Newsletter Maret 09

34
2009 Lembaga Penelitian, Pendidikan Edisi : 03 /Maret 2009

Transcript of Newsletter Maret 09

Page 1: Newsletter Maret  09

2009

Lembaga Penelitian, Pendidikan

Edisi : 03 /Maret 2009

Page 2: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

2 Edisi : 03/Maret 2009

Pengantar

Hari Perempuan Sedunia dan Pemilu Legislatif

i tengah hingar bingar kehidupan politik menjelang Pemilu Legislatif tanggal 9

April, boleh dikata gaung Hari Perempuan Sedunia tahun ini hampir tak terdengar. Tidak banyak suratkabar memberitakannya. Tidak juga ada laporan khusus sebagaimana lazim dipraktekkan suratkabar menjelang hari penting tertentu.

Tapi, apakah ada kaitan antara Hari Perempuan Sedunia dan Pemilu Legislatif, sehingga atas dasar itu jurnalis bisa merancang suatu laporan bermakna untuk pengembangan wacana publik?

Wacana Keterwakilan

Hari Perempuan Sedunia dirayakan untuk mengarahkan perhatian dunia terhadap berbagai masalah yang dihadapi perempuan. Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan. Diperlukan dukungan terhadap upaya bersama demi tercapainya persamaan hak bagi perempuan, menghilangkan diskriminasi, mengatasi persoalan kesehatan, pendidikan, kemiskinan, meningkatkan keterwakilan di parlemen, dan sebagainya.

Dalam konteks Pemilu Legislatif, merujuk kepada penjelasan mengapa Hari Perempuan Sedunia dirayakan, salah satu isu yang relevan disoroti adalah keterwakilan perempuan di parlemen. Dengan kata lain, keterwakilan perempuan di parlemen penting dijadikan wacana publik.

Sebagaimana dikemukakan Dr Dewi H Susilastuti (Kedaulatan Rakyat, 18/02/09), meski tidak ada jaminan bahwa perempuan anggota parlemen akan memperjuangkan hak-hak perempuan, namun kehadiran mereka secara berangsur-angsur akan mempengaruhi budaya parlemen. Mengutip hasil penelitian UNIFEM (New York Times, 18/9/08), ditemukan ada korelasi yang tinggi antara jumlah wakil rakyat perempuan di parlemen dan banyaknya kebijakan yang pro perempuan.

D

Page 3: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

3 Edisi : 03/Maret 2009

Meningkatnya jumlah perempuan menjadi caleg dalam Pemilu Legislatif sekarang ini membersitkan harapan bahwa apa yang dikemukakan Dr. Dewi H Susilastuti tersebut akan menjadi kenyataan. Persoalannya, tidak ada jaminan bahwa melalui Pemilu Legislatif mendatang jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota parlemen akan meningkat.

Memang, dalam UU No.

10/2008 tentang Pemilu Legislatif terdapat ketentuan tentang perlakuan khusus (affirmative action) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 (d) yang mensyaratkan, partai politik (parpol) dapat mendaftar sebagai peserta pemilu bila menyertakan surat keterangan dari pengurus pusat parpol tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Selanjutnya juga disebutkan daftar calon yang diajukan parpol memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.

Akan tetapi, ketentuan itu hanya mengatur kuota untuk daftar calon. Jelas tidak ada sangkut pautnya dengan kuota kursi di parlemen. Dari sini jurnalis bisa mengajukan pertanyaan kritis: Apakah ketentuan afirmatif itu bagi partai hanya untuk memenuhi persyaratan menjadi peserta pemilu? Apakah partai peserta pemilu sudah menjadikan ketentuan afirmatif sebagai kebijakan partai, sehingga bisa diharapkan melalui hasil

pemilu mendatang jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen akan meningkat? Berapa yang sudah, berapa yang belum?

Pemilih Perempuan Persoalan lain yang juga tak kalah menarik untuk

dikembangkan menjadi wacana adalah preferensi pemilih perempuan. Dengan keputusan MK yang menetapkan hanya caleg peraih suara terbanyak yang berhak memperoleh kursi di parlemen, berarti caleg perempuan harus bekerja keras agar mereka dikenal pemilih dan agar sebanyak-banyaknya pemilih memberi suara kepada mereka.

Sehubungan dengan itu, beberapa pertanyaan berikut bisa diajukan: Apakah caleg perempuan bisa berharap akan mendapat dukungan dari pemilih perempuan? Seperti apa persepsi pemilih perempuan terhadap caleg perempuan? Apakah pemilih perempuan sadar bahwa upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif harus didukung dengan memberi suara kepada caleg perempuan?

Persepsi pemilih perempuan terhadap caleg perempuan ditentukan oleh sejauh mana pengenalan mereka terhadap sang caleg. Dengan asusmsi pemilih perempuan akan memilih caleg perempuan jika yang disebut belakangan ini akan memperjuangkan hak perempuan, muncul pertanyaan seberapa banyak caleg perempuan secara ekplisit menyatakan akan memperjuangkan hak perempuan kalau terpilih menjadi anggota parlemen?

Ada tidaknya kesadaran pemilih perempuan untuk mendukung upaya peningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dengan memberi suara kepada caleg perempuan, merupakan hasil pendidikan politik terhadap pemilih perempuan. Apakah ada partai politik yang menyelenggarakan pendidikan politik bagi pemilih perempuan? Seperti apa pendidikan politik tersebut? Seberapa banyak caleg perempuan ikut dalam upaya pendidikan politik bagi pemilih perempuan?

Page 4: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

4 Edisi : 03/Maret 2009

Kepedulian Kebijakan afirmatif dalam upaya

peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen adalah ujud keberpihakan yang tumbuh dari kepedulian. Hari Perempuan Sedunia dirayakan untuk menumbuhkan kepedulian tersebut.

Kepedulian yang sama juga diharapkan dimiliki pers, yang kemudian terinternalisasi menjadi kepedulian jurnalis. Berbekal kepedulian itu, jurnalis akan mampu melihat bahwa dalam konteks Pemilu Legislatif mendatang, masalah keterwakilan perempuan di parlemen adalah news tip yang disodorkan Hari Perempuan Sedunia.

Kalau jurnalis cukup jeli, newstip itu juga bisa ditemukan lewat kejadian lain. Sebagai misal, diberitakan bahwa United Nations Development Programme (UNDP) memberikan US$2 juta khusus untuk mendukung keterwakilan para calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Dan tersebut akan digunakan untuk mendukung upaya pendidikan politik pemilih perempuan dalam upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. (Bisnis Indonesia, 3/03/09)

Dengan news tip itu, Hari Perempuan Sedunia tidak lagi disikapi jurnalis semata-mata sebagai peristiwa perayaan, melainkan dijadikan sebagai news peg (cantelan) dalam merancang suatu laporan bermakna untuk pengembangan wacana publik mengenai keterwakilan perempuan di parlemen melalui Pemilu Legislatif.

Salah satu topik tulisan edisi newsletter kali ini

memaparkan bagaimana suratkabar memberitakan caleg perempuan pada Pemilu Legislatif mendatang.

Selain itu, ada laporan tentang Kantor Berita Suara

Nusa, yang didirikan oleh PKBI Yogyakarta. Kantor berita ini akan memasok berita tentang keluarga berencana, kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, kesetaraan gender, dan masalah lain yang dihadapi kaum perempuan. Pendirian kantor berita ini dilatarbelakangi keprihatian bahwa selama ini seringkali berita tentang masalah terkait yang ditulis oleh media massa masih penuh dengan bias atau kekeliruan. Dengan memanfaatkan berita yang dipasok kantor berita ini, informasi yang disampaikan media masa kepada khalayak akan terhindar dari bias maupun kekeliruan.

Tulisan tentang berita suratkabar dan kebencanaan

juga bisa disimak dalam edisi ini. Tulisan lain yang patut disimak adalah ulasan buku berjudul Media, Jurnalisme, dan Budaya Populer. Selamat membaca. (rondang pasaribu)

Page 5: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

5 Edisi : 03/Maret 2009

Sekilas Info

Talk Show Kesehatan Reproduksi

Rifka Annisa

ada 8 Maret lalu Redaksi Newsletter mengikuti talk show Kesehatan Reproduksi Perempuan yang diselenggarakan oleh Rifka Annisa Womens Center di Jogja Expo Center, Yogyakarta.

Talk show yang bertema “I Love My Body, Rawatlah Tubuhmu” ini, dilatari oleh kesehatan reproduksi yang sering terabaikan karena perempuan lebih memikirkan bagaimana menjadi cantik dengan melangsingkan tubuh atau membuat kulit lebih putih. Acara ini menghadirkan Inggrid Wijanarko sebagai moderator dan narasumber Iga Mawarni, Rieke Roeslan, dr. Hasto Wardoyo, Sp Og dan Nur Hasyim dari Rifka.

