library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang...

16
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat-tempat bersejarah, obyek-obyek dan manifestasi adalah ekspresi yang penting dari budaya, identitas serta agama kepercayaan untuk masyarakat sekitar. Setiap nilai memiliki peran yang penting khususnya dibidang kebudayaan yang seiring perubahan zaman harus dimajukan. Bangunan-bangunan, ruang-ruang, tempat-tempat serta lingkungan sekitar, mewakili keseimbangan nilai-nilai tersebut. Yang bertujuan untuk mempertahankan pemukiman dan bentuk sejarah yang diwariskan, sekaligus melindungi integritas dari sejarah perkotaan yang juga membimbing konstruksi baru pada daerah tersebut. (UN Habitat, 1998) Hal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Serta bangunan-bangunan bersejarah yang berada di wilayah DKI Jakarta dinilai sebagai benda cagar budaya, menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta no.475 tahun 1993.

Transcript of library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang...

Page 1: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tempat-tempat bersejarah, obyek-obyek dan manifestasi adalah ekspresi

yang penting dari budaya, identitas serta agama kepercayaan untuk masyarakat

sekitar. Setiap nilai memiliki peran yang penting khususnya dibidang kebudayaan

yang seiring perubahan zaman harus dimajukan. Bangunan-bangunan, ruang-ruang,

tempat-tempat serta lingkungan sekitar, mewakili keseimbangan nilai-nilai tersebut.

Yang bertujuan untuk mempertahankan pemukiman dan bentuk sejarah yang

diwariskan, sekaligus melindungi integritas dari sejarah perkotaan yang juga

membimbing konstruksi baru pada daerah tersebut. (UN Habitat, 1998)

Hal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang

mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan,

yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya,

situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu

dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Serta bangunan-bangunan bersejarah yang berada di wilayah DKI Jakarta dinilai

sebagai benda cagar budaya, menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta no.475 tahun

1993.

Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta no.1 tahun 2012 tentang RTRW

wilayah 2030 menyatakan, kawasan Kota Tua Jakarta termasuk ke dalam kawasan

strategis kepentingan sosial budaya, yang memiliki nilai historis tinggi dan

merupakan cerminan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya dan peradaban

masyarakat Jakarta di masa lampau, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan

secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, historical identity dari kawasan Kota Tua

harus dipertahankan.

Citra kawasan yang kurang menguntungkan, kondisi infrastruktur yang

kurang mendukung, serta kurangnya kepedulian pihak-pihak, terutama pemerintah

terhadap kawasan bersejarah tersebut menjadi beberapa permasalahan yang

mempengaruhi perkembangan kawasan. Sehingga bangunan-bangunan yang ada

pada Kawasan Kota Tua, menjadi terbengkalai kosong tanpa fungsi dengan kondisi

Page 2: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

2

bangunan yang semakin menua dan rusak karena dimakan usia yang terlampau lama.

Bahkan kalangan swasta yang masih memiliki gedung-gedung tua di kawasan Kota

Tua ini, sengaja membiarkan bangunan gedung menjadi hancur, untuk dapat

membangun gedung yang baru. (Candrian, 2013)

Namun, pada tahun 2011 Gubernur mengeluarkan peraturan no.7 yang

berisikan tentang pembentukan organisasi dan tata kerja unit pengelolaan kawasan

Kota Tua (UPK) yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mengelola kawasan

tersebut. Selain organisasi yang dibuat oleh pihak pemerintah, terdapat juga Jakarta

Old Town Revitalization Corp (JOTRC) yang merupakan konsorsium swasta yang

bertujuan mengembangkan cara-cara inovatif untuk menghubungkan sektor swasta

dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

JOTRC ingin merevitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta sebagai tempat

bekerja, tinggal, dan bermain, sebagai bentuk pelestarian cagar budaya, sebagai

tujuan dalam investasi jangka panjang, sebagai area turisme bagi sektor pariwisata,

serta sebagai promosi keberagaman budaya. Dalam perencanaan masterplan

revitalisasi telah disesuaikan dengan Rencana Induk Kawasan Kota Tua yang

dikeluarkan pemerintah provinsi DKI Jakarta pada Perda no.36 tahun 2014.

Revitalisasi juga memiliki sasaran terhadap pengaktifan kegiatan-kegiatan berbasis

seni dan budaya hingga industri kreatif. (JOTRC, 2014)

Pembangunan kawasan Kota Tua diarahkan dengan visi untuk mewujudkan

kawasan Kota Tua yang tinggi sebagai kawasan wisata, bisnis, jasa, dan perdagangan

dengan tetap mempertahankan karakter dan nilai nilai kesejarahan kawasan Kota Tua

tersebut, dinyatakan dalam Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 4.

