Newsletter digital

14

description

Nalacity Magazine edisi September 2011

Transcript of Newsletter digital

Page 1: Newsletter digital
Page 2: Newsletter digital

Puji syukur kehadirat Allah SWT, newsletter edisi pertama Nalacity dapat hadir ke hadapan pembaca semua. Untuk edisi pertama ini, kami lebih banyak memuat artikel mengenai gambaran umum Nalac-

ity Foundation, kegiatan yang dilakukan, hingga wacana mengenai diskriminasi Orang yang Pernah

Mengalami Kusta (OYPMK).

Sebagai pemula dalam dunia bisnis sosial, tentu saja Nalacity Foundation membutuhkan dukun-gan dari rekan-rekan pembaca untuk turut me-wacanakan kegiatan yang kami lakukan. Semoga

newsletter ini dapat memberikan gambaran kepada pembaca sekalian, hingga hati nuraninya tergerak

untuk menolong sesama. Selamat membaca!

Alfi SyahriyaniPimred Nalacity MagzFounder Komunitas Langit Sastra

Partnership :

Hafiza Elvira N.Direktur Nalacity Foundation

Alfi Syahriyani Deputi Nalacity Foundation

Yovita Salysa A.Manajer Produksi

Andreas SenjayaManajer Logistik

Arriyadhul Q.Manajer Keuangan

Fahry YanuarBrand Manager

Partnership Building :

0878 8067 [email protected]

03.

It’s Nalacity Life

DEPOKCREATIVEWORKER S

Dicetak dan diterbitkan oleh bitBOEKOE Self Publishing

Page 3: Newsletter digital

Berbagi dengan Orang Yang Pernah Mengalami Kusta

(OYPMK)

Diskriminasi terhadap Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Indonesia rupanya masih sering terjadi. Hal inilah

yang melatarbelakangi para mahasiswa UI melakukan So-cial Entrepreneurship Initiative di pemukiman belakang RS

Kusta Sitanala RT 01, Desa Karangsari, Kecamatan Neglasari, Tangerang, Minggu (05/12/10).

Reported by: Alfi Syahriyani

Page 4: Newsletter digital

Para mahasiswa yang terga-bung dalam Indonesia Leader-ship Program  (ILP) ini mem-

berdayakan 20 ibu-ibu keluarga OYPMK melalui keterampilan jilbab manik. Harapannya, selepas mereka diberikan pelatihan intensif selama empat kali, mereka bisa memiliki usaha jilbab manik mandiri.

Program ini mendapat sambutan positif dari Ketua RT 01 Kampung Kusta Sitanala, Bapak Mistam. “Al-hamdulillah, program yang bagus, saya bersyukur ada mahasiswa yang masih peduli. Saya harap program ini terus berlanjut setelah mereka dilepas” ujar Pak Mistam

Pemberdayaan OYPMK merupakan salah satu bentuk kontribusi para mahasiswa berprestasi UI yang tergabung dalam ILP. Selain mel-atih sikap kepemimpinan, program ini juga bertujuan untuk mengasah kepekaan mereka terhadap realitas sosial. Berbeda dengan program sosial yang lain, pemberdayaan dari ILP menekankan sisi entrepreneur-ship, sehingga para warga bisa mendapatkan panghasilan tamba-han secara mandiri. Oleh karena itu, pendampingannya pun membutuh-

kan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar tiga bulan lebih.

Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, pekerjaan warga RT 01 desa Karangsari rata-rata yaitu tukang sapu jalanan, pengemis di jalan-jalan besar kota Tangerang, penarik becak, kuli bangunan, dan calo (pemungut pungutan liar). Penghasilan rata-rata kepala keluarga yaitu hanya sebesar Rp.26.000-Rp.50.000 perhari. Oleh karena itu, pemberdayaan ekonomi merupakan kegiatan yang tepat bagi OYPMK.

“Keterbatasan fisik membuat masyarakat enggan untuk me-nerima mereka di tempat kerja. Semoga dengan adanya program ini mereka bisa lebih percaya diri” lanjut Pak Mistam.

Terakhir, program ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi para mahasiswa lain yang ingin berkon-tribusi langsung ke masyarakat, sesuai dengan tag line yang diu-sung, “Merajut Benang Harapan” (AS)

Nalacity Life

05.

