enzim katepsin
-
Upload
amrynsyah-ahmad -
Category
Documents
-
view
669 -
download
5
Transcript of enzim katepsin
1
AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE
DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall)
SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN
Rustamaji
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
2
RINGKASAN
RUSTAMAJI. C34050694. Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari
Daging Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran
Mutu Ikan. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan ELLA SALAMAH.
Salah satu penyebab terjadinya proses kemunduran mutu ikan adalah
adanya aktivitas enzim terutama enzim proteolitik diantaranya enzim katepsin dan
kolagenase. Katepsin merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan
tubuh ikan. Enzim ini sangat berperan dalam proses pelunakan tekstur daging ikan
akibat degradasi protein miofibril sehingga turut mempercepat proses kemunduran
mutu ikan. Kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu
mendegradasi ikatan polipeptida saat protein belum mengalami denaturasi.
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) penentukan fase post
mortem ikan secara organoleptik, (2) penentuan pola kemunduran mutu ikan,
(3) ekstraksi enzim katepsin, dan (4) ekstraksi enzim kolagenase. Pengamatan
dilakukan terhadap empat kelompok ikan, yaitu ikan bandeng P (tidak dipuasakan,
penyimpanan suhu ruang), ikan bandeng Q (dipuasakan, penyimpanan suhu
ruang), ikan bandeng R (tidak dipuasakan, penyimpanan suhu chilling), dan ikan
bandeng S (dipuasakan, penyimpanan suhu chilling). Uji organoleptik dilakukan
setiap satu jam selama 19 jam penyimpanan suhu ruang dan setiap 12 jam selama
540 jam (23 hari) penyimpanan suhu chilling. Uji TVB, TPC, pH, assay aktivitas
enzim katepsin dan kolagenase serta konsentrasi protein enzim dilakukan pada
fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk.
Kondisi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan
suhu ruang (ikan P dan Q) selama 19 jam dengan interval waktu pengamatan
satu jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Kondisi
pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan suhu chilling
(ikan R dan S) selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan
12 jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, dan 540.
Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) diketahui bahwa perlakuan
kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-
masing ikan P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
terhadap nilai pH, TPC (Total Plate Count), TVB (Total Volatile Base), aktivitas
enzim katepsin dan kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji ragam
(ANOVA α=0,05) dengan rancangan acak kelompok pada fase kemunduran mutu
ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) menunjukkan bahwa dari
masing-masing ikan P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap nilai pH, TPC, TVB serta aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada
tingkat kepercayaan 95 %. Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa
aktivitas enzim katepsin dan kolagenase memiliki hubungan yang sangat erat (r ≥
0,7) secara linier dengan parameter kesegaran ikan kecuali pada nilai pH selama
proses kemunduran mutu dari fase pre rigor hingga post rigor dan menjadi kurang
erat setelah memasuki fase busuk. Namun aktivitas enzim kolagenase masih
memiliki hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7) hingga fase busuk pada parameter
nilai organoleptik dan TPC.
3
AKTIVITAS ENZIM KATEPSIN DAN KOLAGENASE
DARI DAGING IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskall)
SELAMA PERIODE KEMUNDURAN MUTU IKAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Rustamaji
C34050694
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
4
Judul Skripsi : Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase
dari Daging Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall)
selama Periode Kemunduran Mutu Ikan
Nama : Rustamaji
NIM : C34050694
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Dra. Ella Salamah, M.Si.
NIP. 197008071996032002 NIP. 195306291988032001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc
NIP. 196205281987032003
Tanggal Lulus :
5
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
“Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng
(Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran Mutu Ikan” adalah hasil
karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Agustus 2009
Rustamaji
C34050694
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
”Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng
(Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran Mutu Ikan”. Penelitian ini
berjalan atas pembiayaan dari program Hibah Bersaing 2008 atas nama
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,
terutama kepada :
1. Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si dan Ibu Dra. Ella Salamah, M.Si selaku
komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan
kepada penulis.
2. Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3. Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol dan Ibu
Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji yang telah memberikan
pengarahan dan saran kepada penulis.
4. Ayah dan ibunda tercinta, atas semua dukungan dan kasih sayang yang
diberikan serta doanya selama ini.
5. Bapak Darmawan, atas dukungan moril dan materiil kepada penulis selama
menjalani perkuliahan.
4. Seluruh staf dosen dan TU THP, terima kasih atas dukungan dan bantuannya
selama ini.
5. Ibu Ema (Laboran THP), Pak Wahyu (FKH), serta mbak Martini dan Pak Arya
(Biokimia) yang telah banyak membantu selama penelitian.
6. Tim seperjuangan : Kak Rijan, Kak Dede, Pak Kur, Nina, Irfan dan Jamal,
terima kasih atas semua bantuan tenaga dan semangat selama melakukan
penelitian.
7
7. Pak Oci beserta staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tangerang, terima
kasih atas bantuannya selama pengambilan sampel penelitian.
8. Rekan-rekan THP 42 yang selalu memberi kesan indah setiap saat.
9. Kakak-kakak kelasku (THP 40 dan THP 41) dan adik-adik kelasku (THP 43
dan THP 44) atas semangat dan kebersamaannya.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukannya.
Bogor, Agustus 2009
Rustamaji
8
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Rustamaji. Penulis dilahirkan
pada tanggal 18 Agustus 1986 di Pati, Jawa Tengah. Penulis
adalah anak ke-3 dari empat bersaudara dari pasangan Bapak
Yarman dan Ibu Kasiati. Penulis mengawali pendidikan pada
tahun 1993 di SDN Manjang 02 dan menyelesaikan pendidikan
pada tahun 1999. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1
Jaken (1999-2002). Penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Rembang dan
menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis
diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan.
Selama masa perkuliahan penulis pernah aktif menjadi asisten beberapa
mata kuliah, antara lain asisten mata kuliah Avertebrata Air (2007/2008), asisten
Pendidikan Agama Islam (2007/2008), dan asisten Fisiologi, Formasi, dan
Degradasi Metabolit Hasil Perairan (2008/2009). Penulis pernah didanai oleh
DIKTI dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian tahun 2006.
Penulis juga merupakan salah satu finalis Mahasiswa Berprestasi tahun 2008
Departemen THP FPIK IPB. Pada bulan Juli 2009 penulis melaksanakan praktek
lapang di PT Misaja Mitra, Pati, Jawa Tengah dengan judul “Teknik Sanitasi dan
Higiene pada Unit Pembekuan Udang (Penaeus sp.) di PT Misaja Mitra, Pati,
Jawa Tengah”. Selama masa kuliah penulis memperoleh beasiswa dari beberapa
sumber, diantaranya adalah Beasiswa Bank Mandiri, Beasiswa Peningkatan
Prestasi Akademik, Beasiswa Mahasiswa Berprestasi PPSDMS Nurul Fikri, dan
Beasiswa Women’s International Club Jakarta. Penulis juga aktif berorganisasi
baik intra kampus maupun ekstra kampus. Penulis pernah menjabat sebagai
Sekretaris Ikatan Alumni Ikasabiq SMAN 1 Rembang (2005/2006), Kepala Divisi
Profesi dan Keilmiahan Himasilkan FPIK IPB (2006/2007), Ketua Umum Ikatan
Alumni Ikasabiq SMAN 1 Rembang (2006/2008), Kepala Dept. KP2K BEM
FPIK IPB (2007/2008), Kepala Biro Kewirausahaan Yayasan FKP Foundation
(2008), dan pada tahun 2008 penulis mendirikan sekaligus menjabat sebagai
Direktur Ikasabiq Scholarship Program SMAN 1 Rembang yang merupakan
9
program beasiswa dari alumni bagi siswa-siswi berprestasi SMAN 1 Rembang.
Pada awal tahun 2009 penulis bekerja sebagai management trainee di Lembaga
Pendidikan Unggul College. Saat penyusunan skripsi ini, penulis menjabat
sebagai Kepala Cabang Lembaga Pendidikan Unggul College Bogor.
Penulis menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul
“Aktivitas Enzim Katepsin dan Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng
(Chanos chanos Forskall) selama Periode Kemunduran Mutu Ikan”, dibawah
bimbingan Dr. Tati Nurhyati, S.Pi, M.Si dan Dra. Ella Salamah, M.Si.
10
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................. 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskall) ... 3
2.2 Mutu Ikan ............................................................................................ 4
2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan ........................................................... 5
2.3.1 Pre rigor ................................................................................... 7
2.3.2 Rigor mortis .............................................................................. 7
2.3.3 Post rigor .................................................................................. 8
2.4 Enzim .................................................................................................. 10
2.4.1 Enzim katepsin.......................................................................... 10
2.4.2 Enzim kolagenase ..................................................................... 11
2.4.3 Peranan enzim katepsin dan kolagenase dalam
kemunduran mutu ..................................................................... 12
3. METODOLOGI ........................................................................................ 14
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................... 14
3.2 Bahan dan Alat Penelitian .................................................................... 14
3.3 Tahapan Penelitian ............................................................................... 15
3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik
(BSN 2006) .............................................................................. 15
3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan .................................... 15
3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ............................. 15
3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu
dalam Kim et al. 2002)............................................................. 16
3.4 Analisis ................................................................................................. 17
3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006) ................................................... 17
3.4.2 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989) ..................................... 17
3.4.3 Uji TPC (Fardiaz 1987) ............................................................ 17
3.4.4 Uji TVB (Apriyantono et al. 1989) .......................................... 18
3.4.5 Aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002) .............................. 19
11
3.4.6 Aktivitas enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu
dalam Park et al. 2002) ............................................................ 20
3.4.7 Pengukuran konsentrasi protein enzim (Breadford 1976) ........ 21
3.5 Analisis Data ....................................................................................... 21
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 24
4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan ...................................................... 24
4.2 Kemunduran Mutu Ikan ...................................................................... 25
4.2.1 Nilai organoleptik ..................................................................... 26
4.2.2 Nilai pH ..................................................................................... 30
4.2.3 Nilai TPC .................................................................................. 32
4.2.4 Nilai TVB .................................................................................. 34
4.3 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Katepsin......................................... 37
4.4 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Kolagenase .................................... 40
4.5 Hubungan antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan .... 42
4.6 Hubungan antar Parameter Kesegaran Ikan ........................................ 45
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 51
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 51
5.2 Saran .................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 53
LAMPIRAN .................................................................................................... 57
12
DAFTAR TABEL
No Teks Hal
1. Kandungan gizi ikan bandeng (Chanos chanos Forskall)........................... 4
2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan busuk ............................................................. 5
3. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan ................. 11
4. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml....................... 21
5. Aktivitas enzim katepsin B dan L daging Longissimus porcine
selama penyimpanan suhu 4 0C................................................................... 38
6. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter
kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk pada ikan P, Q, R, dan S 45
13
DAFTAR GAMBAR
No Teks Hal
1. Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) ................................. 3
2. Dasar perubahan setelah ikan mati ............................................................ 6
3. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S ............... 26
4. Rata-rata nilai organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R, dan S ............. 29
5. Rata-rata nilai pH ikan bandeng P, Q, R, dan S ....................................... 31
6. Rata-rata nilai log TPC ikan bandeng P, Q, R, dan S ............................... 33
7. Rata-rata nilai TVB ikan bandeng P, Q, R, dan S ..................................... 35
8. Rata-rata aktivitas enzim katepsin ............................................................ 37
9. Rata-rata konsentrasi protein enzim katepsin ........................................... 39
10. Rata-rata aktivitas enzim kolagenase ........................................................ 41
11. Rata-rata konsentrasi protein enzim kolagenase ....................................... 42
12. Koefisien korelasi aktivitas enzim fase pre rigor hingga post rigor
sampel P, Q, R, dan S ................................................................................ 43
13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel P ...... 46
14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel Q ..... 47
15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel R ..... 48
16. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel S ...... 49
14
DAFTAR LAMPIRAN
No Hal
1. Diagram alir tahapan penelitian secara keseluruhan ............................... 58
2. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006) ........................ 59
3a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002) ............ 61
3b. Diagram alir ekstraksi enzim katepsin ................................................... 61
4a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954
diacu dalam Park et al. 2002) ................................................................. 61
4b. Diagram alir ekstraksi enzim kolagenase ............................................... 62
5a. Diagram alir analisis nilai pH ................................................................. 62
5b. Diagram alir analisis nilai TPC .............................................................. 62
5c. Diagram alir analisis nilai TVB ............................................................. 63
6a. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin
(Dinu et al. 2002) .................................................................................... 63
6b. Prosedur pengukuran aktivitas enzim katepsin ....................................... 64
6c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase (Moore
dan Stein 1954 diacu dalam Park et al. 2002) ......................................... 64
6d. Prosedur pengukuran aktivitas enzim kolagenase .................................. 65
6e. Diagram alir pengukuran konsentrasi protein enzim ............................. 66
6f. Kurva standar penentuan konsentrasi protein .......................................... 66
7a. Hasil uji ragam ANOVA terhadap pH .................................................... 69
7b. Hasil uji ragam ANOVA terhadap Log TPC .......................................... 69
7c. Hasil uji ragam ANOVA terhadap TVB ................................................. 69
7d. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim katepsin .................. 70
7e. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim kolagenase .............. 70
8. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada penentuan
pola kemunduran mutu ........................................................................... 71
9. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu ................... 72
10. Dokumentasi penelitian ........................................................................... 73
15
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton
per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan Zona Ekonomi
Eksklusif dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton
per tahun atau sekitar 80 % dari potensi lestari. Potensi tersebut merupakan salah
satu peluang untuk meningkatkan jumlah produksi ikan baik pada perikanan
tangkap maupun perikanan budidaya. Jumlah produksi perikanan tangkap dari
penangkapan ikan dilaut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing
sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton. Produksi perikanan budidaya pada
tahun 2006 mencapai 2.625.800 ton yang didominasi oleh udang 327.260 ton,
rumput laut 1.079.850 ton, ikan mas 285.250 ton, bandeng 269.530 ton, nila
227.000 ton, lele 94.160 ton, gurame 35.570 ton, dan kerapu 8.430 ton
(BRKP 2007). Data tersebut menunjukkan bahwa produksi ikan bandeng
menduduki urutan ke-4 setelah rumput laut, udang, dan ikan mas.
Catatan Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa penawaran ikan
bandeng nasional tahun 2002 mencapai sekitar 300.000 ton dengan pertumbuhan
penawaran rata-rata 3,82 % per tahun (BPS 2002). Namun yang menjadi kendala
dalam penawaran ikan bandeng tersebut adalah masalah konsistensi mutu. Hal ini
disebabkan ikan bandeng sebagaimana jenis ikan pada umumnya cepat mengalami
pembusukan atau penurunan mutu.
Penurunan mutu ikan terjadi segera setelah ikan ditangkap atau mati.
Kecepatan penurunan mutu dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis
kelamin, jenis ikan, ukuran ikan, kondisi lingkungan, perlakuan fisik, jumlah jasad
renik, dan aktivitas enzim (Ridwansyah 2002). Salah satu jenis enzim yang
berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan adalah enzim-enzim
pengurai protein (enzim proteolitik) yang menguraikan protein menjadi pepton,
polipeptida, dan asam-asam amino (Kreuzer 1965).