Kawasan Kota Tua juga terdaftar dalam “List Tentative UNESCO World

Heritage Site”, yang artinya dalam pengembangan kawasan dapat memiliki

pemikiran kreatif serta memiliki kesaksian tradisi budaya dan kepentingan

sejarahnya (JOTRC). Program perencanaan revitalisasi dilakukan secara bertahap,

yang pertama akan dilakukan terhadap kawasan area dalam tembok kota (zona inti)

yaitu pada Kawasan Fatahillah, Kali Besar, Roa Malaka, Galangan/Tembok Museum

Bahari pasar ikan dan Sunda Kelapa. Aktifitas atau upaya yang akan dilakukan

dalam merevitalisasi kawasan Kota Tua mencakup preservasi, konservasi, aktivasi,

renovasi dan restorasi hingga adaptive reuse. Upaya ini mengacu perbaikan pada

Page 3: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

3

aspek fisik, aspek ekonomi serta aspek sosial, yang dilengkapi dengan pengenalan

budaya yang terkandung di dalamnya.

Salah satu upaya adaptasi atau adaptive reuse merupakan cara yang tepat

untuk digunakan dalam penghidupan kembali suatu bangunan tua bersejarah.

Pengertian adaptive reuse adalah penggunaan kembali bangunan tua dengan

mengubah fungsi awal dari bangunan tersebut dengan menyesuaikan pada keadaan

masa sekarang. Adaptive reuse diterapkan, karena tidak memungkinkannya merusak

bangunan bersejarah pada kawasan Kota Tua, namun dapat memenuhi kebutuhan

peruntukan kawasan pada saat ini dengan pemanfaatan bangunan yang ada.

Pada masa abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-20, kawasan Kotatua

merupakan kawasan daerah pusat politik dan kekuasaan yang didukung oleh pusat

kawasan komersil serta perdagangan. Namun pada saat ini, kawasan kota tua ingin

menghadirkan keberagaman fasilitas yang baru, mulai dari fasilitas entertainment

dan rekreasi skala nasional juga internasional, pusat kegiatan pemerintah,

perkantoran dan komersil dalam kawasan Kota Tua yang berkarakter, serta

menjadikan kawasan Kota Tua dengan keberagaman aktifitas edukasi, seni, budaya,

warisan kota, dan komunitas kreatif pembelajaran melalui ruang publik guna

meningkatkan nilai wisata namun tetap mengintegrasi perancanaan fungsi pada

kawasan tersebut. (UPK/JOTRC, 2014).

Pemberian fungsi pada bangunan bersejarah disesuaikan pula dengan kondisi

bangunan, karena usia bangunan yang sudah tua merupakan salah satu aspek yang

perlu diperhatikan. Hal ini, memungkinkan bangunan yang tidak kokoh baik secara

struktur maupun material elemen pembentuk ruang yang digunakan pada bangunan

tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan-kerusakan dari bangunan harus diidentifikasi.

Gambar 1. Lokasi Gedung PT. Kerta NiagaSumber : Olahan Penulis

JOTRC telah melakukan pemetaan terhadap 85 fisik bangunan tua yang akan

di revitalisasi menurut kondisi yang tidak layak, rusak serta tidak berfungsi, baik

Lokasi Bangunan PT. Kerta NiagaDi Jalan Kali Besar Timur No.9

Page 4: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

4

secara bentuk maupun elemen bangunannya. Salah satu bangunan yang termasuk

dalam kategori tersebut adalah Gedung PT. Kerta Niaga yang berlokasi di Jalan Kali

Besar Timur kawasan Kota Tua seperti pada gambar 1. Dahulu Kawasan Kali Besar

merupakan kawasan Central Business District (Kawasan Kali Besar CBD), hingga

sekarang gedung PT. Kerta Niaga juga berada di daerah yang mayoritas gedung nya

berfungsi sebagai kantor.

Kondisi gedung yang telah rusak dan tua terlihat pada gambar 2, namun

bentuk fasad tidak banyak perubahan dan masih terlihat kokoh strukturnya dari awal

tahun gedung ini didirikan. Selain itu, gedung PT. Kerta Niaga termasuk di dalam

daftar bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan, menurut Surat Keputusan

Gubernur DKI Jakarta no 475 tahun 1993.

