VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Persepsi Responden … · penelitian pada instalasi biogas percontohan...
-
Upload
truongphuc -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Persepsi Responden … · penelitian pada instalasi biogas percontohan...
54
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Persepsi Responden Terhadap Pemanfaatan Limbah Ternak Sapi
Perah
Populasi ternak di Desa Haurngombong yang tinggi menyebabkan jumlah
limbah kotoran ternak yang dihasilkan semakin banyak pula. Potensi limbah yang
cukup tersedia baru dimanfaatkan hanya untuk kebutuhan pupuk organik lahan
pertanian di sekitar kandang. Jumlah yang dipergunakan untuk kebutuhan lahan
pertanian tersebut lebih sedikit dari jumlah kotoran ternak yang dihasilkan setiap
harinya. Hal tersebut menumbuhkan inisiatif peternak untuk mengatasinya
melalui pemanfaatan limbah ternak yang tidak hanya diolah menjadi pupuk
organik namun juga dijadikan biogas sebagai energi alternatif pengganti kayu
bakar, minyak tanah, gas elpiji, sekam, serta digunakan untuk penerangan dan
penggerak alat pemotong rumput. Jumlah peternak di Desa Haurngombong
sebanyak 208 peternak dan peneliti mengambil responden sebanyak 93 responden
yang terdiri dari 59 peternak dan 34 rumah tangga pengguna biogas non peternak.
Persepsi responden peternak dan non peternak mengenai pemanfaatan limbah
ternak merupakan langkah awal untuk mengidentifikasi ada tidaknya dampak
ekonomi, sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari usahaternak biogas dan
non biogas.
Sebanyak 93 responden (100%) menganggap pemanfaatan limbah ternak
itu penting. Hal ini terlihat dari sebagian besar alasan responden yang menyatakan
adanya dampak positif dari kegiatan pemanfaatan yang dilakukan baik menjadi
pupuk, biogas dan lain-lain, dari pada limbah kotoran ternak tidak dimanfaatkan
dan terbuang begitu saja. Berdasarkan pernyataan responden sekitar 75 responden
55
(80%) hanya mengetahui jenis pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi pupuk
dan biogas saja, sedangkan sisanya sebanyak 23 Responden (20%) memiliki
pengetahuan mengenai jenis-jenis pemanfaatan limbah ternak lainnya seperti
media cacing tanah dan energi listrik biogas, namun belum dapat diaplikasikan
dikarenakan faktor daya dukung yang kurang menunjang (Tabel 16).
Tabel 16. Persepsi Responden terhadap Pemanfaatan Limbah
No. Pertanyaan
Peternak
Biogas
(%)
Peternak
Non
Biogas
(%)
Rumah
tangga
pengguna
biogas (%)
Total
(%)
1. Biogas tidak hanya dapat dihasilkan
oleh kotoran sapi saja, seperti :
kotoran ayam, sampah, dll
100 78 63 80
2. pemanfaatan limbah itu penting untuk
dilakukan 100 100 100 100
3. Pemanfaatan kotoran sapi menjadi
biogas dapat mengurangi bau dari
kotoran sapi
100 80 90 90
4. biogas dapat digunakan untuk
memasak 100 100 100 100
5. biogas dapat digunakan untuk
menghasilkan energi listrik dll 100 93 75 89
6. Limbah sisa biogas dapat dijadikan
pupuk 100 100 86 95
7. Energi biogas dapat mengurangi
ketergantungan terhadap penggunaan
bahan bakar minyak tanah, elpiji, dan
kayu bakar
100 100 100 100
8. penggunaan biogas dapat menghemat
pengeluaran energi 100 70 65 78
9. penggunaan biogas memiliki
kekurangan seperti meninggalkan
jelaga pada alat memasak, cara
menghidupkan api yang kurang
praktis
90 65 85 80
10. Api yang dihasilkan biogas tidak
berbau (seperti penggunaan elpiji) 97 80 70 82
11. perawatan instalasi biogas praktis,
mudah dan tidak berbahaya 90 84 60 78
12. iuran biogas tergolong murah dan
terjangkau 100 75 100 92
13. Apabila terdapat kredit pembangunan
instalasi biogas bersediakah untuk
menggunakan jasa tersebut
0 0 0 0
Sumber: Data Primer (diolah), 2012
56
6.1.1 Persepsi Responden Mengenai Biogas
Pengetahuan responden mengenai biogas didasarkan pada penggunaan
biogas di Desa Haurngombong yang umumnya berasal dari kotoran sapi, sehingga
sebagian besar 80% responden menganggap bahwa biogas hanya dapat dihasilkan
dari kotoran sapi. Sebanyak 100% responden mengetahui mengenai pemanfaatan
limbah kotoran ternak menjadi pupuk dan biogas namun 13 orang (14%)
responden mengetahui bahwa biogas dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik.
Hal ini dikarenakan pemanfaatan biogas menjadi sumber energi listrik masih
belum diterapkan pada seluruh pengguna biogas atau masih dalam proses
penelitian pada instalasi biogas percontohan yang terdapat di Desa
Haurngombong. Sebanyak 18 responden peternak non biogas (67%) pada
awalnya merupakan pengguna biogas, rendahnya pemahaman akan perawatan,
operasional dan perbaikan kerusakan menyebabkan peternak tidak
memanfaatkanya kembali.
Kondisi perkembangan pemanfaatan limbah kotoran sapi perah menjadi
biogas dapat meningkatkan keswadayaan dan kesadaran masyarakat ke arah
perubahan yang positif. Instalasi biogas pada awalnya merupakan inovasi dengan
alat, sarana dan prasarana yang sangat sederhana namun membutuhkan perawatan
yang tinggi dan peralatan yang mudah rusak. Instalasi tersebut dikenal dengan
instalasi biogas plastik yaitu reaktor biogas yang terbuat dari plastik. Seiring
dengan perkembangan teknologi, saat ini instalasi biogas terbuat dari fiber dan
beton dengan peralatan pendukung yang lebih maju.
Pemanfaatan limbah kotoran ternak sapi perah di Desa Haurngombong
sudah dikenal oleh seluruh masyarakat desa, hal ini ditunjukan seluruh responden
57
(100%) menyatakan bahwa biogas merupakan program yang murah, mudah dan
ramah lingkungan. Kondisi pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas terus
dilaksanakan dan tumbuh berkembang dengan teknologi yang lebih maju.
Tingkat penguasaan pengetahuan dan praktek operasional responden
peternak lebih menguasai dibandingkan dengan responden non peternak, hal ini
disebabkan karena responden non peternak sebagian besar bukan merupakan
anggota kelompok sehingga kurangnya pengetahuan mengenai informasi seputar
usahaternak dan pemanfaatan limbahnya. Pengorganisasian peternak di Desa
Haurngombong tergolong sangat baik, hal ini terlihat dari pelaksanaan kegiatan
yang dilaksanakan secara terpadu dengan pemusatan penyebaran informasi pada
tiga kelompok tani ternak dan dikoordinir oleh pemerintah desa.
