Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930 Newsletter SETARA

4
Vol. 1 No. 1, Februari 2021 1 P asca-Orde Baru, narasi mengenai etnik Tionghoa dibahas secara luas baik pada ranah akademik maupun populer. Setidaknya banyak muncul pada dua momen, yaitu menjelang Tahun Baru Imlek dan Perayaan 17 Agustus. Pembahasan sangat beragam dan luas cakupannya, baik pada aspek sejarah, sosio-kultural, hingga politik. Munculnya kem- bali narasi-narasi ini tak lepas dari fakta bahwa pengetahuan tentang eksistensi etnik Tionghoa secara sistematis dikebiri oleh rejim Orde Baru sehingga membentuk ruang kosong yang dengan mudah diisi oleh prasangka dan stereotip nega- tif. Dampak paling terasa adalah pada peran politik Tionghoa yang seolah menjadi narasi asing karena stereotip sebagai “market-dominant minority” telah secara kuat dilekatkan oleh rejim Orde Baru. Itu sebabnya menjelang perayaan 17 Agustus berbagai media kerap mengangkat kisah tokoh-tokoh Tionghoa yang turut andil dalam persiapan dan perjuangan kemerdekaan saat itu. Upaya mengangkat kembali ataupun boleh disebut sebagai upaya meluruskan sejarah Tionghoa di Indonesia ini menariknya, memperoleh momentum berharga di tengah pandemi COVID-19 saat ini. Pembatasan interaksi tatap muka secara langsung dan konsentrasi di ruang-ruang daring, berhasil dimanfaatkan oleh komunitas atau kelompok studi yang menaruh perhatian pada isu Tionghoa dan keindonesiaan. Setidaknya ada dua kelompok yang secara konsisten meng- gelar diskusi-diskusi menyangkut isu ini, yaitu Forum Bhineka Tunggal Ika dalam format acara “Nggosipin Tionghoa Yuk!” setiap hari Senin malam dan Center for Chinese Indonesian Studies-Universitas Petra dalam format “#CasCIscuS #diRumahAja” setiap hari Sabtu malam. Animo peserta diskusi cukup tinggi pada kedua acara ini baik dari kalangan Tionghoa maupun non-Tionghoa. Banyak informasi dan fakta baru terungkap dari beragam narasumber dengan beraneka latar belakang yang diundang. Upaya-upaya komunitas ini harus diapresiasi dan meru- pakan capaian penting. Harapannya, ketika informasi sudah diketahui masyarakat dapat menjadi kesadaran untuk kemudian diaktualisasikan dalam ikatan kebangsaan yang setara. Hal ini mengingat hingga hari ini, ikatan kebangsaan kita belum memberikan posisi yang tegas kepada etnik Tionghoa dalam bangunan keindonesiaan. Kita kerap ambigu dalam menerima etnik Tionghoa sebagai warga negara Indonesia yang utuh. Akibatnya, stereotip negatif mengenai kesetiaan nasional etnik Tionghoa selalu mengiringi stereotip lain dan rentan dipolitisasi. Tionghoa dan Keindonesiaan Daftar Isi Tionghoa dan Keindonesiaan 1 Perjumpaan dengan Tiga Tokoh Tionghoa 2 Tokoh Inspiratif 3 Seputar Riset 3 Ulasan Buku 4 Seputar Kegiatan 4 Mengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia Newsletter SETARA Diterbitkan 2 kali setahun oleh Tim Penelitian Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Penanggung Jawab Lidya Christin Sinaga, S.IP., M.A. Redaktur 1. Prof. Dr. Asvi Warman Adam, APU. 2. Syafuan Rozi, M.Si. Editor 1. Hayati Nufus, LL.M 2. Nina Andriana, M.Si 3. Atika Nur Kusumaningtyas, M.Stat Desain Grafis Anggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI. Alamat: Pusat Penelitian Politik, Widya Graha LIPI, Lt.3 Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan Email: [email protected] || Website: http://politik.lipi.go.id Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930 Untuk itu, ruang perjumpaan yang setara sebagai satu bangsa harus terus dilakukan dan didukung. Bagaimanapun juga, komunikasilah yang mengubah cara kita memandang orang lain dan diri kita. Dengan kata lain, ruang perjumpaan atau komunikasi inilah yang membentuk identitas. Ruang-ruang diskusi virtual ini harus terus dikembangkan, tidak berhenti pada momen pandemi yang memang tidak membuat kita bertatap muka, tapi kelak di saat kita bertemu dalam keseharian, kita saling merangkul sebagai satu bangsa. Dalam konteks inilah tema Tionghoa dan Keindonesiaan diangkat sebagai payung besar Newsletter terbitan Tim Kajian Etnik Tionghoa-Pusat Penelitian Politik LIPI. Tema ini telah menjadi ruh kajian tim sejak dibentuk tahun 2017. Dalam edisi perdana kali ini, tidak hanya menampilkan beragam kegiatan yang telah dilakukan oleh tim, tapi juga satu refleksi oleh Prof. Dr. Asvi Warman Adam mengenai perjumpaannya dengan tiga tokoh Tionghoa yang menjadi dasar semangat untuk mendorong masuknya Tionghoa dalam sejarah nasional Indonesia. Dengan keyakinan bahwa identitas akan terbangun dari narasi bersama, maka kami berupaya menghadirkan perjumpaan diskursif etnik Tionghoa dengan sesama warganegara yang diharapkan akan mengarahkan kita sesama satu bangsa pada kekitaan (Indonesian in the making). (Lidya Christin Sinaga)