Cantik, yang menurut Nur Hasyim adalah persoalan kekuasaan atau siapa yang berkuasa. Konsep cantik sengaja dibuat oleh laki-laki bahwa kemudian perempuan cantik itu berkulit putih, tinggi langsing dan sebagainya.

Lain halnya dengan Dr, Hasto yang mengatakan bahwa cantik tidak abadi. Kontrak kecantikan perempuan biasanya hanya sampai berusia 51 tahun. Setelah itu, akibat berkurangnya hormon estrogen dan terjadinya osteoporosis pada perempuan, lambat laun secara fisik perempuan tidak lagi cantik.

Sedangkan Iga Mawarni melihat bahwa konsep kecantikan sebaiknya dengan ukuran sendiri. Paradigma cantik harus melaui ukuran diri sendiri dan bukan dari ukuran orang lain. Begitu juga dengan Rieke Roeslan yang melihat kecantikan bukan dari fisik tetapi dari semangatnya, karena tidak semua orang cantik menurut orang lain.

Acara dihadiri sekitar 300-an peserta yang terdiri dari sebagian besar perempuan Yogyakarta. Namun beberapa media juga ikut hadir pada acara tersebut. Antusias para peserta terlihat ketika akan memasuki ruang acara. Dengan sedikit berdesakan kala mengisi daftar

P

Page 6: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

6 Edisi : 03/Maret 2009

hadir dapat disebabkan karena dua sisi, dapat karena tema talk show atau juga karena narasumber artis yang menjadi daya pikat peserta.

Pertanyaan peserta yang tidak hanya seputar tema yang ditawarkan tetapi juga merembet ke info kawin cerai artis yang lagi ngetren. Beruntung Inggrid sang moderator mampu menyeleksi pertanyaan-pertanyaan, sehingga acara tersebut tetap berada di koridornya. (ismay prihastuti)

Diskusi Pemilu di LP3Y

Siang menjelang sore sekitar pukul 14.30 di gedung LP3Y lantai dua berlangsung diskusi dengan tema “Rubrik Pemilu dan Kritisme bagi Calon Pemilih”. Sebagai pembicara adalah staf profesional LP3Y, Agoes Widhartono dengan moderator Ismay Prihastuti.

Meski diskusi dihadiri oleh beberapa LSM dan media cetak, namun diskusi sangat efektif. Terlihat ketika pemaparan hasil penelitian kecil-kecilan yang dilakukan pembicara terhadap beberapa suratkabar yang punya rubrik pemilu.

Dalam paparannya Agus mengemukakan bahwa realitas yang terjadi pembaca tidak mendapatkan apa-apa dari rubrik tersebut. Pada rubrik pemilu yang di dalam sub rubrik yang diberi nama Kontestan pada harian Kedaulatan Rakyat misalnya, hanya berisi nama-nama dan foto caleg. Kecenderungan suratkabar tersebut isinya lebih pada advetorial ketimbang berita tentang parpol tersebut.

Menurut pembicara, dalam hal ini media tidak punya netralitas, terbukti hanya partai-partai besar saja yang diliput. Di sisi lain, terlihat pula media tidak membangun iklim kritis bagi calon pemilih. Sehingga fungsi media tidak hanya memberi informasi menyangkut tata cara bagaimana memberikan suara pada pemilu dan mengenalkan siapa caleg atau parpol yang kini bertarung di medan pertempuran yang memperebutkan suara demi kekuasaan. Tetapi lebih dari itu adalah bagaimana media semestinya memberi netralitas kepada khalayak.

Page 7: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

7 Edisi : 03/Maret 2009

Yang menarik dari diskusi tersebut, jurnalis yang hadir merasa dihakimi. Padahal maksudnya tidak demikian agar terjadi diskusi yang bisa memberikan solusi. Tetapi para jurnalis kritis dari suratkabar Harian Jogja dan Harian Joglosemar tersebut mengakui bahwa kekuasaan atau wewenang reporter hanya ketika mereka di lapangan dan ketika teks tersebut berada di tangan redaktur, mereka tidak punya kuasa lagi.

Disinilah yang dikatakan oleh Mukhotib, redaktur PBKI sebagai salah satu peserta diskusi bahwa dalam ruang redaksi itu terjadi perkelahian antara satu pihak yakni jurnalis yang punya idealis dan kedua, kepentingan kapital. (ismay prihastuti)

Page 8: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

8 Edisi : 03/Maret 2009

Media dan Jurnalisme :

Pers, Pemilu dan Kritisisme

Calon Pemilih

eberapa bulan terakhir, setidaknya mulai awal tahun ini, media menyediakan ruang dan

waktunya secara khusus guna mewartakan berbagai peristiwa seputar akan dilaksanakannya pemilihan umum (Pemilu) April 2009 ini.

Ruang-ruang khusus yang digunakan menampung dinamika politik yang ber-kembang di tengah masyarakat, itu kemudian diberi label secara khusus pula. Dengan demikian, pelabelan itu melahirkan rubrik baru khusus pemilu, selain tentu saja rubrik yang sudah ada. Realitas sosial berkaitan dengan partai politik, konstituen, calon anggota legislatif, dan negara selaku penyelenggara pemilu, diteropong oleh media melalui berbagai sudut pandang.

Tak pelak, sekarang hampir semua suratkabar menyediakan rubrik khusus

dengan topik pemilu, lengkap dengan segala pernak-perniknya. Beberapa media menyediakan ruang (kapling) satu halaman, tapi ada pula yang menyediakan ruang untuk rubrik itu bahkan hingga tiga halaman penuh.

Kenyataan ini cukup menarik, tidak hanya menyangkut bagaimana produk jurnalisme yang dihasilkan melalui rubrik khusus pemilu kemudian memberi warna tersendiri bagi khalayak. Selain itu -- ini lebih penting-- dari adanya rubrik itu lantas memantik pertanyaan, apakah rubrik pemilu di suratkabar itu sudah menumbuhkan kritisisme bagi calon pemilih?

Berdasarkan hasil pengamatan sederhana di beberapa suratkabar, berita tentang partai politik dan kiprah para calon anggota legislatif (caleg) serta tata cara pelaksanaan pemilu, menjadi porsi utama pemberitaan. Bahkan, mulai tanggal 16

B

Page 9: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

9 Edisi : 03/Maret 2009

Maret 2009, pemberitaan sudah memasuki masa gegap gempita kampanye hingga 2 April 2009. Kiprah parpol dan tokoh-tokohnya dalam menjaring simpati massa calon pemilih, men-

jadi porsi utama pemberitaan.

Akan tetapi, selain produk jurnalisme yang dikerjakan oleh para jurnalis suratkabar, masih ada tulisan-tulisan yang mungkin diharapkan melahirkan inspirasi bagi khalayak, yang dikerjakan oleh penulis bukan jurnalis media itu, dimuat dalam kolom khusus di rubrik khusus itu pula. Tentu saja, tulisan dengan topik yang beriringan dengan pemilu, hampir setiap hari bisa ditemui pada rubrik artikel opini. Namun, untuk yang terakhir itu tidak dibahas pada kesempatan ini.

Dominasi partai lama

Memang, secara keseluruhan, jika harus diperas, misalnya, fakta yang ditampilkan melalui rubrik-rubrik khusus mengenai pemilu, di suratkabar itu masih didominasi untuk menampilkan kiprah partai politik, lengkap dengan dinamika dan intrik yang terjadi di dalamnya. Partai politik yang masuk pemberitaan pun, masih banyak yang berskala besar, artinya parpol yang selama ini dikenal mendulang suara

signifikan, dan terbukti memiliki anggota legislatif di DPR.

Yang lebih khusus pada rubrik itu adalah, jika pun ada sub rubrik berisi kolom tentang para caleg, isinya lebih condong pada tulisan semacam iklan (advertorial) dibanding pemaparan program sang caleg yang mestinya diketahui khalayak atau calon pemilih. Pemaparan ini nyaris tidak ada bedanya dibanding spanduk atau baliho. Misalnya tentang seorang caleg yang mengklaim dirinya cerdas, pro rakyat, berpengalaman dan sebagainya. Penilaian subyektif macam itu, muncul dari diri si caleg. Bukan melalui orang lain, yang diharapkan lebih obyektif.

Mengenai program caleg, juga demikian. Isinya lebih pada deretan kata-kata tentang janji, bukan proses bagaimana program itu kelak diwujudkan dan akan secara nyata bermanfaat bagi masyarakat luas.

