V2N3 Strategi Pengadaan Lahan Untuk Ruang Terbuka Hijau Di Kota Bandung 2

18
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB Strategi Pengadaan Lahan Untuk Ruang Terbuka Hijau Di Kota Bandung Trananda Pratama Achmad (1) , Petrus Natalivan Indrajati (2) (1) Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. (2) Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB. Abstra k Penyediaan RTH publik sulit bagi kota-kota besar yang sudah berkembang dengan pesat karena konversi guna lahan dan perkembangan kota yang sporadis. Studi ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengadaan lahan untuk RTH publik di Kota Bandung dengan mempertimbangkan kemampuan Pemerintah Kota Bandung. Sasaran yang ingin dicapai adalah teridentifikasinya konsep pengadaan lahan untuk RTH publik, peluang dan ancaman yang dijadikan dasar oleh pemerintah daerah dalam pengadaan lahan untuk RTH publik, serta kekuatan dan kelemahan pemerintah daerah dalam pengadaan lahan untuk RTH publik. Berdasarkan hasil analisa, pemerintah Kota Bandung perlu melengkapi dan meningkatkan kualitas inventaris aset lahan milik daerah, membuat pedoman penyerahan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan dan permukiman yang lebih detail, meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM serta prasarana dan sarana pendukung pelaksanaan kegiatan, meningkatkan koordinasi antar SKPD dan stakeholder lainnya, dan mengkaji penggunaan konsep pengadaan lahan selain pembebasan lahan dan penyerahan PSU. Kata-kunci: pemerintah kota, pengadaan lahan, ruang terbuka hijau publik, strategi Pendahuluan RTH perkotaan memiliki fungsi pokok sebagai pendukung utama keberlanjutan kehidupan masyarakat kota, sehingga keberadaan RTH di kawasan perkotaan merupakan suatu persyaratan yang wajib dipenuhi untuk kehidupan masyarakat yang sehat (Purnomohadi, 2006). Mengingat pentingnya RTH bagi perkembangan sebuah kota dan fungsinya untuk melestarikan lingkungan maka pemerintah memasukkan RTH sebagai salah satu unsur penataan ruang dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

description

SOSIAL

Transcript of V2N3 Strategi Pengadaan Lahan Untuk Ruang Terbuka Hijau Di Kota Bandung 2

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITBStrategi Pengadaan Lahan Untuk Ruang Terbuka Hijau Di

Kota BandungTrananda Pratama Achmad (1), Petrus Natalivan Indrajati(2)(1) Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB.

(2) Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

(SAPPK), ITB.

AbstrakPenyediaan RTH publik sulit bagi kota-kota besar yang sudah berkembang dengan pesat karena konversi guna lahan dan perkembangan kota yang sporadis. Studi ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengadaan lahan untuk RTH publik di Kota Bandung dengan mempertimbangkan kemampuan Pemerintah Kota Bandung. Sasaran yang ingin dicapai adalah teridentifikasinya konsep pengadaan lahan untuk RTH publik, peluang dan ancaman yang dijadikan dasar oleh pemerintah daerah dalam pengadaan lahan untuk RTH publik, serta kekuatan dan kelemahan pemerintah daerah dalam pengadaan lahan untuk RTH publik. Berdasarkan hasil analisa, pemerintah Kota Bandung perlu melengkapi dan meningkatkan kualitas inventaris aset lahan milik daerah, membuat pedoman penyerahan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) perumahan dan permukiman yang lebih detail, meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM serta prasarana dan sarana pendukung pelaksanaan kegiatan, meningkatkan koordinasi antar SKPD dan stakeholder lainnya, dan mengkaji penggunaan konsep pengadaan lahan selain pembebasan lahan dan penyerahan PSU.

