Upload
-
Upload
elchimreza -
Category
Documents
-
view
217 -
download
1
description
Transcript of Upload
1
Etik, Disiplin dan Hukum Kedokteran
Pendahuluan
Sejak awal sejarah umat manusia, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua
insan yaitu manusia penyembuh dan pasien. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut
transaksi atau kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini dilakukan secara
konfidensial, dalam suasana saling percaya mempercayai, dan hormat menghormati.1
Sejak terwujudnya praktik kedokteran, masyarakat mengetahui dan mengakui adanya
beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik
dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati, serta integritas
ilmiah dan moral yang tidak diragukan.1
Di Indonesia, Kode Etik Kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma
yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah
pancasila, sebagai landasan adil dan UUD 1945 sebagai landasan struktural. Dengan
maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran,
para dokter baik yang tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan, dan
penelitian telah menerima Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).1
Skenario Kasus
Dr. P adalah seorang dokter spesialis obgyn yang berpengalaman. Beliau barau saja
akan menyelesaikan tugas jaga malamnya di sebuah rumah sakit ketika seorang wanita
muda datang dengan ditemani oleh ibunya untuk berobat. Si pasien lalau menceritakan
keluhannya yaitu mengalami perdarahan per vaginam dan sangat kesakitan. Dr. P lalu
melakukan pemeriksaan dan menduga bahwa kemungkinan pasien mengalami keguguran
atau mencoba melakukan aborsi. Dr. P segera melakukan dilatasi dan curettage dan
mengatakan kepada suster untuk menanyakan kepada keluarga pasien apakah dia bersedia
diopname di rumah sakit sampai keadaannya benar-benar baik. Tidak lama kemudian dr.
Q datang untuk menggantikan dr. P yang langsung pulang tanpa berbicara kepada pasien.
Pembahasan
1
2
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)1
Kewajiban Umum
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksakana profesinya sesuai dengan profesi
yang tertinggi
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang dapat mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik
hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan
pasien
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
dapat menimbulkan keresahan masyarakat
Pasal 7
Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya
Pasal 8
Seorang dokter harus dalam setiap praktik medisnya memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih sayang dan
penghormatan atas martabat manusia
Pasal 9
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya,
dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan
2
3
dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam
menangani pasien
Pasal 10
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawat, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 11
Setiap dokter harus senantiasa mengingatkan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani
Pasal 12
Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat da memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, baik
fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang
sebenar-benarnya
Pasal 13
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat harus saling menghormati
Etika Kedokteran2
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta, 1953), etika adalah ilmu
pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998), etika adalah:
1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.
2. Kumpulan atau seperangkat azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut Kamus Kedokteran (Ramli dan Pamuncak, 1987), etika adalah pengetahuan
tentang perilaku yang benar dalam satu profesi.
Hukum Kesehatan2
Definisi hukum tidak dapat memuaskan semua pihak karena banyak seginya, dan
demikian luasnya sehingga sulit disatukan dalam satu rumusan.
3
4
Yang dimaksud dengan hukum adalah peraturan perundangan, seperti yang terdapat
dalam hukum pidana, hukum perdata, hukum tata Negara, dan hukum administrasi
Negara.
Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (PERHUKI) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi
perseorangan maupun segenap lapisan masyarakat, baik sebagai penerima pelayanan
kesehatan maupun sebagai pihak penyelenggara kesehatan dalam segala aspek,
organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan
hukum, serta sumber hukum lain.
Persamaan Etika dan Hukum2
1. Sama-sama merupakan alat untuk mengatur tertibnya hidup bermasyarakat.
2. Sebagai objeknya adalah tingkah laku manusia.
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan.
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan pengalaman para anggota senior.
Perbedaan Etik dan Hukum2
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi, hukum berlaku untuk umum.
