· Web viewPasific Ring of Rire yang merupakan jalur deretan gunung berapi aktif di Pasifik dan...
Transcript of · Web viewPasific Ring of Rire yang merupakan jalur deretan gunung berapi aktif di Pasifik dan...
PEMAHAMAN JURNALIS TELEVISI MENGENAI KONSEP, KOMPETENSI DASAR, DAN PRINSIP-PRINSIP
JURNALISME BENCANA DALAM PRAKTIK PELIPUTAN PERISTIWA BENCANA ALAM
(Studi Kasus Pemahaman Jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Stasiun Jawa Barat Mengenai Konsep, Kompetensi Dasar, dan Prinsip-Prinsip Jurnalisme
Bencana sebagai Peningkatan Kompetensi, Kualitas Kerja dan Profesionalisme Jurnalis dalam Mewujudkan Praktik Jurnalisme Bencana yang Ideal di Indonesia)
Ardianto Wijaya KusumaSri Hastjarjo
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractIndonesia is known internationally as a country with a high vulnerability
to disasters through the mass media. The practice of disaster journalism in Indonesia become an important discussion in the world of journalism, because almost every day the news media produce disaster news. The preaching of the disaster by the mass media, especially on television, still being critisized by many people, as it tends to dramatize and exploit victims of catastrophic events. Journalists are expected to carry out their duties with a comprehension of the concept of disaster journalism, basic competencies and apply the principles of disaster journalism.
The results of this study indicate that journalists have understood some of the indicators of research by meeting three categories of comprehension. The first is the comprehension of the translation, the journalists have succeeded in well defining the term in journalist profession, disasters and disaster journalism. Second, comprehension of interpretation, most journalists are able to interpret and explain the principles of coverage that should be done in the event of a disaster. Journalists can also distinguish the coverage which should be done in each of the phases of the disaster. In addition, they are also able to explain about disaster mitigation knowledge, explains the application of the Ethical Code of Journalism and P3SPS. Third, the meaning of extrapolation, where journalists have a higher intellectual ability to make a study of the possibility of what will prevail, conclusions associated with the implications and consequences of the disaster in journalism. Disaster journalism is 'how do I preach catastrophe', contains two distinctions, between reallistic disaster journalism and ideallistic disaster journalism. The explanation of the journalists on covarage experience, it shows the reality of disaster journalism reported by the media. Journalist opinions about the disaster journalism, simply represented as a disaster ideal. Keywords: Journalism Disaster, Understanding, Television Journalists.
1
Pendahuluan
Indonesia dikenal dunia internasional karena bencana alam yang hampir
sering terjadi setiap tahunnya. Kepulauan Indonesia, termasuk dalam wilayah
Pasific Ring of Rire yang merupakan jalur deretan gunung berapi aktif di Pasifik
dan terletak di pertemuan antara tiga lempeng tektonik di dunia (Arif, 2010: 14).
Kedua faktor itulah yang menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung
berapi dan gempa bumi.
Penulis menilai, bagi media massa, bencana bisa menjadi peluang untuk
dijadikan materi informasi yang tidak pernah habis dalam membahasnya, terutama
karena kandungan nilai beritanya yang tinggi dan kebutruhan akan informasi
tersebut. Perubahan iklim yang ekstrim dan anomali cuaca di tahun 2016 ini,
berdampak pada beberapa wilayah di Indonesia. Selama tahun 2016, berdasarkan
data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB, telah
terjadi 1.053 kejadian bencana di Indonesia
(http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana/lihat-data).
Untuk kalangan media Indonesia, bencana gempa dan tsunami Aceh
menjadi sebuah momentum di mana media benar-benar menampakkan agenda
settingnya (Nazaruddin, 2007: 167). Pada peristiwa itulah menandai kemunculan
jurnalisme bencana sebagai sesuatu hal yang baru di negeri ini. Praktik jurnalisme
bencana di awal kemunculannya masih menuai banyak kritik, Nazaruddin (2007)
menyatakan bahwa praktik jurnalisme bencana di media Indonesia masih berkutat
dengan dramatisasi berita. Media hampir bisa dikatakan tidak menggunakan
prinsip-prinsip jurnalisme yang baik karena euforia pemberitaan yang memiliki
nilai berita tinggi.
Kritik pemberitaan bencana tersebut tidak terlepas dari peran jurnalis,
yang tidak hanya bertugas mengumpulkan fakta namun juga mendefinisikan
peristiwa bencana sesuai dengan pemahaman yang dimiliki. Pemahaman jurnalis
salah satunya terbentuk dari kumpulan informasi dan juga pengalaman tentang
sebuah peristiwa bencana, hal tersebut dapat mempengaruhi praktik peliputan
yang dilakukan. Selain itu pemahaman akan mitigasi bencana, etika jurnalistik,
2
dan regulasi pers serta penyiaran juga nantinya akan berpengaruh pada output
peliputan bencana.
Berdasarkan dari penjabaran latar belakang permasalahan tersebut dan
mengingat pentingnya pemahaman jurnalis televisi mengenai kompetensi dasar
dan prinsip-prinsip jurnalisme bencana sebagai peningkatan kompetensi, kualitas
kerja dan profesionalisme jurnalis maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh
mengenai “PEMAHAMAN JURNALIS TELEVISI MENGENAI KONSEP,
KOMPETENSI DASAR, DAN PRINSIP-PRINSIP JURNALISME BENCANA
DALAM PRAKTIK PELIPUTAN PERISTIWA BENCANA ALAM.”
