Wartawan 4 sks

147

description

Sebuah proyek mandiri anak-anak jurnalistik

Transcript of Wartawan 4 sks

Page 1: Wartawan 4 sks
Page 2: Wartawan 4 sks
Page 3: Wartawan 4 sks

Halo! Selamat Pagi!

Selamat Pagi saya ucapkan di sini agar Anda-Anda yang membaca

selalu bersemangat saat menjalani hari-hari Anda. Barangkali

semangat ini juga diperuntukkan bagi Anda yang akan

melaksanakan job training.

Yap! Buku ini diterbitkan memang untuk menggambarkan

bagaimana suasana dan bentuk pekerjaan yang akan kalian hadapi

ketika job training nantinya. Seanter isu yang beredar anak job

training biasanya disuruh membuat kopi, mengangkat tripod,

memegang microphone atau kamera. Hal itu ternyata tidaklah benar.

Buktinya kami yang menulis di sini, merasa seperti wartawan

sebenarnya. Kami ikut terlibat langsung dalam kegiatan jurnalistik.

Bahkan terkadang menjadi orang yang diandalkan dalam peliputan.

Meskipun masih “Wartawan 4 SKS”.

Kami menceritakan kisah-kisah saat job training (biasa

disebut magang) di media daerah maupun pusat. Medianya pun

beragam, mulai dari TV, surat kabar, dan radio. Cerita ini berasal

Page 4: Wartawan 4 sks

dari desk yang berbeda-beda. Ada yang dari politik, ekonomi,

olahraga, pemerintahan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Beberapa

kisah ada yang tidak disebutkan nama medianya. Memang harapan

kami yang terpenting dari buku ini ialah pengalamannya, bukan

institusinya.

Ada pengalaman manis dan ada yang pahit. Manis karena

melebihi ekspektasi saat belajar di Jurnalistik. Bertemu orang

terkenal (pejabat, artis, pemain bola, dan lainnya), banyak relasi,

dapat mengikuti event-event top, mendapat liputan eksklusif, dan

banyak lainnya.

Pahit karena hal-hal idealis yang tertanam di bangku kuliah

ternyata tak ada aplikasinya di lapangan. Praktik amplop,

pelanggaran firewall, sampai kepada bekerja “santai” ala jurnalis

lokal. Namun, sejatinya seluruh profesi pasti memiliki hal yang baik

dan hal yang buruk.

Buku ini merupakan bunga rampai dari kisah-kisah

mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran (sebagian sudah lulus

tahun 2014). Kisah ini sengaja ditulis dengan ragam teknik bahasa,

sesuai dengan karakter penulisnya. Hal ini bermaksud menghindari

kekakuan bahasa.

Terima kasih saya ucapkan kepada rekan-rekan saya yang

tergabung dalam grup “Wartawan 4 SKS” yang sebetulnya

terniatkan untuk menjadi kado terindah kelulusan (meskipun

ngaret). Merekalah Afif Permana Aztamurri, karikaturis dan yang

Page 5: Wartawan 4 sks

bertanggung jawab atas desain buku ini. Kemudian, Odelia Sinaga,

Arif Mulizar, dan Tristia Riskawati yang bertanggung jawab

mengkolektifkan tulisan rekan-rekan mahasiswa Jurnalistik Unpad

angkatan 2009. Bersama tim inilah kami saling berbagi ide dan

inspirasi.

Akhirnya ikhtiar beberapa bulan ini pun selesai. Semoga

buku ini dapat menjadi gambaran bagi adik-adik dari universitas

manapun di Indonesia dalam menjalani kegiatan job training.

Tunjukanlah kapasitas rekan-rekan ketika job training. Mudah-

mudahan Anda dapat menjadi andalan kantor dan jika beruntung

Anda bisa mendapatkan tawaran bekerja di kantor tersebut.

Tentunya buku ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,

bila ada kritik dan saran silahkan sampaikan ke

[email protected].

Salam hangat,

Koordinator Penyusun Wartawan 4 SKS

Suci Amelia Harlen

Page 6: Wartawan 4 sks
Page 7: Wartawan 4 sks
Page 8: Wartawan 4 sks
Page 9: Wartawan 4 sks
Page 10: Wartawan 4 sks

Intap-Intip Rumah Tangga Negeri

(pengalaman menjadi reporter magang Ekonomi-Bisnis Koran

Tempo)

Oleh: Tristia Riskawati

emahami seluk beluk rumah tangga pangkal

mengetahui seluk beluk negara. Begitu ujar mantan

Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Kendati

menjadi panglima laju pemerintahan Inggris,

rupanya wanita tangan besi ini memberikan perhatian lebih terhadap

urusan remeh temeh seperti kerumahtanggaan.

Aku amini perkataan Margaret Thatcher. Untuk

mengetahui lebih dalam seluk-beluk negara, perempuan cukup

khatam memahami rumah tangganya. Namun, nyatanya, dengan

magang menjadi wartawan rubrik ekonomi bisnis, ditakdirkanlah

aku untuk mengetahui seluk-beluk rumah tangga negara lebih dulu--

sebelum mengenal seluk beluk rumah tangga keluarga.

Pada awalnya, keinginan aku melangsungkan job training

di Tempo didasari karena alasan relasi. Aku pernah mengikuti

Kemah “Menjadi Indonesia” yang diadakan Tempo Institute pada

2011. Salah satu karyawan Tempo Institute, Mbak Maya Wuysang

mengaminiku ketika aku mengutarakan niat aku untuk job training

di Tempo. Aku pun diberi kontak Mas Yudistiro, bagian Sumber

Daya Manusia (SDM) dari Tempo.

M

Page 11: Wartawan 4 sks

Ternyata, proses diterimanya aku untuk job training di

Tempo cukup lama. Terhitung dari pertengahan 2012 mulai

menghubungi Mas Yudistiro, aku baru dipersilakan mulai job

training sedari 2013 awal. Ternyata, relasiku dengan Tempo tidak

menjamin kelancaran proses pengajuan job training-ku.

Aku memutuskan untuk bekerja di Koran Tempo

ketimbang di Majalah Tempo. Alasannya, bekerja di Majalah

Tempo, berarti membutuhkan waktu tiga bulan kerja atau 90 hari

kerja dan tidak terpotong libur. Berarti, butuh alokasi dana

kebutuhan hidup di Jakarta yang cukup besar. Belum lagi, ketika

tengok kanan-kiri, teman-teman sudah mulai menyusun skripsi.

Aku mengajukan ingin menjadi reporter di desk Nasional

Koran Tempo. Pada awalnya, aku akan ditempatkan di desk tersebut.

Namun, di hari pertama aku job training, aku langsung diajukan

bekerja di desk Ekonomi-Bisnis (Ekbis). Terus terang, aku agak

khawatir bekerja di desk ini. Desk Ekbis mencakup istilah-istilah

yang tidak semua awam mengenalinya.

Beruntung, di hari pertama aku bergabung dengan

kompartemen Ekbis, ketika itu ada kelas Ekonomi desk Ekbis dari

ekonom Bank Danamon, Pak Manggih. Oleh redakturku, Mas

Muhammad Nafi, aku disuruh mengikuti kelas tersebut. Walhasil,

aku diperkenalkan oleh istilah-istilah yang baru aku tahu semasa aku

hidup. Sebut saja tappering off, defisit neraca transaksi, dan lain

sebagainya.

Page 12: Wartawan 4 sks

Kompartemen Ekbis terdiri dari dua sektor. Pertama adalah

sektor finansial yang meliput soal ekonomi makro, seperti inflasi,

saham, deflasi, defisit neraca, suku bunga, dan lain sebagainya.

Peliputan untuk sektor finansial biasanya di Kementerian Keuangan

atau di Bank Indonesia. Kedua adalah sektor riil yang membedah

soal penggunaan anggaran yang secara langsung menghasilkan

output. Output-nya biasanya berupa barang dan jasa.

Oleh staf redaksi bernama Mas Abdul Malik, aku ditawari

memilih di sektor manakah aku akan melakukan peliputan. Aku

memilih sektor riil, karena aku suka isu-isu yang tercakup dalam

sektor riil seperti isu pertanian, pertambangan, industri, dan lain

sebagainya. Di samping itu, isu-isu di sektor finansial menyimpan

istilah-istilah dan pengetahuan yang musykil dipelajari dalam waktu

singkat.

Terhitung sejak 8 Oktober 2013 yang aku liput ialah soal

upaya swasembada lima komoditas pangan (padi, jagung, kedelai,

gula, dan daging), sengkarut izin pendirian maskapai, upaya

perbaikan infrastruktur, sengkarut pipa gas open access, launching

mobil baru, pengambilalihan inalum dari tangan Jepang ke tangan

Indonesia, pro kontra soal industri minyak kelapa sawit, kawasan

industri, pelarangan ekspor bahan mineral mentah, dan lain

sebagainya.

Pada hari-hari awal job training, aku terkejut mengetahui

wartawan harian biasa membuat berita tiga sampai lima berita per

Page 13: Wartawan 4 sks

harinya. Apalagi, di tiga hari pertamaku job training, aku hanya

membuat satu tulisan per hari. Mungkin aku belum terbiasa dengan

kemampuan menyusun fakta yang didapat dalam waktu singkat.

Namun, lama-kelamaan, aku mulai terbiasa.

Pertama-tama, aku ditugasi tandem dengan reporter-

reporter Ekbis tiap harinya. Pertama, aku ditugasi tandem oleh Kak

Bernadette Christina atau Kak Dedet yang mengepos di

Kementerian Pertanian. Tandem pertamaku berlokasi di Ruang

Rapat DPR. Aku tidak menyangka bisa masuk ke gedung yang

sebelumnya hanya bisa aku lihat di televisi dengan begitu

mudahnya. Ibuku sampai minta agar aku mengambil gambar gedung

kura-kura DPR tampak depan. Aku bertindak lebih norak lagi: iseng

memotret toilet DPR! Hehe.

Bagaimanapun, melalui kebijakan tandem ini, aku dapat

langsung mengamati kerja reporter Tempo. Kerja reporter Tempo

berbeda dengan kerja reporter online seperti detik.com atau

vivanews. Reporter Tempo tidak langsung mengetik berita dengan

ponsel pada saat wawancara, kemudian langsung dikirim—seperti

layaknya reporter online. Namun, mereka biasanya mentranskrip

hasil rekaman wawancara dengan narasumber terlebih dahulu.

Selama aku magang, wawancara selalu dilakukan dengan

cara doorstop atau “mencegat” narasumber setelah acara selesai.

Karena isu yang ditanyakan kepada narasumber tersebut merupakan

Page 14: Wartawan 4 sks

isu follow up yang aku belum terlalu mengetahuinya, aku pun

bingung hendak menanyakan apa.

Kadang-kadang aku bertanya, walau seringnya aku tidak

bertanya. Atau kadang-kadang aku sudah menyimpan pertanyaan,

tapi tidak berani mengajukan karena takut pertanyaan yang aku

ajukan terdengar bodoh. Ini yang sebenarnya aku sesali. Aku tidak

memiliki keberanian lebih mengajukan pertanyaan aku kepada

narasumber saat wawancara doorstop berlangsung.

Satu hal mengasyikkan yang terdengar norak (sekali lagi)

adalah kesempatan untuk makan enak secara gratis. Hehe. Acara-

acara yang harus kuliput biasanya diadakan di hotel. Atau kantor-

kantor pemerintahan tertentu. Biasanya, disediakan snack dan

hidangan utama yang lezat di acara tersebut. Konon, fasilitas ini

akan jarang didapat seandainya aku menjadi reporter Metro

(membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan

Jakarta) yang medan liputannya sangat “jalanan”.

Kendati lebih suka meliput di luar ruangan, piket di kantor

adalah kesempatan bagi aku untuk bisa menggali isu lebih dalam.

Pada saat piket, redaktur Ekbis menitipkan kepadaku memfollow-up

isu-isu yang harus dikejar untuk hari itu dengan cara menelepon

narasumber tertentu. Ketika piket, dalam sehari aku bisa mem-

follow up sampai tujuh isu. Praktis, ini membuat wawasan aku

semakin kaya dengan berbagai pendalaman isu.

Page 15: Wartawan 4 sks

Selama bekerja di kompartemen Ekbis Koran Tempo,

terdapat beberapa pelajaran yang aku dapatkan, terutama terkait

pandanganku tentang Indonesia. Pertama, aku menyadari mengurus

negara itu sulit luar biasa, termasuk mengatur prioritas pengeluaran

anggaran, bagaimana berhubungan dengan pihak luar negeri,

bagaimana meyakinkan masyarakat, bagaimana mengatasi mafia

monopoli, dan lain sebagainya.

Rubrik Ekbis Tempo mengajak pembacanya tahu

bagaimana agenda pemerintah membelanjakan anggarannya.

Mengupayakan negeri untuk berswasembada kedelai itu tidak

semudah kita membalikkan telapak tangan. Butuh perhitungan yang

betulan serius. Iklim dan keadaan tanah di beberapa daerah di negeri

ini tidak semuanya cocok ditanam kedelai.

Contoh lain adalah menasionalisasi perusahaan asing

seperti Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Proses nasionalisasi

tersebut butuh kejelian dan strategi yang luar biasa. Atau bagaimana

mengusahakan keseimbangan antara lancarnya produksi minyak

kelapa sawit dengan kelestarian lingkungan hidup. Prinsip people,

profit, planet yang diikat oleh legalitas sedang diperjuangkan oleh

beberapa aktivis yang peduli terhadap komoditi kelapa sawit.

Kita tidak bisa hanya sekadar meneriakkan jargon-jargon

klise seperti "nasionalisasikan perusahaan asing!", "jangan tunduk

pada kekuatan asing!", "stop pembalakan hutan untuk kelapa sawit!"

atau malah jargon yang bertendensi "mosi tidak percaya" seperti

Page 16: Wartawan 4 sks

"gulingkan kekuasaan!", "tegakkan khalifah!". Di sini, bukan

tempatnya aku berbicara soal benar atau tidaknya ideologi jenis

mana pun. Namun satu hal yang niscaya, filosofi dan ideologi

manapun tidak sepatutnya “mengaum” tanpa persiapan teknis yang

matang.

Pelajaran kedua yang aku dapatkan adalah, tidak sinerginya

antar perangkat pemerintahan menimbulkan kekacauan dalam

mengatur hajat negara. Aku ingat ketika aku mewawancarai Enny

Sri Hartati, peneliti Institute for Development of Economics and

Finance (INDEF). Ia bilang, Ia mencatat terdapat beberapa

pembangunan kawasan industri yang macet seperti di Sei Mangke,

Sumatera Utara dan di Palu, Sulawesi Tengah. Enny berpendapat,

seharusnya Kementerian Perekonomian mengoordinasi antar

instansi agar pembangunan kawasan industri tidak mandek.

Negara kita menganut sistem dimana partai-partai campur

aduk di dalamnya. Tentu masing-masing partai memiliki

kecenderungan masing-masing. Nah, kecenderungan ini pun pasti

berbeda-beda satu sama lain. Jangankan partai, orang-orang yang

tak berpartai pun sering memiliki paradigma yang berbeda perihal

satu persoalan.

Belum lagi, tidak ada sosok pemimpin yang secara tegas

mengarahkan langkah anak buahnya. Atau, anak buahnya yang tidak

respek terhadap pemimpin untuk melaksanakan program.

Ketidaktaatan inilah yang akhirnya menghambat program.

Page 17: Wartawan 4 sks

Sepatutnya, pemimpin sadar betul bahwa gelar kepemimpinannya

akan dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa-- sehingga ia

akan sangat telaten dalam mengurus negara.

Ketika pemimpin telah bertindak benar dan berintegritas

tinggi, akan sangat mudah para anak buah mengikuti langkah

pemimpinnya. Dari sudut pandang anak buah, jika anak buah

berhasil merendahkan ego dirinya ketika pendapatnya tidak diterima

kepemimpinan-- walhasil kesamaan langkah pun akan dicapai.

Pelajaran ketiga yang aku dapatkan adalah, aparat

pemerintahan kini terlanjur nyaman dengan fasilitas istimewa yang

mudah mereka dapatkan. Jiwa mereka menjadi kurang peka

terhadap suara rakyat yang sebenarnya. Pernah aku meliput rapat

antara Komisi VIII DPR dengan Kementerian Energi dan Sumber

Daya Mineral (ESDM). Rapat tersebut membahas kenaikan

tunjangan kinerja para pejabat kementerian tersebut. Tunjangan

tersebut bernilai belasan juta

Berbagai fasilitas hidup melingkupi para elit pemerintahan

ini. Mereka lupa bahwa masyarakat negeri ini menderita bukan

main. Mereka menunggu pemerintah menyelesaikan segala

kedurjanaan mereka.

Selama ini, aku memandang pemerintah menjalankan

pekerjaan hanya sekadar menjalaninya saja. Ketika memaparkan

rencana pembangunan atau kebijakan kepada pemerintah, seolah

Page 18: Wartawan 4 sks

yang terucap hanya sekadar pemaparan yang dilandasi ego

kecerdasan. Terlebih, jika ketika rapat terdapat debat antar peserta

rapat, beuh.

Kalau aku bilang di poin pertama "gemuruh semangat

filosofis tanpa disiapkan dengan solusi teknis tidaklah cukup", di

poin ini aku bisa bilang "pekerjaan mencanangkan aksi teknis tanpa

dilandasi dengan kecintaan yang filosofis juga tidak cukup".

Pemahaman akan filosofi yang mantap lagi mengakar sepatutnya

ditunjuang dengan kematangan dari segi teknis.

Untuk diriku sendiri, aku menemukan sensasi “asyiknya

belajar hal baru” kembali dalam hidup. Senang juga menambah

pelbagai wawasan perekonomian negeri selama bermagang di

Tempo. Aku kadang suka tertawa melihat judul-judul laporan yang

telah kubuat, seperti “Tak Ambisius, Indosurya Group Targetkan

Captive Market”, dan “Plaju Bakal Menjadi Komplek Industri

Petrokimia”, dan lain sebagainya. Kalau aku tidak pernah menjadi

wartawan Ekbis, kemungkinan besar berita berjudul seperti itu tidak

akan kutilik. Namun, aku belajar menyenangi istilah-istilah tersebut.

Walhasil, ketika lepas menjadi wartawan Ekbis pun, aku jadi lebih

sering membaca berita-berita perekonomian di suratkabar manapun.

Kemudian, aku juga diingatkan kalau aku tidak boleh

sombong dengan teori jurnalisme yang telah kukuasai. Menjadi

reporter di Tempo membuktikan teori yang dijejal di kepala selama

perkuliahan tidak menjamin memperlancar praktik ketika menjadi

Page 19: Wartawan 4 sks

wartawan kelak. Dunia jurnalisme sungguh dinamis adanya. Tentu,

ilmu yang didapatkan di kuliah tidak serta-merta selalu seiring

dengan medan lapangan seorang jurnalis. Terlebih, tiap-tiap media

memiliki gaya peliputan tersendiri.

Aku juga mengetahui, ternyata aku jagoan kandang (baca:

Bandung). Aku merasakan ketakutan yang lumayan meradang

dalam proses magangku. Entah, mungkin karena baru pertama

tinggal berpisah dari orangtua dalam waktu yang cukup lama. Atau

mungkin ritme ibu kota yang belum terlalu familiar. Menghadapi

rekan wartawan media lain di lapangan pun rasanya minder. Ada

pula rasa malas menyelip dalam jiwa ini untuk belajar karena sudah

stress duluan. Ini yang kusesali. Aku belajar untuk berjuang di luar

zona nyamanku. Aku berkaca banyak atas kekuranganku selama

proses job training cetak kali ini.

Sudahlah, untuk apa terpaku dalam rentetan penyesalan

bertajuk “Seandainya begini…” “Seandainya saat magang saya

begitu…”? Aku teringat hadits riwayat Muslim yang berbunyi

seperti ini “…Apabila engkau tertimpa suatu kegagalan, janganlah

engkau berkata: Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan

begini atau begitu. Akan tetapi katakanlah : Ini telah ditakdirkan

oleh Allah dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.

Sesungguhnya ucapan ‘Seandainya’ akan membuka (pintu)

perbuatan Syaithan”.

Page 20: Wartawan 4 sks

Biarlah, kesalahan selama job training menjadi pelajaran

dan bahan renungan untuk evaluasi diri. Manusia yang bijak, aku

yakin tidak gampang mengutuki diri dan tidak pula melarikan diri

atas kesalahannya. Bibit kebijakan akan terpupuk dalam diri jika

kita berbesar diri mengakui kita salah, namun optimis untuk

berupaya menghindari kesalahan tersebut kelak. Wallahu’alam.

Page 21: Wartawan 4 sks

Magang ‘Rasa’ Daerah

Oleh: Destyananda Helen

arum jam dinding di ruangan ini menunjukkan pukul 16.30

WITA. Setengah jam lagi, program berita yang kami kerjakan

sepanjang hari ini harus segera tayang. Sedari pagi, saya

bersama redaktur dan supir sudah berkeliling ke beberapa

tempat. Kami mewawancarai narasumber untuk tiga berita berbeda.

Reporter dan kameramen lain juga sudah terjun lapangan.

Kalau tidak salah, hari itu saya dan redaktur meliput

tentang pelaksanaan Ujian Nasional yang ditunda, termasuk

datangnya Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar

Kasim. Naskah berita sudah oke, gambar juga oke, sayangnya,

komputer yang digunakan untuk mengedit, menunjukkan tanda-

tanda tak sehat. Parahnya, komputer ini menjadi komputer utama.

Hingga waktu penayangan pun, komputer tak juga sembuh. Jadilah

durasi satu jam untuk program berita diisi lagu-lagu lawas berlatar

pemandangan alam. Perkiraan saya, lagu-lagu itu hits di tahun 1970-

an.

Saya perhatikan, wajah para karyawan lain tampaknya tak

sekecewa saya. “Itu sudah biasa, Dek. Sudah beberapa kali

komputer ini tiba-tiba error seperti sekarang,” tutur seorang

pegawai di tempat magang saya.

J

Page 22: Wartawan 4 sks

“Seberapa sering, Mbak?” saya penasaran.

“Lumayanlah,” katanya.

Benar saja, 45 hari saya magang di salah satu TV daerah

milik pemerintah ini, hampir 3 kali kejadian yang sama terjadi.

Parahnya, dari apa yang saya perhatikan, hal tersebut bukanlah

menjadi hal yang perlu dievaluasi dan dipermasalahkan. Bahkan

redaktur pelaksana dan pengarah acara yang bertugas hari itu pulang

dengan santainya tanpa menanyakan keadaan komputer malang

tersebut.

Itu merupakan salah satu fakta menarik yang saya temukan

selama magang di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Magang di

TV stasiun daerah adalah pilihan saya sendiri. Begitu pun beberapa

kisah yang akan saya bagikan, merupakan keputusan saya sendiri.

Tapi sebelumnya, mohon maaf jika mungkin tak menyenangkan

beberapa pihak. Apa yang saya kisahkan ini hanya untuk

menunjukkan, masih banyak pekerjaan rumah untuk jurnalistik yang

lebih baik.

TV lokal ini merupakan salah satu media yang terkenal di

NTT. Jangkauan wilayah siaran pun hingga ke pelosok daerah.

Makanya, nama TV milik pemerintah ini cukup terkenal dan masih

menjadi referensi informasi beberapa pihak.

Sayangnya, ketika saya mulai magang, TV ini sedang

terkena kasus korupsi. Direkturnya tengah diperiksa Kejaksaan

terkait korupsi tersebut. Enam bulan usai magang di sana, saya

Page 23: Wartawan 4 sks

mendapat kabar, sang Direktur dan bendaharanya kini berada di

penjara.

Saya sendiri kasihan, mengapa mereka tega mengkorupsi

uang yang seharusnya bisa dipakai untuk membeli alat-alat produksi

yang lebih baik? Lihat saja kasus komputer utama yang malang itu.

Seharusnya uangnya bisa dipakai membeli komputer dengan

kualitas yang lebih baik, sehingga tak perlu terjadi kejadian berita

tak bisa tayang.