Transcript of Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930 Newsletter SETARA

Page 1: Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930 Newsletter SETARA

Vol. 1 No. 1, Februari 2021 1

Pasca-Orde Baru, narasi mengenai etnik Tionghoa dibahas secara luas baik pada ranah akademik maupun populer. Setidaknya banyak muncul pada dua momen,

yaitu menjelang Tahun Baru Imlek dan Perayaan 17 Agustus. Pembahasan sangat beragam dan luas cakupannya, baik pada aspek sejarah, sosio-kultural, hingga politik. Munculnya kem-bali narasi-narasi ini tak lepas dari fakta bahwa pengetahuan tentang eksistensi etnik Tionghoa secara sistematis dikebiri oleh rejim Orde Baru sehingga membentuk ruang kosong yang dengan mudah diisi oleh prasangka dan stereotip nega-tif. Dampak paling terasa adalah pada peran politik Tionghoa yang seolah menjadi narasi asing karena stereotip sebagai “market-dominant minority” telah secara kuat dilekatkan oleh rejim Orde Baru. Itu sebabnya menjelang perayaan 17 Agustus berbagai media kerap mengangkat kisah tokoh-tokoh Tionghoa yang turut andil dalam persiapan dan perjuangan kemerdekaan saat itu.

Upaya mengangkat kembali ataupun boleh disebut sebagai upaya meluruskan sejarah Tionghoa di Indonesia ini menariknya, memperoleh momentum berharga di tengah pandemi COVID-19 saat ini. Pembatasan interaksi tatap muka secara langsung dan konsentrasi di ruang-ruang daring, berhasil dimanfaatkan oleh komunitas atau kelompok studi yang menaruh perhatian pada isu Tionghoa dan keindonesiaan. Setidaknya ada dua kelompok yang secara konsisten meng-gelar diskusi-diskusi menyangkut isu ini, yaitu Forum Bhineka Tunggal Ika dalam format acara “Nggosipin Tionghoa Yuk!” setiap hari Senin malam dan Center for Chinese Indonesian Studies-Universitas Petra dalam format “#CasCIscuS #diRumahAja” setiap hari Sabtu malam. Animo peserta diskusi cukup tinggi pada kedua acara ini baik dari kalangan Tionghoa maupun non-Tionghoa. Banyak informasi dan fakta baru terungkap dari beragam narasumber dengan beraneka latar belakang yang diundang.

Upaya-upaya komunitas ini harus diapresiasi dan meru-pakan capaian penting. Harapannya, ketika informasi sudah diketahui masyarakat dapat menjadi kesadaran untuk kemudian diaktualisasikan dalam ikatan kebangsaan yang setara. Hal ini mengingat hingga hari ini, ikatan kebangsaan kita belum memberikan posisi yang tegas kepada etnik Tionghoa dalam bangunan keindonesiaan. Kita kerap ambigu dalam menerima etnik Tionghoa sebagai warga negara Indonesia yang utuh. Akibatnya, stereotip negatif mengenai kesetiaan nasional etnik Tionghoa selalu mengiringi stereotip lain dan rentan dipolitisasi.

Tionghoa dan Keindonesiaan Daftar IsiTionghoa dan Keindonesiaan 1Perjumpaan dengan Tiga Tokoh Tionghoa 2Tokoh Inspiratif 3Seputar Riset 3Ulasan Buku 4Seputar Kegiatan 4

Mengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah IndonesiaNewsletter SETARA

Diterbitkan 2 kali setahun oleh Tim Penelitian Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).

