolagenase

(tris-HCl pH 7,5 yang mengandung 5 mM CaCl2, TCA 50 % ninhidrin,

50 % 1-propanol), pengukuran konsentrasi protein (bovine serum albumin,

coomassie blue G-250, etanol 95 %, asam fosfat 85 % (w/v)).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain inkubator, oven,

sentrifuse suhu dingin, spektrofotometer, mikro pipet, timbangan analitik,

homogenizer, magnetic stirrer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes,

tabung reaksi, cawan petri, erlenmeyer, pH meter, kapas, tissue, aluminium foil,

Page 29: enzim katepsin

29

bunsen, jarum ose, beaker glass, dan peralatan gelas lainnya serta peralatan uji

organoleptik.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) penentukan fase post

mortem ikan secara organoleptik, (2) penentuan pola kemunduran mutu ikan,

(3) ekstraksi enzim katepsin, dan (4) ekstraksi enzim kolagenase (Lampiran 1).

3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik (BSN 2006)

Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase post

mortem ikan, meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk. Pada tahap

ini dilakukan penyimpanan pada suhu ruang (26-30 0C) dan suhu

chiling (1 0C). Penyimpanan pada suhu ruang dilakukan selama 19 jam dengan

interval waktu pengamatan satu jam, sedangkan pada suhu chilling penyimpanan

dilakukan selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam.

Pengamatan dilakukan secara organoleptik menggunakan scoresheet berdasarkan

SNI 01-2346-2006 (Lampiran 2).

3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan

Penentuan pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola

kemunduran ikan P, Q, R, dan S berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada

setiap tahap post mortem. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap sampel

ikan berdasarkan waktu yang diperoleh dari hasil penentuan fase post mortem

pada penelitian tahap 1. Analisis yang dilakukan pada setiap pengamatan meliputi

uji organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006

(BSN 2006), uji nilai pH, uji TPC, dan uji TVB.

3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)

Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim

katepsin yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi katepsin

dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran mutu ikan.

Proses ektraksi enzim katepsin dilakukan dengan metode Dinu et al. 2002

(Lampiran 3a dan 3b).

Page 30: enzim katepsin

30

Tahap pertama dilakukan preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak

kasar protease dengan cara ikan dimatikan, kemudian bagian daging ikan diambil

dengan cepat. Daging ikan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan

daging dan akuades sebesar 1:5, lalu dihomogenisasikan pada suhu 0-4 0C.

Ekstrak daging hasil homogenisasi ini disentrifuse pada 1.000 rpm selama

10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifuse lagi pada

10.000 rpm selama 10 menit. Pellet yang dihasilkan dari sentrifugasi ini kemudian

dilarutkan dalam 0,1 M buffer tris HCl 7,4 dengan jumlah yang sama seperti

jumlah akuades tadi dan disentrifuse pada 4.000 rpm selama 10 menit. Supernatan

(ekstrak kasar enzim) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria

dan lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut.

3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam

Kim et al. 2002)

Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim

kolagenase yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi

kolagenase dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran

mutu.

Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencuci daging ikan bandeng

dengan air dingin dan ditambahkan dengan 100 mM buffer Tris-HCl (pH 8,0)

(Lampiran 4a dan 4b), dengan perbandingan bahan baku:larutan buffer 1:5,

kemudian dihomogenkan dengan homogenizer. Selanjutnya daging yang telah

homogen tersebut, disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit.

Setelah itu, pelet yang telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan

7.000 rpm selama 20 menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan

antara bahan baku:larutan buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang

dihasilkan ditambahkan dengan 20 mM Tris-HCl (pH 8,0) yang mengandung

0,36 mM CaCl2 dan didiamkan pada suhu rendah (± 4 0C) selama 48 jam. Larutan

yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar kolagenase yang akan digunakan untuk

pengujian selanjutnya.

Page 31: enzim katepsin

31

3.4 Analisis

Sampel daging ikan bandeng pada setiap tahap post mertem dilakukan

analisis yang meliputi analisis tingkat kesegaran ikan (penilaian organoleptik,

penentuan nilai pH, penghitungan jumlah total bakteri dengan metode TPC,

penghitungan TVB), uji aktivitas katepsin, uji aktivitas kolagenase, dan

pengukuran konsentrasi protein enzim.

3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006)

Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan score sheet

berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006). Pengujian organoleptik merupakan

cara pengujian yang bersifat subjektif menggunakan indra yang ditujukan pada

mata, insang, lendir permukaan, badan, daging, bau, dan tekstur. Pada uji

organoleptik ini ada beberapa syarat yang harus disepakati oleh panelis, antara

lain tertarik dan terampil serta konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia

pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan di uji,

berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna, serta jumlah

panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (semi terlatih). Dari

data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria

sebagai berikut (SNI 01-2346-2006) :

Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9

Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6

Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3

3.4.2 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989)

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara

dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram daging ikan dihancurkan

dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilata. Kemudian daging homogen

tersebut diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer

standar pH 4 dan 7 (Lampiran 5a).

3.4.3 Uji TPC (Fardiaz 1987)

Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di

dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai kebutuhan dan dilakukan

Page 32: enzim katepsin

32

secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan

10 gram sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari bagian punggung ikan,

lalu dimasukkan ke dalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85 % steril,

kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut

diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 %

steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2

, setelah itu dikocok agar

homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian,

biasanya sampai pengenceran 10-5

. Pemipetan dilakukan dari masing-masing

tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam

cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan

ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar

merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan

mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke

dalam inkubator pada suhu 30 0C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang

dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni

yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung

adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni

(Lampiran 5b).

3.4.4 Uji TVB (Apriyantono et al. 1989)

Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-

senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis

TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan

trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian

dititrasi dengan larutan HCl.

Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 gram sampel yang

diambil dari daging ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % dan

dihomogenkan selama satu menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring

sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel maka

dilakukan uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam inner

chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir

menutupi cawan. Dengan memakai pipet 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke

dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh

Page 33: enzim katepsin

33

ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3

tidak tercampur. Cawan segera ditutup dengan diolesi vaselin pada pinggir cawan

agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan

di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur

yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 %. Kemudian kedua cawan conway

tersebut diinkubasi selam 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah diinkubasi, larutan

asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi

dengan larutan HCl 0,032 N dan cawan digoyang-goyangkan sampai larutan asam

borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi

sampel juga dititrasi dengan larutan HCl 0,032 N yang sama dengan blanko

(Lampiran 5c). Kadar TVB dapat dihitung dengan rumus :

%N (mg N/100g) = (j – i) x N HCl x 100 x fp x 14 mg N/100 g

g contoh 1

Keterangan :

j : ml titrasi sampel fp : faktor pengenceran

i : ml titrasi blanko N : normalitas HCl (0,032 N)

3.4.5 Aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002)

Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin

terdenaturasi asam sebagai substratnya (Lampiran 6a dan 6b). Sebanyak 8 %

hemoglobin dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH

dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat

sebesar 2 % dengan akuades. Selanjutnya 1 ml dari larutan substrat diinkubasi

dengan 0,2 ml TCA 5 %. Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut

ditambah dengan 1 ml pereaksi folin serta diukur absorbansinya pada 750 nm.

Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar

dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel, hanya untuk larutan blanko

dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Aktivitas

enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut :

TxPx

AblAst

AblAspUA

1

Page 34: enzim katepsin

34

Dimana : UA : Jumlah enzim yang menyebabkan perubahan 1 μmol

substrat per menit

Asp : Nilai absorbansi sampel

Abl : Nilai absorbansi blanko

Ast : Nilai absorbansi standar

P : Faktor pengenceran (5)

T : Waktu inkubasi (10 menit)

3.4.6 Aktivitas enzim Kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam

Park et al. 2002)

Aktivitas enzim kolagenase dapat diukur dengan metode Moore dan Stein

(1954) yang telah dimodifikasi dengan cara mereaksikan 5 ml kolagen dengan 1

ml 0,05 M Tris-HCl (pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2 dan 0,1 ml larutan

enzim diinkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam (Lampiran 6c dan 6d). Reaksi

dihentikan dengan penambahan 0,2 ml 50 % TCA. Setelah 10 menit pada suhu

ruang, disaring dengan kertas saring. Supernatan (0,2 ml) dicampur dengan 1,0 ml

larutan ninhidrin dan diinkubasi pada suhu 100 0C selama 20 menit. Kemudian

didinginkan pada suhu kamar. Campuran tersebut diencerkan dengan 5 ml 50 %

1-propanol untuk pengukuran absorbansi dengan panjang gelombang 570 nm.

Larutan buffer (0,05 M Tris-HCl pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2

digunakan sebagai pengganti larutan enzim sebagai larutan kontrol dan larutan

tirosin digunakan sebagai larutan standar enzim kolagenase. Aktivitas enzim

kolagenase dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

TxPx

AblAst

AblAspUA

1

Dimana : UA = Jumlah enzim yang menyebabkan perubahan 1 μmol

substrat per menit

Asp = Nilai absorbansi sampel

Abl = Nilai absorbansi blanko

Ast = Nilai absorbansi standar

P = Faktor pengencer (5)

T = Waktu inkubasi (10 menit)

Page 35: enzim katepsin

35

3.4.7 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976)

Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan

bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan

dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml

etanol 95 %. Lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85 % (w/v). Jika telah

larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 0,5 liter dan disaring

dengan kertas saring Whatman 1 sesaat sebelum digunakan.

Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan

cara 0,1 ml enzim dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan

sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan

standar dilakukan seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara 1,0-1,0 mg/ml

dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml yang disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml

Konsentrasi BSA

(mg/ml)

Volume BSA

(ml)

Volume akuades

(ml)

0,1 0,05 0,95

0,2 O,10 0,90

0,3 0,15 0,85

0,4 0,20 0,80

0,5 0,25 0,75

0,6 0,30 0,70

0,7 0,35 0,65

0,8 0,40 0,60

0,9 0,45 0,55

1,0 0,50 0,50

Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam kurva

standar bradford (Lampiran 6e dan 6f) untuk menentukan konsentrasi protein

yang terkandung dalam sampel enzim.

