WAKAF DAN MANAJEMEN A. Konsep Wakaf dalam Islam 1....
Transcript of WAKAF DAN MANAJEMEN A. Konsep Wakaf dalam Islam 1....
43
BAB II
WAKAF DAN MANAJEMEN
A. Konsep Wakaf dalam Islam
1. Pengertian
Salah satu lembaga yang dianjurkan dalam ajaran Islam untuk digunakan oleh
seseorang sebagai sarana penyaluran rezki yang Allah berikan kepadanya adalah
wakaf. Wakaf sebagai ibadah kebendaan tidak memiliki rujukan yang eksplisit
dalam al-Qur’a>n; maka untuk memahami makna yang dikandung oleh wakaf
tersebut, menurut Jaih Mubarak (2008: 7-10) ulama telah melakukan identifikasi
untuk mencari induk kata sebagai sandaran hukumnya. Hasil identifikasi
dimaksud melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang disebut: wakaf sebagai al-
khayr, wakaf sebagai s}adaqah ja>riyah, wakaf sebagai al-ah}ba>s.
Nomenklatur yang disebutkan di atas; memang tidak memiliki rujukan
langsung dalam al-Qur’a>n, namun banyak ayat yang mengandung perintah untuk
menafkahkan sebagian harta. Perintah menafkahkan dimaksud merupakan
bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr yang secara harfiah berarti
kebaikan. Salah satu ayat yang tegas memerintahkan berbuat kebaikan
sebagaimana disebutkan pada surah al-Hajj (22): 77.1
Imam Taqiyuddin (t.th: I/319) ketika menafsirkan ayat 77 pada surah al-
Hajj yang mengandung ‚perintah‛ sesungguhnya perintah itu adalah perintah
untuk berbuat al-khayr yang berarti perintah melakukan wakaf. Penafsiran ini
utiay ayntaya iynuB 1
44
dianggap sejalan dengan firman Allah swt yang membicarakan masalah wasiat
dalam surah al-Baqarah (2): 180 yang berbunyi:
Terjemahnya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kata al-khayr dalam ayat di atas diartikan dengan ‚berbuat baik melalui
harta benda‛, sehingga perintah melakukan al-khayr menunjukkan perintah
untuk melaksanakan ibadah bendawi. Ini memberi penegasan bahwa wakaf
sebagai konsep ibadah kebendaan sesungguhnya berakar dari kata al-khayr.2
Walaupun demikian, tidak semua ayat yang mengandung kata al-khayr dapat
dipahami sebagai perbuatan kebaikan yang berkaitan dengan kebendaan. Akan
tetapi dapat saja dimaknai sebagai bagian dari kualitas mental dan perilaku
manusia (Dahlan, 1996: 3/325). Wahbah Zuhaily (2014: 264) menjelaskan bahwa
semua jenis kebaikan termasuk akhlak yang baik. Oleh sebab itu, kata al-khayr
yang diartikan dengan kebaikan adalah bagian dari makna akhlak atau sangat
erat kaitannya dengan perbuatan dan perilaku manusia. Menafkahkan sebagian
harta (termasuk mewakafkannya) adalah jenis kebajikan yang berhubungan
dengan sesama manusia dan juga untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2Ayat ini menegaskan bahwa jika seseorang yang telah menyadari akan datangnya kematian dan
memiliki harta yang banyak, hendaklah memberi wasiat kepada orang-orang yang ditinggalkannya dari
harta yang dimilikinya itu. Jadi kata al-khayr yang dihubungkan dengan wasiat dipahami menunjukkan
kepada sesuatu perbuatan berkenaan dengan harta benda (Shihab, 2010: I/478; Depag RI, 2009: I/266).
45
Teks ayat yang terdapat dalam kedua surah tersebut di atas itu
menekankan bahwa salah satu jalan manusia mendapatkan kebahagiaan hidup
yakni dengan cara menyedekahkan sebagian harta yang dimilikinya (Ali, 1988:
80-81). Perintah berbuat baik melalui amalan harta benda termasuk di dalamnya
adalah wakaf. Harta memang sesuatu yang sangat dicintai oleh manusia, dan
hidupnya akan banyak tergantung pada kepemilikan harta. Kecintaan manusia
terhadap harta telah mengantarkannya untuk berusaha sekuat tenaga agar harta
itu diperolehnya; namun manusia akan diuji dengan harta yang dimilikinya.
Allah swt menggambarkan dalam al-Qur’a>n pada surah al-Taghabu>n (64): 15
yang artinya: ‚Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar.‛ Kehidupan dunia bukanlah yang
hakiki, tetapi kehidupan akhiratlah yang seharusnya menjadi impian dan
dambaan manusia. Harta yang dimiliki manusia seyogyanya menjadi sarana
penting baginya mencapai kehidupan akhirat yang lebih baik. Allah juga
menegaskan ‚sungguh yang kemudian itu lebih baik dari permulaan‛ (QS. Al-
Dhuha (93): 4). Oleh karena itu, cara yang digunakan manusia agar hartanya
dapat memberikan manfaat dunia dan akhirat; adalah dengan menyedehkahkan
pada jalan Allah.
Sinonim wakaf yang lainnya adalah sedekah ja>riyah. Sedekah secara
umum dibagi menjadi dua; sedekah wajib3 dan sedekah sunnah. Sedekah sunnah
4
3Lihat: al-Qur’a >n surah al-Taubah (9): 60. Makna sedekah berarti kekuatan pada sesuatu baik
perkataan atau lainnya. Sedekah dalam ayat di atas disebut sedekah tat{awwu yang juga bermakna zakat
yaitu harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim pada waktu tertentu dan dalam jumlah tertentu
yang telah ditetapkan oleh syara’, sehingga istilah zakat fit {rah sering disebut pula dengan sedekah fitr,
sedangkan sedekah dalam ayat ini menunjukkan kepada sedaqah wajib (Depag, 2009: IV/137). 4Tujuan dianjurkannya mengeluarkan harta dalam bentuk sedekah adalah untuk menambah nilai
amalan di sisi Allah swt atas harta yang dimilikinya. Sedekah sunnah merupakan hutang Allah swt dari
46
pun dibedakan menjadi dua; sedekah yang pahalanya mengalir terus walaupun
pemberinya telah meninggal dunia dan sedekah yang pahalanya tidak senantiasa
mengalir. Sedekah yang senantiasa mengalir sekalipun yang memberi telah
meninggal dunia adalah wakaf (Mubarak, 2008: 8). Pernyataan Jaih Mubarak
tersebut merupakan penekanan kembali makna sedekah ja>riyah sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Taqiyuddin (t.th: I/319) yang mendasarkan hal ini
pada hadis yang di riwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya ‚jika mati anak
Adam terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah ja>riyah, ilmu yang
dimanfaatkannya dan anak yang s{a>lih yang mendoakannya.5‛
Pemahaman sedekah ja>riyah dikonotasikan kepada wakaf, karena
memang makna yang dikandung dalam wakaf mengekalkan zatnya (tetap
zatnya) dan hasilnya yang dimanfaatkan secara terus menerus, sehingga harta
yang tidak kekal zatnya dan hanya dapat diambil manfaatnya, tidak termasuk
dalam pemahaman sedekah ja>riyah (Taqiyuddin, t.th: I/319).
Didin Hafidhuddin (2008: 159-160) yang mengutip pandangan M.A.
Mannan menyatakan bahwa dilihat dari tata cara transaksinya, wakaf dapat
dipandang sebagai salah satu bentuk amal yang mirip dengan sedekah; yang
membedakannya dalam sedekah baik substansi aset maupun hasil/manfaat yang
diperoleh dari pengelolaannya seluruhnya dipindah-tangankan kepada yang
berhak menerimanya, sedangkan wakaf yang dipindah-tangankan hanya
hasilnya/manfaatnya dan aset atau substansinya tetap dipertahankan. Harta yang
telah diwakafkan tidak boleh dipindah-tangankan kepada selain yang
hamba-Nya dengan melebihkan rahmat-Nya yaitu sebagai perangsang kepada yang berbuat kebaikan di
dalam kehidupan ini, agar manfaatnya kembali pada manusia semua (Bably, 1999: 124). 5Redaksi hadis tersebut dapat ditemukan dalam Sunan Abu Ali hadis nomor 2880. Sunan al-
Nasai fas}al ‚al-sedekah an al-mayt.‛
47
dipercayakan mengelolanya. Pemindah-tanganan itu hanya berlaku pada hasil
pengelolaan aset harta wakaf.
Makna sedekah dalam Islam mempunyai arti yang sangat luas, tidak
terbatas pada pemberian sesuatu yang sifatnya materiil kepada orang-orang yang
miskin; tetapi lebih dari itu sedekah mencakup semua perbuatan kebaikan, baik
bersifat fisik maupun non fisik (Dahlan, 1996: 5/1617). Pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa sedekah meliputi semua perbuatan kebaikan yang dapat
dilakukan oleh setiap orang dengan semata-mata mengharapkan ridha dari Allah
swt.
Selain sedekah jariyah, wakaf juga berarti al-h}abs yang jamaknya al-
ah{ba>s atau h{absan diartikan dengan ‚mencegah atau diam‛ yang dijelaskan
dalam ungkapan ‚mewakafkannya tidak menjualnya dan tidak mewariskannya
(Mushtafa, t.th: 152). Syaikh al-T{usi seperti dikutip oleh Ayatullah Muhammad
Ibrahim (2000: 29) wakaf itu menahan pokoknya dan menyalurkan manfaatnya.
Kata al-waqf dan al-ah}ba>s sama-sama berbentuk mas{dar yang artinya
‚menahan‛(Rafiq, 1998: 490). Wakaf berarti menahan harta dan memberikan
manfaatnya di jalan Allah (Sabiq, t.th: III/378).
Oleh karena itu, wakaf mempunyai padanan kata yang banyak dalam
kajian hukum Islam, bahkan selain yang telah disebutkan di atas, wakaf juga
memiliki sinonim yang lainnya yaitu: tahri>m dan sabi>l yang keduanya banyak
ditemukan dalam kajian hadis (Khosyi’ah, 2010: 16). Wahbah Zuhaily (2010:
7599) bahkan menegaskan bahwa kata wakaf, tah}bi>s dan tasbi>l mempunyai
makna yang sama; yakni menahan pada kebaikan. Makna yang dikandung dari
48
semua kata tersebut adalah menahan harta yang dimiliki seseorang untuk
dipergunakan pada jalan kebaikan.
Wakaf dalam pengertian istilah di kalangan imam mazhab, terjadi
perbedaan pandangan. Akibat perbedaan itu melahirkan pengertian yang
beragam sesuai dengan mazhab yang dianut oleh para ulama itu. Al-Kabisi
(2004: 40-62) mengemukakan pandangan imam mazhab antara lain6:
Mazhab Hanafi memberi pengertian wakaf adalah menahan benda wakif
dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. Mewakafkan harta bukan
berarti meninggalkan hak milik secara mutlak, sehingga wakif boleh saja
menarik wakafnya kembali kapan saja dikehendakinya dan boleh diperjual-
belikan. Bahkan dijelaskan bahwa jika wakif meninggal dunia, maka
kepemilikan harta yang diwakafkan itu berpindah menjadi hak ahli waris; dan
yang tidak dapat ditarik adalah wakaf yang dilakukan dengan cara wasiat
berdasarkan keputusan hakim.7
Mazhab Maliki memahami wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu
pada batas waktu keberadaannya bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan
wakif meski hanya perkiraan. Menjadikan manfaat harta wakif baik berupa sewa
6 Selain yang dikemukakan oleh al-Kabisi, pandangan mazhab dimaksud juga dapat ditemukan
dalam berbagai kitab fiqh atau kitab yang membahas masalah waris, hibah, wasiat, dan wakaf; termasuk
di antaranya yang disusun oleh Tim El-Madani (2014: 103-110); juga dalam jurnal (misalnya) Jurnal
Awqa>f pimpinan T{ariq Abdullah (2000: 29-30); Ahmad Abuziad (2000:3-4); Abd. al-Baqy (2006: 26-27);
Zuhaily (2010b: 7599-7602); Ali Fikry (1938: II/299-306). 7Imam Abu Hanifah memandang bahwa aqad wakaf tidak mengikat dalam artian bahwa orang
yang berwakaf boleh saja mencabut wakafnya kembali. Akad dalam wakaf jadi mengikat apabila: terjadi
sengketa antara orang yang mewakafkan dan naz}ir dan hakim memutuskan bahwa wakaf itu mengikat;
(2) wakaf itu dipergunakan untuk masjid; dan (3) putusan hakim terhadap harta wakaf itu dikaitkan
dengan kematian orang yang berwakaf (Dahlan, 1996: 1905).
49
atau hasilnya untuk diberikan kepada yang berhak secara berjangka waktu sesuai
kehendak wakif.8
Di kalangan mazhab Syafi’i, wakaf dipahami menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang tersebut hilang
kepemilikannya dari wakif, serta dimanfaatkan pada sesuatu yang dibolehkan;
atau menahan yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya
untuk disalurkan kepada jalan yang dibolehkan.9
Mazhab Hambali mendefinisikan wakaf adalah menahan secara mutlak
kebebasan pemilik harta dalam menjalankan hartanya yang bermanfaat dengan
tetap utuhnya harta dan memutuskan seluruh hak penguasaan terhadap harta,
sedangkan manfaat harta adalah untuk kebaikan dalam mendekatkan diri kepada
Allah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa wakaf yaitu menahan tindakan hukum
orang yang berwakaf terhadap hartanya yang telah diwakafkan dengan tujuan
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum dan kebaikan dalam rangka
mendekatkan diri pada Allah swt, sedangkan materinya tetap utuh. Lebih lanjut
jumhur berpendapat bahwa harta yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi
milik wakif dan akadnya bersifat mengikat dan status harta telah berubah
menjadi milik Allah swt yang dipergunakan untuk kebajikan bersama, sehingga
8Pengertian yang dikembangkan dalam mazhab Maliki memperlihatkan bahwa kepemilikan harta
tetap pada wakif dan masa berlakunya tidak untuk selama-lamanya kecuali untuk waktu tertentu menurut
keinginan wakif yang telah ditentukan sendiri (Lubis, 2010: 5, Khosyi’ah, 2010: 19). 9Pengertian wakaf di kalangan mazhab Syafi’i telah dikembangkan dengan beberapa pendapat;
yaitu: Imam Nawawi mendefinisikan wakaf ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan
untuk dirinya sementara benda itu tetap ada dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan
diri kepada Allah. Al-Syarbini mendefinisikan wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaatnya
dengan menjaga keamanan benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya
untuk hal-hal yang dibolehkan (al-Kabisi, 2004: 40).
50
wakif tidak boleh bertindak hukum terhadap harta tersebut (Dahlan, 1996: 1905;
al-Ba>qy, 2006: 27).10
Lebih lanjut al-Kabisi (2004: 61) menegaskan bahwa dari beragam
definisi yang dikemukakan di kalangan imam mazhab; pandangan Ibn Qudamah-
lah yang sangat singkat namun telah mengindikasikan kepada makna wakaf
secara menyeluruh. Pandangan dimaksud adalah ‚menahan asal dan mengalirkan
hasilnya‛. Pendapat ini bagi al-Kabisi dianggap tepat dengan alasan:
Pertama, definisi ini dikutip dari hadis Nabi Muhammad saw kepada
Umar bin Khatt}ab ra, yang maknanya ‚menahan asal dan mengalirkan hasilnya,
sebagaimana telah disebutkan di atas. Kedua, definisi tersebut tidak
diperselisihkan di kalangan para ahli. Ketiga, definisi ini hanya membatasi pada
hakikat wakaf dan tidak mengandung perincian yang dapat mencakup definisi
yang lain.
Oleh karena itu, wakaf dapat dipahami sebagai ‚penahanan harta yang
dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang
mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah; atau wakaf
menahan harta yang mempunyai daya tahan lama dipakai dari peredaran
transaksi dengan tidak memperjual-belikannya, tidak juga mewariskannya, dan
tidak pula menghibahkannya; justru manfaatnya disedekahkan untuk
kepentingan umum; dan status benda wakaf itu beralih menjadi milik Allah
bukan lagi menjadi milik pewakif.
10
Ibrahim Mahmud Abdul Ba>qy (2006: 26-27) menyimpulkan bahwa pemaknaan wakaf di
kalangan para ahli dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: pandangan Imam Hanafi ra, pandangan
Imam Malik, dan pandangan jumhur.
51
Di Indonesia, pemaknaan wakaf lebih cenderung mengikuti definisi yang
dikemukakan dalam mazhab Syafi’i. Cerminan pengertian dimaksud dapat
ditemukan dalam tiga peraturan perundang-undangan yang berlaku; yaitu:
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; Kompilasi Hukum Islam (KHI);
dan UU Nomor 41 Tahun 2004. Di bawah ini dikemukakan isi peraturan
tersebut.
a. PP Nomor 28 Tahun 1977 pasal (1) menjelaskan wakaf ialah:
Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
b. Kompilasi Hukum Islam pasal 215, wakaf diartikan:
Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam (KHI, Ps. 215).
Pemahaman wakaf berdasarkan pada pasal 1 PP Nomor 28 Tahun 1977,
masih terbatas karena yang disebutkan wakaf itu tanah milik. Jenis harta wakaf
lainnya belum disebutkan dalam peraturan itu. Namun, hal ini berbeda dengan
uraian pada pasal 215 KHI yang telah menyebutkan secara umum dengan
menggunakan kalimat sebagian dari benda miliknya yang dapat saja dari benda
tetap dan benda tidak tetap (Khosyi’ah, 2010: 18).
c. UU Nomor 41 Tahun 2004.
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah (Psl. 1).
Pemahaman wakaf yang tercantum dalam UU ini semakin terbuka, sebab
wakaf bukan hanya semata-mata tanah milik atau harta benda tidak bergerak;
52
tetapi telah mencakup seluruh jenis harta yang dapat diambil manfaatnya. Jadi
harta apa saja selama tidak menyalahi ketentuan syari’at Islam dapat dibenarkan
untuk dijadikan wakaf dan memanfaatkannya sesuai ketentuan perwakafan.