16
Diantara enzim proteolitik tersebut adalah enzim katepsin dan kolagenase.
Katepsin merupakan enzim proteolitik yang terdapat pada jaringan tubuh ikan.
Enzim ini sangat berperan dalam proses pelunakan tekstur daging ikan akibat
degradasi protein miofibril sehingga turut mempercepat proses kemunduran mutu
ikan (Jiang 2000). Enzim kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim
yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida dari kolagen saat protein belum
mengalami denaturasi (Kim et al. 2002). Aktivitas enzim ini sangat berpengaruh
terhadap proses kemunduran mutu ikan (Siswanto dan Soedarto 2008). Oleh
karena itu, perlu diketahui peranan aktivitas kedua enzim tersebut dalam proses
kemunduran mutu sehingga dapat mengambil langkah yang tepat dalam
penanganan dan pengolahan ikan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
(1) Menentukan fase post mortem ikan bandeng selama penyimpanan suhu ruang
dan chilling.
(2) Menentukan pola kemunduran mutu ikan bandeng selama penyimpanan suhu
ruang dan chilling berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan.
(3) Menentukan aktivitas enzim katepsin dan kolagenase ikan bandeng serta
korelasinya terhadap parameter kesegaran ikan.
17
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos-chanos)
Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang
potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolelir salinitas perairan yang
luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng
mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan
kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).
Menurut Bagarinao (1994) ikan bandeng memiliki hubungan yang erat
dengan ikan-ikan yang hidup di air tawar. Ikan bandeng diduga berasal dari
wilayah Eropa dan Amerika Utara dan melakukan migrasi ke wilayah laut tropis.
Saat ini ikan bandeng lebih banyak ditemukan pada daerah tropis.
Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Malacopterigii
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies : Chanos-chanos
Gambar 1. Morfologi ikan bandeng (Chanos-chanos)
Sumber : www.oceanleader.com
Ikan bandeng mempunyai badan yang memanjang seperti terpedo dengan
sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan bandeng tergolong sebagai
perenang cepat. Kepala ikan bandeng tidak bersisik, mulut kecil terletak di ujung
rahang tanpa gigi, lubang hidung terletak di depan mata. Mata diliputi
18
oleh selaput bening (subcutaneus). Warna badan putih keperak-perakan dan
punggung biru kehitaman (Ghufron dan Kardi 1997).
Di Indonesia, ikan bandeng dapat dengan mudah ditemukan di daerah
Sumatra Selatan, Borneo, Jawa, dan Sulawesi. Ikan bandeng mempunyai
komposisi zat gizi yang cukup tinggi. Kandungan masing-masing zat gizi ikan
bandeng disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan bandeng (Chanos chanos Forskall)
Kandungan zat gizi per
100 g BDD
Jumlah Satuan
Energi 129 Kkal
Protein 20,0 Gram
Lemak 4,8 Gram
Karbohidrat 0,0 Gram
Sumber : BRKP (2007)
2.2 Mutu Ikan
Dibidang pasca panen kualitas ikan merupakan bahan pertimbangan bagi
orang yang mengkonsumsi atau membeli ikan. Dengan batasan tersebut, faktor
pembatas kualitas dapat mencakup nilai gizi atau nutrisi, tingkat kesegaran,
kerusakan selama transportasi, penanganan, pengolahan, penyimpanan, distribusi,
dan pemasaran serta hal-hal lain seperti bahaya terhadap kesehatan dan kepuasan
untuk mengkonsumsinya (BPTP 2009).
Kesegaran bisa dicapai bila dalam penanganan ikan berlangsung dengan
baik. Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan
biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan
berat pada daging ikan (Irawan 1995). Adapun ciri-ciri ikan segar dan ikan busuk
dapat dilihat pada Tabel 2.
19
Tabel 2. Ciri-ciri ikan segar dan ikan busuk
No Bagian Ikan segar Ikan busuk
1. Mata
Cerah, bening,
cembung,
menonjol
Pudar, berkerut,
tenggelam,
cekung
2. Insang
Merah, berbau segar,
tertutup, lendir bening
Coklat/kelabu, berbau
asam,
tertutup lendir keruh
3. Warna Terang, lendir bening Pudar, lendir kabur
4. Bau Segar seperti
bau air laut
Asam busuk
5. Daging
Kenyal, bila ditekan
bekasnya segera
kembali
Warna merah,
terutama di
sekitar tulang
punggung
6. Sisik Menempel kuat pada
kulit
Mudah lepas
7. Dinding
perut
Elastis
Menggelembung/
pecah/isi
perut keluar
8. Ikan utuh Tenggelam dalam air Terapung
Sumber : Dwiari et al. (2008)
2.3 Proses Kemunduran Mutu Ikan
Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena adanya aktivitas
enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat
kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan tersebut dapat terlihat
dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Semua proses
perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan yang
terjadi pada ikan meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim,
aktivitas mikroba, dan oksidasi (Junianto 2003).
Dasar perubahan yang terjadi setelah kematian ikan disajikan secara
ringkas dalam Gambar 2. Proses kemunduran mutu kesegaran ikan akan terus
berlangsung jika tidak dihambat. Cepat lambatnya proses tersebut sangat
dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor internal yang lebih banyak berkaitan
dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal yang berkaitan dengan lingkungan
dan perlakuan manusia. Faktor biologis (internal) tidak mudah ditangani karena
berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri (Yunizal dan Wibowo 1998).
20
Ikan mati Kerja fagosit terhenti
Aliran darah terhenti
Pemasukan oksigen terhenti
Oksidasi-reduksi potensial terhenti
Respirasi terhenti Mulai glikolisa
Glikogen -/->CO2 Glikogen -> Asam laktat
ATP dan kreatin fosfat turun pH turun
Rigor mortis Denaturasi Katepsin bebas dan
mulai protein aktif
Akumulasi Pemucatan Pemecahan protein Pertumbuhan
metabolit bakteri
prekursor
cita rasa
Gambar 2. Dasar perubahan setelah ikan mati
Sumber : Tranggono dan Sutardi (1990)
diacu dalam Ridwansyah (2002)
Ikan yang berpenyakit seringkali berada dalam kondisi stres dan kurang
dapat menahan serangan bakteri baik internal maupun eksternal. Ikan yang sedang
mengalami pemijahan banyak menggunakan energi untuk proses reproduksi,
menyebabkan otot tidak sekenyal biasanya dan bila dibekukan akan terjadi
21
pengeluaran air berlebihan (drip loss). Adapun ikan yang kelelahan (karena
menggelepar) banyak menggunakan energi sehingga proses rigor mortis
berlangsung cepat. Bila penanganan ikan dilakukan saat ikan masih mengalami
rigor mortis, maka akan terjadi kerusakan otot, yang akan semakin nyata bila ikan
difillet (BPTP 2009). Fillet ikan sebaiknya dilakukan pada saat ikan memasuki
fase pre rigor. Penelitian Park et al. (1990) menunjukkan bahwa ikan yang di fillet
saat fase pre rigor masih memiliki kandungan protein yang lebih tinggi daripada
fase rigor mortis dan post rigor.
2.3.1 Pre rigor
Perubahan pre rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar
di bawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari
glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri
(Junianto 2003). Lendir-lendir yang terlepas tersebut membentuk lapisan bening
yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini
merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak
menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh dapat banyak
hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman 2000).
2.3.2 Rigor mortis
Seperti terjadi pada daging sapi dan daging hewan lainnya, fase ini
ditandai oleh mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan
alat-alat yang terdapat dalam tubuh ikan yang berkontraksi akibat adanya reaksi
kimia yang dipengaruhi atau dikendalikan oleh enzim (Dwiari et al. 2008).
Rigor mortis terjadi pada saat-saat siklus kontraksi relaksasi antara miosin
dan aktin didalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen.
Rigor mortis dianggap penting dalam industri perikanan. Selain dapat
memperlambat pembusukan oleh mikroba juga dikenal oleh konsumen sebagai
petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan sangat segar (Eskin 1990).
Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Jika
penurunan konsentrasi ATP dalam jaringan daging mencapai 1 mikro mol/gram
dan pH mencapai 5,9 maka kondisi tersebut sudah dapat menyebabkan penurunan
kelenturan otot. Penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan
22
semakin sedikitnya jumlah ATP. Bila konsentrasi ATP lebih kecil dari
0,1 mikro mol/gram, terjadi proses rigor mortis sempurna (Dwiari et al. 2008).
Pada fase rigor mortis pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari
mula-mula pH 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada
jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging
ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat,
asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap. Setelah fase rigor mortis berakhir
dan proses pembusukan berlangsung maka pH daging ikan naik mendekati netral
hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika pembusukan telah sangat parah. Tingkat
keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat
basa. Pada kondisi ini pH ikan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin
banyak senyawa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan pH ikan
(Junianto 2003).
Kenaikan nilai pH tergantung pada lama penyimpanan. Kenaikan nilai pH
selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu panas, komposisi garam, kondisi
fisiologis, kandungan protein dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003). Nilai pH
daging ikan bandeng yang disimpan pada suhu 10 0C selama 6 jam adalah sebesar
5,60-5,78 dan 5,64-5,89 pada bagian kulitnya (Azanza et al. 2001).
2.3.3 Post rigor
Fase post rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang
meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Autolisis merupakan proses
terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat dari aktivitas enzim dalam tubuh
ikan (FAO 1995). Proses autolisis ditandai dengan melemasnya daging ikan.
Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat
sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi
yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008).
Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula protein
dipecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan
dehidrasi protein dan molekul-molekulnya pecah menjadi protease, lalu pecah
menjadi pepton, polipeptida, dan akhirnya menjadi asam amino. Selain itu
dihasilkan pula sejumlah kecil pirimidin dan purin basa yang dibebaskan pada
waktu asam nukleat memecah. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak
23
menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Murniyati dan Sunarman 2000).
Pemecahan penyusun jaringan ikan juga akan berakibat pada penurunan sifat
organoleptik seperti bau, rasa, tekstur, dan kadang-kadang warna (BPTP 2009).
Pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi
sebelum masa rigor mortis berakhir. Pada akhir fase rigor saat hasil penguraian
makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah
lewat (badan ikan mulai melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat
(Moeljanto 1992). Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit
ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi
seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi senyawa-senyawa busuk berupa
indol, skatol, merkaptan, amonia, asam sulfida, dan lain-lain (BPTP 2009).
Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan
kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umum ditemukan pada
ikan adalah bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium,
Serratia, dan Bacillus. Pada ikan air tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas,
Lactobacillus, Bevibacterium, dan Streptococcus (Junianto 2003). Jumlah bakteri
ikan bandeng yang disimpan selama 6 jam pada suhu 12 0C adalah antara
2,30-5,78 log cfu/g (Azanza et al. 2001). Menurut Hidayati (2005) berbagai
kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan
protein dan total koloni ikan bandeng.
Adapun kerusakan kimiawi yang sering kali terjadi adalah proses oksidasi
lemak yang mengakibatkan rasa pahit dan bau tengik serta perubahan warna
(BPTP 2009). Proses oksidasi lemak menghasilkan sejumlah substansi yang dapat
menyebabkan timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan.
Proses ini dipercepat dengan adanya logam-logam berat, enzim-enzim
lipooksidase, cahaya, dan panas. Senyawa hasil pemecahan hidroperoksida
merupakan produk sekunder yang sebagian besar berupa aldehid, keton, alkohol,
asam karboksilat, dan alkana yang menyebabkan timbulnya diskolorisasi atau bau
tengik pada ikan (FAO 1995).
24
2.4 Enzim
Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Unit ini bekerja
dengan urutan yang teratur. Enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang
mengurai molekul nutrisi, reaksi yang menyimpan, dan mengubah energi kimiawi
dan yang membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana (Lehninger 1993).
Enzim bersifat sangat aktif. Pada reaksi-reaksi tertentu hanya diperlukan
beberapa molekul enzim saja untuk mengkatalisis sejumlah substrat. Hal ini
dimungkinkan karena protein enzim dapat direaksikan secara berulang-ulang.
Kerja enzim dimulai saat molekul enzim berikatan dengan substrat, kemudian
mengubahnya menjadi produk dalam waktu yang singkat. Enzim yang telah bebas
dapat dipakai untuk mengikat molekul substrat lainnya (Suhartono 1989).
2.4.1 Enzim katepsin
Katepsin merupakan salah satu enzim proteolitik yang ditemukan pada
jaringan hewan termasuk ikan yang dapat menghidrolisis protein menjadi
polipeptida. Katepsin banyak ditemukan dalam jaringan otot ikan. Pada jaringan
otot ikan, katepsin dan enzim penghidrolisis lainnya ditempatkan dalam organel
sub selluler atau disebut lisosom dan dibagi dalam dua tempat, yakni pada serabut
otot dan matriks ekstraselluler (Shahidi dan Botta 1994). Matriks ekstraselluler
terdiri dari protein fibrin, protein adesif serta gel proteoglikan. Matriks
ekstraselluler berfungsi mendukung motilitas sel dan mengatur proliferasi sel
(Revianti dan Parisihni 2009). Sejumlah enzim dalam lisosom mampu
mengkatalisis protein jaringan. Beberapa enzim lisosom yang telah dicatat pada
jaringan ikan adalah katepsin A, B, C, D, serta protein asam, netral, dan alkali
(Cowey dan Walton 1988 diacu dalam Affandi dan Tang 2002). Enzim katepsin
yang terdapat pada lisosom dapat dilihat pada Tabel 3.
25
Tabel 3. Enzim proteolitik yang berhubungan dengan lisosom otot ikan
Enzim Famili Aktivitas Asal enzim pH
optimum
Kemampuan
degradasi
Katepsin B sistein endopeptidase otot dari
berbagai
spesies ikan
- miosin dan
miofibril
Katepsin H sistein endopeptidase otot ikan
salmon
7 miosin
Katepsin J sistein endopeptidase - - -
Katepsil L sistein endopeptidase otot ikan
salmon dan
mackerel
- miosin dan
miofibril
Dipeptidil
peptidase
(Katepsin C)
sistein eksopeptidase otot
berbagai
spesies ikan
- -
Dipeptidil
peptidase II
sistein eksopeptidase - - -
Katepsin D aspartat eksopeptidase otot
berbagai
spesies ikan
3,5 aktin dan
miosin
γ-glutamil
karboksi-
peptidase
aspartat endopeptidase - - -
Karboksi-
peptidase A
(Katepsin A
dan I)
serin eksopeptidase otot dari
berbagai
spesies ikan
5-6 -
Katepsin S sistein eksopeptidase otot
mackerel
- -
Sumber : Goll et al. (1989) diacu dalam Shahidi dan Botta (1994)
2.4.2 Enzim kolagenase
Enzim kolagenase mampu mendegradasi protein dibawah kondisi fisiologis.
Enzim ini berasal dari bakteri maupun dari jaringan. Enzim kolagenase dapat
diproduksi oleh beberapa tipe sel yang terdapat pada periodontium, epithelium
dalam, fibroblast, leukosit, makropag, dan sel tulang (Golub et al. 1976).
Kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu
mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda
berdasarkan pada fungsi fisiologisnya. Serin kolagenase terlibat dalam produksi
hormon dan farmakologi. Fungsi tersebut meliputi pencernaan protein,
penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks, dan fertilisasi
(Neurath 1984; Bond and Van Mart 1987 diacu dalam Park et al. 2002). Enzim ini
26
secara luas juga digunakan dalam industri kimia, industri obat, makanan, dan
eksperimen biologi molekuler. Tipe kedua adalah metallokolagenase terdiri dari
zinc yang mengandung enzim yang membutuhkan kalsium untuk kestabilan
(Strieklin et al. 1977 diacu dalam Park et al. 2002). Selain itu metallokolagenase
termasuk dalam enzim ekstraselluler dengan berat molekul yang bervariasi dari
30 hingga 150 kDa. Jenis enzim ini telah banyak dipelajari dari berbagai jaringan
mamalia (Sellers dan Murphy 1981; Harris dan Vater 1982 diacu dalam
Paark et al. 2002). Enzim kolagenase mempunyai aktivitas maksimum pada pH
7,4 sampai 8,0 (Iijima et al. 1983).
2.4.3 Peranan enzim katepsin dan kolagenase dalam kemunduran mutu ikan
Enzim proteolitik mempunyai peran dalam mengontrol berbagai proses
biologis dalam tubuh (Almeida et al. 2001). Peningkatan panas yang semakin
tinggi sampai batas tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim dalam hidrolisis
protein (Siswanto dan Soedarto 2008).
Proses penguraian protein terjadi akibat adanya penurunan pH jaringan
otot karena terbentuknya asam laktat. Nilai pH yang rendah dengan bantuan ATP
akan menyebabkan aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin yang
relatif mudah mengalami penguraian. Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa
rigor mortis (kekakuan). Selain itu proses penguraian protein ini akan
menyebabkan protein miofibril dan sarkoplasma terbongkar atau terhidrolisis
menjadi peptida dan asam amino bebas yang akan mempengaruhi cita rasa dan
akumulasi metabolit (Kreuzer 1965). Proses penguraian jaringan secara enzimatis
(autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang
kompleks. Beberapa enzim yang berperan dalam proses ini, antara lain katepsin,
enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari
mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan (Moeljanto 1992).
Katepsin berperan penting dalam proses kemunduran mutu ikan selama
masa post mortem. Ketika ikan mati (fase pre rigor), maka kondisi menjadi
anaerob dan ATP terurai oleh enzim yang terdapat dalam tubuh ikan dengan
melepaskan energi. Proses ini kemudian diikuti dengan peristiwa glikolisis yang
menguraikan glikogen menjadi asam laktat. Pembentukan asam laktat
menyebabkan terjadinya penurunan pH dan jaringan otot tidak mampu
27
mempertahankan fleksibilitasnya (kekenyalannya). Kondisi inilah yang dikenal
dengan rigor mortis. Nilai pH yang semakin menurun mengakibatkan katepsin
yang terdapat dalam jaringan otot menjadi aktif (Afrianto dan Liviawaty 1989).
Pembebasan dan pengaktifan katepsin selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya penguraian protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Hal ini menimbulkan terjadinya akumulasi metabolit dan pembentukan
senyawa-senyawa basa volatil yang berakibat terhadap kenaikan pH dan
peningkatan jumlah bakteri karena senyawa-senyawa basa tersebut merupakan
media yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri
pembusuk (Lawrie 1985).
Peranan katepsin dalam proses kemunduran mutu ikan secara nyata
terlihat dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita rasa ikan. Aktivitas
katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat
menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis
dan jaringan daging ikan melunak (Haard dan Simpson 2000).
Enzim kolagenase dan beberapa subfamili metalloproteinase mampu
memecah triple helical dari kolagen yang akhirnya mendegradasi kolagen yang
menghasilkan hidrolisis asam amino glisin dan leusin dari rantai α molekul
kolagen. Serin kolagenase dan sistein akan mendegradasi bagian lain dari kolagen
yang tidak memiliki struktur helic (Saito et al. 2000).
.
28
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juli 2008 di
Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia
Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi
Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Terpadu
Fakultas Kedoteran Hewan, dan Laboratorium Penelitian I, Departemen Biokimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama
ikan bandeng dengan ukuran 200-250 gr/ekor. Ikan bandeng yang digunakan
diberi empat perlakuan, yaitu ikan bandeng yang tidak dipuasakan sebelum
dipanen dan disimpan pada suhu ruang (sampel P), ikan bandeng yang dipuasakan
dan disimpan pada suhu ruang (sampel Q), ikan bandeng yang tidak dipuasakan
sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (sampel R), dan ikan bandeng
yang dipuasakan sebelum dipanen dan disimpan pada suhu chilling (sampel S).
Bahan-bahan untuk analisis nilai pH (larutan buffer standar pH 7 dan 4, akuades),
analisis TPC (larutan garam 0,85 % steril, nutrient agar), analisis TVB (H3BO3,
K2CO3, TCA 7 %, HCl 0,032 N), ekstraksi enzim katepsin (buffer tris-HCl
pH 7,4), assay aktivitas katepsin (buffer tris-HCl pH 7,4; hemoglobin, HCl 1 N,
TCA 5 %, pereaksi folin, tirosin), pembuatan kolagen (kulit ikan bandeng dan
asam asetat), ekstraksi enzim kolagenase (buffer tris-HCl (pH 8,0) yang terdiri
dari 0,25 % Triton-X 100 dan 10 mM CaCl2), assay aktivitas kolagenase
(tris-HCl pH 7,5 yang mengandung 5 mM CaCl2, TCA 50 % ninhidrin,
50 % 1-propanol), pengukuran konsentrasi protein (bovine serum albumin,
coomassie blue G-250, etanol 95 %, asam fosfat 85 % (w/v)).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain inkubator, oven,
sentrifuse suhu dingin, spektrofotometer, mikro pipet, timbangan analitik,
homogenizer, magnetic stirrer, hot plate, pipet volumetrik, bulb, pipet tetes,
tabung reaksi, cawan petri, erlenmeyer, pH meter, kapas, tissue, aluminium foil,
29
bunsen, jarum ose, beaker glass, dan peralatan gelas lainnya serta peralatan uji
organoleptik.
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) penentukan fase post
mortem ikan secara organoleptik, (2) penentuan pola kemunduran mutu ikan,
(3) ekstraksi enzim katepsin, dan (4) ekstraksi enzim kolagenase (Lampiran 1).
3.3.1 Penentuan fase post mortem ikan secara organoleptik (BSN 2006)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui waktu terjadinya fase post
mortem ikan, meliputi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk. Pada tahap
ini dilakukan penyimpanan pada suhu ruang (26-30 0C) dan suhu
chiling (1 0C). Penyimpanan pada suhu ruang dilakukan selama 19 jam dengan
interval waktu pengamatan satu jam, sedangkan pada suhu chilling penyimpanan
dilakukan selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan 12 jam.
Pengamatan dilakukan secara organoleptik menggunakan scoresheet berdasarkan
SNI 01-2346-2006 (Lampiran 2).
3.3.2 Penentuan pola kemunduran mutu ikan
Penentuan pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola
kemunduran ikan P, Q, R, dan S berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada
setiap tahap post mortem. Pada tahap ini dilakukan pengamatan terhadap sampel
ikan berdasarkan waktu yang diperoleh dari hasil penentuan fase post mortem
pada penelitian tahap 1. Analisis yang dilakukan pada setiap pengamatan meliputi
uji organoleptik menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2346-2006
(BSN 2006), uji nilai pH, uji TPC, dan uji TVB.
3.3.3 Ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim
katepsin yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi katepsin
dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran mutu ikan.
Proses ektraksi enzim katepsin dilakukan dengan metode Dinu et al. 2002
(Lampiran 3a dan 3b).
30
Tahap pertama dilakukan preparasi sampel untuk memperoleh ekstrak
kasar protease dengan cara ikan dimatikan, kemudian bagian daging ikan diambil
dengan cepat. Daging ikan disuspensikan dalam akuades dengan perbandingan
daging dan akuades sebesar 1:5, lalu dihomogenisasikan pada suhu 0-4 0C.
Ekstrak daging hasil homogenisasi ini disentrifuse pada 1.000 rpm selama
10 menit dan supernatan yang diperoleh kemudian disentrifuse lagi pada
10.000 rpm selama 10 menit. Pellet yang dihasilkan dari sentrifugasi ini kemudian
dilarutkan dalam 0,1 M buffer tris HCl 7,4 dengan jumlah yang sama seperti
jumlah akuades tadi dan disentrifuse pada 4.000 rpm selama 10 menit. Supernatan
(ekstrak kasar enzim) yang diperoleh merupakan protein utama dari mitokondria
dan lisosom yang siap untuk diteliti aktivitasnya lebih lanjut.
3.3.4 Ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam
Kim et al. 2002)
Penelitian tahap ini bertujuan untuk memperoleh ekstrak kasar enzim
kolagenase yang siap digunakan dalam pengujian selanjutnya. Ekstraksi
kolagenase dilakukan pada sampel P, Q, R, dan S pada setiap tahap kemunduran
mutu.
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara mencuci daging ikan bandeng
dengan air dingin dan ditambahkan dengan 100 mM buffer Tris-HCl (pH 8,0)
(Lampiran 4a dan 4b), dengan perbandingan bahan baku:larutan buffer 1:5,
kemudian dihomogenkan dengan homogenizer. Selanjutnya daging yang telah
homogen tersebut, disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 20 menit.
Setelah itu, pelet yang telah dihasilkan disentrifugasi kembali dengan kecepatan
7.000 rpm selama 20 menit menggunakan larutan buffer yang sama. Perbandingan
antara bahan baku:larutan buffer sebesar 1:3. Selanjutnya supernatan yang
dihasilkan ditambahkan dengan 20 mM Tris-HCl (pH 8,0) yang mengandung
0,36 mM CaCl2 dan didiamkan pada suhu rendah (± 4 0C) selama 48 jam. Larutan
yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar kolagenase yang akan digunakan untuk
pengujian selanjutnya.
31
3.4 Analisis
Sampel daging ikan bandeng pada setiap tahap post mertem dilakukan
analisis yang meliputi analisis tingkat kesegaran ikan (penilaian organoleptik,
penentuan nilai pH, penghitungan jumlah total bakteri dengan metode TPC,
penghitungan TVB), uji aktivitas katepsin, uji aktivitas kolagenase, dan
pengukuran konsentrasi protein enzim.
3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006)
Metode yang digunakan untuk uji organoleptik adalah dengan score sheet
berdasarkan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006). Pengujian organoleptik merupakan
cara pengujian yang bersifat subjektif menggunakan indra yang ditujukan pada
mata, insang, lendir permukaan, badan, daging, bau, dan tekstur. Pada uji
organoleptik ini ada beberapa syarat yang harus disepakati oleh panelis, antara
lain tertarik dan terampil serta konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia
pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan di uji,
berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna, serta jumlah
panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (semi terlatih). Dari
data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria
sebagai berikut (SNI 01-2346-2006) :
Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9
Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6
Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3
3.4.2 Uji nilai pH (Apriyantono et al. 1989)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara
dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak 10 gram daging ikan dihancurkan
dan dihomogenkan dengan 90 ml air destilata. Kemudian daging homogen
tersebut diukur dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer
standar pH 4 dan 7 (Lampiran 5a).
3.4.3 Uji TPC (Fardiaz 1987)
Prinsip kerja analisis TPC adalah penghitungan jumlah bakteri yang ada di
dalam sampel (daging ikan) dengan pengenceran sesuai kebutuhan dan dilakukan
32
secara duplo. Pembuatan larutan contoh dilakukan dengan mencampurkan
10 gram sampel yang telah dihancurkan yang diambil dari bagian punggung ikan,
lalu dimasukkan ke dalam botol yang berisi 90 ml larutan garam 0,85 % steril,
kemudian dikocok sampai larutan homogen. Campuran larutan contoh tersebut
diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 %
steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2
, setelah itu dikocok agar
homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian,
biasanya sampai pengenceran 10-5
. Pemipetan dilakukan dari masing-masing
tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan contoh dan dipindahkan ke dalam
cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Media agar dimasukkan
ke dalam cawan petri sebanyak 10 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar
merata (metode tuang), kemudian didiamkan beberapa saat hingga dingin dan
mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke
dalam inkubator pada suhu 30 0C selama 48 jam dengan posisi cawan petri yang
dibalik. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni
yang ada di dalam cawan petri tersebut. Jumlah koloni bakteri yang dihitung
adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni
(Lampiran 5b).
3.4.4 Uji TVB (Apriyantono et al. 1989)
Penetapan ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa-
senyawa basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip dari analisis
TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatil (amin, mono-, di-, dan
trimetilamin). Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian
dititrasi dengan larutan HCl.
Preparasi sampel dilakukan dengan cara menimbang 15 gram sampel yang
diambil dari daging ikan, kemudian ditambahkan 45 ml TCA 7 % dan
dihomogenkan selama satu menit. Hasil homogenisasi kemudian disaring
sehingga diperoleh filtrat yang berwarna jernih. Setelah penyiapan sampel maka
dilakukan uji TVB dengan cara memasukkan 1 ml H3BO3 ke dalam inner
chamber cawan conway dan tutup cawan diletakkan dengan posisi hampir
menutupi cawan. Dengan memakai pipet 1 ml yang lain, filtrat dimasukkan ke
dalam outer chamber disebelah kiri. Kemudian 1 ml larutan K2CO3 jenuh
33
ditambahkan ke dalam outer chamber sebelah kanan sehingga filtrat dan K2CO3
tidak tercampur. Cawan segera ditutup dengan diolesi vaselin pada pinggir cawan
agar proses penutupan sempurna, lalu digerakkan memutar sehingga kedua cairan
di outer chamber tercampur. Disamping itu dikerjakan blanko dengan prosedur
yang sama tetapi filtrat diganti dengan TCA 7 %. Kemudian kedua cawan conway
tersebut diinkubasi selam 24 jam pada suhu 37 0C. Setelah diinkubasi, larutan
asam borat dalam inner chamber cawan conway yang berisi blanko dititrasi
dengan larutan HCl 0,032 N dan cawan digoyang-goyangkan sampai larutan asam
borat berubah warna menjadi merah muda. Selanjutnya cawan conway yang berisi
sampel juga dititrasi dengan larutan HCl 0,032 N yang sama dengan blanko
(Lampiran 5c). Kadar TVB dapat dihitung dengan rumus :
%N (mg N/100g) = (j – i) x N HCl x 100 x fp x 14 mg N/100 g
g contoh 1
Keterangan :
j : ml titrasi sampel fp : faktor pengenceran
i : ml titrasi blanko N : normalitas HCl (0,032 N)
3.4.5 Aktivitas enzim katepsin (Dinu et al. 2002)
Aktivitas proteolitik dari katepsin diuji menggunakan hemoglobin
terdenaturasi asam sebagai substratnya (Lampiran 6a dan 6b). Sebanyak 8 %
hemoglobin dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:3. Kemudian pH
dibuat menjadi 2,0 dengan HCl 1 N dan konsentrasi akhir hemoglobin dibuat
sebesar 2 % dengan akuades. Selanjutnya 1 ml dari larutan substrat diinkubasi
dengan 0,2 ml TCA 5 %. Campuran disaring dan hasil reaksi yang dapat larut
ditambah dengan 1 ml pereaksi folin serta diukur absorbansinya pada 750 nm.
