library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4...

23
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional Menurut Sarlito Wirawan yang tertuang dalam buku Syamsu Yusuf LN (2002) emosi merupakan setiap keadaan pada diri individu yang disertai adanya warna afektif yang berada pada tingkat lemah atau dangkal dan juga pada tingkat yang luas dan mendalam.Warna afektif yang dimaksudkan adalah suatu perasaan yang dialami saat kita menghadapi (menghayati) stituasi tertentu.Dalam hal ini gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang, dan sebagainya. Berdasarkan dari kerangka dasar mengenai emosi, adanya teori komprehensif mengenai emosi yang berkaitan dengan kecerdasan emosional yang telah dipaparkan pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan Jhon Mayer, mereka pada awalnya mendefiniskan bahwa kecerdasan emosional merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan 11

Transcript of library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4...

Page 1: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecerdasan Emosional

2.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional

Menurut Sarlito Wirawan yang tertuang dalam buku Syamsu Yusuf LN

(2002) emosi merupakan setiap keadaan pada diri individu yang disertai adanya

warna afektif yang berada pada tingkat lemah atau dangkal dan juga pada tingkat

yang luas dan mendalam.Warna afektif yang dimaksudkan adalah suatu perasaan

yang dialami saat kita menghadapi (menghayati) stituasi tertentu.Dalam hal ini

gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci atau tidak senang, dan sebagainya.

Berdasarkan dari kerangka dasar mengenai emosi, adanya teori komprehensif

mengenai emosi yang berkaitan dengan kecerdasan emosional yang telah dipaparkan

pada tahun 1990 oleh Peter Soluvey dan Jhon Mayer, mereka pada awalnya

mendefiniskan bahwa kecerdasan emosional merupakan bagian dari kecerdasan

sosial yang melibatkan kemampuan untuk dapat memantau perasaan dan emosi yang

ada pada diri sendiri maupun orang lain, serta dapat memilah-milah semuannya dan

juga dapat menggunakan suatu informasi untuk membimbing suatu pikiran dan

tindakan (Lawrence, 1998).

Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional adalah kemampuan

individu dalam mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, kemampuan

individu dalam memotivasi dirinya, menjaga keselarasan emosi serta pengungkapnya

melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, rasa empati, keterampilan

11

Page 2: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

12

sosial, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mampu mengendalikan

emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa individu, sehingga

kecerdasan emosional tersebut dapat membuat individu lebih menempatkan

emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Senada dengan pendapat dari Goleman, John Mayer dan Peter Salovey

(2004) mengemukan bahwa kecerdasan emosional melibatkan kemampuan individu

dalam membaca emosi orang lain secara akurat, menanggapi emosi secara tepait,

memotivasi diri, menyadari emosi sendiri, serta mengatur dan mengontrol respon

emosional sendiri (dalam Passer & Smith, 2007). Sementara Cooper dan Sawaf

(1998) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan

individu dalam merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan

kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi, dimana

kecerdasan emosi ini menuntuk perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai

perasaan pada diri dan orang lain, menanggapinya dengan tepat, serta menerapkan

secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari (dalam Mutadin, 2002).

Dari pembahasan diatas, disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan Individu dalam memahami, mengerti, mengontrol dan memahami emosi

dirinya sendiri dan orang lain.

2.1.2 Komponen Utama Kecerdasan Emosional

Peter Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner sebagai definisi

dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, dan memperluas

kemampuan ini menjadi lima wilayah utama, dimana Goleman (2007) itu sendiri

Page 3: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

13

membagi model kecerdasan emosional menjadi dua bagian besar, yaitu personal

competence dan social competence.

2.1.2.1 Personal Competence

Personal competence merupakan kemampuan individu mengatur atau

mengelola diri sendiri (Goleman, 2007).