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi, hukum disusun oleh badan
pemerintah.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis, hukum tercantum secara terinci dalam kitab undang-
undang dan lembaran/berita negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik berupa tuntutan, sanksi terhadap pelanggaran
hukum berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan atau
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang dibentuk oleh IDI, pelanggaran
hukum diselesaikan oleh pengadilan.
6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik, penyelesaian
4
5
pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.
Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien3
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Pasal 14
Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh kelimuan dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan
seuatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib
merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.
Pasal 15
Setiap dokter wajib memberikan kepada pasiennya agar senantiasa dapat berinteraksi
dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian
masalah pribadi lainnya.
Pasal 16
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia
Pasal 17
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya
Hak Pasien3
Dalam hubungan dokter dengan pasien, pasien memiliki hak-haknya yang harus
dihormati oleh para dokter. Hak-hak asasi itu dapat dibatasi atau dilanggar apabila tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya persetujuan
tindakan medik, persetujuan menjadi donor dalam tindakan transplantasi atau kesediaan
ikut dalam penelitian biomedik. Kadang-kadang atas perintah undang-undang hak asasi
itu dilanggar, seperti wajib berperan serta dalam kegiatan imunisasi, karena adanya
wabah. Dalam KODEKI terdapat pasal tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang
merupakan pula hak-hak pasien yang perlu diperhatikan. Pada dasarnya hak-hak pasien
5
6
adalah sebagai berikut:
1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya sendiri, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan profesi
kedokteran.
3. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya.
4. Menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik
diri dari kontrak terapetik.
5. Memperoleh penjelasan tantang riset kedokteran yang akan diikutinya.
6. Menolak atau menerima keikutsertaannya dalam riset kedokteran.
7. Dirujuk kepada dokter spesialis kalau diperlukan, dan dikembalikan kepada dokter
yang merujuknya setelah konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh perawatan
atau tindak lanjut.
8. Kerahasiaan dan rekam mediknya atas hal pribadi.
9. Memperoleh penjelasan tentang peraturan rumah sakit.
10. Berhubungan dengankeluarga, penasihat, rohaniawan, dan lain-lain yang diperlukan
selama perawatan di rumah sakit.
11. Memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan Rontgen, Ultrasonografi, CT-Scan, MRI, dan sebagainya
(kalau dilakukan), biaya kamar bedah, kamar bersalin, imbalan jasa dokter, dan lain-
lainnya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa hak memperoleh informasi atau penjelasan
merupakan hak asasi pasien yang paling utama, bahkan dalam tindakan-tindakan khusus
diperlukan Persetujuan Tindakan Medik (PTM) yang ditandatangani oleh pasien dan/atau
keluargannya.
Dalam memberikan informasi kepada pasien, kadang kala agak sulit menentukan
informasi yang mana yang harus diberikan, karena sangat bergantung pada usia,
pendidikan, keadaan umum pasien dan mentalnya. Namun pada umumnya dapat
dipedomani hal-hal berikut:
1. Informasi yang diberikan haruslah dengan bahasa yang dimengerti oleh pasien.
2. Pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan-tindakan
yang akan diambil, kemungkinan komplikasi dan risiko-risikonya.
6
7
3. Untuk anak-anak dan pasien penyakit jiwa, informasi diberikan kepada orang tua
atau walinya.
Dalam UU RI No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52 dinyatakan
hak-hak pasien adalah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis,
meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain, mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan
dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.
Kewajiban Pasien3
Jika ada hak, tentu ada kewajiban. Dalam kontrak terapetik antara dokter dan pasien,
memang dokter mendahulukan hak pasien karena tugasnya merupakan panggilan
perikemanusiaan. Namun, pasien yang telah mengikatkan dirinya dengan dokter, perlu
juga memperhatikan kewajiban-kewajibannya sehingga hubungan dokter dan pasien yang
sifatnya saling hormat-menghormati dan saling percaya-mempercayai terpelihara baik.
Kewajiban-kewajiban pasien pada garis besarnya adalah sebagai berikut:
1. Memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter.
2. Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya.
3. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.