Makna wakaf yang tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang
ada yaitu: wakaf merupakan perbuatan hukum; adanya usaha mengeluarkan
sebagian harta yang dimiliki dengan memisahkannya dari harta miliknya; adanya
sasaran atau tujuan atas harta yang telah disisipkan itu untuk kepentingan
peribadatan; perbuatan itu dilakukan dengan tidak ada batasan waktu; serta
seluruh rangkaian perbuatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
ajaran agama Islam.
Perumusan pengertian yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa
wakaf sebagai salah satu perbuatan manusia yang bersifat kebendaan telah
melahirkan konsekuensi hukum serta akibat lain yang ditimbulkannya yang
memerlukan perhatian umat Islam dengan membentuk badan atau lembaga yang
dapat mempertanggung jawabkan hak dan kewajiban dari hukum wakaf tersebut.
Wakaf juga telah memberikan indikasi nilai ekonomi yang sangat besar
peranannya dalam pengembangan masyarakat. Makna yang dikandungnya
menunjukkan bahwa wakaf menjadi modal investasi masa depan perekonomian
umat, sebagaimana yang berkembang dalam sistem perbankan konvensional
seperti penanaman saham, modal, dan sebagainya.
2. Dasar Hukum
Kendatipun tidak jelas dan tegas wakaf disebutkan dalam al-Qur’a>n secara
langsung, seperti telah dikemukakan di atas; namun banyak ayat yang
memerintahkan manusia berbuat baik yang dapat menyentuh pada kebaikan
53
masyarakat. Ayat-ayat yang menyinggung agar manusia berbuat baik dengan
harta yang dimilikinya, sesungguhnya di pandang oleh para ahli sebagai landasan
perwakafan (Ali, 1988: 80). Di antara ayat-ayat al-Qur’a>n yang digunakan oleh
ahli menetapkan dasar wakaf adalah surah al-Baqarah (2): 267:
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Ayat ini ditafsirkan di kalangan ahli tafsir Indonesia bahwa orang yang
benar-benar beriman akan menafkahkan sesuatu yang baik dengan maksud
menyucikan diri dan jiwanya. Tentu yang diinfakkan adalah sesuatu yang
memberikan hasil yang baik, sehingga infak itu bukanlah sesuatu yang buruk
yang tidak disukai oleh yang menginfakkan sebagaimana yang menafkahkan
tidak akan mau menerima bila diberi dari sesuatu yang buruk (Depag, 2009:
I/404). Tafsiran ini jika dianalisis dengan memahami makna yang dikandung dari
wakaf, maka sangat tepat dijadikan dasar hukum bagi perbuatan wakaf; sebab
wakaf bagian dari sedekah umum tidak mengamanatkan untuk mengeluarkan
harta yang dimiliki itu tidak mempunyai manfaat atau buruk, akan tetapi yang
54
diwakafkan haruslah harta benda yang dapat memberi manfaat bagi
masyarakat.11
Ada juga ahli tafsir yang memahami bahwa ayat ini memerintahkan
manusia untuk menafkahkan sebagian dari harta yang diperoleh; baik melalui
usaha manusia maupun yang diperoleh dari perut bumi. Praktek nafkah dalam
konteks ayat ada yang wajib dan ada bersifat anjuran (Shihab, 2010: I/700). Ayat
ini juga dapat dipahami bahwa hasil usaha manusia dapat bermacam-macam
yang pada awal Islam belum berkembang pesat tapi pada saat sekarang telah
banyak ragamnya. Misalnya dalam bidang usaha jasa; jasa dapat dibagi menjadi
jasa komersial atau jasa profit dan jasa non profit. Jasa komersial di antaranya
penerbangan, dokter umum, bank, dan lain-lain yang juga masih dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Jasa nirlaba (non-profit) misalnya
sekolah, yayasan dana bantuan, panti asuhan, perpustakaan, museum, dan lain-
lain yang memiliki karekteristik khusus, yaitu masalah yang ditanganinya lebih
luas, tercapai tidaknya tujuan tidak hanya ditentukan berdasarkan ukuran
finansial; laba perusahaan nirlaba juga seringkali tidak berkaitan dengan
pembayaran dari pelanggan, dan biasanya perusahaan jasa nirlaba dibutuhkan
untuk melayani segmen pasar yang secara ekonomis tidak layak.
Demikian juga hasil yang dikeluarkan Allah swt dari perut bumi begitu
semakin banyak jenisnya. Hal ini sangat berhubungan dengan sumber daya alam
yakni segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Sumber daya alam mutlak
11
Perbuatan menafkahkan sesuatu yang baik dan bukan yang buruk-buruk, termasuk perbuatan
yang amat terpuji, walaupun menafkahkan itu sendiri tidaklah sesuatu yang terbaik yang dimiliki manusia
(Shihab, 2010: 1/700).
55
diperlukan untuk menunjang kebutuhan manusia. Pada umumnya, sumber daya
alam berdasarkan sifatnya dapat digolongkan menjadi SDA yang dapat
diperbaharui dan SDA tak dapat diperbaharui. SDA yang dapat diperbaharui
adalah kekayaan alam yang dapat terus ada selama penggunaannya tidak
dieksploitasi berlebihan; misalnya: tumbuhan, hewan, mikroorganisme, sinar
matahari, angin, dan sebagainya. SDA tak dapat diperbaharui adalah SDA yang
jika digunakan secara terus-menerus akan habis sementara proses
pembentukannya sangat lama. Misalnya: minyak bumi, emas, besi, berbagai
bahan tambang dan sebagainya.12
Usaha apapun yang dihasilkan manusia dalam rangka mendapatkan harta
kekayaan, dianjurkan untuk mengeluarkan sebagian dalam bentuk sedekah; baik
sedekah wajib maupun yang sunnah. Jadi ayat tersebut secara tidak langsung
memerintahkan manusia mewakafkan harta yang dimilikinya.
Kemudian pada surah Ali Imran (3): 92, Allah swt juga telah
menekankan:
Terjemahnya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai dan apa
saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Kemudian surah al-Hajj (22): 77:
12
Lihat: Wikipedia Bahasa Indonesia, 2011, Sumber Daya Alam Indonesia, diunduh pada
tanggal 16 Mei 2013 dari dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_alam.
56
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.
Ketiga ayat tersebut digunakan oleh Mus}t}afa Syalabi (1957: 23) sebagai
dasar adanya wakaf dalam al-Qur’a>n; walaupun tidak secara khusus disebutkan
wakaf, namun uraian dan makna yang dikandung di dalamnya telah
menunjukkan kepada sedekah umum dan kebaikan. Jumhur ulama memahami
bahwa ayat-ayat tersebut di atas mengandung keumuman di antara cara
mendapatkan kebaikan itu dengan menginfakkan sebagian harta yang dimiliki
seseorang di antaranya melalui sarana wakaf (Dahlan, 1996: 1906). Mencari
kebaikan dalam hidup tidaklah sulit, karena kebaikan dapat saja diperoleh setiap
manusia dari harta yang dimilikinya, kekuasaan, kesempatan, dan sebagainya.
Kebaikan yang dapat saja dilakukan manusia melalui harta kekayaannya dengan
menginfakkan di jalan Allah. Infak sebaiknya yang memiliki masa waktu yang
tidak ada batasannya.
Ayat lain yang dipahami sebagai informasi awal tentang wakaf yaitu
ayat 96 surah Ali Imran.13
Ayat dimaksud menceritakan bahwa Ka’bah yang
dibangun oleh Nabiyullah Adam as yang selanjutnya dimakmurkan kembali oleh
Nabiyullah Ibrahim dan Ismail as serta dilestarikan oleh Nabiyullah Muhammad
saw ditujukan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan agama yang dikembangkan
13
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
57
secara terus menerus merupakan wakaf pertama yang dikenal oleh manusia dan
dalam Islam (Qah}af, 2004: 6).14
Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa seluruh ayat-ayat yang
menyampaikan untuk menginfakkan sebagian harta yang dimiliki seseorang,
atau juga mengeluarkan sedekah dari harta itu, mengandung makna salah
satunya adalah bertalian dengan wakaf, sebab ayat-ayat dimaksud tidak secara
jelas menyebutkan infak itu untuk apa tujuannya, namun yang diketahui bahwa
seluruh perintah berinfak mengarahkan kepada perbuatan yang baik dan
sekaligus bernilai positif bagi yang berinfak dan orang-orang yang menerimanya.
Selain dalam al-Qur’a>n sebagai sumber adanya informasi tentang wakaf;
ada juga sumber dari hadis yang ditemukan membicarakan masalah wakaf. Hadis
yang umum membicarakan wakaf adalah hadis yang diriwayatkan dari Muslim
yang bunyinya:
ال من ثالث نقطع معهل إ ذإ مات إبن آ دإم إ صدقة جارية آ و عمل ينتفع به آ و ودل صاحل : إ
يدعو هل15.
Para ulama menafsirkan kata-kata sedekah jariyah (sedekah yang akan
terus menerus mengalirkan pahala) dalam hadis tersebut dengan wakaf
(Hafidhuddin, 2008: 161). Sikap sahabat Umar bin Khattab yang meminta
pandangan dari Rasulullah tetang harta yang dimilikinya dan menginginkan
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, dan akhirnya Rasulullah
14
Ka’bah adalah rumah peribatan pertama untuk manusia. Ini memberi isyarat bahwa ia telah ada
sejak manusia menginjakkan kaki di muka bumi. Kota Mekkah tempat dibangunnya Ka’bah menjadi
pusat rohani pertama yang ditetapkan bagi manusia (Shihab, 2010: II/193; Depag, 2009: II/8). Abuziad
(2000: 2) dalam pandangan yang berbeda mengemukakan bahwa wakaf yang pertama dalam Islam adalah
masjid Quba yang dibangun langsung oleh Rasulullah kemudian di susul dengan masjid Nabawi. Pendapat
ini dapat dikatakan tidak ada masalahnya karena melihat wakaf pada masa Rasulullah dan itu merupakan
masa awal perkembangan Islam. 15
Hadis tersebut dapat ditemukan dalam Shahih Muslim Juz 5 Bab Ma> Yulhiqu al-Insa>n, hadis
nomor 4310, Sunan Abu Daud Juz 2 hadis nomor 2880 bab Ma> ja’a fîh.
58
perintahkan untuk ‚menahan asalnya dan menyedekahkan hasilnya‛, menurut
Imam Syafi‛i bahwa ini merupakan landasan atas kebolehan berwakaf (Syafi‛i,
t.th, 3/52-53). Riwayat tetang Umar ini dijelaskan dalam as}h}abu as-sunan seperti
dikemukakan Mus}t}afa Syalabi (1957: 23-24). Hadis lain yang diriwayatkan
Imam Bukhari, Turmuzi, dan Nasa >’i dari Us\man bin Affan ra, Rasulullah saw
bersabda ‚barang siapa yang membeli sumur raumah, maka baginya syurga (as-
Suyuti, 1930: 6/234). Hadis tersebut menjelaskan bahwa Us\man bin Affan
membeli sumur dimaksud di Madinah kemudian sumur itu diwakafkan untuk
kepentingan umum, walaupun beliau sendiri juga menggunakannya untuk
kepentingan sehari-hari.
Rasulullah saw menjanjikan bahwa yang membeli sumur raumah akan
mendapatkan pahala yang sangat besar kelak di syurga, karena itu Us\man bin
Affan membeli sumur itu dan diwakafkan bagi kepentingan kaum muslimin
(Qah}af, 2004: 7). Kasus yang sama terjadi pada Abu T{alhah yang mewakafkan
perkebunan Bairuha, padahal perkebunan itu merupakan harta yang paling
dicintainya, maka pada saat itu turunlah ayat 92 surah Ali Imran.16
Turunnya
ayat ini menjadi spirit utama bagi Abu T}alhah untuk menyedekahkan
perkebunannya dan Rasulullah menasehatinya agar menjadikan perkebunan itu
untuk keluarga dan keturunannya (Bukhari, t.th: 4/9).
Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam seperti telah dijelaskan di
atas. Oleh karena itu, wakaf sebenarnya memiliki akar keislaman yang sangat
mendasar, sebab kitab suci al-Qur’a>n dan hadis banyak menyinggung masalah
16
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.
59
yang berhubungan dengan perbuatan wakaf walaupun tidak secara eksplisit.
Sumber dimaksud telah mengajarkan pentingnya menyumbang untuk berbagai
tujuan kebaikan.
Jumhur juga telah memberi alasan bahwa umat Islam sejak datangnya
Islam sampai sekarang secara terus menerus mengamalkan wakaf untuk
kebaikan dan menghalangi wakif untuk membelanjakan harta wakaf tersebut
(Prihatini, 2005: 110). Membaca perkembangan wakaf yang ada, maka dapatlah
disimpulkan bahwa wakaf memang memiliki landasan hukum yang jelas; baik
seperti yang banyak dijelaskan informasinya dalam al-Qur’a>n dan hadis, juga
dalam realitas kehidupan telah menjadi bagian dari perbuatan umat, sehingga
siapapun yang mau beramal melalui wakaf dipandang tidaklah merugi tetapi
justru memberi manfaat dunia dan akhirat.
3. Rukun Wakaf
Ditegaskan dalam Islam bahwa prinsip pemilikan harta agar harta tidak hanya
berputar atau dikuasai oleh sekelompok golongan saja (hanya berputar di
kalangan orang kaya saja) hendaknya diinfakkan atau dibelanjakan di jalan Allah
swt (QS. Al-Taubah (9): 103). Perputaran harta bukanlah ditujukan semata-mata
untuk kepentingan bisnis dan pada segelintir orang; tetapi harta yang dimiliki
manusia harus memberi nilai ekonomi bagi orang lain secara seimbang.
Akibatnya orang miskin pun akan merasakan dampak atas perputaran harta
tersebut. Jika ini yang terjadi, berarti apa yang menjadi tujuan dan prinsip
ekonomi Islam yang di antaranya membuat distribusi sumber-sumber ekonomi,
kekayaan, dan pendapatan harus berlangsung secara adil dan merata dapat
tercapai. Islam mencegah konsentrasi kekayaan berada di tangan sedikit orang
60
dan menghendaki agar harta berputar dan beredar di antara seluruh bagian dalam
masyarakat (Chaudhry, 2012: 32). Perputaran harta yang hanya terjadi di
kalangan tertentu akan mengakibatkan adanya ketidak seimbangan antar
kelompok masyarakat. Sistem mendominasi, menguasai, menopoli, begitu
dengan mudah terjadi. Kondisi ini menyebabkan lahirnya sistem eksploitasi,
yang akan memberi dampak terjadinya kegoncangan sosial (Khosyi’ah, 2010:
39).
Di samping itu, karena kekayaan itu harus dinikmati oleh semua
golongan, tidak dibenarkan hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orang saja,
maka hal seperti inilah yang menyebabkan masalah sosial. Mengatasi tidak
adanya masalah sosial yang diakibatkan dari sistem distribusi yang tidak
seimbang, maka ajaran wakaf merupakan satu dari sekian banyak ajaran yang
memberikan solusi pada pendistribusian dan pemanfaatan oleh semua kelompok
masyarakat. Namun, wakaf juga memiliki aturan tersendiri sebagai salah satu
ketentuan hukum mengenai harta milik. Ketentuan dimaksud yakni adanya
unsur-unsur terjadinya wakaf.
Pada perjalanannya, wakaf mempunyai banyak persoalan dan perbedaan
pandangan di kalangan fuqaha menyangkut unsur atau rukun yang harus
dipenuhi dalam wakaf; walaupun perbedaan itu tidaklah esensi, sebab intinya
para fuqaha tetap sepakat bahwa wakaf merupakan bagian dari ajaran Islam yang
mempunyai dimensi sosial. Sahnya wakaf para mujtahid (fuqaha) telah sepakat
61
bahwa harus memenuhi rukun dan syarat tertentu.17
Mengenai jumlah rukun
telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (Syalabi, 1957: 40-41).
Pengikut mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun wakaf itu hanya satu
yaitu shighat (al-Kabisi, 2004: 87). Shighat adalah lafaz yang menunjukkan arti
wakaf, seperti ucapan ‚kuwakafkan kepada Allah atau untuk kebajikan tanpa
menyebutkan tujuan tertentu. S}igat ini hanya pada pernyataan ija>b (pernyataan
mewakafkan harta dari wakif), adapun qabu>l (pernyataan menerima wakaf) tidak
termasuk dalam rukun bagi mazhab Hanafi dengan alasan ‚akad wakaf tidak
bersifat mengikat‛ artinya jika seseorang mengatakan ‚saya wakafkan harta saya
pada anda, maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi wakaf
berhak atas manfaat harta itu (Dahlan, 1996: 1906). Sementara dalam literatur
yang lain disebutkan bahwa rukun wakaf itu ada empat, yakni: wakif, mauqu>f,
mauqu>f alaihi, dan s}igat (Bajiy, 2009: 25; Syat}iri, 1989: 116). Jumhur ulama
mengatakan bahwa rukun wakaf itu ada empat sebagaimana yang telah
disebutkan (Dahlan, 1996: 1906).18
Kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wakaf adalah shighat
(ucapan, pernyataan tegas). S}igat adalah lafaz}-lafaz} yang menunjukkan makna
wakaf, seperti: tanahku ini diwakafkan selamanya untuk orang-orang miskin,‛
dan lafaz} sejenis misalnya ‚barang ini diwakafkan untuk Allah, untuk tujuan
kebaikan, atau diwakafkan saja‛, hal ini sesuai dengan ucapan Abu Yusuf dan
17
Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam
pembentukan suatu hal. Tanpa rukun sesuatu tidak akan tegak berdiri. Wakaf sebagai suatu lembaga
dapat berdiri tegak jika rukun yang menjadi penyangganya terpenuhi (Ali, 1988: 84-85, Prihatini, 2005:
110), sedangkan rukun dalam terminology fiqh diartikan dengan sesuatu yang dianggap menentukan
suatu disiplin tertentu dimana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri (Khallaf, t.th: 119). 18
Rukun wakaf dalam pandangan Malikiyah seperti dikutip Ali Fikry (1938: 304-305) disebutkan
ada empat yakni: wakif, mauqu>f, mauqu>f alaih, dan s{ighat. Uraian lebih lanjut terhadap rukun dimaksud
lihat pada halaman 308 tentang ah}ka>m al-wakaf.