Kekurangan sarana juga dialami para kameramen. Delapan

orang kameramen harus berebut empat kamera. Alhasil, setiap hari

ada pergiliran jaga. Dalam satu hari, hanya empat kameramen yang

terjun ke lapangan. Nanti, empat kameramen berikutnya baru

diterjunkan esok hari. Coba saja uangnya dipakai untuk membeli

kamera baru. Mungkin tak ada yang perlu masuk penjara. Malahan

bisa saja TV ini mendapat pujian karena jumlah dan kualitas berita

meningkat.

Ketika magang di TV ini, saya bekerja dari pukul 09.00-

17.00 Wita. Terkadang saya juga meliput di malam hari. Uniknya, di

sini tak ada hari libur, ini berlaku bagi semua reporter. Bahkan di

tanggal merah pun, diwajibkan masuk meski hanya setengah hari.

Namun, satu liputan tak hanya menghasilkan satu berita.

Satu liputan bisa untuk lima berita. Bahkan, seorang redaktur saya

sepertinya membuat hingga belasan berita dari satu liputan, luar

biasa! Maka tak heran, terkadang gambar yang sama diulang

Page 24: Wartawan 4 sks

berkali-kali dalam beberapa berita. Tak heran juga, meski masuk

setiap hari, tapi bisa saja tak ada liputan di hari itu.

Uniknya lagi, semua hal bisa dijadikan bahan berita.

Pernah suatu kali saya diminta membuat berita oleh pimpinan di

sana. Mau tahu bahan beritanya? Sebuah video berdurasi sekitar satu

menit tentang persiapan hari besar salah satu daerah di Indonesia.

Maklum, si pimpinan berasal dari daerah tersebut. Video itu benar-

benar hanya berisi wajah si terwawancara, tanpa gambar lain. Tentu

saja tak saya kerjakan.

Setiap hari Minggu, di TV selalu ada berita tentang

kebaktian di sebuah gereja. Berita tersebut berisi kutipan khotbah.

Namun ada lagi acara kerohanian yang juga tayang pada hari yang

sama. Saya sendiri tak bertanya banyak apa alasan di balik berita

rutin tentang kebaktian tersebut mengingat mayoritas masyarakat

NTT adalah nasrani.

Praktik amplop juga masih kental. Sering kali ketika

liputan, beberapa narasumber dengan terang-terangan memberikan

amplop. Bahkan untuk mengundang TV ini meliput kegiatan

mereka, ada tarifnya. Tarif itu sudah menjadi standar di TV tersebut.

Tarif itu belum termasuk ‘uang capek’ reporter dan supir. Entahlah

apakah TV lain juga melakukan hal serupa atau tidak.

Masalah independensi media juga menjadi pertanyaan saya

selama magang. Beberapa reporter umumnya dekat dengan beberapa

pejabat dari daerah tertentu. Kedekatan itu terjalin saat mereka

Page 25: Wartawan 4 sks

membuat feature TV mempromosikan potensi dan kegiatan di suatu

daerah di NTT. Sayangnya, ketika ada berita dari kontributor yang

memojokkan daerah tersebut, si reporter akan menyabotase

penayangan berita itu.

Saya sendiri pernah melihat salah satu berita dari

kontributor daerah dicoret dari rundown berita oleh si reporter.

Penyebabnya karena berita tersebut menjelekkan pemerintah daerah

yang terkenal dekat dengan si reporter. Padahal, isi beritanya

memang benar. Lagi pula, bukankah pers bertugas sebagai

pengawas kekuasaan?

Melihat potret kecil media di tanah kelahiran saya ini,

tentunya membuat prihatin. Kualitas informasi yang diterima

masyarakat NTT masih jauh dari ideal. Padahal kepercayaan

masyarakat pada media masih cukup tinggi.

Buktinya, usai magang, beberapa kali saya sengaja

berkunjung ke rumah kerabat sekitar pukul 17.00 Wita. Kebanyakan

dari mereka memilih channel TV tempat saya magang untuk

menonton program berita. Di beberapa tempat umum yang

memasang televisi juga menyetel acara yang sama.

Meski menurut saya kualitas berita masih jauh dari ideal,

namun kekeluargaan di antara para wartawan di sana cukup baik.

Karena jumlah wartawan tak sebanyak di ibu kota, jadi setiap kali

liputan, besar kemungkinan untuk bertemu orang yang sama.

Page 26: Wartawan 4 sks

Begitu pun di TV tempat saya magang. Ukuran kantor yang

tak besar membuat kesempatan bertemu dengan orang yang sama

menjadi lebih sering. Namun, meski kebanyakan karyawan berusia

sekitar 20 tahun di atas saya, mereka merupakan lawan bicara yang

menyenangkan.

Beberapa reporter dan kameramen juga memiliki kisah-

kisah yang menarik. Mendengarkan dan mengeksplorasi kisah

mereka selalu menjadi aktivitas favorit saya. Ada yang dulunya

merupakan orang buangan dari Timor Leste, istri pendeta, bahkan

ada yang mantan preman Tanah Abang.

Untungnya hati si mantan preman Tanah Abang ini tak

segarang tampangnya. Ia pun orang yang selalu mau belajar. Tak

heran, dulunya ia hanya supir di TV ini. Namun karena kemauannya

untuk belajar, jabatannya naik menjadi kameramen. Semoga saja

semangat belajar ini juga menular pada reporter dan kameramen lain

terutama dalam menghasilkan berita yang lebih berkualitas.

Semoga.

Page 27: Wartawan 4 sks

Jatuh Cinta dengan Profesi Wartawan Kesehatan

Oleh: Odelia Sinaga

artawan Humaniora? Wah seperti apa ya?”

Pertanyaan tersebut berputar-putar di

kepalaku saat diberitahu bahwa saya akan

bergabung di desk Humaniora.

Hari itu, Senin 14 Januari 2013 di mana saya dan beberapa

teman Jurnalistik 2009 mulai masuk sebagai wartawan magang di

Harian Media Indonesia. Magang sebagai wartawan untuk

memenuhi salah satu mata kuliah di jurusan tercinta kami ini, mata

kuliah job training. Pemilihan desk yang secara acak membuat saya

terpilih dengan suksesnya menjadi wartawan humaniora. Dipikiran

saya saat itu, wah baguslah setidaknya humaniora itu mencakup isu-

isu sosial dan pendidikan. Akan tetapi ternyata semua tidak sesuai

dengan apa yang saya pikirkan.

“Mari, kamu saya antar ke ruangan asisten redaktur (asred)

kesehatan.” ujar asred pendidikan.

“Apa? Kesehatan?” kataku dalam hati, “Mati mati, kok jadi

di kesehatan?” pikirku dengan jantung yang sudah tak karuan.

Jujur sebelum memulai jobtraining, saya kurang

mengindahkan isu kesehatan. Ketika membaca koran atau majalah,

berita kesehatan hanya saya baca sekilas bahkan sering judulnya

“W

Page 28: Wartawan 4 sks

saya lewatkan. Berita kesehatan kurang menarik perhatian saya

karena yang dibahas biasanya serius dan banyak istilah medis yang

jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari.

Ruangan yang saya masuki tidak terlalu besar, terdiri dari

beberapa meja dengan komputer di atas meja tersebut. Suasana

sangat tenang ditambah dengan udara dingin akibat AC yang

menurut saya dinyalakan dengan temperatur yang tidak santai. Saya

pun langsung diperkenalkan dengan seorang perempuan

berkerudung yang saat itu sedang sibuk mengetik dan tidak

menyadari kedatangan kami.

“Mbak Eni, ini ada anak magang, di kesehatan aja dulu

kata Mbak Cici,” ujar Asred Pendidikan, Mas Sidik. Dia pun

menoleh dan melihat ke arah saya, “Oh iya, oke!” ujarnya sambil

tersenyum. Saya pun langsung memperkenalkan diri kepada Asred

Kesehatan Media Indonesia, Mbak Eni Kartina. Setelah perkenalan

singkat seputar pribadi saya dan apa yang telah saya kerjakan di

kampus dan hal-hal apa saja yang menarik perhatian saya, tiba-tiba

satu pertanyaan yang paling saya hindari terucap,

“Menurut kamu nih, berita kesehatan itu seperti apa sih?

Coba ceritain ke saya,” tanyanya sambil tersenyum. “Aduh akhirnya

ditanyain juga pertanyaan ini.” pikirku.

Setelah sukses menjawab dengan jawaban yang berputar-

putar entah ke mana, saya pun diperbolehkan pulang dan menunggu

jadwal liputan yang akan dikirimkan via email untuk esok harinya.

Page 29: Wartawan 4 sks

Malam itu, saya terus stand by melihat email dan deg-degan pasti,

tak sabar menunggu liputan apa yang akan saya lakukan pertama di

desk kesehatan ini. Selain itu saya juga merenung, kehidupan saya

selama magang di Media Indonesia akan berubah, bacaan dan

pengetahuan saya tentang kesehatan harus mulai diisi.

Akhirnya email dari asred pun datang dan ternyata liputan

perdana saya meliput ke Depok di Fakultas Farmasi, Universitas

Indonesia mengenai sidang promotor disertasi yang membahas

masalah penyebab DBD dan cara yang paling efektif untuk

menanganinya. Saat membaca undangan dari Humas Farmasi UI

yang dilampirkan asred, saya membaca agak memicingkan mata,

karena apa? Bahasa disertasi tersebut benar-benar bahasa ilmiah.

Kehidupan saya pun berubah, maksudnya kehidupan

liputan saya. Di mana mau tak mau, suka tak suka selama 45 hari

kerja harus bergelut dengan dunia kesehatan, dengan isu-isu

kesehatan yang selama ini bukan menjadi fokus dan ketertarikan

saya. Istilah-istilah kesehatan, ya itulah yang akan menjadi makanan

saya sehari-hari. Awal liputan kesehatan mengenai disertasi, saya

sudah diperhadapkan dengan istilah-istilah kesehatan. Jujur cukup

membingungkan dan memusingkan apalagi istilah-istilah yang

dipakai tersebut jarang saya dengar.

Belum lagi saya harus mulai mempelajari isu kesehatan apa

yang saat ini sedang hangat diperbincangkan. Liputan kesehatan

yang saya alami selama 45 sangat berbeda dari apa yang telah saya

lakukan selama liputan untuk tugas-tugas kampus. Setiap harinya

Page 30: Wartawan 4 sks

apabila ada liputan, saya pergi dari kostan pukul 7 pagi karena

undangan atau acara yang saya liput biasanya dimulai pukul 9 atau

10 pagi. Saya mengusahakan agar tidak terlambat karena menurut

saya akan sangat menganggu fokus saya ketika liputan. Selama 45

hari saya dominan meliput tentang isu kesehatan walaupun ada hari-

hari di mana saya dialihkan untuk liputan yang bukan tentang

kesehatan.

Jenis liputan kesehatan yang saya lakukan biasanya

menyangkut undangan atau kegiatan kesehatan, seperti acara

kesehatan, yaitu peringatan hari kanker sedunia, hari gizi nasional,

dan lainnya. Ada juga liputan mengenai pembukaan fasilitas

kesehatan baru, tentang penelitian mengenai rokok, seminar

mengenai kesehatan dan tumbuh kembang anak, Penelitian Daffodil

(penelitian terkait ASI dan susu formula), teknologi penyembuhan

tumor, tentang brainwash, alat teknologi linac, wawancara dokter

untuk masalah obat kuat dan efeknya, ya kira-kira itulah yang saya

lakukan.

Satu pengalaman menarik yang saya alami adalah liputan

mengenai bedah saraf. Pada 25 Januari 2013, hari di mana saya tak

akan melupakan liputan tersebut. Hari di mana saya melihat mayat

dibedah untuk pertama kalinya. Saat itu saya mengikuti liputan

mengenai bedah saraf internasional di Fakultas Kedokteran,

Universitas Pelita Harapan. Sebelumnya saya tidak tahu sama sekali

kegiatan liputan secara rinci yang akan saya lakukan. Intinya di

undangan dan komunikasi lewat sms yang saya lakukan dengan

Page 31: Wartawan 4 sks

asred menugaskan saya untuk meliput bedah saraf internasional di

mana Indonesia sebagai tuan rumah.

Ternyata liputan tersebut adalah World Federation of

Neurosugical Societies (WFNS) yang menunjuk Indonesia sebagai

tuan rumah untuk mengadakan training education center. Di mana

kegiatan dari acara ini terbagi dua bagian, yaitu workshop dan

education course. Workshop diadakan pada 24-25 Januari 2013

yang terbagi menjadi empat bagian, yaitu Peripheral Nerve

Workshop, Endovascular, Spine, dan Microanastomosis Workshop.

Setiba di sana saya melihat roundown acara bahwa kami akan

melakukan wawancara dengan seorang dokter saraf terkenal di

Indonesia, yaitu Prof. Eka J. Wahjoepramono dan berkeliling

melihat peserta yang sedang menjalani seminar bedah saraf tersebut.

Dikatakan internasional karena bukan hanya dokter

Indonesia saja yang terlibat tapi dokter-dokter dari berbagai negara

pun ikut serta, seperti Korea Selatan, Cina, Malaysia, Singapura,

India, dan masih banyak lagi. Dan satu hal lagi yang menyenangkan

(sepertinya untuk saya saja sih) peserta seminar bedah saraf ini

adalah dokter-dokter muda yang memang akan mengambil spesialis

saraf. Hal tersebut bertujuan untuk regenerasi dokter saraf dengan

standar internasional. Jadi bisa dibayangkan dokter-dokter muda

berkumpul, cuci mata pun dimulai (salah fokus hehehe).

Akhirnya wawancara selesai, kami pun berkeliling dari

suatu ruangan ke ruangan lain dan ada juga pameran alat-alat untuk

melakukan bedah saraf. Saya pun melihat bedah ayam dan kodok

Page 32: Wartawan 4 sks

saat itu, bahkan berdiri di samping salah satu peserta agar terlihat

lebih jelas. Saat itu saya melihat dengan detail seperti apa para

dokter itu membedah, mengamati, memotong, menjahit dengan

benang yang bahkan lebih tipis dari rambut. Saya berdecak kagum

karena dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan ketelitian. Beberapa

kali dalam ruangan tersebut terdengar kata-kata “ahh”, “aduh”,

“yeay” yang semuanya memiliki arti berbeda-beda bagi mereka.

Tiba-tiba seorang humas yang menjadi pemandu kami

berkeliling mengumpulkan kami di tengah aula dan berkata dengan

santainya “Sekarang kita bersiap-siap ke lantai dua ya, di sana ada

bedah saraf punggung dan leher untuk manusia dan alat praktiknya

pakai mayat,” ujarnya sambil tersenyum. Saya yang masih terkesima

dengan bedah-bedah yang dilakukan dengan hewan tadi langsung

diam dan bertanya pada wartawan lain disebelah saya.

“Maksudnya apa mbak? Kita lihat mayat dibedah gitu?”

“Iya mayat dibedah, ihh aku mah amit-amit, males banget lihat

mayat dipotong-potong.” ujarnya “Ohh cobaan apalagi ini,” pikirku.

Humas tersebut pun menjelaskan kalau tidak mau melihat

tidak apa-apa nanti bisa kami jelaskan atau dokter yang menjadi

pimpinan di bedah mayat tersebut bisa dipanggil untuk menjelaskan.

Saat itu memang tidak banyak media yang diundang, seingat saya

hanya 6 media nasional yang diundang untuk meliput kegiatan

tersebut. Kami pun diberi waktu untuk mengambil keputusan

apakah akan meliput langsung ke dalam atau tidak. Saat itu saya

hanya diam, pengen banget liat tapi ya gimana masa iya liat mayat

Page 33: Wartawan 4 sks

langsung dibedah-bedah, masih berpikir keras sebelum

memutuskan.

Beberapa wartawan mulai memberikan masukan kepada

saya,

“Udah gak usah ikutan, aku aja gak ikutan, kamu gak

serem apalagi nanti kita pulang malam lho, gak baik liat-liat kaya

gitu,”

“Benar juga, ngapain liat mayat-mayat yang tidak aku

kenal siapa dia dibedah-bedah,“ pikirku.

Akan tetapi, rayuan terdashyat datang dari humas yang

menurut saya rayuannya setingkat dengan sales handal, “Ayo lihat

aja, kapan lagi coba? Pengalaman bangetkan? Belum pernahkan?

Lagian bisa jadi pengalaman kamu pas jadi wartawan magang

(sebelumnya dia memang mengetahui saya masih berstatus

mahasiswa dan sedang magang),”

“Gak seram-seram amat kok dan kapan lagi coba, siapatau

nanti kamu gak jadi wartawan kesehatan, saya saja juga mau lihat,”

ujarnya sambil tersenyum.

Akhirnya setelah pertimbangan yang kuat dan tekad

keberanian penuh saya pun mengatakan “Oke, aku ikut ke dalam,”

Saat itu hanya tiga wartawan yang masuk ke dalam di mana

saya perempuan sendirian, kami pun diberikan masker yang tebal

(sepertinya masker khusus) dan baju putih seperti jas lab. Kami

Page 34: Wartawan 4 sks

masuk dan sebelum sampai pintu, saya menoleh ke humas tadi dan

nanya dengan polosnya, “Lho, mas gak ikut? Katanya mau ikut?”

Lalu dengan santainya dia menjawab, “Aku engga, masih

ada kerjaan, kalian bertiga saja, semangat ya!”

“What?! Dia melanggar perjanjian! Apa-apaan ini!,”

pikirku tapi sudah terlanjur dan pintu dibuka dengan pemandangan

yang akan saya deskripsikan tentunya.

Pintu terbuka lebar dan di sana saya melihat para dokter

sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang diskusi, ada yang

sedang ya berdekatan dengan mayat, ada yang di depan laptop, dan

ada juga yang menyambut kami di mana beliau adalah pimpinan di

ruangan tersebut, dr. Ronny Setiawan, SpBS. Pemandangan kedua

ya sudah pastilah, ada lima mayat dengan posisi tengkurap dan alat-

alat bedah di samping mayat tersebut. Mayat tersebut sudah dibedah

dengan bagian punggung dan leher yang terbuka ya terbuka.

Jujur pertama kali melihat keadaan yang seperti itu seram

tapi penasaran juga. Dengan memberanikan diri, saya mendekati

salah satu dokter yang sedang asik memotong-motong saraf di

punggung yang telah dibuka tadi. Dokter itu pun menoleh ke saya

sambil berkata,

“Mbak yang mau liputan ini ya, wah sini lihat lebih dekat

mbak biar jelas atau mau coba?” ujarnya santai sambil menyodorkan

pisau dan gunting bedah.

Page 35: Wartawan 4 sks

“Gila!” pikirku seketika. “Hah? Wah gak usah dokter, saya

lihat saja deh, nanti salah-salah lagi,” kataku berdiplomasi.

Selama berada di ruangan bedah mayat tersebut, saya

memperhatikan setiap dokter yang sangat serius membedah mayat-

mayat yang ada di depannya sambil sekali-kali berdiskusi. Tangan

mereka sangat lincah memegang alat-alat bedah dan tanpa ragu

mengutak-atik bagian punggung dan leher mayat tersebut. Kami,

wartawan yang masuk ke ruangan diberikan penjelasan oleh dr.

Ronny Setiawan selaku ketua tim bedah saraf punggung dan leher,

apa yang sedang mereka lakukan dan tujuan untuk bidang

kedokteran spesialis saraf ke depannya.

Spine Workshop yaitu mengenai pembedahan tulang

punggung. Workshop mengenai tulang punggung ini diikuti oleh 17

peserta dan 12 instruktur dari berbagai negara, seperti Spanyol,

Amerika Serikat, dan lainnya. “Operasi untuk tulang punggung ini

dilakukan juga dari bagian tulang leher depan, leher belakang, dan

punggung. Operasi ini biasa dilakukan untuk mereka yang

mengalami penuaan saraf pada tulang punggung atau apabila

mengalami kecelakaan,” ujarnya.

Dan saya baru tahu bahwa kelima mayat yang digunakan

sebagai alat praktik bukan milik Fakultas Kedokteran UPH tapi

dipinjam dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. “Nanti mayat-

mayat ini selesai dipakai, diperbaiki lagi, punggung dan leher dijahit

baru dikembalikan lagi ke Bandung,” tambahnya. “Kami tidak

mendapat izin untuk memiliki mayat ini.”

Page 36: Wartawan 4 sks

Selesai melihat dan melakukan wawancara di dalam

ruangan, akhirnya kami bertiga dapat terlepas dari harum semerbak

formalin. Kami pun segera diantar ke ruangan di mana tiga

wartawan lainnya menunggu. Mereka ternyata sedang asik

menikmati sajian makanan sambil bercengkrama dengan indahnya

bersama humas tadi. Melihat kedatangan kami, humas tersebut

langsung menyambut kami dan segera memberikan instruksi kepada

salah satu pelayan untuk menyajikan sejenis minuman herbal. Kami

duduk dan langsung dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan dari ketiga

wartawan yang tidak ikut masuk tadi.

“Gimana Del, wawancara apa aja? Kondisi mayat gimana,

masih dibedah-bedah gak?” ujar mereka.

“Mbak mau tau banget, lihat sendiri aja mbak, seru kok,

nyesel loh mbak gak ikut ke dalam, mayatnya ada yang cakep

mbak” ujar saya sambil tertawa.

“Dasar kamu ya!” ujar salah satu wartawan.

Akhirnya minuman yang dipesan tadi datang, setelah saya

lihat sejenis teh tapi baunya harum dan menyegarkan. Jujur bau

formalin itu memang masih melekat di hidung saya dan kepala

pusing karena formalin yang digunakan sangat banyak, pakai

masker tebal tapi bau formalin masih tercium. “Ayo langsung

diminum tehnya, ini teh yang suka diminum dokter-dokter di sini

kalau habis operasi dan sudah mencium banyak bau-bau aneh dan

menyengat,” ujar humas tersebut. Kami pun langsung meminum teh

Page 37: Wartawan 4 sks

tersebut dan memang baunya yang khas, lumayan membantu

menghilangkan bau formalin yang masih melekat tadi.

Tiba-tiba, salah satu wartawan yang tadi ikut masuk

bersama saya izin ke kamar mandi dan cukup lama dia berada di

sana. Setibanya di meja tempat kami berkumpul, kami melihat dia

dalam kondisi lemas dengan muka yang agak pucat,

“Gue muntah dong, gila mual banget!” ujarnya lemas.

Kontan kami tertawa melihat ekspresi wajahnya yang sedih

dan cemberut. Selama satu hari kami berada di sana, berkeliling,

mewawancarai, meliput untuk dijadikan berita. Akhirnya kami

selesai dan pulang ke tempat kami masing-masing. Malam hari pun

tiba dan ternyata saya sama sekali tidak bisa tidur nyenyak.

Kejadian tadi siang dan wajah mayat-mayat yang saya lihat tadi

berputar-putar di kepala saya, sungguh sangat menganggu dan ya

meresahkan, seingat saya menjelang subuh mungkin saya baru bisa

terlelap.

Pengalaman melihat bedah mayat tersebut menjadi hal

yang tidak akan saya lupakan selama saya menjadi wartawan

magang. Mungkin tidak akan saya dapatkan lagi untuk ke depannya.

Karena itu, satu hal yang saya pikir kembali bahkan sampai saya

menulis kisah ini adalah saya tidak pernah menyesal mengambil

keputusan untuk ikut melihat proses pembedahan mayat tersebut.

Pengalaman tersebut menjadi salah satu pengalaman dari

banyak liputan yang saya jalani selama magang sebagai wartawan

Page 38: Wartawan 4 sks

kesehatan. Semua liputan kesehatan yang menurut saya pribadi

sangat mengesankan. Kesulitan saya dengan istilah-istilah medis dan

liputan yang terkadang serius ternyata lama-kelamaan saya nikmati.

Status walau hanya sebagai wartawan magang dengan tanggung

jawab di kampus dua sks sama sekali tidak saya rasakan selama

magang. Intinya, saya menikmati setiap proses liputan selama

magang walau pasti dibayar dengan kelelahan dan pikiran yang

capek.

Berinteraksi dan bergaul akrab dengan isu kesehatan

membuat saya semakin mengerti mengapa isu ini semakin dicari

oleh khalayak penikmat media massa dan seiring dengan hal

tersebut media semakin gencar menyajikannya, baik media cetak,

elektronik, maupun online. Karena satu hal yang pasti, isu kesehatan

sangat dekat dengan kehidupan seseorang, menyangkut kondisi jiwa

dan raga yang dimiliki seseorang, dan sangat penting untuk dijaga.

