Wartawan 4 sks
-
Upload
afif-permana -
Category
Documents
-
view
257 -
download
6
description
Transcript of Wartawan 4 sks
Halo! Selamat Pagi!
Selamat Pagi saya ucapkan di sini agar Anda-Anda yang membaca
selalu bersemangat saat menjalani hari-hari Anda. Barangkali
semangat ini juga diperuntukkan bagi Anda yang akan
melaksanakan job training.
Yap! Buku ini diterbitkan memang untuk menggambarkan
bagaimana suasana dan bentuk pekerjaan yang akan kalian hadapi
ketika job training nantinya. Seanter isu yang beredar anak job
training biasanya disuruh membuat kopi, mengangkat tripod,
memegang microphone atau kamera. Hal itu ternyata tidaklah benar.
Buktinya kami yang menulis di sini, merasa seperti wartawan
sebenarnya. Kami ikut terlibat langsung dalam kegiatan jurnalistik.
Bahkan terkadang menjadi orang yang diandalkan dalam peliputan.
Meskipun masih “Wartawan 4 SKS”.
Kami menceritakan kisah-kisah saat job training (biasa
disebut magang) di media daerah maupun pusat. Medianya pun
beragam, mulai dari TV, surat kabar, dan radio. Cerita ini berasal
dari desk yang berbeda-beda. Ada yang dari politik, ekonomi,
olahraga, pemerintahan, gaya hidup, dan lain sebagainya. Beberapa
kisah ada yang tidak disebutkan nama medianya. Memang harapan
kami yang terpenting dari buku ini ialah pengalamannya, bukan
institusinya.
Ada pengalaman manis dan ada yang pahit. Manis karena
melebihi ekspektasi saat belajar di Jurnalistik. Bertemu orang
terkenal (pejabat, artis, pemain bola, dan lainnya), banyak relasi,
dapat mengikuti event-event top, mendapat liputan eksklusif, dan
banyak lainnya.
Pahit karena hal-hal idealis yang tertanam di bangku kuliah
ternyata tak ada aplikasinya di lapangan. Praktik amplop,
pelanggaran firewall, sampai kepada bekerja “santai” ala jurnalis
lokal. Namun, sejatinya seluruh profesi pasti memiliki hal yang baik
dan hal yang buruk.
Buku ini merupakan bunga rampai dari kisah-kisah
mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran (sebagian sudah lulus
tahun 2014). Kisah ini sengaja ditulis dengan ragam teknik bahasa,
sesuai dengan karakter penulisnya. Hal ini bermaksud menghindari
kekakuan bahasa.
Terima kasih saya ucapkan kepada rekan-rekan saya yang
tergabung dalam grup “Wartawan 4 SKS” yang sebetulnya
terniatkan untuk menjadi kado terindah kelulusan (meskipun
ngaret). Merekalah Afif Permana Aztamurri, karikaturis dan yang
bertanggung jawab atas desain buku ini. Kemudian, Odelia Sinaga,
Arif Mulizar, dan Tristia Riskawati yang bertanggung jawab
mengkolektifkan tulisan rekan-rekan mahasiswa Jurnalistik Unpad
angkatan 2009. Bersama tim inilah kami saling berbagi ide dan
inspirasi.
Akhirnya ikhtiar beberapa bulan ini pun selesai. Semoga
buku ini dapat menjadi gambaran bagi adik-adik dari universitas
manapun di Indonesia dalam menjalani kegiatan job training.
Tunjukanlah kapasitas rekan-rekan ketika job training. Mudah-
mudahan Anda dapat menjadi andalan kantor dan jika beruntung
Anda bisa mendapatkan tawaran bekerja di kantor tersebut.
Tentunya buku ini jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
bila ada kritik dan saran silahkan sampaikan ke
Salam hangat,
Koordinator Penyusun Wartawan 4 SKS
Suci Amelia Harlen
Intap-Intip Rumah Tangga Negeri
(pengalaman menjadi reporter magang Ekonomi-Bisnis Koran
Tempo)
Oleh: Tristia Riskawati
emahami seluk beluk rumah tangga pangkal
mengetahui seluk beluk negara. Begitu ujar mantan
Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Kendati
menjadi panglima laju pemerintahan Inggris,
rupanya wanita tangan besi ini memberikan perhatian lebih terhadap
urusan remeh temeh seperti kerumahtanggaan.
Aku amini perkataan Margaret Thatcher. Untuk
mengetahui lebih dalam seluk-beluk negara, perempuan cukup
khatam memahami rumah tangganya. Namun, nyatanya, dengan
magang menjadi wartawan rubrik ekonomi bisnis, ditakdirkanlah
aku untuk mengetahui seluk-beluk rumah tangga negara lebih dulu--
sebelum mengenal seluk beluk rumah tangga keluarga.
Pada awalnya, keinginan aku melangsungkan job training
di Tempo didasari karena alasan relasi. Aku pernah mengikuti
Kemah “Menjadi Indonesia” yang diadakan Tempo Institute pada
2011. Salah satu karyawan Tempo Institute, Mbak Maya Wuysang
mengaminiku ketika aku mengutarakan niat aku untuk job training
di Tempo. Aku pun diberi kontak Mas Yudistiro, bagian Sumber
Daya Manusia (SDM) dari Tempo.
M
Ternyata, proses diterimanya aku untuk job training di
Tempo cukup lama. Terhitung dari pertengahan 2012 mulai
menghubungi Mas Yudistiro, aku baru dipersilakan mulai job
training sedari 2013 awal. Ternyata, relasiku dengan Tempo tidak
menjamin kelancaran proses pengajuan job training-ku.
Aku memutuskan untuk bekerja di Koran Tempo
ketimbang di Majalah Tempo. Alasannya, bekerja di Majalah
Tempo, berarti membutuhkan waktu tiga bulan kerja atau 90 hari
kerja dan tidak terpotong libur. Berarti, butuh alokasi dana
kebutuhan hidup di Jakarta yang cukup besar. Belum lagi, ketika
tengok kanan-kiri, teman-teman sudah mulai menyusun skripsi.
Aku mengajukan ingin menjadi reporter di desk Nasional
Koran Tempo. Pada awalnya, aku akan ditempatkan di desk tersebut.
Namun, di hari pertama aku job training, aku langsung diajukan
bekerja di desk Ekonomi-Bisnis (Ekbis). Terus terang, aku agak
khawatir bekerja di desk ini. Desk Ekbis mencakup istilah-istilah
yang tidak semua awam mengenalinya.
Beruntung, di hari pertama aku bergabung dengan
kompartemen Ekbis, ketika itu ada kelas Ekonomi desk Ekbis dari
ekonom Bank Danamon, Pak Manggih. Oleh redakturku, Mas
Muhammad Nafi, aku disuruh mengikuti kelas tersebut. Walhasil,
aku diperkenalkan oleh istilah-istilah yang baru aku tahu semasa aku
hidup. Sebut saja tappering off, defisit neraca transaksi, dan lain
sebagainya.
Kompartemen Ekbis terdiri dari dua sektor. Pertama adalah
sektor finansial yang meliput soal ekonomi makro, seperti inflasi,
saham, deflasi, defisit neraca, suku bunga, dan lain sebagainya.
Peliputan untuk sektor finansial biasanya di Kementerian Keuangan
atau di Bank Indonesia. Kedua adalah sektor riil yang membedah
soal penggunaan anggaran yang secara langsung menghasilkan
output. Output-nya biasanya berupa barang dan jasa.
Oleh staf redaksi bernama Mas Abdul Malik, aku ditawari
memilih di sektor manakah aku akan melakukan peliputan. Aku
memilih sektor riil, karena aku suka isu-isu yang tercakup dalam
sektor riil seperti isu pertanian, pertambangan, industri, dan lain
sebagainya. Di samping itu, isu-isu di sektor finansial menyimpan
istilah-istilah dan pengetahuan yang musykil dipelajari dalam waktu
singkat.
Terhitung sejak 8 Oktober 2013 yang aku liput ialah soal
upaya swasembada lima komoditas pangan (padi, jagung, kedelai,
gula, dan daging), sengkarut izin pendirian maskapai, upaya
perbaikan infrastruktur, sengkarut pipa gas open access, launching
mobil baru, pengambilalihan inalum dari tangan Jepang ke tangan
Indonesia, pro kontra soal industri minyak kelapa sawit, kawasan
industri, pelarangan ekspor bahan mineral mentah, dan lain
sebagainya.
Pada hari-hari awal job training, aku terkejut mengetahui
wartawan harian biasa membuat berita tiga sampai lima berita per
harinya. Apalagi, di tiga hari pertamaku job training, aku hanya
membuat satu tulisan per hari. Mungkin aku belum terbiasa dengan
kemampuan menyusun fakta yang didapat dalam waktu singkat.
Namun, lama-kelamaan, aku mulai terbiasa.
Pertama-tama, aku ditugasi tandem dengan reporter-
reporter Ekbis tiap harinya. Pertama, aku ditugasi tandem oleh Kak
Bernadette Christina atau Kak Dedet yang mengepos di
Kementerian Pertanian. Tandem pertamaku berlokasi di Ruang
Rapat DPR. Aku tidak menyangka bisa masuk ke gedung yang
sebelumnya hanya bisa aku lihat di televisi dengan begitu
mudahnya. Ibuku sampai minta agar aku mengambil gambar gedung
kura-kura DPR tampak depan. Aku bertindak lebih norak lagi: iseng
memotret toilet DPR! Hehe.
Bagaimanapun, melalui kebijakan tandem ini, aku dapat
langsung mengamati kerja reporter Tempo. Kerja reporter Tempo
berbeda dengan kerja reporter online seperti detik.com atau
vivanews. Reporter Tempo tidak langsung mengetik berita dengan
ponsel pada saat wawancara, kemudian langsung dikirim—seperti
layaknya reporter online. Namun, mereka biasanya mentranskrip
hasil rekaman wawancara dengan narasumber terlebih dahulu.
Selama aku magang, wawancara selalu dilakukan dengan
cara doorstop atau “mencegat” narasumber setelah acara selesai.
Karena isu yang ditanyakan kepada narasumber tersebut merupakan
isu follow up yang aku belum terlalu mengetahuinya, aku pun
bingung hendak menanyakan apa.
Kadang-kadang aku bertanya, walau seringnya aku tidak
bertanya. Atau kadang-kadang aku sudah menyimpan pertanyaan,
tapi tidak berani mengajukan karena takut pertanyaan yang aku
ajukan terdengar bodoh. Ini yang sebenarnya aku sesali. Aku tidak
memiliki keberanian lebih mengajukan pertanyaan aku kepada
narasumber saat wawancara doorstop berlangsung.
Satu hal mengasyikkan yang terdengar norak (sekali lagi)
adalah kesempatan untuk makan enak secara gratis. Hehe. Acara-
acara yang harus kuliput biasanya diadakan di hotel. Atau kantor-
kantor pemerintahan tertentu. Biasanya, disediakan snack dan
hidangan utama yang lezat di acara tersebut. Konon, fasilitas ini
akan jarang didapat seandainya aku menjadi reporter Metro
(membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
Jakarta) yang medan liputannya sangat “jalanan”.
Kendati lebih suka meliput di luar ruangan, piket di kantor
adalah kesempatan bagi aku untuk bisa menggali isu lebih dalam.
Pada saat piket, redaktur Ekbis menitipkan kepadaku memfollow-up
isu-isu yang harus dikejar untuk hari itu dengan cara menelepon
narasumber tertentu. Ketika piket, dalam sehari aku bisa mem-
follow up sampai tujuh isu. Praktis, ini membuat wawasan aku
semakin kaya dengan berbagai pendalaman isu.
Selama bekerja di kompartemen Ekbis Koran Tempo,
terdapat beberapa pelajaran yang aku dapatkan, terutama terkait
pandanganku tentang Indonesia. Pertama, aku menyadari mengurus
negara itu sulit luar biasa, termasuk mengatur prioritas pengeluaran
anggaran, bagaimana berhubungan dengan pihak luar negeri,
bagaimana meyakinkan masyarakat, bagaimana mengatasi mafia
monopoli, dan lain sebagainya.
Rubrik Ekbis Tempo mengajak pembacanya tahu
bagaimana agenda pemerintah membelanjakan anggarannya.
Mengupayakan negeri untuk berswasembada kedelai itu tidak
semudah kita membalikkan telapak tangan. Butuh perhitungan yang
betulan serius. Iklim dan keadaan tanah di beberapa daerah di negeri
ini tidak semuanya cocok ditanam kedelai.
Contoh lain adalah menasionalisasi perusahaan asing
seperti Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Proses nasionalisasi
tersebut butuh kejelian dan strategi yang luar biasa. Atau bagaimana
mengusahakan keseimbangan antara lancarnya produksi minyak
kelapa sawit dengan kelestarian lingkungan hidup. Prinsip people,
profit, planet yang diikat oleh legalitas sedang diperjuangkan oleh
beberapa aktivis yang peduli terhadap komoditi kelapa sawit.
Kita tidak bisa hanya sekadar meneriakkan jargon-jargon
klise seperti "nasionalisasikan perusahaan asing!", "jangan tunduk
pada kekuatan asing!", "stop pembalakan hutan untuk kelapa sawit!"
atau malah jargon yang bertendensi "mosi tidak percaya" seperti
"gulingkan kekuasaan!", "tegakkan khalifah!". Di sini, bukan
tempatnya aku berbicara soal benar atau tidaknya ideologi jenis
mana pun. Namun satu hal yang niscaya, filosofi dan ideologi
manapun tidak sepatutnya “mengaum” tanpa persiapan teknis yang
matang.
Pelajaran kedua yang aku dapatkan adalah, tidak sinerginya
antar perangkat pemerintahan menimbulkan kekacauan dalam
mengatur hajat negara. Aku ingat ketika aku mewawancarai Enny
Sri Hartati, peneliti Institute for Development of Economics and
Finance (INDEF). Ia bilang, Ia mencatat terdapat beberapa
pembangunan kawasan industri yang macet seperti di Sei Mangke,
Sumatera Utara dan di Palu, Sulawesi Tengah. Enny berpendapat,
seharusnya Kementerian Perekonomian mengoordinasi antar
instansi agar pembangunan kawasan industri tidak mandek.
Negara kita menganut sistem dimana partai-partai campur
aduk di dalamnya. Tentu masing-masing partai memiliki
kecenderungan masing-masing. Nah, kecenderungan ini pun pasti
berbeda-beda satu sama lain. Jangankan partai, orang-orang yang
tak berpartai pun sering memiliki paradigma yang berbeda perihal
satu persoalan.
Belum lagi, tidak ada sosok pemimpin yang secara tegas
mengarahkan langkah anak buahnya. Atau, anak buahnya yang tidak
respek terhadap pemimpin untuk melaksanakan program.
Ketidaktaatan inilah yang akhirnya menghambat program.
Sepatutnya, pemimpin sadar betul bahwa gelar kepemimpinannya
akan dipertanggungjawabkan pada Yang Maha Kuasa-- sehingga ia
akan sangat telaten dalam mengurus negara.
Ketika pemimpin telah bertindak benar dan berintegritas
tinggi, akan sangat mudah para anak buah mengikuti langkah
pemimpinnya. Dari sudut pandang anak buah, jika anak buah
berhasil merendahkan ego dirinya ketika pendapatnya tidak diterima
kepemimpinan-- walhasil kesamaan langkah pun akan dicapai.
Pelajaran ketiga yang aku dapatkan adalah, aparat
pemerintahan kini terlanjur nyaman dengan fasilitas istimewa yang
mudah mereka dapatkan. Jiwa mereka menjadi kurang peka
terhadap suara rakyat yang sebenarnya. Pernah aku meliput rapat
antara Komisi VIII DPR dengan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM). Rapat tersebut membahas kenaikan
tunjangan kinerja para pejabat kementerian tersebut. Tunjangan
tersebut bernilai belasan juta
Berbagai fasilitas hidup melingkupi para elit pemerintahan
ini. Mereka lupa bahwa masyarakat negeri ini menderita bukan
main. Mereka menunggu pemerintah menyelesaikan segala
kedurjanaan mereka.
Selama ini, aku memandang pemerintah menjalankan
pekerjaan hanya sekadar menjalaninya saja. Ketika memaparkan
rencana pembangunan atau kebijakan kepada pemerintah, seolah
yang terucap hanya sekadar pemaparan yang dilandasi ego
kecerdasan. Terlebih, jika ketika rapat terdapat debat antar peserta
rapat, beuh.
Kalau aku bilang di poin pertama "gemuruh semangat
filosofis tanpa disiapkan dengan solusi teknis tidaklah cukup", di
poin ini aku bisa bilang "pekerjaan mencanangkan aksi teknis tanpa
dilandasi dengan kecintaan yang filosofis juga tidak cukup".
Pemahaman akan filosofi yang mantap lagi mengakar sepatutnya
ditunjuang dengan kematangan dari segi teknis.
Untuk diriku sendiri, aku menemukan sensasi “asyiknya
belajar hal baru” kembali dalam hidup. Senang juga menambah
pelbagai wawasan perekonomian negeri selama bermagang di
Tempo. Aku kadang suka tertawa melihat judul-judul laporan yang
telah kubuat, seperti “Tak Ambisius, Indosurya Group Targetkan
Captive Market”, dan “Plaju Bakal Menjadi Komplek Industri
Petrokimia”, dan lain sebagainya. Kalau aku tidak pernah menjadi
wartawan Ekbis, kemungkinan besar berita berjudul seperti itu tidak
akan kutilik. Namun, aku belajar menyenangi istilah-istilah tersebut.
Walhasil, ketika lepas menjadi wartawan Ekbis pun, aku jadi lebih
sering membaca berita-berita perekonomian di suratkabar manapun.
Kemudian, aku juga diingatkan kalau aku tidak boleh
sombong dengan teori jurnalisme yang telah kukuasai. Menjadi
reporter di Tempo membuktikan teori yang dijejal di kepala selama
perkuliahan tidak menjamin memperlancar praktik ketika menjadi
wartawan kelak. Dunia jurnalisme sungguh dinamis adanya. Tentu,
ilmu yang didapatkan di kuliah tidak serta-merta selalu seiring
dengan medan lapangan seorang jurnalis. Terlebih, tiap-tiap media
memiliki gaya peliputan tersendiri.
Aku juga mengetahui, ternyata aku jagoan kandang (baca:
Bandung). Aku merasakan ketakutan yang lumayan meradang
dalam proses magangku. Entah, mungkin karena baru pertama
tinggal berpisah dari orangtua dalam waktu yang cukup lama. Atau
mungkin ritme ibu kota yang belum terlalu familiar. Menghadapi
rekan wartawan media lain di lapangan pun rasanya minder. Ada
pula rasa malas menyelip dalam jiwa ini untuk belajar karena sudah
stress duluan. Ini yang kusesali. Aku belajar untuk berjuang di luar
zona nyamanku. Aku berkaca banyak atas kekuranganku selama
proses job training cetak kali ini.
Sudahlah, untuk apa terpaku dalam rentetan penyesalan
bertajuk “Seandainya begini…” “Seandainya saat magang saya
begitu…”? Aku teringat hadits riwayat Muslim yang berbunyi
seperti ini “…Apabila engkau tertimpa suatu kegagalan, janganlah
engkau berkata: Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan
begini atau begitu. Akan tetapi katakanlah : Ini telah ditakdirkan
oleh Allah dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya ucapan ‘Seandainya’ akan membuka (pintu)
perbuatan Syaithan”.
Biarlah, kesalahan selama job training menjadi pelajaran
dan bahan renungan untuk evaluasi diri. Manusia yang bijak, aku
yakin tidak gampang mengutuki diri dan tidak pula melarikan diri
atas kesalahannya. Bibit kebijakan akan terpupuk dalam diri jika
kita berbesar diri mengakui kita salah, namun optimis untuk
berupaya menghindari kesalahan tersebut kelak. Wallahu’alam.
Magang ‘Rasa’ Daerah
Oleh: Destyananda Helen
arum jam dinding di ruangan ini menunjukkan pukul 16.30
WITA. Setengah jam lagi, program berita yang kami kerjakan
sepanjang hari ini harus segera tayang. Sedari pagi, saya
bersama redaktur dan supir sudah berkeliling ke beberapa
tempat. Kami mewawancarai narasumber untuk tiga berita berbeda.
Reporter dan kameramen lain juga sudah terjun lapangan.
Kalau tidak salah, hari itu saya dan redaktur meliput
tentang pelaksanaan Ujian Nasional yang ditunda, termasuk
datangnya Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar
Kasim. Naskah berita sudah oke, gambar juga oke, sayangnya,
komputer yang digunakan untuk mengedit, menunjukkan tanda-
tanda tak sehat. Parahnya, komputer ini menjadi komputer utama.
Hingga waktu penayangan pun, komputer tak juga sembuh. Jadilah
durasi satu jam untuk program berita diisi lagu-lagu lawas berlatar
pemandangan alam. Perkiraan saya, lagu-lagu itu hits di tahun 1970-
an.
Saya perhatikan, wajah para karyawan lain tampaknya tak
sekecewa saya. “Itu sudah biasa, Dek. Sudah beberapa kali
komputer ini tiba-tiba error seperti sekarang,” tutur seorang
pegawai di tempat magang saya.
J
“Seberapa sering, Mbak?” saya penasaran.
“Lumayanlah,” katanya.
Benar saja, 45 hari saya magang di salah satu TV daerah
milik pemerintah ini, hampir 3 kali kejadian yang sama terjadi.
Parahnya, dari apa yang saya perhatikan, hal tersebut bukanlah
menjadi hal yang perlu dievaluasi dan dipermasalahkan. Bahkan
redaktur pelaksana dan pengarah acara yang bertugas hari itu pulang
dengan santainya tanpa menanyakan keadaan komputer malang
tersebut.
Itu merupakan salah satu fakta menarik yang saya temukan
selama magang di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Magang di
TV stasiun daerah adalah pilihan saya sendiri. Begitu pun beberapa
kisah yang akan saya bagikan, merupakan keputusan saya sendiri.
Tapi sebelumnya, mohon maaf jika mungkin tak menyenangkan
beberapa pihak. Apa yang saya kisahkan ini hanya untuk
menunjukkan, masih banyak pekerjaan rumah untuk jurnalistik yang
lebih baik.
TV lokal ini merupakan salah satu media yang terkenal di
NTT. Jangkauan wilayah siaran pun hingga ke pelosok daerah.
Makanya, nama TV milik pemerintah ini cukup terkenal dan masih
menjadi referensi informasi beberapa pihak.
Sayangnya, ketika saya mulai magang, TV ini sedang
terkena kasus korupsi. Direkturnya tengah diperiksa Kejaksaan
terkait korupsi tersebut. Enam bulan usai magang di sana, saya
mendapat kabar, sang Direktur dan bendaharanya kini berada di
penjara.
Saya sendiri kasihan, mengapa mereka tega mengkorupsi
uang yang seharusnya bisa dipakai untuk membeli alat-alat produksi
yang lebih baik? Lihat saja kasus komputer utama yang malang itu.
Seharusnya uangnya bisa dipakai membeli komputer dengan
kualitas yang lebih baik, sehingga tak perlu terjadi kejadian berita
tak bisa tayang.
Kekurangan sarana juga dialami para kameramen. Delapan
orang kameramen harus berebut empat kamera. Alhasil, setiap hari
ada pergiliran jaga. Dalam satu hari, hanya empat kameramen yang
terjun ke lapangan. Nanti, empat kameramen berikutnya baru
diterjunkan esok hari. Coba saja uangnya dipakai untuk membeli
kamera baru. Mungkin tak ada yang perlu masuk penjara. Malahan
bisa saja TV ini mendapat pujian karena jumlah dan kualitas berita
meningkat.