62
dijadikan fatwa untuk masalah ‘urf. Wakaf kadang bisa terjadi secara pasti,
seperti seseorang mewasiatkan hasil dari rumah untuk orang-orang miskin
selama-lamanya atau untuk si fulan kemudian untuk orang-orang miskin selama-
lamanya. Maka rumah tersebut pasti menjadi wakaf, sebab ucapan tersebut mirip
dengan ucapan ‚jika aku meninggal, aku wakafkan rumahku untuk ini‛ (Zuhaily,
2010b: 7605).
Rukun wakaf menurut Hanafiyah adalah pernyataan yang muncul dari
orang yang mewakafkan yang menunjukkan terbentuknya wakaf. Pemahaman ini
mendasarkan bahwa makna rukun adalah bagian sesuatu yang mana sesuatu itu
tidak bisa terwujud kecuali dengan bagian itu.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa wakaf itu mempunyai empat rukun;
yaitu orang yang mewakafkan, barang yang diwakafkan, pihak yang diberi
wakaf, dan shighat. Pertimbangannya bahwa rukun adalah sesuatu yang suatu
perkara tidak bisa sempurna kecuali dengan sesuatu itu, baik sesuatu itu bagian
dari perkara itu, maupun sesuatu itu bukan dari bagian perkara itu.
Adapun qabu>l (s{igat menerima) dari pihak yang diwakafi tidaklah
termasuk rukun wakaf menurut kalangan Hanafiyah. Mazhab Hanabilah
berpandangan s{ighat qabu>l bukan juga merupakan syarat keabsahan wakaf atau
syarat memilikinya, baik pihak yang mendapatkan wakaf itu tertentu (diketahui
identitasnya) maupun tidak. Jika sekiranya pihak yang mendapatkan wakaf
diam, dia tetap mendapatkan hasil dari wakaf. Oleh karena itu, sesuatu menjadi
wakaf hanya dengan ucapan, sebab wakaf adalah penghilangan kepemilikan yang
menyebabkan terhalangnya jual beli, hibah dan warisan terhadap suatu barang.
63
Wakaf tidak memerlukan s{igat qabu>l seperti memerdekakan budak.19
S{ighat
qabu>l menurut Malikiyyah, Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah termasuk rukun,
jika wakaf itu untuk orang tertentu dan dia mempunyai hak, patut untuk
menerima; kalau tidak maka disyaratkan walinya yang menerima, sebagaimana
hibah dan wasiat (Zuhaily, 2010b: 7606).
Rukun wakaf yang pertama adalah orang yang mewakafkan hartanya
(wakif). Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya,
di antaranya adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik
buruknya perbuatan yang dilakukannya dan benar-benar pemilik harta yang
diwakafkan itu. Syarat-syarat dimaksud merupakan bagian terpenting untuk
menuju profesionalitas berwakaf.
Mengenai kecakapan bertindak dalam hukum fikih ada dua istilah yang
perlu dipahami perbedaannya yaitu bali>q dan rasyi>d. Pengertian baliq
menitikberatkan pada usia, sedang rasyi>d pada kematangan pertimbangan akal.
Kecakapan bertindak melakukan tabarru (melepaskan hak tanpa imbalan)
diperlukan kematangan pertimbangan akal seseorang (Ali, 1988: 85). Kecakapan
dimaksud berkaitan dengan kemampuan mempertimbangkan baik buruknya
perbuatan yang dilakukannya dan karena wakaf merupakan pelepasan harta
benda miliknya untuk kepentingan umum (Munawar, 2004: 135-136). Mengenai
harta yang diwakafkan harus bebas dari beban hutang pada orang lain. Jika ada
19
Budak dipahami merendahkan diri atau hamba yang dibeli dan dimiliki yang harus taat dan
tunduk dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya apapun yang dibebankan padanya. Nash al-
Qur’an tidak membolehkan perbudakan tetapi yang ada mendorong dan anjuran membebaskan budak.
Ada lima prinsip pokok dalam memperlakukan budak; berbuat baik kepada budak sebagaimana berbuat
baik kepada kedua orang tua dan sebagainya; dilarang memanggil dengan ungkapan yang menghina;
memberikan makanan, tempat tinggal yang layak sebagaimana manusia lainnya; dilarang menganiaya dan
disakiti; dan memberikan pendidikan dan pengajaran kepadanya (Dahlan, 1996: 222-223).
64
hutang, maka hutangnya diangkat terlebih dahulu supaya tindakan wakif tidak
merugikan orang lain.
Berdasarkan pada keterangan itu, maka mewakafkan harta tidaklah sah
jika dilakukan oleh anak kecil, orang gila, atau orang sedang dicabut haknya, dan
bagi orang yang terpaksa berbuat. Syarat yang dimaksudkan ialah orang yang
memberikan wakaf mempunyai kuasa seutuhnya terhadap harta yang
diwakafkan ketika masih hidup (Azzam, 2010: 399).
Rukun wakaf yang kedua mauqu>f. Harta yang hendak dijadikan wakaf
harus memenuhi syarat; yaitu: a) benda yang diwakafkan harus mutaqawwi>m
dan ‘aqa>r. Maksudnya barang atau harta yang dimiliki oleh seseorang dan itu
boleh dimanfaatkan menurut syari’at Islam dalam keadaan apa pun dan barang
tidak bergerak (Munawar, 2004: 137). Walaupun masalah harta benda tidak
bergerak bukanlah satu-satunya yang harus diwakafkan, tetapi untuk zaman
sekarang telah dikembangkan menjadi benda tidak bergerak, benda bergerak
selain uang dan benda bergerak berupa uang (UU No. 41/2004 Ps. 15)20
; b) benda
yang diwakafkan harus jelas wujudnya dan batas-batasnya. Ini bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum dan kepastian hak bagi mustahik untuk
memanfaatkan benda wakaf; dan agar dikemudian hari setelah harta itu
diwakafkan tidak menimbulkan perselisihan dan permasalahan; c) harta yang
diwakafkan itu milik sempurna si wakif. Ketika harta yang diwakafkan itu
bukan milik sempurna wakif, maka dapat melahirkan permasalahan dan yang
bersangkutan telah memanfaatkan sesuatu yang bukan haknya; d) benda yang
diwakafkan harus kekal. Wakaf telah dimasukkan sebagai salah satu amal yang
20
Harta benda yang dicantumkan dalam pasal 15 tersebut diuraikan lebih lanjut melalui PP
Nomor 42 Tahun 2006, pasal 16-27.
65
disebut ‚amal ja>riyah‛, untuk mendapatkan amal ja>riyah, maka harta yang
dikeluarkan itu sebaiknya zatnya kekal. Walaupun dikalangan para ahli masih
terdapat perbedaan; ada yang mengatakan boleh dibatasi oleh waktu dan harta
itu harus kekal zatnya agar memungkinkan dapat dimafaatkan terus menerus
(Munawar, 2004: 136-139).
Harta yang diwakafkan dapat memberi manfaat dan bukan sebaliknya
yakni mendatangkan malapetaka bagi yang menerima manfaat atau yang
mengelolanya; karena itu dilarang mewakafkan manfaat sesuatu barang yang
masih dalam kepemilikan orang lain (sewa, pinjam, milik bersama, dan lain-lain)
sebab manfaat yang dimaksud berasal dari benda wakaf yang sebenarnya dimana
bisa dimanfaatkan secara terus-menerus (Azzam, 2010: 401).
Rukun wakaf yang ketiga adalah tujuan wakaf. Tujuan itu harus
tercermin yang berhak menerima hasil wakaf atau mauqu>f alaihi harus jelas
misalnya: untuk kepentingan umum (mendirikan sekolah, masjid, rumah sakit,
amal-amal sosial lainnya); untuk menolong fakir miskin, orang-orang terlantar
dengan jalan membangun panti asuhan; untuk keperluan anggota keluarga
sendiri; dan lain-lain (Ali, 1988: 86).
Tujuan wakaf yang perlu ditekankan adalah untuk mendapatkan
keridhaan Allah swt dalam rangka beribadah kepada-Nya. Wakaf merupakan
ibadah ma>liyah yang berbentuk sedekah ja>riyah. Oleh karena itu, tujuan wakaf
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah (Ali, 1988: 87). Ibadah adalah
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sehingga ibadah menjadi
sarana penting bagi manusia untuk melakukan hubungan dengan Tuhannya.
Pelaksanaan ibadah untuk membuktikan diri manusia sebagai hamba serta
66
sekaligus untuk menegaskan keberadaan Tuhan. Manakala ibadah dilakukan
tanpa totalitas penghambaan diri kepada Tuhan, maka manusia akan jauh dari
Tuhannya. Manakala ibadah itu dilakukan sebagai manifestasi kepentingan
pribadi sebagai manusia, yakni untuk memperoleh manfaat biologis dan bukan
murni penghambaan diri secara ikhlas dan khusyuk kepada-Nya, maka
sesungguhnya itu adalah wujud antroposentrisme ibadah. Ibadah bukan hanya
tidak bisa melangitkan manusia, melainkan juga tidak punya resonansi sosial.21
Jadi tujuan wakaf haruslah sepenuhnya semata-mata untuk mendekatkan diri
kepada Allah swt.
Sebenarnya kegiatan apapun yang dilaksanakan manusia di dunia ini
adalah bentuk pengabdian kepada sang Kha>lik, hal ini disebabkan tujuan
penciptaan manusia adalah pengabdian seperti ditegaskan Allah dalam al-Qur’a>n
surah (Q.S Az\-Z|a>riya>t: 56)‛. Sejalan dengan ayat ini maka tujuan hakiki hidup
manusia adalah menyembah dan memahami Allah yang Maha Kuasa serta
mengabdi kepada-Nya. Sayyid Qutub seperti dikutip Quraish Shihab (2010:
13/110) menafsirkan bahwa manusia tidak akan berhasil dalam kehidupannya
tanpa menyadari maknanya dan meyakininya; ayat ini membuka sekian banyak
sisi dan aneka sudut dari makna dan tujuan.
Ibadah sebagai tujuan penciptaan manusia memberikan penekanan agar
manusia mengetahui batas-batas yang diwajibkan kepadanya sebagaimana
dijelaskan al-Qur’a>n tentang penciptaan manusia sebagai khalifah (QS. Al-
Baqarah: 29). Quraish Shihab (2010: 13/112) berpendapat bahwa tugas sebagai
kekhalifahan termasuk dalam makna ibadah yang pada hakikatnya mencakup
21
Lihat: Nasaruddin Umar, 2008, Hikmah Ibadah; diakses pada tanggal 10 Mei 2013 dari:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/ 11/08/01,.
67
dua hal: pertama, kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah swt dalam
hati setiap insan. Kemantapan dimaksud yakni melahirkan perasaan sebagai
seorang hamba dan ada Tuhan yang menciptakannya. Seorang hamba harus
patuh pada yang disembah dan tidak menyembah selainnya. Kedua, mengarah
kepada Allah semata seluruh gerakan anggota tubuh manusia termasuk hati
nurani dalam setiap gerak hidupnya, melepaskan diri dari segala perasaan yang
lain dan dari segala makna selain penghambaan diri kepada Allah, dengan
demikian terlaksana makna ibadah. Tujuan hakiki dari semua anggota tubuh
eksternal dan internal serta segala fitrah yang telah dikaruniakan kepada
manusia adalah ibadah, pemahaman, dan kasih kepada Allah swt.
Pencapaian tujuan hidup manusia salah satunya dapat dilakukan dengan
berjuang di jalan Allah melalui harta milik, kemampuan dan nyawanya seperti
yang diungkapkan dalam firman-Nya: ‚Berjihadlah dengan harta bendamu dan
jiwa ragamu di jalan Allah (QS. At-Taubah (9): 41. Islam mendorong manusia
untuk mengorbankan hartanya di jalan Allah dan memberikan haknya, sehingga
dengan itu dapat saling menggunakan dan akan menjadikan manfaat yang
sempurna bagi sesama manusia (Bably, 1999: 79). Wakaf telah menjadi bagian
dari upaya mengorbankan harta yang dimiliki manusia untuk pengembangan
jihad di jalan Allah. Oleh karena itu, tujuan wakaf pada hakikatnya adalah
implementasi nilai-nilai ibadah dan sekaligus perwujudan ibadah kepada Allah
swt.
Tujuan wakaf sebenarnya merujuk pada apa yang ditetapkan oleh wakif
dalam ikrar wakaf. Namun, yang perlu untuk diketahui bahwa dalam upaya
menentukan tujuan wakaf adalah berlaku asas kebebasan kehendak dalam batas-
68
batas tidak bertentangan dengan hukum syari’ah, kepentingan umum dan
kesusilaan (Anwar, 2007: 82).
Oleh karena sifatnya yang demikian itu, maka tujuan wakaf itu dapat
dimasukkan ke dalam kategori ibadah pada umumnya. Tujuan tersebut harus
merupakan hal yang mubah menurut ukuran kaidah hukum Islam. Tujuan wakaf
yang sifatnya umum itu menuntut agar pengelolaannya dilakukan dalam bentuk
badan atau organisasi (Ali, 1988: 87).
Rukun wakaf yang keempat adalah shighat. Pernyataan wakif sebagai
tanda penyerahan benda yang diwakafkan itu; ini dapat dilaksanakan secara lisan
maupun tertulis. Setelah penyerahan, maka hak wakif atas benda itu hilang
karena benda itu kembali menjadi hak mutlak Allah yang dimanfaatkan orang
lain dan pahalanya yang akan diterima oleh wakif (Ali Ali, 1988: 87). Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2004 mengatur bahwa ‚pernyataan wakif22
harus
dilakukan di hadapan pegawai pencatat akte ikrar wakaf (PPAIW) dengan
disaksikan oleh dua orang saksi.23
Ikrar wakaf dinyatakan secara lisan atau
tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW (Psl. 17).24
Ikrar wakaf dipandang penting karena pernyataan ikrar membawa
implikasi gugurnya kepemilikan wakif atas hartanya dan harta wakaf menjadi
22
Pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah atau harta benda miliknya harus
dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis dengan redaksi ‚aku mewakafkan‛ atau ‚aku
menahan‛ atau kalimat yang semakna lainnya (Psl. 1 ayat (3) PP Nomor 28 Tahun 1977, jo. Psl 215 ayat
(3) KHI). 23
Mengenai masalah saksi dalam ikrar wakaf tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh, karena
wakaf digolongkan ke dalam aqad tabarru yakni janji untuk melepaskan hak tanpa suatu imbalan
kebendaan; pelepasan itu hanya semata-mata ditujukan kepada Allah dalam rangka beribadah kepada-Nya
(Ali, 1988: 88). Namun wakaf termasuk masalah mu’amalah yakni ada hubungannya dengan
kemaslahatan umum, maka perundang-undangan yang ada mencantumkan adanya saksi. 24
Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1978 pasal 5 dan pasal 218
Kompilasi Hukum Islam.
69
milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum.25
Konsekuensinya harta wakaf tidak boleh diwariskan, dijual dan dihibahkan
(Rafiq, 2004: 324-325).
Di Indonesia, rukun wakaf dipahami meliputi tiga unsur, yaitu: wakif,
benda yang diwakafkan dan ikrar wakaf. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf selain menyebutkan tiga unsur dimaksud, memasukkan kembali
naz}ir, peruntukkan wakaf, dan jangka waktu wakaf. Padahal dalam doktrin
hukum Islam yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, naz}ir tidak termasuk rukun
atau syarat wakaf; akan tetapi hukum Islam yang berlaku di Indonesia26
naz}ir
tampaknya menjadi rukun wakaf karena wakaf harus diikrarkan kepada naz}ir di
hadapan PPAIW dan naz}ir adalah menjadi pengurus wakaf tersebut (Anwar,
2007: 80-81).
Rukun wakaf yang diikuti dengan syarat pada setiap rukun merupakan
unsur-unsur penting yang tidak terpisahkan dalam proses pengelolaan wakaf.
Sukses atau tidaknya pengelolaan wakaf adalah tidak terlepas pada baiknya
perbuatan wakif, barang yang diwakafkan dan ikrar, semuanya ini harus
diregistrasikan27
sebagai bukti telah terjadi perwakafan agar tindakan dimaksud
mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi (Rafiq, 2004:
322). Tuntutan tertib administrasi yang menjadi bagian dari tata kelola
organisasi, juga secara tidak langsung diamanahkan oleh perbuatan wakaf itu
25
Penempatan wakaf dalam konteks mu’amalah menuntut adanya pernyataan lisan dan atau
tertulis yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang serta dihadiri oleh saksi menekankan prinsip
kepastian hukum dan transparansi yang dicatat dalam dokumen resmi merupakan tuntutan modernitas
tertib administrasi (Mubarak, 2008: 45). 26
Lihat: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1977, tentang Perwakafan Tanah Milik,
pasal 5-6. KHI buku III pasal 218-219. 27
Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 282 telah menjadi dasar hukum bagi transaksi mu’amalah,
walaupun ayat tersebut tidak menyebutkan adanya wakaf tetapi utang piutang yang dalam pandangan
Ahmad Rafiq (2004: 322) dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf.
70
sendiri. Ketika perbuatan mewakafkan telah dilakukan oleh seseorang atau
lembaga, maka sistem tertib administrasi harus dilaksanakannya.
Selain rukun dan syarat yang mengikuti rukun; wakaf memiliki syarat
yakni: ta’bi>d (untuk selamanya), tanji>z (kontan), mas}ra>f (kejelasan tempat
peruntukkannya), dan ilza>m (bersifat mengikat). Muhammad Azzam (2010: 411)
menjelaskan:
Pertama, ta’bi>d (untuk selama-lamanya). Syarat ini diwujudkan kepada
kelompok orang yang karena kondisinya secara syar’i berhak mendapatkan hak
atas harta (orang yang tidak akan pernah habis) misalnya: fakir miskin,
mujahidin, para pelajar (ibnu sabi>l). Ismail Nawawi (2012: 243) menyatakan
bahwa wakaf tidak boleh dibatasi oleh waktu tertentu, sebab penggunaan wakaf
untuk selamanya.