Demikian pula pada masa kampanye. Jika ada tokoh pucuk pimpinan partai yang berorasi, pemberitaan yang dihasilkan lebih kepada bagaimana sang tokoh memberi janji kepada calon pemilih. Ada yang mengatakan hendak menurunkan harga sembako, mem-buka lapangan kerja, siap mengawal perubahan dan sebagainya, namun tidak pernah ada penjelasan

Page 10: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

10 Edisi : 03/Maret 2009

bagaimana pimpinan partai itu akan melangkah guna mewujudkan janji-janji itu. Hanya ada penjelasan, misalnya dengan kalimat standar : “jika saya terpilih”, atau “demi perubahan, maka pilihlah partai A”, atau “tidak ada pencapaian sebaik yang sudah kami kerjakan, maka pilihlah partai kami”. Selebihnya adalah porsi untuk memberitakan hura-hura kampanye yang masih seperti waktu terdahulu, yang ternyata tetap didominasi oleh penyelenggaraan hiburan, terutama musik dengan menampilkan artis-artis profesional yang khusus disewa untuk menyedot massa.

Berita-berita seputar partai politik, juga tetap saja didominasi oleh keberadaan partai politik besar. Masih sangat sedikit media memberitakan apa dan bagaimana partai-partai baru, yang semestinya diberi porsi sama dengan yang lain.

Pada masa sebelum kampanye, hampir setiap hari pemberitaan suratkabar diwar-nai dengan kiprah para tokoh partai besar dalam menjalin komunikasi satu dengan yang lain. Padahal, ada 38 parpol yang akan mengikuti perhelatan ini. Partai yang hampir selalu masuk dalam pemberitaan, tak lebih dari 10 parpol. Selebihnya, hanya mengisi rubrik pengenalan parpol peserta pemilu.

Kehadiran pemimpin umum partai tertentu kepada partai lain sebagai manuver politik, misalnya, kemudian disambut dengan berbagai analisa kemungkinan koalisi yang bakal terjadi, dan setelah itu menjadi porsi utama pemberitaan. Demikian pula dengan kepastian tokoh partai maju dalam bursa calon presiden, mengalahkan informasi tentang bagaimana semestinya calon pemilih mengkritisi partai itu sebelum ia kelak menja-tuhkan pilihannya di bilik pemungutan suara.

Namun, kenyataan itu terjadi barangkali karena dilandasi dengan kelayakan berita (news worthiness), unsur ketermukaan (prominence) tokoh-tokoh partai atau magnitude yang dimilikinya, maka partai politik besar menjadi sering muncul di tengah publik . Sehingga, partai besar yang para pengurusnya dianggap memiliki nilai ketokohan tinggi dan oleh karenanya memenuhi kelayakan untuk diberitakan, menjadi lebih sering muncul, baik melalui statement tokoh-tokohnya maupun dinamika yang sedang terjadi dalam partai itu dalam interaksinya dengan partai lain atau dengan pihak penguasa.

Beberapa foto yang muncul di suratkabar, lebih sering menampilkan kiprah tokoh partai besar itu, dibanding dengan foto-foto tokoh partai lain, terutama

Page 11: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

11 Edisi : 03/Maret 2009

partai baru. Khalayak bisa saja tidak mengenal siapa pemimpin partai-partai baru itu, meski pernah muncul daftar partai lengkap dengan kepengurusannya. Dominasi partai lama, yang sudah dikenal publik dan kini menempatkan wakilnya di DPR, dalam berbagai pemberitaan itu kemudian bisa dimaknai tidak memberi alternatif dan kesempatan kepada parpol lain yang semestinya juga bisa diketahui oleh calon pemilih. Terlebih ketika sudah memasuki masa kampanye. Ingar bingar kampanye tak lebih dari seputar parpol besar, kisruh tentang daftar pemilihan umum, kampanye diwarnai dengan kehadiran anak-anak, untuk menyebut contoh.

Namun, ada yang menarik, di tengah situasi masa kampanye, menyeruak fakta ditangkapnya beberapa tokoh yang berasal dari parpol besar, sehubungan dengan dugaan korupsi. Paling tidak, fakta ini telah memberi informasi kepada khalayak, yang bisa digunakan untuk membangun sikap kritis menyikapi pemilu.

Di tengah silang sengkarut pendapat apakah Pemilu 2009 tetap dilaksanakan pada waktunya, mengingat logistik yang belum seluruhnya siap, cara pemberian suara, ukuran kartu suara yang superbesar hingga masalah teknis pelaksana

pendukung, rubrik khusus pemilu di suratkabar tetap dibutuhkan.

Produk jurnalisme yang hanya lima tahun sekali itu, diharapkan bisa memberi warna tersendiri. Pertanyaannya adalah, bagaimana secara kualitatif berita seputar pemilu tidak mengulang-ulang sebagaimana pemilu sebelumnya? Kalau beritanya hanya seputar parpol, calon anggota legislatif yang “jualan diri” di ruang publik, tokoh partai yang mengumbar janji, masih ada ruang kosong tentang bagaimana porsi memberi informasi demi terwujudnya sikap kritis masyarakat luas yang notabene adalah calon pemilih.

Barter lewat media

Untuk menampung informasi seputar dinamika politik khususnya menjelang pemilu, suratkabar menempatkan rubrik dengan memberi nama khusus. Ada kecenderu-ngan, media memilih dua kata yang sudah akrab dengan khalayak yakni : pemilu dan rakyat. Dua kata itu mengesankan pekerjaan besar lima tahunan tentang apa yang tengah terjadi dan apa yang akan dihadapi rakyat sebagai warga negara.

Meski demikian, pilihan kata dalam memberi label rubrik khusus itu, masih dalam kerangka agar pembaca bisa segera

Page 12: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

12 Edisi : 03/Maret 2009

menemukan topik khusus itu dan membedakan dengan berita-berita lain.

Pengamatan pada tiga surat kabar harian terbitan Jakarta dan dua suratkabar terbitan lokal (daerah) yang diamati yaitu Kompas, Republika, Koran Tempo, Suara Merdeka dan Kedaulatan Rakyat, diperoleh gambaran sebagai berikut:

Suratkabar harian Kompas memilih nama rubik Mandat Rakyat tiga halaman dengan sub rubrik Obrolan Politis berisi kolom penulis luar, Bilik Suara, Spanduk Caleg dan Bingkai Pemilu berisi galeri foto.

Republika menyediakan dua halaman bernama Koran Pemilu, dengan sub rubrik Dinamika, Suara Rakyat, Agenda Parpol, dan Kandidat.

Sedangkan Koran Tempo memiliki dua halaman khusus bertajuk Menuju Pemilu Bersihdengan nama sub rubrik Retorika, Kilas dan Serba-Serbi.

Adapun Suara Merdeka menyediakan satu halaman bernama Pemilu Legislatif

Sedangkan Kedaulatan Rakyat menampilkan rubrik khusus dengan nama Rakyat Memilih

Dengan sub rubrik Kontestan dan Derap Demokrasi.

Melalui rubrik khusus itu, media memang telah melaksanakan fungsinya sebagai pemberi informasi terkait dengan segala hal menyangkut pemilu. Misalnya menyangkut sosialisasi tata cara memberikan suara. Juga ada informasi tentang kelambatan pence-takan kartu suara, persiapan panitia pengawas pemilu (Panwaslu), sampai pada hiruk pikuk dan komentar tentang para anggota KPU yang sebulan menjelang pelaksanaan pemilu, masih juga pergi ke luar negeri dengan alasan untuk sosialisasi.

Namun, masih mudah dijumpai kecenderungan telah terjadi semacam perdamaian dalam dinamika pemilu di media. Artinya, ada dilema pada media, antara melakukan se-suatu dan peluang untuk mendapatkan sesuatu. Tercermin melalui beberapa tulisan me-ngenai calon anggota legislatif maupun profil partai yang terkesan semuanya serba baik. Tidak ada kritisisme yang dibangun, misalnya bagaimana menyangkut komposisi peng-urus partai, latar belakang pendidikan pengurusnya, bagaimana sumber daya pendanaan partai itu, sampai pertanyaan kritis, misalnya, mengapa berani mendirikan partai di te-ngah situasi sekarang, apa tujuan dan sebagainya.

Page 13: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

13 Edisi : 03/Maret 2009

Masih banyak gugatan lain yang mestinya bisa saja dipaparkan oleh media.

Dalam sub rubrik Kontestan (Kedaulatan Rakyat) ditulis mengenai kiprah caleg dan partai, yang seratus persen hanya berisi profil tentang mereka, semua serba mulus dan baik, tetapi di dalam kredit tulisan itu tidak dicantumkan keterangan tulisan itu adalah advertorial. Itu berarti, tulisan tersebut adalah produk jurnalisme.

Hal ini bisa melahirkan pertanyaan, mengapa media tidak secara jujur meng-atakan telah mengiklankan partai atau caleg? Mengapa tulisan itu mesti dibungkus atau disamarkan dengan inisial tim wartawan atau tim penulis kalau sejatinya adalah iklan? Apakah ini hanya gimmick parpol atau caleg agar bisa diliput dan kemudian diberitakan di media? Pertanyaan lebih jauh adalah, seperti apa kiranya situasi yang dihadapi jurnalis menghadapi persoalan seperti itu. Apa yang terjadi jika terjadi pembodohan pembaca?

