VI. FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN · Hasil penghitungan menunjukkan bahwa persamaan pertama,...

15
VI. FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN 6.1 Analisis Model Regresi Data Panel Penelitian ini menggunakan model regresi data panel yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pro poor growth, yang berarti pula mempengaruhi poverty reduction. Model ini menggunakan data sekunder BPS dan data sekunder Departemen Keuangan, menurut provinsi sebanyak 33 provinsi selama tahun 2005-2009. Terdapat keterbatasan data pada provinsi baru hasil pemekaran (provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Papua Barat), yaitu data Rata-rata Lama Sekolah Perempuan (RLSP), Rata-rata Lama Sekolah Laki-laki (RLSL), Rata- rata Lama Sekolah Laki-laki (RLSL) dan Produktifitas sektor Pertanian (TANI) tahun 2005. Adapun data tersebut pada tahun 2005 diasumsikan sama dengan data yang digunakan pada provinsi induknya, yaitu data di provinsi Sulawesi Barat sama dengan data di provinsi Sulawesi Selatan dan data di provinsi Papua Barat sama dengan data di provinsi Papua. Selain itu, penelitian ini menggunakan tiga persamaan yang memisahkan variabel Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menurut jenis kelaminnya. Sehingga yang membedakan diantara ketiga persamaan yaitu persamaan pertama menggunakan variabel RLS, persamaan kedua menggunakan variabel RLSP dan persamaan ketiga menggunakan RLSL. Pemilihan Model Pemilihan diantara dua model regresi data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), dilakukan dengan menggunakan Hausman Test. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa baik persamaan pertama, kedua maupun ketiga menunjukkan bahwa REM lebih baik dibandingkan dengan FEM. Hal ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman yang lebih besar dari 5 persen, yaitu sebesar 16 persen untuk persamaan pertama, 7,53 persen untuk persamaan kedua dan 5,86 persen untuk persamaan ketiga. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data pengamatan belum cukup untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara peubah penjelas dengan komponen error, sehingga memenuhi asumsi dasar model

Transcript of VI. FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN · Hasil penghitungan menunjukkan bahwa persamaan pertama,...

VI. FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEMISKINAN

6.1 Analisis Model Regresi Data Panel

Penelitian ini menggunakan model regresi data panel yang digunakan untuk

mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pro poor growth, yang berarti

pula mempengaruhi poverty reduction. Model ini menggunakan data sekunder BPS

dan data sekunder Departemen Keuangan, menurut provinsi sebanyak 33 provinsi

selama tahun 2005-2009. Terdapat keterbatasan data pada provinsi baru hasil

pemekaran (provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Papua Barat), yaitu data Rata-rata

Lama Sekolah Perempuan (RLSP), Rata-rata Lama Sekolah Laki-laki (RLSL), Rata-

rata Lama Sekolah Laki-laki (RLSL) dan Produktifitas sektor Pertanian (TANI) tahun

2005. Adapun data tersebut pada tahun 2005 diasumsikan sama dengan data yang

digunakan pada provinsi induknya, yaitu data di provinsi Sulawesi Barat sama

dengan data di provinsi Sulawesi Selatan dan data di provinsi Papua Barat sama

dengan data di provinsi Papua. Selain itu, penelitian ini menggunakan tiga persamaan

yang memisahkan variabel Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menurut jenis kelaminnya.

Sehingga yang membedakan diantara ketiga persamaan yaitu persamaan pertama

menggunakan variabel RLS, persamaan kedua menggunakan variabel RLSP dan

persamaan ketiga menggunakan RLSL.

Pemilihan Model

Pemilihan diantara dua model regresi data panel, yaitu Fixed Effect Model

(FEM) dan Random Effect Model (REM), dilakukan dengan menggunakan Hausman

Test. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa baik persamaan pertama, kedua

maupun ketiga menunjukkan bahwa REM lebih baik dibandingkan dengan FEM. Hal

ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman yang lebih besar dari 5 persen, yaitu

sebesar 16 persen untuk persamaan pertama, 7,53 persen untuk persamaan kedua dan

5,86 persen untuk persamaan ketiga. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data

pengamatan belum cukup untuk menolak hipotesis tidak adanya korelasi antara

peubah penjelas dengan komponen error, sehingga memenuhi asumsi dasar model

90

REM. Oleh karena itu model REM lebih baik digunakan dalam mengestimasi ketiga

persamaan dibandingkan model FEM.