Page 5: Newsletter digital

Becak tua. Sapu lidi. Mungkin pakaian yang sengaja didekilkan dan mangkok plastik untuk menadah uang. Waktunya untuk be-rangkat kerja bagi warga Kampung Sitanala. Menjadi pengemis

dan penyapu jalanan, begitu lah kehidupan bergulir setiap harinya di permukiman belakang RS Kusta Sitanala RT 01, Desa

Karangsari, Kecamatan Neglasari, Tangerang Banten.

Nalacity, Hingga Tak Ada

Lagi yang Dapat DisantuniOleh Sidiq Maulana Muda dan Alfi Syahriyani

Page 6: Newsletter digital

Tak banyak pilihan bagi mereka, orang-orang yang dijauhi dengan stigma sebagai mantan penyan-

dang kusta. Kantor dan pabrik mana yang mau menerima pekerja dengan ri-wayat kusta yang langkahnya terseok-seok atau tak lengkap jemarinya?

  Keadaan ini mendorong sekelompok mahasiswa yang peduli untuk berbuat sesuatu. Namun bagi mereka, meno-long bukanlah sekadar dengan mem-bagikan semba ko atau pakaian bekas. Tapi lebih dari itu, berusaha memutus rantai yang selama ini menghalangi kaum marjinal dari akses kesejahter-aan.

Terinspirasi dari model sosial-bis-nis yang dicetuskan peraih Nobel Mu-hammad Yunus, para mahasiswa berprestasi UI, yang tergabung dalam Indonesia Leadership Program (ILP) 2010, mendirikan Nalacity Founda-tion dengan misi memberdayakan kaum marjinal agar mampu mengang-kat diri mereka sendiri ke tingkat yang lebih tinggi. Seiring berjalannya waktu, pasca diikutsertakan dalam kompetisi sosial-bisnis, pelaksana bertambah

menjangkau luar UI dan pawacanaanya menjadi lebih masif. Dalam proyek perdananya, Nalacity membina ibu-ibu dari keluarga Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Kampung Kusta Sitanala untuk men-dapatkan penghasilan sendiri dengan membuat produk jilbab payet. Selain dapat menunjang kebutuhan ekonomi mereka, proyek ini juga akan mening-katkan kepercayaan diri warga melalui produk nyata yang mereka hasilkan, serta memicu ide-ide wirausaha kreatif lainnya yang dapat mereka lakukan.

Dengan demikian, para mantan pen-yandang kusta itu tak perlu lagi ber-gantung pada pasar kerja yang selama ini meminggirkan mereka. Setahap demi setahap, mereka memulai lang-kahnya menuju kemandirian.

Kalau Kawan-kawan sekalian juga peduli dan bersimpati dengan apa yang dilakukan Nalacity, dukung mereka dengan cara like fanpage Nalacity Foundation untuk mengenal lebih jauh dan mengikuti perkembangan program mereka. Ajak juga teman-temanmu untuk bergabung!

Give a man a fish, and you feed him for a day. Teach a man how to fish, and you feed him for a lifetime. - Confucius

SuperScript

07.

Page 7: Newsletter digital

When we hear the word leprosy, what may flash to mind are thoughts of a disease for

which the sufferer must be sequestered away from society. After recovering, former patients often still have to stay away from other people because of the disgust most people harbor toward the disease.

Despite society’s preconceived notions, the threat posed by leprosy patients is not dire. If people took the time to learn more about the disease, they would find they can live within walking dis-tance of these outcasts and even safely shake hands with them without fear of contracting the disease.

Indonesia is home to the world’s third-largest population of people living with leprosy after India and Brazil. East Java has the highest concentration of pa-tients in Indonesia. In the northern part of the province, Nganget village, Tuban regency, has acted as a leper colony since 1935, when it was established by the Dutch colonial government.

Many former leprosy patients, after recovering in Nganget, actually stay in

the village. Based on the results of my brief interview with former patients when I was there, there were two main reasons. First, they were embarrassed by their family and their neighbors because they had suffered leprosy. And second, their families were unwilling to accept them back because the disease is considered disgusting.

There are facts on leprosy that can change the negative public paradigm. First, leprosy is not incurable.

