Walisongo oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)
-
Upload
riapermata19 -
Category
Documents
-
view
1.434 -
download
12
Transcript of Walisongo oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)
WALISONGO
Oleh: M. Syafi'i WS al-Lamunjani (2008)
A. PENDAHULUAN
Perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa tidak lepas dari peran Walisongo
yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi
Hindu-Budha dalam budaya Nusantara yang digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka
adalah simbol penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Peranan Mereka dalam
mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara
luas serta dakwah secara langsung yang membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut di
bandingkan yang lain
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di
tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-
Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru:
mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga
pemerintahan.
Makalah ini akan membahas tentang: Pengertian Walisongo, Asal-usul Walisongo,
Kiprah Walisongo dalam Dakwah, Peradaban dan Kebudayaan Islam.
B. PENGERTIAN WALISONGO
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti qaraba
yaitu dekat1. Sedangkan al-Qusyairi mengatakan, arti wali terdapat dua kemungkinan arti.
Pertama, mengikuti wazan fa’iil sebagai bentuk mubalaghah seperti ‘aliim, qadiir dan lainnya.
Dengan demikian, arti wali adalah orang selalu ta’at pada Allah. Kedua, mengikuti wazan fa’iil
yang diperbolehkan mempunyai arti wazan maf’ul, seperti qatiil mempunyai arti maqtul. Dengan
demikian arti wali adalah orang yang dijadikan wali (kekasih) oleh Allah.2
1 Louis Ma’luf, 1998, al-Munjid fi al-Lughah (Bairut: Dar al-Masyriq), hal. 1061 2 Abu Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, 1998, al-Risalah al-Qusyairiyah, alih bahasa: Umar
Faruq, Sumber Kajian Ilmu Tasawwuf (Jakarta: Pustaka Amani) hal. 534
Jadi pengertian wali adalah orang yang dekat dengan Allah dan selalu taat pada-Nya,
dia dikasihi dan dipelihara oleh Allah agar konsisten dan terus menerus taat kepada-Nya. Allah
tidak menjadikannya terperangkap dalam maksiat tapi justru selalu memberikan pertolongan dan
dengan keimanan dan ketaqwaan dia tidak merasa berkeluh kesah dalam segala hal.
Akan tetapi dalam pemahaman Jawa yang berkembang selain definisi di atas, perkataan
wali merupakan sebutan bagi orang yang keramat, sakti mandraguna yang mempunyai kekuatan
yang berilmu tinggi. Karena mereka dipandang sebagai orang dekat dengan Allah dan dikasihi-
Nya.3
Selanjutnya, kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan.
Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata tsana yang
diambil dari bahasa Arab, tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji), sehingga pengucapan
yang benar adalah Walisana, yang berarti wali-wali terpuji. Pendapat ini didukung oleh sebuah
kitab Walisana. 4
Widji yang mengutip pendapat Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem yang lebih cenderung pada
sembilan wali mengatakan, ada arti dan falsafah yang tekandung dalam sembilan (songo) bagi
masyarakat Jawa. Bilangan sembilan bisa memecahkan masalah, sebab para wali memang juga
sering berbeda pendapat. Dengan mengadakan rapat di Demak perbedaan pendapat tersebut bisa
dipecahkan5 oleh para wali yang datang dari sembilan arah.
Pendapat ini juga dikuatkan dengan rasionalisasi yang merujuk pada perhitungan
abjadiyah (a ba ja dun ha wa zun dan seterusnya). Kata sembilan menurut rasionalisasi terebut
memang sepadan dengan kata Jawa, yang mana Ja memiliki nilai tiga dan Wa memiliki nilai
enam (Ja/3+Wa/6=9).
Kebanyakan pakar juga sepakat, bahwa secara umum Walisongo merupakan kumpulan
dakwah ulama yang bertujuan menegakkan agama Allah. Sedangkan jumlah mereka ada
sembilan ulama’ pejuang yang tersohor dalam pengembangan Islam. Mereka adalah Maulana
Malik Ibrahim (w.1419 M), Sunan Ampel (lhr.1401 M dan w.1481 M), Sunan Giri (w.1506 M),
Sunan Bonang (lhr.1465 M dan w.1525 M), Sunan Kalijaga (lhr.1430 M), Sunan Gunung Jati
3 Widji Saksono,1995, Mengislamkan Tanah Jawa (Bandung: Mizan), hal. 18 4 Ibid. 5 Ibid., hal. 20-21
(lhr.1448 M dan w.1570 M), Sunan Kudus(w.1550 M), Sunan Muria (w. abad 16) serta Sunan
Derajat (lhr.1470 M dan w.1522 M).
C. ASAL-USUL DAN PENDIDIKAN WALISONGO
Sangat penting untuk menelusuri asal-usul dan pendidikan para wali ini; pemahaman
terhadap orang tua, keluarga dan guru-guru mereka. Dengan demikian akan banyak membantu
bagi penyelidikan lebih lanjut tentang keislaman di Indonesia.6
Bagaimanapun juga mereka memiliki andil besar dalam menamkan bibit keislaman di
Jawa dan Nusantara, yang kemudian terus berkembung sampai menjadi Islam seperti sekarang
ini. Keahlian mereka tidak tentu saja bukan sembarangan, namun secara tekun dan mendalam
dalam belajar dari guru-guru kenamaan dan memiliki ilmu yang luas.
Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid, atau
ikatan mertua-menantu. Dari merekalah peradaban dan kebudayaan Islam berkembang pesat ke
seluruh nusantara, khususnya wilayah Timur Nusantara.
Berikut ini akan disampaikan sekilas tentang asal-usul dan pendidikan walisongo;
pemahaman terhadap orang tua, keluarga dan pendidikan mereka
1. Sunan Maulana Malik Ibrahim
Di kalangan Walisongo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali tersenior
alias wali pertama. Putra beliau yang terkenal adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan
Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Beliau datang ke Indonesia pada tahun 1379
M. untuk syiar Islam dan wafat pada tahun 1419 M, kuburannya terletak di Gapura Wetan
Gresik, Jawa Timur.