Pada model REM, pengujian efek random dilakukan dengan Breusch-Pagan

Langrange Multiplier Test (LM Test). Nilai peluang yang lebih kecil dari 5 persen

(probability 0,0000) di ketiga persamaan menunjukkan bahwa cukup bukti untuk

menolak hipotesis bahwa antar individu memiliki varian nol, atau dengan kata lain

tidak ada perbedaan yang berarti antar unit. Hal ini berimplikasi pada pentingnya

pengunaan REM sebagai perkiraan model, dimana terdapat perbedaan yang

signifikan antar unit. Sedangkan pengujian kesesuaian REM (goodness of fit test)

dapat dilihat dari nilai statistik uji F (213,55 untuk persamaan pertama, 169,16 untuk

persamaan kedua dan 179,10 untuk persamaan ketiga) yang ketiganya signifikan

menolak hipotesis semua koefisien bernilai nol, dengan nilai peluang sebesar 0,0000.

Sehingga REM merupakan model yang lebih baik dibandingkan dengan metode

Pooled Ordinary Least Square (Pooled OLS). Hasil output stata secara lengkap ada di

Lampiran 21-23.

Uji Asumsi Outokorelasi dan Heteroskedastisitas

Pengujian ada tidaknya autokorelasi pada model terpilih (REM) dilakukan

dengan Wooldridge Test for Serial Correlation in Panel Data Models (Drukker,

2003). Ketiga persamaan menunjukkan nilai peluang yang sama, yaitu 0,0000 yang

berarti menolak hipotesis tidak terdapat autokorelasi pada order pertama. Hal ini

berarti bahwa REM yang terpilih sebagai model terbaik di ketiga persamaan

melanggar asumsi terbebas dari autokoreasi. Demikian juga dengan uji

heteroskedastisitas di ketiga model terpilih dengan menggunakan Modified Wald

Statistic (Greene, 2002). Nilai peluang sebesar 0,0000 di ketiga persamaan berarti

menolak hipotesis adanya varian yang sama antar individu (homoskedastisitas).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa model REM yang terpilih sebagai model terbaik

untuk ketiga persamaan tersebut melanggar asumsi homoskedastisitas atau dengan

kata lain model REM tersebut mengandung heteroskedastisitas.

91

Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model mempengaruhi

perkiraan nilai parameter yang tidak akan memenuhi sifat BLUE (Best Linear

Unbiased Estimate). Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih

memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan

pendekatan Panel-Corrected Standard Error (PCSE) (Greene, 2002 dan Hardin,

1995). Berdasarkan model PCSE ini berarti telah dilakukan koreksi atas

permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and

first order autokorelasi (ar1). Hasil perkiraan model dengan PCSE dari ketiga

persamaan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Hasil Regresi Data Panel Faktor yang Memengaruhi Pro Poor Growth

(dengan pendekatan Jumlah Penduduk Miskin) dengan Tiga Persamaan

Variabel

Persamaan Satu (RLS)

Persamaan Dua (RLSP)

Persamaan Tiga (RLSL)

Koefisian P-value Koefisian P-

value Koefisian P-value

C 9,8840 0,000 8,3170 0,000 8,4871 0,000 LnTANI -0,2652 0,000 -0,3096 0,000 -0,2637 0,000 LnINV_PEM -0,0405 0,269 -0,0503 0,205 -0,0509 0,208 LnRLS/LnRLSP/LnRLSL -2,2716 0,000 - - - - LnRLSP - - -1,1129 0,020 - - LnRLSL - - - - -1,5828 0,006 GINI 0,2326 0,224 0,2093 0,444 0,1171 0,592 LnPDDK 0,8786 0,000 0,8828 0,000 0,8991 0,000 F-Test 331,7900 0,000 182,2900 0,000 143,5700 0,000 R-Square 0,9892 0,9881 0,9886 Hausman Test 7,93 0,1600 10,00 0,0753 10,66 0,0586 Breusch and Pagan LM Test 212,52 0,0000 210,48 0,0000 205,78 0,0000

