Varia Advokat Edisi September 2011

2
 3 VARIA ADVOKAT - Volume 14, September 2011  Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap” (vleugel vrij ) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap” (vleugel lam) dalam arti tidak maju bah- kan tidak tegak. (Soelaiman Soemardi) D ibandingkan dengan negara ASEAN lainnya yang telah lebih dulu memiliki peraturan ten- tang profesi advokat seperti Malaysia (  Legal  Profession Act , 1976), Filipina (Supreme Court Revised Rules of Court , 1986), Singapura (  Legal Profession [Amandement]  Act ,  No. 41 of 1993), dan Thailand (  Advocate Act BE  2528 of  1985), Indonesia memang tertinggal karena baru di tahun 2003 mulai memiliki peraturannya sendiri terkait dengan profesi advokat i.e. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Oleh karenanya negara-negara ASEAN tersebut tentu sudah mapan dalam penegakan kode etik profesi advokat, sebuah kemapanan yang tentu masih “jauh panggang dari api” jika dibandingkan dengan penegakannya di Indonesia. Pelanggaran terhadap kode etik profesi advokat di Indonesia  bukan terbilang sedikit, namun dari sekian kasus yang muncul di permukaan berlalu begitu saja tanpa ada penegakan yang  pasti dan belum pernah ada sidang kode etik yang dapat dija- dikan preseden yang baik bagi masyarakat advokat, hanya satu kasus yang kita ingat betul bagaimana seorang advokat senior dicabut hak beracaranya oleh Dewan Kehormatan namun  putusan kode etik tersebut berujung pada suatu “distrust” yang tumbuh dalam persepsi masyarakat karena mandulnya sanksi yang diberikan dan tidak memiliki pengaruh apapun padahal Kode Etik Advokat Indonesia dalam Pembukaannya disebut- kan sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi yang men  jamin da n melindun gi namun membebank an kewa jiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan Profesinya baik kepada Klien, Pengadilan,  Negara atau Masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri. Beberapa bentuk pelanggaran kode etik yang paling sering dilakukan oleh advokat diantaranya adalah persaingan tidak sehat dari sesama advokat dalam perebutan klien, menjanjikan kemenangan dari perkara yang ditanganinya, penelantaran klien, serta praktek-praktek curang lainnya dalam memenangkan kasus atau yang dikenal sebagai makelar kasus yang oleh Prof. Sahetapy disebutnya sebagai beedigd  karena telah mengingkari sumpah profesinya. Lebih ironisnya lagi banyak ditemukan Advokat yang melakukan praktek rangkap jabatan s ebagai ang- gota DPR dan/atau jabatan-jabatan lainnya yang meminta  peng abdi an sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kebe-  basannya sebagai Advokat. Kode etik profesi tidak lagi dijadikan sebagai pedoman serta per- wujudan komitmen moral setiap advokat dalam memperjuang- kan kebenaran dan keadilan, kode etik profesi telah kehilangan fungsi kritisnya sebagai alat perjuangan dalam menjawab perso- alan hukum yang terjadi di masyarakat dan cenderung dianggap sebagai pembatas kebebasan profesional- isme, hal ini ditandai dengan adanya fenomena “kutu loncat” yaitu berpindahnya keanggotaan seorang ad- vokat ke organisasi advokat lainnya meskipun telah dijatuhi sanksi pelanggaran kode etik sehingga tetap dapat menjalankan profesinya. Fenomena inilah yang membuat penegakan kode etik kehilangan artinya. Di dalam Kode Etik Advokat Indonesia disebutkan secara tegas beberapa hukuman yang dapat diberikan terhadap advokat yang melanggarnya yaitu a) peringatan biasa, b)  perin gatan  keras, c) pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, dan d) pemecatan dari keanggotaan organisasi advokat (lihat Bagian Ketujuh tentang Sanksi dalam Kode Etik Advokat Indonesia). Namun lemahnya penegakan kode etik ini sesung- guhnya bukan berasal dari berat ringannya sanksi yang dapat di-  jatuhkan, tetapi lebih kepada eksistensi profesi Advokat sendiri dalam sistem penegakan hukum di Indonesia yang belum bisa mewujudkan kebebasan dan kemandiriannya sebagai penegak hukum yang setara dan sederajat dengan Polisi, Jaksa, dan Hakim. Tentu kita masih ingat bagaimana profesi ini diatur dan dia- wasi oleh Pemerintah dengan adanya Surat Keputusan Ber- sama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman RI tanggal 6 Juli 1987 No. KMA/005/SKB/VII/1987 dan No. MPR.08.05 tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penin- dakan dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum, sebuah intervensi terhadap kemandirian dan kebebasan profesi advokat dalam  bentuknya yang paling manifes. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentan g Advokat, SKB tersebut tidak berlaku lagi namun “sejarah inter- vensi” kembali terulang, tidak saja terhadap organisasi advokat an sich (SKMA 089/KMA/VI/2010,  sic!) akan tetapi sudah mengatur kepada hal substantif yaitu pengambilan sumpah advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi vide Surat Edaran Mah- kamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pengam-  bilan Sumpah Advokat. Mahkamah Agung telah keliru menafsir- kan ketentuan pengambilan sumpah advokat ex  Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat yang sama sekali tidak menyebut- kan Ketua Pengadilan Tinggi sebagai subyek yang mengambil sumpah melainkan adalah tempat ( locus) dimana pengambilan sumpah itu diambil yaitu sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Dalam implementasinya pengambilan sumpah ini memunculkan ketidakpastian yaitu dualisme format Berita Acara Sumpah Advokat. Keadaan inilah yang memandulkan kewenangan Dewan Kehormatan dalam menjatuhkan sanksi kode etik terhadap advokat  yang terbukti melanggarnya karena yang dicabut adalah surat  pengangkatan advokat dari organisasi saja sementara Berita Acara Sumpah Advokat yang diterbitkan Ketua Pengadilan Tinggi masih tetap berlaku.  Requiescat In Pace Kode Etik Advokat Indonesia! *  Junior Partners @Rambe Law Firm & Partners KODE ETIK ADVOKAT YANG TAK BERARTI Oleh: Tandry LD, SH* sekapur sirih 3 VARIA ADVOKAT - Volume 14, September 2011