Kata-kunci: pemerintah kota, pengadaan lahan, ruang terbuka hijau publik, strategiPendahuluanRTH perkotaan memiliki fungsi pokok sebagai pendukung utama keberlanjutan kehidupan masyarakat kota, sehingga keberadaan RTH di kawasan perkotaan merupakan suatu persyaratan yang wajib dipenuhi untuk kehidupan masyarakat yang sehat (Purnomohadi, 2006). Mengingat pentingnya RTH bagi perkembangan sebuah kota dan fungsinya untuk melestarikan lingkungan maka pemerintah memasukkan RTH sebagai salah satu unsur penataan ruang dalam UU No. 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

RTH publik khususnya merupakan komponen infrasturktur hijau perkotaan yang mendukung manfaat ekologis, sosial budaya, dan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. UU No. 26 Tahun

2007 mengatur bahwa proporsi RTH untuk

wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota tersebut, dimana 20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Akan tetapi syarat luas RTH tersebut menjadi permasalahan akibat dari perkembangan kota yang cepat. Kota yang sedang pesat berkembang akan menarik minat pendatang mencoba peruntungannya dan mengundang investasi yang tentunya akan meningkatkan permintaan terhadap pemanfaatan lahan. Perkembangan kota yang pesat juga membawa efek negatif dari beberapa aspek, termasuk masalah lingkungan. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul akibat pembangunan kota tersebut adalah keberadaaan RTH, khususnya keberadaan RTH publik.

Tidak semua kota mampu memenuhi syarat luas

RTH publik 20% seperti yang diamanatkan UU

Penataan Ruang. Penyediaan RTH publik menjadi sulit bagi kota-kota besar yang sudah berkembang dengan pesat karena konversi guna lahan dan perkembangan kota yang sporadis. Hal ini menyebabkan sedikitnya lahan yang dapat dijadikan RTH publik. Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung tahun 2011, lahan kosong yang ada di Kota Bandung hanya sekitar 1.218,16 hektar atau 7% dari seluruh luas wilayah Kota Bandung. Luas RTH publik di Kota Bandung adalah 919,86 hektar atau hanya 5,47% dari luas total Wilayah Kota Bandung. Kebijakan pemerintah Kota Bandung dalam menyediakan RTH menjadi permasalahan tersendiri. Pengadaaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah sering kali hanya bertumpu pada pembebasan lahan dan kurang memanfaatkan konsep pengadaan lahan lainnya.

Selain melalui pembebasan lahan, pengadaan lahan untuk fasilitas umum, khususnya untuk RTH publik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Konsolidasi Lahan

Menurut Peraturan KaBPN No. 4 tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, Konsolidasi Lahan adalah kebijaksanaan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Berdasarkan PP No. 13 Tahun 2010 tentang jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional, Konsolidasi lahan adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan, dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Dari definisi tentang konsolidasi lahan yang telah disebutkan di atas, terdapat tiga

kegiatan yang dilakukan sekaligus dalamKonsolidasi Tanah Perkotaan, yaitu:

a. Penataan kembali penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

b. Pengadaan tanah untuk pembangunan.

c. Peningkatan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam.

Makna penataan kembali menunjukkan bahwa kondisi faktual sebelum ditata dengan konsolidasi tanah.

2. Tukar-menukar Aset Lahan

Pertukaran lahan dilakukan baik antara pemerintah dengan swasta maupun pemerintah dengan pemerintah untuk kepentingan tertentu. Pertukaran dilakukan karena pemerintah membutuhkan lahan untuk fasilitas publik, swasta membutuhkan lahan untuk aset yang menguntungkan. Berdasarkan Permendagri No. 17 Tahun

2007 tentang Pedoman Teknis PengelolaanBarang Milik Daerah, yang boleh di pertukarkan adalah barang milik/kekayaan negara (barang bergerak/barang tidak bergerak Barang Milik/Kekayaan Negara) dimiliki/dikuasai oleh instansi Pemerintah yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban APBN dan atau sumber lain yang sah.

3. Corporate Social Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab terhdap masyarakat luas dan lingkungan. CSR menurut Murray dan Vogel (1997) adalah upaya perusahaan prososial atau kinerja sosial perusahaan secara tradisional yang telah dikonseptualisasikan lebih luas sebagai kewajiban manajerial untuk mengambil tindakan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan dan kepentingan organisasi.

4. Wakaf/Sumbangan Lahan

Menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf, pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Harta benda yang dapat diwakafkan adalah harta benda bergerak dan harta benda tidak bergerak.

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 40, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:

a. dijadikan jaminan;

b. disita;

c. dihibahkan;

d. dijual;

e. diwariskan;

f. ditukar; ataug. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. Setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.

Selain itu pemerintah daerah dapat menggunakan asset lahan milik daerah serta prasarana, sarana, dan utilitas (PSU) yang harus diserahkan oleh pengembang perumahan dan permukiman.