3.5 Analisis Data

Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai

organoleptik, pH, TPC, TVB, aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, serta

konsentrasi protein enzim dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung

menggunakan rumus berikut (Steel dan Torrie 1989) :

Page 36: enzim katepsin

36

Keterangan :

X = Nilai rata-rata

n = Jumlah data

Xi = Nilai X ke-i

Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, dan nilai

pH), nilai aktivitas enzim serta konsentrasi protein enzim dilakukan melalui uji

ragam (ANOVA) berupa rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan (sampel

P, Q, R dan S) dan 4 kelompok (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk).

Persamaan umum model rancangan tersebut sebagai berikut:

Yij = µ + τi + βj + εij

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j

µ = nilai tengah populasi

τi = pengaruh perlakuan τ taraf ke-i

βj = pengaruh kelompok β taraf ke-j

εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j

Hipotesis yang digunakan adalah :

1. Hipotesis perlakuan

a. H0 : pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata

b. H1 : minimal ada 1 perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata

2. Hipotesis kelompok

a. H0 : pengaruh kelompok tidak berbeda nyata

b. H1 : minimal ada 1 kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata

Apabila pengaruh perlakuan dan kelompok berbeda nyata dengan selang

kepercayaan 95 % (P<0,05), maka diadakan uji lanjut Duncan

(Steel dan Torrie 1989).

Derajat hubungan linier antara aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase)

terhadap parameter kesegaran mutu (nilai organoleptik, pH, TPC, TVB) dilihat

menggunakan koefisien korelasi linier sederhana dengan rumus

(Snedecor dan Cochran 1967) :

n

Xi

X

n

i 1

n

Xi

X

n

i 1

Page 37: enzim katepsin

37

Keterangan:

x = simpangan dari rataan peubah pertama (yang mempengaruhi)

y = simpangan dari rataan peubah kedua (yang dipengaruhi)

Nilai derajat korelasinya adalah:

r ≥ 0,7 : hubungan sangat erat

0,5<r <0,7 : hubungan erat

r ≤ 0,5 : hubungan tidak erat

22yx

xyr

Page 38: enzim katepsin

38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan

Penentuan fase post mortem ikan dilakukan untuk mengetahui dan

mengenali kondisi tingkat kesegaran ikan pada beberapa fase post mortem melalui

metode penilaian sensori, yaitu secara organoleptik sehingga dapat diketahui

kondisi kesegaran ikan setelah ikan dimatikan. Metode organoleptik merupakan

cara yang paling murah dan mudah untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu

ikan dengan bantuan panca indera manusia. Penetapan kemunduran mutu ikan

secara organoleptik ini dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan

oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006).

Pengamatan secara organoleptik ini meliputi beberapa parameter, seperti keadaan

mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur.

Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan bandeng P (tidak

dipuasakan, suhu ruang), Q (dipuasakan, suhu ruang), R (tidak dipuasakan, suhu

chilling), dan S (dipuasakan, suhu chilling) menghasilkan empat titik untuk

dilakukan analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada ikan P dan Q kondisi pre

rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada 0 jam penyimpanan, rigor mortis

pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor pada jam ke-15 penyimpanan, dan fase

busuk terjadi pada jam ke-19 penyimpanan. Pada ikan bandeng R dan S kondisi

pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada 0 jam penyimpanan, rigor

mortis pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor pada jam ke-300 penyimpanan,

dan fase busuk terjadi pada jam ke-540 penyimpanan.

Perubahan pre rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar

di bawah permukaan kulit. Lendir-lendir yang terlepas tersebut membentuk

lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar

lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan

yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh

dapat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya

(Murniyati dan Sunarman 2000). Pada penelitian ini ikan bandeng P dan Q

mengalami fase pre rigor sekitar 10 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu

antara fase pre rigor dan rigor mortis. Ikan bandeng R dan S mengalami fase

Page 39: enzim katepsin

39

pre rigor sekitar 84 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase

pre rigor dan rigor mortis.

Rigor mortis terjadi pada saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan

aktin didalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen

(Eskin 1990). Pada penelitian ini ikan bandeng P dan Q mengalami fase rigor

mortis sekitar 5 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase rigor mortis

dan post rigor. Pada ikan bandeng R dan S mengalami fase rigor mortis sekitar

216 jam (9 hari) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase rigor mortis

dan post rigor. Menurut Dwiari et al. (2008) fase ini ditandai oleh mengejangnya

tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan karena alat alat yang terdapat

dalam tubuh ikan berkontraksi akibat adanya reaksi kimia yang dipengaruhi atau

dikendalikan oleh enzim.

Fase post rigor terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis. Fase ini

ditandai dengan melemasnya daging ikan kembali. Lembeknya daging ikan

disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan

daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan

bakteri (Dwiari et al. 2008). Pada umumnya proses ini berlangsung singkat karena

bakteri segera berkembang dan hanya dapat ditunda dengan menurunkan suhu.

Pada tahap ini peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak menonjol setelah

dihasilkan senyawa-senyawa sederhana hasil autolisis yang berfungsi sebagai

media pertumbuhannya. Pertumbuhan bakteri yang luar biasa cepat ini

menyebabkan proses kerusakan ikan juga berlangsung semakin cepat. Insang akan

menjadi kecoklatan, lendir semakin kental dan tebal, daging lembek, dan jika

ditekan sulit pulih kembali bekasnya, bau semakin amis, dan menjadi busuk

(Yunizal dan Wibowo 1998).

4.2 Kemunduran Mutu Ikan

Penentuan pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola

dan perbedaan pola kemunduran mutu antara ikan P, Q, R, dan S berdasarkan

analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pengamatan

terhadap sampel ikan P, Q, R, dan S dilakukan berdasarkan waktu yang diperoleh

dari hasil penentuan fase post mortem secara subjektif, yaitu uji organoleptik dan

secara objektif, yaitu uji pH, TPC, dan TVB dengan mengambil sampel dari

Page 40: enzim katepsin

40

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta N

ilai O

rgan

olep

tik D

agin

g Ik

an B

ande

ng

0

2

4

6

8

10

W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

bagian daging ikan bandeng. Pengujian secara objektif pada sampel P, Q, R, dan

S dilakukan pada 4 titik, yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan

busuk.

4.2.1 Nilai organoleptik

Penilaian mutu secara organoleptik merupakan cara pengujian mutu yang

dilakukan hanya mempergunakan panca indera. Cara ini sangat sederhana dan

cepat dikerjakan, tetapi tingkat ketelitiannya tergantung dari kepekaan penguji

(Dwiari et al. 2008).

Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S disajikan

pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S

Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan

bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun

dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya semakin tinggi

nilai organoleptik menunjukkan semakin segar keadaan ikannya. Pada fase rigor

mortis ikan bandeng R memiliki nilai organoleptik yang lebih rendah

dibandingkan dengan ikan bandeng S. Menurut Ridwansyah (2002) kemunduran

mutu ikan dapat dipengaruhi oleh kondisi lapar/kenyang. Secara umum dapat

Page 41: enzim katepsin

41

dikatakan bahwa antara ikan P, Q, R dan S tidak menunjukkan nilai organoleptik

yang mencolok. Perbedaan yang sangat terlihat adalah pada kecepatan proses

kemunduran mutu ikan dimana dari fase pre rigor hingga busuk ikan yang

disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) lebih cepat mengalami kemunduran

mutu daripada ikan yang disimpan pada suhu chilling. Penyimpanan ikan pada

suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu

ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim

(Clucas dan Sutcliffe 1981).

Pada kondisi pre rigor baik ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan

nilai organoleptik 9. Hal ini menggambarkan bahwa ikan bandeng dalam kondisi

sangat segar. Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-

perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan

kerusakan berat pada daging ikan (Irawan 1995). Ikan bandeng segar ini

mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang

merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat

cerah, serta belum ada perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang,

spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki

dinding perut daging utuh. Bau ikan sangat segar sesuai dengan jenis. Teksturnya

padat, elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang

belakang.

Pada fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar

6-8 dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan,

kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan

lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging

sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang

belakang, dinding perut daging utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak

elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang.

Fase post rigor ikan bandeng dengan nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai

organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek.

Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan,

kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit

lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan.

Page 42: enzim katepsin

42

Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta

dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur

agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek

daging dari tulang belakang.

Fase busuk ikan bandeng ditandai dengan nilai organoleptik antara 1-3.

Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng sudah tidak dapat diterima oleh

konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan

ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Insang

berwarna merah coklat ada sedikit putih. Lendir tebal menggumpal, warna putih

kuning. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang

belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas

dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, serta mudah

menyobek daging dari tulang belakang.

Menurut Ridwansyah (2002) ikan cepat mengalami pembusukan

disebabkan beberapa kelemahan, seperti :

(1) Tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (80 %) dan pH tubuh mendekati

netral, sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri

pembusuk maupun mikroorganisme lain.

(2) Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat (tendon), sehingga

sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernaan ini menyebabkan

daging menjadi sangat lunak sehingga merupakan media yang cocok untuk

pertumbuhan mikroorganisme.

(3) Daging ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sifatnya

sangat mudah mengalami proses oksidasi. Oleh karena itu sering timbul bau

tengik pada tubuh ikan, terutama pada hasil olahan maupun awetan yang

disimpan tanpa menggunakan antioksidan. Rata-rata nilai organoleptik daging

ikan bandeng disajikan pada Gambar 4.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik daging ikan

bandeng P, Q, R, dan S mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu

penyimpanan. Pada fase pre rigor ikan bandeng P, Q, R, dan S memiliki nilai

organoleptik 9 yang menunjukkan bahwa sayatan daging sangat cemerlang,

Page 43: enzim katepsin

43

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta N

ilai O

rgan

olep

tik D

agin

g Ik

an B

ande

ng

0

2

4

6

8

10

W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, serta memiliki

dinding perut daging utuh.

Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R dan S

Ketika ikan memasuki fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai

organoleptik daging sekitar 7-8. Pada kondisi ini daging sedikit kurang cemerlang,

spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, serta memiliki

dinding perut daging utuh. Fase post rigor dengan nilai organoleptik daging 5

menunjukkan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang,

dan dinding perut lunak. Fase busuk ditunjukan dengan nilai organoleptik

daging 3. Pada fase busuk daging mulai kusam, warna merah jelas sekali

sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Secara umum nilai

organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R, dan S tidak menunjukkan adanya

perbedaan. Perbedaan tampak jelas pada kecepatan kemunduran mutu ikan

dimana ikan yang disimpan pada suhu ruang lebih cepat mengalami kemunduran

mutu daripada ikan yang disimpan pada suhu chilling. Menurut Clucas dan

Sutcliffe 1981 ikan dari daerah tropis yang disimpan pada suhu chilling memiliki

daya awet antara 11-35 hari tergantung dari jenis ikannya.

Pada penelitian ini ikan bandeng utuh yang disimpan dalam suhu ruang

(26-30 0C) yaitu ikan P dan Q memiliki daya awet sekitar 19 jam dan ikan R dan

S yang disimpan pada suhu chiling (1 0C) mempunyai daya awet sekitar 540 jam.

Page 44: enzim katepsin

44

Pada kondisi suhu tropik ikan membusuk dalam waktu 12-20 jam tergantung

spesies, alat atau cara penangkapan. Pada suhu 15-20 0C ikan dapat disimpan

hingga sekitar dua hari, pada suhu 5 0C tahan selama 5-6 hari, sedangkan pada

suhu 0 0C dapat mencapai 9-14 hari, tergantung spesies ikan (BPTP 2009). Hal ini

membuktikan bahwa daya awet ikan dapat dipertahankan dan diperpanjang

dengan menurunkan suhu dan praktek-praktek penanganan yang baik dengan

menerapkan rantai dingin. Proses pendinginan hanya mampu menghambat

pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat aktivitas mikroorganisme.

Aktivitas akan kembali normal jika suhu tubuh ikan kembali naik. Kelebihan

pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami

perubahan tekstur, rasa, dan bau. Efisiensi pengawetan dengan pendinginan sangat

tergantung pada tingkat kesegaran ikan sebelum didinginkan. Pendinginan yang

dilakukan sebelum rigor mortis berlalu merupakan cara yang paling efektif jika

disertai dengan teknik yang benar. Sedangkan pendinginan setelah proses autolisis

berlangsung tidak akan banyak membantu (Adawiyah 2007).

4.2.2 Nilai pH

Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat

kesegaran mutu ikan. Nilai pH daging ikan ketika masih hidup umumnya

mempunyai pH netral dan setelah mati pH turun menjadi sekitar 5,3-5,5

(Eskin 1990). Hasil pengukuran nilai pH daging ikan bandeng P, Q, R, dan S

disajikan pada Gambar 5.

Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa ikan bandeng P dan R pada

fase pre-rigor memiliki nilai pH yang sama, yaitu 6,62 sedangkan ikan bandeng Q

dan S juga memiliki nilai pH yang sama, yaitu 6,72. Daging ikan bandeng segar

mempunyai pH sebesar 6,72 (Siochi 1990 diacu dalam Azanza et al. 2001).

Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada

dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan

penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat,

TMAO, dan basa-basa menguap (Junianto 2003).

Page 45: enzim katepsin

45

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta N

ilai p

H

0

2

4

6

8

W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan,Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak dipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasalkan, Penyim panan Suhu C hilling)

Gambar 5. Rata-rata nilai pH ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat

yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada Akhirnya pH akan semakin asam, yaitu

pada fase rigor mortis. Nilai pH dari daging ikan bandeng pada fase rigor mortis

berkisar antara 5,76 hingga 5,86. Nilai pH ini terus mengalami kenaikan pada

fase post rigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil. Pada fase

post rigor nilai pH daging ikan bandeng berkisar antara 6,79-6,82 dan antara

6,96-7,1 untuk fase busuk. Peningkatan nilai pH tergantung pada lama

penyimpanan ikan. Selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi garam, kondisi

fisiologis, kandungan protein, dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003).

Nilai pH antara ikan P, Q, R, dan S pada fase yang sama tidak

menunjukkan adanya perbedaaan yang mencolok. Ikan yang mengalami full rigor

biasanya memiliki nilai pH antara 6,2-6,6 (Partmann 1965). Menurut Bramsnaes

dan Hansen 1965 perubahan nilai pH tergantung dari kemampuan buffer daging

ikan dan juga asam laktat yang dihasilkan selama ikan mengalami post mortem.

Nilai pH daging ikan bandeng pada penelitian ini mengalami penurunan

dari fase pre rigor sampai fase rigor mortis, lalu nilai pH akan meningkat kembali

ketika ikan memasuki fase post rigor dan terus meningkat hingga ikan busuk.

Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dapat dikatakan bahwa perlakuan

kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-

masing ikan bandeng P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang tidak berbeda

Page 46: enzim katepsin

46

nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai pH (Lampiran 7a). Perbedaan

derajat keasaman yang dinyatakan dengan nilai pH pada ikan yang telah mati

secara umum disebabkan karena adanya perbedaan kandungan glikogen.

Kandungan gikogen ikan dipengaruh oleh aktivitas ikan, nutrisi, suhu, umur ikan,

dan habitat ikan (Partmann 1965). Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) pada nilai

pH dengan rancangan acak kelompok menunjukkan fase kemunduran mutu ikan

(pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) memberikan pengaruh yang

berbeda nyata terhadap nilai pH pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7a).

Terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses aktivitas enzim

katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. Pada proses enzimatis, protein

akan diuraikan menjadi pepton dan asam-asam amino. Selain itu juga, aksi

enzimatis tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen-

komponen flavor, perubahan warna daging (diskolorisasi) dari warna asli menjadi

coklat serta timbulnya akumulasi metabolit (Ilyas 1983).

4.2.3 Nilai TPC

Mikroba aerob yang terdapat di permukaan kulit, insang, dan juga

lingkungan disekitarnya merupakan penyebab utama kerusakan ikan. Mikroba

memperoleh sumber energi dengan menguraikan protein menjadi pepton,

polipeptida, dipeptida, peptida, dan asam amino. Suhu merupakan salah satu

faktor penting yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan mikroorganisme.

Apabila suhu naik maka kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan

mikroorganisme dipercepat (Siswanto dan Soedarto 2008). Semakin busuk seekor

ikan maka akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Dengan menghitung

jumlah bakteri yang terdapat pada ikan diharapkan dapat dinilai derajat mutu ikan

tersebut. Hasil penghitungan nilai log TPC daging ikan bandeng P, Q, R, dan S

disajikan pada Gambar 6.

Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa nilai log TPC daging ikan

bandeng P, Q, R, dan S secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya

waktu penyimpanan. Pada kondisi pre rigor ikan bandeng memiliki nilai log TPC

sekitar 3,66-3,72 CFU/ml. Nilai log TPC ini terus meningkat ketika ikan

memasuki fase rigor mortis yaitu sekitar 4,68-4,97 CFU/ml dan

6,61-6,85 CFU/ml pada fase post rigor. Jumlah bakteri pada daging ikan bandeng

Page 47: enzim katepsin

47

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta N

ilai L

og T

PC

(C

FU

/ml)

0

2

4

6

8

10

W aktu Penyim panan Suhu C hiling (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

terus bertambah ketika ikan memasuki fase busuk yang diperlihatkan oleh nilai

log TPC sekitar 7,29-7,7 CFU/ml.

Gambar 6. Rata-rata nilai log TPC ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai log TPC daging ikan bandeng fase post-rigor dan busuk sudah

berada di atas batas maksimum jumlah mikroba yang ditetapkan dalam

SNI 01-2729-2006, yaitu dengan nilai maksimum 5x105 CFU/ml atau nilai log

TPC sebesar 5,70 CFU/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Azanza et al. (2001)

melaporkan bahwa nilai TPC ikan bandeng yang disimpan selama 6 jam pada

suhu 12 0C antara 2,30-5,78 log CFU/g. Pada penyimpanan selama 3 hari pada

suhu -2 0C ikan bandeng mempunyai jumlah koloni bakteri sebesar

1,7 x 10 CFU/gr (Hidayati 2005).

Pada ikan yang disimpan pada suhu chilling (ikan R dan S) membutuhkan

waktu yang lebih lama untuk mencapai jumlah bakteri yang sama dengan ikan

yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) pada setiap tahap kemunduran

mutu. Pada kondisi ini suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis dan

kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Pengaruh suhu pada pertumbuhan

bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan

atau perpendekan masa adaptasi yang tergantung pada tinggi rendahnya suhu.

Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek.

Sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang.

Page 48: enzim katepsin

48

Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi terget serangan bakteri adalah

seluruh permukaan tubuh, isi perut, dan insang (Dwiari et al. 2008). Penelitian

yang dilakukan Azanza et al. (2001) melaporkan bahwa jenis mikroba yang

ditemukan pada ikan bandeng adalah Coliform, Staphilococcus, dan

Salmonella spp.

Nilai TPC daging ikan bandeng pada penelitian ini mengalami kenaikan

pada tiap fase kemunduran mutu. Nilai log TPC pada ikan P, Q, R, dan S

mencapai titik tertinggi pada fase busuk. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA

α=0,05 ) pada analisis TPC dengan rancangan acak kelompok dapat dikatakan

bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan

memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada

tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7b). Menurut Ridwansyah (2002)

kemunduran mutu ikan dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam, yaitu jenis

kelamin, ukuran, jenis ikan, dan aktivitas enzim serta faktor luar, yaitu kondisi

lingkungan, perlakuan fisik dan jumlah jasad renik. Hasil uji ragam (ANOVA

α=0,05 ) pada nilai log TPC dengan rancangan acak kelompok menunjukkan

bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk)

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TPC pada tingkat

kepercayaan 95 % (Lampiran 7b). Menurut Hidayati (2005) berbagai kondisi suhu

dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan protein dan

total koloni pada ikan bandeng. Jumlah bakteri pada ikan akan terus mengalami

peningkatan seiring dengan lamanya penyimpanan. Bakteri ini dapat berasal dari

air yang terpolusi dan wadah yang digunakan selama penanganan. Keberadaan

bakteri ini dapat merusak kulit dan insang, menimbulkan amonia, bau asam, serta

menyebabkan kerusakan pada daging (Clucas dan Sutcliffe 1981).