Transcript of Varia Advokat Edisi September 2011

Page 1: Varia Advokat Edisi September 2011

5/14/2018 Varia Advokat Edisi September 2011 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/varia-advokat-edisi-september-2011 1/2

 

VARIA ADVOKAT - Volume 14, September 2011

 

Profesionalisme tanpa etika menjadikannya“bebas sayap” (vleugel vrij ) dalam arti tanpa

kendali dan tanpa pengarahan. Sebaliknya, etika

tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh

sayap” (vleugel lam) dalam arti tidak maju bah-

kan tidak tegak. (Soelaiman Soemardi)

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya

yang telah lebih dulu memiliki peraturan ten-

tang profesi advokat seperti Malaysia ( Legal 

 Profession Act , 1976), Filipina (Supreme Court Revised Rules of 

Court , 1986), Singapura (  Legal Profession [Amandement] Act ,

 No. 41 of 1993), dan Thailand ( Advocate Act BE 2528 of  1985),

Indonesia memang tertinggal karena baru di tahun 2003 mulaimemiliki peraturannya sendiri terkait dengan profesi advokat i.e.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Oleh

karenanya negara-negara ASEAN tersebut tentu sudah mapan

dalam penegakan kode etik profesi advokat, sebuah kemapanan

yang tentu masih “jauh panggang dari api” jika dibandingkan

dengan penegakannya di Indonesia.

Pelanggaran terhadap kode etik profesi advokat di Indonesia

 bukan terbilang sedikit, namun dari sekian kasus yang muncul

di permukaan berlalu begitu saja tanpa ada penegakan yang

 pasti dan belum pernah ada sidang kode etik yang dapat dija-

dikan preseden yang baik bagi masyarakat advokat, hanya satu

kasus yang kita ingat betul bagaimana seorang advokat senior 

dicabut hak beracaranya oleh Dewan Kehormatan namun

 putusan kode etik tersebut berujung pada suatu “distrust” yang

tumbuh dalam persepsi masyarakat karena mandulnya sanksi

yang diberikan dan tidak memiliki pengaruh apapun padahal

Kode Etik Advokat Indonesia dalam Pembukaannya disebut-

kan sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi yang

men jamin dan melindungi namun membebankan kewajiban

kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab

dalam menjalankan Profesinya baik kepada Klien, Pengadilan,

 Negara atau Masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

Beberapa bentuk pelanggaran kode etik yang paling seringdilakukan oleh advokat diantaranya adalah persaingan tidak 

sehat dari sesama advokat dalam perebutan klien, menjanjikan

kemenangan dari perkara yang ditanganinya, penelantaran klien,

serta praktek-praktek curang lainnya dalam memenangkan

kasus atau yang dikenal sebagai makelar kasus yang oleh Prof.