Berdasarkan hasil perkiraan regresi data panel pada Tabel 6., tidak semua

faktor berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin, yang berarti pula tidak semua

faktor berpengaruh terhadap pro poor growth. Walaupun tidak semua faktor

berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penduduk miskin, akan tetapi tanda

pada koefisien dapat menunjukkan arah hubungannya terhadap jumlah penduduk

miskin. Peningkatan produktifitas sektor pertanian, investasi pemerintah, rata-rata

92

lama sekolah pada persamaan pertama, rata-rata lama sekolah perempuan pada

persamaan kedua, rata-rata lama sekolah laki-laki pada persamaan ketiga berpengaruh

terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Demikian juga dengan Indeks gini

dan jumlah penduduk yang memiliki tanda koefisien positif, yang berarti

peningkatannya berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin.

6.2 Faktor yang Memengaruhi Pro Poor Growth dengan Pendekatan Poverty

Reduction

6.2.1 Produktifitas Sektor Pertanian

Besarnya pengaruh produktifitas sektor pertanian terhadap pro poor growth

yang berarti pula berpengaruh terhadap poverty reduction dapat dilihat pada nilai

koefisien parameternya yang juga menunjukkan nilai elastisitasnya. Ketiga

persamaan menunjukkan bahwa peningkatan produktifitas sektor pertanian memiliki

pengaruh yang nyata terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin.

Nilai koefisien produktifitas sektor pertanian sebesar 9,8444 pada model

pertama berarti peningkatan produktifitas sektor pertanian sebesar 1 persen akan

mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 9,8444 persen dengan asumsi ceteris

paribus. Berdasarkan persamaan kedua, peningkatan produktifitas sektor pertanian

sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 8,317 persen

dengan asumsi ceteris paribus. Sedangkan berdasarkan persamaan ketiga, nilai

elastisitas sebesar 8,4871 berarti peningkatan produktifitas sektor pertanian sebesar 1

persen akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 8,4871 persen.

Hasil ini menunjukkan peran penting produktifitas sektor pertanian terhadap

pengurangan jumlah penduduk miskin, yang menjadi salah satu indikator pro poor

growth. Produktifitas terkait erat dengan output dan tenaga kerja. Share output

pertanian terhadap PDRB memang berkisar antara 13-15% selama tahun 2005-2009,

akan tetapi jumlah tenaga kerja yang melebihi 40% menyebabkan pendapatan pekerja

di sektor ini tergolong rendah. Tahun 2008, 56,35 persen dari rumah tangga miskin

dan 64,65 persen rumah tangga miskin tahun 2009 memiliki sumber penghasilan

utama dari sektor pertanian (BPS, 2008 dan BPS, 2009). Hal ini mengindikasikan

93

bahwa lebih dari separuh rumah tangga miskin menggantungkan hidup dari sektor

pertanian. Sehingga peningkatan produktifitas sektor pertanian setidaknya

berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan lebih dari 50 persen rumah tangga

miskin yang memiliki sumber penghasilan utama dari sektor ini.

Suparno (2010) menunjukkan bahwa peningkatan PDRB sektor pertanian

sebesar 1 persen akan mampu menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,138 persen,

dikarenakan 36 persen penduduk menggantungkan sumber penghasilan utamanya

dari sektor pertanian. Seperti halnya Klasen (2007) yang mengindikasikan bahwa

peningkatan produktifitas di sektor tanaman pangan seperti penggunaan bibit dan

input lainnya yang lebih baik, perbaikan sarana perdesaan dan perkembangan akses

petani terhadap kredit usaha akan meningkatkan derajat pro poor growth yang berarti

pula meningkatkan poverty reduction. Demikian juga dengan hasil penelitian dari

Siregar dan Wahyuniarti (2007) bahwa program-program pengentasan kemiskinan

sebaiknya difokuskan di sektor pertanian di perdesaan.

Hasil ini juga sejalan dengan temuan Geda, et. al. (2005) yang meneliti faktor

yang mempengaruhi kemiskinan di Kenya dengan analisis pada tingkat rumah tangga.

Kemiskinan di Kenya terpusat di daerah perdesaan dan di sektor pertanian.

Peningkatan kualitas lahan pertanian dan pemenuhan input pertanian dalam rangka

meningkatkan produktifitas sektor pertanian akan berpengaruh terhadap poverty

reduction.

