UTS MSDM- Case :HR PERLU LEBIH INOVATIF DAN KONSISTEN DALAM PROGRAM REWARD
-
Upload
nyoman-rudana -
Category
Documents
-
view
1.600 -
download
10
Transcript of UTS MSDM- Case :HR PERLU LEBIH INOVATIF DAN KONSISTEN DALAM PROGRAM REWARD
JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2008PROGRAM MAGISTER
Program studi : Manajemen Pembangunan DaerahMata Kuliah : Manajemen SDMHari / Tanggal : Kamis 10 April 2008Dosen : Prof. Dr. Veithzal Rivai, MBA
Nama Mahasiswa : NYOMAN RUDANANPM : 08. D. 040
JUDUL KASUS :HR PERLU LEBIH INOVATIF DAN KONSISTEN DALAM PROGRAM REWARD
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Program reward ditujukan untuk dapat menarik, engaging ( mengikat ) dan
mempertahankan karyawan namun ternyata program reward atau biasa disebut Pay
for Performance atau insentif yang ada di persusahaan saat ini minim inovasi serta
tidak selaras dengan strategi bisnis. Suatu studi yang dilakukan oleh Towers Perrin
atas 600 manager HR dan Kompensasi pada perusahaan besar dan sedang di 21
negara ditemukan bahwa 73% perusahaan memiliki strategi reward yang didesain
untuk meretensi karyawan dan 57% memiliki program yang sama untuk menarik
talent. Namun hanya sedikit yang menerapkan taktik yang diperlukan agar strategi
tsb berjalan baik. Para petinggi perusahaan seringkali kurang memahami
performance management karena memang tidak ada definsi umum tentang
engagement di seluruh dunia. Hal ini berdampak pada penyusunan program
reward yang merupakan umpan balik dari penilaian kinerja,. Program reward yang
kurang baik / kurang konsisten akan berdampak pada berkurangnya engagement
karyawan dan bila hal ini terjadi maka program reward tsb gagal mencapai tujuan
utamanya yaitu attracting, engaging ( mengikat ) dan retaining karyawan. Padahal
sebenarnya mereka bisa mendapatkan masukan dari karyawan pada saat penilaian
kinerja atau bahkan dari kandidat saat wawancara kerja.
1
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Tidak adanya sistem reward atau insentif atau Pay For Performance yang jelas
dan konsisten di dalam perusahaan menyebabkan perusahaan kehilangan
karyawan potensial, karena engagement / keterikatan mereka terhadap
perusahaan berkurang dan hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja finansial
perusahaan.
2. Perusahaan dalam hal ini Departemen SDM cenderung menetapkan Pay for
Performance System berdasarkan sudut pandangnya sendiri ( sudut pandang
manajemen ) dan seringkali mengabaikan sudut pandang karyawan, padahal
kunci sukses dari sistem ini adalah penerimaan karyawan.
III. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana organisasi khususnya Departemen SDM dapat mengidentifikasi jenis
Pay for Performance System yang sesuai untuk perusahaannya sehingga dapat
mendisain sistem yang adil dan dapat diterima karyawan, agar tujuan perusahaan
untuk attrracting, engaging dan retaining karyawan dapat tercapai.
2. Bagaimana mengikutsertakan karyawan dalam penyusunan Pay for Performance
System
karena untuk merekalah sistem ini diterapkan. Jadi karyawan ditempatkan
sebagai subyek dan
bukan obyek.
3. Bagaimana mengantisipasi tantangan / kendala yang timbul dari penerapan Pay
for Performance System di dalam organisasi.
IV. LANDASAN TEORI
Sistem insentif merupakan salah satu umpan balik dari Penilaian Kinerja.
2
REWARD SYSTEM ATAU PAY FOR PERFORMANCE PLAN ( Kompensasi
Berdasarkan Kinerja ) :
Untuk menyeragamkan terminology, maka dalam landasan teori dipakai istilah Pay
for Performance dimana istilah ini lebih mewakili pengertian reward dan sesuai
dengan kepustakaan yang dipakai dalam landasan teori ini.
Pay for Performance seringkali disebut dengan insentif, merupakan imbalan
langsung yang dibayarkan kepada karyawan karena kinerjanya melebihi
standar yang ditentukan.
Merupakan bentuk lain dari kompensasi langsung di luar upah dan gaji yang
merupakan kompensasi tetap.
Dikaitkan dengan kinerja dan gainsharing, sebgai pembagian keuntungan bagi
karyawan akibat peningkatan produktivitas atau penghematan biaya.
Tujuan utamanya untuk memberikan tanggung jawab dan dorongan kepada
karyawan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas untuk
meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan dalam menghadapi
KinerjaKaryawan
PenilaianKinerja
Umpan BalikKaryawan
Ukuran Kinerja
Standar Kinerja
KeputusanSDM
DokumenKaryawan
3
persaingan yang semakin ketat dimana produktivitas menjadi hal yang sangt
penting.
Memberikan reward kepada karyawan berdasarkan 3 asumsi ;
1. Karyawan individu dan team kerja berbeda dalam hal berapa banyak
mereka berkontribusi terhadap perusahaan, tidak hanya mengenai apa yang
mereka lakukan namun juga seberapa baik mereka melakukannya.
2. Kinerja perusahaan secara menyeluruh besar ketergantungannya
kepada kinerja individual dan kelompok di dalam perusahaan.
3. Untuk menarik, mempertahankan dan memotivasi karyawan
berkinerja tinggi dan agar adil bagi semua karyawan, perusahaan harus
memberikan reward berdasarkan kinerja relatif mereka.
