Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Dr. Adi)

download Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Dr. Adi)

of 23

Transcript of Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Dr. Adi)

UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Program kesehatan Ibu dan Anak merupakan salah satu prioritas Kementerian Kesehatan dan keberhasilan program KIA menjadi salah satu indikator utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 2025. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia membuat pemerintah menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program prioritas dalam pembangunan kesehatan.Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian ibu (AKI) per 100.000 kelahiran hidup menurun secara bertahap, dari 390 (1991) menjadi 334 (1997), 307 (2003), dan 228 (2007) dan tahun 2012 melonjak 359/100.000 Kelahiran Hidup (SDKI,2012). AKI di Indonesia masih cukup tinggi. Tingginya AKI terkait dengan penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Factor penyebab langsung didominasi oleh Perdarahan (32%), disusul Hipertensi dalam kehamilan (25%), Infeksi (5%), Partus lama (5%), dan Abortus (1%). Penyebab Lain-lain (32%) cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non obstetrik. Faktor penyebab tidak langsung kematian ibu karena masih banyaknya kasus 3 TERLAMBAT dan 4 TERLALU. TIGA TERLAMBAT yaitu meliputi terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan, terlambat dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan dan terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. EMPAT TERLALU meliputi terlalu tua hamil (di atas usia 35 tahun) sebanyak 27%, terlalu muda untuk hamil (di bawah usia 20 tahun) sebanyak 2,6%, terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8%, terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun) (Riskesdas, 2010). Program percepatan penurunan AKI diupayakan terus untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) 102/100.000 KH pada tahun 2015. Tingginya angka kematian ibu dapat menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Penurunan AKI juga merupakan indikator keberhasilan derajat kesehatan suatu wilayah. Untuk itu pemerintah berupaya bahu membahu membuat berbagai strategi untuk akselerasi menurunkan AKI.Pemerintah telah berupaya mengambil Kebijakan akselerasi penurunan AKI melahirkan dengan adanya Dasar Hukum yang jelas dan kuat, melalui Program-program akselerasi Penurunan AKI melahirkan yaitu:

BAB IIPEMBAHASAN

Angka Kematian IbuA.DefinisiKematian ibu adalah kematian dari setiap wanita waktu hamil, persalinan,dan dalam 90 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, tanpamemeperhitungkan tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untukmengakhiri kehamilan (WHO).Kematian ibu adalah kematian dari setiap wanita waktu hamil, persalinan,dan dalam 90 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, tanpamemeperhitungkan tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untukmengakhiri kehamilan (WHO).Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya kematian perempuan padasaat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lamadan tempat persalinan, yang disebabkan karena kehamilannya ataupengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiranhidup. WHO in Indonesia, 2002.The Millennium Development Goals for Health:A review of the indicators, Jakarta.tujuan kelima Milenium Development Goals (MDGs) difokuskan pada kesehatan ibu, untuk mengurangi kematian ibu. Upaya penurunan angka kematian ibu ( AKI) yaitu : A. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan TerlatihPertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7% pada tahun 2002 menjadi 77,34% pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3% pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010).

B. Meningkatkan angka pemakaian KontrasepsiAngka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate-CPR) menunjukkan peningkatan dalam lima tahun terakhir. Capaian CPR semua cara secara nasional meningkat dari 49,7% pada tahun 1991 menjadi 61,4% pada tahun 2007. Sementara itu, untuk CPR cara modern meningkat dari 47,1% pada tahun 1991 menjadi 57,4% pada tahun 2007 (SDKI). Selanjutnya, di antara CPR cara modern, KB suntik merupakan cara yang paling banyak digunakan (32%), diikuti pil KB sebesar 13% (SDKI, 2007).17

C. Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Dasar ( PONED )Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) adalah pelayananuntuk menanggulangi kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang terjadipada ibu hamil, ibu bersalin maupun ibu dalam masa nifas dengan komplikasiobstetri yang mengancam jiwa ibu maupun janinnya. PONED merupakan upayapemerintah dalam menanggulangi Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia yang masih tinggi dibandingkan di Negara-negara Asean lainnya.Pelayanan obstetri dan neonatal regional merupakan upaya penyediaanpelayanan bagi ibu dan bayi baru lahir secara terpadu dalam bentukPelayananObstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di Rumah Sakit dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar (PONED) di tingkatPuskesmas.Puskesmas PONED adalah puskesmas yang memiliki fasilitas dankemampuan memberikan pelayanan untuk menanggulangi kasuskegawatdaruratan obstetri dan neonatal selama 24 jam. Sebuah PuskesmasPONED harus memenuhi standar yang meliputi standar administrasi danmanajemen, fasilitas bangunan atau ruangan, peralatan dan obat-obatan, tenagakesehatan dan fasilitas penunjang lain. Puskesmas PONED juga harus mampumemberikan pelayanan yang meliputi penanganan preeklampsi, eklampsi,perdarahan, sepsis, sepsis neonatorum, asfiksia, kejang, ikterus, hipoglikemia,hipotermi, tetanus neonatorum, trauma lahir, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR),sindroma gangguan pernapasan dan kelainan kongenital.Alur pelayanan puskesmas PONED, setiap kasus emergensi yang datang disetiap puskesmas mampu PONED harus langsung ditangani, setelah itu baruPelayanan yang diberikan harus mengikuti Prosedur Tetap (PROTAP).