Frekuensi kegiatan pembangunan sarana dan prasarana, pembinaan dan
sosialisasi dilaksanakan secara rutin di kelompok-kelompok tani ternak, dan
dilaksanakan secara berkala untuk kegiatan di tingkat kecamatan, ternyata masih
terdapat kesalahan pelaksanaan di lapangan dalam hal pengoperasian instalasi
biogas. Sebanyak 2 responden (2%) yang merupakan peternak biogas melakukan
pengisian yang terlalu sering sehingga gas yang dihasilkan tidak optimum. Oleh
karena itu, masih perlu diadakan penyuluhan atau sosialisasi terhadap masyarakat
dengan program intensif tepat sasaran bagi peternak dan masyarakat.
6.1.2 Persepsi Responden terhadap Manfaat Ekonomi Biogas
Manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pemanfaatan
limbah ternak yang dirasakan oleh responden baik peternak maupun non peternak
antara lain: adanya penurunan tingkat ketergantungan penggunaan energi bahan
bakar untuk memasak terhadap energi minyak tanah yang harganya mahal, Gas
58
elpiji, dan kayu bakar. Manfaat Ekonomi yang terasa oleh responden adalah
adanya pengurangan pengeluaran akan energi baik LPG maupun kayu bakar.
Sebanyak 31 responden (91,2%) pengguna biogas yang merupakan non peternak
merasakan manfaat baik dari biogas yang diperoleh serta kondisi kebersihan dan
kesehatan lingkungan mengalami perbaikan. Dampak terhadap perekonomian
masyarakat sekitar yaitu, alokasi untuk biaya pembelian bahan bakar baik untuk
kayu bakar, minyak tanah, gas elpiji, sekam dapat digunakan masyarakat untuk
mendukung kegiatan ekonomi produktif, kesehatan, dan biaya pendidikan.
Kegiatan ekonomi produktif tersebut antara lain: tumbuhnya agroindustri
berbahan baku susu seperti karamel, kerupuk susu, susu pasteurisasi, tahu susu,
serta aneka olahan berbahan baku khas kawasan tersebut seperti dodol ubi
cilembu dan ubi bakar cilembu. Salah satu keberhasilan yang berdampak terhadap
pendapatan dan peningkatan ekonomi masyarakat adalah berkembangnya unit
pengolahan pupuk organik (rumah pupuk) dan bekerjasama baik produksi,
teknologi maupun pemasaranya dengan suatu perusahaan atau pihak pemerintah,
namun kebutuhan pupuk organik untuk petani di wilayah desa tetap tercukupi.
6.2 Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Peternak
untuk Memanfaatkan Limbah Ternak Menjadi Biogas
Perubahan kondisi lingkungan disebabkan oleh meningkatnya jumlah
limbah kotoran ternak berpengaruh besar terhadap kondisi lingkungan sekitar
usahaternak. Dampak dari melimpahnya kotoran ternak menimbulkan inisiatif
dalam pemanfaatan limbah ternak sapi perah menjadi biogas. Berbagai macam
tindakan dilakukan peternak dalam penanganan limbah untuk mengurangi
pencemaran sedangkan responden non peternak merasa terganggu dengan adanya
59
eksternalitas yang diakibatkan oleh limbah ternak yang menumpuk. Selain faktor
pemerintah dan teknologi, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi peternak
dalam penggambilan keputusan menggunakan biogas. Peternak responden di
Desa Haurngombong melakukan penanganan limbah ternak dengan cara
memanfaatkanya menjadi pupuk dan biogas, walaupun terdapat beberapa peternak
yang masih belum melakukan pemanfaatan limbah.
Pemanfaatan limbah ternak tersebut dapat meningkatkan kualitas
lingkungan sekitar dan mengurangi pengeluaran energi untuk memasak serta
dapat meningkatkan pendapatan peternak, sehingga apabila semakin banyak
peternak yang melakukan pemanfaatan limbah ternak dapat diprediksi peternak
akan mendapat keuntungan dari manfaat yang diperoleh. Faktor-faktor yang
diduga mempengaruhi keputusan peternak dalam memanfaatkan limbah kotoran
ternak menjadi biogas adalah sebagai berikut: jenis kelamin, usia, tingkat
pedidikan formal, lama berusahaternak, jumlah tanggungan keluarga, jumlah
ternak, dan pemahaman peternak mengenai biogas. Sub-sub bab ini akan
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan peternak untuk
memanfaatkan limbah ternak menjadi biogas dari faktor internal dan eksternal
peternak.
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan
peternak dianalisis menggunakan model regresi logistik. Variabel independen
yang menjadi faktor-faktor yang diduga berpengaruh adalah jenis kelamin (X1),
umur (X2), tingkat pendidikan formal (X3), jumlah tanggungan keluarga (X4),
lama berusahaternak (X5), keikutsertaan kelompok ternak (X6), jumlah ternak
(X7), dan pemahaman mengenai biogas (X8). Variabel dependen dalam model ini
60
adalah keputusan peternak untuk melakukan pemanfaatan limbah ternak menjadi
biogas yang bernilai ”satu” dan keputusan peternak untuk tidak melakukan
pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas yang bernilai ”nol”. Pengolahan model
regresi logistik menggunakan program SPSS Statistics 17.
Tabel 17. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Peternak dalam
Melakukan Pemanfaatan Limbah Ternak menjadi Biogas dengan
Model Regressi Logistik
Variabel Coeficie
nt
Signifik
an
Exponen
(B)
Keterangan
Constant -10,23 0,17 8,304E-09 -
Jenis Kelamin -8,38 0,08 4351,414 Berpengaruh nyata *
Umur -0,24 0,27 0,789 Tidak berpengaruh
nyata
Tingkat Pendidikan -0,76 0,49 0,468 Tidak berpengaruh
nyata
Jumlah
Tanggungan
1,03 0,31 2,791 Tidak berpengaruh
nyata
Lama
Berusahaternak 0,41 0,11 1,506
Berpengaruh nyata
**
Keikutsertaan
Kelompok peternak -1,66 0,68 0,190
Tidak berpengaruh
nyata
Jumlah Ternak -0,42 0,88 0,658 Tidak berpengaruh
nyata
Tingkat
Pengetahuan
Biogas
5,53 0,09 251,185 Berpengaruh nyata *
Sumber : Data Primer (diolah), 2012
Keterangan : * nyata pada taraf α = 10%
**nyata pada taraf α = 15%
Model Signifikan pada taraf kepercayaan 95%
Pengujian keseluruhan model logit untuk menyatakan model logit dapat
menjelaskan keseluruhan atau memprediksi pilihan individu pengamatan dapat
menggunakan uji G, dengan membandingkan nilai G dan nili Khi-Kuadrat tabel
dengan derajat bebas k-1. Dalam Penelitian ini analisis regresi logistik
menggunakan program SPSS 17.0. Pengujian model logit dapat dilihat dari nilai P
-2 Log likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
14,296a 0,680 0,909
61
yang menjelaskan keputusan peternak untuk melakukan pemanfaatan Biogas jika
nilai P yang dihasilkan kurang dari taraf nyata yang digunakan. Hasil output
dengan menggunakan program SPSS Statistics 17.0 menunjukan nilai Log-
Likehood sebesar -14,296 yang menghasilkan nilai G sebesar 68,281 dengan nilai
P yaitu 0,000. Nilai P yang dihasilkan berada di bawah taraf nyata lima persen (α=
5%), maka dapat disimpulkan bahwa model logistik secara keseluruhan dapat
menjelaskan atau memprediksi keputusan peternak dalam pemanfaatan Biogas.