Second, at least 80 percent of all peo-ple have a natural immunity to leprosy. Third, in six out of seven cases, leprosy is not contagious. Fourth, in contagious cases, the disease is no longer trans-missible after regular treatment. Fifth and final, diagnosis and early treatment can prevent most from physical disfigure-ment.What is needed is society’s sensitiv-ity and concern by not just avoiding patients of the disease, but by providing support and medical treatment.

Besides rebuilding confidence of former patients, those attitudes will also be able to reduce the transmission of lep-rosy and the disfigurement it is associ-ated with. With our care and affection, let’s join hands to rebuild their world.

Building confidence of patientsYovita Salysa Aulia - The Jakarta Post

Opini

Page 8: Newsletter digital

Kartini menatap tangan seseorang di depannya. Ada tangis di hati-nya dan kembali pertanyaan itu

muncul, “kenapa saya harus menang-gung penderitaan seperti ini?” lirihnya. Umurnya baru tiga puluh tujuh tahun. Beberapa kali terlihat ia menyembunyikan tangannya, “Saya malu harus mender-ita penyakit ini, saya tahu saya ditakuti orang sekitar say a, makanya saya pilih menjauh dari keluarga. Saya merasa tak normal,” aku Kartini salah seorang man-tan penyakit kusta di Kampung Kusta Sitanala, Tangerang.

Dari umur enam tahun ia menderita pen-yakit kusta yang mengakibatkan jemari kaki dan tangannya dipotong. Sekali tiga bulan, ia harus bolak-balik Rumah Sakit untuk diopname. Di situlah ia bertemu almarhum suaminya. “Suami saya bek-erja dibagian terapi, sudah punya anak,” katanya menatap anaknya yang sedang lari-larian bermain di depan rumah.

Sejak suaminya meninggal, ia tak meni-kah lagi. Ia bertahan hidup dengan men-jadi buruh cuci. Ia menuturkan berusaha bertahan hidup untuk dua anaknya yang sekarang masih Sekolah Dasar. “Saya

Oleh: Mimi Silvia

rintihan Kartini

09.

Page 9: Newsletter digital

berharap mereka tak bernasib sama dengan saya,” tuturnya dengan lin-angan air mata.

Menjadi buruh cuci, pun tidak selalu bisa tiap hari, lihat pelanggan dulu. Terpaksa ia sering ke lampu merah untuk melakukan apapun yang penting dibayar. Namun, ketika melihat cacat di tangannya ada juga yang langsung nolak karena takut penyakit kusta itu menyebar. Inilah yang membuatb ia rendah diri.Hal inilah yang membuat beberapa orang anak UI yang membuat proyek Nalacity untuk membantu mantan

kusta tersebut. “Kita berusaha mem-beri pelatihan kepada mereka yakni pelatihan membuat jilbab. Jilbab itu pun kami jual. Lumayan untuk Ini bisa membantu mereka mandiri,” sahut Alfi Syahrini, salah satu panitia dari Nalac-ity. Kartini hanyalah salah satu mantan penyakit kusta. Di Tangerang ini ada beberapa orang lain yang seperti Kartini ditelantarkan tanpa bantuan pemer-intah. Dan untung masih ada yang perhatin kepadanya. “Ini membantu kami semua, untuk semuanya. Mereka membuat saya dan teman-teman percaya bakal ada hari esok yang ce-rah,” kata Kartini berkaca-kaca.

Jilbabnya oke. Mau kuliah atau pesta? Teteup OK! Mau tampil cantik, anggun, plus syar’i? Jilbab Nalacity Bolehlah… :D

RisaSastra Arab 2008

Jilbab Nalacity yang nyaman dan lembut selalu menemai hari-hari saya selama di U.S, membuat saya selalu ingat Indonesia dan kreasi-kreasi cerdas anak bangsa

FikriyahIELSP, Cohort 8- Iowa

Bahannya halus banget, gue udah sering pake paris, tapi bahan parisnya

yang nalacity termasuk yang paling enak dipake. Payetnya cantik, warnanya asik, gue banget. Cewek banget, hehe, harga

jauh dari yang lain, tapi sesuai lah, karena kan social project ya, buat ibu2 kusta dan

keluarganya

Mutiara KhodijahPsikologi 2008

Desain yang unik, saya belum pernah menemukan yang seperti itu, tapi satu usul, bahan jilbab yang dipakai jangan hanya katun paris, tapi juga yang lain seperti hicon

Pratiwi Setiawatipengurus PPSDMS Nurul Fikri

Ns Club!