Peningkatan produktifitas melalui peningkatan output perlu ditingkatkan

dengan meningkatkan investasi di bidang infrastruktur pokok dan riset pertanian,

peningkatan kemampuan petani dan lembaga pendukungnya, perbaikan dan

peningkatan pemanfaatan irigasi, peningkatan akses petani terhadap permodalan,

informasi teknologi pengolahan, serta perbaikan iklim usaha khususnya di sektor

pertanian dan yang berkaitan. Revitalisasi kelembagaan penyuluhan dan kelembagaan

petani menurut Saptana dan Ashari (2007) akan mampu meningkatkan produksi

pertanian yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani

dan mengurangi kemiskinan.Upaya memperlancar sertifikasi tanah dan memastikan

bentuk-bentuk yang tepat bagi penguasaan lahan juga akan membantu peningkatan

94

produktifitas pertanian melalui akses petani terhadap permodalan. Hal ini terkait

keterbatasan petani terhadap permodalan untuk investasi produktif, melalui adopsi

teknologi maju pertanian yang dapat meningkatkan produktifitas (Nuryartono, et al.,

2005). Selain itu Suparno (2010) yang menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah di

sektor pertanian perlu ditekankan kembali agar lebih berorientasi pada penduduk

miskin, karena selama tahun 2002-2008 manfaat pertumbuhan sektor pertanian lebih

banyak dinikmati oleh penduduk tidak miskin daripada penduduk miskin.

Berdasarkan uraian tersebut berbagai cara dapat ditempuh pemerintah dalam

rangka meningkatkan produktifitas pertanian, yang banyak menopang kehidupan

penduduk miskin. Pengadaan infrastruktur pedesaan yang lebih terarah, riset dan

penyuluhan pertanian akan membantu petani dalam meningkatkan produktifitasnya.

Perluasan jangkauan layanan keuangan bagi petani, revitalisasi pertanian melalui

investasi di bidang infrastruktur pertanian dan membangun kembali riset dan

penyuluhan secara desentralisasi, sehingga memungkinkan peningkatan keterlibatan

masyarakat. Memperlancar sertifikasi tanah, serta perbaikan sistem informasi juga

akan berdampak pada produktifitas pertanian sebagai usaha yang berbasis pedesaan

(World Bank, 2006). Peningkatan peran smallholder di bidang pertanian sebagai

strategi pro poor growth juga akan meningkatkan produktifitas pertanian (Birner,

2010). Program subsidi pupuk dan subsidi benih juga berdampak terhadap

peningkatan produktifitas pertanian khususnya tanaman padi dan jagung serta

peningkatan pendapatan petani (IPB, 2010).

6.2.2 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan yang digunakan dalam estimasi ini digunakan sebagai

pembeda dari ketiga persamaan. Tingkat pendidikan yang didekati dengan rata-rata

lama sekolah (RLS) dibagi menurut jenis kelamin, sehingga persamaan pertama

menggunakan rata-rata lama sekolah total (RLS), persamaan kedua menggunakan

rata-rata lama sekolah perempuan (RLSP) dan persamaan ketiga menggunakan rata-

rata lama sekolah laki-laki (RLSL).

95

Variabel RLS, RLSP, dan RLSL ketiganya signifikan pada tingkat α = 5

persen dalam mempengaruhi jumlah penduduk miskin, dengan nilai peluang

koefisien RLS sebesar 0,000; peluang koefisien RLSP sebesar 0,020 dan peluang

koefisien RLSL sebesar 0,006. Nilai koefisien RLS sebesar -2,2716 memiliki arti

peningkatan rata-rata lama sekolah sebesar 1 persen akan dapat mengurangi jumlah

penduduk miskin sebesar 2,2716 persen. Nilai memiliki arti yang lebih jelas ketika

dibedakan berdasarkan gender, dimana peningkatan 1 persen rata-rata lama sekolah

perempuan akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 1,1129 persen.

Peningkatan 1 persen rata-rata lama sekolah laki-laki akan menurunkan jumlah

penduduk miskin sebesar 1,5828 persen.