Penanggung Jawab Lidya Christin Sinaga, S.IP., M.A.

Redaktur 1. Prof. Dr. Asvi Warman Adam, APU.2. Syafuan Rozi, M.Si.

Editor 1. Hayati Nufus, LL.M2. Nina Andriana, M.Si3. Atika Nur Kusumaningtyas, M.Stat

Desain GrafisAnggih Tangkas Wibowo, S.T., M.MSI.

Alamat: Pusat Penelitian Politik, Widya Graha LIPI, Lt.3Jln. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan

Email: [email protected] || Website: http://politik.lipi.go.id

Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930

Untuk itu, ruang perjumpaan yang setara sebagai satu bangsa harus terus dilakukan dan didukung. Bagaimanapun juga, komunikasilah yang mengubah cara kita memandang orang lain dan diri kita. Dengan kata lain, ruang perjumpaan atau komunikasi inilah yang membentuk identitas. Ruang-ruang diskusi virtual ini harus terus dikembangkan, tidak berhenti pada momen pandemi yang memang tidak membuat kita bertatap muka, tapi kelak di saat kita bertemu dalam keseharian, kita saling merangkul sebagai satu bangsa.

Dalam konteks inilah tema Tionghoa dan Keindonesiaan diangkat sebagai payung besar Newsletter terbitan Tim Kajian Etnik Tionghoa-Pusat Penelitian Politik LIPI. Tema ini telah menjadi ruh kajian tim sejak dibentuk tahun 2017. Dalam edisi perdana kali ini, tidak hanya menampilkan beragam kegiatan yang telah dilakukan oleh tim, tapi juga satu refleksi oleh Prof. Dr. Asvi Warman Adam mengenai perjumpaannya dengan tiga tokoh Tionghoa yang menjadi dasar semangat untuk mendorong masuknya Tionghoa dalam sejarah nasional Indonesia. Dengan keyakinan bahwa identitas akan terbangun dari narasi bersama, maka kami berupaya menghadirkan perjumpaan diskursif etnik Tionghoa dengan sesama warganegara yang diharapkan akan mengarahkan kita sesama satu bangsa pada kekitaan (Indonesian in the making). (Lidya Christin Sinaga)

Page 2: Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930 Newsletter SETARA

Vol. 1 No. 1, Februari 2021 2

Perjumpaan dengan Tiga Tokoh Tionghoayang komprehensif tentang Tionghoa Indonesia. Ini baru terwujud kemudian dengan penyunting Leo Suryadinata dan Didi Kwartanada. Setelah dua periode memimpin INTI, Eddie Lembong mendirikan Yayasan Nabil (Nation Building). Kegiatannya antara lain menyelenggarakan penganugerahan Nabil Award setiap tahun sampai 2015. Dalam rangka “nation building” ini, Eddie Lembong gigih mempopulerkan teori Penyerbukan Silang Budaya.

Sejak awal Reformasi, di halaman rumah pematung Dolorosa Sinaga di Garuda dekat TMII, dilangsungkan Diskusi Bulan Purnama pada akhir pekan. Kegiatan ini menjadi embrio lahirnya narasi sejarah tandingan Orde Baru. Oey Hay Djoen beserta beberapa tokoh senior lainnya selalu hadir, boleh dikatakan menjadi “suhu” pertemuan ini. Oey Hay Djoen yang menjadi anggota DPRGR tahun 1965 dibuang ke Pulau Buru (1969-1979). Peserta diskusi yang lebih muda kemudian melakukan sejarah lisan tentang korban 1965 yang diterbitkan dengan judul Tahun yang Tidak Pernah Berakhir. Sejalan dengan riset ini kemudian lahir buku John Roosa, Pretext for Mass Murder yang diterjemahkan menjadi Dalih Pembunuhan Massal. Perjumpaan dengan tiga tokoh Tionghoa tersebut menyebabkan saya menyadari bahwa Orde Baru sangat dekat dengan konglomerat tertentu, namun melakukan diskriminasi terhadap etnik Tionghoa serta melarang tiga pilar budaya mereka. Itulah yang mendorong saya untuk ikut dalam upaya memasukkan-nya dalam sejarah Indonesia. (Asvi Warman Adam)

Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi ketika saya berbicara dalam acara Nggosipin Tionghoa Yuk! tanggal 9 November 2020 bersama Prof.