4.2.4 Nilai TVB

Indeks kemunduran mutu hasil perikanan dapat diketahui melalui

kandungan TVB. Kandungan basa mudah menguap (TVB) merupakan hasil akhir

penguraian protein, sehingga kadar TVB tersebut dapat dipakai sebagai indikator

kerusakan ikan (Siswanto dan Soedarto 2008). Berbagai komponen, seperti basa

volatil, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat

reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Pada penelitian

Page 49: enzim katepsin

49

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta N

ilai T

VB

(m

g N

/100

g)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

W aktu Penyim panan Suhu C hillinG (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

ini perbandingan nilai TVB pada daging ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat

pada Gambar 7.

Gambar 7. Rata-rata nilai TVB ikan bandeng P, Q, R dan S

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa ikan bandeng P dan R pada

fase pre-rigor memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 14,28 mg N/100 g dan ikan

bandeng Q dan S juga memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 11,76 mg N/100 g.

Nilai tersebut menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan

sangat segar. Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya

waktu penyimpanan akibat adanya degradasi oleh enzim dalam tubuh ikan

menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen-

komponen penyusun senyawa basa volatil (Yunizal dan Wibowo 1998). Nilai

TVB daging ikan bandeng tertinggi dicapai setelah penyimpanan 19 jam

penyimpanan suhu ruang sebesar 49 mg N/100 g dan pada penyimpanan suhu

chilling setelah penyimpanan 540 jam (23 hari) sebesar 74,2 mg N/100 g. Nilai

tersebut menujukkan bahwa daging ikan bandeng sudah tidak dapat dikonsumsi

(Farber 1965). Menurut Siswanto dan Soedarto (2008) peningkatan kandungan

TVB terjadi karena adanya bakteri yang menguraikan protein menjadi TVB.

Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB.

Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g.

Page 50: enzim katepsin

50

Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar.

Ikan termasuk kriteria masih bisa dikonsumsi apabila nilai TVB antara

20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari

30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan batasan tersebut, ikan bandeng yang

disimpan pada suhu ruang masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi

sampai waktu penyimpanan 15 jam dengan nilai TVB antara

23,8-24,36 mg N/100 g dan 300 jam untuk ikan bandeng yang disimpan pada

suhu chilling dengan nilai TVB antara 28-28,4 mg N/100 g.

Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP,

juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah

kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia

dalam sel. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai

dengan melepaskan energi (Jiang 2000). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi

ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase.

Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP

diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat

berubah menjadi hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan

molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenin (Eskin 1990).

Nilai TVB pada ikan bandeng P, Q, R, dan S semakin meningkat seiring

dengan fase laju kemunduran mutu ikan. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA

α=0,05 ) pada analisis TVB dengan rancangan acak kelompok dapat dikatakan

bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan

dari masing-masing ikan bandeng P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang

tidak berbeda nyata terhadap nilai TVB pada tingkat kepercayaan 95 %

(Lampiran 7c). Menurut Siswanto dan Soedarto (2008) peningkatan panas (suhu)

yang semakin tinggi sampai batas tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim

dalam hidrolisis protein sehingga meningkatkan kadar TVB. Hasil uji ragam

(ANOVA α=0,05 ) pada nilai TVB dengan rancangan acak kelompok

menunjukkan fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan

busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TVB pada

tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7c). Nilai TVB ikan yang disimpan suhu

chilling (ikan R dan S) pada fase busuk memiliki nilai yang lebih tinggi daripada

Page 51: enzim katepsin

51

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta A

ktiv

itas

Enz

im K

atep

sin

(U/m

l)

0 ,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

ikan P dan Q yang disimpan pada suhu ruang. Taskaya et al. (2003) menyebutkan

bahwa kenaikan nilai TVB ini disebabkan karena adanya pengaruh lama

penyimpanan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor suhu panas, komposisi

garam, kondisi fisiologis, kandungan protein dan aktivitas enzim.

4.3 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Katepsin

Kematian hewan merupakan penyebab utama terjadinya perubahahan

biokimia pada jaringan otot. Setelah mati, nilai pH akan mengalami penurunan

karena adanya akumulasi asam laktat, rendahnya ATP, dan terjadinya

penghancuran membran sel. Perubahan biokimia yang utama adalah terjadinya

proteolisis miofibril. Pada post mortem, enzim katepsin mempunyai peran dalam

proses terjadinya penurunan kesegaran mutu daging ikan (Ladrat et al. 2003).

Gambar 8 memperlihatkan aktivitas enzim katepsin pada ikan P, Q, R, dan S.

Gambar 8. Rata-rata aktivitas enzim katepsin

Aktivitas enzim katepsin tertinggi pada ikan P, Q, R, dan S terdapat pada

fase post rigor dengan aktivitas masing-masing yaitu 0,929 U/ml, 0,911 U/ml,

0,447 U/ml, dan 0,821 U/ml. Aktivitas enzim katepsin akan memberikan

pengaruh yang signifikan jika nilai pH daging rendah selama penyimpanan 6 hari

setelah memasuki fase post mortem (Taylor et al. 1995 diacu dalam

Gil et al. 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan pH yang maksimum untuk

Page 52: enzim katepsin

52

berlangsungnya aktivitas enzim katepsin pada ikan P, Q, R, dan S adalah antara

6,79-6,82. Proses penguraian protein terjadi akibat adanya penurunan pH jaringan

otot karena terbentuknya asam laktat. Nilai pH yang rendah dengan bantuan ATP

akan menyebabkan aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin yang

relatif mudah mengalami penguraian. Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa

rigor mortis (kekakuan). Selain itu proses penguraian protein ini akan

menyebabkan protein miofibril dan sarkoplasma terbongkar atau terhidrolisis

menjadi peptida dan asam amino bebas yang akan mempengaruhi cita rasa dan

akumulasi metabolit (Kreuzer 1965). pH optimal enzim katepsin D yang telah

berhasil dimurnikan dari otot ikan tilapia sebesar 5,5-6,0. Katepsin D ini memiliki

berat molekul 38 kDa dan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin. Selain

itu, pada kelompok ikan tilapia juga telah diketahui terdapat aktivitas enzim

katepsin A yang memiliki aktivitas eksopeptidase dengan pH optimum 5-6

(Doke et al. 1980 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Aktivitas enzim katepsin

pada ikan P dan Q fase post rigor lebih tinggi daripada ikan R dan S. Hal ini

diduga karena pengaruh suhu. Menurut Siebert dan Schmitt 1965 aktivitas enzim

katepsin akan optimum pada suhu 37 0C. Aktivitas enzim katepsin B dan L yang

diekstrak dari daging longissimus porcine selama penyimpanan pada suhu 4 0C

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Aktivitas enzim katepsin B dan L daging Longissimus porcine

selama penyimpanan suhu 4 0C

Waktu (hari) Aktivitas Enzim Katepsin B+L (U/gr)

0 0,566

1 0,568

7 0,441

14 0,505

Sumber : Gil et al. (1998)

Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) perlakuan kombinasi

kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang

tidak berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin pada tingkat kepercayaan 95 %

(Lampiran 7d). Hal ini diduga ikan yang tidak dipuasakan mempunyai tingkat

kelaparan yang sama dengan ikan yang dipuasakan karena rentang waktu antara

pemberian pakan ikan yang tidak dipuasakan sebelum panen adalah 5 jam.

Page 53: enzim katepsin

53

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20Rat

a-ra

ta K

onse

ntra

si P

rote

in E

nzim

Kat

epsi

n (m

g/m

l)

0 ,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

Haetami (2002) melaporkan bahwa laju pelaluan pakan sejak dikonsumsi sampai

keluar menjadi feses adalah 7 jam. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05)

menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post

rigor, dan busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas

katepsin pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7d). Hal ini dapat terjadi

karena pengaruh lama penyimpanan dan kualitas daging (Gil et al. 1998), pH

asam (Almeida et al. 2001) konsentrasi enzim, konsentrasi substrat dan suhu

(Lehninger 1993).

Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat kaitannya dengan konsentrasi

protein enzim. Gambar 9 menyajikan jumlah konsentrasi protein enzim katepsin

dari ikan P, Q, R, dan S.

Gambar 9. Rata-rata konsentrasi protein enzim katepsin

Pola kenaikan konsentrasi protein enzim katepsin ikan P, Q, R dan S dari

fase pre rigor hingga post rigor sama dengan pola kenaikan aktivitasnya.

Aktivitas enzim katepsin yang tinggi pada fase post rigor tentunya berkaitan erat

dengan tingginya konsentrasi protein enzim katepsin dari masing-masing ikan,

yakni ikan P sebesar 0,826 mg/ml, ikan Q sebesar 0,639 mg/ml, ikan R sebesar

0,603 mg/ml, dan ikan S sebesar 0,609 mg/ml. Hal itu disebabkan enzim pada

Page 54: enzim katepsin

54

dasarnya tersusun dari komponen-komponen protein. Salah satu jenis protein

yang berperan dalam proses autolisis adalah protein sarkoplasma

(Dinu et al. 2002).

4.4 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Kolagenase

Kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu

mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda

berdasarkan pada fungsi fisiologisnya. Serin kolagenase terlibat dalam produksi

hormon dan aktivitas farmakologi. Fungsi tersebut meliputi pencernaan protein,

penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks, dan fertilisasi (Neurath

1984; Bond and Van Mart 1987 diacu dalam Park et al. 2002). Tipe kedua adalah

metallokolagenase terdiri dari zinc yang mengandung enzim yang membutuhkan

kalsium untuk kestabilan (Strieklin et al. 1977 diacu dalam Park et al. 2002).