Hasil olahan data menunjukan bahwa uji kebaikan model yang dilihat dari
nilai Cox and Snell Square sebesar 0,680, Nagelkerke R square sebesar 0,909 dan
Hosmer and Lemeshow Test sebesar 0,600, dimana nilai P ketiganya lebih besar
dibandingkan taraf nyata 5 persen. Maka dapat dijelaskan bahwa model regresi
logistik tersebut layak untuk digunakan. Model Regressi logistik yang diperoleh
dari model dapat dituliskan sebagai berikut :
Zi = –10,23 – 8,38 X1 – 0,24 X2 – 0,76 X3 + 1,03 X4 + 0,41 X5 – 1,66 X6 –
0,42 X7 + 5,53 X8
6.2.1 Variabel yang Signifikan
Ada tiga variabel yang signifikan dalam model regresi logistik ini, yaitu
variabel jenis kelamin (X1), lama berusahaternak (X5), dan tingkat pemahaman
peternak mengenai Biogas (X8). Variabel jenis kelamin (X1) memiliki nilai
signifikan secara statistik sebesar 0,08 berarti variabel jenis kelamin peternak
berpengaruh nyata terhadap peluang peternak dalam keputusan memanfaatkan
limbah ternak menjadi biogas pada taraf (α) 10%. Nilai Koefisien bertanda
negatif (-) dan Odds Ratio yang diperoleh sebesar 4.351,42 menunjukan bahwa
jika peternak berjenis kelamin perempuan (X1=0) akan menurunkan peluang
peternak dalam mengambil keputusan pemanfaatan biogas sebesar 4.351,42 kali
62
lebih rendah dibandingkan peluang peternak laki-laki untuk melakukan
pemanfaatan biogas, ceteris paribus. Hal ini menunjukan kecenderungan dalam
pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas mayoritas dilakukan oleh peternak
laki-laki dikarenakan pekerjaan tersebut tergolong pekerjaan berat baik dalam
operasional maupun perawatan, walaupun beberapa peternak wanita di Desa
Haurngombong telah melakukan pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas.
Variabel lama berusahaternak (X5) memiliki nilai signifikan sebesar 0,11
berarti lama berusahaternak berpengaruh nyata terhadap peluang peternak dalam
pengambilan keputusan pemanfaatan biogas pada taraf (α) 15 %, Ceteris Paribus.
Nilai koefisien bertanda positif (+) dan nilai Odds Ratio yang diperoleh sebesar
1,506 menunjukan bahwa tambahan 1 tahun lama berusahaternak akan
meningkatkan peluang pengambilan keputusan pemanfaatan biogas sebesar 1,506
kali dibandingkan peluangnya untuk tidak melakukan pemanfaatan biogas, ceteris
paribus. Hal tersebut menunjukan semakin lama responden berusahaternak maka
semakin banyak pula pengalaman peternak dalam menghadapi berbagai
permasalahan kegiatan usahaternak, salah satunya upaya penanganan limbah
kotoran ternak. Berdasarkan kondisi di desa Haurngombong lama berusahaternak
berpengaruh terhadap keputusan pemanfaatan biogas dikarenakan pemberian
bantuan instalasi biogas diprioritaskan bagi peternak yang sudah lama
berusahaternak dan merupakan pekerjaan pokok bagi peternak tersebut.
Variabel tingkat pemahaman mengenai biogas (X8) memiliki nilai
signifikan sebesar 0,09, berarti tingkat pemahaman peternak mengenai biogas
berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan peternak dalam pemanfaatan
biogas pada taraf (α) 10%. Nilai koefisien bertanda positif (+) dan nilai Exp. (β)
63
atau Odds Ratio yang diperoleh sebesar 251,185 menunjukan bahwa tambahan
satu pemahaman peternak terhadap pengetahuan biogas akan meningkatkan
peluang peternak dalam pengambilan keputusan untuk pemanfaatan biogas
sebesar 251,185 kali lebih tinggi dibandingkan tidak melakukan pemanfaatan
biogas, ceteris paribus. Tingkat pengetahuan peternak mengenai biogas di Desa
Haurngombong terbilang cukup tinggi dikarenakan sosialisasi dan kegiatan
kelompok ternak yang dilakukan secara rutin secara berkala yang umumnya
dilaksanakan oleh kelompok ternak dan program sosialisasi dan penyuluhan yang
dilakukan oleh instansi baik pemerintah maupun swasta.
6.2.2 Variabel yang Tidak Signifikan
Variabel yang tidak signifikan berdasarkan hasil olahan data adalah
variabel umur (X2), tingkat pendidikan (X3), jumlah tanggungan keluarga (X4).
Keikutsertaan kelompok ternak (X6), dan jumlah ternak (X7). Variabel umur (X2)
tidak signifikan karena memiliki nilai signifikan sebesar 0,27 yang lebih besar
dibandingkan dengan taraf nyata lima persen, sehingga pengaruh umur dapat
diabaikan secara statistik. Kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa bukan hanya
peternak yang berusia muda yang memanfaatkan biogas tetapi peternak yang
sudah berumur pun mampu mengelola biogas dengan baik.
Variabel Tingkat pendidikan (X3) tidak signifikan secara statistik karena
memiliki nilai signifikan sebesar 0,49 yang lebih besar dari taraf nyata lima
persen, sehingga pengaruh tingkat pendidikan dapat diabaikan secara statistik.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa tidak ada kecenderungan
tingkat pendidikan tertentu dalam pemanfaatan limbah ternak, di Desa
Haurngombong tidak hanya peternak yang memiliki tingkat pendidikan terakhir
64
SMA dan Perguruan Tinggi saja yang melakukan pemanfaatan limbah menjadi
biogas, tetapi sebagian besar peternak memiliki tingkat pendidikan terakhir SD.
Variabel jumlah tanggungan keluarga (X4) tidak signifikan secara statistik
karena memiliki nilai signifikan sebesar 0,31 yang lebih besar dibandingkan taraf
nyata lima persen, sehingga variabel jumlah tanggunagan dapat diabaikan secara
statistik. Peternak responden di Desa Haurngombong yang memiliki jumlah
tanggungan lebih banyak tidak mempengaruhi dalam pemanfaatan biogas
dikarenakan sebagian besar tanggunagn peternak masih pada usia sekolah
sehingga tidak dapat dijadikan tenaga kerja dalam keluarga yang dapat membantu
operasional pemanfaatan biogas.