Pelayanan yang Diberikan Puskesmas PONED :Puskesmas PONED harus memiliki tenaga kesehatan yang telah dilatih PONEDyaitu TIM PONED (Dokter dan 2 Paramedis). Pelayanan yang dapat diberikanpuskesmas PONED yaitu pelayanan dalam menangani kegawatdaruratan ibu danbayi meliputi kemampuan untuk menangani dan merujuk:1. Hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, eklampsia)2. Tindakan pertolongan Distosia Bahu dan Ekstraksi Vakum pada Pertolongan Persalinan3. Perdarahan post partum 4. infeksi nifas5. BBLR dan Hipotermi, Hipoglekimia, Ikterus, Hiperbilirubinemia, masalahpemberian minum pada bayi6. Asfiksia pada bayi7. Gangguan nafas pada bayi8. Kejang pada bayi baru lahir9. Infeksi neonatal10. Persiapan umum sebelum tindakan kedaruratan Obstetri Neonatal antara lain Kewaspadaan Universal Standar.

Dewiyana. 2010. PONED sebagai Strategi untuk Persalinan yang Aman.FKM UNAIR 2010 di Seksi Info & Litbangkes Dinas Kesehatan ProvinsiJawa Timur

D. Making Pregnancy Safer ( MPS ) Strategi MPS mendukung target internasional yang telah disepakati. Dengan demikian, tujuan global MPS adalah untuk menurunkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir sebagai berikut:a. Menurunkan angka kematian ibu sebesar 75% pada tahun 2015 dari AKI tahun 1990.b. Menurunkan angka kematian bayi menjadi kurang dari 35/1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.

Berdasarkan lesson learned dari upaya Safe Motherhood, maka pesan-pesan kunci MPS adalah:a. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.b. Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.c. Setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.

Empat strategi utama tersebut adalah:a. Meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir berkualitas yang cost-effective dan berdasarkan bukti.b. Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya untuk melakukan advokasi guna memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta meningkatkan koordinasi perencanaan dan kegiatan MPS.c. Mendorong pemberdayaan perempuan dan keluarga melalui peningkatan pengetahuan untuk menjamin perilaku sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.d. Mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.http://bidanlia.blogspot.com/2009/05/making-pregnancy-safer-mps.html

Making pregnancy safer adalah : strategi sektor kesehatan yang ditujukan untuk mengatasi masalah kesehatan akibat kematian dan kesehatan ibu dan bayi merupakan penekanan / fokus dari upaya safe motherhoodTujuan :menurunkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir

Fokus Sasaran :1. persalinan oleh tenaga kesehatan2. penanggulangan komplikasi3. pencegahan kehamilan tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguranTiga Pesan Kunci MPS :1. setiap persalinan ditolong tenaga kesehatan terampil2. setiap komplikasi obstetri dan neonatal ditangani secara adekuat3. setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanggulangan komplikasi keguguran tidak aman.Target :1. menurunkan angka kematian ibu menjadi 125/100.000 kelahiran hidup2. menurunkan angka kematian neonatal menjadi 15/1000 kelahiran hidup3. menurunkan anemia gizi besi menjadi 20%4. menurunkan angka kehamilan yang tidak diingini dari 17% menjadi 3%Kebijakan Komponen KIA Dalam Kesehatan reproduksi :1. setiap ibu menjalani kehamilan dan persalinan dengan sehat dan selamat serta bayi lahir sehat2. setiap anak hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal.http://saraswatimbozo.blogspot.com/2010/06/making-pregnancy-safer-mps.html

MPS Untuk menangani hal tersebut pemerintah sudah mengupayakan berbagai program seperti safe motherhood dan MPS(Making Pregnancy Safer), yang semuanya bertujuan menjamin keselamatan ibu selama kehamilan, persalinan dan saat nifas serta melahirkan bayi yang sehat. Dalam strategi MPS di kemukakan bahwasetiap persalinan harus di tolong oleh tenaga kesehatan, komplikasi obsteri dan neonatal harus mendapatkan pelayanan yang adekuat serta wanita usia subur diharapkan mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan keluarga berencana.Adapun strategi yang dikembangkan di dalam program MPS diantaranya adalah pemberdayaan perempuan, perempuan diharapkan mempunyai pengetahuan dan informasi yang cukup memadai tentang kondisi kesehatannya selama hamil, bersalin dan masa nifas sehingga perempuan tersebut dapat bertanggung jawab terhadap kondisi kesehatannya sendiri dan dapat mengakses palayanan kesehatan yang dibutuhkan. Selain pemberdayaan perempuan, strategi yang lain adalah pemberdayaan masyarakat, masyarakat diharapkan dapat berperan serta dalam penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan anak, kerjasama lintas sektor dan kualitas cakupan pelayanan juga menjadi faktor penting untuk mencapai keberhasilan program MPS.