Kedua, tanji>z (kontan). Wakaf hendaknya dilaksanakan secara kontan
dan tidak boleh digantung dengan sesuatu; misalnya dengan ucapan: ‚saya
mewakafkan hewanku ini kepada si Zaid jika dia datang pertengahan bulan! hal
ini bertentangan dengan makna wakaf yakni penyerahan milik secara langsung.‛
Wakaf segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan tanpa
digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang, sebab
pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan. Ketika
wakaf digantungkan dengan kematian, maka bukan lagi wakaf tetapi menjadi
wasiat (Nawawi, 2012: 243).
Ketiga, mas}ra>f (kejelasan tempat peruntukkan). Penyebutan harta itu
diwakafkan kepada yang menerimanya dalam akad menjadi sebab keabsahan
71
wakaf; sehingga ketika tidak disebut penerimanya maka akad wakaf dikatakan
batal.
Keempat, ilza>m (bersifat mengikat). Wakaf merupakan perkara yang
wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau melangsungkan
wakaf yang telah dinyatakan), sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan
untuk selamanya.
4. Macam-macam Wakaf
Pembagian wakaf dapat dilihat dari beberapa sudut pandang; yaitu: berdasarkan
tujuan; batasan waktu berlakunya; penggunaan barangnya; dan pengelolaannya.
Di bawah ini dijelaskan berdasarkan sudut pandang masing-masing:
a) Macam-macam wakaf dilihat berdasarkan pada tujuannya:
Secara umum wakaf memiliki tujuan yakni untuk kebaikan; baik itu bersifat
perseorangan maupun bersifat umum yang semuanya ditujukan semata-mata
untuk mendapatkan keridhaan Allah swt dan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai ibadah pada umumnya (Ali, 1988: 87). Wakaf sebagai
lembaga keagamaan menuntun pengelolaan yang berorientasi pada nilai
humanis spiritual. Tujuan itu menekankan bahwa pelaksanaan wakaf telah
membantu pemerintah dalam merealisasikan agenda pembangunan bidang
kemasyarakatan (Qahaf, 2004: 25; Hafidhuddin, 2008: 162. Mubarak, 2008:
24)28
. Jenis wakaf ini dibagi menjadi dua; yakni wakaf khairy dan wakaf
z{urri (al-Baqy, 2006: 41-44).
28
Pembagian wakaf dilihat dari aspek tujuannya ini menurut Munzir Qahaf (2004: 161)
sebagaimana diatur dalam perundang-undangan konvesional bukan hanya terdiri atas dua macam tetapi
ditambah satu yakni wakaf gabungan (musytarak) yaitu wakaf yang tujuannya bukan hanya kepentingan
umum atau keluarga semata melainkan ditujukan untuk kedua-duanya.
72
1) Wakaf khairy adalah wakaf yang tujuannya untuk kepentingan umum;
wakaf jenis ini biasa disebut dengan wakaf sosial, karena memang
hasilnya diberikan untuk dinikmati oleh kalangan masyarakat secara
umum dan tidak oleh orang-orang tertentu (Hamami, 2003: 67-68).
Wakaf ini memang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum dan
tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf yang diperuntukan
bagi kemaslahatan, jalan kebaikan, dan semuanya untuk mendekatkan
diri kepada Allah (al-Jamal, 2007: 25). Wakaf jenis inilah yang sejalan
dengan amalan wakaf yang diharapkan pahalanya mengalir secara terus
menerus, sekalipun wakifnya telah meninggal dunia selama harta wakaf
itu masih dapat diambil manfaatnya (Nawawi, 2012: 245).
2) Wakaf z{urri yaitu wakaf yang tujuannya untuk memberi manfaat kepada
wakif, keluarga, keturunannya, dan orang-orang tertentu tanpa melihat
kaya atau miskin, sakit atau sehat, tua atau muda (Sabiq, t.th: III/378)29
.
Wakaf ini juga disebut dengan wakaf keluarga. Jenis wakaf ini
memungkinkan akan timbul masalah apabila turunan atau orang-orang
yang ditunjuk tidak ada lagi yang mampu mempergunakan benda-benda
wakaf atau juga termasuk orang-orang yang ditujukan memanfaatkan
wakaf telah meninggal semuanya (Nawawi, 2012: 244). Kedua jenis
wakaf tersebut berkembang dihampir seluruh negara yang mayoritas
penduduknya muslim, bahkan di negara yang minoritas Islamnya pun ada
praktek perwakafan seperti itu (Prihatini dkk, 2005: 116).
29
Lihat uraian tentang jenis wakaf ini pada: Syalaby, 1957: 36, Syahi>n, t.th: II/83, Baki, t.th:
265; al-Jamal (2007: 23-24); Zuhaily (2010b: 7607); dan lain-lain.
73
b) Macam-macam wakaf dilihat dari aspek batasan waktunya:
1) Wakaf abadi; yaitu wakaf yang berbentuk barang yang bersifat abadi,
misalnya: tanah, bangunan, atau barang bergerak yang ditentukan oleh
wakif sebagai wakaf abadi produktif, dimana sebagian hasilnya untuk
disalurkan sesuai tujuan wakaf dan sisanya untuk biaya perawatan wakaf.
Jenis wakaf inilah yang seyogyanya diamalkan oleh kaum muslimin.
2) Wakaf sementara; yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang
yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi isyarat untuk
mengganti bagian yang rusak. Wakaf sementara juga bisa dari keinginan
wakif yang memberi batasan waktu ketika mewakafkan barangnya
(Qahaf, 2004: 162).
c) Macam-macam wakaf dilihat berdasarkan penggunaannya:
1) Wakaf langsung; yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
mencapai tujuan secara langsung, misalnya pembangunan masjid,
madrasah, rumah sakit, dan sebagainya; jenis ini termasuk wakaf
konsumtif; wakaf jenis ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat secara langsung.
2) Wakaf produktif; yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
kegiatan produksi dan hasilnya diberikan sesuai tujuan wakaf. Kegiatan
produksi dimaksud dapat menyentuh dalam bidang pertanian,
perindustrian, perdagangan, jasa, dan sebagainya yang manfaatnya bukan
pada benda wakaf tetapi dari keuntungan hasil produksi pengembangan
wakaf yang akan diberikan kepada orang-orang yang berhak. Oleh karena
74
itu, perbedaan antara wakaf langsung dengan wakaf produktif adalah
pada pola manajemen dan cara pelestarian harta benda wakaf.
Konsep wakaf produktif yang dimaksudkan adalah bagaimana
wakaf mampu ditransformasikan dari sistem pengelolaan wakaf yang
secara alami menjadi pengelolaan wakaf yang profesional untuk
meningkatkan atau menambah manfaat wakaf itu (Mubarak, 2008: 17).
Wakaf jenis ini dapat dimanfaatkan sebagai instrumen investasi
yang akan berdampak lebih besar dalam sektor ekonomi. Wakaf ini lebih
memiliki visi yang jauh ke depan dalam mendorong tingkat kesejahteraan
masyarakat sebagai suatu usaha terciptanya kemaslahatan umat. Hasil
yang diperoleh dari investasi wakaf akan memiliki multiflier effect dalam
mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara atau lembaga
(Nawawi, 2010: 245).
d) Macam-macam wakaf dilihat berdasarkan pengelolaannya:
1) Wakaf yang dikelola oleh wakif secara langsung atau salah satu dari
keturunannya yang kategori orangnya ditentukan oleh si wakif; jenis ini
sejalan dengan wakaf yang diperuntukkan bagi keluarga semata. Macam
wakaf seperti ini hanya lebih bersifat kepentingan khusus keluarga.
Perbuatan ini dapat dibenarkan sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah
dalam al-Qur’an al-Nisa> (4) ayat 9. Jika ini yang diterapkan, maka
potensi pemanfaatan hasil wakaf tidak menyentuh kepentingan publik.
2) Wakaf yang dikelola oleh orang lain yang ditunjuk oleh si wakif
mewakili suatu jabatan atau lembaga tertentu dan hasilnya digunakan
untuk kepentingan lembaga tersebut; jenis wakaf ini juga belum
75
memberikan jaminan akan distriubsi hasilnya dinikmati oleh masyarakat
umum, sebab bila lembaga yang ditunjuk itu bersifat lembaga privat,
maka hanya pemilik lembaga itulah yang akan menikmatinya.
3) Wakaf yang dikelola oleh seseorang atau lembaga yang ditunjuk oleh
hakim karena dokumen wakaf tersebut telah hilang atau rusak;
4) Wakaf yang dikelola langsung oleh pemerintah.
Di Indonesia sistem pengelolaan wakaf telah mengalami perkembangan.
Wakaf yang dikelola dengan sistem manajemen yang amanah, profesional, dan
integrated dengan bimbingan dan pengawasan dari pemerintah dan masyarakat
akan menjadi pemacu gerak perekonomian masyarakat serta menyehatkan
tatanan sosial sehingga makin mengurangi kesenjangan antara kelompok
masyarakat yang mampu dengan yang tidak mampu. Upaya pemberdayaan
wakaf harus diarahkan sebagai instrumen untuk membangun taraf kehidupan
umat terutama melalui pemberdayaan untuk kebutuhan dasar, pembiayaan
pendidikan, fasilitas pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi yang
manfaatnya tidak habis seketika di tangan mauqu>f alaihi. Sebagai jawaban dan
langkah konkrit atas kebutuhan tersebut itu, pihak Kementerian Agama RI
merespons dengan melahirkan Direktorat Pemberdayaan Wakaf. Direktorat ini
mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan dan bimbingan di bidang
pemberdayaan wakaf berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal. Direktorat ini terdiri atas empat sub direktorat; yaitu: a) Sub
Direktorat Inventarisasi dan Sertifikasi Wakaf; b) Sub Direktorat Penyuluhan
Wakaf; c) Sub Direktorat Pengelolaan Wakaf; dan d) Sub Direktorat Bina
Lembaga Wakaf (Djunaidi, 2006: 83-87).
76
Oleh karena itu, struktur pembagian wakaf dilihat dari beberapa aspek
tersebut, memberikan gambaran bahwa wakaf memiliki nilai yang positif jika
dikelola sesuai dengan tujuannya. Selain itu, dengan dikelolanya wakaf yang
dapat dilihat dari berbagai sisi maka memungkinkan wakaf akan menjadi
lembaga besar dan juga memberi pengaruh dalam banyak bidang. Pengaruh
pembentukan infrastruktur kelembagaan dalam memberikan bantuan sosial,
ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya yang tidak terikat pada pemerintah,
dapat diperoleh dari pengelolaan wakaf yang memiliki nilai ekonomis tinggi
tersebut.
5. Pengelola Wakaf (Nazir)
a) Pengertian
Nazir menurut al-Shan’ani seperti dikutip Jafril Khalil (2008: 36) adalah
orang/pihak yang berwenang untuk memelihara dan mengembangkan wakaf,
juga menyerahkan hasilnya kepada orang yang berhak. Nazir adalah
orang/sekelompok orang dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif
mengelola wakaf; atau biasa disebut mutawalli yaitu orang yang mendapat
kuasa mengurus dan mengelola wakaf (Ridha, 2006: 17)30
. Nazir adalah
orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus
harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya (Ali, 1988:
91). Jadi nazir itu sebagai penjaga, administrator, kepala atau direktur dan
yang sejenis dengan itu (al-Munawar, 2004: 151). Naz{ir disyaratkan
mempunyai akal yang sehat, dewasa, amanah, dan mempunyai kemampuan
30
Abdoerraoef (1986: 147; Ali, 1988: 91) juga menjelaskan sebagaimana yang dipahami di
kalangan fuqaha bahwa nazir yang juga disebut mutawalli adalah orang yang diserahi kekuasaan dan
kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta wakaf. Nazir secara singkat penjaga atau pengawas
(Munawwir, 1997: 1434. Cowan (ed.), 1980: 977).
77
atau kuasa untuk mengelola urusan wakaf (al-Baqy, 2006: 72). Undang-
undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (4) menjelaskan bahwa ‚nazir
adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola
dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya.
Di Indonesia, nazir diartikan dengan pengawas atau penjaga; yakni
orang yang diserahi tugas untuk mengelola wakaf. Pemahaman tersebut
dikembangkan dalam bentuk kelompok orang atau badan hukum. Pengertian
seperti ini dalam kajian fiqh berarti penguasaan terhadap harta wakaf untuk
diawasi, dijaga dengan sebaik-baiknya agar dapat memberi manfaat bagi
yang berhak menerimanya (Prihatini dkk, 2005: 116-117; Wadjdy, 2007:
159).
Oleh karena itu, nazir merupakan orang kepercayaan wakif yang
diberikan tugas untuk mengelola harta wakaf dari si wakif, agar harta
tersebut dapat memberi manfaat bagi orang lain sesuai dengan tujuan wakaf
itu. Tugas dan fungsi tersebut yang dalam UU Nomor 41 tahun 2004 dapat
dilaksanakan oleh perorangan, organisasi dan badan hukum. Ini menitipkan
amanah bahwa nazir perlu diangkat atau dipilih untuk melaksanakan tugas
mulia itu.
b) Syarat nazir
Pengangkatan nazir bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus
sehingga harta wakaf tidak menjadi sia-sia dan memberi manfaat bagi
kesejahteraan umat. Berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung pada
nazirnya (Djunaidi, 2006: 48; 2006: 93). Posisi nazir sangat penting dan
strategis sebagai bagian yang tak terpisahkan bagi keberhasilan wakaf dan
78
realisasi pengelolaan harta wakaf. Oleh sebab itu, untuk menjadi nazir
seseorang harus memiliki persyaratan dan kualifikasi tertentu agar dapat
mengemban amanat itu dengan sebaik-baiknya (Rafiq, 2004: 326). Syarat
yang umum yaitu: adil dan mampu. Adil adalah mengerjakan yang
diperintahkan dan menjauhkan yang dilarang menurut syari’at; dan mampu
adalah mempunyai kekuatan dan kemampuan seseorang untuk
mentas}arrufkan apa yang dijaga (Djunaidi, 2008: 51).
Nazir juga harus memiliki kemampuan. Kemampuan sebagai syarat
dimaksudkan adalah: mampu menggerakkan motivasi seluruh orang yang
menjadi tanggung jawabnya dalam mengurus harta wakaf, memberi tugas
kepada bawahan sesuai dengan kompotensi mereka dan sekaligus mampu
menempatkan orang pada posisi yang benar, memberikan reward bagi
bawahan berprestasi dan berani menghukum atau memberikan punishment
terhadap bawahan yang melanggar aturan dan mampu memberi contoh yang
baik.31
Jika nazir tidak lagi memiliki kemampuan mengelola wakaf, maka
hak pengawasan dan pengelolaannya pindah kepada hakim (Azzam, 2010:
432).
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004, menjelaskan syarat menjadi
nazir; pertama, nazir perseorangan harus memenuhi syarat: warga Negara
Indonesia, beragama Islam, dewasa, amanah32
, mampu secara jasmani dan
rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Syarat-syarat
31
Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa ‚Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan)
kebajikan sedangkan kamu sendiri melupakannya padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat), maka
tidaklah kamu berpikir.‛ (QS. Al-Baqarah (2): 44). 32
Amanah adalah memelihara titipan orang dan mengembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk
semula tanpa kurang satu pun. Artinya manusia memiliki tanggung jawab terhadap hak milik orang lain
yang dipercayakan kepadanya. Ia tidak akan mengkhianatinya karena ia yakin Allah selalu melihat apa
yang dikerjakan oleh hamba-Nya, baik yang lahir mapun yang tersembunyi.
79
dimaksud jika dipenuhi oleh pengelola wakaf perseorangan, akan sangat
jarang ditemui adanya penyelewengan dalam pengelolaan; sebab dengan
disyaratkan adanya amanah secara langsung menutup pintu pelanggaran dari
wewenang sebagai pengelola.
Kedua, nazir organisasi syaratnya: terpenuhi syarat nazir
perseorangan, organisasi yang bergerak dibidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam. Nazir bentuk ini akan dapat
banyak terbentuk dalam masyarakat, jika wakaf memang telah dijadikan
sumber ekonomi bagi kemajuan masyarakat.
Ketiga, nazir badan hukum memiliki syarat: terpenuhi syarat nazir
perseorangan, badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku, badan hukum yang bersangkutan
bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan
(Pasal 10).
c) Tugas dan tanggungjawab nazir
Nazir mempunyai tanggung jawab yang sangat berat karena apa yang
diterimanya merupakan amanah, sehingga perlu diatur tugas dan fungsinya
agar setiap nazir dapat menjadikan dasar dan sandaran untuk melaksanakan
amanah tersebut. Pasal 11 UU Nomor 41 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
tugas nazir adalah: a) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b)
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
80
fungsi dan peruntukannya; c) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia33
.
Idris Khalifah dalam hasil penelitiannya seperti dikutip Jafril Khalil
mengatakan tugas nazir adalah: 1) memelihara, mengembangkan, dan tidak
membiarkan wakaf terlantar sehingga tidak mendatangkan manfaat; 2)
membagi hasil wakaf kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya; 3)
menginvestasikan harta wakaf; 4) bertanggung jawab atas kerusakan harta
wakaf yang disebabkan kelalaiannya dan dengan itu ia boleh diberhentikan
dari jabatannya34
. Sementara dalam mazhab Syafi’i seperti yang
diungkapkan oleh Wahbah Zuhaily (2010a: 2/362) bahwa nazir memiliki
kewajiban mengelola, menyewakan, memetik hasil wakaf dan
membagikannya pada orang yang berhak menerimanya, menjaga pangkal dan
penghasilan wakaf dengan penuh kehati-hatian.
Tugas nazir secara mutlak adalah melaksanakan pengelolaan sampai
mendapatkan keuntungan yang selanjutnya membagi kepada mustahiq,
menjaga harta pokok dan hasilnya secara teliti karena dialah yang
diamanahkan, membagi hasil wakaf kepada mustahiq sesuai dengan yang
ditetapkan oleh si wakif (Azzam, 2010: 432).