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana
Pemahaman Jurnalis Televisi (LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Stasiun Jawa
Barat) Mengenai Konsep, Kompetensi Dasar, dan Prinsip-Prinsip Jurnalisme
Bencana dalam Praktik Peliputan Peristiwa Bencana Alam?” Dari rumusan
masalah tersebut, maka dapat peneliti identifikasi permasalahannya sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pemahaman Jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa
Barat mengenai Konsep Dasar Jurnalisme Bencana dalam Praktik
Peliputan Peristiwa Bencana Alam? (a. Bagaimana Pemahaman Dasar
Jurnalis mengenai Definisi Profesi Jurnalis?, b. Bagaimana Pemahaman
Dasar Jurnalis mengenai Definisi Bencana? dan c. Bagaimana Pemahaman
Dasar Jurnalis mengenai Definisi Konsep Jurnalisme Bencana?)
2. Bagaimana Pemahaman Jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa
Barat mengenai Kompetensi Dasar Jurnalis dalam Praktik Peliputan
Peristiwa Bencana Alam? (a. Bagaimana Pemahaman Jurnalis mengenai
Pengetahuan Mitigasi Bencana?, b. Bagaimana Pemahaman Jurnalis
mengenai Kode Etik Jurnalistik (KEJ)? dan c. Bagaimana Pemahaman
Jurnalis mengenai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran (P3SPS) Tahun 2012?)
3
3. Bagaimana Proses Penugasan Peliputan, Persiapan Jurnalis, Pengolahan
Data dan Pengeditan Visual Hasil Liputan Jurnalis LPP TVRI Nasional
dan LPP TVRI Jawa Barat? (a. Bagaimana Proses Penugasan Peliputan
Bencana?, b. Bagaimana Persiapan Jurnalis Saat Terjun dalam Peliputan
Bencana? dan c. Bagaimana Pengolahan Data dan Pengeditan Visual Hasil
Liputan?)
4. Bagaimana Pemahaman Jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa
Barat mengenai Peliputan pada Fase-Fase Bencana? (a. Bagaimana
Pemahaman Jurnalis mengenai Peliputan Fase Pra-Bencana?, b.
Bagaimana Pemahaman Jurnalis mengenai Peliputan Fase Tanggap
Bencana/Saat Bencana Terjadi?, c. Bagaimana Pemahaman Jurnalis
mengenai Peliputan Fase Pasca Bencana?)
5. Bagaimana Pemahaman Jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa
Barat mengenai Prinsip-Prinsip Jurnalisme Bencana (Prinsip Akurasi,
Aspek Human Elements, Porsi Suara Korban, Perspektif Kemanusiaan dan
Sisi Lain Peristiwa) dalam Praktik Peliputan Peristiwa Bencana Alam di
Indonesia?
6. Bagaimana Kritik Jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa Barat
mengenai Praktik Jurnalisme Bencana di Indonesia?
7. Bagaimana Praktik Jurnalisme Bencana Ideal Menurut Pendapat Jurnalis
LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa Barat?
Telaah Pustaka
1. Kerangka Konseptual
a. Pemahaman
Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai arti mengerti benar,
sedangkan pemahaman merupakan proses perbuatan cara memahami. Pemahaman
memiliki arti proses, perbuatan, dan cara memahami atau memahamkan
(mempelajari baik-baik supaya paham) (Depdikbud, 1994, 74).
Dalam ranah kognitif, aspek pengetahuan merupakan aspek paling rendah
dalam hirarki piramida ranah kognitif. Dalam ranah kognitif taksonomi Bloom,
4
pemahaman merupakan tipe belajar yang lebih tinggi dibandingkan pengetahuan
(Bloom, 1981).
Pemahaman sendiri dapat dibedakan ke dalam tiga kategori atau aspek,
yaitu:
(1) Pemahaman terjemahan (translation), kemampuan menerjemahkan suatu
gagasan mulai dari menerjemahkan dalam arti yang sebenarnya,
menerjemahkan suatu masalah menggunakan bahasa sendiri,
menerjemahkan suatu prinsip umum, konsep abstrak ke suatu
model/simbol yang dapat mempermudah mempelajarinya dan memberikan
ilustrasi atau contoh.
(2) Pemahaman interpretasi atau penafsiran (interpretation), yaitu
menghubungkan bagian-bagian terendah dengan yang diketahui atau
menghubungkan beberapa bagian grafik dengan kejadian, membedakan
yang pokok dengan yang tidak pokok. Kemampuan untuk menjelaskan
konsep, atau prinsip atau teori tertentu termasuk dalam kategori ini.
(3) Pemaknaan ektrapolasi (extrapokation), berarti seseorang mampu melihat
di balik yang tertulis, dapat membuat estimasi, prediksi berdasarkan pada
pengertian dan kondisi yang diterangkan dalam ide-ide atau simbol, serta
kemampuan membuat kesimpulan yang dihubungkan dengan implikasi
dan konsekuensinya. Selain itu kemampuan pemahaman jenis ini misalnya
membuat telahan tentang kemungkinan apa yang akan berlaku (Bloom,
1981).
b. Jurnalisme Bencana
Jurnalisme bencana termasuk pendekatan baru dalam ranah jurnalisme.