Leo Suryadinata dengan topik “Belajar dari Pionir Dua Era”. Pak Leo adalah perintis kajian Tionghoa di Indonesia yang telah menerbitkan puluhan buku. Saya bukan ahli Tionghoa, tetapi dipandang oleh panitia ikut mendorong masuknya Tionghoa dalam sejarah nasional Indonesia. Semasa Orde Baru, tiga pilar budaya Tionghoa (komunitas, sekolah, dan pers) dilarang, akibatnya peranan Tionghoa dalam sejarah Indonesia tidak disebut.

Sejak tahun 2002 saya mengutarakan pentingnya etnik Tionghoa menjadi pahlawan nasional. Paling sedikit dua kali dalam setahun (Februari jelang Imlek dan 10 November) saya menulis di koran seperti Kompas, Media Indonesia, Sinar Harapan, dan Jawa Pos tentang John Lie. Tahun 2007 Yayasan Nabil memprakarsai pengusulan John Lie sebagai pahlawan nasional secara berjenjang dari Manado, Sulawesi Utara sehingga akhirnya diterima tahun 2009. Tentu saja perjuangan orang-orang Tionghoa itu sudah dilakukan jauh sebelumnya, seperti pada Sumpah Pemuda 1928 dan sidang-sidang BPUPKI dan PPKI jelang Proklamasi 1945.

Ada tiga tokoh Tionghoa yang memengaruhi saya dalam kegiatan di atas, yaitu Bob Hasan (The Kian Seng), Eddie Lembong (Ong Joe San), dan Oey Hay Djoen.

Saya bekerja di majalah Sportif yang dimiliki Bob Hasan sejak Januari 1981 sampai dengan Maret 1983. Secara rutin Pemred Sondang Meliala dan saya, selaku Redpel dipanggil Bob Hasan ke kantornya di Menteng Raya 72. Pernah suatu kali, ketika kami baru datang, tiba-tiba ada telepon masuk. Ternyata dari Tommy Soeharto yang menanyakan tentang bisnis kapal tanker Pertamina, Bob tampaknya jadi semacam guru pada awalnya. Kami diminta pulang. Bob Hasan adalah konglomerat yang sangat dekat dengan Presiden Soeharto, ia konon main golf bersama tiap pekan di Rawamangun. Kiprahnya sebagai pebisnis Orde Baru tentu bisa ditulis tersendiri. Namun terlepas dari itu, ia seorang yang sangat berjasa dalam pengembangan atletik Indonesia. Ia memimpin Federasi Atletik Seluruh Indonesia “seumur hidup”, dari 1978 sampai meninggal tahun 2020.

Selepas seminar Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa) tahun 2002, saya sering diundang Eddie Lembong, Ketua Umum perhimpunan tersebut, bertemu di kantornya bersama Myra Sidharta, Melly Tan, dan Mona Lohanda. Kami membicarakan penerbitan buku

Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia

Keterangan foto: Asvi Warman Adam dengan Melly Lembong dan Eddie Lembong di Summer Palace Beijing 2007 (koleksi pribadi).

Page 3: Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930 Newsletter SETARA

Vol. 1 No. 1, Februari 2021 3

Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia

Tokoh Inspiratifpenting tentang apa dan bagaimana Indonesia sebenarnya dengan moto “From Indonesia with Love”. Udaya yakin kesalahpahaman perlu diluruskan dengan cara-cara seni yang indah dan berperadaban. “Saya percaya dengan kreativitas, mengubah hal-hal yang biasa menjadi luar biasa. Pendidikan yang membuat anak-anak mengerti, tidak ada orang yang lebih dari yang lain,” tegasnya. Semangatnya akan peran penting pendidikan kebangsaan terus diwujudkan dengan beragam kiprah nyata. “Perbedaan hanya bisa disatukan dengan satu parameter yang sama, yaitu kebangsaan. Kita harus masukkan pendidikan kebangsaan ini dalam pendidikan kita,” ucap Udaya mantap. Melalui Udaya Halim kita belajar untuk terus berupaya merawat keindonesiaan di tengah segala keberagaman. (Syafuan Rozi)

“Ini Indonesia, gado-gado. Jangan jadi juice. Jadi Indonesia harus kita perlakukan seperti salad atau gado-gado. Ini contoh yang paling sederhana. Ini

presentasinya indah dan berwarna-warni. Menurut saya yang penting itu pendidikan kebangsaan,” demikian tegas Udaya Halim dalam wawancara kami dengan beliau tahun 2019. Tahun itu tim kami tengah melakukan penelitian mengenai komunitas Cina Benteng. Tentu nama beliau sudah tidak asing lagi di tengah komunitas ini, terutama sebagai pendiri Museum Benteng Heritage di kawasan Pasar Lama Kota Tangerang, tempat beliau dilahirkan dan bertumbuh.