Berdasarkan nilainya, terdapat nilai historical yang terkandung pada Gedung

PT. Kerta Niaga. Salah satunya adalah gedung terletak di kawasan kali besar yang

dahulunya dikenal sebagai jalur utama perdagangan serta didesain oleh Biro Arsitek

Cuypers en Hulswit yang juga bergaya langgam art deco. Hingga saat ini, biro dan

langgam tersebut merupakan hal yang bersejarah bagi perkembangan arsitektur di

Indonesia.

Gambar 3. Penentuan Zona KawasanSumber : Dokumen JOTRC

Terlihat gambar 3 menunjukan bahwa gedung PT. Kerta Niaga terletak pada

kawasan perencanaan zona A (inti) revitalisasi Kota Tua. Gedung ini direncanakan

pada kawasan art and culture, sehingga fungsi yang diciptakan merupakan pemikiran

kreatif yang dapat menyesuaikan perencanaan tersebut dengan tetap

mempertahankan keaslian budaya ataupun sejarah gedung PT. Kerta Niaga.

Gambar 2. Tampak Fasad PT. Kerta Niaga Saat IniSumber : Dokumentasi Penulis

Page 5: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

5

1.2 Ruang Lingkup

Dengan banyaknya kriteria dalam mendesain gedung PT. Kerta Niaga di

kawasan Kota tua, maka ruang lingkup dari penelitian ini adalah :

- Melakukan adaptive reuse dengan memasukkan fungsi baru pada gedung PT.

Kerta Niaga yang sesuai dengan peruntukan kawasan art and culture yang

disesuaikan dengan pengembangan zona ekonomi khusus pada kawasan Kota

Tua Jakarta.

- Menciptakan gaya interior pada gedung PT. Kerta Niaga menurut fungsi dan

gaya yang digunakan yang sesuai.

1.3 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang dan ruang lingkup yang diungkapkan, maka

rumusan masalah secara garis besarnya adalah :

- Bagaimana melakukan adaptive reuse terhadap gedung PT. Kerta Niaga di

kawasan Kota Tua Jakarta?

- Bagaimana menciptakan gaya interior yang sesuai dengan kondisi dan fungsi

baru gedung PT. Kerta Niaga?

1.4 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah melakukan adaptive

reuse gedung PT. Kertaniaga di kawasan Kota Tua Jakarta dengan menghadirkan

fungsi yang sesuai dengan peruntukan kawasan art and culture menurut program

revitalisasi yang dijalankan oleh JOTRC saat ini. Serta menggunakan konsep desain

interior yang tepat tanpa menghilangkan identitas dan nilai kesejarahan bangunan

tersebut.

1.5 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan untuk mendapatkan contoh penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya untuk menjadi perbandingan dan dasar dari penelitian yang

dilakukan serta dapat melengkapi atau memperbaruhui penelitian sebelumnya.

- Berikut ini adalah hasil tinjauan pustaka yang telah dirangkum dari lima jurnal

yang terkait dengan topik dan judul :

1. Peter Bullen and Peter Love (2011/Vol.9) dengan judul Facotrs Influencing The

Adaptive Reuse Of Building, dimana kesimpulannya adalah : Adaptive adalah

Page 6: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

6

penggunaan kembali bangunan yang memungkinkan yang sesuai dengan kondisi

saat ini. Proses tersebut menuai manfaat dari energi dan kualitas bangunan

aslinya secara berkelanjutan (Sustanaible). Yang biasanya inisiaf ini cenderung

fokus pada proyek-proyek konstruksi baru daripada konstruksi bangunan yang

sudah ada. Salah satu alasannya adalah kecenderungan menganggap bangunan

tua sebagai produk dengan masa manfaat yang terbatas yang harusnya dibuang

dan dihancurkan. Namun sebagian besar bangunan ada yang dapat digunakan

selama 100 tahun. Dengan demikian, kebutuhan untuk mengembangkan strategi

adaptive reuse dan berkelanjutan membangun bangunan yang sudah ada. Tujuan

dari makalah ini adalah untuk memberikan komprehensif tentang faktor-faktor

yang mempengaruhi strategi adaptive reuse. Desain / metodologi / pendekatan

yang digunakan dengan mulai mengetahui strategi yang tepat untuk memenuhi

perubahan kebutuhan menurut tuntutan pengembang bangunan, pemilik

bangunan yang sudah ada tersebut. Faktor utama untuk fokus pada isu-isu adaptif

siklus hidup masa sekarang, perubahan persepsi bangunan, dan insentif

pemerintah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penelitian empiris diperlukan

untuk menguji peran adaptive reuse dalam konteks terhadap sustanaible strategi

yang efektif yang mendorong perumusan kebijakan publik untuk mengatasi

masalah yang terkait dengan jumlah bangunan yang ada. Penggunaan kembali

bangunan yang sudah ada secara signifikan dapat mengurangi biaya seumur

hidup bangunan tersebut, limbah dan dapat melakukan peningkatan fungsi

bangunan.