Jurnalisme bencana lahir karena adanya berbagai kritikan saat meliput bencana
pasca bencana tsunami di Aceh 2004 silam. Definisi dari jurnalisme bencana
adalah menekankan pada ‘bagaimana cara memberitakan bencana.’ Pengertian
tersebut mengandung dua distingsi, yakni antara realitas jurnalisme bencana (das
sein) dan idealitas jurnalisme bencana (das sollen) (Muzayin, 2007).
5
c. Pengetahuan Mitigasi Bencana
Pengertian mitigasi bencana menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, yaitu: “Mitigasi Bencana adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.”
d. Kompetensi Dasar Jurnalis
(1) Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai Acuan Jurnalis
Kode Etik Jurnalistik adalah “Nurani” dalam hati setiap
wartawan. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik adalah salah satu
barometer seberapa benar amanah yang diberikan oleh rakyat
kepada pers dijalankan. Oleh karena itu pemahaman dan pentaatan
terhadap Kode Etik Jurnalistik menjadi sesuatu yang mutlak bagi
wartawan.
(2) Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS)
Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) adalah ketentuan-
ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh KPI
sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan
penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional. Adapun Standar
Program Siaran (SPS) adalah standar isi siaran yang berisi tentang
batasan-batasan, pelarangan, kewajiban, dan pengaturan penyiaran,
serta sanksi berdasarkan Pedoman Perilaku Penyiaran yang
ditetapkan oleh KPI.
Terdapat empat pasal yang mengatur kegiatan peliputan
peristiwa bencana dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012, yang
mengatur tentang peliputan Bencana yakni: BAB XVIII (Pedoman
Perilaku Penyiaran) tentang PRINSIP-PRINSIP JURNALISTIK,
Bagian Keempat, Peliputan Bencana, Pasal 25 dan BAB XVIII
(Standar Program Siaran) tentang PROGRAM SIARAN
6
JURNALISTIK, Bagian Keenam, Peliputan Bencana, Pasal 49,
Pasal 50, dan Pasal 51.
e. Prinsip-Prinsip Jurnalistik
(1) Prinsip Jurnalisme menurut Bill Kovach dan Tom Resenstiel
Dalam bukunya, Bill dan Tom merumuskan prinsip-prinsip tersebut
menjadi Sembilan Elemen Jurnalisme. Dari kesembilan elemen tersebut,
ada beberapa prinsip-prinsip yang menjadi acuan utama bagi jurnalis
dalam melaksanakan praktik peliputan kebencanaan, diantaranya adalah
sebagai berikut:
(a) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran;
(b) Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga/citizens;
(c) Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi;
(d) Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun
komentar dari publik;
(e) Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu
menarik dan relevan; dan
(f) Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan
proporsional.
(2) Prinsip Jurnalisme Bencana menurut Amiruddin
Dalam pemberitaan bencana, menurut Amirudin (2007), media
harus memegang beberapa prinsip dasar yang bisa menjadi rujukan dalam
meliput, prinsip tersebut antara lain:
(a) Pertama, prinsip akurasi. Akurasi menjadi sangat penting
dalam pemberitaan. Bukan saja akurat dalam hal
mengungkapkan penyebab kecelakaan dan bencana alam,
melainkan juga akurat dalam penyebutan waktu kejadian,
tempat, nama, serta jumlah korban.
(b) Kedua, berlaku pula prinsip pemberitaan yang harus
memperhatikan aspek manusia (human elements). Itu berarti
proses jurnalisme dituntut sanggup mengungkapkan suatu
7
peristiwa dari dua sisi; cerita tentang manusia dan
situasinya lengkap dengan pemahaman bahwa yang
diungkapkan adalah sosok manusia yang memiliki keadaan
internal dan eksternal seutuhnya yang sangat menentukan
pemulihan dan efek ikutan dari dampak peristiwa traumatik
itu terhadap psikologi korban dan kerabatnya, serta
psikologi masyarakat pada umumnya.
(c) Ketiga, dalam liputan traumatik berlaku pula prinsip suara
korban berupa harapan, keluhan, keinginan, dan rasa sedih
yang diterima harus banyak didengar dalam wujud
pemberian ruang editorial lebih banyak untuk kepentingan
itu.
(d) Keempat, jurnalisme harus mampu pula meletakkan
peristiwa traumatik itu menjadi memiliki perspektif
kemanusiaan yang lebih luas melalui pemberitaan.
(e) Kelima, ungkapkan sisi lain dari peristiwa traumatik itu,
yang kemungkinan luput dari pandangan publik. Kejadian-
kejadian ikutan lainnya yang berat ataupun yang ringan,
yang muncul di sekitar peristiwa traumatik itu, perlu
diungkapkan untuk melengkapi cerita tentang situasi agar
menjadi lengkap.
Atas dasar kelima prinsip dalam liputan peristiwa traumatik itu,
tentu dapat menjadi tolok ukur untuk menilai sejauh mana media lokal dan
nasional telah memiliki kepedulian dalam liputan peristiwa kemanusiaan
tersebut (Amirudin, 2007).