Peningkatan human capital sebagai aset dasar bagi penduduk miskin akan

berpengaruh terhadap pro poor growth yang berarti pula berpengaruh terhadap

poverty reduction (Klasen, 2007). Suparno (2010) juga menyatakan bahwa

pentingnya peran pendidikan sebagai investasi modal manusia dalam rangka

mengurangi kemiskinan. Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap

rendahnya produktifitas, sehingga output dan pendapatan juga rendah, selanjutnya

terjadi kemiskinan. Sehingga peningkatan pendidikan khususnya penduduk miskin

akan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya dan

keluar dari kondisi miskin.

Siregar dan Wahyuniarti (2007) menemukan variabel yang signifikan dan

relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan adalah pendidikan.

Demikian juga dengan Fan (2004) yang membuktikan bahwa modal manusia dalam

pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan

khususnya di Negara-negara di Afrika. Geda, et. al. (2005) menemukan tiga hal yang

berpengaruh terhadap kemiskinan di Kenya, salah satunya yaitu tingkat pendidikan

dari kepala rumah tangga, dan tingkat pendidikan kaum perempuan. Semakin rendah

tingkat pendidikan kepala rumah tangga akan semakin besar memberikan peluang

bagi rumah tangga menjadi miskin. Peningkatan tingkat pendidikan perempuan

berpengaruh terhadap penurunan fertilitas sehingga berdampak pada ukuran rumah

96

tangga (family size), yang merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap

kemiskinan.

Sejak tahun 2007, pemerintah melakukan berbagai langkah konsolidasi

program bantuan untuk penduduk miskin dan hampir miskin. Program tersebut

diwujudkan ke dalam paket bantuan program sebagai berikut: Paket Bantuan dan

Perlindungan Sosial. Paket bantuan ini ditujukan untuk perlindungan dan pemenuhan

hak atas pendidikan, kesehatan, pangan, sanitasi dan air bersih. Paket ini diwujudkan

dalam bentuk beras miskin (raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas

yang dulunya disebut Askeskin), BOS (Bantuan Operasional Sekolah), PKH

(Program Keluarga Harapan) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Melalui Paket Bantuan dan Perlindungan Sosial diharapkan terjadi

peningkatan pada tingkat pendidikan penduduk miskin dan hampir miskin. Bantuan

langsung diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin dan

memiliki kesempatan yang lebih untuk pengeluaran di bidang pendidikan. Sedangkan

untuk jangka panjang, melalui program PKH diharapkan terjadi perubahan pola pikir

dan perilaku terhadap kesehatan dan pendidikan. Pemerintah juga menerapkan wajib

pendidikan dasar 9 tahun bagi anak usia sekolah dan membangun/merehabilitasi

sarana dan prasarana pendidikan terutama di wilayah perdesaan, daerah tertinggal,

daerah konflik dan daerah bencana. Akses bagi anak usia sekolah untuk mengenyam

pendidikan juga diperluas melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada jenjang

SD dan SLTP agar dapat membebaskan anak-anak dari pungutan sekolah terutama

dari keluarga miskin. Berbagai beasiswa bagi siswa kurang mampu juga disediakan

pemerintah untuk tingkat SLTA hingga Perguruan Tinggi agar tetap dapat

melanjutkan pendidikannya. Selain itu pemerintah juga meningkatkan peran

pendidikan informal seperti kelompok belajar (kejar) paket A,B,C, sekolah terbuka,

kelompok belajar fungsional dan bimbingan ketrampilan di Sanggar Kelompok

Belajar (SKB). Selain itu pemerintah juga meningkatkan alokasi anggaran pendidikan

sebesar minimal 20 persen dari APBN mulai tahun 2009 (UU no 20 Tahun 2003).

Bahkan 0,5 persen dari Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas

97

Bumi digunakan untuk menambah anggaran pendidikan dasar (UU no 33 Tahun

2004).

6.2.3 Jumlah Penduduk

Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan jumlah penduduk

miskin, dengan nilai koefisien yang signifikan pada tingkat 5 persen di ketiga

persamaan. Tanda positif pada koefisien menunjukkan bahwa peningkatan jumlah

penduduk akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin, dengan

asumsi ceteris paribus. Peningkatan pada jumlah penduduk, memiliki konsekuensi

logis terhadap penyediaan fasilitas dasar (pendidikan, kesehatan, kebutuhan pangan,

dan perumahan). Jika pendapatan dan faktor yang lain diasumsikan tetap, maka

peningkatan jumlah anggota keluarga akan mengurangi kemampuan penduduk untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya. Dengan demikian akan meningkatkan peluang

penduduk menjadi miskin.