Selain itu dilakukan pula pengukuran untuk larutan blanko dan larutan standar
dengan prosedur yang sama seperti larutan sampel, hanya untuk larutan blanko
dan larutan standar enzimnya digantikan dengan akuades dan tirosin. Aktivitas
enzim katepsin dapat dihitung dengan rumus berikut :
TxPx
AblAst
AblAspUA
1
34
Dimana : UA : Jumlah enzim yang menyebabkan perubahan 1 μmol
substrat per menit
Asp : Nilai absorbansi sampel
Abl : Nilai absorbansi blanko
Ast : Nilai absorbansi standar
P : Faktor pengenceran (5)
T : Waktu inkubasi (10 menit)
3.4.6 Aktivitas enzim Kolagenase (Moore dan Stein 1954 diacu dalam
Park et al. 2002)
Aktivitas enzim kolagenase dapat diukur dengan metode Moore dan Stein
(1954) yang telah dimodifikasi dengan cara mereaksikan 5 ml kolagen dengan 1
ml 0,05 M Tris-HCl (pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2 dan 0,1 ml larutan
enzim diinkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam (Lampiran 6c dan 6d). Reaksi
dihentikan dengan penambahan 0,2 ml 50 % TCA. Setelah 10 menit pada suhu
ruang, disaring dengan kertas saring. Supernatan (0,2 ml) dicampur dengan 1,0 ml
larutan ninhidrin dan diinkubasi pada suhu 100 0C selama 20 menit. Kemudian
didinginkan pada suhu kamar. Campuran tersebut diencerkan dengan 5 ml 50 %
1-propanol untuk pengukuran absorbansi dengan panjang gelombang 570 nm.
Larutan buffer (0,05 M Tris-HCl pH 7,5) yang mengandung 5 mM CaCl2
digunakan sebagai pengganti larutan enzim sebagai larutan kontrol dan larutan
tirosin digunakan sebagai larutan standar enzim kolagenase. Aktivitas enzim
kolagenase dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
TxPx
AblAst
AblAspUA
1
Dimana : UA = Jumlah enzim yang menyebabkan perubahan 1 μmol
substrat per menit
Asp = Nilai absorbansi sampel
Abl = Nilai absorbansi blanko
Ast = Nilai absorbansi standar
P = Faktor pengencer (5)
T = Waktu inkubasi (10 menit)
35
3.4.7 Pengukuran Konsentrasi Protein Enzim (Bradford 1976)
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan
bovine serum albumin sebagai standar. Persiapan pereaksi Bradford dilakukan
dengan cara melarutkan 25 mg coomasie brilliant blue G-250 dalam 12,5 ml
etanol 95 %. Lalu ditambahkan dengan 25 ml asam fosfat 85 % (w/v). Jika telah
larut dengan sempurna, maka ditambahkan akuades hingga 0,5 liter dan disaring
dengan kertas saring Whatman 1 sesaat sebelum digunakan.
Konsentrasi protein ditentukan menggunakan metode Bradford dengan
cara 0,1 ml enzim dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan
sebanyak 5 ml pereaksi Bradford, diinkubasi selama 5 menit dan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Demikian pula untuk larutan
standar dilakukan seperti larutan sampel dengan konsentrasi antara 1,0-1,0 mg/ml
dari larutan stok BSA konsentrasi 2 mg/ml yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pembuatan larutan standar BSA konsentrasi 0,1-1,0 mg/ml
Konsentrasi BSA
(mg/ml)
Volume BSA
(ml)
Volume akuades
(ml)
0,1 0,05 0,95
0,2 O,10 0,90
0,3 0,15 0,85
0,4 0,20 0,80
0,5 0,25 0,75
0,6 0,30 0,70
0,7 0,35 0,65
0,8 0,40 0,60
0,9 0,45 0,55
1,0 0,50 0,50
Nilai absorbansi yang didapat kemudian dimasukkan ke dalam kurva
standar bradford (Lampiran 6e dan 6f) untuk menentukan konsentrasi protein
yang terkandung dalam sampel enzim.
3.5 Analisis Data
Hasil yang diperoleh dari pengamatan serta pengukuran terhadap nilai
organoleptik, pH, TPC, TVB, aktivitas enzim katepsin dan kolagenase, serta
konsentrasi protein enzim dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung
menggunakan rumus berikut (Steel dan Torrie 1989) :
36
Keterangan :
X = Nilai rata-rata
n = Jumlah data
Xi = Nilai X ke-i
Analisis terhadap hubungan tingkat kesegaran ikan (TPC, TVB, dan nilai
pH), nilai aktivitas enzim serta konsentrasi protein enzim dilakukan melalui uji
ragam (ANOVA) berupa rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan (sampel
P, Q, R dan S) dan 4 kelompok (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk).
Persamaan umum model rancangan tersebut sebagai berikut:
Yij = µ + τi + βj + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
µ = nilai tengah populasi
τi = pengaruh perlakuan τ taraf ke-i
βj = pengaruh kelompok β taraf ke-j
εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i kelompok ke-j
Hipotesis yang digunakan adalah :
1. Hipotesis perlakuan
a. H0 : pengaruh perlakuan tidak berbeda nyata
b. H1 : minimal ada 1 perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata
2. Hipotesis kelompok
a. H0 : pengaruh kelompok tidak berbeda nyata
b. H1 : minimal ada 1 kelompok yang memberikan pengaruh berbeda nyata
Apabila pengaruh perlakuan dan kelompok berbeda nyata dengan selang
kepercayaan 95 % (P<0,05), maka diadakan uji lanjut Duncan
(Steel dan Torrie 1989).
Derajat hubungan linier antara aktivitas enzim (katepsin dan kolagenase)
terhadap parameter kesegaran mutu (nilai organoleptik, pH, TPC, TVB) dilihat
menggunakan koefisien korelasi linier sederhana dengan rumus
(Snedecor dan Cochran 1967) :
n
Xi
X
n
i 1
n
Xi
X
n
i 1
37
Keterangan:
x = simpangan dari rataan peubah pertama (yang mempengaruhi)
y = simpangan dari rataan peubah kedua (yang dipengaruhi)
Nilai derajat korelasinya adalah:
r ≥ 0,7 : hubungan sangat erat
0,5<r <0,7 : hubungan erat
r ≤ 0,5 : hubungan tidak erat
22yx
xyr
38
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan
Penentuan fase post mortem ikan dilakukan untuk mengetahui dan
mengenali kondisi tingkat kesegaran ikan pada beberapa fase post mortem melalui
metode penilaian sensori, yaitu secara organoleptik sehingga dapat diketahui
kondisi kesegaran ikan setelah ikan dimatikan. Metode organoleptik merupakan
cara yang paling murah dan mudah untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu
ikan dengan bantuan panca indera manusia. Penetapan kemunduran mutu ikan
secara organoleptik ini dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan
oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006).
Pengamatan secara organoleptik ini meliputi beberapa parameter, seperti keadaan
mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur.
Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan bandeng P (tidak
dipuasakan, suhu ruang), Q (dipuasakan, suhu ruang), R (tidak dipuasakan, suhu
chilling), dan S (dipuasakan, suhu chilling) menghasilkan empat titik untuk
dilakukan analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada ikan P dan Q kondisi pre
rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada 0 jam penyimpanan, rigor mortis
pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor pada jam ke-15 penyimpanan, dan fase
busuk terjadi pada jam ke-19 penyimpanan. Pada ikan bandeng R dan S kondisi
pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada 0 jam penyimpanan, rigor
mortis pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor pada jam ke-300 penyimpanan,
dan fase busuk terjadi pada jam ke-540 penyimpanan.
Perubahan pre rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar
di bawah permukaan kulit. Lendir-lendir yang terlepas tersebut membentuk
lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar
lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan
yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh
dapat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya
(Murniyati dan Sunarman 2000). Pada penelitian ini ikan bandeng P dan Q
mengalami fase pre rigor sekitar 10 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu
antara fase pre rigor dan rigor mortis. Ikan bandeng R dan S mengalami fase
39
pre rigor sekitar 84 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase
pre rigor dan rigor mortis.
Rigor mortis terjadi pada saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan
aktin didalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen
(Eskin 1990). Pada penelitian ini ikan bandeng P dan Q mengalami fase rigor
mortis sekitar 5 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase rigor mortis
dan post rigor. Pada ikan bandeng R dan S mengalami fase rigor mortis sekitar
216 jam (9 hari) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase rigor mortis
dan post rigor. Menurut Dwiari et al. (2008) fase ini ditandai oleh mengejangnya
tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan karena alat alat yang terdapat
dalam tubuh ikan berkontraksi akibat adanya reaksi kimia yang dipengaruhi atau
dikendalikan oleh enzim.
Fase post rigor terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis. Fase ini
ditandai dengan melemasnya daging ikan kembali. Lembeknya daging ikan
disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan
daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan
bakteri (Dwiari et al. 2008). Pada umumnya proses ini berlangsung singkat karena
bakteri segera berkembang dan hanya dapat ditunda dengan menurunkan suhu.
Pada tahap ini peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak menonjol setelah
dihasilkan senyawa-senyawa sederhana hasil autolisis yang berfungsi sebagai
media pertumbuhannya. Pertumbuhan bakteri yang luar biasa cepat ini
menyebabkan proses kerusakan ikan juga berlangsung semakin cepat. Insang akan
menjadi kecoklatan, lendir semakin kental dan tebal, daging lembek, dan jika
ditekan sulit pulih kembali bekasnya, bau semakin amis, dan menjadi busuk
(Yunizal dan Wibowo 1998).
4.2 Kemunduran Mutu Ikan
Penentuan pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola
dan perbedaan pola kemunduran mutu antara ikan P, Q, R, dan S berdasarkan
analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pengamatan
terhadap sampel ikan P, Q, R, dan S dilakukan berdasarkan waktu yang diperoleh
dari hasil penentuan fase post mortem secara subjektif, yaitu uji organoleptik dan
secara objektif, yaitu uji pH, TPC, dan TVB dengan mengambil sampel dari
40
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta N
ilai O
rgan
olep
tik D
agin
g Ik
an B
ande
ng
0
2
4
6
8
10
W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
bagian daging ikan bandeng. Pengujian secara objektif pada sampel P, Q, R, dan
S dilakukan pada 4 titik, yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan
busuk.
4.2.1 Nilai organoleptik
Penilaian mutu secara organoleptik merupakan cara pengujian mutu yang
dilakukan hanya mempergunakan panca indera. Cara ini sangat sederhana dan
cepat dikerjakan, tetapi tingkat ketelitiannya tergantung dari kepekaan penguji
(Dwiari et al. 2008).
Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S disajikan
pada Gambar 3.
Gambar 3. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan
bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun
dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya semakin tinggi
nilai organoleptik menunjukkan semakin segar keadaan ikannya. Pada fase rigor
mortis ikan bandeng R memiliki nilai organoleptik yang lebih rendah
dibandingkan dengan ikan bandeng S. Menurut Ridwansyah (2002) kemunduran
mutu ikan dapat dipengaruhi oleh kondisi lapar/kenyang. Secara umum dapat
41
dikatakan bahwa antara ikan P, Q, R dan S tidak menunjukkan nilai organoleptik
yang mencolok. Perbedaan yang sangat terlihat adalah pada kecepatan proses
kemunduran mutu ikan dimana dari fase pre rigor hingga busuk ikan yang
disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) lebih cepat mengalami kemunduran
mutu daripada ikan yang disimpan pada suhu chilling. Penyimpanan ikan pada
suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu
ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim
(Clucas dan Sutcliffe 1981).
Pada kondisi pre rigor baik ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan
nilai organoleptik 9. Hal ini menggambarkan bahwa ikan bandeng dalam kondisi
sangat segar. Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-
perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan
kerusakan berat pada daging ikan (Irawan 1995). Ikan bandeng segar ini
mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang
merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat
cerah, serta belum ada perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang,
spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki
dinding perut daging utuh. Bau ikan sangat segar sesuai dengan jenis. Teksturnya
padat, elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang
belakang.
Pada fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar
6-8 dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan,
kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan
lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging
sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang
belakang, dinding perut daging utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak
elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang.
Fase post rigor ikan bandeng dengan nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai
organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek.
Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan,
kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit
lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan.
42
Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta
dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur
agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek
daging dari tulang belakang.
Fase busuk ikan bandeng ditandai dengan nilai organoleptik antara 1-3.
Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng sudah tidak dapat diterima oleh
konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan
ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Insang
berwarna merah coklat ada sedikit putih. Lendir tebal menggumpal, warna putih
kuning. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang
belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas
dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, serta mudah
menyobek daging dari tulang belakang.
Menurut Ridwansyah (2002) ikan cepat mengalami pembusukan
disebabkan beberapa kelemahan, seperti :
(1) Tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (80 %) dan pH tubuh mendekati
netral, sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
pembusuk maupun mikroorganisme lain.
(2) Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat (tendon), sehingga
sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernaan ini menyebabkan
daging menjadi sangat lunak sehingga merupakan media yang cocok untuk
pertumbuhan mikroorganisme.
(3) Daging ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sifatnya
sangat mudah mengalami proses oksidasi. Oleh karena itu sering timbul bau
tengik pada tubuh ikan, terutama pada hasil olahan maupun awetan yang
disimpan tanpa menggunakan antioksidan. Rata-rata nilai organoleptik daging
ikan bandeng disajikan pada Gambar 4.
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik daging ikan
bandeng P, Q, R, dan S mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu
penyimpanan. Pada fase pre rigor ikan bandeng P, Q, R, dan S memiliki nilai
organoleptik 9 yang menunjukkan bahwa sayatan daging sangat cemerlang,
43
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta N
ilai O
rgan
olep
tik D
agin
g Ik
an B
ande
ng
0
2
4
6
8
10
W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, serta memiliki
dinding perut daging utuh.
Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R dan S
Ketika ikan memasuki fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai
organoleptik daging sekitar 7-8. Pada kondisi ini daging sedikit kurang cemerlang,
spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, serta memiliki
dinding perut daging utuh. Fase post rigor dengan nilai organoleptik daging 5
menunjukkan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang,
dan dinding perut lunak. Fase busuk ditunjukan dengan nilai organoleptik
daging 3. Pada fase busuk daging mulai kusam, warna merah jelas sekali
sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Secara umum nilai
organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R, dan S tidak menunjukkan adanya
perbedaan. Perbedaan tampak jelas pada kecepatan kemunduran mutu ikan
dimana ikan yang disimpan pada suhu ruang lebih cepat mengalami kemunduran
mutu daripada ikan yang disimpan pada suhu chilling. Menurut Clucas dan
Sutcliffe 1981 ikan dari daerah tropis yang disimpan pada suhu chilling memiliki
daya awet antara 11-35 hari tergantung dari jenis ikannya.