Metodologi
Jenis penelitian ini mengunakan metode penelitian deskriptif kualitatif
dengan mengunakan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data diperoleh dengan
cara wawancara mendalam (indepth interview) dengan enam informan yang
terdiri dari: lima informan sebagai jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI
8
Jawa Barat dan satu informan pembanding yaitu berasal dari TV One. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif
menggunakan teori Miles dan Huberman yang lazim disebut interactive model.
Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga komponen : 1) Reduksi data, 2)
Penyajian data , 3) Penarikan serta pengujian kesimpulan.
Penulis juga menggunakan teknik trigulasi validitas data atau disebut
trigulasi sumber, yaitu teknik yang mengarahkan peneliti agar di dalam
menggumpulkan data, ia wajib menggunakan beragam sumber data yang tersedia.
Artinya data yang sama atau atau sejenis, akan lebih mantap kebenarannya apabila
digali dari beberapa sumber yang berbeda.
Sajian Data dan Analisis Data
A. Pemahaman Dasar Jurnalis
1. Pemahaman Jurnalis terhadap Profesi Jurnalis
Pemahaman arti, tugas dan fungsi profesi jurnalis dalam suatu peliputan
peristiwa bencana, diharapkan mampu mengarahkan pola pikir dan kinerjanya
saat mnegumpulkan data/fakta, mengolah hingga menyebarluarkan berita tersebut
kepada khalayak luas. Dari pemaparan hasil wawancara dengan kelima informan
di atas, dapat disimpulkan bahwa jurnalis merupakan sebuah profesi yang mulia,
mencari, mengumpulkan dan menyampaikan data sesuai dengan fakta di lapangan
kepada khalayak atau publik melalui media massa. Jurnalis juga harus mampu
menjembatani antara kepentingan umum dengan para pemangku
kebijakan/stakeholder. Selain itu profesi jurnalis dalam konteks peristiwa bencana
yakni, saat kondisi darurat bencana, profesi ini justru harus mendekat ke lokasi
terjadinya peristiwa bencana.
2. Pemahaman Jurnalis terhadap Definisi Bencana
Hasil wawancara penulis dengan keenam Informan, mereka memahami
definisi bencana sesuai dengan pemahaman pribadi masing-masing. Pada hasil
penelitian dalam bentuk deskripsi di bawah, Infroman ada yang mampu
menjelaskan secaradetail definisi bencana menurut perspektif mereka dan juga ada
yang membagi bentuk bencana ke dalam beberapa katagori.
9
Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai pemahaman definisi bencana
menurut keenam informan adalah suatu peristiwa yang tak terduga sebagai takdir
Tuhan ataupun berasal dari kerusakan alam akibat ulah manusia, yang
mengakibatkan korban, kerugian dan kerusakan. Sementara dua dari keenam
Informan medefinisikan bencana selain terjadi akibat takdir-Nya, bencana juga
bisa terjadi diakibatkan oleh human eror atau kesalahan-kesalahan fatal manusia,
misalnya pesawat jatuh, tabrakan kereta api, dengan jumlah korban yang benyak
seperti halnya bencana alam. Mereka menyebut bentuk bencana ini sebagai
bencana kemanusiaan akibat human eror.
3. Pemahaman Jurnalis terhadap Konsep Jurnalisme Bencana
Hasil wawancara dengan keenam Informan, mereka menjelaskan tentang
konsep jurnalisme bencana sesuai dengan pengalaman mereka sebelumnya dalam
peliputan peristiwa bencana. Rata-rata mereka mendefinisikan jurnalisme bencana
sebagai kegiatan meliput dan memberitakan mengenai bencana, dengan beberapa
hal khusus yang harus diperhatikan dalam peliputan tersebut. Hal-hal khusus
tersebut diantaranya adalah meliput di setiap fase-fase bencana mulai dari pra-
bencana, tanggap bencana hingga pasca bencana, menjunjung tinggi etika saat
peliputan dengan bekal kode etik jurnalistik, regulasi dan pengetahuan tentang
mitigasi bencana sebagai salah satu modal jurnalis terjun di lokasi bencana.
B. Pemahaman Kompetensi Dasar Jurnalis
Kompetensi jurnalis adalah kemampuan seorang jurnalis/wartawan untuk
melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung
jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan. Dalam penelitian ini,
peneliti memfokuskan pada dua kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh
wartawan saat melakukan peliputan di lokasi terdampak bencana, diantaranya
adalah:
1. Pemahaman Jurnalis terhadap Pengetahuan Mitigasi Bencana
Hasil dari pemaparan keenam informan, mereka semua memahami jika
pengetahuan mitigasi bencana sangat penting diketahui jurnalis saat terjun di
lokasi peliputan. Dari pemahaman para jurnalis tersebut, peneliti menyimpulkan
10
beberapa hal terkait pemahaman jurnalis terhadap pengetahuan mitigasi bencana,
sebagai berikut:
a. Jurnalis menjadi bagian pula dari early warning system, untuk
mengedukasi khalayak untuk mengantisipasi fenomena alam yang
mengarah pada terjadinya bencana;
b. Sebagai komunikator, jurnalis harus benar-benar mengetahui isi pesan
mitigasi bencana yang akan disampaikan kepada komunikan
(khalayak).
c. Selain itu mitigasi bencana juga bermanfaat bagi jurnalis untuk
menentukan berita tersebut sesuai dengan news value (nilai berita)
atau tidak;
d. Pengetahuan mitigasi bencana dibutuhkan jurnalis untuk mengetahui
apakah lokasi tersebut aman untuk peliputan dan membaca
tanda/gejala bencana susulan yang terjadi di sekitar daerah peliputan;
dan
e. Mitigasi bencana penting untuk disampaikan kepada publik sebagai
bentuk perkiraan kedepan, apakah wilayah tersebut rawan bencana
susulan atau tidak dan mengurangi jumlah korban yang terdampak.