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang semula

sebesar 1,49 persen (1990-2000) menjadi 1,52 persen (2000-2010). Peningkatan

jumlah penduduk ini memiliki implikasi peningkatan kebutuhan dasar serta

penyediaan sarana dan prasarana dasar (basic need) dan juga lapangan pekerjaan.

Apabila hal tersebut tidak dapat dipenuhi, pertambahan jumlah penduduk tersebut

akan mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Hasil ini sejalan dengan

temuan pada penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) bahwa

jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap

pengurangan jumlah penduduk miskin. Studi Indra (2008) juga menunjukkan bahwa

peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk

miskin.

Pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan pencapaian

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan redistribusi pendapatan yang berjalan

dengan baik, akan mampu mengatasi kemiskinan. Program Keluarga Berencana

merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menekan laju pertumbuhan penduduk,

98

yang berpengaruh terhadap ukuran rumah tangga, yang pada akhirnya berpengaruh

terhadap tingkat kesejahteraan terutama penduduk miskin.

Selain itu, peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan

tingkat pendidikannya, akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan keahlian

penduduk, yang berarti pula peningkatan human capital. Hal ini berpengaruh

terhadap produktifitasnya yang pada akhirnya akan berpengaruh juga terhadap

pendapatan khususnya penduduk miskin.

6.2.4 Pengeluaran Pemerintah untuk Investasi Publik atau Investasi Pemerintah

dan Ketimpangan Pendapatan

Investasi pemerintah dan ketimpangan pendapatan keduanya tidak

berpengaruh signifikan terhadap pengurangan kemiskinan. Akan tetapi tanda pada

koefisien menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk investasi

publik (investasi pemerintah) berpengaruh terhadap pengurangan jumlah penduduk

miskin yang berarti pula berpengaruh terhadap pro poor growth, dengan asumsi

ceteris paribus. Koefisien yang tidak signifikan pada level 5 persen ini mungkin

disebabkan waktu penelitian yang kurang panjang. Pengeluaran investasi merupakan

pengeluaran yang dapat dirasakan manfaatkannya dalam jangka panjang, sehingga

jangka waktu 5 tahun masih kurang untuk melihat pengaruh investasi pemerintah

terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk

investasi publik berpengaruh terhadap poverty reduction yang berarti pula

berpengaruh terhadap pro poor growth. Suparno (2010) menemukan bahwa

peningkatan realisasi pengeluaran APBD sebesar 1 persen akan berdampak

mengurangi penduduk miskin sebesar 0,112 persen. Peningkatan realisasi

pengeluaran APBD akan meningkatkan kemampuan pemerintah terutama pemerintah

daerah dari segi pendanaan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan.

Pengeluaran investasi publik di daerah pedesaan seperti investasi infrastruktur,

invetasi di bidang pertanian dan investasi di bidang pendidikan berpengaruh terhadap

pengurangan penduduk miskin (Fan, 2004). Fan, et. al. (1999) juga menyimpulkan

99

bahwa pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung

terhadap penduduk miskin. Demikian juga Iradian (2005) menyatakan bahwa selain

ketimpangan pendapatan, pengeluaran pemerintah juga memiliki pengaruh terhadap

penurunan kemiskinan. Investasi pembangunan jalan desa, investasi di bidang

kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan akses penduduk miskin terhadap

pelayanannya (World Bank, 2006).

Faktor ketimpangan pendapatan yang didekati dengan nilai Indeks Gini

digunakan dalam estimasi persamaan faktor yang mempengaruhi pro poor growth

dengan pendekatan poverty reduction. Walaupun koefisien dari Indeks Gini tidak

signifikan pada tingkat 5 persen, tanda positif pada koefisien menunjukkan bahwa

peningkatan ketimpangan pendapatan yang dinyatakan dengan peningkatan nilai

Indeks Gini akan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin,

meskipun penurunan Indeks Gini bukan berarti akan menurunkan kemiskinan.