Bukankan kesehatan itu di atas segala-galanya?

Page 39: Wartawan 4 sks

Meet The Legends, Love These Game!

Oleh: Damar Iradat

ebagai pecinta sepak bola, melihat sosok-sosok terkenal

dengan status legenda di atas lapangan hijau merupakan

sebuah impian. Apalagi jika legenda lapangan hijau itu

berasal dari negeri yang jauh, negeri sepak bola, Inggris.

Beruntung, bagiku impian itu akhirnya menjadi nyata. Lewat praktik

kerja lapangan atau yang terkenal dengan job training di kalangan

mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas

Padjadjaran, aku berhasil menemui mereka semua.

Selama job training di tabloid Soccer, aku sempat bertemu

beberapa pemain sepak bola seperti Boaz Salossa, Greg Nwokolo

serta legenda-legenda hidup permainan yang paling digemari di

dunia itu, sebut saja Ian Rush, mantan penggawa Liverpool era 80-

an, Peter Schmeichel, mantan penjaga gawang Manchester United

yang melegenda, dan Freddie Ljungberg, mantan winger nyentrik

milik Arsenal. Pengalaman-pengalaman itu sangat berkesan bagiku,

apalagi bisa mewawancarainya, melihatnya dari dekat saja sudah

membuatku gembira.

In a Rush with Ian Rush

Bagi para pendukung Liverpool, sosok Ian Rush

merupakan legenda hidup mereka yang wajib disaksikan aksinya.

S

Page 40: Wartawan 4 sks

Mantan pemain Liverpool era 80 s.d 90-an itu merupakan striker

subur di masa keemasan. Bertemu dengan pria asal Wales itu secara

langsung pun tak pernah bisa dibayangkan oleh orang biasa. Bagi

para The Kop, sebutan fans Liverpool, bertemu seorang Ian Rush

merupakan sebuah impian. And I’m the lucky bastard who did it!

Bertemu Ian Rush bukanlah seperti dalam benak yang

kubayangkan. Sialnya, kejadian itu terjadi begitu saja pada 25

Februari 2013 silam. Menjalani proses Praktek Kerja Lapangan atau

yang lebih dikenal dengan sebutan job training, aku memilih

menjalani proses tersebut di sebuah tabloid sepak bola yang sudah

memiliki nama besar, Soccer. Dari situlah aku bisa bertemu banyak

pemain-pemain sepak bola atau legenda lainnya. Ian Rush yang

biasanya hanya bisa kusaksikan lewat layar kaca atau dari dunia

maya.

Kembali ke cerita tentang liputan mengenai sosok Rush,

hari itu datang ke kantor tabloid Soccer yang terletak di kawasan

Kebon Jeruk, Jakarta Barat tanpa tahu akan ada agenda mengenai

liputan Rush. Namun, tiba-tiba editor sekaligus pembimbing saya di

SOCCER, Kang Jalu memintaku menemani dirinya ke Mall

kawasan Senayan. Biasanya, aku memang liputan bertandem dengan

wartawan asli, dan kali itu langsung liputan bersama editor senior

dalam tabloid sepak bola nomor satu di Indonesia.

Sebelum diajak oleh Kang Jalu, aku tak tahu menahu jika

Rush akan ada agenda mengunjungi Indonesia. “Mar, lo ikut gue,

kita liputan pembukaan gerai Liverpool sama Garuda Indonesia di

Page 41: Wartawan 4 sks

Sency (Senayan City),” katanya. Sebagai anak magang atau PKL,

setiap diajak liputan aku selalu senang dan ternyata kali ini benar-

benar pengalaman yang sangat luar biasa.

Saat itu dipikiranku, pembukaan gerai tersebut hanya akan

didatangi oleh orang-orang penting dari Garuda dan dewan direksi

Liverpool yang mengurus hal tersebut. Ternyata, saat ngobrol-

ngobrol dengan wartawan lain di tempat acara, Ian Rush memang

dijadwalkan datang ke Indonesia dan melakukan coaching clinic

pada Rabu, 26 Februari. Ternyata, Rush datang lebih cepat untuk

menyapa penggemarnya. Sesaat sebelum acara konferensi pers

peresmian gerai resmi Garuda Indonesa dan Liverpool FC, Rush

tiba-tiba masuk dan menyapa para awak media yang sudah hadir

dari siang. Aku pun terpana dan bergumam dalam hati “Wow!

Kampret! Ian Rush asli depan mata gue!”.

Rush sempat berkomentar sedikit mengenai kerja sama

antara pihak Garuda Indonesia dan Liverpool. Maklum, Rush

sendiri merupakan ambassador untuk Liverpool. Jadi, tidak aneh

jika dia ternyata sering bolak-balik Inggris-Indonesia untuk

membawa nama Liverpool. Setelah acara selesai, aku dan Kang Jalu

kembali ngobrol-ngobrol soal lain, ternyata aku langsung

ditugaskan untuk liputan coaching clinic bersama Rush besoknya!

Ini mungkin merupakan sebuah tanggung jawab yang paling

menyenangkan selama aku melakukan job training di sana.

Esok harinya, aku bersiap-siap dan bangun lebih pagi dari

biasanya. Tentu saja, hari yang paling ditunggu-tunggu itu tak boleh

Page 42: Wartawan 4 sks

terlewatkan, apalagi karena ketiduran. Berangkat dari rumah, aku

pergi ke kantor terlebih dahulu untuk mendapatkan arahan lebih

jelas. Setelah itu, berangkat ke kantor Garuda Indonesia untuk

dijemput. Garuda menyediakan bis untuk para wartawan ke tempat

coaching clinic yang digelar di Cengkareng, tepatnya komplek

olahraga milik maskapai terbesar Indonesia itu.

Sesampainya di venue sudah banyak berkumpul para

wartawan dan komunitas Big Reds Indonesia (sebutan fans

Liverpool). Kami semua menunggu lumayan lama, memang

sebenarnya kedatangan kami terlalu dini dari jadwal yang sudah

ditetapkan oleh pihak panitia. Selama menunggu, para tamu

undangan dijamu dengan makanan mewah, di sela-sela itu, aku

seorang diri dari tabloid SOCCER, dan status hanya sebagai anak

magang. Beruntung, ketika sedang makan, seorang wartawan senior

melihat kartu magangku dan diajak ngobrol. Tak disangka, yang

mengajak ngobrol itu satu almamater denganku, aku lupa namanya,

tapi yang pasti dia adalah alumni Jurnalistik Fikom Unpad angkatan

1991. Dari situ aku juga dikenalkan oleh alumni Jurnalistik lainnya,

seorang perempuan angkatan 2003. Betul-betul menyenangkan bisa

bertemu angkatan-angkatan atas dari almamater yang sama.

Kembali ke cerita tentang Rush, akhirnya eks striker yang

mencetak 229 gol selama berseragam The Reds itu kembali ke atas

lapangan. Meski usianya kini sudah menginjak angka 52 tahun, skill

Rush di atas lapangan masih membuat terpana orang-orang yang

hadir. Selain memberikan materi-materi dasar cara bermain

Page 43: Wartawan 4 sks

Liverpool, dia juga ikut bermain di lapangan futsal dalam beberapa

pertandingan.

Setelah duet Kenny Dalglish di Liverpool itu ‘pamer’ skill

di atas lapangan, para awak media pun langsung menghampirinya.

Aku tidak langsung menghampiri keramaian tersebut. Aku hanya

menyaksikan para wartawan dari media elektronik

mewawancarainya. Aku menunggu kondisi untuk wawancara one

by one dengan sosok seperti Rush. Akhirnya, kondisi tersebut

datang, berbicara langsung dengan legenda sepertinya membuat

jantungku berdegup cepat, salah-salah kata pasti malu, keringat pun

berkucur deras dari atas kepalaku, selain karena gugup, arena futsal

tersebut memang terbilang panas.

Wawancara orang bule langsung dan statusnya sudah

melegenda, siapa yang tak gugup? Apalagi dia berasal dari Wales,

masih masuk dalam wilayah Britania Raya. Aksen bicara orang

Wales memang serupa dengan aksen British yang terkenal sulit.

Beruntung, wawancaraku dengan mantan striker Liverpool dan

Juventus itu berjalan lancar.

The Great Dane dan Ljungberg

Bagi para pecinta sepak bola, haram hukumnya untuk tak

mengenal mantan penjaga gawang Manchester United, Peter

Page 44: Wartawan 4 sks

Schmeichel. Ya, sosok Schmeichel tak bisa dilupakan begitu saja

dari dunia si kulit bundar. Tahun 1998-199 menjadi tahun penting

bagi dirinya, bersama The Red Devils, Schmeichel meraih treble

winners yang bersejarah.

Beruntung bagiku bisa melihat secara langsung Schmeichel

dengan mata kepala sendiri. Bertempat di sebuah mall kawasan

Kuningan, Jakarta Selatan aku ditugaskan untuk meliput konferensi

pers kerja sama antara produk ban dengan klub sekelas Manchester

United. Datang ke tempat lebih awal membuatku mencari-cari

tempat konferensi tersebut. Sialnya, aku pertama kali datang ke mall

tersebut, alhasil membuatku berhasil nyasar di dalam mall tersebut

sebelum datang ke tempat konferensi pers. Beruntung, aku datang

lebih dulu, jadi selama satu jam nyasar tidak membuatku

ketinggalan acara tersebut.

Melihat sosok The Great Dane membuatku cukup terpana.

Tak bisa mewawancarai langsung seperti Ian Rush memang, tapi

melihatnya dengan mata kepala sendiri saja sudah membuatku puas

bisa melihat langsung seorang kiper legendaris The Red Devils.

Perawakannya tinggi besar, pantas dia mahir menjaga gawang

Manchester United. Dia juga sempat bercerita bahwa Jakarta

merupakan kota yang macet dan sangat bising, ya, Schmeichel yang

baru sekali ke Jakarta saja bisa berujar begitu, mungkin para

Jakartans sudah terbiasa menghadapi itu semua, tidak seperti

dirinya.

Page 45: Wartawan 4 sks

Selang sebulan, aku kembali dikirim ke konferensi pers,

kali ini, acaranya tentang menyambut kedatangan klub asal London

Utara, Arsenal. Tahun 2013 memang menjadi tahunnya para klub-

klub Inggris menyambangi fans mereka di Indonesia. Dahaga para

pendukung yang telah merindukan sosok-sosok mereka di atas

lapangan kini bisa disaksikan langsung. Setidaknya ada tiga klub

besar Inggris yang hadir di Jakarta pada tahun 2013, diawali oleh

The Gunners, kemudian ada klub Inggris dengan sejarah yang besar,

Liverpool, serta Chelsea dengan manajer nyentrik-nya, Jose

Mourinho.

Kebetulan, acara yang kudatangi di daerah selatan Jakarta,

tepatnya kawasan GOR Bulungan digelar acara konferensi pers

kedatangan Arsenal. Seorang legenda mereka pun turut hadir dalam

acara tersebut. Bagi para Gooners pasti tahu sosok ini, pria asal

Swedia yang kerap gonta-ganti warna rambut dan identik dengan

nomor punggung 8 saat masih membela Arsenal. Ya, dia tak lain

adalah Karl Frederik “Freddie” Ljungberg.

Sama seperti konferensi pers lainnya, aku tak bisa

mewawancarai satu lawan satu dengan Ljunbgerg. Sosoknya ramah,

dia selalu tersenyum saat disapa oleh para penggemarnya. Dia juga

tak menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para awak

media yang hadir. Setelah acara konferensi pers, dia menyempatkan

diri untuk bermain futsal dalam GOR Bulungan. Riuh suasana ramai

pun bergema dalam lapangan tertutup itu. Meski kondisi fisiknya

Page 46: Wartawan 4 sks

menurun karena digerogoti umur, tapi keahliannya mengolah si kulit

bundar masih apik.

Tiga pengalaman di atas hanya merupakan sebagian kecil

kisah-kisahku ketika menjalani masa jobtraining di tabloid Soccer.

Selain Rush, Schmeichel, dan Ljungberg, aku juga memiliki momen

unik. Saat itu masih dalam acara konferensi pers kehadiran mantan

bintang pesepak bola Premier League. Di sebuah hotel bilangan

Senayan, saat menunggu kehadiran bintang-bintang tersebut, aku

yang tidak tahan untuk buang air kecil terbirit-birit pergi ke WC,

saat asyik-asyiknya mengeluarkan air seni, tiba-tiba di sebelahku

ada seorang bule yang juga ikut buang air kecil. Tanpa

mempedulikan sang bule, aku menyudahi, ternyata oh ternyata,

setelah keluar dari WC baru sadar bahwa bule yang buang air kecil

di sebelahku tadi adalah sosok Steve McManaman! Mantan pemain

Liverpool era 90-an dan bintang Real Madrid saat menjuarai Liga

Champions tahun 2002.

Selain para legenda itu, aku juga mendapatkan kesempatan

emas bertemu dengan mantan-mantan bintang lapangan hijau asal

Indonesia, sebut saja Ricky Yakobi, Ponaryo Astaman, Nur’Alim.

Aku juga mewawancarai langsung striker naturalisasi tim nasional

Indonesia, Greg Nwokolo, makan malam bareng staf dan para

pemain Arema Cronus yang saat itu masih dilatih oleh Rahmad

Darmawan.

Mungkin, pengalamanku mengenai bidang jurnalistik saat

melakukan jobtraining tidak semenarik teman-temanku yang lain.

Page 47: Wartawan 4 sks

Mereka mungkin akan menceritakan betapa ‘hitamnya’ dunia

jurnalistik ataupun politik Indonesia. Tapi, bagiku pengalaman di

tabloid Soccer adalah hal paling luar biasa. Menemui idola masa

kecil, lebih mengenal olahraga yang paling digemari di seluruh

dunia, membuatku ‘orgasme’. Ada satu hal penting yang kupelajari

dari sepak bola, bahwa permainan indah dan simpel ini menyimpan

berbagai filosofi hidup. Kita semua akan mengerti saat kita benar-

benar memerhatikan sepak bola dan hidup tidak hanya dari satu sisi.

Arrivedercci!

Page 48: Wartawan 4 sks

Saksi Pembebasan Babakan Siliwangi (2)

“Pemerintah Musuh Bersama Warga”

Oleh: Afif Permana Aztamurri

iga April 2013 ialah hari terakhirku berkontribusi untuk

Republika Jawa Barat sebagai “Wartawan 4 SKS” alias

mahasiswa job training. Setelah itu aku harus ngelanjutin

ke job training elektronik. Tapi, waktu berkata lain. Aku

harus menunda melanjutkan job training karena kuliah perbaikan

nilai semester itu dan menemani paman yang datang ke Jakarta buat

berobat.

Sebulan tak melanjutkan job training bukan berarti kasus

Babakan Siliwangi harus hilang dari pantauanku. Kasus ini sangat

berkesan karena bisa melihat fenomena persatuan warga Kota

Bandung dalam hasrat menjaga kota tercinta itu. Tak hanya itu, saat

aku baca sejarahnya, kasus ini cukup rumit dan menyangkut

persoalan politik praktis. Cukup perhatiin blog

savebabakansiliwangi.wordpress.com, aku bisa tau banyak hal

tentang Baksil yang berkembang Sob!

Beruntung ketika melanjutkan tugas sebagai “Wartawan 4

SKS” di Radio PR FM Bandung pada bulan Mei, aku diinstruksikan

T

Page 49: Wartawan 4 sks

buat meliput kelanjutan aksi penolakan komersialisasi Babakan

Siliwangi. Jelas ini suatu tantangan yang menyenangkan bagiku

yang sudah mengikuti perkembangan kasus Babakan Siliwangi yang

kembali panas tahun 2013 itu. Sebelum Wali Kota Bandung Dada

Rosada akan dicopot dari jabatannya karena korupsi.

Minggu itu (19/5/2013) aku mendapat instruksi dari

redaktur online PRFM, Kang Cecep, buat meliput aksi di Babakan

Siliwangi esok hari. Aku semangat. Tapi, satu hal yang sangat

disayangkan, aku harus datang ke lokasi jam 8 pagi. Jujur itu hal

yang paling sulit bagiku. Tapi, demi nilai dan pengalaman, aku

harus rela susah payah bangun pagi-pagi dan melawan kemacetan

Bandung di Senin pagi.

Pagi itu aku sampai di sana, telat satu jam dari jam yang

diinstruksikan. Tapi tak masalah, karena aksi belum dimulai. Pukul

09.30 WIB, semua massa yang hadir mulai bergerak, berkumpul

pada satu titik. Perlahan, aksi dimulai dengan pembukaan oleh

seorang tokoh yang tak kukenal dan lupa bertanya siapa orangnya.

Maaf, ini memang satu hal yang salah dan tak pantas ditiru. Tapi

aku tahu, orang tersebut dari Komunitas Sundawani, sebuah

kelompok yang fokus memperhatikan masalah-masalah yang terjadi

di tatar Sunda.

Terpal pun dibentangkan di Babakan Siliwangi dan

menjadi wadah berbagai alat dan bahan pembacaan doa. Semakin

lama, semakin ramai saja. Berbagai doa diucapkan, komat-kamit

Page 50: Wartawan 4 sks

dalam bahasa Sunda. Penuh semangat! Bergantian dan saling

menambahkan doa. Ribuan doa terpancar untuk keselamatan

Babakan Siliwangi yang seakan dimuliakan oleh warga Kota

Bandung.

Selepas setengah jam lebih berbagai doa dipanjatkan,

datang seorang veteran Kota Bandung. Dialah Solihin GP, begitu

dihormati, begitu dirindukan. Ia pun ikut berdoa, doa yang

menggebu-gebu, serta himbauan yang menyemangati warga Kota

Bandung untuk senantiasa membela kota ini dari tangan-tangan

penguasa yang tidak bertanggung jawab. Di usianya yang ke-87 ia

masih semangat dan mampu membakar semangat massa yang

semakin meramaikan kawasan tersebut.

“Jangan kesal pada Dada, jangan marah pada Dada,

tangkap saja Dada Rosada!” Demikian salah satu teriakan bergetar,

tapi penuh semangat dari Gubernur Jawa Barat periode 1970-1974

tersebut.

Orasi sang veteran diakhiri dengan menyalanya sebuah

mobil yang ternyata digunakan untuk berorasi oleh tokoh-tokoh

lainnya. Hampir satu jam, waktu kembali digunakan untuk berorasi,

membakar semangat. Bahkan semangat para wartawan yang ingin

menyuarakan suara rakyat dan suara alam. Diawali oleh Ketua

Walhi Jawa Barat, Dadan Sutisna, bahkan artis nasional dari

Bandung pun, Acil Bimbo, turut menjadi perpanjangan suara rakyat.

Page 51: Wartawan 4 sks

“Mari kita bongkar seng yang merusak keindahan Baksil!

Mari kita datangi Pemkot Bandung!” Demikian teriakan dilontarkan

silih berganti untuk membakar semangat massa.

Massa pun keluar area Babakan Siliwangi, siap menuju

“persemayaman” Pemerintah Kota Bandung. Arak-arakan dimulai

perlahan dan diawali dengan membongkar seng yang menutupi

pagar hutan Babakan Siliwangi tersebut yang beberapa bulan lalu

dilukis oleh warga sebagai bentuk aksi protes. Semua seng

dibongkar. Bahkan Solihin GP pun ikut membongkar seng tersebut.

“Jika harus ada yang dipenjara, biarkan saya yang

dipenjara. Udah tua ini…,” ujarnya dengan semangat yang terus

membara dan semakin berani membela kesejahteraan Kota

Bandung.

Arak-arak pun berjalan. Dadan Sutisna dan Acil Bimbo

berada di baris terdepan dengan berjalan kaki. Ratusan massa ikut

arak-arakan tersebut, dari warga biasa, seniman, hingga tokoh

masyarakat. Tak lupa seng yang berhasil dibongkar dibawa untuk

‘dilempar’ pada wajah sang penguasa yang tamak di kota ini. Tisna

Sanjaya, sang ketua Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi, tetap

memegang TOA dan berorasi di atas mobil pick up yang

menampung seng-seng tadi. Di barisan paling belakang, arak-arakan

seni tradisional warga turut meramaikan.

Page 52: Wartawan 4 sks

Jalanan-jalanan Kota Bandung (Jalan Siliwangi, Jalan

Tamansari, Jalan Sumur Bandung, Jalan Ir H Djuanda hingga Jalan

Wastu Kencana) terpaksa harus dikeluhkan masyarakat karena

macet total waktu itu. Sekitar satu kilometer ruas jalan dipenuhi

arak-arakan menuju Balai Kota. Ini jadi awal pergerakan keras dari

warga menuntut penolakan komersialisasi Babakan Siliwangi oleh

Pemkot Bandung dan mencabut pemberian izin mendirikan

bangunan yang diberikan kepada PT EGI. Sudah kukatakan, ini

sejarah!

Aku di sana sempat mengirimkan beberapa berita buat situs

online PRFM.Ternyata Redaktur Pelaksana PRFM, Kang Basith,

melihat aksi itu semakin gede dan semakin ramai. Redpel yang juga

jadi dosen di kampusku itu akhirnya meneleponku dan memintaku

buat laporan langsung. Buset! Itu adalah laporan langsung

pertamaku di siaran radio yang bakal didengar warga Kota Bandung.

“Halo fif, sekarang bagimana keadaan di sana, Fif?” tanya

Kang Basith.

“Sekarang massa baru berjalan keluar area Baksil dan akan

berjalan menuju kawasan Balai Kota Kang.”

Aku kira saat ditelpon pertama itu aku udah laporan

langsung onair dari lokasi. Aku agak gugup saat menjelaskan ke

Kang Basith dengan bahasa yang sedemikian terstruktur rapi.

Padahal tidak! Itu baru awal, Kang Basith menanyakan keadaan

Page 53: Wartawan 4 sks

terbaru di kawasan Babakan Siliwangi. Aku sudah terlalu berharap

dan berfirasat kalau aku akan diinstruksikan menyampaikan laporan

langsung. Ternyata tidak. Kalau kata anak zaman sekarang tuh, PHP

(Pemberi Harahap Palsu)!

“Fif, kamu laporan langsung ya. Cari penanggung jawab

aksi itu atau orang yang kredibel buat diwawancarain langsung.

Oke? 10 menit lagi saya telpon lagi.”

Tapi ternyata bukan PHP juga, ternyata HARAHAP (Eh

Harapanku Terkabul)! Aku merasa paling gugup banget kalau harus

ngobrol buat laporan langsung, tapi aku suka dan sudah coba-coba

sih sendirian. Hehehe.

Setelah instruksi itu, aku lari ke sana ke mari buat nyari

siapa orang yang kredibel buat diwawancarai. Awalnya aku mikir

mau wawancara Acil Bimbo, tapi kayanya susah, karena dia

dibarisan depan terlihat senantiasa ngobrol dengan ‘senior-senior’

lainnya. Kemudian aku melirik Kang Tisna Sanjaya, tapi dia juga

sibuk orasi di atas mobil. Akhirnya kuputuskan mewawancarai

Kang Dadan Sutisna, Ketua Walhi Jabar.

Sepuluh menit waktu mencari narasumber berlalu. Telepon

selularku bunyi lagi. Kang Basith menelepon lagi. Mental udah

dikumpulin. Tak pernah sekuat ini mentalku dalam laporan langsung

radio karena ini yang pertama.

Page 54: Wartawan 4 sks

“Halo Kang!”

“Fif, kamu udah dapat narasumbernya?”, tanya Kang

Basith.

“Udah, Kang. Kang Dadan Sutisna. Ketua Walhi Jabar.

Lagi di samping sekarang, Kang.”

“Oh oke Fif, setelah iklan kamu akan disapa ya. Ini

announcer-nya Dona. Oke, siap Fif?”

Dalam hatiku langsung menggerutu, “Yailah Kang, malah

nanya Gua siap atau gak, makin georgi dah Gua..!”

“Oke Kang, tapi nanti yang wawancara announcer dulu aja

gimana Kang?” Aku nemuin solusi mengatasi kegagalan tanpa

persiapan.

