Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310 - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/267/1/jurnal...

download Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310 - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/267/1/jurnal full.pdf · rongga mulut, mengurangi terjadinya plak, dan karies gigi.4 Berbagai jenis

If you can't read please download the document

Transcript of Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310 - eprints.ulm.ac.ideprints.ulm.ac.id/267/1/jurnal...

  • Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310

    DENTINO

    JURNAL KEDOKTERAN GIGI

    Terbit setiap Maret dan September

    PENGELOLA JURNAL DENTINO

    Pelindung :

    Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K)

    (Dekan Fakultas Kedokteran Unlam)

    Pembina :

    Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS

    (Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam)

    dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd

    (Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam)

    dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes

    (Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam)

    Penasehat :

    Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS

    (Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

    Ketua :

    drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM

    (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

    Sekretaris :

    drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc

    (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

    Penyunting :

    drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit

    Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral -

    Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas

    Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg.

    M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra

    Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas

    Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam);

    Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran

    Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran

    Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran

    Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ;

    drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam)

    Administratif :

    Hastin Atas Asih, AMKg

    (Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

  • Vol II. No 1. Maret 2014 ISSN : 2337-5310

    DENTINO

    JURNAL KEDOKTERAN GIGI

    DAFTAR ISI

    1. Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda Citrifolia Liin)

    100% Dan Povidone Iodine 1% Terhadap Streptococcus Mutans In Vitro

    Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly . 1-6

    2. Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia Di Panti Sosial

    Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru

    Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah .. 7-12

    3. Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat Pada Remaja Di

    Ponpes Darul Hijrah Martapura

    Rizal Hendra Kusuma, Rosihan Adhani, Widodo, Sapta Rianta 13-17

    4. Gambaran Indeks Kebersihan Mulut Berdasarkan Tingkat Pendidikan Masyarakat

    di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar

    Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri .... 18-23

    5. Perbandingan Efektivitas Mengunyah Buah Pir dan Bengkuang Terhadap

    Penurunan Indeks Plak Tinjauan Pada Siswa SDN Gambut 9 Kabupaten Banjar

    Kasma Ernida Haida, Cholil, Didit Aspriyanto 24-28

    6. Perbandingan Efektivitas Berkumur Larutan Teh Putih (Camellia Sinensis l.) Seduh Konsentrasi 100 % Dengan 50 % Dalam Meningkatkan Ph Saliva

    Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo .... 29-33

    7. Peranan Penyuluhan Demonstrasi Terhadap Rasa Takut Dan Cemas Anak Selama

    Perawatan Gigi Di Puskesmas Cempaka Putih Banjarmasin

    Noor Hamidah, Didit Aspriyanto, Cholil ... 34-38

    8. Perbedaan Ph Saliva Menggosok Gigi Sebelum Dan Sesudah Mengkonsumsi

    Makanan Manis Dan Lengket

    Shandy Hidayat, Rosihan Adhani, I Wayan Arya .... 39-45

    9. Lebar Benih Gigi Anak Tikus Yang Dilahirkan Oleh Induk Tikus Pengidap

    Diabetes Mellitus Gestasional

    Nurdiana Dewi . 46-50

    10. Efek Pengunyahan Permen Karet Yang Mengandung Xylitol Terhadap

    Peningkatan Ph Saliva

    Nina Annisa Hidayati, Siti Kaidah, Bayu Indra Sukmana . 51-55

    11. Efektivitas Menyikat Gigi Disertai Dental Floss Terhadap Penurunan Indeks Plak

    Azizah Magfirah, Widodo, Priyawan Rachmadi .. 56-59

    12. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus Sabdariffa l.)

    Terhadap Pertumbuhan Streptococcusmutansin Vitro

    Achmad Riwandy, Didit Aspriyanto, Lia Yulia Budiarti ... 60-64

  • 13. Efek Penyemprotan Desinfektan Larutan Daun Sirih 80% Terhadap Stabilitas

    Dimensi Cetakan Alginat

    Nisa Yanuarti Hasanah, I Wayan Arya, Priyawan Rachmadi ... 65-69

    14. Deskripsi Kasus Temporomandibular Disorder Pada Pasien Di Rsud Ulin

    Banjarmasin Bulan Juni Agustus 2013

    Najma Shofi, Cholil, Bayu Indra Sukmana . 70-73

    15. Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Alginat Setelah Dilakukan

    Penyemprotan Infusa Daun Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav) 50%

    Sebagai Desinfektan

    Valdina Najifa Parimata, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya... 74-78

    16. Indeks Kebersihan Rongga Mulut Pada Anak Retardasi Mental

    Nadya Nuryati Azzahra, Siti Wasilah, Didit Aspriyanto . 79-82

    17. Stabilitas Dimensi Hasil Cetakan Bahan Cetak Elastomer Setelah Disemprot

    Menggunakan Sodium Hipoklorit

    Tommy Agustinus Ongo, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya ... 83-88

    18. Perbandingan Kuat Rekat Resin Komposit Pada Dentin Dengan Sistem Adhesif

    Self Etch 1 Tahap (One Step) Dan 2 Tahap (Two Step)

    Dewi Puspitasari .. 89-94

    19. Studi Deskripsi Kelainan Jaringan Periodontal Pada Wanita Hamil Trimester 3 di

    RSUD Ulin Banjarmasin

    Putri Dwi Andriyani, Maharani Lailyza Apriasari, Deby Kania Tri Putri ... 95-101

    20. Hubungan Pelaksanaan Ukgs Dengan Status Kesehatan Gigi Dan Mulut Murid

    Sekolah Dasar Dan Sederajat Di Wilayah Kerja Puskesmas Cempaka Putih Kota

    Banjarmasin

    Ringga Setiawan, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana,

    Teguh Hadianto .. 102-109

  • 1

    DENTINO

    JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

    PERBANDINGAN EFEK BAKTERISIDAL EKSTRAK MENGKUDU (Morinda

    citrifolia Liin) 100% DAN Povidone Iodine 1% TERHADAP Streptococcus mutans IN

    VITRO

    Nur Rifdayani, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindia Carabelly

    Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

    ABSTRACT

    Background: Researches had shown that noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v had antibacterial

    effect against Streptococcus mutans because it contains flavonoid. These day, the therapies that have been given

    to reduce the colonies of Streptococcus mutans in oral cavity, one of that is Povidone iodine 1%. Purpose: The

    aim of this research was to prove the bactericidal effect of noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v equal

    to Povidone iodine 1% against Streptococcus mutans in vitro. Methods: This research was an experimental

    method laboratory (true experimental), with a post-test only design, using a completely randomized design,

    consisting of four treatments: noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%, positive

    control (ethanol) and negative control (aquadest). Each treatment be repeated 7 times. The rated bactericidal

    effect of the inhibition zone formed on Muller Hinton media with diffusion method. Results: One Way ANOVA

    test showed that inhibition zone had a significant difference, noni extract (Morinda cirifolia Liin) 100% with a

    mean inhibition zone of 13,71 mm and Povidone iodine 1% with a mean inhibition zone of 9,71 mm.

    Conclusion: Noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100% had bactericidal effect higher than Povidone iodine

    1% against Streptococcus mutans in vitro.

    Keywords: Bacterisidal effect, noni extract (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%, Streptococcus

    mutans.

    ABSTRAK

    Latar Belakang: Penelitian telah membuktikan bahwa ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

    berat/volume (b/v) memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus mutans karena mengandung flavonoid.

    Terapi yang selama ini diberikan untuk mengurangi koloni Streptococcus mutans dalam rongga mulut, salah

    satunya adalah Povidone iodine 1%. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan efek bakterisidal

    ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam membunuh

    pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental

    laboratorik murni (true experimental), dengan post-test only design, menggunakan rancangan acak lengkap

    terdiri dari 4 perlakuan, antara lain: ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v, Povidone iodine 1%,

    kontrol positif (etanol) dan kontrol negatif (akuades). Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan

    sebanyak 7 kali. Efek bakterisidal dinilai dari zona hambat yang terbentuk pada media Muller Hinton dengan

    metode difusi. Hasil: Uji One-Way ANOVA menunjukkan bahwa zona hambat memiliki perbedaan yang

    bermakna, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek bakterisidal terhadap Streptococcus

    mutans dengan rata-rata zona hambat sebesar 13,71 mm dan Povidone iodine 1% dengan rata-rata zona

    hambat sebesar 9,71 mm. Kesimpulan: Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek

    bakterisidal lebih tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in vitro.

    Kata kunci: efek bakterisidal, ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%, Povidone iodine 1%,

    Streptococcus mutans.

    Korespondensi: Nur Rifdayani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

    Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected]

    Laporan Penelitian

    mailto:[email protected]

  • 2

    PENDAHULUAN

    Karies gigi merupakan salah satu masalah

    kesehatan rongga mulut yang dapat menimbulkan

    rasa sakit dan mengganggu aktivitas serta

    mengurangi kualitas hidup penderita. Berdasarkan

    Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun

    2007, menunjukkan prevalensi karies aktif sebesar

    50,7% dan yang mempunyai pengalaman karies

    sebesar 83,4%.1 Salah satu bakteri utama penyebab

    karies gigi adalah Streptococcus mutans yang

    memproduksi enzim glucosyltransferase (GTF),

    sehingga bakteri ini dapat membentuk koloni yang

    melekat dengan erat pada permukaan gigi.

    Streptococcus mutans menghasilkan polisakarida

    ekstraseluler lengket dari karbohidrat makanan dan

    mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam.

    Jika kadar keasaman pada suatu gigi berada di

    bawah pH 5,5 dapat menimbulkan proses

    demineralisasi yaitu hilangnya sebagian atau

    seluruh mineral dari jaringan keras gigi yang diikuti

    oleh kerusakan bahan organik gigi karena terlarut

    dalam asam sehingga terjadi karies gigi.2,3

    Ada banyak cara untuk mencegah karies gigi,

    salah satunya penggunaan obat kumur antiseptik.