Variabel keikutsertaan kelompok peternak (X6) dan jumlah ternak (X7)
tidak berpengaruh nyata dikarenakan nilai signifikan keduanya lebih dari taraf
lima persen,yakni 0,68 dan 0,88 sehingga kedua variabel tersebut dapat diabaikan
secara statistik. Keikutsertaan kelompok ternak belum berpengaruh nyata terhadap
keputusan peternak dalam pemanfaatan biogas dikarenakan sebagian besar
peternak non biogas merupakan anggota kelompok peternak. Variabel jumlah
ternak dapat diabaikan secara statistik dikarenakan instalasi biogas yang dibangun
merupakan sekala rumah tangga dan komunal sehingga peternak yang memiliki
jumlah ternak 1-2 ekor pun dapat dapat melakukan pemanfaatan limbah kotoran
ternak menjadi biogas.
6.3 Dampak Ekonomi Pemanfaatan Limbah Ternak
Pemanfaatan limbah ternak sapi perah di Desa haurngombong memberikan
dampak secara ekonomi bagi peternak dan non peternak di kawasan tersebut.
Berdasarkan persepsi responden bahwa manfaat dari pengelolaan limbah kotoran
65
ternak menjadi pupuk, biogas dan energi listrik berdampak ekonomi terhadap
pendapatan peternak dan penghematan pengeluaran energi bagi peternak dan non
peternak yang menggunakan biogas.
6.3.1 Analisis Dampak terhadap Pendapatan Usahaternak
Analisis pendapatan usahaternak berdasarkan pemanfaatan limbah ternak
sapi perah dalam penelitian ini, dibedakan atas dua jenis usahaternak yaitu
usahaternak biogas dan non biogas. Usahaternak biogas merupakan usahaternak
yang telah melakukan pemanfaatan limbah ternak menjadi pupuk dan biogas,
sedangkan usahaternak non biogas adalah usahaternak yang memanfaatkan
limbah ternak menjadi pupuk saja atau tidak melakukan pengolahan limbah.
Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan komponen pendapatan antara kedua
jenis usahaternak tersebut antara lain: penerimaan, biaya dan analisis selisih
pendapatan.
6.3.1.1 Penerimaan Usahaternak Biogas dan Non biogas
Penerimaan usahaternak merupakan perkalian antara hasil produksi
dengan harga jual. Rata-rata peternak di Desa Haurngombong memiliki 1-3 ekor
induk sapi laktasi. Komponen penerimaan tunai pada usahaternak terdiri dari
hasil penjualan susu, pupuk, dan pedet. Produksi susu merupakan ukuran utama
dalam sistem produksi usaha peternakan sapi perah. Produksi susu harian
diperoleh dengan mengukur satu hari produksi (pagi dan sore hari). Produksi susu
dipengaruhi oleh periode tahapan laktasi sapi perah. Tahapan laktasi sapi perah
dibedakan menjadi 5 tahapan laktai (Tabel 18). Selama laktasi perubahan
produksi susu tidak tetap. Setelah beranak,produksi susu rendah kemudian
meningkat sampai mencapai puncaknya sekitar bulan kedua laktasi setelah itu
66
secara perlahan mengalami penurunan hingga tidak produksi lagi yang
dipengaruhi oleh kondisi tubuh sapi danperiode laktasi.
Tabel 18. Periode Laktasi Sapi Perah
Tahapan Laktasi Masa Laktasi (hari)
Awal Laktasi 1-30
Puncak Produksi 31-100
Pertengahan laktasi 101-200
Akhir laktasi 201-300
Periode Kering >300
Sumber: (PENSTATE, 2004) dalam (Sukandar dkk, 2008)
Menurut Syarief dan Sumoprastowo (1984) dalam Sukandar dkk (2008)
bahwa sapi-sapi yang dipelihara pada umur muda belum menunjukan produksi
yang tinggi, produksi susu semakin meningkat pada laktasi ke-4 dan kemudian
menurun pada periode laktasi berikutnya.
Rataan produksi susu di Desa Haurngombong pada usahaternak biogas
sebanyak 12,3 liter/hari dengan harga jual ke koperasi sebesar Rp 3.100/liter dan
Rp 1.000/kg untuk penjualan pupuk dijual ke rumah pupuk serta hasil penjualan
pedet. Rata-rata penerimaan tunai pada usahaternak biogas sebesar Rp
1.675.570/bulan.
Penerimaan non tunai merupakan penerimaan yang diperoleh peternak
dengan memasukan manfaat yang diperoleh dalam bentuk manfaat lain (non
tunai). Komponen penerimaan non tunai terdiri dari jumlah susu yang dikonsumsi
oleh keluarga yakni sebanyak 1,267 liter/hari dan pupuk yang digunakan untuk
pertanian milik sendiri atau tetangga sebanyak 17,97 kg/bulan serta penghematan
pengeluaran energi dari pemanfaatan biogas sebesar Rp 189.760/bulan.
Penerimaan non tunai usahaternak biogas sebesar Rp 325.561/bulan, maka
penerimaan usahaternak biogas Rp 2.001.131/bulan (Tabel 19).
67
Tabel 19. Rata-rata Penerimaan Usahaternak Biogas per bulan
Komponen Produksi Harga Nilai %
Penerimaan Tunai
Susu (liter) 369 3.100 1.143.900 57,16
Pupuk (kg) 21,67 1.000 21.670 1,08
Pedet (ekor) 0,17 3.000.000 510.000 25,49
Sub Total 1.675.570 83,73
Penerimaan Non Tunai
Susu (liter) 38,01 3.100 117.831 5,89
Pupuk (kg) 17,97 1.000 17.970 0,90
Biogas(ekor) 189.760 9,48
Sub Total 325.561 16,27
Total Penerimaan 2.001.131 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
Penerimaan tunai usahaternak non biogas terdiri dari hasil penjualan susu
sebanyak 11,97 liter/hari dan pupuk sebanyak 8,07 kg/bulan dengan tingkat harga
yang sama, maka penerimaan tunai sebesar Rp 1.391.280/bulan. Penerimaan non
tunai terdiri dari konsumsi susu sebanyak 1,78 liter/hari dan penggunaan pupuk
20,07 kg/bulan. Jumlah penggunaan pupuk pada usahaternak non biogas lebih
banyak dikarenakan sebagian besar peternak memiliki lahan pertanian sawah atau
kebun. Penerimaan non tunai usahaternak non biogas sebesar Rp 185.610/bulan
maka total penerimaan sebesar Rp 1.576.890/bulan (Tabel 20). Nilai penerimaan
usahaternak biogas lebih tinggi dibandingkan penerimaan usahaternak non biogas
dikarenakan sebagian besar peternak non biogas bukan merupakan anggota
kelompok ternak sehingga kurangnya pengetahuan dan pemahaman akan
pemberian pakan yang mempengaruhi hasil produksi susu, pemanfaatan biogas
dan potensi penjualan pupuk dan pedet.