4. Menandatangani surat-surat PTM, surat jaminan di rawat di rumah sakit dan lain-
lainnya.
5. Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh.
6. Melunasi biaya perawatan di rumah sakit, biaya pemeriksaan, dan pengobatan serta
honorarium dokter.
Hak Dokter3
Sebagai manusia biasa dokter memiliki tanggung jawab terhadap pribadi dan
keluarga, di samping tanggung jawab profesinya terhadap masyarakat. Kerena itu dokter
juga memiliki hak yang harus dihormati dan dipahami oleh masyarakat sekitanya. Hak-
hak dokter adalah sebagai berikut:
1. Melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Izin Dokter (SID) dan Surat Izin
Praktik (SIP).
7
8
2. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang
penyakitnya.
3. Bekerja sesuai standar profesi.
4. Menolak melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika, hukum,
agaman, dan hati nuraninya.
5. Mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menurut penilaiannya kerja sama
pasien dengannya tidak berguna lagi, kecuali dalam keadaan gawat darurat.
6. Menolak pasien yang bukan bidang spesialisasinya, kecuali dalam keadaan darurat
atau tidak ada dokter lain yang mampu menanganinya.
7. Hak atas kebebasan pribadi dokter.
8. Ketentraman bekerja.
9. Mengeluarkan surat-surat keterangan dokter.
10. Menerima imbalan jasa.
11. Menjadi anggota perhimpunan profesi.
12. Hak membela diri.
Kewajiban Dokter3
Dokter yang membaktikan hidupnya untuk perikemanusiaan tentulah akan selalu
lebih mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan pribadinya. Dalam
menjalankan tugasnya, bagi dokter berlaku “Aegroti Salus Lex Suprema” yang berarti
keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (yang utama). Kewajiban dokter yang
terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman
sejawat, dan kewajiban terhadap diri sendiri telah dibahas di dalam KODEKI.
Dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 51 dinyatakan
bahwa kewajiban dokter atau dokter gigi adalah:
1. Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan.
8
9
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
pada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Hak serta kewajiban dokter dan pasien perlu disosialisasikan di kalangan dokter dan
di tengah-tengah masyarakat agar tiap-tiap pihak dapat memahami, menghayati,
menghormati, dan mengamalkannya. Dengan demikian, diharapkan hubungan pasien dan
dokter dapat berlangsung dengan baik dan masyarakat pun akan bebas dari keresahan.
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat1
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Pasal 18
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan
Sesama dokter sebagai sejawat sebenarnya ingin saling diperlakukan sama oleh
teman sejawatnya (golden rule). Konteks kesejawatan dalam hal ini adalah kesetaraan
hubungan antar sejawat, tidak ada salah satu yang diduga berperilaku menyimpang.
Makna berikutnya ialah agar setiap dokter menahan diri untuk tidak membuat sulit,
bingung, kecewa/marah sejawatnya sehingga terwujud organisasi profesi yang tangguh
dengan tradisi luhur pengabdi profesi sebagai model panutannya.4
Contoh: hindari tindakan tidak kolegial seperti perbuatan sangat tidak kolegial ialah
bila seorang dokter mengejek teman sejawat dan mempergunjingkan dengan pasien atau
orang lain tentang perbuatannya yang dianggap kurang benar.4
Hindari pencemaran nama baik: Seorang dokter harus menghindarkan diri dari
mencemarkan nama baik sendiri, ibarat seperti “menepuk air di dulang terpecik muka
sendiri” selain ada pula aspek hukumnya.4
9
10
Bimbingan dokter senior: Sebagai sejawat senior dokter wajib membimbing teman
sejawatnya yang lebih muda, terutama yang berada di bawah pengawasannya.4
Melecehkan: Seorang dokter janganlah sekalipun mengatakan sejawatnya yang lebih
muda atau lebih tua, di muka umum, bahwa ia lulusan baru dan belum berpengalaman
atau sudah terlalu tua, ilmunya kuno dan sebagainya.4
Hati-hati dan menahan diri: Seorang dokter harus memahami bahwa pada umumnya
masyarakat kita belum begitu memahami tentang hubungan yang begitu erat antara