2. Pemahaman Jurnalis terhadap Kode Etik Jurnalistik
Pemaparan dari keenam informan, saat ditanya mengenai pemahamannya
terhadap Kode Etik Jurnalistik,mereka menjelaskan dengan disertai contoh
penerapan pengalaman jurnalis di lokasi bencana. Penerapan contoh-contoh dalam
peliputan bencana tersebut, praktiknya telah sesuai dengan beberapa pasal dari
sebelas pasal yang ada di dalam Kode Etik Jurnalistik, diantaranya sebagai
berikut:
a. Dari segi pemilihan narasumber yang berkompeten atau kredibel dan
pribadi jurnalis dilarang untuk berasumsi/beropini (sesuai dengan
pasal 1 KEJ);
b. Menghormati pengalaman traumatik bencana dalam penyajian audio
visual dengan tidak terlalu mengekspose kesedihan anggota keluarga
yang di tinggalkan akibat bencana (sesuai dengan pasal 2 KEJ)
11
c. Melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi,
memberitakan secara berimbang dan data yang didapatkan harus dari
sumber yang akurat (sesuai dengan pasal 3 KEJ); dan
d. Tidak mengeksploitasi korban seperti, mengambil visual yang berbahu
sadis dan vulgar, seperti gambar korban jiwa saat dievakuasi (sesuai
dengan pasal 4 KEJ);
3. Pemahaman Jurnalis terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012
Pada indikator pemahaman Jurnalis terhadap P3SPS ini, rata-rata dari
kelima informan (kecuali Informan D), mengaku sebelumnya pernah membaca
P3SPS yang dibuat oleh KPI pada tahun 2012 tersebut. Hanya saja, mereka tidak
memahami secara keseluruhan isi dari pada P3SPS itu. Meskipun tidak bisa
menjelaskan secara detail hal-hal yang mengatur pelaksanaan peliputan bencana
di dalam P3SPS, mereka mampu menjelaskan menggunakan contoh, hasil
pengalaman mereka selama dilapangan. Dari hasil pemaparan contoh dan
penjelasan informan tersebut, mereka memahami hal-hal yang mengatur
pelaksanaan peliputan bencana dalam Pasal 25 Pedoman Perilaku Penyiaran; dan
pasal 49, 50, dan 51 dalam Standar Program Siaran, seperti berikut:
a. Tidak menambah penderitaan ataupun trauma korban dengan cara
memaksa untuk diwawancarai;
b. Tidak menampilkan gambar korban/mayat secara detail, tidak
menampilkan gambar luka berat, darah dan potongan tubuh; dan
c. Tidak menyiarkan backsound sebagai upaya untuk mendramatisir
peristiwa bencana secara berulang-ulang dalam subuah periodesasi
yang panjang.
C. Proses Penugasan, Persiapan Jurnalis, Pengolahan Data dan
Pengeditan Peliputan Bencana
1. Proses Penugasan Peliputan Bencana
Jurnalis sebagai pelaksana tugas, tentunya harus siap saat menerima tugas
dari kantor untuk terjun dalam sebuah peristiwa bencana. Dari hasil wawancara
12
dengan lima informan, peneliti merangkum bahwa sebenarnya tidak ada kriteria
khusus tertulis untuk jurnalis LPP TVRI Nasional yang akan diterjunkan peliputan
bencana. Namun, ada pertimbangan-pertimbangan lain dari pihak manajemen
pemberitaan, diantaranya:
a. Jurnalis sebelumnya telah memiliki pengalaman dengan trade record
baik dalam peliputan darurat atau bencana skala besar;
b. Memiliki beberapa kemampuan/keterampilan khusus dalam
mengumpulkan serta mengolah data seperti, mengoperasikan kamera,
mengedit gambar, mem-broadcast gambar, kemampuan reportase (on
cam) yang mumpuni dan pembuatan naskah yang mumpuni;
c. Fisik jurnalis dalam kondisi baik atau sehat saat peliputan
berlangsung, dan mampu bekerjasama dengan tim besar peliputan
bencana.
Sementara untuk teknis peliputan bencana yang dilakukan oleh LPP TVRI
Stasiun Jawa Barat yakni, dengan cara menyebarkan koresponden atau
kontributor lapangan ke masing-masing wilayah jangkauan mereka.
