Kriteria Bmi Asia Pasifik Who

19
TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh. Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit degeneratif (WHO 2000). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana untuk kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan kegemukan/obesitas dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan kuadrat. Cut off point dalam pengklasifikasian obesitas adalah IMT 30.00. Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: obesitas tingkat I dengan IMT 30.00-34.99; obesitas tingkat II dengan IMT 35.00-39.99; dan obesitas tingkat III dengan IMT 40.00. Cut off point obesitas di Asia Pasifik memiliki kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Cut off point obesitas pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT 25.00. Berdasarkan cut off point obesitas pada penduduk Asia Pasifik, obesitas dibagi menjadi dua kategori, yaitu: obesitas tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan IMT 30.00. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua jenis, yakni obesitas sentral dan obesitas umum (WHO 2000). Obesitas Sentral Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan lemak yang terpusat pada daerah perut (intra-abdominal fat). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa peningkatan risiko kesehatan lebih berhubungan dengan obesitas sentral dibandingkan dengan obesitas umum. Wildman et al. (2004) menemukan, laki- laki dan perempuan yang mengalami obesitas sentral mempunyai tekanan darah sistol dan diastol, kolesterol total, kolesterol LDL, dan triasilgliserol rata-rata tinggi, serta kolesterol HDL rendah. Lofgren et al. (2004) menemukan bahwa ukuran lingkar perut (waist circumference) berhubungan dengan kadar insulin, leptin, tekanan darah diastol, trigliserida plasma, dan apolipoprotein-C. Perempuan dengan lingkar perut > 88 cm memiliki konsentrasi leptin, tekanan darah diastol, trigliserida plasma, dan apolipoprotein-C lebih tinggi. Adapun Gotera et al. (2006) menemukan, orang lansia berpenyakit jantung koroner dengan obesitas sentral mempunyai tekanan

description

bmi

Transcript of Kriteria Bmi Asia Pasifik Who

TINJAUAN PUSTAKA

Obesitas

Obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan akumulasi

lemak pada jaringan adiposa. Obesitas tidak hanya berupa kondisi dengan

jumlah simpanan kelebihan lemak, namun juga distribusi lemak di seluruh tubuh.

Distribusi lemak dapat meningkatkan risiko yang berhubungan dengan berbagai

macam penyakit degeneratif (WHO 2000).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan indeks pengukuran sederhana

untuk kekurangan berat (underweight), kelebihan berat (overweight), dan

kegemukan/obesitas dengan membandingkan berat badan dengan tinggi badan

kuadrat. Cut off point dalam pengklasifikasian obesitas adalah IMT 30.00.

Berdasarkan IMT, obesitas dibagi menjadi tiga kategori, yakni: obesitas tingkat I

dengan IMT 30.00-34.99; obesitas tingkat II dengan IMT 35.00-39.99; dan

obesitas tingkat III dengan IMT 40.00. Cut off point obesitas di Asia Pasifik

memiliki kriteria lebih rendah daripada kriteria WHO pada umumnya. Cut off point

obesitas pada penduduk Asia Pasifik adalah IMT 25.00. Berdasarkan cut off

point obesitas pada penduduk Asia Pasifik, obesitas dibagi menjadi dua kategori,

yaitu: obesitas tingkat I dengan IMT 25.00-29.99 dan obesitas tingkat II dengan

IMT 30.00. Berdasarkan distribusi lemak, obesitas dibedakan menjadi dua

jenis, yakni obesitas sentral dan obesitas umum (WHO 2000).

Obesitas Sentral

Obesitas sentral merupakan kondisi kelebihan lemak yang terpusat pada

daerah perut (intra-abdominal fat). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan

bahwa peningkatan risiko kesehatan lebih berhubungan dengan obesitas sentral

dibandingkan dengan obesitas umum. Wildman et al. (2004) menemukan, laki-

laki dan perempuan yang mengalami obesitas sentral mempunyai tekanan darah

sistol dan diastol, kolesterol total, kolesterol LDL, dan triasilgliserol rata-rata

tinggi, serta kolesterol HDL rendah.

Lofgren et al. (2004) menemukan bahwa ukuran lingkar perut (waist

circumference) berhubungan dengan kadar insulin, leptin, tekanan darah diastol,

trigliserida plasma, dan apolipoprotein-C. Perempuan dengan lingkar perut > 88

cm memiliki konsentrasi leptin, tekanan darah diastol, trigliserida plasma, dan

apolipoprotein-C lebih tinggi. Adapun Gotera et al. (2006) menemukan, orang

lansia berpenyakit jantung koroner dengan obesitas sentral mempunyai tekanan

darah, gula darah, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida rata-rata lebih

tinggi, serta kolesterol HDL dan adiponektin lebih rendah.

Menurut WHO (2000), jaringan lemak visceral (intra-abdominal fat) memiliki

sel per unit massa lebih banyak, aliran darah lebih tinggi, reseptor glucocorticoid

(kortisol) dan androgen (testosterone) lebih banyak dan katecholamine lebih

besar dibandingkan dengan jaringan lemak bawah kulit (subcutaneous adipose).

Von-Eyben et al. (2003) menemukan bahwa jaringan lemak intra-abdominal

berhubungan linier dengan enam faktor risiko metabolik, seperti tekanan darah

sistol, tekanan darah diastol, glukosa darah, kolesterol HDL, trigliserida serum,

dan plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) plasma.

Jaringan adiposa disadari sebagai organ endokrin penting yang

menghasilkan beberapa hormon protein. Namun, tingginya akumulasi lemak,

terutama pada daerah perut (intra-abdominal fat) memicu jaringan adiposa

menghasilkan hormon dalam jumlah yang tidak normal, seperti tingginya sekresi

insulin, tingginya level testoteron dan androstenedion bebas, rendahnya level

progesteron pada perempuan dan testoteron pada laki-laki, tingginya produksi

kortisol, dan rendahnya level hormon pertumbuhan. Ketidaknormalan produksi

hormon ini diduga meningkatkan risiko kesehatan (WHO 2000).

