ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI …
Transcript of ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI …
ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU
SEBAGAI MITIGASI PULAU PANAS PERKOTAAN
DI KOTA PALU
DIRECTION OF GREEN OPEN SPACE DEVELOPMENT
AS MITIGATION FOR URBAN HEAT ISLAND
IN PALU CITY
CECEP ARDIAN KHAERUDDIN
HALAMAN JUDUL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU
SEBAGAI MITIGASI PULAU PANAS PERKOTAAN
DI KOTA PALU
HALAMAN PENGAJUAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi / Konsentrasi
Perencanaan Pengembangan Wilayah / Manajemen Perencanaan
Disusun dan diajukan oleh
CECEP ARDIAN KHAERUDDIN
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
HALAMAN PERSETUJUAN
TESIS
ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU
SEBAGAI MITIGASI PULAU PANAS PERKOTAAN
DI KOTA PALU
Disusun dan diajukan oleh
CECEP ARDIAN KHAERUDDIN
Nomor Pokok P0204215311
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 04 Agustus 2017 sehingga dinyatakan lulus
dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Megister Sains
Menyetujui
Komisi Penasihat,
Prof. Ir. Sumbangan Baja, M.Phil., Ph.D
Dr. Ir. Roland A. Barkey
Ketua Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir, M.Eng Prof. Dr. Muhammad Ali, S.E., M.S
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Cecep Ardian Khaeruddin
Nomor Mahasiswa : P0204215311
Program Studi : Perencanaan Pengembangan Wilayah
Konsentrasi : Manajemen Perencanaan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar - benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 04 Agustus 2017 Yang menyatakan,
Cecep Ardian Khaeruddin
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga tesis ini
dapat diselesaikan. Topik yang dipilih mengenai Ruang Terbuka Hijau
dengan judul Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Sebagai
Mitigasi Pulau Panas Perkotaan Di Kota Palu, merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan
Pengembangan Wilayah, Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Dalam penyusunan Karya Ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan tulus
menyampaikan terima kasih kepada Prof. Ir. Sumbangan Baja, M.Phil.,
Ph.D dan Dr. lr. Roland A. Barkey, selaku ketua dan anggota komisi
penasihat atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai
dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. Selain itu penulis sampaikan
terima kasih kepada Dr. Ir. Daniel Useng, M.Eng.Sc, Dr. M. Abduh Ibnu
Hajar, S.Pi., MP dan Dr. A. Nixia Tenriawaru, SP., M.Si. selaku penguji luar
komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan
tesis ini, Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas
kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis serta ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuaku, istri tercinta, anak-
anakku, serta seluruh keluarga atas do’a, dukungan dan pengorbanan
selama penulis melaksanakan studi.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan
pada tesis ini, namun tidak mengurangi harapan penulis agar karya ilmiah
ini tetap bermanfaat bagi berbagai pihak. Akhir kata penulis mengucapkan
Alhamduliillahi robbil ‘alamin.
Makassar, Agustus 2017
Cecep Ardian Khaeruddin
ABSTRAK
CECEP ARDIAN KHAERUDDIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka
Hijau Sebagai Mitigasi Pulau Panas Perkotaan Di Kota Palu (dibimbing oleh
Sumbangan Baja dan Roland A. Barkey)
Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis perubahan suhu
permukaan di Kota Palu pada tahun 2001 dan 2015, 2) menganalisis
hubungan antara kelas penutupan lahan dan indeks vegetasi dengan suhu
permukaan, dan 3) menganalisis hubungan antara RTH dan suhu
permukaan berdasarkan sebaran RTH di Kota Palu, 4) memberikan arahan
pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Palu.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kuantitatif. Data diolah
dan dianalisis melalui interpretasi citra, analisis korelasi dan analisis
overlay.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata suhu permukaan
antara tahun 2001 dan tahun 2015 meningkat sebesar 2,79°C. Terdapat
korelasi antara nilai indeks vegetasi dengan nilai suhu permukaan yang
signifikan, berlawanan arah, dan sangat kuat pada tahun 2001 maupun
2015. Persamaan regresi pada tahun 2015 yaitu Y = 36,27 – 0,12X dapat
digunakan sebagai acuan bagi pengelolaan wilayah perkotaan dalam
pengembangan RTH di Kota Palu. Potensi lokasi arahan pengembangan
RTH pada alternatif pertama maupun kedua akan menurunkan suhu
permukaan di Kota Palu masing-masing menjadi 33,99 oC dan 31,58 oC.
Kata Kunci : RTH, suhu permukaan, analisis korelasi
ABSTRACT
CECEP ARDIAN KHAERUDDIN. Direction Of Green Open Space
Development As Mitigation For Urban Heat Island In Palu City (supervised
by Sumbangan Baja dan Roland A. Barkey)
This research aimed 1) to analyze the surface temperature change
in Palu City between 2001 and 2015, 2) to analyze the correlation between
the land cover and the vegetation index and the surface temperature, 3) to
analyze the correlation between GOS and the surface temperature based
on GOS distribution in Palu city, and 4) to provide the direction of
development of GOS in Palu City.
The method used in this research was descriptive quantitative. The
data were processed and analyzed using the image interpretation,
correlation analysis and overlay analysis.
The research results indicated that the mean surface temperature
between 2001 and 2015 had increased by 2,79°C. There was a significant
correlation between the value of vegetation index and the value of surface
temperature, opposite direction, and very strong in 2001 and 2015. The
regression equation in 2015 was Y = 36,27 – 0,12X which could be used as
the reference for the management of urban areas in GOS development in
Palu City. The potential location of direction of GOS development on the
first and second alternatives would reduce the surface temperature in Palu
City to 33.99oC and 31.58oC respectively.