dokter dengan dokter, sehingga kadang-kadang mereka melakukan sesuatu yang
cenderung mengadu domba dimana seorang pasien mengunjungi dua atau tiga dokter
untuk penyakitnya dan pada akhirnya memilih dokter yang dalam ucapan dan
perbuatannya sesuai dengan selera dan harapannya.4
Mempersulit rekomendasi (persyaratan perizinan): Seorang birokrat yang secara
sengaja mempersulit sejawat lain yang persyaratannya administrasinya sudah memenuhi,
dikategorikan melanggar etik.4
Pasal 19
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis
Setiap dokter seharusnya memahami dan menyadari bahwa masalah saling toleransi
menjadi kunci dari penegak etik kesajawatan ini. Pada umumnya, jika seseorang sudah
percaya pada seorang dokter maka dokter tersebut akan terus dicari pasien walaupun
keadaan praktiknya jauh dari rumahnya. Saat ini di kota besar perkembangan
pengetahuan masyarakat umum maju dengan pesat. Penyakit dengan pengobatannya akan
lebih terbuka dengan tele-health care, e-health, menggunakan teknologi informasi
komunikasi. Beberapa ketentuan globalisasi di masa depan, akan menjadi pemicu
perubahan tentang etika.4
Seorang dokter harus paham, bahwa seorang pasien yang telah kehilangan
kepercayaan pada seorang dokter, tidak dapat dipaksa untuk kembali mempercayainya.
Dokter yang memahami hal tersebut di atas dan kemudian menerima pasien yang
bersangkutan harus berusaha menasihatinya agar kembali ke dokter pertama dan bila
10
11
pasien tidak bersedia, dokter kedua tidak dapat dikatakan merebut pasien dari pihak
pertama.4
Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent5
UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran Bagian Ketiga: Pemberi Pelayanan
Paragraf 2
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap
(3) Penjelasan sebagaimana dmaksud pada ayat 2 sekurang-kurangnya mencangkup:
diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif
tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pasal 2 dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 diatur dengan
Peraturan Menteri
PTM adalah terjemahan yang dipakai untuk istilah informed consent. Sesungguhnya
terjemahan ini tidak begitu tepat. Informed artinya telah diberitahukan, telah
disampaikan, atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan
kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian informed consent adalah
persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. Ada dua
bentuk PTM yaitu:
1. Tersirat atau dianggap telah diberikan (implied consent) yang terdiri dari pada saat
11
12
keadaan normal atau darurat.
2. Dinyatakan (expressed consent) yang meliputi secara lisan atau tertulis.
Persetujuan5
Inti dari persetujuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat
informasi yang adekuat. Yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan
persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahuh atau sudah menikah) dan
dalam keadaan sehat mental.
Dalam banyak PTM yang ada selama ini, penandatanganan persetujuan ini lebih
sering dilakukan oleh keluarga pasien. Hal ini mungkin berkaitan dengan kesangsian
terhadap kesiapan mental pasien sehingga beban demikian diambil alih oleh keluarga
pasien atau atas alasan lain.
Untuk pasien yang di bawah umur 21 tahun, dan pasien gangguan jiwa yang
menandatangani adalah orang tua/wali/keluarga terdekat atau induk semang. Untuk
pasien dalam keadaan tidak sadar, atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga
terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan
tindakan medik segera, tidak diperlukan persetujuan dari siapa pun (pasal 11 bab IV
Permenkes No. 585).
Sama dengan yang diatur dalam Permenkes tentang PTM ini, The Medical Defence
Union dalam bukunya Medicolegal Issues in Clinical Practice menyatakan bahwa ada
lima syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya PTM:
1. Diberikan secara bebas.
2. Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian.
3. Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat
memahami tindakan itu perlu dilakukan.
4. Mengenai sesuatu hal yang khas.
5. Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama.