Lemak visceral adalah komponen lemak tubuh penting sebagai faktor risiko

metabolik (Wildman et al. 2004). Review yang dilakukan Klein et al. (2007)

memperlihatkan hubungan obesitas sentral dengan kardiometabolik. Klein et al.

(2007) menyatakan, mekanisme biologi hubungan antara obesitas sentral

dengan kardiometabolik belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat

beberapa hipotesis yang dapat ditegakkan. Pertama, keterbatasan kemampuan

jaringan lemak subcutaneous dalam menyimpan kelebihan energi menyebabkan

akumulasi lemak yang berakibat pada disfungsi metabolik pada beberapa organ.

Kedua, terjadinya lipolisis pada jaringan adiposa omental dan mesenteric yang

melepaskan asam lemak bebas. Hal ini dapat menginduksi resistensi insulin dan

menyediakan substrat untuk sintesis lipoprotein dan simpanan lipid. Jaringan

adiposa omental dan mesenteric juga memproduksi protein dan hormon spesifik,

seperti adipokin inflamatori, angiotensinogen, dan kortisol (dibangkitkan oleh

aktivitas lokal 11-hydroxysteroid dehydrogenase). Ketiga, predisposisi gen yang

secara bebas menyebabkan penyakit kardiometabolik.

Dampak Obesitas Sentral

Dampak obesitas sentral lebih tinggi risikonya terhadap kesehatan

dibandingkan dengan obesitas umum (de Pablos-Velasco et al. 2002). Beberapa

penelitian sebelumnya menemukan tingginya dampak obesitas sentral terhadap

risiko kesehatan. Obesitas sentral berdampak terhadap peningkatan risiko

kematian (Zhang et al. 2007; Pischon et al. 2008; Bigaard et al. 2003). Wildman

et al. (2005) menemukan, obesitas sentral meningkatkan risiko hipertensi,

dislipidemia, diabetes, dan sindrom metabolik pada laki-laki dan perempuan.

Obesitas sentral juga berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler dan

penyakit jantung koroner (Baik et al. 2000; Sonmez et al. 2004; Wildman et al.

2005). Gotera et al. (2006) menyatakan, dampak obesitas sentral terhadap

penyakit jantung koroner berkaitan dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme

langsung melalui efek metabolik protein yang disekresikan oleh jaringan lemak

seperti interleukin (IL) 1, IL 6, TNF- adiponektin dan masih banyak protein

lainnya terhadap endotel pembuluh darah, dan efek tidak langsung akibat faktor-

faktor lain yang muncul sebagai risiko penyakit kardiovaskuler akibat dari

obesitas sentral tersebut.

Obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik (Shen et al.

2006; Griesemer 2008). Obesitas sentral dapat digunakan sebagai prediktor

risiko diabetes tipe dua (Wang et al. 2005; Krisnan et al. 2007) dan batu empedu

(Tsai et al. 2004). WHO (2000) menyatakan, obesitas meningkatkan risiko

terjadinya penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler, sindrom

metabolik, gangguan toleransi glukosa, diabetes tipe 2, hipertensi, batu empedu,

dislipidemia, susah napas, sleep apnoea, hyperuricaemia, gout, ketidaknormalan

produksi hormon, polysistic ovary syndrome, ketidaksuburan, masalah

psikososial, dan beberapa tipe kanker.

Pengukuran Obesitas Sentral

Pengukuran sederhana yang dapat digunakan untuk mendeteksi obesitas

sentral, yaitu: lingkar perut, rasio pinggang panggul (waist hip ratio), WCR (waist

chest ratio), dan WHtR (waist to-height-ratio). Pengukuran lingkar perut

merupakan suatu parameter yang menyediakan perkiraan ukuran lemak tubuh

yang mengumpul di perut. Pengukuran lingkar perut menyediakan pengukuran

distribusi lemak yang tidak dapat menggunakan pengukuran IMT (Klein et al.

2007). IMT tidak dapat membedakan antara berat yang berhubungan dengan

otot dan lemak (WHO 2000). Lingkar perut lebih akurat untuk mencerminkan

obesitas sentral (Sonmez et al. 2003).

Lingkar perut dapat digunakan sebagai indikator pelengkap untuk

mendeteksi risiko kesehatan pada berat normal dan kelebihan berat

(Wannamethee et al. 2005). Diagnosis menggunakan IMT lebih lemah jika

dibandingkan dengan lingkar perut dan WHtR. Lingkar perut merupakan

pengukuran yang lebih mudah daripada WHtR (Sonmez et al. 2003). Wang et al.

(2005) menemukan bahwa lingkar perut lebih baik dalam mengukur obesitas

sentral daripada WHtR sebagai prediksi risiko diabetes tipe 2. Pengukuran

menggunakan lingkar perut lebih cocok sebagai prediktor kematian pada usia

lebih dari 65 tahun dibandingkan dengan IMT (Baik et al. 2000). Visscher et al.

(2001) menemukan bahwa pengukuran lingkar perut pada laki-laki yang tidak

pernah merokok dapat mendeteksi lebih akurat individu yang berisiko tinggi

terhadap kematian daripada pengukuran IMT. Lingkar perut lebih kuat sebagai

prediktor CHD (Lofgren et al. 2004) dan hipoadiponektinemia (Gotera et al. 2006)

daripada IMT.

Kriteria obesitas sentral adalah lingkar perut 102 cm pada laki-laki dan

88 cm pada perempuan. Adapun kriteria obesitas sentral di wilayah Asia Pasifik

adalah lingkar perut 90 cm pada laki-laki dan 80 cm pada perempuan (WHO

2000). Ko dan Tang (2007) menemukan cut off point pre-obesitas sentral untuk

penduduk China adalah lingkar perut 84-90 cm pada laki-laki dan 74-80 cm pada

perempuan. Cut off point pre-obesitas sentral setara dengan IMT (23-25) dan

berdampak pada peningkatan risiko kesakitan. Penelitian sebelumnya di China,

menemukan bahwa cut off point lingkar perut dan IMT yang rendah dapat

digunakan untuk mengidentifikasi tingginya risiko CVD di China, yakni dengan

lingkar perut 80 cm dan IMT 24 (Wildman et al. 2004). Cut off point lingkar perut

untuk mendiagnosis sindrom metabolik populasi perkotaan di Irak adalah 99 cm

pada laki-laki dan 97 cm pada perempuan (Mansour et al. 2007).