2. Persiapan Jurnalis Saat Terjun dalam Peliputan Bencana
Sebelum terjun untuk meliput suatu peristiwa bencana, seorang jurnalis
yang baik harus melakukan beberapa persiapan. Baik itu kesiapan fisik, mental,
pengetahuan jurnalis untuk meliput lokasi bencana. Dari pemaparan hasil
penelitian penulis, para informan menekankan kepada kesiapan mental jurnalis
yaitu, kesiapan untuk tinggal dalam keadaan darurat dan menghadapi tekanan
pekerjaan saat peliputan di lokasi bencana. Tidak hanya kesiapan mental, mereka
juga menegaskan bahwa untuk terjun di lapangan/lokasi bencana, membutuhkan
fisik yang optimal atau dalam kondisi sehat. Menurut Informan C persiapan
lainnya adalah pemahaman mengenali lokasi bencana yang dituju untuk
mengetahui potensi bahaya daerah sekitar dengan cara membaca literatur
kebencanaan tentang daerah tersebut, kemudian memetakan potensi bahaya,
termasuk potensi bencana susulan.
13
3. Pengolahan Data dan Pengeditan Visual Hasil Liputan
Saat melaksanakan peliputan di titik lokasi bencana, jurnalis berperan
sebagai pengumpul fakta. Materi itulah yang nantinya akan diseleksi, diolah dan
diedit untuk dijadikan menjadi liputan berita yang utuh. Secara garis besar,
menurut pengalaman dari kelima Informan, bahwa seharusnya jurnalis dan
kameramen mengerti gambar/visual mana saja yang layak untuk disiarkan atau
tidak sesuai dengan etika dan regulasi yang berlaku. Namun, hal tersebut juga
tergantung dari pihak produser dan editor yang menjadi pihak melakukan seleksi
gambar dan pengeditan akhir. Jurnalis berkoordinasi dengan produser lapangan
dan editor disaat gambar hasil rekaman yang diambil oleh kameramen butuh
untuk diedit/disensor pada bagian-bagian tertentu. Produser yang akan
bertanggung jawab secara penuh ketika visual akan disiarkan.
E. Pemahaman Jurnalis terhadap Peliputan Fase-Fase Bencana
Berdasarkan hasil wawancara dengan kelima informan, peneliti membuat
tabel sederhana mengenai pemahaman jurnalis terhadap peliputan di setiap fase
bencana yang dilakukan saat praktik liputan bencana.
Tabel 1.1
Pemahaman Jurnalis terhadap Peliputan Fase-Fase BencanaPemahaman Informan A Informan B Informan C Informan D Informan E Informan F
Fase Pra-
Bencana
√ √ √ √ √ √
Fase Tanggap
Bencana
√ √ - √ √ √
Fase Pasca
Bencana
- Darurat √ √ - - √ √
- Recovery √ √ - - √ √
- Rehabilitasi √ √ √ √ √ √
(sumber: Data Hasil Olahan)
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, sebagaian besar jurnalis sudah
memahami mengenai pembabakan liputan bencana sesuai dengan fase-fase
bencana. Namun, dari keenam jurnalis, hanya empat saja yang mampu
14
menjelaskan secara detail. Informan C dan D masih belum memperhatikan
memahami pentingnya fase darurat dan fase recovery dalam fase pasca bencana.
F. Pemahaman Jurnalis terhadap Prinsip-Prinsip Jurnalisme
Bencana
Pada dasarnya, untuk prinsip dasar peliputan bencana, para informan
sebagian besar sudah memahami konsep peliputan yang seharusnya. Peneliti
membuat tabel yang berisi catatan pengamatan terhadap hasil wawancara
informan mengenai pemahaman prinsip-prinsip jurnalisme bencana.
Tabel 1.2
Pemahaman Jurnalis Mengenai Prinsip-Prinsip Jurnalisme BencanaPemahaman Informan A Informan B Informan C Informan D Informan E Informan F
Prinsip Akurasi √ √ √ √ √ √
Aspek Human
Elements
√ √ √ √ √ √
Porsi Suara
Korban
√ √ √ √ √ √
Perspektif
Kemanusiaan
- - - - - -
Sisi Lain
Peristiwa
√ √ √ √ √ √
(sumber: Data Hasil Olahan)
Dalam tabel tersebut tampak bahwa sebagian besar informan sudah
memahami penerapan prinsip peliputan jurnalisme bencana dengan tepat, kecuali
untuk prinsip peliputan yang menekankan perspektif kemanusiaan. Mereka
memahami aspek ini bukan sesuai dengan arti sesungguhnya dari prinsip
perspektif kemanusiaan, yakni: bagaimana jurnalis menggunakan teknik pencarian
dan pengolahan berita yang dapat memberikan bingkai (framing) kemanusiaan
untuk menggambarkan hal-hal terkait perspektif kemanusiaan. Mereka lebih
mengartikan pada sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh pribadi jurnalis jika
dihadapkan pilihan antara mengutamakan peliputan atau menolong korban yang
sedang membutuhkan bantuan saat itu juga. Sebagian lainnya mengartikan
perspektif kemanusiaan dengan tidak mengeksploitasi kesedihan dan
15
mendramatisir kejadian bencana, karena hal tersebut menambah penderitaan bagi
korban dan keluarga atau kerabat.