Peningkatan kualitas pelayanan kebidanan menjadi hal yang harus mendapatkan perhatian, bidan sebagai sahabat perempuan yang membantu dalam proses kehamilan dan persalinan dituntut untuk meningkatkan profesionalisme dalam setiap asuhan kebidanan yang diberikan.Sepertinya semua pihak harus bekerja sama dalam upaya menurunkan AKI di Indonesia, tugas besar ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau tenaga kesehatan akan tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua, karena kehamilan dan persalinan adalah proses yang alamiah yang dialami oleh seorang perempuan, sehingga seharusnya tidak ada lagi ibu yang meninggal baik karena sebab langsung maupun sebab yang tidak langsung.http://purnamawatidewi.blogspot.com/2011/10/mps-sebagai-upaya-akselerasi-penurunan.htmlBanyak Negara yang tidak bisa mencapai sasaran yang ditetapkan dalam Millenium Development Goals (MDGs).1 Hal ini karena kurangnya pelibatan semua pihak yang berkaitan dengan pembangunan, khususnya pelibatan masyarakat sipil yang merasakan permasalahan yang ada serta mengetahui kebutuhan paling signifikan untuk dipenuhi.2 Berangkat dari semangat untuk menerapkan proses pelibatan semua pengalaman kerja dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi masyarakat sipil di beberapa wilayah Indonesia maka dibuatlah usulan untuk permasalahan kesehatan yang perlu diperhatikan. Termasuk membahas yang sudah atau belum dicapai sehubungan dengan target MDGs terkait permasalahan kesehatan, khususnya Angka Kematian Ibu (AKI).AKI adalah banyaknya perempuan yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup. AKI diperhitungkan pula pada jangka waktu enam minggu hingga setahun setelah melahirkan.3AKI merupakan salah satu target yang masih sulit dicapai di Indonesia, dimana target MDGs 2015 ialah menurunkan AKI menjadi 102/100.000 kelahiran hidup namun hingga 2007 AKI di Indonesia masih 228/100.000 kelahiran hidup.4 Tulisan ini mencoba mengidentifikasi mengapa penurunan AKI masih sulit dicapai di Indonesia. Berkaca dari pengalaman dan identifikasi kelompok atau organisasi masyarakat sipil mengenai permasalahan kesehatan yang seyogyanya terpenuhi sesuai dengan target MDGs, akan diusulkan apa yang perlu menjadi agenda kerja untuk mengurangi AKI di Indonesia pada Pasca 2015.Perspektif gender secara jelas dapat melihat perbedaan-perbedaan serta mampu menunjukkan hubungan antara konsep gender equity dan gender equality. Gender equity adalah konsep yang menunjukkan adanya proses yang sama bagi perempuan dan laki-laki serta memastikan adanya kesamaan dalam perlakuan (fairness) terhadap perempuan dan laki-laki. Gender equality adalah sebuah konsep yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kondisi setara untuk mengaktualisasikan hak-hak dan potensinya sebagai manusia agar dapat menyumbangkan serta mendapatkan manfaat dari program-program yang tersedia serta kebijakan-kebijakan yang ada. Gender equality merupakan bentuk pengakuan terhadap perbedaan perempuan dan laki-laki serta menghargai peran yang mereka lakukan. Dengan demikian, gender equity adalah strategi yang digunakan untuk memperoleh gender equality. Gender equity adalah sebuah cara untuk mencapai hasil dan gender equality adalah hasil yang dicapai.Persoalan kematian ibu ketika melahirkan dilihat dengan kerangka berpikir yang menggunakan perspektif gender agar bisa diperoleh gambaran yang utuh mengenai bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi persoalan kematian ibu di Indonesia. Penurunan kematian ibu sangat penting bagi pembangunan karena merupakan prasyarat serta indikator sekaligus hasil sebuah capaian kemajuan dalam pembangunan sebuah negara. Perhatian terhadap masalah kesehatan ibu dengan menghargai dan melindungi hak asasi manusia setiap perempuan, dapat menjadi kekuatan yang berpotensi mendorong kemajuan dalam upaya memenuhi prioritas pembangunan, termasuk di sini penyelesaian permasalahan ketimpangan gender, kesehatan, ketahanan pangan dan ketersediaan air serta anggaran seluruh aspek kesehatan agar dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.Pembahasan mengenai persoalan kematian ibu ketika melahirkan sangat penting karena sesuai dengan pasal 12.1 International Covenant on Economic, Social & Cultural Rights (1966), yang menyebutkan bahwa kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan seksualitas, sangat penting dalam pengembangan potensi manusia serta pembangunan dan diakui sebagai hak asasi yang wajib dipenuhi.Banyak yang menyebutkan bahwa target MDGs untuk kesehatan masih belum selesai, dan masih sangat relevan, misalnya target penurunan angka kematian ibu menjadi 102/100,000 pada tahun 2015 yang tampaknya masih belum bisa tercapai.5 Selain itu kesehatan reproduksi dan seksualitas baru masuk menjadi bagian dari target MDGs (goal 5b) lima tahun yang lalu. Oleh karenanya masih diperlukan lebih banyak waktu untuk mengimplementasikan dan melakukan monitoring atas capaian ini. Oleh karena itu, kesehatan ibu, termasuk penyelesaian persoalan kematian ibu ketika melahirkan, perlu tetap menjadi prioritas dalam agenda Pasca 2015. Untuk mengkaji persoalan kematian ibu ketika melahirkan di Indonesia dan bagaimana upaya untuk mengurangi tingginya angka kematian ibu, perlu dilihat:1. Pelayanan kesehatan reproduksi;2. Anggaran yang tersedia untuk kesehatan ibu baru kemudian kita bisa melihat poin selanjutnya;3. Angka Kematian Ibu di Indonesia.Pelayananan Kesehatan ReproduksiPelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga Negara yang wajib dipenuhi oleh Negara. Amanah Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 171 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa pemerintah pusat harus mengalokasikan 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN (di luar gaji) dan pemerintah daerah harus mengalokasikan 10% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD (di luar gaji) untuk kesehatan. Pasal 171 Ayat (3) mempertegas bahwa 