Faktor Risiko Obesitas sentral

Penyebab utama masalah obesitas adalah lingkungan dan perubahan

perilaku. Peningkatan proporsi lemak dan peningkatan densitas energi dalam

diet, penurunan level aktivitas fisik dan peningkatan perilaku sedentary,

merupakan faktor utama yang dapat meningkatkan berat badan pada populasi.

Genetik, faktor biologi dan faktor individu lain seperti penghentian merokok, jenis

kelamin, dan umur saling berinteraksi memengaruhi peningkatan berat badan

(WHO 2000).

Faktor risiko yang diduga berhubungan dengan obesitas sentral dalam

penelitian ini adalah karakteristik demografi dan sosial-ekonomi (umur, jenis

kelamin, status kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per

kapita, dan tipe wilayah) dan gaya-hidup (kebiasaan merokok, aktivitas fisik,

perilaku konsumsi makanan/minuman, dan stres).

Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi

Umur

Umur merupakan faktor risiko obesitas sentral yang tidak dapat diubah.

Seiring dengan bertambahnya umur, prevalensi obesitas sentral mengalami

peningkatan (Martins&Marinho 2003; Erem et al 2004). Peningkatan umur akan

meningkatkan kandungan lemak tubuh total, terutama distribusi lemak pusat

(Chang et al. 2000; Demerath et al. 2007). Aekplakorn et al. (2007) menemukan

bahwa prevalensi obesitas sentral meningkat sampai dengan umur 44 tahun dan

menurun kembali pada umur 45-54 tahun.

Prevalensi obesitas sentral ditemukan lebih tinggi pada sampel dengan

umur lebih tua (Janghorbani et al. 2007). Pada umur lebih tua terjadi penurunan

massa otot dan perubahan beberapa jenis hormon yang memicu penumpukan

lemak perut. Kantachuvessiri et al. (2005) menyatakan bahwa pada umur 40-59

tahun seseorang cenderung obesitas dibandingkan dengan umur yang lebih

muda. Hal ini diduga karena lambatnya metabolisme, kurangnya aktivitas fisik,

dan frekuensi konsumsi pangan yang lebih sering. Selain itu, orang tua biasanya

tidak begitu memperhatikan ukuran tubuhnya.

Jenis Kelamin

Prevalensi obesitas umum dan obesitas sentral lebih tinggi pada

perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Al-Riyami&Afifi 2003;

Martins&Marinho 2003; Gutierrez-Fisac et al. 2004; Yoon et al. 2006). Obesitas

sentral lebih umum dijumpai pada perempuan (Sonmez et al. 2003; Pablos-

Velasco et al. 2002). Tingginya prevalensi obesitas pada perempuan

menunjukkan bahwa kelebihan lemak pusat lebih banyak terdapat pada

perempuan (Misra et al. 2001). Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa

tingginya prevalensi obesitas sentral pada perempuan dibandingkan dengan laki-

laki karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik dan asupan energi pada laki-

laki dan perempuan.

Demerath et al. (2007) menemukan, lemak perut lebih tinggi pada

perempuan yang lebih tua daripada laki-laki muda. Jaringan adiposa meningkat

dengan bertambahnya umur, perempuan cenderung lebih berisiko obesitas

sentral, terutama setelah menopause. Perempuan postmenopause memiliki

persentase lemak perut, kolesterol total, dan trigliserida yang tinggi. Seiring

dengan bertambahnya umur dan efek menopause, pada perempuan akan terjadi

peningkatan kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat

(Chang et al. 2000).

Perempuan mengontrol kelebihan energi sebagai lemak simpanan,

sedangkan laki-laki menggunakan kelebihan energinya untuk mensintesis

protein. Pada perempuan, pola penggunaan energi untuk keseimbangan energi

positif dan deposit lemak disebabkan oleh dua alasan. Pertama, penyimpanan

lemak jauh lebih efisien daripada protein. Kedua, penyimpanan energi sebagai

lemak akan berperan pada rendahnya rasio jaringan bebas lemak dengan

jaringan lemak dengan hasil tidak meningkatnya RMR (Resting Metabolite Rate)

pada kecepatan yang sama sebagai massa tubuh (WHO 2000).

Status Kawin

Obesitas berhubungan nyata positif dengan status kawin (Erem et al. 2004;

Janghorbani et al. 2007). Prevalensi obesitas tertinggi pada orang yang memiliki

status cerai dan terendah pada orang yang belum menikah (Erem et al. 2004).

Janghorbani et al. (2007) menyatakan bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi

pada sampel yang telah menikah. Hal ini karena kurangnya aktivitas fisik setelah

menikah dan perubahan pola makan yang menyesuaikan pasangannya. Namun,

penelitian yang dilakukan oleh Panagiotakos et al. (2004) terhadap orang

dewasa berumur 20-89 tahun di Yunani menemukan bahwa tidak terdapat

hubungan obesitas dengan status kawin.

Besar Keluarga

Besar keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam

satu rumah. Adiningrum (2008) menemukan bahwa jumlah anggota keluarga

tidak berhubungan dengan kegemukan. Namun, lebih lanjut Adiningrum (2008)

menyatakan bahwa besarnya jumlah anggota keluarga akan memengaruhi

distribusi pangan yang akan diterima masing-masing individu. Terlalu banyaknya

individu dalam sebuah keluarga selain dapat mengurangi distribusi pangan juga

mengurangi kenyamanan dalam hidup berkeluarga. Dengan banyaknya anggota

keluarga, akan memperkecil kemungkinan seseorang menjadi gemuk.

Setiap penambahan anak, risiko obesitas meningkat sebesar 4% pada laki-

laki dan 7% pada perempuan (Weng et al. 2004). Kantachuvessiri et al. (2005)

menemukan bahwa besar keluarga tidak berhubungan dengan obesitas sentral

di Thailand. Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh Al-Riyami dan Afifi

(2003) yang menemukan tidak terdapatnya hubungan antara besar keluarga

dengan obesitas sentral.