1. Mengenali emosi diri (self awareness)

Kesadaran diri dalam mengenali emosi atau perasaan sewaktu perasaan itu

muncul pada diri individu merupakan dasar dari kecerdasan emosional

(kemampuan kunci dalam kecerdasan emosional adalah self awareness).Pada

tahap ini diperlukan adanya pemantauan pada perasaan dari waktu ke waktu

sehingga dapat menimbulkan wawasan dan pemahaman tentang diri.

Ketidakmampuan dalam mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat

diri individu berada dalam penguasaan pada perasannya sendiri, sehingga ini

membuat individu tidak peka akan perasaannya yang sesungguhnya dan

berakibat buruk dalam pengambilan keputusan. Kesadaran diri memang

belum menjamin penguasaan emosi, akan tetapi merupakan salah satu syarat

penting dalam mengendalikan emosi, sehingga individu tersebut mudah

dalam menguasai emosinya (Goleman, 2007). Individu diminta untuk

menentukan kondisi perubahan emosi individu itu sendiri dalam intensitas

dan tipe perubahan, tugas lainnya untuk mengukur pemahaman orang lain

akan emosi dasar yang secara bersama-sama menciptakan emosi yang tajam,

seperti iri atau cemburu (Passer & Smith, 2007).

Page 4: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

14

2. Mengelola emosi (self control)

Kemampuan dalam mengelola emosi sebagai landasan dalam mengenal diri

sendiri atas emosi.Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam

menangani perasaan agar perasaan tersebut dapat terungkap dengan tepat,

sehingga mampu mencapai keseimbangan dalam diri individu.Emosi

dikatakan berhasil dikelola apabila individu tersebut mampu menghibur

dirinya sendiri ketika dalam kondisi terpuruk atau kesedihan, dapat

melepaskan kecemasan dalam diri, kemurungan atau ketersinggungan. Begitu

sebaliknya, emosi yang tidak berhasil dikelola akan terus menerus bertarung

melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang

dapat merugikan dirinya sendiri. Emosi yang berlebihan dan meningkat

dengan intensitas yang terlampau lama akan menghancurkan kestabilan diri

individu (Goleman, 2007). Sementara itu, menurut Passer dan Smith (2007)

mengelola emosi diukur dengan meminta responden menunjukkan bagaimana

responden tersebut dapat mengubah emosinya sendiri atau orang lain, serta

memfasilitasi keberhasilan atau meningkatkan kerukunan antar pribadi.

3. Memotivasi diri sendiri (self motivation)

Memotivasi diri merupakan bentuk usaha yang dilakukan indvidu tergerak

untuk melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki.

Kemampuan individu dalam memotivasi diri dapat ditelusuri melalui

berbagai hal, antara lain: cara mengendalikan dorongan hati, derajat

kecemasan yang berpengaruh pada kemampuan seseorang, kekuatan berpikir

positif, dan optimisme. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimiliki

individu, maka individu tersebut cenderung akan memiliki pandangan yang

Page 5: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

15

positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Selain itu

juga memiliki keinginan yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang

lain (Goleman, 2007).

Dari pembahasan diatas, menjelaskan definisi personal competence

merupakan kemampuan individu mengenali atau memahami emosinya

sendiri, mengelola atau mengatur emosinya sendiri, serta bagaimana individu

itu mampu memotivasi dirinya sendiri untuk dapat mencapai suatu tujuan

hidup.

2.1.2.2 Social Competence

Social competence adalah kemampuan individu dalam menangani serta

mengatur suatu hubungan dengan orang lain (Goleman, 2007).

1. Mengenali emosi orang lain (empathy)

Kemampuan individu dalam mengenali emosi orang lain, menunjukkan

kemampuan berempati pada orang lain, dimana empati itu sendiri memiliki

arti kemampuan perasaan seseorang untuk menempatkan diri ke dalam

perasaan orang lain, sehingga dapat memahami pikiran, perasaan, dan

perilakunya. Manusia yang berempati merupakan kemampuan individu dalam

menghangatkan suasana untuk menempatkan dirinya pada situasi dan

perasaan orang lain, akan tetapi individu tetap berada di luar perasan orang

lain dan tetap mempertahankan perasaan dirinya. Individu yang empatik lebih

mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang

mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain, sehingga

individu tersebut mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap

perasaan orang lain dan mampu untuk mendengarkan orang lain. Jika

Page 6: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

16

seseorang mampu terbuka pada emosinya sendiri, maka dapat dipastikan

bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain, sebaliknya seseorang

yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat

dipastikan bahwa ia tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain

(Goleman, 2007).