Nama Maulana Malik Ibrahim juga disebut-sebut sebagai Maulana Maghribi, Syekh
Magribi dan Sunan Gresik.7 Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara
(ipar) dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, yang juga sekaligus kakek buyut
6 Woerjanigrat, t.t, Etika Jawa (Surakarta: DP2KJ), hal. 26 7 Budiono Hadi Sutrisno, 2007, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa (Yogyakarta:
Graha Pustaka), hal. 17
para wali. Ibrahim adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro,
yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari
Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.8 Sedangkan pendidikannya ditempuh dari
ayahnya sendiri dan juga para ulama’ di Persia dan Samarkand.
Sejak tahun 1379 Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa selama tiga belas
tahun. Beliau menikahi putri Raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat
(dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup
menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Gresik
Jawa.9 Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo yang masih berada dalam wilayah kekuasaan
Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah kecamatan Manyar.
2. Sunan Ampel
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana beliau lama bermukim,
yaitu di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya. Ia
adalah putera tertua Sunan Maulana Malik Ibrahim yang lahir di Campa pada 1401 M. Pada masa
kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia menikah dengan Nyai Ageng Gede Manila
(Putri Adipati Tuban) kemudian menetap di Ampel Denta. Putra beliau adalah: a) Maulana
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), b) Syarifuddin (Sunan Derajat), c)Putri Nyai Ageng Maloka,
dan e) Dewi Sarah (istri Sunan Kali Jaga).10
Menurut beberapa sumber, Sunan Ampel mendapatkan pendidikan dari Syaikh Maulana
Asmarakandi. Dengan demikian ia menganut paham sunni, baik dalam bidang syariat ataupun
dalam bidang tasawwuf.11
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443
M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu
di Palembang.12 Ia di Palembang selama dua bulan kemudian berlayar ke majapahit (dalam
rangka berdakwah dan silaturrahmi pada bibinya). Setelah dari Majapahit ia menetap di Ampel
8 http://www.pakdenono.com. 2 mei 2008 9 Ibid. 10 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa, hal. 25 11 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 68 12 http://www.pakdenono.com . 2 mei 2008
Denta. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M dalam keadaan sujud13 dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Giri
Sunan Giri memiliki nama kecil Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan
masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya ke laut. Raden Paku kemudian
dipungut anak oleh seorang janda kaya raya, nyai Gedeh Pinatih. Menjelang dewasa beliau
berguru pada Sunan Ampel. Ada juga yang menyebutnyaRaden Paku, gelar yang deberikan oleh
Sunan Ampel. Ia juga mendapatkan gelar Ainul Yakin, karena ia sudah sampai pada tingkat ilmu
ladunni.
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi). Ayahnya adalah Syekh Ya’qub bin
Maulana Ishak.14 Ibunya bernama Sekardadu, putri raja Blambangan, Prabu Minak Sembayu.15
Beliau wafat pada tahun 1506 M,16 dalam usia 63 tahun.
Selain menuntut ilmu di Ampel, tempat dimana Raden Fatah, Sunan Bonang dan Sunan
Derajat belajar beliau juga berkelana ke Pasai, yang ketika itu tempat berkembangnya ilmu
keimanan dan tasawwuf.17 Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah
perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia
dijuluki Sunan Giri.
Pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri
Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.18 Giri
Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal
sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
13 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa, hal. 45 14 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 35 15 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 91 16 TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam (Jakrata: Ichtiar Baru Van Hoeve) hal. 249 17 Ibid. 18 http://www.pakdenono.com . 2 mei 2008
4. Sunan Bonang
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465 M dan wafat pada tahun 1525.19
Beliau anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama lain Sunan
Bonang adalah Raden Makdum Ibrahim. Ia lahir dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng
Manila, puteri seorang Adipati Tuban sekaligus saudara sepupu sunan Kalijaga.
Selain belajar pada ayahnya, Sunan Bonang juga mempalajari Islam di Pasai, Aceh. Di
sana ia belajar pada Syekh Awwalul Islam (Maulana Ishak). Bersama dengan Sunan Giri, beliau
juga banyak belajar pada sejumlah ulama’ besar di Pasai.20 Kemudian ia mendirikan pesantren di
Tuban. Santri-santri yang menjadi meridnya berdatangan dari berbagai daerah Nusantara.21
Sunan bonang wafat di Pulau Bawehan pada tahun 1525 M. Ada perebutan mayat
Sunan Bonang antara warga Bawehan dan Tuban. Warga Bawehan menginginkan Sunan Bonang
dimakamkan di Bawehan, akan tetapi warga Tuban tidak terima. Akhirnya para santri Bonang
Tuban mencuri mayat Sunan Bonang. Anehnya janazah Sunan Bonang masih ada, walaupun
sudah dibawah oleh para santri bonang. Karenanya sampai kini diyakini, bahwa makam Sunan
Bonang ada dua, satu di Pulau Bawehan dan satunya di barat Masjid Agung Tuban.22
Sunan Bonang adalah wali yang sangat berjasa yang mengubah jalan hidup Raden
Syahid (Sunan Kalijaga) dari lingkungan hidup yang salah menuju jalan yang benar. Sehingga
Raden Syahid yang semula terkenal sebagai penjahat besar, dinobatkan menjadi wali yang sangat
masyhur.
5. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga sangat terkenal di kalangan masyarakat. Ini disebabkan karena ia adalah
wali berjiwa besar, memasyarakat, berpandangan jauh, berpikiran tajam, intelek, sakti
mandraguna. Di samping itu ia juga sebagai pengasuh para raja dan terkenal sebagai budayawan
yang santun dan seniman wayang yang hebat.
Nama aslinya adalah Raden Syahid. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti
Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi
19 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 29-30 20 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 50 21 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 248 22 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 68
menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.23 Ayahnya bernama Raden Sahur
Tumenggung Wilatikta (keturunana Ranggalawe) yang menjadi Adipati Tuban, sedangkan
ibunya bernama Dewi Nawang Rum.