Pendidikan

Beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa prevalensi

obesitas sentral lebih tinggi pada orang berpendidikan rendah (Gutierrez-Fisac et

al. 2004; Panagiotakos et al. 2004). Wolff et al. (2006) menemukan bahwa

prevalensi obesitas sentral meningkat pada laki-laki berpendidikan tengah (10-12

tahun) dan atas (>12 tahun) serta sedikit berubah pada pendidikan rendah (9

tahun), sedangkan pada perempuan, prevalensi obesitas sentral meningkat pada

semua tingkatan pendidikan, khususnya pada pendidikan rendah. Pendidikan

berhubungan dengan kepercayaan dan tingkat pengetahuan (Yoon et al. 2006).

Aekplakorn et al. (2007) menemukan bahwa terdapat hubungan negatif pada

perempuan dan hubungan positif pada laki-laki antara pendidikan dengan

obesitas sentral. Tingginya level pendidikan juga meningkatkan berat badan dan

lingkar perut (Zhang et al. 2008). Namun, Rosmond dan Bjorntorp (2000)

menemukan bahwa rendahnya status sosial ekonomi (pekerjaan dan pendidikan)

berhubungan dengan obesitas sentral dan tingginya nilai kortisol.

Pekerjaan

Perubahan pada struktur sosial berhubungan dengan peningkatan

obesitas. Hubungan ini terletak pada peningkatan proporsi populasi pekerjaan

dalam bidang pelayanan, perkantoran, dan profesi lain yang kurang aktivitas fisik

jika dibandingkan dengan pekerjaan manual yang membutuhkan banyak aktivitas

fisik pada masyarakat tradisional (WHO 2000).

Dekkers et al. (2004) menyatakan bahwa kecepatan perkembangan

jaringan adiposa dari anak sampai dewasa muda dipengaruhi oleh status sosial

ekonomi. Lahmann et al (2000) menyatakan bahwa status sosial ekonomi orang

tua (pekerjaan ayah) merupakan prediktor kuat peningkatan jaringan adiposa

pusat dan peningkatan berat badan, terutama sosial ekonomi lemah. Interaksi

antara pekerjaan ayah dan pekerjaaan sendiri berhubungan dengan perubahan

berat badan dan lingkar perut.

Pengeluaran per Kapita

Pengeluaran per kapita merupakan salah satu indikator status ekonomi

seseorang. Pengeluaran per kapita paralel dengan pendapatan per kapita

seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Reynolds et al (2007) menemukan

bahwa pendapatan berhubungan dengan obesitas sentral pada laki-laki.

Semakin tinggi pendapatan rumah tangga semakin berisiko obesitas (Erem et al.

2004). Peningkatan pendapatan berpengaruh pada peningkatan konsumsi rumah

tangga seperti makanan tinggi lemak dan konsumsi daging (WHO 2000).

Pendapatan berhubungan positif dengan kejadian obesitas sentral pada

laki-laki di Korea. Pendapatan tinggi meningkatkan obesitas sentral 1.37 kali

dibandingkan dengan pendapatan terendah pada laki-laki di Korea. Pada

perempuan, pendapatan tidak menunjukkan hubungan nyata dengan kejadian

obesitas sentral. Pengaruh pendapatan terhadap obesitas terletak pada

ketersediaan dalam membeli makanan dan aktivitas fisik (Yoon et al. 2006).

Tipe Wilayah

Tipe wilayah perkotaan berhubungan positif dengan obesitas. Wilayah

perkotaan berhubungan dengan obesitas karena peningkatan jumlah orang yang

tinggal di perkotaan. Wilayah perkotaan berhubungan dengan berbagai faktor

yang memengaruhi diet, aktivitas fisik, dan komposisi tubuh. Hal ini melibatkan

perubahan transportasi, kemudahan akses dan penggunaan fasilitas kesehatan

dan pendidikan modern, komunikasi, pemasaran dan ketersediaan pangan, dan

perbedaan profil pekerjaan dengan yang lainnya (WHO 2000).

Reynolds et al. (2007) menemukan bahwa prevalensi obesitas sentral lebih

tinggi pada sampel yang tinggal di perkotaan. Tingginya prevalensi obesitas

sentral di perkotaan diakibatkan oleh urbanisasi yang berhubungan dengan

perubahan gaya hidup dan perubahan perilaku seperti rendahnya aktivitas fisik

dan tingginya konsumsi makanan berlemak. Janghorbani et al. (2007)

menyatakan bahwa seseorang yang tinggal di perkotaan cenderung mengikuti

makanan ala barat yang rendah serat dan kurang aktivitas fisik.

Gaya Hidup

Kebiasaan Merokok

Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa merokok dapat meningkatkan

resisten insulin dan berhubungan dengan akumulasi lemak pusat. Xu et al.

(2007) menyatakan bahwa merokok berhubungan negatif dengan peningkatan

berat badan (IMT) tetapi positif berhubungan dengan lingkar perut pada laki-laki.

Merokok dalam jangka waktu lama berpengaruh pada obesitas sentral daripada

obesitas umum. Erem et al (2004) menemukan hubungan negatif merokok

dengan obesitas sentral. Mantan perokok berhubungan positif dengan obesitas

sentral (Erem et al. 2004; Janghorbani et al. 2007). Perokok menurunkan 0.68

cm lingkar perut, sedangkan mantan merokok berhubungan dengan peningkatan

1.98 cm lingkar perut (Koh-Banerjee et al. 2003). Mekanisme biologi antara

merokok dengan pola distribusi lemak tidak jelas. Meskipun perokok memiliki

nilai rata-rata IMT yang lebih rendah daripada bukan perokok, perokok memiliki

profil distribusi lemak yang mencerminkan konsekuensi metabolik merokok

dengan lebih tingginya lemak pusat (Canoy et al. 2005).

Mantan perokok berpeluang mengalami obesitas lebih tinggi dibandingkan

dengan perokok dan bukan perokok. Hal ini disebabkan oleh efek ganda

merokok yaitu merokok meningkatkan pengeluaran energi dan menurunkan

nafsu makan, dan kedua efek akan hilang pada mantan perokok (Chiolero et al.