Ada dua sifat yang melekat pada nazir untuk dapat melaksanakan
tugasnya; yaitu aspek tindakannya dan aspek wewenangnya. Dilihat dari
aspek tindakannya; para ulama telah sepakat bahwa nazir sebagai wakil dari
33
PP Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 13; PP Nomor 28 Tahun 1978 Pasal 7 yang menjelaskan
tentang kewajiban nazir. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Pasal 10 juga menjelaskan
kewajiban bagi nazir. 34
Tulisannya berjudul ‚Standarisasi Nazhir Wakaf Uang Profesional‛ dalam jurnal al-Awqaf, 2008: 36)
81
orang yang mewakafkan hartanya;35
karena itu, dalam tindakan nazir
hanyalah seorang wakil sesuai hukum perwakilan dan tidak boleh bertindak
sebagai pemilik. Dilihat dari aspek wewenangnya; kekuasaan seorang
manusia atas harta orang lain tidak terlepas dari dua kemungkinan; pertama,
penguasaan atas dasar hukum, dan kedua, penguasaan atas dasar tindakan
perampasan. Pengelolaan wakaf, termasuk penguasaan yang didasarkan atas
hukum. Penguasaan ini sebagai amanat dan sebagai tanggungan. Penguasaan
atas amanat adalah perwalian yang didasarkan pada hukum dan tidak ada
petunjuk yang membebankan ganti rugi kepada pemegangnya untuk
menggantinya ketika harta itu rusak; sedangkan penguasaan atas tanggungan
mewajibkan ganti rugi jika terdapat kerusakan pada harta wakaf karena nazir
sebagai perwalian yang sah atas dasar hukum.
Pengelolaan wakaf, para ulama sepakat merupakan penguasaan atas
dasar amanat yang mana si pemegang (naz}ir) adalah orang yang dipercaya
untuk mengelola harta yang berada di bawah kekuasaannya (al-Kabisi, 2004:
523). Dasar itulah, maka naz}ir berwenang melakukan segala tindakan yang
mendatangkan kebaikan bagi wakaf itu dengan senantiasa memperhatikan
syarat-syarat yang ditentukan oleh wakif (Ali, 1988: 92; Zuhaily, 2010: 361-
362). Al-Kabisi (2004: 431) selanjutnya mengemukakan bahwa hak
perwalian yang melekat pada seorang naz}ir dikelompokkan menjadi dua
35
Nazir sebagai wakil, mewakili dua kelompok; kelompok pemilik dan kelompok mustahik.
Selama wakif masih hidup, maka tindakannya harus sesuai dengan petunjuk wakif. Wakif berhak
memecat atau memberhentikan dengan sebab atau tanpa sebab. Nazir sebagai wakil dari mustahik, karena
dia bekerja untuk kepentingan mereka sesuai dengan hakikat wakaf yang membagikan manfaat darinya.
Orang yang mendapatkan hak atas manfaat harta wakaf adalah mereka yang dimaksudkan sebagai fakir
miskin dan lain sebagainya. Pengangkatan naz}ir, untuk menjaga dan membagikan harta manfaat wakaf itu
kepada yang berhak. Naz}ir adalah wakil mereka dan mengatasnamakan kepentingan mereka (al-Kabisi,
2004: 518-522).
82
macam, yakni: perwalian absolut dimana hak perwalian ini ditetapkan secara
langsung oleh si wakif dengan pertimbangan bahwa harta yang diwakafkan
itu adalah miliknya; perwalian relatif yakni hak perwalian yang diberikan
atau ditetapkan karena adanya syarat tertentu, atau melalui penyerahan
perwakilan, atau juga melalui keputusan dari orang yang berhak untuk itu.
d) Hak dan kewajiban naz}ir
Naz}ir dalam melaksanakan tugasnya yang begitu berat dan mengeluarkan
energi, sangat layak dan pantas untuk mendapatkan upah dari hasil usahanya.
Ketentuan pemberian upah bagi si naz}ir tidak ada ketentuan dan batasan
besarnya, tergantung tempat dan kondisi dimana naz}ir bekerja. Al-Kabisi
(2004: 499) mengatakan bahwa para ulama telah menyebutkan banyak sekali
dalil atau dasar hukum yang digunakan untuk memberikan upah kepada
naz}ir. Adat yang sudah berlangsung sejak zaman para sahabat hingga
sekarang ialah pemberian upah kepada naz}ir yang diambil dari sebagian
keuntungan merupakan balasan atas usahanya mengurus harta wakaf.
Jelaslah bahwa naz}ir berhak menerima upah atas usaha mengelola dan
memelihara harta wakaf (Ali, 1988: 92)36
.
Oleh sebab itu, agar pengelolaan wakaf dapat berlangsung sesuai
dengan tujuan wakaf; maka sistem pemberian upah atau imbalan atas jasa
mengelolanya tidak boleh lagi dikesampingkan atau bahkan tidak
dipedulikan (Wadjdy, 2007: 167-168). Adanya pemberian upah yang layak
akan memberi dorongan bagi naz}ir untuk mengelola dengan sebaik-baiknya.
36
Nazir berhak mendapatkan upah, bahkan apabila wakif menjanjikan sebagian penghasilan
wakaf menjadi milik naz}ir, maka hal itu dibolehkan meskipun melebihi standar upah minimum. Jika
wakif tidak menyebutkan besaran upah yang menjadi hak bagi naz}ir, maka naz}ir tidak berhak mendapat
upah kecuali ada penetapan dari hakim atas masalah tersebut (Zuhaily, 2010a: 362-363).
83
Di sisi lain jika pengelola wakafnya telah diberikan upah sebagaimana
layaknya bagi karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan atau
pemerintahan, maka ini merupakan langkah maju yang memobilisasi
kemajuan pengelolaan wakaf. Akibatnya mengelola wakaf akan membuka
lapangan kerja baru bagi umat.
Terkait dengan pengelolaan wakaf, maka yang penting untuk
diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap yang memegang amanah sebagai
naz}ir, yaitu: wakaf adalah bagian dari amalan kebendaan yang bersifat abadi
dan ditujukan untuk kemaslahatan umat, sehingga menuntut adanya
pemahaman tentang hukum-hukum wakaf itu sendiri; pengelolaan wakaf
harus diarahkan pada peningkatan produktifitas atas harta wakaf dan bukan
yang bersifat konsumtif, sehingga harta wakaf akan selalu memberi
kemaslahatan yang seluas-luasnya; pengelola harus mempunyai pengetahuan
dan kemampuan manajerial, sehingga menjadi keterpaduan dalam
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai naz}ir; untuk mendorong
kinerja yang baik dan bermutu pengelola wajib mendapatkan upah dan tidak
hanya dibiarkan mereka berkerja tanpa ada kepastian hidupnya, sehingga
keseriusan dan perhatiannya terhadap tugas dan tanggungjawabnya dapat
terlaksana dengan maksimal; pengelola wakaf harusnya terbentuk dalam
sebuah tim kerja yang solid, hal ini tergambar dengan adanya struktur
pengurus pengelola wakaf itu, sehingga pengelolaan yang hanya melibatkan
satu orang semata tidaklah memenuhi standar pengelolaan wakaf yang baik.
84
B. Konsep Manajemen
1. Pengertian dan Perkembangannya
Kata manajemen sama halnya dengan administrasi yang berasal dari bahasa
Latin. Manajemen dari asal kata ‚manus‛ yang berarti tangan; dan ‚agere‛ yang
berarti melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata kerja ‚managere‛ yang
artinya menangani. Managere telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dalam bentuk kata kerja ‚to manage‛ yang berarti mengurus, mengatur,
melaksanakan, mengelola‛(Usman, 2010: 5).37
Kata yang awalnya kata kerja
dirubah dengan kata benda ‚management.‛ Management memiliki dua arti,
yakni sebagai kata benda yang berarti direksi atau pimpinan dan
ketatalaksanaan,38
tata pimpinan, pengelolaan (Echols, 1996: 372).
Handoko (2003: 8) yang mengutip pendapat Mary Parker mengatakan
‚manajemen adalah seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain‛.
Louis E. Boone (1984: 4) menjelaskan bahwa manajemen adalah usaha
menggunakan orang dan sumber daya manusia lainnya untuk mencapai tujuan;
pengertian ini berlaku untuk semua jenis organisasi. Stoner (1996: 8)
berpendapat ‚manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan
penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.‛ Manajemen berarti sesuatu yang dilakukan
oleh para manajer untuk mencapai produktifitas. Handoko (2003: 10)
37
Berkaitan dengan arti manajemen seperti itu, maka dikatakan ada beberapa pertanyaan yang
muncul; yakni: apa yang diatur, mengapa harus diatur, siapa yang mengatur, bagaimana mengaturnya,
dan di mana harus diatur, sehingga manajemen itu telah menjelaskan objek pengelolaan (Athaillah, 2010:
13). 38
Tata berarti aturan (yang biasa dipakai dalam kata majemuk), kaidah aturan atau system.
Tatalaksana berarti cara mengurus atau menjalankan suatu perusahaan dan sebagainya (Depdikbud, 1995:
1014-1015).
85
berkesimpulan bahwa manajemen sebagai bekerja dengan orang-orang untuk
menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan
pelaksanaan fungsi perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia atau
kepegawaian, pengarahan dan kepemimpinan, dan pengawasan. Manajemen juga
berarti pencapaian tujuan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yang ada dalam
manajemen.
Mamduh Hanafi (2003: 6) mengatakan bahwa ‚manajemen adalah proses
merencanakan, mengorganisir, mengarahkan, dan mengendalikan kegiatan untuk
mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan sumber daya organisasi. Arti
manajemen dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses penggunaan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran atau juga pimpinan yang
bertanggung jawab atas jalannya perusahaan dan organisasi (Depdikbud, 1995:
623).
Daft (2006: 6) mendefinisikan bahwa manajemen adalah ‚pencapaian
tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya organisasi.
Kreitner (2005: 6) mendefinisi-kan manajemen adalah proses bekerja dengan dan
melalui orang lain untuk mencapai tujuan organisasi dengan cara yang efisien
dan etis. Sejalan dengan arti tersebut Aan Kamariah dalam Tim Dosen UPI
(2010: 87) menjelaskan bahwa manajemen merupakan kemampuan dan
keterampilan khusus yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu kegiatan
baik secara perorangan ataupun bersama orang lain atau melalui orang lain
dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara produktif, efektif, dan efisien.
86
Selain istilah manajemen yang ditemukan dalam bahasa Inggris atau
mungkin bahasa lainnya, ternyata manajemen ditemukan juga dalam bahasa
Arab. Manajamen dalam bahasa Arab disebut dengan ‚ida>rah‛ yang artinya tata
usaha atau administrasi (Munawwir, 1997: 432; Wadjdy, 2007: 174-175).
Manajemen adalah suatu rentetan langkah yang terpadu untuk mengembangkan
suatu organisasi sebagai suatu sistem ekonomi teknis.39
Pemahaman terhadap
manajemen yang demikian itu, sesungguhnya dalam al-Qur’an ada ungkapan
yang mempunyai kesamaan makna. Kata-kata yang sepadan dengan makna
manajemen antara lain: kata tadbi>r yang dalam bahasa al-Qur’a >n dirangkai
dengan kata al-Amru, kata al-Qur’a>n dan kata al-Qaul. Di bawah ini diuraikan
beberapa ayat yang mengandung makna manajemen:
Terjemahnya:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, Kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy untuk
mengatur segala urusan (QS. Yunus : 3)40
Terjemahnya:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? kalau kiranya al-
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya (QS. Al-Nisa: 82)
39
Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Ibrahim Abu Shinn dalam bukunya ‚al-Ida>rah fi al-Isla>m yang dikutip oleh Rozalinda (2010: 26-27).
40Ayat-ayat yang juga menyebutkan kata yud}abbir al-amr dapat ditemukan pada Surah: al-Ra’d
(13): 2; al-Sajadah (32): 5; al-Na>jiyat (79): 5.
87
Terjemahnya:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau
apakah Telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang
kepada nenek moyang mereka dahulu? (QS. Al-Mukminun: 68).
Kata yatad}abbaru>n berbentuk fi’il mud }a>ri (masa depan) dari kata
tad}bara, masdarnya adalah tad}abbur. Akar katanya adalah d}a-ba-ra yang berarti
belakang. Anggota bagian belakang dari seseorang (anus) disebut dubur,
sedangkan anggota kelamin bagian depannya disebut qubul. Tad}bi>r yang biasa
diartikan dengan merancang adalah memikirkan tentang akibat dari sesuatu.
Pengertian ini memberi penegasan bahwa tad}abbur adalah satu pekerjaan
merenungkan, mencermati, menghayati, memikirkan yang dilakukan seseorang
secara sungguh-sungguh tentang akibat atau kesudahan dari sesuatu hal. Lalu
kata tad}abbur dipakai juga untuk pekerjaan yang bersifat memikirkan
merenungkan suatu hal (Depag, 2009: II/220).
Perintah bertad}abbur mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan al-
Qur’a>n, baik redaksi maupun kandungannya, petunjuk maupun mukjizatnya.
Salah satu yang diperintahkan untuk diperhatikan adalah tidak adanya
pertentangan di dalamnya (Shihab, 2008: II/639). Al-Qur’a >n sebagai sumber
ajaran Islam telah menunjukkan keluasan informasinya, sehingga hal yang patut
untuk dapat diperhatikan terhadap perintah memperhatikan segala sesuatu yang
telah diciptakan Allah swt adalah system kerja dan keteraturannya.
Ungkapan memperhatikan, menghayati, dan memikirkan yang
diperintahkan Allah dalam al-Qur’a>n kepada manusia merupakan petunjuk
menuju kepada keberhasilan, sebab al-Qur’a>n yang dipedomani dalam hidup bagi
88
manusia telah menunjukkan kesempurnaan yang tidak ditemukan adanya
pertentangan di dalamnya. Ini menunjukkan isyarat bahwa adanya sistem
manajemen yang begitu baik dan sempurna. Makna ayat-ayat di atas
merenungkan, menghayati, atau memandang ke depan terhadap sesuatu urusan
untuk mendapatkan hasil yang baik, jika dikaitkan dengan hakikat manajemen
maka ada beberapa prinsip dalam manajemen yang dapat dipetik dari ayat-ayat
tersebut, yakni: keadilan, amanah, pertanggung jawaban, dan komunikatif.
Keadilan berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari
segi nilai maupun dari segi ukuran; sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat
sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Keadilan lebih dititikberatkan pada
meletakkan sesuatu pada tempatnya (Dahlan, 1996: 25). Manajemen menuntut
sistem menempatkan sesuatu sesuai tempatnya agar apa yang menjadi target dan
tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik. Amanah secara etimologis berarti
jujur atau dapat dipercaya; dalam bahasa Indonesia amanah berarti pesan,
perintah, keterangan atau wejangan. Aby Yasha yang mengutip pendapat
Mus}t}afa al-Maraqi dan Ibn al-Araby dalam blognya menjelaskan bahwa
‚amanah itu sesuatu yang harus dipelihara dan dijaga agar sampai kepada yang
berhak memilikinya; atau segala sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya
untuk diambil manfaatnya41
.
Pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen
mengandung beberapa kata kunci; yaitu: ada proses yang merupakan kegiatan
yang direncanakan; ada kegiatan merencanakan, mengorganisir, mengarahkan,
mengendalikan (adanya fungsi); ada tujuan organisasi yang ingin dicapai; dan
41
Lihat: Abi Yasha, 2011, Pengertian Amanah dalam Islam, diunduh pada tanggal 20 Mei 2013,
dari: http://abyyasha.wordpress.com.
89
ada sumberdaya organisasi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Keempat
kata kunci dalam manajemen tidak diuraikan secara keseluruhan tetapi hanya
yang berhubungan dengan fungsi manajemen.
Selain manajemen, dalam mengurus organisasi atau lembaga sering juga
digunakan istilah administrasi, yang sebagian ahli memberikan arti yang sama
dengan manajemen; walaupun pandangan tersebut lebih banyak yang tidak
sependapat. Administrasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri
dari dua kata, yakni: ad dan ministro. Ad artinya kepada atau intensif, dan
ministro artinya melayani. Arti administrasi berarti ‚sebagai pelayanan atau
pengabdian terhadap subyek tertentu, atau dapat diartikan juga melayani secara
intensif‛ (Athaillah, 2010:131). Uraian lain dikemukakan oleh Usman (2010: 1-
2) tidak menyebutkan ministro tetapi ‚ministrare‛ artinya melayani, membantu,
dan memenuhi. Administrare berbentuk kata kerja; sedangkan kata bendanya
administration yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi
administration yang oleh orang Indonesia membahasakannya dengan
administrasi.
Administrasi adalah suatu kegiatan atau usaha untuk membantu,
melayani, mengarahkan, mengatur semua kegiatan untuk mencapai tujuan.
Administrasi juga berarti sebagai suatu proses kegiatan yang terdapat dalam
suatu organisasi melalui kerja sama antar personal yang berhubungan dengan
pelaksanaan visi dan misi suatu institusi atau lembaga dan organisasi (Athaillah,
2010: 131).
Administrasi memiliki arti sempit dan arti luas. Arti sempit berarti
kegiatan yang berkaitan dengan ketatausahaan, pencatatan, dan pembukuan
90
informasi, serta pembuatan file-file seluruh komponen organisasi. Arti luas
berarti proses kerjasama seluruh personal dalam organisasi yang erat kaitannya
dengan fungsi-fungsi manajemen dalam upaya mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Makna inilah yang menyebabkan antara administrasi dan manajemen
disamakan pengertiannya (Athaillah, 2010: 133; Usman, 2010: 4).
Berdasarkan pada pengertian di atas, maka dalam kegiatan administratif
akan terdapat unsur-unsur penting sehingga dapat berjalan dengan baik; yakni:
adanya sekelompok orang, ini menunjukkan bahwa proses administrasi mungkin
dapat terjadi jika terdapat dua atau tiga orang lebih; adanya kerjasama dari
kelompok orang dimaksud; adanya distribusi tugas di antara kelompok yang
harus dilaksanakan; pengaturan kegiatan secara bertahap dan berkesinambungan;
mempunyai sarana atau peralatan yang digunakan dalam pelaksanaan
administrasi; dan adanya tujuan yang hendak dicapai oleh kegiatan administrasi
dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu, administrasi merupakan totalitas
sistem yang terdiri atas subsistem dengan berbagai atribut yang saling berkaitan,
saling ketergantungan, saling berhubungan dan saling memengaruhi sehingga
keseluruhan adalah satu kesatuan yang utuh dan mempunyai peranan serta
tujuan tertentu.