68
Tabel 20. Rata-rata Penerimaan Usahaternak Non Biogas per Bulan
Komponen Produksi Harga Nilai %
Penerimaan Tunai
Susu (liter) 359,10 3.100 1.113.210 71,27
Pupuk (kg) 8,07 1.000 8.070 0,52
Pedet (ekor) 0,09 3.000.000 270.000 17,12
Sub Total 1.391.280 88,23
Penerimaan Non Tunai
Susu (liter) 53,40 3.100 165.540 10,50
Pupuk (kg) 20,07 1.000 20.070 1,27
Biogas - 0,00
Sub Total 185.610 11,77
Total Penerimaan 1.576.890 100,00 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
Analisis perbandingan penerimaan usahaternak biogas dan non biogas
dilihat dari selisih penerimaan yang diperoleh. Persentase selisih rata-rata yang
paling tinggi terdapat pada penerimaan non tunai sebesar selisih 42,95 % dimana
perbedaan keduanya cukup jauh (Tabel 21). Perbedaan tersebut dikarenakan pada
usahaternak biogas terdapat komponen penerimaan non tunai dari penggunaan
biogas yang dihitung berdasarkan penghematan penggunaan energi dalam satu
bulan.
Tabel 21. Persentase Selisih Penerimaan Usahaternak per Bulan
Keterangan Usahaternak
Biogas
Usahaternak
Non Biogas
Selisih %
Penerimaan Tunai 1.675.570 1.391.280 284.290 16,97
Penerimaan Non Tunai 325.561 185.610 139.951 42,99
Total Penerimaan 2.001.131 1.576.890 424.241 21,20 Sumber :Data Primer (diolah), 2012
6.3.1.2 Biaya Usahaternak Biogas dan Non Biogas
Biaya usahaternak merupakan nilai barang atau jasa yang digunakan
dalam kegiatan usahaternak untuk menghasilkan produk usahaternak. Berdasarkan
sifatnya, biaya usahaternak dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu
biaya tunai (dibayarkan) dan biaya non tunai (tidak dibayarkan). Dalam penelitian
ini komponen biaya terdiri dari tujuh jenis pengeluaran yang masuk ke dalam
69
kategori biaya tunai, diantaranya adalah upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK),
biaya konsentrat, rumput/hijauan, pakan tambahan, Inseminasi buatan (IB) dan
Kesehatan hewan (Keswan), biaya pengairan, dan iuran anggota. Biaya non tunai
terdiri atas biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) serta biaya penyusutan
kandang dan peralatan.
Rata-rata nilai biaya produksi diperoleh dari hasil kuesioner penelitian
terhadap biaya yang dikeluarkan usahaternak sapi perah di Desa Haurngombong
dalam kurun waktu satu bulan terakhir. Biaya produksi yang diperhitungkan
adalah semua pengeluaran untuk input yang dibeli, input tenaga kerja keluarga
dan non keluarga serta sumberdaya usahaternak berdasarkan opportunity cost dari
input yang digunakan.
a) Biaya Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah kelompok penduduk dalam usia kerja. Menurut
Soekartawi (2002), setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti
memerlukan tenaga kerja oleh karena itu, dalam analisa ketenagakerjaan bidang
peternakan, penggunaan tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga
kerja. Curahan tenaga kerja yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif
yang dipakai. Tenaga kerja dibedakan menjadi dua kelompok yaitu tenaga kerja
dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK).
Penggunaan Tenaga kerja responden dalam usahaternak di Desa
Haurngombong pada umumnya menggunakan perhitungan hari kerja pria (HKP)
sebagai berikut: setiap harinya tenaga kerja yang ada dihitung berdasarkan jumlah
jam kerja yaitu delapan jam per hari dihitung mulai jam 04.00 pagi hingga jam
07.00 pagi, kemudian dilanjutkan mulai dari jam 14.00 siang hingga jam 19.00
70
malam. Perincian untuk tenaga kerja sebagai berikut: tenaga kerja pria (1 HKP),
wanita (0,75 HKP), dan anak-anak (0,5 HKP).
Responden di Desa Haurngombong lebih banyak menggunakan tenaga
kerja dalam keluarga (TKDK) yakni sebanyak 95,7 % dari jumlah hari kerja Pria
yang digunakan untuk memelihara ternak sedangkan TKLK hanya sebesar 4,3
persen dari seluruh HKP. Spesifikasi pekerjaan untuk laki-laki seperti
pembersihan kandang, memandikan sapi, pencarian rumput, pengangkutan,
pemberian pakan dan lain-lain. Spesifikasi pekerjaan TK perempuan lebih pada
bagian operasional perawatan dan pemerahan susu. Sebagian besar persentase
jumlah TK non keluarga sebanyak 25% dari jumlah TK total dalam suatu
usahaternak dikarenakan skala usahaternak di Desa Haurngombong mayoritas
usahaternak rakyat yang rata-rata memiliki jumlah ternak 3 ekor serta TK non
keluarga merupakan tenaga kerja tidak tetap yang bekerja sebagai pencari
rumput/hijauan. Sebanyak 54 orang (91,53%) responden peternak, kegiatan
berusahaternak merupakan pekerjaan utama.
b) Kandang
Kandang merupakan salah satu bagian terpenting dalam peternakan sapi
perah. Responden di Desa Haurngombong memelihara semua sapinya dalam
kandang dan tidak digembalakan. Berdasarkan pengamatan, tipe kandang untuk
sapi pedet, dara dan laktasi tidak jauh berbeda, hanya ukuranya saja yang berbeda.
lantai kandang peternakan ada yang terbuat dari kayu, tanah tanpa pondasi dan
lantai semen. Lantai kandang umumnya miring agar mudah dibersihkan dan
selalu kering. Selain itu juga dibuat parit atau selokan agar tidak terjadi genangan
air. Tempat makan dan minum juga sangat penting, ada yang menggunakan ember
71
dan ada yang membuat tempat pakan dan minum dari beton semen secara
individual. Kondisi kandang usahaternak biogas lebih terjaga kebersihanya
dibanding dengan usahaternak non biogas. Kandang yang digunakan umumnya
milik sendiri dan lokasinya relatif dekat dengan tempat tinggal peternak dan
masyarakat. Rata-rata luas kandang berkisar 1,0 x 1,5 sampai 1,5 x 2,0 meter
untuk sapi ukuran dewasa. Rata-rata responden membersihkan kandangnya dua
kali sehari untuk menjaga kenyamanan, kesehatan, dan kebersihan/kualitas susu
yang dihasilkan. Tingginya ketidakefisienan penggunaan kandang akan berakibat
pada tingginya biaya tetap yang berakibat pada peningkatan biaya produksi. Rata-
rata biaya pembangunan kandang sapi di Desa Haurngombong sebesar Rp
1.000.000 dengan umur teknis 10 tahun, maka penyusutan kandang tiap tahunnya
Rp 100.000/tahun atau sebesar Rp 8.333,34/bulan. Biaya pembangunan kandang
relatif rendah dikarenakan mayoritas bangunan kandang di Desa Haurngombong
dengan dominsi bangunan yang terbuat dari kayu yang diperoleh dari hasil hutan
desa, lantai semen dan sebagian sekat terbuat dari tembok.
c) Pakan
Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya peternakan sapi perah
yaitu pemberian pakan. Cara pemberian pakan yang salah menyebabkan
penurunan produktivitas baik susu maupun bobot tubuh sapi. Responden
umumnya menyadari bahwa pemberian pakan mempengaruhi produktivitas susu,
sehingga responden berusaha mencukupi kebutuhan pakan bagi sapi. Pakan ternak
yang diberikan responden umumnya terdiri dari pakan hijauan yang mengandung
serat kasar tinggi dan konsentrat yang memiliki serat kasar rendah.