2007). Review yang dilakukan oleh Chiolero et al. (2008) mengenai hubungan

merokok pada berat tubuh, distribusi lemak tubuh dan resistensi insulin

memperlihatkan bahwa di satu sisi, nikotin meningkatkan pengeluaran energi

dan menurunkan nafsu makan pada perokok, sedangkan di sisi yang lain,

perokok berat memiliki berat badan lebih tinggi daripada perokok ringan atau

tidak merokok, jika merokok diimbangi dengan gaya hidup yang tidak baik seperti

rendahnya tingkat aktivitas fisik, dan diet yang buruk.

Pada perempuan, setelah 30 hari penghentian merokok, RMR 16% lebih

rendah daripada ketika masih merokok sehingga dapat menyebabkan

peningkatan berat badan sebagai efek menurunnnya RMR dan peningkatan

asupan energi. Sejumlah studi menunjukkan bahwa seseorang yang

menghentikan kebiasaan merokoknya kelihatan meningkat berat badannya. Hal

ini diduga karena peningkatan asupan energi dan penurunan pengeluaran

energi, penurunan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak, dan metabolisme

jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein).

Lemak visceral dipengaruhi oleh konsentrasi kortisol. Sedangkan perokok

memiliki lebih tinggi konsentrasi kortisol plasma daripada orang yang tidak

merokok. Tingginya konsentrasi kortisol adalah konsekuensi aktivitas

sympathetic nervous system yang diinduksi oleh merokok. Massa lemak visceral

meningkat ketika konsentrasi estrogen menurun dan konsentrasi testosteron

meningkat. Rendahnya estrogen, kelebihan androgen, dan peningkatan

testosteron pada perempuan berhubungan dengan akumulasi lemak visceral.

Pada laki-laki lemak visceral meningkat dengan penurunan testosteron.

Sementara testosteron pada laki-laki menurun dengan merokok.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan upaya pencegahan peningkatan berat badan dan

secara signifikan berkontribusi untuk menurunkan berat badan dalam jangka

panjang dan mengurangi risiko kesehatan yang berhubungan dengan penyakit

kronis (Jakicic&Otto 2005). Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa

penurunan aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan lingkar perut (Erem

et al. 2004; Slentz et al. 2004; Zhang et al. 2008; Besson et al. 2009).

Rendahnya aktivitas fisik berhubungan positif dengan obesitas pada perempuan

tetapi tidak pada laki-laki (Janghorbani et al. 2007). Aktivitas fisik dapat

berpengaruh terhadap perubahan jaringan lemak pusat, bahkan pada anak-anak

(Barbeau et al. 2007).

Mustelin et al. (2009) menemukan bahwa terdapat hubungan kuat antara

aktivitas fisik dan lingkar perut. Aktivitas fisik secara nyata memodifikasi efek dari

faktor genetik seseorang. Peningkatan aktivitas fisik lebih berhubungan secara

nyata dengan lingkar perut daripada IMT. Williams dan Satariano (2005)

menemukan bahwa lingkar perut menurun secara signifikan dengan lari pada

semua umur, namun penurunan lebih nyata pada perempuan yang lebih tua

daripada yang lebih muda, khususnya pelari jarak pendek. Latihan tingkat berat

dapat menghindarkan penumpukan lemak yang bertambah seiring dengan umur.

Intervensi latihan (exercise) intensif tingkat moderat selama 12 bulan

secara nyata merubah berat tubuh, lemak tubuh total, dan lemak perut. Exercise

berperan pada penurunan lemak tubuh khususnya lemak perut (Irwin et al.

2003). Latihan sedang sampai berat selama 12 bulan menurunkan berat tubuh

rata-rata pada perempuan 1.4 kg dan kontrol 0.7 kg, pada laki-laki 1.8 kg dan 0.1

kg pada kontrol. Exercise dapat menurunkan obesitas sentral dengan durasi 370

menit/minggu pada laki-laki dan 295 menit/minggu pada perempuan. Aktivitas

fisik berat atau sedang minimal 60 menit/hari disarankan untuk menurunkan

obesitas (McTiernan et al. 2007).

Menurut Koh-Banerjee et al. (2003), aktivitas fisik berat lebih dari 0.5

jam/hari menurunkan 0.91 cm lingkar perut. Aktivitas fisik menurunkan obesitas

sentral melalui penggunaan lemak dari daerah perut, sebagai hasil redistribusi

jaringan adiposa. Jumlah energi yang dikeluarkan pada waktu melakukan

aktivitas fisik tergantung dari durasi, waktu, dan frekuensi (WHO 2000). WHO

(2003) menyarankan untuk melakukan aktivitas fisik sedang per hari selama 30

menit.

Perilaku Konsumsi Makanan/minuman

Perilaku konsumsi makanan/minuman adalah kebiasaan seseorang dalam

mengonsumsi makanan/minuman. Dalam penelitian ini perilaku konsumsi

meliputi konsumsi minuman beralkohol, konsumsi sayuran dan buah, konsumsi

makanan/minuman manis, dan konsumsi makanan berlemak.

Konsumsi minuman beralkohol

Penelitian yang dilakukan oleh Dorn et al. (2003) terhadap 2343 orang

dewasa berumur 35-74 tahun di New York menemukan hubungan antara

konsumsi minuman beralkohol dengan distribusi lemak tubuh sentral. Lebih lanjut

Dorn et al (2003) menyatakan bahwa konsumsi minuman beralkohol secara

berlanjut dapat meningkatkan lemak abdominal (lemak perut) sebagai risiko

untuk penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya. Demikian halnya dengan

beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan hubungan positif antara

konsumsi minuman beralkohol dengan obesitas sentral (Erem et al. 2004;

Panagiotakos et al. 2004). Sebaliknya, Tolstrup et al. (2008) menemukan

hubungan negatif antara frekuensi minuman beralkohol dengan 5 tahun

peningkatan lingkar perut pada perempuan, sedangkan pada laki-laki tidak

berhubungan. Koh-Banerjee et al. (2003) menemukan bahwa konsumsi minuman

beralkohol tidak berhubungan dengan peningkatan lingkar perut setelah 9 tahun.