Sahetapy disebutnya sebagai beedigd karena telah mengingkari

sumpah profesinya. Lebih ironisnya lagi banyak ditemukan

Advokat yang melakukan praktek rangkap jabatan sebagai ang-

gota DPR dan/atau jabatan-jabatan lainnya yang meminta

 pengabdian sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kebe-

 basannya sebagai Advokat.

Kode etik profesi tidak lagi dijadikan sebagai pedoman serta per-wujudan komitmen moral setiap advokat dalam memperjuang-

kan kebenaran dan keadilan, kode etik profesi telah kehilangan

fungsi kritisnya sebagai alat perjuangan dalam menjawab perso-

alan hukum yang terjadi di masyarakat dan cenderungdianggap sebagai pembatas kebebasan profesional-

isme, hal ini ditandai dengan adanya fenomena “kutu

loncat” yaitu berpindahnya keanggotaan seorang ad-

vokat ke organisasi advokat lainnya meskipun telah

dijatuhi sanksi pelanggaran kode etik sehingga tetap

dapat menjalankan profesinya. Fenomena inilah yang

membuat penegakan kode etik kehilangan artinya.

Di dalam Kode Etik Advokat Indonesia disebutkan

secara tegas beberapa hukuman yang dapat diberikan terhadap

advokat yang melanggarnya yaitu a) peringatan biasa, b)

 peringatan keras, c) pemberhentian sementara untuk waktu

tertentu, dan d) pemecatan dari keanggotaan organisasi advokat(lihat Bagian Ketujuh tentang Sanksi dalam Kode Etik Advokat

Indonesia). Namun lemahnya penegakan kode etik ini sesung-

guhnya bukan berasal dari berat ringannya sanksi yang dapat di-

 jatuhkan, tetapi lebih kepada eksistensi profesi Advokat sendiri

dalam sistem penegakan hukum di Indonesia yang belum bisa

mewujudkan kebebasan dan kemandiriannya sebagai penegak 

hukum yang setara dan sederajat dengan Polisi, Jaksa, dan Hakim.

Tentu kita masih ingat bagaimana profesi ini diatur dan dia-

wasi oleh Pemerintah dengan adanya Surat Keputusan Ber-

sama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman

RI tanggal 6 Juli 1987 No. KMA/005/SKB/VII/1987 dan No.

MPR.08.05 tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penin-dakan dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum, sebuah intervensi

terhadap kemandirian dan kebebasan profesi advokat dalam

 bentuknya yang paling manifes.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat, SKB tersebut tidak berlaku lagi namun “sejarah inter-

vensi” kembali terulang, tidak saja terhadap organisasi advokat

an sich (SKMA 089/KMA/VI/2010,  sic!) akan tetapi sudah

mengatur kepada hal substantif yaitu pengambilan sumpah

advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi vide Surat Edaran Mah-

kamah Agung Nomor 01 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pengam-

 bilan Sumpah Advokat. Mahkamah Agung telah keliru menafsir-

kan ketentuan pengambilan sumpah advokat ex  Pasal 4 ayat

(1) Undang-Undang Advokat yang sama sekali tidak menyebut-

kan Ketua Pengadilan Tinggi sebagai subyek yang mengambil

sumpah melainkan adalah tempat (locus) dimana pengambilan

sumpah itu diambil yaitu sidang terbuka Pengadilan Tinggi.

Dalam implementasinya pengambilan sumpah ini memunculkan

ketidakpastian yaitu dualisme format Berita Acara Sumpah

Advokat. Keadaan inilah yang memandulkan kewenangan Dewan 

Kehormatan dalam menjatuhkan sanksi kode etik terhadap advokat 

yang terbukti melanggarnya karena yang dicabut adalah surat

  pengangkatan advokat dari organisasi saja sementara Berita

Acara Sumpah Advokat yang diterbitkan Ketua PengadilanTinggi masih tetap berlaku. Requiescat In Pace Kode Etik 

Advokat Indonesia!

* Junior Partners 

@Rambe Law Firm & Partners

KODE ETIK ADVOKAT YANG TAK BERARTIOleh: Tandry LD, SH*

s e k a p u r s i r i h

VARIA ADVOKAT - Volume 14, September 2011

Page 2: Varia Advokat Edisi September 2011

5/14/2018 Varia Advokat Edisi September 2011 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/varia-advokat-edisi-september-2011 2/2