Tujuan dari studi ini adalah merumuskan strategi pengadaan lahan untuk RTH publik di Kota Bandung. Sasaran studi ini adalah teridentifikasinya konsep pengadaan lahan untuk RTH publik, peluang dan ancaman yang dapat dijadikan dasar oleh pemerintah Kota Bandung dalam pengadaan lahan untuk RTH publik, dan kekuatan dan kelemahan pemerintah Kota Bandung dalam pengadaan lahan untuk RTH publik berdasarkan kemampuan pemerintah Kota Bandung.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan kualitatif yang dipilih untuk menemukan pola hubungan yang bersifat interaktif dalam realitas pelaksanaan pengadaan lahan untuk RTH publik serta memahami fenomena tentang persepsi, motivasi, tindakan secara holistik yang berkaitan dengan pengadaan lahan untuk RTH publik. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan penekanan pada pendekatan yuridis dengan mengkaji aspek normatif yang sudah ada.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data Primer didapat dari wawancara terhadap aparatur pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi terkait pengadaan lahan untuk RTH publik. Responden yang dipilih hanya terbatas pada Pemerintah Kota Bandung tanpa memasukkan stakeholder lain di Kota Bandung karena penelitian ini hanya meneliti aspek-aspek pengadaan lahan berdasarkan potensi dan kemampuan Pemerintah Kota Bandung.

Pertanyaan wawancara disusun sama terhadap narasumber berdasarkan kebutuhan penelitian akan tetapi dapat berkembang tergantung dengan jalannya wawancara dan kompetensi narasumber. Lingkup pertanyaan wawancara adalah:

1.Tugas pokok dan fungsi narasumber dalam pengadaan lahan untuk RTH publik;

2. Ketersediaan RTH di Kota Bandung;

3.Permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan lahan untuk RTH publik;

4. Kelemahan narasumber dalam pengadaanlahan untuk RTH publik;

5. Ketersediaan aset lahan pemerintah Kota

Bandung;

6. Koordinasi dengan stakeholder terkait;

Data sekunder didapatkan dari informasi tertulis berupa:

1) Literatur ilmiah seperti buku-buku, makalah dan artikel ilmiah.

2) Peraturan perundang-undangan tingkat Pusat

Peraturan perundang-undangan tingkat Kota

3) Data statistik daerah berupa data penggunaan lahan dan data eksisting RTH di Kota Bandung

4) Survey data dan berita melalui jaringanelektronik

Penelitian ini menggunakan metode Analisis SWOT. Analisis SWOT digunakan untuk membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan factor internal (strengths) dan kelemahan (weakness). Kemudian perbandingan ini digunakan dalam menyusun strategi pengadaan lahan untuk RTH publik. Analisis SWOT dipilih karena persoalan pengadaan lahan untuk RTH publik oleh pemerintah daerah ditentukan oleh kondisi internal dan kondisi eksternal dari pemerintah daerah.

Gambar 1. Diagram Matriks SWOT/TOWS

InternalEksternalSTR EN G TH S

(S)Susun daftar kekuatanW EAK N ESSES(W)Susun daftar kelemahan

OP P OR TU

N ITIES (O) Susun daftar peluangPakai kekuatan

untuk manfaatkan peluangSTRATEGI SOTanggulangi

kelemahan dengan memanfaatkan peluangSTRATEGI WO

TH R EATS(T) Susun daftar ancamanPakai kekuatan

untuk menghindari ancaman

STRATEGI STPerkecil

kelemahandan hindari ancaman

STRATEGI WT

Kajian SWOT dilakukan melaui analisa literatur berupa literatur ilmiah, peraturan perundang- undangan, berita baik koran maupun media elektronik, dan dari hasil wawancara. Berdasarkan kajian SWOT ini, aspek yang dikaji pada lingkup internal dan eksternal Pemerintah Kota Bandung untuk merumuskan strategi pengadaan lahan untuk RTH publik adalah sebagai berikut:

1. Kondisi Internal

a. Kebijakan Pemerintah Kota Bandung tentang

RTH.

b. Anggaran Pemerintah Kota Bandung untuk

RTH publik.c. Kepemilikan lahan Pemerintah Kota Bandung. d. Kelembagaan Pemerintah Terkait RTH publik

di Kota Bandung.