Tak dapat dipungkuri, pembaca suratkabar adalah masyarakat yang

beragam, heterogen. Para editor di newsroom selalu mempunyai persoalan setiap kali harus me-milih dan menentukan berita yang hendak disampaikan kepada khalayak. Pun demikian dalam memilih berita mengenai Pemilu 2009 yang dikemas dalam rubrik khusus itu.

Akan tetapi, dengan segala kekurangan dan persoalan yang dialami media dan jurnalis di lapangan, pers tetap harus berfungsi untuk bisa membangun iklim kritis bagi calon pemilih. Bagaimana pun jurnalis harus punya netralitas. Independensi pada media bukan saja dari netralitas, tapi juga bagaimana kritisisme harus senantiasa dibangun.

Fungsi media tidak hanya memberi informasi menyangkut tata cara bagaimana memberikan suara pada pemilu, mengenalkan siapa caleg atau partai politik yang kini bertarung di medan pertempuran memperebutkan suara demi kekuasaan. Lebih dari itu adalah bagaimana media semestinya memberi netralitas kepada khalayak. (Agoes Widhartono)

(*Penulis adalah staf redaksi Newsletter LP3Y Online

Page 14: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

14 Edisi : 03/Maret 2009

Media dan Gender :

Pemberitaan Suratkabar tentang Caleg Perempuan

enjelang pemilu yang akan berlangsung pada 9 April mendatang, media berlomba-lomba memberikan suguhan kepada masyarakat tentang

hal-hal yang menyangkut pemilu, termasuk iklan parpol.

Media elektronik, televisi selain gencar menyajikan iklan parpol, juga mengemas acara berkaitan dengan pemilu ini. TV One, dengan mengusung slogan sebagai televisi pemilu misalnya, punya program acara dengan nama “Kabar Pemilu” ataupun “Debat Partai”. Sedangkan, Metro TV dengan acara “The Candidate” juga menyajikan kegiatan seputar pemilu dengan menampilkan beberapa kontestan sebagai calon presiden mendatang. Selain itu masih banyak lagi televisi menyajikan acara yang bertujuan menarik pemirsa berkaitan dengan pemilu 2009 ini.

Tidak ketinggalan, media cetak atau suratkabar harian pun memuat berita-berita tentang itu. Malah sebagain besar suratkabar tersebut punya rubrik khusus tentang pemilu. Seperti misalnya Kompas dengan nama rubrik Mandat Rakya, Republika dengan nama rubrik Koran Pemilu, Kedaulatan Rakyat dengan nama rubrik Rakyat Memilih dan Suara Merdeka dengan nama rubrik Pemilu Legislatif.

Selain itu, terlepas adanya rubrik pemilu dalam suratkabar yang berisi tentang segala kegiatan yang

berkaitan dengan pemilu, media juga menyajikan seputar kegiatan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan perkembangan pemilu yang terkadang tidak ditempatkan pada rubrik tersebut.

Banyak hal yang disoroti media, seperti misalnya sosialisasi cara mencontreng surat suara, kedatangan surat suara yang molor di sejumah daerah, banyaknya surat suara yang rusak, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendapat tanggapan dari berbagai parpol (partai politik), termasuk caleg (calon legislatif) dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan itulah, timbul pertanyaan kritis seperti apa media, terutama media cetak memberitakan isu perempuan atau khususnya caleg perempuan menghadapi pemilu ini? Apakah ada upaya media

M

Page 15: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

15 Edisi : 03/Maret 2009

mengenalkan caleg perempuan kepada pembaca?

Keputusan MK

Isu perempuan dalam dunia politik menjadi begitu hangat ketika keputusan Mahkamah Kontitusi (MK) tentang pembatalan berlakunya ketentuan pasal 214 UU No 10/2008 mengenai penetapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Sejumlah suratkabar pada awal hingga pertengahan Maret ini masih memuat berbagai pernyataan atas adanya keputusan MK tersebut.

Seperti misalnya suratkabar harian Republika ( 16/3/09) dengan judul berita “Putusan MK dinilai Berangus Caleg Perempuan”. Judul berita tersebut diambil dari pernyataan seorang pengamat hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, dalam diskusi mengenai pelaksanaan Pemilu 2009 di lembaga Penelitian Unsoed pada 14/03/09 lalu.

Selain itu suratkabar harian Kedaulatan Rakyat edisi 15/03/09 juga menurunkan berita dengan judul “Keputusan MK membuat Kecewa Perempuan”. Judul tersebut diambil dari pernyataan anggota DPD DIY GKR Hemas dalam seminar nasional “Perempuan dan politik di Indonesia: Peluang dan Tantangan dalam Pemilu 2009” di UGM pada 12/3/09.

Lain halnya dengan Suara Merdeka edisi 13/03/09. Pada rubrik Pemilu Legislatif, dengan judul berita “Representasi Perempuan Sulit Direalisasikan” juga berisi tentang keputusan MK yang telah menjadi pemicu hilangnya affirmative action dan kuota bagi perempuan di parlemen. Hal itu disampaikan oleh Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Jawa Tengah, Prof Dr Agnes

Widanti SH CN, dalam diskusi public Peluang Keterwakilan Perempuan di parlemen pada Pemilu 2009 di gedung DPRD Jateng.

Begitulah, keputusan MK memang banyak membuat caleg perempuan merasa kecewa. Hal ini disebabkan dalam UU Pemilu No 10/2008 ada tiga ketentuan penting yang dapat disebut merupakan aturan yang berpihak atau affirmatif pada kaum perempuan. Pertama, ketentuan daftar bakal caleg yang sedikitnya menetapkan 30 persen adalah perempuan. Kedua, pemberlakuan sistem nomor urut terhadap caleg terpilih. Ketiga, pemberlakuan sistem zipper, dimana setiap tiga caleg dalam daftar nomor urut, harus mencatumkan minimal satu caleg perempuan.

Dengan adanya tiga ketentuan di atas tersebut, UU Pemilu No 10/2008 sangat jelas keberpihakan kepada perempuan. Namun dengan keputusan MK, hal itu telah memberangus kesempatan perempuan untuk menjadi anggota parlemen.

Page 16: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

16 Edisi : 03/Maret 2009

Namun paling tidak itulah gambaran bagaimana suratkabar mengangkat seputar tentang keputusan MK. Berita pemilu yang baru pada tataran wacana karena berisi talking news, liputan seminar dan diskusi bagi perempuan yang berpendidikan tinggi.

Berita belum menyentuh pemilih perempuan pada umumnya.

Hal lain yang masih perlu mendapat jawaban adalah tentang upaya media dalam mengenalkan para caleg perempuannya. Suratkabar Republika dalam rubrik Koran Pemilu dengan sub rubrik Kandidat, memuat beberapa calon legislatif perempuan. Pada edisi 13/03/09, dengan Judul berita “Perjuangan Keterwakilan Perempuan”, beritanya berisi tentang pernyataan seorang caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yakni Nurhayati Payopo. Caleg tersebut memberikan pernyataan tentang keputusan MK yang membuat caleg perempuan harus head to head alias berhadapan langsung dengan caleg laki-laki. Keputusan itu yang dinilainya seakan makin memberatkan langkah caleg perempuan dalam persaingannya menuju senayan.

Lain halnya dengan Dinajani, masih dalam sub rubrik yang sama, caleg dari Partai democrat itu ingin memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama berkaitan dengan kesehatan perempuan, (Republika, 17/3/09).

Liputan media tentang caleg hanya menyentuh sedikit tujuan pemberdayaan perempuan. Padahal media berperan dalam mewujudkan perempuan sebagai agen perubahan dalam transformasi organisasi. Seperti pernyataan Darwin dalam bukunya dalam transformasi organisasi perempuan diharapkan

untuk terus menjadi agen perubahan yang aktif, yang mampu memetakan pemberdayaan perempuan secara lintas sektoral dan mencakup berbagai peran perempuan. Pemberdayaan tersebut antara lain meliputi: memperluas ruang gerak, posisi dan peran baru yang sebelumnya di dominasi laki. (Negara dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik : 2005)

Transformasi organisasi dalam dunia politik, pemberdayaan perempuan menjadi penting karena sebelumnya dunia politik didominasi laki-laki. Keterwakilan perempuan di DPR paling tidak dapat diharapkan ada suara dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti target dan tujuan yang ingin dicapai Dinajani misalnya.

Namun, sejarah tentang keterwakilan perempuan di parlemen memang membutuhkan affirmative action atau tindakan khusus, karena start awal memasuki dunia politik perempuan jauh ketinggalan dibanding laki-laki.