72
Hijauan pakan ternak diperoleh peternak dengan mencari sendiri (tenaga
kerja dalam keluarga) atau melalui buruh pencari rumput, dan sebagian kecil
peternak memperolehnya dengan cara membeli rumput. Pengadaan hijauan atau
rumput di Desa Haurngombong masih tersedia dikarenakan lokasi perdesaan
yang masih asri dan terdapatnya “kebun carik desa” yang sebagian lahannya
sengaja dibiarkan ditumbuhi rumput dan sebagian lagi dimanfaatkan warga desa
untuk bertani dengan sistem bagi hasil. Pemberian hijauan pada usahaternak
rakyat di lokasi perdesaan tidak berdasarkan ilmu pengetahuan melainkan
kebiasaan yang telah terpola berdasarkan pengalaman dan penyuluhan dari
kelompok ternak.
Pemberian konsentrat jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pemberian
rumput. Rata-rata pemberian konsentrat pada usahaternak biogas sekitar
285kg/bulan dan 251 kg/bulan pada usahaternak non biogas. Konsentrat tersedia
di koperasi dengan harga Rp 1600/kg, dengan jumlah dan harga konsentrat
tersebut maka setiap bulan peternak biogas mengeluarkan biaya sebesar Rp
455.952/bulan untuk pembelian konsentrat, sedangkan peternak non biogas
sebesar Rp 402.192/bulan. Konsentrat ini merupakan bahan campuran untuk
memenuhi kebutuhan gizi ternak, biasanya bahan campuran konsentrat berupa
ampas tahu, ongok, gebog pisang, ubi dan lain-lain. Komponen biaya pada
usahaternak responden (peternak biogas dan nonbiogas) dapat digunakan untuk
memperoleh total biaya produksi perbulan (Tabel 22).
73
Tabel 22. Biaya Usahaternak Biogas dan Non Biogas Per Bulan
Keterangan Usahaternak Biogas Usahaternak Non Biogas
A. Biaya Tunai
Konsentrat 455.952 402.192
Ampas tahu/ongok dll 153.000 153.000
IB Keswan 16.605 16.160
Dana Kematian ternak 2.000 2.000
Iuran wajib anggota 10.000 10.000
Iuran perawatan biogas 10.000 0
Obat-obatan
a. Vitamin 7.200 7.200
b. Antibiotik 22.500 22.500
Biaya listrik
a. Lampu penerangan 17.500 17.500
b. Mesin pompa air 15.000 10.000
Sub Total 709.757 640.552
B. Biaya Non Tunai
Tenaga kerja dalam Keluarga
Pria 656.250 562.500
Wanita 281.200 168.800
Biaya Penyusutan
a. Kandang 8.333 8.333
b. Peralatan 35.917 30.222
Sub Total 981.700 769.856
Total Biaya 1.734.357 1.410.407 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
6.3.1.3 Analisis Pendapatan usahaternak Biogas dan Non Biogas
Berdasarkan hasil perhitungan dari total penerimaan, total biaya produksi
dan keuntungan, diperoleh selisih pendapatan atas biaya tunai usahaternak biogas
dan non biogas sebesar Rp 355.036/bulan, selisih pendapatan atas total biaya
sebesar Rp 143.191/bulan (Tabel 23).
Tabel 23. Analisis Ekonomi Pendapatan Usahaternak Per Bulan
Keterangan Peternak
Biogas
Peternak Non
Biogas
Selisih
Penerimaan 2.001.131 1.576.890 424.241
Biaya Tunai 709.757 640.552 69.206
Biaya Non Tunai 981.700 769.856 211.844
Total Biaya 1.691.457 1.410.407 281.050
Pendapatan atas Biaya Tunai 1.291.134 936.339 355.036
Pendapatan atas Total Biaya 309.674 166.483 143.191 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
74
Berdasarkan nilai selisih pendapatan maka Usahaternak biogas lebih
Ekonomis dibandingkan dengan usahaternak non biogas. Hal ini terjadi
dikarenakan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan limbah ternak menjadi
biogas lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan operasionalnya.
6.3.2 Analisis Pengeluaran Energi Responden
Energi yang digunakan oleh responden penelitian ini hanya meliputi
penggunaan energi yang berhubungan dengan keperluan Rumahtangga untuk
memasak dan penerangan. Berdasarkan data hasil kuesioner, energi yang
digunakan untuk memasak yaitu, kayu bakar, minyak tanah, gas elpiji, biogas dan
sekam. Seluruh pengguna biogas menggunakan biogas untuk keperluan memasak
dan sebanyak 90 responden (97%) diantaranya masih menggunakan elpiji untuk
memasak. Bila dilihat dari penggunaan kayu bakar sebanyak 15 responden
(44,12%) peternak biogas, 3 responden (9,37%) pengguna biogas non
peternak,dan 19 responden (70,37 %) peternak non biogas pengguna kayu bakar.
Responden pengguna biogas maupun non biogas masih menggunakan kayu bakar,
dikarenakan kayu bakar masih tersedia dalam jumlah yang cukup banyak di hutan
dan kebun carik Desa Haurngombong sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya.
Responden yang masih menggunakan minyak tanah hanya sebanyak 3
orang(3,23%), dimana 1 orang responden merupakan pengguna biogas non
peternak dan sisanya peternak non biogas. Harga minyak tanah di Desa
Haurngombong mencapai Rp.12.000/liter dan sulit didapatkan (langka). Jika
minyak tanah tidak tersedia maka responden lebih memilih menggunakan kayu
bakar dibanding menggunakan gas elpiji maupun biogas dengan alasan lebih
aman dan tanpa biaya (terjangkau).
75
Penggunaan gas elpiji untuk memasak masih cukup tinggi, lebih dari
separuh responden peternak sebesar 58,82% responden, peternak non biogas
sebesar 81,48% dan pengguna biogas non peternak sebanyak 93,75%
menggunakan gas elpiji. Responden yang menggunakan sekam padi berjumlah 2
orang yang merupakan peternak non biogas. Ketersediaan sumberdaya sekam
yang melimpah serta responden memiliki kompor sekam yang dikenal dengan
nama “Kompor SBY” serta responden merupakan petani padi (Tabel 24).