Filosofi manajemen dan bentuk organisasi berubah dari waktu ke waktu.
Tujuannya adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru. Tempat kerja
(misalnya) saat ini sangatlah berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya. Namun terdapat ide dan praktek pada masa lalu yang masih relevan
dan mungkin dapat diterapkan oleh manajemen saat ini. Sebuah studi tentang
masa lalu memberikan kontribusi terhadap pemahaman sekarang sekaligus masa
91
akan datang. Belajar dari kesalahan masa lalu, untuk menciptakan kondisi yang
lebih baik pada masa depan, sehingga tidak salah lagi. Belajar dari keberhasilan
masa lalu untuk membuat masa depan lebih sukses (Daft, 2006: 54-55).
Perkembangan manajemen dan organisasi sebenarnya dilatar belakangi
oleh beberapa faktor sebelumnya, yaitu: faktor kekuatan sosial; faktor kekuatan
politik; dan faktor kekuatan ekonomi; dan sebagainya. Faktor kekuatan sosial
(misalnya) kekuatan ini dipengaruhi oleh hubungan antar orang dengan orang
lain yang membentuk apa yang dikenal sebagai kontrak sosial yang merupakan
aturan dan persepsi umum tidak tertulis mengenai hubungan antar orang dan
antar karyawan dengan manajemen (Daft, 2006: 55). Hubungan dimaksud adalah
antara generasi satu dengan generasi lain yang selalu berubah ide, sikap dan nilai
sebagai karyawan atau pekerja. Hubungan-hubungan yang terjadi itu kadang
melahirkan keinginan untuk berubah.
Kedua, faktor kekuatan politik. Mencakup asumsi dasar dari sistem
politik seperti keinginan untuk melakukan pemerintahan sendiri, hak milik,
kontrak, keadilan, dan sebagainya. Menyebarnya kapitalisme ke seluruh dunia
telah mengubah secara dramatis kondisi lingkungan bisnis. Dominasi sistem
pasar bebas dan meningkatnya ketergantungan antar negara di dunia menuntut
organisasi dan manajer untuk beroperasi dengan cara serta pola pikir yang
berbeda dan baru. Kekuatan politik lainnya yang memicu perkembangan
manajemen adalah pemberdayaan warga negara di seluruh dunia. Kekuasaan
disebarkan di antara negara-negara sehingga lahir keinginan pemberdayaan,
partisipasi, dan tanggung jawab di seluruh bidang kehidupan.
92
Ketiga, faktor kekuatan ekonomi. Faktor ini merupakan ketersediaan
produksi dan distribusi sumber daya di dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi
mempengaruhi alokasi sumber daya telah mengalami revolusi melalui teknologi
digital. Tren ekonomi yang lainnya; semakin pentingnya usaha kecil dan
menengah dan banyaknya perusahaan baru yang tumbuh dan berkembang (Daft,
2006: 56). Perkembangan teknologi dan ekonomi seperti itu, akan
mempengaruhi terhadap sistem yang dijalankan.
Praktek dan perspektif manajemen berbeda-beda terkait dengan kekuatan
sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Tetapi pengaruh itu disebabkan oleh
faktor ide, informasi, pengetahuan, nilai dan sikap pada setiap orang yang
terlibat dalam sebuah sistem. Akibatnya sampai sekarang tidak ada suatu teori
umum atau sekumpulan hukum bagi manajemen yang dapat diterapkan untuk
semua situasi. Sebagai manajer akan menjumpai banyak pandangan tentang
manajemen dan setiap pandangan mungkin berguna untuk berbagai masalah
yang berbeda-beda (Handoko, 2003: 39).
Manajemen dengan merujuk pada makna dan arti di atas; baik secara
formal maupun empirik, sebenarnya telah mengalami perkembangan
sebagaimana perkembangan atau evolusi manusia itu sendiri. Ketika Allah swt,
mengutus Nabi Adam as ke muka bumi; sebenarnya tugas utamanya adalah
menjadi khalifah artinya seorang pemimpin yang akan berusaha untuk mengelola
bumi ini dengan petunjuk agama.42
Tugas yang harus dilaksanakan oleh Adam
(dan manusia berikutnya) bagaimana cara mengatur hubungan antar sesama
manusia atau dengan makhluk lain yang sama-sama hidup di bumi ini. Hal ini
42
Lihat: QS. Al-Baqarah (2): 30.
93
dilakukan secara terus menerus melalui perjuangan untuk menyempurnakan
hidupnya yang di kemudian hari akan dimintai pertanggung jawaban (Madjid,
2008: 298-299). Oleh karena itu, ketika Adam as ditugaskan menjadi khalifah
sebenarnya telah tersirat bahwa Adam as adalah seorang manajer dalam bahasa
perkembangan kemudian.
Ilmu manajemen merupakan salah satu disiplin ilmu sosial. Ilmu yang
mempelajari seluruh gejala manusia dan eksistensinya dalam hubungannya pada
setiap aspek kehidupan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat; ilmu ini
dikelompokkan ke dalam ilmu-ilmu sosial atau ilmu non eksakta, misalnya:
ekonomi, politik, psikologi, sosiologi, hukum, administrasi, dan lain-lain.
Manajemen telah berkembang melalui beberapa tahap yang menurut
Benge (1994: 4) dibagi menjadi 5 tahap; yaitu: manajemen autoriter, manajemen
saintifik (ilmiah), manajemen hubungan manusia, manajemen berorientasikan
hasil, dan manajemen tanggung jawab sosial. Ada juga yang membagi dengan
teori manajemen klasik, aliran hubungan manusia, aliran manajemen modern,
dan kemungkinan perkembangan teori manajemen di masa mendatang.
Manajemen perspektif klasik (periode klasik). Manajemen ini muncul
sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 dimana sistem pabrik pada tahun
1800-an saat itu menimbulkan banyak tantangan.43
Mulai dari pengadaan alat-
43
Sejak tahun 1800-an terjadi kemajuan teknologi yang begitu cepat; misalnya dari kemampuan
menciptakan mesin uap, lokomotif, telegram, mobil, kapal terbang, radio, energi atom dan termasuk
penjelajahan ruang angkasa. Kondisi inilah yang memicu terjadinya revolusi industri. Revolusi ini
merupakan sebua revolusi yang bukan saja dalam teknologi, tetapi juga dalam hubungan antar manusia.
Semakin bertambah kompleksnya teknologi, orang semakin tergantung satu sama lainnya dan masalah
kerjasama menjadi kian mengganggu. Revolusi industri telah membuat organisasi-organisasi bisnis lebih
besar dan pimpinan lebih jauh. Ada dua akibat lahirnya zaman industri, pertama lebih sedikit yang dapat
dilakukan menurut kebiasaan, perencanaan yang seksama, perintah yang penuh pertimbangan dan
komunikasi yang luas. Karena tradisi dan pengalaman pribadi kurang dihargai, timbul kebutuhan yang
lebih besar akan kaidah dan peraturan; kedua memotivasi orang untuk berkerjasama menjadi semakin
rumit, orang sering kali menolak perubahan terutama bila dipaksakan, maka mereka harus diyakinkan
94
alat pabrik, peng-organisasian struktur manajemen, pelatihan karyawan,
penjadwalan operasi manufaktur sampai meningkatnya ketidakpuasaan buruh
yang mengakibatkan pemogokan. Kondisi inilah yang mendorong adanya
kordinasi dan control sehingga melahirkan jenis baru sub species manusia
ekonomi yaitu manajer gaji (Daft, 2006: 57). Para manajer profesional ini mulai
mengembangkan dan menguji solusi atas sejumlah tantangan organisasi,
mengkoordinasikan, mengendalikan sejumlah besar orang serta meningkatkan
produktifitas pekerja. Di mulailah evolusi manajemen modern dengan perspektif
klasik. Periode ini dibagi menjadi tiga fase perkembangan, yaitu:
a) Manajemen ilmiah
Manajemen ini dimaksudkan adalah manajemen itu sendiri harus berubah
dan perubahan tersebut hanya dapat ditentukan melalui studi ilmiah.
Pendapat ini dikemukakan oleh Frederick Winslow Taylor (1856-1915)44
.
Taylor berpendapat bahwa keputusan yang didasarkan pada aturan patokan
umum dan tradisi digantikan dengan prosedur tepat yang dikembangkan
melalui studi seksama terhadap masing-masing situasi (Daft, 2006: 58).
Taylor merupakan bapak manajemen ilmiah45
yang mengatakan bahwa
lebih dahulu bahwa cara yang baru lebih baik. Inilah yang awalnya melahirkan pemikiran akan pentingnya
manajemen dan organisasi (Strauss & Sayles, 1996: 5-7). 44
Jauh sebelum Taylor berpendapat demikian, sebenarnya manajemen ilmiah ini telah
dikembangkan oleh dua orang tokoh; yaitu: Robert Own dan Charles Babbage. Own (1771-1858)
berpendapat bahwa pentingnya unsure manusia dalam produksi, sehingga harus ada perbaikan-perbaikan
kondisi kerja seperti pengurangan hari kerja, pembatasan anak-anak dibawah umur, membangun
perumahan yang lebih layak bagi karyawan dan sebagainya. Melalui perbaikan kondisi karyawan akan
menaikkan produksi dan keuntungan investasi yang paling menguntungkan adalah pada karyawan.
Sementara Babbage (1792-1871) berpendapat bahwa aplikasi prinsip-prinsip ilmiah pada proses kerja
akan menaikan produktifitas dan menurunkan biaya. Oleh karena itu, perlu pembagian kerja melalui
spesialisasi. Setiap orang diberi latihan keterampilan yang sesuai dengan setiap operasi pabrik (Handoko,
2003: 40-42). 45
Selain Taylor, aliran ini juga dikembangkan oleh Frank dan Lillian (1868-1924 & 1878-1972)
suami istri ini mempunyai konsep: masalah efisiensi dan seleksi, penempatan dan latihan personalia.
Henry L. Gantt (1861-1919) berpendapat bahwa kerjasama yang saling menguntungkan antara tenaga
95
manajemen ilmiah adalah penerapan metode ilmiah pada studi, analisa, dan
pemecahan masalah-masalah organisasi untuk mencapai efisiensi dengan
menggunakan empat prinsip, yaitu: pertama, pengembangan metode-metode
ilmiah dalam manajemen; kedua, seleksi ilmiah untuk karyawan yang sesuai
dengan kemampuannya; ketiga, pendidikan dan pengembangan ilmiah para
karyawan; dan keempat, kerjasama yang baik antara manajemen dengan
tenaga kerja (Handoko, 2003: 43).
b) Organisasi birokrasi
Manajemen ini berkembang di tahun 1864-1920 yang dipelopori oleh Max
Weber46
. Di Eropa pada tahun itu banyak berkembang organisasi yang
dikelola secara pribadi. Pekerja setia kepada seseorang individu bukan
kepada organisasi atau misinya. Sumber daya digunakan untuk kepentingan
pribadi, bukan tujuan organisasi. Akibatnya pekerja memiliki organisasi dan
menggunakan sumber daya untuk keuntungan mereka sendiri bukan
melayani pelanggan. Bentuk organisasi seperti ini disebut ‚birokrasi‛ (Daft,
2006: 61). Weber berpendapat bahwa sebuah organisasi yang didasarkan
pada otoritas rasional akan lebih efisien dan mampu beradaptasi, sebab
kerja dengan menajemen, seleksi ilmiah tenaga kerja, system insentif (bonus) untuk merangsang
produktifitas, dan sebagainya (Handoko, 2003: 43-44). 46
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal dari keluarga kelas menengah;
beliau seorang sosiolog besar yang ahli kebudayaan, politik, hukum, dan ekonomi. Weber
memperkenalkan di tahun 1905 sebuah tesis yang memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara
ajaran agama dengan perilaku ekonomi. Weber sebenarnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke
arah pertumbuhan kapitalisme modern. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk
mencari sebab-sebab hubungan antar tingkah laku agama dan ekonomi, terutama di masyarakat Eropa
Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup
sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat ajaran
Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin makmur karena keuntungan yang mereka
perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka.
Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat berkembang, demikian menurut Weber (Lihat: Faisal Halim, ‚Biografi Max Weber‛ diunduh pada tanggal 15 Mei 2013 dari:
http://doktorpaisal.wordpress.com).
96
kelanjutannya bergantung pada struktur dan posisi formal, bukan kepada
seseorang. Organisasi bergantung pada aturan dan catatan tertulis untuk
kelanjutannya. Manajer tidak bergantung pada kepribadian mereka tetapi
kepada kekuatan legal yang tertanam dalam posisi manajemen.
c) Prinsip administrasi
Ada beberapa prinsip yang menjadi filosofi manajemen ini: kesatuan
komando, pembagian kerja, kesatuan arah, dimaksudkan bahwa aktifitas
yang serupa dalam sebuah organisasi sebaiknya digabungkan bersama
dibawah satu orang manajer, dan rantai yang menyebar artinya rantai
otoritas meluas dari atas ke bawah organisasi dan harus melibatkan setiap
karyawan, meletakkan kepentingan perseorangan dibawah kepentingan
umum, disiplin, dan sebagainya (Handoko, 2003: 46; Daft, 2006: 63).
Keseluruhan perspektif klasik sebagai pendekatan terhadap
manajemen sangatlah berguna dan memberikan keterampilan baru pada
perusahaan untuk meningkatkan produktifitas yang tinggi dan perlakuan
yang efektif terhadap karyawan. Namun model manajemen seperti di atas
masih mendatangkan masalah utamanya yang berhubungan dengan perilaku
manusia.
Hubungan manusiawi organisasi melihat pada hakikatnya yaitu
sumber daya manusia. Aliran ini memandang aliran klasik kurang lengkap
karena terlihat kurang mampu mewujudkan efisiensi produksi yang
sempurna dengan keharmonisan di tempat kerja. Manusia dalam sebuah
organisasi tidak selalu dengan mudah diramalkan perilakunya karena sering
97
juga rasional. Oleh sebab itu, para manajer perlu dibantu dalam menghadapi
manusia, antara lain melalui disiplin ilmu sosiologi dan psikologi.
Aliran ini berpandangan bahwa ‚bila manajemen personalia
mendorong lebih banyak dan lebih baik dalam kerja hubungan manusiawi
dalam organisasi adalah baik‛. Bila moral dan efisiensi memburuk hubungan
manusiawi dalam organisasi adalah buruk‛. Upaya menciptakan hubungan
manusiawi yang baik manajer harus mengerti mengapa karyawan bertindak
seperti yang mereka lakukan dan faktor-faktor sosial dan psikologi apa yang
memotivasi mereka.
Kelompok penggagas aliran ini47
menyatakan bahwa rantai reaksi
emosional yang kompleks telah mempengaruhi peningkatan produktifitas.
Hubungan manusiawi di antara anggota kelompok terpilih maupun dengan
peneliti (pengawas) lebih penting dalam menentukan produktifitas daripada
perubahan-perubahan kondisi kerja. Perhatian simpatik dari pengawas yang
mereka terima telah mendorong peningkatan motivasi kerja mereka.
Daft (2006: 65) membagi aliran ini menjadi tiga macam, yaitu:
pertama, gerakan hubungan manusia dimaksud bahwa control yang benar-
benar efektif datang dari dalam individu pekerja, bukan dari kontrol ketat
yang otoriter. Karyawan bekerja lebih baik jika manajer memperlakukan
mereka secara positif. Hasil produksi karyawan akan meningkat apabila
manajer memperlakukan mereka secara positif menjadi awal revolusi dalam
perlakukan terhadap pekerja untuk meningkatkan produktifitas organisasi.
Singkatnya gerakan ini menekankan bahwa gerakan dalam pemikiran dan
47
Kelompok penggagas teori ini adalah: Hugo Munsterberg (1863-1949); lihat: Eugene J. Benge
(1994: 9-11).
98
praktek manajemen yang menekankan kepuasan kebutuhan dasar para
karyawan sebagai kunci meningkatnya produktifitas pekerja (Daft, 2006: 66-
67).
Kedua, perspektif sumber daya manusia memandang bahwa pekerjaan
harus dirancang sehingga tugas tidak lagi dianggap sebagai upaya untuk
tidak menghargai atau mengurangi makna sebagai manusia, tetapi sebaliknya
memperbolehkan para pekerja untuk menggunakan potensi mereka secara
penuh.
Ketiga, ilmu perilaku manusia; ilmu ini untuk memahami perilaku
dan interaksi karyawan dalam lingkungan organisasi. Ilmu ini telah
mempengaruhi kebanyakan alat, teknik dan pendekatan yang digunakan oleh
manajer pada organisasi. Ilmu ini diterapkan untuk membantu para manajer
dalam membangun organisasi pembelajar (Daft, 2006: 71).48
Namun ternyata ilmu ini yang memahami perilaku manusia dalam
interaksinya pada lingkungan organisasi bukan satu-satunya yang
mempengaruhi produktifitas, sebab lingkungan sosial ditempat kerja
(manusia berinteraksi) hanyalah satu dari beberapa faktor yang saling
berinteraksi yang mempengaruhi produktifitas (Handoko, 2003: 52).
Aliran manajemen modern. Masa manajemen modern berkembang
melalui dua jalur yang berbeda: pertama, merupakan pengembangan dari
aliran hubungan manusiawi yang dikenal sebagai ‚perilaku organisasi‛,
48
Organisasi pembelajar adalah sebuah organisasi dimana setiap orang terlibat dalam proses
pengidentifikasian dan penyelesaian masalah, sehingga memungkinkan organisasi untuk melakukan
eksperimen terus menerus, berubah dan melakukan perbaikan sehingga menciptakan kapasitas untuk
tumbuh, belajar serta mencapai tujuan (Daft, 2006: 78).
99
kedua, yang dibangun atas dasar manajemen ilmiah yang dikenal sebagai
‚aliran kuantitatif.‛
Perilaku organisasi; perkembangan aliran perilaku organisasi ditandai
dengan pandangan dan pendapat baru tentang perilaku manusia dan sistem
sosial. Prinsip aliran ini, antara lain: manajemen tidak dapat dipandang
sebagai suatu proses teknik secara ketat (peranan, prosedur dan prinsip);
manajemen harus sistematik, dan pendekatan yang digunakan harus dengan
pertimbangan secara hati-hati; organisasi sebagai suatu keseluruhan dan
pendekatan manajer individual untuk pengawasan harus sesuai dengan
situasi; pendekatan motivasional yang menghasilkan komitmen pekerja
terhadap tujuan organisasi sangat dibutuhkan.
Aliran kuantitatif; yang ditandai dengan berkembangnya team-team
riset operasi dalam pemecahan masalah-masalah industri. Aliran ini mulai
berkembang sejalan dengan semakin kompleksnya alat-alat elektronik,
transportasi, kemunikasi dan sebagainya, sehingga teknik-teknik riset
operasi menjadi semakin penting sebagai dasar rasional untuk pembuatan
keputusan. Prosedur riset operasi tersebut kemudian diformalisasikan dan
disebut aliran management science. Aliran kuantitatif ini dilakukan dengan
dua jenis pendekatan; yaitu: pendekatan sistem dan pendekatan kontigensi.
Pendekatan sistem yakni pendekatan yang bermaksud untuk
memandang organisasi sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-
bagian yang saling berhubungan. Pendekatan sistem memberi manajer cara
memandang organisasi sebagai suatu keseluruhan dan sebagai bagian dari
lingkungan eksternal yang lebih luas (Handoko, 2003: 55). Sementara teori
100
manajemen modern cenderung memandang organisasi sebagai sistem terbuka
(Daft, 2006: 78) dengan dasar analisa konsepsional dan didasarkan pada data
empirik serta sifatnya sintesis dan integratif.
Pendekatan kontigensi menegaskan tugas manajer adalah
mengidentifikasikan teknik mana, pada situasi tertentu, dibawah keadaan
tertentu, dan pada waktu tertentu akan membantu pencapaian tujuan
manajemen. Perbedaan kondisi dan situasi membutuhkan aplikasi teknik
manajemen yang berbeda pula, karena tidak ada teknik prinsip dan konsep
universal yang dapat diterapkan dalam segala kondisi (Handoko, 2003: 57).
Pendekatan ini bermaksud menjembatani gap yang ada antara teori dan
praktek.
Gambaran sejarah perkembangan manajemen di atas memberikan
pemahaman bahwa pengelolaan organisasi, lembaga dan lainnya yang
didalamnya melibatkan banyak orang telah melahirkan beragam ide dan gagasan
untuk mengelola organisasi dimaksud. Setiap kondisi dan zaman akan selalu
berbeda sistem manajemennya disebabkan oleh berkembangannya pengetahuan
manusia. Kesuksesan pengelolaan organisasi dengan menggunakan manajemen
adalah tergantung bagaimana person/individu organisasi itu mampu melibatkan
sekian banyak faktor baik internal maupun eksternal yang memungkinkan
menjadi pendukung kemajuan. Oleh sebab itu, peran pengalaman dan
pengetahuan manusia sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam manajemen
sangat menentukan pencapaian kerja pada seluruh jenis organisasi dan masa
yang dihadapi itu.
101
2. Fungsi Manajemen
Di kalangan para ahli terdapat banyak pendapat berkaitan dengan fungsi
manajemen. M. Manullang (1988: 19, Hanafi, 2003: 8) menyimpulkan ada lima
fungsi manajemen itu, yakni: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan
personalia, pengarahan dan pengawasan, inilah yang akan diuraikan:
a) Perencanaan
Perencanaan (planning) adalah penentuan serangkaian tindakan untuk
mencapai sesuatu hasil yang diinginkan (Manullang, 1988: 21). Perencanaan
juga memberi makna adanya pemilihan atau penetapan tujuan-tujuan
organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur,
metode, sistem, anggaran serta standar yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan (Handoko, 2003: 23).
Rencana itu memungkinkan: a) organisasi bisa memperoleh dan
mengikat sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan; b) anggota
organisasi untuk melaksanakan kegiatan secara konsisten dengan tujuan dan
prosedur terpilih; c) kemajuan dapat terus dimonitor dan diukur, sehingga
tindakan korektif dapat diambil bila tingkat kemajuan memuaskan
(Handoko, 2003: 23).
Perencanaan sebagai fungsi manajemen akan menetapkan tujuan yang
ingin dicapai suatu organisasi, menetapkan peraturan dan pedoman
pelaksanaan tugas, serta yang berkaitan dengan pencapaian tujuan
organisasi. Fungsi perencanaan membantu suatu organisasi untuk
merumuskan dan mencapai sasarannya. Para manajer melalui rencana
102
tersebut menyajikan garis besar yang dilakukan oleh organisasi agar
organisasi itu berhasil (Winardi, 2004: 27).
Setiap organisasi dalam bentuk apapun harus mempunyai rencana.
Perencanaan itu mempunyai empat tahap seperti dikemukakan oleh Wilson
Bangun (2008: 78-79):
1) Menetapkan tujuan. Perencanaan suatu organisasi dimulai dengan
membuat keputusan-keputusan yang menjadi kebutuhan organisasi.
Perumusan atas tujuan yang jelas, maka organisasi dapat menentukan
kebutuhan penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien.
2) Merumuskan keadaan sekarang. Ini dimaksudkan bahwa organisasi perlu
mengetahui keadaan dan sumber daya yang tersedia saat ini kemudian
menyusun rencana untuk pencapaian tujuan di waktu yang akan datang.
3) Mengidentifikasi kemudahan dan hambatan. Kemudahan yang dapat saja
mendukung program pelaksanaan perencanaan organisasi harus mampu
diidentifikasi, sehingga dengan mengetahui kemudahan itu akan dapat
dijadikan pertimbangan percepatan realisasi atas program. Selain itu,
penghambat yang kemungkinan dihadapi oleh organisasi perlu
diidentifikasi pula, sebab dengan mengetahui penghambat akan mendorong
manajemen mencari alternatif dan solusi terhadap penghambat jalannya
organisasi sampai pada tujuannya.
4) Mengembangkan rencana. Agar organisasi dapat berjalan baik dan
mendatangkan keuntungan yang besar dalam rangka pencapaian tujuannya,
maka rencana yang telah ada perlu untuk dikembangkan melalui usaha
103
mencari alternatif-alternatif kegiatan pengembangan organisasi lebih besar
di masa mendatang.
Tujuan organisasi telah dimiliki, maka untuk pencapaian tujuan;
organisasi mempunyai dua macam rencana yang harus dilakukan, yaitu:
rencana strategi (renstra) dan rencana operasional (renop). Rencana
strategi adalah suatu rencana yang ditetapkan manajer dalam menentukan
sasaran organisasi secara luas. Rencana strategi berhubungan dengan
orang-orang dalam organisasi serta orang-orang diluar organisasi.
Sedangkan rencana operasional adalah suatu rencana yang berisi rincian
untuk melaksanakan rencana strategis. Sehingga rencana operasional
berkaitan dengan orang dalam suatu organisasi tertentu.
Sebuah rencana yang baik harus terpenuhi beberapa syarat, yaitu: a)
faktual atau realisitis artinya segala hal yang dirumuskan organisasi sesuai
dengan fakta dan dianggap wajar untuk dicapai; b) logis dan rasional artinya
apa yang dirumuskan dapat diterima oleh akal sehingga rencana dapat
dilaksanakan; c) fleksibel artinya rencana itu dibuat dalam kondisi yang
tidak kaku atau dapat mengikuti perubahan; d) komitmen artinya seluruh
anggota organisasi dapat secara bersama-sama mewujudkan tujuan
organisasi; dan e) komprehensif artinya menyeluruh dan mengakomodasi
aspek-aspek yang terkait dengan organisasi (Nana, 2013: 57). Lebih lanjut
dijelaskan pula bahwa rencana yang baik adalah 1) jelas visi, misi, tujuan,
dan sasaran yang akan dicapai; 2) objektif, rasional, dan menantang; 3)
mempunyai dasar tujuan pencapaian yang jelas; 4) fleksibel sesuai dengan
perubahan lingkungan; 5) dapat diimplementasikan secara nyata.
104
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengukur kelayakan sebuah
rencana pada setiap organisasi akan dilihat pada aspek tahapan pembuatan
rencana, syarat terpenuhinya rencana yang baik, serta adanya rencana
strategi dan rencana operasionalnya. Khusus rencana strategi, maka yang
perlu untuk dilaksanakan adalah 1) adanya penetapan tujuan tahunan; 2)
perumusan kebijakan; 3) kegiatan memotivasi pekerja (karyawan); 4) adanya
alokasi sumber daya yang meliputi: keuangan, teknologi, dan sumber daya
manusianya (Hubeis, 2008: 25-26; Noor, 2013: 124).
Oleh sebab itu, pembuatan rencana yang meliputi: visi, misi, tujuan,
dan strategi pencapaian merupakan serangkaian program yang dibuat oleh
organisasi. Visi menguraikan produk, pasar, dan teknologi yang diterapkan
oleh organisasi untuk sekian tahun ke depan. Misi merupakan tujuan atau
alasan mengapa organisasi hidup atau yang menjadi sarana untuk
menyampaikan secara ringkas keunikan organisasi dimaksud. Tujuan
merupakan hasil akhir dari aktivitas perencanaan; tujuan merumuskan apa
yang akan diselesaikan dan kapan akan diselesaikan. Sementara strategi
merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaimana
organisasi akan mencapai visi, misi, dan tujuannya (Noor, 2013: 126-127).
b) Pengorganisasian
Meningkatkan produktifitas kerja perlu adanya kelembagaan/keorganisasian.
Pengorganisasian (organizing) adalah penentuan sumberdaya dan kegiatan
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi; perancangan dan
pengembangan organisasi serta kelompok kerja yang akan dapat membawa
kegiatan kearah tujuan; penugasan tanggung jawab tertentu; atau dapat
105
dikatakan bahwa pengorganisasian adalah pendelegasian wewenang yang
diperlukan kepada individu-individu untuk melaksanakan tugas-tugasnya,
fungsi ini menciptakan structural formal dimana pekerjaan ditetapkan, dibagi
dan dikoordinasikan (Handoko, 2003: 24).
Kelembagaan membutuhkan penggunaan tipe dan struktur yang
tepat, sehingga untuk mencapai tujuan organisasi manajer harus mampu
menjalankan prinsip organisasi yang meliputi: kejelasan tujuan,
fungsionalisasi, pembagian tugas, penempatan yang tepat, koordinasi,
kesatuan arah, kesatuan komando, pola pengambilan keputusan (Siagian,
2010: 35-47).
Tujuan juga terlaksana apabila fungsi organisasi dapat diterapkan.
Fungsionalisasi organisasi dibagi dua: segala jenis fungsi yang
diselenggarakan oleh berbagai komponen organisasi ditempatkan dalam
wadah tertentu sehingga tidak ada fungsi yang tidak jelas wadahnya;
sebaliknya tidak ada satu pun fungsi yang bernaung di bawah lebih dari satu
wadah dalam organisasi. Penerapan fungsionalisasi ini untuk menghilangkan
dikotomi yang biasa terdapat dalam organisasi yang timbul akibat persepsi
yang tidak tepat dari satuan kerja pelaksana tugas pokok.
Prinsip fungsionalisasi untuk menghindari terjadinya duplikasi dan
tumpang tindih dalam pelaksanaan berbagai jenis kegiatan dalam organisasi
(Siagian, 2010: 38). Setelah manajer menetapkan tujuan dan menyusun
rencana atau program untuk mencapainya, maka mereka perlu merancang
dan mengembangkan suatu organisasi yang tepat agar dapat melaksanakan
berbagai program tersebut secara sukses.
106
Pengorganisasian berarti pengelompokan aktivitas dalam suatu
organisasi. Suatu organisasi mempunyai banyak aktivitas untuk mencapai
tujuannya. Aktivitas itu perlu bagi ke dalam tugas sebagai bagian dari
kegiatan. Masing-masing bagian mempunyai hubungan sesuai dengan
kebutuhan dalam mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, setiap bidang
mempunyai kepentingan yang sama antara satu dengan lainnya (Bangun,
2008: 85).
Kegiatan pengorganisasian adalah proses manajerial berkelanjutan.
Untuk itu, ada empat langkah atau tahap yang dilaksanakan dalam
pengorganisasian, yaitu: pembagian kerja, departementalisasi, rentang
kendali, dan koordinasi (Bangun, 2008: 86; Nana, 2013: 80). Pembagian
kerja berarti membagi tugas lebih kecil, sehingga setiap individu dapat
memahami lebih jelas tentang pekerjaannya. Semakin terspesialisasi jenis
pekerjaan, maka semakin paham setiap individu terhadap pekerjaan.
Selanjutnya setelah terbagi tugas dalam organisasi, maka dibuat
departementalisasi yang merupakan pengelompokan aktivitas anggota
organisasi ke dalam kelompok-kelompok kegiatan yang lebih kecil yang
biasa disebut dengan bidang atau sejenis dengan itu. Pengelompokan tugas
dapat dibagi ke dalam beberapa aktivitas yaitu: a) berdasar atas fungsi; b)
berdasar atas proses; c) berdasar atas langganan; d) berdasar atas produk; dan
e) berdasar atas daerah atau wilayah (Bangun, 2008: 88). Setelah dilakukan
departementalisasi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pemetaan
berapa banyak orang yang terlibat dalam aktivitas pekerjaan. Penentuan
jumlah orang dalam pelaksanaan aktivitas organisasi melahirkan hirarki
107
organisasi yaitu jenjang atau peringkat yang bertanggungjawab atas kegiatan
organisasi. Sebagai akhir dalam kegiatan pengorganisasian adalah
koordinasi. Koordinasi ialah menetapkan mekanisme untuk menyatukan
kegiatan pada suatu departemen atau bidang tertentu menjadi suatu kesatuan
yang terintegrasi dan dapat dimonitor, sehingga tujuan organisasi dapat
tercapai.
Oleh karena itu, untuk mengukur sebuah organisasi dalam
mengimplementasikan fungsi manajemen dalam bentuk pengorganisasin,
maka standar yang dapat digunakan adalah: melihat adanya pembagian kerja
bagi seluruh karyawan; adanya pengelompokan aktivitas karyawan ke dalam
unit-unit kerja yang lebih kecil; penentuan berapa banyak orang yang akan
melaksanakan kegiatan pada bidang-bidang yang telah dibentuk; serta
adanya system koordinasi antar unit atau bidang aktivitas dalam organisasi.
c) Penyusunan personalia
Penyusunan personalia adalah penarikan, latihan, pengembangan,
penempatan dan pemberian orientasi para karyawan dilingkungan kerja yang
menguntungkan dan produktif. Pelaksanaan fungsi ini, manajemen
menentukan persyaratan mental, pisik dan emosional untuk posisi jabatan
yang ada melalui analisa jabatan, deskripsi jabatan, spesifikasi jabatan,
kemudian menarik karyawan yang diperlukan dengan karakteristik
personalia tertentu. Fungsi ini mencakup kegiatan seperti pembuatan sistem
penggajian untuk pelaksanaan kerja yang efektif, penilaian karyawan untuk
108
promosi49
, mutasi50
, latihan pengembangan karyawan, atau bahkan
pemecatan.
Fungsi staffing dalam manajemen termasuk bagian dari fungsi
organizing. Penyusunan personalia adalah salah satu fungsi manajemen
untuk menempatkan tenaga kerja dalam struktur organisasi. Suatu organisasi
memang pemimpin yang akan bertanggung jawab atas pengelolaan
organisasi, tetapi ini tidak berarti bahwa pemimpin bekerja sendiri untuk
mencapai tujuan organisasi; namun ia harus mampu menunjuk dan
mengangkat pegawai (karyawan) atau staf yang menjalankan sebagian tugas
organisasi (Manullang, 1988: 92). Jadi fungsi staffing yang dimulai dari
seleksi tenaga sampai pada pembinaan ketenagaan adalah bagian dalam
proses keberhasilan organisasi, sehingga fungsi ini perlu diperhatikan dalam
setiap lembaga dan organisasi.
Setiap organisasi dapat menentukan jumlah personalia yang
dibutuhkan. Namun, untuk mengetahui kebutuhan dimaksud didahului
dengan mengetahui seberapa besar kebutuhan akan tenaga kerja (jenis kerja
dan jumlah tenaga kerja). Tugas menentukan jenis tenaga kerja diperoleh
dengan melakukan analisis job pekerjaan dan analisis isi pekerjaan. Isi
pekerjaan akan memberikan informasi tentang tugas-tugas, tanggungjawab,
dan wewenang yang ada pada suatu pekerjaan (Bangun, 2008: 103-104).
49
Salah satu sumber pegawai yang penting bagi perusahaan atau lembaga adalah para pegawai
dari dalam organisasi atau lembaga itu sendiri. Ini berarti bahwa jika perusahaan atau organisasi itu
membutuhkan tenaga terhadap jabatan-jabatan lowong, maka pegawai-pegawai dari perusahaan itu yang
dipilih untuk dipromosikan pada jabatan yang lowong itu. 50
Tujuan pemindahan pegawai dari satu job ke jabatan yang lainnya bertujuan untuk memajukan
pegawai yang bersangkutan. Pemindahan ini dapat terjadi diakibatkan permintaan pegawai itu atau
karena keinginan pemimpin. Tetapi yang patut dipahami bahwa mutasi seperti itu hanyalah bertujuan
untuk memajukan pegawai. Hal ini menghindari kesalahan pemahaman yang berkembang dikalangan
organisasi pada umumnya.
109
Hasil analisis jenis tenaga kerja dan isi pekerjaan melahirkan proses
penarikan dan seleksi tenaga kerja. Proses penarikan tenaga kerja disebabkan
terjadinya kekosongan dalam aktivitas kerja organisasi. Penarikan tenaga
kerja perlu memperhatikan system seleksi, agar hasil tenaga kerja yang
diperoleh memenuhi kebutuhan organisasi. Kemudian, seluruh tenaga kerja
yang ada dalam organisasi mempunyai hak untuk pengembangan dirinya.
Pengembangan tenaga kerja adalah suatu usaha untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja tentang pekerjaannya. Model
pengembangan ini dapat beragam, misalnya pelatihan, kursus, pendidikan,
dan lain-lain. Selain itu, tenaga kerja yang ada dapat saja dimutasikan atau
dipindahkan dari satu unit kerja pada unit kerja lainnya; ataupun karena
sebab tertentu yang berdasarkan pertimbangan pimpinan atau system tenaga
kerja yang ada dapat diberhentikan sebagai pegawai. Pemberhentian itu
dapat saja berasal dari tenaga kerja itu sendiri, atau dari pihak organisasi.