2. Robert Shipley, Steve Utz & Michael Parsons (2012/Vol.12) dengan judul Does

Adaptive Reuse Pay? A Study of the Business of Building Renovation in Ontario,

Canada, dimana kesimpulannya adalah bangunan tua adalah sumber penting

estetika, budaya dan ekonomi namun dalam banyak yurisdiksi, ratusan bangunan

bersejarah telah dihancurkan karena pengembang dan bankir berpendapat bahwa

biaya adaptasi bangunan tua untuk penggunaan baru terlalu tinggi. Namun seiring

berkembangnya waktu, sejumlah pengembang terkemuka dapat menyelesaikan

proyek-proyek menarik dengan menampilkan inovatif renovasi bangunan. Tetapi

ketika proyek-proyek pembangunan tertentu disajikan untuk pengambil

keputusan, umumnya hanya analisis biaya pengembang / pemberi pinjaman

disajikan dan, Oleh karena itu, mereka tidak dapat membuat penilaian yang

benar-benar informatif. Penelitian ini menguji bisnis pengembangan warisan,

Page 7: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

7

yang terdiri dari renovasi gedung atau adaptive reuse. Beberapa proyek reuse

lebih mahal daripada bangunan baru namun tidak semua hal tersebut terjadi dan

laba atas investasi untuk pembangunan warisan hampir selalu lebih tinggi.

3. Atsushi Deguchi (2013/Vol.6) dengan judul Adaptive Reuse Design of Historic

Context Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan ,

dimana kesimpulannya adalah : Penggunaan kembali desain adaptif dari dua

konteks sejarah yang berbeda karakteristik, yaitu kota Yame dan Daimyo di Area

Fukuoka, Jepang, yang akan menekankan pada aspek fisik dan sosial.

Pengukuran perubahan fisik dilakukan pada struktur dan materialnya, karena hal

tersebut dapat menyebabkan perubahan pada interior bangunan. Metode yang

digunakan Pengamatan visual dan wawancara. Kasus pada kota Yame,

pelestarian bangunannya lebih cenderung menjaga kerangka struktural asli, yang

berubah mungkin hanya pada elemen bukaan (jendela dan pintu). Kota daimyo

suasananya kuat dengan jejak bangunan tua/ bangunan rohani, oleh karena itu

tidak banyak yang berubah pada kota tersebut. Fenomena ini dapat dipahami

dengan menganalisis aspek sosial. Sementara itu Pelestarian Kota Yame secara

ketat dilakukan oleh pemerintah. Kota Daimyo dibangun catatan identitas yang

kuat secara informal, dengan menggunakan lingkungan terikat.

4. Handri Saputra (2013/Vol.1) dengan judul Kajian Konservasi Adaptive Reuse

sebagai alternatif aplikasi konsep konservasi, dimana kesimpulannya adalah :

Segala sesuatu yang sudah tidak terpakai baik itu sebuah tempat, kawasan atau

punbangunan yang sudah berumur tua dan kondisinya rusak serta tidak terawat

akanmenimbulkan sebuah pemandangan yang mengganggu pada siapa saja yang

melihat. Kondisi ini bisa terjadi karena tempat atau bangunan tersebut sudah

tidak memiliki fungsi dan manfaat. Ketidak perdulian dan sikap acuh biasanya

menjadi factor besar yang membuat sebuah tempat ataupun bangunan

terbengkalai. Banyak sekali potensi yang terdapat pada sebuah tempat atau

bangunan tua yang terbengkalai dan tidak terawat itu. Salah satu langkah yang

dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan kembali tempat ataupun bangunan

yang sudah tidak dipergunakan lagi menjadi sebuah tempat, bangunan ataupun

sesuatu dengan fungsi baru yang dapat mendatangkan banyak manfaat, dan

keuntungan baik dari sudut ekonomi, budaya dan social. Langkah ini biasa

dikenal dengan Adaptive Reuse. Adaptive Reuse atau penggunaan kembali pada

biasanya sering disandingkan dengan sebuah konsep konservasi. Arti konservasi

Page 8: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

8

itu sendiri adalah pelestarian atau perlindungan. Dengan kata lain jika kedua

konsep ini disandingkan akan menciptakan sebuah perubahan fungsi yang

optimal dengan tetap melindungi ataupun memelihara keaslihan dari sesuatu

yang ingin difungsikan baik dari fasad (fisik) maupun nilai sejarah dari tempat

atau bangunan tersebut.