Keywords: GOS, surface temperature, correlation analysis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGAJUAN.........................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .......................................................... iv
PRAKATA............................................................................................... v
ABSTRAK............................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 4
E. Batasan Penelitian ...................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 6
A. Pulau Panas Perkotaan ................................................................. 6
B. Ruang Terbuka Hijau .................................................................... 8
C. Peran Vegetasi ............................................................................ 10
D. Deteksi Pulau Panas Perkotaan dengan Penginderaan Jauh ..... 12
E. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perekaman Suhu Pada Sensor Satelit .............................................................................. 15
F. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) ......................... 18
G. Pengertian Lahan, Penutupan lahan dan Penggunaan Lahan . 19
ix
H. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya ...................................................................... 22
I. Pengujian Hasil Klasifikasi Citra ................................................ 23
J. Kerangka Pikir Penelitian ............................................................ 25
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 27
A. Rancangan Penelitian ................................................................. 27
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 30
C. Bahan dan Alat ............................................................................ 31
D. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 31
E. Pengumpulan Data ...................................................................... 32
1. Pengumpulan Data Primer .................................................... 32
2. Pengumpulan Data Sekunder ............................................... 32
F. Analisis Data ............................................................................... 33
1. Pra Pengolahan Citra ............................................................ 33
2. Estimasi Suhu Permukaan .................................................... 35
3. Klasifikasi Penutupan Lahan ................................................. 37
4. Indeks Vegetasi .................................................................... 40
5. Analisis Korelasi .................................................................... 41
6. Arahan Pengembangan RTH Di Kota Palu ........................... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 45
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................ 45
1. Administrasi dan Letak Geografis Kawasan ......................... 45
2. Kondisi Klimatologi ................................................................ 46
3. Kondisi Fisiografi ................................................................... 50
4. Kependudukan ...................................................................... 52
5. Perekonomian ....................................................................... 54
6. Rencana Tata Ruang Wilayah .............................................. 55
B. Analisis Suhu Permukaan Di Kota Palu ...................................... 57
1. Distribusi Suhu Permukaan Tahun 2001 .............................. 58
x
2. Distribusi Suhu Permukaan Tahun 2015 .............................. 60
3. Perubahan Distribusi Suhu Permukaan Tahun 2001 dan Tahun 2015 ........................................................................... 62
4. Wilayah Dengan Urban Heat Island (UHI) / Pulau Panas Perkotaan ............................................................................. 65
C. Hubungan Penutupan Lahan dan Indeks Vegetasi dengan Distribusi Suhu Permukaan ......................................................... 69
1. Analisis Penutupan Lahan .................................................... 69
2. Analisis Indeks Vegetasi ....................................................... 78
3. Hubungan Penutupan Lahan dan Suhu Permukaan ............. 87
4. Hubungan Indeks Vegetasi dan Suhu Permukaan ............... 90
5. Hubungan Penutupan Lahan dan Indeks Vegetasi ............... 91
D. Hubungan RTH dan Suhu Permukaan ........................................ 91
1. Identifikasi Ruang Terbuka Hijau di Kota Palu ...................... 91
2. Analisis Korelasi Antara Ruang Terbuka Hijau Dan Suhu Permukaan............................................................................ 94
E. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau ............................ 97
1. Area Rekomendasi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau ...................................................................................... 98
2. Zonasi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau ...................... 99
3. Wilayah Prioritas dalam Zona Pengembangan Ruang Terbuka Hijau...................................................................... 101
4. Potensi Lokasi, Jenis dan Bentuk Ruang Terbuka Hijau .... 103
5. Implementasi Kebijakan Pengembangan RTH di Kota Palu ..................................................................................... 112
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 118
A. Kesimpulan ............................................................................... 118
B. Saran ......................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 120
LAMPIRAN ......................................................................................... 125
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di tengah gambar seperti sebuah pulau panas. ........ 7
Gambar 2. Tipologi Ruang Terbuka Hijau .................................................. 8
Gambar 3. Faktor Yang Mengontrol Suhu Terekam Pada Sensor Satelit .................................................................................... 16
Gambar 4. Kerangka Pikir Penelitian ....................................................... 26
Gambar 5. Peta Daerah Penelitian .......................................................... 30
Gambar 6. Bagan Alir Kegiatan Penelitian ............................................... 44
Gambar 7. Peta Administrasi Kota Palu ................................................... 46
Gambar 8. Rata-rata curah hujan bulanan di Kota Palu antara tahun 2001–2015 ............................................................................ 47
Gambar 9. Suhu Maksimum, Rata-rata, dan Minimum Tahunan Kota Palu Kurun Waktu 2001-2015 ............................................... 48
Gambar 10. Kelas Topografi (a) dan Lereng (b) di Kota Palu .................. 51
Gambar 11. Laju Pertumbuhan Ekonomi Palu, 2011-2015 (%) ............... 55
Gambar 12. Peta Distribusi Suhu Permukaan Tahun 2001 ..................... 59
Gambar 13. Peta Distribusi Suhu Permukaan Tahun 2015 ..................... 61
Gambar 14. Perubahan Distribusi Suhu Permukaan Kota Palu Antara Tahun 2001 dan 2015 ........................................................... 63
Gambar 15. Peta Perubahan Suhu Permukaan Antara Tahun 2001 dan 2015 ............................................................................... 64
Gambar 16. Wilayah Yang Terdampak UHI (a) 2001 dan (b) 2015 ......... 67
Gambar 17. Grafik Penutupan Lahan Tahun 2001 .................................. 71
Gambar 18. Grafik Penutupan Lahan Tahun 2015 .................................. 72
Gambar 19. Peta Penutupan Lahan (a) tahun 2001 dan (b) tahun 2015 ...................................................................................... 73
Gambar 20. Luas Penutupan Lahan Kota Palu Pada Tahun 2001 dan 2015 ...................................................................................... 74
Gambar 21. Dinamika Perubahan Penutupan Lahan Kota Palu
xii
Antara Tahun 2001 dan Tahun 2015 .................................... 74
Gambar 22. Tren Perubahan Penutupan Lahan Menjadi Lahan Terbangun Antara Tahun 2001 dan Tahun 2015 .................. 76
Gambar 23. Kontribusi Perubahan Lahan Pada Setiap Penutupan Lahan Antara Tahun 2001 da Tahun 2015 ........................... 77
Gambar 24. Peta Indeks Vegetasi tahun 2001 ........................................ 80