    Tujuan berkumur dengan antiseptik yaitu

    menurunkan jumlah koloni bakteri patogen dalam

    rongga mulut, mengurangi terjadinya plak, dan

    karies gigi.4 Berbagai jenis obat kumur telah

    beredar di masyarakat, salah satu yang banyak

    digunakan yaitu obat kumur dengan kandungan

    Povidone iodine 1%.5 Hasil penelitian terdahulu

    menyebutkan bahwa Povidone iodine memiliki

    kemampuan dalam membunuh mikroorganisme in

    vitro.6 Dilaporkan bahwa tingkat absorpsi yodium

    dari Povidone iodine 1% tidak baik untuk

    penggunaan jangka panjang dalam rongga mulut,

    karena dapat menyebabkan masalah sensitivitas

    yodium.7 Adapun efek samping yang dapat timbul

    setelah pemberian Povidone iodine antara lain

    berupa sensitivitas, eritema lokal, nyeri, erosi

    mukosa, dan risiko utama yang terkait dengan

    fungsi tiroid.8

    Berbagai efek samping yang ditimbulkan dari

    pemakaian bahan kimia dalam obat kumur cukup

    banyak dan signifikan, sehingga diperlukan

    alternatif lain sebagai bahan baku pembuatan obat

    kumur dengan efek samping seminimal mungkin,

    ekonomis, dan berkhasiat. Alternatif yang

    memenuhi syarat tersebut adalah bahan dari herbal.9

    Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa

    penggunaan tanaman obat herbal relatif lebih aman

    dibandingkan obat sintesis. Pakar dari Universitas

    Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sudarsono Apt,

    menyatakan bahwa obat-obatan dari herbal terbukti

    berkhasiat. Kecenderungan peningkatan

    penggunaan herbal untuk pengobatan tidak lagi

    didasarkan atas pengalaman turun menurun tetapi

    dengan dukungan dasar ilmiah.10 Salah satu

    tanaman obat yang banyak dimanfaatkan sebagai

    obat herbal adalah mengkudu.11

    Berdasarkan hasil penelitian Sibi (2012),

    dilaporkan bahwa aktivitas antimikroba ekstrak

    mengkudu, mendukung penggunaan obat

    tradisional yang dihubungkan dengan kondisi

    mikroorganisme pada manusia dan sebagai

    dampaknya dapat melawan mikroba multi

    resisten.12 Menurut Rajarajan et al. (2009), ekstrak

    buah mengkudu matang memiliki aktivitas Minimal

    Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum

    Bactericidal Concentration (MBC) yaitu sebesar

    0,375 g/ml hingga 24 g/ml.13 Demikian pula,

    dari hasil penelitian Dharmawati (2011) diketahui

    efek ekstrak mengkudu terhadap pertumbuhan

    Streptococcus mutans in vitro, ektrak mengkudu

    konsentrasi 100% b/v (berat/volume) mempunyai

    daya hambat lebih baik dari 50% b/v.14 Namun,

    belum diketahui apakah ekstrak mengkudu 100%

    b/v mempunyai efek bakterisidal setara dengan obat

    kumur Povidone iodine 1% dalam membunuh

    pertumbuhan Streptococcus mutans, sehingga perlu

    dilakukan penelitian mengenai perbandingan efek

    bakterisidal ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia

    Liin) 100% b/v dan Povidone iodine 1% terhadap

    Streptococcus mutans in vitro.

    Berdasarkan latar belakang di atas, dapat

    diambil suatu permasalahan yaitu apakah ekstrak

    mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v

    mempunyai efek bakterisidal setara dengan

    Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans

    in vitro. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk

    membuktikan efek bakterisidal ekstrak mengkudu

    (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v setara dengan

    Povidone iodine 1% dalam membunuh

    pertumbuhan Streptococcus mutans in vitro.

    Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk

    mengukur zona hambat ekstrak mengkudu

    (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dan zona

    hambat Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus

    mutans. Hasil penelitian ini diharapkan

    memberikan bukti ilmiah tentang efek bakterisidal

    ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

    b/v setara dengan Povidone iodine 1% dalam

    membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans in

    vitro, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai

    salah satu dasar penelitian lebih lanjut untuk

    menghasilkan antiseptik oral dengan bahan herbal

    mengkudu.

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian ini adalah penelitian eksperimental

    laboratorik murni (true experimental), dengan

    rancangan post-test only design berupa rancangan

    acak lengkap yang terdiri dari 4 perlakuan, meliputi

    ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

    b/v, Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol)

    dan kontrol negatif (akuades).

    Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu

  • 3

    Masing-masing perlakuan dilakukan

    pengulangan sebanyak 7 kali pengulangan. Jumlah

    pengulangan untuk setiap kelompok perlakuan,

    didapat dari hasil perhitungan rumus Federer.

    Alat penelitian yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah neraca analitik, meja Laminary

    flow, pisau (stainless), blender, cawan petri, lampu

    bunsen, ose steril, kapas lidi steril, kertas saring,

    corong, gelas beker, gelas Erlenmeyer, tabung

    reaksi kecil, rak tabung reaksi, pipet, pinset, rotary

    evaporator, autoclave, inkubator anaerob, batang

    pengaduk kaca dan calliper. Bahan penelitian yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak

    mengkudu 100% b/v, Povidone iodine 1%,

    akuades steril, etanol 96%, aluminium foil, kapas,

    isolat Streptococcus mutans, media agar Muller

    Hinton (MHA), media Brain Heart Infusion (BHI),

    media agar darah, paper disk kosong, larutan

    standar Mc Farland I sebesar 3.108 cfu/ml.

    Cara pembuatan ekstrak mengkudu 100%

    adalah menyiapkan buah mengkudu yang matang,

    putih, transparan, dan ukuran buahnya relatif besar.

    Ekstrak mengkudu dibuat dengan metode maserasi.

    Buah mengkudu sebanyak 5 kg dicuci bersih

    kemudian ditiriskan dan dipotong-potong tipis.

    Potongan buah selanjutnya dijemur di bawah sinar

    matahari, dengan naungan kain hitam. Penjemuran

    dilakukan beberapa hari, sampai potongan buah

    benarbenar kering, mudah dipatahkan dengan

    tangan. Potongan buah yang sudah kering,

    berbentuk kepingan, dipisahkan antara daging buah

    dengan bijinya. Daging buah yang sudah kering

    selanjutnya dibuat serbuk (simplisia) dengan cara

    dihancurkan dengan blender, simplisia yang

    dihasilkan 325 gram. Simplisia siap dimaserasi

    dengan merendam ke dalam pelarut etanol 96%

    sampai terendam seluruhnya selama 24 jam,

    kemudian disaring dengan kertas penyaring. Residu

    kembali dimaserasi lagi dengan cara yang sama,

    sampai tiga kali. Ekstrak atau filtrat hasil maserasi

    ditampung menjadi satu dan diuapkan untuk

    memisahkan pelarutnya. Penguapan dilakukan

    dengan menggunakan alat rotary evaporator pada

    suhu 45-50oC, sampai pelarut habis menguap,

    sehingga didapatkan ekstrak kental buah

    mengkudu. Ekstrak kental buah mengkudu dibuat

    konsentrasi 100% b/v dengan menggunakan etanol.

    Konsentrasi 100% b/v dibuat dengan memasukkan

    100 gram ekstrak mengkudu dalam tabung

    ditambahkan etanol sampai volume 100 ml.

    Tahapan prosedur selanjutnya adalah

    sterilisasi alat. Alat-alat yang diperlukan dicuci

    bersih kemudian dikeringkan dan disterilisasikan

    dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.

    Melakukan persiapan bakteri dengan menggoreskan

    Streptococcus mutans pada media agar darah

    kemudian didiamkan dalam inkubator 37oC selama

    24 jam.

    Setelah diinkubasi, dideteksi Streptococcus

    mutans akan berupa koloni bulat kecil dan

    berdiameter 1-2 m. Koloni bakteri hasil

    pertumbuhan selama 24 jam disuspensikan ke

    dalam 0,5 ml BHI cair dan dilakukan inkubasi

    selama 5-8 jam pada suhu 37oC. Dilakukan

    penambahan akuades steril pada suspensi bakteri

    pada BHI, sehingga kekeruhan sesuai standar

    konsentrasi bakteri Mc Farland I sebesar 3x108

    cfu/ml. Setelah itu dilakukan Persiapan larutan

    Povidone iodine. Larutan Povidone iodine 1% yang

    digunakan adalah obat kumur merek Betadine

    konsentrasi 1% dan diambil dengan menggunakan

    pipet sebanyak 1cc.

    Uji efek bakterisidal ekstrak mengkudu

    (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v dilakukan

    dengan mengambil suspensi bakteri yang telah

    distandarkan dengan Mc Farland I sebesar 3x108

    cfu/ml dengan kapas lidi steril dan dioleskan pada

    media agar Muller Hinton. Kemudian meletakkan

    paper disk (kertas samir) yang telah direndam

    ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100%

    b/v selama 3 jam sebagai perlakuan 1, meletakkan

    paper disk yang telah direndam Povidone iodine

    1% selama 3 jam sebagai perlakuan 2, meletakkan

    paper disk yang telah direndam etanol selama 3 jam

    sebagai perlakuan 3 (kontrol positif) dan

    meletakkan paper disk yang telah direndam

    akuades selama 3 jam sebagai perlakuan 4 (kontrol

    negatif).

    Proses selanjutnya, diinkubasi pada suhu 37oC

    selama 24 jam. Pengujian efek bakterisidal

    dilakukan dengan pengamatan yang dilakukan

    setelah pengeraman 24 jam. Pengamatan efek

    bakterisidal dilakukan dengan mengukur diameter

    zona hambat di sekitar paper disk. Zona hambat

    yang terbentuk diukur dengan calliper (mm).

    HASIL PENELITIAN

    Penelitian dengan judul Perbandingan Efek

    Bakterisidal Ekstrak Mengkudu (Morinda citrifolia

    Liin) 100% dan Povidone iodine 1% terhadap

    Streptococcus mutans in vitro telah dilakukan

    dengan menggunakan 4 perlakuan, yaitu ekstrak

    mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v,

    Povidone iodine 1%, kontrol positif (etanol), dan

    kontrol negatif (akuades).

    Masing-masing perlakuan diuji secara difusi,

    menggunakan paper disk dan dilakukan dalam 7

    kali pengulangan. Hasil pengukuran zona hambat

    dari masing-masing perlakuan terhadap

    Streptococcus mutans dapat dilihat pada Gambar 1.

    Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6

  • 4

    Gambar 1. Zona Hambat (mm) dari

    Setiap Perlakuan

    Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat

    variasi zona hambat yang terbentuk dari masing-

    masing kelompok perlakuan. Perlakuan ekstrak

    mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% b/v

    memperlihatkan rata-rata zona hambat sebesar

    13,71 mm dan Povidone iodine 1% sebesar 9,71

    mm. Kontrol positif (etanol) memiliki rata-rata

    zona hambat sebesar 4,85 mm dan kontrol negatif

    (akuades) sebesar 0 mm.

    Masing-masing perlakuan dilakukan uji

    normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah data kurang

    dari 50 buah, untuk mengetahui sebaran data

    penelitian pada tingkat kepercayaan 95% (p >

    0,05). Hasil uji normalitas memperlihatkan sebaran

    data yang normal, yaitu nilai signifikasi (p) pada

    kelompok perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda

    citrifolia Liin) 100% b/v adalah 0,064 dan Povidone

    iodine 1% adalah 0,099. Sedangkan nilai signifikasi

    (p) kontrol positif (etanol) adalah 0,099 dan kontrol

    negatif (akuades) adalah konstan. Data penelitian

    selanjutnya diuji homogenitas data menggunakan

    uji varians Levenes test ( = 0,05). Hasil uji

    homogenitas menunjukkan varians data yang tidak

    homogen dengan nilai signifikasi sebesar 0,003

    (Sig. < 0,05), sehingga perlu dilakukan transformasi

    data. Hasil transformasi data menunjukkan varians

    data homogen dengan nilai signifikasi sebesar

    0,249 (Sig. > 0,05).

    Masing-masing perlakuan dilakukan uji One

    Way ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% ( =

    0,05) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan

    penyebaran data. Syarat digunakannya uji One Way

    ANOVA adalah data yang terdistribusi normal dan

    homogen.30 Hasil uji One Way ANOVA didapatkan

    nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang berarti terdapat

    perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan.