Ia diperkirakan lahir pada tahun 1430-an. Ini dihitung dari pernikahannya dengan putri
sunan Ampel. Ketika itu ia berumur kurang lebih 20 tahun sedangkan Suanan Ampel berumur
kurang lebih 50 tahun,24 dan wafatnya tidak diketahui secara jelas kecuali ia dimakamkan di
Kadilangu dekat Demak. Ia mengalami zaman Demak, Pajang bahkan sampai awal Zaman
Mataram (dibawah pimpinan Panembahan Senopati).25 Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan
mencapai lebih dari 150 tahun.
Selain menikah dengan anak Sunan Ampel, Sunan Kalijaga juga menikah dengan
Retna Siti Jenab, saudara perempuan Sunan Gunung Jati. Dari perkawinan ini lahirlah Pangeran
Pengging yang menganut ajaran Siti Jenar.26
Adapun pendidikannya, mula-mula berguru pada Sunan Bonang. Disebutkan dalam
lieteratur Jawa, ia juga berguru pada para wali di Jawa dan juga para ulama’ luar Jawa, seperti
Syaikh Sutabris di Pulau Upih (Malaka) dan Dara Petak di Palembang, sehingga ia dikenal
sebagai wali yang sangat pandai dan tersohor.27 Bahkan Tanojo mengatakan, ia juga berguru pada
Nabi Hidhir.28
Bisa dikatakan, bahwa Sunan Kalijaga adalah wali yang paling panjang umurnya dan
terpopuler di tanah Jawa. Ini terbukti dari anggapan masyarakat yang hingga kini masih
berkembang, bahwa dialah wali pelindung kerajaan Surakarata dan Yogyakarta. Bahkan orang
Jawa menganggap sebagai guru agung dan suci.
6. Sunan Derajat
Sunan Derajat lahir pada tahun 1470 M. Nama aslinya adalah Raden Qasim atau
Syarifuddin. Ia adalah anak Sunan Ampel dari istri Dewi Candarwati (Nyai Ageng Manila). Ia
mempunyai enam saudara seayah dan seibu, diantaranya Raden Maulana Malik Ibrahim (Sunan
23 http://www.pakdenono.com . 2 mei 2008 24 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 175 25 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 31 26 Ibid., hal. 33 27 Ibid., hal. 70 28 Tanojo, t.t, Wala Sanga; Babad Djati (Surabaya: Trimurti), hal. 94
Bonang). Di samping itu ia mempunyai saudara seayah lain ibu, yaitu Dewi Murtasiyah (istri
Raden Fattah) dan Dewi Muratsimah (istri Sunan Giri). Istri beliau adalah putri Sunan Gunung
Jati.29 Dalam beberapa naskah sejarah, ia menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan
Kemuning, ketika menetap di Derajat beliau menikah dengan Ratna Ayu Candra sekar, putri
Adipati Kediri Raden Surya dilaga. Menurut Babad Cirebo, istri yang pertama adalah Dewi
Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati.30
Raden Qasim menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya untuk belajar di
kampung halamannya di Ampel denta. Setelah dewasa beliau mendapat tugas pertama kali dari
ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik melalui laut. Namun perahunya pecah dan terdampar
di Dusun Jelak, pesisir Banjarwati atau Lamongan.
Sunan Derajat disambut oleh Mbah Mayang Madu. Ini terjadi pada tahun 1485 M. Ia
kemudian menetap di jelak dan menikah dengan kemuning, putri Mbah Mayang Madu . Disinilah
ia mendirikan pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Selang tiga tahun ia pindah keselatan,
sekitar satu kilu meter dari jelak, ketempat yang lebih tinggi agar terbebas dari banjir. Namun ia
masih menganggap tempat ini belum strategis sebagai pusat dakwah islam. Atas petunjuk Sunan
Giri, beliau menempati sisi perbukitan selatan, yang dinamai Dalem duwer. Ia menghabiskan sisa
hidupnya disini hingga wafat pada tahun 1522.31
Dalam Ensiklopedi Islam dikatakan, bahwa Sunan Drajat meninggal di sedayu Gresik
dan dimakamkan di sana. Akan tetapi menurut hemat penulis, ia wafat di Dalem Duwer
Lamongan, sebagaimana yang dikatakan oleh Budiono.
7. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jakfar Shadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung. Kadang-
kadang ia dipanggil Raden Amir Haji. Ia adalah putra Raden Usman Haji yang menyiarkan Islam
didaerah Cipang Pancolan, Blora. Ia juga masih mempunyai hubungan keturunan Rasulullah. Ia
wafat pada tahun 1550 M 32 dan dimakamkan di Kudus. Raden Usman Haji adalah Sunan
29 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 250 30 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 75 31 Ibid., hal.72-73 32 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal..251
ngudung bin Khalifah kusen bin Maulana Ishaq. Dalam kitab Walisana disebutkan bahwa ia
adalah cucu Maulana Ishaq, sebagaimana Sunan Gunung Jati dan Sunan Giri.33
Pendidikan Sunan Qudus diperoleh dari ayahnya dan juga para ulama’ di Nusantara.
Diriwayatkan, ia juga pernah berguru pada Sunan Kalijaga. Ia mendapatkan gelar Sunan Qudus,
karena memilih tinggal di Qudus dan menyebarkan agama di sana. Ia adalah seorang yang gagah
berani, sifat yang harus dimiliki oleh seorang panglima perang. Terbukti antara lain, ia
menggantikan ayahnya yang terbunuh ketika menjabat sebagai panglima perang.
Ia memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fiqih, usul
fiqih, tauhid, hadits, tafsir dan logika. Karena itulah ia mendapatkan gelar waliyyul ‘ilmi.34
8. Sunan Muria
Nama aslinya adalah Raden Umar Said, sedangkan nama kecilnya adalah Raden
Purwoto. Namun ia lebih dikenal dengan Sunan Muria, karena pusat kegiatan da’wahnya dan
makamnya terletak di gunung Muria (18 km di sebelah utara Kudus sekarang). Ia hidup pada
abad 15-1635
Ia adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah. Berdasarkan penelusuran A.M
Noertjahja dan solihin, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah mempunyai tiga anak,
yakni Sunan Muria, Dewi Rukyah dan Dewi Sofiyah.36 Sedangkan Slamet Mujiano mengatakan
bahwa ayah Sunan Muria adalah Kapitan Tiongha Gan Sie Cang. Tetapi mayoritas ahli Sejarah.
Berpendapat ia adalah putra Sunan Kalijaga.
Di samping belajar pada ulama’ di Jawa, ia juga banyak menimba ilmu pada ayahnya.
Yang demikian dapat dilihat dari Gaya dakwah Sunan Muria banyak mengambil cara ayahnya,
Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka berdakwah bagi
kaum rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan yang jauh dari pusat kota dalam menyebarkan
agama Islam.37
33 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 34 34 Ibid. 35 Ibid. 36 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 135 37 Ibid., hal. 136
9. Sunan Gunung Jati
Nama lainnnya adalah Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Falatehan, Said Kamil dan
Maulana Syekh Makdum Rahmatullah.38 Lahir (di Pasai) pada tahun 1448 M dan wafat pada
tahun 1570 M. Ia adalah pendiri Kesultananan Cirebon dan kemudian juga Banten. Melalui
tangan raja-raja Banten inilah Pajajajaran ditaklukan. Sunan Gunung Jati mendapatkan Gelar
Raja Pandita, karena kedudukannya sebagai raja sekaligus ulama’. 39
Asal-usul Sunan Gunung Jati bisa dikatakan simpang siur. Dalam sejarah Banten
disebutkan bahwa kehadirannya bukanlah menurut garis tabiat. Ia ditemukan oleh penduduk
Pasai di dasar laut, ini semua karena didasarkan oleh sebuah mimpi. Untuk kepentingan
pendidikannya, ia hijrah ke Cirebon dan akhirnya menetap di sana. Ada juga yang mengatakan
bahwa ia adalah putra seorang Pembesar dari Arab dan ibunya putri Raja Pajajaran.40
Akan tetapi dalam catatan Menurut Sunan Giri II dalam karyanya Wali Sana,
sebagaimana yang dikutip oleh Widji, ia adalah Syaikh Zayn bin Sayyid Es Raden Suta Maharja
bin Syekh Maulana Ishaq.41
Kemungkinan pendapat yang mengatakan, bahwa ia adalah putra seorang Pembesar dari
Arab dan ibunya putri Raja Pajajaran ada tendensi membelokkan perhatian tentang cerita ini,
karena disebabkan oleh keabsahan hak Tahta Sunan Gunung Jati Sebagai Raja di Cirebon.
Dalam pendidikan ia belajar pada Maulana Ishak di Pasai. Dan pernah bermukim di
Makkah kurang lebih tiga tahun untuk belajar ilmu agama.42 Ia dikenal menguasai ilmu yang
terkandung dalam kitab Syaikh Arki (Kumpulan syair-syair al-Iraqi).
Skema Silsilah Walisongo
Dari hasil pengamatan dari beberapa literatur, penulis menyimpulkan asal-usul walisongo yang
tertera dalam skema sebagai berikut:
38 Ibid., hal. 159. 39 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal..252 40 http://www.pakdenono.com . 2 mei 2008 41 Ibid., hal. 37 42 Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa, hal.
Syaikh Maulana Ishak* Sunan Maulana Malik Ibrahim (w.1419 M)
Syaikh Ya’Qub Sayyid Es Khalif Kusen Sunan Ampel (lhr.1401 M dan w.1481 M) R. Usman Haji (Sunan Ngudung ) Sunan Giri Sunan Gunung Jati Sunan Qudus Sunan Bonang Sunan Derajat (w.1506 M) (lhr.1448 M dan w.1570 M) (w.1550 M) (lhr.1465 M. w.1525 M) (lhr.1470 M dan w.1522 M) Sunan Kalijaga** (lhr. Pertengahan abad XV) Sunan Muria (lhr. Awal abad XVI) * Syaikh Maulana Ishak menikah dengan adik Sunan Maulana Malik Ibrahim
** Hububungan Sunan Kalijaga dengan Sunan Ampel adalah mertua. Begitu juga dengan Sunan Gunung Jati adalah
mertuanya. Sedangkan Sonan Bonang Adalah Gurunya.
D. KIPRAH WALISONGO DALAM DAKWAH, PERADABAN DAN KEBUDAYAAN
ISLAM
Walisongo adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam,
niaga, peradaban, kebudayaan, kesenian dan kemasyarakatan hingga pemerintahan. Mereka telah
berhasil merubah era Budha-Hindu yang telah memegang peranan penting belasan abad di atas
panggung sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Corak pemikiran dan praktik tasawwuf mereka adalah tasawwuf sunni al-Ghazali. Para
wali sering menjadikan karya-karya Imam Ghazali sebagai landasan dasar pengajaran mereka.43
Kecuali Sunan Gunung Jati yang disebut-sebut sebagai Syi’ah Zaidiyah.44
Salah satu keunggulan mereka adalah keteladanan dalam menyebarkan Islam.
Keunggulan yang lain boleh jadi karena kekuatan supranatural dalam sepak terjang mereka,
sehingga apabila mereka berdo’a dikabulkan Allah.45
43 Muhammad Shalihin, 2005, Melacak Pemikiran Tasawwuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada), hal. 131 44 Widji Saksono,1995, Mengislamkan Tanah Jawa, hal. 231
1. Maulana Malik Ibrahim
Di Campa pada tahun 1379 M. Sunan Malik mencoba membujuk Prabu Kiyan Raja
Campa untuk masuk agama Islam. Raja menuruti ajakan Sunan karena pada saat itu di Campa
juga sudah banyak yang memeluk Islam. Raja Campa memiliki dua putri dan satu putra. Putri
pertama menikah dengan Prabu Brawijaya Majapahit sedangkan putri yang kedua Ratna Diyah
Siti Asmara dinikahkan dengan Sunan Malik Ibrahim.46
Pada tahun 1392 M. Sunan Malik berdakwah ke Gresik. Aktivitas pertama yang
dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Sunan Malik
Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Ia juga mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah-kasta yang disisihkan dalam
Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang
ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Kemudian Maulana Malik Ibrahim merasa perlu mendirikan bangunan untuk menimba
ilmu bersama. Model seperti inilah kemudian dikenal sebagai pesantren. Dalam menagajarkan
ilmu, Sunan Malik mempunyai kebiasaan khas dengan meletakkan kitabnya di atas bantal.