Aspek ekuitas (distribusi pendapatan yang lebih merata) dari pro poor growth

(pertumbuhan yang berpihak ke penduduk miskin) akan memperkuat dampak

pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan (Kakwani dan Pernia, 2000). Grimm,

et. al. (2007) juga menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan atau aspek ekuitas

secara langsung akan mengurangi kemiskinan, meningkatkan dampak pertumbuhan

terhadap kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan yang selanjutnya mempercepat

pengentasan kemiskinan. Peningkatan ketimpangan antar wilayah akan berpengaruh

terhadap pro poor growth yang berarti pula berpengaruh terhadap poverty reduction

(Klasen, 2007). Ketimpangan antar wilayah salah satunya bisa didekati dengan

ketimpangan pendapatan antar wilayah yang bisa dilihat dari ukuran indeks gininya.

Demikian juga dengan Gelaw (2010) yang menyatakan bahwa kemiskinan akan tetap

tinggi jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan ketimpangan pendapatan.

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pro poor

growth merupakan peningkatan pendapatan (growth) yang memberikan manfaat yang

lebih besar ke pihak miskin daripada non-miskin (Kakwani dan Pernia, 2000).

Selanjutnya badan-badan internasional seperti PBB, Organization for Economic

100

Cooperation and Development (OECD), UNDP, dan Bank dunia lebih sering

menggunakan definisi pro poor growth sebagai pertumbuhan ekonomi yang lebih

menguntungkan penduduk miskin dan memberikan mereka kesempatan untuk

memperbaiki situasi ekonomi mereka seperti dikemukakan Kakwani, et al. (2004).

Selain itu, Klasen (2007) mengidentifikasikan beberapa faktor yang

berpengaruh terhadap pro poor growth yang didekati dengan poverty reduction,

seperti produktifitas sektor pertanian, tingkat pendidikan, dan ketimpangan antar

wilayah. Sedangkan Siregar dan Wahyuniarti (2007) dan Indra (2008) memasukkan

jumlah penduduk sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap poverty

reduction. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam rangka pengentasan kemiskinan. Komitmen ini

diwujudkan dalam RPJM 2005-2009 yang dikenal dengan triple track strategy

pembangunan yaitu pro growth, pro job dan pro poor. Pertumbuhan ekonomi yang

dicapai, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih banyak terhadap penduduk

miskin daripada non-miskin, sehingga akan berimplikasi pada terbukanya kesempatan

yang lebih baik baik kelompok penduduk miskin untuk memperbaiki keadaan

kesejahteraannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah

dicapai selama RPJM 2005-2009 memiliki kecenderungan menurun dan

memunculkan situasi yang mengarah kepada semakin timpangnya antar provinsi,

demikian juga dengan indeks gini yang menunjukkan ketidakmerataan di tingkat

provinsi yang semakin tinggi. Ketimpangan yang semakin tinggi tersebut tentunya

akan berpengaruh terhadap manfaat pertumbuhan dalam mengurangi kemiskinan. Hal

ini berdampak pada beragamnya tingkat kemiskinan antar provinsi, walaupun secara

nasional menunjukkan adanya penurunan. Provinsi yang memiliki kondisi awal

RPJM 2005-2009 sudah cukup bagus (pertumbuhan cukup tinggi, ketidakmerataan

dan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibanding provinsi lainnya) pada umumnya

memiliki pencapaian hasil pembangunan yang lebih bagus dibanding provinsi

lainnya. Sebaliknya provinsi dengan kondisi awal yang kurang bagus (pertumbuhan

rendah, ketidakmerataan cenderung tinggi dan kemiskinan yang tinggi) memiliki

101

pencapaian pembangunan yang kurang memuaskan, seperti tingkat kemiskinan atau

ketidakmerataan yang masih tinggi, ataupun pertumbuhan ekonomi yang masih

berada di bawah angka nasional.