Selain itu metallokolagenase termasuk dalam enzim ekstraselluler dengan berat

molekul yang bervariasi dari 30 hingga 150 kDa. Jenis enzim ini telah banyak

dipelajari dari berbagai jaringan mamalia (Sellers dan Murphy 1981; Harris dan

Vater 1982 diacu dalam Paark et al. 2002). Gambar 10 memperlihatkan aktivitas

enzim kolagenase pada ikan P, Q, R, dan S.

Berdasarkan Gambar 10 dapat diketahui bahwa pada ikan P, Q, R, dan S

nilai aktivitas tertinggi enzim kolagenase terdapat pada fase post rigor masing-

masing sebesar 0,067 U/ml, 0,058 U/ml, 0,063 U/ml, dan 0,054 U/ml. Ikan P dan

R dengan perlakuan tidak dipuasakan memiliki aktivitas enzim kolagenase yang

lebih tinggi daripada ikan Q dan S dengan perlakuan dipuasakan. Hal ini diduga

karena adanya kandungan protein dalam makanan yang dapat memberikan

pengaruh terhadap aktivitas sejumlah enzim pada ikan (Cowey dan Walton 1988

diacu dalam Affandi dan Tang 2002).

Page 55: enzim katepsin

55

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta A

ktiv

itas

Enz

im K

olag

enas

e (U

/ml)

0 ,00

0,01

0,02

0,03

0,04

0,05

0,06

0,07

W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

Gambar 10. Rata-rata aktivitas enzim kolagenase

Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) dengan perlakuan kombinasi kondisi

ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang tidak

berbeda nyata terhadap aktivitas enzim kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %

(Lampiran 7e). Peningkatan panas (suhu) yang semakin tinggi sampai batas

tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim dalam hidrolisis protein

(Siswanto dan Soedarto 2008). Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) menunjukkan

bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan

busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas enzim

kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7e). Penelitian Iijima et al.

(1983) melaporkan bahwa enzim kolagenase mempunyai aktivitas maksimum

pada pH 7,4 sampai 8,0.

Aktivitas dari enzim kolagenase sangat erat kaitannya dengan konsentrasi

protein enzim kolagenase. Konsentrasi dari enzim kolagenase ikan P, Q, R, dan S

dapat dilihat pada Gambar 11.

Pola kenaikan konsentrasi protein enzim kolagenase ikan P, Q, R dan S

dari fase pre rigor hingga post rigor sama dengan pola kenaikan aktivitasnya.

Pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa konsentrasi enzim kolagenase tertinggi

ikan P, Q, R, dan S sama-sama ditemukan pada fase post rigor. Besarnya nilai

konsentrasi pada fase ini memiliki hubungan yang erat dengan nilai aktivitasnya

Page 56: enzim katepsin

56

W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta K

onse

ntra

si P

rote

in E

nzim

Kol

agen

ase

(mg/

ml)

0 ,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )

0 100 200 300 400 500 600

P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)

R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)

dimana aktivitas enzim tertinggi juga ditemukan pada fase post rigor. Aktivitas

enzim-enzim proteolitik dalam jaringan akan berjalan baik pada aktivitas

maksimalnya dan tanpa ada pembatas kecepatan (Cowey dan Walton 1988 diacu

dalam Affandi dan Tang 2002).

Gambar 11. Rata-rata konsentrasi protein enzim kolagenase

4.5 Hubungan antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan

Aktivitas dari enzim proteolitik akan mempengaruhi parameter kesegaran

ikan selama penyimpanan baik pada nilai organoleptik, pH, TPC, dan TVB.

Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter

kesegaran pada ikan P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 12.

Berdasarkan analisis korelasi linier sederhana dapat diketahui bahwa

aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada ikan P, Q, R, dan S memiliki

hubungan yang sangat erat dengan nilai organoleptik ikan bandeng utuh maupun

daging ikan bandeng pada fase pre rigor hingga post rigor (r ≥ 0,7). Hubungan

tersebut menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan maka aktivitas enzim

terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor. Peningkatan

aktivitas enzim ini diikuti dengan menurunnya nilai oraganoleptik ikan bandeng.

Page 57: enzim katepsin

57

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)

(i) (j)

Gambar 12. Koefisien korelasi aktivitas enzim fase pre rigor hingga post rigor

sampel P, Q, R, dan S; aktivitas katepsin dengan; (a) organoleptik

ikan bandeng utuh; (b) nilai organoleptik daging ikan bandeng;

(c) pH; (d) TVB; (e) TPC; aktivitas kolagenase dengan (f) nilai

organoleptik ikan bandeng utuh; (g) nilai organoleptik daging ikan

bandeng; (h) pH; (i) TVB; (j) TPC

Page 58: enzim katepsin

58

Menurut Haard dan Simpson (2000) peranan katepsin dalam proses kemunduran

mutu ikan secara nyata terlihat dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita

rasa ikan. Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan

karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan

menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek).

Analisis korelasi linier sederhana antara aktivitas enzim katepsin dan

kolagenase dengan nilai pH memiliki hubungan yang tidak erat (r ≤ 0,5) dari fase

pre rigor hingga post rigor. Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase tertinggi

sama-sama ditemukan pada ikan P dengan nilai pH sebesar 6,79 saat fase

post rigor. Aktivitas enzim katepsin akan memberikan pengaruh yang signifikan

jika nilai pH rendah (Taylor et al. 199 diacu dalam Gil et al. 1998).

Pada analisis korelasi sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim

katepsin dan kolagenase pada ikan P, Q, R, dan S mempunyai hubungan yang

sangat erat (r ≥ 0,7) dengan nilai TVB pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal

ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan maka aktivitas enzim terus

meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor. Aktivitas enzim

dalam menghidrolisis protein akan menyebabkan peningkatan nilai TVB

(Siswanto dan Soedarto 2008). Hal ini sejalan dengan Ozogul (1999) yang

menyebutkan bahwa peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas autolisis

enzim protease dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan.

Analisis korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas dari

enzim katepsin dan kolagenase mempunyai hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7)

dengan nilai TPC pada fase pre rigor hingga post rigor. Aktivitas dari enzim

katepsin dan kolagenase akan menguraikan protein menjadi senyawa-senyawa

basa volatil. Menurut Lawrie (1985) senyawa-senyawa tersebut merupakan media

yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri

pembusuk.

Pada fase pre rigor hingga post rigor enzim katepsin dan kolagenase

memiliki hubungan yang sangat erat secara linier dengan parameter kesegaran

ikan kecuali pada nilai pH, tetapi hubungan tersebut menjadi kurang erat ketika

memasuki fase busuk. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi linier sederhana

Page 59: enzim katepsin

59

aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk

yang disajikan secara lengkap pada Tabel 6.

Tabel 6. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter

kesegaran ikan fase pre rigor hingga busuk pada ikan P, Q, R, dan S

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa hubungan antara aktivitas

enzim dengan parameter kesegaran ikan menjadi kurang erat ketika memasuki

fase busuk. Namun aktivitas enzim kolagenase masih memiliki hubungan yang

sangat erat (r ≥ 0,7) hingga fase busuk pada parameter nilai organoleptik dan TPC.

Hal ini diduga karena pada fase busuk ikan masih memiliki nilai pH yang dapat

memicu aktivitas enzim kolagenase, yaitu antara 6,96-7,1. Menurut

Iijima et al. (1983) enzim kolagenase mempunyai aktivitas maksimum pada

pH 7,4 sampai 8,0.

4.6. Hubungan antar parameter kesegaran ikan

Bahan mentah yang nantinya akan dikonsumsi oleh manusia harus

mempunyai kesegaran yang baik. Berdasarkan tingkat kesegarannya, ikan dapat

dikelompokkan menjadi tiga golongan mutu bahan mentah, yaitu ikan dengan

mutu terbaik, ikan dengan mutu sedang, dan ikan dengan mutu paling bawah

(Dwiari et al. 2008). Pada penelitian ini, hubungan antar parameter kesegaran ikan

P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 13, 14, 15, dan 16.

Berdasarkan Gambar 13, 14, 15, dan 16 dapat diketahui bahwa nilai

organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S mengalami penurunan dari fase

pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB. Nilai

pH mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada

fase post rigor hingga busuk.

Parameter Kesegaran Ikan

Koefisin Korelasi

Aktivitas Enzim

Katepsin

Koefisin Korelasi

Aktivitas Enzim

Kolagenase

Nilai organoleptik ikan bandeng utuh 0,3 0,7

Nilai organoleptik daging 0,3 0,7

Nilai Ph 0,3 0,4

Nilai TVB 0,3 0,4

Nilai TPC 0,4 0,8

Page 60: enzim katepsin

60

Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tik

Ik

an B

and

eng

Utu

h

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tik

Dag

ing

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

pH

0

2

4

6

8

Rat

a-ra

ta N

ilai

TV

B (

mg

N/1

00

g)

0

10

20

30

40

50

60

Rat

a-ra

ta N

ilai

Lo

g T

PC

(C

FU

/ml)

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta A

kti

vit

as E

nzi

m K

atep

sin

(U

/ml)

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

Rat

a-ra

ta N

ilai

Ak

tiv

itas

En

zim

Ko

lag

enas

e (U

/ml)

0,00

0,01

0,02

0,03

0,04

0,05

0,06

0,07

Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh

Rata-rata Nilai Organoleptik Daging

Rata-rata Nilai pH

Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)

Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)

Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)

Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)

Gambar 13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel P

Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)

0 5 10 15 20

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tik

Ikan

Ban

den

g U

tuh

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tik

Dag

ing

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

pH

0

2

4

6

8

Rat

a-ra

ta N

ilai

TV

B (

mg

N/

10

0 g

)0

10

20

30

40

50

Rat

a-ra

ta A

kti

vit

as E

nzi

m K

atep

sin

(U

/ml)