Karena itu dia kemudian dijuluki kakek bantal.47
Meskipun pengikutnya sudah banyak, namun Sunan Malik belum merasa puas kalau
belum bisa mengislamkan Raja Majapahit. Pada waktu itu Gresik di bawah kekuasaan Majapahit
dan rakyatnya beragama Hindu-Budha. Ia sangat paham kultur Jawa yang selalu merujuk
keteladanan dan prilaku Raja. Karena itu mengislamkan Raja merupakan aktivitas dakwah yang
strategis.48 Dalam usaha mengislamkan Raja ini gagal, namun Sunan Malik tidak patah hati
dengan kegagalan misi tersebut. Ia terus menjalankan misi dakwahnya hingga wafat pada tahun
1419 M.49 Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel
Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan,
Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang
45 Alwi Shihab, 2001, Islam Sufistik (Bandung: Mizan), hal. 39 46 Tanojo, t.t., Suluk Wali Songo (Surabaya: Trimurti), hal. 6 47 Muhammad Rahimsyah, 2002, Sejarah Lengkap Wali Songo (Surabaya: Amanah), hal. 16 48 Ibid, hal. 17 49 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 22
menunjuk muridnya Raden Fatah, putra dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, untuk menjadi
Sultan Demak tahun 1475 M. Beliau juga berperan aktif dalam mendirikan masjid Demak pada
tahun 1479 M. Sepeninggal Sunan Maualana Malik Ibrahim, ia dianggkat menjadi sesepuh para
Wali.
Sunan Ampel mengajak Prabu Angkawijaya Raja Majapahit untuk masuk Islam, akan
tetapi ia menolak untuk memeluk agama Islam. Meskipun demikian, dengan hormat Raja
memberi hadiah tanah di Ampel pada Sunan Ampel dan 300 keluarga untuk menemani bermukim
di sana.50 Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya dengan membagi-bagikan kipas pada
penduduk. Mereka cukup mengucapkan syahadat untuk mengambilnya.51
Di Ampel Denta ia membangun masjid dan pondok pesantren mengikuti jejak ayahnya.
Format pesantrennya mirip dengan kosep biara yang sudah dikenal di Jawa. Pada pertengahan
Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentral pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah
Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Fatah.
Para santrinya kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel juga dikenal masyarakat memiliki kepekaan adaptasi. Caranya
menenamkan akidah syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata “shalat” diganti
dengan “sembahyang” (asalnya sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai mushalla tapi
langgar mirip ka sanggar. Penuntut ilmu disebut santri berasal dari shatri (orang yang tahu buku
suci agama hindu.52 Pada para santrinya, ia menekankan pada penanaman akidah dan ibadah.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah "Mo Limo", maksudnya moh main, moh
ngombe, moh maling, moh madat, moh madon (tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan nyandu, dan tidak berzina).53 Beliau memeang terkenal sebagai
orator ulung, di antara nasihatnya yang sangat berharga yaitu:
Yen siro kasinungan ngelmu kang marakake akeh wong seneng, ojo siro malah rumangso
pinter jalaran menowo Gusti mundut bali ngelmu kang marakake siro kaloka iku, siro ugo
banjur koyo wong sejene, malah biso aji godhong jati aking (jika engkau memiliki ilmu yang
menyebabkan banyak orang suka padamu, janganlah engkau merasa paling pandai. Sebab
kalu Tuhan mengambil kembali ilmu yang menyebabkan engkau tersohor itu, maka engkau
50 Ibid., hal. 31 51 Asrari S. Karni, 2001, Menebar Islam Ditopang Mahapahit (Surabaya: Gatra), hal. 28 52 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 28 53 http://www.pakdenono.com . 2 mei 2008
menjadi tidak berbeda seperti yang lain. Bahkan nilainya menjadi di bawah nilai jati yang
sudah kering.
Sing sopo gelem gawe seneng marang liyan, iku bakal oleh wales kang luweh gedhe
ketimbang opo kang wis ditindakake (Barang siapa yang membuat senag orang lain, ia akan
mendapatkan balasan yang lebih banyak daripada yang ia lakukan.54
Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi dalam berdakwah. Ini terbukti dari anak
kandungnya dan para santrinya menjadi para tokoh Islam yang terkemuka. Merekalah nanti yang
meneruskan perjuangan dakwah untuk menegekkan panji-panji Islam.
3. Sunan Giri
Seperti halnya guru Sunan Giri, ia juga berdakwah melalui pesantren. Di sebuah
perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas beliau mendirikan Pesantren. Sejak itulah ia dikenal
sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, “Giri” berarti gunung. Pesantern ini sangat
terkenal ke seluruh plosok Nusantara. Walaupun yang tertinggal kini hanya peninggalan situs
kedaton, sekitar satu kilo meter dari makam Sunan Giri, namun jejak dakwanya sampai kini
masih membekas di hati masyarakat. Di situs ini terdapat mushalla berukuran 6x5 meter.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih. Melalui santri-
santrinya ia menyebarkan Islam ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Ternate,
hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua
sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.55
Di samping itu, ia berdakwah melalui jalur politik dan budaya. Ia menciptakan karya
seni budaya yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran dan cublak suweng.
Demikian pula karyanya adalah Gending Asmaradana dan Pucung. Selain itu, Sunan Giri juga
sering berpesan pada santri-santrinya:56
Kahanan ndonyo ora langgeng, mulo ojo ngagungake kesugihan lan derajatiro. Awit
sumongso ono wolak walik ing zaman ora ngisin-ngisini (Keadaan dunia ini tidak abadi, oleh
karena itu jangan mengagung-agungkan kekayaan. Sebab bila sewaktu-waktu ada perubahan
pada zaman tidak akan memalukan).