Page 17: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

17 Edisi : 03/Maret 2009

Namun inilah yang perlu dipikirkan bersama tentang partisipasi perempuan di DPR. Anggota DPR yang sebagian besar adalah laki-laki tidak juga mencerminkan jalannya good governance. Sejarah memang belum membuktikan karena sampai saat ini kesempatan atau partisipasi perempuan baru mencapai 11,3 persen pada periode 2004-2008.

Aksi Perempuan Jateng

Sejumlah caleg perempuan untuk Pemilu 2009 yang mewakili daerah pemilihan di berbagai wilayah Jawa Tengah berkomitmen memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak. Yakni terkait dengan kesehatan reproduksi, kekerasan berbasis gender, trafficking, gender budget dan anti korupsi. Itulah lead yang dimuat pada berita dengan judul “Perempuan Caleg Teken Lima Komitmen” yang dimuat Suara Merdeka edisi 15/03/09.

Acara pertemuan konsolidasi caleg perempuan yang diadakan oleh Kemitraan dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) berlangsung di Hotel Santika Premiere Semarang ini juga dimuat di suratkabar Kompas edisi 16/3/09 pada rubrik Mandat Rakyat dengan judul “Caleg Perempuan Jawa Tengah Bersatu”.

Dalam pertemuan itu sejumlah caleg Jawa Tengah memberikan pernyataannya tentang peran caleg perempuan pada Pemilu 2009 ini. Salah satunya Fauziyah Ariningsih, caleg dari kota Magelang. Dalam suratkabar Kompas ia mengatakan bahwa pendidikan politik menjadi sangat penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parleman. Oleh karena itu caleg perempuan perlu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Begitulah pengamatan singkat yang dilakukan pada awal hingga pertengahan maret 2009. Wacana keterwakilan perempuan masih mendominasi suratkabar kita. Tidak ada yang salah dari liputan tersebut karena memang sudah seharusnya isu-isu perempuan terus diperjuangkan mengingat sejarah keikutsertaan perempuan di dunia politik. Namun, apakah tidak ada peristiwa yang dapat memberi informasi lebih kepada pembaca, seperti misalnya bagaimana perjuangan caleg perempuan di lapangan ketika bertarung dengan caleg laki-laki? Atau bagaimana dengan pemilih baik laki-laki atau perempuan, berapa banyak yang memilih caleg perempuan?

Pertanyaan-pertanyaan ini memang butuh waktu panjang untuk mengamati isi suratkabar. Namun dengan gambaran pengamatan singkat tadi kecenderungan media dalam meliput caleg perempuan baru sebatas berita talking news. (ismay Prihastuti)

Page 18: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

18 Edisi : 03/Maret 2009

Media dan Kebencanaan :

Perempuan,

Terabaikan di Berita Bencana

ada masa tanggap darurat bencana gempa di DIY-Jateng 2006, ada sejumlah cerita berkaitan dengan

persoalan yang dihadapi perempuan korban gempa. Di antaranya tentang toilet di pengungsian dan alat-alat dapur/alat kerja.

Para perempuan korban gempa merasa risih jika harus menggunakan toilet bantuan. Bukan karena bau atau sempit. Mereka risih karena dinding (berbahan tripleks) dibuat menggantung, yaitu tidak menutup hingga permukaan lantai. Apabila mereka jongkok untuk buang air besar atau kencing maka sebagian tubuh mereka terlihat dari luar. Konstruksi dinding seperti ini tidak terlalu jadi masalah bagi laki-laki, terutama untuk keperluan kencing sebab laki-laki bisa melakukannya sambil berdiri.

Cerita tentang alat-alat dapur dan alat kerja adalah ketika waktu menembus angka setahun pascagempa ternyata masih teramat banyak perempuan di dusun-dusun

di Bantul yang mengaku kesulitan untuk memulai usaha kembali dan bekerja secara optimal di dapur. Pasalnya, gempa telah menghancurkan alat-alat kerja dan alat-alat dapur milik mereka, namun hampir tak ada bantuan berupa benda-benda tersebut.

Alat dapur jelas dibutuhkan untuk mengolah makanan bagi mereka dan keluarga. Alat kerja? Ini yang hampir luput dari perhatian: lebih dari separoh perempuan dusun di Bantul merupakan pelaku ekonomi, terutama sebagai pedagang dan produsen (makanan dan barang non makanan). Ketika alat-alat kerja mereka rusak, maka salah satu aset usaha mereka hilang. Padahal, modal usaha berupa uang nyaris habis terpakai untuk membiayai pembangunan tempat tinggal (biaya rekonstruksi dari pemerintah sangat jauh dari memadai).

Tapi apakah cerita yang dialami para perempuan korban bencana itu sampai

P

Page 19: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

19 Edisi : 03/Maret 2009

ke publik melalui pemberitaan media? Dikatakan tidak ada sama sekali mungkin tidak tepat benar. Namun yang jelas amat minim. Seakan-akan perempuan korban bencana tidak mempunyai masalah spesifik.

Selain dua masalah yang dicontohkan di atas, perempuan korban bencana menghadapi persoalan kesehatan reproduksi, sanitasi, stress, kelelahan, menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (dengan berbagai bentuknya: ekonomi, seks, psikologis), bahkan kekerasan seksual, dan sebagainya. Perempuan korban bencana menghadapi masalah lebih kompleks, terutama karena mereka harus pula memikul beban ganda: bagi perempuan pedagang atau pengusaha, mereka pun masih dituntut mengurus dan melayani anak, suami, mengelola rumah, belanja, mencuci, dan seterusnya. Dan dalam situasi darurat yang serba kurang, peran-peran seperti itu justru tidak berkurang. Sebaliknya, implementasi peran-peran itu mendapat tambahan beban berupa keserbadaruratan.

Minimnya informasi berupa berita media tentang perempuan korban bencana akan menyebabkan beberapa hal.

Pertama, publik tidak mendapat gambaran mengenai permasalahan yang dihadapi para perempuan korban bencana, sebaliknya publik bisa beranggapan bahwa masalah perempuan korban bencana sama

saja dengan laki-laki. Bahkan, bisa saja publik beranggapan tak ada masalah.

Kedua, publik tak tahu apakah permasalahan para perempuan korban bencana itu mendapat perhatian atau terabaikan dalam upaya penanggulangan bencana. Kalau mendapat perhatian, apakah bantuan untuk mengatasi permasalahan itu disampaikan secara tepat (tepat jumlah, tepat sasaran, tepat guna). Pada banyak kasus penanggulangan bencana, yang kerap terjadi justru tidak tepat jumlah, tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna.

Ketiga, publik pun tidak mendapat gambaran tentang seperti apa perjuangan para perempuan korban bencana mengatasi persoalan mereka. Padahal di banyak kejadian bencana, tatkala para lelaki terpuruk, para perempuanlah yang cepat tanggap mengatasi situasi darurat.

Keempat, dari waktu ke waktu, dari bencana ke bencana, perempuan korban bencana terpaksa harus menghadapi dan memecahkan sendiri beragam persoalannya. Sebab mereka tak tersuarakan.

Hanya 1,6 %

Apakah amat minimnya berita yang menyuarakan persoalan perempuan korban bencana hanya terjadi ketika gempa DIY-Jateng 2006?

Page 20: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

20 Edisi : 03/Maret 2009

Seperti kita ketahui bersama, negeri ini merupakan kawasan rawan bencana alam yang meliputi bencana hidro-meteorologis (banjir, kekeringan, puting beliung) dan geologis (gempa, letusan gunung, pergerakan tanah, longsor).

Dalam lima tahun terakhir (2004-2008), tiap tahun rata-rata terjadi 200 lebih kejadian bencana alam (tabel 1). Pada bulan November hingga awal atau pertengahan Maret bencana alam yang rutin melanda sebagian wilayah Indonesia yaitu banjir dan tanah longsor.

Tabel 1. Jumlah Kejadian Bencana 2004-2008

Sumber: Kompas, (3/2/2009 hal. 1)

Karena bencana alam ini menjadi bagian dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia, maka media massa selalu memberi ruang untuk memberitakannya. Namun, bagaimana jawaban atas pertanyaan di atas?

Amat minimnya pemberitaan yang menyuarakan (persoalan) perempuan korban bencana tak hanya terjadi ketika gempa DIY-Jateng 2006. Hasil pengamatan terhadap berita-berita bencana alam yang berlangsung selama bulan Februari 2009 di tujuh suratkabar (Kompas, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Suara Merdeka,

Jumlah Kejadian 2004 2005 2006 2007 2008

Gempa Bumi 11 9 20 13 8

Tanah Longsor 54 50 73 103 39

Banjir dan Tanah Longsor 9 13 31 52 22

Banjir 285 248 328 335 197

Page 21: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

21 Edisi : 03/Maret 2009

Media Indonesia, Koran Tempo, Republika) menunjukkan kondisi serupa.