Gambar 25. Peta Indeks Vegetasi tahun 2015 ........................................ 82
Gambar 26. Luas Indeks Vegetasi Kota Palu Pada Tahun 2001 dan 2015 ...................................................................................... 83
Gambar 27. Dinamika Perubahan Indeks Vegetasi Kota Palu Tahun Antara Tahun 2001 dan 2015 ............................................... 83
Gambar 28. Lokasi Perubahan Kelas Indeks Vegetasi 0,0-0,5 ................ 84
Gambar 29. Kontribusi Perubahan Indeks Vegetasi Pada Setiap Kelas Indeks Vegetasi Antara Tahun 2001 dan 2015 ........... 86
Gambar 30. Suhu Permukaan Pada Tiap Penutupan Lahan ................. 87
Gambar 31. Peta Penutupan Lahan Tahun 2015 dengan Profil Garis Transek ................................................................................. 88
Gambar 32. Profil Garis Transek pada Penutupan Lahan Tahun 2015 .............................................................................................. 89
Gambar 33. Persamaan Linier Indeks Vegetasi dan Suhu Permukaan Tahun (a) 2001 dan tahun (b) 2015 ................... 91
Gambar 34. Persamaan Linier RTH dan Suhu Permukaan Tahun 2001 Berdasarkan Grid 500x500m ....................................... 96
Gambar 35. Persamaan Linier RTH dan Suhu Permukaan Tahun 2015 Berdasarkan Grid 500x500m ....................................... 96
Gambar 36. Zonasi Pengembangan RTH .............................................. 101
Gambar 37. Peta Arahan Pengembangan RTH di Kecamatan (a) Tawaeli dan (b) Palu Utara ................................................. 108
Gambar 38. Peta Arahan Pengembangan RTH di Kecamatan (a) Ulujadi dan (b) Tatanga ...................................................... 109
Gambar 39. Peta Arahan Pengembangan RTH di Kecamatan (a) Palu Barat dan (b) Palu Timur............................................. 110
Gambar 40. Peta Arahan Pengembangan RTH di Kecamatan (a) Mantikulore dan (b) Palu Selatan ........................................ 111
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik Citra Landsat 7 dan Citra Landsat 8 ...................... 14
Tabel 2. Emisivitas Dari Permukaan Benda Yang Berbeda Pada Panjang Gelombang 8 – 14 μm ................................................ 17
Tabel 3. Skema Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut Anderson ........... 21
Tabel 4. Matrik Kesalahan Klasifikasi ...................................................... 24
Tabel 5. Matriks Hubungan Antara Tujuan, Variabel, Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran .......................................... 28
Tabel 6. Kombinasi Band Pada Citra Landsat ......................................... 34
Tabel 7. Algoritma Berdasarkan Data NDVI ............................................ 36
Tabel 8. Rata-rata Suhu Udara, Kelembapan, Penyinaran Matahari, Jumlah dan Curah Hujan Bulanan di Kota Palu, 2015. ............. 49
Tabel 9. Kelas Lereng di Kota Palu .......................................................... 50
Tabel 10. Jumlah, Sebaran, dan Kepadatan Penduduk Tahun 2001....... 53
Tabel 11. Jumlah, Sebaran, dan Kepadatan Penduduk Tahun 2015....... 53
Tabel 12. Distribusi Suhu Permukaan Tahun 2001 .................................. 58
Tabel 13. Statistik Nilai Suhu Permukaan tahun 2001 ............................. 59
Tabel 14. Distribusi Suhu Permukaan Tahun 2015 .................................. 60
Tabel 15. Statistik Nilai Suhu Permukaan tahun 2015 ............................. 61
Tabel 16. Statistik Nilai Ekstraksi Suhu Permukaan Tahun 2001 dan Tahun 2015 ............................................................................... 62
Tabel 17. Perubahan Suhu Permukaan Tahun 2001 dan 2015 ............... 63
Tabel 18. Statistik Nilai Perubahan Suhu Permukaan Antara Tahun 2001 dan tahun 2015 (oC) ......................................................... 65
Tabel 19. Luas Area Dengan Suhu ≥ 31˚C per Kecamatan Di Kota Palu Tahun 2001 dan 2015 ....................................................... 67
Tabel 20. Intensitas UHI Berdasarkan Perhitungan Suhu Permukaan (LST) di Kota Palu ..................................................................... 69
Tabel 21. Deskripsi masing-masing kelas tutupan lahan ......................... 70
xiv
Tabel 22. Penutupan Lahan Tahun 2001 ................................................. 71
Tabel 23. Penutupan Lahan Tahun 2015 ................................................. 72
Tabel 24. Matriks Transisi Perubahan Penutupan Lahan Antara Tahun 2001 dan 2015 .......................................................................... 78
Tabel 25. Distribusi Kelas Indeks Vegetasi Tahun 2001 .......................... 80
Tabel 26. Statistik Nilai Indeks Vegetasi Tahun 2001 .............................. 81
Tabel 27. Distribusi Kelas Indeks Vegetasi Tahun 2015 .......................... 81
Tabel 28. Statistik Nilai Indeks Vegetasi Tahun 2015 .............................. 82
Tabel 29. Suhu Masing-Masing Penutupan Lahan .................................. 87
Tabel 30. Luas RTH di Kota Palu Berdasarkan Data RTRWK ................. 92
Tabel 31. Luas RTH di Kota Palu Berdasarkan Penafsiran Citra Satelit .. 93
Tabel 32. Persamaan Linear RTH dan Suhu Permukaan di Kota Palu .... 95
Tabel 33. Area Rekomendasi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau...... 99
Tabel 34. Penentuan Wilayah Prioritas .................................................. 102
Tabel 35. Luas Area Pengembangan RTH ............................................ 105
Tabel 36. Suhu Maksimum Kota Palu Setelah Pengembangan RTH .... 106
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Monogram Kelas Penutupan Lahan ................................... 125
Lampiran 2. Uji akurasi Penutupan Lahan 2001 ................................... 128
Lampiran 3. Uji akurasi Penutupan Lahan 2015 .................................... 129
Lampiran 4. Hubungan Penutupan lahan dengan Suhu Permukaan Tahun 2001 ....................................................................... 130
Lampiran 5. Hubungan Penutupan lahan dengan Suhu Permukaan Tahun 2015 ....................................................................... 131
Lampiran 6. Hubungan Penutupan Lahan dengan Indeks Vegetasi Tahun 2001 ....................................................................... 132
Lampiran 7. Hubungan Penutupan Lahan dengan Indeks Vegetasi Tahun 2015 ....................................................................... 133
Lampiran 8. Hubungan Indeks Vegetasi dengan Suhu Permukaan Tahun 2001 ....................................................................... 134
Lampiran 9. Hubungan Indeks Vegetasi dengan Suhu Permukaan Tahun 2015 ....................................................................... 134
Lampiran 10. Hubungan RTH dengan Suhu Permukaan Tahun 2001 ... 135
Lampiran 11. Hubungan RTH dengan Suhu Permukaan Tahun 2015 ... 136
Lampiran 12. Nilai Indeks Vegetasi dan Suhu Permukaan Pada RTH terdampak UHI ......................................................... 138
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Palu merupakan salah satu daerah di Indonesia yang sedang
berkembang. Data BPS tahun 2016 mencatat Jumlah penduduk di Kota
Palu pada tahun 2010 sebanyak 338 ribu jiwa dan kemudian naik menjadi
368 ribu jiwa pada tahun 2015 dengan laju pertumbuhan penduduk per
tahun sebesar 1,72 % per tahun. Seiring berkembangnya pertumbuhan
penduduk maka akan memicu aktifitas perekonomian perkotaan.
Pertumbuhan ekonomi di Kota Palu dalam kurun waktu empat tahun
terakhir memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi pertahun sebesar 8,63%.
Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan
wilayah perkotaan akan berdampak kepada peningkatan kebutuhan lahan.
Namun, karena persediaan lahan yang terbatas maka akan terjadi alih
fungsi lahan. Proses expansi lahan terbangun yang terjadi sering
mengorbankan lahan-lahan yang memiliki fungsi ekologis (jasa-jasa
lingkungan) yang berakibat kepada permasalahan lingkungan (Joga &
ismaun, 2011). Dalam hal ini permasalahan yang kerap terjadi yaitu
menurunnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau (RTH) yang
berakibat pada terjadinya fenomena pulau panas perkotaan atau lebih
dikenal sebagai urban heat island (UHI) yang merupakan suatu fenomena
lebih tingginya suhu di daerah kota dibandingkan suhu pada daerah
2
sekitarnya yang diakibatkan oleh aktivitas manusia (US EPA, 2012).