Pada penelitian ini ikan bandeng utuh yang disimpan dalam suhu ruang
(26-30 0C) yaitu ikan P dan Q memiliki daya awet sekitar 19 jam dan ikan R dan
S yang disimpan pada suhu chiling (1 0C) mempunyai daya awet sekitar 540 jam.
44
Pada kondisi suhu tropik ikan membusuk dalam waktu 12-20 jam tergantung
spesies, alat atau cara penangkapan. Pada suhu 15-20 0C ikan dapat disimpan
hingga sekitar dua hari, pada suhu 5 0C tahan selama 5-6 hari, sedangkan pada
suhu 0 0C dapat mencapai 9-14 hari, tergantung spesies ikan (BPTP 2009). Hal ini
membuktikan bahwa daya awet ikan dapat dipertahankan dan diperpanjang
dengan menurunkan suhu dan praktek-praktek penanganan yang baik dengan
menerapkan rantai dingin. Proses pendinginan hanya mampu menghambat
pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat aktivitas mikroorganisme.
Aktivitas akan kembali normal jika suhu tubuh ikan kembali naik. Kelebihan
pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami
perubahan tekstur, rasa, dan bau. Efisiensi pengawetan dengan pendinginan sangat
tergantung pada tingkat kesegaran ikan sebelum didinginkan. Pendinginan yang
dilakukan sebelum rigor mortis berlalu merupakan cara yang paling efektif jika
disertai dengan teknik yang benar. Sedangkan pendinginan setelah proses autolisis
berlangsung tidak akan banyak membantu (Adawiyah 2007).
4.2.2 Nilai pH
Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat
kesegaran mutu ikan. Nilai pH daging ikan ketika masih hidup umumnya
mempunyai pH netral dan setelah mati pH turun menjadi sekitar 5,3-5,5
(Eskin 1990). Hasil pengukuran nilai pH daging ikan bandeng P, Q, R, dan S
disajikan pada Gambar 5.
Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa ikan bandeng P dan R pada
fase pre-rigor memiliki nilai pH yang sama, yaitu 6,62 sedangkan ikan bandeng Q
dan S juga memiliki nilai pH yang sama, yaitu 6,72. Daging ikan bandeng segar
mempunyai pH sebesar 6,72 (Siochi 1990 diacu dalam Azanza et al. 2001).
Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada
dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan
penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat,
TMAO, dan basa-basa menguap (Junianto 2003).
45
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta N
ilai p
H
0
2
4
6
8
W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan,Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak dipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasalkan, Penyim panan Suhu C hilling)
Gambar 5. Rata-rata nilai pH ikan bandeng P, Q, R, dan S
Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat
yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada Akhirnya pH akan semakin asam, yaitu
pada fase rigor mortis. Nilai pH dari daging ikan bandeng pada fase rigor mortis
berkisar antara 5,76 hingga 5,86. Nilai pH ini terus mengalami kenaikan pada
fase post rigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil. Pada fase
post rigor nilai pH daging ikan bandeng berkisar antara 6,79-6,82 dan antara
6,96-7,1 untuk fase busuk. Peningkatan nilai pH tergantung pada lama
penyimpanan ikan. Selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi garam, kondisi
fisiologis, kandungan protein, dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003).
Nilai pH antara ikan P, Q, R, dan S pada fase yang sama tidak
menunjukkan adanya perbedaaan yang mencolok. Ikan yang mengalami full rigor
biasanya memiliki nilai pH antara 6,2-6,6 (Partmann 1965). Menurut Bramsnaes
dan Hansen 1965 perubahan nilai pH tergantung dari kemampuan buffer daging
ikan dan juga asam laktat yang dihasilkan selama ikan mengalami post mortem.
Nilai pH daging ikan bandeng pada penelitian ini mengalami penurunan
dari fase pre rigor sampai fase rigor mortis, lalu nilai pH akan meningkat kembali
ketika ikan memasuki fase post rigor dan terus meningkat hingga ikan busuk.
Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dapat dikatakan bahwa perlakuan
kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-
masing ikan bandeng P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang tidak berbeda
46
nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai pH (Lampiran 7a). Perbedaan
derajat keasaman yang dinyatakan dengan nilai pH pada ikan yang telah mati
secara umum disebabkan karena adanya perbedaan kandungan glikogen.
Kandungan gikogen ikan dipengaruh oleh aktivitas ikan, nutrisi, suhu, umur ikan,
dan habitat ikan (Partmann 1965). Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) pada nilai
pH dengan rancangan acak kelompok menunjukkan fase kemunduran mutu ikan
(pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap nilai pH pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7a).
Terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses aktivitas enzim
katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. Pada proses enzimatis, protein
akan diuraikan menjadi pepton dan asam-asam amino. Selain itu juga, aksi
enzimatis tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen-
komponen flavor, perubahan warna daging (diskolorisasi) dari warna asli menjadi
coklat serta timbulnya akumulasi metabolit (Ilyas 1983).
4.2.3 Nilai TPC
Mikroba aerob yang terdapat di permukaan kulit, insang, dan juga
lingkungan disekitarnya merupakan penyebab utama kerusakan ikan. Mikroba
memperoleh sumber energi dengan menguraikan protein menjadi pepton,
polipeptida, dipeptida, peptida, dan asam amino. Suhu merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan mikroorganisme.
Apabila suhu naik maka kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan
mikroorganisme dipercepat (Siswanto dan Soedarto 2008). Semakin busuk seekor
ikan maka akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Dengan menghitung
jumlah bakteri yang terdapat pada ikan diharapkan dapat dinilai derajat mutu ikan
tersebut. Hasil penghitungan nilai log TPC daging ikan bandeng P, Q, R, dan S
disajikan pada Gambar 6.
Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa nilai log TPC daging ikan
bandeng P, Q, R, dan S secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya
waktu penyimpanan. Pada kondisi pre rigor ikan bandeng memiliki nilai log TPC
sekitar 3,66-3,72 CFU/ml. Nilai log TPC ini terus meningkat ketika ikan
memasuki fase rigor mortis yaitu sekitar 4,68-4,97 CFU/ml dan
6,61-6,85 CFU/ml pada fase post rigor. Jumlah bakteri pada daging ikan bandeng
47
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta N
ilai L
og T
PC
(C
FU
/ml)
0
2
4
6
8
10
W aktu Penyim panan Suhu C hiling (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
terus bertambah ketika ikan memasuki fase busuk yang diperlihatkan oleh nilai
log TPC sekitar 7,29-7,7 CFU/ml.
Gambar 6. Rata-rata nilai log TPC ikan bandeng P, Q, R, dan S
Nilai log TPC daging ikan bandeng fase post-rigor dan busuk sudah
berada di atas batas maksimum jumlah mikroba yang ditetapkan dalam
SNI 01-2729-2006, yaitu dengan nilai maksimum 5x105 CFU/ml atau nilai log
TPC sebesar 5,70 CFU/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Azanza et al. (2001)
melaporkan bahwa nilai TPC ikan bandeng yang disimpan selama 6 jam pada
suhu 12 0C antara 2,30-5,78 log CFU/g. Pada penyimpanan selama 3 hari pada
suhu -2 0C ikan bandeng mempunyai jumlah koloni bakteri sebesar
1,7 x 10 CFU/gr (Hidayati 2005).
Pada ikan yang disimpan pada suhu chilling (ikan R dan S) membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk mencapai jumlah bakteri yang sama dengan ikan
yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) pada setiap tahap kemunduran
mutu. Pada kondisi ini suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis dan
kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Pengaruh suhu pada pertumbuhan
bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan
atau perpendekan masa adaptasi yang tergantung pada tinggi rendahnya suhu.
Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek.
Sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang.
48
Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi terget serangan bakteri adalah
seluruh permukaan tubuh, isi perut, dan insang (Dwiari et al. 2008). Penelitian
yang dilakukan Azanza et al. (2001) melaporkan bahwa jenis mikroba yang
ditemukan pada ikan bandeng adalah Coliform, Staphilococcus, dan
Salmonella spp.
Nilai TPC daging ikan bandeng pada penelitian ini mengalami kenaikan
pada tiap fase kemunduran mutu. Nilai log TPC pada ikan P, Q, R, dan S
mencapai titik tertinggi pada fase busuk. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
α=0,05 ) pada analisis TPC dengan rancangan acak kelompok dapat dikatakan
bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada
tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7b). Menurut Ridwansyah (2002)
kemunduran mutu ikan dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam, yaitu jenis
kelamin, ukuran, jenis ikan, dan aktivitas enzim serta faktor luar, yaitu kondisi
lingkungan, perlakuan fisik dan jumlah jasad renik. Hasil uji ragam (ANOVA
α=0,05 ) pada nilai log TPC dengan rancangan acak kelompok menunjukkan
bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk)
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TPC pada tingkat
kepercayaan 95 % (Lampiran 7b). Menurut Hidayati (2005) berbagai kondisi suhu
dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan protein dan
total koloni pada ikan bandeng. Jumlah bakteri pada ikan akan terus mengalami
peningkatan seiring dengan lamanya penyimpanan. Bakteri ini dapat berasal dari
air yang terpolusi dan wadah yang digunakan selama penanganan. Keberadaan
bakteri ini dapat merusak kulit dan insang, menimbulkan amonia, bau asam, serta
menyebabkan kerusakan pada daging (Clucas dan Sutcliffe 1981).
4.2.4 Nilai TVB
Indeks kemunduran mutu hasil perikanan dapat diketahui melalui
kandungan TVB. Kandungan basa mudah menguap (TVB) merupakan hasil akhir
penguraian protein, sehingga kadar TVB tersebut dapat dipakai sebagai indikator
kerusakan ikan (Siswanto dan Soedarto 2008). Berbagai komponen, seperti basa
volatil, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat
reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Pada penelitian
49
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta N
ilai T
VB
(m
g N
/100
g)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
W aktu Penyim panan Suhu C hillinG (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
ini perbandingan nilai TVB pada daging ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat
pada Gambar 7.
Gambar 7. Rata-rata nilai TVB ikan bandeng P, Q, R dan S
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa ikan bandeng P dan R pada
fase pre-rigor memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 14,28 mg N/100 g dan ikan
bandeng Q dan S juga memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 11,76 mg N/100 g.
Nilai tersebut menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan
sangat segar. Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya
waktu penyimpanan akibat adanya degradasi oleh enzim dalam tubuh ikan
menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen-
komponen penyusun senyawa basa volatil (Yunizal dan Wibowo 1998). Nilai
TVB daging ikan bandeng tertinggi dicapai setelah penyimpanan 19 jam
penyimpanan suhu ruang sebesar 49 mg N/100 g dan pada penyimpanan suhu
chilling setelah penyimpanan 540 jam (23 hari) sebesar 74,2 mg N/100 g. Nilai
tersebut menujukkan bahwa daging ikan bandeng sudah tidak dapat dikonsumsi
(Farber 1965). Menurut Siswanto dan Soedarto (2008) peningkatan kandungan
TVB terjadi karena adanya bakteri yang menguraikan protein menjadi TVB.
Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB.
Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g.
50
Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar.
Ikan termasuk kriteria masih bisa dikonsumsi apabila nilai TVB antara
20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari
30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan batasan tersebut, ikan bandeng yang
disimpan pada suhu ruang masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi
sampai waktu penyimpanan 15 jam dengan nilai TVB antara
23,8-24,36 mg N/100 g dan 300 jam untuk ikan bandeng yang disimpan pada
suhu chilling dengan nilai TVB antara 28-28,4 mg N/100 g.
Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP,
juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah
kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia
dalam sel. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai
dengan melepaskan energi (Jiang 2000). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi
ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase.
Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP
diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat
berubah menjadi hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan
molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenin (Eskin 1990).
Nilai TVB pada ikan bandeng P, Q, R, dan S semakin meningkat seiring
dengan fase laju kemunduran mutu ikan. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
α=0,05 ) pada analisis TVB dengan rancangan acak kelompok dapat dikatakan
bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan
dari masing-masing ikan bandeng P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang
tidak berbeda nyata terhadap nilai TVB pada tingkat kepercayaan 95 %
(Lampiran 7c). Menurut Siswanto dan Soedarto (2008) peningkatan panas (suhu)
yang semakin tinggi sampai batas tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim
dalam hidrolisis protein sehingga meningkatkan kadar TVB. Hasil uji ragam
(ANOVA α=0,05 ) pada nilai TVB dengan rancangan acak kelompok
menunjukkan fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan
busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TVB pada
tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7c). Nilai TVB ikan yang disimpan suhu
chilling (ikan R dan S) pada fase busuk memiliki nilai yang lebih tinggi daripada
51
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta A
ktiv
itas
Enz
im K
atep
sin
(U/m
l)
0 ,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
ikan P dan Q yang disimpan pada suhu ruang. Taskaya et al. (2003) menyebutkan
bahwa kenaikan nilai TVB ini disebabkan karena adanya pengaruh lama
penyimpanan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor suhu panas, komposisi
garam, kondisi fisiologis, kandungan protein dan aktivitas enzim.
4.3 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Katepsin
Kematian hewan merupakan penyebab utama terjadinya perubahahan
biokimia pada jaringan otot. Setelah mati, nilai pH akan mengalami penurunan
karena adanya akumulasi asam laktat, rendahnya ATP, dan terjadinya
penghancuran membran sel. Perubahan biokimia yang utama adalah terjadinya
proteolisis miofibril. Pada post mortem, enzim katepsin mempunyai peran dalam
proses terjadinya penurunan kesegaran mutu daging ikan (Ladrat et al. 2003).
Gambar 8 memperlihatkan aktivitas enzim katepsin pada ikan P, Q, R, dan S.