5. Bhanu Rizfa Hakim (2014/Vol.2) dengan judul Sustainability Pada Bangunan

Kolonial Bersejarah Museum Negeri Mulawarman Tenggarong, Kalimantan

Timur, dimana kesimpulannya adalah : Sejalan dengan meningkatnya

pembangunan maka meningkat pula luas lahan terbangun. Salah satu solusi untuk

meminimalkan luas lahan terbangun adalah dengan memanfaatkan bangunan

yang telah ada (reuse). Adaptive reuse kerap diberlakukan pada bangunan

bersejarah yang dilestarikan. Bangunan ini telah melalui rentan waktu lebih dari

50 tahun sehingga telah terbukti tahan terhadap berbagai hal, salah satunya

adalah terhadap iklim. Dengan pendekatan sustainable building dan grounded

research penelitian ini melihat langsung ke lokasi bangunan eks-Kedaton Kutai

Kartanegara di kota Tenggarong Kalimantan Timur yang kini telah beralih fungsi

menjadi Museum Negeri Mulawarman. Bangunan ini termasuk ke dalam

bangunan konservasi yang didirikan pada masa penjajahan Kolonial dengan

mengadopsi gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.

Penelitian ini akan menguji keberlangsungan bangunan eks Kedaton setelah

dialih fungsikan menjadi museum. Selain itu dengan pendekatan greenship

penelitian ini juga akan mengkaji kondisi tapaknya.

- Kesimpulan dari kelima jurnal di atas adalah :

Segala sesuatu yang sudah tidak terpakai baik itu sebuah tempat, kawasan

atau pun bangunan yang sudah berumur tua dan kondisinya rusak serta tidak terawat

terjadi karena tempat atau bangunan tersebut sudah tidak memiliki fungsi dan

manfaat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan

kembali tempat ataupun bangunan yang sudah tidak dipergunakan lagi dengan

adaptive reuse. Adaptive reuse merupakan alternatif aplikasi dari konsep konservasi.

Yang arti dari konservasi adalah sebuah pelestarian atau perlindungan. Sedangkan

untuk pengertian dari adaptive reuse adalah penggunaan kembali bangunan yang

memungkinkan sesuai dengan kondisi saat ini.

Bangunan tua sebenarnya merupakan sumber penting estetika, budaya dan

ekonomi namun dalam banyak yurisdiksi, ratusan bangunan bersejarah telah

Page 9: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

9

dihancurkan karena pengembang dan bankir berpendapat bahwa biaya adaptasi

bangunan tua untuk penggunaan baru terlalu tinggi. Dan seiring berkembangnya

waktu, sejumlah pengembang terkemuka dapat menyelesaikan proyek-proyek

menarik dengan menampilkan inovatif renovasi bangunan.

Beberapa proyek reuse lebih mahal daripada bangunan baru namun tidak

semua hal tersebut terjadi dan laba atas investasi untuk pembangunan warisan hampir

selalu lebih tinggi. Adaptive reuse juga merupakan salah satu statregi untuk

pengembangan sustanaible building. Walaupun, biasanya inisiatif ini cenderung

fokus pada proyek-proyek konstruksi baru daripada konstruksi bangunan yang sudah

ada. Padahal penggunaan kembali bangunan yang sudah ada secara signifikan dapat

mengurangi biaya seumur hidup bangunan tersebut, limbah dan dapat melakukan

peningkatan fungsi bangunan.

Adaptive reuse juga merupakan salah satu solusi untuk meminimalkan luas

lahan terbangun. Penggunaan kembali desain adaptif akan menekankan pada aspek

fisik dan sosial. Pengukuran perubahan fisik dilakukan pada struktur dan

materialnya, karena hal tersebut dapat menyebabkan perubahan pada interior

bangunan. Pelestarian bangunan yang lebih cenderung menjaga kerangka struktural

asli, yang berubah mungkin hanya pada elemen bukaan (jendela dan pintu).

Fenomena ini dapat dipahami dengan menganalisis aspek sosial.

Page 10: library.binus.ac.id · Web viewHal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang

10