Tetapi kata kunci lahirnya pemberhentian disebabkan oleh tidak lahirnya
produktifitas dari tenaga kerja itu (Bangun, 2008: 112-114).
d) Pengarahan
Sesudah rencana dibuat, organisasi dibentuk dan disusun personalianya,
langkah berikutnya adalah menugaskan karyawan untuk bergerak menuju
tujuan yang telah ditentukan. Fungsi pengarahan adalah untuk membuat atau
mendapatkan para karyawan melakukan apa yang diinginkan dan harus
mereka lakukan. Fungsi ini akan melibatkan kualitas, gaya, kekuasaan
110
pemimpin serta kegiatan kepemimpinan. Fungsi pengarahan berkaitan
dengan orang-orang dalam organisasi51
.
Sebagai realisasi dari pengarahan, biasanya melahirkan perintah;
walaupun perintah tidak harus disamakan dengan pengarahan. Tetapi
berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi, maka pemimpin harus
mampu memberi pengarahan dan perintah yang tepat. Sehubungan dengan
perintah, yang perlu dipahami bahwa perintah berarti suatu instruksi resmi
dari seorang atasan atau pemimpin kepada bawahan untuk mengerjakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu, guna merealisasi tujuan organisasi. Tujuan
utama perintah untuk mengkoordinir kegiatan bawahan agar kegiatannya
yang beraneka ragam itu terkoordinir pada suatu arah yaitu tujuan
organisasi. Ketika ada kegiatan staf yang dipandang menyimpang dari real
yang telah diprogramkan, maka fungsi pengarahan melalui perintah yakni
diarahkan kembali sesuai dengan tujuan, dan dibimbing untuk menambah
kegiatannya (Manullang, 1988: 160).
Pengarahan juga dimaksud agar pemimpin memberikan pendidikan
kepada staf pada tingkat kemajuan produktifitasnya, sehingga perintah dan
pengarahan harus berhubungan erat dengan maksud menambah pengetahuan,
wawasan staf terhadap kerja dan program organisasi yang pada akhirnya
51
Nazir atau manajer selaku pemimpin dalam organisasi memiliki peranan yang sangat penting
bagi produktifitas staf atau karyawan. Peranan tersebut bersifat interpersonal, informasional dan
pengambilan keputusan Peran pimpinan selaku manajer yang bersifat interpersonal nampak dalam tiga
bentuk: manajer selaku simbol keberadaan organisasi, manajer selaku pemimpin yang bertanggung jawab
untuk memotivasi dan memberikan arahan bagi stafnya, manajer selaku penghubung. Sedangkan sifat
informasional nampak pada sikap: manajer selaku pemantau arus informasi yang terjadi, manajer sebagai
pembagi informasi, manajer selaku juru bicara organisasi; dan sifat pengambilan keputusan nampak pada
bentuk: manajer selaku entrepreneur, manajer selaku peredam gangguan, manajer selaku pembagi sumber
daya dan dana, dan manajer selaku perunding bagi organisasi (Siagian, 2010: 66-67).
111
mereka mampu melaksanakan tugas sesuai dengan bidang tugas masing-
masing tanpa selalu mendapat pengarahan.
Fungsi pengarahan melibatkan tiga teori yang secara integral
menjadi satu kesatuan, yaitu: kepemimpinan, motivasi, dan komunikasi:
Pertama, kepemimpinan akan banyak memberi pengaruh bagi
kelangsungan aktifitas dalam organisasi. Ada beberapa macam tipe
kepemimpinan yang dipandang dapat mempengaruhi karyawan yaitu
kepemimpinan kharismatik (kepemimpinan transformasional) dan
kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transformasional suatu sikap
yang memberi motivasi kepada seluruh bawahannya atau karyawan untuk
mengerjakan lebih dari yang diharapkan semula dengan meningkatkan rasa
pentingnya bawahan dan nilai pentingnya pekerjaan. Kepemimpinan yang
demikian ini mampu membuat bawahan menyadari perspektif yang lebih
luas, sehingga kepemimpinan individu disubordinasikan terhadap
kepentingan tim (organisasi). Sementara kepemimpinan transaksional suatu
sikap dimana pemimpinan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh
karyawan agar mereka dapat mencapai tujuan mereka sendiri atau organisasi
dan membantu karyawan agar memperoleh kepercayaan dalam mengerjakan
tugas tersebut (Hanafi, 2003: 246). Teori ini menekankan peran penting
seorang pimpinan dalam berusaha menggerakan tingkat kinerja karyawan
dari aspek kemampuan individu pimpinan tersebut. Jadi karyawan
termotivasi untuk melaksanakan kegiatan organisasi disebabkan oleh
kepribadian pimpinan.
112
Kedua, motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang bertindak
atau berperilaku tertentu dan membuat seseorang memulai, melaksanakan,
dan mempertahankan kegiatan. Ada banyak macam teori motivasi yang
dapat digunakan oleh seorang pimpinan terhadap bawahannya. Teori
pendekatan tradisional, memberi motivasi melalui tawaran pemberian upah
atau gaji karena memang karyawan terdorong untuk bekerja untuk
memperoleh uang dan uang itu dijadikan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Teori pendekatan hubungan manusiawi. Teori ini menekankan pemberian
motivasi dengan memanfaatkan potensi dan keinginan manusia untuk selalu
berinteraksi sesamanya. Teori pendekatan human resource management
(sumber daya manusia) lebih melihat bahwa karyawan mempunyai
kepentingan dan itu harus diperhitungkan oleh setiap pimpinan. Teori ini
melahirkan sistem pembagian tugas antara pimpinan dengan karyawan,
sehingga karyawan diberi tanggungjawab bekerja untuk mencapai tujuan
organisasi (Hanafi, 2003: 306-306; Bangun, 2008: 117).
Ketiga, komunikasi merupakan alat yang digunakan untuk
berinteraksi atau menyampaikan hasrat antar sesama manusia atau proses
sharing di antara pihak-pihak yang melakukan aktivitas bersama (Noor,
2013: 208). Komunikasi sebagai sarana pengarahan dalam sebuah organisasi
dapat dilakukan dengan tiga bentuk, yaitu: komunikasi dari bawah ke atas
(karyawan ke pimpinan) yaitu karyawan atau pegawai pada tingkat bawah
yang menyampaikan kehendak atau hal-hal yang berkaitan dengan organisasi
kepada pimpinan. Komunikasi ke bawah (pimpinan ke karyawan) pesan atau
pengarahan yang datangnya dari pimpinan kemudian disampaikan kepada
113
seluruh pegawai yang berada di bawah pimpinan. Komunikasi lateral yaitu
komunikasi yang terjadi antar sesama anggota karyawan atau antar bidang.
Jadi penyampaian pesan itu berlaku di antara karyawan bukan dengan
pimpinan (Bangun, 2008: 221-222).
Berdasarkan uraian di atas, maka sistem pengarahan dalam sebuah
organisasi berfungsi untuk mengkomunikasikan segala hal yang berkaitan
dengan jalannya program kerja organisasi untuk mencapai tujuan.
Pengarahan ini dapat terjadi dari pimpinan kepada seluruh karyawan, antara
bidang satu dengan lainnya, serta antar sesame karyawan, atau dapat saja
informasi itu berasal dari karyawan selanjutnya disampaikan kepada
pimpinan. Jika arahan itu berasal dari pimpinan, maka tipe dan kepribadian
pimpinan itu sangat memberi pengaruh atas perilaku karyawan. Selain itu,
motivasi yang selalu diberikan kepada karyawan pun akan mempengaruhi
perubahan sikap karyawan; hal serupa berlaku pada kemampuan
mengkomunikasikan segala sesuatu di antara sesama karyawan, bidang, dan
pimpinan. Fungsi pengarahan secara singkat adalah usaha untuk memberikan
spirit bagi peningkatan kerja seluruh unsure yang terlibat dalam organisasi;
baik itu bersumber dari pimpinan kepada bawahannya maupun antar sesama
karyawan.
e) Pengawasan
Pengawasan sebagai suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang
sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi, supaya pelaksanaan
pekerjaan sesuai dengan rencana semula. Pengawasan adalah upaya yang
dilakukan seseorang diberbagai bidang yang berkaitan dengan administrasi
114
dalam bentuk pengarahan kebijakan jalannya perusahaan atau organisasi
(Depdikbud, 1995: 68). Pengawasan (controlling) adalah penemuan dan
penerapan cara untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai
dengan tujuan organisasi. Ini dapat bersifat positif atau negative.
Pengawasan positif mencoba untuk mengetahui apakah tujuan organisasi
dicapai dengan efisien dan efektif. Pengawasan negative mencoba untuk
menjamin bahwa kegiatan yang tidak diinginkan atau dibutuhkan tidak
terjadi atau terjadi kembali (Handoko, 2003: 25). Richard Steers (1985: 30)
menegaskan bahwa fungsi control terdapat di seluruh jenis organisasi yang
tujuannya untuk menyediakan standar memantau dan mengevaluasi
penggunaan sumber daya.
Pengertian di atas, dapat dirumuskan yang menjadi tujuan
pengawasan adalah mengusahakan agar rencana dalam organisasi atau
perusahaan menjadi kenyataan dan terealisir dengan baik dan tepat. Jika
ditemukan ada kejanggalan atau kelemahan, maka akan dibuat tindakan
perbaikan; baik pada waktu itu atau pada waktu yang akan datang.
Ada empat macam fungsi pengawasan yang dapat diterapkan sebagai
alat evaluasi kinerja staf, yaitu: penetapan standart pelaksanaan, penentuan
ukuran pelaksanaan dan membandingkannya dengan standar yang
ditetapkan, serta pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan bila
pelaksanaan menyimpang dari standart (Hanafi, 2003: 12; Bangun, 2008:
164). Pengawasan dapat dilakukan dengan cara: peninjauan atas pribadi staf,
melalui laporan lisan, melalui laporan tertulis, dan melalui laporan kepada
hal-hal yang bersifat khusus.
115
Pengawasan dianggap sangat penting dalam segala aktifitas manusia.
Islam sangat menaruh perhatian terhadap pengawasan. Ada beberapa alasan
penting perlunya pengawasan; yakni: manusia dalam kodratnya mempunyai
kecenderungan ingin bebas dalam melakukan perbuatannya dan melupakan
pengawasan dari Allah swt52
; padahal secara jelas banyak ayat yang menegaskan
bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengetahui perbuatan makhluknya.
Manusia pada hakikatnya memerlukan koreksi dari orang lain untuk
mengantisipasi seluruh amal perbuatannya dimana manusia diciptakan sebagai
makhluk yang lemah secara fisik dan mental dalam pengendalian diri53
. Manusia
makhluk yang selalu berbuat dosa dan salah yang selalu cenderung mengikuti
hawa nafsunya; karena itulah manusia perlu pengawasan dalam beraktifitas
(Depag, 2003: 1-6).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengawasan dilaksanakan dengan
dua teknik, yaitu: pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan
organisasi sendiri terhadap kegiatan yang sedang dikerjakan. Sedangkan
pengawasan tidak langsung adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh
pimpinan atas laporan atau aduan dari bawahannya.
Metode pengawasan dapat berbentuk: pengamatan atas aktifitas
organisasi, inspeksi teratur dan langsung, laporan lisan atau tertulis, diskusi
antara pimpinan dalam organisasi, dan audit. Kesemuanya digunakan dalam
rangka menghasilkan evaluasi kinerja seluruh karyawan untuk mencapai tujuan
52
Lihat: QS. Al-Fajr (89): 14. 53
Lihat: QS. Al-Nisa (4): 28.
116
organisasi. Fungsi ini juga menuntut adanya rasa tanggungjawab atas tugas yang
dipercayakan organisasi kepada setiap person atau karyawan.
3. Manajemen sumber daya manusia
Manajemen sumber daya manusia merupakan bidang strategis dari organisasi
yang dipahami sebagai pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian
balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi. Focus manajemen
sumber daya manusia yakni upaya mengelola SDM dalam dinamika interaksi
antara organisasi dengan pegawainya (Sutrisno, 2011: 5-6). Tujuan manajemen
sumber daya manusia adalah memperbaiki tingkat produktifitas, memperbaiki
kualitas kehidupan kerja, dan meyakinkan organisasi telah memenuhi
kebutuhannya. Karyawan atau pegawai yang mempunyai sumber daya manusia
dapat diketahui dengan karakteristiknya, yaitu: memiliki pengetahuan penuh
tentang tugas, tanggungjawab dan wewenangnya; memiliki pengetahuan yang
diperlukan terkait dengan pelaksanaan tugasnya; mampu melaksanakan tugas-
tugasnya; bersikaf produktif, inovatif, dan mau bekerja sama dengan orang lain
(tim).
Manajemen sumber daya manusia merupakan sumber keunggulan daya
saing dan mampu menghadapi berbagai kondisi. Sumber daya manusia akan
tetap bertahan karena memiliki kemampuan untuk merumuskan visi, misi, dan
tujuan organisasi dan bahkan mampu mengarahkan sumber-sumber daya lainnya
dalam mewujudkan visi dan tujuan organisasi (Sutrisno, 2011: 19). Untuk
merealisasikan peran sumber daya manusia dalam organisasi, maka perencanaan
sumber daya manusia, rekrutmen karyawan, pengembangan karir, produktifitas
kerja, dan sistem imbalan; merupakan kegiatan yang perlu diaplikasi oleh setiap
117
organisasi. Pertama, perencanaan sumber daya manusia diawali dengan melihat
kondisi; kondisi organisasi; kebutuhan yang harus dipenuhi baik saat sekarang
maupun yang akan datang. Kondisi inilah yang nantinya menjadi dasar apakah
organisasi membutuhkan tenaga baru, pemberdayaan, dan sebagainya. Kedua,
rekrutmen pegawai; kegiatan ini tergantung pada organisasinya; dapat berupa
lamaran dari calom pegawai baik langsung maupun secara tertulis, atau
mungkin memalui serikat pekerjanya, dan sebagainya. Ketiga, pengembangan
karir; melalui pendidikan dan pelatihan. Keempat, produktifitas kerja; konsep ini
hanya akan diukur dengan rasio output hasil karya nyata dengan input yang
diterima oleh organisasi. Adapun strategi meningkatkan produktifitas adalah
adanya perbaikan terus menerus, peningkatan mutu hasil kerja, dan
pemberdayaan sumber daya manusia (Yuniarsih, 2009: 171).
4. Manajemen investasi
Teori investasi adalah proses penundaan konsumsi saat sekarang untuk dijadikan
konsumsi di masa mendatang. Investasi berarti menempatkan modal atau suatu
aset yang diharapkan memberi hasil atau meningkatkan penerimaan nilainya di
masa datang. Makna ini dapat diketahui kalau kegiatan investasi merupakan
perbuatan yang siap mengorbankan sesuatu harta yang dimiliki atau
mengorbankan konsumsi hari ini dengan tujuan akan mendapatkan hasil yang
lebih baik di kemudian hari. Jadi investasi memberikan penegasan adanya
keterlibatan antara dua orang atau lebih untuk menanamkan modal dalam sebuah
usaha dan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi kedua pihak di masa
datang.
118
Prinsip investasi berdasarkan ketentuan syari’at Islam yakni tidak
melakukan kegiatan penanaman modal pada jenis usaha yang terlarang atau yang
menghalalkan sesuatu yang telah jelas hukumnya terlarang; tidak ada perbuatan
saling menzalimi; dilakukan dengan memperhatikan keadilan distribusi; dan
transaksi atas dasar suka sama suka (Rivai, 2010: 423-424; Azizy, 2004: 191).
Sasaran investasi bermacam-macam dan apabila merujuk pada ketentuan
investasi berdasarkan syari’at antara lain: sistem mudharabah, musya>rakah,
kredit (angsuran), atau sistem sewa, dan lain-lainnya. Pertama sistem mudha>rab,
ini dapat dilakukan antara bank (misalnya) dengan nazir; maka dapat berlaku
pihak bank yang akan menjadi pemodal dan nazir sebagai pengelola atau
pemutar modal yang kedua-duanya akan membuat kesepakatan keuntungan.
Kedua sistem musya>rakah, ini berlaku sistem mencampurkan modal bersama
dalam suatu usaha sesuai perjanjian bersama, keuntungan, kerugian, resiko,
ditanggung bersama sesuai perjanjian. Ketiga sistem angsuran, ini dimaksudkan
bank (misal) sebagai pihak yang akan menyediakan kebutuhan pihak yang ingin
melakukan angsuran dengan ketentuan antara keduanya sepakat atas waktu,
biaya, dan cara angsuran. Keempat sistem sewa, ini dimaksudkan sistem
pemindahan hak guna atas sesuatu barang dalam batasan waktu tertentu melalui
pembayaran sewa tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang yang
dipersewakan tersebut.
Transaksi dalam sistem investasi dewasa ini telah terbuka dengan
beragam bentuknya, bagi yang mempunyai kepentingan melaksanakannya akan
diperhadapkan atas pilihannya sendiri; tetapi apapun yang diinvestasikan
harusnya selalu mempertimbangkan kehalalan dan kemaslahatan atas
119
perbuatannya. Wakaf sebagai instrumen ekonomi umat sangat layak dijadikan
sebagai modal investasi, baik itu pengelolanya hanya bertindak sebagai
penerima hasil atau pengelolanya terlibat secara bersama-sama untuk
mengembangkan harta wakafnya. Ada banyak pilihan model investasi untuk
wakaf, jika pengelolanya menghendaki atas pengembangan harta wakaf secara
berkesinambungan (al-Hajiri, 2006: 45-47).
Selain manajemen sumber daya manusia dan manajemen investasi
sebagaimana dijelaskan di atas, masih terdapat macam-macam manajemen yang
dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Athaillah (2010: 55-88) menulisnya:
ada manajemen obyektif, manajemen struktur, manajemen teknik, manajemen
personalia, dan lain-lainnya. Kesemuanya dapat diterapkan dalam pengelolaan
organisasi, tergantung pengurus organisasi yang akan memilih menggunakan
manajemen yang tepat untuk diterapkan.