Gambar 8. Rata-rata aktivitas enzim katepsin
Aktivitas enzim katepsin tertinggi pada ikan P, Q, R, dan S terdapat pada
fase post rigor dengan aktivitas masing-masing yaitu 0,929 U/ml, 0,911 U/ml,
0,447 U/ml, dan 0,821 U/ml. Aktivitas enzim katepsin akan memberikan
pengaruh yang signifikan jika nilai pH daging rendah selama penyimpanan 6 hari
setelah memasuki fase post mortem (Taylor et al. 1995 diacu dalam
Gil et al. 1998). Hasil penelitian ini menunjukkan pH yang maksimum untuk
52
berlangsungnya aktivitas enzim katepsin pada ikan P, Q, R, dan S adalah antara
6,79-6,82. Proses penguraian protein terjadi akibat adanya penurunan pH jaringan
otot karena terbentuknya asam laktat. Nilai pH yang rendah dengan bantuan ATP
akan menyebabkan aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin yang
relatif mudah mengalami penguraian. Hal ini menyebabkan terjadinya peristiwa
rigor mortis (kekakuan). Selain itu proses penguraian protein ini akan
menyebabkan protein miofibril dan sarkoplasma terbongkar atau terhidrolisis
menjadi peptida dan asam amino bebas yang akan mempengaruhi cita rasa dan
akumulasi metabolit (Kreuzer 1965). pH optimal enzim katepsin D yang telah
berhasil dimurnikan dari otot ikan tilapia sebesar 5,5-6,0. Katepsin D ini memiliki
berat molekul 38 kDa dan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin. Selain
itu, pada kelompok ikan tilapia juga telah diketahui terdapat aktivitas enzim
katepsin A yang memiliki aktivitas eksopeptidase dengan pH optimum 5-6
(Doke et al. 1980 diacu dalam Shahidi dan Botta 1994). Aktivitas enzim katepsin
pada ikan P dan Q fase post rigor lebih tinggi daripada ikan R dan S. Hal ini
diduga karena pengaruh suhu. Menurut Siebert dan Schmitt 1965 aktivitas enzim
katepsin akan optimum pada suhu 37 0C. Aktivitas enzim katepsin B dan L yang
diekstrak dari daging longissimus porcine selama penyimpanan pada suhu 4 0C
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Aktivitas enzim katepsin B dan L daging Longissimus porcine
selama penyimpanan suhu 4 0C
Waktu (hari) Aktivitas Enzim Katepsin B+L (U/gr)
0 0,566
1 0,568
7 0,441
14 0,505
Sumber : Gil et al. (1998)
Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) perlakuan kombinasi
kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang
tidak berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin pada tingkat kepercayaan 95 %
(Lampiran 7d). Hal ini diduga ikan yang tidak dipuasakan mempunyai tingkat
kelaparan yang sama dengan ikan yang dipuasakan karena rentang waktu antara
pemberian pakan ikan yang tidak dipuasakan sebelum panen adalah 5 jam.
53
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20Rat
a-ra
ta K
onse
ntra
si P
rote
in E
nzim
Kat
epsi
n (m
g/m
l)
0 ,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
Haetami (2002) melaporkan bahwa laju pelaluan pakan sejak dikonsumsi sampai
keluar menjadi feses adalah 7 jam. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05)
menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post
rigor, dan busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas
katepsin pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7d). Hal ini dapat terjadi
karena pengaruh lama penyimpanan dan kualitas daging (Gil et al. 1998), pH
asam (Almeida et al. 2001) konsentrasi enzim, konsentrasi substrat dan suhu
(Lehninger 1993).
Pengukuran aktivitas katepsin sangat erat kaitannya dengan konsentrasi
protein enzim. Gambar 9 menyajikan jumlah konsentrasi protein enzim katepsin
dari ikan P, Q, R, dan S.
Gambar 9. Rata-rata konsentrasi protein enzim katepsin
Pola kenaikan konsentrasi protein enzim katepsin ikan P, Q, R dan S dari
fase pre rigor hingga post rigor sama dengan pola kenaikan aktivitasnya.
Aktivitas enzim katepsin yang tinggi pada fase post rigor tentunya berkaitan erat
dengan tingginya konsentrasi protein enzim katepsin dari masing-masing ikan,
yakni ikan P sebesar 0,826 mg/ml, ikan Q sebesar 0,639 mg/ml, ikan R sebesar
0,603 mg/ml, dan ikan S sebesar 0,609 mg/ml. Hal itu disebabkan enzim pada
54
dasarnya tersusun dari komponen-komponen protein. Salah satu jenis protein
yang berperan dalam proses autolisis adalah protein sarkoplasma
(Dinu et al. 2002).
4.4 Aktivitas dan Konsentrasi Enzim Kolagenase
Kolagenase secara umum didefinisikan sebagai enzim yang mampu
mendegradasi ikatan polipeptida. Enzim ini dibagi menjadi dua tipe yang berbeda
berdasarkan pada fungsi fisiologisnya. Serin kolagenase terlibat dalam produksi
hormon dan aktivitas farmakologi. Fungsi tersebut meliputi pencernaan protein,
penggumpalan darah, fibrinolisis, aktivasi kompleks, dan fertilisasi (Neurath
1984; Bond and Van Mart 1987 diacu dalam Park et al. 2002). Tipe kedua adalah
metallokolagenase terdiri dari zinc yang mengandung enzim yang membutuhkan
kalsium untuk kestabilan (Strieklin et al. 1977 diacu dalam Park et al. 2002).
Selain itu metallokolagenase termasuk dalam enzim ekstraselluler dengan berat
molekul yang bervariasi dari 30 hingga 150 kDa. Jenis enzim ini telah banyak
dipelajari dari berbagai jaringan mamalia (Sellers dan Murphy 1981; Harris dan
Vater 1982 diacu dalam Paark et al. 2002). Gambar 10 memperlihatkan aktivitas
enzim kolagenase pada ikan P, Q, R, dan S.
Berdasarkan Gambar 10 dapat diketahui bahwa pada ikan P, Q, R, dan S
nilai aktivitas tertinggi enzim kolagenase terdapat pada fase post rigor masing-
masing sebesar 0,067 U/ml, 0,058 U/ml, 0,063 U/ml, dan 0,054 U/ml. Ikan P dan
R dengan perlakuan tidak dipuasakan memiliki aktivitas enzim kolagenase yang
lebih tinggi daripada ikan Q dan S dengan perlakuan dipuasakan. Hal ini diduga
karena adanya kandungan protein dalam makanan yang dapat memberikan
pengaruh terhadap aktivitas sejumlah enzim pada ikan (Cowey dan Walton 1988
diacu dalam Affandi dan Tang 2002).
55
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta A
ktiv
itas
Enz
im K
olag
enas
e (U
/ml)
0 ,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
Gambar 10. Rata-rata aktivitas enzim kolagenase
Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) dengan perlakuan kombinasi kondisi
ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang tidak
berbeda nyata terhadap aktivitas enzim kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %
(Lampiran 7e). Peningkatan panas (suhu) yang semakin tinggi sampai batas
tertentu akan meningkatkan aktivitas enzim dalam hidrolisis protein
(Siswanto dan Soedarto 2008). Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) menunjukkan
bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan
busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas enzim
kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7e). Penelitian Iijima et al.
(1983) melaporkan bahwa enzim kolagenase mempunyai aktivitas maksimum
pada pH 7,4 sampai 8,0.
Aktivitas dari enzim kolagenase sangat erat kaitannya dengan konsentrasi
protein enzim kolagenase. Konsentrasi dari enzim kolagenase ikan P, Q, R, dan S
dapat dilihat pada Gambar 11.
Pola kenaikan konsentrasi protein enzim kolagenase ikan P, Q, R dan S
dari fase pre rigor hingga post rigor sama dengan pola kenaikan aktivitasnya.
Pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa konsentrasi enzim kolagenase tertinggi
ikan P, Q, R, dan S sama-sama ditemukan pada fase post rigor. Besarnya nilai
konsentrasi pada fase ini memiliki hubungan yang erat dengan nilai aktivitasnya
56
W aktu Penyim panan Suhu R uang (Jam )
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta K
onse
ntra
si P
rote
in E
nzim
Kol
agen
ase
(mg/
ml)
0 ,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
W aktu Penyim panan Suhu C hilling (Jam )
0 100 200 300 400 500 600
P (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
Q (D ipuasakan, Penyim panan Suhu R uang)
R (T idak D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
S (D ipuasakan, Penyim panan Suhu C hilling)
dimana aktivitas enzim tertinggi juga ditemukan pada fase post rigor. Aktivitas
enzim-enzim proteolitik dalam jaringan akan berjalan baik pada aktivitas
maksimalnya dan tanpa ada pembatas kecepatan (Cowey dan Walton 1988 diacu
dalam Affandi dan Tang 2002).
Gambar 11. Rata-rata konsentrasi protein enzim kolagenase
4.5 Hubungan antara Aktivitas Enzim dan Parameter Kesegaran Ikan
Aktivitas dari enzim proteolitik akan mempengaruhi parameter kesegaran
ikan selama penyimpanan baik pada nilai organoleptik, pH, TPC, dan TVB.
Hubungan antara aktivitas enzim katepsin dan kolagenase dengan parameter
kesegaran pada ikan P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 12.
Berdasarkan analisis korelasi linier sederhana dapat diketahui bahwa
aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada ikan P, Q, R, dan S memiliki
hubungan yang sangat erat dengan nilai organoleptik ikan bandeng utuh maupun
daging ikan bandeng pada fase pre rigor hingga post rigor (r ≥ 0,7). Hubungan
tersebut menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan maka aktivitas enzim
terus meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor. Peningkatan
aktivitas enzim ini diikuti dengan menurunnya nilai oraganoleptik ikan bandeng.
57
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
(g) (h)
(i) (j)
Gambar 12. Koefisien korelasi aktivitas enzim fase pre rigor hingga post rigor
sampel P, Q, R, dan S; aktivitas katepsin dengan; (a) organoleptik
ikan bandeng utuh; (b) nilai organoleptik daging ikan bandeng;
(c) pH; (d) TVB; (e) TPC; aktivitas kolagenase dengan (f) nilai
organoleptik ikan bandeng utuh; (g) nilai organoleptik daging ikan
bandeng; (h) pH; (i) TVB; (j) TPC
58
Menurut Haard dan Simpson (2000) peranan katepsin dalam proses kemunduran
mutu ikan secara nyata terlihat dari perubahan kondisi fisik dan perubahan cita
rasa ikan. Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan
karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan
menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek).
Analisis korelasi linier sederhana antara aktivitas enzim katepsin dan
kolagenase dengan nilai pH memiliki hubungan yang tidak erat (r ≤ 0,5) dari fase
pre rigor hingga post rigor. Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase tertinggi
sama-sama ditemukan pada ikan P dengan nilai pH sebesar 6,79 saat fase
post rigor. Aktivitas enzim katepsin akan memberikan pengaruh yang signifikan
jika nilai pH rendah (Taylor et al. 199 diacu dalam Gil et al. 1998).
Pada analisis korelasi sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim
katepsin dan kolagenase pada ikan P, Q, R, dan S mempunyai hubungan yang
sangat erat (r ≥ 0,7) dengan nilai TVB pada fase pre rigor hingga post rigor. Hal
ini menunjukkan seiring lamanya waktu penyimpanan maka aktivitas enzim terus
meningkat dan mencapai titik tertinggi pada fase post rigor. Aktivitas enzim
dalam menghidrolisis protein akan menyebabkan peningkatan nilai TVB
(Siswanto dan Soedarto 2008). Hal ini sejalan dengan Ozogul (1999) yang
menyebutkan bahwa peningkatan nilai TVB disebabkan oleh aktivitas autolisis
enzim protease dan kegiatan bakteri pembusuk selama proses penyimpanan.
Analisis korelasi linier sederhana juga menunjukkan bahwa aktivitas dari
enzim katepsin dan kolagenase mempunyai hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7)
dengan nilai TPC pada fase pre rigor hingga post rigor. Aktivitas dari enzim
katepsin dan kolagenase akan menguraikan protein menjadi senyawa-senyawa
basa volatil. Menurut Lawrie (1985) senyawa-senyawa tersebut merupakan media
yang sangat cocok bagi pertumbuhan bakteri terutama golongan bakteri
pembusuk.
Pada fase pre rigor hingga post rigor enzim katepsin dan kolagenase
memiliki hubungan yang sangat erat secara linier dengan parameter kesegaran
ikan kecuali pada nilai pH, tetapi hubungan tersebut menjadi kurang erat ketika
memasuki fase busuk. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi linier sederhana
59
aktivitas enzim dan parameter kesegaran ikan pada fase pre rigor hingga busuk
yang disajikan secara lengkap pada Tabel 6.
Tabel 6. Koefisien korelasi linier sederhana aktivitas enzim dan parameter
kesegaran ikan fase pre rigor hingga busuk pada ikan P, Q, R, dan S
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa hubungan antara aktivitas
enzim dengan parameter kesegaran ikan menjadi kurang erat ketika memasuki
fase busuk. Namun aktivitas enzim kolagenase masih memiliki hubungan yang
sangat erat (r ≥ 0,7) hingga fase busuk pada parameter nilai organoleptik dan TPC.
Hal ini diduga karena pada fase busuk ikan masih memiliki nilai pH yang dapat
memicu aktivitas enzim kolagenase, yaitu antara 6,96-7,1. Menurut
Iijima et al. (1983) enzim kolagenase mempunyai aktivitas maksimum pada
pH 7,4 sampai 8,0.
4.6. Hubungan antar parameter kesegaran ikan
Bahan mentah yang nantinya akan dikonsumsi oleh manusia harus
mempunyai kesegaran yang baik. Berdasarkan tingkat kesegarannya, ikan dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan mutu bahan mentah, yaitu ikan dengan
mutu terbaik, ikan dengan mutu sedang, dan ikan dengan mutu paling bawah
(Dwiari et al. 2008). Pada penelitian ini, hubungan antar parameter kesegaran ikan
P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 13, 14, 15, dan 16.
Berdasarkan Gambar 13, 14, 15, dan 16 dapat diketahui bahwa nilai
organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S mengalami penurunan dari fase
pre rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB. Nilai
pH mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada
fase post rigor hingga busuk.
Parameter Kesegaran Ikan
Koefisin Korelasi
Aktivitas Enzim
Katepsin
Koefisin Korelasi
Aktivitas Enzim
Kolagenase
Nilai organoleptik ikan bandeng utuh 0,3 0,7
Nilai organoleptik daging 0,3 0,7
Nilai Ph 0,3 0,4
Nilai TVB 0,3 0,4
Nilai TPC 0,4 0,8
60
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tik
Ik
an B
and
eng
Utu
h
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tik
Dag
ing
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
pH
0
2
4
6
8
Rat
a-ra
ta N
ilai
TV
B (
mg
N/1
00
g)
0
10
20
30
40
50
60
Rat
a-ra
ta N
ilai
Lo
g T
PC
(C
FU
/ml)
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta A
kti
vit
as E
nzi
m K
atep
sin
(U
/ml)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Rat
a-ra
ta N
ilai
Ak
tiv
itas
En
zim
Ko
lag
enas
e (U
/ml)
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Daging
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
Gambar 13. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel P
Waktu Penyimpanan Suhu Ruang (Jam)
0 5 10 15 20
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tik
Ikan
Ban
den
g U
tuh
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tik
Dag
ing
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
pH
0
2
4
6
8
Rat
a-ra
ta N
ilai
TV
B (
mg
N/
10
0 g
)0
10
20
30
40
50
Rat
a-ra
ta A
kti
vit
as E
nzi
m K
atep
sin
(U
/ml)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Rat
a-ra
ta A
kti
vit
as E
nzi
m K
ola
gen
ase
(U/m
l)
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
Rat
a-ra
ta N
ilai
Lo
g T
PC
(C
FU
/ml)
0
2
4
6
8
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Daging
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Gambar 14. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel Q
61
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
0 100 200 300 400 500 600
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tig
Ikan
Ban
den
g U
tuh
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tik
Dag
ing
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
pH
0
2
4
6
8
Rat
a-ra
ta N
ilai
TV
B (
mg
N/1
00
g)
0
20
40
60
80
Rat
a-ra
ta N
ilai
Lo
g T
PC
(C
FU
/ml)
0
2
4
6
8
Rat
a-ra
ta A
kti
vit
as E
nzi
m K
atep
sin
(U
/ml)
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
Rat
a-ra
ta A
kti
vit
as E
nzi
m K
ola
gen
ase
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Daging
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
Rata-rata Nilai Log TPC (FU/ml)
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
Rata-rata Aktivitas Enzim Kolagenase (U/ml)
Gambar 15. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel R
Waktu Penyimpanan Suhu Chilling (Jam)
0 100 200 300 400 500 600
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tik
Ikan
Ban
den
g U
tuh
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
Org
ano
lep
tik
Dag
ing
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta N
ilai
pH
0
2
4
6
8
Rat
a-ra
ta N
ilai
TV
B (
mg
N/1
00
g)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Rat
a-ra
ta N
ilai
Lo
g T
PC
(C
FU
/ml)
0
2
4
6
8
10
Rat
a-ra
ta A
kti
vit
as E
nzi
m K
atep
sin
(U
/ml)
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
Rat
a-ra
ta A
kti
vit
as E
nzi
m K
ola
gen
ase
(U/m
l)
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
Rata-rata Nilai Organoleptik Daging
Rata-rata Nilai pH
Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g)
Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Rata-rata Aktivitas Enzim Katepsin (U/ml)
Col 1 vs Col 8
Gambar 16. Hubungan antara aktivitas enzim dan parameter kesegaran sampel S
62
Aktivitas enzim katepsin dan kolagenase juga mengalami kenaikan dan
mencapai puncak aktivitasnya pada fase post rigor tetapi mengalami penurunan
kembali pada fase busuk. Hal ini diduga karena pengaruh dari nilai pH. Aktivitas
enzim katepsin akan mencapai aktivitas optimum pada pH asam
(Almeida et al. 2001). Ikan R dan S yang disimpan pada suhu chilling memiliki
daya simpan yang lebih lama hingga 540 jam (23 hari) dari pada ikan P dan Q
yang disimpan pada suhu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan suhu
chilling (1 0C) merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk menghambat
kemunduran mutu ikan.