54 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 30-31 55 http://www.pakdenono.com . 2 mei 2008 56 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 96-97
Kahanan kang ono iki ora suwe, mesthi ngalami owah gingsir, mulo ojo lali marang
sapodho-podhoning tumitah (Keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan.
Oleh karena itu jangan melupakan sesama hidup).
Ia juga ahli politik dan tatanegara. Pandangan politiknya banyak dijadikan rujukan. Ia
juga pernah menyusun ketataprajaan dan pedoman tata cara di Keraton. Pada tahun 1478 M,
Kerajaan Majapahit runtuh. Para Wali merumuskan perlunya didirikan sebuah Kerajaan yang
melindungi Islam dan mendakwahkan Islam. Setelah dimusyawarahkan, maka Bintorolah sebagai
pusatnya. Sunan Giri dipercaya untuk meletakkan dasar-dasar Kerajaan perintisan. Selama 40
hari Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Kemudian jabatan tersebut diserahkan pada Raden
Fattah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabumi. Sejak itulah kerajaan Demak Bintoro berdiri.
Sedangkan Sunan Giri kembali ke Kedaton Giri yang didirikannya sejak tahun 1470. Ia juga
mendapatkan gelar Prabu Satmata, ini atas usulan Suanan Kalijaga pada tahun 1487.57 Dalam
keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun
menyebutnya sebagai Sultan Abdul Faqih.
Ia diyakini sebagai tokoh fikih dan menguasai ilmu falak (perbintangan Catatan
Portugis dan Belanda di Ambon menyebut, Sunan Giri (dan pelanjutnya) sama dengan Paus di
Roma yang memberkati para kepala Negeri sebelum naik takhta. Termasuk di dalamnya para
Sultan Islam di Maluku, Hitu dan Ternate. Dengan demikian, Giri merupakan wujud lembaga
kekuasaan tersendiri, meski lebih sebagai lembaga berwenang dalam soal keagamaan saja.
4. Sunan Bonang
Sunan Bonang mengembangkan ajaran Islam di Pesisir Utara Jawa Timur. Ia
menyesuaikan dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa.58
Sunan Bonang juga mendirikan Pesantren di Bonang. Santri-sntri yang menjadi
meridnya juga berdatangan dari berbagai daerah Nusantara. Ia termasuk wali yang sukses dalam
menyiarkan agama Islam. Ajarannya disampaikan dengan pesan-pesan simbolik yang harus
ditafsirkan dengan jernih.
Dalam bidang sastra, peradaban dan kebudayaan sumbangannya antara lain: a). dakwah
melalui pewayangan, b) ikut mendirikan Masjid Demak, c) menyempurnakan instrumen gamelan,
terutama bonang, kenong dan kempul. Sedangkan karyanya yang sangat populer hingga kini
57 Ibid., hal. 92-93 58 Muhammad Shalihin, Melacak Pemikiran Tasawwuf, hal. 121
adalah ajaran yang memiliki butir lima dalam kehidupan pesantren. Kelima butir syair itu adalah:
Tombo ati iku limo sak wernane, moco al-Qur’an angen-angen sak maknane, kaping pindho
shalat wengi lakonono, kaping telu wong kang sholeh kumpulono, kaping papat kudu weteng
engkang luweh, kaping limo dziker wengi ingkang suwe. Salah saijine sopo iso ngelakoni,
insyaallah taala ngijabahi.59
Sunan Bonang juga memberikan wejangan secara mendalam pada Raden Fattah, putra
Raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Catatan-catatan pengajaran tersebut tertuang dalam “Suluk
Sunan Bonang” atau “Primbon Sunan Bonang”.
5. Sunan Kalijaga
Cara dakwah Sunan Kalijaga bisa dianggap berbeda dengan methode dakwah Wali lain.
Ia dengan berani memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat.
Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, sesaji dan batik yang sangat populer pada saat
itu.
Sesunggauhnya metode yang dilakukan Sunan Kalijaga ini pernah ditolak halus oleh
Sunan Ampel. Sunan Ampel mengatakan, “Apakah tidak khawatir kelak adat ini akan dianggap
berasal dari Islam? Nanti Islam bisa bid’ah dan tidak murni lagi.” Pandangan Suanan Ampel ini
didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Derajat. Sementara sunan Bonang dan Sunan Kudus
Menyetujui metode dakwah Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa
dimasuki Islam dan adat yang tidak bisa sama sekali dimasuki.60 Meski demikian, perbedaan
tersebut tidak mengganggu hubungan silaturrahmi para wali.
Sunan Kalijaga merubah beberapa lakon wayang. Diantaranya yang terkenal adalah
lakon Jimat kalimat sodo (tidak lain adalah perlambang kalimat syahadat), dewa Ruci (Nabi
Khidir), dan Petruk dadi Ratu. Dengan lakon-lakon ini sunan Kalijaga mengajak masyarakat,
baik di pedesaan atau kota untuk mengucapkan syahadat. Ia berkeliling ke penjuru pelosok
Nusantara, bahakan menurut catatan Husein Jayadiningrat Sunan Kalijaga juga pernah sampai ke
Bumi Sriwijaya. Dalam Babad Cirebon juga tercatat, bahwa Sunan Kalijaga tiba di kawasan
Cirebon setelah berdakwa dari Palembang.61
59 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 47 60 Ibid., hal. 30 61 Ibid., hal. 181-182
Daerah dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai muballigh ia keliling dari
satu daerah ke daerah lain. Karena sistem dakwahnya yang intelek dan aktual, para bangsawan
dan cendikiawan sangan simpati terhadapnya, demikian juga masyarakat awam hingga para
penguasa. Dalam pemerintahan Demak, di samping sebagai ulama’ dan juru dakwah, ia juga
sebagai penasihat Kesultananan Demak Bintoro.62
Sunan Kalijaga adalah seorang sufi yang negarawan. Ajaran-ajarannya diikuti oleh para
penguasa kala itu. Diantara ajarannya adalah:
Ojo seneng yen dadi penguwoso, serik yen ora dadi pengioso, jalaran kuwi bakal ono
bebendune dhewe dhewe (jangan hanya senang ketika sedang menjadi penguasa, sakit hati
kalau sedang tidak menjadi penguasa, sebab hal itu akan ada akibatnya sendiri-sendiri.