Pengalaman dan pemikiran beliau tentang merawat keindonesiaan menjadi topik diskusi kami hari itu. “Jadi waktu tahun 98 itu, saya sedang di Inggris. Saya memang memilih untuk menjadi permanent resident, tapi paspor saya tetap Indonesia. Karena saya nggak mau mengubah, saya tetap orang Indonesia. Tapi saya tinggal di sana demi keluarga. Jadi memang selama 20 tahun ini saya selalu mobile dengan high cost yang luar biasa. Pilihan ini saya ambil karena saya melihat ada hal yang salah. Pertama adalah pendidikan tentang keindonesiaan, pendidikan tentang kebangsaan. Karena itulah saya membangun museum ini. Yang saya pikirkan adalah museum ini bukan museum Tionghoa.”

Baginya, pendidikan menjadi salah satu kunci utama dalam menghilangkan sekat-sekat dan kebencian. Ia bercerita pengalamannya ketika kebencian terhadap Indonesia di Australia begitu kental pasca-Bom Bali. Saat itu, ia membawa anak-anak sekolah Indonesia untuk datang dan pentas budaya ke sekolah-sekolah di Australia sambil menyelipkan pesan

Demokratisasi pasca-Orde Baru telah berupaya untuk mengakhiri eksklusi sosial terhadap etnik Tionghoa dengan menghapuskan kebijakan diskriminatif yang

secara sistematis dilakukan oleh rejim Orde Baru. Namun, demokratisasi ini belum mampu menjadikan etnik Tionghoa sebagai bagian utuh dari identitas kebangsaan Indonesia yang terlihat dengan masih adanya stereotip negatif terkait kesetiaan nasional etnik Tionghoa.

Pada saat yang sama, faktor globalisasi yang ditandai dengan semakin terhubungnya warga dunia, membuat pengaruh global Tiongkok di tengah meningkatnya relasi Indonesia-Tiongkok semakin mudah dirasakan. Meskipun peningkatan ini telah terjadi secara bertahap sejak era Reformasi, namun periode setelah 2014 boleh dikatakan lebih intensif dengan munculnya Belt and Road Initiative dari Tiongkok. Di tengah persepsi masyarakat yang masih memandang etnik Tionghoa sebagai “di dalam tapi di luar”, serta minimnya interaksi dan komunikasi di tengah masyarakat, membuat stereotip negatif etnik Tionghoa sebagai liyan/others semakin menguat.

Seputar Riset Etnik Tionghoa di Tengah Kebangkitan Tiongkok

dan Relasi Indonesia-TiongkokTema inilah yang diangkat oleh Tim Kajian Etnik Tionghoa

Pusat Penelitian Politik-LIPI dalam riset yang dimulai sejak tahun 2020. Untuk memetakan dampak dari meningkatnya pengaruh global Tiongkok dan relasi Indonesia-Tiongkok terhadap etnik Tionghoa di Indonesia, selain wawancara mendalam dengan para akademisi atau pihak terkait lainnya, pada tahun 2021 tim akan melakukan survei terhadap masyarakat etnik Tionghoa, dan pada tahun 2022 terhadap masyarakat non-Tionghoa. Wawancara mendalam maupun survei akan dilakukan di tiga provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta, berdasar dua kriteria, pertama, ketiga lokasi mempunyai populasi etnik Tionghoa yang signifikan, dan kedua, ketiga wilayah mewakili provinsi yang masuk dalam kategori daerah tujuan investasi dan arus orang terbesar dari Tiongkok. Melalui penelitian ini, sebuah strategi akan disusun sebagai upaya agar identitas nasional mampu memberi tempat yang setara bagi identitas etnik Tionghoa, sehingga tidak terus rentan dipolitisasi, terutama di tengah meningkatnya pengaruh global Tiongkok dan relasi Indonesia-Tiongkok. (Atika Nur Kusumaningtyas)