Peningkatan suhu tersebut akan memicu menurunnya kualitas lingkungan
terutama air dan udara yang akan berdampak terhadap kesehatan manusia
(Liu & Zhang, 2011).
Kota Palu merupakan kota yang berada pada daerah lembah dan
Teluk Palu dengan bentang ruang yang di kelilingi pegunungan di sebelah
Barat dan Timur, serta di sisi Utara yang merupakan daerah teluk. Secara
geografis kota ini dekat dengan garis khatulistiwa. Keadaan ini
menyebabkan Kota Palu sebagai daerah bayang bayang hujan dan
memiliki curah hujan yang rendah. Data BPS mencatat Kota Palu memiliki
karakteristik iklim yang spesifik, dikarenakan Kota Palu tidak dapat
digolongkan sebagai daerah musim atau disebut sebagai Non Zona Musim.
Pada tahun 2015, suhu udara maksimum yang tercatat pada Stasiun Udara
Mutiara Palu adalah 36,5°C terjadi pada bulan Oktober 2015, sedangkan
suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 23,0°C. Rata-rata
suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Desember yaitu
sebesar 29°C.
Berdasarkan kondisi fisik maupun geografisnya, Kota Palu
mengalami fenomena UHI seperti kota-kota besar lainnya. Penelitian yang
dilakukan oleh Ahmad (2012) melalui pengukuran in situ menunjukkan
bahwa telah terjadi alih fungsi lahan dari lahan RTH menjadi lahan
terbangun yang berdampak terhadap suhu udara yang meningkat di pusat
permukiman Kota Palu. Nilai suhu maksimum di wilayah ini sebesar 35,7°C.
3
Sedangkan wilayah sekitarnya yang masih didominasi oleh lahan
bervegetasi memiliki suhu udara maksimum sebesar 33,2°C.
Keberadaan vegetasi dalam hal ini RTH dinilai sangat penting dalam
mengatasi masalah lingkungan. Sebagaimana dalam Permen PU No 5
tahun 2008, bahwa fungsi ekologis maupun tambahan RTH diantaranya
sebagai pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara
alami dapat berlangsung lancar serta dapat meningkatkan kenyamanan,
memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro maupun makro.
Berdasarkan uraian di atas, semua informasi mengenai keberadaan
vegetasi, perubahan tutupan lahan maupun fenomena UHI melalui
pengukuran suhu permukaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi penginderaan jauh. Penggunaan teknologi ini cukup tepat untuk
mendapatkan data mengenai permukaan bumi yang kompleks dengan
cakupan wilayah yang luas sebagai alternatif dari pengukuran in situ.
Keuntungan lainnya yaitu tersedianya data multi temporal yang
memungkinkan untuk mengetahui informasi pada kondisi dan waktu yang
berbeda beda. Informasi tersebut penting dianalisis untuk digunakan
sebagai dasar dalam arahan pengembangan RTH di Kota Palu.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang penelitian tersebut, penelitian ini difokuskan
untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan suhu permukaan di Kota Palu pada tahun
2001 dan 2015?
4
2. Bagaimana hubungan kelas penutupan lahan dan indeks vegetasi
dengan suhu permukaan?
3. Bagaimana hubungan RTH dan suhu permukaan berdasarkan
sebaran RTH di Kota Palu?
4. Bagaimana seharusnya arahan pengembangan ruang terbuka
hijau di Kota Palu?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sehubungan
dengan rumusan masalah penelitian adalah:
1. Menganalisis perubahan suhu permukaan di Kota Palu pada tahun
2001 dan 2015.
2. Menganalisis hubungan antara kelas penutupan lahan dan indeks
vegetasi dengan suhu permukaan.
3. Menganalisis hubungan antara RTH dan suhu permukaan
berdasarkan sebaran RTH di Kota Palu.
4. Memberikan arahan pengembangan ruang terbuka hijau di Kota
Palu.
D. Manfaat Penelitian
1. Menjadi bahan rujukan dan referensi bagi Pemerintah Provinsi Kota
Palu dalam melakukan perencanaan pengembangan ruang terbuka
hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan.
2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain tentang arahan
pengembangan ruang terbuka hijau.
5
E. Batasan Penelitian
Ruang lingkup wilayah penelitian adalah Kota Palu Provinsi Sulawesi
Tengah, dengan fokus penelitian terkait arahan RTH berdasarkan
perubahan penutupan lahan dan distribusi suhu permukaan. Faktor yang
berpengaruh terhadap suhu seperti elevasi, jarak dengan tubuh air dan
pengaruh angin tidak diperhitungkan. Penelitian ini menggunakan data time
series citra landsat Kota Palu pada tahun 2001 dan tahun 2015. Citra
landsat pada tahun yang sama terdiri dari dua path/row berbeda yang
diasumsikan merupakan satu waktu pengambilan data.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pulau Panas Perkotaan
Pulau panas perkotaan atau biasa disebut Urban Heat Island (UHI)
adalah suatu fenomena lebih tingginya suhu di daerah kota (urban)
dibandingkan suhu pada daerah sekitarnya yang diakibatkan oleh aktivitas
manusia (US EPA, 2012). Fenomena UHI secara umum tidak hanya
mengacu pada suhu udara, tetapi juga bisa mengacu pada suhu
permukaan. UHI mempunyai implikasi penting bagi kenyamanan manusia,
polusi udara, manajemen energi, dan perencanaan kota. UHI di kota yang
beriklim panas sangat tidak menguntungkan karena akan menyebabkan
kebutuhan energi yang tinggi yang digunakan untuk mendinginkan suhu,
meningkatkan ketidaknyamanan manusia, dan meningkatkan konsentrasi
polusi udara (Voogt, 2002).
Sebagai daerah yang terus berkembang, akan terjadi perubahan
pada lanskap perkotaan. Bangunan, jalan dan infrastruktur lainnya
menggantikan lahan terbuka dan vegetasi. Permukaan yang semula dapat
ditembus oleh air dan lembab menjadi kedap air dan kering. Perkembangan
ini menyebabkan pembentukan fenomena pulau panas perkotaan.
Permukaan pulau panas terkuat cenderung terjadi pada siang hari ketika
matahari bersinar, oleh karena itu fenomena pulau panas biasanya terbesar
terjadi saat musim panas (US EPA, 2012).
7
Dinamakan pulau panas karena apabila fenomena UHI digambarkan
secara spasial akan berbentuk pola isoterm seperti sebuah pulau dengan
suhu tertinggi di pulau tersebut dibandingkan areal sekitarnya. Pola ini akan
membentuk gradien suhu yang membentuk mulai dari daerah pinggiran
sampai memuncak di pusat kota (Gambar 1). Perbedaan suhu antara pusat
kota dan area di sekelilingnya dapat mencapai 12 °C pada kota-kota
metropolitan. Di dalam wilayah terbangun, pola ini dipengaruhi secara lokal
oleh adanya ruang terbuka hijau seperti taman kota, badan air, dan banyak
sedikitnya ruang terbangun. Pola spasial isoterm biasanya mengikuti
daerah terbangun. Pola topografi (pesisir atau lokasi lembah) juga dapat
menambah kompleksitas kepada karakteristik spasial UHI (Voogt, 2002).