Ojo mung kepingin menan dhewe kang biso marakake crahing negoro lan bongso, kudhu
seneng rerembugan njogo ketentreman lahir-bathin (jangan hanya ingin menang sendiri yang
dapat menyebabkan perpecahan negara dan bangsa, melainkan harus senang bermusyawarah
demi menjaga ketentraman lahir dan batin)63
Ilir-ilir, ilir-ilir tandure wes sumilir, tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar, bocah
angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu kok penekno kanggo masuh dodo tiro, dodotiro
kumitir bedhah ing pinggir, dondomono jrumatono kanggoh sebo mengko sore, mumpung
padang rembulane mumpung jembar kalangane (ilir-ilir, ilir-ilir tanaman sudah bersemi,
tampak menghijau ibarat penganten baru, wahai pengembala panjatlah blimbing itu, meski
licin panjatlah untuk mencuci kain, kain yang sedang robek pinggirnya, jahitlah dan
tamballah untuk menghadap nanti sore, mumpung bulan terang dan lebar tempatnya).64
Sunan Kalijaga juga mengajarkan sikap nrimo ing pandum yang diurainya menjadi lima
sikap: 1) rilo, maksudnya tidak mengharapkan keuntungan dari pekerjaannya. Tidak merasa
mengeluh dan susah. Orang yang rela tidak memiliki keinginan akan penghormatan dan pujian,
2) nrimo, maksudnya dia tidak mengharapkan milik orang lain dan tidak iri dengki atas
kesenangan orang lain. Nrimo itu bukan berarti pemalas, tapi apa yang sudah dipegang disyukuri
dan tidak terlalu meriasaukan apa yang belum didapat, 3) temen, maksudnya setia pada
ucapannya dan memperjuangkan cita-cita dengan sungguh. Orang yang tidak menepati kata-
katanya sama dengan membohongi diri sendiri, 4) sabar, maksudnya berjiwa lapang seperti
62 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal 250 63 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 178 64 Ibid., hal. 184-185
lautan luas. Kuat imannya, luas pengetahuannya dan tidak picik pandangannya, dan 5) budi
luhur, maksudnya yang berhubungan dengan prilaku dan sifat sifat yang dimiliki oleh Tuhan,
seperti penyayang, pemurah, pemaaf dan lainnya.65
Kalau dilihat, ajaran ini bersumber dari ridha dan ikhlas (rilo), qana’ah (nrimo),
amanah (temen), shabr (sabar) dan akhlak al-karimah (budi luhur).
Peninggalan Sunan Kalijaga yang terkenal lainnya adalah sokoguru Masjid demak yang
terbuat dari tatal, Gamelan Nagawinaga, Gamelan Guntur Madu, Gamelan Nyai Sakati, Wayang
Kulit Purwa, Baju Taqwa, Tembang Dhandanggulo, kain batik motif Garuda, dan Syair-syair
pujian.
Dalam dakwah Sunan Kalijaga sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian
besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati
Padamaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede-Yogya).
6. Dakwah Sunan Derajat
Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Derajat adalah perhatiannya yang
sangat serius pada masalah sosial. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya
selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu memberi pertolongan kepada umum,
menyantuni anak yatim dan fakir miskin sebagai suatu proyek sosial yang dianjurkan oleh
Islam.66
Sunan Derajat memperkenalkan konsep dakwah bil hikmah, dengan cara bijak tanpa
memaksa. Dalam menyampaikan dakwahnya beliau menempuh lima cara: 1) lewat pengajian
secara langsung di masjid atau langgar, 2) melalui penyelenggaraan pendidikan di Pesantren, 3)
memberikan fatwa dalam menyelesaikan suatu masalah, 3) melalui kesenian tradisional (beliau
sering berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gamelan), dan 5) menyampaikan ajaran
agama melalui ritual adat tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.67
65 Ibid., hal. 179-181 66 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal..252 67 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 74
Sedangkan ajaran-ajarannya yang sangat terkenal hingga kini adalah:68
Paring teken marang kang kalunyon lan wuto; paring pangan marang kang kaliren; paring
sandang marang kang kawudon; paring pangan payung marang kang kodanan (berikan
tongkat pada orang yang buta; berikan makan pada orang yang kelaparan; berikan pakaian
pada yang telanjang; dan berikan payung pada yang kehujanan).
Sing sopo seneng urip tetonggoan kelebu janma linuwih. Tonggo iku perlu dicedahki (barang
siapa yang senang hidup bertetangga itu tergolong orang yang arif. Tetangga iti perlu
didekati).
Sunan Derajat sangat memperhatikan masyarakat. Ia kerap mengitari perkampungan
pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan, baik dari manusia jahat
ataupun makhluk halus.
Sunan Derajat selalu menyadarkan pada manusia dari ambisi jabatan dan kedudukan
yang hanya untuk berpoya-poya dan pemuasan nafsu semata serta pemuasan nafsu perut.69 Ia
juga menjadi juru bicara untuk membela rakyat yang tertindas ketika Majapahit terjadi krisis
ekonomi dan politik. Ia mengecam para elit politik waktu itu yang hanya mengejar kekuasaan
demi kenikmatan pribadi.
Sunan Derajat menghendaki keselarasan lahir batin, jasmani-rohani dan dunia-akhirat
supaya hidup jadi sejahtera. Hidup di dunia yang fana ini harus dipergunakan dengan sebaik-
baiknya untuk beramal shalih.
7. Suanan Kudus
Sunan Kudus mengundurkan diri dari Demak Bintoro karena keinginannya untuk hidup
merdeka dan membaktikan hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan serta menyebarkan
Islam. Dalam pengunduran dirinya ini sulit ditebak. Yang jelas ini terjadi beberapa tahun
sebulum 1549 M.