Page 4: Vol. 1 No. 1, Februari 2021 ISSN 2775-0930 Newsletter SETARA

Vol. 1 No. 1, Februari 2021 4

Newsletter SETARAMengenal Tionghoa dalam Bangun Rumah Indonesia

Seputar Kegiatan

Mewujudkan inklusi etnik Tionghoa dalam kerangka keindonesiaan menjadi tujuan utama penelitian Tim Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik-

LIPI. Menghapus stereotip negatif terhadap etnik Tionghoa adalah salah satu bentuk strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan penyebaran literasi yang menjelaskan peran dan posisi etnik Tionghoa dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut, tim ini menjadi tuan rumah peluncuran dan bedah buku yang ditulis oleh Dr. Taomo Zhou berjudul “Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa, 1945-1967”. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama tim dengan Penerbit Kompas pada 29 Juli 2019. Buku tersebut menyingkap fakta baru terkait keterlibatan Tiongkok dalam peristiwa G30S. Riset Taomo menunjukkan bahwa Tiongkok tidak terlibat langsung pada peristiwa tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan narasi yang diwariskan rejim Orde

Baru yang berimplikasi pada sentimen negatif terhadap etnik Tionghoa dan Tiongkok. Melalui kegiatan ini diharapkan mampu membuka wacana diskusi tentang masyarakat Tionghoa dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia.

Selain diskusi buku, tim juga melakukan FGD dengan mengundang berbagai narasumber. Salah satunya pada 22 Oktober 2020 tim mengadakan FGD mengundang Ketua harian Perhimpunan INTI (Indonesia-Tionghoa), Bapak Indra Wahidin dan Bapak Christianto Wibisono (tokoh masyarakat Tionghoa). FGD juga dihadiri oleh Wasekjen INTI dan perwakilan Kedutaan RI untuk Tiongkok. FGD ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat perspektif para tokoh Tionghoa terhadap persoalan etnik Tionghoa di Indonesia. Diskusi ini juga merupakan bagian dari komitmen tim untuk membangun jejaring dengan komunitas etnik Tionghoa di Indonesia. (Nina Andriana)

Pusat Penelitian Politik-LIPI mengucapkan Selamat Tahun Baru Imlek 2572

Gong Xi Fa Cai

wadah yang mewakili respons etnik Tionghoa terhadap kebijakan-kebijakan negara. Komunitas etnik Tionghoa juga merupakan satu dari tiga pilar budaya Tionghoa, bersama dengan pers dan sekolah Tionghoa.

Buku Tionghoa dan Ke-Indonesia-an: Komunitas Tionghoa di Semarang dan Medan yang ditulis oleh Tim Kajian Etnik Tionghoa Pusat Penelitian Politik-LIPI menyoroti respons komunitas-komunitas etnik Tionghoa di Semarang dan Medan terhadap kebijakan pemerintah pasca-Orde Baru. Kehadiran komunitas etnik Tionghoa memberikan kesempatan lebih besar untuk mengekspresikan budaya dan identitasnya di tengah inkonsistensi implementasi kebijakan anti-diskriminasi di tingkat pusat dan daerah.

Melalui komunitasnya, etnik Tionghoa juga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait multikulturalisme di Indonesia. Di tengah minimnya kajian mengenai komunitas etnik Tionghoa yang bersifat lokal, kehadiran buku ini dapat menjadi pintu masuk bagi pembaca untuk memahami dinamika komunitas-komunitas

etnik Tionghoa pasca-Orde Baru. (Hayati Nufus)

Judul: Tionghoa dan Ke-Indonesia-an:

Komunitas Tionghoa di Semarang dan Medan

Editor: Irine Hiraswari Gayatri

Tahun Terbit: 2019

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Jumlah Halaman: xviii + 282 halaman

Ulasan BukuKomunitas Etnik Tionghoa Pasca-Orde Baru:

Mencari Rumah dalam Bangunan Keindonesian

Berakhirnya Orde Baru menjadi babak baru bagi perkembangan komunitas-komunitas etnik Tionghoa di Indonesia. Perubahan kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru memberikan ruang yang lebih besar bagi etnik Tionghoa untuk mengekspresikan identitas diri dan kebudayaannya, salah satunya melalui kemunculan berbagai komunitas dan organisasi kemasyarakatan berbasis etnik Tionghoa. Keberadaan komunitas dan organisasi etnik Tionghoa di berbagai wilayah Indonesia menarik untuk diteliti karena dapat dilihat sebagai