Warta Peduli Yasmin 25 September 2011

8
Minggu, 25 September 2011 FB Page: http://facebook.com/gkiyasmin D iani Budiarto tampak gelisah. Wajahnya tegang, menahan malu. Benny K. Harman, Eva Sundari, Dedi Gumilar, Ahmad Baskarah, anggota-anggota Komisi 3 DPR RI yang menangani masalah hukum dan HAM bergantian mengecamnya. Kecuali saat ditanya, Diani hanya bisa terdiam. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya saat Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, istri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, mengecam tindakan Diani yang menutup GKI di Taman Yasmin. Tak ada pula kata terucap darinya, saat Todung Mulya Lubis, seorang praktisi hukum terkemuka di Indonesia yang juga ikut mendampingi GKI dalam RDPU tersebut, dengan lugas dan keras menyebutnya sebagai seorang yang tidak pantas menjadi walikota. GKI Bapos Taman Yasmin di Kota Bogor semakin menarik perhatian banyak kalangan. Berbagai lembaga dalam dan luar negeri menyuarakan keprihatinan dan kecaman pada peristiwa penutupan gereja yang terletak disebuah kompleks perumahan di Kota Bogor itu. Gereja yang belum selesai pembangunan fisiknya itu telah mengantungi IMB secara resmi dan sah sejak tahun 2006. Walikota yang sama, Diani Budiarto, bahkan menyampaikan sambutan tertulis resmi yang dibacakan Asisten Daerah I Kota Bogor pada acara peletakkan batu pertama pembangunan gereja yang diadakan pada Agustus 2006, hanya dua hari setelah peringatan hari kemerdekaan negeri di tahun tersebut. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi 3 DPR RI: Walikota Bogor Diani Budiarto Dikecam

description

Warta Rutin Peduli Yasmin

Transcript of Warta Peduli Yasmin 25 September 2011

Minggu, 25 September 2011 FB Page: http://facebook.com/gkiyasmin

Diani Budiarto tampak gelisah. Wajahnya tegang, menahan malu. Benny K. Harman, Eva Sundari, Dedi

Gumilar, Ahmad Baskarah, anggota-anggota Komisi 3 DPR RI yang menangani masalah hukum dan HAM bergantian mengecamnya. Kecuali saat ditanya, Diani hanya bisa terdiam. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya saat Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, istri mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, mengecam tindakan Diani yang menutup GKI di Taman Yasmin. Tak ada pula kata terucap darinya, saat Todung Mulya Lubis, seorang praktisi hukum terkemuka di Indonesia yang juga ikut mendampingi GKI dalam RDPU tersebut, dengan lugas dan keras menyebutnya sebagai seorang yang tidak pantas menjadi walikota.

GKI Bapos Taman Yasmin di Kota Bogor semakin menarik perhatian banyak kalangan. Berbagai lembaga dalam dan luar negeri menyuarakan keprihatinan dan kecaman pada peristiwa penutupan gereja yang terletak disebuah kompleks perumahan di Kota Bogor itu.

Gereja yang belum selesai pembangunan fisiknya itu telah mengantungi IMB secara resmi dan sah sejak tahun 2006. Walikota yang sama, Diani Budiarto, bahkan menyampaikan sambutan tertulis resmi yang dibacakan Asisten Daerah I Kota Bogor pada acara peletakkan batu pertama pembangunan gereja yang diadakan pada Agustus 2006, hanya dua hari setelah peringatan hari kemerdekaan negeri di tahun tersebut.

Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi 3 DPR RI: Walikota Bogor

Diani Budiarto Dikecam

2

Namun, rongrongan kelompok-kelompok anti keberagaman yang dilancarkan segera setelah terbitnya IMB gereja dijadikan alasan oleh Walikota untuk kemudian membekukan IMB pada tahun 2008.

Tindakan pembekuan tersebut mengundang reaksi perlawanan hukum dari Majelis Jemaat GKI Jl. Pengadilan Bogor yang membina Bapos Taman Yasmin. Gugatanpun dilayangkan pada Pemerintah Kota Bogor. Pengadilan digelar di Pengadilan Tata Usahan Negara di Bandung Jawa Barat. Hasilnya, Pemkot Bogor kalah dan mengajukan banding. Selanjutnya, tiga proses hukum di dua tingkatan yang berbeda justru meneguhkan keabsahan IMB gereja dan memerintahkan Walikota membatalkan pembekuan IMB. Sayangnya, Walikota bergeming, tak bersedia mentaati putusan pengadilan, bahkan Mahkamah Agung.