G. Kritik Jurnalis Terhadap Praktik Jurnalisme Bencana
Dari hasil wawancara peneliti dengan keenam informan terkait dengan
kritik terhadap praktik jurnalisme bencana di Indonesia, terdapat beberapa kritikan
yang dapat dijadikan bahan evaulasi terhadap pratik liputan bencana oleh media
dan jurnalis, yang telah berjalan selama ini, diantaranya adalah:
a. Pendidikan media terhadap bencana masih sangat rendah, dibuktikan
dengan masih banyaknya gambar korban yang tidak sesuai dengan
etika dan regulasi yang berlaku/ditampilkan secara vulgar.
b. Praktik jurnalisme bencana di Indonesia saat ini masih condong pada
praktek dramatisasi dan eksploitasi korban peristiwa bencana dalam
bentuk berita, khususnya untuk televisi swasta nasional. Mereka
menganggap bahwa dengan dramatisasi tersebut, berita akan menjadi
menarik bagi pemirsa dan berdampak terhadap naiknya rating and
share
c. Tidak adanya perlindungan khusus bagi kaum difable dalam sebuah
pemberitaan bencana, yang diatur di dalam kode etik jurnalistik dan
P3SPS.
d. KPI kurang tegas dalam memberikan sanksi kepada media yang
melakukan eksploitasi dan dramatisasi dalam peliputan bencana dan
peraturan sensor yang dikeluarkannya juga dilinai berlebihan untuk
beberapa hal.
e. Banyak dari para jurnalis yang meliput peristiwa bencana, tidak
memiliki pemahaman yang cukup terkait kebencanaan.
H. Praktek Jurnalisme Bencana Ideal Menurut Pendapat Jurnalis
Definisi dari jurnalisme bencana adalah menekankan pada ‘bagaimana
cara memberitakan bencana.’ Pengertian tersebut mengandung dua distingsi,
yakni antara realitas jurnalisme bencana (das sein) dan idealitas jurnalisme
16
bencana (das sollen) (Muzayin, 2007). Pada bagian ini, masing-masing informan
akan menyampaikan pendapatnya mengenai praktek jurnalisme bencana ideal di
Indonesia menurut pemahaman mereka. Dari hasil penelitian, tampak bahwa
sebenarnya jurnalis mengerti mengenai bagaimana seharusnya praktik jurnalisme
bencana ideal yang menjadi harapan bersama, bukan hanya jurnalis dan media,
tetapi juga masyarakat. Jurnalisme bencana yang ideal adalah praktik peliputan
bencana yang sesuai dengan kode etik jurnalistik, regulasi penyiaran dan prinsip-
prinsip jurnalisme bencana yang berlaku. Selain itu menekankan bahwa praktik
jurnalisme bencana yang ideal ketika jurnalis dibekali dengan pengetahuan
tentang kebencanaan seperti pemahaman mitigasi bencana.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan interpretasi hasil temuan peneliti, sebagaian besar
jurnalis telah mampu memahami indikator-indikator pemahaman dalam penelitian
ini, meskipun tidak secara menyeluruh. Pemahaman jurnalis diukur dari
kemampuan jurnalis untuk menerjemahkan, menginterpretasi, dan memprediksi
beberapa hal terkait dengan praktik jurnalisme bencana. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kelima jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa Barat telah
mampu dengan baik menerjemahkan istilah profesi jurnalis, definisi
bencana dan jurnalisme bencana dengan mendefinisikannya menggunakan
bahasa mereka masing-masing sesuai dengan akumulasi pengalaman dan
informasi yang diterima jurnalis selama melaksanakan praktik jurnalisme
bencana. Pemahaman tersebut ada dalam tipe pemahaman terjemahan
(translation);
2. Sebagian besar dari kelima jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI
Jawa Barat, telah mampu menginterpretasikan tentang pengetahuan
mitigasi bencana; penerapan Kode Etik Jurnalistik; Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS); fase-fase peliputan
bencana dan prinsip-prinsip jurnalisme bencana. Kelima jurnalis kurang
mampu menjelaskan secara rinci terkait dengan penerapan Kode Etik
17
Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS) dalam praktik peliputan bencana. Hal ini dikarenakan sebagian
dari mereka belum pernah membaca secara detail Kode Etik Jurnalistik
dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Sementara untuk pemahaman terhadap fase-fase peliputan bencana, dari
keenam jurnalis, hanya empat saja yang mampu menjelaskan secara detail.
Informan C dan D masih belum memperhatikan fase tanggap darurat dan
fase recovery dalam fase pasca bencana. Untuk pemahaman jurnalis
mengenai prinsip-prinsip jurnalisme bencana, sebagian besar informan
sudah memahami penerapan prinsip peliputan jurnalisme bencana dengan
tepat, kecuali untuk prinsip peliputan yang menekankan perspektif
kemanusiaan. Pemahaman tersebut ada dalam tipe pemahaman interpretasi
atau penafsiran (interpretation); dan
3. Kelima jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa Barat, mampu
untuk memberikan kritikannya terkait dengan praktik jurnalisme bencana
selama ia terlibat langsung dalam praktik jurnalisme bencana. Hal ini
menunjukkan realitas yang dihubungkan dengan implikasi dan
konsekuensi dalam jurnalisme bencana. Selain itu keenam jurnalis juga
mempu memberikan pendapatnya tentang praktik jurnalisme bencana yang
ideal sebagai sebuah idealitas jurnalisme bencana. Pendapat para jurnalis
tentang jurnalisme bencana yang ideal adalah kemampuan pemahaman
jurnalis dalam membuat telaah tentang kemungkinan apa yang akan
berlaku selanjutnya untuk mewujudkan praktik jurnalisme bencana idela.