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

Rat

a-ra

ta A

kti

vit

as E

nzi

m K

ola

gen

ase

(U/m

l)

0,00

0,01

0,02

0,03

0,04

0,05

0,06

0,07

Rat

a-ra

ta N

ilai

Lo

g T

PC

(C

FU

/ml)

0

2

4

6

8

Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh

Rata-rata Nilai Organoleptik Daging

Rata-rata Nilai pH

Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)

Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)

Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)

Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)

Gambar 14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel Q

Page 61: enzim katepsin

61

Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)

0 100 200 300 400 500 600

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tig

Ikan

Ban

den

g U

tuh

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tik

Dag

ing

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

pH

0

2

4

6

8

Rat

a-ra

ta N

ilai

TV

B (

mg

N/1

00

g)

0

20

40

60

80

Rat

a-ra

ta N

ilai

Lo

g T

PC

(C

FU

/ml)

0

2

4

6

8

Rat

a-ra

ta A

kti

vit

as E

nzi

m K

atep

sin

(U

/ml)

0,0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

Rat

a-ra

ta A

kti

vit

as E

nzi

m K

ola

gen

ase

0,00

0,01

0,02

0,03

0,04

0,05

0,06

0,07

Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh

Rata-rata Nilai Organoleptik Daging

Rata-rata Nilai pH

Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)

Rata-rata Nilai Log TPC (FU/ml)

Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)

Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)

Gambar 15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel R

Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)

0 100 200 300 400 500 600

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tik

Ikan

Ban

den

g U

tuh

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

Org

ano

lep

tik

Dag

ing

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta N

ilai

pH

0

2

4

6

8

Rat

a-ra

ta N

ilai

TV

B (

mg

N/1

00

g)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Rat

a-ra

ta N

ilai

Lo

g T

PC

(C

FU

/ml)

0

2

4

6

8

10

Rat

a-ra

ta A

kti

vit

as E

nzi

m K

atep

sin

(U

/ml)

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

Rat

a-ra

ta A

kti

vit

as E

nzi

m K

ola

gen

ase

(U/m

l)

0,00

0,01

0,02

0,03

0,04

0,05

0,06

Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh

Rata-rata Nilai Organoleptik Daging

Rata-rata Nilai pH

Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)

Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)

Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)

Col 1 vs Col 8

Gambar 16. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel S

Page 62: enzim katepsin

62

Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase juga mengalami kenaikan dan

mencapai puncak aktivitasnya pada fase post rigor tetapi mengalami penurunan

kembali pada fase busuk. Hal ini diduga karena pengaruh dari nilai pH. Aktivitas

enzim katepsin akan mencapai aktivitas optimum pada pH asam

(Almeida et al. 2001). Ikan R dan S yang disimpan pada suhu chilling memiliki

daya simpan yang lebih lama hingga 540 jam (23 hari) dari pada ikan P dan Q

yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan suhu

chilling (1 0C) merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk menghambat

kemunduran mutu ikan.

Page 63: enzim katepsin

63

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kondisi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan

suhu ruang (ikan P dan Q) selama 19 jam dengan interval waktu pengamatan

satu jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Kondisi

pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan suhu chilling

(ikan R dan S) selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan 12

jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, dan 540. Pada

penyimpanan suhu ruang pola kemunduran mutu ikan bandeng dari fase pre rigor

hingga ikan busuk berlangsung lebih cepat dari pada penyimpanan suhu chilling.

Nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R dan S mengalami penurunan dari fase pre

rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB. Nilai pH

mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase

post rigor hingga busuk.

Aktivitas enzim tertinggi (katepsin dan kolagenase) ditemukan pada ikan P

saat fase post rigor, yaitu sebesar 0,929 U/ml untuk enzim katepsin dan

0,067 U/ml untuk enzim kolagenase. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA

α=0,05) diketahui bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan

suhu penyimpanan dari masing-masing ikan P, Q, R, dan S memberikan pengaruh

yang tidak berbeda nyata terhadap aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada

tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dengan rancangan

acak kelompok pada fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post

rigor, dan busuk) menunjukkan bahwa dari masing-masing ikan P, Q, R, dan S

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin dan

kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %.

Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim

katepsin dan kolagenase memiliki hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7) secara

linier dengan parameter kesegaran ikan kecuali pada nilai pH selama proses

kemunduran mutu dari fase pre rigor hingga post rigor dan menjadi kurang erat

setelah memasuki fase busuk. Namun aktivitas enzim kolagenase masih memiliki

Page 64: enzim katepsin

64

hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7) hingga fase busuk pada parameter nilai

organoleptik dan TPC.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka disarankan untuk dilakukan

penelitian lanjutan dengan aplikasi inhibitor enzim baik alami maupun komersil

untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Disarankan juga untuk

dilakukan penelitian dengan menentukan aktivitas enzim lainnya, misalnya

tripsin, kemotripsin, dan pepsin.

Page 65: enzim katepsin

65

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekan Baru : Unri Press.

Afrianto E dan Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.

Yogyakarta : Kanisius.

Almeida PC, Nantes IL, Chagas JR, Rizzi CCA, Alario AF, Carmona E, Juliano

L, Nader HB, Tersarior ILS. 1983. Cathepsin B activity regulation. The

Journal of Biological Chemistry 276 (2) : 944-951.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989.

Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas

Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Azanza MPV, Ortega MP, Valdezco RG. 2001. Microbial quality of rellenado

milkfish (Chanos chanos, Forskall). Food Control 12 : 365-371.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2002. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending

Usaha Kecil. www.google.com. [5 Maret 2009].

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009. Metodologi Perikanan.

www.geocities.com. [5 Maret 2009].

[BRKP] Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2007. Dukungan Teknologi

Penyediaan Produk Perikanan. www.litbang.deptan.go.id. [5 Maret 2009].

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-2345-2006.

Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta : Badan Standardisasi Indonesia.

Bagarinao T. 1994. Systematics, distribution, genetics and life history of milkfish,

Chanos chanos. Environmental Biology of Fishes 39 : 23-41.

Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive for the quantitation of mocrogram

quantities of protein utilization the principles of protein dye binding.

Analytical Biochemistry 72 : 248-254.

Bramsnaes F, Hansen P. 1965. Technological Problems Conncted with Rigor

Mortis in Fish Requiring more Knowledge from Fundamental Research.

Di dalam : Kreuzer R, editor. The Technology of Fish Utilization. England:

Fishing News (Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet Street London EC4.

Clucas IJ dan Sutcliffe PJ. 1981. An Introduction to Fish Handling and Procesing.

London : Tropical Products Institute.

Page 66: enzim katepsin

66

Dinu D, Dumitru IF, Nichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two

chatepsins from muscle of Carasiuss auratus gibelio.

Roum Biotechnology 7 : 753-758.

Dwiari SR, Asadayanti DD, Nurhayati, Sofyaningsih M, Yudhanti SFAR, Yoga

IBKW. 2008. Teknologi Pangan. Jakarta : Departemen Pendidikan

Nasional.

Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. San Diego : Academic

Press, Inc.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and quality changes in

fresh fish. Hush HH, editor. Rome: FAO Fisheris Technical Paper.

Farber L. 1965. Freshness Test. Borgstorm G, editor. Di Dalam: Fish as Food

Vol IV. New York: Academic Press.

Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor : LSI

Institut Pertanian Bogor.

Ghufron M dan Kardi H. 1997. Budi Daya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak

Sistem Polikultur. Semarang : Dahara Prize.

Gil M, Hortos M, Sarraga C. 1998. Calpain and cathepsin activities, and protein

extractability during ageing of Longissimus porcine muscle from normal

and PSE meat. Food Chemistry 63 : 385-390.

Golub LM, Siegel K, Ramamurthy NS, Mandel ID. 1976. Some characteristics of

collagenase activity in gingival crevicular fluid and its relationship to

gingival diseases in humans. Journal of Dental Research 55 : 1049-1057.

Haetami K. 2002. Evaluation of Waste of Azolla Digestibility on Red Belly Fish

(Colossoma macropomum, Cuvier 1818). Bandung:Universitas Padjajaran.

Haard NF dan Simpson BK. 2000. Seafood Enzymes. New York : Marcel

Dekker, Inc.

Hidayati L. 2005. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan dalam Penyimpanan

Freezer Lemari Es Terhadap Kandungan Protein dan Jumlah Total Koloni

Bakteri Ikan Bandeng (Chanos chanos). [Tesis]. Universitas

Muhammadiyah Malang.

Iijima K, Ando K, Kishi M, Nakashizuka T, Hayakawa T. 1983. Collagenase

activity in human saliva. Journal of Dental Research 62 (6) : 709-712.

Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV. Paripurna.

Irawan HSR. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo : CV Aneka.

Page 67: enzim katepsin

67

Jiang ST. 2000. Enzymes and Their Effects on Seafood Texture. Di dalam: Haard

NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence

on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 411-

450.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Panebar Swadaya.

Kim SK, Park PJ, Kim JB, Shahidi F. 2002. Purification and Characterization of

the collagenase from the tissue of filefish, Novoden modestrus. Journal of

Biochemistry and Molecular Biology.35 (2) : 165-171.

Kreuzer R. 1965. The Technology of Fish Utilization. England : Fishing News

(Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet Street London EC4.

Ladrat CD, Bagnis VV, Noel J, Fleurence J. 2003. Proteolytic potential in white

muscle of sea bass (Dicentrarchus labrax L.) during post mortem storage

on ice : time-dependent changes in the activity of the components of the

calpain system. Food Chemistry 84 : 441-446.

Lawrie RA. 1985. Meat Science. 4th

Edition. Lowa : MC Brown Comp.

Publisher.

Lehninger AL. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta : Erlangga. Terjemah

dari : The Foundation of Biochemistry.

Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Panebar

Swadaya.

Murniyati AS dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan, dan Pengawetan

Ikan. Jakarta : Kanisius.

Ozogul F. 1999. Comparison of methods used for determination of total volatile

base nitrogen (TVB-N) in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J.