Sumber: (Voogt, 2002)
Gambar 1. Fenomena UHI secara spasial dalam bentuk isoterm tertinggi di
tengah gambar seperti sebuah pulau panas.
8
B. Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, ruang terbuka
hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang
tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Selanjutnya
ketentuan tentang penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau diatur
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008
tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di
Kawasan Perkotaan. Tipologi RTH berdasarkan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 adalah sebagaimana Gambar 2
berikut :
Gambar 2. Tipologi Ruang Terbuka Hijau
Vegetasi pada RTH dapat memberikan kesejukan pada daerah yang
mengalami pemanasan akibat pantulan panas matahari yang berasal dari
gedung-gedung, aspal, baja dan material buatan lainnya. Vegetasi pada
RTH dapat menciptakan iklim mikro sebagai efek dari proses fotosintesis
9
dan respirasi tanaman. Pepohonan memiliki mekanisme dalam
pengendalian lingkungan termal yang dapat diuraikan sebagai berikut
(Wonoraharjo dalam Khalil (2016)):
1. Pohon berpengaruh positif terhadap temperatur udara
berdasarkan mekanisme pembayangan (canopy effect), dimana
pohon memayungi daerah di bawahnya dari sinar matahari
langsung sehingga tidak menjadi panas dan berpengaruh pada
udara.
2. Pohon berpengaruh positif terhadap proses pendinginan
(penurunan temperatur udara sore hari) berdasarkan mekanisme
evapotranspirasi, dimana pelepasan air dari permukaan daun
pada sore hari mendinginkan permukaan daun dan
mempengaruhi temperatur udara disekitarnya.
3. Pohon berpengaruh negatif terhadap proses pemanasan
(naiknya temperatur udara pagi hari) berdasarkan mekanisme
‘selimut’ di mana tajuk pohon menghalangi pertukaran panas
dengan daerah sekitarnya sehingga lingkungan di bawahnya
cepat menjadi panas.
Pada kawasan perkotaan, efek pendinginan terbesar terdapat pada
pepohonan yang terletak di taman kota dan hutan kota yang merupakan
bagian dari ruang terbuka hijau kota. Keberadaan RTH pada wilayah
perkotaan diperlukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan
yang telah tercemar sehingga mampu memperbaiki keseimbangan
10
ekosistem kota. Hilangnya RTH merupakan pemicu munculnya heat island
dan hilangnya pengendali emisi (gas buang) kota. Antara lain berdampak
pada menurunnya kualitas lingkungan hidup, perubahan sifat-sifat radioaktif
termal, aerodinamik dan hidrologi, terjadi perubahan iklim setempat, sampai
perubahan ekosistem alami (Setyowati, 2008).
C. Peran Vegetasi
Vegetasi sangat bermanfaat untuk merekayasa masalah lingkungan
di perkotaan. Elemen-elemen iklim utama yang sangat mempengaruhi
kehidupan adalah cahaya matahari, suhu udara, angin dan kelembapan.
Interaksi dari keempat elemen iklim ini dapat memberikan kenyamanan,
kepanasan, kedinginan atau suasana yang biasa saja. Pepohonan, semak-
belukar dan rerumputan dapat mengubah suhu kota. Daun-daun dapat
mengintersepsi, refleksi, mengabsorpsi dan mentransmisikan sinar
matahari. Efektivitasnya tergantung kepada spesiesnya, misalnya rindang,
berdaun, bercabang dan beranting banyak (Irwan, 2008).
Tutupan vegetasi mampu menurunkan suhu melalui proses
evaporasi dan transpirasi (evapotranspirasi) serta peneduhan (shading).
Pada peristiwa evaporasi, akar tanaman menyerap air dari tanah kemudian
air tersebut dibawa ke daun. Selanjutnya pada proses transpirasi terjadi
konversi air menjadi gas. Evapotranspirasi dapat mendinginkan udara
disekitarnya karena terdapat penyerapan panas saat terjadi evaporasi.
Kemampuan pohon menurunkan suhu udara dalam peristiwa
evapotranspirasi berbeda-beda sesuai dengan kerimbunan pohon tersebut,
11
makin banyak daun di pohon tersebut maka suhu yang diturunkan semakin
besar (Block et al., 2012).
Menurut penelitian Purnomohadi dalam Khalil (2016) suhu dibawah
pohon teduh dapat lebih rendah 2o – 4oC dibandingkan suhu sekitarnya.
Pepohonan yang ditempatkan sepanjang jaringan jalan dapat menurunkan
suhu udara sebesar 4oC. Pohon dapat menahan, memantulkan, menyerap
dan memancarkan radiasi sinar matahari. Daun-daun dan cabang pohon
juga dapat mengurangi intensitas radiasi matahari untuk mencapai daerah
yang berada dibawah kanopi pohon atau efek pembayangan dari kanopi.
Pembayangan turut mengurangi suhu permukaan dibawah kanopi pohon.
Permukaan yang dingin dapat turut mengurangi suhu bangunan dan
lingkungan sekitarnya.
Vegetasi memiliki nilai albedo yang rendah sehingga vegetasi
memiliki karakteristik sebagai penyerap radiasi matahari baik secara
langsung maupun pantulan radiasi matahari dari bangunan disekitarnya.
Vegetasi berdaun lebar memiliki albedo 0,15-0,18 sementara rumput
memiliki nilai albedo 0,15. Panas yang diserap oleh tumbuhan akan
digunakan untuk proses evapotranspirasi. Pada saat malam hari vegetasi
seperti pohon akan menyerap panas dari radiasi gelombang panjang yang
dilepaskan oleh bangunan di sekitarnya (Akbari, 2008).
12
D. Deteksi Pulau Panas Perkotaan dengan Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data
yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek,
daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand et al., 2004).
Secara umum pengukuran UHI dapat dilakukan dari pengamatan
langsung dilapangan pada suhu udaranya dan dengan memanfaatkan
penginderaan jauh pada suhu permukaan/surface temperature. Suhu
permukaan memiliki pengaruh tidak langsung tetapi signifikan terhadap
suhu udara (US EPA, 2012). Teknologi penginderaan jauh memungkinkan
mendeteksi fenomena UHI di suatu wilayah secara cepat. Pengukuran suhu
permukaan berdasarkan perhitungan data citra satelit memiliki banyak
keunggulan antara lain cakupan global dan periodisitas (pengelompokkan
unsur berdasarkan kemiripan sifat) yang konsisten, serta dapat mengatasi
kelemahan pengamatan permukaan tanah yang berkaitan dengan distribusi
tapak dan biaya. Konsep deteksi UHI adalah mengintegrasikan
heterogenitas permukaan perkotaan, yang menunjukkan hubungan antara
suhu udara dan fraksi (bagian) perkotaan (Hu & Brunsell, 2014).
Lillesand (2004) mengemukakan bahwa penginderaan jauh termal
menjelaskan secara ringkas kemungkinan untuk memperoleh,
menggambarkan dan menginterpretasikan keadaan panas dipermukaan
bumi. Pendefinisian energi termal sering mengacu kepada energi yang
dipancarkan dari permukaan bumi. Lillesand (2004) juga menjelaskan
13
bahwa radiasi matahari memberikan energi maksimumnya pada kisaran
spektral tampak (0,3-0,7 μm). Sedangkan untuk permukaan bumi dengan
suhu permukaan sebesar 300oK (26,85oC) memberikan nilai pancaran
puncak maksimum pada panjang gelombang 9,7 μm yang merupakan
kisaran radiasi infrared. Maka, penginderaan jauh termal banyak dilakukan
pada daerah spektrum antara 8-14 μm.
Secara teknis, deteksi UHI berdasarkan suhu permukaan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan termal band pada citra Landsat. Analisis
ini merupakan rangkaian konversi nilai-nilai digital number (DN) pada band
termal citra Landsat menjadi nilai suhu permukaan, sehingga menghasilkan
output berupa peta distribusi/sebaran suhu permukaan (Senanayake et al.,
2013). Hal ini sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Ndossi &
Avdan (2016) yang melakukan perbandingan data dengan data suhu
stasiun meteorologi setempat menggunakan algoritma Planck
menghasilkan simpangan data sebesar 3,58 °C pada landsat 7 ETM+ dan
2,07 °C pada landsat 8 TIRS.
Citra Landsat 7 memiliki sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper
Plus) dengan delapan kanal spektral (band). Kombinasi band yang dipakai
untuk klasifikasi penutupan lahan pada citra Landsat 7 adalah 5-4-3 dalam
format Red-Green-Blue (RGB) false color. Landsat-8 merupakan satelit
yang baru diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013 dengan nama The
Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Landsat-8 memiliki sebelas band
(sembilan band spektral ditambah dengan dua band termal). Karena
14
memiliki band tambahan, kombinasi band pada RGB false color berbeda
dengan Landsat 7, yaitu dengan menggunakan band 6-5-4 (USGS, 2013).
Karakteristik dari citra Landsat 7 dan Landsat 8 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Citra Landsat 7 dan Citra Landsat 8
Nama Band
Landsat 7 Landsat 8
Kegunaan Band
Panjang Gelombang
(µm) Band
Panjang Gelombang
(µm)
Coastal/ Aerosol
- - 1 0,43 – 0,45 Penelitian coastal dan aerosol
Blue (B) 1 0,45 – 0,52 2 0,45 – 0,51
Pemetaan batimetri, membedakan tanah dari vegetasi dan vegetasi daun lebar dari konifer
Green (G) 2 0,52 – 0,60 3 0,53 – 0,59
Pengamatan puncak pantulan vegetasi untuk membedakan kesehatan tanaman
Red (R) 3 0,63 – 0,69 4 0,64 – 0,67 Membedakan jenis vegetasi.
Near-Infrared (NIR)
4 0,77 – 0,90 5 0,85 – 0,88
Peka terhadap biomasa vegetasi dan identifikasi garis perairan
Shortwave Infrared-1 (SWIR-1)
5 1,55 – 1,75 6 1,57 – 165
Kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah
Shortwave Infrared-2 (SWIR-2)
7 2,09 – 2,35 7 2,11 – 2,29
Kandungan air pada tanaman, kondisi kelembaban tanah
Panchromatic (PAN)
8 0,52 – 0,90 8 0,50 – 0,68 Meningkatkan resolusi spasial
15
Nama Band
Landsat 7 Landsat 8
Kegunaan Band
Panjang Gelombang
(µm) Band
Panjang Gelombang
(µm)
Cirrus - - 9 1,36 – 1,38 Deteksi awan cirrus
Thermal (T) 6 10,40 – 12,50 10 10,60 – 11,19 Pemetaan termal
dan perkiraan kelembaban tanah 11 11,50 – 12,51
Sumber : (USGS, 2015)
E. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perekaman Suhu Pada
Sensor Satelit
Untuk mendapatkan suhu permukaan bumi, sistem termal pada
penginderaan jauh merekam setiap radiasi yang dipancarkan oleh objek-
objek yang ada di permukaan bumi. Suhu yang terekam pada citra satelit
tersebut merupakan suhu radian (Trad). Suhu radian dipengaruhi oleh dua
faktor yakni suhu kinetik (Tkin) dan emisivitas (ε). Sehingga pengukuran
emisivitas menjadi penting agar didapat suhu radian yang tepat (Lillesand
et al., 2004)
Selanjutnya Prakash (2000), menjelaskan beberapa faktor yang
mempengaruhi suhu kinetik pada setiap objek antara lain neraca energi
(heat budget) dan sifat termal suatu benda (thermal properties) seperti pada
Gambar 3.
16
Suhu Radian
Suhu Kinetik Emisivitas
Neraca Energi
(heat budget)
Pemanasan Oleh
Matahari
Radiasi
Downwelling
Sumber Panas
Lainnya
Elevasi Matahari
Tutupan Awan
Kondisi Atmosfer
Ketinggian
Topografi
Sifat Termal
(Thermal Properties)
Konduktivitas
Termal
Specific Heat
Kapasitas Termal
Kebauran Termal
Termal Inersia
Gelombang
Panjang Radiasi
Upwelling
Gambar 3. Faktor Yang Mengontrol Suhu Terekam Pada Sensor Satelit
Emisivitas adalah rasio energi yang diradiasikan oleh material
tertentu dengan energi yang dirasiokan oleh benda hitam (black body) pada
suhu yang sama. Benda hitam itu sendiri secara teori merupakan objek
yang mampu menyerap dan memancarkan energi yang diterimanya di
semua panjang gelombang. Ini adalah ukuran dari kemampuan suatu
benda untuk meradiasikan energi yang diserapnya. Emisivitas dinotasikan
dengan epsilon (ε) dengan nilai bervariasi antara 0 dan 1. Benda hitam
sempurna memiliki nilai emisivitas sama dengan 1, sementara suatu benda
yang sesungguhnya memiliki nilai emisivitas kurang dari 1 (Prakash, 2000).
17
Variasi emisivitas tergantung pada tipe objek di permukaan
(Lillesand et al., 2004). Beberapa contoh nilai emisivitas pada berbagai
objek disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Emisivitas Dari Permukaan Benda Yang Berbeda Pada Panjang
Gelombang 8 – 14 μm
Permukaan Benda Emisivitas Pada Panjang Gelombang
8 – 14 μm
Serbuk karbon 0,98 – 0,99
Air 0,98
Es 0,97 – 0,98
Daun tanaman yang sehat 0,96 – 0,99
Daun tanaman yang sakit 0,88 – 0,94
Aspal 0,96
Pasir 0,93
Kayu 0,87
Logam yang di poles 0,02 – 0,21
Sumber : (Lillesand et al., 2004)
Terdapat beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mendapatkan
nilai emisivitas permukaan lahan pada citra satelit. Zhang et al. (2006)
melakukan tiga metode yaitu berdasarkan klasifikasi citra, data NDVI, dan
berdasarkan rasio antara tanah dan lahan bervegetasi. Nilai emisivitas dari
klasifikasi citra merupakan metode termudah karena hanya berdasarkan
informasi kelas penutupan lahan dan memberi nilai emisivitas sesuai kelas
penutupan lahan tersebut.