2. Membina hubungan dengan orang lain (social skill)

Kemampuan dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan

keterampilan sosial yang menunjang popularitas, mendukung keberhasilan

dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang

akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena

tidak dimiliki keterampilan-keterampilan tersebut, menyebabkan seseorang

seringkali dianggap angkuh, menggangu atau tidak berperasaan (Goleman,

2007).

Jadi, social competence didefinisikan sebagai suatu kemampuan individu

dalam memahami atau mengenali emosi orang lain, dan kemampuan individu dalam

mengatur, membangun serta membina hubungan dengan orang lain atau lingkungan

sekitarnya.

Berikut adalah dimensi model kecerdasan emosional Goleman (1999 dalam Marina

& Sarwono, 2007).

Tabel 2.1 Dimensi Model Kecerdasan Emosional Goleman

Personal CompetenceKecakapan ini menentukan bagaimana kita mengelola diri kita sendiri

Self-Awareness Mengetahui kondisi, emosi diri, kesukaan, sumber daya dan intuisi.

Self-Control Mengelola kondisi, emosi, impuls, dan sumber daya diri sendiri.

Self-Motivation Kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peralihan sasaran.

Page 7: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

17

Social CompetenceKecakapan ini menentukan bagaimana kita menangani suatu hubungan

Empathy Kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain.

Social Skill Kemampuan dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain.

Sumber: Marina, L., & Sarwono, S. W (2007)

Goleman (1995) menjelaskan bahwa self awareness itu sendiri secara

langsung mempengaruhi perkembangan self control dan empati, akan tetapi sebelum

seseorang memiliki kemampuan mengidentifikasikan emosi atau perasaannya, tidak

mungkin individu tersebut dapat mengatur emosi atau perasaannya. Tanpa adanya

self control kemampuan self motivation tidak dapat berkembang. Begitu juga dengan

empati, kemampuan berempati tidak dapat berkembang tanpa didahului oleh

perkembangan self-awareness, dimana dimaksudkan bahwa tanpa adanya

kemampuan dalam memahami diri sendiri, maka tidak mungkin seseorang dapat

mengenali orang lain. Selanjutnya social skillakan melibatkan kemampuan dalam

memahami perasaan orang lain (empathy) dan kemampuan bertingkah laku untuk

lebih membentuk perasaan tersebut (dalam Marina & Sarwono, 2007).

Page 8: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

18

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Remaja

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional remaja.

Sumber: Priatini, W., Latifah, M., & Guhardja, S. (2008).

Anak yang pada usia remaja memilki tugas perkembangan yang harus

dijalani. Termasuk pula pada perkembangan kecerdasan emosional, dimana

kemampuan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, sekolah dan

Karakteristik keluarga :• Besar keluarga • Usia orang tua • Pendidikan orang tua • Pekerjaan orang tua • Pendapatan keluarga

Karakteristik anak :• Jenis kelamin • Usia

Tipe pengasuhan emosi :• Tipe mengabaikan emosi • Tipe tidak menyetujui emosi • Tipe laissez-faire • Tipe pelatih emosi

Lingkungan sekolah :• Disiplin • Pembelajaran emosional • Kegiatan ekstrakurikuler • Hubungan guru dengan siswa

Peran teman sebaya :• Fungsi persahabatan • Dukungan semangat • Dukungan fisik • Dukungan ego • Fungsi komparasi sosial • Fungsi kasih sayang

Kecerdasan emosional :• Mengenal emosi • Mengelola emosi • Motivasi diri • Empati • Membina hubungan