“Oh iya boleh kalau mau begitu. Sekarang siap Fif?

“Siap kang!”

0*^#^6#^$#*$%#%444^*675*7 (anggap saja itu iklan)

“Saat ini kami telah terhubung dengan kontributor PRFM

di kawasan aksi Babakan Siliwangi. Halo selamat siang Afif,”

sapaan Teh Dona ini cukup menambah kegemataran sekaligus

menjadi awal semangat untuk melaporkan.

Page 55: Wartawan 4 sks

“Ya, Saudari Dona,” jawabku seolah reporter profesional.

“Afif, bisa Anda jelaskan bagaimana kondisi di sana saat

sekarang dan apa saja yang telah terjadi?”

“Ya, Dona. Sebagaimana yang telah dikabarkan

sebelumnya, bahwa warga Kota Bandung hari ini beramai-ramai,

oo, beramai-ramai melakukan a-aksi untuk penolakan, oo, untuk

menolak pembangunan atau komersialisasi oleh PT EGI di daerah

tersebut atas ijin Pemerintah Kota Bandung. Dan, aksi ini juga

diramaikan oleh seniman-seniman Kota Bandung dan beberapa artis,

seperti Acil Bimbo,” begitu kira-kira aku melaporkan yang sedikit

tergagap.

“Baik, Afif. Kira-kira berapa orang massa yang ikut aksi

tersebut dan sekarang apa yang sedang dilakukan?”

“Ya, Dona. Massa pada aksi ini kira-kira berjumlah

ratusan, eh, hampir mencapai ribuan. Dan saat ini arak-arakan

sedang berjalan dari daerah hutan Babakan Siliwangi menuju Kantor

Balai Kota untuk mengajukan tuntutan pada pemerintah,”

“Oke, sekarang posisi tepatnya di mana, dan bagaimana

kondisi lalu lintas di sana saat ini?”

“Saat ini arak-arakan sudah memasuki Jalan Juanda atau

Jalan Dago, tepatnya di depan kawasan Factory Outlet. Kondisi lalu

Page 56: Wartawan 4 sks

lintas saat ini bisa dikatakan, macet total, Dona, terutama ruas jalan

dari arah McDonald Dago hingga Balai Kota,”

“Baik, apakah sekarang Anda bersama salah seorang

tokoh yang turut serta dalam aksi tersebut Afif?”

“Oh, ya Dona. Saat ini saya sudah berada dengan Ketua

Walhi Jabar, Dadan Sutisna, yang siap untuk diwawancarai dari

studio. Hmm, selamat siang Kang Dadan. Yak, saudara Dona,”

“Ya Halo selamat siang Kang Dadan….”

Akhirnya Aku bisa sedikit bernapas lega, karena yang

mewawancarai lebih lanjut ke Kang Dadan adalah Teh Dona dari

studio. Aku tinggal menyodorkan handphone ke Kang Dadan,

sambil terus berjalan kaki. Tak begitu lama, hanya lima pertanyaan

singkat padat dan jelas dengan jawaban terbaik dari Kang Dadan.

Aku pun menutup laporan langsung kali itu.

“Yak, demikianlah saudari Dona. Dan, situasi di Jalan Ir H

Juanda saat ini masih terlihat sangat macet di kedua belah ruas jalan

dari arah mana pun. Semoga saja setelah arak-arakan ini sudah

kembai lancar,”

“Baik Afif, terima kasih laporannya dari lapangan,”

“Sama-sama Dona. Afif Permana melaporkan,”

Page 57: Wartawan 4 sks

Huaaah…!!! Lega, Sob!! Tugas laporan langsung radio

perdanaku selesai. Didengar ribuan orang pula. Asik! Setelah itu aku

pamit dan berterima kasih sama Kang Dadan. Aku kembali menuju

kawasan Babakan Siliwangi, mengambil motor. Jalan kaki, kira-kira

500 meter, lumayan. Lalu, aku menuju Balai Kota.

Di Balai Kota, ternyata aksi tidak langsung dilanjutkan.

Para Pemimpin Kota Bandung terlihat enggan untuk keluar dan aku

harus menunggu lama. Tapi, ternyata di sana juga ada Pak Deni,

reporter senior PRFM yang biasa nongkrong di Balai Kota.

Bersyukur di sana aku cuma memantau perkembangan sambil

sedikit memotret. Yang melaporkan ke studio Pak Deni. Sementara

saat itu, Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda memberanikan

diri menemui massa, dan diminta untuk ikut menandatangani

pencabutan izin mendirikan bangunan di Babakan Siliwangi.

“Bapak harus menandatangani petisi ini!”

“Ya, baiklah, saya tandatangani. Tapi saya tandatangani

sebagai warga Kota Bandung,”

“Woooooooooooo…………..!!!” massa serentak

menyoraki. Aku pun pulang untuk instruksi peliputan selanjutnya.

Hari berganti. Kejadian hari itu adalah awal kebangkitan

warga Kota Bandung untuk terus mendesak Pemkot mencabut izin

mendirikan bangunan di Babakan Siliwangi. Hingga pada satu

Page 58: Wartawan 4 sks

kesempatan, Aku disuruh lagi meeliput perkembangan tuntutan

pencabutan IMB di Baksil. Kali ini Forum Warga Peduli Baksil

menemui Lembaga Bantuan Hukum di kawasan Dago.

Forum itu membahas bagaimana langkah strategi ke

depannya. Salah satu langkah mereka adalah mengumpulkan petisi

baik nyata maupun online. Dan, media yang diundang bertujuan

untuk menyebarluaskan informasi tersebut serta mengajak warga

untuk menyatukan kekuatan menuntut pembatalan IMB tersebut.

Aku, jelas, jadi salah satu aktor penyebarluasan informasi tersebut.

Singkat cerita, di penghujung masa job training di Radio

PR FM, aku dapat info IMB di Baksil untuk PT EGI dicabut oleh

Pemkot Bandung pada tanggal 27 Juni 2013. Aku pun membuat

berita untuk situs online prfmnews.com tentang andil petisi online

dalam upaya pencabutan IMB di Baksil tersebut. Petisi tersebut

berhasil ditandatangani oleh 8000 orang. Luar Biasa!! Ini Sejarah!!

Page 59: Wartawan 4 sks

Saksi Pembebasan Babakan Siliwangi (1)

“Kekuatan Seni dan Budaya”

Oleh: Afif Permana Aztamurri

iang ini kantor sedang sepi. Aku satu-satunya anak

magang yang berada di kantor. Aku tak tau teman yang

lain akan ke kantor atau tidak. Untuk datang ke kantor

memerlukan mood besar atau kesempatan yang pas. Kali

itu giliran aku berada di kantor karena lagi pas saja waktunya, dan

aku merasa butuh ke kantor. Meskipun, hampir 70 % tujuan ke

kantor adalah pencitraan.

Keheningan pecah. Aku yang tak terlihat pura-pura

konsentrasi dikejutkan oleh suara pintu yang tiba-tiba dibuka, diikuti

langkah kaki yang cepat Pak Edi, redaktur foto Harian Umum

Republika Perwakilan Jawa Barat yang berjalan mendekatiku.

Mataku terus menatap layar dan jari-jariku senantiasa menekan

tombol keyboard computer satu per satu. Hingga akhirnya hatiku

merasa sedikit geli karena punya firasat akan disapa Pak Edi. Eh

ternyata Pak Edi memang beneran ngajak ngobrol.

Dia memancing obrolan denganku mengenai Babakan

Siliwangi, tapi gagal. Pak Edi memperjelas pancingan obrolannya

yang gagal karena aku tak mengikuti peristiwa-peristiwa aktual di

Kota Bandung. Dia memerlihatkan foto yang akan dimuat di

S

Page 60: Wartawan 4 sks

Republika Jabar esok hari. ‘Save Babakan Siliwangi’, seutas kalimat

tersebut terciprat sebagai sebuah seruan di salah satu trotoar di

sekitar kawasan hutan kota Babakan Siliwangi. Berita ini menjadi

salah satu andalan Republika dalam menggiring opini masyarakat

Bandung esok hari.

“Oh iya Pak,” kataku berharap mengakhiri dialog, karena

takut dipermalukan sang wartawan foto.

“Kalau mau coba kamu cari tahu tentang ini, ikuti terus. Ini

akan terus berkembang,” ujar Pak Edi yang ternyata tak

menjatuhkanku yang masih kurang banyak tahu soal Bandung. Dia

tahu, sadar, Aku masih anak magang. Tapi, tetap hal ini membuatku

cukup malu sebagai mahasiswa Jurnalistik.

“Oke Pak,” jawabanku dilanjutkan dengan masuknya

kembali sang wartawan foto berambut gondrong dan dikucir. Ia pun

masuk ke ruang redaksi yang hanya berisi enam orang penting

dalam proses produksi konten jurnalistik surat kabar tersebut.

Aku melanjutkan mengetik berita. Tak sampai satu menit,

hati tergoda melirik halaman koran (berisi berita cetakan besok)

yang tertempel di papan. Halaman koran itu memuat foto trotoar

bercoteran Save Babakan Siliwangi.

Aku menghampirinya, tetapi yang dimuat hanyalah foto

coretan yang sebenarnya bertentangan dengan idealisme penjagaan

lingkungan. Berdialognya dengan Pak Edi tadi membuat aku

tertantang mengusut kasus itu.

Page 61: Wartawan 4 sks

“Pak, saya pamit pulang dulu,” akhirnya waktu yang

kutunggu-tunggu untuk berpamitan dengan Pak Agus, Kepala

Redaksi Republika, tiba. Bukan tak betah di kantor, tapi pulang

kemalaman bikin ngantuk, macet, dan lapar. Kalo ditanya betahnya,

betah banget. Ada internet, bisa nonton, bisa bikin minum sendiri,

dan kegiatan lainnya.

“Teh, Pak Edi. Pak Maman, Pak Dian, saya pulang dulu,”

seperti biasa, aku sedikit menepuk pundak Pak Dian dan Pak

Maman yang selalu ingin mengakrabkan diri dengan anak-anak

magang, termasuk aku. Pak Maman orangnya suka bercanda dan

Pak Dian suka woles. Duo timredaksi itu memang asik, jauh lebih

asik dibanding pegawai lainnya.

“Ya, hati-hati,” jawab Pak Agus penuh wibawa dan setia

dengan sikapnya yang terlihat selalu sibuk. Tapi, ya, memang sibuk.

“Yok, ati-ati Pip, buru-buru amat Pip, salam buat orang tua ya.”

Nah, kalau itu jawaban Pak Maman yang suka bercanda. Padahal

kalau dilihat usia, lebih tua dari Pak Maman dibanding Pak Agus.

Hari terus berganti, rasa penasaranku mendaki. Aku terus

mencari tahu berita-berita i Babakan Siliwangi yang ternyata sudah

dimulai sejak tahun 2003. Hingga beberapa hari kemudian aku

mendapat kabar dari salah seorang dosen tentang aksi besar-besaran

penolakan komersialisasi Babakan Siliwangi.

Dialah Mbah Nanu Muda, Dosen Jurusan Tari Sekolah

Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung yang sebelumnya pernah

Page 62: Wartawan 4 sks

kuwawancarai saat Aku ngeliput beberapa kegiatan seni di STSI.

Dia ternyata nyimpen nomorku.

Selasa (12/3/2013), aku dapet sms dari Mbah Nanu,

menganai himbauan ngeramein sebuah aksi penolakan

komersialisasi hutan kota Babakan Siliwangi yang dilakukan Wali

Kota Bandung saat itu, Dada Rosada.

“NGALOKAT HAHALANG BABAKAN SILIWANGI….

REBO, 13 MARET 2013…”

Begitulah kira-kira sms-nya dengan bahasa Sunda dan

isinya seruan semua. Beberapa kali setelah itu Mbah Nanu masih

sering mengabariku soal kegiatan-kegiatan yang dia ikuti.

Ini adalah suatu kebanggaan mendapat undangan dari

orang yang merupakan salah satu aktivis Kota Kembang. Firasatku

mengatakan kalau aku meliput ini aku bakalan jadi saksi sejarah

perjuangan warga Kota Bandung merebut hak-haknya yang

direnggut penguasa. Aku tak sabar pengen cepat-cepat datang esok

hari.

Sebenarnya aku tak begitu paham sama permasalahannya.

Namun, tak masalah. Malam itu juga aku cari beberapa info

mengenai Babakan Siliwangi.

***

Sesuatu yang tak begitu aku pahami, tetapi aku yakin ini

akan jadi sejarah. Setidaknya sejarah dalam kewartawanan seorang

Page 63: Wartawan 4 sks

“Afif Permana Aztamurri”. Seperti biasa, aku memang suka malas

bergerak berangkat liputan. Apalagi aku sudah tahu kalau aksinya

dilakukan siang hari. Siang itu aku berangkat dari Jatinangor pukul

10.00 WIB. Sempat sarapan lontong “Anak Amak” dulu, lontong

sayur khas Padang. Akhirnya berangkat jam 11-an. Nyampe

Bandung jam 12-an, aku salat zuhur dulu. Sebelumnya aku sudah

janji dengan seorang teman, Adhi Fami, untuk liputan bersama. Ia

job training di Pikiran Rakyat..

Selesai salat aku menuju kawasan Babakan Siliwangi.

Seperti dugaanku, aku telat sampai di lokasi. Aku juga tak tahu

mana pintu masuknya. Sementara, Adhi terus nanyain keberadaanku

karena dia sudah di lokasi. Sedangkan aku masih muter-muter

Babakan Siliwangi, lewat gerbang kampus ITB, sampai akhirnya

bertemu juga Gerbang Babakan Siliwangi yang sudah ramai. Aku

masuk, aku lihat Adhi sedang otak-atik layar touch screen-nya.

Sembari memotret aksi yang sudah dimulai, aku mau mendatangi

Adhi, tapi aku ingat ada hal yang juga menarik di luar. Aku bingung

harus meliput yang mana.

Sebelum masuk area Hutan Kota Babakan Siliwangi, aku

melihat pagar hutan itu ditutupin seng yang dilukis-lukis oleh warga.

Lukisan berisikan pesan pemberontakan terhadap kebijakan

pemerintah. Lukisan berisikan pesan tuntutan penolakan

komersialisasi Babakan Siliwangi.

Aku bingung. Rencananya mau meliput aksi di dalam

pagar, tapi di luar pagar lebih menarik. Lalu, aku pilih keluar dulu

Page 64: Wartawan 4 sks

memotret kegiatan pembuatan “mural” di seng yang nutupin pagar

Babakan Siliwangi. Aku juga wawancarabeberapa orang yang ikut

membikin mural di sana. Urusan aksi di dalam pagar, aku minta

tolong Adhi dulu.

Begitulah liputan bak suatu perperangan atau bak bermain

catur. Harus tahu siapa yang harus jalan duluan, pion atau kuda.

Aku mewawancarai Kang Regi Kayong Munggaran. Dia

adalah koordinator aksi Save Babakan Siliwangi dari Wahana

Lingkungan (Hidup) Walhi Kota Bandung. Tubuhnya yang penuh

tato, semula sempat membuatku segan mendatanginya. Tapi, tak

disangka dia orang yang asik, dan terbuka, serta semangat

menyuarakan gagasannya untuk Babakan Siliwangi.

“Apa sih sebenarnya yang Kang Regi dan kawan-kawan

lakukan?” Aku membuka wawancara sambil ngelarak-ngelirik

puluhan seng yang terlukis indah, meskipun itu sebenarnya suatu

bentuk aksi unju rasa.

“Kami dari forum warga peduli Baksil, dengan salah satu

produk agenda mencoba mengaktivasi inisiatif publik, yaitu mural.

Kami juga mengajak masyarakat, bahkan anak sekolah,” jawab

Kang Regi berusaha mengimbangi pertanyaanku yang terkesan

formal. Ngomong-ngomong kutipan jawaban ini adalah kutipan yang

dimuat di Republika Jawa Barat loh!

Page 65: Wartawan 4 sks

Setelah wawancara dengan Kang Regi, aku yang juga suka

seni lukis dan juga punya hasrat buat ikut bikin mural di sana, terus

terpana melihat gambar-gambar yang ada. Keras kata-katanya, tetapi

indah dipandang. Ketika dilihat, mural tersebut memang dibuat

beragam dengan keindahan dan pesan yang berbeda-beda. Ada yang

cuma tulisan “Bandung Lautan Beton” mengekspresikan

kegelisahan.

Asiknya aku juga mewawancarai bule di sini yang lumayan

cakep. Assooy! Namanya Danai, seorang bule yang Aku temuin lagi

ikutan melukis mural di seng-seng itu. Danai merupakan mahasiswa

pertukaran pelajar dari Yunani ke Universitas Pendidikan Indonesia,

Jurusan Bahasa Indonesia. Jangan-jangan doi lebih paham Bahasa

Indonesia daripada orang Indonesia asli.

Tak main-main, aku wawancara Danai menggunakan

bahasa Inggris. Walaupun agak terbata-bata yang penting aku dan

Danai saling memahami. Dalam wawancara itu, Danai bilang kalau

dia ikut bikin mural di seng-seng itu sebagai bentuk kepeduliannya

terhadap Babakan Siliwangi yang merupakan paru-paru Kota

Bandung.

“Meskipun baru enam bulan di Bandung, saya menilai

Bandung saat ini semakin padat dan pengap dalam waktu yang

singkat,” itulah komentar terakhir Danai, sebelum menutup

wawancaraku dengannya. Aku salut sama Danai dan kawan-

Page 66: Wartawan 4 sks

kawannya. Harusnya bisa jadi cambuk untuk warga asli Kota

Bandung, apa lagi pemerintahnya.

Beres wawancara dan ngambil foto mural-mural itu, Aku

langsung lari ke dalam lagi. Sesuai dugaan, aku telat. Aku Cuma

dapet buntut aksi yang dilakukan. Itu pun ketutupan para wartawan

foto dan wartawan televisi yang pegang kamera.

Aku langsung mencari Adhi, berharap Adhi mengambil

banyak gambar aksi tadi dan mau berbagi denganku. Ya, ini cara

licik, tapi sah-sah saja kalau tidak ada unsur pencurian hak cipta.

Setelah memastikan bisa punya fotonya, aku mencari beberapa

tokoh aksi tersebut, salah satunya Mbah Nanu Muda, sang pengirim

informasi.

“Mbah Nanu, bisa dijelaskan mengenai aksi hari ini?”

tanyaku.

“Ini namanya ‘Ngalokat Hahalang’ yang maknanya

menghalangi hal-hal yang buruk. Ritual ini memiliki seruan

‘Raraga Miceun Kekeumeh Gegeuleuh, Ngabersihan nu Bereum’,

yang bermaksud agar hal buruk dinetrasilir menjadi baik,” jawab

Mbah Nanu. Kutipan ini menjadi paragraf pertama tulisanku yang

berjudul ‘Ngalakot Hahalang Babakan Siliwangi, Pemerintah

Ibarat Jurig’

Page 67: Wartawan 4 sks

Mewawancarai Mbah Nanu, lumayan membuka pikiranku

dan membantuku memahami masalah yang sebenarnya sudah lama

ini. Aku mulai paham, karena bisa wawancara eksklusif, alias

wawancara sendiri dengan Mbah Nanu, tanpa diserobot wartawan

lain.

Aku yang datang telat dan sebenarnya tak sempat melihat

langsung kegiatan aksi kali itu selain dari foto yang diambil Adhi,

semakin penasaran. Solusinya aku harus cari narasumber lain yang

melakukan aksi bersamaan dengan Mbah Nanu.

Opik Sunandar, seorang dalang dan seniman Kota Bandung

inilah yang membantu mendeskripsikan aksi itu beserta filosofinya.

Layaknya seniman tulen, penampilan dan sikapnya begitu

sederhana, bahkan aku mewawancarainya sambil duduk di

pinggiran parkiran kawasan Babakan Siliwangi.

“Kang, bisa dijelaskan lagi gak mengenai ngalokat ini?”

Aku mewawancaranya sendirian karena wartawan lain sudah

mewawancara keroyokan. Aku tak bertanya menggunakan bahasa

Sunda karena takut salah bahasa. Maklum, aku cuma tahu bahasa

Sunda yang kasarnya.

Ngalokat juga berarti ngaruwat. Ngaruwat memiliki arti

‘kuat’. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, berarti kita

melangkah ke suatu wilayah yang banyak penghalangnya.

Page 68: Wartawan 4 sks

Sedangkan ruwatan itu bermaksud membersihkan penghalang yang

ada.

Kang Opik Sunandar mulai menjelaskan dengan filosofi

yang berbau mistis. Saya semakin tertarik. Bak dongeng, tapi inilah

budaya yang menguatkan masyarakat. Kata Kang Opik, ngalokat itu

adalah ritual yang tak main-main, karena melibatkan jurig. Menurut

Kang Opik, jurig itu jadi lambang batarakala, simbol sebuah cerita

tentang ngaruwat.

”Batarakala berasal dari mani yang salah, disebut

kamasalah. Dia ngerusak alam dan manusia. Ritual itu membuat

batarakala menjadi sadar,“ ujar Kang Opik dengan yakin seakan

ceritanya benar-benar hidup.

Pemerintah Kota Bandung dan pihak-pihak tertentu dalam

penghancuran dan komersialisasi Babakan Siliwangi ini ibarat jurig

yang harus disadarkan. Jadi menurut Kang Opik, makna ritual itu

membuat Kota Bandung menjadi bersih kembali.

Seniman yang berasal dari daerah Cihideung tersebut juga

mengatakan, jurig yang melibatkan roh merupakan hal wajar karena

roh pasti ada di sekitar manusia dan alam. Menurut leluhur Sunda,

roh pasti akan hadir kalau ada ritual. Ritual tersebut juga ngajak

makhluk-makhluk dari dimensi lain buat ikut berdoa. Kang Opik

menegaskan bahwa ritual tersebut bukan berarti mereka meminta

pada roh-roh, melainkan tetap kepada Allah SWT.

Page 69: Wartawan 4 sks

Selesai wawancara Kang Opik, aku bertemu Pak Edi yang

ternyata datang telat, dan mengira tak ada wartawan Republika di

sana. Dia kelihatan senang melihatku sudah di lapangan, aku pun

mendatanginya.

“Tadi ngambil fotonya gak?” Pertanyaan yang sering

diutarakan kalau bertemu denganku di lapangan. “O ada Pak,”

jawabku rada deg-degan. Aku berbohong. Beruntung Pak Edi

langsung percaya, tak meminta melihat foto-foto yang kuambil.

“Ini udah diwawancarain belum?” Pak Edi malah

melanjutkan pertanyaan sembari menunjuk seseorang yang

berbincang dengannya. Dia adalah Tisna Sanjaya, Ketua Aksi Save

Babakan Siliwangi itu. Dia seorang dosen seni rupa di Fakultas Seni

Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, kampus idamanku

dulu sebelum terjun ke Jurnalistik Fikom Unpad.

“Oh iya belum, Pak,” jawabku. Langsung aku mendekati

Kang Tisna, pak dosen yang gondrong dengan beberapa uban di

rambut dan kumisnya, berbadan tinggi besar, serta mengenakan

‘iket’ khas sunda di kepalanya, dan kaos bergambar pohon beringin

bertuliskan “Save Babakan Siliwangi”.

Sejatinya jawaban Kang Tisna hanya mengulas dan

mengulangi apa yang disampaikan oleh Mbah Nanu dan Kang Opik.

Setelah itu, aku langsung izin ke Pak Edi yang masih ngobrol dan

Page 70: Wartawan 4 sks

berangkat ke kantor. Lagi, Pak Edi ngingetin aku soal foto, sebelum

aku cuss ke parkiran motor.

Sampai di kantor, aku melakukan hal yang biasa. Komputer

kunyalakan, buka Microsoft Word dan buka Mozilla-Facebook-

Twitter, lalu ngetik deh. Tentunya aku menulis dengan diikuti

banyak mikir serta bingung harus mulai dari mana ke mana.

Sembari berpikir, aku me-whats app Adhi buat segera mengirim

foto. Aku harus bikin dua tulisan berita khas yang di sana dikenal

dengan feature panjang, yaitu dengan 4500-6000 karakter tanpa

spasi.

Pak Edi pun kembali ke kantor di saat aku asik menulis dan

hampir beres satu tulisan. Dia langsung bertanya lagi, “Fotonya

mana?”. Alhamdulillah banget kiriman Adhi sudah nyampe, aku pun

download foto itu, lalu mengirimkannya ke Pak Edi biar aman.

Satu jam kemudian, kira-kira pukul 16.00 WIB, tulisanku

beres dua-duanya dan ngirim ke email repbdg@***.com. Aku

langsung lapor ke Pak Agus. Pak Agus yang cool dan berwibawa

ngangguk. Hati ku sedikit lega. Aku langsung salat Ashar dan pukul

16.30 WIB pamit pulang.

Itulah liputan pertama dan terakhirku di Republika tentang

kasus Babakan Siliwangi. Setelah itu Forum Warga Peduli Baksil

ingin ngatur strategi lagi dan ngeliat respon pemerintah. Jadi,

perkembangan kasus ini gak begitu signifikan lagi, hingga aku beres

Page 71: Wartawan 4 sks

job training di Republika Jawa Barat dua minggu berikutnya. Tapi

jangan salah, liputan suatu aksi atas suatu kasus yang semakin

memanas sebenarnya cukup menjadi satu modal besar bagi

wartawan buat memahami kasus itu, bagaimana sejarah dan

kelanjutannya. Harusnya, begitulah wartawan yang handal.

Page 72: Wartawan 4 sks
Page 73: Wartawan 4 sks

Kisah Amplop, Putri Kecantikan, dan Reporter Jemawa

Oleh: Yohannie Linggasari

ebagai mahasiswi Jurnalistik Fakultas Imu

Komunikasi Universitas Padjadjaran, saya dan

teman-teman selalu dididik untuk menjadi jurnalis

yang jujur dan profesional. Saya selalu kagum

dengan kisah-kisah heroik para jurnalis yang begitu gigih

dalam memperjuangkan idealismenya. Hal itu pula yang

memotivasi saya untuk berkecimpung ke dalam dunia

jurnalistik suatu saat. Sampai kemudian tiba saatnya saya

untuk melakukan job training alias magang di media. Nah,

tampaknya saya harus berpikir ulang apakah saya benar-benar

ingin jadi jurnalis.

Saya magang di sebuah stasiun televisi yang

mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Stasiun televisi ini

sempat berjaya dulu, tetapi sekarang semakin banyak saingan

yang lebih bagus darinya. Meski begitu, kesombongan masih

hinggap di diri beberapa jurnalis di tempat ini. Sulit memang

melepaskan kenangan manis yang pernah terpatri.

Saya bertemu dengan berbagai macam orang di

tempat ini. Ada yang saya kagumi karena keseriusannya

S

Page 74: Wartawan 4 sks

bekerja. Ada pula yang saya ragukan cara kerjanya. Satu hal

yang pasti, sulit menemukan reporter dan kamerawan yang

benar-benar berangkat tepat waktu untuk liputan. Sering kali

saya menunggu hingga berjam-jam sampai akhirnya kami

berangkat liputan. Sebagai “anak magang”, saya tidak bisa

protes, saya hanya bisa mengikuti pola kerja mereka.

Pada saat liputan, tidak jarang, kami diberi amplop

oleh penyelenggara acara. Amplop tersebut, tentu saja, berisi

rupiah. Di bangku kuliah, saya selalu diajarkan untuk hati-hati

dalam urusan amplop ini. Sebaiknya, amplop yang berisi uang

ditolak agar tidak memengaruhi idealisme dan objektivitas

jurnalis. Beberapa rekan menganggap sah-sah saja menerima

amplop asalkan tetap bisa menulis secara objektif. Saya

pribadi merasa lebih baik tidak mengambil amplop karena

saya merasa hal itu sama saja dengan berutang kepada orang

itu.

Nah, tampaknya urusan amplop ini sudah jadi hal

yang biasa dalam dunia media. Malah, kalau tidak dapat

amplop rasanya tidak komplet. Beberapa kali saya ikut

liputan, beberapa kali pula saya dengar keluhan dari reporter

maupun kamerawan yang mengharapkan dapat amplop dari

acara yang diliputnya.

Page 75: Wartawan 4 sks

Pernah suatu kali kami meliput acara dari

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai susu, dan

kami pun diberi goodie bag berupa susu. Saya pikir, lumayan

juga dapat susu. Bukan hanya satu, dua kotak, tetapi satu tas.

Namun, ternyata tetap muncul keluhan dari mulut reporter.

“Yah, masa dapet susu doang. Nggak ada duitnya,” begitu

ujarnya. Seperti timbul penyesalan meliput acara tersebut

karena ternyata tidak mendapatkan amplop.

Di lain kesempatan, saya dan tim lain melakukan

liputan mengenai program kerja bedah rumah Kementerian

Sosial ke daerah Parung, Bogor. Bisa dibilang, ini liputan

yang lumayan jauh. Liputan pun berlangsung sampai malam.

Dari obrolan reporter dan kameraman, saya tahu mereka

mendapatkan amplop. Namun, yang terdengar lagi-lagi adalah

keluhan. “Gila, liputan sejauh ini cuman dapet segini?

Kebangetan deh!” begitu ujar reporter. Dari pembicaraan

mereka selanjutnya, saya kemudian tahu bahwa reporter

ternyata sempat protes ke bagian Humas mengenai isi amplop

yang katanya “kebangetan” itu.

Saya menyimpulkan, motivasi beberapa reporter dan

kamerawan dalam melakukan liputan adalah hanya amplop

semata. Bukan lagi semenarik apa isu yang diliput, penting

atau tidaknya isu itu, tetapi ada atau nihilnya amplop. Namun,

Page 76: Wartawan 4 sks

tidak semua reporter dan kamerawan seperti itu. Ada pula

beberapa jurnalis yang saya hormati karena profesional dalam

bekerja.

Pada hari berikutnya, seorang reporter yang terhitung

senior curhat pada saya mengenai gajinya yang sangat minim

dan tidak kunjung naik. Mendengarkan ceritanya, saya jadi

tidak heran mengapa banyak jurnalis yang berharap pada

amplop. Keadaanlah yang membuat mereka senang

mengambil amplop. Jadi, kalau begini, siapa yang seharusnya

disalahkan?

Putri Kecantikan Pembaca Berita

Putri kontes kecantikan jadi pembaca berita? Si tampan

pemain film jadi news anchor? Hal ini tentu bukanlah kisah

baru di dunia media. Sebenarnya sah-sah saja, tetapi tunggu

dulu…! Pertanyaannya, apakah si putri dan si tampan ini

punya keahlian jurnalistik? Apakah ia tahu bagaimana kerja

jurnalis? Atau, ia hanya bermodalkan wajah rupawan?

Sayangnya, contoh yang saya temui di tempat ini

adalah si putri yang hanya bermodalkan wajah cantik.

Page 77: Wartawan 4 sks

Memang, pada saat ia berada di depan layar, ia tampak begitu

percaya diri dan menarik ketika membaca potongan berita.

Namun, saat liputan ke lapangan, ternyata ia masih belum

mengerti bagaimana menulis berita dan lainnya. Setidaknya,

itu yang saya amati.

Gosip-gosip panas pun seringkali beredar di antara

para reporter dan kamerawan. Beberapa reporter

mempertanyakan kredibilitas si putri maupun si pemain film

itu. “Harusnya dia belajar dulu jadi reporter yang bener, biar

nggak terlalu keliatan oon di tivi,” ujar salah satu reporter.

Yang lainnya berkometar, “Kalau mau jadi artis ya tetep jadi

artis aja. Kalau tetep jadi artis, nanti pas baca berita,

wibawanya luntur.” Dari yang saya perhatikan, memang

banyak cemoohan dan sindiran terhadap si putri ajang

kecantikan dan artis tampan pemain film tersebut.

Bila diperhatikan, memang, pembaca berita di televisi

Indonesia termasuk cantik dan tampan, dibandingkan dengan

pembaca berita negara maju. Selain itu, mereka juga masih

sangat muda. Tak dapat dimungkiri, tampang menjadi kriteria

yang diutamakan dalam dunia jurnalisme televisi. Oleh karena

itu, tak heran bila muncul fenomena pembaca berita yang

berasal dari kontes kecantikan.

Page 78: Wartawan 4 sks

Seorang jurnalis televisi bernama Luviana dalam

bukunya “Wajah-wajah Cantik Jurnalis Televisi” mengatakan

bahwa kawannya pernah ditolak menjadi jurnalis televisi

karena ada bekas cacar di wajahnya. Ia dianggap tidak layak

menjadi jurnalis televisi karena kurang good looking.

Beberapa kawan Luviana yang lain juga mengeluhkan tidak

boleh membawakan sendiri beritanya di depan kamera hanya

karena tidak cantik. Padahal mereka adalah jurnalis lapangan

yang sering bangun subuh-subuh dan kepanasan.

Luviana juga menceritakan lebih banyak jurnalis

televisi perempuan umumnya diambil dari perempuan yang

pernah menjadi pemenang kontes putri atau pernah menjadi

model yang hanya tinggal dipoles dan nanti produser dan

redaktur yang menuntun mereka. Televisi menganggap ini

lebih baik daripada merekrut jurnalis yang handal tapi tidak

layak di depan kamera (Dalam Jurnal Perempuan “Apa Kabar

Media Kita?”, 2010).

Sebagai manusia yang mencintai keindahan, saya

mafhum bila penampilan menjadi hal yang sangat

diperhatikan dalam berita televisi. Namun, pada akhirnya,

penampilan menjadi urutan kesekian ketika pembaca berita

dapat tampil dengan cerdas dan penuh wawasan. Isi kepala

menjadi lebih cantik dibandingkan rupa.

Page 79: Wartawan 4 sks

Hormati Narasumbermu!

Di lain kesempatan, saya ditugaskan meliput program Jokowi.

Saat itu, sedang dilaksanakan pembagian Kartu Jakarta Sehat

(KJS) di sebuah puskesmas di daerah Jakarta. Suasana ketika

itu sangatlah ramai. Warga berlomba untuk foto dengan orang

nomor satu di ibukota. Reporter dan kamerawan pun

kewalahan dalam menjalankan tugasnya.

Beberapa menit kemudian, setelah perjuangan

“meraih Jokowi”, akhirnya tim kami pun berhasil mendapat

pernyataan serta gambar Jokowi. Tiba-tiba Mas Reporter

menghampiri saya dan berkata, “Kamu tahu gimana saya bisa

menerobos kerumunan tadi?” Saya lalu menanggapi, “Gimana

emang, Mas?” Ia lalu menjawab, “Nih, ya, lain kali kalau

situasinya rame banget kayak tadi, kamu injek aja kaki orang-

orang itu, biar pada minggir.”

Saya hanya terdiam sembari memikirkan pengalaman

saya beberapa waktu lalu saat liputan di Komisi Pemberantas

Korupsi (KPK). Tahu sendiri ‘kan, bagaimana ramainya

situasi di KPK? Para kamerawan berebut gambar, begitu pula

dengan reporter yang berusaha sekuat tenaga untuk dapat

menyorongkan mic ke narasumber. Reporter yang saya ikuti

Page 80: Wartawan 4 sks

punya cara lebih pintar dalam menerobos kerumunan. Ia

merangkak di antara puluhan pasang kaki sampai mencapai

lini terdepan! Nah, itu baru cara cerdik tanpa perlu kekerasan.

Setelah mewawancarai Jokowi, reporter pun mencari

narasumber lain, yaitu pengguna KJS yang bermasalah.

Narasumber ini adalah seorang ibu muda yang sakit kista.

Ketika ia berobat dengan menunjukkan KJS, ia ditolak

mentah-mentah oleh pihak rumah sakit. Saat dialog bersama

Jokowi, ia sempat mengutarakan keluhannya, dan saya bisa

melihat ia sedikit emosi saat menceritakan pengalamannya.

Saya lihat juga ia tampak lelah, apalagi dengan

banyaknya pertanyaan dari wartawan maupun orang lain yang

hanya ingin tahu pengalamannya. Belum lagi, ia juga

menggendong seorang anak yang masih kecil. Si Mas

Reporter kemudian memanggil-manggil ibu itu, berniat

mewawancarainya. Namun, tampaknya ibu itu tidak

mendengarnya. Hal yang dilakukan reporter selanjutnya

membuat saya sedikit risih. Ia menarik baju ibu itu dengan

kasar, sampai ibu itu memalingkan wajahnya ke reporter dan

berkata, “Aduh!” Pastilah Mas Reporter menariknya dengan

cukup kasar. Tidak ada kata maaf. Yang ada, ia segera

memulai wawancara dengan ibu itu.

Page 81: Wartawan 4 sks

Dari wawancara yang dilakukan, saya bisa melihat

ibu itu tampak sangat lelah dan sebenarnya tidak ingin banyak

bicara lagi. Tampak mood-nya juga sudah jelek karena

kejadian tadi. Seusai wawancara, saya lihat ia langsung

pulang.

Kejadian itu cukup berkesan bagi saya. Saya

mendapatkan pelajaran bahwa sebagai jurnalis, penting sekali

untuk menghormati narasumber, selayaknya kita ingin

dihormati. Memang terdengar sepele, tetapi menarik baju

narasumber agar ia menoleh pada kita bukanlah hal yang

sopan dan layak.

Saya juga belajar bahwa ladang jurnalisme adalah

dunia yang keras. Banyak godaan serta tantangan di

dalamnya. Celakanya, kita tidak bisa 100% memercayai

senior kita di lapangan. Wah, tentu rasanya akan sangat

menyenangkan bila kita punya panutan yang bisa memberikan

pelajaran berharga pada kita. Namun, kenyataannya, senior-

senior kita itu belum tentu merupakan jurnalis yang

profesional. Kita harus tetap kritis mengenai mana yang benar

dan salah. Mana yang layak diikuti, mana yang layak

diabaikan.

Page 82: Wartawan 4 sks

Jangan terlalu cepat percaya! Begitu pula kamu yang

baru saja selesai membaca tulisan ini, jangan cepat percaya!

Page 83: Wartawan 4 sks

Hikayat Hadiah

Oleh: Dara Aziliya

iapa di dunia ini yang ga senang kalau mendapat

hadiah? Ga ada! Persoalannya, hadiah sekecil

apapun, semurah apapun, segampang apa pun

mendapatkannya, bisa berdampak besar. Mulai dari

ketidakberimbangan, persoalan etika dan moral, sampai

membohongi masyarakat.

Januari-Maret 2013 lalu, saya apply menjadi

internship reporter di Media Indonesia. Waktu itu saya dan

empat teman saya berdoa, “Ya Allah, jangan sampai kami

ditempatkan di kopartemen Ekonomi”. Kalau soal politik, kita

tidak bisa memilih tidak tahu karena semua orang di

sekeliling kita membicarakannya, kan? Kalau Ekonomi? Kita

harus (kalau saya tidak boleh menggunakan diksi terpaksa)

belajar, mengetahui konteks, bahkan yang terlihat mudah.

Oke, balik ke topik. Akhirnya sayalah yang beruntung

menjadi anak ekonomi dimana saya meliput dan menulis

persoalan-persoalan ekonomi negeri ini. Sejujurnya, field

liputan saya hanya satu, yaitu ketika meliput peresmian

Pedagang Kreatif Lingkungan (iistilah Pedagang Kreatif

S

Page 84: Wartawan 4 sks

Lingkungan yang awalnya Pedagang Kaki Lima ini,

dicetuskani oleh menteri Perdagangan Gita Wirjawan).

Selebihnya, saya meliput di kantor-kantor dan hotel-hotel

megah nan melangit yang di Jakarta (paling sederhana itu

justru kantor-gedung DPR ).

Kebayang dong ya, berapa biaya perusahaan-

perusahaan yang mengadakan kegiatannya di hotel demi

sebuah konferensi pers. Bahkan salah satu perusahaan, sebut

saja namanya Telk*m, kalau mau konferensi pers, suka

ngajakin reporter nonton dulu film-film yang lagi premiere.

Padahal, mereka harusnya tau wartawan tidak punya

wewenang memuat berita atau tidak memuatnya. Wartawan

saja belum punya wewenang, apalagi anak magang seperti

saya ini.

Pernah suatu hari, saya diajakin Bu Wulan (humas

Telk*m) untuk nonton premiere Rectoverso di Plasa

Senayan. Waktu itu saya diskusikan sama redaktur saya

tentang undangan itu, saking idealisnya sama apa yang

didapat di kampus :p . Mbak redaktur saya menanggapinya,

“Ya ampun, Dar. Kalo nonton ya pergi aja, have fun ya!”.

Saya bengong sih karena sebelumnya saya mengembalikan

amplop yang isinya Rp 100 ribu dan mereka apresiasi. Hari

Page 85: Wartawan 4 sks

ini saya nonton premiere yang harganya sekitar itu

dibolehin. Kali aja asal-bentuknya-jangan-duit ya-___-

Nah, kirain itu bentuk Telk*m untuk membina

hubungan baik sama jurnalis, ga ada acara apa-apa lagi selain

nonton. Ternyata, ada peluncuran produk baru Telk*m,

sebelum film dimulai. Saya masih ga ngeh ketika mereka

mengumumkan produk baru itu, karena ga dikemas seperti

launching produk baru. Setelah nonton, saya mikir ‘Ini

wartawan ngapain pada ngerubungin direktur blabla?’. Saya

jalan melewati kerubungan wartawan-wartawan media lain

dengan polosnya, menuju tempat parkir, lalu pulang.

Sepanjang perjalanan saya tiba-tiba ngeh, kalo itu juga salah

satu bentuk konferensi pers.

Berapa kira-kira perusahaan habiskan sebuah

konferensi pers berbentuk nobar, dinner, dan foto bareng artis

film tersebut? Saya yakin tidak sedikit. Saya tidak paham

bagaimana sistem anggarannya, tetapi yang pasti perusahaan

itu berdiri di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

yang menggunakan uang negara. Saya juga berpikir, mengapa

wartawan-wartawan itu terbiasa dengan aktivitas perusahaan-

perusahaan yang menghabiskan uang dengan nonton bareng.

Saya sempat ngobrol dengan beberapa wartawan dan saya

menyimpulkan wartawan-wartawan tak berpikir mengenai

Page 86: Wartawan 4 sks

servis yang diberikan perusahaan kepadanya. Bagi mereka

yang penting terpenuhi target sehari 10 berita, terserah

bagaimana sumber berita memperlakukan mereka.

Belum lagi konpers yang biasa diadakan di hotel-

hotel. Saya pernah diundang ke peluncuran suatu produk, di

hotel Le Meredien (Bener! Ini hotel yang mendadak-beken se-

Indonesia gara-gara Ahmad Fathanah yang tertangkap sama

Maharani), sebut aja nama mereknya AVA*A. Makanannya

saya jamin harga perporsinya juga selangit, saya cobain

beberapa. Sampai kantor, saya tahu beritanya tidak naik. Ada

lagi undangan di Hotel Hyatt, peluncuran apartemen. Setiap

15 menit makanan di depan saya diganti sama pelayannya.

Enak semua dan pastinya dengan harga mahal. Namun,

beritanya juga tidak naik. Waktu acara selesai, teman-teman

wartawan dibekali hadiah jam meja berbahan stainless steel.

Ga hanya pihak-pihak swasta. Pernah sekali saya

menghadiri pertemuan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)

follow up kasus pemilik saham Bank Century. Belum masuk

ke ruangan konpers, saya sudah diberikan satu tentengan

besar yang isinya kalender, notes, powerbank, payung, saya

lupa ada apalagi di dalamnya. Begitulah sepanjang saya dapat

hadiah, saya ambil, lalu di sisi lain saya merasa bersalah.

Page 87: Wartawan 4 sks

Pernah juga saya dengar celetukan teman-teman di

kantor yang mengatakan sebuah perusahaan bisa membayar

hingga ratusan juta untuk dapat dimuat. Kalau hanya

diberikan kalender, tiket nobar, itu hanya persoalan cetek saja.

Suatu hari, saya lagi ngobrol sama para redaktur dan

asisten redaktur di kopartemen Ekonomi. Mereka tiba-tiba

mengungkit permasalahan wartawan amplop. Well, mereka

tidak menampik fakta bahwa ada wartawan – tanpa

sepengetahuan mereka – menerima uang dalam jumlah besar

dari narasumber agar beritanya dimuat. Waktu itu, salah satu

asisten redaktur mengatakan, “Kalau ada konpers, saya ga

akan ngambil hadiah ini itu, saya suka cek apa isi goodiebag

yang mereka bagikan. Tapi setelah saya ambil siaran pers-nya,

saya kembalikan goodiebag itu lengkap dengan isinya”.

Saya sebagai anak magang dan masih norak dengan

goodiebag, makanan enak, atau tiket nonton, praktis merasa

jleb waktu dengar kalimat itu. Ia meyakinkan saya yang

terbaik ialah menjaga amanah masyarakat dengan menjaga

kredibilitas diri, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, dan

akhirnya yang diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat.

Para pengambil keputusan di media massa, pada umumnya

ialah orang-orang yang berhasil melewati proses penuh-

godaan tersebut.

Page 88: Wartawan 4 sks

Pasca mendapat petuah tersebut, saya ga bawa pulang

lagi hadiah. Semacam susah karena masih norak sebagai

wartawan ibukota. Sudah cukup hadiah yang ini saja: menjadi

orang pertama yang mendengar berapa persen pertumbuhan

ekonomi negara ini, jadi orang pertama yang nge-tweet

realisasi investasi, atau jadi orang pertama yang tau nasib

Bank Mutiara (eks Bank Century yang untuk menambal-nya,

menggunakan pajak kita semua).

Selain cerita-cerita berbagai hadiah di atas, tentu saya

tak menampik begitu banyak pelajaran yang saya dapatkan

ketika magang sebagai reporter ekonomi di Media Indonesia.

Selain update diri mengenai berita-berita ekonomi dalam

negeri, saya juga dianjurkan untuk selalu mengakses portal-

portal berita negara lain. Jangan tanya betapa frustrasinya

saya ketika membaca The Economist (kalo ga percaya, go

read it :p). Namun, terkadang belajar harus demikian, harus

memaksakan diri, agar kaget sendiri sama apa yang ternyata

dapat kita lakukan

Page 89: Wartawan 4 sks

Memancing Pengiklan

Oleh: Suci Amelia Harlen

ada hari pertama masuk kantor surat kabar Islami, saya

dan rekan-rekan dari Unpad dijelaskan bagaimana desk-

desk, kinerja, dan diperkenalkan dengan karyawan-

karyawannya. Pada hari kedua, kami diminta membuat

berita imajiner dan berita penulis dikatakan paling baik. Redaktur

malah menyangka berita penulis adalah berita sebenarnya (bukan

imajiner) dan penulis diminta meliput berita khas tentang Braga

tersebut.

Namun yang mengejutkan, ketika pulang tiba-tiba redaktur

menugaskan kami meliput berita apapun itu dalam waktu 2 jam

sampai berita tersebut terkirim. Penulis ingat sekali redaktur

mengatakan, “Sambil kalian pulang saja, kalian liput kejadian

menjelang sampai ke Jatinangor.” Setelah itu, kami bertiga berpikir

mana mungkin tiba-tiba kami mendapatkan kejadian menjelang

sampai ke Jatinangor. Saya merasa redaktur sebenarnya ingin

melihat kreativitas penulis dalam mencari berita.

Saya akhirnya mengangkat masalah sekolah internasional

yang baru-baru hangat dibicarakan bahwa tidak ada kelas yang

internasional lagi. Penulis pun mewawancara wakil kepala sekolah

dan siswa-siswa SMA N. 3 Bandung dan SMA N. 5 Bandung.

P

Page 90: Wartawan 4 sks

Besoknya ialah hari penentuan akan masuk desk apa.

Redaktur menerangkan ada tiga desk di sana, yakni desk spesial

produk, pemerintahan, dan pemilu karena saat itu sedang

berlangsung Pemilu Gubernur Jawa Barat. Dalam hati kami

sebetulnya saling bertolak-tolakkan, “Amit-amit kalau dapat desk

spesial produk.” Kenapa? Karena saat redaktur menjelaskan, desk

ini berisi tulisan khusus iklan dan bertujuan memancing pengiklan.

Di kampus sebetulnya kami sudah belajar tugas wartawan adalah

membuat berita, bukan menulis iklan. Selain itu, kami juga sering

mendengar isu wartawan yang ditempatkan di desk advertorial.

Rasanya itu bukan wartawan banget gitu loh.

Ketika diundi, sialnya saya mendapat desk produk itu.

Hmmm… Ada rasa kesal sedikit. Namun, saya usahakan berlapang

dada karena namanya juga undian, tentulah ini bukan karena siapa-

siapa. Toh, setelah tiga minggu desk akan berganti lagi. Begitu

perjanjian kami waktu itu, supaya semuanya dapat mencoba desk

yang berbeda-beda. Dan sebetulnya dalam hati saya, “Siapa sih yang

mau liputan iklan setiap hari?”

Dalam perjalanannya, desk ini bukan sepenuhnya iklan.

Iklan dan berita pada desk produk ini berselang-seling tidak

menentu. Pembaca akan sulit membedakan yang mana yang iklan

dan yang mana berita. Bahkan saya pun yang ketika berstatus

magang juga kesulitan membedakannya. Namun yang pasti, di

dalam rubrik ini kita akan menulis berita khas. Tentunya desk ini

Page 91: Wartawan 4 sks

merupakan lahan tim iklan agar menghasilkan uang untuk

perusahaan.

Selama tiga minggu saya berada di desk ini. Kejenuhan

dirasakan karena berita khas yang saya tulis tidak sesuai dengan

ekspektasi. Dulu saya membayangkan kerennya seorang wartawan

ketika bisa mewawancara menteri, partai politik, mengetahui isu-isu

hukum-lingkungan, dan lainnya. Namun, kenyatannya saya hanya

berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pengiklan. Ya, rasanya

biasa saja, tidak ada yang menarik.

Ditambah lagi, saya tidak bertemu dengan wartawan-

wartawan lainnya. Jadinya saya tidak ada teman yang bisa membuat

saya berkembang dalam pengetahuan. Bayangkan saja, saya butuh

waktu satu jam untuk mewawancara narasumber karena harus

menulis tulisan yang cukup panjang dalam satu hari. Biasanya enam

halaman. Tentulah saya harus menggali lebih dalam agar berita saya

sesuai dengan keinginan perusahaan dan dapat terbit.

Bila dibandingkan dengan teman saya yang menulis berita

langsung, ia hanya memiliki kewajiban menulis satu setengah

halaman, paling banyak dua halaman. Kekayaan kosa kata untuk

memperpanjang berita memang ditantang di sini. Saya berpikir,

beruntung sekali bila saya menggemari bacaan non fiksi karena

tentu saya akan bisa “mengarang bebas”.

Enaknya pada rubrik ini, memang kita tidak perlu ke

banyak tempat. Cukup satu tempat saja dan kita juga tidak berpanas-

Page 92: Wartawan 4 sks

panasan seperti wartawan lain. Terlihat lebih eksklusif memang.

Lainnya, jika meliput perusahaan-perusahaan tentunya akan

mendapat produk dari perusahaan.

Produk yang didapat di Bandung memang tak seberapa bila

dibanding di Jakarta. Biasanya wartawan Bandung mendapat goodie

bag, buku, kalender, dan baju. Berbeda bila liputan di Jakarta,

perusahaan berani memberikan power bank, tiket taksi, voucher

berbelanja di super market ternama, sampai tiket pesawat. Enaknya

lagi, liputan produk ini biasanya dilakukan di hotel-hotel.

Saya memberi nama wartawan yang suka mendapatkan

barang pada acara ini “Wartawan Marchindise”. Beberapa

wartawan ada yang saya lihat selalu datang bila acaranya di hotel.

Ya, waktu itu termasuk saya karena memang di desk produk dan

tidak mendapat informasi lain selain itu. Surat kabar biasanya

membolehkan wartawannya menerima barang, asal tidak menerima

uang. Pada surat kabar tempat saya magang saja, barang menjadi hal

yang lumrah diterima (asal bukan emas atau handphone saja).

Namun, jangan coba-coba bila menerima uang, meskipun itu lima

ribu rupiah. Surat pemecatan bisa langsung dilayangkan.

Jika dipikirkan baik-baik, memang sedikit aneh. Misalnya

saja, saya pernah ditawarkan uang oleh salah satu humas

kementerian. Saya rasa uangnya sekitar Rp 200-300 ribu. Lalu, saya

menolaknya karena takut bermasalah dan risih saja bila menerima

uang. Rasanya menodai idealisme sebagai mahasiswa jurnalistik.

Namun, ketika itu tawaran uang diganti menjadi brownies yang

Page 93: Wartawan 4 sks

harganya sekitar Rp 50 ribu. Saya sebenarnya juga takut, tetapi

karena sudah dibelikan dan dipaksa bawa, ya bagaimana lagi. Saya

pun akhirnya membawanya. Saya tidak menyalahi aturan

perusahaan waktu itu. Namun memang ada rasa risih juga dalam

hati saya. Bukannya ini berarti sama saja dengan saya menerima

uang Rp 50 ribu.

Setelah saya konsultasikan dengan dosen saya, Pak Rana,

dia mengatakan itu sebetulnya tidak boleh. Wartawan harus

menjaganya, meskipun itu hanya sebuah pin, kecuali bila diperlukan

untuk peliputan. Misalnya, ketika meliput konser wartawan

diberikan baju kaos seragam. Bila tidak memakainya tidak boleh

masuk. Itu baru bisa ditolerir. “Jadi akhirnya kamu terima?” ujar

Pak Rana. “Wah saya menerimanya, gimana donk pak? Soalnya

kata kantor kalau barang boleh diterima,” kata saya. Pak Rana

hanya geleng-geleng sambil tertawa kecil waktu itu. Namun, dia

tetap menasehati dan menyampaikan kebenaran wartawan tidak

boleh menerima barang, sekecil apa pun itu.

Mengenai penulisan pada rubrik produk ini, penulisan

berita khas di koran ini berbeda dengan yang diajarkan dosen ketika

di kelas. Bila idealnya menulis berita khas produk kita harus

membandingkan produk-produknya. Misalnya, bila memberitakan

handphone maka harus membandingkan antara merek Samsung,

Blackberry, Nokia, Nexian, dan lainnya. Setidaknya harus ada dua

produk. Namun di surat kabar ini, cukup satu produk saja.

Page 94: Wartawan 4 sks

Menurut saya, hal ini memang sengaja dilakukan agar tim

iklan dapat menawarkan dengan mudah karena produk ditulis

dalam satu tulisan panjang. Dengan begitu lebih mudah menggaet

hati perusahaan pengiklan karena tulisan yang dibuat khusus

perusahaannya.

Cara kerjanya yaitu saya menulis mengenai restoran atau

korporasi. Kemudian, tim iklan meminta nomor narasumber yang

baru penulis wawancara. Biasanya sebelum tulisan tersebut naik, tim

iklan menelepon korporasi tersebut. Apakah bersedia tulisannya

dinaikkan dengan deal yang nanti sama-sama ditentukan. Kalau

korporasi tersebut tidak mau, bisa jadi tulisan tadi tidak jadi naik.

Tim iklan pun akan mencari perusahaan yang mau beriklan.

Namun, bila kepepet, alias memang tidak ada pengiklan

dan tidak ada tulisan lainnya, biasanya tulisan tersebut akan naik

cetak. Nah, hal inilah trik-trik yang digunakan untuk membiaskan

antara berita dan iklan. Sulit untuk menyatakannya salah karena saat

penawaran yang melakukan penawaran ialah tim iklan, bukan

wartawan. Namun, lain kasus bila wartawan yang turut menawarkan

iklan.

Di surat kabar lainnya yang mengangkat berita positif di

Bandung, wartawan dituntut memiliki kelihaian menawarkan iklan.

Kata kelihaian bernada positif memang. Padahal dengan kelihaian

yang ditanamkan surat kabar, sebetulnya wartawan tengah

dimanfaatkan. Kerja wartawan kemudian bertambah, tak hanya

meliput berita, tetapi juga menawarkan iklan.

Page 95: Wartawan 4 sks

Surat kabar berdalih, wartawan harus berupaya menggaet

pengiklan dan menjalin hubungan baik dengan narasumber karena

surat kabar baru berkembang. Wartawan yang waktu itu saya tanya

memang terlihat tidak paham mengenai jurnalistik. Jadi menurutnya

wajar saja bila wartawan menolong perusahaan dengan menawarkan

iklan. Tak hanya itu, beberapa surat kabar juga memberikan fee

kepada wartawan yang berhasil mendapatkan pengiklan. Tak

tanggung-tanggung, fee-nya pun bisa dua kali lipat gaji wartawan itu

sendiri. Maka tidak bisa pula nantinya disalahkan bila wartawan

nanti pilah-pilih, ingin meliput advertorial saja.

Pakar dan praktisi jurnalistik mengutuk praktik tersebut.

Praktik yang menyuruh wartawan selain menulis berita juga

menawarkan iklan. Sebut saja, Bill Kovach praktisi dunia yang

menyebarkan elemen-elemen jurnalisme mengatakan seharusnya

wartawan harus sesuai dengan koridornya. Bahkan, wartawan sebisa

mungkin tidak bertemu dengan tim iklan agar tidak goyah

independensinya. Bahkan di kantor The New York Times, lift antara

wartawan dengan tim iklan dipisahkan. Begitu strict-nya

pengawasan advertorial ini.

Andreas Harsono, murid Bill Kovach, mantan wartawan

Kompas yang saat ini menjadi peneliti independen, mengatakan

suatu ketidakwajaran bila wartawan dipekerjakan sebagai pembuka

jalan untuk marketing. Menurutnya tidak ada istilah wartawan

sebagai pembuka jalan bagi marketing. Ia juga keras ingin

mengukuhkan seharusnya kode “advertorial” diganti saja dengan

Page 96: Wartawan 4 sks

“iklan” biar jelas. Hal itu karena pada kode advertorial pun ternyata

masyarakat juga tidak mengenali advertorial ialah iklan. Selain itu,

surat kabar pun ternyata memiliki banyak kode, terkadang

advertorial, adv, KIK, AE, bahkan ada yang tanpa kode. Memang

hal ini membohongi pembaca bukan?

Akar dari persoalan ini sebetulnya menyebabkan goyahnya

independensi wartawan. Independensi merupakan hal yang

terpenting agar wartawan dapat bekerja sesuai hati nuraninya dan

dapat terhindar dari penyuapan-penyuapan narasumber.

Independensi wartawan tentu pula menjaga wartawan agar menulis

berita secara komprehensif, berimbang, dan tidak memuat berita

bohong.

Awalnya perusahaan pers mengambil untung dari

ketidaktahuan wartawan atau mengambil untung dari hasil doktrin

yang mengatakan wartawan tak masalah meliput advertorial.

Namun, lama-kelamaan bisa saja wartawan akan melakukan segala

cara demi mendapatkan uang. Ditambah lagi kesejahteraan

wartawan yang tidak mencukupi. Hal ini tentu dapat menjadi

masalah besar bagi wartawan yang menjadikan profesinya sebagai

bisnis. Padahal kita tahu, profesi wartawan ialah profesi mulia. Ada

yang mengatakan, “Wartawan jujur tak mungkin kaya.” Atau ada

pula yang mengatakan, “Kalau ingin kaya jangan jadi wartawan.

Wartawan tidak akan pernah kaya.” Agaknya petuah itu benar

adanya bila kita menelisih ke lapangan.

Page 97: Wartawan 4 sks

Liputan “Bapak”

Oleh: Suci Amelia Harlen

eminggu setelah memulai hari di televisi yang berlokasi

di Jakarta Pusat, gue dapat liputan sakral di kantor itu.

Salah satu Sabtu di April itu, gue liputan wajib sama

salah satu kameramen andalan di sana. Sebut saja

namanya Bang Riga.

Waktu gue kasih tahu kalau gue mau liputan sama dia, dia bilang,

“Yakin mau berangkat sama gue? Cpek loh. Mending cari liputan

lain deh, kasihan nanti.” Gue jawab, “Yah, gimana bang, soalnya

yang lain udah pada berangkat. Gak apa-apa deh bang.”

Memang waktu itu tinggal tim gue yang paling akhir,

lagian sebenarnya gue seneng juga sih dapat liputan si Bapak,

soalnya kapan lagi lihat mukanya langsung. hehehe

Mendapat liputan wajib merupakan suatu kebanggaan di

sini karena semua reporter dan kameramen akan mengecap lo

kameramen handal. Kenapa? Ini karena biasanya yang diturunkan

pada liputan wajib memanglah kameramen yang sudah mahir

mengambil gambar atau yang sudah senior.

Mengapa yang ditekankan kameramen bukan reporternya?

Karena yang penting memang gambarnya. Kameramen harus

standby mengambil gambar mulai dari si Bapak turun dari

S

Page 98: Wartawan 4 sks

mobilnya, memberikan sembako, saat bercakap-cakap dengan

warga, sampai si Bapak melambaikan tangan ke warga yang sudah

diberikan sumbangan itu. Saat itu, kamera harus on terus tanpa

pause dan dipastikan gambar tidak boleh goyang.

Liputan wajib juga memupuk tali persaudaraan sesama

wartawan dan kameramen satu grup. Si Bapak yang gue bilang tadi

memanglah pebisnis media raksasa di Indonesia. Dia punya televisi

banyak, media cetak, radio, dan online, semua media itu harus

meliputnya dengan bagus dan menjadikannya breaking news.

Bahkan televisinya yang dikenal profesional pun, juga menjadikan

berita itu breaking news.

Situasi unik terbentuk di lapangan. Mereka yang awalnya

tidak saling kenal kemudian saat bapak datang akan saling back up

mengambil gambar. Di sanalah kepanitiaan kecil insidental

terbentuk. Menarik!

Di sisi lain, liputan wajib adalah hal yang paling dibenci.

Dari awal berangkat Riga udah ngedumel, “Sial gue dapat liputan

wajib!” Banyak wartawan yang menghindari liputan itu karena bila

salah-salah gambar mereka akan diberi surat peringatan. Bahkan

wartawan yang tak ikut dalam tim juga bisa kena “semprot”. Kali ini

gue liputan tentang organisasi masyarakat (ormas) di bawah

naungannya.

Ormas tersebut baru tahun ini didirikan Bapak. Ormas

bernafas kepemudaan itu dibentuk sejak Bapak hengkang dari partai

Page 99: Wartawan 4 sks

biru yang dulu mengecewakannya. Tentu saja ormas tersebut penuh

ia danai.

Untungnya, ormas itu sih bisa promosi gratis di kanal-

kanal punya si Bapak. Waktu sedang gencar-gencarnya gue lihat

ormas itu promosi setiap hari dan sehari pun seperti lebih banyak

dari jadwal salat. Tapi akhir-akhir ini gue engga liat lagi sih

iklannya, mungkin udah dikasih surat peringatan sama KPI.

Selama job training di televisi itu, gue banyak mendengar

perekrutan anggota ormas tersebut. Tampaknya memang sulit sekali

mengajak orang lain bergabung . Ya, menurut gue wajar aja sih

karena ormasnya baru dan pandangan politiknya masih meraba-raba.

Ditambah lagi Bapak bukan politisi tulen. Akhirnya perekrutan

anggota dicomot dari organisasi-organisasi kepemudaan lain dan

sebagiannya diambil dari karyawannya.

Mengenai perekrutan ini Bapak pintar memanfaatkan

“kepala suku” dalam organisasi kepemudaan itu. Nah, salah satu

kepala sukunya itu kerja di televisi ini sebagai kameramen. Lalu, dia

diangkatlah menjadi Kepala Cabang Ormas DKI Jakarta. Otomatis

dia mencari anggota dan anggota yang dia ambil juga dari organisasi

lamanya.

Biasanya dalam berpolitik kalau kita pindah organisasi,

organisasi lama akan ditinggalkan karena takut berada di dua kaki.

Namun, di ormas ini semua orang boleh mengikuti organisasi

lainnya. Akhirnya orang-orang yang tergabung dalam ormas si

Page 100: Wartawan 4 sks

Bapak adalah orang-orang yang ikut organisasi lain. Jadi ia tidak

memiliki kader murni.

Waktu itu, ormas tersebut dikatakan hanya sebatas

organisasi anak muda. Namun, bila kita memasuki strukturnya, kita

akan tahu bahwa ormas tersebut memiliki sayap kiri dan sayap

kanan (gue dapet info dari anggotanya). Gue nggak tahu persis

bagiannya, yang pasti salah satu sayap adalah untuk pergerakan

anak muda dan sayap yang lainnya untuk tujuan politis. Polanya

hampir sama saat partai empunya berewok menjadi ormas.

Bapak mendirikan ormas sesudah hengkang dari partai

politik (parpol) berewok. Ormas itu merupakan satu langkah

barunya usai keluar dari parpol tersebut. Tempo.co pernah mengutip

bahwa ormas tersebut dapat saja menjadi partai politik suatu saat.

Dalam hal ini, ormas tersebut memang tak mungkin

menjadi partai dalam jangka waktu yang dekat ini, tetapi jelas

dipersiapkan untuk jangka panjang. Pola pembuatan ormas si Bapak

dengan ormas Pak Berewok sangat mirip. Dari ormas menjadi

parpol. Kita seakan-akan de javu dengan hal ini.

Mengingat masa lalu, Bapak keluar dari partai berewok

karena kecewa dengan pendirinya yang menyalahi kesepakatan.

Sebetulnya telah ada kesepakatan bahwa yang akan diangkat

menjadi Ketua Umum Partai Brewok ialah generasi muda yang

dipilih bersama. Namun, sebelum sidang penetapan berlangsung

pendirinya malah maju sebagai calon ketua umum partai tersebut

Page 101: Wartawan 4 sks

yang notebenenya tentu akan menjadi bakal calon presiden RI 2014.

Lalu, Bapak marah dan memilih keluar dari partai tersebut.

Langkahnya pun diikuti oleh anggota partai yang lainnya. Akhirnya

berdirilah ormas itu.

Setelah keluar dari partai tersebut, Bapak tengah diincar

oleh partai-partai lain. Saat itu kita sering melihat di televisi

banyaknya partai-partai yang bersilaturahmi dengannya. Namun,

akhirnya Bapak menjatuhkan pilihan kepada partai beratasnamakan

nurani.

Setelah dilamar oleh partai bernurani itu, ternyata ada hal

yang lebih di luar dugaan. Bapak dicalonkan menjadi Wakil

Presiden RI 2014 mendampingi mantan panglima jenderal dari

parpol tersebut. Saat itu, gue memang sempat baca wawancara

Tempo sama Bapak. Tempo waktu itu menanyakan, “Apa sih

sebenarnya yang Anda harapkan dari politik? Jabatan sekelas

menteri bukan target Anda, mungkin Anda mau jadi cawapres?”

Bapak pun hanya tertawa menjawab itu. Dan ternyata dugaan itu

benar.

Wajar saja Bapak menjadi incaran oleh partai-partai karena

bisnisnya memang oke banget. Waktu job training dulu, dua kali

gue meliput rapat saham akhir tahun grupnya. Buset! Pas gue lihat,

raksasa banget bisnisnya. Mulai dari media, asuransi, perbankan,

semuanya ada dan terintegrasi.

Page 102: Wartawan 4 sks

Bermuka Dua

Sayang sekali, terjunnya Bapak di perpolitikan tak banyak

didukung oleh anak buahnya. Di depan Bapak, karyawan terlihat

mendukungnya menjadi politisi. Misalnya dengan bersungguh-

sungguh meliput liputannya yang blusukan dan tersenyum saat

mengambil gambarnya. Namun, di belakang para karyawan

sebenarnya tidak suka Bapak berkecimpung di dunia politik.

Sebetulnya nggak hanya karyawannya yang bermuka dua,

tetapi ormasnya pun juga bermuka dua. Waktu liputan, gue sering

dengar anggota ormasnya ngomong di belakang. Gue inget banget

pas orang-orang lagi sibuk nunggu Bapak dan bicarain di mana

Bapak akan datang membagikan sembako. Eh ada yang nyeletuk,

“Dia mana mau masuk ke sini. Mungkin karena jalannya bagus kali

ya. Kalau dia kan suka yang jalannya jelek gitu atau perkampungan

kumuh, baru mau masuk. Hahaha!” Itu kata salah satu anggota

ormasnya sendiri. Parah banget kaan?!!

Agenda Setting

Agenda setting media memang luar biasa dalam

membentuk sosoknya. Agenda setting menurut Komunikasi Massa

karya Elvinaro, dkk (2009: 77) ialah menekankan apa yang

Page 103: Wartawan 4 sks

dianggap penting oleh media akan dianggap penting pula oleh

masyarakat. Di sini televisi tersebut memainkan teori ini.

Menurut gue, pembagian sembako itu tidak penting untuk

diberitakan, apalagi bila dijadikan breaking news. Namun, televisi

berusaha membentuk citra Bapak sebagai seorang yang dermawan.

Televisi menampilkan pembagian sembako yang hanya 150 kantong

plastik di setiap titik (total ada empat titik).

Isinya pun tak ada yang berbeda dari sembako-sembako

lainnya, hanya berisi beras, mie, dan minyak. Jika dilihat dari

kantongnya, kantong yang digunakan kantong berukuran 6 sampai

10 kg. Kalau menurut gue sih, sembako itu paling bertahan tiga

sampai lima hari untuk satu keluarga yang beranggotakan empat

orang.

Efek agenda setting terdiri atas efek langsung dan efek

lanjutan. Efek langsung berkaitan dengan isu; apakah isu itu ada

atau tidak ada dalam agenda khalayak; yang kemudian dianggap

penting oleh khalayak. Efek lanjutan berupa persepsi atau tindakan

seperti memilih kontestan pemilu.

Di sini jelas efek langsung yang akan didapat ialah simpati

khalayak terhadap Bapak. Ditambah lagi dengan “kebaikan” hati

ormas yang mau melakukan kegiatan sosial terhadap masyarakat

miskin. Efek lanjutannya jelas agar mendapatkan suara pada pemilu

2014 nanti.

Page 104: Wartawan 4 sks

Dalam jurnalistik kita kenal nilai berita agar kita tahu

realitas sosiologis dan psikologis yang benar-benar layak disiarkan.

Mengutip dari diktat dosen gue Sahat Sahala Tua Saragih dalam

“Wawancara dalam Konteks Jurnalisme”, ia menjabarkan ada tiga

belas nilai berita. Nilai berita itu ialah penting, kedekatan, aktualitas,

ukuran, ternama, konflik, seksualitas, emosi, luar biasa, akibat,

kemajuan, mukjizat, dan tragedi.

Dari segi penting, sembako yang diberikan memunculkan

human interest. Namun, pentingnya ini juga dikemas sedemikian

rupa seakan-akan apa yang diberikan begitu besar, padahal tidak.

Jika disebut sebagai berita yang luar biasa, gue engga lihat

keluarbiasaan dari pembagian sembako itu karena terkait pula

dengan ukuran yang diberikan. Bagi gue, luar biasa kalau yang

disumbangkan puluhan ribu sembako dan bukan seremonial belaka.

Pembagian sembako yang dilakukan bukanlah karena tragedi

kemanusiaan, tetapi semata-mata kerja sosial. Lalu, akibatnya pada

penerimanya pun tidak banyak karena jelas tidak dapat merubah

kehidupan penerima sembako.

Mirisnya, orang sekelas Bapak yang kaya raya ini

memanfaatkan sumbangan pemirsa dari televisi-televisinya. Jadi itu

bukanlah dana yang dihimpun dari ormas atau pun CSR dari

perusahaan yang raksasa itu. Sumbangan yang diberikan merupakan

dana dari pemirsa. Namun, ketika di shoot ormas tersebut tidak

mengatakan dana berasal dari pemirsa. Seolah-olah dana itu

didapatkan dari hasil kerja keras ormas. Gue nguping pembicaraan

Page 105: Wartawan 4 sks

reporter dan driver saat itu. Wallahualam juga sih kebenarannya,

perlu penyelidikan untuk membuktikannya.

Menurut gue, kalau nyumbang nggak usah diumbar-umbar

sana-sini karena nanti jatuhnya riya’ (bangga karena telah berbuat

baik). Bukankah cukup Tuhan saja yang tahu kebaikan kita?