9 tantangan yang dihadapi organisasi dalam menerapkan Pay For
Performance :
1. Sindroma Bekerja Hanya Sebatas Seseorang Diga ji ( Do Only What You get Paid
For )
Untuk menghindari pembayaran insentif berdasarkan penilaian subyektif, maka
sistem insentif harus didasarkan pada indikator yang obyektif dari Penilaian
Kinerja. Namun kelemahannya bahwa karyawan akan terfokus pada indikator
yang ada pada Penilaian Kinerja saja dan mengabaikan komponen pekerjaan
yang sulit diukur. Contoh ;
Sekolah dimana insentif guru dibayar berdasarkan nilai yang didapat murid pada
Ujian Nasional ( UN ) misalnya, akan membuat guru tsb fokus membantu murid
agar sukses dalam UN tanpa terlalu peduli pada pelajaran lain yang tidak
diujikan dalam UN.
2. Perilaku yang Tidak Etis
Karena ada tekanan untuk berprestasi, insentif dapat mendorong karyawan untuk
berbohong, menutup – nutupi informasi negatif, menjatuhkan rekan sendiri hanya
agar terlihat baik.
3. Efek negatif dari semangat bekerjasama
4
Karyawan dapat menahan informasi bilamana mereka merasa bahwa apabla
informasi tsb disampaikan kepada rekannya, hal tsb akan membuat rekan kerjanya
berprestasi. Laryaean juga dapat melakukan sabotase terhadap suatu proyek atau
menyebarkan rumor sebagai dampak dari iri hati melihat fakta bahwa rekan
kerjanya mendapatkan insentif lebih banyak.
4. Kurangnya fungsi kendali
Faktor yang melebihi kendali karyawan termasuk : atasan mereka, kinerja kelompok
lain, kualitas bahan baku dimana karyawan terlibat, kondisi kerja, dukiungan dari
manajemen dan faktor lingkungan.
5. Kesulitan dalam Penilaian Kinerja
Pada level karyawan, atasan yang menlain harus berusaha memilah kinerja
individu dari kontribusi kelompok dan menghindar penilaian berdasarkan bias
personalitas ( mislanya menilai terlalu lunak atau keras ). Pada level kelompok,
penilai harus mampu mengsolasi kontribusi spesifik dari kelompok tsb bila
pekerjaannya saling terkait dengan kelompok lain.
6. Kontrak psikologis
Merupakan harapan berdasarkan pada pengalaman sebelumnya, dan sangat
menolak perubahan. Sekali diimplementasikan, pay for performance system
menciptakan kontrak psikologis antara karyawan dengan perusahaan.
7. Celah Kredibilitas ( Credibility Gap )
Karyawan seringkali tidak percaya bahwa pay for performance program yang
diterapkan diperusahaannya adil.
8. Ketidakpuasan pekerjaan dan stres.
Pay for Performance System dapat meningkatkan produktivitas namun menurunkan
tingkat kepuasan kerja. Semakin pembayaran insentif dikaitkan dengan kinerja,
semakin banyak unit / kelompok yang tidak kompak dan semakin karyawan tidak
5
bahagia. Hal tsb terjadi karena masing – masing kelompok berusaha menonjolkan
diri dan menjatuhkan kelompok kerja lainnya.
9. Potensi penurunan dorongan intrinsik.
Pay for Performance system dapat mendorong karyawan untuk melakukan apa saja
untuk mendapatkan insentif uang dan dalam prosesnya merusak bakat dan
kreativitasnya, sheingga karyawan yang tadinya helpful dan membantu perusahaan
tanpa terkait uang, akan menolak bila tidak ada imbalan uang.
Bagaimana mengatasi tantangan dalam mengimplementasikan Pay for
Performance System :
1. Mengaitkan Pay ( insentif ) dengan Performance ( kinerja ) secara pantas.
Pada era internat sekarang ini, menciptakan piece- rate-system ( sistem kompensasi
dimana karyawan dibayar per unit haisl produksi ) yang memungkinkan karyawan
mempunyai kendali atas kecepatan dan kualitas kerjanya. Pada beberapa
perusahaan, terutama perusahaan yang high tech, karyawan diperbolehkan bekerja
dimana saja termasuk di rumah sehngga office space dan overhead cost dapat
dihemat.
2. Gunakan Pay for Performance system sebagai bagian dari pengembangan sistem
SDM.
Hal ini erat keterkaitannya dengan Penilaian Kinerja. Selain itu penerapan
rekrutmen yang buruk misalnya berdasarkan koneksi akan merusak penerapan
system ini.
3. Membangun kepercayaan karyawan.
Manager harus menjawab pertanyaan ini dari kacamata karyawan :
Apakah system ini membuat saya bekerja lebih lama, keras atau lebih smart ??
Apakah ada orang yang memperhatikan usaha ekstra saya ?? Bila jawabnya tidak,
maka manager harus menunjukkan kepada karyawan bahwa mereka peduli dan
aware terhadap upaya karyawan dalam kontribusinya terhadap perusahaan. Bahkan
6
karyawan dapta diajak bersama – sama untuk merumuskan Pay for Performance
system.
4. Mempromosikan ‘belief’ bahwa kinerja menghasilkan perbedaan.
Organisasi harus menciptakan atmosfir yang mampu meyakinkan karyawan dimana
kinerja membuat perbedaan.
5. Menggunakan banyak lapisan reward.
Sebaiknya menggunakan berbagai tipe Pay for Performance untuk situasi kerja
yang berbeda.
6. Meningkatkan keterlibatan karyawan.
Penerimaan karyawan merupakan kunci sukses utama dari semua program
kompensasi dan cara terbaik adalah melibatkan karyawan dalam penyusunannya.
7. Tekankan pentingnya bertindak etis.
Sekali Pay for Performance diterapkan, karyawan dapat tergoda untuk
memanipulasi kriteria yang digunakan untuk mendapatkan insentif lebih tinggi.
Oleh sebab itu harus ada pelatihan yang memberikan contoh mengenai wilayah abu
– abu atau tindak tidak etis yang dimaksud sehingga karyawan dapat memutuskan
lebih baik apakah tndakannya pantas atau tidak, dalam proses mencapai ekspektasi
kinerja.
8. Menggunakan motivasi dan insentif non finansial.
Salah satu fakta mendasar darti motivasi adalah bila orang terdorong untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya dan tidak selalu uang menjadi pendorong
motivasi. Oleh sebab itu dapat dikembangkan pula insentif non finansial misal :
penghargaan di depan publik, gelar kehormatan, mentoring program, tiket berlibur,
dll.
Pay for Performance system ada dalam setiap jenis pekerjaan, jenis – jenisnya
secara umum :
7
1. Piecework :
Insentif yang diberikan berdasarkan jumlah output dan sifatnya individual, cocok
digunakan pd level operasional.
2. Production bonus.
Tambahan upah karena hasil kerja melebihi standar dimana karyawan juga
mendapatkan upah pokok. Bia juga diberikan karena pekerja menghemat waktu
penyelesaian pekerjaan. Umumnya dihitung berdasarkan tingkat tarif tertentu
untuk maisng – misng unit produksi.
3. Komisi :
Diberikan berdasarkan jumlah barang yang terjual, umumnya dipergunakan
untuk tenaga penjualan, dan sifatnya dinvidual.
4. Maturity Curve ( kurva kematangan ) :
Menunjukkn jumlah tambahan gaji ang dapat dicapai sesuai dengan prestasi
kerja dan masa kerja sehingga mereka diharapkan terus meningkatkan prestasi.
5. Merit Pay :
Penerimaan kenaikan upah terjadi setelah sutu penilaian prestasi, dan
diputuskan oleh atasan. Jarang ditentukan secara baku.
6. Pay for Knowledge / Pay for Skill Compensation.
Diberikan berdasarkan apa yang dapat dilakukan untuk organisasi melalui
pengetahuan yang diperoleh yang diasumsikan berdampak penting bagi
organisasi.
7. Non Monetary Incentive :
Insentif umumnya berupa uang namun dapat berupa hal lain misalnya tiket
berlibur, atau rotasi pekerjaan, perluasan jabatan dll.
8. Insentif eksekutif :
Diberikan kepada mnager atau eksekutif atas peran yang mereka berikan untuk
menetapkan dan mencapai tingkat keuntungan tertentu bagi organisasi. Bisa
berupa bonus tahunan ( bonus jangka pendek ) atau kesempatan pemilikan
perusahaan melalui pembelian saham perusahaan ( bonus jangka panjang ).
8
Penggolongan Pay for Performance System :
1. Individual Based Plan :
Bertujuan memberikan penghasilan tambahan selain gaji pokok bagi individu
yang dapat mencapai standar pretasi tertentu. Bisa berupa pay per output
( misal per potong pakaian ) dan upah per waktu ( perjam ).
2. Team Based Plan :
Diterapkan manakala insentif individu susah diterapkan, karena untuk
menghasilkan produk dibutuhkan kerjasama.
Dibayarkan dengan 3 cara :
a. Seluruh anggota menerima pembayaran yang sama dengan pembayaran
yang diterima oleh mereka yang paling tinggi prestasi kerjanya.
b. Semua anggota kelompok menerima pembayaran yang sama dengan
pembayaran yang
diterima oleh mereka yang paling rendah prestasi kerjanya.
c. Seluruh anggota menerima pembayaran yang sama dengan rata – rata
pembayaran yang diterima oleh kelompok.
3. Plantwide Plan :
Memberikan reward kepada seluruh karyawan di dalam pabrik
atau unit bisnis berdasarkan kinerja keseluruhan pabrik atau unit.
Key performance indicator nya adalah efisiensi pabrik atau unit
bisnis yang normalnya diukur berdasarkan penghematan biaya material
dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Seringkali disebut pada gainsharing karena perusahaan
mengembalikan sebagian penghematan biaya produksi kepada karyawan,
biasanya dalam bentuk lumpsum bonus.
4. Corporatewide Plan :
Memberikan reward kepada karyawan berdasarkan kinerja
perusahaan secara menyeluruh.
Yang palings ering digunakan adalah : profit sharing.
Profit sharing umumnya digunakan sebagai program pensiun,
oleh sebab itu karyawan tidak menerima distribusi profit ini dalam bentuk
tunai umumnya digolongkan ke dalam benefit dan bukan insentif.
9
Jenis lain dari corporatewide plan adalah ESOP ( Employee Stock
Ownership Plan ), yaitu reward yang diberikan kepada karyawan dalam bentuk
saham perusahaan, dengan harga di bawah harga pasar.
UNIT OF ANALYSIS
Kondisi yang sesuai un tuk masing – masing jenis Pay For Performance Plans :
Individual Based Plans :
1. Kontribusi individu dapat secara akurat diisolasi.
2. Pekerjaannya membutuhkan otonomi.
3. Kesuksesan kinerja tidak tergantung pada kerjasama, atau kompetisi harus
ditumbuhkan.
Team Based Plans :
1. Jenis pekerjaan saling berkaitan sehingga sulit dipisahkan siapa mengerjakan
apa.
2. Organisasi mendukung implementasi dari insentif berdasarkan team.
3. Tujuan perusahaan adalah menumbuhkan kewirausahaan dalam suatu kelmpok
yang swa kelola.
Plantwide Plans :
1. Dilakukan pada perusahaan skala kecil atau sedang.
2. Teknologi tidak membatasi perbaikan efisiensi.
3. Tersedia catatan yang jelas mengenai kinerja masa lalu.
4. Adanya pasar produk yang stabil sehingga forecasting untuk penjualan di masa
mendatang lebih mudah diprediksi sehingga lebih mudah untuk menghitung
alokasi insentifnya.
Corporatewide Plans :
1. Untuk perusahaan besar.
10
Micro Level Macro Level
Individual Team Business Unit/Plant Organization
Merit Pay Bonuses Gainsharing Profit Sharing Bonuses Awards Bonuses Stock Plans
2. Adanya keterkaitan antara berbagai bagian dari bisnis.
3. Adanya pasar produk yang relatif kurang stabil.
4. Adanya insentif lain.
V. PEMBAHASAN
Pembahasan kasus ini akan difokuskan kepada masalah pay for Performance atau
reward systemnya saja, dan untuk selanjutnya kami menggunakan terminologi
reward system saja, dengan asumsi bahwa penilaian kinerja sudah berjalan baik,
baik metode yang dipakai maupun pelaksanaannya. Hanya dalam proses umpan
balik, reward systemnya kurang selaras dengan apa yang diinginkan karyawan, dan
kekurang selarasan tsb dapat mengakibatkan kurangnya engagement karyawan
terhadap perusahaan, dan akan berdampak pada kinerja finansial perusahaan.
Kasus ini menggambarkan bahwa berdasarkan survey yanhg dilakukan oleh Towers
Perrin atas 600 Manager HR dan Kompensasi pada perusahaan besar dan sedang di
21 negara ditemukan bahwa hanya sedikit perusahaan yang menerapkan taktik
yang diperlukan agar strategi tersebut berjalan. Penelusuran di internet
sehubungan dengan penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan hanya membuat
perubahan yang kurang bermakna terhadap reward system dan penilaian kinerja.
Hal ini bisa jadi diakibatkan karena pada dekade terakhir ini, dunia bisnis sangat
turbulen, yang ditandai dengan booming dan hancurnya bisnis dot com, era pasca
9/11 di Amerika Serikat yang sedikit banyak berdampak ke banyak negara, serta
perubahan dramatis dari teknologi telah mengubah cara perusahaan berbisnis dan
cara orang bekerja, sehingga perhatian perusahaan lebih tertuju ke sana.
Perubahan terhadap reward system yang paling mudah dilakukan adalah untuk
kalangan tenaga pemasaran, karena ukurannya jelas, yaitu pencapaian sales secara
kuantitatif. Sedangkan departemen pendukung yang fungsinya penting , seperti
customer service, seringkali tidak diberikan reward system yang menarik untuk
mereka. Hal ini berbahaya karena akan meningkatkan turnover karyawan.
Pada perusahaan yang menerapkan penilaian kinerja secara tertutup, dimana
atasan berlaku seperti dewa yang menentukan nasib bawahannya, maka jelas bahwa
reward system akan ditentukan sepihak oleh manajemen / atasan, sehingga
seringkali tidak memuaskan atau tidak sesuai dengan harapan karyawan. Reward
system yang tidak konsisten, yang berdasarkan misalnya pada favoritisme ataupun
11
halo effect serta bias – bias lain akan menimbulkan engagement gap pada
karyawan. Dalam hal ini, karyawan tidak percaya bahwa manager senior mereka
cukup peduli terhadap kesejahteraan mereka, dan dianggap tidak cukup membantu
mereka agar lebih terikat atau engage dan berkontribusi penuh terhadap
perusahaan.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Towers Perrin yang direlease Oktober
2007, terbukti bahwa perusahaan dengan tingkat engagement yang tinggi dari
karyawannya mencapai kinerja finansial yang lebih baik dalam bentuk peningkatan
operating income sebesar 19% serta earning per share sampai 28% dan lebih
sukses dalam mempertahankan karyawannya. Lebih dari 80% karyawan yang
engage percaya bahwa mereka mampu berkontribusi terhadap kualitas produk dan
jasa dan meningkatkan kepuasan pelanggan.
Kunci keberhasilan reward system adalah penerimaan karyawan, oleh sebab itu
sebaiknya dalam penyusunannya, dilakukan identifikasi terlebih dahulu mengenai
hal – hal yang dapat meningkatkan engagement karyawan terhadap perusahaan
mengingat reward system bukan satu – satunya hal yang dapat menjaga
engagement karyawan.
Penelitian Towers Perrin menunjukkan adanya tiga fokus area bagi perusahaan
untuk meningkatkan engagement karyawan :
1. Karyawan membutuhkan dukungan dari pemimpin seniornya untuk
mendemonstrasikan inspirasi, visi dan komitmennya. Jadi senior manajemen
harus menjadi contoh dan teladan bagi karyawannya.
2. Karyawan ingin memberikan lebih kepada perusahaan melalui kinerjanya,
namun mereka juga ingin mendapatkan gambaran yang jelas mengenai apa yang
akan diperoleh mereka.
3. Karyawan ingin bekerja di perusahaan yang mempunyai reputasi baik, olkeh
sebab itu penting bagi perusahaan untuk menunjukkan komitmen terhadap
corporate social responsibility, dan mempunyai komitmen untuk
mengembangkan karyawannya.
Dengan menggali lebih dalam mengenai hal – hal yang dapat meningkatkan
engagement karyawan, perusahaan sebaiknya melibatkan karyawan dalam
penyusunan reward system, dimana hal ini dapat dilakukan secara terbuka maupun
tidak. Penggalian informasi dari karyawan dapat dilakukan melalui :
12
1. Wawancara calon karyawan. Di sini perusahaan akan mendapat masukan
mengenai reward system yang dilakukan oleh perusahaan lain, dan hal ini
mungkin dapat digunakan sebagai benchmark dalam penyusunan / perbaikan
reward system yang sudah ada.
2. Pada saat penilaian kinerja, dimana hal ini ini mungkin untuk dilakukan apabila
penilaian kinerja dilakukan dengan sistem terbuka, dimana ada self asessment
bagi karyawan dan kemudian karyawan diajak berdiskusi mengenai kinerjanya.
Pada saat itu karyawan dapat ditanya mengenai harapannya kepada perusahaan
dan pendapatnya mengenai reward system yang sudah ada. Diskusi ini juga
dimaksudkan untuk menggali seberapa jauh engagement karyawan terhadap
perusahaan.
3. Pada perusahaan dengan karyawan cukup banyak misalnya di atas 100 orang,
karyawan daoat diwakilki oleh supervisor / managernya dalam mendiskusikan
reward system dengan pihak manajemen perusahaan sehingga pembicaraan dapat
fokus dan tidakj bertele – tele karena semakin banyak orang terlibat, semakin sulit
dan lama untuk merumuskan sistemnya karena setiap orang cenderung
mempunyai self interest yang tinggi dalam hal yang terkait dengan
kesejahteraannya.
Untuk mengikat karyawan khususnya karyawan top performers, perusahaan harus
menetapkan :
1. Jenis reward system yang sesuai : Individual Based Plan, Team Based Plan,
Plantbased Plan
atau Corporate Based Plan atau campuran, dengan melihat fungsi – fungsi di
dalam organisasi.
2. Menetapkan reward Finansial atau non finansial atau keduanya.
3. Karyawan harus yakin bahwa kinerjanya terkait dengan sistem reward.
Satu hal yang harus dicermati adalah memberikan reward yang sama untuk semua
orang sudah tidak jamannya lagi, karena karyawan makin menuntut agar kinerjanya
dihargai.
Sebagai contoh untuk departemen sales, dapat diterapkan Individual Based Plan,
dimana dapat ditetapkan insentif / reward individual terkait langsung dengan
pencapaian sales, dengan dicover pula dengan Team Based Plan, dimana prestasi
13
kelompok yang mencapai target tertentu juga dihargai. Umumnya kinerja supervisor
diukur berdasarkan keberhasilan prestasi kelompok sedangkan prestasi
salesperson lebih dinilai karena kinerja individu.
Inidvidual based plan cocok untuk tenaga pemasaran karena mereka umumnya
sangat goal oriented dan cenderung individualistik, dan kinerja yang dihargai akan
cenderung diulangi. Namun kerugiannya, plan ini dapat meningkatkan kinerja yang
keluar dari jalur perarturan perusahaan, misalnya, mereka akan cenderung nenjual
barang sebanyak – banyaknya, bahkan melampaui batas wilayah yang menjadi
kewenangannya, sehingga merugikan rekan kerja yang berada di wilayah tsb.
Untuk departemen pendukung seperti customer service, HRD, pendekatan Team
Based Plan lebih sesuai karena kinerja mereka tidak dapat dinilai satu persatu.
Untuk karyawan pabrik di perusahaan skala kecil sampai menengah, Plantbased
Plan dapat diterapkan dengan menerapkan gainsharing dalam bentuk lumpsum
bonus, dengan memperhatikan :
1. kondisi produk di pasar cukup stabil sehingga lebih mudah bagi perusahaan
untuk menetapkan forecasting mengenai budget yang akan dikeluarkan.
2. Corporate culture, dimana kondisi ini sesuai untuk perusahaan yang menerapkan
manajemen partisipatif dan tidak sesuai untuk manajemen tradisional yang
hirarkis dan kepemimpinan satu tangan.
Plan ini dapat merugikan dimana para free rider / pendompleng yaitu karyawan
yang kinerjanya rendah ikut mendapatkan bonus yang sama. Untuk itu peran
supervisor dan manager besar, dimana supervisor harus mampu mendeteksi para
free riders ini dan memberikan teguran serta sangsi. Bilamana kinerja buruk
berlanjut, sebaknya dilakukan tindakan pemecatan agar perilaku buruk tidak
menjalar ke seluruh bagian.
Hal yang sering disalah artikan oleh perusahaan adalah bahwa reward system yang
menarik hati karyawan adalah yang berupa uang, sedangkan faktanya tdak
demikian. Reward system berupa uang, haruslah dikombinasikan dengan reward
lain, yang non cash, misalnya pemberian award seperti yang kami terapkan pada
manajemen Museum Rudana dan Rudana Fine Art Gallery dimana setiap tahun tgl
26 Desember, bertepatan dengan HUT Musuem Rudana, dilakukan Award
Ceremony untuk para karyawan terbaik, dimana penghargaan tidak hanya berupa
14
uang, namun juga pengakuan di depan publik. Individu yang diberi pujian akan
cenderung mengulangi bahkan meningkatkan kinerjanya, dan dengan demikian
meningkatkan engagementnya terhadap perusahaan. Penerapan multi layer
reward system akan saling melengkapi kelemahan sistem yang satu dengan yang
lain karena sistem apapun yang dipergunakan tidak akan mampu memuaskan
harapan seluruh karyawan.
Perusahaan harus pula mencermati faktor – faktor yang mungkin timbul dan
dianggap sebagai biang kegagalan dari reward system ini :
1. Penerapan penilaian kinerja yang subyektif akan cenderung berakibat
penerapan reward system yang subyektif pula.
2. Untuk mempertahankan kekompakan teamnya, supervisor dapat cenderung
untuk memberikan penilaian yang rata – rata untuk semua anggota team, dan
hal ini dapat mengurangi engagement karyawan dengan high performance di
kelompok tsb.
3. Karyawan cenderung mempertahankan egonya bila kinerjanya buruk dengan
menyalahkan perusahaan atas kegagalannya.
4. Adanya free rider khususnya pada team based plan dapat mengurangi
engagement karyawan yang lain bila tidak cepat diantisipasi, karena karyawan
yang kinerjanya baik akan menganggap bahwa kinerja baik atau buruk akan
mendapatkan reward yang sama.
5. Kompetisi antar kelompok dalam team based plan dapat berkembang menjadi
kompetisi yang saling menjatuhkan. Misalnya team pemasaran menetapkan
target yang melamopaui kapasitas produksi atau sebaliknya bagian prodksi
memproduksi banyak barang yang melampaui kemampuan tenaga pemasaran
untuk melakukan penjualan.
6. Bagi perusahaan skala international ( MNC ), pengaruh budaya setempat
berpengaruh besar terhadap jenis reward system yang diterapkan. Mislanya
karyawan di Amerika Serikat lebih suka dengan individual based nplan karena
kinerja individualnya dapat terwakili namun di Jepang lebih menyukai team
work, sehingga Teambased Plan lebh sesuai. Untuk di indonesia, kami belum
menemukan penelitian yang mendukung apakah lebih sesuai dengan individual
atau team based plan.
7. Reward system harus dievaluasi berkala minimal setahuns ekali untuk melihat
apakah reward system tsb masih sesuai. Khususnya untuk reward finansial,
jumlah uang tertentu yang diberikan mungkin akan jauh berkuranjg nilainya
15
dalam 2 – 3 tahun ke depan karena termakan inflasi, oleh sebab itu harus
disesuaikan kembali.
VI. SIMPULAN
1. Reward system ditujukan untuk attracting, engaging, dan retaining karyawan,
oleh sebab itu sistem yang dipergunakan harus sejalan dengan tujuan tsb. Untuk
itu dalam penyusunannya perusahaan perlu untuk mendengarkan aspirasi
karyawan sebagai living asset dan subyek dari reward system tsb, minimal
dengan mewakilkannya. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan supervisor
dan manager dalam penyusunan reward system.
2. Perusahaan harus pula mencermati hal – hal yang dapat mempengaruhi
engangement karyawan terhadap perusahaan, terutama yang terkait dengan
reward system ini, oleh sebab itu reward system harus selalu dievaluasi.
3. Sebaiknya dibuat multi layer dalam penerapan reward system, misalnya antara
financial reward yang digabungkan dengan non financial reward, atauindividual
based plan yang digabungkan dengan team based plan, sehingga dapat saling
melengkapi.
4. Tidak ada salahnya penilaian kinerja dievluasi juga karena bisa jadi reward
system yang kurang baik bersumber dari penilaian kinerja yang kurang baik
pula. Sebaiknya diterapkan penilaian kinerja terbuka sebagai langkah awal
komitmen perusahaan terhadap penerapan reward system yang lebih sesuai,
mengingat dengan penilaian kinerja terbuka, kinerja karyawan dapat
didiskusikan dan kedua belah pihak dapat membicarakan secara terbuka
harapan – harapannya, sehingga lebih mudah untuk menyusun reward system
yang sesuai dengan harapan kedua belah pihak.
VII. IMPLIKASI BAHASAN
Pada implikasi bahasan, kami mencoba membawa mengakitkan reward system
dalam pelaksanaan good governance. Di sini penekanan tidak ditujukan untuk
16
attracting atau retaining karyawan karena PNS umumnya bekerja sampai pensiun
dan tidak berpindah pindah kerja. Penekanan keterkaitan reward dengan good
governance lebih kepada engagement karyawan karena pada dasarnya PNS saat ini
dikonotasikan sebagai SDM dengan profesionalisme rendah. Hal ini terlihat dari
indikator pelayanan yang tidak optimal, penggunaan waktu yang tidak produktif,
belum optimalnya peran dan inovasi dalam menjalankan tugas dll.
Poemerintah sebenarnya sudah melahirkan berbagai kebijakan sejaka masa
reformasi, antara lain :
1. Tap MPR RI no XI / MPR / 1999 tenhtang penyelenggaraan negara yang bersih
dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
2. UU no 31 / 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. PP no 1 tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksa kekayaan Negara.
4. UU no 32 / 2002 tentang Komisi pemberantasan Tindak Poidana Korupsi.
Kebijakan – kebijakan tsb menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah untuk
melakukan good governance. Namun pada akhirnya SDM lah yang menjalankan
sistem tsb dan berbagai aspek keterpurukan birokrasi tsb bermuara pada SDM, dan
tercermin pada 3 hal : kesejahteraan, reward ( penghargaan ) dan punishment
( sangsi ).
Sistem gaji PNS sudah sering diperdebatkan karena pada tyingkat struktural yang
sama, pegawai dengan produktivitas tinggi mendapatkan gaji yang sama dengan
yang rendah produktivitasnya. Sedangkan dalam sistem reward, pemerintah sudah
memberikan penghargaan sesuai prestasi karyawan misalnya Satya Lencana
Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Upakarti, Piagam Pelita, Kalpataru,
dll, namun banyak penghargaan ini ditanggapi dingin karena bentuknya yang
kurang memberi manfaat untuk meingkatkan kesejahteraan bagi penerimanya.
Untuk saat ini, sebaiknya pemerintah lebih mengarahkan penghargaan kepada hal –
hal yang memberikan manfaat kepada penerimanya dalam jangka panjang seperti
memberikan kesempatan untuk sekolah, berupa tugas belajar dengan biaya
ditanggung negara, baik untuk jenjang S1 maupun S2, sehingga dengan
peningkatan kemampuan PNS tsb, negara mendapatkan manfaat juga, sepanjang
penempatan mereka nantinya disesuaikan dengan kemampuannya yang sudah di
upgrade. Peningkatan kemampuan yang tidak ditunjang dengan kesempatan untuk
menerapkan dan mengembangkan kemampuannya pada akhirnya tidak akan
mampu meningkatkan engagement PNS tsb pada institusi tempat kerjanya sehingga
17
negara dirugikan dua kali. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan
yang tajam antara penghargaan atas profesionalisme antara PNS dengan karyawan
swasta, sehingga PNS cenderung untuk mangkir kerja ataupun moonlighting,
mencari kerja tambahan ataupun menggunakan peluang yang ada di institusinya
untuk kepentingan pribadinya. Bila hal ini terkait dengan pelayanan publkik
misalnya dalam bentuk pungutan liar, hal ini makin memperburuk citra institusinya
di mata publik.
Sekalipun pada kasus ini tidak disentuh masalah punishment, pada implikasi
bahasan ini kami bahas sedikit, dimana good governance tidak akan berjalan baik
tanpa disiplin skala nasional. Disiplin nasional tidak akan pernah ada tanpa diawali
oleh disiplin aparatur negaranya. PP no 30 / 1980 tentang Disiplin Aparatur
Pemerintah sulit diterapkan dengan konsisten antara lain nkarena belum adanya
ukuran produk kerja yang dihasilkan, beban kerja di setiap unit yang tidak sama,
jumlah pegawai yang terlalu besar dan tidak sebanding dengan beban kerja,
tenggang rasa yang besar antara sesama aparatur, keteladanan pemimpin yang
kurang dll. Secara menyeluruh kelemahan dari sistem punishemnt ini menyebabkan
kepercayaan PNS terhadap institusinya berkurang, sehingga reward sistem,
apabila ada, dianggap tidak fair, dan hanya menguntungkan pihak – pihak tertentu
saja. Misalnya bila penentuan kriteria siapa yang berhak mendapatkan beasiswa
program sarjana / pasca sarjana tidak jelas, maka akan menimbulkan kecemburuan
dan prasangka bilamana ada PNS yang dianggap berprestasi yang memperolehnya.
VII. SARAN / REKOMENDASI
Terkait dengan implikasi bahasan, harus ada rencana tindakan untuk mulai
megurai benang kusut antara poenilaian kinerja, reward serta punishment untuk
menuju ke arah good governance. Ada baiknya dibuat suatu unit unit percontohan,
melalui unit kerja yang paling kondusif, untuk selanjutnya snow ball effect akan
lebih mudah bergulir bilamana hasil dari unit ini sudah terlihat.
1. Meningkatkan law enforcement dengan pembentukan lembaga pengawas yang
indepoenden. Law enforcement harus dilakukan top down, dimana di sini peran
pmpinan sebagai teladan sangat penting.
2. Menyusun standar dan prosedur kinerja ( SOP ) yang jelas, sehingga tidak ada
PNS yang berlindung di balik ketidakjelasan standar kinerja dan menggunakan
18
ketidak jelasan tsb sebagai alasan untuk menutupi kinerjanya yang buruk. Hal
ini juga akan menyebabkan termotivasinya pegawai yang berkinerja baik, karena
mereka lebih bisa mengukur diri dnegan standar kerja yang jelas dan hal ini
akan meningkatkan engagement dan komitmennya pada institusi tempat
kerjanya.
3. Harus ada komitmen dari pemerintah untuk memperbaiki regulasi standar
kinerja profesional, dan menyediakan reward sistem berupa finansial reward,
baik individual based maupun team based plan, di samping rewatd non
finansial.
4. Peningkatan disiplin PNS melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan yang
terpenting, membina para atasan sehingva menjadi panutan bagi individu di
jajarannya.
5. Membangun budaya melayani, dimana hal ini sulit terlaksana tanpa adanya
kesejahteraan yang cukup. Pegawai akan cenderung memikirkan nasibnya
terlebih dahulu sebelum memikirkan orang lain, bilamana kebutuhan dasarnya
tidak tercukupi. Reward syustem yang memadai akan mengkompensasi
kekurangan gaji pokok dan memberikan rangsangan bagi PNS untuk
menunjukkan kinerja yang baik.
6. Perlunya standar pelayanan yang jelas, meliputi prosedur, jangka waktu serta
biaya yang jelas, demi terciptanya lembaga pelayanan yang teratur dan efisien.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
1. Rivai, Veithzal Prof. Dr, 2004, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk
Perusahaan, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa ) Bab 10 Kompensasi dan
Balas Jasa, pp 357 – 389.
2. Gomez – Mejia, Luis R; Balkin, David B; Cardy, Robert L, 2007, Managing
Human Resources Chapter 11 : Rewarding Performance ( New jersey, USA :
Pearson Prentice Hall ) pp 328 – 358.
3. Mathis, Robert L; Jackson, John H, 2004, Human Resources Management
Method 10th edition ( terjemahan : Manajemen SDM edisi 10 ), ( Ohio : South
Western ),Bab 18 Strategi dan Praktik Kompensasi pp 419 – 452.
19
4. Trompenaars, Fons, Woollimas, Peter, The Future of Human Resources
Management, 64 Thought Leaders Explore The Critical HR Issues of Today and
Tomorrow, Chapter 43 : A New Paradigm for HR : Dilemmas in Employing and
Managing The Resourceful Human, , pp 378 – 391.
5. Bouchiki, Hamid, Kimberly, John, October 2001, “All Change in the
Customized Workplace,” in Mastering People Management, Financial Times, pp
4-5.
6. Grote, Richard C, 2002, The Performance Appraisal Questions and
Answer Book : Survival Guide for Managers ( New York : AMACOM ).
7. Lawler III, Edward E, Milkovich, George T, 2002, Workstream
Compensation, Making Pay for Performance a Reality.
www.workstreaminc.com.
8. Billikopf, Gregorio, 2003, Labor Management in Agriculture :
Cultivating Personnel productivity, Chapter 8 : Incentive Pay ( Berkeley :
Regents of the University of California ).
9. Tropmen, John E, 2001, How toDevelop an Employee – Driven
Reward System, ( San Francisco : John Wiley & Sons ).
10. Schuster, Jay R, 2000, Pay People Right : Breakthrough Reward
Strategies to Create Great Companies ( Jossey Bass Business &
Management Series ), ( San Francisco : Jossey Bass Inc ).
11. Chingos, Peter T, 2002, Paying for Performance : a Guide to
Compensation Management, 2nd edition ( New York : John Wiley & Sons ).
12. Rosen, Corey et al, Rodrick, Scott S, 2006, Incentive
Compensation and Employee Ownership ( Oakland, Ca : The National
Center for Employee Ownership ).
13. Media Pertamina, Sisipan no 11 th XIV, 17 Maret 2008 :
Menyukseskan Rewards and Consequences 2008.
14. Conway, Joe, Towers Perrin, Oct 2007 : Study Finds Significant
Engagement Gap Among Global workforce,
http://www.towersperrin.com/tp/showdctmdoc.jsp?url
=HR_Services/United_States/Press_Releases/2007/20071022/2007_10_22
.htm&country=global.
15. Butler, Kelley M, 1 February 2008, Out of Touch : Towers Perrin
Survey Shows Rewards Seldom Aligned With Business Strategy.
20
http://ebn.benefitnews.com/ asset/article/536411/compliance/out-touch-
towers-perrin-survey-shows.html?pg =&topic Name=ask-the-experts
16. Towers Perrin HR Services, 25 June 2007 : Yale University : What
are High Performing Organizations Doing. Trends in HR and Rewards
Program ( materi presentasi ).
17. Jesuthasan, Ravin, Deemer, Eric ( from Towers Perrin HR Services
), 1 Juni 2003: Pay differentiation : optimizing Performance with Fewer
Reward Dollars ( materi presentasi ).
18. Nugroho, Bambang, Juni 2006, Reward dan Punishment dalam
Pelaksanaan Good Governance, Sumber : Buletin Ciptakarya Departemen
PU edisi 6/IV/Juni 2006.
http://www.goodgovernance_bappenas.go.id/artikel_56.htm.
HR Perlu Lebih Inovatif dan Konsisten dalam Program Reward Jumat, 21 September 2007 - 11:33 WIB
Berbagai program reward yang ada di perusahaan-perusahaan saat ini banyak yang
minim inovasi, di samping tidak selaras dengan strategi-strategi bisnis. Departemen
HR perlu menciptakan model-model yang konsisten dengan teminologi yang
dipahami bersama. Demikian kesimpulan dan rekomendasi dari sebuah survei baru
yang menemukan adanya kesenjangan antara apa yang dikatakan oleh perusahaan
tentang pay for performance da apa yang secara aktual mereka lakukan berkaitan
dengan hal itu. Hasilnya, program-program reward kini gagal untuk mencapai
tujuan-tujuan utamanya, yakni attracting, engaging dan retaining talent. Studi
dilakukan oleh Towers Perrin atas 600 Manajer HR dan Kompensasi pada perusahaa
besar dan sedang di 21 negara. Ditemukan, 73% perusahaan memiliki strategi
reward ya didesain untuk meretensi karyawan, dan 57% memiliki program yang
sama untuk meng-attract talent. Tapi, hanya sedikit (perusahaan) yang menerapkan
taktik-taktik yang diperlukan agar strategi tersebut berjalan. "Kalau Anda bicara
pada para pemimpin senior, mereka pasti mengatakan punya model yang
diperlukan untuk mengikat karyawan, tapi kami tidak melihat adanya sebuah model
yang konsisten dalam organisasi. Tidak ada bahasa yang umum, tidak ada bentuk
yang jelas di tingkat organisasi," ujar Ravin Jesuthasan, managing principal dan
practice leader perusahan konsultan HR yang berkantor di Stamford, AS itu.
Jesuthasan memberi ilustrasi: tanyakan pada 10 orang CEO bagaimana
meningkatkan ca flow, mereka akan memberikan jawaban bagus yang sama. "Tapi,
tanya pada mereka tentang performance management, maka Anda akan
mendapatkan 10 jawaban yang berbeda karena tidak ada definisi umum tentang
21
engagement yang berlaku di seluruh dun ini," tambah dia. Lalu, apa yang bisa
membantu untuk menciptakan "bahasa bersama" tentang reward? "It perlu
komunikasi yang nyambung (antara karyawan dan manajemen)," ujar Jim
Stoeckmann, practice leader pada WorldatWork, sebuah asosiasi profesional HR
yang foku pada total reward di Scottsdale, AS.
Stoeckmann mengatakan, organisasi kehilangan banyak kesempatan untuk
memperoleh pemahaman atas hal-hal apa saja yang diinginkan karyawan, yang
seharusnya menjadi in dari program reward.
"Anda bisa belajar banyak dari orang-orang yang akan bergabung dengan
perusahaan.Juga, tanyakan pada karyawan saat performance evaluation dan bahkan
saat exit interview," saran Stoeckmann.
Ditambahkan, HR harus menyatukan berbagai informasi itu dan melaporkannya ke manajemen senior. "HR sebagai profesi perlu menciptakan keseragaman tentang term-te yang digunakan untuk total reward dan performance management."
http://www.portalhr.com/beritahr/compensation/1id781.html 3/7/2008
22