2/3 dari anggaran tersebut harus digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memadai, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan kebijakan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pelayanan publik yang tepat bagi masyarakat, dan sekaligus mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik.6Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 menjelaskan SPM untuk wilayah kabupaten/kota. Tujuannya agar standar yang dibuat daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan serta prioritas daerah masing-masing. Secara umum indikator SPM mecakup Pelayanan kesehatan dasar, Pelayanan kesehatan rujukan, Penyelidikan Epidemiologi dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB), serta Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Sayangnya indikator yang dibangun hanya merupakan ukuran kuantitatif dengan membandingkan target tahunan atas kondisi capaian di lapangan. Selain itu, indikator yang dibuat belum memuat kebutuhan masyarakat secara umum. Dalam Pelayanan kesehatan dasar misalnya, pemerintah hanya memasukkan kunjungan pemeriksaan kehamilan, persalinan, bayi, siswa SD dan setingkat serta pelayanan untuk beberapa penyakit. Pelayanan kesehatan reproduksi yang menjadi kebutuhan masyarakat belum masuk ke dalam SPM sehingga pelaksanaan di fasilitas kesehatan belum dianggap sebagai prioritas.Dalam satu dekade ini kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi semakin menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan mendesak untuk segara diberikan. Karena ada begitu banyak kerugian yang dapat ditimbulkan dengan minimnya pengetahuan akan kesehatan reproduksi. Dalam Pelayanan kesehatan dasar di SPM, pemerintah hanya memasukkan satu unsur kesehatan reproduksi, itu pun hanya sebatas penggunaan KB aktif.7 Kebutuhan untuk mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi tidak hanya pada pelayanan alat kontrasepsi semata, tetapi bagaimana masyarakat mengetahui beberapa penyakit atau infeksi menular seksual yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mereka. Tidak heran jika angka penyakit yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi semakin meningkat, mengingat budaya di masyarakat masih menganggap tabu apabila membicarakan masalah kesehatan reproduksi.Lebih jauh lagi, pemerintah juga kurang memperhatikan kebutuhan remaja untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi. Dalam Pelayanan Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, dikatakan target pemenuhannya hanyalah cakupan desa siaga aktif, padahal banyak kebutuhan promosi kesehatan yang menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya remaja dalam mendapatkan pendidikan kesehatan. Promosi kesehatan yang menjadi salah satu pelayanan, misalnya Puskesmas belum memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Padahal remaja sangat membutuhkan informasi sebanyak-banyaknya dalam menentukan pilihan hidup mereka masing-masing, termasuk kebutuhan informasi kesehatan reproduksi.Kurangnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi berkait terhadap tingginya kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), baik oleh remaja maupun perempuan yang telah menikah.8 Ketidaktahuan ini berlanjut dengan proses pemulihan haid dengan cara yang tidak aman. Sebagai contoh mereka mengkonsumsi jamu, obat, atau minuman tradisional untuk pemulihan haid. Tidak sedikit yang menggunakan cara fisik seperti melompat dan sejenisnya untuk menggugurkan kandungan, sebagian bahkan memilih melakukan aborsi yang tidak aman untuk mengakhiri KTD. Belum adanya layanan aborsi yang aman dari pemerintah memunculkan banyak praktik aborsi tidak aman, disamping tidak adanya fasilitas bagi remaja atau ibu yang mengalami KTD yang ingin mendapatkan konseling. Stigma masyarakat, bahkan petugas kesehatan, justru memojokkan posisi dan kondisi perempuan yang mengalami KTD. Jika diteliti lebih dalam, praktik pemulihan haid dan aborsi yang tidak aman akan menimbulkan kerugian bagi kesehatan reproduksi perempuan, bahkan mereka bisa sampai mengalami kematian. Itulah sebabnya di Indonesia AKI masih cukup tinggi karena minimnya fasilitas untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan.Anggaran Responsif Gender dalam KesehatanPemerintah sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Pasal 3 tentang kewajiban memberikan pelayanan untuk masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu ketetapan tentang anggaran kesehatan juga sudah di atur baik untuk pemerintah pusat, yaitu sebesar 5% dari total APBN untuk kesehatan diluar gaji dan 10% untuk pemerintah daerah diluar gaji.9 Penetapan anggaran kesehatan ini ternyata tidak serta merta membuat kondisi kesehatan di Indonesia membaik.Alokasi anggaran kesehatan reproduksi perempuan dapat dilihat melalui identifikasi program dan kegiatan yang berhubungan dengan penurunan AKI. Hasil penelitian Women Research Institute (WRI) mengenai Akses dan Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi bagi Perempuan Miskin, 2007-2008 yang dilakukan di tujuh wilayah (Jembrana, Lebak, Lombok Tengah, Sumba Barat, Lampung Utara, Surakarta dan Indramayu) menunjukkan bahwa hanya Kabupaten Jembrana (10%) dan Kabupaten Lebak (10,7%) yang menjalankan mandat Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Daerah lainnya menjadikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH) serta Dana Alokasi Umum (DAU) untuk memenuhi kebutuhan daerah. Hal ini dijadikan alasan daerah tidak dapat menjalankan amanah UU tersebut. Hal ini menjadi ironi sebab Lombok Tengah, Sumba Barat, dan Lampung Utara memiliki kemampuan fiscal yang sama dengan Jembrana dan Lebak. Lebih ironis lagi, Surakarta dan Indramayu yang kemampuannya dua kali lipat dari Jembrana dan Lebak, mengaku tidak mampu menjalankan amanah Undang-Undang tersebut.10 Jadi dapat diketahui bahwa yang dapat menyelamatkan hidup perempuan miskin adalah kemampuan politik pemerintah