Page 9: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

19

teman sebaya.Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak untuk

belajar mengenai kecerdasan emosional melalui pengasuhan.Banyak tipe dari pola

pengasuhan yang direapkan orang tua, diantaranya pengasuhan emosiona.Dalam

mengasuh seorang anak, karakteristik keluarga dan anak juga sangat berpengaruh

terhadap suatu tipe pengasuhan dari orangtuanya. Karakteristik keluarga mencakup

besarnya keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan orang tua dan pendapatan keluarga

mempengaruhi mood dari orang tua dalam mengasuh anak, yang akhirnya

mempengaruhi suasana dalam keluarga. Orang tua juga perlu memperhatikan

karakter anak tersebut seperti jenis kelamin dan usia. Lingkungan sekolah juga

berperan dalam mendukung perkembangan kecerdasan emosional ini dapat dilihat

dari lingkungan sekolah yang mempunyai disiplin yang baik, adanya pelajaran

mengenai emosional, menyediakan kegiatan ekstrakulikuler dan peran guru sebai

suatu tauladan dengan menciptakan hubungan yang baik dengan siswa.Pertemanan

sebaya sebagai aspek yang menunjang perkembangan emosional remaja dapat dilihat

dari peran teman sebaya dalam fungsi persahabatan, memberikan dukungan

semangat, dukungan fisik, dukungan ego, fungsi komparasi sosial dan sebagai

sumber kasih sayang (Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008).

Dari hasil pembahasan diatas disimpulkan bahwa keluarga (peran orang tua

dalam lingkungan keluarga, pola pengasuhan yang diberikan kepada anak),

lingkungan (lingkungan sekolah yang memberikan pembelajaran untuk anak), dan

peran teman sebaya (fungsi persahabatan, fungsi komparasi sosial dan peran dalam

memberikan semangat, dukungan) merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional individu dimana akan terlihat hasilnya dalam bentuk

kecerdasan emosional yang tinggi atau rendah ataupun baik atau buruk.

Page 10: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

20

2.2 Sekolah Unggulan

Menurut Sundari (2008) istilah “sekolah unggulan” secara umum

didefinisikan sebagai sekolah yang memiliki kelebihan dan keunggulan apabila

dibandingkan dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Kelebihan atau keunggulan

tersebut meliputi keunggulan dalam hal sebagai berikut:

1. Targert prestasi belajar yang lebih tinggi

2. Proses belajar dan mengajar yang lebih efektif

3. Kualitas guru yang lebih baik

4. Fasilitas belajar yang memadai

Pembangunan sekolah unggulan ini harus lebih diarahkan pada peningkatan

sumber daya manusia, dikarenakan sekolah merupakan sektor yang paling strategis

untuk mencapai suatu tujuan (Sundari, 2008).

2.3 Kelas Unggulan

Ability grouping merupakan praktik memasukkan beberapa siswa dengan

kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Praktik ini bisa dilakukan pada

pembagian kelompok di dalam satu kelas atau pembagian kelas di dalam satu

sekolah.Jadi, di dalam satu kelas ada kelompok siswa pandai dan kelompok siswa

lemah atau ada kelas-kelas unggulan dan ada pula kelas terbelakang di dalam satu

sekolah.Praktik-praktik ini menjadi kebiasaan yang dibanggakan di beberapa sekolah

unggulan di Indonesia ataupun luar negeri yang ingin menonjolkan kelas khusus

mereka yang terdiri dari anak-anak cerdas dan berbakat (Lie, 2009).

Anita Lie (2009) juga menjelaskan bahwa pengelompokkan homogen

berdasarkan hasil prestasi ini dilakukan juga untuk memudahkan proses pengajaran.

Page 11: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

21

Dalam proses pengajaran, guru sering kali menghadapi tantangan yang lebih besar

dalam mengajar siswa yang berlainan kemampuan belajarnya dalam satu kelompok

atau kelas. Jika guru mengajar terlalu cepat, maka siswa yang lamban akan

tertinggal. Sebaliknya, jika terlalu lambat dalam mengajar, maka siswa cerdas akan

merasa bosan dan akhirnya mengabaikan atau mengacaukan kelas. Oleh karena itu,

pengelompokan homogen dianggap bisa menyelesaikan masalah dalam hal

pengajaran.

Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa sekolah dengan sengaja membuka

kelas unggulan khusus, dimana kelas ini terdiri dari kurikulum tambahan dan nilai

tambahan dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa pengajaran dan pelatihan

tambahan.Tujuan dari pelaksanaan ini untuk menonjolkan keunggulan yang dimiliki

oleh para pelajar. Dibalik segala tujuan dan manfaat dari pengelompokkan homogen

ini mempunyai dampak negatif, dimana menurut para pakar dan peneliti pendidikan

bahwa pengelompokkan ini bertentangan dengan misi pendidikan. Pengelompokkan

berdasarkan kemampuan sama saja dengan memberikan label pada siswa-siswi yang

dimasukkan dalam kelompok yang kurang mampu. Label ini memjadi self-fulfilling

prophecy (ramalan yang menjadi kenyataan), dikarenakan siswa yang dimasukkan

dalam kelompok yang lemah, seseorang siswa akan merasa tidak mampu, patah

semangat, dan tidak mau berusaha lagi (Lie, 2009).

Sementara, John Dewey mengatakan bahwa sekolah seharusnya menjadi

miniature masyarakat. Oleh karena itu, sekolah atau ruang kelas sejauh mungkin

perlu mencerminkan keanekaragaam dalam masyarakat, dimana dalam masyarakat

terdapat berbagai macam manusia dengan tingkatan kemampuan dan keterbatasan

yang berbeda-beda, saling berinteraksi, bersaing, dan bekerja sama (dalam Lie,

2009).

Page 12: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

22

2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja

Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia remaja berada

pada rentang usia antara 11-21 tahun. Pada masa remaja mengalami masa-masa

pergolakan emosi yang muncul dari berbagai bentuk seperti hubungan dalam

keluarga, lingkungan di tempat tinggal, lingkungan sekolah dan hubungan

pertemanan sebaya dan kegiatan dalanm kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003).

Menurut Arnett (1999); Roberts, Caspi, & Moffitt (2001) masa remaja yang

paling mengalami pergeseran mood dan suasana hati baik positif maupun negatif

dibandingkan dengan masa kanak-kanak dan dewasa. Dibandingkan dengan anak-

anak dan orang dewasa, remaja juga jauh lebih mungkin memiliki perasaan sadar

diri, malu, canggung, kesepian, gelisah, dan perasaan diabaikan (dalam Lahey,

2012).

Konflik antara orang tua dan anak-anak meningkat selama masa remaja awal

sampai masa remaja akhir (Arnett, 1999 dalam Lahey, 2012). Konflik ini biasanya

berfokus pada dating, berapa lama remaja harus berada jauh dari rumah, kemana

mereka bisa pergi, dan menjadi seperti apa mereka (ini sering mencerminkan adanya

perbedaan antara pandangan orang tua dan pandangan remaja mengenai seks,

alkohol, narkoba, kenakalan, dan keamanan) (Lahey, 2012).

Arnett (1999) dan Steinberg (2009) menjelaskan bahwa selama masa remaja

terjadi peningkatan yang tajam dalam perilaku remaja, yakni perilaku yang

menunjukkan tindakan berbahaya, ada peningkatan yang ditandai dengan minum-

minuman keras (mabuk-mabukan), pengunaan obat-obatan terlarang, mengemudi

secara sembrono (kecelakaan mobil atau kematian), tidak ada perlindungan dalam

Page 13: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

23

hubungan seksual, agresi, kenakalan remaja, dan hal ini di alami individu sampai

masa perkembangan dewasa awal (dalam Lahey, 2012).