Ketika magang di TV ini, saya bekerja dari pukul 09.00-
17.00 Wita. Terkadang saya juga meliput di malam hari. Uniknya, di
sini tak ada hari libur, ini berlaku bagi semua reporter. Bahkan di
tanggal merah pun, diwajibkan masuk meski hanya setengah hari.
Namun, satu liputan tak hanya menghasilkan satu berita.
Satu liputan bisa untuk lima berita. Bahkan, seorang redaktur saya
sepertinya membuat hingga belasan berita dari satu liputan, luar
biasa! Maka tak heran, terkadang gambar yang sama diulang
berkali-kali dalam beberapa berita. Tak heran juga, meski masuk
setiap hari, tapi bisa saja tak ada liputan di hari itu.
Uniknya lagi, semua hal bisa dijadikan bahan berita.
Pernah suatu kali saya diminta membuat berita oleh pimpinan di
sana. Mau tahu bahan beritanya? Sebuah video berdurasi sekitar satu
menit tentang persiapan hari besar salah satu daerah di Indonesia.
Maklum, si pimpinan berasal dari daerah tersebut. Video itu benar-
benar hanya berisi wajah si terwawancara, tanpa gambar lain. Tentu
saja tak saya kerjakan.
Setiap hari Minggu, di TV selalu ada berita tentang
kebaktian di sebuah gereja. Berita tersebut berisi kutipan khotbah.
Namun ada lagi acara kerohanian yang juga tayang pada hari yang
sama. Saya sendiri tak bertanya banyak apa alasan di balik berita
rutin tentang kebaktian tersebut mengingat mayoritas masyarakat
NTT adalah nasrani.
Praktik amplop juga masih kental. Sering kali ketika
liputan, beberapa narasumber dengan terang-terangan memberikan
amplop. Bahkan untuk mengundang TV ini meliput kegiatan
mereka, ada tarifnya. Tarif itu sudah menjadi standar di TV tersebut.
Tarif itu belum termasuk ‘uang capek’ reporter dan supir. Entahlah
apakah TV lain juga melakukan hal serupa atau tidak.
Masalah independensi media juga menjadi pertanyaan saya
selama magang. Beberapa reporter umumnya dekat dengan beberapa
pejabat dari daerah tertentu. Kedekatan itu terjalin saat mereka
membuat feature TV mempromosikan potensi dan kegiatan di suatu
daerah di NTT. Sayangnya, ketika ada berita dari kontributor yang
memojokkan daerah tersebut, si reporter akan menyabotase
penayangan berita itu.
Saya sendiri pernah melihat salah satu berita dari
kontributor daerah dicoret dari rundown berita oleh si reporter.
Penyebabnya karena berita tersebut menjelekkan pemerintah daerah
yang terkenal dekat dengan si reporter. Padahal, isi beritanya
memang benar. Lagi pula, bukankah pers bertugas sebagai
pengawas kekuasaan?
Melihat potret kecil media di tanah kelahiran saya ini,
tentunya membuat prihatin. Kualitas informasi yang diterima
masyarakat NTT masih jauh dari ideal. Padahal kepercayaan
masyarakat pada media masih cukup tinggi.
Buktinya, usai magang, beberapa kali saya sengaja
berkunjung ke rumah kerabat sekitar pukul 17.00 Wita. Kebanyakan
dari mereka memilih channel TV tempat saya magang untuk
menonton program berita. Di beberapa tempat umum yang
memasang televisi juga menyetel acara yang sama.
Meski menurut saya kualitas berita masih jauh dari ideal,
namun kekeluargaan di antara para wartawan di sana cukup baik.
Karena jumlah wartawan tak sebanyak di ibu kota, jadi setiap kali
liputan, besar kemungkinan untuk bertemu orang yang sama.
Begitu pun di TV tempat saya magang. Ukuran kantor yang
tak besar membuat kesempatan bertemu dengan orang yang sama
menjadi lebih sering. Namun, meski kebanyakan karyawan berusia
sekitar 20 tahun di atas saya, mereka merupakan lawan bicara yang
menyenangkan.
Beberapa reporter dan kameramen juga memiliki kisah-
kisah yang menarik. Mendengarkan dan mengeksplorasi kisah
mereka selalu menjadi aktivitas favorit saya. Ada yang dulunya
merupakan orang buangan dari Timor Leste, istri pendeta, bahkan
ada yang mantan preman Tanah Abang.
Untungnya hati si mantan preman Tanah Abang ini tak
segarang tampangnya. Ia pun orang yang selalu mau belajar. Tak
heran, dulunya ia hanya supir di TV ini. Namun karena kemauannya
untuk belajar, jabatannya naik menjadi kameramen. Semoga saja
semangat belajar ini juga menular pada reporter dan kameramen lain
terutama dalam menghasilkan berita yang lebih berkualitas.
Semoga.
Jatuh Cinta dengan Profesi Wartawan Kesehatan
Oleh: Odelia Sinaga
artawan Humaniora? Wah seperti apa ya?”
Pertanyaan tersebut berputar-putar di
kepalaku saat diberitahu bahwa saya akan
bergabung di desk Humaniora.
Hari itu, Senin 14 Januari 2013 di mana saya dan beberapa
teman Jurnalistik 2009 mulai masuk sebagai wartawan magang di
Harian Media Indonesia. Magang sebagai wartawan untuk
memenuhi salah satu mata kuliah di jurusan tercinta kami ini, mata
kuliah job training. Pemilihan desk yang secara acak membuat saya
terpilih dengan suksesnya menjadi wartawan humaniora. Dipikiran
saya saat itu, wah baguslah setidaknya humaniora itu mencakup isu-
isu sosial dan pendidikan. Akan tetapi ternyata semua tidak sesuai
dengan apa yang saya pikirkan.
“Mari, kamu saya antar ke ruangan asisten redaktur (asred)
kesehatan.” ujar asred pendidikan.
“Apa? Kesehatan?” kataku dalam hati, “Mati mati, kok jadi
di kesehatan?” pikirku dengan jantung yang sudah tak karuan.
Jujur sebelum memulai jobtraining, saya kurang
mengindahkan isu kesehatan. Ketika membaca koran atau majalah,
berita kesehatan hanya saya baca sekilas bahkan sering judulnya
“W
saya lewatkan. Berita kesehatan kurang menarik perhatian saya
karena yang dibahas biasanya serius dan banyak istilah medis yang
jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari.
Ruangan yang saya masuki tidak terlalu besar, terdiri dari
beberapa meja dengan komputer di atas meja tersebut. Suasana
sangat tenang ditambah dengan udara dingin akibat AC yang
menurut saya dinyalakan dengan temperatur yang tidak santai. Saya
pun langsung diperkenalkan dengan seorang perempuan
berkerudung yang saat itu sedang sibuk mengetik dan tidak
menyadari kedatangan kami.
“Mbak Eni, ini ada anak magang, di kesehatan aja dulu
kata Mbak Cici,” ujar Asred Pendidikan, Mas Sidik. Dia pun
menoleh dan melihat ke arah saya, “Oh iya, oke!” ujarnya sambil
tersenyum. Saya pun langsung memperkenalkan diri kepada Asred
Kesehatan Media Indonesia, Mbak Eni Kartina. Setelah perkenalan
singkat seputar pribadi saya dan apa yang telah saya kerjakan di
kampus dan hal-hal apa saja yang menarik perhatian saya, tiba-tiba
satu pertanyaan yang paling saya hindari terucap,
“Menurut kamu nih, berita kesehatan itu seperti apa sih?
Coba ceritain ke saya,” tanyanya sambil tersenyum. “Aduh akhirnya
ditanyain juga pertanyaan ini.” pikirku.
Setelah sukses menjawab dengan jawaban yang berputar-
putar entah ke mana, saya pun diperbolehkan pulang dan menunggu
jadwal liputan yang akan dikirimkan via email untuk esok harinya.
Malam itu, saya terus stand by melihat email dan deg-degan pasti,
tak sabar menunggu liputan apa yang akan saya lakukan pertama di
desk kesehatan ini. Selain itu saya juga merenung, kehidupan saya
selama magang di Media Indonesia akan berubah, bacaan dan
pengetahuan saya tentang kesehatan harus mulai diisi.
Akhirnya email dari asred pun datang dan ternyata liputan
perdana saya meliput ke Depok di Fakultas Farmasi, Universitas
Indonesia mengenai sidang promotor disertasi yang membahas
masalah penyebab DBD dan cara yang paling efektif untuk
menanganinya. Saat membaca undangan dari Humas Farmasi UI
yang dilampirkan asred, saya membaca agak memicingkan mata,
karena apa? Bahasa disertasi tersebut benar-benar bahasa ilmiah.
Kehidupan saya pun berubah, maksudnya kehidupan
liputan saya. Di mana mau tak mau, suka tak suka selama 45 hari
kerja harus bergelut dengan dunia kesehatan, dengan isu-isu
kesehatan yang selama ini bukan menjadi fokus dan ketertarikan
saya. Istilah-istilah kesehatan, ya itulah yang akan menjadi makanan
saya sehari-hari. Awal liputan kesehatan mengenai disertasi, saya
sudah diperhadapkan dengan istilah-istilah kesehatan. Jujur cukup
membingungkan dan memusingkan apalagi istilah-istilah yang
dipakai tersebut jarang saya dengar.
Belum lagi saya harus mulai mempelajari isu kesehatan apa
yang saat ini sedang hangat diperbincangkan. Liputan kesehatan
yang saya alami selama 45 sangat berbeda dari apa yang telah saya
lakukan selama liputan untuk tugas-tugas kampus. Setiap harinya
apabila ada liputan, saya pergi dari kostan pukul 7 pagi karena
undangan atau acara yang saya liput biasanya dimulai pukul 9 atau
10 pagi. Saya mengusahakan agar tidak terlambat karena menurut
saya akan sangat menganggu fokus saya ketika liputan. Selama 45
hari saya dominan meliput tentang isu kesehatan walaupun ada hari-
hari di mana saya dialihkan untuk liputan yang bukan tentang
kesehatan.
Jenis liputan kesehatan yang saya lakukan biasanya
menyangkut undangan atau kegiatan kesehatan, seperti acara
kesehatan, yaitu peringatan hari kanker sedunia, hari gizi nasional,
dan lainnya. Ada juga liputan mengenai pembukaan fasilitas
kesehatan baru, tentang penelitian mengenai rokok, seminar
mengenai kesehatan dan tumbuh kembang anak, Penelitian Daffodil
(penelitian terkait ASI dan susu formula), teknologi penyembuhan
tumor, tentang brainwash, alat teknologi linac, wawancara dokter
untuk masalah obat kuat dan efeknya, ya kira-kira itulah yang saya
lakukan.
Satu pengalaman menarik yang saya alami adalah liputan
mengenai bedah saraf. Pada 25 Januari 2013, hari di mana saya tak
akan melupakan liputan tersebut. Hari di mana saya melihat mayat
dibedah untuk pertama kalinya. Saat itu saya mengikuti liputan
mengenai bedah saraf internasional di Fakultas Kedokteran,
Universitas Pelita Harapan. Sebelumnya saya tidak tahu sama sekali
kegiatan liputan secara rinci yang akan saya lakukan. Intinya di
undangan dan komunikasi lewat sms yang saya lakukan dengan
asred menugaskan saya untuk meliput bedah saraf internasional di
mana Indonesia sebagai tuan rumah.
Ternyata liputan tersebut adalah World Federation of
Neurosugical Societies (WFNS) yang menunjuk Indonesia sebagai
tuan rumah untuk mengadakan training education center. Di mana
kegiatan dari acara ini terbagi dua bagian, yaitu workshop dan
education course. Workshop diadakan pada 24-25 Januari 2013
yang terbagi menjadi empat bagian, yaitu Peripheral Nerve
Workshop, Endovascular, Spine, dan Microanastomosis Workshop.
Setiba di sana saya melihat roundown acara bahwa kami akan
melakukan wawancara dengan seorang dokter saraf terkenal di
Indonesia, yaitu Prof. Eka J. Wahjoepramono dan berkeliling
melihat peserta yang sedang menjalani seminar bedah saraf tersebut.
Dikatakan internasional karena bukan hanya dokter
Indonesia saja yang terlibat tapi dokter-dokter dari berbagai negara
pun ikut serta, seperti Korea Selatan, Cina, Malaysia, Singapura,
India, dan masih banyak lagi. Dan satu hal lagi yang menyenangkan
(sepertinya untuk saya saja sih) peserta seminar bedah saraf ini
adalah dokter-dokter muda yang memang akan mengambil spesialis
saraf. Hal tersebut bertujuan untuk regenerasi dokter saraf dengan
standar internasional. Jadi bisa dibayangkan dokter-dokter muda
berkumpul, cuci mata pun dimulai (salah fokus hehehe).
Akhirnya wawancara selesai, kami pun berkeliling dari
suatu ruangan ke ruangan lain dan ada juga pameran alat-alat untuk
melakukan bedah saraf. Saya pun melihat bedah ayam dan kodok
saat itu, bahkan berdiri di samping salah satu peserta agar terlihat
lebih jelas. Saat itu saya melihat dengan detail seperti apa para
dokter itu membedah, mengamati, memotong, menjahit dengan
benang yang bahkan lebih tipis dari rambut. Saya berdecak kagum
karena dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan ketelitian. Beberapa
kali dalam ruangan tersebut terdengar kata-kata “ahh”, “aduh”,
“yeay” yang semuanya memiliki arti berbeda-beda bagi mereka.
Tiba-tiba seorang humas yang menjadi pemandu kami
berkeliling mengumpulkan kami di tengah aula dan berkata dengan
santainya “Sekarang kita bersiap-siap ke lantai dua ya, di sana ada
bedah saraf punggung dan leher untuk manusia dan alat praktiknya
pakai mayat,” ujarnya sambil tersenyum. Saya yang masih terkesima
dengan bedah-bedah yang dilakukan dengan hewan tadi langsung
diam dan bertanya pada wartawan lain disebelah saya.
“Maksudnya apa mbak? Kita lihat mayat dibedah gitu?”
“Iya mayat dibedah, ihh aku mah amit-amit, males banget lihat
mayat dipotong-potong.” ujarnya “Ohh cobaan apalagi ini,” pikirku.
Humas tersebut pun menjelaskan kalau tidak mau melihat
tidak apa-apa nanti bisa kami jelaskan atau dokter yang menjadi
pimpinan di bedah mayat tersebut bisa dipanggil untuk menjelaskan.
Saat itu memang tidak banyak media yang diundang, seingat saya
hanya 6 media nasional yang diundang untuk meliput kegiatan
tersebut. Kami pun diberi waktu untuk mengambil keputusan
apakah akan meliput langsung ke dalam atau tidak. Saat itu saya
hanya diam, pengen banget liat tapi ya gimana masa iya liat mayat
langsung dibedah-bedah, masih berpikir keras sebelum
memutuskan.
Beberapa wartawan mulai memberikan masukan kepada
saya,
“Udah gak usah ikutan, aku aja gak ikutan, kamu gak
serem apalagi nanti kita pulang malam lho, gak baik liat-liat kaya
gitu,”
“Benar juga, ngapain liat mayat-mayat yang tidak aku
kenal siapa dia dibedah-bedah,“ pikirku.
Akan tetapi, rayuan terdashyat datang dari humas yang
menurut saya rayuannya setingkat dengan sales handal, “Ayo lihat
aja, kapan lagi coba? Pengalaman bangetkan? Belum pernahkan?
Lagian bisa jadi pengalaman kamu pas jadi wartawan magang
(sebelumnya dia memang mengetahui saya masih berstatus
mahasiswa dan sedang magang),”
“Gak seram-seram amat kok dan kapan lagi coba, siapatau
nanti kamu gak jadi wartawan kesehatan, saya saja juga mau lihat,”
ujarnya sambil tersenyum.
Akhirnya setelah pertimbangan yang kuat dan tekad
keberanian penuh saya pun mengatakan “Oke, aku ikut ke dalam,”
Saat itu hanya tiga wartawan yang masuk ke dalam di mana
saya perempuan sendirian, kami pun diberikan masker yang tebal
(sepertinya masker khusus) dan baju putih seperti jas lab. Kami
masuk dan sebelum sampai pintu, saya menoleh ke humas tadi dan
nanya dengan polosnya, “Lho, mas gak ikut? Katanya mau ikut?”
Lalu dengan santainya dia menjawab, “Aku engga, masih
ada kerjaan, kalian bertiga saja, semangat ya!”
“What?! Dia melanggar perjanjian! Apa-apaan ini!,”
pikirku tapi sudah terlanjur dan pintu dibuka dengan pemandangan
yang akan saya deskripsikan tentunya.
Pintu terbuka lebar dan di sana saya melihat para dokter
sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang diskusi, ada yang
sedang ya berdekatan dengan mayat, ada yang di depan laptop, dan
ada juga yang menyambut kami di mana beliau adalah pimpinan di
ruangan tersebut, dr. Ronny Setiawan, SpBS. Pemandangan kedua
ya sudah pastilah, ada lima mayat dengan posisi tengkurap dan alat-
alat bedah di samping mayat tersebut. Mayat tersebut sudah dibedah
dengan bagian punggung dan leher yang terbuka ya terbuka.
Jujur pertama kali melihat keadaan yang seperti itu seram
tapi penasaran juga. Dengan memberanikan diri, saya mendekati
salah satu dokter yang sedang asik memotong-motong saraf di
punggung yang telah dibuka tadi. Dokter itu pun menoleh ke saya
sambil berkata,
“Mbak yang mau liputan ini ya, wah sini lihat lebih dekat
mbak biar jelas atau mau coba?” ujarnya santai sambil menyodorkan
pisau dan gunting bedah.
“Gila!” pikirku seketika. “Hah? Wah gak usah dokter, saya
lihat saja deh, nanti salah-salah lagi,” kataku berdiplomasi.
Selama berada di ruangan bedah mayat tersebut, saya
memperhatikan setiap dokter yang sangat serius membedah mayat-
mayat yang ada di depannya sambil sekali-kali berdiskusi. Tangan
mereka sangat lincah memegang alat-alat bedah dan tanpa ragu
mengutak-atik bagian punggung dan leher mayat tersebut. Kami,
wartawan yang masuk ke ruangan diberikan penjelasan oleh dr.
Ronny Setiawan selaku ketua tim bedah saraf punggung dan leher,
apa yang sedang mereka lakukan dan tujuan untuk bidang
kedokteran spesialis saraf ke depannya.
Spine Workshop yaitu mengenai pembedahan tulang
punggung. Workshop mengenai tulang punggung ini diikuti oleh 17
peserta dan 12 instruktur dari berbagai negara, seperti Spanyol,
Amerika Serikat, dan lainnya. “Operasi untuk tulang punggung ini
dilakukan juga dari bagian tulang leher depan, leher belakang, dan
punggung. Operasi ini biasa dilakukan untuk mereka yang
mengalami penuaan saraf pada tulang punggung atau apabila
mengalami kecelakaan,” ujarnya.
Dan saya baru tahu bahwa kelima mayat yang digunakan
sebagai alat praktik bukan milik Fakultas Kedokteran UPH tapi
dipinjam dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. “Nanti mayat-
mayat ini selesai dipakai, diperbaiki lagi, punggung dan leher dijahit
baru dikembalikan lagi ke Bandung,” tambahnya. “Kami tidak
mendapat izin untuk memiliki mayat ini.”
Selesai melihat dan melakukan wawancara di dalam
ruangan, akhirnya kami bertiga dapat terlepas dari harum semerbak
formalin. Kami pun segera diantar ke ruangan di mana tiga
wartawan lainnya menunggu. Mereka ternyata sedang asik
menikmati sajian makanan sambil bercengkrama dengan indahnya
bersama humas tadi. Melihat kedatangan kami, humas tersebut
langsung menyambut kami dan segera memberikan instruksi kepada
salah satu pelayan untuk menyajikan sejenis minuman herbal. Kami
duduk dan langsung dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan dari ketiga
wartawan yang tidak ikut masuk tadi.
“Gimana Del, wawancara apa aja? Kondisi mayat gimana,
masih dibedah-bedah gak?” ujar mereka.
“Mbak mau tau banget, lihat sendiri aja mbak, seru kok,
nyesel loh mbak gak ikut ke dalam, mayatnya ada yang cakep
mbak” ujar saya sambil tertawa.
“Dasar kamu ya!” ujar salah satu wartawan.
Akhirnya minuman yang dipesan tadi datang, setelah saya
lihat sejenis teh tapi baunya harum dan menyegarkan. Jujur bau
formalin itu memang masih melekat di hidung saya dan kepala
pusing karena formalin yang digunakan sangat banyak, pakai
masker tebal tapi bau formalin masih tercium. “Ayo langsung
diminum tehnya, ini teh yang suka diminum dokter-dokter di sini
kalau habis operasi dan sudah mencium banyak bau-bau aneh dan
menyengat,” ujar humas tersebut. Kami pun langsung meminum teh
tersebut dan memang baunya yang khas, lumayan membantu
menghilangkan bau formalin yang masih melekat tadi.
Tiba-tiba, salah satu wartawan yang tadi ikut masuk
bersama saya izin ke kamar mandi dan cukup lama dia berada di
sana. Setibanya di meja tempat kami berkumpul, kami melihat dia
dalam kondisi lemas dengan muka yang agak pucat,
“Gue muntah dong, gila mual banget!” ujarnya lemas.
Kontan kami tertawa melihat ekspresi wajahnya yang sedih
dan cemberut. Selama satu hari kami berada di sana, berkeliling,
mewawancarai, meliput untuk dijadikan berita. Akhirnya kami
selesai dan pulang ke tempat kami masing-masing. Malam hari pun
tiba dan ternyata saya sama sekali tidak bisa tidur nyenyak.
Kejadian tadi siang dan wajah mayat-mayat yang saya lihat tadi
berputar-putar di kepala saya, sungguh sangat menganggu dan ya
meresahkan, seingat saya menjelang subuh mungkin saya baru bisa
terlelap.
Pengalaman melihat bedah mayat tersebut menjadi hal
yang tidak akan saya lupakan selama saya menjadi wartawan
magang. Mungkin tidak akan saya dapatkan lagi untuk ke depannya.
Karena itu, satu hal yang saya pikir kembali bahkan sampai saya
menulis kisah ini adalah saya tidak pernah menyesal mengambil
keputusan untuk ikut melihat proses pembedahan mayat tersebut.
Pengalaman tersebut menjadi salah satu pengalaman dari
banyak liputan yang saya jalani selama magang sebagai wartawan
kesehatan. Semua liputan kesehatan yang menurut saya pribadi
sangat mengesankan. Kesulitan saya dengan istilah-istilah medis dan
liputan yang terkadang serius ternyata lama-kelamaan saya nikmati.
Status walau hanya sebagai wartawan magang dengan tanggung
jawab di kampus dua sks sama sekali tidak saya rasakan selama
magang. Intinya, saya menikmati setiap proses liputan selama
magang walau pasti dibayar dengan kelelahan dan pikiran yang
capek.
Berinteraksi dan bergaul akrab dengan isu kesehatan
membuat saya semakin mengerti mengapa isu ini semakin dicari
oleh khalayak penikmat media massa dan seiring dengan hal
tersebut media semakin gencar menyajikannya, baik media cetak,
elektronik, maupun online. Karena satu hal yang pasti, isu kesehatan
sangat dekat dengan kehidupan seseorang, menyangkut kondisi jiwa
dan raga yang dimiliki seseorang, dan sangat penting untuk dijaga.