Zool. 24:113-120.

Park JW, Korhonen RW, Lanier TC. 1990. Effects of Rigor Mortis on

Gel-forming Properties of Surimi and Unwashed Mince Prepared from

Tilapia. Journal of Food Science. 55 (2) : 353-355.

Park PJ, Lee SH, Byun HG, Kim SH, Kim SK. 2002. Purification and

Characteristization of a collagenase from the Mackerel, Scomber

japonicus. Journal of Biochemistry and Moleculer Biology. 35 (6) :

576-682.

Partman W. 1965. Changes in Proteins, Nuleotides and Carbohydrates during

Rigor Mortis. Di dalam : Kreuzer R, editor. The Technology of Fish

Utilization. England: Fishing News (Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet

Street London EC4.

Page 68: enzim katepsin

68

Ridwansyah. 2002. Pengaruh Konsentrasi Hidrogen Peroksida dan lama

perendaman Terhadap Mutu Ikan Kembung yang di Pindang. USU

Library : Universitas Sumatra Utara.

Revianti S dan Parisihni K. 2009. MMPS Role on Metastasis of Oral Squamous

Cell Carcinoma. www.google.com. [8 Agustus 2009].

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta : Bina Cipta.

Saito M, Sato K, Kunisaki N, Kimura S. 2000. Characterization of a rainbow trout

matrix metalloproteinase capable of degrading type I collagen. Journal of

Biochemistry 267 : 6943-6950.

Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafood : Chemistry, Processing Technology and

Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional.

Siebert G dan Schmith A. 1965. Fish Tissue Enzymes and their Role in the

Deteriorative Changes in Fish. Di dalam : Kreuzer R, editor. The

Technology of Fish Utilization. England: Fishing News (Books) Ltd.

Ludgate House 110 Fleet Street London EC4.

Siswanto HP dan Soedarto. 2008. Respon kualitas bandeng (Chanos chanos) asap

terhadap lama pengeringan. Berkala Ilmiah Perikanan 3 (1).

Snedecor GW dan Cochran WG. 1967. Statistical Methods. New Delhi: Oxford

and IBH Publishing Co.

Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan

Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Terjemahan dari : The Principle and Procedure of Statistic. A Biometrics

Approach.

Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor : Pusat Antar Universitas.

Taskaya L, Cakli S, Celik U. 2003. A study on the quality changes of cultured

gilthead seabream (Sparus aurata L.,1758) and Seabbass (Dicentrarchus

labrac L.,1758) under the market conditios. Journal of Fisheries and

Aquatic Sciences 20 : 313-320.

Yunizal dan Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta : Pusat Penelitian

dan Pengembanagn Perikanan.

Page 69: enzim katepsin

69

Page 70: enzim katepsin

70

Lampiran 1. Diagram alir tahapan penelitian secara keseluruhan

Ikan bandeng di tambak

Tidak dipuasakan Dipuasakan

Pemanenan

Ikan dimatikan

Penyimpanan suhu ruang Penyimpanan suhu chilling

Uji organoleptik, nilai pH, TPC, dan TVB

Ekstraksi enzim katepsin dan kolagenase

Uji aktivitas enzim

Page 71: enzim katepsin

71

Lampiran 2. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006)

Nama Panelis : Tanggal :

Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan

pengujian.

Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.

Spesifikasi Nilai Kode contoh 1 2 3 4 5

A. Kenampakan

1. Mata

- Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.

9

- Cerah, bola mata rata, kornea jernih. 8

- Agak cerah, bola mata rata, pupil agak

keabu-abuan, kornea agak keruh.

7

- Bola mata agak cekung, pupil berubah

keabu-abuan, kornea agak keruh.

6

- Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan,

kornea agak keruh.

5

- Bola mata cekung, pupil mulai berubah

menjadi putih susu, kornea keruh.

3

- Bola mata sangat cekung, kornea agak

kuning.

1

2. Insang

- Warna merah cemerlang, tanpa lendir.

9

- Warna merah kurang cemerlang, tanpa

lendir.

8

- Warna merah agak kusam, tanpa lendir. 7

- Merah agak kusam, sedikit lendir. 6

- Mulai ada perubahan warna, merah

kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir.

5

- Warna merah coklat, lendir tebal. 3

- Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir

tebal.

1

3. Lendir permukaan badan

- Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat

cerah, belum ada perubahan warna.

9

- Lapisan lendir jernih, transparan, cerah,

belum ada perubahan warna.

8

- Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak

putih, kurang transparan.

7

- Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak

kusam, kurang transparan.

6

- Lendir tebal menggumpal, mulai berubah

warna putih, keruh.

5

- Lendir tebal menggumpal, warna putih

kuning.

3

- Lendir tebal menggumpal, warna kuning

kecoklatan

1

Page 72: enzim katepsin

72

4. Daging (warna dan kenampakan)

- Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik

jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang

belakang, dinding perut daging utuh.

9

- Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis,

tidak ada pemerahan sepanjang tulang

belakang, dinding perut utuh.

8

- Sayatan daging sedikit kurang cemerlang,

spesifik jenis, tidaka ada pemerahan

sepanjang tulang belakang, dinding perut

daging utuh.

7

- Sayatan daging mulai pudar, banyak

pemerahan sepanjang tulang belakang,

dinding perut lunak.

5

- Sayatan daging kusam, warna merah jelas

sekali sepanjang tulang belakang, dinding

perut lunak.

3

- Sayatan daging kusam sekali, warna merah

jelas sekali sepanjang tulang belakang,

dinding perut sangat lunak.

1

II. Bau

- Bau sangat segar, spesifikasi jenis.

9

- Segar, spesifik jenis. 8

- Netral. 7

- Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau

asam.

5

- Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam

jelas dan busuk.

3

- Bau busuk jelas. 1

III. Tekstur

- Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit

menyobek daging dari tulang belakang.

9

- Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari,

sulit menyobek daging dari tulang belakang.

8

- Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan

jari, sulit menyobek daging dari tulang

belakang.

7

- Agak lunak, kurang elastis bila ditekan

dengan jari, agak mudah menyobek daging

dari tulang belakang.

5

- Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah

menyobek daging dari tulang belakang.

3

- Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila

ditekan, mudah sekali menyobek daging dari

tulang belakang.

1

Page 73: enzim katepsin

73

Lampiran 3a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)

1. Buffer Tris-HCl 0,1 M (pH 7,4)

Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram dilarutkan ke dalam 995 ml

akuades. Lalu ditepatkan pH nya hingga 7,4 dengan penambahan HCl pekat (1 N)

sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter.

Lampiran 3b. Diagram alir ekstraksi enzim katepsin

Daging + akuades (1:5)

Homogenisasi

Sentrifuse 1.000 rpm (10 menit)

Supernatan di sentrifuse 10.000 rpm (10 menit)

Pellet + buffer tris Hcl pH 7,4

Sentrifuse 4.000 rpm (10 menit)

Ekstrak kasar

Lampiran 4a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan

Stein (1954) diacu dalam Kim et al. (2002))

1. Buffer Tris-HCl 100 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,25 % Triton-X 100 dan

10 mM CaCl2

Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram ditambah 1,4702 gram

CaCl2 dan 2,5 ml Triton-X 100 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu

ditapatkan pH nya hingga 8,0 dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit

demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter.

2. Buffer Tris-HCl 20 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,36 mM CaCl2

Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 2,4228 gram ditambah 0,0529 gram

CaCl2 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditapatkan pH nya hingga

8,0 dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit demi sedikit. Kemudian

ditepatkan volumenya hingga satu liter.

Page 74: enzim katepsin

74

Lampiran 4b. Diagram alir ekstraksi enzim kolagenase

Daging + buffer tris HCl pH 8,0 (1:5)

Homogenisasi

Sentrifuse 7.000 rpm (20 menit)

Pellet + buffer tris HCl pH 8,0 di sentrifuse 7.000 rpm (20 menit)

supernatan + buffer tris Hcl pH 8,0

Didiamkan 48 jam

Lampiran 5a. Diagram alir analisis nilai pH

Daging ikan 10 gram

Homogenisasi

Pengukuran dengan pH meter

Pembacaan skala

Lampiran 5b. Diagram alir analisis nilai TPC

Daging 10 gram

Penambahan 90 ml larutan garam 0,85 % steril

Homogenisasi

Pengenceran

(10-2

, 10-3

, 10-4

, 10-5

)

Pemipetan dalam cawan petri + NA

Penginkubasian 30 0C selama 48 jam

Penghitungan jumlah koloni

Page 75: enzim katepsin

75

Lampiran 5c. Diagram alir analisis nilai TVB

Daging 15 gram + TCA 7 % 45 ml

Homogenisasi

Penyaringan

Pemasukan 1 ml H3BO3

dalam inner chamber

Pemasukan filtrat dalam outer chamber

Penambahan K2CO3 dalam outer chamber

Pencampuran

Penginkubasian selama 24 jam suhu 370 C

Titrasi denganHCl 0,032 N

Penghitungan nilai TVB

Lampiran 6a. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin

(Dinu et al. 2002)

a. Hemoglobin 2 % dengan pH 2,0

Hemoglobin 8 % sebanyak 50 ml dilarukan ke dalam 145 ml akuades

(perbandingan hemoglobin : akuades adalah 1:3). Kemudian pH dibuat menjadi

2,0 dengan penambahan HCl 1 N dan volume akhir ditepatkan menjadi 150 ml.

b. TCA 5 %

Sebanyak 5 gram TCA dilarutkan diacu dalam akuades hingga volume

akhir 100 ml.

Page 76: enzim katepsin

76

Lampiran 6b. Prosedur pengukuran aktivitas enzim katepsin

Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standar (ml)

Substrat

Enzim

Tirosin

Akuades

1,00

0,20

-

-

1,00

-

-

0.20

1,00

-

0,20

-

Di inkubasi pada suhu 37 0C selama 10 menit

TCA 5 % 2,00 2,00 2,00

Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring

Supernatant ditambah dengan 1 ml folin

Diukur dengan spektrofotometer pada λ = 750 nm

Lampiran 6c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase

(Moore dan Stein (1954) diacu dalam Park et al. (2002))

a. Buffer Tris-HCl 0,05 M pH 7,5 yang terdiri dari 5 mM CaCl2

Tris base sebanyak 6,057 gram ditambahkan CaCl2 sebanyak 1,4702 gram.

Kemudian bahan tersebut dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditepatkan

pH nya hingga 7,5 dengan penambahan HCl pekat sedikit demi sedikit. Kemudian

ditepatkan volumenya hingga satu liter.

b. Tirosin standar

Tirosin sebanyak 0,2 g dilarutkan ke dalam 220 ml buffer Trsi-HCl 0,2 M

pH 8,0. Selanjutnya larutan diaduk perlahan dengan magnetic stirrer. Larutan ini

disimpan pada suhu 0-4 0C dan dapat digunakan selama satu minggu.

c. Asam trikloro asetat (TCA) 50 % (w/v)

Sebanyak 50 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume

akhirnya 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut dan

disimpan pada suhu 0-4 0C.

Page 77: enzim katepsin

77

d. Larutan nynhydrin 0,1 % (w/v)

Sebanyak 0,1 gram larutan nynhidrin dilarutkan dalam akuades hingga

volume akhirnya 100ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut

dan disimpan pada suhu 0-4 0C.

e. 1-propanol 50 % (v/v)

Sebanyak 50 ml 1-propanol dilarutkan dalam akuades hingga volume

akhirnya sebanyak 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga

larut dan disimpan pada suhu 0-4 0C.

Lampiran 6d. Prosedur pengukuran aktivitas enzim kolagenase

Pereaksi Sampel (ml) Balnko (ml) Standar (ml)

Buffer Tris-HCl (0,05 M,pH 7,5)

Substrat kolagen

Enzim

Tirosin standar

Buffer Tris-HCl (0,05 M,pH 7,5)

1,00

5,00

0,10

-

-

1,00

5,00

-

-

0,10

1,00

5,00

-

0,10

-

Di inkubasi pada suhu 37 0C selama 60 menit

TCA 50 % 0,20 0,20 0,20

Diinkubasi suhu ruang selama 10 menit, lalu disaring dengan kertas saring

Supernatant

Larutan nynhydrin 0,1 %

0,20

1,00

0,20

1,00

0,20

1,00

Diinkubasi pada suhu 100 0C selama 20 menit

1-propanol 50% 5,00 5,00 5,00

Diukur dengan spektrofotometer λ = 570 nm

Page 78: enzim katepsin

78

Lampiran 6e. Diagram alir pengukuran konsentrasi protein enzim

0,1 ml enzim

Penambahan 5 ml pereaksi Bradford

Penginkubasian selama 5 menit

Pengukuran dengan spektrofotometer (595 nm)

Lampiran 6f. Kurva standar penentuan konsentrasi protein

(1) Penentuan konsentrasi protein enzim katepsin

(a) Standar BSA

Konsentrasi Absorbansi

0.025 0.011

0.05 0.035

0.075 0.0421

0.1 0.063

0.125 0.075

0.15 0.089

0.175 0.093

0.2 0.097

0.225 0.145

0.25 0.153

(b) Kurva standar BSA

Page 79: enzim katepsin

79

Contoh perhitungan konsentrasi protein ekstrak kasar enzim katepsin :

Y = 0.588X - 0

0.161 = 0.588X - 0.000

X = 0.161+0.000

0. 588

= 0.2847

(2) Penentuan konsentrasi protein enzim kolagenase

(a) Standar BSA

Konsentrasi Absorbansi

0.025 0.0211

0.05 0.043

0.075 0.063

0.1 0.078

0.125 0.085

0.15 0.089

0.175 0.097

0.2 0.103

0.225 0.109

0.25 0.115

(b) Kurva standar BSA

Page 80: enzim katepsin

80

Contoh perhitungan konsentrasi protein akstrak kasar enzim kolagenase :

Y = 0.380X + 0.028

0.132 = 0.380X + 0.028

X = 0.132 - 0.028

0.380

= 0,2921

Lampiran 7a. Hasil uji ragam ANOVA terhadap pH

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Perlakuan 3 0.01807 0.01807 0.00602 3.79 0.052

Blok 3 3.16777 3.16777 1.05592 664.28 0.000

Error 9 0.01431 0.01431 0.00159

Total 15 3.20014

S R-Sq R-Sq (adj)

0.0398696 99.55% 99.25%

Lampiran 7b. Hasil uji ragam ANOVA terhadap Log TPC

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Perlakuan 3 0.0599 0.0599 0.0200 1.05 0.416

Blok 3 35.5064 35.5064 11.8355 623.63 0.000

Error 9 0.1708 0.1708 0.0190

Total 15 35.7371

S R-Sq R-Sq (adj)

0.137762 99.52% 99.20%

Lampiran 7c. Hasil uji ragam ANOVA terhadap TVB

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Perlakuan 3 294.27 294.27 98.09 2.06 0.176

Blok 3 5434.22 5434.22 1811.41 38.06 0.000

Error 9 428.35 428.35 47.59

Total 15 6156.84

S R-Sq R-Sq (adj)

6.89889 93.04% 88.40%

Page 81: enzim katepsin

81

Lampiran 7d. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim katepsin

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Perlakuan 3 0.06943 0.06943 0.02314 1.37 0.312

Blok 3 0.82909 0.82909 0.27636 16.42 0.001

Error 9 0.15150 0.15150 0.01683

Total 15 1.05002

S R-Sq R-Sq (adj)

0.129744 85.57% 75.95%

Lampiran 7e. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim kolagenase

Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P

Perlakuan 3 0.0001517 0.0001517 0.0000506 2.04 0.178

Blok 3 0.0057738 0.0019246 0.0019246 77.77 0.000

Error 9 0.0002227 0.0002227 0.0000247

Total 15 0.0061482

S R-Sq R-Sq (adj)

0.00497455 96.38% 93.96%

Page 82: enzim katepsin

82

Lampiran 8. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada

penentuan pola kemunduran mutu

Keterangan :

P = Tidak Dipuasakan, Suhu Ruang

Q = Dipuasakan, Suhu Ruang

R = Tidak Dipuasakan, Suhu Chilling

S = Dipuasakan, Suhu Chilling

a = Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh

b = Rata-rata Nilai Organoleptik Daging

c = Rata-rata Nilai pH

d = Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g

e = Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)

Sampel Pre Rigor Rigor Mortis

a b c d e a b c d e

P 9 9 6,62 14,28 3,66 8 8 5,85 15,12 4,68

Q 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 19,88 4,95

R 9 9 6,62 14,28 3,66 6 8 5,76 20,1 4,68

S 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 24 4,97

Sampel Pre Rigor Rigor Mortis

a b c d e a b c d e

P 9 9 6,62 14,28 3,66 8 8 5,85 15,12 4,68

Q 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 19,88 4,95

R 9 9 6,62 14,28 3,66 6 8 5,76 20,1 4,68

S 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 24 4,97

Sampel Post Rigor Busuk

a b c d e a b c d e

P 6 6 6,79 23,8 6,61 3 3 6,96 49 7,7

Q 6 6 6,82 24,36 6,84 3 3 7,1 47,04 7,34

R 5 6 6,81 28 6,66 3 3 6,96 74,2 7,29

S 5 6 6,82 28,4 6,85 3 3 6,96 73,1 7,38

Page 83: enzim katepsin

83

Lampiran 9. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu

1. Hasil pengujian aktivitas enzim katepsin

Keterangan :

P = Tidak Dipuasakan, Suhu Ruang

Q = Dipuasakan, Suhu Ruang

R = Tidak Dipuasakan, Suhu Chilling

S = Dipuasakan, Suhu Chilling

Sampel Pre Rigor Rigor Mortis

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

P 0,214 0,286 0,286 0,536

Q 0,179 0,245 0,196 0,486

R 0,214 0,322 0,286 0,424

S 0,179 0,285 0,268 0,297

Sampel Pre Rigor Rigor Mortis

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

P 0,929 0,826 0,536 0,657

Q 0,911 0,639 0,196 0,555

R 0,446 0,603 0,286 0,382

S 0,821 0,609 0,321 0,386

Page 84: enzim katepsin

84

2. Hasil pengujian aktivitas enzim kolagenase

Sampel Pre Rigor Rigor Mortis

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

P 0,013 0,316 0,033 0,521

Q 0,013 0,292 0,029 0,474

R 0,008 0,313 0,021 0,559

S 0,013 0,321 0,025 0,509

Sampel Post Rigor Busuk

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

Aktifitas

(U/ml)

Konsentra

si Protein

(mg/ml)

P 0,067 0,732 0,05 0,495

Q 0,058 0,815 0,054 0,467

R 0,063 0,879 0,054 0,476

S 0,054 0,738 0,038 0,407

Keterangan :

P = Tidak Dipuasakan, Suhu Ruang

Q = Dipuasakan, Suhu Ruang

R = Tidak Dipuasakan, Suhu Chilling

S = Dipuasakan, Suhu Chilling

Page 85: enzim katepsin

85

Lampiran 10. Dokumentasi penelitian

a. Tambak tempat pengambilan sampel b. Penangkapan ikan bandeng

c. Pemasukan ikan bandeng dalam wadah d. Transportasi ikan bandeng

e. Penyimpanan suhu ruang f. Penyimpanan suhu chilling

Page 86: enzim katepsin

87

g. Ikan bandeng kondisi pre rigor h. Ikan bandeng kondisi rigor

mortis

i. Ikan bandeng kondisi post rigor j. Ikan bandeng kondisi busuk

k. Uji organoleptik l. Preparasi ikan bandeng

m. Uji pH dan TVB n. Uji TPC

Page 87: enzim katepsin

87

o. Uji aktivitas katepsin p. Larutan hasil reaksi uji aktivitas

katepsin

q. Uji aktivitas kolagenase r. Larutan hasil reaksi uji aktivitas

kolagenase