Penelitian kohort terhadap laki-laki berumur 70 tahun menunjukkan bahwa

asupan minuman beralkohol berhubungan positif dengan lingkar perut.

Berdasarkan hubungan antara jumlah minum/minggu dengan lingkar perut,

setiap tambahan minum/minggu meningkatkan lingkar perut 0.12 cm.

Berdasarkan diet tujuh hari, asupan minuman beralkohol berhubungan positif

dengan lingkar perut. Tingginya asupan liquor berhubungan dengan peningkatan

lingkar perut, sebaliknya pada beer dan wine tidak berhubungan

(Riserus&Ingelsson 2007).

Laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi sejumlah minuman beralkohol

memiliki lingkar perut yang lebih besar setelah 10 tahun. Terdapat perbedaan

hubungan antara tipe minuman beralkohol dengan lingkar perut. Konsumsi beer

meningkatkan lingkar perut pada laki-laki dan perempuan setelah 10 tahun.

Adapun konsumsi wine pada laki-laki berfluktuasi, sedangkan pada perempuan

tidak berhubungan. Namun, terdapat kecenderungan rendahnya lingkar perut

pada laki-laki dan perempuan yang mengonsumsi sejumlah besar wine setelah

10 tahun. Spirit meningkatkan risiko obesitas pada laki-laki dan perempuan

(Vadstrup et al. 2003). Bobak et al. (2003) menemukan bahwa asupan beer

berhubungan positif dengan obesitas sentral pada laki-laki dan negatif pada

perempuan. Efek beer kuat pada laki-laki yang bukan perokok daripada laki-laki

perokok.

Mekanisme hubungan antara tingginya asupan minuman beralkohol

dengan simpanan lemak perut tidak begitu jelas, kemungkinan karena minuman

beralkohol menyediakan sejumlah energi (6-10% asupan energi). Jika tingginya

asupan minuman beralkohol berhubungan dengan tingginya asupan energi,

asupan minuman beralkohol juga berhubungan dengan IMT (Riserus&Ingelsson

2007). WHO (2000) menyatakan bahwa satu gram minuman beralkohol dapat

menyumbangkan energi sebesar 7 kilokalori. Sumbangan energi ini lebih besar

dibandingkan dengan karbohidrat dan protein.

Tingginya asupan minuman beralkohol, tidak konsisten berhubungan

dengan IMT. Mungkin, minuman beralkohol berhubungan dengan obesitas

sentral melalui mekanisme non energi, seperti pengaruhnya terhadap hormon

steroid yang meningkatkan simpanan lemak perut. Tingginya asupan minuman

beralkohol, menyebabkan penurunan konsenstrasi darah testoteron pada laki-

laki, dan rendahnya sekresi lipid hormon steroid yang menyebabkan akumulasi

lemak visceral (Riserus&Ingelsson 2007).

Konsumsi Sayuran dan Buah

Konsumsi tinggi sayuran, buah, dan biji-bijian berhubungan dengan

penambahan kecil pada IMT dan lingkar perut (Newby et al. 2003). Demikian

halnya yang dinyatakan oleh Drapeau et al. (2004) bahwa konsumsi sayuran dan

buah dapat menurunkan lingkar perut dan berat tubuh. Penelitian kohort

menemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara asupan sayuran atau buah

dengan risiko obesitas. Perempuan yang mengonsumsi buah lebih tinggi dapat

menurunkan 25% risiko obesitas dibandingkan yang lebih rendah (OR=0.75).

Perempuan dengan asupan sayuran lebih tinggi menurunkan 16% risiko obesitas

dibandingkan dengan yang lebih rendah (OR=0.84). Penurunan asupan sayuran

atau buah berhubungan dengan tingginya risiko peningkatan berat badan selama

12 tahun. Peningkatan asupan sayuran dan buah berhubungan nyata dengan

rendahnya risiko obesitas pada perempuan. Konsumsi sayuran dan buah adalah

bagian dari strategi diet dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (He et al.

2004).

Epstein et al. (2001) menyatakan bahwa peningkatan intervensi sayuran

dan buah menurunkan asupan tinggi lemak dan gula, sedangkan intervensi

penurunan lemak dan gula tidak berpengaruh pada perubahan asupan sayuran

dan buah. Peningkatan konsumsi karbohidrat dan serat dapat meningkatkan rasa

kenyang, menurunkan asupan energi, dan asupan lemak. Kontribusi utama

dalam mengontrol berat badan adalah menurunkan asupan energi dan

pembatasan diet. Peningkatan asupan serat 12 gram/hari berhubungan dengan

penurunan 0.63 cm lingkar perut dalam waktu 9 tahun (Koh-Banerjee et al.

2003). Serat dapat membatasi asupan energi dengan cara rendahnya densitas

energi, dan efek mempercepat rasa kenyang (WHO 2000).

Peningkatan konsumsi sayuran dan buah dapat menggantikan kelebihan

densitas energi dari diet dan mengurangi asupan lemak. Peningkatan konsumsi

buah lebih baik untuk mengontrol berat badan daripada sayuran. Buah lebih

mudah dimakan sebagai snack atau dessert, sedangkan sayuran sering

dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega,

saus, minyak, dan keju. Buah lebih berperan dalam pengaturan berat badan

dibandingkan dengan jus buah. Buah mengandung serat yang menimbulkan efek

mempercepat rasa kenyang (Drapeau et al. 2004).

Konsumsi Makanan/minuman Manis

Makanan manis meningkatkan berat tubuh dan lingkar perut. Hubungan ini

diduga karena kombinasi antara makanan berlemak dengan makanan manis.

Makanan manis seringkali kaya lemak (Drapeau et al. 2004). Diet fruktosa

berkontribusi pada peningkatan asupan energi dan berat badan. Minuman manis

berenergi meningkatkan asupan energi yang berlebihan. Peningkatan konsumsi

HFCS (high fructosa corn syrup) berhubungan dengan epidemi obesitas. HFCS

biasa digunakan pada makanan produk bakeri, minuman kaleng, jam dan jelly.

HFCS dan peningkatan asupan soft drink dan minuman manis lain berperan

pada peningkatan total energi dan konsumsi fruktosa yang berkontribusi pada

epidemi obesitas (Bray et al. 2004).

Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) memperlihatkan bahwa

urbanisasi pada negara berkembang kuat hubungannya dengan peningkatan

konsumsi makanan manis. Mekanisme fisiologi mengapa konsumsi makanan

manis meningkatkan lemak tubuh melibatkan tingginya densitas energi dan efek

rasa lezat makanan manis dan efek lemahnya rasa kenyang. Beberapa

penelitian cross sectional menemukan bahwa tingginya asupan makanan manis

berhubungan negatif dengan asupan makanan berlemak, sehingga dapat

memproteksi obesitas. Hal ini diduga karena terdapatnya counfounding seperti

umur dan aktivitas fisik.

Review yang dilakukan oleh Malik et al. (2006) menunjukkan bahwa pada

beberapa penelitian cross sectional terdapat hubungan positif, negatif atau tidak

berhubungan antara asupan minuman manis dan kelebihan berat badan atau

obesitas. Demikian halnya pada penelitian kohort, juga ditemukan hubungan

positif, negatif atau tidak berhubungan antara asupan minuman manis dengan

obesitas. Terdapatnya hubungan antara konsumsi makanan manis dengan

obesitas diduga karena kontribusinya terhadap total energi. Minuman manis

berenergi menghasilkan asupan energi lebih tinggi daripada minuman manis

dengan pemanis buatan. Penggantian minuman manis berenergi dengan

minuman manis dengan gula buatan tidak memengaruhi total asupan energi.

Konsumsi makanan berlemak

Penelitian yang dilakukan oleh Guallar-Castillon et al. (2007) terhadap

33542 orang Spanyol berumur 29-69 tahun menunjukkan bahwa makanan

gorengan (food fried) berhubungan positif dengan obesitas umum dan obesitas

sentral karena dapat menghasilkan asupan energi yang tinggi. Huot et al. (2004)

menyatakan bahwa konsumsi makanan berlemak berhubungan dengan obesitas

pada laki-laki, namun tidak pada perempuan. Konsumsi makanan berlemak

dapat meningkatkan lingkar perut dan berat tubuh (Drapeau et al 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Garaulet et al (2001) terhadap 85 sampel

obesitas tingkat 1 dan tingkat 2 berumur 30-70 tahun menunjukkan bahwa

konsumsi makanan berlemak merupakan faktor yang berhubungan dengan

obesitas sentral.

Asupan lemak memiliki densitas energi lebih tinggi dibandingkan zat gizi

makro lain. Satu gram lemak menyumbang 9 kilokalori. Efek stimulasi makanan

berlemak pada asupan energi karena rasa enak di mulut ketika mengonsumsi

makanan berlemak. Makanan berlemak mengatur sinyal yang mengontrol rasa

kenyang dengan cara melemahkan, menunda, dan mencegah pada waktu

seseorang mengonsumsi makanan berlemak (WHO 2000).

Review yang dilakukan oleh Drewnowski (2007) menunjukkan bahwa

perubahan pola diet berhubungan dengan transisi zat gizi yang secara langsung

berhubungan dengan obesitas. Di China, terdapat hubungan paralel antara

perkembangan ekonomi, peningkatan konsumsi lemak, dan obesitas. Mekanisme

fisiologi yang menjelaskan mengapa konsumsi makanan lemak berperan dalam

peningkatan lemak tubuh adalah densitas energi yang tinggi, rasa lezat makanan

berlemak, tingginya efisiensi metabolik, lemahnya kekuatan rasa kenyang, dan

lemahnya regulasi fisiologi asupan lemak terhadap asupan karbohidrat.

Stres

Lee et al. (2005) menemukan bahwa depresi berhubungan dengan lemak

pusat (visceral fat) pada perempuan premenopause yang mengalami

kegemukan. Depresi berhubungan pada peningkatan jangka panjang BWV

(Body Weight Variability) dan tidak berhubungan dengan level IMT atau trend

IMT. Terdapat hubungan positif yang kuat antara jenis kelamin perempuan

dengan BWV. Hal ini menjelaskan hubungan nyata antara perempuan dengan

depresi (Hasler et al. 2005). Roberts et al. (2003) menemukan bahwa obesitas

berhubungan dengan peningkatan depresi setelah 5 tahun. Depresi dapat

menyebabkan peningkatan IMT dan sekresi kortisol (Roberts et al. 2007).

Roemmich et al. (2007) menemukan bahwa reaktivitas stres mengawali

penyakit kardiovaskuler sebelum remaja oleh peningkatan total dan obesitas

sentral pada anak. Anak dengan peningkatan reaktivitas heart rate pada waktu

stres memilki peningkatan lemak tubuh, IMT, dan lemak pusat. Katz et al. (2000)

menemukan bahwa depresi konsisten berhubungan dengan obesitas dan

obesitas sentral. Level metabolit kortisol meningkat pada laki-laki depresi, tetapi

tidak berhubungan dengan adiposa. Obesitas sentral pada laki-laki berhubungan

dengan peningkatan respon pituitari-adrenal ke CRH (Corticotrophin-Releasing

Hormone) dan hal ini berhubungan dengan depresi. Namun, pada perempuan

postmenopause tidak berhubungan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Obesitas sentral adalah salah satu jenis obesitas yang banyak dialami

orang dewasa, baik di negara maju maupun negara berkembang. Obesitas

sentral terjadi akibat kelebihan akumulasi lemak pada daerah perut. Peningkatan

kejadian obesitas sentral berimplikasi pada peningkatan berbagai macam

penyakit degeneratif, seperti penyakit kardiovaskuler, hipertensi, dislipidemia,

diabetes tipe 2, batu empedu, dan beberapa jenis kanker (WHO 2000).

Terdapat banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya obesitas

sentral, antara lain karakteristik demografi dan sosial-ekonomi serta gaya-hidup.

Karakteristik demografi dan sosial-ekonomi meliputi umur, jenis kelamin, status

kawin, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran per kapita, dan tipe

wilayah. Kejadian obesitas sentral meningkat seiring dengan bertambahnya umur

seseorang; makin bertambah umur, semakin meningkat kandungan lemak tubuh

total seseorang, terutama distribusi lemak pusatnya. Peningkatan umur pun

menyebabkan penurunan massa otot dan perubahan beberapa jenis hormon

sehingga dapat memicu penumpukan lemak perut.