Ketika putusan Mahkamah Agung dalam tingkatan kasasi keluar pada Februari 2009, Pemkot Bogor justru melawan putusan tersebut dengan menggembok dan menyegel gereja sejak April 2010 dengan alasan pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. Padahal, sesuai UU MA Nomor 14 tahun 1985, permohonan PK tidak menunda atau membatalkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Walikota, sayangnya, tak lagi punya keinginan mentaati putusan pengadilan, padahal, adagium hukum mengatakan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap adalah seumpama undang-undang.

Ketidaktaan Walikota terus berlanjut lebih jauh. Dengan sebuah tindakan yang diistilahkan Todung Mulya Lubis, seorang praktisi hukum terkemuka di Indonesia,

sebagai “menelikung putusan MA dan bermain dengan kata-kata”, Walikota menerbitkan dua buah SK secara berurutan dan berdekatan. SK bertanggal 8 Maret dikeluarkannya dengan maksud menciptakan kesan seakan Walikota telah patuh pada putusan MA untuk mencabut pembekuan IMB gereja yang dikeluarkannya tahun 2008 yang lalu. Namun tiga hari berselang, pada 11 Maret 2011, Diani Budiarto mengeluarkan SK lainnya yang mencabut secara permanen IMB untuk GKI Bapos Taman Yasmin Bogor. Kedua SK tersebut diterima oleh GKI Jl. Pengadilan pada tanggal 14 Maret 2011 secara bersamaan, tanpa pernah segel dan gembok ilegal yang ditempatkan Pemkot Bogor di gerbang bangunan GKI Bapos Taman Yasmin dibuka diantara kurun waktu 8 hingga 11 Maret 2011.

Ketidakpatuhan hukum tersebut ternyata dipantau pula oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI), sebuah lembaga negara yang bekerja berdasarkan undang-undang khusus tentang ORI, yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam melaksanakan layanan publiknya. ORI, setelah melakukan proses pemeriksaan yang panjang dan mendalam, dengan meminta keterangan dari pihak GKI dan Pemkot Bogor secara imparsial (tak memihak) dan independen, akhirnya mengeluarkan Rekomendasi ORI bertanggal 8 Juli 2011 yang diserahterimakan secara langsung kepada perwakilan Pemkot Bogor, Bambang Gunawan selaku Sekretaris Daerah Kota Bogor, dengan disaksikan pula oleh perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan perwakilan Kementerian Dalam Negeri, pada 18 Juli 2011 di Kantor ORI, Kuningan, Jakarta.

3

Dalam uraian pemeriksaannya, ORI secara tegas menyebutkan bahwa tindakan Walikota Bogor dalam kaitan IMB GKI di Taman Yasmin masuk dalam kategori “perbuatan melawan hukum”. Sebagai akibatnya, rekomendasi ORI secara jelas meminta Walikota mencabut SK bertanggal 11 Maret 2011 yang mencabut secara permanen IMB gereja.

Apakah kemudian Diani Budiarto tunduk pada hukum? Sayangnya, belum!Seakan tidak cukup mengabaikan MA dan Ombudsman, kenyataan bahwa jemaat GKI Bapos Taman Yasmin masih saja beribadah di trotoar samping gereja di Kompleks Perumahan Taman Yasmin seusai RDPU Komisi 3 DPR RI yang riuh dengan kecaman anggota DPR pada Diani Budiarto adalah bukti bahwa Walikota justru menambahkan

DPR sebagai lembaga negara berikutnya yang diabaikan dan tidak diacuhkannya.