dalam memenuhi mandat Undang-Undang Kesehatan, bukan DAU atau PAD.Hasil penelitian FITRA tentang APBD di 41 Kabupaten/Kota menunjukan bahwa alokasi anggaran untuk kesehatan dalam anggaran daerah sangat minim. Hanya 12 dari 41 kabupaten/kota yang diteliti mengalokasikan 10-16% anggaran APBD untuk kesehatan, sementara sisanya hanya mengalokasikan kurang dari 10%.11 Di Indonesia, tingginya AKI masih menjadi persoalan di beberapa daerah. Lebih jauh lagi, dari penelitian yang dilakukan FITRA perhatian dari pemerintah daerah terhadap anggaran Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) seringkali kurang memadai. Dari 34 kabupaten/kota yang dianalisis, 32 diantaranya memiliki belanja program KIA per kapita kurang dari Rp.46.000,- sementara hasil penelitian lain menetapkan standar kelayakan program KIA setidaknya sebesar Rp.65.000,- per kapita. Di Kendal misalnya, belanja program KIA per kapita hanya sebesar Rp.2.000,- per tahun. Anggaran sebesar ini tentu kurang memadai, apalagi jika daerah mengalami masalah kesehatan ibu dan anak yang berat.12 Selama periode 20062012 rata-rata pertumbuhan anggaran kesehatan Indonesia adalah 14%. Anggaran kesehatan yang didistribusikan ke daerah berkontribusi terbesar untuk peningkatan pertumbuhan anggaran kesehatan selama periode 20102011. Terjadi peningkatan DAK Kesehatan sebesar Rp.913,3 milyar dari Rp.2,7 triliun pada 2010 menjadi Rp.3,6 triliun di tahun 2011.13 Namun demikian, anggaran kesehatan masih saja di bawah 5% dari belanja APBN.Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tertuang jelas amanat untuk mengalokasikan dana 5% APBN dan 10% APBD di luar gaji untuk anggaran kesehatan. Meskipun secara nominal, sejak tahun 20052012 anggaran kesehatan mengalami kenaikan sebesar 167% tetapi proporsi anggaran kesehatan tidak pernah lebih dari 3% total belanja APBN.14Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate)Dari semua target MDGs, kinerja penurunan angka kematian ibu secara global masih rendah. Di Indonesia, Angka Kematian Ibu (AKI/MMR (Maternal Mortality Rate) menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Target pencapaian MDG pada tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut. Walaupun pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan telah cukup tinggi, beberapa faktor seperti risiko tinggi pada saat kehamilan dan aborsi perlu mendapat perhatian.15 Berdasarkan angka di atas diketahui bahwa target penurunan AKI di Indonesia bahkan belum mencapai setengah angka yang diharapkan.Pertolongan persalinan dengan bantuan tenaga kesehatan terlatih merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan AKI di Indonesia. Persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih meningkat dari 66,7% pada tahun 2002 menjadi 77,34% pada tahun 2009 (Susenas). Angka tersebut terus meningkat menjadi 82,3% pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010). Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih antarwilayah masih merupakan masalah. Data Susenas tahun 2009 menunjukkan capaian tertinggi sebesar 98,14% di DKI Jakarta sedangkan terendah sebesar 42,48% di Maluku.16Untuk memastikan kesehatan ibu selama kehamilan, diperlukan pelayanan antenatal (antenatal care/ANC), hal ini juga dilakukan untuk menjamin ibu untuk melakukan persalinan di fasiltas kesehatan. Sekitar 93% ibu hamil memperoleh pelayanan antenatal dari tenaga kesehatan profesional selama masa kehamilan. Terdapat 81,5% ibu hamil yang melakukan paling sedikit empat kali kunjungan pemeriksaan selama masa kehamilan, namun baru 65,5% yang melakukan empat kali kunjungan sesuai jadwal yang dianjurkan.Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate-CPR) menunjukkan peningkatan dalam lima tahun terakhir. Capaian CPR semua cara secara nasional meningkat dari 49,7% pada tahun 1991 menjadi 61,4% pada tahun 2007. Sementara itu, untuk CPR cara modern meningkat dari 47,1% pada tahun 1991 menjadi 57,4% pada tahun 2007 (SDKI). Selanjutnya, di antara CPR cara modern, KB suntik merupakan cara yang paling banyak digunakan (32%), diikuti pil KB sebesar 13% (SDKI, 2007).17Angka unmet need cenderung bervariasi antar-provinsi, antar-daerah dan antar-status sosial-ekonomi. Unmet need terendah terdapat di Bangka Belitung (3,2%) dan tertinggi di Maluku (22,4%). Unmet need di perdesaan (9,2%) lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (8,7%). Unmet need pada perempuan dengan tingkat pendidikan rendah lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dengan tingkat pendidikan tinggi (11% berbanding 8%). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesejahteraan, maka akan semakin tinggi pula akses akan informasi dan layanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Tingginya unmet need disebabkan oleh ketakutan terhadap efek samping dan ketidaknyamanan dalam penggunaan kontrasepsi. Sebesar 12,3% perempuan usia 15-19 tahun tidak ingin menggunakan alat atau obat kontrasepsi karena takut efek samping, 10,1% karena masalah kesehatan dan 3,1% karena dilarang oleh suami.18Dari data yang dijelaskan di atas, ternyata masih banyak ditemukan tantangan dan kendala selama proses penurunan AKI di Indonesia.1. Terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, terutama bagi penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK).2. Terbatasnya ketersediaan tenaga kesehatan baik dari segi jumlah, kualitas dan persebarannya, terutama bidan.3. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan ibu.4. Masih rendahnya status gizi dan kesehatan ibu hamil.5. Masih rendahnya angka pemakaian kontrasepsi dan tingginya unmet need.6. Pengukuran AKI masih belum tepat, karena sistem pencatatan penyebab kematian ibu masih belum adekuat.Upaya peningkatan kesehatan ibu ke depannya perlu diprioritaskan pada perluasan pelayanan kesehatan berkualitas, pelayanan obstetrik yang komprehensif, peningkatan pelayanan keluarga berencana dan penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit transfusi darah yang belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk harus menjadi prioritas pemerintah sebagai upaya penurunan AKI di Indonesia. Sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit juga belum berjalan optimal. Ditambah lagi, dengan kendala geografis, hambatan transportasi, dan faktor budaya. Selain itu pemerintah juga harus merapikan sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia sehingga data yang ditampilkan benar-benar menggambarkan kondisi kesehatan perempuan Indonesia saat ini.Mengingat pentingnya AKI sebagai salah satu indikator pembangunan Negara, maka sudah sewajarnya pemerintah membuat sebuah kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan kesehatan perempuan. Tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target tetapi juga indikator input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta pendidikan kesehatan reproduksi untuk perempuan.AnalisisDari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa AKI masih merupakan masalah serius yang terjadi di Indonesia. Dubutuhkan upaya lebih keras untuk memastikan pemenuhan target penurunan AKI di Indonesia menjadi 102/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Beberapa kesimpulan terkait tantangan dan kendala untuk penurunan AKI antara lain: Belum adanya kesamaan persepsi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholder yang menangani permasalahan AKI di Indonesia Belum adanya komitmen dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan amanah Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan untuk mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 5% APBN dan 10% APBD di luar gaji Dari anggaran kesehatan yang ada, hampir semua daerah tidak memiliki alokasi khusus untuk penanganan masalah kematian ibu Belum ada semangat memberikan pelayanan kesehatan reproduksi sebagai upaya mencegah terjadinya kematian ibu Beberapa kebijakan untuk mengurangi AKI memang sudah dibuat oleh pemerintah namun implementasi dan monitoring terhadap pelaksanaan masih sangat kurang maksimal dijalankan Kebutuhan akan alat kontrasepsi masih belum dapat dipenuhi serta angka unmet need masih cukup tinggi Kurangnya sosialisasi dan pelibatan masyarakat terhadap upaya penurunan AKI, khususnya di daerah terpencil Belum meratanya fasilitas kesehatan di daerah terpencil, sekalipun ada fasilitas kesehatan tidak selalu memiliki tenaga kesehatan yang memadai untuk melakukan pemeriksaan kehamilan dan bantuan persalinan kepada ibu melahirkan Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pencegahan AKI di Indonesia, ditambah sebagian besar daerah terpencil Indonesia masih mengalami masalah kelaparan dan kurang gizi yang juga menimpa ibu hamil yang membutuhkan banyak asupan makanan sehatStrategiPemerintah harus mengambil tindakan untuk segera meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan. Kebijakan untuk memberikan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan remaja harus segera diberikan. Selain itu, kebijakan anggaran kesehatan, khususnya kesehatan perempuan pun harus menjadi komitmen pemerintah untuk menjalankan amanah Undang-Undang Kesehatan. Semakin lambat kebijakan tersebut diberikan dapat dipastikan angka KTD dan AKI di Indonesia akan terus meningkat. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca 2015 di Indonesia antara lain:1. Memiliki persepsi bahwa kesehatan merupakan hak asasi setiap warga negara2. Pemerintah berkomitmen mengalokasikan dana kesehatan 5% APBN 2013 serta memastikan daerah-daerah untuk menganggarkan 10% APBD untuk kesehatan diluar gaji3. Memastikan bahwa 2/3 dari total anggaran kesehatan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan bukan untuk insfrastruktur seperti yang selama ini banyak dilakukan pemerintah daerah4. Pemerintah membuat kebijakan mengenai anggaran untuk meningkatkan kesehatan perempuan, misalnya dengan mengharuskan 20% anggaran kesehatan untuk kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan memastikan anggaran tersebut tepat sasaran5. Penyediaan fasilitas pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif (PONEK), pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar (PONED), posyandu dan unit transfusi darah yang belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk6. Menjamin kebutuhan tenaga kesehatan di daerah terpencil, untuk mendukung kinerja mereka sebagai ujung tombak pemberi pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan melahirkan7. Memastikan sistem rujukan dari rumah ke puskesmas dan ke rumah sakit berjalan optimal8. Memperbaiki infrastruktur jalan dan fasilitas kesehatan sebagai upaya multisektor9. Memperbaiki sistem pencatatan terkait upaya penurunan AKI di Indonesia sehingga data yang ditampilkan menggambarkan kondisi kesehatan perempuan Indonesia saat ini.10. Memasukkan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi (melalui pendidikan kesehatan reproduksi) untuk remaja dan perempuan ke dalam indikator SPM serta mengupayakan tersedianya layanan kesehatan reproduksi remaja di Puskesmas yang secara aktif juga memberikan pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah sesuai jenjang pendidikan11. Membentuk peer conseling untuk remaja terkait kesehatan reproduksi12. Menyediakan fasilitas konsultasi KTD hingga pelayanan aman untuk pemulihan haid13. Menghapus praktik aborsi tidak aman yang berpotensi menyebabkan AKI di Indonesia14. Melakukan pendekatan budaya kepada masyarakat untuk mengubah pola pikir agar permasalahan kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi remaja, merupakan masalah bersama dan tidak lagi menganggapnya sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan15. Pemerintah tidak hanya menggunakan indikator angka sebagai target tetapi juga indikator input dan proses seperti penetapan anggaran kesehatan perempuan, pemerataan jumlah tenaga kesehatan yang terjangkau, serta pendidikan kesehatan reproduksi untuk perempuan.

1. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2012/06/23/8054.html, MDGs akan Diganti SDGs dengan Evaluasi Obyektif (diakses pada 18 Januari 2013 Pkl. 10.12 WIB)2. Heru Prasetyo, Deputi I Pengawasan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan UKP4, disampaikan pada Seminar dan Pemutaran Film WRI, Desember 20123. http://mdgs-dev.bps.go.id (diakses pada 18 januari 2013 Pkl.10.58 WIB)4. SDKI 20075. Lihat Meeting the MDGs in South East Asia: Lessons & Challenges from the MDG Acceleration Framework, Biplove Choudhary, Programme Specialist UNDP Asia Pacific Regional Centre, paper presented in Escap/ADB/UNDP sub-regional accelerated achievement of MDGs & the Post 2015 Development Agenda in South East Asia, 21-23 November 2012, UNCC Bangkok, Thailand.6. Kushandajani, Standar Pelayananan Minimal (SPM) dan peningkatan Pelayanan di Era Otonimi Daerah,7. Tabel Indokator SPM Nasional tahun 2012, http://www.spm.depkes.go.id/tabelindikator_18indikator.php (diakses pada 11 Januari 2013 Pkl. 14.42 WIB)8. Hasil Penelitian PKBI Pusat, Fakta Kebutuhan Perempuan Terhadap Layanan Pemulihan Haid di 13 Kota tahun 2008 2011. Dipresentasikan saat Diseminasi hasil penelitian PKBI tanggal 18 Desember 20129. Pasal 171 ayat (1) dan (2) UU NO.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan10. Mencari Ujung Tombak Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia, Women Research Institute, 201111. FITRA, Analisis Anggaran Daerah di Indonesia: Kajian Pengelolaan APBD di 41 Kabupaten/kota, 2010, hlm.3212. Yuna Farhan, Kebijakan Publik Berbasis HAM dalam Fungsi Anggaran, dalam Buku Panduan Pembuatan Kebijakan Publik Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) untuk Anggota Legislatif, Demos, 201113. Arah Kebijakan Belanja Negara APBN Alternatif TA.2013, FITRA14. Ibid15. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010, hal. 6616. Ibid, hal. 6717. Ibid, hal. 6818. Ibid, hal. 69