    PEMBAHASAN

    Ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin)

    100% b/v memiliki efek bakterisidal terhadap

    Streptococcus mutans dengan rata-rata zona hambat

    sebesar 13,71 mm, sedangkan Povidone iodine 1%

    sebesar 9,71 mm. Zona hambat pada ekstrak

    mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih

    tinggi dibandingkan Povidone iodine 1% secara

    signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak

    mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% lebih

    baik dibandingkan Povidone iodine 1% dalam

    membunuh pertumbuhan Streptococcus mutans.

    Perlakuan Povidone iodine 1% memberikan

    efek rata-rata zona hambat sebesar 9,71 mm

    terhadap Streptococcus mutans. Hal ini dapat

    membuktikan bahwa Povidone iodine 1% sebagai

    obat kumur mempunyai sifat bakterisidal terhadap

    Streptococcus mutans sebagai salah satu bakteri

    utama penyebab karies gigi. Povidone iodine dalam

    kedokteran gigi biasanya digunakan sebagai obat

    kumur yang mampu mengurangi jumlah

    mikroorganisme di dalam rongga mulut. Cara kerja

    Povidone iodine terkait dengan kandungan iodine

    yang mampu dengan cepat berkontak langsung

    terhadap permukaan sel bakteri yang

    mengakibatkan hilangnya materi sitoplasmik dan

    deaktivasi enzim sehingga terjadi kerusakan

    struktur dan fungsi sel bakteri.27 Povidone iodine

    bereaksi kuat dengan ikatan rangkap dari asam

    lemak tak jenuh dalam dinding sel bakteri dan

    membran organel bakteri yang menyebabkan

    pembentukan pori permanen dan lisisnya sel

    bakteri.24

    Perlakuan ekstrak mengkudu (Morinda

    citrifolia Liin) 100% b/v dalam penelitian ini

    menunjukkan efek bakterisidal terhadap

    Streptococcus mutans dengan menghasilkan rata-

    rata zona hambat sebesar 13,71 mm. Hasil

    penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian

    terdahulu yang dilakukan oleh Dharmawati (2011),

    yaitu ekstrak mengkudu (Morinda citrifolia Liin)

    100% memiliki daya hambat kuat terhadap

    pertumbuhan Streptococcus mutans.14

    Mengkudu dikenal sebagai anti bakteri, anti

    virus, anti jamur, anti tumor, anti inflamasi,

    anthelmintic, memiliki efek anti TBC, analgesik,

    hipotensif, dan aktivitas imunologinya dapat

    meningkatkan kekebalan tubuh.16 Beberapa jenis

    senyawa fitokimia dalam buah mengkudu adalah

    acubin, alizarin, antraquinon. xeronine,

    proxeronine, saponin, minyak atsiri, dan alkaloid.

    Acubin, alizarin, dan antrakuinon terbukti

    mempunyai aktivitas anti bakteri terhadap P.

    aeruginosa, Proteus morgaii, Straphylococcus

    aerus, Bacillus subtilis, E. Coli, Salmonella, dan

    Shigela.15 Mengkudu terdiri dari berbagai zat

    nutrisi seperti protein, vitamin, dan mineral penting.

    Salah satunya adalah selenium yang memiliki efek

    anti oksidan. Kandungan lainnya, terpenoid

    13,71

    9,71

    4,85 0

    Zona Hambat (mm) dari Setiap

    Perlakuan

    Ekstrak

    Mengkudu 100%

    Povidone iodine

    1%

    Kontrol (+)

    Kontrol (-)

    Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu

  • 5

    berguna untuk membantu proses sintesis organik

    dan pemulihan sel-sel tubuh. Asam Karbonat

    merupakan sumber vitamin C dan anti oksidan, juga

    berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap

    mikroorganisme. Mengkudu juga mengandung

    scolopetin yang efektif sebagai unsur anti

    peradangan dan anti alergi.14,15,31

    Mengkudu mengandung senyawa fenolik,

    yaitu tannin dan flavonoid yang merupakan anti

    oksidan primer. Mekanisme tannin sebagai anti

    bakteri belum diketahui secara pasti, tapi

    diperkirakan berkaitan dengan kemampuannya

    menghentikan sintesis glukan oleh Streptococcus

    mutans.32 Ferrazano et al (2011), melaporkan

    bahwa anti bakteri tannin berinteraksi secara

    langsung dengan membran protein bakteri sehingga

    menghambat perlekatan sel bakteri pada permukaan

    gigi dan menghambat kerja enzim

    glukosiltranferase dan amilase yang dihasilkan oleh

    Streptococcus mutans.33 Berdasarkan penelitian

    Dewi (2010), dilaporkan bahwa aktivitas antibakteri

    flavonoid pada buah mengkudu cenderung lebih

    aktif membunuh bakteri Gram positif, seperti

    Streptococcus mutans. Kandungan senyawa aktif

    flavonoid pada ekstrak mengkudu bersifat polar

    sehingga lebih mudah menembus lapisan

    peptidoglikan yang juga bersifat polar pada bakteri

    Gram positif.18 Dinding sel bakteri Gram positif

    mengandung polisakarida (asam terikoat)

    merupakan polimer yang larut dalam air berfungsi

    sebagai transfor ion positif. Sifat larut inilah yang

    menunjukkan bahwa dinding sel bakteri Gram

    positif bersifat lebih polar. Mekanisme kerja

    flavonoid sebagai bakterisidal terhadap

    pertumbuhan Streptococcus mutans yaitu

    mengganggu fungsi dinding sel sebagai pelindung

    dari lisis osmotik sehingga berakibat pada kematian

    sel bakteri.18

    Adapun keterbatasan penelitian ini, yaitu

    peneliti hanya menggunakan ekstrak mengkudu

    (Morinda citrifolia Liin) 100% dan belum

    mengetahui konsentrasi optimum ekstrak

    mengkudu (Morinda citrifolia Liin) yang paling

    efektif membunuh Streptococcus mutans

    dibandingkan dengan Povidone iodine 1%. Peneliti

    menggunakan metode ekstraksi maserasi dengan

    pelarut etanol untuk menyaring zat aktif dari buah

    mengkudu dan belum mengetahui metode ektraksi

    lain yang dapat digunakan. Penelitian ini dilakukan

    secara in vitro, sehingga peneliti belum mengetahui

    efek samping dari penggunaan antiseptik oral

    dengan bahan herbal ekstrak mengkudu (Morinda

    citrifolia Liin) 100% terhadap rongga mulut.

    Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

    dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak mengkudu

    (Morinda citrifolia Liin) 100% memiliki efek

    bakterisidal yang lebih tinggi dibandingkan

    Povidone iodine 1% terhadap Streptococcus mutans

    secara in vitro.

    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

    mengetahui efek bakterisidal ekstrak mengkudu

    (Morinda citrifolia Liin) pada konsentrasi lain

    terhadap Streptococcus mutans dibandingkan

    dengan Povidone iodine 1%. Penelitian selanjutnya

    juga dapat diarahkan untuk mengetahui metode

    ekstraksi lain yang lebih sederhana dan dapat

    menyaring lebih banyak komponen zat aktif dari

    buah mengkudu untuk membunuh pertumbuhan

    Streptococcus mutans. Perlu dilakukan penelitian

    mengenai efek samping dari penggunaan ekstrak

    mengkudu (Morinda citrifolia Liin) 100% terhadap

    rongga mulut.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia. Riset

    kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan

    Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

    Republik Indonesia; 2008. p. 142.

    2. Imaculata R, Tedjosasongko U, Cornelia S. Pemberian minyak wijen (Sesamum

    indicum, L) terhadap Streptococcus mutans

    (in vitro). Indonesian Pediatric Dental

    Journal 2010; 2(3): 2.

    3. Dharsono VA, Mooduto L, Prasetyo EP. Perbedaan jumlah koloni Streptococcus

    mutans pada saliva penderita pria dan wanita

    dengan karies tinggi. Conservative Dentistry

    Journal 2013; 3(1): 2.

    4. Sumono A, Wulan A. Kemampuan air rebusan daun salam (Eugenia polyantha W)

    dalam menurunkan jumlah koloni bakteri

    Streptococcus sp. Majalah Farmasi

    Indonesia 2009; 20(3): 112-113.

    5. Primalia DR, Yuliati A, Soebagio. Perlekatan Streptococcus mutans pada

    semen hibrid ionomer setelah direndam

    dalam larutan antiseptik. Material Dental

    Journal 2009; 1(1): 1.

    6. Apriasari ML. Uji bakteriosid ekstrak daun sirih 35% terhadap Streptococcus viridans

    pada stomatitis aftosa rekuren dan patch test

    dengan ekstrak daun sirih 35%. Karya Tulis

    Akhir. Surabaya: Program Pendidikan

    Dokter Gigi Spesialis Bidang Studi Ilmu

    Penyakit Mulut Universitas Airlangga; 2010.

    p. 15.

    7. Kumar S, Babu R, Reddy J, Uttam. Povidone iodinerevisited. Indian Journal of

    Dental Advancements 2011; 3(3): 617-619.

    8. Andini AR. Pengaruh pemberian Povidone iodine 1% sebagai oral hygiene terhadap

    jumlah bakteri orofaring pada penderita

    dengan ventilator mekanik. Jurnal Media

    Medika Muda 2012; 1(1): 13-14.

    9. Victor BC, Indrawati R, Sidarningsih. Perbedaan daya hambat obat kumur ekstrak

    teh hijau (Camellia sinensis) dan metil

    Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 1- 6

    http://dentj.fkg.unair.ac.id/article_departmen19.htmlhttp://dentj.fkg.unair.ac.id/article_departmen19.html

  • 6

    salisilat terhadap pertumbuhan bakteri

    rongga mulut. Oral Biology Dental Journal

    2011; 3(2): 1.

    10. Harsini W. Penggunaan herbal di bidang kedokteran gigi. Majalah Kedokteran Gigi

    2008; 15(1): 61.

    11. Purbaya RJ. Mengenal dan memanfaatkan khasiat buah mengkudu. Bandung: Penerbit

    Pionir Jaya; 2002. p. 19-22, 40.

    12. Sibi G, Chatly P, Adhikari S, Ravikumar KR. Phytoconstituents and their influence on

    antimicrobial properties of Morinda

    citrifolia L. Research Journal of Medicinal

    Plant 2012; 6(6): 445.

    13. Rajarajan S, John NK, Shanthi S. In vitro bacterisidal activities of extracts from ripe

    and unripe fruit of noni. P.G & Research

    Department of Microbiology &

    Biotechnology 2009; 1(1): 4.

    14. Dharmawati IGA. Efek ekstrak mengkudu menghambat pertumbuhan Sreptococcus

    mutans penyebab dental plak secara in vitro.

    Tesis. Denpasar: Program Studi Ilmu

    Biomedik Universitas UDAYANA; 2011. p.

    12-16, 23-27, 38, 42-47.

    15. Singh DR. Morinda citrifolia L. (Noni) a review of the scientific validation for its

    nutritional and therapeutic properties.