Feature

Page 10: Newsletter digital

Bisnis Sosial sebagai Ruang Kreasi bagi Komunitas Kreatif

Sabtu sore kemarin Ruang TBM di Depok Town Square mendadak dipenuhi oleh para pekerja kreatif

dari Depok dan penjuru Jabotabek lainnya. Di ruang tersebut digelar Creative Room #01, sebuah event creative sharing seka-ligus soft launching komunitas Depok Creative. Hujan deras yang mengguyur Kota Depok sore itu, tidak menyurutkan semangat lebih dari empat puluh pekerja kreatif untuk hadir di acara tersebut.

Sesi pertama dibuka dengan persentasi dari Lahandi Baskoro yang menekan-kan pentingnya industri kreatif berskala lokal. Lahandi juga memaparkan seksinya potensi ekonomi kreatif dari Kota Depok yang hingga saat ini belum digarap serius oleh pihak pemerintah kotanya. Sehabis menutup uraiannya, Lahandi yang juga pencetus komunitas Depok Creative, secara simbolik meresmikan peluncuran Depok Creative dengan tombol animasi.

Oleh: Lahandi Baskoro

Creative Room:

11.

Page 11: Newsletter digital

Sesi sharing kedua dibuka oleh Amran Ahmad dengan memutar video pendek tentang kumpulan permainan tradi-sional anak-anak khas wilayah Jawa Barat. Amran berbagi tentang kegiatan edukasi sosial yang digarapnya untuk membantu salah satu desa di pelosok Karawang. Amran dengan biro desain yang digawanginya, membantu kegia-tan ini agar mendapatkan awareness positif dan dampak yang signifikan dari masyarakat.

Presentasi ketiga disampaikan oleh Hafiza Elvira, CEO dari Nalacity Foun-dation, yang menyampaikan tentang konsep social business, tantangannya dan dampaknya. Paparan yang disam-paikan diperkaya oleh beberapa video, salah satunya dari Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, yang menje-laskan tentang bagaimana ia men-dorong Danone agar mau memproduksi yoghurt bernutrisi dengan harga murah untuk kaum miskin di Bangladesh. Hafiza juga menjelaskan tentang aktivi-tas social business yang sudah digarap oleh Nalacity Foundation selama enam bulan untuk memberdayakan ekonomi di kampung penderita kusta di Sitanala, Tangerang.

Puncak acara ialah saat Traceland Vectorie tampil untuk membawa-kan materi tentang vektor dan dunia freelance. Pria yang akrab disapa Rie ini, menjelaskan tentang seni vektor dan eksplorasinya. Ia juga memaparkan bagaimana ia bisa menggarap projek-projek dari klien korporat luar negeri.

“Pokoknya bikin karya secara konsisten dan pajang di situs-situs portofolio desain, nanti klien-klien akan mendekat sendiri. Mereka akan menawarkan pro-jek atau campaign mereka yang ingin dieksekusi dengan gaya khas desain kita”, tukas Rie yang sejak tahun lalu mengerjakan campaign dari Diesel yang bertema Only The Brave.

Acara ditutup dengan foto bersama dan sesi networking bebas. Walaupun acara ini di selenggarakan oleh komu-nitas kreatif Depok, namun hadir juga pekerja kreatif asal Tangerang, Ja-karta, Bekasi, hingga Bogor. Selain dari kalangan pekerja kreatif profesional, acara ini juga dipenuhi oleh mahasiswa bahkan pelajar SMA. Tak sedikit juga yang bertanya kapan Creative Room berikutnya akan diadakan dan apa ren-cana follow up selanjutnya dari Depok Creative. Nampaknya acara tersebut mampu memancing para pekerja kre-atif Depok untuk membangunkan geliat ekonomi kreatif kota Depok. (lan/DC)