Penolakan5
Seperti dikemukakan pada bagian awal, tidak selamanya pasien atau keluarga setuju
dengan tindakan medik yang akan dilakukan dokter. Dalam situasi demikian, kalangan
12
13
dokter maupun kalangan kesehatan lainnya harus memahami bahwa pasien atau keluarga
mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang akan dilakukan. Ini disebut sebagai
informed refusal.
Tidak ada hak dokter untuk memaksa pasien mengikuti anjurannya, walaupun dokter
menganggap penolakan bisa gawat atau kematian pada pasien.
Bila dokter gagal dalam menyakinkan pasien pada alternatif tindakan yang
diperlukan untuk keamanan di kemudian hari sebaiknya dokter atau rumah sakit meminta
pasien atau keluarga menandatangani surat penolakan terhadap anjuran tindakan medik
yang diperlukan.
Etika Klinik6
Dalam penanganan pasien di klinik perlu diterapkan standar pelayanan medik yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari praktik di bawah standar dan melindungi
profesi dari tuntutan tidak wajar sekaligus merupakan pedoman pengawasan dan
peningkatan mutu pelayanan.
Selanjutnya dalam mengambil keputusan untuk tindakan medik di klinik, dari segi
etik dianjurkan untuk mengamalkan etika klinis yang merupakan etika terapan untuk
mengenal, menganalisis, dan menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan klinik (Jonsen
et, al, 2002).
Setiap kasus di klinik terutama yang menonjol aspek etiknya dianjurkan pendekatan
praktis dalam mengambil keputusan dengan menggunakan 4 topik seperti, indikasi
medik, pilihan pasien, kualitas hidup, dan gambaran kontekstual.
A. Indikasi Medik
Prinsip-prinsip yang terbaik dan tidak merugikan
1. Apa masalah medik pasien?? Anamnesis, diagnosis, prognosis??
2. Apakah masalahnya akut, kronik, gawat darurat, reversible??
3. Apa tujuan pengobatan??
4. Bagaimana tentang kemungkinana berhasil??
5. Apa rencana berikutnya jika pengobatan gagal??
6. Sebagai simpulan, bagaimana pasien ini dapat memanfaatkan asuhan kedokteran dan
13
14
perawatan dan bagaimana menghindari kerugian bagi pasien??
B. Pilihan Pasien
Prinsip menghormati otonomi pasien
1. Apakah pasien secara mental mampu dan kompeten?? Adakah bukti tidak mampu??
2. Kalau mampu apa kata pasien tentang pengobatan yang dipilihnya??
3. Apakah kepada pasien telah dijelaskan manfaat dan risiko, dan memahami
penjelasan tersebut dan apakah mengerti tentang penjelasan ini dan telah memberikan
PTM nya??
4. Kalau tidak mampu siapa yang layak mewakilinya?? Apakah wakilnya menggunakan
standar yang tepat untuk mengambil keputusan??
5. Apakah pasien sebelumnya telah mengemukakan pilihannya dan ke arah mana
penanganannya??
6. Apakah pasien tidak mau atau tidak mampu menerima pengobatan?? Kalau ya
kenapa??
7. Sebagai simpulan, apakah dari segi etik dan hukum hak pasien memilih telah
dihormati??
C. Kualitas Hidup
Prinsip yang terbaik, tidak merugikan, dan menghormati otonomi pasien.
1. Bagaimana prospeknya dengan atau tanpa pengobatan untuk kembali ke kehidupan
normal??
2. Apa kekurangan fisik, mental, dan sosial yang mungkin dialami pasien kalau
pengobatan berhasil??
3. Adakah bias terhadap penilaian yang diberikan penyelenggara pelayanan kesehatan
terhadap kualitas hidup pasien??
4. Apakah kondisi pasien sekarang dan yang akan datang sebegitu rupa sehingga
kehidupan selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi??
5. Apakah rasional untuk merencanakan pengobatan selanjutnya?
6. Adakah rencana untuk membuat hidupnya pasien nyaman dan apakah perlu
diberikan asuhan paliatif??
14
15
D. Gambaran Kontekstual
Prinsip kesetiaan dan keadilan
1. Adakah hal-hal dalam keluarga yang mempengaruhi keputusan akan pengobatan??
2. Adakah hal-hal yang menyangkut penyelenggara pelayanan kesehatan (dokter,
perawat) yang mempengaruhi keputusan akan pengobatan??
3. Adakah faktor biaya dan ekonomi?
4. Adakah faktor agama dan budaya?
5. Adakah batas-batas kerahasiaan?
6. Adakah masalah alokasi sumber daya?
7. Adakah peraturan undang-undang yang mempengaruhi keputusan akan pengobatan??
8. Apakah penelitian klinis atau pendidikan klinis terlibat??
9. Adakah konflik kepentingan dari penyelenggara pelayanan kesehatan atau lembaga??
Kesehatan Reproduksi7
UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan
sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan
b. Pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual
c. Kesehatan sistem reproduksi
(3) Kesehatan reproduksi sebagimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
Pasal 72
Setiap orang berhak:
15
16
a. Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta
bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah
b. Menentukan kehidupa reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau
kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat
manusia sesuai dengan norma agama
c. Menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis
serta tidak bertentangan dengan norma agama
d. Memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang
benar dan dapat dipertangggungjawabkan
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kamdungan
b. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan
(3) Tindakan sebagimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasihat pra tindakan dan diakhiri konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 76
Aborsi sebagimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan
16
17
e. Penyedia pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundangan-undangan
Kesimpulan
Dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik, disiplin, dan hukum yang sangat
luas serta saling tumpang tindih pada suatu kasus tertentu. Etik mencangkup prinsip-
prinsil moral dan norma yang berlaku dalam suatu profesi tertentu. Dalam kedokteran,
etik terdapat dalam bentuk Kode Etik Kedokteran. Sanksi bagi pelanggaran etik biasanya
hanya berupa teguran. Sementara itu disiplin kedokteran adalah aturan-aturan dan atau
ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh
dokter, dalam kata yang lebih sederhana dapat disebut sebagai standart profesi.
Pelanggaran disiplin kedokteran dapat memunculkan sanksi seperti teguran, reedukasi,
hingga pencabutan ijin praktik. Terakhir adalah hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh
negara, yang tertuang dalam Undang-Undang maupun berita negara lainnya. Saksi dari
pelanggaran hukum adalah sanksi pidana dan pencabutan ijin praktik. Ketiga hal tersebut
adalah hal yang harus dipahami oleh seorang dokter dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya di masyarakat.
Daftar Pustaka
1. Hanafiah MJ. Kode etik kedokteran indonesia (kodeki). Dalam: Hanafiah MJ, Amir
A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta; EGC: 2009. Hal. 14.
2. Hanafiah MJ. Pengertian etika kedokteran, bioetik, dan hukum kesehatan. Dalam:
Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta; EGC:
2009. Hal. 2-6.
3. Hanafiah MJ. Hak dan kewajiban dokter dan pasien. Dalam: Hanafiah MJ, Amir A.
Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta; EGC: 2009. Hal. 48-56.
4. Purwadianto A, Soetedjo, Gunawan S, Budiningsih Y, Prawiharjo P, Firmansyah A.
17
18
Kode etik kedokteran indonesia. Jakarta; Pengurus Besar IDI: 2012. Hal. 34-9.
5. Amir A. Persetujuan tindakan medik (informed consent). Dalam: Hanafiah MJ, Amir
A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta; EGC: 2009. Hal. 73-7.
6. Hanafiah MJ. Etika klinis. Dalam: Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum
kesehatan. Edisi 4. Jakarta; EGC: 2009. Hal. 85-7.
7. Redaksi Sinar Grafika. Undang-undang kesehatan UU RI No. 36 tahun 2009.
Jakarta; Sinar Grafika Offset: 2010. Hal. 31-4.
18