Bukankan kesehatan itu di atas segala-galanya?
Meet The Legends, Love These Game!
Oleh: Damar Iradat
ebagai pecinta sepak bola, melihat sosok-sosok terkenal
dengan status legenda di atas lapangan hijau merupakan
sebuah impian. Apalagi jika legenda lapangan hijau itu
berasal dari negeri yang jauh, negeri sepak bola, Inggris.
Beruntung, bagiku impian itu akhirnya menjadi nyata. Lewat praktik
kerja lapangan atau yang terkenal dengan job training di kalangan
mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran, aku berhasil menemui mereka semua.
Selama job training di tabloid Soccer, aku sempat bertemu
beberapa pemain sepak bola seperti Boaz Salossa, Greg Nwokolo
serta legenda-legenda hidup permainan yang paling digemari di
dunia itu, sebut saja Ian Rush, mantan penggawa Liverpool era 80-
an, Peter Schmeichel, mantan penjaga gawang Manchester United
yang melegenda, dan Freddie Ljungberg, mantan winger nyentrik
milik Arsenal. Pengalaman-pengalaman itu sangat berkesan bagiku,
apalagi bisa mewawancarainya, melihatnya dari dekat saja sudah
membuatku gembira.
In a Rush with Ian Rush
Bagi para pendukung Liverpool, sosok Ian Rush
merupakan legenda hidup mereka yang wajib disaksikan aksinya.
S
Mantan pemain Liverpool era 80 s.d 90-an itu merupakan striker
subur di masa keemasan. Bertemu dengan pria asal Wales itu secara
langsung pun tak pernah bisa dibayangkan oleh orang biasa. Bagi
para The Kop, sebutan fans Liverpool, bertemu seorang Ian Rush
merupakan sebuah impian. And I’m the lucky bastard who did it!
Bertemu Ian Rush bukanlah seperti dalam benak yang
kubayangkan. Sialnya, kejadian itu terjadi begitu saja pada 25
Februari 2013 silam. Menjalani proses Praktek Kerja Lapangan atau
yang lebih dikenal dengan sebutan job training, aku memilih
menjalani proses tersebut di sebuah tabloid sepak bola yang sudah
memiliki nama besar, Soccer. Dari situlah aku bisa bertemu banyak
pemain-pemain sepak bola atau legenda lainnya. Ian Rush yang
biasanya hanya bisa kusaksikan lewat layar kaca atau dari dunia
maya.
Kembali ke cerita tentang liputan mengenai sosok Rush,
hari itu datang ke kantor tabloid Soccer yang terletak di kawasan
Kebon Jeruk, Jakarta Barat tanpa tahu akan ada agenda mengenai
liputan Rush. Namun, tiba-tiba editor sekaligus pembimbing saya di
SOCCER, Kang Jalu memintaku menemani dirinya ke Mall
kawasan Senayan. Biasanya, aku memang liputan bertandem dengan
wartawan asli, dan kali itu langsung liputan bersama editor senior
dalam tabloid sepak bola nomor satu di Indonesia.
Sebelum diajak oleh Kang Jalu, aku tak tahu menahu jika
Rush akan ada agenda mengunjungi Indonesia. “Mar, lo ikut gue,
kita liputan pembukaan gerai Liverpool sama Garuda Indonesia di
Sency (Senayan City),” katanya. Sebagai anak magang atau PKL,
setiap diajak liputan aku selalu senang dan ternyata kali ini benar-
benar pengalaman yang sangat luar biasa.
Saat itu dipikiranku, pembukaan gerai tersebut hanya akan
didatangi oleh orang-orang penting dari Garuda dan dewan direksi
Liverpool yang mengurus hal tersebut. Ternyata, saat ngobrol-
ngobrol dengan wartawan lain di tempat acara, Ian Rush memang
dijadwalkan datang ke Indonesia dan melakukan coaching clinic
pada Rabu, 26 Februari. Ternyata, Rush datang lebih cepat untuk
menyapa penggemarnya. Sesaat sebelum acara konferensi pers
peresmian gerai resmi Garuda Indonesa dan Liverpool FC, Rush
tiba-tiba masuk dan menyapa para awak media yang sudah hadir
dari siang. Aku pun terpana dan bergumam dalam hati “Wow!
Kampret! Ian Rush asli depan mata gue!”.
Rush sempat berkomentar sedikit mengenai kerja sama
antara pihak Garuda Indonesia dan Liverpool. Maklum, Rush
sendiri merupakan ambassador untuk Liverpool. Jadi, tidak aneh
jika dia ternyata sering bolak-balik Inggris-Indonesia untuk
membawa nama Liverpool. Setelah acara selesai, aku dan Kang Jalu
kembali ngobrol-ngobrol soal lain, ternyata aku langsung
ditugaskan untuk liputan coaching clinic bersama Rush besoknya!
Ini mungkin merupakan sebuah tanggung jawab yang paling
menyenangkan selama aku melakukan job training di sana.
Esok harinya, aku bersiap-siap dan bangun lebih pagi dari
biasanya. Tentu saja, hari yang paling ditunggu-tunggu itu tak boleh
terlewatkan, apalagi karena ketiduran. Berangkat dari rumah, aku
pergi ke kantor terlebih dahulu untuk mendapatkan arahan lebih
jelas. Setelah itu, berangkat ke kantor Garuda Indonesia untuk
dijemput. Garuda menyediakan bis untuk para wartawan ke tempat
coaching clinic yang digelar di Cengkareng, tepatnya komplek
olahraga milik maskapai terbesar Indonesia itu.
Sesampainya di venue sudah banyak berkumpul para
wartawan dan komunitas Big Reds Indonesia (sebutan fans
Liverpool). Kami semua menunggu lumayan lama, memang
sebenarnya kedatangan kami terlalu dini dari jadwal yang sudah
ditetapkan oleh pihak panitia. Selama menunggu, para tamu
undangan dijamu dengan makanan mewah, di sela-sela itu, aku
seorang diri dari tabloid SOCCER, dan status hanya sebagai anak
magang. Beruntung, ketika sedang makan, seorang wartawan senior
melihat kartu magangku dan diajak ngobrol. Tak disangka, yang
mengajak ngobrol itu satu almamater denganku, aku lupa namanya,
tapi yang pasti dia adalah alumni Jurnalistik Fikom Unpad angkatan
1991. Dari situ aku juga dikenalkan oleh alumni Jurnalistik lainnya,
seorang perempuan angkatan 2003. Betul-betul menyenangkan bisa
bertemu angkatan-angkatan atas dari almamater yang sama.
Kembali ke cerita tentang Rush, akhirnya eks striker yang
mencetak 229 gol selama berseragam The Reds itu kembali ke atas
lapangan. Meski usianya kini sudah menginjak angka 52 tahun, skill
Rush di atas lapangan masih membuat terpana orang-orang yang
hadir. Selain memberikan materi-materi dasar cara bermain
Liverpool, dia juga ikut bermain di lapangan futsal dalam beberapa
pertandingan.
Setelah duet Kenny Dalglish di Liverpool itu ‘pamer’ skill
di atas lapangan, para awak media pun langsung menghampirinya.
Aku tidak langsung menghampiri keramaian tersebut. Aku hanya
menyaksikan para wartawan dari media elektronik
mewawancarainya. Aku menunggu kondisi untuk wawancara one
by one dengan sosok seperti Rush. Akhirnya, kondisi tersebut
datang, berbicara langsung dengan legenda sepertinya membuat
jantungku berdegup cepat, salah-salah kata pasti malu, keringat pun
berkucur deras dari atas kepalaku, selain karena gugup, arena futsal
tersebut memang terbilang panas.
Wawancara orang bule langsung dan statusnya sudah
melegenda, siapa yang tak gugup? Apalagi dia berasal dari Wales,
masih masuk dalam wilayah Britania Raya. Aksen bicara orang
Wales memang serupa dengan aksen British yang terkenal sulit.
Beruntung, wawancaraku dengan mantan striker Liverpool dan
Juventus itu berjalan lancar.
The Great Dane dan Ljungberg
Bagi para pecinta sepak bola, haram hukumnya untuk tak
mengenal mantan penjaga gawang Manchester United, Peter
Schmeichel. Ya, sosok Schmeichel tak bisa dilupakan begitu saja
dari dunia si kulit bundar. Tahun 1998-199 menjadi tahun penting
bagi dirinya, bersama The Red Devils, Schmeichel meraih treble
winners yang bersejarah.
Beruntung bagiku bisa melihat secara langsung Schmeichel
dengan mata kepala sendiri. Bertempat di sebuah mall kawasan
Kuningan, Jakarta Selatan aku ditugaskan untuk meliput konferensi
pers kerja sama antara produk ban dengan klub sekelas Manchester
United. Datang ke tempat lebih awal membuatku mencari-cari
tempat konferensi tersebut. Sialnya, aku pertama kali datang ke mall
tersebut, alhasil membuatku berhasil nyasar di dalam mall tersebut
sebelum datang ke tempat konferensi pers. Beruntung, aku datang
lebih dulu, jadi selama satu jam nyasar tidak membuatku
ketinggalan acara tersebut.
Melihat sosok The Great Dane membuatku cukup terpana.
Tak bisa mewawancarai langsung seperti Ian Rush memang, tapi
melihatnya dengan mata kepala sendiri saja sudah membuatku puas
bisa melihat langsung seorang kiper legendaris The Red Devils.
Perawakannya tinggi besar, pantas dia mahir menjaga gawang
Manchester United. Dia juga sempat bercerita bahwa Jakarta
merupakan kota yang macet dan sangat bising, ya, Schmeichel yang
baru sekali ke Jakarta saja bisa berujar begitu, mungkin para
Jakartans sudah terbiasa menghadapi itu semua, tidak seperti
dirinya.
Selang sebulan, aku kembali dikirim ke konferensi pers,
kali ini, acaranya tentang menyambut kedatangan klub asal London
Utara, Arsenal. Tahun 2013 memang menjadi tahunnya para klub-
klub Inggris menyambangi fans mereka di Indonesia. Dahaga para
pendukung yang telah merindukan sosok-sosok mereka di atas
lapangan kini bisa disaksikan langsung. Setidaknya ada tiga klub
besar Inggris yang hadir di Jakarta pada tahun 2013, diawali oleh
The Gunners, kemudian ada klub Inggris dengan sejarah yang besar,
Liverpool, serta Chelsea dengan manajer nyentrik-nya, Jose
Mourinho.
Kebetulan, acara yang kudatangi di daerah selatan Jakarta,
tepatnya kawasan GOR Bulungan digelar acara konferensi pers
kedatangan Arsenal. Seorang legenda mereka pun turut hadir dalam
acara tersebut. Bagi para Gooners pasti tahu sosok ini, pria asal
Swedia yang kerap gonta-ganti warna rambut dan identik dengan
nomor punggung 8 saat masih membela Arsenal. Ya, dia tak lain
adalah Karl Frederik “Freddie” Ljungberg.
Sama seperti konferensi pers lainnya, aku tak bisa
mewawancarai satu lawan satu dengan Ljunbgerg. Sosoknya ramah,
dia selalu tersenyum saat disapa oleh para penggemarnya. Dia juga
tak menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para awak
media yang hadir. Setelah acara konferensi pers, dia menyempatkan
diri untuk bermain futsal dalam GOR Bulungan. Riuh suasana ramai
pun bergema dalam lapangan tertutup itu. Meski kondisi fisiknya
menurun karena digerogoti umur, tapi keahliannya mengolah si kulit
bundar masih apik.
Tiga pengalaman di atas hanya merupakan sebagian kecil
kisah-kisahku ketika menjalani masa jobtraining di tabloid Soccer.
Selain Rush, Schmeichel, dan Ljungberg, aku juga memiliki momen
unik. Saat itu masih dalam acara konferensi pers kehadiran mantan
bintang pesepak bola Premier League. Di sebuah hotel bilangan
Senayan, saat menunggu kehadiran bintang-bintang tersebut, aku
yang tidak tahan untuk buang air kecil terbirit-birit pergi ke WC,
saat asyik-asyiknya mengeluarkan air seni, tiba-tiba di sebelahku
ada seorang bule yang juga ikut buang air kecil. Tanpa
mempedulikan sang bule, aku menyudahi, ternyata oh ternyata,
setelah keluar dari WC baru sadar bahwa bule yang buang air kecil
di sebelahku tadi adalah sosok Steve McManaman! Mantan pemain
Liverpool era 90-an dan bintang Real Madrid saat menjuarai Liga
Champions tahun 2002.
Selain para legenda itu, aku juga mendapatkan kesempatan
emas bertemu dengan mantan-mantan bintang lapangan hijau asal
Indonesia, sebut saja Ricky Yakobi, Ponaryo Astaman, Nur’Alim.
Aku juga mewawancarai langsung striker naturalisasi tim nasional
Indonesia, Greg Nwokolo, makan malam bareng staf dan para
pemain Arema Cronus yang saat itu masih dilatih oleh Rahmad
Darmawan.
Mungkin, pengalamanku mengenai bidang jurnalistik saat
melakukan jobtraining tidak semenarik teman-temanku yang lain.
Mereka mungkin akan menceritakan betapa ‘hitamnya’ dunia
jurnalistik ataupun politik Indonesia. Tapi, bagiku pengalaman di
tabloid Soccer adalah hal paling luar biasa. Menemui idola masa
kecil, lebih mengenal olahraga yang paling digemari di seluruh
dunia, membuatku ‘orgasme’. Ada satu hal penting yang kupelajari
dari sepak bola, bahwa permainan indah dan simpel ini menyimpan
berbagai filosofi hidup. Kita semua akan mengerti saat kita benar-
benar memerhatikan sepak bola dan hidup tidak hanya dari satu sisi.
Arrivedercci!
Saksi Pembebasan Babakan Siliwangi (2)
“Pemerintah Musuh Bersama Warga”
Oleh: Afif Permana Aztamurri
iga April 2013 ialah hari terakhirku berkontribusi untuk
Republika Jawa Barat sebagai “Wartawan 4 SKS” alias
mahasiswa job training. Setelah itu aku harus ngelanjutin
ke job training elektronik. Tapi, waktu berkata lain. Aku
harus menunda melanjutkan job training karena kuliah perbaikan
nilai semester itu dan menemani paman yang datang ke Jakarta buat
berobat.
Sebulan tak melanjutkan job training bukan berarti kasus
Babakan Siliwangi harus hilang dari pantauanku. Kasus ini sangat
berkesan karena bisa melihat fenomena persatuan warga Kota
Bandung dalam hasrat menjaga kota tercinta itu. Tak hanya itu, saat
aku baca sejarahnya, kasus ini cukup rumit dan menyangkut
persoalan politik praktis. Cukup perhatiin blog
savebabakansiliwangi.wordpress.com, aku bisa tau banyak hal
tentang Baksil yang berkembang Sob!
Beruntung ketika melanjutkan tugas sebagai “Wartawan 4
SKS” di Radio PR FM Bandung pada bulan Mei, aku diinstruksikan
T
buat meliput kelanjutan aksi penolakan komersialisasi Babakan
Siliwangi. Jelas ini suatu tantangan yang menyenangkan bagiku
yang sudah mengikuti perkembangan kasus Babakan Siliwangi yang
kembali panas tahun 2013 itu. Sebelum Wali Kota Bandung Dada
Rosada akan dicopot dari jabatannya karena korupsi.
Minggu itu (19/5/2013) aku mendapat instruksi dari
redaktur online PRFM, Kang Cecep, buat meliput aksi di Babakan
Siliwangi esok hari. Aku semangat. Tapi, satu hal yang sangat
disayangkan, aku harus datang ke lokasi jam 8 pagi. Jujur itu hal
yang paling sulit bagiku. Tapi, demi nilai dan pengalaman, aku
harus rela susah payah bangun pagi-pagi dan melawan kemacetan
Bandung di Senin pagi.
Pagi itu aku sampai di sana, telat satu jam dari jam yang
diinstruksikan. Tapi tak masalah, karena aksi belum dimulai. Pukul
09.30 WIB, semua massa yang hadir mulai bergerak, berkumpul
pada satu titik. Perlahan, aksi dimulai dengan pembukaan oleh
seorang tokoh yang tak kukenal dan lupa bertanya siapa orangnya.
Maaf, ini memang satu hal yang salah dan tak pantas ditiru. Tapi
aku tahu, orang tersebut dari Komunitas Sundawani, sebuah
kelompok yang fokus memperhatikan masalah-masalah yang terjadi
di tatar Sunda.
Terpal pun dibentangkan di Babakan Siliwangi dan
menjadi wadah berbagai alat dan bahan pembacaan doa. Semakin
lama, semakin ramai saja. Berbagai doa diucapkan, komat-kamit
dalam bahasa Sunda. Penuh semangat! Bergantian dan saling
menambahkan doa. Ribuan doa terpancar untuk keselamatan
Babakan Siliwangi yang seakan dimuliakan oleh warga Kota
Bandung.
Selepas setengah jam lebih berbagai doa dipanjatkan,
datang seorang veteran Kota Bandung. Dialah Solihin GP, begitu
dihormati, begitu dirindukan. Ia pun ikut berdoa, doa yang
menggebu-gebu, serta himbauan yang menyemangati warga Kota
Bandung untuk senantiasa membela kota ini dari tangan-tangan
penguasa yang tidak bertanggung jawab. Di usianya yang ke-87 ia
masih semangat dan mampu membakar semangat massa yang
semakin meramaikan kawasan tersebut.
“Jangan kesal pada Dada, jangan marah pada Dada,
tangkap saja Dada Rosada!” Demikian salah satu teriakan bergetar,
tapi penuh semangat dari Gubernur Jawa Barat periode 1970-1974
tersebut.
Orasi sang veteran diakhiri dengan menyalanya sebuah
mobil yang ternyata digunakan untuk berorasi oleh tokoh-tokoh
lainnya. Hampir satu jam, waktu kembali digunakan untuk berorasi,
membakar semangat. Bahkan semangat para wartawan yang ingin
menyuarakan suara rakyat dan suara alam. Diawali oleh Ketua
Walhi Jawa Barat, Dadan Sutisna, bahkan artis nasional dari
Bandung pun, Acil Bimbo, turut menjadi perpanjangan suara rakyat.
“Mari kita bongkar seng yang merusak keindahan Baksil!
Mari kita datangi Pemkot Bandung!” Demikian teriakan dilontarkan
silih berganti untuk membakar semangat massa.
Massa pun keluar area Babakan Siliwangi, siap menuju
“persemayaman” Pemerintah Kota Bandung. Arak-arakan dimulai
perlahan dan diawali dengan membongkar seng yang menutupi
pagar hutan Babakan Siliwangi tersebut yang beberapa bulan lalu
dilukis oleh warga sebagai bentuk aksi protes. Semua seng
dibongkar. Bahkan Solihin GP pun ikut membongkar seng tersebut.
“Jika harus ada yang dipenjara, biarkan saya yang
dipenjara. Udah tua ini…,” ujarnya dengan semangat yang terus
membara dan semakin berani membela kesejahteraan Kota
Bandung.
Arak-arak pun berjalan. Dadan Sutisna dan Acil Bimbo
berada di baris terdepan dengan berjalan kaki. Ratusan massa ikut
arak-arakan tersebut, dari warga biasa, seniman, hingga tokoh
masyarakat. Tak lupa seng yang berhasil dibongkar dibawa untuk
‘dilempar’ pada wajah sang penguasa yang tamak di kota ini. Tisna
Sanjaya, sang ketua Forum Warga Peduli Babakan Siliwangi, tetap
memegang TOA dan berorasi di atas mobil pick up yang
menampung seng-seng tadi. Di barisan paling belakang, arak-arakan
seni tradisional warga turut meramaikan.
Jalanan-jalanan Kota Bandung (Jalan Siliwangi, Jalan
Tamansari, Jalan Sumur Bandung, Jalan Ir H Djuanda hingga Jalan
Wastu Kencana) terpaksa harus dikeluhkan masyarakat karena
macet total waktu itu. Sekitar satu kilometer ruas jalan dipenuhi
arak-arakan menuju Balai Kota. Ini jadi awal pergerakan keras dari
warga menuntut penolakan komersialisasi Babakan Siliwangi oleh
Pemkot Bandung dan mencabut pemberian izin mendirikan
bangunan yang diberikan kepada PT EGI. Sudah kukatakan, ini
sejarah!
Aku di sana sempat mengirimkan beberapa berita buat situs
online PRFM.Ternyata Redaktur Pelaksana PRFM, Kang Basith,
melihat aksi itu semakin gede dan semakin ramai. Redpel yang juga
jadi dosen di kampusku itu akhirnya meneleponku dan memintaku
buat laporan langsung. Buset! Itu adalah laporan langsung
pertamaku di siaran radio yang bakal didengar warga Kota Bandung.
“Halo fif, sekarang bagimana keadaan di sana, Fif?” tanya
Kang Basith.
“Sekarang massa baru berjalan keluar area Baksil dan akan
berjalan menuju kawasan Balai Kota Kang.”
Aku kira saat ditelpon pertama itu aku udah laporan
langsung onair dari lokasi. Aku agak gugup saat menjelaskan ke
Kang Basith dengan bahasa yang sedemikian terstruktur rapi.
Padahal tidak! Itu baru awal, Kang Basith menanyakan keadaan
terbaru di kawasan Babakan Siliwangi. Aku sudah terlalu berharap
dan berfirasat kalau aku akan diinstruksikan menyampaikan laporan
langsung. Ternyata tidak. Kalau kata anak zaman sekarang tuh, PHP
(Pemberi Harahap Palsu)!
“Fif, kamu laporan langsung ya. Cari penanggung jawab
aksi itu atau orang yang kredibel buat diwawancarain langsung.
Oke? 10 menit lagi saya telpon lagi.”
Tapi ternyata bukan PHP juga, ternyata HARAHAP (Eh
Harapanku Terkabul)! Aku merasa paling gugup banget kalau harus
ngobrol buat laporan langsung, tapi aku suka dan sudah coba-coba
sih sendirian. Hehehe.
Setelah instruksi itu, aku lari ke sana ke mari buat nyari
siapa orang yang kredibel buat diwawancarai. Awalnya aku mikir
mau wawancara Acil Bimbo, tapi kayanya susah, karena dia
dibarisan depan terlihat senantiasa ngobrol dengan ‘senior-senior’
lainnya. Kemudian aku melirik Kang Tisna Sanjaya, tapi dia juga
sibuk orasi di atas mobil. Akhirnya kuputuskan mewawancarai
Kang Dadan Sutisna, Ketua Walhi Jabar.
Sepuluh menit waktu mencari narasumber berlalu. Telepon
selularku bunyi lagi. Kang Basith menelepon lagi. Mental udah
dikumpulin. Tak pernah sekuat ini mentalku dalam laporan langsung
radio karena ini yang pertama.
“Halo Kang!”
“Fif, kamu udah dapat narasumbernya?”, tanya Kang
Basith.
“Udah, Kang. Kang Dadan Sutisna. Ketua Walhi Jabar.
Lagi di samping sekarang, Kang.”
“Oh oke Fif, setelah iklan kamu akan disapa ya. Ini
announcer-nya Dona. Oke, siap Fif?”
Dalam hatiku langsung menggerutu, “Yailah Kang, malah
nanya Gua siap atau gak, makin georgi dah Gua..!”
“Oke Kang, tapi nanti yang wawancara announcer dulu aja
gimana Kang?” Aku nemuin solusi mengatasi kegagalan tanpa
persiapan.