Usai RDPU, berbagai kelompok lintas iman yang selama ini mendampingi jemaat dan pengurus GKI Bapos Taman Yasmin dalam meniti perjuangan meraih hak konstitusionalnya untuk beibadah digerejanya sendiri yang sah semakin menguatkan

komitmennya untuk terus berjuang bersama-sama jemaat GKI. “Tak ada kata mundur. Ini perjuangan bersama berbagai kelompok masyarakat yang berbeda yang ingin menjaga Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua” ,ucap Innayah Wahid, putri Almarhum Abdurrahman Wahid yang juga tampak mendampingi GKI. Wajahnya terlihat sangat yakin, bahwa masyarakat Indonesia yang masih ingin meneguhkan perlindungan keberagaman Indonesia masih lebih banyak daripada mereka yang anti-Indonesia dalam segala keragamannya.

Disudut yang lain, Walikota Bogor Diani Budiarto, terdengar ketus dan seadanya meladeni perntanyaan wartawan yang

menyerbunya usai RDPU 15 September yang lalu. Sejurus kemudian, Diani dan sebagian besar rombongan Forum Komunikasi Umat Islam (Forkami) yang mendampinginya, dan yang selama ini mengganggu keberadaan GKI di Taman Yasmin, terlihat bergegas meninggalkan ruangan rapat DPR. Wajahnya, seperti selama berlangsungnya RDPU, tak berubah. Tegang, menahan malu. Malu akibat kesalahannya sendiri.

Dimuat pada Harian Jurnal Nasional, 12 September 2011

Saat masih remaja, saya punya seorang teman perempuan yang bernama Diani. Dari segi nama,

adakah yang aneh pada dirinya? Rasanya tak ada. Malah cocok, karena Diani itu ”mestinya” memang ”nama perempuan”. Maka, ketika tahun silam saya mengetahui ternyata ada seorang lelaki bernama Diani, saya terheran-heran. Apalagi dia seorang Walikota Bogor. Namun, dalam konteks ini, apalah arti sebuah nama? Kalau orangtuanya sendiri ihklas memberi nama itu, untuk apa kita menyoalnya? Seperti seniman Butet Kertarajasa, yang nama depannya itu identik dengan seorang perempuan kalau dia berasal dari suku Batak, bukankah sah saja orangtuanya memberi nama itu?

Sekali lagi, mengutip sastrawan terkemuka William Shakespeare, apalah arti sebuah nama? Bukankah yang penting (kualitas) orangnya? Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, demikian Shakespeare, baunya akan tetap harum. Namun dalam konteks yang lain, tak dapat disangkal bahwa sebuah nama mengandung makna tertentu semisal doa dan harapan dari orangtuanya untuk anak yang diberi nama tersebut.

Pemimpin SektarianVictor Silaen

Dalam konteks nama jalan-jalan di Indonesia, apakah sebuah nama selalu punya arti? Jawabannya bisa ”ya” dan ”tidak”. Sebutlah nama jalan Jenderal Soedirman, yang maksudnya tentu untuk mengenang jasa-jasa sang pahlawan tersebut. Mengapa nama jalan ini digunakan di banyak kota besar di Indonesia? Sederhana saja jawabannya: karena Soedirman dianggap berjasa besar bagi Indonesia. Begitupun nama jalan Jenderal TB Simatupang, di bilangan Jakarta Selatan. Apakah ia juga berjasa, sehingga namanya diabadikan pada sebuah jalan arteri? Pasti, karena ia termasuk tokoh militer di masa silam sekaligus perancang markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Namun, bisa juga sebuah nama jalan tak bermakna apa-apa. Sebutlah jalan-jalan yang menggunakan nama buah seperti mangga, jambu, sawo, dan yang sejenisnya. Atau, jalan-jalan yang menggunakan nama-nama bunga semisal dahlia, anggrek, mawar, dan yang sejenisnya. Memang, boleh jadi ada jawaban lain untuk menerangkan latar belakang nama sejumlah jalan di Indonesia. Sebuah nama jalan, misalnya, yang bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan di daerah itu dahulu kala. Atau sebuah jalan yang bermaksud menjelaskan bahwa di sana dulu ada seorang tokoh lokal

4

yang namanya sama dengan nama jalan tersebut.