Sepanjang Februari 2009 teramati sebanyak 164 item berita (156 item berupa berita

langsung/straight news dan 8 berupa berita kisah/features) dengan beragam kejadian bencana, terbanyak banjir (lihat tab)

Tabel 2. Jumlah berita menurut kejadianbencana

Dari jumlah tersebut berita yang mengangkat persoalan yang dihadapi perempuan korban gempa sebagai topik utama dengan menjadikan perempuan korban gempa sebagai narasumber utama hanya empat item atau 2,4%.

Kemudian, ada empat item (2,4%) berita yang di dalamnya mencantumkan “suara perempuan korban bencana”. Berita ini tidak menjadikan persoalan perempuan korban bencana sebagai topik utama. Kutipan pernyataan dari perempuan korban

bencana hanya untuk melengkapi fakta umum.

Tabel 3. Berita dengan narasumber perempuan korban bencana

Kedelapan berita tersebut terdapat hanya di empat dari tujuh suratkabar yang diamati (Kompas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat dan Republika).

Jika dilihat dari jumlah perempuan yang menjadi narasumber, jumlah berita “bersuara perempuan” tampaknya memang agak banyak, yaitu 13 item (7,9%). Tercatat ada 23 orang perempuan menjadi narasumber untuk 13 item berita tersebut.

Kejadian bencana Jumlah berita

Banjir 93 Longsor 43

Gempa 10

Pergerakan tanah 6

Puting beliung 6

Tsunami 3

Tidak spesifik 1

Jumlah 164

Posisi dalam berita Jumlah Item

Berita

Persen

Topik utama persoalan perempuan di daerah bencana dengan narasumber perempuan korban bencana

4 2,4

Topik utama tentang bencana, narasumber perempuan korban bencana hanya dikutip untuk melengkapi informasi

4 2,4

Page 22: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

22 Edisi : 03/Maret 2009

Namun perlu dicatat, dari jumlah itu hanya 14 orang perempuan korban bencana. Sisanya, yaitu 9 orang adalah ahli geologi, ahli kehutanan, bupati, wakil gubernur, dokter dan kasubbag kesehatan. Ke-9 orang ini, meskipun perempuan, tidak berbicara atau menyampaikan persoalan yang dihadapi perempuan korban bencana.

Terhadap berita dengan narasumber perempuan korban bencana yang jumlahnya amat minim itu masih bisa diajukan pertanyaan mendasar yaitu seberapa besar porsi yang disediakan untuk mereka. Menjawab pertanyaan ini cukup sederhana, yaitu dengan melihat dari seberapa banyak mereka dikutip.

Dari delapan berita dengan narasumber perempuan korban bencana hanya terdapat 19 alinea dan 1 kalimat yang menggambarkan persoalan yang dihadapi perempuan korban bencana. Jumlah tersebut berarti hanya 1,6% dari total 1.148 alinea (rata-rata satu berita 7 alinea: berita terpendek 3 alinea, terpanjang 30 alinea) untuk seluruh item berita teramati. Tentu ini suara yang amat sayup-sayup dan nyaris tak terdengar. Apalagi, dari 19 alinea itu tak seluruhnya menjadi informasi yang bisa segera dibaca khalayak. Hanya sepuluh alinea yang bisa segera sampai ke pembaca, sekalipun tidak dijadikan lead berita. Lima alinea lain “tersembunyi” karena hanya merupakan informasi pelengkap, kemudian empat dari

total 9 alinea pada sebuah features sama sekali tidak berbicara tentang persoalan perempuan di pengungsian meskipun narasumbernya perempuan korban bencana.

Akibat amat minimnya informasi tentang persoalan perempuan korban bencana, yaitu dengan rasio 4: 160 (berita bertopik persoalan perempuan korban bencana: berita peristiwa bencana secara umum/non persoalan perempuan) bisa diperkirakan bahwa khalayak pembaca tidak mendapat gambaran memadai tentang persoalan yang muncul dan dihadapi para perempuan korban bencana. Terlebih lagi pembaca tiga suratkabar (Koran Tempo, Media Indonesia dan Solopos) sebab mereka tidak mendapat informasi itu. Seandainya khalayak akan membantu, mereka tak tahu kebutuhan spesifik apa yang bisa dipenuhi. Akhirnya, lagi-lagi hanya membantu bahan makanan padahal seringkali bahan makanan ini sudah lebih dari cukup. Penuturan seorang ibu korban banjir di Cilacap ini bisa mengingatkan: “...kompor juga rusak. Jadi kita berharap adanya bantuan alat masak, jangan hanya bahan makanan.” (Korban Banjir Kebingungan Jalankan Aktivitas Pascabencana, Republika, 5/2/09:). Tapi, pembaca tak tahu berapa kompor yang dibutuhkan, sebab tak ada data diinformasikan.

Page 23: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

23 Edisi : 03/Maret 2009

Male Story Minimnya berita dengan informasi tentang persoalan perempuan korban bencana baik yang disuarakan laki-laki ataupun perempuan bukan korban bencana, apalagi yang disuarakan perempuan korban bencana, sepertinya meneguhkan pandangan bahwa kerja jurnalisme adalah dunia maskulin yang pelakunya (sebagian besar) laki-laki dan menggunakan sudut pandang laki-laki dalam melihat dan mengabarkan berbagai realitas sosial.

Hal yang hampir sama diungkapkan dalam laporan yang dikeluarkan Women, men and Media Project yang mengungkapkan secara kritis cerita-cerita di balik Perang Teluk (Gulf War). Menurut laporan tersebut hampir seluruh cerita yang ada hanya mengenai laki-laki, pekerjaan mereka, senjata dan opini mereka. Semuanya adalah “male story” (Jade Kramer, May 1992).

Fakta pemberitaan bencana yang menjadi obyek pengamatan ini juga tak jauh berbeda dengan fakta yang ditunjukkan dalam laporan World Association for Christian Communication (2000) (dikutip Nur Iman Subono, Menuju Jurnalisme yang Berprespektif Gender, dalam Jurnal Perempuan 20:2003). Ternyata, demikian menurut laporan tersebut, terungkap bahwa perempuan hanya berjumlah sekitar 18% dari seluruh masyarakat yang

diwawancarai untuk berita-berita di seluruh dunia. Kemudian, kalangan media seringkali tidak mempertimbangkan adanya perempuan-perempuan sebagai kalangan pemimpin, melukiskan perempuan-perempuan tersebut hanya sebagai individu-individu dan bukan kelompok-kelompok perempuan; menampilkan mereka sebagai korban bukan sebagai pahlawan, mengedepankan mereka sebagai figur-figur yang sensual, bukan sebagai kalangan pemikir.

Apa akibat dari kondisi seperti itu, khususnya dalam konteks kebencanaan?

Seperti telah dikemukakan di awal, akibat dari minimnya informasi tentang persoalan perempuan korban bencana yaitu perempuan akan terus terabaikan dalam upaya penanggulangan bencana. Sebab, publik tidak mendapat informasi bahwa ada banyak persoalan dihadapi perempuan korban bencana. Dengan begitu, untuk membantu pun tak berbekal peta persoalan yang berakibat pada tidak tepat sasaran/jumlah/guna bantuan yang diberikan. Publik pun tak mendapat informasi memadai bersifat kontrol publik dari media apakah negara melalui aparaturnya telah menjalankan kewajibannya secara tepat sasaran/jumlah/guna, atau bahkan negara sama sekali lalai menjalankan kewajibannya melindungi dan mengatasi persoalan perempuan korban bencana seperti

Page 24: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

24 Edisi : 03/Maret 2009

diamanatkan undang-undang (UU RI 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana).

Kepekaan Gender

Agar perempuan korban bencana tidak terus terabaikan sehingga harus berjuang sendiri mengatasi persoalan mereka di tengah situasi serba darurat dan kekurangan, maka mereka harus disuarakan dengan intensitas lebih kuat. Ibarat pentas musik, tak cukup lagi hanya dengan loudspeaker 1.000 Watt, melainkan 10.000 Watt, dengan penempatan loudspeaker di berbagi tempat. Mikrofon pun tak lagi cukup hanya sebuah, melainkan sebanyak mungkin agar bisa merekam makin banyak sumber suara. Pengolah suara pun tak cukup lagi hanya satu unit amplifier, tapi harus ditambah pula dengan unit sound mixer dan piranti pengontrol suara (sound controler).

Untuk itu jurnalis perlu memiliki kepekaan gender (gender sensitivity), selain itu memiliki pemaham memadai mengenai kebencanaan. Bahwa, peristiwa bencana bukan hanya soal statistik (luas wilayah terdampak, jumlah kerugian, jumlah korban, dst). Jurnalis harus bisa melihat lebih jauh dari itu.