Metode berdasarkan data NDVI akan memberikan nilai emisivitas
sesuai nilai rentang yang terbagi menjadi beberapa kelas. Ketika nilai NDVI
18
berkisar antara 0.157 – 0.727 maka nilai emisivitas (𝜀) dihitung
menggunakan persamaan :
𝜀 = 1.0094 + 0.47. ln(𝑁𝐷𝑉𝐼)
Untuk nilai NDVI diluar rentang (0.157-0.727) akan terbagi menjadi
ke dalam lima bagian dengan memberikan nilai emisivitas tertentu.
Sedangkan metode berdasarkan rasio antara tanah dan lahan
bervegetasi dapat menggunakan persamaan Sobrino et al. (2004) dengan
menggunakan persamaan :
𝜀 = 0.004. 𝑃𝑣 + 0.986
𝑃𝑣 = [𝑁𝐷𝑉𝐼− 𝑁𝐷𝑉𝐼𝑚𝑖𝑛
𝑁𝐷𝑉𝐼𝑚𝑎𝑥−𝑁𝐷𝑉𝐼𝑚𝑖𝑛]
2
Persamaan tersebut juga berdasarkan nilai NDVI, tetapi lebih
ditekankan pada proporsi antara tanah dan lahan bervegetasi dengan
menggunakan rentang nilai 0.2 - 0.5.
F. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan salah
satu jenis indeks vegetasi yang secara umum digunakan untuk
menggambarkan tingkat kehijauan suatu vegetasi. Nilai indeks vegetasi ini
peka terhadap keberadaan vegetasi yang ada di permukaan bumi dan juga
mempunyai hubungan yang kuat dengan variabel iklim seperti curah hujan
(Schmidt & Karnieli, 2000).
Perhitungan NDVI didasarkan pada perbandingan antara
pengurangan nilai gelombang inframerah dekat dengan gelombang cahaya
19
merah tampak dan penjumlahan gelombang inframerah dekat dengan
gelombang cahaya merah tampak yang diperoleh dari citra satelit. Nilai
NDVI berkisar antara -1 sampai 1. Nilai ini menggambarkan bahwa semakin
tinggi nilainya berarti kondisi tanaman yang dipantau dari citra satelit lebih
memperlihatkan kenampakan tanaman yang subur dan rapat seperti hutan,
sedangkan semakin rendah nilainya berarti menunjukkan wilayah yang
tidak bervegetasi. Nilai lahan kosong maupun lahan terbangun umumnya
mempunyai nilai positif yang mendekati nol. Oleh sebab itu, NDVI sering
digunakan sebagai parameter untuk pemantauan kehijauan tanaman.
Beberapa studi melakukan perhitungan NDVI dengan terlebih dahulu
melakukan koreksi reflektansi terhadap band inframerah dekat maupun
band merah. NDVI yang terkoreksi reflektasi akan memiliki kualitas yang
lebih baik terutama pada wilayah tubuh air dan lahan kosong (Parente,
2013).
Indeks vegetasi (NDVI) dapat juga digunakan dalam klasifikasi
penutupan lahan dengan cara memanfaatkan rentang nilai yang dimiliki.
Nilai-nilai tersebut dilakukan pengkelasan ulang sesuai wilayah kajian. Nilai
tersebut tidak konstan, dimana akan mengalami beberapa perubahan pada
lokasi dan kondisi yang berbeda tergantung kondisi atmosfer maupun curah
hujan setempat (Srivanit, 2012).
G. Pengertian Lahan, Penutupan lahan dan Penggunaan Lahan
Lahan menurut FAO dalam Briassoulis (2000) adalah tempat di
permukaan bumi yang sifat-sifatnya saling berkaitan satu sama lain,
20
memiliki atribut mulai dari biosfer atmosfer, batuan induk, bentuk-bentuk
lahan, tanah dan ekologinya, hidrologi, tumbuh-tumbuhan, hewan dan hasil
dari aktivitas manusia pada masa lalu dan sekarang dimana variabel
tersebut berpengaruh nyata pada penggunaan oleh manusia saat ini dan
akan datang.
Lahan merupakan suatu sistem yang komplek sehingga
membutuhkan penataan yang baik. Pengelolaan lahan harus dibedakan
antara lahan sebagai sumber daya dan lahan sebagai lingkungan. Lahan
sebagai sumber daya yang dimaksud adalah lahan yang didayagunakan,
sedangkan lahan sebagai lingkungan adalah lahan sebagai sarana untuk
tempat beraktivitas sehingga lahan memiliki daya dukung serta ambang
batas untuk digunakan sebagai tempat beraktivitas (Baja, 2012).
Definisi mengenai penggunaan lahan (land use) dan penutupan
lahan (land cover) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama
menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi. Penggunaan lahan
berkaitan dengan aktivitas manusia yang secara langsung berhubungan
dengan lahan, dimana terjadi penggunaan dan pemanfaatan lahan dan
sumber daya yang ada serta menyebabkan dampak pada lahan.
Sementara penutupan lahan berhubungan dengan vegetasi (alam dan
ditanam) atau konstruksi oleh manusia (bangunan, dan lain-lain) yang
menutupi permukaan tanah (Baja, 2012).
Dalam hal sistem klasifikasi penutupan lahan/penggunaan lahan,
Anderson et al. (1976) mengemukakan tingkat klasifikasi penutupan lahan
21
dalam beberapa level klasifikasi penutupan lahan berdasarkan tingkatan
skala dan tipe data yang digunakan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Skema Klasifikasi Penutupan Lahan Menurut Anderson
Level I Level II
1. Perkotaan / lahan terbangun
1. Hunian 2. Penggunaan umum 3. Kompleks industri dan komersial 4. Lahan sedang dibangun
2. Lahan pertanian
1. Lahan pertanian dan peternakan 2. Lahan kebun buah, persemaian dan lahan
holtikultura hias 3. Lahan pertanian lainnya
3. Lahan peternakan 1. Lahan peternakan rumput 2. Lahan peternakan semak dan belukar
4. Lahan hutan 1. Lahan hutan menggugurkan daunnya 2. Lahan hutan selalu hijau 3. Lahan hutan campur
4. Perairan
1. Sungai dan saluran 2. Danau 3. Reservoir 4. Tanggul dan muara
5. Lahan basah 1. Lahan basah berhutan 2. Lahan basah tidak berhutan
6. Lahan kosong
1. Pantai 2. Area berpasir lain selain pantai 3. Bidang tambang 4. Lahan gundul
7. Salju / es tahunan 1. Padang salju tahunan 2. Gletser
Sumber : (Anderson et al., 1976)
Sedangkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 7645:2010,
klasifikasi penutupan lahan terbagi kedalam skala 1:1.000.000, 1:250.000,
dan 1:50.000/1:25.000. Standar ini disusun berdasarkan sistem klasifkasi
penutup lahan United Nations Food and Agriculture Organization (UNFAO)
dan ISO 19144-1. Dalam sistem klasifikasi penutup lahan UNFAO, makin
detail kelas yang disusun, makin banyak kelas yang digunakan. Secara
umum Kelas penutup lahan pada SNI dibagi menjadi dua bagian besar,
yaitu daerah bervegetasi dan daerah tak bervegetasi. Semua kelas penutup
22
lahan dalam kategori daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan
konseptual struktur fisiognomi yang konsisten dari bentuk tumbuhan,
bentuk tutupan, tinggi tumbuhan, dan distribusi spasialnya. Sedangkan
dalam kategori daerah tak bervegetasi, pendetailan kelas mengacu pada
aspek permukaan tutupan, distribusi atau kepadatan, dan ketinggian atau
kedalaman objek.
H. Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor yang
Mempengaruhinya
Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses
perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang
dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan konsekuensi
logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial
ekonomi masyarakat yang sedang berkembang, baik untuk tujuan
komersial maupun industri. Menurut Dwiprabowo et al. (2012) bahwa isu
yang berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan dan penutupan
lahan (Land Use Land Use Change, LULC) telah menarik perhatian dari
berbagai bidang penelitian. Industrialisasi, perpindahan penduduk ke kota
dan pertambahan penduduk telah dipertimbangkan sebagai tenaga yang
paling berkontribusi dalam perubahan penggunaan lahan dalam skala
global (Long dalam Dwiprabowo et al. (2012) ).
Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan
tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama
adanya industri/perusahaan yang makin meningkat jumlahnya dan kedua
23
berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih
baik. Beberapa kajian dan penelitian telah dilakukan untuk menganalisis
faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan. Menurut
Verburg et al. (2004), perubahan penggunaan lahan merupakan hasil dari
berbagai interaksi. Setiap prosesnya berjalan melalui ruang dan waktu yang
dipicu oleh satu atau lebih variabel. Faktor-faktor pendorong termasuk
demografi (tekanan penduduk), ekonomi, teknologi, budaya, biofisik,
maupun kelembagaan, mempengaruhi perubahan penggunaan lahan
dengan cara yang berbeda beda.
I. Pengujian Hasil Klasifikasi Citra
Secara umum pengujian hasil klasifikasi citra terdiri dari tahap
verifikasi dan validasi. Verifikasi dilakukan melalui tahapan pengecekan
lapangan (ground truth) untuk mengecek kebenaran antara data
penginderaan jauh dengan kenyataan dilapangan. Verifikasi juga dapat
dilakukan dengan menggunakan citra resolusi tinggi. Validasi yang sering
digunakan untuk menguji hasil klasifikasi penutupan lahan berbasis
penginderaan jauh ini adalah overall accuracy dan kappa accuracy
(Lillesand et al., 2004).
Nilai overall accuracy hanya mempertimbangkan commision
(diagonal) yaitu hasil klasifikasi yang sama jenis penutupan lahannya
dengan hasil verifikasi lapangan (referensi), sedangkan kappa accuracy
mempertimbangankan commision dan omission (klasifikasi yang benar dan
24
yang salah). Hal ini mengakibatkan nilai kappa accuracy memiliki nilai yang
lebih rendah dibandingkan overall accuracy.
Overall accuracy maupun kappa accuracy dapat ditentukan dengan
cara membuat matriks kesalahan (biasanya dapat disebut error matrix,
confusion matrix atau cotingency table) seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Matrik Kesalahan Klasifikasi
Kelas penutupan
Lahan
Referensi
P1+ P1+ P1+ … Pr+ Jumlah
Ha
sil
Kla
sifik
asi P+i Xii X+i
P+i Xii X+i P+i Xii X+i … Xii X+i P+r Xii X+i
Total Kolom Xi+ Xi+ Xi+ Xi+ Xi+ N
Keterangan : Klasifikasi benar (commision) : Klasifikasi salah
Nilai kappa biasanya kurang atau sama dengan 1. Nilai 1 merupakan
akurasi yang sempurna, sedangkan kurang dari 1 kurang dari sempurna.
Nilai ini dapat disajikan dalam satuan persen (%). Setiap peneliti memiliki
standar akurasi yang berbeda-beda. Monserud & Leemans (1992)
membagi kappa accuracy diantaranya nilai dibawah 0,4 merupakan akurasi
yang rendah/sangat rendah, 0,4 – 0,55 merupakan akurasi sedang, 0,55 –
0,7 merupakan akurasi baik, 0,7 – 0,85 merupakan akurasi sangat baik, dan
nilai lebih dari 0,85 merupakan akurasi istimewa. Sedangkan menurut
Lillesand et al. (2004) tingkat ketelitian hasil klasifikasi yang diharapkan
tidak kurang dari 0,8 (80%).
Selanjutnya Lillesand et al. (2004) menjelaskan dalam melakukan
penarikan titik sampel dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya
25
teknik sampling acak sederhana (simple random sampling) maupun
sampling acak dengan stratifikasi (stratified random sampling). Teknik
sampling acak sederhana memungkinkan setiap individu yang menjadi
anggota populasi memiliki peluang yang sama dan bebas dipilih sebagai
anggota sampel. Sedangkan pada sampling acak dengan stratifikasi,
pemilihannya didasarkan pada masing-masing kelas tutupan lahan yang
merupakan strata, sehingga sampel pada setiap kelas tutupan lahan akan
dapat terwakili.
J. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir penelitian didasarkan kepada fenomena alih fungsi
lahan menjadi lahan terbangun yang dapat menyebabkan menurunnya
luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Konversi RTH menjadi lahan
terbangun menimbulkan permasalahan UHI yang mempengaruhi terhadap
peningkatan suhu.
Teknologi penginderaan jauh dalam hal ini analisis citra landsat
digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai indeks vegetasi,
perubahan penutupan lahan, distribusi RTH maupun distribusi suhu
permukaan. Hasil analisis tersebut kemudian dikorelasikan untuk dapat
digunakan sebagai dasar dalam menyusun arahan pengembangan RTH di
Kota Palu.
26
Gambar 4. Kerangka Pikir Penelitian
Perubahan Kondisi Fisik - Penutupan lahan - Indeks Vegetasi
Perubahan Distribusi Suhu
Arahan Pengembangan RTH di Kota Palu
Pengumpulan Data
Laju Pertumbuhan Penduduk Meningkat
Alih Fungsi Lahan
Hubungan
Menurunnya Luas RTH
Fenomena UHI
Distribusi RTH