Bukan titik yang menyebabkan tinta

tapi tinta yang menyebabkan titik

Bukan cantikyang menyebabkan cinta,

tapi cinta yang menyebabkan cantik

Kolaborasi

Page 12: Newsletter digital

Anda merasa sebagai pasangan paling sempurna di dunia ini ? ataukah Pasangan Anda adalah segalanya untuk Anda ? Bila Anda mengatakan “ya” maka anda harus

meninjau kembali pernyataan Anda bila belum mendatangi pulau cangke. Lebih tepatnya di desa Mattiro dolangeng, kecamatan Liukang Tuppabiring, Kabupaten

pangkep- Sulawesi Selatan

Kisah mereka dimulai pada saat Dg Abu menderita penyakit kusta pada tahun 1972. saat

itu Sitti Maidah sudah menjadi pen-damping hidupnya. Mereka bertem-pat tinggal di Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep Sulawesi Sela-tan. Pada masa itu, Dg Abu masih berumur 20-an, ia masih sangat muda, begitu pula Sitti Maidah. Masyarakat pada waktu itu men-

ganggap bahwa kusta adalah pen-yakit kutukan. Kusta diibaratkan sebagai sebuah azab dari Tuhan terhadap kelalaian manusia. Bahkan lebih kejamnya lagi seseorang yang menderita penyakit ini dianggap sebagai seorang pendosa kelas berat layaknya pemerkosa atau perom-pak kejam di lautan. Walhasil, Dg Abu diasingkan ke sebuah pulau tak berpenghuni. Yang konon, di pulau

Purnama kesetiaan di tepi

Cangke

13.

Page 13: Newsletter digital

tersebutlah dahulu orang-orang yang dianggap “kena kutukan” dibuang dan diasingkan masyarakat.

Cangke. Nama sebuah dataran yang tidak terlalu luas. Mungkin hanya sebe-sar setengah lapangan sepak bola atau mungkin juga hanya muat 10 rumah tipe 21, itupun padat. Di tengahnya dipenuhi pohon-pohon cemara yang cukup rindang, pasir mutiara yang halus dan memutih sempurna melingkarinya bagai cincin. Setelahnya, karang-karang ditemani bintang laut– biru, anemon, dan landak laut hitam disiang hari, se-mentara dimalam hari ikan-ikan karang berhenti sejenak untuk tidur dalam damai, terkulai lemas dalam arus te-rumbu karang yang tertutup air pasang. Lebih dari itu, hanya biru yang makin keluar makin menghitam. Kelam.

Dahulu kala, setelah “hukuman” diteg-akkan. Berangkatlah Dg Abu ke pulau tak bertuan itu. Tetapi ia tak sendiri, Sitti Maidah ikut pula menemaninya.Ditahun-tahun pertama, mereka melalui masa-masa yang sangat sulit. Bayangkan saja, di pulau ini tidak ada air tawar, tidak ada listrik, dan bahkan untuk menanam sayuran pun tidak bisa karena tidak ada tanah, hanya pasir yang tertutup rerumputan liar.Mereka bertahan dengan mencari ikan dan menjualnya secara barter dengan keperluan rumah tangga, makanan dan air bersih kepada nelayan-nelayan yang

kadang singgah beristirahat setelah se-lesai berlayar mencari cumi-cumi atau ikan. Atau saat datang seorang dokter dari pulau sebelah yang mengobati penyakit Dg Abu. Tampaknya, sekarang ia pun sudah sembuh total. Walau penyakit itu masih menyisakan bekas luka di jari-jarinya, dan (Allahu a’lam) pula luka dalam kenangannya bersama keluarga yang ia tinggalkan dahulu.

Daeng Abu dan Istrinya merupakan pasangan paling romantis di dunia ini, sebab mereka saling mengisi satu sama lain. Karena mata daeng Abu buta, istrinya yang jadi penunjuk jalan sekaligus mata baru baginya, begitupun sebaliknya, istrinya agak kurang peka dalam hal pendengaran maka Dg. Abu lah yang menjadi telinganya sekaligus penerjemah dari istrinya.

Jika mereka sedang makan ikan con-tohnya, istrinya lah yang memilah milah daging dan membuang tulangnya, nanti setelah suaminya selesai makan baru isrinya makan. Dimana lagi kita dapat melihat pemandangan langka dan sangat romantis seperti ini ? mereka tidak romantis melalui per-kataan, melainkan dari perbuatan. Istri Dg. Abu adalah bentuk dari kesetiaan seorang istri kepada suaminya. Saat suaminya terkena musibah, beliau masih setia mendampinginya hingga saat ini. *dari berbagai sumber

Horison

14.

Page 14: Newsletter digital