Sunan Kudus menyiarkan agam Islam di Kudus dan sekitarnya. Setelah jama’ahnya
makin banyak ia membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat
68 Ibid., hal. 74-75 69 Sifuddin Zuhri, 1981, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Bandung: al-
Ma’arif), hal. 281
ibadah yang diyakini yang dibangun olehnya adalah Masjid Menara Kudus yang kini masih
berdiri. Menurut catatan sejarah, masjid ini didirikan pada tahun 1549 M.70
Dalam menyebarkan Islam, Sunan Kudus mengikuti metode Sunan Kalijaga, yakni tut
wuri handayani, maksudnya Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan
mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit. Ia mendekati masyarakat Kudus dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus.
Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha.
Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Sunan Kudus juga mencipatakan karya
sastra budaya, yaitu: Tembang Maskumambang dan Tembang Mijil.
8. Sunan Muria
Gaya dakwah Sunan Muria banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun
berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka berdakwah bagi kaum rakyat jelata
ketimbang kaum bangsawan yang jauh dari pusat kota dalam menyebarkan agama Islam. Di
samping berdakwah, ia bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-
keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut. Ia menyebarkan Islam mulai lereng gunung
Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai Pesisir Utara. Karena lebih suka berdakwah bagi
kaum rakyat jelata inilah yang menyebabkannya dikenal sebagai sunan yang berdakwah topo
ngeli (dengan menghanyutkan diri pada masyarakat).71
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di
Kesultanan Demak. Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah.
Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Salah satu hasil
dakwahnya lewat seni adalah tembang Sinom dan Kinanti.72
Sedangkan ajaran-ajarannya yang sangat terkenal hingga kini adalah:73
Ora ono kesakten sing madhani papesthen, awit pepasthen iku wis ora ono sing biso
ngurungake (tiada kesaktian yang menyamai kepastian Tuhan, karena tidak ada yang dapat
menggagalkan kepastian dari Tuhan).
70 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 119 71 Ibid., hal. 138 72 http://www.pakdenono.com 2 mei 2008 73 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 137
Bener kang asale soko pengeran iku lamun ora nduwe sipat angkoro murko lan seneng gawe
sengsoro ning liyan (benar yang berasal dari Tuhan itu apabila tiada sifat angkara murka dan
tidak suka menyengsarakan orang lain).
9. Sunan Gunug Jati
Menyusul berdirinya Kesultanan Demak Bintoro, dan atas restu kalangan ulama lain, ia
mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Sunan
Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke
pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur
Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.74
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkan kepada Pangeran Pasarean.75 Sedangkan Hasanuddin,
putranya yang kedua, telah lebih menggatikan ayahnya di Banten.76 Dari Cirebon Sunan Gunung
Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain, seperti Majalangka, Kuningan, Kawalih
(Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.77
Adapun ajaran-ajarannya yang sangat terkenal hingga kini adalah:78 Lamun siro
kepingin wikan marang alam zaman kelanggenan, siro kudu weruh alamiro pribadi. Lamun siro
dhorong mikani alamiro pribadi adoh ketemune (jikalau engkau ingin mengetahui alam abadi,
engkau harus mengenal alam pribadimu. Kalau engkau belum mengenal alam pribadimu, masih
jauhlah alam abadi itu darimu).
E. PENUTUP
Walisongo penyebar Islam di Jawa khususnya, dan di seluruh Nusantara umumnya.
Mereka telah berhasil menanamkan Islam dalam ranah tauhid, akhlak, sosial, budaya dan politik.
Puncak karya gemilang mereka adalah berdirinya Kedaton Giri, Kesultanan Demak, dan
Kesultanan Cirebon, sekaligus membuktikan bahwa mereka bukanlah sufi semata, akan tetapi
juga ahli dalam pemerintahan.
74 http://www.pakdenono.com 2 mei 2008 75 Ibid. 76 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 168 77 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal..252 78 Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa. hal. 162-163
Sunan Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Giri, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati adalah anak keponakan Maulana Malik Ibrahim
yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Derajad adalah anak Sunan
Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak
Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin
pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang
pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Derajat dan Muria adalah pendamping
sejati kaum jelata
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Nusantara, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan
mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Kesuksesan dakwah dan perjuangan mereka bisa dilihat pada faktor kepribadian mereka
yang ulet, penuh semangat dan kegembiraan, kesupelan dan kefleksibelan yang luwes. Dengan
demikian mereka telah berhasil merubah era Budha-Hindu yang telah memegang peranan penting
belasan abad di atas panggung sejarah dan kebudayaan Indonesia dengan digantikan oleh peranan
Islam. Lakon hindu-Budah diganti dengan lakon baru yang di bawakan oleh Walisongo dengan
mengambil cerita dari al-Qur’an dan al-Hadits.
REFERENSI Al-Qusyairi, Abu Qasim Abdul Karim Hawazin, 1998, al-Risalah al-Qusyairiyah, alih bahasa:
Faruq, Umar, Sumber Kajian Ilmu Tasawwuf (Jakarta: Pustaka Amani) http://www.pakdenono.com. 2 mei 2008 Karni, Asrari S., 2001, Menebar Islam Ditopang Mahapahit (Surabaya: Gatra) Ma’luf, Louis, 1998, al-Munjid fi al-Lughah (Bairut: Dar al-Masyriq) Rahimsyah, Muhammad, 2002, Sejarah Lengkap Wali Songo (Surabaya: Amanah) Saksono, Widji, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa (Bandung: Mizan) Sutrisno, Budiono Hadi, 2007, Sejarah Wali Songo; Misi Pengislaman di Tanah Jawa
(Yogyakarta: Graha Pustaka) Shalihin, Muhammad, 2005, Melacak Pemikiran Tasawwuf (Jakarta: RajaGrafindo Persada) Shihab, Alwi, 2001, Islam Sufistik (Bandung: Mizan) Tanojo, t.t., Suluk Wali Songo (Surabaya: Trimurti) Tanojo, t.t, Wala Sanga; Babad Djati (Surabaya: Trimurti) TIM UIN Syarif Hidayatullah, 2005, Ensiklopedi Islam (Jakrata: Ichtiar Baru Van Hoeve), jilid. 7 Woerjanigrat, t.t, Etika Jawa (Surakarta: DP2KJ) Zuhri, Sifuddin, 1981, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia
(Bandung: al-Ma’arif)