Mereka juga mampu menjelaskan secara detail pengalaman saat peliputan
jurnalisme bencana. Hal tersebut menunjukkan realitas jurnalisme bencana
yang selama ini diberitakan oleh media.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka peneliti dapat memberikan saran:
1. Bagi para jurnalis LPP TVRI Nasional dan LPP TVRI Jawa Barat serta
jurnalis televisi swasta nasional/lokal lainnya, yang akan melakukan
18
peliputan di daerah bencana, tidak hanya persiapan secara fisik saja yang
diperlukan, tetapi juga harus mempersiapkan pengetahuan tentang mitigasi
bencana dan mengerti tentang tata cara peliputan yang sesuai dengan
aturan dan regulasi yang berlaku. Sehingga dalam mencari informasi
ditanah bencana bisa berjalan dengan baik.
2. Penulis juga berharap kepada LPP TVRI Nasioanal dan LPP TVRI Jawa
Barat untuk dapat mendukung para wartawan bekerja lebih professional
dengan mengikuti pelatihan sebelum ditugaskan dilokasi bencana.
Daftar Pustaka Buku: Amirudin. 2006. Pendekatan Jurnalisme Bencana. Suara Merdeka, Rabu 26 April
2006.________. 2007. Media dalam Peliputan Bencana. Suara Merdeka, Jumat 26
Januari 2007.Arif, Ahmad. 2010. Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme. Kesaksian dari
Tanah Bencana. Jakarta: Gramedia.Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York:
Crown Publishers.Botterell, Art. 2011. The Life Cycle of a Disaster: A Field Guide for Journalist.
http://victims.jrn.msu.edu/public/newslet/spring01/disaster.htmlBungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.Kumala, Ardiansyah I. 2015. Skripsi: Konstruksi Media Tentang Mitigasi
Bencana Tanah Longsor Banjarnegara (Studi Analisis Framing tentang Pemberitaan Bencana Tanah Longsor Banjarnegara di Surat Kabar Kompas dan Jawa Pos Edisi 1-23 Desember 2014). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Lukmantoro, Triyono. 2007. Bencana dalam Berita: Komodifikasi dan Simplikasi Fakta. Kajian Politik Lokal dan Sosial – Humaniora. Renai Tahun VII No. 1, 2007.
Luwarso, Lukas & Gati Gayatri. 2005. Kompetensi Wartawan: Pedoman Peningkatan Profesionalsisme Wartawan dan Kinerja Pers. Jakarta: Dewan Pers dengan dukungan Friedrich Ebert Stiftung (FES)
Pertiwi, Andhika. 2012. Skripsi: Pemahaman Jurnalis Mengenai Konsep Jurnalisme Bencana (Wawancara Lima Jurnalis dari Media Cetak, Media Televisi, dan Media Online). Depok: Universitas Indonesia.
Prasatyo, Ari. 2015. Skripsi: Pelanggaran Kode Etik Jurnlistik dalam Pemberitaan Bencana (Analisis Isi Berita Kabut Asap Sumatera di Media Online Kompas.com Periode 18 Agustus 2015 – 10 November 2015). Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Masduki. 2003. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta: UII Press
19
_______. 2007. Setahun Berita Gempa: Perjuangan Melawan Lupa. Jurnal Media, Jurnalisme dan Budaya Populer halaman 240-244.
Masduki & Muzayin Nazaruddin. 2008. Media, Jurnalisme dan Budaya Populer. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia dan UII Press.
Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarta._______________. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.Masduki. 2007. Setahun Berita Gempa: Perjuangan Melawan Lupa. Jurnal
Media, Jurnalisme dan Budaya Populer halaman 240-244.Morissan. 2004. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Bogor: Ghalia IndonesiaMuda, Deddy Iskandar. 2005. Jurnalistik Televisi: Menjadi Reporter Profesional.
Bandung: PT. Remaja RosdakaryaMulkan, Dede. 2013. Pengantar Ilmu Jurnalistik: Untuk Pemula yang Menyukai
Dunia Jurnalistik. Bandung: Arsad Press.Nazaruddin, Muzayin. 2007. Jurnalisme Bencana: Sebuah Tinjauan Etis. Jurnal
Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, April 2007.Philo, Greg. 2002. Televison News and Audiences Understanding of War,
Conflict, and Disaster. Journalism Studies, Volume 3, Number 2, 2002.Sopiyatun. 2015. Tesis: Surat Kabar Lokal dan Isu Mitigasi Bencana. Surakarta:
Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana.Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) Tahun 2012
oleh Komisi Penyiaran Indonesia.Wijaya, Sri Herwindya B. 2014. Disaster Journalism di Indonesia dalam Kritik,
Jurnal Komunikasi Massa Vol. 7 No. 1, Januari 2014: 77-84Zaenuddin. 2011. The Journalis: Bacaan Wajib Wartawan, Redaktur, Editor dan
Para Mahasiswa Jurnalistik. Simbiosa Rekatama Media. Bandung.
20