    Journal of Diabetes and Endocrinology

    2012; 3(6): 77-79.

    16. Nagalingam S, Sasikumar CS, Cherian KM. Extraction and preliminary phytochemical

    screening of active compounds in Morinda

    citrifolia fruit. Asian Journal of

    Pharmaceutical and Clinical Research 2012;

    5(2): 179.

    17. Soenanto H. 100 resep sembuhkan hipertensi, asam urat, dan obesitas. Jakarta:

    Penerbit PT. Alex Media Komputindo

    Kelompok Gramedia; 2009. p. 82.

    18. Dewi FK. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda citrifolia,

    L) terhadap bakteri pembusuk daging segar.

    Skripsi. Surakarta: Fakultas Matematika dan

    Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas

    Maret; 2010. p. 26.

    19. Harvey RA, Champe PC, Fisher BD. Microbiology. 2nd Ed. Philadelphia:

    Lippincott's Illustrated Reviews; 2007. p. 79.

    20. Deng DM, Urch JE, ten Cate JM, Rao VA, van Aalten DM, Crielaard W. Streptococcus

    mutans SMU.623c codes for a functional,

    metal-dependent polysaccharide deacetylase

    that modulates interactions with salivary

    agglutinin. American Society for

    Microbiology 2009; 191(1): 394.

    21. Lueckel HM, Paris S, Ekstrand KR. Caries management science and clinical practice.

    New York: Thieme Medical Publishers;

    2013. p. 32.

    22. Putri MH, Herijulianti E, Nurjannah N. Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan

    jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC;

    2010. p. 74.

    23. Farah CS, Mclntosh L, McCullough MJ. Mouthwash. Australian Prescriber 2009;

    32(6): 163.

    24. Bathla S. Periodontics revisited. Jaypee Brothers. New Delhi: Medical Publishers;

    2011. p. 284.

    25. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Jakarta: EGC; 1996. p. 859.

    26. Pratiwi, ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. p. 188.

    27. Sibbald RG, Leaoer DJ, Queen D. Iodine made easy. Wounds International 2011;

    2(2): 1-6.

    28. Astawan M, Kasih AL. Khasiat warna-warni makanan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia

    Pustaka Utama; 2008. p. 31.

    29. Yunianita D, Carabelly AN, Apriasari ML. Perbandingan efek bakterisidal jus stroberi

    (Fragaria x ananassa) 50% dan Povidone

    iodine 1% terhadap Streptococcus mutans in

    vitro. Dentino Jurnal Kedokteran Gigi 2013;

    I(1): 40.

    30. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba

    Medika; 2012. p. 89.

    31. Sholehah DN. Pengukuran kandungan skopoletin pada beberapa tingkat

    kematangan buah mengkudu (Morinda

    citrifolia Liin) dengan metode KLT

    densitometri. Agrovigor 2010; 3(1): 4.

    32. Goyal D, Sharma S, Mahmood A. Inhibition of dextransucrase activity in Streptococcus

    mutans by plant phenolics. Indian Journal of

    Biochemistry and Biophysics 2013; 50(1):

    53.

    33. Ferrazano GF, Amato I, Ingenito A, Zarrelli A, Pinto G, and Pollio A. Plant polyphenols

    and their anti cariogenic properties : A

    Review. Multidisciplinary Digital Publishing

    Institude 2011; 16: 1486.

    Rifdayani : Perbandingan Efek Bakterisidal Ekstrak Mengkudu

    http://dentj.fkg.unair.ac.id/article_departmen4.html

  • 8

    DENTINO

    JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

    GAMBARAN KLINIS KELAINAN MUKOSA RONGGA MULUT PADA LANSIA DI

    PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU

    Ayu Asih P, Maharani L. Apriasari, Siti Kaidah

    Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Indonesia

    ABSTRACT

    Background: The aging process decreased function of organs and other physical changes. One of the

    changes that occur in the elderly as a result of the decline in organ function and decreased cell function is a

    change in the oral mucosa such as the mucosa looks slick shiny (no stipling on the gingiva), pale, dry, easily

    irritated, bleeding and swelling. Purpose: The purpose of this study was to determine the clinical features of

    oral mucosal abnormalities in the elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru.

    Methods: This study was descriptive observational with descriptive analysis. Samples were taken by using

    purposive sampling technique as many as 56 elderly. The data were obtained by direct interview and clinical

    examination using a dental mirror. Results: The results showed that the clinical features of oral mucosal

    abnormalities were found fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual

    varikositis, angular chelitis, and denture hyperplasia. The most commonly clinical features of oral mucosal

    abnormalities were fissured tongue (51.78%) and coated tongue (48.21%). Conclusion: Based on the research

    conducted, it was concluded that the clinical features of oral mucosal abnormalities most commonly found in the

    elderly in Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home Banjarbaru was fissured tongue.

    Key words: clinical features of mucosal abnormalities, elderly, Tresna Werdha Budi Sejahtera Nursing Home

    Banjarbaru

    ABSTRAK

    Latar belakang : Pada proses penuaan terjadi penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai perubahan

    fisik lainnya. Salah satu perubahan yang terjadi pada lansia akibat dari penurunan fungsi organ tubuh dan

    penurunan fungsi sel adalah perubahan pada rongga mulut seperti mukosa tampak licin mengkilap (tidak ada

    stipling pada gingiva), pucat, kering, mudah mengalami iritasi, perdarahan dan pembengkakan. Tujuan:

    Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti

    Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

    observasional. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling sebanyak 56 lansia. Data

    diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan kaca

    mulut. Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran

    klinis kelainan mukosa rongga mulut yang ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

    Sejahtera Banjarbaru adalah fissured tongue, coated tongue, xerostomia, geographic tongue, sublingual

    varikositis, angular chelitis, and denture hiperplasia. Gambaran klinis kelainan mukosa rongga mulut yang

    paling banyak ditemukan adalah fissured tongue (51,78%) dan coated tongue (48,21%). Kesimpulan:

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran klinis kelainan mukosa

    rongga mulut yang paling banyak ditemukan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

    Banjarbaru adalah fissured tongue.

    Kata kunci: gambaran klinis kelainan mukosa, lansia, Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru

    Korespondensi : Ayu Asih P., Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

    Mangkurat. Jalan Veteran Banjarmasinn 128 B Kalsel, [email protected]

    Laporan Penelitian

    7

    mailto:[email protected]

  • 8

    PENDAHULUAN

    Keberhasilan pembangunan di bidang

    kesehatan telah meningkatkan kualitas kesehatan

    masyarakat dan usia harapan hidup. Kondisi

    demikian memungkinkan penduduk untuk

    menikmati usia lebih panjang.1 Indonesia adalah

    salah satu negara berkembang yang berhasil dalam

    pembangunan khususnya pembangunan bidang

    kependudukan, keluarga berencana dan kesehatan.

    Salah satu yang menonjol adalah semakin

    meningkatnya usia harapan hidup penduduk

    Indonesia.2

    Jumlah lansia pada tahun 1970 diperkirakan

    hanya sekitar 2 juta, sedangkan pada tahun 1990

    telah mengalami peningkatan hampir 6 kali lipat

    atau berkisar 11,3 juta dari jumlah penduduk yang

    ada. Tahun 2000 jumlah lansia mengalami

    peningkat lagi menjadi 15,3 juta, dan pada tahun

    2010 yang lalu jumlah lansia diperkirakan telah

    sama dengan jumlah anak balita, yaitu sekitar 24

    juta atau hampir 10 persen dari seluruh jumlah

    penduduk Indonesia. Menurut perkiraan badan

    kesehatan dunia WHO, tahun 2020 jumlah

    penduduk lansia di Indonesia akan mengalami

    kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun

    tersebut jumlah lansia di Indonesia diperkirakan

    mencapai 11,34 persen dari jumlah pendudukan

    yang ada, atau sekitar 28,8 juta (2). Populasi lansia

    di Provinsi Kalimantan Selatan seluruhnya

    mencapai 53.880 orang tersebar di 13

    kabupaten/kota.3

    Bersamaan dengan bertambahnya usia terjadi

    pula penurunan fungsi organ tubuh dan berbagai

    perubahan fisik. Penurunan ini terjadi pada semua

    tingkat seluler, organ, dan sistem. Hal ini

    mengakibatkan terjadinya peningkatan kejadian

    penyakit pada lansia, baik akut maupun kronik.

    Meningkatnya gangguan penyakit pada lansia dapat

    menyebabkan perubahan pada kualitas hidup.4

    Penelitian yang dilakukan oleh Mozafari, dkk

    terhadap 237 lansia di Mashhad Iran menemukan

    bahwa pada 98% lansia memiliki satu lesi mukosa,

    yang paling umum terjadi adalah fissured tongue

    66,5%, atrophic glossitis 48,8%, sublingual

    varicosity 42% dan xerostomia 38%. Xerostomia

    lebih banyak mengenai usia 70-79 tahun di

    bandingkan usia 60-69 tahun.5 Penelitian Mayvira S

    terhadap 100 lansia di Medan menunjukan seluruh

    lansia mengalami lesi-lesi mukosa mulut. Lesi

    mukosa mulut yang terbanyak ditemukan pada

    lansia adalah pigmentasi sebesar 77%, sublingual

    varikositis 76%, coated tongue 69%, fissured

    tongue 55%, keratosis 17%, granula fordyce 14%,

    atropi papila lidah 10 %, traumatic ulcer 7 %,

    angular cheilitis 4 %, stomatitis 4 %, median

    rhomboid glossitis 1 %, black hairy tongue 1 % dan

    fibroma 1 %.6

    Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

    adalah panti sosial untuk lansia yang berada di

    bawah naungan pemerintah Provinsi Kalimantan

    Selatan. Sampai saat ini belum ada penelitian

    tentang kelainan mukosa rongga mulut pada lansia

    di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

    Banjarbaru. Berdasarkan survei lapangan, seminggu

    sekali para lansia di Panti Sosial Tresna Werdha

    Budi Sejahtera Banjarbaru hanya diperiksa

    kesehatannya saja bukan kesehatan mulut, sehingga

    perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui

    kelainan mukosa rongga mulut pada lansia di Panti

    Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.

    Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk

    mengetahui gambaran klinis kelainan mukosa

    rongga mulut pada lansia di Panti Sosial Tresna

    Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.

    BAHAN DAN METODE

    Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif

    observasional yang diperoleh dari anamnesa dan

    pemeriksaan klinis pada rongga mulut lansia.

    Populasi pada penelitian ini adalah semua lansia

    yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

    Sejahtera Banjarbaru. Sampel pada penelitian ini

    diambil dengan purposive sampling. Sampel adalah

    populasi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi

    Sejahtera Banjarbaru yang memenuhi kriteria

    inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi : Usia ( 60

    tahun), bersedia menandatangani informed consent,

    sehat berdasarkan anamnesis. Kriteria eksklusi :

    Lansia yang tidak kooperatif, mengalami kesulitan

    dalam membuka mulut, hanya bisa berbaring

    ditempat tidur.

    Variabel yang diteliti pada penelitian ini

    adalah kelainan mukosa rongga mulut pada lansia.

    Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna

    Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Peneliti datang

    ke Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera

    Banjarbaru dan memberikan penjelasan tentang

    manfaat dan prosedur penelitian yang akan

    dilakukan. Peneliti memberikan lembar persetujuan

    (informed consent) sebagai tanda persetujuan

    menjadi subyek penelitian. Kemudian dilakukan

    anamnesa dan pemeriksaan klinis pada rongga

    mulut lansia dengan menggunakan kaca mulut.

    Kelainan mukosa rongga yang ditemukan di catat di

    formulir penilaian. Data yang sudah terkumpul

    kemudian ditabulasi dan analisis data dilakukan

    dengan cara perhitungan persentase setiap lesi-lesi

    mukosa mulut yang terlihat pada lansia.

    HASIL PENELITIAN

    Hasil penelitian gambaran klinis kelainan

    mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial

    Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru, pada

    bulan Juni dan Juli 2013. Diperoleh subjek

    penelitian sebanyak 56 orang lansia, berdasarkan

    jenis kelamin, subjek penelitian yang berjenis

    Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia

  • 9

    kelamin laki-laki berjumlah 24 orang dan

    perempuan berjumlah 32 orang.

    Kelompok usia berdasarkan WHO adalah

    lansia (elderly) berjumlah 38 orang yaitu 20 orang

    laki-laki dan 18 orang perempuan, kelompok usia

    tua (old) 15 orang, 4 orang laki-laki dan 11 orang

    perempuan, sedangkan untuk kelompok usia sangat

    tua (very old) berjumlah 3 orang semuanya

    perempuan.

    Pada penelitian ini, didapatkan dari 56 orang

    lansia yang diperiksa 47 orang diantaranya

    (83,92%) memiliki kelainan mukosa rongga mulut.

    Kelainan mukosa rongga mulut pada lansia yang

    terbanyak terjadi pada lidah, yaitu fissured tongue

    dialami 29 orang (51,78%), diikuti coated tongue

    dialami 27 orang (48,21%) dan yang paling sedikit

    ditemukan kelainan mukosa rongga mulut pada

    lansia adalah denture hyperplasia dialami 1 orang

    (1,78%).

    Gambar 1. Gambaran klinis fissured tongue

    Gambar 2. Gambaran klinis coated tongue

    Gambar 3. Diagram gambaran klinis kelainan

    mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial

    Tresna Werda Budi Sejahtera Banjarbaru

    PEMBAHASAN

    Seiring dengan menurunnya fungsi sistem

    imun terjadi peningkatan respon autoimun tubuh.7

    Berat dan ukuran kelenjar timus mengalami

    penurunan dengan bertambahnya usia, seperti

    halnya kemampuan diferensiasi sel T. Hilangnya

    proses diferensiasi sel T menyebabkan tubuh salah

    mengenali sel yang tua dan tidak beraturan sebagai

    benda asing sehingga tubuh menyerang sel tersebut.

    Penuaan menyebabkan sel limfosit T kurang

    merespon terhadap adanya antigen sehingga jumlah

    sel limfosit sitotoksik yang melawan suatu infeksi

    lebih sedikit.8,9

    Pertahanan tubuh pada lansia terhadap

    organisme asing akan mengalami penurunan,

    seiring dengan bertambahnya usia baik dari fungsi

    organ tubuh maupun dari perubahan fisik. Hal

    tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan

    kejadian penyakit yang dapat menyertai lansia.

    Penyakit sistemik ini dapat menjadi salah satu

    faktor predisposisi timbulnya kelainan mukosa

    rongga mulut. 4,7

    Mukosa mulut manusia dilapisi oleh sel epitel

    yang memiliki fungsi utama sebagai barier terhadap

    pengaruh-pengaruh lingkungan baik dalam maupun

    luar mulut. Saliva pada orang tua mengandung total

    protein dalam jumlah lebih sedikit dan protein

    kualitatif serta elektrolit yang berbeda, dengan pH

    dan kemampuan serta bufer yang lebih kecil

    dibandingkan orang yang lebih muda. Pertambahan

    usia menyebabkan sel epitel pada mukosa mulut

    mulai mengalami penipisan, berkurangnya

    keratinasi, berkurangnya kapiler dan suplai darah

    serta penebalan serabut kolagen pada lamina

    propia. Hal ini dapat menyebabkan perubahan

    secara klinis pada mukosa dan dapat menyebabkan

    29 27

    63 3 3 1

    05

    101520253035

    Ju

    mla

    h

    Kelainan Mukosa Rongga Mulut

    Dentino (Jur.Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12

  • 10

    penurunan senstivitas mukosa rongga mulut

    terhadap iritasi.10

    Menurut Cebeci, dkk prevalensi kelainan

    mukosa rongga mulut lebih banyak ditemukan pada

    lansia dibandingkan dengan orang yang lebih muda,

    meskipun usia bukan merupakan faktor utama

    penyebab terjadinya kelainan mukosa rongga

    mulut.12 Adanya kebiasan seperti merokok, dan

    menyirih juga dapat berpengaruh dalam timbulnya

    kelainan mukosa rongga mulut. Kebiasaan merokok

    yang sering dilakukan lansia dimasa lalunya dapat

    mempengaruhi fungsi aliran saliva sehingga

    menyebabkan xerostomia, hal ini terjadi karena

    interaksi antara asap rokok dan aliran saliva

    sehingga aliran saliva menjadi berkurang.13

    Kelainan mukosa rongga mulut yang

    terbanyak ditemukan adalah fissured tongue

    (51,78%) dan coated tongue (48,21%). Jumlah

    kelainan mukosa rongga mulut yang banyak

    ditemukan pada lansia berjumlah 1 kelainan

    mukosa rongga mulut, ditemukan pada 27 orang

    lansia atau (48,21%). Hasil penelitian ini berbeda

    bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang

    dilakukan oleh Mayvira S di Medan yang

    menemukan bahwa dari 100 orang lansia yang

    diperiksa seluruhnya menunjukan adanya kelainan

    mukosa rongga mulut, dan kelainan mukosa

    rongga mulut yang paling banyak dijumpai pada

    lansia adalah pigmentasi sebesar 77% dan

    sublingual varikositis sebesar 76%.6 Diduga

    perbedaan ini karena kebiasaan dari lansia di panti

    jompo tersebut yang memiliki kebiasaan merokok

    cukup tinggi yang dapat menyebabkan persentase

    pigmentasi jauh lebih tinggi.

    Penyebab banyaknya fissured tongue yang di

    alami oleh lansia selain di duga dikarenakan

    pertambahnya usia, termasuk juga adanya faktor

    hiposalivasi, diabetes melitus, kandidiasis dan

    kekurangan vitamin B, yang dapat berkontribusi

    dalam perkembangan fissured tongue. Fissured

    tongue umumnya terjadi pada penderita sindrom

    down, acromegaly, psoriasis, sindrom sjgren dan

    sindrom Melkersson - Rosenthal yang ditandai oleh

    fissuring parah, edema orofacial dan kelumpuhan

    saraf wajah. Sebagian besar penderita fissured

    tongue tidak mengalami gejala, namun gejala

    seperti nyeri saat makan asam dan minum dapat

    terjadi jika celah fissured dalam. Celah tersebut

    dapat berperan sebagai tempat penumpukan partikel

    makanan dan bakteri yang dapat menyebabkan

    peradangan di lidah.15,16

    Lokasi kelainan mukosa rongga mulut yang

    terbanyak dijumpai adanya kelainan pada penelitian

    ini adalah di lidah sebesar 78,57%. Hasil ini sama

    seperti penelitian yang dilakukan oleh Mayvira S di

    Medan yang menemukan bahwa lokasi terbanyak

    dari kelainan mukosa rongga mulut adalah pada

    lidah.6 Pada dasarnya lidah adalah organ kompleks,

    otot yang ditutupi oleh epitel dan melakukan

    banyak fungsi seperti berbicara, menelan,

    menyusui, persepsi sensasi rasa, termasuk

    perubahan termal, rangsangan rasa sakit, serta

    membantu dalam perkembangan rahang.16

    Kelainan pada lidah memiliki proporsi yang

    cukup besar dari kelainan mukosa yang lain.

    Penelitian epidemiologi telah menunjukkan tingkat

    prevalensi yang bervariasi di berbagai belahan

    dunia. Diduga perbedaan dalam tingkat prevalensi

    berhubungan dengan etnis atau faktor ras,

    kebiasaan merokok dan perbedaan gender antara

    populasi yang diteliti, di samping status kesehatan

    umum dan kriteria diagnostik yang digunakan di

    setiap penelitian. Lesi pada lidah dilaporkkan lebih

    umum terjadi pada orang yang memiliki penyakit

    hematologis, diabetes mellitus, dermatologis dan

    beberapa penyakit gastrointestinal.16,17

    Berdasarkan penelitian ini didapat bahwa

    perempuan lebih banyak memiliki jumlah kelainan

    mukosa rongga mulut dibandingkan dengan laki-

    laki, dan jenis kelainan mukosa rongga mulut yang

    banyak dialami oleh perempuan adalah fissured

    tongue. Hasil penelitian ini serupa dengan hasil

    yang diperoleh Cebeci et al yang menyatakan

    bahwa fissured tongue lebih banyak dialami oleh

    perempuan dibandingkan laki-laki.12 Dari berbagai

    penelitian ada yang menyebutkan bahwa fissured

    tongue banyak di alami oleh laki-laki dan ada juga

    yang menyebutkan bahwa perempuan lebih banyak

    mengalami kelainan tersebut. Contohnya penelitian

    yang dilakukan oleh Jainkittivong tentang lesi pada

    lidah yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih

    banyak mengalami fissured tongue dan kelainan

    lidah lain nya di bandingkan perempuan, sedangkan

    penelitian yang dilakukan oleh Al Mobeeriek dan

    Aldosari menemukan bahwa fissured tongue lebih

    banyak pada wanita. Sebenarnya untuk kasus

    fissured tongue tidak ada perbedaan jenis kelamin

    yang signifikan, untuk kemungkinan terjadi

    kelainan tersebut.18,19,20

    Kasus keganasan tidak dijumpai dalam

    penelitian ini, karena penelitian ini hanya dilakukan

    dengan menggunakan pemeriksaan klinis saja.

    Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

    Cebeci dan Mujica yang menemukan lesi-lesi

    keganasan seperti squamous sel karsinoma,

    adenokarsinoma dan leukoplakia dengan prevalensi

    yang cukup rendah.12,14 Hasil penelitian ini juga

    menemukan bahwa pada 9 orang lansia atau

    (16,07%) tidak ditemukan adanya kelainan mukosa

    rongga mulut. Hal ini disebabkan karena penuaan

    bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab

    terjadinya kelainan mukosa rongga mulut, tetapi

    ada faktor lain yang dapat mempengaruhi

    timbulnya kelainan mukosa rongga mulut seperti

    trauma, efek obat, kebersihan rongga mulut,

    budaya, sosial ekonomi, dan tingkat pengetahuan.14

    Fissured tongue adalah suatu keadaan variasi

    dari anatomi lidah normal yang terdiri atas fisura

    garis tengah, fisura ganda atau multiple pada

    permukaan lidah yang membujur dari depan ke

    Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia

  • 11

    belakang dan memiliki berbagai pola. Adanya celah

    fisur tersebut dapat menyebabkan peradangan

    sekunder dan halitosis sebagai akibat dari

    penumpukan makanan, sehingga dianjurkan untuk

    selalu menjaga kebersihan lidah.11

    Coated tongue adalah suatu keadaan dimana

    permukaan lidah terlihat berwarna putih atau

    berwarna lain yang merupakan tumpukan dari

    debris, sisa-sisa makanan dan mikroorganisme yang

    terdapat pada permukaan dorsal lidah.12

    Dari hasil penelitian ini ditemukan beberapa

    kelainan rongga mulut yang persentasenya lebih

    tinggi dibandingkan dengan penelitian Cebeci di

    Turki terutama untuk kelainan pada lidah yaitu

    coated tongue sebesar 2,1%, fissured tongue 1%,

    geographic tongue 0,3%.12 Dari perbandingan ini

    dapat terlihat bahwa angka kejadian kelainan

    mukosa rongga mulut pada lansia di Panti Sosial

    Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru cukup

    tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya

    menjaga kebersihan rongga mulut dan kurangnya

    pengetahuan mengenai cara menjaga kesehatan

    rongga mulut.

    Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

    disimpulkan bahwa gambaran klinis kelainan

    mukosa rongga mulut yang didapat di Panti Sosial

    Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah

    fissured tongue, coated tongue, xerostomia,

    geographic tongue, sublingual varikositis, angular

    chelitis, dan denture hiperplasia. Kelainan mukosa

    rongga mulut yang paling banyak ditemukan adalah

    fissured tongue (51,78%) dan coated tongue

    (48,21%).

    Data penelitian ini hendaknya memotivasi

    pengurus Panti Sosial Tresna Werdha Budi

    Sejahtera Banjarbaru agar dapat menghimbau para

    penghuni panti untuk lebih menjaga dan

    memperhatikan kesehatan gigi dan mulut, serta

    diharapkan dapat bekerjasama dengan dokter gigi

    atau tenaga medis daerah setempat dalam rangka

    meningkatkan kesehatan rongga mulut lansia. Hal

    ini diharapkan dapat menurunkan terjadinya

    kelainan mukosa rongga mulut pada lansia.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Hendrizal. Lansia dan agenda ke depan. Harian umum pelita [internet]. 2008 [akses

    2013 Mar 8]; Available from:

    http://www.pelita.or.id/baca.php/id=45106

    2. Prawirno MD. Usia harapan hidup bertambah panjang. Ed 137. Jakarta:

    Gemari; 2012. p. 56.

    3. Sumarno S, Naenggolan T, Gunawan, Mumi R. Evaluasi program jaminan sosial lanjut

    usia (JSLU). Jakarta: P3KS Press (Anggota

    IKAPI); 2011. p. 16 27.

    4. Wangsarahardja K, Olly VD, Eddy K. Hubungan status kesehatan mulut dan

    kualitas hidup pada lanjut usia. Jakarta: FK

    Universitas Trisakti; 2007;26(4): 188.

    5. Mozafari PM, Dalirsani Z, Delavarian Z, Amirchaghmaghi M, Shakeri, Esfandyari A,

    et al. Prevalence of oral mucosal lesion in

    institutionalized elderly people in Mashhad

    Northeast Iran. Gerodontology. 2011;1-3.

    6. Mayvira S. Prevalensi dan distribusi lesi-lesi mukosa mulut pada manusia lanjut usia di

    Panti Jompo Abdi Darma Asih Binjai

    Sumatera Utara [skripsi]. Medan: FKG

    Universitas Sumatera Utara; 2009.

    7. Stanley M, Beare P G. Buku ajar keperawatan gerontik. 2th ed. Jakarta: EGC;

    2006. p. 11-17.

    8. Sue E M. Gerontologic nursing founth edition. 4th ed. America: Elseviar Mosby;

    2011. p.19.

    9. Arina YMD. Pengaruh aging terhadap sistem imun. JKM. 2003;3(1): 54-56.

    10. Barnes IE, Angus W. Perawatan gigi terpadu untuk lansia. Jakarta: EGC; 2006. p. 43-53.

    11. Pindborg J.J. Atlas penyakit mukosa mulut. Jakarta: Binarupa Aksara; 2009. p. 58 222.

    12. Cebeci ARI, Gulsahi A, Kamburoglu K, Orhan BK, Oztas B. Prevalence and

    distribution of oral mucosal lesions in an

    adult Turkish population. Med Oral Pato.

    2009;1;14 (6):E272-7.

    13. Thomson WM, Lawrence HP, Broadbent JM, Poulton R. The impact of xerostomia on

    oral healthrelated quality of life among

    younger adults. Health Qual Life Outcomes.

    2006;4:86.

    14. Mujica V, Rivera H, Carrero M. Prevalence of oral soft tissue lesion in an elderly

    Venezuelan population. Med Oral Pato.

    2008;1;3(5):E270-4.

    15. Patil S, Kaswan S, Rahman F, Doni B. Prevalence of tongue lesions in the Indian

    population. J Clin Exp Dent. 2013;5(3):E

    128-32.

    16. Byahati SM, Ingafou MS. The prevalence of tongue lesions in Libyan adult patients. J

    Clin Exp Dent. 2010;2(4):E 163-8.

    17. Darwazeh AM, Almelaih AA. Tongue lesion in a Jordanian population. Prevalence,

    symptoms, subjects knowledge and

    tretment provided. Med Oral Pato.

    2011;16(6):E 745-9.

    18. Gaphor SM, Abdullah MJ. Prevalence sex distribution of oral lesions in patients

    attending an oral diagnosis clinic in

    Sulaimani University. J Bagh College Den.

    2011;23(3):67-69.

    19. Jainkittivong A, Aneksuk V, Langlais RP. Tongue lesions: prevalence and association

    with gender, age and health-affected

    behaviors. Cu Dent J. 2007;30:269-78.

    Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 7- 12

    http://www.pelita.or.id/baca.php/id=45106

  • 12

    20. Al-Mobeeriek A, Aldosari AM. Prevalence of oral lesions among Saudi dental patients.

    Ann Saudi Med [internet]. 2009 [cited 2014

    Feb 5]; 29(5);365-8. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/P

    MC3290046/

    Asih P : Gambaran Klinis Kelainan Mukosa Rongga Mulut Pada Lansia

    http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3290046/http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3290046/

  • 13

    DENTINO

    JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

    PERBEDAAN INDEKS KARIES ANTARA MALOKLUSI RINGAN DAN BERAT

    PADA REMAJA DI PONPES DARUL HIJRAH MARTAPURA

    Rosihan Adhani, Rizal Hendra Kusuma, Widodo, Sapta Rianta

    Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

    ABSTRACK

    Background: Malocclusion is a big problem in oral health and taking of third position after dental

    caries and periodontal disease. Malocclusion is deviation in dento-facial growth that may interfere chewing

    process, swallowing, speech, and facial harmony. The data shows malocclusion prevalence at adolescences was

    still high, which is in the age group 10-14 years by 29,9 % and the age group 15-24 years by 30,6 %. According

    to some studies there is a relationship between dental caries and malocclusion especially in teeth crowding.

    Purpose: The purpose of this study was to determine differences in caries index between mild malocclusion and

    severe malocclusion. Methods: This research was descriptive study with cross sectional analytic. Samples were

    adolescents (13-17 years old) in Ponpes Darul Hijrah Martapura and randomly selected. The sample were 100

    students consisting of 50 adolescents with mild malocclusion and 50 adolescents with heavy malocclusion.

    Results: The results showed that adolescents with mild malocclusionin in very low category of caries index had

    the largest score 1,7 whereas adolescents with severe malocclusions in very high category of caries index had

    the largest score 36. Conclusion: The conclusion, there was difference of caries index between mild

    malocclusion and severe malocclusion in adolescents at Darul Hijrah Boarding School Martapura.

    Keywords: malocclusion, dental caries, DMF-T index

    ABSTRAK

    Latar Belakang: Maloklusi merupakan masalah yang cukup besar dalam kesehatan gigi dan mulut,

    maloklusi berada pada urutan ketiga setelah karies gigi, serta penyakit periodontal. Maloklusi adalah suatu

    penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan,

    bicara, dan keserasian wajah. Data menunjukan angka remaja yang bermasalah dengan gigi dan mulut masih

    tinggi, yaitu pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9% dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%. Menurut

    beberapa penelitian terdapat hubungan antara karies gigi dengan maloklusi khususnya pada gigi berjejal.

    Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan indeks karies antara maloklusi ringan dan

    maloklusi berat. Metode: Jenis penelitian adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel

    adalah remaja dengan usia 13-17 tahun dari Ponpes Darul Hijrah Martapura yang diambil secara acak.

    Sampel penelitian ini berjumlah 100 orang siswa-siswi yang terdiri dari 50 remaja dengan maloklusi ringan dan

    50 remaja dengan maloklusi berat. Hasil: Hasil penelitian indeks karies terbanyak pada remaja dengan

    maloklusi ringan adalah kategori sangat rendah 17 orang, sedangkan indeks karies terbanyak pada remaja

    dengan maloklusi berat adalah kategori sangat tinggi 36 orang. Kesimpulan: Terdapat perbedaan indeks karies

    gigi antara maloklusi ringan dan maloklusi berat pada remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura.

    Kata-kata kunci: maloklusi, karies gigi, indeks DMF-T

    Korespondensi: Rizal Hendra Kusuma, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas

    Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:

    [email protected]

    Laporan Penelitian

    mailto:[email protected]

  • 14

    PENDAHULUAN

    Ortodontik merupakan salah satu cabang ilmu

    kedokteran gigi yang mempelajari pertumbuhan

    wajah, perkembangan gigi, dan oklusi, serta

    mempelajari diagnosis, pencegahan, dan perawatan

    anomali oklusi1. Oklusi merupakan hubungan

    antara permukaan oklusal gigi-geligi atas dan

    bawah. Penyimpangan terhadap oklusi normal

    disebut maloklusi2. Maloklusi merupakan suatu

    penyimpangan dalam pertumbuhan dento-fasial

    yang dapat mengganggu fungsi pengunyahan,

    penelanan, bicara, dan keserasian wajah3. Maloklusi

    merupakan masalah yang cukup besar dalam

    kesehatan gigi dan mulut, maloklusi berada pada

    urutan ke tiga setelah karies gigi, serta penyakit

    periodontal. Beberapa peneliti di bidang ortodonti

    mengatakan bahwa maloklusi pada remaja

    Indonesia usia sekolah menunjukkan angka yang

    tinggi3. Prevalensi maloklusi remaja Indonesia

    mulai tahun 1983 sebesar 90% dan pada tahun 2006

    sebesar 89%4.

    Persentase penduduk bermasalah gigi dan

    mulut di Kalimantan Selatan adalah sebesar 29,2%.

    Kabupaten Banjar merupakan daerah yang

    memiliki persentase cukup besar dalam kasus

    kesehatan gigi dan mulut (31,6%). Data

    menunjukan angka remaja bermasalah gigi-mulut

    pada kelompok umur 10-14 tahun sebanyak 29,9%

    dan 15-24 tahun sebanyak 30,6%, dengan penduduk

    umur 12 tahun ke atas yang memiliki fungsi gigi

    tidak normal sebanyak 16,6%. Karies atau gigi

    berlubang merupakan salah satu masalah kesehatan

    gigi dan mulut yang cukup tinggi di Kalimantan

    Selatan, hal ini dapat dilihat dengan tingginya

    angka karies aktif remaja di Kalimantan Selatan

    pada umur 12 tahun (39,6%), 15 tahun (52,3%), dan

    18 tahun (62,9%). Salah satu cara menentukan

    angka pengalaman karies gigi seseorang adalah

    dengan indeks Decayed Missing Filled-Tooth

    (DMF-T). Angka indeks DMF-T Kabupaten Banjar

    cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya di

    Kalimantan Selatan yaitu sebanyak 7,85.

    Prevalensi maloklusi pada anak-anak pedesaan

    menurut penelitian Agusni (2007) sedikit lebih

    tinggi dibandingkan anak-anak di kota. Tingginya

    prevalensi maloklusi tersebut dikarenakan sulitnya

    mendapatkan informasi mengenai kesehatan dan

    kurangnya pengawasan dari orang tua atau

    pengasuh terhadap kesehatan anak asuhnya3.

    Menurut Margherita (2009), karies gigi dapat

    disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

    Maloklusi merupakan salah satu faktor internal

    yang dapat menyebabkan terjadinya karies gigi,

    seperti pada hasil penelitian Gabris (2006),

    beberapa anomali gigi seperti gigi berjejal

    menyebabkan retensi plak dan memicu terjadinya

    karies6.

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian ini menggunakan metode penelitian

    deskriptif analitik dengan pendekatan cross

    sectional. Bahan yang digunakan adalah air

    mineral, pasta gigi, alginat dan gips stone/ gypsum

    tipe III. Alat yang digunakan dalam penelitian ini,

    antara lain indeks HMAR, indeks DMF-T, kaca

    mulut, sonde, masker, sarung tangan, alat tulis,

    formulir, sliding caliver, sikat gigi, sendok cetak,

    spatula, dan bowl.

    Populasi penelitian ini adalah semua remaja

    yang berstatus pelajar di Ponpes Darul Hijrah

    Martapura dengan rentang usia 13 17 tahun.

    Teknik pengambilan sampel adalah purposive

    sampling. Jumlah sampel yang diambil pada

    penelitian ini adalah 100 dengan rincian 50 sampel

    pada kategori maloklusi ringan dan 50 sampel pada

    kategori maloklusi berat dengan kriteria inklusi:

    menyetujui informed consent, sehat, tidak terdapat

    kelainan sistemik saat anamnesa, dan terdapat

    maloklusi ringan atau berat. Kriteria eksklusi dalam

    penelitian ini adalah remaja yang masih terdapat

    gigi desidui atau gigi susu, remaja dengan oklusi

    normal, dan sedang menggunakan peranti ortodonti.

    Variabel yang diteliti pada penelitian ini

    adalah indeks karies antara maloklusi ringan dan

    berat remaja Ponpes Darul Hijrah Martapura.

    Pengambilan sampel dari populasi dengan cara

    acak. Sampel diperiksa maloklusinya secara

    observasi, kemudian dilakukan pencetakan rahang

    atas dan bawah.

    Selanjutnya dilakukan pengisian cetakan

    dengan gips stone/stone tipe III dengan segera,

    untuk menentukan maloklusi ringan atau berat

    model gigi-geligi sampel di hitung menggunakan

    indeks HMAR. Berikutnya dilakukan pemeriksaan

    DMF-T untuk menentukan indeks karies. Hasil

    pemeriksaan dicatat dalam lembar perhitungan dan

    dilanjutkan pengumpulan data. Analisis data yang

    digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan

    analisis deskriptif.

    HASIL PENELITIAN

    Hasil penelitian perbedaan indeks karies

    antara maloklusi ringan dan berat pada remaja di

    Ponpes Darul Hijrah Martapura dapat dilihat pada

    Gambar 1., Gambar 2., dan Gambar 3.

    Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat

  • 15

    Gambar 1. Data Insidensi Maloklusi Ringan dan Berat

    pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah

    Martapura Berdasarkan Usia

    Gambar 2. Data Insidensi Maloklusi berdasarkan Jenis

    Kelamin pada Remaja di Ponpes Darul Hijrah

    Martapura

    Gambar 3. Hubungan Karies Gigi pada Remaja yang

    Mengalami Maloklusi di Ponpes Darul Hijrah

    Martapura

    Gambar 1 diketahui bahwa usia 13 tahun

    merupakan usia dengan jumlah sampel paling

    banyak pada kelompok maloklusi ringan sebanyak

    21 orang (42 %). Usia 14 tahun merupakan usia

    dengan jumlah sampel paling banyak pada

    kelompok maloklusi berat sebanyak 24 orang (48

    %). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa

    maloklusi lebih banyak terjadi pada remaja dengan

    usia 13-14 tahun.

    Data pada Gambar 2 menunjukkan remaja

    laki-laki lebih sering mengalami maloklusi berat

    (72%), sedangkan remaja perempuan sebagian

    besar mengalami maloklusi ringan (56%). Hasil

    penelitian menunjukkan dari 100 sampel, remaja

    laki-laki lebih sering mengalami maloklusi. Remaja

    laki-laki yang mengalami maloklusi sebanyak 58

    orang dan remaja perempuan sebanyak 42 orang.

    Gambar 3 menunjukkan dari 100 sampel yang

    diperiksa. Frekuensi untuk kelompok maloklusi

    ringan dengan kategori indeks karies sangat rendah

    sebanyak 17 orang, kategori rendah sebanyak 13

    orang, kategori sedang sebanyak 11 orang, kategori

    tinggi sebanyak 7 orang, dan kategori sangat tinggi

    sebanyak 2 orang. Frekuensi untuk kelompok

    maloklusi berat dengan kategori indeks karies

    sangat rendah sebanyak 2 orang, kategori rendah

    sebanyak 2 orang, kategori sedang sebanyak 2

    orang, kategori tinggi sebanyaak 10 orang, dan

    kategori sangat tinggi sebanyak 34.

    Gambar 4. Salah satu pemeriksaan maloklusi pada

    sampel penelitian

    Gambar 5. Pemeriksaan indeks karies pada sampel

    penelitian

    PEMBAHASAN

    Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan

    laki-laki sedikit lebih banyak mengalami maloklusi.

    Salah satu penyebabnya adalah remaja perempuan

    lebih memperhatikan penampilan mereka

    dibandingkan dengan remaja laki-laki. Hal ini

    berkaitan dengan pentingnya penampilan mereka

    saat bersosialisasi dengan teman sebaya. Selain itu,

    anak laki-laki juga acuh atau kurang

    memperhatikan penampilan mereka7.

    0

    20

    40

    60

    Mal Ringan Mal Berat

    13 Tahun

    14 Tahun

    15 Tahun

    16 Tahun

    17 Tahun

    0

    20

    40

    60

    80

    Mal Ringan Mal Berat

    Laki-laki

    Perempuan

    0

    10

    20

    30

    40

    Mal Ringan Mal Berat

    Sangat Rendah

    Rendah

    Moderat

    Tinggi

    Sangat Tinggi

    Maloklusi

    Ringan Maloklusi

    Berat

    Per

    sen

    tase

    (%

    ) P

    erse

    nta

    se (

    %)

    Maloklusi

    Ringan

    Maloklusi

    Berat

    Jum

    ah (

    ora

    ng

    )

    Maloklusi

    Ringan Maloklusi

    Berat

    Indeks DMF-T

    Usia

    Jenis Kelamin

    Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17

  • 16

    Seperti penelitian Ahangar (2007) yang

    meneliti prevalensi maloklusi pada anak umur 6-18

    tahun, prevalensi maloklusi pada usia 12-14 tahun

    cukup tinggi yaitu 83,4 %. Remaja adalah usia yang

    dalam tahapan perkembangan baik fisik maupun

    psikologinya. Semakin dewasa seseorang,

    kesadarannya terhadap kesehatan dan penampilan

    saat bersosialisasi akan bertambah8. Menurut

    Rochadi (2001), ada dua konsep yang mendasar

    dalam hal ini yaitu konsep kebutuhan yang

    dirasakan. Konsep ini menjelaskan bahwa

    seseorang melakukan perawatan karena adanya

    kesadaran dan perubahan psikososial pada diri

    remaja yang menginginkan penampilan yang lebih

    menarik. Konsep yang kedua adalah konsep

    komparatif. Konsep ini menjelaskan perilaku

    kesehatan seseorang berdasarkan pernah tidaknya

    mendapatkan promosi atau pengetahuan yang

    mendalam tentang kesehatan gigi secara umum9.

    Berdasarkan hasil penelitian Oktavia Dewi

    (2007), diketahui terdapat hubungan antara jenis

    kelamin dan kualitas hidup. Perbedaan ini

    disebabkan remaja perempuan lebih sensitif

    terhadap perubahan hidupnya, mereka akan lebih

    mudah mengeluh dibandingkan remaja laki-laki.

    Remaja perempuan lebih memperhatikan masalah

    yang menyangkut estetis termasuk kesehatan gigi,

    ini dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang

    melakukan perawatan keadaan maloklusinya,

    dibandingkan laki-laki karena merasa tidak nyaman

    dengan bentuk wajahnya7. Salah satu faktor yang

    menyebabkan remaja perempuan lebih sedikit

    mengalami maloklusi adalah orang tua. Orang tua

    cenderung lebih memperhatikan kesehatan gigi dan

    mulut anak perempuan mereka dibandingkan

    dengan laki-laki. Menurut Yaghma (2013),

    disebutkan bahwa orangtua lebih banyak mencari

    perawatan ortodontik untuk anak perempuan

    mereka dibandingkan dengan anak laki-laki9.

    Beberapa karakteristik maloklusi khususnya

    gigi berjejal berpengaruh dalam terjadinya karies

    gigi permanen. Kondisi gigi-geligi yang berjejal

    mengakibatkan makanan terselip disela-sela gigi

    dan menyebabkan kesulitan dalam pembersihan

    gigi, hal ini terus berlanjut hingga sisa makan

    tersebut diakumulasikan oleh bakteri menjadi plak

    yang lebih sulit dibersihkan. Plak yang tidak

    dibersihkan pada permukaan gigi akan

    menyebabkan terbentuknya karies atau gigi

    berlubang10.

    Beberapa kasus anterior open bite juga dapat

    menyebabkan karies gigi. Remaja dengan kondisi

    ini cenderung bernafas lewat mulut dan

    menyebabkan penurunan aliran saliva. Keadaan

    mulut yang kering akibat penurunan aliran jumlah

    saliva memudahkan mikroorganisme kariogenik

    penyebab karies gigi berkembang biak9.

    Beberapa sampel juga mengeluhkan gangguan

    sendi rahang. Gangguan sendi rahang dapat

    menyebabkan kelainan mengunyah pada satu sisi

    rahang yang memicu terjadinya karies gigi di sisi

    yang tidak melakukan pengunyahan. Gigi geligi

    pada sisi rahang yang tidak melakukan aktivitas

    pengunyahan makanan terjadi penurunan aliran

    jumlah saliva yang akan menyebabkan gigi-geligi

    rentan terjadi karies11. Maloklusi juga berkaitan erat

    dengan penyakit periodontal. Kelainan hubungan

    vertikal dan horizontal gigi-geligi anterior rahang

    atas dan bawah, pergeseran gigi, serta kelainan

    oklusi gigi-geligi posterior dapat menyebabkan

    kerusakan jaringan periodontal, sehingga dapat

    menyebabkan karies gigi pada daerah servikal gigi-

    geligi12.

    Berdasarkan hasil penelitian dapat

    disimpulkan terdapat perbedaan indeks karies

    antara maloklusi ringan dan berat. Indeks karies

    terbanyak pada maloklusi ringan termasuk dalam

    kategori sangat rendah. Indeks karies terbanyak

    pada maloklusi berat termasuk dalam kategori

    sangat tinggi.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Dolce, C. Orthodontics: a review. Florida: American Dental Association Chemistry

    Education Research and Practice. 2012. p. 2-3.

    2. Koesoemahardja H, Indrawati A, Jenie I. Tumbuh Kembang Kraniodentofasial. Jakarta:

    Fakutas Kedokteran Gigi Trisakti. 2009. p. 29-

    39.

    3. Adzimah FS. Gambaran Derajat Keparahan Maloklusi Menggunakan Handicapping

    Malocclusion Assessment Record pada Siswa

    SMPN 1 Paciran Kabupaten Lamongan.

    Orthodontic Dental Journal. 2011; 2(2): 19-24.

    4. Dinatal G, Djajasaputra W, Koesoemahardja H. Studi Epidemiologis Tingkat Keparahan

    Maloklusi pada Anak-Anak Sekolah Usia 12-15

    Tahun di DKI Jakarta. Majalah Kedokteran

    Gigi. 2002; 39: 381-387.

    5. Tim Pelaksana Riskesdas Provinsi Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar

    Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007.

    Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan

    Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007. p

    119-133.

    6. Stahl F, Grabowski R. Malocclusion and caries prevalence: is there a connection in the primary

    and mixed dentitions? Clinical Oral Investig.

    2004; 8(2): 8690.

    7. Dewi O. Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup pada Remaja SMU Kota Medan

    Tahun 2007. Skripsi. Medan. Indonesia.

    Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera

    Utara. 2007. p.73.

    8. Ahangar A. Prevalence of Malocclusion in 13-15 Year-old Adolescents in Tabriz. Iran: Journal

    of Dental Research. 2007. p. 14.

    9. Sandhi A. Multidisciplinary Approach in Treating Undiagnosed Severe Temporo

    Kusuma : Perbedaan Indeks Karies Antara Maloklusi Ringan Dan Berat

  • 17

    Mandibular Joint Ankylosis : A Case Report.

    Jakarta. Jurnal Plastik Rekonstruksi. 2012.

    p.315.

    10. Alexander, KN. Genetic and Phenotypic Evaluation of The Class III Dentofacial

    Deformity: Comparisons of Three Populations.

    Thesis. Carolina. Georgia. University of North

    Carolina. 2007; 14.

    11. Marquezan M, Feldens CA. Association Between Occlusal Anomalies and Dental Caries

    In 3-5 Years Old Brazilian Children. Journal of

    Orthodontics 2011; 38(1): 8-14.

    12. Mtaya M, Prongsi B. Prevalence of Malocclusion and Its Relationship With

    Sociodemographic Factors, Dental Caries, and

    Oral Hygiene In 12-14 Years Old Tanzanian

    Schoolchildren. European Journal of

    Orthodontics. 2009; 31(5): 474-475.

    Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 1. Maret 2014 : 13 - 17

  • 18

    DENTINO

    JURNAL KEDOKTERAN GIGI Vol II. No 1. Maret 2014

    GAMBARAN INDEKS KEBERSIHAN MULUT

    BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT

    DI DESA GUNTUNG UJUNG KABUPATEN BANJAR

    Basuni, Cholil, Deby Kania Tri Putri

    Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

    ABSTRACT

    Background: Education is the socio-economic factors that influence health status. The level of

    education is very influential on the knowledge, attitudes and healthy behavior. A person with a higher education

    degree would have good knowledge and attitudes about health that would affect behavior for a healthy life.

    Purpose: This research aimed to determine the relationship of education level on oral hygiene index of

    community at Guntung Ujung village in Banjar District. Methods: This study used a descriptive survey research

    methods. To determine the level of education used interview method and oral hygene index performed by

    measuring the level of oral hygiene and scoring. Results: Respondents who had good oral hygiene index

    criterian were 30 peoples (33.3%). Respondents who had medium oral hygiene index criterian were 54 peoples

    (60.0%). While respondents who had poor oral hygiene index criterian were only 6 peoples (6.7%). Conclusion:

    Senior high school was level of education that had best criterian of oral hygiene index, while no school

    education was level of education that had worst criterian of oral hygiene index, and medium criterian was the

    most criterian of oral hygiene index in Guntung Ujung village in Banjar District.

    Key words: Level of education, oral hygiene index, oral health

    ABSTRAK

    Latar belakang: Pendidikan adalah faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan.

    Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat.

    Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan

    yang akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup sehat. Tujuan: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan

    tingkat pendidikan terhadap indeks kebersihan mulut masyarakat di Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar.

    Metode: Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei deskriptif. Untuk mengetahui tingkat pendidikan

    menggunakan metode wawancara dan untuk indeks kebersihan mulut dilakukan dengan mengukur tingkat

    kebersihan mulut dan dilakukan penilaian (scoring). Hasil: Responden yang memiliki kriteria indeks kebersihan

    mulut yang baik yaitu sebanyak 30 orang (33,3%). Responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang

    sedang yaitu sebanyak 54 orang (60,0%), sedangkan responden memiliki kriteria indeks kebersihan mulut yang

    buruk hanya sebanyak 6 orang (6,7%). Kesimpulan: Tingkat pendidikan lulus SMA adalah tingkat pendidikan

    yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling baik, sedangkan tingkat pendidikan tidak sekolah adalah

    tingkat pendidikan yang memiliki kriteria indeks kebersihan mulut paling buruk, dan indeks kebersihan mulut

    dengan kriteria sedang adalah indeks kebersihan mulut yang paling banyak di Desa Guntung Ujung Kabupaten

    Banjar.

    Kata-kata kunci : Tingkat pendidikan, indeks kebersihan mulut, kesehatan rongga mulut

    Korespondensi : Basuni, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung

    Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: [email protected].

    Laporan Penelitian

    mailto:[email protected]

  • 19

    PENDAHULUAN

    Pengetahuan, kesadaran, dan perilaku

    masyarakat terhadap pemeliharaan kesehatan gigi

    masih kurang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor-

    faktor sosial demografi, antara lain faktor

    pendidikan, lingkungan, tingkat pendidikan,

    ekonomi, tradisi, dan kehadiran sarana pelayanan

    kesehatan gigi.1 Pendidikan seseorang dapat

    mempengaruhi tingkat kebersihan gigi dan

    mulutnya, seseorang yang pendidikannya rendah

    mempunyai pengetahuan yang kurang dalam

    memelihara kebersihan gigi dan mulutnya. Orang

    yang memiliki pendidikan tinggi akan mampu

    menjaga kebersihan gigi dan mulutnya lebih tinggi

    karena mereka lebih memperhatikan kondisi

    mulutnya. Pendidikan tidak menjadi faktor yang

    utama tetapi cukup mempengaruhi kebersihan gigi

    dan mulut seseorang.1 Kebersihan mulut adalah

    salah satu masalah penting yang perlu mendapat

    perhatian dalam rongga mulut selain masalah

    karies. Kebersihan mulut yang baik

    menggambarkan keadaan kesehatan umum yang

    baik, sebaliknya Kebersihan mulut yang buruk

    menggambarkan kondisi kesehatan yang buruk

    pula.2

    Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi

    kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan

    gizi, pemilihan macam makanan tambahan,

    kebiasaan hidup sehat, dan kualitas sanitasi

    lingkungan, oleh karena itu gizi buruk merupakan

    masalah yang mengancam masyarakat berstatus

    ekonomi rendah.2 Pendidikan merupakan faktor ke

    dua terbesar dari faktor sosial ekonomi yang

    mempengaruhi status kesehatan seseorang.3 Tingkat

    pendidikan sangat berpengaruh terhadap

    pengetahuan, sikap, dan perilaku hidup sehat.

    Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan

    memiliki pengetahuan dan sikap yang lebih baik

    tentang kesehatan yang akan mempengaruhi

    perilakunya untuk hidup sehat. Perbedaan tingkat

    pendidikan berpengaruh terhadap kecenderungan

    orang menggunakan pelayanan kesehatan

    sehubungan dengan variasi mereka dalam

    pengetahuan mengenai kesehatan gigi. Kurangnya

    pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan

    ketidaktahuan akan bahaya penyakit gigi karena

    rendahnya tingkat pendidikan akan

    menyebabkan masyarakat tidak memanfaatkan

    pelayanan kesehatan gigi yang ada. Rendahnya

    tingkat pemanfaatan terhadap pelayanan

    kesehatan gigi ini akan memberikan kontribusi

    terhadap buruknya status kesehatan gigi

    masyarakat.3

    Hasil Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS

    tahun 2007, ada lima provinsi dengan prevalensi

    masalah gigi-mulut tertinggi, yaitu Gorontalo

    (33,1%), Sulawesi Tengah (31,2%), Aceh (30,5%),

    Sulawesi Utara (29,8%) dan Kalimantan Selatan

    (29,2%).4 Riskesdas 2007 juga melaporkan indeks

    DMF-T provinsi Kalimantan Selatan sebesar 6,83

    meliputi komponen D-T 1,31, komponen M-T 5,52

    dan komponen F-T 0,12. Hal ini berarti rerata

    jumlah kerusakan gigi per orang (tingkat keparahan

    gigi per orang) adalah 6,83 gigi meliputi 1,31 gigi

    yang berlubang, 5,52 gigi yang dicabut dan 0,12

    gigi yang ditumpat. Ada lima kabupaten di

    Kalimantan Selatan dengan tingkat keparahan gigi

    (indeks DMF-T) di atas rerata adalah Hulu Sungai

    Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Banjar, dan

    Hulu Sungai Selatan. Kabupaten Banjar adalah

    kabupaten yang termasuk memiliki tingkat

    keparahan gigi yang tinggi sebesar 7,80 meliputi

    5,88 gigi yang dicabut/indikasi pencabutan, 1,62

    gigi karies/berlubang, dan 0,34 gigi ditumpat.5

    Kebersihan mulut yang tidak dipelihara

    dengan baik akan menimbulkan penyakit di rongga