2. Kondisi Eksternal

a. Peraturan perundang-undangan Nasional

yang terkait dengan RTH, pertanahan dan pengadaan lahan.

b. Kepemilikan lahan yang dimiliki stakeholderyang ada di Kota Bandung

c. Perjanjian dan kerja sama antara PemerintahKota Bandung dengan stakeholder lain.

d. Peran swasta dalam penyediaan RTH publik.

Hasil analisisBerdasarkan hasil survey dan telaah peraturan maka identifikasi ekternal Pemerintah Kota Bandung adalah sebagai berikut:

1. Peluang:

a. Berdasarkan telaah pustaka dan peraturan- perundang-undangan, teknik pengadaan lahan untuk RTH publik tidak hanya melalui pembebasan lahan tetapi juga dapat melalui konsep lain seperti Konsolidasi lahan, bank lahan, tukar menukar aset lahan, dan sumbangan lahan melalui wakaf dan bantuan CSR dari pemerintah pihak swasta.

b. Peraturan perundang-undangan mengamanatkan bahwa PSU yang harus diserahkan oleh pengembang perumahan dan permukiman kepada Pemerintah daerah.

c. RTH publik dalam Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menjadi salah satu bagian dari fasilitas umum.

d. Adanya program pemerintah maupun pemerintah provinsi dan bantuan dana yang

memungkinkan mendapatkan lahan untuk

RTH publik.

e. Adanya potensi kerjasama dengan BUMN dan BUMD dalam mengelola lahan milik BUMN dan BUMD yang berpotensi menjadi RTH publik.

2. Ancaman:

a. Bentuk Bantuan CSR tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga memungkinkan pihak swasta enggan menyumbangkan lahan untuk RTH publik.

b. Sulit mencapai kata sepakat dalam tukar- menukar aset lahan dengan pemerintah atau

pemerintah provinsi.

c. Sulit mencapat kata sepakat dalam pengelolaan lahan milik BUMN dan BUMD.

d. Dana bantuan dari pemerintah atau pemerintah provinsi hanya untuk pengelolaan dan pembangunan infrastruktur, bukan untuk menyediakan lahan.

Berdasarkan hasil survey dan telaah peraturan maka identifikasi internal Pemerintah Kota Bandung adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan:

a. RTH publik mempunyai dasar hukum yang kuat karena telah dimanatkan dalam rencana tata ruang Pemerintah Kota Bandung.

b. Pemerintah Kota Bandung memiliki aset lahan yang dapat dijadikan RTH publik dan melakukan perubahan pemanfaatan aset lahan menjadi RTH publik.

c. Pemerintah Kota Bandung memiliki PSU yang akan diserahkan oleh pengembang perumahan dan permukiman kepada Pemerintah Kota Bandung.

2. Kelemahan:

a. Pemerintah Kota Bandung dalam pengadaan lahan untuk RTH publik hanya mengandalkan pembebasan lahan dan penyerahan PSU.

b. Rujukan pelaksanaan teknik pengadaanlahan belum ada.

c. Rujukan pelaksanaan teknik penyerahan

PSU, belum ada.d. Anggaran untuk penyediaan RTH publik kurang besar dan tidak ada sumber pendanaan lain.

e. Aset lahan Pemerintah Kota Bandung masih banyak belum disertipikasi. Data aset lahan Pemerintah Kota Bandung belum optimal.

f. Data dan akurasi RTH publik belum optimal.

g. Data penyerahan PSU belum optimal.h. Kurangnya SDM baik secara kualitas maupun kuantitas dan kurangnya fasilitas operasional kegiatan penyediaan RTH publik.

i. Adanya kelemahan koordinasi dalam

pengadaan lahan untuk RTH publik.

Penyusunan StrategiBerdasarkan Faktor internal dan eksternal yang sudah teridentifikasi maka dapat disusun strategi penyediaaan lahan untuk RTH publik di Kota Bandung dengan menggunakan Matriks SWOT sebagai berikut:

Tabel 1. Matriks SWOT strategi pengadaan lahan untuk RTH publik

Internal

EksternalKekuatan (S):

S1. RTH diamanatkan dalam rencana tata ruang Kota Bandung

S2. Pemerintah Kota Bandung dapat memanfaatkan aset daerah dan PSU

S3. Pembagian tugas pokok dan fungsi terkait RTH publik telah dikoordinasi oleh Bappeda.Kelemahan (W):

W1. pengadaan lahan untuk RTH publik hanya mengandalkan pembebasan lahan dan penyerahan PSUW2. Rujukan pelaksanaan teknik

pengadaan lahan belum ada.W3. Rujukan pelaksanaan teknik

penyerahan PSU belum ada.W4. Anggaran kurang besar dan tidak ada sumber pendanaan lain.