“Oh iya boleh kalau mau begitu. Sekarang siap Fif?
“Siap kang!”
0*^#^6#^$#*$%#%444^*675*7 (anggap saja itu iklan)
“Saat ini kami telah terhubung dengan kontributor PRFM
di kawasan aksi Babakan Siliwangi. Halo selamat siang Afif,”
sapaan Teh Dona ini cukup menambah kegemataran sekaligus
menjadi awal semangat untuk melaporkan.
“Ya, Saudari Dona,” jawabku seolah reporter profesional.
“Afif, bisa Anda jelaskan bagaimana kondisi di sana saat
sekarang dan apa saja yang telah terjadi?”
“Ya, Dona. Sebagaimana yang telah dikabarkan
sebelumnya, bahwa warga Kota Bandung hari ini beramai-ramai,
oo, beramai-ramai melakukan a-aksi untuk penolakan, oo, untuk
menolak pembangunan atau komersialisasi oleh PT EGI di daerah
tersebut atas ijin Pemerintah Kota Bandung. Dan, aksi ini juga
diramaikan oleh seniman-seniman Kota Bandung dan beberapa artis,
seperti Acil Bimbo,” begitu kira-kira aku melaporkan yang sedikit
tergagap.
“Baik, Afif. Kira-kira berapa orang massa yang ikut aksi
tersebut dan sekarang apa yang sedang dilakukan?”
“Ya, Dona. Massa pada aksi ini kira-kira berjumlah
ratusan, eh, hampir mencapai ribuan. Dan saat ini arak-arakan
sedang berjalan dari daerah hutan Babakan Siliwangi menuju Kantor
Balai Kota untuk mengajukan tuntutan pada pemerintah,”
“Oke, sekarang posisi tepatnya di mana, dan bagaimana
kondisi lalu lintas di sana saat ini?”
“Saat ini arak-arakan sudah memasuki Jalan Juanda atau
Jalan Dago, tepatnya di depan kawasan Factory Outlet. Kondisi lalu
lintas saat ini bisa dikatakan, macet total, Dona, terutama ruas jalan
dari arah McDonald Dago hingga Balai Kota,”
“Baik, apakah sekarang Anda bersama salah seorang
tokoh yang turut serta dalam aksi tersebut Afif?”
“Oh, ya Dona. Saat ini saya sudah berada dengan Ketua
Walhi Jabar, Dadan Sutisna, yang siap untuk diwawancarai dari
studio. Hmm, selamat siang Kang Dadan. Yak, saudara Dona,”
“Ya Halo selamat siang Kang Dadan….”
Akhirnya Aku bisa sedikit bernapas lega, karena yang
mewawancarai lebih lanjut ke Kang Dadan adalah Teh Dona dari
studio. Aku tinggal menyodorkan handphone ke Kang Dadan,
sambil terus berjalan kaki. Tak begitu lama, hanya lima pertanyaan
singkat padat dan jelas dengan jawaban terbaik dari Kang Dadan.
Aku pun menutup laporan langsung kali itu.
“Yak, demikianlah saudari Dona. Dan, situasi di Jalan Ir H
Juanda saat ini masih terlihat sangat macet di kedua belah ruas jalan
dari arah mana pun. Semoga saja setelah arak-arakan ini sudah
kembai lancar,”
“Baik Afif, terima kasih laporannya dari lapangan,”
“Sama-sama Dona. Afif Permana melaporkan,”
Huaaah…!!! Lega, Sob!! Tugas laporan langsung radio
perdanaku selesai. Didengar ribuan orang pula. Asik! Setelah itu aku
pamit dan berterima kasih sama Kang Dadan. Aku kembali menuju
kawasan Babakan Siliwangi, mengambil motor. Jalan kaki, kira-kira
500 meter, lumayan. Lalu, aku menuju Balai Kota.
Di Balai Kota, ternyata aksi tidak langsung dilanjutkan.
Para Pemimpin Kota Bandung terlihat enggan untuk keluar dan aku
harus menunggu lama. Tapi, ternyata di sana juga ada Pak Deni,
reporter senior PRFM yang biasa nongkrong di Balai Kota.
Bersyukur di sana aku cuma memantau perkembangan sambil
sedikit memotret. Yang melaporkan ke studio Pak Deni. Sementara
saat itu, Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda memberanikan
diri menemui massa, dan diminta untuk ikut menandatangani
pencabutan izin mendirikan bangunan di Babakan Siliwangi.
“Bapak harus menandatangani petisi ini!”
“Ya, baiklah, saya tandatangani. Tapi saya tandatangani
sebagai warga Kota Bandung,”
“Woooooooooooo…………..!!!” massa serentak
menyoraki. Aku pun pulang untuk instruksi peliputan selanjutnya.
Hari berganti. Kejadian hari itu adalah awal kebangkitan
warga Kota Bandung untuk terus mendesak Pemkot mencabut izin
mendirikan bangunan di Babakan Siliwangi. Hingga pada satu
kesempatan, Aku disuruh lagi meeliput perkembangan tuntutan
pencabutan IMB di Baksil. Kali ini Forum Warga Peduli Baksil
menemui Lembaga Bantuan Hukum di kawasan Dago.
Forum itu membahas bagaimana langkah strategi ke
depannya. Salah satu langkah mereka adalah mengumpulkan petisi
baik nyata maupun online. Dan, media yang diundang bertujuan
untuk menyebarluaskan informasi tersebut serta mengajak warga
untuk menyatukan kekuatan menuntut pembatalan IMB tersebut.
Aku, jelas, jadi salah satu aktor penyebarluasan informasi tersebut.
Singkat cerita, di penghujung masa job training di Radio
PR FM, aku dapat info IMB di Baksil untuk PT EGI dicabut oleh
Pemkot Bandung pada tanggal 27 Juni 2013. Aku pun membuat
berita untuk situs online prfmnews.com tentang andil petisi online
dalam upaya pencabutan IMB di Baksil tersebut. Petisi tersebut
berhasil ditandatangani oleh 8000 orang. Luar Biasa!! Ini Sejarah!!
Saksi Pembebasan Babakan Siliwangi (1)
“Kekuatan Seni dan Budaya”
Oleh: Afif Permana Aztamurri
iang ini kantor sedang sepi. Aku satu-satunya anak
magang yang berada di kantor. Aku tak tau teman yang
lain akan ke kantor atau tidak. Untuk datang ke kantor
memerlukan mood besar atau kesempatan yang pas. Kali
itu giliran aku berada di kantor karena lagi pas saja waktunya, dan
aku merasa butuh ke kantor. Meskipun, hampir 70 % tujuan ke
kantor adalah pencitraan.
Keheningan pecah. Aku yang tak terlihat pura-pura
konsentrasi dikejutkan oleh suara pintu yang tiba-tiba dibuka, diikuti
langkah kaki yang cepat Pak Edi, redaktur foto Harian Umum
Republika Perwakilan Jawa Barat yang berjalan mendekatiku.
Mataku terus menatap layar dan jari-jariku senantiasa menekan
tombol keyboard computer satu per satu. Hingga akhirnya hatiku
merasa sedikit geli karena punya firasat akan disapa Pak Edi. Eh
ternyata Pak Edi memang beneran ngajak ngobrol.
Dia memancing obrolan denganku mengenai Babakan
Siliwangi, tapi gagal. Pak Edi memperjelas pancingan obrolannya
yang gagal karena aku tak mengikuti peristiwa-peristiwa aktual di
Kota Bandung. Dia memerlihatkan foto yang akan dimuat di
S
Republika Jabar esok hari. ‘Save Babakan Siliwangi’, seutas kalimat
tersebut terciprat sebagai sebuah seruan di salah satu trotoar di
sekitar kawasan hutan kota Babakan Siliwangi. Berita ini menjadi
salah satu andalan Republika dalam menggiring opini masyarakat
Bandung esok hari.
“Oh iya Pak,” kataku berharap mengakhiri dialog, karena
takut dipermalukan sang wartawan foto.
“Kalau mau coba kamu cari tahu tentang ini, ikuti terus. Ini
akan terus berkembang,” ujar Pak Edi yang ternyata tak
menjatuhkanku yang masih kurang banyak tahu soal Bandung. Dia
tahu, sadar, Aku masih anak magang. Tapi, tetap hal ini membuatku
cukup malu sebagai mahasiswa Jurnalistik.
“Oke Pak,” jawabanku dilanjutkan dengan masuknya
kembali sang wartawan foto berambut gondrong dan dikucir. Ia pun
masuk ke ruang redaksi yang hanya berisi enam orang penting
dalam proses produksi konten jurnalistik surat kabar tersebut.
Aku melanjutkan mengetik berita. Tak sampai satu menit,
hati tergoda melirik halaman koran (berisi berita cetakan besok)
yang tertempel di papan. Halaman koran itu memuat foto trotoar
bercoteran Save Babakan Siliwangi.
Aku menghampirinya, tetapi yang dimuat hanyalah foto
coretan yang sebenarnya bertentangan dengan idealisme penjagaan
lingkungan. Berdialognya dengan Pak Edi tadi membuat aku
tertantang mengusut kasus itu.
“Pak, saya pamit pulang dulu,” akhirnya waktu yang
kutunggu-tunggu untuk berpamitan dengan Pak Agus, Kepala
Redaksi Republika, tiba. Bukan tak betah di kantor, tapi pulang
kemalaman bikin ngantuk, macet, dan lapar. Kalo ditanya betahnya,
betah banget. Ada internet, bisa nonton, bisa bikin minum sendiri,
dan kegiatan lainnya.
“Teh, Pak Edi. Pak Maman, Pak Dian, saya pulang dulu,”
seperti biasa, aku sedikit menepuk pundak Pak Dian dan Pak
Maman yang selalu ingin mengakrabkan diri dengan anak-anak
magang, termasuk aku. Pak Maman orangnya suka bercanda dan
Pak Dian suka woles. Duo timredaksi itu memang asik, jauh lebih
asik dibanding pegawai lainnya.
“Ya, hati-hati,” jawab Pak Agus penuh wibawa dan setia
dengan sikapnya yang terlihat selalu sibuk. Tapi, ya, memang sibuk.
“Yok, ati-ati Pip, buru-buru amat Pip, salam buat orang tua ya.”
Nah, kalau itu jawaban Pak Maman yang suka bercanda. Padahal
kalau dilihat usia, lebih tua dari Pak Maman dibanding Pak Agus.
Hari terus berganti, rasa penasaranku mendaki. Aku terus
mencari tahu berita-berita i Babakan Siliwangi yang ternyata sudah
dimulai sejak tahun 2003. Hingga beberapa hari kemudian aku
mendapat kabar dari salah seorang dosen tentang aksi besar-besaran
penolakan komersialisasi Babakan Siliwangi.
Dialah Mbah Nanu Muda, Dosen Jurusan Tari Sekolah
Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung yang sebelumnya pernah
kuwawancarai saat Aku ngeliput beberapa kegiatan seni di STSI.
Dia ternyata nyimpen nomorku.
Selasa (12/3/2013), aku dapet sms dari Mbah Nanu,
menganai himbauan ngeramein sebuah aksi penolakan
komersialisasi hutan kota Babakan Siliwangi yang dilakukan Wali
Kota Bandung saat itu, Dada Rosada.
“NGALOKAT HAHALANG BABAKAN SILIWANGI….
REBO, 13 MARET 2013…”
Begitulah kira-kira sms-nya dengan bahasa Sunda dan
isinya seruan semua. Beberapa kali setelah itu Mbah Nanu masih
sering mengabariku soal kegiatan-kegiatan yang dia ikuti.
Ini adalah suatu kebanggaan mendapat undangan dari
orang yang merupakan salah satu aktivis Kota Kembang. Firasatku
mengatakan kalau aku meliput ini aku bakalan jadi saksi sejarah
perjuangan warga Kota Bandung merebut hak-haknya yang
direnggut penguasa. Aku tak sabar pengen cepat-cepat datang esok
hari.
Sebenarnya aku tak begitu paham sama permasalahannya.
Namun, tak masalah. Malam itu juga aku cari beberapa info
mengenai Babakan Siliwangi.
***
Sesuatu yang tak begitu aku pahami, tetapi aku yakin ini
akan jadi sejarah. Setidaknya sejarah dalam kewartawanan seorang
“Afif Permana Aztamurri”. Seperti biasa, aku memang suka malas
bergerak berangkat liputan. Apalagi aku sudah tahu kalau aksinya
dilakukan siang hari. Siang itu aku berangkat dari Jatinangor pukul
10.00 WIB. Sempat sarapan lontong “Anak Amak” dulu, lontong
sayur khas Padang. Akhirnya berangkat jam 11-an. Nyampe
Bandung jam 12-an, aku salat zuhur dulu. Sebelumnya aku sudah
janji dengan seorang teman, Adhi Fami, untuk liputan bersama. Ia
job training di Pikiran Rakyat..
Selesai salat aku menuju kawasan Babakan Siliwangi.
Seperti dugaanku, aku telat sampai di lokasi. Aku juga tak tahu
mana pintu masuknya. Sementara, Adhi terus nanyain keberadaanku
karena dia sudah di lokasi. Sedangkan aku masih muter-muter
Babakan Siliwangi, lewat gerbang kampus ITB, sampai akhirnya
bertemu juga Gerbang Babakan Siliwangi yang sudah ramai. Aku
masuk, aku lihat Adhi sedang otak-atik layar touch screen-nya.
Sembari memotret aksi yang sudah dimulai, aku mau mendatangi
Adhi, tapi aku ingat ada hal yang juga menarik di luar. Aku bingung
harus meliput yang mana.
Sebelum masuk area Hutan Kota Babakan Siliwangi, aku
melihat pagar hutan itu ditutupin seng yang dilukis-lukis oleh warga.
Lukisan berisikan pesan pemberontakan terhadap kebijakan
pemerintah. Lukisan berisikan pesan tuntutan penolakan
komersialisasi Babakan Siliwangi.
Aku bingung. Rencananya mau meliput aksi di dalam
pagar, tapi di luar pagar lebih menarik. Lalu, aku pilih keluar dulu
memotret kegiatan pembuatan “mural” di seng yang nutupin pagar
Babakan Siliwangi. Aku juga wawancarabeberapa orang yang ikut
membikin mural di sana. Urusan aksi di dalam pagar, aku minta
tolong Adhi dulu.
Begitulah liputan bak suatu perperangan atau bak bermain
catur. Harus tahu siapa yang harus jalan duluan, pion atau kuda.
Aku mewawancarai Kang Regi Kayong Munggaran. Dia
adalah koordinator aksi Save Babakan Siliwangi dari Wahana
Lingkungan (Hidup) Walhi Kota Bandung. Tubuhnya yang penuh
tato, semula sempat membuatku segan mendatanginya. Tapi, tak
disangka dia orang yang asik, dan terbuka, serta semangat
menyuarakan gagasannya untuk Babakan Siliwangi.
“Apa sih sebenarnya yang Kang Regi dan kawan-kawan
lakukan?” Aku membuka wawancara sambil ngelarak-ngelirik
puluhan seng yang terlukis indah, meskipun itu sebenarnya suatu
bentuk aksi unju rasa.
“Kami dari forum warga peduli Baksil, dengan salah satu
produk agenda mencoba mengaktivasi inisiatif publik, yaitu mural.
Kami juga mengajak masyarakat, bahkan anak sekolah,” jawab
Kang Regi berusaha mengimbangi pertanyaanku yang terkesan
formal. Ngomong-ngomong kutipan jawaban ini adalah kutipan yang
dimuat di Republika Jawa Barat loh!
Setelah wawancara dengan Kang Regi, aku yang juga suka
seni lukis dan juga punya hasrat buat ikut bikin mural di sana, terus
terpana melihat gambar-gambar yang ada. Keras kata-katanya, tetapi
indah dipandang. Ketika dilihat, mural tersebut memang dibuat
beragam dengan keindahan dan pesan yang berbeda-beda. Ada yang
cuma tulisan “Bandung Lautan Beton” mengekspresikan
kegelisahan.
Asiknya aku juga mewawancarai bule di sini yang lumayan
cakep. Assooy! Namanya Danai, seorang bule yang Aku temuin lagi
ikutan melukis mural di seng-seng itu. Danai merupakan mahasiswa
pertukaran pelajar dari Yunani ke Universitas Pendidikan Indonesia,
Jurusan Bahasa Indonesia. Jangan-jangan doi lebih paham Bahasa
Indonesia daripada orang Indonesia asli.
Tak main-main, aku wawancara Danai menggunakan
bahasa Inggris. Walaupun agak terbata-bata yang penting aku dan
Danai saling memahami. Dalam wawancara itu, Danai bilang kalau
dia ikut bikin mural di seng-seng itu sebagai bentuk kepeduliannya
terhadap Babakan Siliwangi yang merupakan paru-paru Kota
Bandung.
“Meskipun baru enam bulan di Bandung, saya menilai
Bandung saat ini semakin padat dan pengap dalam waktu yang
singkat,” itulah komentar terakhir Danai, sebelum menutup
wawancaraku dengannya. Aku salut sama Danai dan kawan-
kawannya. Harusnya bisa jadi cambuk untuk warga asli Kota
Bandung, apa lagi pemerintahnya.
Beres wawancara dan ngambil foto mural-mural itu, Aku
langsung lari ke dalam lagi. Sesuai dugaan, aku telat. Aku Cuma
dapet buntut aksi yang dilakukan. Itu pun ketutupan para wartawan
foto dan wartawan televisi yang pegang kamera.
Aku langsung mencari Adhi, berharap Adhi mengambil
banyak gambar aksi tadi dan mau berbagi denganku. Ya, ini cara
licik, tapi sah-sah saja kalau tidak ada unsur pencurian hak cipta.
Setelah memastikan bisa punya fotonya, aku mencari beberapa
tokoh aksi tersebut, salah satunya Mbah Nanu Muda, sang pengirim
informasi.
“Mbah Nanu, bisa dijelaskan mengenai aksi hari ini?”
tanyaku.
“Ini namanya ‘Ngalokat Hahalang’ yang maknanya
menghalangi hal-hal yang buruk. Ritual ini memiliki seruan
‘Raraga Miceun Kekeumeh Gegeuleuh, Ngabersihan nu Bereum’,
yang bermaksud agar hal buruk dinetrasilir menjadi baik,” jawab
Mbah Nanu. Kutipan ini menjadi paragraf pertama tulisanku yang
berjudul ‘Ngalakot Hahalang Babakan Siliwangi, Pemerintah
Ibarat Jurig’
Mewawancarai Mbah Nanu, lumayan membuka pikiranku
dan membantuku memahami masalah yang sebenarnya sudah lama
ini. Aku mulai paham, karena bisa wawancara eksklusif, alias
wawancara sendiri dengan Mbah Nanu, tanpa diserobot wartawan
lain.
Aku yang datang telat dan sebenarnya tak sempat melihat
langsung kegiatan aksi kali itu selain dari foto yang diambil Adhi,
semakin penasaran. Solusinya aku harus cari narasumber lain yang
melakukan aksi bersamaan dengan Mbah Nanu.
Opik Sunandar, seorang dalang dan seniman Kota Bandung
inilah yang membantu mendeskripsikan aksi itu beserta filosofinya.
Layaknya seniman tulen, penampilan dan sikapnya begitu
sederhana, bahkan aku mewawancarainya sambil duduk di
pinggiran parkiran kawasan Babakan Siliwangi.
“Kang, bisa dijelaskan lagi gak mengenai ngalokat ini?”
Aku mewawancaranya sendirian karena wartawan lain sudah
mewawancara keroyokan. Aku tak bertanya menggunakan bahasa
Sunda karena takut salah bahasa. Maklum, aku cuma tahu bahasa
Sunda yang kasarnya.
Ngalokat juga berarti ngaruwat. Ngaruwat memiliki arti
‘kuat’. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, berarti kita
melangkah ke suatu wilayah yang banyak penghalangnya.
Sedangkan ruwatan itu bermaksud membersihkan penghalang yang
ada.
Kang Opik Sunandar mulai menjelaskan dengan filosofi
yang berbau mistis. Saya semakin tertarik. Bak dongeng, tapi inilah
budaya yang menguatkan masyarakat. Kata Kang Opik, ngalokat itu
adalah ritual yang tak main-main, karena melibatkan jurig. Menurut
Kang Opik, jurig itu jadi lambang batarakala, simbol sebuah cerita
tentang ngaruwat.
”Batarakala berasal dari mani yang salah, disebut
kamasalah. Dia ngerusak alam dan manusia. Ritual itu membuat
batarakala menjadi sadar,“ ujar Kang Opik dengan yakin seakan
ceritanya benar-benar hidup.
Pemerintah Kota Bandung dan pihak-pihak tertentu dalam
penghancuran dan komersialisasi Babakan Siliwangi ini ibarat jurig
yang harus disadarkan. Jadi menurut Kang Opik, makna ritual itu
membuat Kota Bandung menjadi bersih kembali.
Seniman yang berasal dari daerah Cihideung tersebut juga
mengatakan, jurig yang melibatkan roh merupakan hal wajar karena
roh pasti ada di sekitar manusia dan alam. Menurut leluhur Sunda,
roh pasti akan hadir kalau ada ritual. Ritual tersebut juga ngajak
makhluk-makhluk dari dimensi lain buat ikut berdoa. Kang Opik
menegaskan bahwa ritual tersebut bukan berarti mereka meminta
pada roh-roh, melainkan tetap kepada Allah SWT.
Selesai wawancara Kang Opik, aku bertemu Pak Edi yang
ternyata datang telat, dan mengira tak ada wartawan Republika di
sana. Dia kelihatan senang melihatku sudah di lapangan, aku pun
mendatanginya.
“Tadi ngambil fotonya gak?” Pertanyaan yang sering
diutarakan kalau bertemu denganku di lapangan. “O ada Pak,”
jawabku rada deg-degan. Aku berbohong. Beruntung Pak Edi
langsung percaya, tak meminta melihat foto-foto yang kuambil.
“Ini udah diwawancarain belum?” Pak Edi malah
melanjutkan pertanyaan sembari menunjuk seseorang yang
berbincang dengannya. Dia adalah Tisna Sanjaya, Ketua Aksi Save
Babakan Siliwangi itu. Dia seorang dosen seni rupa di Fakultas Seni
Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, kampus idamanku
dulu sebelum terjun ke Jurnalistik Fikom Unpad.
“Oh iya belum, Pak,” jawabku. Langsung aku mendekati
Kang Tisna, pak dosen yang gondrong dengan beberapa uban di
rambut dan kumisnya, berbadan tinggi besar, serta mengenakan
‘iket’ khas sunda di kepalanya, dan kaos bergambar pohon beringin
bertuliskan “Save Babakan Siliwangi”.
Sejatinya jawaban Kang Tisna hanya mengulas dan
mengulangi apa yang disampaikan oleh Mbah Nanu dan Kang Opik.
Setelah itu, aku langsung izin ke Pak Edi yang masih ngobrol dan
berangkat ke kantor. Lagi, Pak Edi ngingetin aku soal foto, sebelum
aku cuss ke parkiran motor.
Sampai di kantor, aku melakukan hal yang biasa. Komputer
kunyalakan, buka Microsoft Word dan buka Mozilla-Facebook-
Twitter, lalu ngetik deh. Tentunya aku menulis dengan diikuti
banyak mikir serta bingung harus mulai dari mana ke mana.
Sembari berpikir, aku me-whats app Adhi buat segera mengirim
foto. Aku harus bikin dua tulisan berita khas yang di sana dikenal
dengan feature panjang, yaitu dengan 4500-6000 karakter tanpa
spasi.