Lucunya negeri ini, sumbangan pun dijadikan drama dalam

televisi. Masyarakat juga tidak sadar bahwa dirinya tengah

dimanfaatkan oleh orang-orang yang seolah mengatasnamakan

tangannya sebagai tangan Tuhan. Masyarakat ditipu dan dijadikan

komodifikasi.

Ketika memberikan sumbangan, masyarakat diatur dan

disiapkan dengan baik. Lalu mereka di shoot dan ditanya-tanya hal-

hal yang seolah akan membuat pemirsa teriris. Padahal sebetulnya

yang gue lihat dilapangan, masyarakat itu gembira. Mereka tidak

bersedih dengan kemiskinan mereka. Lalu, apa salahnya menjadi

miskin kalau toh kita bisa bahagia dengan kemiskinan itu? Namun,

paradigma yang dibentuk ialah masyarakat miskin perlu dikasihani

dan ditangisi. Padahal mereka tidak butuh dikasihani.

Liputan yang menghabiskan waktu seharian itu pun

berakhir. Kameramen dan driver tiba-tiba ngedumel lagi, “Bakal

kayak gini nih sampai 2014!”. Sang driver bilang, “Gue sih ogah,

gue mau balik lagi ke TPI. Dari pada gitu, mending gue pulang

kampung. Capeek!”

Page 106: Wartawan 4 sks
Page 107: Wartawan 4 sks

Mata Najwa: Risetnya Tolong Dilengkapi dong!

Oleh: Dara Aziliya

“Risetnya tolong dilengkapi dong!”, “Kok yang ini ga lengkap?”,

“Kok yang ini datanya minim banget?”, “Tolong wawancara si ini

ya”, “Tolong ke sana dong untuk cari kelengkapan berkasnya”,

“Kok yang ini ga ada sih?, “Ih gue pengen ini deh”.

Pernah saya bayangkan sebelumnya, kalau seorang Najwa

Shihab itu adalah orang yang sangat perfeksionis, mendetil, pintar,

dan teliti. Ternyata dugaan tersebut benar adanya. Dari

karakteristiknya ketika mewawancara dan menembaki narasumber,

bisa terlihat betapa intelektualnya dia. Dua bulan bekerja untuknya,

saya paham alasan Mata Najwa menjadi 5 besar talkshow terbaik

Indonesia. Menurut saya, wajar dari seorang Najwa Shihab dan dua

produser yang luar biasa lahir sebuah program talkshow yang

cerdas.

Kalimat-kalimat pada paragraf awal adalah kalimat-kalimat

khas dari Najwa Shihab yang biasa saya panggil Mba Nana. Selain

menyandang status owner program Mata Najwa, kita semua tau

kalau Mba Nana adalah wakil pemimpin redaksi stasiun TV berita

negeri ini, Metro TV.

Hari pertama di mata Najwa, produser membawa saya

bertemu Mba Nana untuk dikenalkan. Saya yakin saat bersalaman

Page 108: Wartawan 4 sks

kami freeze 5 detik melihat hidung satu sama lain, saling iri. Well,

saya akhirnya tau kalau hidung Mba Nana lebih mancung dari milik

saya :p . She’s smart dan saya ga paham lagi dengan betapa telitinya

dia. Mba Nana adalah orang yang bisa tegas bahkan untuk kesalahan

titik dan koma. Namun, itu tidak membuatnya terlihat menyeramkan

karena di titik yang sama, Mba Nana adalah orang yang tetap

memakan makannya yang telah jatuh atau mengorek-ngorek kerak

Astor sampai habis. She’s so decisive and humble at the same time

.

Saya belajar banyak hal dari Mba Nana. Paling terasa jelas,

kemampuannya dalam mewawancara. Saya sampaikan sebuah

rahasia: kalau ada narasumber yang ia ‘serang’ di studio,

sesungguhnya itu sudah terencana. Saya juga belajar bagaimana

mewawancara yang baik, di kelas wawancara. Namun, sampai detil

memperhitungkan “pertanyaan ini harus dikeluarkan ketika

narasumber mengambil napas ke sekian”, sejujurnya saya bengang-

bengong sendiri mendengarnya.

Mba Nana tidak pernah kehilangan fokus, ia total

menyerahkan diri ketika mewawancarai narasumber. Benar apa

yang sering kita dengar, sebelum mewawancara pewawancara harus

siap. Menjelang taping, Mba Nana belajar total dari bahan riset yang

sudah disusun oleh tim. Saya pernah melihat ia terus membaca

melalui iPad-nya, sementara perias sibuk membenarkan make up-

nya.

Page 109: Wartawan 4 sks

Seperti yang selama ini kita tahu, Mata Najwa selalu

berusaha menghadirkan narasumber-narasumber lingkar satu dari

sebua kasus/persoalan. Meskipun demikian, Mata Najwa tak lupa

mengajak mahasiswa internship dalam mengambil keputusan. Dia

pernah bertanya, “Siapa ya Dar yang bisa kita jadikan pengamat?”.

“Menurut lo judulnya ini bagus ga, Dar?” sampai menanyakan,

“Besok rapat kita makan apa ya?”.

Jangan mengira, tidak pernah ada yang menolak diundang

Mata Najwa. Beberapa menteri misalnya, mengaku jera karena di

episode sebelumnya telah ‘dikupas habis’ oleh Mba Nana. Jangan

mengira juga, program ini digarap dengan produser serius yang

super nerdy. Kalau frustrasi mikirin narasumber, produser bisa

dengan lunglainya mengajak beli rujak atau ngopi di kafe, lalu

tertawa lagi.

Jujur, mulai dari hal sederhana sampai rumit, saya tidak

pernah merasa tidak dianggap oleh tim. Saya amat diberdayakan

dengan baik dan menyenangkan. Meski berada dalam tekanan riset

dan riset, tim menyusun kondisi sedemikian rupa, agar tidak ada

anggota tim yang tertekan saat bekerja.

That’s right, drama drama oh so everywhere. Meski hanya

magang untuk Mata Najwa, saya memang mendengar banyak

selentingan gejolak di Metro TV. Sebagian karyawan memilih

memperjuangkan hak yang menurut mereka harus mereka dapatkan,

di saat sebagian lainnya memilih diam dan bekerja dengan tenang.

Saya ingat ketika saya menyelesaikan masa magang di Mata Najwa,

Page 110: Wartawan 4 sks

saya menyalami setiap orang sambil menangis sedih karena masa

job training yang menyenangkan akan berakhir (or I cried because I

just realized that I must back to reality – Lapjob, Usmas, dan

berbagai Sidang. I don’t even sure :p). Salah seorang staf tim Mata

Najwa mengatakan: Dara, don’t ever come back here! Iya, dia

bilang, jangan sampai saya bekerja di Metro TV. Saya ga paham

persis apa alasannya, tapi saya yakin, persoalannya tidak jauh dari

aspek pemenuhan hak karyawan. Baiklah, saya tidak melanjutkan,

karena saya ga mau menyebar isu yang saya sendiri tak yakin :D

Demi kebaikan semua pihak, tolong sangat, give the best of

your best saat melakukan job training. Untuk apa tiga tahun di

Jurnalistik, kalau job training kita lakukan setengah hati♥

Page 111: Wartawan 4 sks

Hikayat Berburu Kepala Sistem Informasi e-KTP

Oleh: Surya Rianto

alan Tanah Abang pukul 09.30 WIB di Jumat awal tahun

2013, aku panik resah melihat jam tangan setiap detik. Saat

itu kendaraan roda duaku berhenti karena macet. Hari itu

pertama kalinya aku meliput sebuah liputan khusus pada

media yang menjadi tempatku bernaung saat menjalani job training.

Pertemuan pukul 10.00 WIB di Gedung E Kemendagri

(Kementerian Dalam Negeri) samping Istana Negara menjadi

tujuanku saat itu. Satu kekonyolan pagi itu, aku tak tahu letak persis

Gedung Kemendagri. Hanya tahu satu informasi, gedung itu berada

di samping Istana Negara. Nyatanya hal ini membuat sebuah

masalah selanjutnya, walau masalah kecil.

Setiap liputan khusus “43 Kiprah Peneliti Indonesia” di

Harian Media Indonesia , aku selalu didampingi fotografer. Kali ini,

pasangan fotograferku ialah Mas Adam. Ia juga pernah menemaniku

saat liputan Rubrik Komunitas seminggu sebelum bertemu peneliti

sistem informasi e-KTP yang sedang kuwawancara ini. Untungnya,

kali ini Mas Adam terjebak macet jadi tak perlu merasa tidak enak

karena terlambat.

J

Page 112: Wartawan 4 sks

Sebelum hari-H (wawancara narasumber dari peneliti e-

KTP), aku merasakan dilema. Jadi menurut sebuah sumber, si

peneliti yang akan diwawancarai nanti ternyata terjerat kasus

penyelewengan e-KTP. Namun, pemberitaannya tidak terlalu

diangkat dan saat itu hanya muncul di satu portal berita dalam

jaringan (daring) saja.

Aku ingin membicarakan hal tersebut kepada asisten

redaktur yang menjadi penanggung jawab liputan khusus ulang

tahun. Namun, aku ragu karena kondisinya sedang kekurangan stok

berita liputan khusus tersebut. Akhirnya, aku memutuskan

mewawancarainya saja dan berencana bertanya mengenai kasus

tersebut pada akhir wawancara biar jelas.

Kembali ke perjalanan menuju Gedung E Kemendagri,

akhirnya aku bisa lolos dari macet di Jalan Tanah Abang yang amat

menakutkan tersebut. Kendaraan roda dua berumur empat tahun

yang kukendarain pun langsung melaju kencang bak Jaguar

memburu mangsanya.

Akhirnya sampai pula di dekat stasiun Juanda, di sana pula

kebingungan melanda mencari Gedung Kemendagri. Aku cari

tukang ojek yang kuyakin tahu ke mana arah Gedung Kemendagri,

tukang ojek tersebut memakai jaket hitam merah dan sedang

memakan sate usus di tukang bubur.

Page 113: Wartawan 4 sks

“Gedung Kemendagri lurus aja dikit lagi, yang warna putih

mas,” ujar tukang ojek tersebut yang kubalas dengan ucapan terima

kasih.

Setelah mendapatkan penjelasan dari si tukang ojek, aku

pun melaju dengan tenang dan senyum kemenangan. Namun,

beberapa detik kemudian, aku baru menyadari semua gedung

berwarna putih dan itu ada sekitar empat gedung. Dua gedung

pertama tidak mungkin Gedung Kemendagri karena itu gedung

swasta dan satunya lagi rumah makan padang.

Akhirnya, dengan polosnya aku memasuki gedung ketiga

yang dijaga dua orang berpakaian loreng bertanda Tentara Nasional

Indonesia (TNI). Baru beberapa langkah masuk ke dalam gedung,

tiba-tiba terdengar suara bentakan.

“Hey mas! Bawa motornya, buka jaket dan helmnya, ke

sini sekarang juga!” ujar salah satu penjaga pos yang mengenakan

seragam loreng kepadaku.

Aku terkejut panik dan dalam hati berkata, Apakah

peraturan di gedung Kemendagri seketat ini? Aku pun berjalan

menuju ke pos penjagaan sambil membawa motor dan bagian tubuh

lain ribet menahan jaket yang baru saja kulepas dan tak sempat

dirapikan.

“Ada urusan apa kamu ke sini?” tanya si bapak pakaian

loreng sambil membentak.

Page 114: Wartawan 4 sks

“Mau wawancara e-KTP di Kemendagri pak, saya dari

Media Indonesia,” aku menjawab dengan sungkan dan was-was

takut-takut ia minta tanda pengenal pers yang aku tak punya.

Tiba-tiba bapak pakaian loreng yang galak tadi merubah

mimik wajahnya menjadi tersenyum. Dia berubah 180 derajat

menjadi sosok yang ramah dan memberitahuku kalau tempat itu

bukanlah Kemendagri, kantor Kemendagri ada di gedung sebelah.

Akhirnya aku diizinkan keluar Gedung Angkatan Darat tersebut

tanpa embel-embel push up yang aku perkirakan.

Aku menceritakan hal itu pada Mas Adam dan ia tertawa.

Katanya, untung saja aku tidak disuruh buka baju, jalan jongkok dan

push up. Dalam hati, ya beruntunglah aku hari itu.

***

Bersama Mas Adam, aku masuk ke ruang yang menjadi

tempat pertemuan dengan narasumber e-KTP. Ruangannya di

tempat server , di mana semua data penduduk se-Indonesia ada di

tempat tersebut. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi amat sejuk dan

pengamanan ketat serta bersih sekali. Ada sebuah ruang kecil yang

biasa digunakan untuk rapat, di sanalah aku bertemu dengan bapak

peneliti sistem informasi e-KTP ini.

Aku terkejut ketika masuk ke ruangan, di dalam ruangan

itu ada sebelas orang, dua mahasiswa, dua orang asing yang berasal

dari India dan sisanya peneliti sistem informasi e-KTP. Cuma,

formasi sebelas orang yang terlihat seperti mengeroyok ini, sempat

Page 115: Wartawan 4 sks

membuatku canggung. Pasalnya aku ingin membicarakan masalah

kasus personal narasumberku itu.

Hampir satu setengah jam penjelasan teoritis dan profil

narasumber yang kuangkat dijelaskan, hingga membuat Mas Adam

tertidur di ruangan. Posisi dudukku di ruangan yang mempunyai

meja elips itu ialah di sisi sudut tengah bagian kanan tepat

disamping narasumberku. Sementara, lainnya mengitari aku dan

narasumberku. Mata mereka menatap dalam-dalam berbagai

perbincangan kami dari masalah secara umum tentang e-KTP dan

pribadi narasumber. Namun, hari itu aku putuskan untuk tidak

menanyakan kasus tersebut, terlalu banyak pasang mata melihat,

hati ini jadi tidak enak.

Di situlah kesalahanku, rasa tidak enak itu membuat

berbagai pertanyaan dikepalaku tidak terjawab. Apalagi, jauh

setelah liputan e-KTP tersebut, senior kampusku yang bekerja

menjadi wartawan di Media Indonesia mengatakan sosok yang

kuwawancarai itu memang bermasalah. Namun, aku mencari

beritanya setelah itu malah sudah tidak ada lagi.

Kembali pada saat aku mewawancarai narasumber e-KTP

tersebut, sampai pada momen pengambilan gambar. Entah orang

yang saya ceritakan ini asistennya narasumberku atau apanya, tapi

pada proses pemotretan entah mengapa dia yang ribet sendiri.

Latar pemotretan diambil pada ruangan server yang cukup

dingin. Karena di sana ada beberapa CPU yang mempunyai daya

Page 116: Wartawan 4 sks

simpan hingga sekitar 1 juta Terrabyte. Sehingga suhu ruangan

harus tetap dingin agar CPU tersebut tetap terjaga. Namun, ada

momen kikuk, ketika asisten narasumberku ini mencoba

mengeluarkan dua orang asing dari ruangan server. Katanya sih

takut dilihat tidak enak saja ada orang asing di dalam ruangan server

yang berisi data negara. Akhirnya, dua orang asing tersebut

menunggu di luar hingga sesi pemotretan selesai.

Meskipun begitu, seperti yang kubilang tadi, entah

mengapa asisten narasumberku itu begitu riweuh pada sesi

pemotretan. Seolah-olah dia yang ingin di foto, atau mungkin

seolah-olah dia fotografer dengan ribet mengatur pose

narasumberku.

Kemudian, ribetnya asisten narasumberku tak hanya saat

sesi pemotretan. Tapi, juga ketika sesi makan siang setelah Salat

Jumat, ia menjadi sosok yang repot. Pertama, ia repot mencari

tempat makan, tapi kali ini memang ia mendapatkan tugas mencari

tempat makan. Kedua, ia repot mengambil lauk dan memesan

minuman.

Bayangkan, di meja makan itu, semua minumannya teh

tawar hangat kecuali asisten narasumberku yang memesan jus.

Selain itu, di meja makan itu, semua hanya mengambil satu lauk

pauk, tapi asisten narasumberku itu mengambil tiga lauk pauk.

Aku saat makan siang itu dilema, bertanya-tanya dalam

hati apakah ini termasuk gratifikasi? Apalagi si narasumber punya

Page 117: Wartawan 4 sks

kasus? Apakah nanti kalau dia terjerat kasus aku akan jadi saksi

karena pernah ditraktir? Tapi benarkah aku ditraktir? Ini rumah

makan padang yang punya sejarah dan harganya agak tidak sesuai,

kemudian aku belum ambil uang pula.

Akhirnya, kami semua santap siang yang saat itu Jakarta

sedang diguyur hujan yang deras. Pembicaraan makan siang pun

agak mengarah ke permasalahan banjir di Jakarta dan peran

gubernur yang baru saat itu, Joko Widodo. Pembicaraan pun

semakin panjang karena menunggu asisten narasumberku ini selesai

makan. Karena setelah ini lanjut perjalanan ke Penerbitan Negara

Republik Indonesia (PNRI) di dekat Salemba. Selesai makan siang,

ternyata aku benar ditraktir dan semoga kalau dia terjerat kasus

sebagai tersangka, aku tak ikut-ikut menjadi saksi karena telah

menerima gratifikasi.

***

Perjalanan selanjutnya menuju PNRI, dengan kondisi

jalanan yang masih basah karena habis disiram hujan lumayan deras.

Aku menjalankan motorku agak cepat menyeimbangkan kecepatan

motor mas Adam, Fotograferku. Sementara, narsumku naik mobil

dan asistennya juga naik mobil yang berbeda dengan narsumku.

Sekitar lima belas menit kami sampai di PNRI, karena

habis hujan lebat membuat jalan Jakarta tidak macet. Ternyata

pengamanan di PNRI cukup ketat, aku dan Mas Adam tidak bisa

masuk lebih dulu ke dalam ruangan karena identitas tidak jelas dan

Page 118: Wartawan 4 sks

orang yang akan ditemui belum tiba. Akhirnya, kami berdua

menunggu di parkiran sampai narasumberku tiba.

Kami akhirnya masuk PNRI bersama narasumberku

dengan asistennya. Kesan pertama masuk PNRI dari pandanganku

ialah seperti masuk ke sebuah markas dalam permainan di

komputer. Bayangkan, pintu masuk ke dalam saja ada tiga lapis

yang amat berdekatan. Semua pintu itu bisa terbuka dengan kartu

identitas khusus.

Sebuah ruangan yang besar dengan sekitar tujuh mesin

pencetak e-KTP , serta ada beberapa orang asing dari Jerman

mondar-mandir mengecek berbagai hasil pekerjaan dan kinerja

mesin cetak asal Jerman tersebut. Saya pun disambut seorang pria

bertubuh kecil yang menjadi pemimpin di tempat itu tampaknya.

Obrolan pun dimulai dengan bahasan tentang mesin cetak

asal Jerman dan kehadiran beberapa penelitinya. Mereka bekerja

sekaligus meneliti di ruang tersebut karena alat cetaknya jenis paling

baru dan sedang di uji ketahanannya. Namun saya melihat dari sisi

lain, miris melihat bangsa sendiri bekerja dengan susah payah, tetapi

orang asing hanya mengecek seolah mempunyai kasta yang lebih

tinggi.

Pria bertubuh kecil itu pun melanjutkan pembicaraan

dengan menjelaskan berbagai keunggulan dari e-KTP Indonesia

dibanding negara lainnya. Walaupun, e-KTP yang sekarang saya

pegang belum mempunyai keunggulan yang konkrit. Tapi, pria

Page 119: Wartawan 4 sks

bertubuh kecil yang menjadi koordinator di PNRI tersebut

mengatakan harusnya ada integrasi informasi yang dimanfaatkan

dari e-KTP oleh pihak pemerintah dan swasta. Ditengah-tengah

obrolan, tiba-tiba ponselku berbunyi yang membuat hening situasi

ruangan seketika.

“Surya, bagaimana wawancaranya? Ini tulisan untuk besok

ya, deadline kamu jam 9 malam ini, dua feature, ditunggu!” ujar

asisten redakturku lewat telepon yang membuat aku sedikit terkejut.

Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul empat sore,

sementara aku berada di pinggiran Jakarta Timur. Rumahku berada

di Kota Tangerang yang tepatnya di pinggiran Jakarta Barat.

Estimasi waktu dari PNRI ke rumah kutentukan menjadi 2,5 jam

karena bersamaan dengan jadwal pulang kerja. Di sana aku mulai

resah, kukatakan apa adanya kepada Mas Adam. Akhirnya, Mas

Adam segera mencari stok gambar di berbagai ruangan PNRI dan

aku melanjutkan obrolan sambil keliling-keliling. Akhirnya pada

pukul setengah 5 sore, aku dan Mas Adam langsung segera bergegas

dari PNRI.

Di jalan pulang Mas Adam dapat godaan dari pekerja SMK

di PNRI. Aku iri pada Mas Adam yang sudah punya istri dan anak

masih saja digoda. Masa aku yang masih bujang, jangankan digoda,

dilirik saja tidak (hahaha intermezzo). Tapi itu tak terlalu dipikirkan

dalam-dalam karena yang jelas aku panik diburu garis mati dari

asisten redaktur tersebut.

Page 120: Wartawan 4 sks

***

Ditengah perjalan pulang, teman sejawat magang yang satu

kampus juga mengirimkan pesan instan kepadaku. Isinya

menyarankan aku untuk menanya kasus e-KTP yang berhubungan

dengan narasumberku itu, karena asisten redaktur sudah

mengizinkan. Namun apa mau dikata, saat wawancara aku seperti

dikeroyok sebelas orang yang akhirnya tak kutanyakan dan jadi rasa

penasaran tersendiri hingga kini.

Aku pun memilih fokus jalan pulang agar sampai secepat

mungkin di rumah dan menyelesaikan tuntutan dua tulisan.

Sebelumnya aku beli se-bar coklat untuk menemani kepanikan garis

mati. Tapi karena terlalu memburu rumah aku lupa mengisi bahan

bakar motorku yang sudah habis. Untungnya tak lama kemudian aku

menemukan pom bensin. Sesampai di rumah, aku mengunci pintu

kamar dan minta untuk tidak diganggu. Akhirnya kukebut tuntutan

garis mati dua tulisan sambil sedikit ada teror lewat pesan singkat

untuk segera menyelesaikan tulisan. Tulisan pertama kukirimkan

pada pukul setengah Sembilan malam. Hal tersebut sebagai dalih

agar tulisan kedua bisa kukirimkan agak telat. Tulisan keduaku pun

dikirim pada pukul setengah sepuluh malam.

Esoknya, kubolak-balik surat kabar Media Indonesia,

ternyata sama sekali tidak ada tulisanku. Aku pun langsung berpikir

ternyata tulisanku itu tidak layak naik karena jelek. Pikiran itu

sedikit membuat kepercayaan diriku jatuh.

Page 121: Wartawan 4 sks

“Surya, sini ke meja saya sebentar,” ujar redakturku yang

pendiam. Mengejutkan bagiku karena itu pertama kalinya aku

berkomunikasi dengannya. Ternyata dia baik sekali.

“Kemarin ada kiriman dari kontributor, jadi punya kamu

saya geser buat besok saja, soalnya belum sempat diedit,” ujar

asisten redakturku itu dengan senyuman.

“Surya, yuk kita edit tulisanmu ini,” ujar sang redaktur.

Setelah itu aku tenang, ternyata bukan masalah tulisanku yang

terlalu buruk rupa hingga tak layak tayang.

Selanjutnya, aku pun bertemu berbagai macam jenis

peneliti lainnya, dari yang malu-malu kucing saat diwawancarai,

curhat masalah gaji sampai narsis dalam hal foto. Tapi, dari sana ada

satu simpulan dariku, jurnalis harus siap membahas apapun, bahkan

hal yang diluar dasar pengetahuannya. Seperti mewawancarai

peneliti, setidaknya jurnalis harus paham berbagai hal ilmu pasti

yang menjadi dasar penelitiannya. Walaupun hanya paham sekilas

tak masalah. Jurnalis merupakan jembatan untuk menerangkan ilmu

yang kompleks kepada masyarakat awam dengan latar yang

beragam.

Page 122: Wartawan 4 sks

TV LOKAL TEMPAT BELAJAR

Oleh: Arif Mulizar

uliah di jurusan Jurnalistik Fikom Unpad mungkin

tidak menjadi harapan semua orang. Tapi penulis

yakin, orang-orang yang punya jiwa petualang, keras

dan tahan banting akan “bahagia” mengikuti proses

merengkuh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di jurusan ini. Berbagai

mata kuliah dengan tugas “segudang”, deadline yang singkat,

disiplin yang tinggi tentu bukan kehidupan yang mudah dijalani oleh

seorang mahasiswa yang baru saja lulus dari kemanjaan siswa SMA.

Berbagai mitos melekat erat di jurusan ini, menyakitkan

memang mengetahui mitos-mitos yang benar adanya. Salah satu

mitos yang ternyata bukan sekadar mitos adalah lulus lama. Kuliah

di Jurusan Jurnalistik ternyata memang memerlukan durasi yang

lebih panjang dibanding jurusan lain di Fikom Unpad. Bukan karena

jumlah SKS yang lebih banyak, dan bukan pula karena kuliah di

jurusan ini lebih sulit sehingga menyulitkan lulus di berbagai mata

kuliahnya, tapi karena satu mata kuliah saja. Mata kuliah ini

sederhana, mahasiswa diminta untuk menjadi seorang jurnalis

sungguhan, di media sungguhan selama 90 hari kerja. Mata kuliah

ini disebut Job Training (saya singkat: JT). Dibagi menjadi dua

jenis, JT Cetak yaitu bekerja di media cetak, dan JT Elek untuk

K

Page 123: Wartawan 4 sks

bekerja di media eletronik. Mata kuliah inilah yang membuat

mahasiswa jurnalistik lulus lebih lama.

Apakah lulus lebih lama karena JT merugikan mahasiswa

jurnalistik? Tentu tidak, menurut penulis JT adalah kesempatan

terbesar bagi mahasiswa jurnalistik untuk menjadi wartawan 4 SKS

dan mengaplikasikan semua ilmu yang dimilikinya. Dalam tulisan

ini penulis akan menceritakan sekelumit kisah dan pengalaman

tentang JT di stasiun TV lokal, PJTV (Paris Van Java TV) yang

menurut penulis luar biasa dan mudah-mudahan bisa dijadikan

pembelajaran bagi pembaca.

Televisi atau biasa disebut TV sudah tak asing lagi di

telinga dan mata manusia. Walau tidak semua orang memiliki TV,

tapi hampir mayoritas orang tau TV itu apa. Penulis tidak akan

menjelaskan sejarah pertelevisian nasional atau sejarah

perkembangan teknologi TV di Indonesia. Penulis hanya akan

berceritra tentang kegiatan penulis berusaha membuat isi dari benda

bernama TV.

Menjadi pekerja di staisun TV bukanlah sesuatu yang

mudah. Itulah yang pertama kali penulis rasakan saat turun langsung

ke lapangan sebagai jurnalis TV. Penulis merasakan betapa tidak

mudahnya mencari isu, wawancara, menjadi kamerawan, floor

director, bahkan switcherman Dalam pelaksanaan job training

(JT) ini penulis merasakan manfaat yang sangat luar biasa, ilmu

pengetahuan yang semakin bertambah serta mendapatkan berbagai

Page 124: Wartawan 4 sks

pengalaman-pengalaman menarik dan luar biasa. Pelaksanaan JT

penulis diawali sejak tanggal 15 April- 15 Juni 2013.

Selama pelaksanaan JT penulis mendapatkan sangat

banyak pengalaman. Berkali-kali mungkin penulis akan mengatakan

bahwa PJTV merupakan tempat JT terbaik yang pernah ada. Penulis

berkata demikian karena PJTV benar-benar memfasilitasi penulis

untuk belajar yang benar-benar belajar. PJTV mengarahkan dan

memfasilitasi penulis untuk mempelajari apapun. Mulai dari

kamerawan, floor director, telepromter, vo, reporter, sampai

switcherman.

Awalnya penulis sempat frustasi pada hari-hari awal

melaksanakan JT di PJTV. Penulis tidak tau harus mengerjakan apa,

penulis hanya duduk, nonton, internet-an, lalu pulang. Tidak jelas

mau melakukan apa. Namun, hal itu hanya berlangsung beebrapa

hari, karena hari-hari selanjutnya penulis benar-benar merasakan

padatnya bekerja sebagai insan pertelevisian. Tugas pertama penulis

adalah mengisi vo (vo) berita. vo adalah suara yang membacakan

berita saat gambar dari berita ditampilkan. Tak pernah terbayang

oleh penulis, suara penulis bisa menjadi pengisi vo untuk berita yang

disiarkan. Ternyata menyenangkan mendengarkan suara diri sendiri

lewat kota ajaib bernama TV.

Kegiatan penulis tidak sebatas mengisi vo, penulis mulai

merambah berbagai kegiatan lain. Salah satunya menjadi

kamerawan, menjadi kamerawan bukanlah hal yang mudah. Penulis

sangat merasakan ketika melakukan liputan sebagai kamerawan.

Page 125: Wartawan 4 sks

Betapa berat dan sulitnya menentukan pengambilan angle gambar

menggunakan kamera. Bukan hanya karena ukuran kamera TV yang

besar dan berat, tapi juga karena kurang terbiasanya penulis

memegang kamera produksi TV.

Penulis merasa beruntung bisa memepelajari semua itu dan

bahkan dipercaya untuk berbagai produksi berita yang ada di PJTV

selama penulis melaksanakan JT di PJTV. Penulis bukan tanpa

kendala dalam melaksanakan tugas sebagai kamerawan. Sering kali

penulis diingatkan atau malah dimarahi karena salah mengambil

angle kamera atau tidak fokus dalam mengambil gambar. Pelajaran

yang bisa penulis ambil adalah, betapa beratnya tugas para

kamerawan TV yang berjam-jam memikul kamera dan berkeliling

kesana kemari. Penulis juga menyadari setiap menonton liputan

langsung atau liputan lapangan di TV di balik gambar yang

terpampang di TV, ada seorang kamerawan dengan pundak yang

skait dan tangan yang pegal.

Selain menjadi kamerawan penulis juga menjadi repoter

yang mencari berita dan mewawancara narasumber dengan mic di

tangan, hal ini dilakukan beberapa kali oleh penulis, salah satunya

penulis melakukan stand up di depan kamera saat melakukan

liputan tentang Cibaduyut. Selain itu penulis juga melakukan

beberapa kali pengambilan video tape untuk pelaksanaan debat

Gubernur Jabar dan Wali Kota Bandung. Penulis merasa beruntung

PJTV sangat percaya dengan produksi yang dilakukan oleh

mahasiswa JT. Penulis merasa seperti benar-benar dibebani dengan

Page 126: Wartawan 4 sks

ilmu yang dimiliki tentang produksi berita elektronik, feature

televisi, dan produksi jurnalisme TV yang dipelajari sebanyak 9

SKS di bangku perkuliahan.

Selama JT penulis paling sering melaksanakan dua tugas

utama, yaitu menjadi switcherman dan floor director. Penulis tidak

pernah membayangkan akan menjadi seorang switcherman dalam

sebuah produksi siaran TV,ternyata PJTV mewujudkan hal tersebut.

Penulis bertanggung jawab mengatur dan memerintahkan

kamerawan mengambil gambar sesuai apa yang penulis inginkan.

Penulis bertanggung jawab atas apa yang ditampilkan dan dilihat di

layar kaca oleh khalayak PJTV. Floor director juga tidak kalah

penting dibandingkan tugas sebelumnya, menjadi FD penulis

mengatur keadaan studio atau lapangan tempat produksi seperti

narasumber, penonton, dan pembaca berita, penulis melakukan

hitungan mundur untuk menentukan kapan pengambilan gambar

selesai dan dimulai, kapan take kapan cut, dan kapan penonton

bertepuk tangan, atau kapan kamera bisa dimatikan.

Selain semua pekerjaan atau tugas yang telah penulis lakukan

di PJTV selama penulis JT, ada salah stau hal yang paling berkesan

bagi penulis. Hal yang paling berkesan itu adalah ketika penulis

dipercaya oleh produser untuk mengajarkan pada anak magang lain

cara bekerja di PJTV. Tugas ini sangat berat bagi penulis, tapi ini

merupakan suatu penghargaan yang sangat besar bagi penulis.

Penulis berkesempatan berbagi ilmu dengan 4 orang mahasiswa dan

Page 127: Wartawan 4 sks

2 orang SMK yang baru melaksanakan magang di sana. Penulis

menjelaskan bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan di PJTV.

Menjadi seorang jurnalis di TV lokal membuat penulis

merasa sangat bernilai. Selama ini penulis hanya menjadi wartawan

untuk tugas kuliah, tapi sekarang penulis mampu menjadi wartawan

sungguhan yang beritanya bahkan liputannya disaksikan di sebuah

stasiun TV lokal

Awal mula bergabung dengan PJTV penulis merasa bukan

siapa-siapa. Tapi lama-kelamaan penulis merasa inilah tempat

penulis. Penulis merasa sangat beruntung melaksanakan JT di PJTV.

Lingkungan dan orang-orang yang sangat ramah dan kekeluargaan

yang akrab membuat penulis sangat nyaman berada di kantor selama

ber jam-jam. Penulis juga melaksanakan berbagai macam tugas

tanpa dibatasi. Penulis diperbolehkan menjadi apa saja yang penulis

mau dan belajar apa saja agar mendapatkan pengalaman lebih.

Berat rasanya mengetahui bahwa penulis harus segera

meninggalkan semua ini karena JT yang setelah diselesaikan jangka

waktunya. Tapi penulis sadar bahwa pelajaran di sini sangat

berharga dan tidak akan sia-sia. Penulis merasakan betapa

keakraban yang sangat kuat di seluruh karyawan PJTV, tidak ada

perasaan bahwa penulis merupakan mahasiswa magang. Penulis

dianggap keluarga besar PJTV. Bahkan yang paling berkesan

penulis seringkali diikutkan di rapat-rapat besar redaksi dan rapat

penting lainnya.

Page 128: Wartawan 4 sks

Mungkin hanya sedikit paparan kisah penulis tentang JT di

PJTV, semoga ada manfaat yang bisa diambil dari kisah ini. Tidak

ada pekerjaan yang mudah, tidak ada keberhasilan tanpa usaha.

Tujuan utama penulis dalam pendidikan adalah menjadi Sarjana

Ilmu Komunikasi dan JT adalah langkah untuk menuju itu, Ternyata

JT bukan hanya formalitas untuk syarat kelulusan tapi, JT menjadi

pelajaran berbeda di luar kampus yang penulis dapatkan secara

maksimal. Menjadi insan pertelevisian selama 3 bulan bukanlah hal

yang mudah jika penulis tidak mengikuti perkuliahan di bangku

kuliah secara serius.

Page 129: Wartawan 4 sks
Page 130: Wartawan 4 sks

Gara-gara JKT48!

Oleh: Satria Perdana

ak kok tinggi banget sih?”

“Kakaknya kok malu-malu sih?”

“Emang oshinya siapa sih kak? Nanti aku

salamin deh...”

Itu tadi kata-kata kenangan yang paling gue inget selama

magang di majalah paling gaul pake banget di Indonesia, HAI

Magazine. Pasti penasaran itu dari siapa? Hehehe... Nanti gue

jawab.

Nah, gue kurang lebih 90 hari, lah, magang di majalah

yang kantornya terletak di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu.

Banyak banget pengalaman luar binasa dan enggak biasa di kantor

media yang sehari-harinya kerjanya ‘nyantai’ banget gitu.

By the way, gue Satria Perdana. Biasa dipanggil Satria dan

bisa dibilang gue ini anaknya agak pendiam, serta tukang galau.

Nggak tahu sih galauin apaan yang penting dibikin asik aja. Kayak

pertama kali magang di HAI, di hari pertama masuknya kaku, tapi

pas pulang di hari pertama pula jadi nggak kaku lagi.

Jadi gini ceritanya. Hari pertama gue magang di HAI tuh

agak awkward ya. Gimana nggak, masa hari pertama ketika gue

“K

Page 131: Wartawan 4 sks

duduk di bangku kosong buat anak magang ada tutup mesin cuci

sama kartu Yu-gi-Oh!? Nggak cuma itu, masih di hari pertama, tapi

di sore harinya, di kantor ada yang main sepeda!

“Gila ini kantor, emang berkah banget gue kalo nanti bisa

kerja di sini! Tapi kalo tiap hari begini entah beneran berkah atau

musibah sih,” kata gue dalam hati.

Well, semua pada awalnya berjalan baik, sejak hari pertama

itu. Mulai akrab sama anak-anak kantornya, serta sama

senior/alumni di Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ) gitu. Ya,

pada awalnya emang agak malu-malu di hari pertama. Cuma hari-

hari esoknya udah nggak tahu malu lagi lah gue.

Yup, kemaluan gue, eh, ehm maksudnya gue menyimpan

rasa nge-fans-nya gue sama sekelompok idol group di Indonesia,

JKT48. Udah nggak ada malunya lagi buat gue simpen diem-diem.

Soalnya, temen-temen yang notabene reporter-reporter di HAI itu

ternyata fans JKT48 juga!

Yah, ini semua terbongkar gara-gara gue nulis berita

tentang mundurnya oshi (idola) gue dari dunia per-Je-Ka-Te-an,

namanya Mova alias Allisa Galliamova. Bibir doi paling seksi deh

di JKT48.

“Oshi lo siapa nih sekarang? Kan Mova udah graduate...”

kata Rian, reporter HAI yang juga anak emo banget.

Page 132: Wartawan 4 sks

“Mova tetep sih, dan oshi gue sekarang si imut Kinal,”

jawab gue.

“Hah!? Kinal? Lo saingan kalo gitu sama gue,” cerocos

Atha, reporter HAI yang pegang rubrik musik, paling gaul di antara

anak-anak HAI lain. Iya atau nggaknya sih ya gatau gue ya

hehehehe....

“Oh gitu,” tantang gue. “Yaudah... gue tetep paling ganteng

depan dia.”

FAIL.

Dari obrolan itu dan sejak hari terkuaknya gue sebagai fans

JKT48, hari-hari gue di HAI makin seru aja sih. Banyak banget

pengalaman berharga dan nggak terlupakan. Terutama banyak

liputan tentang JKT48 dong pastinya. Cuma, sebelum gue beranjak

ke cerita-cerita kenangan gue sama dedek-dedek lucu itu, ada cerita

yang bikin gue jadi cowok strong banget.

Sleeping With Sirens (SWS) ke Indonesia broh! FYI, SWS

itu band post-hardcore favorit gue yang lagi ngehits banget gitu.

Kellin Quinn, vokalis SWS, suaranya kece banget men dan gue suka

sama lagu-lagunya yang bikin...galau...

“Hey Kellin, can i have your signature on my jacket?”

tanya gue.

“Oh, of course dude, with pleasure,” jawab Kellin.

Page 133: Wartawan 4 sks

“Thank you so much. Your last EP really great and i love

it,” sasar gue sambil gagap.

“I’m happy to hear that. Tonight i’ll make you guys high,”

katanya waktu mau manggung malam hari itu.

Itu tadi obrolan singkat gue sama Kellin yang keren banget

dan malamnya gue nonton aksi doski di atas panggung yang bener-

bener menghipnotis banyak penonton. Gue ketemu Kellin itu siang.

Sorenya abis ikut wawancara Atha, gue balik ke kantor dan panik

serta dagdigdug karena gue pengen buru-buru ke tempat konsernya

ikut liputan.

Sumpah, gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi waktu

ketemu Kellin. Bukan karena gue terpaku dengan kerennya doski di

mata gue, tapi gara-gara doski lagi mabok dan nyerocos nggak tahu

apaan!

“Do you know Captain Hook? Captain Hook?” tanyanya

sambil niru gaya sang kapten. “I am Captain Hook.”

Oke, gue tahu lo keren Kel, cuma kalo lo mabok ya agak

sungkan juga gue ngobrolnya.

Selama nonton konsernya dan ngeliput sampai acaranya

habis, gue tertegun dan berasa keren banget gue bisa wawancara

band luar negeri yang gue suka banget. Bersyukur banget gue bisa

magang di HAI. Dari situ gue berpikir tentang kesempatan buat

wawancara ‘modus’ ke idola gue di Indonesia, JKT48!

Page 134: Wartawan 4 sks

(FYI, gue nggak ngefans banget sih sebenarnya hahaha...)

Nggak lama kemudian, hari-hari gue jalani dan berharap

kapan bisa gue wawancara JKT48, akhirnya hari yang gue tunggu

datang tiba-tiba. Gue wawancara Beby, Shanju, Nabilah, sama

Sendy sekaligus waktu liputan Pocari Sweat di Hotel Le Meridien

(paling inget gue kan...), siang-siang mendung gitu.

Selama liputan, gue mesti duduk dulu dong dengerin

acaranya kayak gimana dan ternyata pas mau abis, ada games-nya.

Nah ini nih, games-nya mesti nendang bola ke gawang yang dijaga

member tadi. Untungnya gue ikutan nih dan yang jaga Beby, sob!

(Lo mesti banget tahu, Beby itu salah satu member yang

cantik dan gemesin, lho).

“Beb, sorry ya kalo gol”

“Iya MAS nggak apa-apa”

WHAT!? MAS!? Lo kira gue MAS-MAS barbershop ya!?

(Oke lebay, nggak gitu sih sebenernya hehehe...)

“Yaudah langsung aja, nih, ya”

JOSS!

Daaaaann... gol. Gue akhirnya ngegolin ke gawang yang

dijaga Beby dan dapet hadiah voucher belanja. Senengnya bukan

main gue bisa berinteraksi sama member JKT48. Eits, tapi rasa

Page 135: Wartawan 4 sks

seneng gue nggak cuma berhenti di situ. Soalnya habis itu gue

langsung wawancara sama mereka!

Wawancara gue sama Nabilah, Sendy, Shania, and Beby

berjalan seru nih. Ngomongin bola, fans, JKT48 sendiri, sama

ngomongin gue yang ganteng ini, nggak ada habisnya. Ada sih

habisnya, gue wawancara cuma setengah jam aja bolehnya. Sedih.

Banget.

Cuma dari situ gue dapet simpulan yang sampai sekarang

gue nggak nyesel bikinnya. Yup, ternyata kalau magang di tempat

yang kita pengen dan sesuai dengan harapan yang kita inginkan itu,

bisa bikin kita happy dan hati tentram. Nggak ada kegalauan lagi

sebenernya. Seru dan menyenangkan banget kalau ikutin kata hati,

sih.

Tapi cerita tentang JKT48 dan gue nggak cuma berakhir di

situ aja. Soalnya, hari-hari berikutnya, eh, nggak hari-hari

berikutnya juga, sih, tapi di waktu-waktu lainnya gue ternyata

dikirim dari kantor buat wawancara JKT48 lagi, nih. Kayak liputan

handshake event gitu, misalnya. Sebenernya gue nggak dikirim buat

liputan, tapi gue inisiatif aja buat ngobrol beberapa kali sama

member kesayangan gue, Kinal, cuma buat dapetin pernyataan dia

dan megang tangan halusnya (halus banget asli, sumpah!).

Bisa dibilang sedikit modus, sih, inisiatif gue itu. Cuma ya

abis itu gue tulis dan naikin beneran pernyataannya. Kan harus tetep

pro gitu ya kan kalau mau nulis berita, hehehe...

Page 136: Wartawan 4 sks

Hari-hari gue di HAI emang bisa dibilang masih sebentar

waktu magang, Cuma 90 hari. Dapet banyak banget pengalaman

dan keseruan yang luar binasa, apalagi soal JKT48. Jadilah gue

akhirnya minta jadi wartawan freelance. Awalnya emang belum

dibolehin, karena pembimbing magang gue, Mate, pengen gue

selesein dulu magangnya, sama lanjut dulu di Job Training

Elektronik. Ya, tapi gue udah terlanjut dibuatin press card HAI sama

sekretaris kantor, gara-gara gue minta duluan. Ya nggak tahu berkah

atau emang petunjuk sih (eh, apa sih, hahaha...), cuma ya akhirnya

emang sampai sekarang gue jadi freelance di HAI.

Setelah dapet press card HAI, gue pastinya punya

kewajiban tersendiri dong, yaitu menjalankan tugas sebagai

wartawan dengan benar, bukan kayak anak magang lagi. Cuma, gue

ternyata masih suka bandel dan masih suka modusin JKT48. Cuma

udah nggak modus banget sih, soalnya anak-anak HAI udah tahu

banget gue gitu kalau gue ngerti soal JKT48 sampai yang jepang-

jepangan gitu. Udah aja kalau ada apa-apa yang berbau mereka gue

ikut dikirim.

Gara-gara JKT48 deh akhirnya gue dikenal sebagai wota

(fans beratnya JKT48). Tapi pada nggak tahu aja, kalo gue itu cuma

fans biasa. Sayangnya dari beberapa liputan dan obrolan-obrolan

‘penting’ bareng Rian, Atha, Kadek sama Anka (dua terakhir itu

senior gue di kampus dan ternyata wota banget), akhirnya gue

dipanggil wota.

Page 137: Wartawan 4 sks

Tapi ada hikmahnya juga buat gue, yaitu biar gue bisa tetep

berimbang dalam peliputan dan penulisan. Intinya bisa jaga jarak

dengan narasumber biar nggak subjektif dan tetep berpacu dalam

Elemen-elemen Jurnalisme dari Bill Kovach dan UU No. 40 Tahun

1999 Tentang Pers (Gilaaa kayak bener gitu gue).

Semakin sering gue liputan tentang hal-hal ‘berbau’ JKT48

sebenernya gue semakin sadar kalau gue harus tetep mengusahakan

diri buat tetap nulis ‘bagus’ dan nggak terlalu dekat sama

narasumber. Ya, itu emang harus sih demi kebaikan gue dan

pembaca. Cuma ya ketika menulis lo bakal inget dengan kebijakan-

kebijakan tertentu yang nggak bisa lo lawan, kecuali lo punya

kekuatan di dalamnya. Jadi ya semua gue turutin aja deh.

Sempet ada yang nanya gini ke gue :

“Kak, lo kok suka banget liputan JKT48? Nggak bosen apa

karena lo wota kak, hehehe...”

Oke, itu pertanyaan kayaknya nyesek sih. Ya mau gimana

lagi, gue sempet ngerasa bosen. Tapi kalau bukan gara-gara JKT48,

gue nggak mungkin bisa berpikiran positif dan terus berusaha buat

berada di tempat yang gue suka dan emang sesuai passion gue, HAI.

Mimpi-mimpi gue bisa gue wujudkan di sini dan gue harus

bersyukur bisa liputan JKT48.

“Ketika lo menulis berita, ya lo harus membuatnya

objektif”

Page 138: Wartawan 4 sks

Itu kata-kata yang paling gue inget dari Pak Bos Pemred

Mas Danie waktu ngobrol-ngobrol jurnalisme dan waktu gue baru

magang di HAI.

Inti dari kata-kata itu baru bakal lo temuin ketika lo udah

coba dan turun langsung ke lapangan dunia nyata sesungguhnya dari

dunia jurnalisme. Meskipun baru sebatas magang, lo bakal temuin

banyak banget hal-hal yang bikin lo sadar kalau dunia jurnalisme itu

nggak cuma berita-berita serius, tapi juga hiburan. Yang penting

bukan berita serius, tapi juga berita hiburan itu penting, lho.

Cerita gue di HAI belum berakhir. Mungkin masih banyak

cerita lain yang lucu dan menarik yang belum bisa gue tuangkan di

sini. Yang jelas, gara-gara JKT48 gue bisa mengungkap sedikit

keseruan dari dunia kerja jurnalisme yang sesungguhnya, bukan lagi

di kelas kuliah.

Mantap gan!

Page 139: Wartawan 4 sks
Page 140: Wartawan 4 sks
Page 141: Wartawan 4 sks
Page 142: Wartawan 4 sks
Page 143: Wartawan 4 sks
Page 144: Wartawan 4 sks
Page 145: Wartawan 4 sks
Page 146: Wartawan 4 sks
Page 147: Wartawan 4 sks