W5. Aset lahan Pemerintah Kota Bandung masih banyak belum disertipikasi serta data aset lahan belum optimal.

W6. Data penyerahan PSU belum

optimal.

W7. Kurangnya sumber daya manusia baik secara kualitas maupun kuantitas dan kurangnya fasilitas operasional kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan RTH publik.

W8. Koordinasi antar SKPD masih

lemah.

Peluang (O):

O1. Peraturan perundangan-undangan sudah memayungi kegiatan pengadaan lahan untuk RTH publik

O2. Peraturan perundang-undangan membuka peluang untuk memanfaatkan lahan milik daerah dan PSUO3. Ada bantuan dana dan berbagai

kebijakan program pembangunan oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi

O4. Potensi kerjasama dengan BUMN dan BUMD dalam pengelolaan lahan milik BUMN dan BUMD.Strategi S-O:

S1O1:

Mengoptimalkan pengadaan lahan untuk RTH publik dengan menggunakan teknik pengadaan lahan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. S2O2:

mengoptimalkan inventarisasi aset

lahan daerah dan PSU dan sertipikasi aset lahan milik daerah.

S1O3:

Mengoptimalkan kerjasama dengan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi

S1O4:

Mengoptimalkan kerjasama denganBUMN dan BUMDStrategi W-O:

W1W2W4O1:

Mengkaji teknis pengadaan lahan yang bisa dilaksanakan selain pembebasan lahan dan penyerahan PSU.

W3O2:

Membuat rujukan teknis penyerahan

PSU. W5W6W7O2:

mengoptimalkan inventarisasi aset lahan dan PSU dan sertipikasi aset lahan milik daerah.

W8O1O2:

Meningkatkan kualitas dan kuantitasSDM dan fasilitas pendukung. W9O1:

Mengoptimalkan koordinasi dan kelembagaan terkait penyediaan RTH publik.

Ancaman (T):

T1. Bentuk bantuan CSR tidak diatur

sehingga memungkinkan pihak swasta menolak menyediakan lahan untuk RTH publik.

T2. Konsep bank lahan belum berkembang.T3. Sulit mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Pusat dan Provinsi terkait lahan yang dimohonkan untuk tukar-menukar dan birokrasi yang sulit dalam kerjasama dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi.

T4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Provinsi hanya menyediakan dana untuk pengelolaan dan infrastruktur.

T5. Sulit mencapai kata sepakat dengan BUMN dan BUMD.

T6. Pengamanan aset masih lemah.Strategi S-T: S1T1:

Mengoptimalkan kerjasama dengan pihak swasta dan membuat petunjuk teknis pelaksanaan CSR.

S2T3:

mengoptimalkan inventarisasi aset lahan daerah dan PSU dan sertipikasi aset lahan milik daerah.

S1T5:

Mengoptimalkan kerjasama denganBUMN dan BUMD.

S3T6:

Meningkat fungsi kelembagaan dan

koordinasi untuk mengoptimalkan pengamanan aset lahan.Strategi W-T: W3T5:

Membuat petunjuk pelaksanaan penyerahan PSU.

W5W6W7T5:

mengoptimalkan inventarisasi aset

lahan dan PSU dan sertipikasi aset lahan milik daerah.

Berdasarkan analisis SWOT, maka dapat disusun strategi pengadaan lahan untuk RTH publik di Kota Bandung dengan menggunakan Strategi Fungsional Manajemen, mencakup fungsi-fungsi manajemen. Strategi disusun berdasarkan hal yang dapat dilakukan pada waktu dekat oleh Pemerintah Kota Bandung.

KesimpulanBerdasarkan hasil studi yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kekuatan pemerintah Kota Bandung adalah RTH menjadi amanat RTRW Kota Bandung, Pemerintah Kota dapat memanfaatkan aset daerah dan PSU dari pengembang perumahan dan permukiman, dan Penyediaan RTH publik dikoordinasi oleh Bappeda.

2. Kelemahan Kota Bandung adalah adanya peraturan mengenai penyerahan PSU dan sanksi, kurangnya anggaran, belum lengkapnya data aset lahan daerah termasuk PSU, masih banyak aset lahan daerah yang belum disertipikasi, dan kurangnya kerjasama dengan stakeholder terkait, serta masih terbatasnya kegiatan pengadaan lahan melaui pembebasan lahan untuk RTH publik.

3. Peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Bandung diantaranya adalah peraturan yang jelas terkait dengan pengadaan lahan dan RTH publik, adanya bantuan dana pengelolaan RTH publik dari Pemerintah Pusat dan Provinsi, Adanya program-program Pemerintah yang berpotensi untuk RTH publik, serta adanya

peraturan tentang pengelolaan aset lahan dan penyerahan PSU. Ancaman yang harus dihadapi oleh Pemerintah Kota Bandung yaitu, peraturan CSR tidak mewajibkan pihak swasta untuk menyediakan lahan, birokrasi yang sulit dalam bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dan Provinsi, dan Bantuan dan untuk RTH publik hanya sebatas pengelolaan dan infrastruktur.

4. Strategi Pengadaan Lahan untuk RTH

publik di Kota Bandung sebagai berikut:

a. Perencanaan: inventarisasi aset lahan Pemerintah Kota Bandung melalui survey, pendataan, dan pembuatan basis data, penegakan pengawasan dan sanksi yang dimulai dari pembuatan izin, serta pertimbangan untuk membuat pedoman penyerahan PSU yang lebih detail berupa perda, perwal, atau petunjuk teknis penyerahan PSU dan penegakan sanksi.

b. Koordinasi: peningkatan frekuensi pertemuan dengan stakeholder terkait hingga mencapai kesepakatan dalam bentuk nota kesepakatan. Selain itu perlu di buat SOP yang jelas agar tidak terjadi permasalahan dalam birokrasi.

c. Pengambilan keputusan: penggunaan konsep pengadaan lahan dan pertimbangan pembuatan perda CSR terkait kesediaan swasta untuk menyumbangkan lahan untuk RTH publik.

d. Pengorganisasian: peningkatan koordinasi dalam kendali badan koordinasi yang konsekuen. Bila tidak tercapai koordinasi yang baik maka perlu dipertimbangkan kelembagaan yang tepat dalam pengadaan lahan untuk RTH publik di Kota Bandung. Selain itu perlu peningkatan SDM secara kuantitas dengan cara penambahan pegawai khusus pelaksana lapangan dan secara kualitas dengan cara melakukan pelatihan-pelatihan atau disekolahkan.

Berdasarkan kesimpulan di atas maka rekomendasi strategi pengadaan lahan untuk RTH publik adalah sebagai berikut:

1. menginventarisasi aset lahan milik daerah termasuk PSU dengan melakukan survey dan pendataan baik nominal ataupun spasial yang kemudian dihimpun dlam suatu basis data.

2. menjajaki konsep dan teknik pengadaan lahan untuk RTH publik.

3. membuat pedoman yang lebih detailtentang Penyerahan PSU yang memuat tata laksana dan sanksi yang dapat berupa perda, perwal atau petunjuk teknis.

4. membenahi koordinasi antar SKPD dalampengadaan lahan untuk RTH publik.

5. membenahi kualitas dan kuantitas SDM serta prasarana dan sarana pendukung kegiatan inventarisasi aset milik daerah dan pengadaan lahan untuk RTH publik.

6. meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah pusat dan provinsi terkait pengadaan lahan, program pemerintah yang berpotensi menyediakan RTH publik dan bantuan anggaran pengelolaan RTH publik.

7. meningkatkan koordinasi dan kerjasamadengan BUMN dan BUMD.

8. meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan swasta dengan swasta.

Ucapan TerimakasihUcapan terimakasih disampaikan kepada Dr. Petrus Natalivan Indrajati selaku pembimbing atas bimbingan dan arahan selama penelitian.

Daftar PustakaChapin Jr, S & Kaiser, E.J. 1979. Urban Land

Use Planning. University of Illinois Press. David FR. 2003. Manajemen Strategis

Konsep-konsep. Edisi ke-9. Terjemahan. Prentice Hall

Glueck, W.F., dan Jauch, L. R., (1989), Manajemen Strategis dan Kebijakan Perusahaan. Jakarta: Erlangga.

Hakim, R. dan H. Utomo, 2008, Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap, Prinsip- Unsur dan Aplikasi Desain. Jakarta: PT. Bumi

Aksara,Kitay, Michael G. 1985. Land Acquisition in Developing Countries Policies and Procedures of the Public Sector. Boston: Oelgeschlager, Gunn & Hain.