Pak Edi pun kembali ke kantor di saat aku asik menulis dan
hampir beres satu tulisan. Dia langsung bertanya lagi, “Fotonya
mana?”. Alhamdulillah banget kiriman Adhi sudah nyampe, aku pun
download foto itu, lalu mengirimkannya ke Pak Edi biar aman.
Satu jam kemudian, kira-kira pukul 16.00 WIB, tulisanku
beres dua-duanya dan ngirim ke email repbdg@***.com. Aku
langsung lapor ke Pak Agus. Pak Agus yang cool dan berwibawa
ngangguk. Hati ku sedikit lega. Aku langsung salat Ashar dan pukul
16.30 WIB pamit pulang.
Itulah liputan pertama dan terakhirku di Republika tentang
kasus Babakan Siliwangi. Setelah itu Forum Warga Peduli Baksil
ingin ngatur strategi lagi dan ngeliat respon pemerintah. Jadi,
perkembangan kasus ini gak begitu signifikan lagi, hingga aku beres
job training di Republika Jawa Barat dua minggu berikutnya. Tapi
jangan salah, liputan suatu aksi atas suatu kasus yang semakin
memanas sebenarnya cukup menjadi satu modal besar bagi
wartawan buat memahami kasus itu, bagaimana sejarah dan
kelanjutannya. Harusnya, begitulah wartawan yang handal.
Kisah Amplop, Putri Kecantikan, dan Reporter Jemawa
Oleh: Yohannie Linggasari
ebagai mahasiswi Jurnalistik Fakultas Imu
Komunikasi Universitas Padjadjaran, saya dan
teman-teman selalu dididik untuk menjadi jurnalis
yang jujur dan profesional. Saya selalu kagum
dengan kisah-kisah heroik para jurnalis yang begitu gigih
dalam memperjuangkan idealismenya. Hal itu pula yang
memotivasi saya untuk berkecimpung ke dalam dunia
jurnalistik suatu saat. Sampai kemudian tiba saatnya saya
untuk melakukan job training alias magang di media. Nah,
tampaknya saya harus berpikir ulang apakah saya benar-benar
ingin jadi jurnalis.
Saya magang di sebuah stasiun televisi yang
mempunyai sejarah panjang di Indonesia. Stasiun televisi ini
sempat berjaya dulu, tetapi sekarang semakin banyak saingan
yang lebih bagus darinya. Meski begitu, kesombongan masih
hinggap di diri beberapa jurnalis di tempat ini. Sulit memang
melepaskan kenangan manis yang pernah terpatri.
Saya bertemu dengan berbagai macam orang di
tempat ini. Ada yang saya kagumi karena keseriusannya
S
bekerja. Ada pula yang saya ragukan cara kerjanya. Satu hal
yang pasti, sulit menemukan reporter dan kamerawan yang
benar-benar berangkat tepat waktu untuk liputan. Sering kali
saya menunggu hingga berjam-jam sampai akhirnya kami
berangkat liputan. Sebagai “anak magang”, saya tidak bisa
protes, saya hanya bisa mengikuti pola kerja mereka.
Pada saat liputan, tidak jarang, kami diberi amplop
oleh penyelenggara acara. Amplop tersebut, tentu saja, berisi
rupiah. Di bangku kuliah, saya selalu diajarkan untuk hati-hati
dalam urusan amplop ini. Sebaiknya, amplop yang berisi uang
ditolak agar tidak memengaruhi idealisme dan objektivitas
jurnalis. Beberapa rekan menganggap sah-sah saja menerima
amplop asalkan tetap bisa menulis secara objektif. Saya
pribadi merasa lebih baik tidak mengambil amplop karena
saya merasa hal itu sama saja dengan berutang kepada orang
itu.
Nah, tampaknya urusan amplop ini sudah jadi hal
yang biasa dalam dunia media. Malah, kalau tidak dapat
amplop rasanya tidak komplet. Beberapa kali saya ikut
liputan, beberapa kali pula saya dengar keluhan dari reporter
maupun kamerawan yang mengharapkan dapat amplop dari
acara yang diliputnya.
Pernah suatu kali kami meliput acara dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai susu, dan
kami pun diberi goodie bag berupa susu. Saya pikir, lumayan
juga dapat susu. Bukan hanya satu, dua kotak, tetapi satu tas.
Namun, ternyata tetap muncul keluhan dari mulut reporter.
“Yah, masa dapet susu doang. Nggak ada duitnya,” begitu
ujarnya. Seperti timbul penyesalan meliput acara tersebut
karena ternyata tidak mendapatkan amplop.
Di lain kesempatan, saya dan tim lain melakukan
liputan mengenai program kerja bedah rumah Kementerian
Sosial ke daerah Parung, Bogor. Bisa dibilang, ini liputan
yang lumayan jauh. Liputan pun berlangsung sampai malam.
Dari obrolan reporter dan kameraman, saya tahu mereka
mendapatkan amplop. Namun, yang terdengar lagi-lagi adalah
keluhan. “Gila, liputan sejauh ini cuman dapet segini?
Kebangetan deh!” begitu ujar reporter. Dari pembicaraan
mereka selanjutnya, saya kemudian tahu bahwa reporter
ternyata sempat protes ke bagian Humas mengenai isi amplop
yang katanya “kebangetan” itu.
Saya menyimpulkan, motivasi beberapa reporter dan
kamerawan dalam melakukan liputan adalah hanya amplop
semata. Bukan lagi semenarik apa isu yang diliput, penting
atau tidaknya isu itu, tetapi ada atau nihilnya amplop. Namun,
tidak semua reporter dan kamerawan seperti itu. Ada pula
beberapa jurnalis yang saya hormati karena profesional dalam
bekerja.
Pada hari berikutnya, seorang reporter yang terhitung
senior curhat pada saya mengenai gajinya yang sangat minim
dan tidak kunjung naik. Mendengarkan ceritanya, saya jadi
tidak heran mengapa banyak jurnalis yang berharap pada
amplop. Keadaanlah yang membuat mereka senang
mengambil amplop. Jadi, kalau begini, siapa yang seharusnya
disalahkan?
Putri Kecantikan Pembaca Berita
Putri kontes kecantikan jadi pembaca berita? Si tampan
pemain film jadi news anchor? Hal ini tentu bukanlah kisah
baru di dunia media. Sebenarnya sah-sah saja, tetapi tunggu
dulu…! Pertanyaannya, apakah si putri dan si tampan ini
punya keahlian jurnalistik? Apakah ia tahu bagaimana kerja
jurnalis? Atau, ia hanya bermodalkan wajah rupawan?
Sayangnya, contoh yang saya temui di tempat ini
adalah si putri yang hanya bermodalkan wajah cantik.
Memang, pada saat ia berada di depan layar, ia tampak begitu
percaya diri dan menarik ketika membaca potongan berita.
Namun, saat liputan ke lapangan, ternyata ia masih belum
mengerti bagaimana menulis berita dan lainnya. Setidaknya,
itu yang saya amati.
Gosip-gosip panas pun seringkali beredar di antara
para reporter dan kamerawan. Beberapa reporter
mempertanyakan kredibilitas si putri maupun si pemain film
itu. “Harusnya dia belajar dulu jadi reporter yang bener, biar
nggak terlalu keliatan oon di tivi,” ujar salah satu reporter.
Yang lainnya berkometar, “Kalau mau jadi artis ya tetep jadi
artis aja. Kalau tetep jadi artis, nanti pas baca berita,
wibawanya luntur.” Dari yang saya perhatikan, memang
banyak cemoohan dan sindiran terhadap si putri ajang
kecantikan dan artis tampan pemain film tersebut.
Bila diperhatikan, memang, pembaca berita di televisi
Indonesia termasuk cantik dan tampan, dibandingkan dengan
pembaca berita negara maju. Selain itu, mereka juga masih
sangat muda. Tak dapat dimungkiri, tampang menjadi kriteria
yang diutamakan dalam dunia jurnalisme televisi. Oleh karena
itu, tak heran bila muncul fenomena pembaca berita yang
berasal dari kontes kecantikan.
Seorang jurnalis televisi bernama Luviana dalam
bukunya “Wajah-wajah Cantik Jurnalis Televisi” mengatakan
bahwa kawannya pernah ditolak menjadi jurnalis televisi
karena ada bekas cacar di wajahnya. Ia dianggap tidak layak
menjadi jurnalis televisi karena kurang good looking.
Beberapa kawan Luviana yang lain juga mengeluhkan tidak
boleh membawakan sendiri beritanya di depan kamera hanya
karena tidak cantik. Padahal mereka adalah jurnalis lapangan
yang sering bangun subuh-subuh dan kepanasan.
Luviana juga menceritakan lebih banyak jurnalis
televisi perempuan umumnya diambil dari perempuan yang
pernah menjadi pemenang kontes putri atau pernah menjadi
model yang hanya tinggal dipoles dan nanti produser dan
redaktur yang menuntun mereka. Televisi menganggap ini
lebih baik daripada merekrut jurnalis yang handal tapi tidak
layak di depan kamera (Dalam Jurnal Perempuan “Apa Kabar
Media Kita?”, 2010).
Sebagai manusia yang mencintai keindahan, saya
mafhum bila penampilan menjadi hal yang sangat
diperhatikan dalam berita televisi. Namun, pada akhirnya,
penampilan menjadi urutan kesekian ketika pembaca berita
dapat tampil dengan cerdas dan penuh wawasan. Isi kepala
menjadi lebih cantik dibandingkan rupa.
Hormati Narasumbermu!
Di lain kesempatan, saya ditugaskan meliput program Jokowi.
Saat itu, sedang dilaksanakan pembagian Kartu Jakarta Sehat
(KJS) di sebuah puskesmas di daerah Jakarta. Suasana ketika
itu sangatlah ramai. Warga berlomba untuk foto dengan orang
nomor satu di ibukota. Reporter dan kamerawan pun
kewalahan dalam menjalankan tugasnya.
Beberapa menit kemudian, setelah perjuangan
“meraih Jokowi”, akhirnya tim kami pun berhasil mendapat
pernyataan serta gambar Jokowi. Tiba-tiba Mas Reporter
menghampiri saya dan berkata, “Kamu tahu gimana saya bisa
menerobos kerumunan tadi?” Saya lalu menanggapi, “Gimana
emang, Mas?” Ia lalu menjawab, “Nih, ya, lain kali kalau
situasinya rame banget kayak tadi, kamu injek aja kaki orang-
orang itu, biar pada minggir.”
Saya hanya terdiam sembari memikirkan pengalaman
saya beberapa waktu lalu saat liputan di Komisi Pemberantas
Korupsi (KPK). Tahu sendiri ‘kan, bagaimana ramainya
situasi di KPK? Para kamerawan berebut gambar, begitu pula
dengan reporter yang berusaha sekuat tenaga untuk dapat
menyorongkan mic ke narasumber. Reporter yang saya ikuti
punya cara lebih pintar dalam menerobos kerumunan. Ia
merangkak di antara puluhan pasang kaki sampai mencapai
lini terdepan! Nah, itu baru cara cerdik tanpa perlu kekerasan.
Setelah mewawancarai Jokowi, reporter pun mencari
narasumber lain, yaitu pengguna KJS yang bermasalah.
Narasumber ini adalah seorang ibu muda yang sakit kista.
Ketika ia berobat dengan menunjukkan KJS, ia ditolak
mentah-mentah oleh pihak rumah sakit. Saat dialog bersama
Jokowi, ia sempat mengutarakan keluhannya, dan saya bisa
melihat ia sedikit emosi saat menceritakan pengalamannya.
Saya lihat juga ia tampak lelah, apalagi dengan
banyaknya pertanyaan dari wartawan maupun orang lain yang
hanya ingin tahu pengalamannya. Belum lagi, ia juga
menggendong seorang anak yang masih kecil. Si Mas
Reporter kemudian memanggil-manggil ibu itu, berniat
mewawancarainya. Namun, tampaknya ibu itu tidak
mendengarnya. Hal yang dilakukan reporter selanjutnya
membuat saya sedikit risih. Ia menarik baju ibu itu dengan
kasar, sampai ibu itu memalingkan wajahnya ke reporter dan
berkata, “Aduh!” Pastilah Mas Reporter menariknya dengan
cukup kasar. Tidak ada kata maaf. Yang ada, ia segera
memulai wawancara dengan ibu itu.
Dari wawancara yang dilakukan, saya bisa melihat
ibu itu tampak sangat lelah dan sebenarnya tidak ingin banyak
bicara lagi. Tampak mood-nya juga sudah jelek karena
kejadian tadi. Seusai wawancara, saya lihat ia langsung
pulang.
Kejadian itu cukup berkesan bagi saya. Saya
mendapatkan pelajaran bahwa sebagai jurnalis, penting sekali
untuk menghormati narasumber, selayaknya kita ingin
dihormati. Memang terdengar sepele, tetapi menarik baju
narasumber agar ia menoleh pada kita bukanlah hal yang
sopan dan layak.
Saya juga belajar bahwa ladang jurnalisme adalah
dunia yang keras. Banyak godaan serta tantangan di
dalamnya. Celakanya, kita tidak bisa 100% memercayai
senior kita di lapangan. Wah, tentu rasanya akan sangat
menyenangkan bila kita punya panutan yang bisa memberikan
pelajaran berharga pada kita. Namun, kenyataannya, senior-
senior kita itu belum tentu merupakan jurnalis yang
profesional. Kita harus tetap kritis mengenai mana yang benar
dan salah. Mana yang layak diikuti, mana yang layak
diabaikan.
Jangan terlalu cepat percaya! Begitu pula kamu yang
baru saja selesai membaca tulisan ini, jangan cepat percaya!
Hikayat Hadiah
Oleh: Dara Aziliya
iapa di dunia ini yang ga senang kalau mendapat
hadiah? Ga ada! Persoalannya, hadiah sekecil
apapun, semurah apapun, segampang apa pun
mendapatkannya, bisa berdampak besar. Mulai dari
ketidakberimbangan, persoalan etika dan moral, sampai
membohongi masyarakat.
Januari-Maret 2013 lalu, saya apply menjadi
internship reporter di Media Indonesia. Waktu itu saya dan
empat teman saya berdoa, “Ya Allah, jangan sampai kami
ditempatkan di kopartemen Ekonomi”. Kalau soal politik, kita
tidak bisa memilih tidak tahu karena semua orang di
sekeliling kita membicarakannya, kan? Kalau Ekonomi? Kita
harus (kalau saya tidak boleh menggunakan diksi terpaksa)
belajar, mengetahui konteks, bahkan yang terlihat mudah.
Oke, balik ke topik. Akhirnya sayalah yang beruntung
menjadi anak ekonomi dimana saya meliput dan menulis
persoalan-persoalan ekonomi negeri ini. Sejujurnya, field
liputan saya hanya satu, yaitu ketika meliput peresmian
Pedagang Kreatif Lingkungan (iistilah Pedagang Kreatif
S
Lingkungan yang awalnya Pedagang Kaki Lima ini,
dicetuskani oleh menteri Perdagangan Gita Wirjawan).
Selebihnya, saya meliput di kantor-kantor dan hotel-hotel
megah nan melangit yang di Jakarta (paling sederhana itu
justru kantor-gedung DPR ).
Kebayang dong ya, berapa biaya perusahaan-
perusahaan yang mengadakan kegiatannya di hotel demi
sebuah konferensi pers. Bahkan salah satu perusahaan, sebut
saja namanya Telk*m, kalau mau konferensi pers, suka
ngajakin reporter nonton dulu film-film yang lagi premiere.
Padahal, mereka harusnya tau wartawan tidak punya
wewenang memuat berita atau tidak memuatnya. Wartawan
saja belum punya wewenang, apalagi anak magang seperti
saya ini.
Pernah suatu hari, saya diajakin Bu Wulan (humas
Telk*m) untuk nonton premiere Rectoverso di Plasa
Senayan. Waktu itu saya diskusikan sama redaktur saya
tentang undangan itu, saking idealisnya sama apa yang
didapat di kampus :p . Mbak redaktur saya menanggapinya,
“Ya ampun, Dar. Kalo nonton ya pergi aja, have fun ya!”.
Saya bengong sih karena sebelumnya saya mengembalikan
amplop yang isinya Rp 100 ribu dan mereka apresiasi. Hari
ini saya nonton premiere yang harganya sekitar itu
dibolehin. Kali aja asal-bentuknya-jangan-duit ya-___-
Nah, kirain itu bentuk Telk*m untuk membina
hubungan baik sama jurnalis, ga ada acara apa-apa lagi selain
nonton. Ternyata, ada peluncuran produk baru Telk*m,
sebelum film dimulai. Saya masih ga ngeh ketika mereka
mengumumkan produk baru itu, karena ga dikemas seperti
launching produk baru. Setelah nonton, saya mikir ‘Ini
wartawan ngapain pada ngerubungin direktur blabla?’. Saya
jalan melewati kerubungan wartawan-wartawan media lain
dengan polosnya, menuju tempat parkir, lalu pulang.
Sepanjang perjalanan saya tiba-tiba ngeh, kalo itu juga salah
satu bentuk konferensi pers.
Berapa kira-kira perusahaan habiskan sebuah
konferensi pers berbentuk nobar, dinner, dan foto bareng artis
film tersebut? Saya yakin tidak sedikit. Saya tidak paham
bagaimana sistem anggarannya, tetapi yang pasti perusahaan
itu berdiri di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang menggunakan uang negara. Saya juga berpikir, mengapa
wartawan-wartawan itu terbiasa dengan aktivitas perusahaan-
perusahaan yang menghabiskan uang dengan nonton bareng.
Saya sempat ngobrol dengan beberapa wartawan dan saya
menyimpulkan wartawan-wartawan tak berpikir mengenai
servis yang diberikan perusahaan kepadanya. Bagi mereka
yang penting terpenuhi target sehari 10 berita, terserah
bagaimana sumber berita memperlakukan mereka.
Belum lagi konpers yang biasa diadakan di hotel-
hotel. Saya pernah diundang ke peluncuran suatu produk, di
hotel Le Meredien (Bener! Ini hotel yang mendadak-beken se-
Indonesia gara-gara Ahmad Fathanah yang tertangkap sama
Maharani), sebut aja nama mereknya AVA*A. Makanannya
saya jamin harga perporsinya juga selangit, saya cobain
beberapa. Sampai kantor, saya tahu beritanya tidak naik. Ada
lagi undangan di Hotel Hyatt, peluncuran apartemen. Setiap
15 menit makanan di depan saya diganti sama pelayannya.
Enak semua dan pastinya dengan harga mahal. Namun,
beritanya juga tidak naik. Waktu acara selesai, teman-teman
wartawan dibekali hadiah jam meja berbahan stainless steel.
Ga hanya pihak-pihak swasta. Pernah sekali saya
menghadiri pertemuan LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)
follow up kasus pemilik saham Bank Century. Belum masuk
ke ruangan konpers, saya sudah diberikan satu tentengan
besar yang isinya kalender, notes, powerbank, payung, saya
lupa ada apalagi di dalamnya. Begitulah sepanjang saya dapat
hadiah, saya ambil, lalu di sisi lain saya merasa bersalah.
Pernah juga saya dengar celetukan teman-teman di
kantor yang mengatakan sebuah perusahaan bisa membayar
hingga ratusan juta untuk dapat dimuat. Kalau hanya
diberikan kalender, tiket nobar, itu hanya persoalan cetek saja.
Suatu hari, saya lagi ngobrol sama para redaktur dan
asisten redaktur di kopartemen Ekonomi. Mereka tiba-tiba
mengungkit permasalahan wartawan amplop. Well, mereka
tidak menampik fakta bahwa ada wartawan – tanpa
sepengetahuan mereka – menerima uang dalam jumlah besar
dari narasumber agar beritanya dimuat. Waktu itu, salah satu
asisten redaktur mengatakan, “Kalau ada konpers, saya ga
akan ngambil hadiah ini itu, saya suka cek apa isi goodiebag
yang mereka bagikan. Tapi setelah saya ambil siaran pers-nya,
saya kembalikan goodiebag itu lengkap dengan isinya”.
Saya sebagai anak magang dan masih norak dengan
goodiebag, makanan enak, atau tiket nonton, praktis merasa
jleb waktu dengar kalimat itu. Ia meyakinkan saya yang
terbaik ialah menjaga amanah masyarakat dengan menjaga
kredibilitas diri, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, dan
akhirnya yang diberi kepercayaan penuh oleh masyarakat.
Para pengambil keputusan di media massa, pada umumnya
ialah orang-orang yang berhasil melewati proses penuh-
godaan tersebut.
Pasca mendapat petuah tersebut, saya ga bawa pulang
lagi hadiah. Semacam susah karena masih norak sebagai
wartawan ibukota. Sudah cukup hadiah yang ini saja: menjadi
orang pertama yang mendengar berapa persen pertumbuhan
ekonomi negara ini, jadi orang pertama yang nge-tweet
realisasi investasi, atau jadi orang pertama yang tau nasib
Bank Mutiara (eks Bank Century yang untuk menambal-nya,
menggunakan pajak kita semua).
Selain cerita-cerita berbagai hadiah di atas, tentu saya
tak menampik begitu banyak pelajaran yang saya dapatkan
ketika magang sebagai reporter ekonomi di Media Indonesia.
Selain update diri mengenai berita-berita ekonomi dalam
negeri, saya juga dianjurkan untuk selalu mengakses portal-
portal berita negara lain. Jangan tanya betapa frustrasinya
saya ketika membaca The Economist (kalo ga percaya, go
read it :p). Namun, terkadang belajar harus demikian, harus
memaksakan diri, agar kaget sendiri sama apa yang ternyata
dapat kita lakukan
Memancing Pengiklan
Oleh: Suci Amelia Harlen
ada hari pertama masuk kantor surat kabar Islami, saya
dan rekan-rekan dari Unpad dijelaskan bagaimana desk-
desk, kinerja, dan diperkenalkan dengan karyawan-
karyawannya. Pada hari kedua, kami diminta membuat
berita imajiner dan berita penulis dikatakan paling baik. Redaktur
malah menyangka berita penulis adalah berita sebenarnya (bukan
imajiner) dan penulis diminta meliput berita khas tentang Braga
tersebut.
Namun yang mengejutkan, ketika pulang tiba-tiba redaktur
menugaskan kami meliput berita apapun itu dalam waktu 2 jam
sampai berita tersebut terkirim. Penulis ingat sekali redaktur
mengatakan, “Sambil kalian pulang saja, kalian liput kejadian
menjelang sampai ke Jatinangor.” Setelah itu, kami bertiga berpikir
mana mungkin tiba-tiba kami mendapatkan kejadian menjelang
sampai ke Jatinangor. Saya merasa redaktur sebenarnya ingin
melihat kreativitas penulis dalam mencari berita.
Saya akhirnya mengangkat masalah sekolah internasional
yang baru-baru hangat dibicarakan bahwa tidak ada kelas yang
internasional lagi. Penulis pun mewawancara wakil kepala sekolah
dan siswa-siswa SMA N. 3 Bandung dan SMA N. 5 Bandung.
P
Besoknya ialah hari penentuan akan masuk desk apa.
Redaktur menerangkan ada tiga desk di sana, yakni desk spesial
produk, pemerintahan, dan pemilu karena saat itu sedang
berlangsung Pemilu Gubernur Jawa Barat. Dalam hati kami
sebetulnya saling bertolak-tolakkan, “Amit-amit kalau dapat desk
spesial produk.” Kenapa? Karena saat redaktur menjelaskan, desk
ini berisi tulisan khusus iklan dan bertujuan memancing pengiklan.
Di kampus sebetulnya kami sudah belajar tugas wartawan adalah
membuat berita, bukan menulis iklan. Selain itu, kami juga sering
mendengar isu wartawan yang ditempatkan di desk advertorial.
Rasanya itu bukan wartawan banget gitu loh.
Ketika diundi, sialnya saya mendapat desk produk itu.
Hmmm… Ada rasa kesal sedikit. Namun, saya usahakan berlapang
dada karena namanya juga undian, tentulah ini bukan karena siapa-
siapa. Toh, setelah tiga minggu desk akan berganti lagi. Begitu
perjanjian kami waktu itu, supaya semuanya dapat mencoba desk
yang berbeda-beda. Dan sebetulnya dalam hati saya, “Siapa sih yang
mau liputan iklan setiap hari?”
Dalam perjalanannya, desk ini bukan sepenuhnya iklan.
Iklan dan berita pada desk produk ini berselang-seling tidak
menentu. Pembaca akan sulit membedakan yang mana yang iklan
dan yang mana berita. Bahkan saya pun yang ketika berstatus
magang juga kesulitan membedakannya. Namun yang pasti, di
dalam rubrik ini kita akan menulis berita khas. Tentunya desk ini
merupakan lahan tim iklan agar menghasilkan uang untuk
perusahaan.
Selama tiga minggu saya berada di desk ini. Kejenuhan
dirasakan karena berita khas yang saya tulis tidak sesuai dengan
ekspektasi. Dulu saya membayangkan kerennya seorang wartawan
ketika bisa mewawancara menteri, partai politik, mengetahui isu-isu
hukum-lingkungan, dan lainnya. Namun, kenyatannya saya hanya
berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pengiklan. Ya, rasanya
biasa saja, tidak ada yang menarik.
Ditambah lagi, saya tidak bertemu dengan wartawan-
wartawan lainnya. Jadinya saya tidak ada teman yang bisa membuat
saya berkembang dalam pengetahuan. Bayangkan saja, saya butuh
waktu satu jam untuk mewawancara narasumber karena harus
menulis tulisan yang cukup panjang dalam satu hari. Biasanya enam
halaman. Tentulah saya harus menggali lebih dalam agar berita saya
sesuai dengan keinginan perusahaan dan dapat terbit.
Bila dibandingkan dengan teman saya yang menulis berita
langsung, ia hanya memiliki kewajiban menulis satu setengah
halaman, paling banyak dua halaman. Kekayaan kosa kata untuk
memperpanjang berita memang ditantang di sini. Saya berpikir,
beruntung sekali bila saya menggemari bacaan non fiksi karena
tentu saya akan bisa “mengarang bebas”.
Enaknya pada rubrik ini, memang kita tidak perlu ke
banyak tempat. Cukup satu tempat saja dan kita juga tidak berpanas-
panasan seperti wartawan lain. Terlihat lebih eksklusif memang.
Lainnya, jika meliput perusahaan-perusahaan tentunya akan
mendapat produk dari perusahaan.
Produk yang didapat di Bandung memang tak seberapa bila
dibanding di Jakarta. Biasanya wartawan Bandung mendapat goodie
bag, buku, kalender, dan baju. Berbeda bila liputan di Jakarta,
perusahaan berani memberikan power bank, tiket taksi, voucher
berbelanja di super market ternama, sampai tiket pesawat. Enaknya
lagi, liputan produk ini biasanya dilakukan di hotel-hotel.
Saya memberi nama wartawan yang suka mendapatkan
barang pada acara ini “Wartawan Marchindise”. Beberapa
wartawan ada yang saya lihat selalu datang bila acaranya di hotel.
Ya, waktu itu termasuk saya karena memang di desk produk dan
tidak mendapat informasi lain selain itu. Surat kabar biasanya
membolehkan wartawannya menerima barang, asal tidak menerima
uang. Pada surat kabar tempat saya magang saja, barang menjadi hal
yang lumrah diterima (asal bukan emas atau handphone saja).
Namun, jangan coba-coba bila menerima uang, meskipun itu lima
ribu rupiah. Surat pemecatan bisa langsung dilayangkan.
Jika dipikirkan baik-baik, memang sedikit aneh. Misalnya
saja, saya pernah ditawarkan uang oleh salah satu humas
kementerian. Saya rasa uangnya sekitar Rp 200-300 ribu. Lalu, saya
menolaknya karena takut bermasalah dan risih saja bila menerima
uang. Rasanya menodai idealisme sebagai mahasiswa jurnalistik.
Namun, ketika itu tawaran uang diganti menjadi brownies yang
harganya sekitar Rp 50 ribu. Saya sebenarnya juga takut, tetapi
karena sudah dibelikan dan dipaksa bawa, ya bagaimana lagi. Saya
pun akhirnya membawanya. Saya tidak menyalahi aturan
perusahaan waktu itu. Namun memang ada rasa risih juga dalam
hati saya. Bukannya ini berarti sama saja dengan saya menerima
uang Rp 50 ribu.
Setelah saya konsultasikan dengan dosen saya, Pak Rana,
dia mengatakan itu sebetulnya tidak boleh. Wartawan harus
menjaganya, meskipun itu hanya sebuah pin, kecuali bila diperlukan
untuk peliputan. Misalnya, ketika meliput konser wartawan
diberikan baju kaos seragam. Bila tidak memakainya tidak boleh
masuk. Itu baru bisa ditolerir. “Jadi akhirnya kamu terima?” ujar
Pak Rana. “Wah saya menerimanya, gimana donk pak? Soalnya
kata kantor kalau barang boleh diterima,” kata saya. Pak Rana
hanya geleng-geleng sambil tertawa kecil waktu itu. Namun, dia
tetap menasehati dan menyampaikan kebenaran wartawan tidak
boleh menerima barang, sekecil apa pun itu.
Mengenai penulisan pada rubrik produk ini, penulisan
berita khas di koran ini berbeda dengan yang diajarkan dosen ketika
di kelas. Bila idealnya menulis berita khas produk kita harus
membandingkan produk-produknya. Misalnya, bila memberitakan
handphone maka harus membandingkan antara merek Samsung,
Blackberry, Nokia, Nexian, dan lainnya. Setidaknya harus ada dua
produk. Namun di surat kabar ini, cukup satu produk saja.
Menurut saya, hal ini memang sengaja dilakukan agar tim
iklan dapat menawarkan dengan mudah karena produk ditulis
dalam satu tulisan panjang. Dengan begitu lebih mudah menggaet
hati perusahaan pengiklan karena tulisan yang dibuat khusus
perusahaannya.
Cara kerjanya yaitu saya menulis mengenai restoran atau
korporasi. Kemudian, tim iklan meminta nomor narasumber yang
baru penulis wawancara. Biasanya sebelum tulisan tersebut naik, tim
iklan menelepon korporasi tersebut. Apakah bersedia tulisannya
dinaikkan dengan deal yang nanti sama-sama ditentukan. Kalau
korporasi tersebut tidak mau, bisa jadi tulisan tadi tidak jadi naik.
Tim iklan pun akan mencari perusahaan yang mau beriklan.
Namun, bila kepepet, alias memang tidak ada pengiklan
dan tidak ada tulisan lainnya, biasanya tulisan tersebut akan naik
cetak. Nah, hal inilah trik-trik yang digunakan untuk membiaskan
antara berita dan iklan. Sulit untuk menyatakannya salah karena saat
penawaran yang melakukan penawaran ialah tim iklan, bukan
wartawan. Namun, lain kasus bila wartawan yang turut menawarkan
iklan.
Di surat kabar lainnya yang mengangkat berita positif di
Bandung, wartawan dituntut memiliki kelihaian menawarkan iklan.
Kata kelihaian bernada positif memang. Padahal dengan kelihaian
yang ditanamkan surat kabar, sebetulnya wartawan tengah
dimanfaatkan. Kerja wartawan kemudian bertambah, tak hanya
meliput berita, tetapi juga menawarkan iklan.
Surat kabar berdalih, wartawan harus berupaya menggaet
pengiklan dan menjalin hubungan baik dengan narasumber karena
surat kabar baru berkembang. Wartawan yang waktu itu saya tanya
memang terlihat tidak paham mengenai jurnalistik. Jadi menurutnya
wajar saja bila wartawan menolong perusahaan dengan menawarkan
iklan. Tak hanya itu, beberapa surat kabar juga memberikan fee
kepada wartawan yang berhasil mendapatkan pengiklan. Tak
tanggung-tanggung, fee-nya pun bisa dua kali lipat gaji wartawan itu
sendiri. Maka tidak bisa pula nantinya disalahkan bila wartawan
nanti pilah-pilih, ingin meliput advertorial saja.
Pakar dan praktisi jurnalistik mengutuk praktik tersebut.
Praktik yang menyuruh wartawan selain menulis berita juga
menawarkan iklan. Sebut saja, Bill Kovach praktisi dunia yang
menyebarkan elemen-elemen jurnalisme mengatakan seharusnya
wartawan harus sesuai dengan koridornya. Bahkan, wartawan sebisa
mungkin tidak bertemu dengan tim iklan agar tidak goyah
independensinya. Bahkan di kantor The New York Times, lift antara
wartawan dengan tim iklan dipisahkan. Begitu strict-nya
pengawasan advertorial ini.
Andreas Harsono, murid Bill Kovach, mantan wartawan
Kompas yang saat ini menjadi peneliti independen, mengatakan
suatu ketidakwajaran bila wartawan dipekerjakan sebagai pembuka
jalan untuk marketing. Menurutnya tidak ada istilah wartawan
sebagai pembuka jalan bagi marketing. Ia juga keras ingin
mengukuhkan seharusnya kode “advertorial” diganti saja dengan
“iklan” biar jelas. Hal itu karena pada kode advertorial pun ternyata
masyarakat juga tidak mengenali advertorial ialah iklan. Selain itu,
surat kabar pun ternyata memiliki banyak kode, terkadang
advertorial, adv, KIK, AE, bahkan ada yang tanpa kode. Memang
hal ini membohongi pembaca bukan?
Akar dari persoalan ini sebetulnya menyebabkan goyahnya
independensi wartawan. Independensi merupakan hal yang
terpenting agar wartawan dapat bekerja sesuai hati nuraninya dan
dapat terhindar dari penyuapan-penyuapan narasumber.
Independensi wartawan tentu pula menjaga wartawan agar menulis
berita secara komprehensif, berimbang, dan tidak memuat berita
bohong.
Awalnya perusahaan pers mengambil untung dari
ketidaktahuan wartawan atau mengambil untung dari hasil doktrin
yang mengatakan wartawan tak masalah meliput advertorial.
Namun, lama-kelamaan bisa saja wartawan akan melakukan segala
cara demi mendapatkan uang. Ditambah lagi kesejahteraan
wartawan yang tidak mencukupi. Hal ini tentu dapat menjadi
masalah besar bagi wartawan yang menjadikan profesinya sebagai
bisnis. Padahal kita tahu, profesi wartawan ialah profesi mulia. Ada
yang mengatakan, “Wartawan jujur tak mungkin kaya.” Atau ada
pula yang mengatakan, “Kalau ingin kaya jangan jadi wartawan.
Wartawan tidak akan pernah kaya.” Agaknya petuah itu benar
adanya bila kita menelisih ke lapangan.
Liputan “Bapak”
Oleh: Suci Amelia Harlen
eminggu setelah memulai hari di televisi yang berlokasi
di Jakarta Pusat, gue dapat liputan sakral di kantor itu.
Salah satu Sabtu di April itu, gue liputan wajib sama
salah satu kameramen andalan di sana. Sebut saja
namanya Bang Riga.
Waktu gue kasih tahu kalau gue mau liputan sama dia, dia bilang,
“Yakin mau berangkat sama gue? Cpek loh. Mending cari liputan
lain deh, kasihan nanti.” Gue jawab, “Yah, gimana bang, soalnya
yang lain udah pada berangkat. Gak apa-apa deh bang.”
Memang waktu itu tinggal tim gue yang paling akhir,
lagian sebenarnya gue seneng juga sih dapat liputan si Bapak,
soalnya kapan lagi lihat mukanya langsung. hehehe
Mendapat liputan wajib merupakan suatu kebanggaan di
sini karena semua reporter dan kameramen akan mengecap lo
kameramen handal. Kenapa? Ini karena biasanya yang diturunkan
pada liputan wajib memanglah kameramen yang sudah mahir
mengambil gambar atau yang sudah senior.
Mengapa yang ditekankan kameramen bukan reporternya?
Karena yang penting memang gambarnya. Kameramen harus
standby mengambil gambar mulai dari si Bapak turun dari
S
mobilnya, memberikan sembako, saat bercakap-cakap dengan
warga, sampai si Bapak melambaikan tangan ke warga yang sudah
diberikan sumbangan itu. Saat itu, kamera harus on terus tanpa
pause dan dipastikan gambar tidak boleh goyang.
Liputan wajib juga memupuk tali persaudaraan sesama
wartawan dan kameramen satu grup. Si Bapak yang gue bilang tadi
memanglah pebisnis media raksasa di Indonesia. Dia punya televisi
banyak, media cetak, radio, dan online, semua media itu harus
meliputnya dengan bagus dan menjadikannya breaking news.
Bahkan televisinya yang dikenal profesional pun, juga menjadikan
berita itu breaking news.
Situasi unik terbentuk di lapangan. Mereka yang awalnya
tidak saling kenal kemudian saat bapak datang akan saling back up
mengambil gambar. Di sanalah kepanitiaan kecil insidental
terbentuk. Menarik!
Di sisi lain, liputan wajib adalah hal yang paling dibenci.
Dari awal berangkat Riga udah ngedumel, “Sial gue dapat liputan
wajib!” Banyak wartawan yang menghindari liputan itu karena bila
salah-salah gambar mereka akan diberi surat peringatan. Bahkan
wartawan yang tak ikut dalam tim juga bisa kena “semprot”. Kali ini
gue liputan tentang organisasi masyarakat (ormas) di bawah
naungannya.
Ormas tersebut baru tahun ini didirikan Bapak. Ormas
bernafas kepemudaan itu dibentuk sejak Bapak hengkang dari partai
biru yang dulu mengecewakannya. Tentu saja ormas tersebut penuh
ia danai.
Untungnya, ormas itu sih bisa promosi gratis di kanal-
kanal punya si Bapak. Waktu sedang gencar-gencarnya gue lihat
ormas itu promosi setiap hari dan sehari pun seperti lebih banyak
dari jadwal salat. Tapi akhir-akhir ini gue engga liat lagi sih
iklannya, mungkin udah dikasih surat peringatan sama KPI.
Selama job training di televisi itu, gue banyak mendengar
perekrutan anggota ormas tersebut. Tampaknya memang sulit sekali
mengajak orang lain bergabung . Ya, menurut gue wajar aja sih
karena ormasnya baru dan pandangan politiknya masih meraba-raba.
Ditambah lagi Bapak bukan politisi tulen. Akhirnya perekrutan
anggota dicomot dari organisasi-organisasi kepemudaan lain dan
sebagiannya diambil dari karyawannya.
Mengenai perekrutan ini Bapak pintar memanfaatkan
“kepala suku” dalam organisasi kepemudaan itu. Nah, salah satu
kepala sukunya itu kerja di televisi ini sebagai kameramen. Lalu, dia
diangkatlah menjadi Kepala Cabang Ormas DKI Jakarta. Otomatis
dia mencari anggota dan anggota yang dia ambil juga dari organisasi
lamanya.
Biasanya dalam berpolitik kalau kita pindah organisasi,
organisasi lama akan ditinggalkan karena takut berada di dua kaki.
Namun, di ormas ini semua orang boleh mengikuti organisasi
lainnya. Akhirnya orang-orang yang tergabung dalam ormas si
Bapak adalah orang-orang yang ikut organisasi lain. Jadi ia tidak
memiliki kader murni.
Waktu itu, ormas tersebut dikatakan hanya sebatas
organisasi anak muda. Namun, bila kita memasuki strukturnya, kita
akan tahu bahwa ormas tersebut memiliki sayap kiri dan sayap
kanan (gue dapet info dari anggotanya). Gue nggak tahu persis
bagiannya, yang pasti salah satu sayap adalah untuk pergerakan
anak muda dan sayap yang lainnya untuk tujuan politis. Polanya
hampir sama saat partai empunya berewok menjadi ormas.
Bapak mendirikan ormas sesudah hengkang dari partai
politik (parpol) berewok. Ormas itu merupakan satu langkah
barunya usai keluar dari parpol tersebut. Tempo.co pernah mengutip
bahwa ormas tersebut dapat saja menjadi partai politik suatu saat.
Dalam hal ini, ormas tersebut memang tak mungkin
menjadi partai dalam jangka waktu yang dekat ini, tetapi jelas
dipersiapkan untuk jangka panjang. Pola pembuatan ormas si Bapak
dengan ormas Pak Berewok sangat mirip. Dari ormas menjadi
parpol. Kita seakan-akan de javu dengan hal ini.
Mengingat masa lalu, Bapak keluar dari partai berewok
karena kecewa dengan pendirinya yang menyalahi kesepakatan.
Sebetulnya telah ada kesepakatan bahwa yang akan diangkat
menjadi Ketua Umum Partai Brewok ialah generasi muda yang
dipilih bersama. Namun, sebelum sidang penetapan berlangsung
pendirinya malah maju sebagai calon ketua umum partai tersebut
yang notebenenya tentu akan menjadi bakal calon presiden RI 2014.
Lalu, Bapak marah dan memilih keluar dari partai tersebut.
Langkahnya pun diikuti oleh anggota partai yang lainnya. Akhirnya
berdirilah ormas itu.
Setelah keluar dari partai tersebut, Bapak tengah diincar
oleh partai-partai lain. Saat itu kita sering melihat di televisi
banyaknya partai-partai yang bersilaturahmi dengannya. Namun,
akhirnya Bapak menjatuhkan pilihan kepada partai beratasnamakan
nurani.
Setelah dilamar oleh partai bernurani itu, ternyata ada hal
yang lebih di luar dugaan. Bapak dicalonkan menjadi Wakil
Presiden RI 2014 mendampingi mantan panglima jenderal dari
parpol tersebut. Saat itu, gue memang sempat baca wawancara
Tempo sama Bapak. Tempo waktu itu menanyakan, “Apa sih
sebenarnya yang Anda harapkan dari politik? Jabatan sekelas
menteri bukan target Anda, mungkin Anda mau jadi cawapres?”
Bapak pun hanya tertawa menjawab itu. Dan ternyata dugaan itu
benar.
Wajar saja Bapak menjadi incaran oleh partai-partai karena
bisnisnya memang oke banget. Waktu job training dulu, dua kali
gue meliput rapat saham akhir tahun grupnya. Buset! Pas gue lihat,
raksasa banget bisnisnya. Mulai dari media, asuransi, perbankan,
semuanya ada dan terintegrasi.
Bermuka Dua
Sayang sekali, terjunnya Bapak di perpolitikan tak banyak
didukung oleh anak buahnya. Di depan Bapak, karyawan terlihat
mendukungnya menjadi politisi. Misalnya dengan bersungguh-
sungguh meliput liputannya yang blusukan dan tersenyum saat
mengambil gambarnya. Namun, di belakang para karyawan
sebenarnya tidak suka Bapak berkecimpung di dunia politik.
Sebetulnya nggak hanya karyawannya yang bermuka dua,
tetapi ormasnya pun juga bermuka dua. Waktu liputan, gue sering
dengar anggota ormasnya ngomong di belakang. Gue inget banget
pas orang-orang lagi sibuk nunggu Bapak dan bicarain di mana
Bapak akan datang membagikan sembako. Eh ada yang nyeletuk,
“Dia mana mau masuk ke sini. Mungkin karena jalannya bagus kali
ya. Kalau dia kan suka yang jalannya jelek gitu atau perkampungan
kumuh, baru mau masuk. Hahaha!” Itu kata salah satu anggota
ormasnya sendiri. Parah banget kaan?!!
Agenda Setting
Agenda setting media memang luar biasa dalam
membentuk sosoknya. Agenda setting menurut Komunikasi Massa
karya Elvinaro, dkk (2009: 77) ialah menekankan apa yang
dianggap penting oleh media akan dianggap penting pula oleh
masyarakat. Di sini televisi tersebut memainkan teori ini.
Menurut gue, pembagian sembako itu tidak penting untuk
diberitakan, apalagi bila dijadikan breaking news. Namun, televisi
berusaha membentuk citra Bapak sebagai seorang yang dermawan.
Televisi menampilkan pembagian sembako yang hanya 150 kantong
plastik di setiap titik (total ada empat titik).
Isinya pun tak ada yang berbeda dari sembako-sembako
lainnya, hanya berisi beras, mie, dan minyak. Jika dilihat dari
kantongnya, kantong yang digunakan kantong berukuran 6 sampai
10 kg. Kalau menurut gue sih, sembako itu paling bertahan tiga
sampai lima hari untuk satu keluarga yang beranggotakan empat
orang.
Efek agenda setting terdiri atas efek langsung dan efek
lanjutan. Efek langsung berkaitan dengan isu; apakah isu itu ada
atau tidak ada dalam agenda khalayak; yang kemudian dianggap
penting oleh khalayak. Efek lanjutan berupa persepsi atau tindakan
seperti memilih kontestan pemilu.
Di sini jelas efek langsung yang akan didapat ialah simpati
khalayak terhadap Bapak. Ditambah lagi dengan “kebaikan” hati
ormas yang mau melakukan kegiatan sosial terhadap masyarakat
miskin. Efek lanjutannya jelas agar mendapatkan suara pada pemilu
2014 nanti.
Dalam jurnalistik kita kenal nilai berita agar kita tahu
realitas sosiologis dan psikologis yang benar-benar layak disiarkan.
Mengutip dari diktat dosen gue Sahat Sahala Tua Saragih dalam
“Wawancara dalam Konteks Jurnalisme”, ia menjabarkan ada tiga
belas nilai berita. Nilai berita itu ialah penting, kedekatan, aktualitas,
ukuran, ternama, konflik, seksualitas, emosi, luar biasa, akibat,
kemajuan, mukjizat, dan tragedi.
Dari segi penting, sembako yang diberikan memunculkan
human interest. Namun, pentingnya ini juga dikemas sedemikian
rupa seakan-akan apa yang diberikan begitu besar, padahal tidak.
Jika disebut sebagai berita yang luar biasa, gue engga lihat
keluarbiasaan dari pembagian sembako itu karena terkait pula
dengan ukuran yang diberikan. Bagi gue, luar biasa kalau yang
disumbangkan puluhan ribu sembako dan bukan seremonial belaka.
Pembagian sembako yang dilakukan bukanlah karena tragedi
kemanusiaan, tetapi semata-mata kerja sosial. Lalu, akibatnya pada
penerimanya pun tidak banyak karena jelas tidak dapat merubah
kehidupan penerima sembako.
Mirisnya, orang sekelas Bapak yang kaya raya ini
memanfaatkan sumbangan pemirsa dari televisi-televisinya. Jadi itu
bukanlah dana yang dihimpun dari ormas atau pun CSR dari
perusahaan yang raksasa itu. Sumbangan yang diberikan merupakan
dana dari pemirsa. Namun, ketika di shoot ormas tersebut tidak
mengatakan dana berasal dari pemirsa. Seolah-olah dana itu
didapatkan dari hasil kerja keras ormas. Gue nguping pembicaraan
reporter dan driver saat itu. Wallahualam juga sih kebenarannya,
perlu penyelidikan untuk membuktikannya.
Menurut gue, kalau nyumbang nggak usah diumbar-umbar
sana-sini karena nanti jatuhnya riya’ (bangga karena telah berbuat
baik). Bukankah cukup Tuhan saja yang tahu kebaikan kita?
Lucunya negeri ini, sumbangan pun dijadikan drama dalam
televisi. Masyarakat juga tidak sadar bahwa dirinya tengah
dimanfaatkan oleh orang-orang yang seolah mengatasnamakan
tangannya sebagai tangan Tuhan. Masyarakat ditipu dan dijadikan
komodifikasi.
Ketika memberikan sumbangan, masyarakat diatur dan
disiapkan dengan baik. Lalu mereka di shoot dan ditanya-tanya hal-
hal yang seolah akan membuat pemirsa teriris. Padahal sebetulnya
yang gue lihat dilapangan, masyarakat itu gembira. Mereka tidak
bersedih dengan kemiskinan mereka. Lalu, apa salahnya menjadi
miskin kalau toh kita bisa bahagia dengan kemiskinan itu? Namun,
paradigma yang dibentuk ialah masyarakat miskin perlu dikasihani
dan ditangisi. Padahal mereka tidak butuh dikasihani.
Liputan yang menghabiskan waktu seharian itu pun
berakhir. Kameramen dan driver tiba-tiba ngedumel lagi, “Bakal
kayak gini nih sampai 2014!”. Sang driver bilang, “Gue sih ogah,
gue mau balik lagi ke TPI. Dari pada gitu, mending gue pulang
kampung. Capeek!”
Mata Najwa: Risetnya Tolong Dilengkapi dong!
Oleh: Dara Aziliya
“Risetnya tolong dilengkapi dong!”, “Kok yang ini ga lengkap?”,
“Kok yang ini datanya minim banget?”, “Tolong wawancara si ini
ya”, “Tolong ke sana dong untuk cari kelengkapan berkasnya”,
“Kok yang ini ga ada sih?, “Ih gue pengen ini deh”.
Pernah saya bayangkan sebelumnya, kalau seorang Najwa
Shihab itu adalah orang yang sangat perfeksionis, mendetil, pintar,
dan teliti. Ternyata dugaan tersebut benar adanya. Dari
karakteristiknya ketika mewawancara dan menembaki narasumber,
bisa terlihat betapa intelektualnya dia. Dua bulan bekerja untuknya,
saya paham alasan Mata Najwa menjadi 5 besar talkshow terbaik
Indonesia. Menurut saya, wajar dari seorang Najwa Shihab dan dua
produser yang luar biasa lahir sebuah program talkshow yang
cerdas.
Kalimat-kalimat pada paragraf awal adalah kalimat-kalimat
khas dari Najwa Shihab yang biasa saya panggil Mba Nana. Selain
menyandang status owner program Mata Najwa, kita semua tau
kalau Mba Nana adalah wakil pemimpin redaksi stasiun TV berita
negeri ini, Metro TV.
Hari pertama di mata Najwa, produser membawa saya
bertemu Mba Nana untuk dikenalkan. Saya yakin saat bersalaman
kami freeze 5 detik melihat hidung satu sama lain, saling iri. Well,
saya akhirnya tau kalau hidung Mba Nana lebih mancung dari milik
saya :p . She’s smart dan saya ga paham lagi dengan betapa telitinya
dia. Mba Nana adalah orang yang bisa tegas bahkan untuk kesalahan
titik dan koma. Namun, itu tidak membuatnya terlihat menyeramkan
karena di titik yang sama, Mba Nana adalah orang yang tetap
memakan makannya yang telah jatuh atau mengorek-ngorek kerak
Astor sampai habis. She’s so decisive and humble at the same time
.
Saya belajar banyak hal dari Mba Nana. Paling terasa jelas,
kemampuannya dalam mewawancara. Saya sampaikan sebuah
rahasia: kalau ada narasumber yang ia ‘serang’ di studio,
sesungguhnya itu sudah terencana. Saya juga belajar bagaimana
mewawancara yang baik, di kelas wawancara. Namun, sampai detil
memperhitungkan “pertanyaan ini harus dikeluarkan ketika
narasumber mengambil napas ke sekian”, sejujurnya saya bengang-
bengong sendiri mendengarnya.
Mba Nana tidak pernah kehilangan fokus, ia total
menyerahkan diri ketika mewawancarai narasumber. Benar apa
yang sering kita dengar, sebelum mewawancara pewawancara harus
siap. Menjelang taping, Mba Nana belajar total dari bahan riset yang
sudah disusun oleh tim. Saya pernah melihat ia terus membaca
melalui iPad-nya, sementara perias sibuk membenarkan make up-
nya.
Seperti yang selama ini kita tahu, Mata Najwa selalu
berusaha menghadirkan narasumber-narasumber lingkar satu dari
sebua kasus/persoalan. Meskipun demikian, Mata Najwa tak lupa
mengajak mahasiswa internship dalam mengambil keputusan. Dia
pernah bertanya, “Siapa ya Dar yang bisa kita jadikan pengamat?”.
“Menurut lo judulnya ini bagus ga, Dar?” sampai menanyakan,
“Besok rapat kita makan apa ya?”.
Jangan mengira, tidak pernah ada yang menolak diundang
Mata Najwa. Beberapa menteri misalnya, mengaku jera karena di
episode sebelumnya telah ‘dikupas habis’ oleh Mba Nana. Jangan
mengira juga, program ini digarap dengan produser serius yang
super nerdy. Kalau frustrasi mikirin narasumber, produser bisa
dengan lunglainya mengajak beli rujak atau ngopi di kafe, lalu
tertawa lagi.
Jujur, mulai dari hal sederhana sampai rumit, saya tidak
pernah merasa tidak dianggap oleh tim. Saya amat diberdayakan
dengan baik dan menyenangkan. Meski berada dalam tekanan riset
dan riset, tim menyusun kondisi sedemikian rupa, agar tidak ada
anggota tim yang tertekan saat bekerja.
That’s right, drama drama oh so everywhere. Meski hanya
magang untuk Mata Najwa, saya memang mendengar banyak
selentingan gejolak di Metro TV. Sebagian karyawan memilih
memperjuangkan hak yang menurut mereka harus mereka dapatkan,
di saat sebagian lainnya memilih diam dan bekerja dengan tenang.
Saya ingat ketika saya menyelesaikan masa magang di Mata Najwa,
saya menyalami setiap orang sambil menangis sedih karena masa
job training yang menyenangkan akan berakhir (or I cried because I
just realized that I must back to reality – Lapjob, Usmas, dan
berbagai Sidang. I don’t even sure :p). Salah seorang staf tim Mata
Najwa mengatakan: Dara, don’t ever come back here! Iya, dia
bilang, jangan sampai saya bekerja di Metro TV. Saya ga paham
persis apa alasannya, tapi saya yakin, persoalannya tidak jauh dari
aspek pemenuhan hak karyawan. Baiklah, saya tidak melanjutkan,
karena saya ga mau menyebar isu yang saya sendiri tak yakin :D
Demi kebaikan semua pihak, tolong sangat, give the best of
your best saat melakukan job training. Untuk apa tiga tahun di
Jurnalistik, kalau job training kita lakukan setengah hati♥
Hikayat Berburu Kepala Sistem Informasi e-KTP
Oleh: Surya Rianto
alan Tanah Abang pukul 09.30 WIB di Jumat awal tahun
2013, aku panik resah melihat jam tangan setiap detik. Saat
itu kendaraan roda duaku berhenti karena macet. Hari itu
pertama kalinya aku meliput sebuah liputan khusus pada
media yang menjadi tempatku bernaung saat menjalani job training.
Pertemuan pukul 10.00 WIB di Gedung E Kemendagri
(Kementerian Dalam Negeri) samping Istana Negara menjadi
tujuanku saat itu. Satu kekonyolan pagi itu, aku tak tahu letak persis
Gedung Kemendagri. Hanya tahu satu informasi, gedung itu berada
di samping Istana Negara. Nyatanya hal ini membuat sebuah
masalah selanjutnya, walau masalah kecil.
Setiap liputan khusus “43 Kiprah Peneliti Indonesia” di
Harian Media Indonesia , aku selalu didampingi fotografer. Kali ini,
pasangan fotograferku ialah Mas Adam. Ia juga pernah menemaniku
saat liputan Rubrik Komunitas seminggu sebelum bertemu peneliti
sistem informasi e-KTP yang sedang kuwawancara ini. Untungnya,
kali ini Mas Adam terjebak macet jadi tak perlu merasa tidak enak
karena terlambat.
J
Sebelum hari-H (wawancara narasumber dari peneliti e-
KTP), aku merasakan dilema. Jadi menurut sebuah sumber, si
peneliti yang akan diwawancarai nanti ternyata terjerat kasus
penyelewengan e-KTP. Namun, pemberitaannya tidak terlalu
diangkat dan saat itu hanya muncul di satu portal berita dalam
jaringan (daring) saja.
Aku ingin membicarakan hal tersebut kepada asisten
redaktur yang menjadi penanggung jawab liputan khusus ulang
tahun. Namun, aku ragu karena kondisinya sedang kekurangan stok
berita liputan khusus tersebut. Akhirnya, aku memutuskan
mewawancarainya saja dan berencana bertanya mengenai kasus
tersebut pada akhir wawancara biar jelas.
Kembali ke perjalanan menuju Gedung E Kemendagri,
akhirnya aku bisa lolos dari macet di Jalan Tanah Abang yang amat
menakutkan tersebut. Kendaraan roda dua berumur empat tahun
yang kukendarain pun langsung melaju kencang bak Jaguar
memburu mangsanya.
Akhirnya sampai pula di dekat stasiun Juanda, di sana pula
kebingungan melanda mencari Gedung Kemendagri. Aku cari
tukang ojek yang kuyakin tahu ke mana arah Gedung Kemendagri,
tukang ojek tersebut memakai jaket hitam merah dan sedang
memakan sate usus di tukang bubur.
“Gedung Kemendagri lurus aja dikit lagi, yang warna putih
mas,” ujar tukang ojek tersebut yang kubalas dengan ucapan terima
kasih.
Setelah mendapatkan penjelasan dari si tukang ojek, aku
pun melaju dengan tenang dan senyum kemenangan. Namun,
beberapa detik kemudian, aku baru menyadari semua gedung
berwarna putih dan itu ada sekitar empat gedung. Dua gedung
pertama tidak mungkin Gedung Kemendagri karena itu gedung
swasta dan satunya lagi rumah makan padang.
Akhirnya, dengan polosnya aku memasuki gedung ketiga
yang dijaga dua orang berpakaian loreng bertanda Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Baru beberapa langkah masuk ke dalam gedung,
tiba-tiba terdengar suara bentakan.
“Hey mas! Bawa motornya, buka jaket dan helmnya, ke
sini sekarang juga!” ujar salah satu penjaga pos yang mengenakan
seragam loreng kepadaku.
Aku terkejut panik dan dalam hati berkata, Apakah
peraturan di gedung Kemendagri seketat ini? Aku pun berjalan
menuju ke pos penjagaan sambil membawa motor dan bagian tubuh
lain ribet menahan jaket yang baru saja kulepas dan tak sempat
dirapikan.
“Ada urusan apa kamu ke sini?” tanya si bapak pakaian
loreng sambil membentak.
“Mau wawancara e-KTP di Kemendagri pak, saya dari
Media Indonesia,” aku menjawab dengan sungkan dan was-was
takut-takut ia minta tanda pengenal pers yang aku tak punya.
Tiba-tiba bapak pakaian loreng yang galak tadi merubah
mimik wajahnya menjadi tersenyum. Dia berubah 180 derajat
menjadi sosok yang ramah dan memberitahuku kalau tempat itu
bukanlah Kemendagri, kantor Kemendagri ada di gedung sebelah.
Akhirnya aku diizinkan keluar Gedung Angkatan Darat tersebut
tanpa embel-embel push up yang aku perkirakan.
Aku menceritakan hal itu pada Mas Adam dan ia tertawa.
Katanya, untung saja aku tidak disuruh buka baju, jalan jongkok dan
push up. Dalam hati, ya beruntunglah aku hari itu.
***
Bersama Mas Adam, aku masuk ke ruang yang menjadi
tempat pertemuan dengan narasumber e-KTP. Ruangannya di
tempat server , di mana semua data penduduk se-Indonesia ada di
tempat tersebut. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi amat sejuk dan
pengamanan ketat serta bersih sekali. Ada sebuah ruang kecil yang
biasa digunakan untuk rapat, di sanalah aku bertemu dengan bapak
peneliti sistem informasi e-KTP ini.
Aku terkejut ketika masuk ke ruangan, di dalam ruangan
itu ada sebelas orang, dua mahasiswa, dua orang asing yang berasal
dari India dan sisanya peneliti sistem informasi e-KTP. Cuma,
formasi sebelas orang yang terlihat seperti mengeroyok ini, sempat
membuatku canggung. Pasalnya aku ingin membicarakan masalah
kasus personal narasumberku itu.
Hampir satu setengah jam penjelasan teoritis dan profil
narasumber yang kuangkat dijelaskan, hingga membuat Mas Adam
tertidur di ruangan. Posisi dudukku di ruangan yang mempunyai
meja elips itu ialah di sisi sudut tengah bagian kanan tepat
disamping narasumberku. Sementara, lainnya mengitari aku dan
narasumberku. Mata mereka menatap dalam-dalam berbagai
perbincangan kami dari masalah secara umum tentang e-KTP dan
pribadi narasumber. Namun, hari itu aku putuskan untuk tidak
menanyakan kasus tersebut, terlalu banyak pasang mata melihat,
hati ini jadi tidak enak.
Di situlah kesalahanku, rasa tidak enak itu membuat
berbagai pertanyaan dikepalaku tidak terjawab. Apalagi, jauh
setelah liputan e-KTP tersebut, senior kampusku yang bekerja
menjadi wartawan di Media Indonesia mengatakan sosok yang
kuwawancarai itu memang bermasalah. Namun, aku mencari
beritanya setelah itu malah sudah tidak ada lagi.
Kembali pada saat aku mewawancarai narasumber e-KTP
tersebut, sampai pada momen pengambilan gambar. Entah orang
yang saya ceritakan ini asistennya narasumberku atau apanya, tapi
pada proses pemotretan entah mengapa dia yang ribet sendiri.
Latar pemotretan diambil pada ruangan server yang cukup
dingin. Karena di sana ada beberapa CPU yang mempunyai daya
simpan hingga sekitar 1 juta Terrabyte. Sehingga suhu ruangan
harus tetap dingin agar CPU tersebut tetap terjaga. Namun, ada
momen kikuk, ketika asisten narasumberku ini mencoba
mengeluarkan dua orang asing dari ruangan server. Katanya sih
takut dilihat tidak enak saja ada orang asing di dalam ruangan server
yang berisi data negara. Akhirnya, dua orang asing tersebut
menunggu di luar hingga sesi pemotretan selesai.
Meskipun begitu, seperti yang kubilang tadi, entah
mengapa asisten narasumberku itu begitu riweuh pada sesi
pemotretan. Seolah-olah dia yang ingin di foto, atau mungkin
seolah-olah dia fotografer dengan ribet mengatur pose
narasumberku.
Kemudian, ribetnya asisten narasumberku tak hanya saat
sesi pemotretan. Tapi, juga ketika sesi makan siang setelah Salat
Jumat, ia menjadi sosok yang repot. Pertama, ia repot mencari
tempat makan, tapi kali ini memang ia mendapatkan tugas mencari
tempat makan. Kedua, ia repot mengambil lauk dan memesan
minuman.
Bayangkan, di meja makan itu, semua minumannya teh
tawar hangat kecuali asisten narasumberku yang memesan jus.
Selain itu, di meja makan itu, semua hanya mengambil satu lauk
pauk, tapi asisten narasumberku itu mengambil tiga lauk pauk.
Aku saat makan siang itu dilema, bertanya-tanya dalam
hati apakah ini termasuk gratifikasi? Apalagi si narasumber punya
kasus? Apakah nanti kalau dia terjerat kasus aku akan jadi saksi
karena pernah ditraktir? Tapi benarkah aku ditraktir? Ini rumah
makan padang yang punya sejarah dan harganya agak tidak sesuai,
kemudian aku belum ambil uang pula.
Akhirnya, kami semua santap siang yang saat itu Jakarta
sedang diguyur hujan yang deras. Pembicaraan makan siang pun
agak mengarah ke permasalahan banjir di Jakarta dan peran
gubernur yang baru saat itu, Joko Widodo. Pembicaraan pun
semakin panjang karena menunggu asisten narasumberku ini selesai
makan. Karena setelah ini lanjut perjalanan ke Penerbitan Negara
Republik Indonesia (PNRI) di dekat Salemba. Selesai makan siang,
ternyata aku benar ditraktir dan semoga kalau dia terjerat kasus
sebagai tersangka, aku tak ikut-ikut menjadi saksi karena telah
menerima gratifikasi.
***
Perjalanan selanjutnya menuju PNRI, dengan kondisi
jalanan yang masih basah karena habis disiram hujan lumayan deras.
Aku menjalankan motorku agak cepat menyeimbangkan kecepatan
motor mas Adam, Fotograferku. Sementara, narsumku naik mobil
dan asistennya juga naik mobil yang berbeda dengan narsumku.
Sekitar lima belas menit kami sampai di PNRI, karena
habis hujan lebat membuat jalan Jakarta tidak macet. Ternyata
pengamanan di PNRI cukup ketat, aku dan Mas Adam tidak bisa
masuk lebih dulu ke dalam ruangan karena identitas tidak jelas dan
orang yang akan ditemui belum tiba. Akhirnya, kami berdua
menunggu di parkiran sampai narasumberku tiba.
Kami akhirnya masuk PNRI bersama narasumberku
dengan asistennya. Kesan pertama masuk PNRI dari pandanganku
ialah seperti masuk ke sebuah markas dalam permainan di
komputer. Bayangkan, pintu masuk ke dalam saja ada tiga lapis
yang amat berdekatan. Semua pintu itu bisa terbuka dengan kartu
identitas khusus.
Sebuah ruangan yang besar dengan sekitar tujuh mesin
pencetak e-KTP , serta ada beberapa orang asing dari Jerman
mondar-mandir mengecek berbagai hasil pekerjaan dan kinerja
mesin cetak asal Jerman tersebut. Saya pun disambut seorang pria
bertubuh kecil yang menjadi pemimpin di tempat itu tampaknya.
Obrolan pun dimulai dengan bahasan tentang mesin cetak
asal Jerman dan kehadiran beberapa penelitinya. Mereka bekerja
sekaligus meneliti di ruang tersebut karena alat cetaknya jenis paling
baru dan sedang di uji ketahanannya. Namun saya melihat dari sisi
lain, miris melihat bangsa sendiri bekerja dengan susah payah, tetapi
orang asing hanya mengecek seolah mempunyai kasta yang lebih
tinggi.
Pria bertubuh kecil itu pun melanjutkan pembicaraan
dengan menjelaskan berbagai keunggulan dari e-KTP Indonesia
dibanding negara lainnya. Walaupun, e-KTP yang sekarang saya
pegang belum mempunyai keunggulan yang konkrit. Tapi, pria
bertubuh kecil yang menjadi koordinator di PNRI tersebut
mengatakan harusnya ada integrasi informasi yang dimanfaatkan
dari e-KTP oleh pihak pemerintah dan swasta. Ditengah-tengah
obrolan, tiba-tiba ponselku berbunyi yang membuat hening situasi
ruangan seketika.
“Surya, bagaimana wawancaranya? Ini tulisan untuk besok
ya, deadline kamu jam 9 malam ini, dua feature, ditunggu!” ujar
asisten redakturku lewat telepon yang membuat aku sedikit terkejut.
Kulirik jam tanganku yang menunjukkan pukul empat sore,
sementara aku berada di pinggiran Jakarta Timur. Rumahku berada
di Kota Tangerang yang tepatnya di pinggiran Jakarta Barat.
Estimasi waktu dari PNRI ke rumah kutentukan menjadi 2,5 jam
karena bersamaan dengan jadwal pulang kerja. Di sana aku mulai
resah, kukatakan apa adanya kepada Mas Adam. Akhirnya, Mas
Adam segera mencari stok gambar di berbagai ruangan PNRI dan
aku melanjutkan obrolan sambil keliling-keliling. Akhirnya pada
pukul setengah 5 sore, aku dan Mas Adam langsung segera bergegas
dari PNRI.
Di jalan pulang Mas Adam dapat godaan dari pekerja SMK
di PNRI. Aku iri pada Mas Adam yang sudah punya istri dan anak
masih saja digoda. Masa aku yang masih bujang, jangankan digoda,
dilirik saja tidak (hahaha intermezzo). Tapi itu tak terlalu dipikirkan
dalam-dalam karena yang jelas aku panik diburu garis mati dari
asisten redaktur tersebut.
***
Ditengah perjalan pulang, teman sejawat magang yang satu
kampus juga mengirimkan pesan instan kepadaku. Isinya
menyarankan aku untuk menanya kasus e-KTP yang berhubungan
dengan narasumberku itu, karena asisten redaktur sudah
mengizinkan. Namun apa mau dikata, saat wawancara aku seperti
dikeroyok sebelas orang yang akhirnya tak kutanyakan dan jadi rasa
penasaran tersendiri hingga kini.
Aku pun memilih fokus jalan pulang agar sampai secepat
mungkin di rumah dan menyelesaikan tuntutan dua tulisan.
Sebelumnya aku beli se-bar coklat untuk menemani kepanikan garis
mati. Tapi karena terlalu memburu rumah aku lupa mengisi bahan
bakar motorku yang sudah habis. Untungnya tak lama kemudian aku
menemukan pom bensin. Sesampai di rumah, aku mengunci pintu
kamar dan minta untuk tidak diganggu. Akhirnya kukebut tuntutan
garis mati dua tulisan sambil sedikit ada teror lewat pesan singkat
untuk segera menyelesaikan tulisan. Tulisan pertama kukirimkan
pada pukul setengah Sembilan malam. Hal tersebut sebagai dalih
agar tulisan kedua bisa kukirimkan agak telat. Tulisan keduaku pun
dikirim pada pukul setengah sepuluh malam.
Esoknya, kubolak-balik surat kabar Media Indonesia,
ternyata sama sekali tidak ada tulisanku. Aku pun langsung berpikir
ternyata tulisanku itu tidak layak naik karena jelek. Pikiran itu
sedikit membuat kepercayaan diriku jatuh.
“Surya, sini ke meja saya sebentar,” ujar redakturku yang
pendiam. Mengejutkan bagiku karena itu pertama kalinya aku
berkomunikasi dengannya. Ternyata dia baik sekali.
“Kemarin ada kiriman dari kontributor, jadi punya kamu
saya geser buat besok saja, soalnya belum sempat diedit,” ujar
asisten redakturku itu dengan senyuman.
“Surya, yuk kita edit tulisanmu ini,” ujar sang redaktur.
Setelah itu aku tenang, ternyata bukan masalah tulisanku yang
terlalu buruk rupa hingga tak layak tayang.
Selanjutnya, aku pun bertemu berbagai macam jenis
peneliti lainnya, dari yang malu-malu kucing saat diwawancarai,
curhat masalah gaji sampai narsis dalam hal foto. Tapi, dari sana ada
satu simpulan dariku, jurnalis harus siap membahas apapun, bahkan
hal yang diluar dasar pengetahuannya. Seperti mewawancarai
peneliti, setidaknya jurnalis harus paham berbagai hal ilmu pasti
yang menjadi dasar penelitiannya. Walaupun hanya paham sekilas
tak masalah. Jurnalis merupakan jembatan untuk menerangkan ilmu
yang kompleks kepada masyarakat awam dengan latar yang
beragam.