Tabel 24. Penggunaan Energi Responden
Penggunaan Energi Pengguna Biogas Peternak non
Biogas
Total
Peternak Non peternak
Memasak Kayu Bakar 15 3 19 37
Minyak Tanah 0 1 2 3
Gas Elpiji 20 30 22 72
Biogas 34 32 0 66
Sekam 0 0 2 2
Penerangan Listrik PLN 34 32 27 93
Biogas 7 0 0 7
Sumber : Data Primer (diolah), 2012
Sumber energi yang digunakan untuk penerangan adalah listrik PLN dan
biogas. Seluruh responden baik pengguna biogas maupun non biogas
menggunakan penerangan dengan listrik PLN. Pemanfaatnan biogas menjadi
energi listrik masih dalam pemantauan penelitian dan proyek percontohan pada
peternak dengan jumlah ternak lebih dari 5 ekor dan hanya dimanfaatkan pada
saat terjadi pemadaman listrik.
Tabel 25. Lama dan Jenis Penggunaan Biogas
Lama
Berternak
Pengguna Biogas Jenis Instalasi
Komunal Individual Peternak Non
Peternak
Plastik Fiber Beton
< 1 tahun 27 30 0 0 57 30 27
1-3 tahun 4 2 0 1 3 3 1
>3 tahun 3 0 0 3 0 0 3
Sumber : Data Primer (diolah), 2012
76
Instalasi biogas pertama kali dibangun di Desa Haurngombong pada tahun
2004 dengan konstruksi yang terbuat dari plastik, daya tahannya tidak menentu
dengan pembinaan yang dilakukan oleh UNPAD. Setelah kontruksi plastik pada
tahun 2008 oleh konstruksi terbuat dari fiber, gas metan ditampung oleh plastik.
Pada tahun 2010 Bapak Mamat yang selaku sebagai ketua, bekerja sama dengan
SIPOS (Belanda). Pada bulan Oktober 2010 mendapat promosi biogas beton 6 m3
tanpa alat pembantu sebanyak 3 reaktor, Manfaat biogas diantaranya :
1. Bahan bakunya mudah diperoleh (kotoran)
2. Ramah lingkungan
3. Menambah nilai pendapatan peternak
4. Menghasilkan pupuk yang berkualitas
Pembangunan instalasi beton pada tahun 2011 bertambah sebanyak 100
instalasi biogas yang merupakan bantuan dari pemerintah. Hal ini terlihat dari
banyaknya responden dengan lama penggunaan biogas beton yang kurang dari 1
tahun. Sedangkan untuk lama penggunaan biogas telah digunakan selama 1-3
tahun sebanyak 3 instalasi yang merupakan instalasi percontohan, serta 3 instalasi
yang terbuat dari fiber yang masih beroperasi dan terawat dikarenakan responden
tersebut merupakan tenaga ahli biogas (teknisi) di Desa Haurngombong.
Jumlah penggunaan energi responden yang digunakan untuk memasak
yang bersumber dari kayu bakar, minyak tanah, gas elpiji dan biogas, baik
sebelum maupun setelah penggunaan biogas terjadi perubahan tingkat konsumsi
energi dari masing-masing jenis sumber energi yang digunakan. Pembangunan
biogas, tingginya harga minyak tanah dan tingkat kepraktisan dan ketersediaan
77
jumlah sumberdaya yang cukup mendorong perkembangan pemanfaatan biogas di
Desa Haurngombong (Tabel 26).
Tabel 26. Perubahan Jumlah Penggunaan Energi Responden
Sumber Energi
Peternak Biogas Peternak
Non
Biogas
Rumah Tangga
Pengguna Biogas
Sebelum Setelah Sebelum Sesudah
Kayu Bakar (kg) 24,67 9,03 28,67 2,87 1,34
Minyak Tanah
(liter)
6,83 0 5,63 2,31 1,62
Gas Elpiji (tabung
gas 3kg)
8,67 2,91 5,70 2,40 1,02
Sumber : Data Primer (diolah), 2012
Dari data hasil kuesioner diperoleh rata-rata jumlah penggunaan energi
responden, rata-rata penggunaan kayu bakar responden yang merupakan peternak
biogas mengalami penurunan sebanyak 15,64 kg kayu bakar, penggunaan minyak
tanah menurun sebanyak 6,83 liter serta penurunan penggunaan gas elpiji
sebanyak 5,76 tabung gas elpiji ukuran 3 kg. Rata-rata penggunaan energi bagi
responden pengguna biogas non peternak mengalami penurunan serta penggunaan
energi pada responden non peternak sebagian besar masih menggunakan kayu
bakar dikarenakan kayu bakar yang tersedia dan terjangkau. Tingkat harga
konversi kayu bakar sebesar Rp 1.000/kg, minyak tanah Rp 12.000/liter dan gas
elpiji Rp 16.000/tabung 3 kg.
Pengeluaran rata-rata energi responden untuk kegiatan memasak dan
kebutuhan lainnya di Desa Haurngombong dipengaruhi oleh ketersediaan energi
dan jenis energi yang digunakan. Penghematan pengeluaran energi per bulan
peternak sebelum dan sesuadah penggunaan biogas sebesar Rp 189.760/bulan.
Penghematan pengeluaran energi dari responden pengguna biogas non peternak
sebesar Rp 31.890/bulan. Selisih pengeluaran energi rata-rata perbulan antara
78
responden peternak biogas dan non biogas sebesar Rp 131.840/bulan (Tabel 27).
Penggunaan energi biogas merupakan suatu langkah penghematan alokasi biaya
untuk energi dan dapat digunakan untuk alokasi lainnya seperti biaya kesehatan,
pendidikan dan lain-lain. Selain itu, penggunaan energi biogas merupakan sumber
energi alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan penggunaan suber energi
lainnya seperti: BBM, LPG dan kayu bakar. Pengurangan ketergantungan tersebut
secara tidak langsung berdampak pada perbaikan kondisi sumberdaya dan
lingkungan.
Tabel 27. Rata-rata Pengeluaran Energi Responden per Bulan
Sumber Energi Peternak Biogas Peternak
Non
Biogas
Pengguna Biogas
Non Peternak
Sebelum Setelah Sebelum Setelah
Kayu Bakar 24.670 9.030 28.670 2.870 1.340
Minyak Tanah 81.960 0 67.560 27.720 19.440
Gas Elpiji 138.720 46.560 91.200 38.400 16.320
Total 245.350 55.830 187.430 68.990 37.100
Selisih Sebelum
dan Setelah 189.760 31.890
Selisih Biogas
dan Nonbiogas 131.840 Sumber : Data Primer (diolah), 2012
6.4 Analisis Dampak Sosial dan Lingkungan dari Pemanfaatan Limbah
Ternak di Desa Haurngombong
Pada saat ini pengembangan biogas semakin penting dikarenakan minyak
tanah mengalami kelangkaan dan harganya yang tinggi, BBM dan LPG yang
mahal, pupuk organik yang mahal. Mahalnya BBM dapat memicu kerusakan
lingkungan (kebun, hutan, atmosfer) dikarenakan penggunaan kayu bakar
meningkat, sedangkan kelangkaan dan mahalnya pupuk organik dapat
menyebabkan menurunnya kesuburan lahan akibat penggunaan pupuk kimia.