Selain adanya perubahan pada perkembangan emosi remaja, remaja juga

menunjukkan adanya perubahaan nyata dalam hubungan sosial. Masa remaja

merupakan masa dimana individu terkadang melepaskan diri dari keluarga atau masa

pubertas membawa individu menjauh dari orang tua (Arnett, 1999 & Galambos,

1992). Sementara itu, Diamond, Fagundes, dan Butterworth (2010) menjelaskan

masa remaja juga mengalami hubungan pertemanan sebaya, dimana ini meliputi

partener intim. Terjadinya pergeseran orientasi dari orang tua ke hubungan

pertemanan sebaya dapat dilihat adanya penilaian dari kelompok persebayaan yang

terjadi pada awal pubertas (sekitar usia 11 tahun sampai 13 tahun), akan tetapi

hubungan ini akan menurun pada rentan usia 15 tahun. Selain itu, menurut Santrock

(1998) remaja muda menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya

dibandingkan dengan orang tua nya (dalam Lahey, 2012).

Page 14: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

24

2.5 Kerangka Berpikir

Gambar 2.2 Gambaran Umum Kecerdasan Emosional pada Siswa Kelas Unggulan

di SMA Unggulan Jakarta

Sumber: Data Pengolahan Peneliti

Pada masa remaja mengalami masa-masa pergolakan emosi yang muncul dari

berbagai bentuk seperti hubungan dalam keluarga, lingkungan di tempat tinggal,

lingkungan sekolah dan hubungan pertemanan sebaya dan kegiatan dalam kehidupan

sehari-hari (Santrock, 2003). Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa

usia remaja berada pada rentang usia antara 11-21 tahun. Menurut Turner dan Helms

(1991, dalam Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008) berpendapat bahwa lingkungan

sekolah memberikan kontribusi pada perkembangan sosial remaja.Selain itu, rata-

rata siswa SMA banyak menghabiskan waktunya disekolah sekitar 7 jam sehari

(Sarwono, 2002, dalam Priatini, Latifah, & Guhardja, 2008).

Remaja

Siswa di kelas unggulan

Kecerdasan emosional tinggi

atau kecerdasan emosional

rendah ?

Page 15: library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2012-2... · Web view2.4 Perkembangan Sosio-emosional Remaja Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan bahwa usia

25

Sekolah merupakan salah satu sarana belajar bagi seorang anak, dimana tidak

hanya dalam hal mendapatkan ilmu pengetahuan saja melainkan juga melatih

keterampilan emosi dan keterampilan sosialnya (Prihatina, Latifah, & Johan, 2012).

Sekolah-sekolah ungulan baik negeri ataupun swasta menjadi semakin diminati oleh

sebagian masyarakat yang berpenghasilan tinggi dimana para orang tua memiliki

harapan bahwa sekolah unggulan ini dapat memenuhi harapan mereka dalam

mendidik dengan benar, serta melengkapi anak-anak dengan pengetahuan dan

keterampilan yang unggul (Widodo, 2012). Menurut Lie (2009) beberapa sekolah

baik sekolah dengan label “unggulan” atau “non-unggulan” dengan sengaja

membuka kelas unggulan khusus. Kelas unggulan ini terdiri dari siswa-siwa yang

cerdas dan berbakat. Selain itu juga, kelas unggulan ini mendapat kurikulum

tambahan dan nilai tambahan dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya berupa

pengajaran dan pelatihan tambahan.

Apabila seorang remaja yang mengikuti kelas unggulan memiliki kecerdasan

emosional yang rendah, maka ia cenderung akan keras kepala, sulit bergaul, putus

asa apabila mengalami suatu permasalahan, tidak mudah percaya kepada orang lain,

tidak peka dengan kondisi lingkungan, sehingga membuat individu tersebut menjadi

terasing di tengah masyarakat. Sedangkan, remaja yang mengikuti kelas unggulan

memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka ia cenderung akan lebih memahami

secara mendalam emosi nya sendiri, lebih utuh tentang dirinya maupun orang lain,

serta dapat mempengaruhi potensi keberhasilan dan prestasi belajarnya sebagai siswa

yang mengikuti kelas unggulan (Goleman, 2007, dalam Nungraeni, 2011).