Ambil contoh, ketika jurnalis mendapat informasi adanya pengiriman bantuan unit air bersih ke lokasi pengungsian, jurnalis perlu mencermati di

mana unit itu ditempatkan. Ini untuk melihat aksesibilitas pengungsi, terutama perempuan, terhadap fasilitas tersebut. Apakah bagi perempuan pengungsi jaraknya terlalu jauh? Soalnya, jarak akan menentukan energi yang dibutuhkan. Padahal, tak bisa dipungkiri perempuan masih dibebani peran mengurusi sepenuhnya kegiatan domestik. Jarak yang jauh antara tempat memasak dengan sarana air bersih akan melelahkan mereka, sementara mereka masih harus mengerjakan banyak hal.

Soal lokasi tak hanya menyangkut jarak yang berimbas pada tingkat kelelahan. Perlu dicermati apakah penempatan itu memberi rasa aman bagi perempuan? Lokasi sarana air bersih yang jauh, membuka peluang bagi kemungkinan timbulnya gangguan berupa pelecehan seksual terhadap perempuan saat mengambil air.

Selain itu, jurnalis perlu mencermati apakah para perempuan dilibatkan dalam penentuan lokasi penempatan sarana air bersih tersebut? Jangan-jangan, penempatan itu hanya didasarkan keputusan para laki-laki atau pemberi bantuan (pemerintah maupun non pemerintah).

Begitu pula ketika ada pemberian bantuan, jurnalis perlu mencermati apakah para perempuan dilibatkan dalam membuat

Page 25: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

25 Edisi : 03/Maret 2009

keputusan pendistribusian, bukan hanya mendapat jatah tugas mendistribusikan.

Di banyak kasus persoalan muncul dan terpaksa dialami perempuan korban

bencana antara lain karena perempuan tidak dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan menyangkut kehidupan

pengungsi ataupun korban bencana yang tidak mengungsi. Salah satu contoh telah dipaparkan di awal, yaitu tentang toilet bermasalah dalam penanganan pengungsi bencana gempa DIY-Jateng 2006. Dan sayangnya, ini luput dari pemantauan

media. Sebab, jurnalis begitu sibuk dengan urusan angka-angka dan dramatisasi bencana. Seperti halnya pada berita-berita bencana yang teramati selama Februari 2009.(Dedi Purwadi)

Page 26: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

26 Edisi : 03/Maret 2009

Spesial Info :

PKBI DIY Membangun Kantor Berita “Suara Nusa”

arus diakui, intervensi isu kesehatan reproduksi (Kespro), seksualitas, HIV/AIDS, Gender dan HAM ke dalam jurnalisme bukanlah isu dan strategi baru. Sudah banyak training juga workshop digelar, diikuti para jurnalis di negeri ini. Namun, dalam

pembacaan PKBI DIY, intervensi yang sudah berjalan selama ini masih menunjukkan parsialitas isu yang belum mampu ditangkap oleh pers sebagai sebuah kesatuan isu yang integral.

Penilaian itu dituturkan oleh Direktur Pelaksana Daerah (Dirpelda) Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, Mukhotib MD kepada Newsletter LP3Y baru-baru ini.

Menurut Mukhotib, alih-alih memunculkan keberpihakan khalayak pembaca terhadap mereka yang selama ini terpinggirkan oleh sistem, model pemberitaan selama ini justru menambah beban stigma dan memperlebar ruang diskriminasi.

Melihat kenyataan itulah, lanjut Mukhotib, kemudian memunculkan hajat PKBI DIY untuk membangun sebuah kantor berita dalam upaya mencoba melakukan sinergitas isu Kespro, Seksualitas, HIV/AIDS, Gender dan HAM ke dalam dunia jurnalistik. Hal ini merupakan jawaban atau langkah konkret atas kegelisahan seperti diutarakan di atas.

Pendidikan bagi wartawan dalam isu Kespro, Seksualitas, HIV/AIDS. Gender dan HAM bukannya tidak ada. Kegiatan itu sejatinya dibuat untuk mengurusi otak dan nalar wartawan agar menulis berita tidak diskriminatif atau minimal tidak bias dalam menulis isu-isu tersebut. Namun, dalam teropong PKBI DIY, pada kenyataannya justru banyak media yang menjadi salah satu alat untuk melanggengkan nalar sosial yang tidak adil dengan menggunakan hubungan kekuasaan yang tidak berimbang.

H

Page 27: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

27 Edisi : 03/Maret 2009

Selain bagi sebagian besar newsroom media mainstream isu tersebut dinilai tidak “seksi”, yang lebih diutamakan adalah pelurusan nalar si jurnalis dalam memandang dan menyikapi isu-isu tersebut sebagai langkah strategi, bukan semata dalam hal teknik jurnalistiknya. Perspektif jurnalislah yang mesti diurusi.

Untuk itu, menurut PKBI DIY, forum training dan workshop dipandang terlalu instan dan berjangka pendek untuk dapat memfasilitasi kebutuhan itu. Suatu ruang yang mampu menjawab kebutuhan tersebut adalah dengan adanya sebuah kantor berita alternatif yang mampu memfasilitasi kebutuhan jurnalis dalam hal reportase, up date data, cross-check data yang otoritatif dan sensitif, analisis trend dan mendialogkan suatu berita dengan berita yang bersumber dari fakta/sumber lain.

Sehubungan dengan rencana itu, PKBI DIY menyiapkan segala hal yang kelak diperlukan demi berdirinya sebuah lembaga kantor berita yang akan diberi nama Suara Nusa itu. Lembaga ini diharapkan bisa diakses oleh media mainstream dengan tujuan agar berita-berita yang bermuatan isu-isu Kespro, HIV/AIDS, Seksualitas, Gender dan HAM, tidak lagi bias. Dengan demikian khalayak bisa mendapatkan informasi yang baik dan benar tentang berbagai realitas sosial, terkait dengan perspektif isu-isu tersebut.

Sebagai persiapan awal, PKBI DIY menggelar sebuah workshop dengan topik besar pengelolaan kantor berita.

Diundanglah beberapa peserta dari berbagai kota besar di Indonesia, tentu saja dalam jejaring PKBI, untuk mengikuti workshop. Mereka kelak akan bertugas sebagai jurnalis pengelola berita, atau kepala biro. Sedangkan news room Kantor Berita Suara Nusa berada di Yogyakarta, menempati salah satu ruangan kantor PKBI DIY. Dengan demikian, ketika pada saatnya nanti lembaga ini beroperasi, karena sudah mempunyai ruangan atau kantor tersendiri, tidak akan mengganggu aktivitas rutin PKBI. Pengelola di kantor redaksi Yogyakarta juga disiapkan secara khusus. Mereka akan berperan sebagai editor, menampung berita atau laporan dari seluruh penjuru. Naskah laporan berita itu diperiksa, diedit, sebelum kemudian ditayangkan dalam situs on-line yang tentu saja terbuka untuk diakses media mainstream.

Para peserta datang dari Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Makassar, Me-dan, Palembang, Manado, Bali, Aceh dan tentu saja tuan rumah Yogyakarta sebagai pihak yang punya gawe. Workshop bagi calon jurnalis PKBI itu diselenggarakan selama dua hari berturut-turut pada 25 dan 26 Februari 2009, bertempat di Wisma Sargede, Yogyakarta.

Page 28: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

28 Edisi : 03/Maret 2009

Meramu konsep dalam praktek

Sebagai bekal untuk melangkah ke depan, dalam konteks pengelolaan sebuah lembaga kantor berita, maka workshop itu menghadirkan pembicara utama, pakar ilmu komunikasi dari UGM, Drs Ashadi Siregar.

Ashadi, yang juga Direktur Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y) itu mengetengahkan dua topik. Pertama tentang rencana strategis pengembang-an pusat informasi LSM, berkaitan dengan kantor berita PKBI. Topik kedua adalah jurna-lisme sensitif HAM, seksualitas, gender dan Kespro, berkaitan dengan pemberitaan da-lam kegiatan lembaga swadaya masyarakat.

Bagaimana meramu konsep dua topik tersebut ke dalam praktek kerja jurnalisme, digenjot selama sehari penuh, mulai siang hingga malam hari. Peserta workshop datang dengan berbagai latar belakang. Misalnya ada yang sudah mengenal bagaimana jurnalisme, teori maupun prakteknya, dalam kesempatan itu mempertajam pengetahu-annya dengan mengajukan berbagai pertanyaan kepada narasumber. Sedangkan bagi mereka yang datang sebagai pemula di bidang jurnalisme, topik besar ini lebih digunakan sebagai bekal dalam praktek kelak jika sudah menjalankan fungsinya sebagai jurnalis “Suara Nusa”.

Pada poin mengenai informasi dalam pembingkaian PKBI, Ashadi Siregar mengutarakan, pengembangan informasi untuk keperluan PKBI dapat ditempatkan dari landasan hak azasi. Untuk itu, fokus dan setiap penulisan informasi adalah pada person, pada keberadaannya dengan hak azasinya.