Jenis kelamin juga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas sentral lebih banyak dialami

perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini karena kelebihan lemak pusat

lebih banyak terdapat pada perempuan.

Status kawin berhubungan pula dengan kejadian obesitas sentral.

Beberapa penelitian menunjukkan, hubungan nyata positif antara status kawin

dengan kejadian obesitas sentral. Seseorang yang menikah akan cenderung

menyesuaikan diri dengan pasangannya. Penyesuaian diri dapat memengaruhi

gaya hidup dan pola makannya.

Besar keluarga pun berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral.

Seseorang yang memiliki anggota keluarga kecil cenderung lebih berisiko

mengalami obesitas sentral dibandingkan dengan yang memiliki anggota

keluarga besar. Seseorang dengan anggota keluarga kecil cenderung memiliki

ketersediaan pangan lebih banyak daripada seseorang dengan anggota keluarga

besar.

Pendidikan juga berhubungan dengan kejadian obesitas sentral.

Pendidikan yang rendah dapat meningkatkan risiko obesitas sentral. Pendidikan

dapat memengaruhi kepercayaan seseorang mengenai kebiasaan makan. Di

samping itu, pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian berpikir

seseorang. Seseorang yang berpendidikan tinggi lebih mudah menyerap

informasi mengenai pesan kesehatan daripada seseorang yang berpendidikan

lebih rendah.

Perubahan dan peningkatan proporsi pekerjaan berhubungan pula dengan

terjadinya obesitas sentral. Hal tersebut karena pada beberapa jenis pekerjaan

tertentu tidak membutuhkan aktivitas fisik yang cukup sehingga terjadi

penumpukan kelebihan energi dalam tubuh. Begitu pun dengan peningkatan

pengeluaran per kapita, ini juga berhubungan dengan peningkatan kejadian

obesitas sentral. Hal itu terkait dengan kemudahan dalam memanfaatkan akses

dan penggunaan fasilitas modern yang membuat rendahnya aktivitas fisik

seseorang. Seseorang yang berpendapatan tinggi sering membelanjakan

pendapatannya tersebut untuk mengonsumsi pangan berenergi tinggi.

Tipe wilayah pun berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa

penelitian menemukan bahwa obesitas sentral lebih banyak dialami orang yang

tinggal di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Arus urbanisasi

menyebabkan gaya hidup seseorang berubah tidak baik, seperti kebiasaan

merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, mengonsumsi sedikit sayuran dan

buah, serta mengonsumsi banyak makanan/minuman manis dan berlemak.

Kemudahan akses di perkotaan menyebabkan seseorang cenderung kurang

melakukan aktivitas fisik.

Selain berhubungan dengan terjadinya obesitas sentral, karakteristik

demografi dan sosial-ekonomi juga berhubungan dengan perubahan gaya hidup

yang tidak baik, seperti kebiasaan merokok; rendahnya aktivitas fisik; tingginya

konsumsi minuman beralkohol, makanan/minuman manis, makanan berlemak;

rendahnya konsumsi sayuran dan buah; serta kondisi mental emosional. Namun,

dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis hubungan antara karakteristik

demografi dan sosial-ekonomi dengan gaya-hidup.

Kebiasaan merokok berhubungan dengan peningkatan terjadinya obesitas

sentral. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang yang berhenti merokok

cenderung mengalami obesitas sentral daripada yang merokok dan tidak

merokok. Hal itu diduga karena meningkatnya asupan energi disertai dengan

menurunnya pengeluaran energi dan aktivitas fisik, perubahan oksidasi lemak,

dan metabolisme jaringan adiposa (seperti aktivitas lipoprotein). Beberapa

penelitian menemukan, penurunan aktivitas fisik berhubungan langsung dengan

peningkatan kejadian obesitas sentral. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan

terjadinya penimbunan lemak akibat kelebihan asupan energi.

Konsumsi makanan/minuman berhubungan dengan terjadinya obesitas

sentral. Konsumsi banyak minuman beralkohol berhubungan pula dengan

peningkatan terjadinya obesitas sentral. Di samping memiliki kontribusi energi

yang tinggi, konsumsi minuman beralkohol dapat mengubah hormon yang dapat

menyebabkan penumpukan lemak pada daerah perut. Rendahnya konsumsi

sayuran dan buah serta tingginya konsumsi makanan/minuman manis dan

berlemak pun berhubungan dengan kejadian obesitas sentral. Beberapa

penelitian menemukan, rendahnya konsumsi sayuran dan buah dapat

mengakibatkan risiko obesitas sentral. Demikian halnya dengan konsumsi

makanan/minuman manis dan makanan berlemak yang berlebihan, juga dapat

memberikan kontribusi energi yang dapat disimpan sebagai lemak dalam tubuh

sehingga meningkatkan risiko obesitas sentral.

Tekanan hidup dapat menyebabkan kondisi mental emosional terganggu.

Hal ini berdampak pada peningkatan kejadian obesitas sentral. Beberapa

penelitian menemukan bahwa orang yang mengalami depresi dapat

menyebabkan lingkar perutnya meningkat. Selain itu, seseorang yang depresi

cenderung memiliki pola hidup yang tidak baik, seperti mengonsumsi minuman

beralkohol secara berlebihan dan mengonsumsi makanan berlemak tinggi yang

dapat meningkatkan terjadinya obesitas sentral.

Keterangan:

Gambar 1. Bagan kerangka pemikiran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas sentral

: hubungan yang diteliti

; : hubungan yang tidak diteliti

Karakteristik Demografi dan Sosial-Ekonomi

- Umur

- Jenis kelamin

- Status kawin

- Besar keluarga

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Pengeluaran per kapita

- Tipe wilayah

Gaya Hidup

- Kebiasaan merokok - Aktivitas fisik - Perilaku konsumsi

(minuman beralkohol, sayuran dan buah, makanan/minuman manis dan makanan berlemak)

- Kondisi mental emosional

Obesitas Sentral Pria, LP >90 cm Wanita, LP >80 cm