Disamping itu, pencapaian pertumbuhan ekonomi secara nasional yang pada

tahun 2005-2006 masih anti pro poor growth, pada akhir periode RPJM telah

memenuhi kondisi pro poor growth yang berarti manfaat pertumbuhan lebih

dirasakan oleh penduduk miskin daripada non miskin. Kondisi ini juga berlaku di

sebagian besar provinsi, dimana pada periode 2008-2009 (periode akhir RPJM 2005-

2009), banyak provinsi yang mencapai kondisi pro poor growth yang ketika periode

2005-2006 masih anti pro poor growth. Walaupun beberapa provinsi justru

mengalami hal yang berkebalikan, yang semula sudah pro poor growth, pada periode

akhir berbalik menjadi anti pro poor growth. Kondisi yang beragam antar provinsi ini

diduga dipengaruhi oleh kondisi awal (initial condition) dari masing-masing provinsi

pada awal periode RPJM 2005-2009 dan karakteristik antar provinsi yang berbeda

satu sama lain. Sehingga walaupun secara nasional terjadi penurunan tingkat

kemiskinan, akan tetapi karena hasil pembangunan yang sangat beragam antar

provinsi berpengaruh terhadap pencapaian tingkat kemiskinan nasional yang masih

jauh dari target RPJM 2005-2009 dan Millenium Development Goals.

Berbagai upaya yang dilaksanakan pemerintah untuk mengentaskan

kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan dampak yang

positif terhadap kemiskinan. Adapun upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk

mengentaskan kemiskinan adalah sebagai berikut:

1. Program bantuan yang bersifat langsung ke penduduk miskin seperti raskin,

PKH, jamkesmas, dan lainnya dalam pelaksanaannya memiliki kelemahan

(ADB, 2008). Oleh karena itu, pendataan ulang penduduk miskin dengan kriteria

yang lebih komprehensif, pengawasan pelaksanaan secara ketat dan

berkelanjutan diperlukan agar program bantuan lebih optimal.

2. Banyaknya penduduk miskin yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian

menjadi alasan utama pentingnya peningkatan produktifitas pertanian. Jumlah

tenaga kerja di sektor ini yang melimpah, banyaknya petani dengan kepemilikan

102

lahan yang sempit, serta terbatasnya akses penduduk miskin terhadap

infrastruktur, informasi teknologi, pengolahan, permodalan dan lainnya menjadi

alasan berikutnya untuk meningkatkan produktifitas pertanian. Revitalisasi

pertanian melalui investasi di bidang infrastruktur, pengembangan riset dan

penyuluhan secara desentralisasi, serta memperlancar sertifikasi tanah dalam

rangka peningkatan produktifitas pertanian.

3. Bertambahnya jumlah penduduk berarti bertambahnya jumlah tenaga kerja.

Apabila diiringi dengan peningkatan kualitas pendidikan dan keahlian, maka

akan meningkatkan modal manusia (human capital), yang akan berpengaruh

terhadap produktifitas tenaga kerja dan output. Penduduk miskin yang juga masih

memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan,

perumahan, permukiman dan lainnya menjadi alasan penting peningkatan

pengeluaran untuk pendidikan. Investasi di bidang pendidikan dengan fokus pada

perbaikan akses dan keterjangkauan sekolah menengah serta pelatihan

ketrampilan bagi penduduk miskin, peningkatan mutu dan efisiensi sekolah dasar

diperlukan untuk peningkatan tingkat pendidikan. Selain itu, pengintegrasian

program pengentasan kemiskinan perlu ditingkatkan sosialisasinya terhadap

masyarakat, sehingga membuka peluang yang lebih luas bagi partisipasi

masyarakat terhadap pembangunan.

4. Investasi yang merupakan pengeluaran jangka panjang akan dapat dirasakan

manfaatnya setelah beberapa jangka waktu. Walaupun pengeluaran ini tidak

secara langsung dapat mengurangi kemiskinan, akan tetapi pengeluaran ini pada

waktunya akan dapat dirasakan manfaatnya oleh penduduk miskin. Misalnya

perbaikan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan jaringan, pembangunan gedung

pemerintahan, pembangunan gedung sekolah, pembelian alat dan mesin, serta

belanja modal lainnya akan memperluas akses penduduk terhadap berbagai

pelayanan yang diperlukan.

5. Selain itu, perlunya dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan berbagai program

pengentasan kemiskinan yang telah dilaksanakan, seperti raskin, BLT,

jamkesmas, askeskin, dan lainnya. Program ini juga perlu ditingkatkan dan

103

dilakukan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. Apabila program

pembangunan dalam rangka redistribusi ini dapat berjalan dengan baik, maka

manfaat yang dirasakan oleh penduduk miskin juga akan semakin besar.