Sebuah pertanyaan penting muncul: adakah sebuah nama jalan memiliki konsekuensi sosial atau bahkan politik bagi rakyat Indonesia? Jalan TB Simatupang, misalnya, adakah ia mengisyaratkan para pengguna jalan ini harus orang-orang dari suku Batak? Tak perlu repot-repot dijawab, karena pertanyaan semacam ini sungguh naif sekaligus menggelikan. Jalan Gereja, misalnya, adakah ia mengisyaratkan mereka yang bermukim di jalan tersebut harus beragama Kristen? Ini jelas pertanyaan konyol.

Atas dasar itu, mari cermati alasan terbaru yang dikemukakan Walikota Bogor Diani Budiarto terkait penolakannya atas pembangunan gedung gereja GKI Yasmin. Menurut Diani, gereja tak boleh dibangun di tempat yang nama jalannya mengandung unsur Islami. Demikian diungkapkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, bahwa Diani telah memberi tahu dirinya tentang sebuah gereja yang tak boleh dibangun di jalan yang memiliki nama Islami, 19 Agustus lalu.

Seperti diketahui, GKI Yasmin berlokasi di Jalan Abdullah bin Nuh, salah satu pemimpin Islam terkemuka dari Cianjur, Jawa Barat. Ulama lokal, Muhammad Mustofa, yang ayahnya senama dengan nama jalan itu sebelumnya telah mengatakan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaan gereja di jalan itu. Menurut Mustofa, Islam adalah

agama yang menyebarkan perdamaian. Perbedaan-perbedaan antaragama bukan masalah yang baru dan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. “Mekah adalah contoh pluralisme pada zaman nabi. Setiap masalah memiliki solusi dan diharapkan masalah [seputar gereja] akan segera diselesaikan,” katanya.

Herannya, Menteri Gamawan Fauzi menyatakan mendukung Walikota Bogor dalam masalah dengan GKI Yasmin. “Ini adalah realitas politik di lapangan dan dapat menyebabkan gangguan terhadap keamanan dan perdamaian,” katanya. “Ini tidak sehat untuk jangka panjang, bahkan bagi anggota jemaat sendiri. Diani mengatakan kepada saya bahwa ia telah menawarkan lokasi alternatif yang sama.”

Terkait itu Jurubicara GKI Taman Yasmin, Bona Singalingging, mengatakan bahwa alasan Diani tak dapat diterima. Pasalnya, sejumlah gereja dibangun di jalan-jalan dengan nama Islam, demikian juga ada masjid yang dibangun di jalan-jalan dengan nama Kristen. ”Masalahnya adalah hal ini melawan hukum, melawan putusan pengadilan dan rekomendasi Ombudsman. Ini juga merupakan pelanggaran terhadap kepastian hukum.”

Akan halnya Ketua Komisi Ombudsman, Danang Girindrawardana, menilai bahwa alasan soal nama jalan merupakan alasan yang dibuat-buat. Menurutnya, rekomendasi Ombudsman mengikat secara hukum, DPRD dan Menteri Dalam Negeri berkewajiban untuk menegakkannya. Dia juga berharap agar Menteri Dalam Negeri

5

menegakkan hukum dan menjatuhkan sanksi serius kepada Walikota Bogor.

Bagaimana kita harus menyikapi masalah yang sudah bergulir sejak tahun silam ini? Ada beberapa poin yang harus dicermati. Pertama, tahun 2009 sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan bahwa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pihak GKI Yasmin di Jalan KH Abdullah bin Nuh Nomor 31, Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, itu sah. Bukankah MA merupakan lembaga pengadilan tingkat akhir, yang berarti putusannya sudah final? Tetapi, mengapa selama kira-kira dua tahun sesudahnya Walikota Bogor berani mengabaikan putusan tersebut? Lebih dari itu bahkan Walikota Bogor telah melakukan “pembangkangan” terhadap MA dengan mengeluarkan SK pencabutan IMB GKI Yasmin per 11 Maret lalu.

Apakah Kota Bogor telah menjadi negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia? Kalau tidak, mengapa instansi pemerintah di atasnya (Kementerian Dalam Negeri) tidak berupaya “menertibkan” Walikota Bogor yang mbalelo itu? Adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechsstaat). Bukankah itu berarti pemerintah harus berada di garda terdepan dalam memperlihatkan keteladanan terkait kepatuhan hukum? Kalau sebuah keputusan hukum di negara ini tak dapat dieksekusi, bukankah sama saja Indonesia bukan negara hukum?