Kivell, P. 1993. Land and the City Patterns and Processes of Urban Change. New York: Routledge.

Kurtz, David L. 2008, Principles ofContemporary Marketing, International Student Edition. Oklahoma: Thomas Higher Education.

Koentjaraningrat. 2007. Manusia danKebudayaan di Indonesia. Penerbit

Djambatan.

Mintzberg, H. 1994. The Rise and Fall of Strategic Planning. New York: The Free Press.

Porter, M.E. (1996). What is strategy, Harvard

Business Review, Nov-Dec, 61-78.Purnomo Hadi, 2006, Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota, Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum.

Salusu, (1996), Pengambilan KeputusanStratejik. Jakarta: Gramedia Press.

Shieh, C.R.Peter , A Study on the Urban Land Consolidation, Landreform Training Inst, Taoyuan, Taiwan, 1980.

Shirvani, Hamid. 1985. The Urban Design Process. New York : Van Nostrand Reinhold Company, Inc

Sitorus Oloan, 1996, Konsolidasi TanahPerkotaan (suatu tinjauan hukum), Mitra

Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta. Soetrisno, L. 1995, Menuju Masyarakat

Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.Yunus, H. S, 2010, Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peraturano Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

o Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakafo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

o Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

o Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga

o Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan umum.

o Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2008 tentang Pengelolaan Barang Milik

Daerah.

o Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung jawab Lingkungan dan Sosial Perseroan Terbatas.

o Peraturan Presiden 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

o Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1

Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.

o Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17

Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

5/PRT/M tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan.

o Peraturan Menteri Negara PerumahanRakyat Nomor 11/PERMEN/M/2008 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman.

o Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana, Dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah.

o Peraturan Kepala Badan Pertanahan NasionalNomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi

Tanaho Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2009-2013.o Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Tanah dan Bangunan Milik Daerah.

o Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011-2031.

No.Strategi Fungsional ManajemenStrategi

1

Perencanaana. Memperbaiki kualitas dan melengkapi inventarisasi dan

sertipikasi aset milik daerah menggunakan SDM yang dimiliki atau dapat menggunakan tenaga ahli

melaui survey dan dilanjutkan dengan pembuatan basis data.

b. Menyusun pedoman

penyerahan PSU yang lebih detail, bisa dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Walikota, atau petunjuk teknis pelaksanaan.

c. Meningkatkan pengawasan dan penegakan sanksi terhadap pembangunan RTH

publik. Pengawasan dan pengendalian dilakukan secara dini mulai dari saat pemberian izin sampai

selesainya pembangunan perumahan permukiman

2.

Koordinasia. Menetapkan SOP dalam setiap kegiatan kerjasama antara pemerintah Pusat dan Provinsi dengan Pemerintah Kota Bandung untuk menghindari permasalahan birokrasi.

b. Meningkatkan frekuensi pertemuan dengan BUMN dan BUMD terkait dengan pemanfaatan lahan BUMN dan BUMD dan membuat perjanjian kerjasama atau nota kesepakatan pemanfaatan lahan untuk RTH publik.

c. Mengarahkan swasta dalam pelaksanaan CSR menyumbangkan lahan

untuk RTH dengan tawaran yang menguntungkan kedua belah pihak.

3.

Pengambilan

Keputusana. Mengkaji konsep pengadaan lahan untuk RTH publik yang disesuaikan dengan RTRWKota Bandung.

b. Memasukkan pilihan konsep pengadaan lahan untuk RTH publik dalam RPJM.

c. Mempertimbangkan

membuat peraturan yang

berkaitan dengan CSR yang memungkinkan adanya sumbangan lahan dari swasta.

4.

Pengorganisa sian Kelembagaana. Meningkatkan koordinasi antar SKPD. Pelaksanaan

pengadaan lahan untuk RTH

harus dilakukan dalam suatu badan koordinasi konsekuen.

b. Bila Koordinasi tidak bisa dilakukan secara optimal, maka perlu dipertimbangkan untuk mengkaji bentuk

kelembagaan yang tepat dalam menyediakan RTH publik.

c. Peningkatan SDM secara

kuantitas dengan penambahan pegawai khusus pelaksana lapangan dan secara kualitas dengan cara melakukan pelatihan- pelatihan atau disekolahkan.