TV LOKAL TEMPAT BELAJAR
Oleh: Arif Mulizar
uliah di jurusan Jurnalistik Fikom Unpad mungkin
tidak menjadi harapan semua orang. Tapi penulis
yakin, orang-orang yang punya jiwa petualang, keras
dan tahan banting akan “bahagia” mengikuti proses
merengkuh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di jurusan ini. Berbagai
mata kuliah dengan tugas “segudang”, deadline yang singkat,
disiplin yang tinggi tentu bukan kehidupan yang mudah dijalani oleh
seorang mahasiswa yang baru saja lulus dari kemanjaan siswa SMA.
Berbagai mitos melekat erat di jurusan ini, menyakitkan
memang mengetahui mitos-mitos yang benar adanya. Salah satu
mitos yang ternyata bukan sekadar mitos adalah lulus lama. Kuliah
di Jurusan Jurnalistik ternyata memang memerlukan durasi yang
lebih panjang dibanding jurusan lain di Fikom Unpad. Bukan karena
jumlah SKS yang lebih banyak, dan bukan pula karena kuliah di
jurusan ini lebih sulit sehingga menyulitkan lulus di berbagai mata
kuliahnya, tapi karena satu mata kuliah saja. Mata kuliah ini
sederhana, mahasiswa diminta untuk menjadi seorang jurnalis
sungguhan, di media sungguhan selama 90 hari kerja. Mata kuliah
ini disebut Job Training (saya singkat: JT). Dibagi menjadi dua
jenis, JT Cetak yaitu bekerja di media cetak, dan JT Elek untuk
K
bekerja di media eletronik. Mata kuliah inilah yang membuat
mahasiswa jurnalistik lulus lebih lama.
Apakah lulus lebih lama karena JT merugikan mahasiswa
jurnalistik? Tentu tidak, menurut penulis JT adalah kesempatan
terbesar bagi mahasiswa jurnalistik untuk menjadi wartawan 4 SKS
dan mengaplikasikan semua ilmu yang dimilikinya. Dalam tulisan
ini penulis akan menceritakan sekelumit kisah dan pengalaman
tentang JT di stasiun TV lokal, PJTV (Paris Van Java TV) yang
menurut penulis luar biasa dan mudah-mudahan bisa dijadikan
pembelajaran bagi pembaca.
Televisi atau biasa disebut TV sudah tak asing lagi di
telinga dan mata manusia. Walau tidak semua orang memiliki TV,
tapi hampir mayoritas orang tau TV itu apa. Penulis tidak akan
menjelaskan sejarah pertelevisian nasional atau sejarah
perkembangan teknologi TV di Indonesia. Penulis hanya akan
berceritra tentang kegiatan penulis berusaha membuat isi dari benda
bernama TV.
Menjadi pekerja di staisun TV bukanlah sesuatu yang
mudah. Itulah yang pertama kali penulis rasakan saat turun langsung
ke lapangan sebagai jurnalis TV. Penulis merasakan betapa tidak
mudahnya mencari isu, wawancara, menjadi kamerawan, floor
director, bahkan switcherman Dalam pelaksanaan job training
(JT) ini penulis merasakan manfaat yang sangat luar biasa, ilmu
pengetahuan yang semakin bertambah serta mendapatkan berbagai
pengalaman-pengalaman menarik dan luar biasa. Pelaksanaan JT
penulis diawali sejak tanggal 15 April- 15 Juni 2013.
Selama pelaksanaan JT penulis mendapatkan sangat
banyak pengalaman. Berkali-kali mungkin penulis akan mengatakan
bahwa PJTV merupakan tempat JT terbaik yang pernah ada. Penulis
berkata demikian karena PJTV benar-benar memfasilitasi penulis
untuk belajar yang benar-benar belajar. PJTV mengarahkan dan
memfasilitasi penulis untuk mempelajari apapun. Mulai dari
kamerawan, floor director, telepromter, vo, reporter, sampai
switcherman.
Awalnya penulis sempat frustasi pada hari-hari awal
melaksanakan JT di PJTV. Penulis tidak tau harus mengerjakan apa,
penulis hanya duduk, nonton, internet-an, lalu pulang. Tidak jelas
mau melakukan apa. Namun, hal itu hanya berlangsung beebrapa
hari, karena hari-hari selanjutnya penulis benar-benar merasakan
padatnya bekerja sebagai insan pertelevisian. Tugas pertama penulis
adalah mengisi vo (vo) berita. vo adalah suara yang membacakan
berita saat gambar dari berita ditampilkan. Tak pernah terbayang
oleh penulis, suara penulis bisa menjadi pengisi vo untuk berita yang
disiarkan. Ternyata menyenangkan mendengarkan suara diri sendiri
lewat kota ajaib bernama TV.
Kegiatan penulis tidak sebatas mengisi vo, penulis mulai
merambah berbagai kegiatan lain. Salah satunya menjadi
kamerawan, menjadi kamerawan bukanlah hal yang mudah. Penulis
sangat merasakan ketika melakukan liputan sebagai kamerawan.
Betapa berat dan sulitnya menentukan pengambilan angle gambar
menggunakan kamera. Bukan hanya karena ukuran kamera TV yang
besar dan berat, tapi juga karena kurang terbiasanya penulis
memegang kamera produksi TV.
Penulis merasa beruntung bisa memepelajari semua itu dan
bahkan dipercaya untuk berbagai produksi berita yang ada di PJTV
selama penulis melaksanakan JT di PJTV. Penulis bukan tanpa
kendala dalam melaksanakan tugas sebagai kamerawan. Sering kali
penulis diingatkan atau malah dimarahi karena salah mengambil
angle kamera atau tidak fokus dalam mengambil gambar. Pelajaran
yang bisa penulis ambil adalah, betapa beratnya tugas para
kamerawan TV yang berjam-jam memikul kamera dan berkeliling
kesana kemari. Penulis juga menyadari setiap menonton liputan
langsung atau liputan lapangan di TV di balik gambar yang
terpampang di TV, ada seorang kamerawan dengan pundak yang
skait dan tangan yang pegal.
Selain menjadi kamerawan penulis juga menjadi repoter
yang mencari berita dan mewawancara narasumber dengan mic di
tangan, hal ini dilakukan beberapa kali oleh penulis, salah satunya
penulis melakukan stand up di depan kamera saat melakukan
liputan tentang Cibaduyut. Selain itu penulis juga melakukan
beberapa kali pengambilan video tape untuk pelaksanaan debat
Gubernur Jabar dan Wali Kota Bandung. Penulis merasa beruntung
PJTV sangat percaya dengan produksi yang dilakukan oleh
mahasiswa JT. Penulis merasa seperti benar-benar dibebani dengan
ilmu yang dimiliki tentang produksi berita elektronik, feature
televisi, dan produksi jurnalisme TV yang dipelajari sebanyak 9
SKS di bangku perkuliahan.
Selama JT penulis paling sering melaksanakan dua tugas
utama, yaitu menjadi switcherman dan floor director. Penulis tidak
pernah membayangkan akan menjadi seorang switcherman dalam
sebuah produksi siaran TV,ternyata PJTV mewujudkan hal tersebut.
Penulis bertanggung jawab mengatur dan memerintahkan
kamerawan mengambil gambar sesuai apa yang penulis inginkan.
Penulis bertanggung jawab atas apa yang ditampilkan dan dilihat di
layar kaca oleh khalayak PJTV. Floor director juga tidak kalah
penting dibandingkan tugas sebelumnya, menjadi FD penulis
mengatur keadaan studio atau lapangan tempat produksi seperti
narasumber, penonton, dan pembaca berita, penulis melakukan
hitungan mundur untuk menentukan kapan pengambilan gambar
selesai dan dimulai, kapan take kapan cut, dan kapan penonton
bertepuk tangan, atau kapan kamera bisa dimatikan.
Selain semua pekerjaan atau tugas yang telah penulis lakukan
di PJTV selama penulis JT, ada salah stau hal yang paling berkesan
bagi penulis. Hal yang paling berkesan itu adalah ketika penulis
dipercaya oleh produser untuk mengajarkan pada anak magang lain
cara bekerja di PJTV. Tugas ini sangat berat bagi penulis, tapi ini
merupakan suatu penghargaan yang sangat besar bagi penulis.
Penulis berkesempatan berbagi ilmu dengan 4 orang mahasiswa dan
2 orang SMK yang baru melaksanakan magang di sana. Penulis
menjelaskan bagaimana mengerjakan suatu pekerjaan di PJTV.
Menjadi seorang jurnalis di TV lokal membuat penulis
merasa sangat bernilai. Selama ini penulis hanya menjadi wartawan
untuk tugas kuliah, tapi sekarang penulis mampu menjadi wartawan
sungguhan yang beritanya bahkan liputannya disaksikan di sebuah
stasiun TV lokal
Awal mula bergabung dengan PJTV penulis merasa bukan
siapa-siapa. Tapi lama-kelamaan penulis merasa inilah tempat
penulis. Penulis merasa sangat beruntung melaksanakan JT di PJTV.
Lingkungan dan orang-orang yang sangat ramah dan kekeluargaan
yang akrab membuat penulis sangat nyaman berada di kantor selama
ber jam-jam. Penulis juga melaksanakan berbagai macam tugas
tanpa dibatasi. Penulis diperbolehkan menjadi apa saja yang penulis
mau dan belajar apa saja agar mendapatkan pengalaman lebih.
Berat rasanya mengetahui bahwa penulis harus segera
meninggalkan semua ini karena JT yang setelah diselesaikan jangka
waktunya. Tapi penulis sadar bahwa pelajaran di sini sangat
berharga dan tidak akan sia-sia. Penulis merasakan betapa
keakraban yang sangat kuat di seluruh karyawan PJTV, tidak ada
perasaan bahwa penulis merupakan mahasiswa magang. Penulis
dianggap keluarga besar PJTV. Bahkan yang paling berkesan
penulis seringkali diikutkan di rapat-rapat besar redaksi dan rapat
penting lainnya.
Mungkin hanya sedikit paparan kisah penulis tentang JT di
PJTV, semoga ada manfaat yang bisa diambil dari kisah ini. Tidak
ada pekerjaan yang mudah, tidak ada keberhasilan tanpa usaha.
Tujuan utama penulis dalam pendidikan adalah menjadi Sarjana
Ilmu Komunikasi dan JT adalah langkah untuk menuju itu, Ternyata
JT bukan hanya formalitas untuk syarat kelulusan tapi, JT menjadi
pelajaran berbeda di luar kampus yang penulis dapatkan secara
maksimal. Menjadi insan pertelevisian selama 3 bulan bukanlah hal
yang mudah jika penulis tidak mengikuti perkuliahan di bangku
kuliah secara serius.
Gara-gara JKT48!
Oleh: Satria Perdana
ak kok tinggi banget sih?”
“Kakaknya kok malu-malu sih?”
“Emang oshinya siapa sih kak? Nanti aku
salamin deh...”
Itu tadi kata-kata kenangan yang paling gue inget selama
magang di majalah paling gaul pake banget di Indonesia, HAI
Magazine. Pasti penasaran itu dari siapa? Hehehe... Nanti gue
jawab.
Nah, gue kurang lebih 90 hari, lah, magang di majalah
yang kantornya terletak di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu.
Banyak banget pengalaman luar binasa dan enggak biasa di kantor
media yang sehari-harinya kerjanya ‘nyantai’ banget gitu.
By the way, gue Satria Perdana. Biasa dipanggil Satria dan
bisa dibilang gue ini anaknya agak pendiam, serta tukang galau.
Nggak tahu sih galauin apaan yang penting dibikin asik aja. Kayak
pertama kali magang di HAI, di hari pertama masuknya kaku, tapi
pas pulang di hari pertama pula jadi nggak kaku lagi.
Jadi gini ceritanya. Hari pertama gue magang di HAI tuh
agak awkward ya. Gimana nggak, masa hari pertama ketika gue
“K
duduk di bangku kosong buat anak magang ada tutup mesin cuci
sama kartu Yu-gi-Oh!? Nggak cuma itu, masih di hari pertama, tapi
di sore harinya, di kantor ada yang main sepeda!
“Gila ini kantor, emang berkah banget gue kalo nanti bisa
kerja di sini! Tapi kalo tiap hari begini entah beneran berkah atau
musibah sih,” kata gue dalam hati.
Well, semua pada awalnya berjalan baik, sejak hari pertama
itu. Mulai akrab sama anak-anak kantornya, serta sama
senior/alumni di Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (HMJ) gitu. Ya,
pada awalnya emang agak malu-malu di hari pertama. Cuma hari-
hari esoknya udah nggak tahu malu lagi lah gue.
Yup, kemaluan gue, eh, ehm maksudnya gue menyimpan
rasa nge-fans-nya gue sama sekelompok idol group di Indonesia,
JKT48. Udah nggak ada malunya lagi buat gue simpen diem-diem.
Soalnya, temen-temen yang notabene reporter-reporter di HAI itu
ternyata fans JKT48 juga!
Yah, ini semua terbongkar gara-gara gue nulis berita
tentang mundurnya oshi (idola) gue dari dunia per-Je-Ka-Te-an,
namanya Mova alias Allisa Galliamova. Bibir doi paling seksi deh
di JKT48.
“Oshi lo siapa nih sekarang? Kan Mova udah graduate...”
kata Rian, reporter HAI yang juga anak emo banget.
“Mova tetep sih, dan oshi gue sekarang si imut Kinal,”
jawab gue.
“Hah!? Kinal? Lo saingan kalo gitu sama gue,” cerocos
Atha, reporter HAI yang pegang rubrik musik, paling gaul di antara
anak-anak HAI lain. Iya atau nggaknya sih ya gatau gue ya
hehehehe....
“Oh gitu,” tantang gue. “Yaudah... gue tetep paling ganteng
depan dia.”
FAIL.
Dari obrolan itu dan sejak hari terkuaknya gue sebagai fans
JKT48, hari-hari gue di HAI makin seru aja sih. Banyak banget
pengalaman berharga dan nggak terlupakan. Terutama banyak
liputan tentang JKT48 dong pastinya. Cuma, sebelum gue beranjak
ke cerita-cerita kenangan gue sama dedek-dedek lucu itu, ada cerita
yang bikin gue jadi cowok strong banget.
Sleeping With Sirens (SWS) ke Indonesia broh! FYI, SWS
itu band post-hardcore favorit gue yang lagi ngehits banget gitu.
Kellin Quinn, vokalis SWS, suaranya kece banget men dan gue suka
sama lagu-lagunya yang bikin...galau...
“Hey Kellin, can i have your signature on my jacket?”
tanya gue.
“Oh, of course dude, with pleasure,” jawab Kellin.
“Thank you so much. Your last EP really great and i love
it,” sasar gue sambil gagap.
“I’m happy to hear that. Tonight i’ll make you guys high,”
katanya waktu mau manggung malam hari itu.
Itu tadi obrolan singkat gue sama Kellin yang keren banget
dan malamnya gue nonton aksi doski di atas panggung yang bener-
bener menghipnotis banyak penonton. Gue ketemu Kellin itu siang.
Sorenya abis ikut wawancara Atha, gue balik ke kantor dan panik
serta dagdigdug karena gue pengen buru-buru ke tempat konsernya
ikut liputan.
Sumpah, gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi waktu
ketemu Kellin. Bukan karena gue terpaku dengan kerennya doski di
mata gue, tapi gara-gara doski lagi mabok dan nyerocos nggak tahu
apaan!
“Do you know Captain Hook? Captain Hook?” tanyanya
sambil niru gaya sang kapten. “I am Captain Hook.”
Oke, gue tahu lo keren Kel, cuma kalo lo mabok ya agak
sungkan juga gue ngobrolnya.
Selama nonton konsernya dan ngeliput sampai acaranya
habis, gue tertegun dan berasa keren banget gue bisa wawancara
band luar negeri yang gue suka banget. Bersyukur banget gue bisa
magang di HAI. Dari situ gue berpikir tentang kesempatan buat
wawancara ‘modus’ ke idola gue di Indonesia, JKT48!
(FYI, gue nggak ngefans banget sih sebenarnya hahaha...)
Nggak lama kemudian, hari-hari gue jalani dan berharap
kapan bisa gue wawancara JKT48, akhirnya hari yang gue tunggu
datang tiba-tiba. Gue wawancara Beby, Shanju, Nabilah, sama
Sendy sekaligus waktu liputan Pocari Sweat di Hotel Le Meridien
(paling inget gue kan...), siang-siang mendung gitu.
Selama liputan, gue mesti duduk dulu dong dengerin
acaranya kayak gimana dan ternyata pas mau abis, ada games-nya.
Nah ini nih, games-nya mesti nendang bola ke gawang yang dijaga
member tadi. Untungnya gue ikutan nih dan yang jaga Beby, sob!
(Lo mesti banget tahu, Beby itu salah satu member yang
cantik dan gemesin, lho).
“Beb, sorry ya kalo gol”
“Iya MAS nggak apa-apa”
WHAT!? MAS!? Lo kira gue MAS-MAS barbershop ya!?
(Oke lebay, nggak gitu sih sebenernya hehehe...)
“Yaudah langsung aja, nih, ya”
JOSS!
Daaaaann... gol. Gue akhirnya ngegolin ke gawang yang
dijaga Beby dan dapet hadiah voucher belanja. Senengnya bukan
main gue bisa berinteraksi sama member JKT48. Eits, tapi rasa
seneng gue nggak cuma berhenti di situ. Soalnya habis itu gue
langsung wawancara sama mereka!
Wawancara gue sama Nabilah, Sendy, Shania, and Beby
berjalan seru nih. Ngomongin bola, fans, JKT48 sendiri, sama
ngomongin gue yang ganteng ini, nggak ada habisnya. Ada sih
habisnya, gue wawancara cuma setengah jam aja bolehnya. Sedih.
Banget.
Cuma dari situ gue dapet simpulan yang sampai sekarang
gue nggak nyesel bikinnya. Yup, ternyata kalau magang di tempat
yang kita pengen dan sesuai dengan harapan yang kita inginkan itu,
bisa bikin kita happy dan hati tentram. Nggak ada kegalauan lagi
sebenernya. Seru dan menyenangkan banget kalau ikutin kata hati,
sih.
Tapi cerita tentang JKT48 dan gue nggak cuma berakhir di
situ aja. Soalnya, hari-hari berikutnya, eh, nggak hari-hari
berikutnya juga, sih, tapi di waktu-waktu lainnya gue ternyata
dikirim dari kantor buat wawancara JKT48 lagi, nih. Kayak liputan
handshake event gitu, misalnya. Sebenernya gue nggak dikirim buat
liputan, tapi gue inisiatif aja buat ngobrol beberapa kali sama
member kesayangan gue, Kinal, cuma buat dapetin pernyataan dia
dan megang tangan halusnya (halus banget asli, sumpah!).
Bisa dibilang sedikit modus, sih, inisiatif gue itu. Cuma ya
abis itu gue tulis dan naikin beneran pernyataannya. Kan harus tetep
pro gitu ya kan kalau mau nulis berita, hehehe...
Hari-hari gue di HAI emang bisa dibilang masih sebentar
waktu magang, Cuma 90 hari. Dapet banyak banget pengalaman
dan keseruan yang luar binasa, apalagi soal JKT48. Jadilah gue
akhirnya minta jadi wartawan freelance. Awalnya emang belum
dibolehin, karena pembimbing magang gue, Mate, pengen gue
selesein dulu magangnya, sama lanjut dulu di Job Training
Elektronik. Ya, tapi gue udah terlanjut dibuatin press card HAI sama
sekretaris kantor, gara-gara gue minta duluan. Ya nggak tahu berkah
atau emang petunjuk sih (eh, apa sih, hahaha...), cuma ya akhirnya
emang sampai sekarang gue jadi freelance di HAI.
Setelah dapet press card HAI, gue pastinya punya
kewajiban tersendiri dong, yaitu menjalankan tugas sebagai
wartawan dengan benar, bukan kayak anak magang lagi. Cuma, gue
ternyata masih suka bandel dan masih suka modusin JKT48. Cuma
udah nggak modus banget sih, soalnya anak-anak HAI udah tahu
banget gue gitu kalau gue ngerti soal JKT48 sampai yang jepang-
jepangan gitu. Udah aja kalau ada apa-apa yang berbau mereka gue
ikut dikirim.
Gara-gara JKT48 deh akhirnya gue dikenal sebagai wota
(fans beratnya JKT48). Tapi pada nggak tahu aja, kalo gue itu cuma
fans biasa. Sayangnya dari beberapa liputan dan obrolan-obrolan
‘penting’ bareng Rian, Atha, Kadek sama Anka (dua terakhir itu
senior gue di kampus dan ternyata wota banget), akhirnya gue
dipanggil wota.
Tapi ada hikmahnya juga buat gue, yaitu biar gue bisa tetep
berimbang dalam peliputan dan penulisan. Intinya bisa jaga jarak
dengan narasumber biar nggak subjektif dan tetep berpacu dalam
Elemen-elemen Jurnalisme dari Bill Kovach dan UU No. 40 Tahun
1999 Tentang Pers (Gilaaa kayak bener gitu gue).
Semakin sering gue liputan tentang hal-hal ‘berbau’ JKT48
sebenernya gue semakin sadar kalau gue harus tetep mengusahakan
diri buat tetap nulis ‘bagus’ dan nggak terlalu dekat sama
narasumber. Ya, itu emang harus sih demi kebaikan gue dan
pembaca. Cuma ya ketika menulis lo bakal inget dengan kebijakan-
kebijakan tertentu yang nggak bisa lo lawan, kecuali lo punya
kekuatan di dalamnya. Jadi ya semua gue turutin aja deh.
Sempet ada yang nanya gini ke gue :
“Kak, lo kok suka banget liputan JKT48? Nggak bosen apa
karena lo wota kak, hehehe...”
Oke, itu pertanyaan kayaknya nyesek sih. Ya mau gimana
lagi, gue sempet ngerasa bosen. Tapi kalau bukan gara-gara JKT48,
gue nggak mungkin bisa berpikiran positif dan terus berusaha buat
berada di tempat yang gue suka dan emang sesuai passion gue, HAI.
Mimpi-mimpi gue bisa gue wujudkan di sini dan gue harus
bersyukur bisa liputan JKT48.
“Ketika lo menulis berita, ya lo harus membuatnya
objektif”
Itu kata-kata yang paling gue inget dari Pak Bos Pemred
Mas Danie waktu ngobrol-ngobrol jurnalisme dan waktu gue baru
magang di HAI.
Inti dari kata-kata itu baru bakal lo temuin ketika lo udah
coba dan turun langsung ke lapangan dunia nyata sesungguhnya dari
dunia jurnalisme. Meskipun baru sebatas magang, lo bakal temuin
banyak banget hal-hal yang bikin lo sadar kalau dunia jurnalisme itu
nggak cuma berita-berita serius, tapi juga hiburan. Yang penting
bukan berita serius, tapi juga berita hiburan itu penting, lho.
Cerita gue di HAI belum berakhir. Mungkin masih banyak
cerita lain yang lucu dan menarik yang belum bisa gue tuangkan di
sini. Yang jelas, gara-gara JKT48 gue bisa mengungkap sedikit
keseruan dari dunia kerja jurnalisme yang sesungguhnya, bukan lagi
di kelas kuliah.
Mantap gan!