63
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kondisi pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan
suhu ruang (ikan P dan Q) selama 19 jam dengan interval waktu pengamatan
satu jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 10, 15 dan 19. Kondisi
pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk pada penyimpanan suhu chilling
(ikan R dan S) selama 540 jam (23 hari) dengan interval waktu pengamatan 12
jam terjadi berturut-turut pada jam penyimpanan ke-0, 84, 300, dan 540. Pada
penyimpanan suhu ruang pola kemunduran mutu ikan bandeng dari fase pre rigor
hingga ikan busuk berlangsung lebih cepat dari pada penyimpanan suhu chilling.
Nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R dan S mengalami penurunan dari fase pre
rigor hingga busuk yang diikuti dengan kenaikan nilai TPC dan TVB. Nilai pH
mengalami penurunan pada fase rigor mortis dan mengalami kenaikan pada fase
post rigor hingga busuk.
Aktivitas enzim tertinggi (katepsin dan kolagenase) ditemukan pada ikan P
saat fase post rigor, yaitu sebesar 0,929 U/ml untuk enzim katepsin dan
0,067 U/ml untuk enzim kolagenase. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA
α=0,05) diketahui bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan
suhu penyimpanan dari masing-masing ikan P, Q, R, dan S memberikan pengaruh
yang tidak berbeda nyata terhadap aktivitas enzim katepsin dan kolagenase pada
tingkat kepercayaan 95 %. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dengan rancangan
acak kelompok pada fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post
rigor, dan busuk) menunjukkan bahwa dari masing-masing ikan P, Q, R, dan S
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap aktivitas katepsin dan
kolagenase pada tingkat kepercayaan 95 %.
Analisis korelasi linier sederhana menunjukkan bahwa aktivitas enzim
katepsin dan kolagenase memiliki hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7) secara
linier dengan parameter kesegaran ikan kecuali pada nilai pH selama proses
kemunduran mutu dari fase pre rigor hingga post rigor dan menjadi kurang erat
setelah memasuki fase busuk. Namun aktivitas enzim kolagenase masih memiliki
64
hubungan yang sangat erat (r ≥ 0,7) hingga fase busuk pada parameter nilai
organoleptik dan TPC.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka disarankan untuk dilakukan
penelitian lanjutan dengan aplikasi inhibitor enzim baik alami maupun komersil
untuk menghambat kemunduran mutu ikan bandeng. Disarankan juga untuk
dilakukan penelitian dengan menentukan aktivitas enzim lainnya, misalnya
tripsin, kemotripsin, dan pepsin.
65
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Pekan Baru : Unri Press.
Afrianto E dan Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Yogyakarta : Kanisius.
Almeida PC, Nantes IL, Chagas JR, Rizzi CCA, Alario AF, Carmona E, Juliano
L, Nader HB, Tersarior ILS. 1983. Cathepsin B activity regulation. The
Journal of Biological Chemistry 276 (2) : 944-951.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budianto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Azanza MPV, Ortega MP, Valdezco RG. 2001. Microbial quality of rellenado
milkfish (Chanos chanos, Forskall). Food Control 12 : 365-371.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2002. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending
Usaha Kecil. www.google.com. [5 Maret 2009].
[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2009. Metodologi Perikanan.
www.geocities.com. [5 Maret 2009].
[BRKP] Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2007. Dukungan Teknologi
Penyediaan Produk Perikanan. www.litbang.deptan.go.id. [5 Maret 2009].
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-2345-2006.
Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta : Badan Standardisasi Indonesia.
Bagarinao T. 1994. Systematics, distribution, genetics and life history of milkfish,
Chanos chanos. Environmental Biology of Fishes 39 : 23-41.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive for the quantitation of mocrogram
quantities of protein utilization the principles of protein dye binding.
Analytical Biochemistry 72 : 248-254.
Bramsnaes F, Hansen P. 1965. Technological Problems Conncted with Rigor
Mortis in Fish Requiring more Knowledge from Fundamental Research.
Di dalam : Kreuzer R, editor. The Technology of Fish Utilization. England:
Fishing News (Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet Street London EC4.
Clucas IJ dan Sutcliffe PJ. 1981. An Introduction to Fish Handling and Procesing.
London : Tropical Products Institute.
66
Dinu D, Dumitru IF, Nichifor MT. 2002. Isolation and characterization of two
chatepsins from muscle of Carasiuss auratus gibelio.
Roum Biotechnology 7 : 753-758.
Dwiari SR, Asadayanti DD, Nurhayati, Sofyaningsih M, Yudhanti SFAR, Yoga
IBKW. 2008. Teknologi Pangan. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional.
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. San Diego : Academic
Press, Inc.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and quality changes in
fresh fish. Hush HH, editor. Rome: FAO Fisheris Technical Paper.
Farber L. 1965. Freshness Test. Borgstorm G, editor. Di Dalam: Fish as Food
Vol IV. New York: Academic Press.
Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor : LSI
Institut Pertanian Bogor.
Ghufron M dan Kardi H. 1997. Budi Daya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak
Sistem Polikultur. Semarang : Dahara Prize.
Gil M, Hortos M, Sarraga C. 1998. Calpain and cathepsin activities, and protein
extractability during ageing of Longissimus porcine muscle from normal
and PSE meat. Food Chemistry 63 : 385-390.
Golub LM, Siegel K, Ramamurthy NS, Mandel ID. 1976. Some characteristics of
collagenase activity in gingival crevicular fluid and its relationship to
gingival diseases in humans. Journal of Dental Research 55 : 1049-1057.
Haetami K. 2002. Evaluation of Waste of Azolla Digestibility on Red Belly Fish
(Colossoma macropomum, Cuvier 1818). Bandung:Universitas Padjajaran.
Haard NF dan Simpson BK. 2000. Seafood Enzymes. New York : Marcel
Dekker, Inc.
Hidayati L. 2005. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan dalam Penyimpanan
Freezer Lemari Es Terhadap Kandungan Protein dan Jumlah Total Koloni
Bakteri Ikan Bandeng (Chanos chanos). [Tesis]. Universitas
Muhammadiyah Malang.
Iijima K, Ando K, Kishi M, Nakashizuka T, Hayakawa T. 1983. Collagenase
activity in human saliva. Journal of Dental Research 62 (6) : 709-712.
Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV. Paripurna.
Irawan HSR. 1995. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Solo : CV Aneka.
67
Jiang ST. 2000. Enzymes and Their Effects on Seafood Texture. Di dalam: Haard
NF dan Simpson BK, editor. Seafood Enzymes Utilization and Influence
on Postharvest Seafood Quality. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 411-
450.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Panebar Swadaya.
Kim SK, Park PJ, Kim JB, Shahidi F. 2002. Purification and Characterization of
the collagenase from the tissue of filefish, Novoden modestrus. Journal of
Biochemistry and Molecular Biology.35 (2) : 165-171.
Kreuzer R. 1965. The Technology of Fish Utilization. England : Fishing News
(Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet Street London EC4.
Ladrat CD, Bagnis VV, Noel J, Fleurence J. 2003. Proteolytic potential in white
muscle of sea bass (Dicentrarchus labrax L.) during post mortem storage
on ice : time-dependent changes in the activity of the components of the
calpain system. Food Chemistry 84 : 441-446.
Lawrie RA. 1985. Meat Science. 4th
Edition. Lowa : MC Brown Comp.
Publisher.
Lehninger AL. 1993. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta : Erlangga. Terjemah
dari : The Foundation of Biochemistry.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Panebar
Swadaya.
Murniyati AS dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan, dan Pengawetan
Ikan. Jakarta : Kanisius.
Ozogul F. 1999. Comparison of methods used for determination of total volatile
base nitrogen (TVB-N) in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J.
Zool. 24:113-120.
Park JW, Korhonen RW, Lanier TC. 1990. Effects of Rigor Mortis on
Gel-forming Properties of Surimi and Unwashed Mince Prepared from
Tilapia. Journal of Food Science. 55 (2) : 353-355.
Park PJ, Lee SH, Byun HG, Kim SH, Kim SK. 2002. Purification and
Characteristization of a collagenase from the Mackerel, Scomber
japonicus. Journal of Biochemistry and Moleculer Biology. 35 (6) :
576-682.
Partman W. 1965. Changes in Proteins, Nuleotides and Carbohydrates during
Rigor Mortis. Di dalam : Kreuzer R, editor. The Technology of Fish
Utilization. England: Fishing News (Books) Ltd. Ludgate House 110 Fleet
Street London EC4.
68
Ridwansyah. 2002. Pengaruh Konsentrasi Hidrogen Peroksida dan lama
perendaman Terhadap Mutu Ikan Kembung yang di Pindang. USU
Library : Universitas Sumatra Utara.
Revianti S dan Parisihni K. 2009. MMPS Role on Metastasis of Oral Squamous
Cell Carcinoma. www.google.com. [8 Agustus 2009].
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta : Bina Cipta.
Saito M, Sato K, Kunisaki N, Kimura S. 2000. Characterization of a rainbow trout
matrix metalloproteinase capable of degrading type I collagen. Journal of
Biochemistry 267 : 6943-6950.
Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafood : Chemistry, Processing Technology and
Quality. Glasgow: Blackie Academic and Professional.
Siebert G dan Schmith A. 1965. Fish Tissue Enzymes and their Role in the
Deteriorative Changes in Fish. Di dalam : Kreuzer R, editor. The
Technology of Fish Utilization. England: Fishing News (Books) Ltd.
Ludgate House 110 Fleet Street London EC4.
Siswanto HP dan Soedarto. 2008. Respon kualitas bandeng (Chanos chanos) asap
terhadap lama pengeringan. Berkala Ilmiah Perikanan 3 (1).
Snedecor GW dan Cochran WG. 1967. Statistical Methods. New Delhi: Oxford
and IBH Publishing Co.
Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Terjemahan dari : The Principle and Procedure of Statistic. A Biometrics
Approach.
Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor : Pusat Antar Universitas.
Taskaya L, Cakli S, Celik U. 2003. A study on the quality changes of cultured
gilthead seabream (Sparus aurata L.,1758) and Seabbass (Dicentrarchus
labrac L.,1758) under the market conditios. Journal of Fisheries and
Aquatic Sciences 20 : 313-320.
Yunizal dan Wibowo S. 1998. Penanganan Ikan Segar. Jakarta : Pusat Penelitian
dan Pengembanagn Perikanan.
69
70
Lampiran 1. Diagram alir tahapan penelitian secara keseluruhan
Ikan bandeng di tambak
Tidak dipuasakan Dipuasakan
Pemanenan
Ikan dimatikan
Penyimpanan suhu ruang Penyimpanan suhu chilling
Uji organoleptik, nilai pH, TPC, dan TVB
Ekstraksi enzim katepsin dan kolagenase
Uji aktivitas enzim
71
Lampiran 2. Format uji organoleptik ikan segar (SNI 01-2346-2006)
Nama Panelis : Tanggal :
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan
pengujian.
Berilah tanda V pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji.
Spesifikasi Nilai Kode contoh 1 2 3 4 5
A. Kenampakan
1. Mata
- Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih.
9
- Cerah, bola mata rata, kornea jernih. 8
- Agak cerah, bola mata rata, pupil agak
keabu-abuan, kornea agak keruh.
7
- Bola mata agak cekung, pupil berubah
keabu-abuan, kornea agak keruh.
6
- Bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan,
kornea agak keruh.
5
- Bola mata cekung, pupil mulai berubah
menjadi putih susu, kornea keruh.
3
- Bola mata sangat cekung, kornea agak
kuning.
1
2. Insang
- Warna merah cemerlang, tanpa lendir.
9
- Warna merah kurang cemerlang, tanpa
lendir.
8
- Warna merah agak kusam, tanpa lendir. 7
- Merah agak kusam, sedikit lendir. 6
- Mulai ada perubahan warna, merah
kecoklatan, sedikit lendir, tanpa lendir.
5
- Warna merah coklat, lendir tebal. 3
- Warna merah coklat ada sedikit putih, lendir
tebal.
1
3. Lendir permukaan badan
- Lapisa lendir jernih, transparan, mengkilat
cerah, belum ada perubahan warna.
9
- Lapisan lendir jernih, transparan, cerah,
belum ada perubahan warna.
8
- Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak
putih, kurang transparan.
7
- Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak
kusam, kurang transparan.
6
- Lendir tebal menggumpal, mulai berubah
warna putih, keruh.
5
- Lendir tebal menggumpal, warna putih
kuning.
3
- Lendir tebal menggumpal, warna kuning
kecoklatan
1
72
4. Daging (warna dan kenampakan)
- Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik
jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang
belakang, dinding perut daging utuh.
9
- Sayatan daging cemerlang, spesifik jenis,
tidak ada pemerahan sepanjang tulang
belakang, dinding perut utuh.
8
- Sayatan daging sedikit kurang cemerlang,
spesifik jenis, tidaka ada pemerahan
sepanjang tulang belakang, dinding perut
daging utuh.
7
- Sayatan daging mulai pudar, banyak
pemerahan sepanjang tulang belakang,
dinding perut lunak.
5
- Sayatan daging kusam, warna merah jelas
sekali sepanjang tulang belakang, dinding
perut lunak.