Secara sederhana, demikian Ashadi, hak azasi dilihat sebagai hak yang melekat pada diri setiap person dan hak yang diperoleh dari ketentuan bersifat imperatif dari pihak lain. Sebagai ilustrasi, hak yang melekat seperti hak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi; hak atas pengakuan yang sama sebagai manusia di muka hukum di mana pun ia berada dan lainnya. Hak dari pihak lain, misalnya: tidak boleh dikenai intervensi sewenang-wenang terhadap privasi, keluarga, rumah atau korespondensinya, juga serangan terhadap kehormatan dan nama baiknya. Dengan begitu, fakta dilihat dari kerangka hak person (who). Sedangkan peristiwa (what) dilihat dengan konteks ancaman atau perlindungan atas hak azasi person, secara fisik maupun non fisik.

Page 29: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

29 Edisi : 03/Maret 2009

Untuk PKBI, kata Ashadi Siregar, pengembangan informasi dengan orientasi kelembagaan: yaitu melihat person dalam peristiwa dalam masalah seksualitas, atau HIV/AIDS, atau gender atau kesehatan reproduksi.

Mengenai ideologi dan keyakinan gerakan PKBI, sudah diberikan secara tuntas dan detil oleh Mukhotib MD selaku Dirpelda PKBI DIY, pada sesi awal, sebelum masuk pada topik jurnalisme dalam konsep dan praktek.

Setelah mendapatkan konsep, kemudian bagaimana mempraktekkan konsep itu dalam kerja jurnalisme, peserta workshop juga diberi berbagai kaidah sebagai acuan kerja di bidang redaksi (editorial policy)

Politik keredaksian yang diberlakukan oleh Suara Nusa, terdiri beragam hal. Mulai persoalan teknis, misalnya bagaimana menggunakan bahasa, menulis berita dan menentukan format tulisan, menulis istilah tertentu dan sebagainya. Termasuk di dalamnya mengetahui alur pengiriman naskah hingga kemudian layak ditayangkan (didisplay) pada situs on-line.

Sebagai sebuah gerakan dalam jagat media, apa yang dilakukan PKBI DIY, ini merupakan terobosan. Terutama pada tingkat keberanian membangun sebuah kantor berita yang memuat informasi dalam bingkai isu-isu khusus itu.

Seperti apa wujud kantor berita itu dan bagaimana reaksi khalayak, tentu belum bisa dilihat sekarang. Sebab, menurut Mukhotib, launching Suara Nusa baru akan dilaksanakan April 2009 di Jakarta. Dengan demikian, tidak ada kata lain, kecuali menunggu peristiwa bersejarah itu terjadi. (Agoes Widhartono*)

(*Penulis adalah staf redaksi Newsletter LP3Y online)

Page 30: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

30 Edisi : 03/Maret 2009

Info Buku

Media dan Peran Negara

asih ingat pada November tahun lalu tentang, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan penghentian

program siaran Empat Mata yang ditayangkan Trans 7. Episode yang menampilkan Sumanto, mantan pemakan mayat, salah satu adegannya dinilai telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Apa yang dilakukan KPI adalah sebagai bentuk regulasi pertelevisian di tengah banyaknya ragam siaran televisi saat ini. Reality show, sinetron, infotainment, kuis, dan masih banyak lagi program siaran serupa lebih pada mengedepankan unsur hiburan ketimbang mendidik pemirsa.

Siaran televisi yang berunsur hiburan pun ternyata punya dampak serius pada pemirsa. Seperti halnya kasus program smack down pada tahun 2006 yang dihentikan tayangannya karena mampu menimbulkan korban terutama anak.

Meskipun, program acara disiarkan pada jam tayang yang dianggap tidak banyak anak-anak melihatnya, ternyata dapat menimbulkan korban jiwa karena anak meniru adegan tersebut.

Namun dengan penghentian acara tersebut sebenarnya belum menyelesaikan masalah karena selain smack down, layar televisi kita masih dijejali tayangan-tayangan yang

mengajarkan kekerasan, misalnya saja berita-berita kriminal yang semakin vulgar mengekspos kekerasan. Sama sekali tidak mendidiknya, sinetron-sinetron mistis yang mengusung takhayul juga semakin beragam dan marak. (hal.73)

Oleh karena kondisi pertelevisian sedemikian rupa, di satu sisi program itulah yang

banyak peminatnya, namun di sisi lain banyak juga orang mempertanyakan, sekaligus muak melihat tayangan tersebut.

M

Page 31: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

31 Edisi : 03/Maret 2009

Kritik terhadap siaran televisi dengan slogan yang dibuat Koalisi Hari Tanpa Televisi (HTT) pada 20 Juli 2008 lalu yakni “turn off TV, Turn on Live”, nampaknya patut dihargai, mengingat ketergantungan kita terhadap televisi tak terkecuali anak-anak. Langkah tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu sikap bijak terhadap penggunaan televisi.

Buku yang merupakan kumpulan artikel ini nampaknya sangat relevan sebagai referensi untuk melihat dunia media massa kita. Beberapa artikel telah dimuat pada newsletter cetak LP3Y dan kumpulan ini diklasifikasikan dalam beberapa isu aktual seperti yang tersusun dalam pembagian berikut: Bab 1 Menyoroti Regulasi Media, bab 2 Menggagas Literasi Media, bab 3 tentang Media dan Budaya Populer, bab 4 Jurnalisme dan Advokasi Publik dan Bab 5 Media dan Bencana. Banyak hal yang bisa dijadikan acuan dari buku setebal 165 halaman ini terutama pada bab yang berisi tentang media dan bencana yang salah satu artikelnya berjudul “Setahun Berita Gempa: Melawan Penyakit Lupa”. Dalam artikel tersebut dibahas tentang hampir pasti bisa diperkirakan, memasuki dua atau tiga tahun setelah gempa di Bantul, Yogyakarta, berita tentang gempa hanya akan menghiasi pojok tertentu di halaman dalam sebuah media atau sekadar dicatat sebagai peristiwa seremonial pada masyarakat dalam

memperingati 27 Mei. Alasan media meninggalkan pristiwa tersebut karena problem eksternal, semakin berkurangnya atensi publik terhadap problem pasca bencana dan internal semakin tumpang tindihnya peristiwa-peristiwa yang harus disajikan dan sifat media yang selalu menuntut kebaruan. Namun benarkan? Pertanyaan kritis hadir ketika terjadi sejumlah kasus penyimpangan bantuan, pemotongan atau tindak korupsi lainnya yang tidak jelas dilupakan oleh warga korban gempa. Dalam situasi semacam inilah media dibutuhkan untuk menjalin solidaritas dari warga di luar lokasi gempa dan mendorong agar penyimpangan itu segera diproses secara hukum. Media dan wartawan diminta tidak melupakan atau pura-pura lupa. (hal. 243) Suatu kondisi di mana peran media dibutuhkan dalam mengatasi problem yang terjadi di tengah masyarakat. Selain peran media dengan segala tantangannya, peran negara juga dibutuhkan dalam kaitannya dengan regulasi media saat ini. Seperti halnya yang tertuang dalam pengantar buku ini, negara melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) dapat mengambil peran-peran yang lebih fasilitatif. Misalnya menggoalkan pembebasan pajak atas nama komitmen diversity of voices. Yang pasti UU 1945 tetap mewajibkan peran negara terhadap media, tetapi tidak merestui otoriterisme, apalagi neoliberalisme.

Page 32: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

32 Edisi : 03/Maret 2009

Buku ini sangat berharga bagi mereka yang concern terhadap perkembangan media jurnalisme kita,

dalam menghadapi tantangan, dan perannya dalam kehidupan di masyarakat. Sayangnya,

kumpulan artikel yang ditulis oleh staf pengajar Program Studi Komunikasi ini tidak disunting secara

“serius”. Terbukti dimulai dari bagian pengantar sampai akhir buku, banyak terjadi kesalahan teknis

seperti salah ketik atau terdapat kata yang tidak tepat yang dapat mengganggu kenyamanan

pembaca. (ismay prihastuti)

Keterangan : Judul Buku : Media, Jurnalisme dan Budaya Populer

Editor : Masduki dan Muzayin Naszaruddin

Penerbit : Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia dan UII Press

Tebal : xii + 265 halaman

Tahun : 2008

Page 33: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

33 Edisi : 03/Maret 2009

Penanggung Jawab : Ashadi Siregar

Pemimpin Redaksi :

Slamet Riyadi Sabrawi

Redaksi : Ismay Prihastuti, Dedi H. Purwadi, Agoes Widhartono, Rondang Pasaribu.

Sekretaris Redaksi : W. Nurcahyo

Page 34: Newsletter Maret  09

Edisi; 03/Maret 2009

34 Edisi : 03/Maret 2009