Jadi, Indonesia lebih cocok disebut negara apa? Mungkin negara mobokratis, sebuah negara dengan sistem yang dikendalikan orang banyak (mob) yang tidak merasa perlu mengindahkan hukum dan mematuhi ketentuan prosedural. Jadi, di negara ini, pelbagai keputusan cenderung dibuat berdasarkan desakan orang banyak, sampai-sampai pemerintah pun tunduk (karena terpaksa atau berdasarkan kerelaan) kepada mereka.

Kedua, akibat pembangkangan Walikota Bogor itu, kasus ini pun dibawa ke lembaga Ombudsman Indonesia. Akhirnya, 18 Juli lalu, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Walikota Bogor No. 645.45-137 tahun 2011 yang dikeluarkan pada 11 Maret 2011 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Bogor Nomor 645.8-372 Tahun 2006 tentang IMB atas nama GKI Yasmin yang terletak di Jalan KH Abdullah Bin Nuh, Taman Yasmin, Bogor. Ombudsman menilai SK pencabutan IMB GKI Yasmin merupakan perbuatan mal-administrasi sekaligus perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum.

Atas dasar itu, siapa yang salah dalam kasus ini? Walikota Bogor Diani Budiarto, baik karena pembangkangan hukumnya maupun alasan “nama Islami” yang mengada-ada itu. Seorang pemimpin publik mestinya juga seorang negarawan, dan itu berarti tidak sektarian.

* Dosen FISIP Universitas Pelita

6

7

Suasana RDPU di Komisi 3 DPR RI.

Suasana Ibadah Kebaktian GKI Yasmin, 18 Sep-tember 2011.

“Menjadi Kristen sejatinya memang bukan mencari zona nyaman kehidupan pribadi saja. Kepeduliannya pada beragam persoalan di masyarakat, sebenarnya menjadi bagian integral dan penting dalam identitas kekristenan kita. Sebab, setiap kali kita mengucapkan bagian Doa Bapa Kami: “Jadilah kehendakMu diatas bumi seperti di dalam surga” sebenarnya kita mengucapkan tugas kita sebagai anak-anak Allah didunia.

Kalimat itu bukan hanya permohonan agar Tuhan mengaruniakan Kerajaan Allah di dunia, tetapi adalah kalimat penugasan pada kita agar kita, secara aktif, dalam kapasitas masing-masing sekecil apapun, mewujudkan Kerajaan Allah didunia ini.

Lalu, apakah Kerajaan Allah itu? Sebuah bangunan nan megah didunia? Refleksi iman akan menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan Kerajaan Allah itu adalah sebuah situasi, kondisi, dimana sifat-sifat Tuhan: kasih dan keadilan, ada dan nyata. Sehingga mewujudkan Kerajaan Allah di dunia berarti menjadi alat Tuhan agar ada Kasih sebagai ganti kebencian di dunia ini, agar ada keadilan sebagai ganti ketidakadilan didunia ini.

Itulah sejatinya makna diri dan hidup seorang kristen didunia ini. Sebab, bila sebagai Kristen kita menutup mata terhadap semua ketidakadilan, bahkan yang paling dekat dengan kita, apalah artinya peran Orang Kristen? Bukankah Kristus sendiri yang

bersabda pada kita agar kita menjadi garam dunia? Bila kenyamanan pribadi kita saja yang kita kejar sebagai seorang Kristen, dan tak peduli pada ketimpangan sosial ekonomi politik yang ada disekitar kita, buat apakah ada orang Kristen didunia ini?

Bukankah, lagi-lagi, Kristus sendiri yang bersabda pada kita bahwa “.. bila garam telah menjadi tawar, apakah lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang?”

Maka, demikianlah Ya Tuhan, dalam segala kelemahan kami, dalam segala keterbatasan kami, kuatkanlah kami menjadi garam dunia ini. Kuatkanlah kami untuk menjadi alatMu untuk mewujudkan Kerajaan-Mu didunia ini, juga dan khususnya, dinegeri tercinta Indonesia, dimana Tuhan tempatkan kami. Amin.”

MeNJaDi KriSteN SeJati!“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia

diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang”