Usulan Penelitian

27
PROPOSAL PENELITIAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN INFEKSI LUKA OPERASI HERNIORAFI TEKNIK LICHTENSTEIN MENGGUNAKAN MESH MONOFILAMEN MAKROPORI DENGAN HERNIORAFI TEKNIK SHOULDICE PADA OPERASI HERNIA INKARSERATA OLEH dr. I Gede Sutawan

description

contoh usulan penelitian kedokteran

Transcript of Usulan Penelitian

PROPOSAL PENELITIANPROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISILMU BEDAH

PERBEDAANANGKA KEJADIAN INFEKSI LUKA OPERASIHERNIORAFI TEKNIK LICHTENSTEIN MENGGUNAKANMESH MONOFILAMEN MAKROPORI DENGAN HERNIORAFITEKNIK SHOULDICE PADA OPERASI HERNIAINKARSERATA

OLEHdr. I Gede Sutawan

SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS UDAYANADENPASAR201513

DAFTAR ISI

tekshalamanHALAMAN JUDULDAFTAR ISI2BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang3B. Perumusan Masalah 4C. Tujuan Penelitian4D. Manfaat Penelitian5BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. Hernia6B. Herniorafi6C. Macam Mesh dan Risiko Infeksi10D. Jenis Operasi dan Risiko Infeksi10BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESISA. Kerangka teori12B. Kerangka konsep13C. Hipotesis Penelitian13BAB IV METODE PENELITIANA. Rancangan Penelitian14B. Populasi dan Sampel Penelitian14C. Variabel Penelitian15D. Definisi Operasional15E. Analisa Data16DAFTAR PUSTAKA17

BAB 1PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Ada beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan para ahli bedah dalam menentukan pilihan teknik operasi untuk hernia inguinalis, antara lain masalah rekurensi, infeksi serta nyeri pasca herniorafi. Teknik operasi multilayered repair yang dipublikasikan pertama kali oleh Shouldice pada tahun 1953, dianggap sebagai operasi pure tissue repair yang paling sukses dalam menurunkan angka rekurensi. Laporan dari Shouldice Hospital di Toronto (2003) menyatakan bahwa angka rekurensinya kurang dari 1%. Namun hasil Konferensi Suvretta pada tahun 2003 mengungkapkan kenyataan bahwa angka rekurensi operasi hernia inguinalis pada sebagian besar negara-negara Eropa masih berkisar 7 12%.Lichtenstein memperkenalkan teknik open herniorafi dengan mesh. Teknik ini menghasilkan kondisi tension-free pada repair hernia inguinalis. Angka rekurensi hernia inguinalis yang dilakukan herniorafi pure tissue (tanpa mesh) lebih tinggi daripada yang dioperasi dengan menggunakan mesh. Penelitian Randomized Control Trial (RCT) yang dilakukan oleh Vrijland dan kawan-kawan, setelah tiga tahun post operasi herniorafi ditemukan angka rekurensi 1 dari 146 pasien pada herniorafi dengan mesh, sedangkan pada herniorafi pure tissue ditemukan rekurensi 7 dari 143 pasien. Penelitian yang dilakukan Friis dan Lindahl membandingkan herniorafi menggunakan mesh dengan herniorafi pure tissue repair pada hernia inguinalis selama dua tahun pasca operasi mendapatkan angka rekurensi tiga kali lipat untuk herniorafi pure tissue repair. Penelitian sistematik terbaru mengenai perbandingan hasil operasi metode herniorafi mesh dengan metode pure tissue repair, didapati angka rekurensi dan nyeri menetap paska operasi sangat berkurang secara signifikan pada pemakaian mesh. Teknik Lichtenstein merupakan gold standard untuk open herniorafi pada hernia inguinalis orang dewasa. Teknik Lichtenstein mempunyai banyak keunggulan, antara lain dapat menurunkan angka rekurensi, angka nyeri pasca operasi, teknik lebih mudah dan waktu operasi lebih singkat. Namun pemasangan mesh pada operasi bersih terkontaminasi, seperti pemasangan mesh untuk herniorafi pada hernia inkarserata, masih diragukan keamanannya. Pemasangan mesh pada operasi hernia inguinalis inkarserata diduga dapat meningkatkan kejadian infeksi luka operasi, kegagalan penyatuan mesh dengan jaringan tubuh dan kemungkinan memerlukan pelepasan mesh. Kelly dan Behrman telah meneliti 24 kasus pemasangan mesh pada operasi terkontaminasi. Terdapat lima kasus (21%) morbiditas yang berhubungan dengan luka operasi, berupa selulitis dan infeksi ringan pada luka operasi. Tidak satupun pasien mengalami infeksi berat dan memerlukan pelepasan mesh. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa mesh dapat digunakan secara permanen pada operasi bersih terkontaminasi dan operasi terkontaminasi dengan minimal morbiditas terkait dengan luka operasi. Penelitian Henry dan Kelly tersebut dapat dijadikan landasan untuk uji klinis lebih lanjut. Penelitian dilakukan dengan membandingkan angka kejadian infeksi luka operasi pasien-pasien yang dilakukan herniorafi teknik Lichtenstein menggunakan mesh monofilamen makropori, dengan angka kejadian infeksi luka operasi pasien-pasien yang dilakukan herniorafi Shouldice pada operasi hernia inguinalis inkarserata tanpa reseksi usus.

B. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:1. Apakah terdapat perbedaan angka kejadian infeksi luka operasi secara klinis (menurut kriteria Hulton) antara herniorafi teknik Lichtenstein menggunakan mesh monofilamen makropori dengan herniorafi Shouldice, pada operasi hernia inkarserata tanpa reseksi usus?2. Apakah terdapat perbedaan angka kejadian infeksi luka operasi secara laboratoris (hasil kultur kuman dari sekret atau swab luka operasi) antara herniorafi teknik Lichtenstein menggunakan mesh monofilament makropori dengan herniorafi Shouldice, pada operasi hernia inkarserata tanpa reseksi usus?

C. Tujuan Penelitian1. Tujuan umumUntuk mengetahui perbedaan angka kejadian infeksi luka operasi pasca herniorafi teknik Lichtenstein menggunakan mesh monofilamen makropori dan herniorafi pure tissue repair (Shouldice) pada operasi hernia inguinalis inkarserata tanpa reseksi usus.2. Tujuan khusus:a. Membuktikan perbedaan angka kejadian infeksi luka operasi secara klinis (menurut kriteria Hulton) herniorafi teknik Lichtenstein menggunakan mesh monofilament makropori dengan herniorafi Shouldice pada pasien-pasien hernia inguinalis inkarserata yang dioperasi tanpa reseksi usus.b. Membuktikan perbedaan angka kejadian infeksi luka operasi secara laboratoris (kultur kuman dari sekret atau swab luka operasi) herniorafi teknik Lichtenstein menggunakan mesh monofilamen makropori dengan herniorafi Shouldice pada pasien-pasien hernia inguinalis inkarserata yang dioperasi tanpa reseki usus.

D. Manfaat PenelitianHasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa pemakaian mesh monofilamen makropori untuk herniorafi pada kasus hernia inguinalis inkarserata tanpa reseksi usus adalah aman sehingga dapat dijadikan pilihan pertama untuk herniorafi hernia inkarserata. Atau sebaliknya, penggunaan mesh untuk repair hernia inguinalis inkarserata akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi luka operasi sehingga harus dihindari.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

A. HerniaHernia adalah penonjolan abnormal organ intra abdomen melalui suatu defek bawaan atau defek yang didapat. Apabila organ intra abdomen yang masih terbungkus peritoneum parietal keluar dari rongga abdomen dan tampak penonjolan pada permukaan tubuh maka disebut hernia eksterna. Sedangkan hernia interna adalah penonjolan organ intra abdomen melalui fossa atau lubang yang berada didalam rongga abdomen. Ada beberapa nama hernia berdasarkan lokasi lubang defek, misalnya: hernia inguinalis, hernia femoralis, hernia umbilikalis, hernia obturatoria. Menurut gejalanya, hernia dibedakan menjadi: hernia reponibel, hernia irreponibel, hernia inkarserata, dan hernia strangulata. Hernia reponibel adalah hernia dimana isi hernia bisa keluar masuk dari rongga abdomen ke kantong hernia dan sebaliknya. Hernia irreponibel; isi hernia tidak bisa masuk atau dimasukkan ke dalam rongga abdomen. Hernia inkarserata adalah hernia irreponibel dengan jepitan usus sehingga memberikan tanda-tanda ileus obstruktivus. Pada hernia inkarserata terjadi translokasi kuman dari lumen usus ke kelenjar getah bening, mesenterium dan kedalam kantong hernia sehingga operasi hernia inkarserata tanpa reseksi usus termasuk operasi bersih terkontaminasi. Sedangkan hernia strangulate adalah hernia irreponibel dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi lokal daerah hernia karena ada iskemi atau nekrosis dari isi hernia. Disini benjolan akan terasa sakit, tegang, edema atau bahkan tanda infeksi.

B. HerniorafiHerniorafi adalah operasi hernia yang terdiri dari operasi herniotomi dan hernioplasti. Herniotomi adalah tindakan membuka kantong hernia, memasukkan kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen, serta mengikat dan memotong kantong hernia. Sedangkan hernioplasti adalah tindakan memperkuat daerah defek, misalnya pada hernia inguinalis, tindakannya adalah mempersempit cincin inguinal interna dan memperkuat dinding posterior kanalis inguinalis.Operasi herniorafi pertama kali dilakukan oleh Eduardo Bassini pada tahun 1884. Prinsip operasinya adalah penjahitan conjoint tendon dengan ligamentum inguinalis. Kemudian metode tersebut dikembangkan dengan berbagai variasi. Shouldice pada tahun 1953 memperkenalkan multilayered repair dan metode ini dianggap sebagai operasi pure tissue repair yang paling sukses dengan angka rekurensi kurang dari 1%. Hernioplasti pure tissue repair terutama pada teknik Bassini menghasilkan ketegangan jaringan sehingga cenderung menyebabkan kegagalan. Hal ini terjadi karena iskemik nekrosis pada jaringan yang tegang. Untuk mengatasi persoalan tersebut para ahli mencari cara hernioplasti yang menghasilkan kondisi jaringan tidak tegang. Hernioplasti berupa anyaman (darn) yang menghubungkan conjoint tendon dengan ligamentum inguinalis pertama kali diperkenalkan oleh McArthur pada tahun 1901. Bahan yang digunakan untuk menganyam berasal dari aponeurosis obliquus eksternus.Teknik terus berkembang dari waktu ke waktu, pengenalan biomaterial untuk herniorafi sejak tahun 1950-an merupakan awal revolusi dibidang teknik hernioplasti. Biomaterial yang digunakan untuk hernioplastipun bermacam-macam, masing-masing memiliki keunggulan serta kekurangan. Pemakaian mesh polypropylene untuk memperbaiki defek dinding abdomen yang dipublikasikan tahun 1958 secara substansi merupakan bukti makin berkembangnya pilihan terapi tersebut. Setelah berkembang beberapa dekade, Lichtenstein (1986) memperkenalkan teknik open herniorafi untuk hernia inguinalis dengan mesh, dan beberapa tahun kemudian pemasangan mesh dilakukan dengan teknik laparaskopi.1. Herniorafi Teknik ShouldiceShouldice pada tahun 1953 memperkenalkan multilayered repair dan metode ini dianggap sebagai operasi pure tissue yang paling sukses. Berdasarkan laporan dari Shouldice Hospital di Toronto angka rekurensinya kurang dari 1%. Sebenarnya E.E. Shouldice sebagai pioneer teknik ini, telah melakukan operasi tersebut sejak tahun 1930-an. Sebagai seorang dokter tentara senior yang bertugas di wilayah Toronto pada masa Perang Dunia II, ia mendapati banyak calon prajurit yang gagal seleksi karena menderita hernia. Kemudian ia melakukan upaya dengan operasi, memakai tekniknya sendiri sampai 72 kasus. Teknik operasi tersebut terus dia lakukan dengan hasil yang baik sampai mencapai 272 kasus hernia, dan pada tahun 1944 dia melaporkan kasus tersebut pada pertemuan asosiasi kedokteran di Ontario, meskipun pada saat itu dia belum membuat tulisan mengenai teknik tersebut sampai tahun 1953. Secara rinci, operasi Shouldice untuk hernia inguinalis sinistra, dapat dijelaskan seperti pada Gambar dibawah ini

82. Herniorafi Tension Free dengan Mesh (Teknik Lichtenstein)Lichtenstein (1986) memperkenalkan teknik open herniorafi dengan mesh. Teknik ini menghasilkan kondisi tension-free pada repair hernia inguinalis. Hernioplasti dengan mesh tersebut saat ini telah diadopsi di seluruh dunia, dan menjadi tonggak penting bagi sejarah operasi hernia inguinalis. Penelitian sistematik terbaru mengenai perbandingan hasil operasi metode hernioplasti mesh dengan metode pure tissue repair, didapatkan angka rekurensi dan rasa nyeri yang menetap paska operasi, sangat berkurang secara signifikan pada pemakaian mesh. Teknik Lichtenstein pada open herniorafi hernia inguinalis orang dewasa sekarang ini merupakan gold standard. Teknik operasi Lichtenstein tersebut, secara rinci dapat dijelaskan seperti pada gambar dibawah ini.

9C. Macam Mesh dan Risiko InfeksiAmid (2002) mengelompokkan berbagai mesh yang digunakan untuk operasi hernia, yaitu:Tipe I: Prosthesis monofilamen makropori. Mesh ini mempunyai pori-pori berukuran lebih dari 75 m. Contoh mesh tipe I antara lain; Atrium, Marlex, Prolene, Trelex dan Surgimesh. Mesh ini memiliki berat 85 gr/m2, termasuk heavy mesh. Ukuran pori-porinya antara 130 - 440 m, ukuran pori-pori yang besar ini diperlukan untuk lewatnya makrofag, fibroblas, pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) dan serat kolagen melewati pori-pori.Tipe II: Prosthesis mikropori total, contohnya expanded Polytetrafluorethyllene (ePTFE) (Gore-Tex), Surgical membrane, Dual mesh. Prosthesis ini mempunyai pori-pori yang berukuran kurang dari 10 m.Tipe III: Prosthesis multifilamen makropori dengan komponen mikropori, seperti PTFE mesh (Teflon), braided Dacron mesh (Mersilene), braided polypropylene mesh (Surgipro) dan perforated PTFE (Mycro mesh).Tipe IV: Biomaterial dengan ukuran pori submikron, contohnya Silastic, Cellguard (polypropylene sheeting), Preclude pericardial membrane dan Preclude durasubstitute. Untuk operasi hernia tersedia dalam bentuk kombinasi dengan biomaterial tipe I, bentuk ini adalah adhesion free untuk implantasi intraperitoneal.

D. Jenis Operasi dan Risiko InfeksiCruse dan Ford (2000) mengelompokkan jenis operasi berdasarkan risiko infeksi, yaitu: 1. Bersih (luka atraumatik, tidak ada inflamasi, teknik aseptic terjaga, bukan operasi saluran empedu, saluran napas, saluran cerna, dan saluran kencing); 2. Bersih terkontaminasi (luka atraumatik, tidak ada inflamasi, kontaminasi minor pada teknik aseptik, pada operasi saluran empedu, saluran napas, saluran cerna, dan saluran kencing dengan tumpahan minimal atau dipreparasi sebelumnya); 3. Terkontaminasi (luka traumatik, kontaminasi mayor pada teknik aseptik, pada operasi saluran empedu, saluran napas, saluran cerna, dan saluran kencing dengan tumpahan yang banyak); 4. Kotor (sudah terjadi infeksi pada daerah operasi, tampak inflamasi dan pus).

Menurut Dunn (2003), tingkatan risiko infeksi dibagi menjadi:Kelas I: Bersih, contohnya: herniorafi, eksisi lesi kulit, tiroidektomi. Risiko infeksinya 1-4%.Kelas I D: Bersih dengan pemasangan prosthesis, contohnya: bedah vaskuler dengan graft, pengganti katup jantung. Risiko infeksinya sama dengan kelas I (1-4%).Kelas II: Bersih terkontaminasi, contohnya: appendektomi tanpa perforasi, kolektomi elektif preparasi usus, kolesistektomi. Risiko infeksinya 3-6%Kelas III: Terkontaminasi, contohnya: kolektomi pada kolon perforasi, drainase terbuka pada abses intraabdomen. Risiko infeksinya 4-20%.

BAB 3KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Teori

12B. Kerangka Konsep

C. Hipotesis PenelitianSesuai hal-hal tersebut diatas maka kami ajukan hipotesis sebagai berikut:1. Pada operasi hernia inkarserata tanpa reseksi usus, angka kejadian infeksi luka operasi secara klinis (menurut kriteria Hulton) lebih tinggi pada kelompok herniorafi teknik Lichtenstein (menggunakan mesh monofilamen makropori) daripada kelompok Shouldice.2. Pada operasi hernia inkarserata tanpa reseksi usus, angka kejadian infeksi luka operasi secara laboratoris (dengan kultur kuman dari sekret atau swab luka operasi) lebih tinggi pada kelompok herniorafi teknik Lichtenstein (menggunakan mesh monofilamen makropori) daripada kelompok Shouldice.

BAB 4METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan Randomized Control Trial (RCT) dengan post test control only.

B. Populasi dan Sampel Penelitian1. PopulasiSubyek pada penelitian ini adalah semua pasien hernia inguinalis lateralis inkarserata yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah.2. Sampel PenelitianSampel pada penelitian ini diambil dari populasi dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut.a. Kriteria inklusi:1) Laki-laki berusia 15 70 tahun2) Diagnosis preoperasi hernia inguinalis lateralis inkarserata3) BMI 18,5 29,9 kg/m24) Sistem pembekuan darah baik (nilai trombosit plasma normal)5) Tidak menderita penyakit yang mengganggu sistem imun seperti diabetes melitus atau AIDS, tidak sedang mendapatkan terapi kortikosteroid atau kemoterapi.b. Kriteria eksklusi:1) Alergi antibiotika sefalosporin generasi III2) Lama operasi lebih dari 2 jam.3) Durante operationum ditemukan robekan usus, nekrose usus, perforasi usus, isi kantong hernia berupa apendik vermikularis yang meradang, atau dilakukan reseksi usus.c. Pemilihan SampelProses pemilihan teknik operasi dilakukan dengan systematic random sampling yaitu dengan menggunakan sistem ganjil-genap, bergantian antara kedua teknik (Shouldice dan Lichtenstein) sesuai nomor urut sampel; nomor ganjil dioperasi dengan teknik Shouldice nomor genap dioperasi dengan mesh.

C. Variabel Penelitian1. Variabel bebasHerniorafi Lichtenstein dan Shouldice2. Variabel tergantunga. Infeksi luka operasi secara klinis (kriteria Hulton)b. Infeksi luka operasi secara laboratoris (hasil kultur kuman dari secret atau swab luka operasi)3. Variabel perancuUmur, indeks masa tubuh (IMT), status imun, diabetes mellitus (DM), kadar hemoglobin darah, fungsi pembekuan darah, serta lama operasi diseleksi melalui kriteria inklusi dan eksklusi, sehingga tercapai sampel yang homogen. Beberapa variabel tidak akan mungkin bisa disamakan, seperti lama inkarserata (waktu mulai terjadi inkarserata sampai dilakukan operasi), lama operasi, kemampuan operator serta kondisi sterilitas kamar operasi. Kondisi sterilitas kamar operasi pada saat digunakan untuk herniorafi tidak mungkin selalu sama, karena herniorafi sito bisa saja dikerjakan setelah operasi sito lainnya seperti sectio caesaria, debridement, dll.

D. Definisi Operasional1. Teknik operasi herniorafiTindakan mengikat serta memotong kantong hernia diikuti dengan memperkuat dinding posterior funikulus spermatikus dan mempersempit cincin inguinal interna. Pada penelitian ini dipakai 2 cara, yaitu teknik pure tissue repair menurut Shouldice, dan prosthetic repair dengan mesh momofilamen makropori (Lichtenstein).Skala variabel: Nominal.Katagori: Lichtenstein (mesh monofilamen makropori), Shouldice.2. Infeksi luka operasi secara klinisInfeksi luka operasi secara klinis ditentukan berdasarkan kriteria Hulton, sebagai berikut:a. Derajat 0 : Tanpa tanda infeksib. Derajat 1 : Dalam 24 jam atau lebih paska operasi terdapat eritema pada luka operasi tanpa cairan serous.c. Derajat 2 : Eritema dengan cairan serous atau sanguinus dari luka, atau luka ditutup oleh pustula, pasien mungkin demam.d. Derajat 3 : Cairan purulen dari bagian luka tanpa pemisahan tepi luka, pasien mungkin demam.e. Derajat 4 : Cairan purulen bercampur darah dari luka dengan pemisahan tepi luka, pasien biasanya demam. Skala variabel: Ordinal.Kategori: Derajat 0,1,2,3 dan 4.3. Infeksi luka operasi secara laboratorisInfeksi luka operasi secara laboratoris adalah infeksi luka operasi yang telah terbukti positif melalui hasil kultur kuman. Material kultur diambil dari sekret atau swab luka operasi yang secara klinis menunjukkan infeksi derajat 2 atau lebih. Kultur kuman positif atau negatif dinyatakan didalam ekspertise yang ditandatangani oleh ahli mikrobiologi Laboratorium Mikrobiologi FK Universitas Udayana yang memeriksa hasil kultur tersebut. Skala variabel: NominalKategori: Positif, negatif.

E. Analisis DataData yang terkumpul diedit, di-coding, dan di-entry ke dalam file komputer, dilakukan analisis statistik dengan software SPSS. Dilakukan uji normalitas pada variabel umur, IMT, Hb, lekosit, trombosit, serta lama operasi. Apabila data tidak terdistribusi normal dilakukan uji bebas distribusi (tes statistik non-parametrik). Uji perbedaan angka kejadian infeksi antar kelompok perlakuan dilakukan dengan Chi-square atau Fisher exact test apabila data yang diperoleh tidak memenuhi syarat untuk uji Chi-square.

DAFTAR PUSTAKA

Javid PJ, Brooks DC. Hernias. In: Maingots abdominal operation. Zinner MJ, Seymour I, editors. 11th Ed. London: Prentice Hall International, 2007:103-39.Shouldice BE. The Shouldice repair for groin hernias. Department of Surgery, Shouldice Hospital, 7750 Bayview Avenue, Thornhill, Ontario, Canada L3T 4A3. Surg Clin N Am 2003; 83:116387Read RC. Inguinofemoral Herniation: Evaluation of repair through the anterior approach to the groin. In: Shackelfords surgery of alimentary tract. Zuidema GD, Yeo CJ, editors. Volume V. Fifth edition. Philadelphia: WB Saunders, 2002:101-14.Deysine,M. Recurrence and Infection: Correlation and Measures to Decrease the Incidence of Both. In: Recurrent Hernia Prevention and Treatment. Schumpelick V., Fitzgibbons R.J.,Eds. Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2007: 311-14.Vrijland WW, Tol MP, Luijendijk RW. Randomized clinical trial of non-mesh versus mesh repair of primary inguinal hernia. Br J Surg 2002; 89:293-7.Friis E, Lindahl F. The tension free hernioplasty in a randomized trial. Am J Surg 1996;172(4):315-9.Hung LAU. Inguinal Hernia Repair: Which operation for your patients? CME Bulletin, The Hong Kong Medical Association. April 2007:2-8Amid PK. Lichtenstein tension-free hernioplasty for the repair of primary and recurrent inguinal hernias. In: Nyhus & Condons Hernia. Fitzgibbons Jr, Greenburg AG, Editors. Fifth ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, 2002:152-3.Woods B., Neumayer W. Open Repair of Inguinal Hernia: An Evidence Based Review. Surg Clin North Am 2008;88: 139-55.Dunn DL. Surgical site infection. In: Essential practice of surgery: basic science and clinical evidence. Norton JA, Bollinger RR, editors. Springer- Verlag New York, Inc. 2003:69-70.Amid PK. Classification of biomaterials and their related complications in abdominal wall hernia surgery. Hernia 1997; 1:15-21.Henry T. Perbedaan Derajat Infeksi dan Hitung Kuman antara Mesh Monofilamen dan Multifilamen Mokropori serta Pure Tissue Repair (studi eksperimental operasi bersih terkontaminasi in vivo pada tikus wistar), FK UNDIP, Semarang, [Tesis], 2007.Kelly ME, Behrman SW. The safety and efficacy of prosthetic hernia repair in clean-contaminated and contaminated wounds. The American Surgeon 2002;68:524-8.Yudha M, Issakh B, Hadi A, Riwanto I. Pola kuman dan uji kepekaan kuman cairan kantong hernia pada hernia inkarserata. Majalah Kedokteran Diponegoro 1994;29:103-7.Sakorafas GH, Poggio JL, Dervenis C, Sarr MG. Small bowel obstruction. In: Shackelfords surgery of alimentary tract. Zuidema GD, Yeo CJ, editors. Volume V. Fifth edition. Philadelphia: WB Saunders, 2002:317-23.Voller GR. New Developments in Hernia Repair. In: Surgical Technology International XI. Szabo Z, Coburg AJ, Strange PS, Lewis JE, Facog, Savalgi RS. Editors. Memphis: University of Tennese, 1998: 1-6.Schumpelick V, Klinge U, Klosterhalfen B. Biomaterials for the repair of abdominal wall hernia: structur and compotional consideration. In: Nyhus & Condons Hernia. Fitzgibbons Jr, Greenburg AG, Editors. Fifth ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, 2002:554-5.Schumpelick V. Atlas of hernia surgery. 10th ed. Toronto: B.C. Decker Inc, 1990:148-55.Schumpelick V, Klinge U. Prosthetic implants for hernia repair. British Journal of Surgery 2003(90): 1457-8.Klinge U, Junge K, Spellerberg B, Piroth C, Klosterhalfen B, Schumpelick V. Do multifilament alloplastic meshes increase the infection rate? Analysis of the polymetric surface, the bacteria adherence, and the invivo consequences in a rat model. J Biomed Mater Res 2002;63(6):765-71.Taylor SG, ODwyer PJ. Chronic groin sepsis following tension-free inguinal hernioplasty. Br J Surg 1999; 86:562-5.Hulton LJ, Olmsted RN, Treston-Aurand J, Craig CP. Effect of postdischarge surveillance on rates of infectious complications after cesarean section. Am J Infect Control. 1992 Aug;20(4):198-201.Yudha M, Riwanto I. Pengaruh pencucian medan operasi terhadap kejadian infeksi luka operasi penderita hernia inguinalis inkarserata. Karya Ilmiah Paripurna. Semarang: Bagian Bedah FK UNDIP, 1996.Sabiston DC, Lyerly HK. Hernias. In: Essensial of Surgery. Sabiston DC, editor. 2nd Ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2007:433-4.Nyhus LM, Bombeck T, Klein MS. Hernias. In: Textbook of surgery. Sabiston DC, editor. 14th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 2007:1141-4.Malangoni MA. Rosen MJ. Hernias. In: The Townsend Sabiston Textbook of Surgery - The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Basil A. Pruitt Jr., MD. 18th ed. Elsevier Inc. 2008: 424-9.Weyhe D, Belyaev O, Muller C, Meurer K, Bauer KH, Papapostolou G, Uhl W. Improving Outcomes in Hernia Repair by the Use of Light MeshesA Comparison of Different Implant Constructions Based on a Critical Appraisal of the Literature. World J Surg (2007) 31: 234244. Available from: http://www.springerlink.com/index/352U7PV872RV71X7.pdf. Sited on March 4th 2015.Cruse PJE, Foord R. The epidemiology of wound infection: a ten year prospective study of 62,939 wound. Surg Clin North Am 1980;60:27-40Janu PG, Sellers KD, Mangiante EC. Mesh inguinal herniorraphy: a ten year review. Am J Surg 1997;63:1065-9.Scottish intercollegiate guideline network. Antibiotic prophylaxis in surgery. A national clinical guideline. Sign publication number 45. July 2000.Gardner P, Cunha BA. Antibiotic prophylaxis and immunization. In: Antibiotic essentials. Cunha BA, editor. Michigan: Physicians Press, 2002:232-48.Barie PS. Perioperative management. In: Surgery basic science and clinical evidence. Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Muvihill SJ, Pass HI, eds. New York: Springer-Verlag, 2001:376.Houghton SG, De la Medina AR, Sarr MG. Bowel obstruction. In: Maingots abdominal operation. Zinner MJ, Seimour I, editors. 11th Ed. London: Prentice-Hall Intl. Inc, 2007:479-507.Howard R J. Surgical Infection. In: Principles of Surgery. Schwartz SI, Spencer FC, Shires GT, Daly JM, Fisher JE, editors. Volume I. Seventh edition, McGraw-Hill International editions, 1999:123-53.Perren JC, Schnieg R, Hunt TK, Mundy LM. Inflamation, Infection, and Antibiotics. In: Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lawrence WW, Doherty GM. Volume I, 11th ed, International ed, Appletonn and Lange Medical Publications, 2003:113-55.Fry DE. Wound infection in hernia repair. In: In: Nyhus & Condons Hernia. Hernia. Fitzgibbons Jr, Greenburg AG, Editors. Fifth ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, 2002:279-85.Struthers JK, Westran PW. Clinical Bacteriology. London: Manson Publishing Ltd, 2003:35-6.Geroulanos S, Hell K. Table of risk factor of surgery. In: Risk factors in surgery. Basel-Switzerland: Editiones Roche, 1994:225-8.Margenthaler JA, Herrmann VM, Hickey MS. Surgical Metabolism & Nutrition. In: Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lawrence WW, Doherty GM. Volume I, 11th ed, International ed, Appletonn and Lange Medical Publications, 2003:156-90.Schible UE, Kaufmann SHE. Malnutrition and infection: complex mechanisms and global impacts. Available from URL: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi/artid=1858706. Sited on March 4th 2015.Joshi N, Caputo GM, Weitekamp MR, Karchmer AW. Infections in patiens with diabetes mellitus. The New England Journal of Medicine 1999;341:1906-12.Ethridge RT, Leong Mimi, Phillips LG. Wound healing phases. In: The Townsend Sabiston Textbook of Surgery - The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Basil A. Pruitt Jr. 18th ed. Elsevier Inc. 2008: 121-9.Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular immunology. 5th Ed. Philadelphia: Saunders, 2003:342-4.Kresno SB. Imunologi: diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke-empat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001: 161-5.Budiarto E. Metodologi penelitian kedokteran: sebuah pengantar, Jakarta: EGC, 2003:88-95.Subakir, Winarto, Isbandrio B. Petunjuk praktikum mikrobiologi kedokteran II. Edisi ke-2. Semarang: Mikrobiologi FK UNDIP, September 2002: 4-5.Reimer L, Carroll KC. Procedure for the storage of microorganisms. In: Manual of clinical microbiology. Baron EJ, Pfaller MA, Jorgensen JH, Yolken RH. 8th eds. Washington: ASM press, 2003: 67-73.Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Suplemen III. Jaringan Komunikasi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Dalam: Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2007:15-6.