3
- Sayatan daging kusam sekali, warna merah
jelas sekali sepanjang tulang belakang,
dinding perut sangat lunak.
1
II. Bau
- Bau sangat segar, spesifikasi jenis.
9
- Segar, spesifik jenis. 8
- Netral. 7
- Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau
asam.
5
- Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam
jelas dan busuk.
3
- Bau busuk jelas. 1
III. Tekstur
- Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit
menyobek daging dari tulang belakang.
9
- Agak padat, elastis bila ditekan dengan jari,
sulit menyobek daging dari tulang belakang.
8
- Agak padat, agak elastis bila ditekan dengan
jari, sulit menyobek daging dari tulang
belakang.
7
- Agak lunak, kurang elastis bila ditekan
dengan jari, agak mudah menyobek daging
dari tulang belakang.
5
- Lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah
menyobek daging dari tulang belakang.
3
- Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila
ditekan, mudah sekali menyobek daging dari
tulang belakang.
1
73
Lampiran 3a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim katepsin (Dinu et al. 2002)
1. Buffer Tris-HCl 0,1 M (pH 7,4)
Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram dilarutkan ke dalam 995 ml
akuades. Lalu ditepatkan pH nya hingga 7,4 dengan penambahan HCl pekat (1 N)
sedikit demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter.
Lampiran 3b. Diagram alir ekstraksi enzim katepsin
Daging + akuades (1:5)
Homogenisasi
Sentrifuse 1.000 rpm (10 menit)
Supernatan di sentrifuse 10.000 rpm (10 menit)
Pellet + buffer tris Hcl pH 7,4
Sentrifuse 4.000 rpm (10 menit)
Ekstrak kasar
Lampiran 4a. Bahan-bahan untuk ekstraksi enzim kolagenase (Moore dan
Stein (1954) diacu dalam Kim et al. (2002))
1. Buffer Tris-HCl 100 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,25 % Triton-X 100 dan
10 mM CaCl2
Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 12,114 gram ditambah 1,4702 gram
CaCl2 dan 2,5 ml Triton-X 100 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu
ditapatkan pH nya hingga 8,0 dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit
demi sedikit. Kemudian ditepatkan volumenya hingga satu liter.
2. Buffer Tris-HCl 20 mM (pH 8,0) yang terdiri dari 0,36 mM CaCl2
Tris base (Mr = 121,14) sebanyak 2,4228 gram ditambah 0,0529 gram
CaCl2 dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditapatkan pH nya hingga
8,0 dengan penambahan HCl (4 N) pekat sedikit demi sedikit. Kemudian
ditepatkan volumenya hingga satu liter.
74
Lampiran 4b. Diagram alir ekstraksi enzim kolagenase
Daging + buffer tris HCl pH 8,0 (1:5)
Homogenisasi
Sentrifuse 7.000 rpm (20 menit)
Pellet + buffer tris HCl pH 8,0 di sentrifuse 7.000 rpm (20 menit)
supernatan + buffer tris Hcl pH 8,0
Didiamkan 48 jam
Lampiran 5a. Diagram alir analisis nilai pH
Daging ikan 10 gram
Homogenisasi
Pengukuran dengan pH meter
Pembacaan skala
Lampiran 5b. Diagram alir analisis nilai TPC
Daging 10 gram
Penambahan 90 ml larutan garam 0,85 % steril
Homogenisasi
Pengenceran
(10-2
, 10-3
, 10-4
, 10-5
)
Pemipetan dalam cawan petri + NA
Penginkubasian 30 0C selama 48 jam
Penghitungan jumlah koloni
75
Lampiran 5c. Diagram alir analisis nilai TVB
Daging 15 gram + TCA 7 % 45 ml
Homogenisasi
Penyaringan
Pemasukan 1 ml H3BO3
dalam inner chamber
Pemasukan filtrat dalam outer chamber
Penambahan K2CO3 dalam outer chamber
Pencampuran
Penginkubasian selama 24 jam suhu 370 C
Titrasi denganHCl 0,032 N
Penghitungan nilai TVB
Lampiran 6a. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim katepsin
(Dinu et al. 2002)
a. Hemoglobin 2 % dengan pH 2,0
Hemoglobin 8 % sebanyak 50 ml dilarukan ke dalam 145 ml akuades
(perbandingan hemoglobin : akuades adalah 1:3). Kemudian pH dibuat menjadi
2,0 dengan penambahan HCl 1 N dan volume akhir ditepatkan menjadi 150 ml.
b. TCA 5 %
Sebanyak 5 gram TCA dilarutkan diacu dalam akuades hingga volume
akhir 100 ml.
76
Lampiran 6b. Prosedur pengukuran aktivitas enzim katepsin
Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standar (ml)
Substrat
Enzim
Tirosin
Akuades
1,00
0,20
-
-
1,00
-
-
0.20
1,00
-
0,20
-
Di inkubasi pada suhu 37 0C selama 10 menit
TCA 5 % 2,00 2,00 2,00
Kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring
Supernatant ditambah dengan 1 ml folin
Diukur dengan spektrofotometer pada λ = 750 nm
Lampiran 6c. Bahan-bahan untuk pengukuran aktivitas enzim kolagenase
(Moore dan Stein (1954) diacu dalam Park et al. (2002))
a. Buffer Tris-HCl 0,05 M pH 7,5 yang terdiri dari 5 mM CaCl2
Tris base sebanyak 6,057 gram ditambahkan CaCl2 sebanyak 1,4702 gram.
Kemudian bahan tersebut dilarutkan ke dalam 995 ml akuades. Lalu ditepatkan
pH nya hingga 7,5 dengan penambahan HCl pekat sedikit demi sedikit. Kemudian
ditepatkan volumenya hingga satu liter.
b. Tirosin standar
Tirosin sebanyak 0,2 g dilarutkan ke dalam 220 ml buffer Trsi-HCl 0,2 M
pH 8,0. Selanjutnya larutan diaduk perlahan dengan magnetic stirrer. Larutan ini
disimpan pada suhu 0-4 0C dan dapat digunakan selama satu minggu.
c. Asam trikloro asetat (TCA) 50 % (w/v)
Sebanyak 50 gram TCA dilarutkan dalam akuades hingga volume
akhirnya 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut dan
disimpan pada suhu 0-4 0C.
77
d. Larutan nynhydrin 0,1 % (w/v)
Sebanyak 0,1 gram larutan nynhidrin dilarutkan dalam akuades hingga
volume akhirnya 100ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga larut
dan disimpan pada suhu 0-4 0C.
e. 1-propanol 50 % (v/v)
Sebanyak 50 ml 1-propanol dilarutkan dalam akuades hingga volume
akhirnya sebanyak 100 ml. Selanjutnya diaduk dengan magnetic stirrer hingga
larut dan disimpan pada suhu 0-4 0C.
Lampiran 6d. Prosedur pengukuran aktivitas enzim kolagenase
Pereaksi Sampel (ml) Balnko (ml) Standar (ml)
Buffer Tris-HCl (0,05 M,pH 7,5)
Substrat kolagen
Enzim
Tirosin standar
Buffer Tris-HCl (0,05 M,pH 7,5)
1,00
5,00
0,10
-
-
1,00
5,00
-
-
0,10
1,00
5,00
-
0,10
-
Di inkubasi pada suhu 37 0C selama 60 menit
TCA 50 % 0,20 0,20 0,20
Diinkubasi suhu ruang selama 10 menit, lalu disaring dengan kertas saring
Supernatant
Larutan nynhydrin 0,1 %
0,20
1,00
0,20
1,00
0,20
1,00
Diinkubasi pada suhu 100 0C selama 20 menit
1-propanol 50% 5,00 5,00 5,00
Diukur dengan spektrofotometer λ = 570 nm
78
Lampiran 6e. Diagram alir pengukuran konsentrasi protein enzim
0,1 ml enzim
Penambahan 5 ml pereaksi Bradford
Penginkubasian selama 5 menit
Pengukuran dengan spektrofotometer (595 nm)
Lampiran 6f. Kurva standar penentuan konsentrasi protein
(1) Penentuan konsentrasi protein enzim katepsin
(a) Standar BSA
Konsentrasi Absorbansi
0.025 0.011
0.05 0.035
0.075 0.0421
0.1 0.063
0.125 0.075
0.15 0.089
0.175 0.093
0.2 0.097
0.225 0.145
0.25 0.153
(b) Kurva standar BSA
79
Contoh perhitungan konsentrasi protein ekstrak kasar enzim katepsin :
Y = 0.588X - 0
0.161 = 0.588X - 0.000
X = 0.161+0.000
0. 588
= 0.2847
(2) Penentuan konsentrasi protein enzim kolagenase
(a) Standar BSA
Konsentrasi Absorbansi
0.025 0.0211
0.05 0.043
0.075 0.063
0.1 0.078
0.125 0.085
0.15 0.089
0.175 0.097
0.2 0.103
0.225 0.109
0.25 0.115
(b) Kurva standar BSA
80
Contoh perhitungan konsentrasi protein akstrak kasar enzim kolagenase :
Y = 0.380X + 0.028
0.132 = 0.380X + 0.028
X = 0.132 - 0.028
0.380
= 0,2921
Lampiran 7a. Hasil uji ragam ANOVA terhadap pH
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Perlakuan 3 0.01807 0.01807 0.00602 3.79 0.052
Blok 3 3.16777 3.16777 1.05592 664.28 0.000
Error 9 0.01431 0.01431 0.00159
Total 15 3.20014
S R-Sq R-Sq (adj)
0.0398696 99.55% 99.25%
Lampiran 7b. Hasil uji ragam ANOVA terhadap Log TPC
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Perlakuan 3 0.0599 0.0599 0.0200 1.05 0.416
Blok 3 35.5064 35.5064 11.8355 623.63 0.000
Error 9 0.1708 0.1708 0.0190
Total 15 35.7371
S R-Sq R-Sq (adj)
0.137762 99.52% 99.20%
Lampiran 7c. Hasil uji ragam ANOVA terhadap TVB
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Perlakuan 3 294.27 294.27 98.09 2.06 0.176
Blok 3 5434.22 5434.22 1811.41 38.06 0.000
Error 9 428.35 428.35 47.59
Total 15 6156.84
S R-Sq R-Sq (adj)
6.89889 93.04% 88.40%
81
Lampiran 7d. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim katepsin
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Perlakuan 3 0.06943 0.06943 0.02314 1.37 0.312
Blok 3 0.82909 0.82909 0.27636 16.42 0.001
Error 9 0.15150 0.15150 0.01683
Total 15 1.05002
S R-Sq R-Sq (adj)
0.129744 85.57% 75.95%
Lampiran 7e. Hasil uji ragam ANOVA terhadap aktivitas enzim kolagenase
Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P
Perlakuan 3 0.0001517 0.0001517 0.0000506 2.04 0.178
Blok 3 0.0057738 0.0019246 0.0019246 77.77 0.000
Error 9 0.0002227 0.0002227 0.0000247
Total 15 0.0061482
S R-Sq R-Sq (adj)
0.00497455 96.38% 93.96%
82
Lampiran 8. Hasil pengujian tingkat kesegaran ikan bandeng pada
penentuan pola kemunduran mutu
Keterangan :
P = Tidak Dipuasakan, Suhu Ruang
Q = Dipuasakan, Suhu Ruang
R = Tidak Dipuasakan, Suhu Chilling
S = Dipuasakan, Suhu Chilling
a = Rata-rata Nilai Organoleptik Ikan Bandeng Utuh
b = Rata-rata Nilai Organoleptik Daging
c = Rata-rata Nilai pH
d = Rata-rata Nilai TVB (mg N/100 g
e = Rata-rata Nilai Log TPC (CFU/ml)
Sampel Pre Rigor Rigor Mortis
a b c d e a b c d e
P 9 9 6,62 14,28 3,66 8 8 5,85 15,12 4,68
Q 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 19,88 4,95
R 9 9 6,62 14,28 3,66 6 8 5,76 20,1 4,68
S 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 24 4,97
Sampel Pre Rigor Rigor Mortis
a b c d e a b c d e
P 9 9 6,62 14,28 3,66 8 8 5,85 15,12 4,68
Q 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 19,88 4,95
R 9 9 6,62 14,28 3,66 6 8 5,76 20,1 4,68
S 9 9 6,72 11,76 3,72 8 8 5,86 24 4,97
Sampel Post Rigor Busuk
a b c d e a b c d e
P 6 6 6,79 23,8 6,61 3 3 6,96 49 7,7
Q 6 6 6,82 24,36 6,84 3 3 7,1 47,04 7,34
R 5 6 6,81 28 6,66 3 3 6,96 74,2 7,29
S 5 6 6,82 28,4 6,85 3 3 6,96 73,1 7,38
83
Lampiran 9. Hasil pengujian aktivitas enzim selama kemunduran mutu
1. Hasil pengujian aktivitas enzim katepsin
Keterangan :
P = Tidak Dipuasakan, Suhu Ruang
Q = Dipuasakan, Suhu Ruang
R = Tidak Dipuasakan, Suhu Chilling
S = Dipuasakan, Suhu Chilling
Sampel Pre Rigor Rigor Mortis
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
P 0,214 0,286 0,286 0,536
Q 0,179 0,245 0,196 0,486
R 0,214 0,322 0,286 0,424
S 0,179 0,285 0,268 0,297
Sampel Pre Rigor Rigor Mortis
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
P 0,929 0,826 0,536 0,657
Q 0,911 0,639 0,196 0,555
R 0,446 0,603 0,286 0,382
S 0,821 0,609 0,321 0,386
84
2. Hasil pengujian aktivitas enzim kolagenase
Sampel Pre Rigor Rigor Mortis
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
P 0,013 0,316 0,033 0,521
Q 0,013 0,292 0,029 0,474
R 0,008 0,313 0,021 0,559
S 0,013 0,321 0,025 0,509
Sampel Post Rigor Busuk
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
Aktifitas
(U/ml)
Konsentra
si Protein
(mg/ml)
P 0,067 0,732 0,05 0,495
Q 0,058 0,815 0,054 0,467
R 0,063 0,879 0,054 0,476
S 0,054 0,738 0,038 0,407
Keterangan :
P = Tidak Dipuasakan, Suhu Ruang
Q = Dipuasakan, Suhu Ruang
R = Tidak Dipuasakan, Suhu Chilling
S = Dipuasakan, Suhu Chilling
85
Lampiran 10. Dokumentasi penelitian
a. Tambak tempat pengambilan sampel b. Penangkapan ikan bandeng
c. Pemasukan ikan bandeng dalam wadah d. Transportasi ikan bandeng
e. Penyimpanan suhu ruang f. Penyimpanan suhu chilling
87
g. Ikan bandeng kondisi pre rigor h. Ikan bandeng kondisi rigor
mortis
i. Ikan bandeng kondisi post rigor j. Ikan bandeng kondisi busuk
k. Uji organoleptik l. Preparasi ikan bandeng
m. Uji pH dan TVB n. Uji TPC
87
o. Uji aktivitas katepsin p. Larutan hasil reaksi uji aktivitas
katepsin
q. Uji aktivitas kolagenase r. Larutan hasil reaksi uji aktivitas
kolagenase