Pemakaian KBDalam upaya penurunan AKI, bidan mempunyai peran yang sangat strategis. Hal ini dikarenakan bidan mempunyai kapasitas untuk memudahkan akses pelayanan persalinan, promosi dan pendidikan/konseling kesehatan ibu dan anak, serta melakukan deteksi dini pada kasus-kasus rujukan terutama di perdesaan. Selain itu, bersama-sama dengan dokter, bidan mempunyai peran dalam meningkatkan tingkat pemakaian KB sebagai tindakan preventif terutama bagi wanita dengan resiko 4 (empat) terlalu, yaitu terlalu muda (usia di bawah 20 tahun), terlalu tua (usia di atas 35 tahun), terlalu dekat (jarak kelahiran antara anak yang satu dengan yang berikutnya kurang dari 2 tahun), dan terlalu banyak (mempunyai anak lebih dari 2). Pendidikan/konseling KB yang dilakukan oleh dokter maupun bidan akan signifikan dalam menggugah kesadaran masyarakat untuk ber-KB karena pada umumnya masyarakat lebih mempercayai dokter atau bidan.19. 20. Dalam upaya peningkatan pemakaian KB, dokter maupun bidan wajib memberikan informed choice sebelum calon peserta membuat keputusan dan memilih alat kontrasepsi. Selain memudahkan calon peserta untuk memilih alat kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kesehatan mereka, pemberian informed choice juga secara signifikan dapat mencegah drop out pemakaian kontrasepsi sehingga dapat meningkatkan jumlah peserta KB aktif (PA).21. 22. BKKBN meminta peran serta bidan dan dokter untuk mempromosikan pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), yang terdiri atas implan, IUD, tubektomi, dan vasektomi. Berdasarkan hasil sementara SDKI 2012, suntik dan pil adalah dua alat kontrasepsi yang paling populer sedangkan tingkat pemakaian MKJP hanya 10,6% atau menurun dari 10,9% (SDKI 2007). Padahal, MKJP adalah alat kontrasepsi yang paling efektif dan efisien.23. 24. Salah satu faktor yang dianggap mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi adalah citra (image) dan persepsi negatif terhadap salah satu alat kontrasepsi. Misalnya, adanya isu bahwa minyak pelumas kondom menimbulkan gatal-gatal pada alat reproduksi wanita. Karena itu, diperlukan edukasi, khususnya oleh tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan calon peserta KB, agar pemilihan alat kontrasepsi menjadi rasional sesuai tujuan (untuk menunda, menjarangkan, atau membatasi kehamilan) maupun kondisi kesehatan calon peserta KB yang bersangkutan.25. 26. Masalah lain yang sering dihadapi dalam upaya peningkatan pemakaian KB adalah keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang terlatih untuk melakukan prosedur medis pelayanan MKJP dan ketersediaan sarana penunjang pelayanan KB MKJP. Untuk mengatasi masalah ini, sampai tahun 2012, BKKBN telah melakukan pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU) kepada sebanyak 8.425.000 bidan dan 3.024.000 dokter. Pada tahun 2013 BKKBN menargetkan untuk memberikan pelatihan CTU kepada sebanyak 6.129 bidan dan 384 dokter.27. 28. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pada tanggal 18 Januari 2013 yang lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres ini dinyatakan bahwa pelayanan KB merupakan bagian dari manfaat pelayanan promotif dan preventif. Pelayanan KB tersebut meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. Bidan dan dokter akan menjadi mitra kerja BKKBN dalam pelaksanaan pelayanan KB sebagai bagian dari jaminan kesehatan bagi semua warga negara Indonesia.29. 30. Penyelenggaraan jaminan kesehatan semesta (disingkat jamkesta, universal health coverage) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) direncanakan untuk diimplementasikan mulai tanggal 1 Januari 2014. Namun, pemberlakuan jamkesta ini akan membawa implikasi bagi BKKBN dalam hal penyediaan alat kontrasepsi gratis. Hal ini dikarenakan selama ini BKKBN menyediakan alat kontrasepsi gratis hanya bagi pasangan usia subur (PUS) dari kelompok prakeluarga sejahtera (pra-KS) dan keluarga sejahtera I (KS I) atau keluarga miskin (gakin). Padahal, dalam Perpres di atas disebutkan bahwa Peserta Jaminan Kesehatan adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan (meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu) dan bukan PBI Jaminan Kesehatan (merupakan peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang yang tidak mampu). Dengan demikian, alat kontrasepsi gratis akan harus diberikan kepada seluruh masyarakat, termasuk seluruh PUS dari berbagai status sosial ekonomi. Implikasi ini harus segera disikapi dan ditanggapi oleh BKKBN dengan merumuskan kebijakan dan langkah strategis sekaligus mencermati tugas dan fungsi BKKBN sebagaimana yang ditetapkan dalam Perpres terkait.31. 32. Dapat disimpulkan bahwa kemitraan antara BKKBN dengan IDI dan IBI dalam jangka pendek ditujukan untuk mengoptimalkan akses dan kualitas pelayanan KB dan KR bagi masyarakat. Dalam jangka panjang, kemitraan BKKBN dengan IDI dan IBI ini diharapkan akan mampu membantu pencapaian target MDG menurunkan AKI, AKA, dan AKB, serta mendukung pencapaian terwujudnya keluarga kecil bahagia sejahtera untuk mencapai penduduk tumbuh seimbang. (Humas/AH/AT)http://www.jdih.net/web_bppkb/berita/269/bkkbn-gandeng-ibi-dan-idi-demi-capai-target-mdgs-2015Revitalisasi program Keluarga Berencana diyakini mampu menekan angka kematian ibu melahirkan di Indonesia. Revitalisasi KB akan diikuti upaya menghidupkan kembali infrastruktur di daerah, salah satunya pos KB.Hal itu dikemukakan Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief dalam pertemuan dengan wartawan bertajuk Penggunaan Kontrasepsi untuk Mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, Selasa (5/7), di Jakarta.program KB akan mengurangi risiko kematian ibu melahirkan. Kalau semua ibu ikut program KB dan persalinan ditangani petugas kesehatan, dengan sendirinya risiko kematian ibu saat melahirkan akan berkurang, katanya. Dalam hal ini, KB menjarangkan dan menurunkan jumlah kelahiran.Ia menambahkan, AKI di Indonesia saat ini 228 per 100.000 kelahiran hidup. Sebagai perbandingan, Malaysia memiliki AKI 31 per 100.000 kelahiran hidup. AKI di Indonesia sama dengan Myanmar yang kondisi negaranya jauh lebih miskin.Tingginya laju pertambahan penduduk, yaitu 1,49 persen per tahun saat ini, mempersulit upaya menekan AKI di Tanah Air. Kalau tak ada upaya besar menekan (laju pertambahan penduduk), target MDG (Millenium Development Goals), yaitu AKI 102 per 100.000 kelahiran hidup sulit tercapai pada 2015, ujarnya.Salah satu program strategis pemerintah merevitalisasi KB adalah menghidupkan kembali fungsi petugas lapangan KB (PLKB) dan pos-pos KB di daerah, selain mempromosikan alat-alat kontrasepsi yang terjangkau. Sugiri mengakui, jumlah PLKB se-Indonesia kini berkurang drastis, dari idealnya 75.000 orang kini hanya 24.000 orang.Untuk mendukung KB sekaligus menekan AKI, tahun ini pemerintah menggulirkan program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang meliputi paket layanan mulai dari konsultasi kehamilan, persalinan, hingga pemilihan alat KB.IUD lebih baikPembicara lain, Country Director DKT Indonesia Todd Callahan mengatakan, kematian ibu saat melahirkan bisa dicegah melalui perencanaan keluarga yang baik. Menurut dia, untuk negara berkembang seperti Indonesia, IUD (intra-uterine device) atau dikenal sebagai spiral sangat disarankan karena harganya terjangkau mulai dari Rp 15.000, tanpa efek samping, dan jangka waktu pemakaian hingga 10 tahun untuk sekali pasang.Tidak seperti anggapan yang ada selama ini, sebetulnya hampir tidak ada efek samping dari IUD. Alat ini tidak lebih berisiko dari implant (susuk KB) yang bersifat hormonal, kata Djajadilaga, dokter ahli kandungan dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).Saat ini, penggunaan IUD di Indonesia kalah populer dibandingkan kontrasepsi jenis lain, seperti suntik, pil, dan susuk KB. Dari 29 juta pemakai alat kontrasepsi di Tanah Air, hanya 8 persen yang memakai IUD. (JON)http://health.kompas.com/read/2011/07/06/04275324/.KB.Tekan.Angka.Kematian.Ibu