Oleh karena itu pengembangan biogas merupakan salah satu alternatif pemecahan
dalam rangka mencari sumber energi alternatif sekaligus sebagai upaya
79
konservasi. Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan dampak sosial dan
lingkungan dari pemanfaatan limbah ternak meliputi: dampak sosial yang dilihat
dari perubahan perilaku peternak dan non peternak, kegiatan masyarakat dan
hubungan antar masyarakat sebelum dan setelah adanya pemanfaatan limbah
ternak. Sedangkn untuk dampak lingkungan dilihat dari perubahan kondisi
lingkungan yang dirasakanoleh responden.
6.4.1 Dampak Sosial terhadap Perubahan Perilaku Peternak dan Non
Peternak
Sebelum masuknya teknologi biogas ke Desa Haurngombong, peternak
melakukan pengelolaan limbahnya masih secara tradisional yaitu: sebgian
peternak telah memanfaatkan limbah ternak menjadi pupuk dan sebagian peternak
masih membuang limbah kotoran ternak langsung dibuang ke tempat pembuangan
air (saluran air/selokan/sungai kecil), dialirkan langsung ke parit persawahan,
ditimbun dengan menggunakan tanah, serta dibiarkan begitu saja di lahan kebun.
Setelah teknologi biogas diperkenalkan, dan peternak diberikan bantuan
hibah instalasi biogas dari pemerintah setempat, peternak mulai mengadopsi
upaya pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas. Perkembangan penggunaan
teknologi biogas ini ternyata mampu mengurangi jumlah kotoran yang dibuang
begitu saja serta terjadi perubahan kondisi sosial masyarakat di Desa
Haurngombong. Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga ketua kelompok
ternak yang ada di Desa Haurngombong, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial
masyarakat menjadi lebih erat dan harmonis dikarenakan sistem pembangunan
instalasi biogas yang dilakukan secara gotong royong. Selain itu sering
dilaksanakannya kegiatan rutin penyuluhan, sosialisasi dan evaluasi kegiatan
membuat hubungan antar warga semakin erat dan saling peduli satu sama lain.
80
Fungsi kelembagaan kelompok peternak di Desa Haurngombong
mempunyai program kepanitiaan tersendiri untuk mengurusi hal-hal yang
berkaitan dengan pemanfatan biogas. Rutinitas kegiatan kelompok peternak
sebelum dan setelah adanya program pemanfaatan biogas, intensitas pelaksanaan
kegiatan sosialisasi, penyuluhan dan evaluasi lebih sering, serta hubungan
kerjasama dengan pihak pemerintah daerah, instansi pendidikan, dan pihak swasta
dalam upaya pemanfaatan limbah seperti UNPAD, ITENAS, Yayasan Cahaya
Keluarga, dan PT. PLN setempat.
Dampak sosial terhadap perilaku non peternak di sekitar lokasi
usahaternak, sebelum adanya pemanfaatan biogas masyrakat merasa terganggu
dengan bau yang ditimbulkan serta sering terjadinya konflik kecil. Setelah adanya
program pemanfaatan biogas rumah tangga yang dapat digunakan oleh 1-3 KK
untuk skala Rumah tangga dan 4-7 KK untuk instalasi biogas skala komunal.
Masyarakat sekitar lokasi peternakan tidak lagi hanya mendapat eksternalitas
negatif saja, sekarang masyarakat sekitar dapat memanfaatkan biogas untuk
memasak, walaupun kadang terjadi permasalahan dalam pengelolaan dan
pembagian kerja dalam perawatan biogas.
Dampak sosial secara langsung dengan adanya program biogas adalah
dapat memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil
observasi penyerapan tenaga kerja akibat adanya pemanfaatan biogas sangat kecil
dikarenakan skala usahaternak di Haurngombong masih kecil.
81
Tabel 28. Dampak Sosial terhadap perubahan Perilaku peternak dan Non
peternak
Keterangan Sebelum Setelah
Perilaku
Peternak Pengelolaan limbah dilakukan secara
tradisional : dijadikan pupuk dibuang begitu saja ke saluran
air/ parit persawahan, ditimbun/
dibiarkan di lahan kebun
pengelolaan limbah menjadi
pupuk, biogas dan energi
listrik.
meningkatkan fungsi
kelembagaan kelompok
peternak melalui kegiatan
pembangunan biogas
Meningkatkan kerjasama
dengan pemerintah dan
pihak swasta, seperti:
UNPAD, ITENAS, YCK,
PLN, SIPOS Belanda.
Perilaku
Non
Peternak
konflik kecil akibat pencemaran
limbah melakukan penebangan pohon di
hutan dan kebun carik desa untuk
memenuhi kebutuhan kayu
bakar.
meningkatkan budaya
gotong royong konflik kecil akibat mis
management operasional
pengisian bahan baku
biogas. Mengurangi
ketergantungan terhadap
penggunaan bahan bakar
fosil seperti : minyak
tanah, LPG, kayu bakar.
Sumber: Data Primer (diolah), 2012
6.3.2 Dampak Lingkungan dari Pemanfaatan Limbah Ternak
Berdasarkan hasil kuesioner menggunakan pertanyaan terbuka, persepsi
terhadap dampak lingkungan dari pemanfaatan limbah ternak sapi perah di Desa
Haurngombong yaitu: sebanyak 87 responden (94%) merasakan adanya
perubahan yang signifikan mengenai kondisi lingkungan dan berkurangnya bau
dari tumpukan kotoran sapi yang sering ditumpuk atau dialirkan begitu saja ke
saluran air terdekat. Peternak biogas merasakan adanya peningkatan kesehatan
ternak dan kualitas susu hasil pemerahan lebih terjamin kebersihanya. Tingkat
kualitas susu menentukan harga beli koperasi terhadap susu tersebut yang
ditunjukan dengan ukuran total solid (TS) yang merupakan penilaian dari total
82
fat dan bakteri yang terkandung pada susu. Beberapa responden menyatakan
adanya perubahan nilai TS yang biasanya berkisar 10,1 menjadi 11,2 dalam
satuan TS (nilai dari kualitas susu).
Manfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan biogas sebagai bahan
bakar antara lain: berkurangnya kegiatan penebangan pohon oleh masyarakat
desa untuk dijadikan kayu bakar, proses memasak jadi lebih bersih, dan sehat
karena tidak mengeluarkan asap, kandang hewan menjadi semakin bersih karena
limbah kotoran kandang langsung dapat diolah, sisa limbah yang dikeluarkan dari
biodigester dapat dijadikan pupuk sehingga tidak mencemari lingkungan, dapat
berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pengurangan pemakaian
bahan bakar kayu dan bahan bakar minyak, penggunaan biogas relatif lebih aman
dari ancaman bahaya kebakaran. Selain itu, dengan adanya rumah pupuk sehingga
kotoran ternak/limbah biogas dapat dijual dan menambah penerimaan baik bagi
peternak biogas maupun non biogas.
1. Lingkungan kandang menjadi lebih bersih (kesehatan ternak dan kualitas
susu meningkat)
2. Berkurangnya pencemaran udara akibat tumpukan kotoran sapi atau
pembuangan kotoran ke saluran air terdekat.
3. Berkurangnya kegiatan penebangan pohon di hutan dan kebun carik desa
untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar.