Unlock

93
ADSORPSI ION LOGAM TEMBAGA (Cu) DAN TIMBAL (Pb) OLEH ARANG SABUT KELAPA DALAM AIR LIMBAH UMUHANI PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1435 H

description

jurnal kimia

Transcript of Unlock

  • ADSORPSI ION LOGAM TEMBAGA (Cu) DAN TIMBAL (Pb)

    OLEH ARANG SABUT KELAPA DALAM AIR LIMBAH

    UMUHANI

    PROGRAM STUDI KIMIA

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2014 M / 1435 H

  • ADSORPSI ION LOGAM TEMBAGA (Cu) DAN TIMBAL (Pb) OLEH

    ARANG SABUT KELAPA DALAM AIR LIMBAH

    SKRIPSI

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

    Program Studi Kimia

    Fakultas Sains dan Teknologi

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

    Oleh :

    UMUHANI

    107096002858

    PROGRAM STUDI KIMIA

    FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2014 M / 1435 H

  • PERNYATAAN

    DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

    HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

    SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

    LEMBAGA MANAPUN.

    Jakarta, Maret 2012

    Umuhani

    107096002858

  • ABSTRAK

    UMUHANI. Adsorpsi Ion Logam Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Oleh Arang

    Sabut Kelapa Dalam Air Limbah. Dibimbing Oleh NURHASNI dan

    HENDRAWATI.

    Penelitian adsorpsi ion logam tembaga (Cu) dan timbal (Pb) oleh arang

    sabut kelapa dalam air limbah telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk

    mengoptimalkan pemanfaatan sebagai hasil limbah sebagai adsorben logam berat

    serta mengetahui kondisi optimum untuk proses adsorpsi ion logam Cu dan Pb

    oleh arang sabut kelapa. Penelitian ini dilakukan dengan metode batch dengan

    menggunakan shaker incubation. Parameter yang diteliti untuk mengetahui

    kondisi optimum adalah massa adsorben, pH, konsentrasi ion logam, lama

    pengadukan, dan temperatur pengarangan. Tipe isoterm adsorpsi ion logam Cu

    dan Pb dipelajari dengan dua tipe isoterm yaitu tipe isoterm adsorpsi Langmuir

    dan Freundlich. Tipe isoterm yang sesuai dengan data eksperimen diuji dengan

    metode regresi linier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum

    adsorpsi ion logam Cu dan Pb adalah pada massa adsorben 1,5 g, pH untuk ion

    logam Cu adalah pH 6 sedangkan untuk ion logam Pb adalah pH 4, konsentrasi

    ion logam 10 mg/L, lama pengadukan 30 menit, dan temperatur pengarangan

    250oC. Tipe isoterm adsorpsi untuk ion logam tembaga (Cu) dan timbal (Pb)

    sesuai dengan tipe isoterm Freundlich.

    Kata kunci : Adsorpsi, adsorben, arang sabut kelapa, dan tipe isoterm

    adsorpsi.

  • ABSTRACT

    UMUHANI. Adsorption Of Metallic Copper (Cu) and Lead (Pb) Ion By Husk

    Coconut Charcoal In Liquid Waste. Advicer by NURHASNI and

    HENDRAWATI.

    The research about adsorption of Copper (Cu) and lead (Pb) metal ion by

    husk coconut charcoal in liquid waste has been done. The objective of the

    experiment is to use of husk coconut waste as adsorbent copper (Cu) and lead (Pb)

    in liquid waste and to know optimum condition for adsorption of metallic copper

    (Cu) and lead (Pb) ion with use husk coconut charcoal as adsorbent. This

    experiment was carry out in a batch method by using shaker incubation. The

    variables studied in this experiment is adsorbent mass, pH, metallic ion

    concentration, shaking time, and temperature for charcoal kiln. The isotherm

    adsorption model of Cu and Pb was studied by both the isotherm model of

    Langmuir and Freundlich. The isotherm model was in accordance with the data of

    experiment by the regression linear method. The result showed that the optimum

    condition for adsorption of metallic copper (Cu) and lead (Pb) ion with used husk

    coconut charcoal as adsorbent is 1,5 g (adsorbent mass), optimum pH for copper

    ion is pH 6 and lead ion is pH 4, metallic ion concentration is 10 mg/L, shaking

    time is 30 minutes, and temperature for charcoal kiln is 250oC. Adsorption of

    copper (Cu) and lead (Pb) ion more suitable to the Freundlich isotherm model.

    Keywords : Adsorption, adsorbent, husk coconut charcoal, and isotherm

    adsorption model.

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirrahmanirrahim

    Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan izin dan perkenanNya

    penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Adsorpsi Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) Oleh Arang Sabut Kelapa Dalam Air

    Limbah . Tak lupa pula shalawat serta salam kami curahkan kepada baginda

    Nabi Muhammad SAW sebab karena Beliaulah kami dapat hijrah dari zaman

    kebodohan ke zaman yang penuh dengan kemajuan IPTEK seperti saat ini.

    Skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa semua pihak yang

    memberikan bimbingan dan dukungannya. Untuk itu pada kesempatan ini penulis

    mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dan

    memberikan batuan, dorongan, serta motivasi sehingga skripsi ini dapat

    terselesaikan. Ucapan terima kasih ini ditujukan kepada :

    1. Nurhasni, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan

    memberikan saran dalam menyelesaikan Tugas Akhir dan penulisan skripsi.

    2. Hendrawati, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing II yang telah membimbing

    dan memberikan saran dalam menyelesaikan penulisan skripsi.

    3. Drs. Dede Sukandar, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Kimia Fakultas

    Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    4. DR. Agus Salim, M.Si, sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    5. Kepala Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

    penelitian di tempat ini,

  • iii

    6. Seluruh dosen kimia yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya

    kepada penulis.

    7. Ayah dan Mama serta Adik-adikku (Fadli, Qonita, dan Millah) yang selalu

    memberikan kasih sayang, motivasi, dan doa kepada penulis agar menjadi

    yang terbaik.

    8. Abang Basyir yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi, dan doa

    kepada penulis agar menjadi yang terbaik.

    9. Seluruh Staff Laboran Laboratorium Kimia PLT UIN Jakarta.

    10. Seluruh Staff analis Laboratorium Analitik BTL Serpong.

    11. Teman-teman Program Studi Kimia angkatan 2007 yang telah memberikan

    motivasi kepada penulis.

    Semoga Allah SWT membalas segala amal perbuatan dan selalu

    memberikan kemudahan, rahmat, karunia, dan perlindungan-Nya kepada kita

    semua. Amin.

    Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

    kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang

    membangun agar dapat menjadi pelajaran dalam penulisan berikutnya untuk

    menjadi lebih baik.

    Jakarta, Maret 2012

    Penulis

  • iv

    DAFTAR ISI

    Hal

    KATA PENGANTAR... ii

    DAFTAR ISI.............. iv

    DAFTAR GAMBAR. vii

    DAFTAR TABEL. ix

    DAFTAR LAMPIRAN.. x

    BAB I PENDAHULUAN.. 1

    1.1. Latar Belakang. 1

    1.2. Perumusan Masalah......... 3

    1.3. Hipotesis...... 3

    1.4. Tujuan Penelitian 4

    1.5. Manfaat Penelitian.. 4

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

    2.1. Kelapa 5

    2.2. Sabut Kelapa.. 6

    2.3. Pirolisis. 7

    2.3.1. Pirolisis Selulosa. 8

    2.3.2. Pirolisis Hemiselulosa. 9

    2.3.3. Pirolisis Lignin 10

    2.4. Arang 12

    2.5. Adsorpsi 13

    2.5.1. Metode Sorpsi...... 16

    2.5.2. Faktor yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi. 17

  • v

    2.6. Isoterm Adsorpsi. 18

    2.6.1. Isoterm Langmuir. 20

    2.6.2. Isoterm Freundlich... 21

    2.7. Logam Berat 22

    2.7.1. Tembaga (Cu) 23

    2.7.2. Timbal (Pb) 24

    2.8. Spektroskopi Serapan Atom (SSA). 25

    2.8.1. Prinsip Spektroskopi Serapan Atom (SSA)... 26

    2.8.2. Metode Analisis 30

    BAB III METODE PENELITIAN. 33

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian. 33

    3.2. Alat dan Bahan 33

    3.2.1. Alat 33

    3.2.2. Bahan. 33

    3.3. Preparasi Sampel Sabut Kelapa 34

    3.4. Penentuan Kondisi Optimum 34

    3.4.1. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan

    Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) 34

    3.4.2. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Tembaga (Cu) dan

    Timbal (Pb). 34

    3.4.3. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Tembaga (Cu)

    dan Timbal (Pb).. 35

    3.4.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Tembaga

    (Cu) dan Timbal (Pb) 35

    3.4.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb).. 36

    3.5. Aplikasi Limbah 36

  • vi

    3.6. Bagan Alir Penelitian. 38

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.. 39

    4.1. Penentuan Kondisi Optimum. 39

    4.1.1. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan

    Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb).. 40

    4.1.2. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Tembaga (Cu)

    dan Timbal (Pb). 41

    4.1.3. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan

    Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) 43

    4.1.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan

    Ion Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb).. 44

    4.1.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan

    IonTembaga (Cu) dan Timbal (Pb) 45

    4.2. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)

    Dalam Air Limbah 47

    4.3. Isoterm Adsorpsi.. 49

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 52

    5.1. Kesimpulan. 52

    5.2. Saran 53

    DAFTAR PUSTAKA 54

    LAMPIRAN.. 58

  • vii

    DAFTAR GAMBAR

    Hal

    Gambar 1. Penampang Membujur Buah kelapa 5

    Gambar 2. Sabut Kelapa... 6

    Gambar 3. Struktrur Rantai Selulosa 8

    Gambar 4. Struktur Hemiselulosa 9

    Gambar 5. Struktur Lignin 11

    Gambar 6. (a) Arang Sabut Kelapa (b) Struktur Ikatan Karbon dalam Arang.. 12

    Gambar 7. Kurva Isoterm Langmuir. 20

    Gambar 8. Kurva Isoterm Freundlich.. 21

    Gambar 9. Komponen-Komponen Utama SSA... 27

    Gambar 10. Lampu Katoda. 28

    Gambar 11. Nebulizer, Burner, dan Spray Chamber... 28

    Gambar 12. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion

    Logam 10 mg/L, Lama Pengadukan 30 menit,

    dan Temperatur Pengarangan 250 oC ). 40

    Gambar 13. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb

    (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,

    Lama Pengadukan 30 menit, dan

    Temperatur Pengarangan 250 oC).. 41

    Gambar 14. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Lama Pengadukan

    30 menit, dan Temperatur Pengarangan 250 oC ) 43

    Gambar 15. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion

    Logam Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL,

    Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,

    dan Temperatur Pengarangan 250 oC ).. 44

    Gambar 16. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan

    Ion Logam Cu dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi

    Ion Logam 10 mg/L, dan Lama Pengadukan 30 menit). 46

  • viii

    Gambar 17. Kurva (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich

    Adsorpsi Ion Logam Tembaga (Cu)

    Oleh Arang Sabut Kelapa............................................................ 50

    Gambar 18. Kurva (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich

    Adsorpsi Ion Logam Timbal (Pb)

    Oleh Arang Sabut Kelapa............................................................. 51

  • ix

    DAFTAR TABEL

    Hal

    Tabel 1. Komposisi Buah Kelapa (Palungkun, 2000)........ 5

    Tabel 2. Efisiensi Adsorpsi Ion Logam Cu dan Pb Oleh Sabut Kelapa 39

    Tabel 3. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb Oleh Arang sabut

    Kelapa dan Arang Tongkol jagung (Lestari,2012) dalam Air Limbah.. 48

    Tabel 4. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu 58

    Tabel 5. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb 58

    Tabel 6. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu.... 58

    Tabel 7. Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb.... 58

    Tabel 8. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu...59

    Tabel 9. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb ...59

    Tabel 10. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu 59

    Tabel 11. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam Pb... 59

    Tabel 12. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan

    Ion Logam Cu.. 60

    Tabel 13. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan

    Ion Logam Pb.... 60

    Tabel 14. Perhitungan Kurva Isoterm Langmuir pada Adsorpsi

    Ion Logam Cu oleh Arang Sabut Kelapa.. 61

    Tabel 15. Perhitungan Kurva Isoterm Langmuir pada Adsorpsi

    Ion Logam Pb oleh Arang Sabut Kelapa.. 61

    Tabel 16. Perhitungan Kurva Isoterm Freundlich pada Adsorpsi

    Ion Logam Cu oleh Arang Sabut Kelapa... 62

    Tabel 17. Perhitungan Kurva Isoterm Freundlich pada Adsorpsi

    Ion Logam Pb oleh Arang Sabut Kelapa... 62

  • x

    DAFTAR LAMPIRAN

    Hal

    Lampiran 1. Data Penentuan Kondisi Optimum.... 58

    Lampiran 2. Penentuan Isoterm Langmuir pada Adsorpsi Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) oleh Arang Sabut Kelapa. 61

    Lampiran 3. Penentuan Isoterm Freundlich pada Adsorpsi Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) oleh Arang Sabut Kelapa.. 62

    Lampiran 4. Kurva Kalibrasi Ion Logam Cu.. 63

    Lampiran 5. Kurva Kalibrasi Ion Logam Pb... 64

    Lampiran 6. Pembuatan Larutan Untuk Preparasi Sampel. 65

    Lampiran 7. Pembuatan Larutan Buffer Sitrat dan Posfat.. 66

    Lampiran 8. Contoh Perhitungan Efisiensi dan Kapasitas Penyerapan. 67

    Lampiran 9. Dokumentasi Alat Penelitian. 68

    Lampiran 10. Dokumentasi Bahan Penelitian.. 69

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Negara Indonesia merupakan negara yang proses industrialisasinya

    sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Akibat perkembangan proses

    industrialisasi tersebut dihasilkan berbagai jenis limbah industri berupa limbah

    cair, padat, maupun gas yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran

    lingkungan. Limbah cair pada industri ini memberikan kontribusi terhadap

    pelepasan logam berat beracun di dalam aliran air.

    Logam dapat membahayakan bagi kehidupan manusia jika konsentrasinya

    melebihi ambang batas yang diizinkan. Air limbah dari perindustrian dan

    pertambangan merupakan sumber utama polutan logam berat. Namun demikian,

    meskipun konsentrasinya belum melebihi ambang batas, keberadaan logam berat

    telah diketahui bersifat akumulatif dalam sistem biologis (Quek dkk., 1998).

    Tersebarnya logam berat seperti tembaga dan timbal diatas ambang batas

    yang diizinkan akan menimbulkan keracunan pada manusia dan dapat

    menyebabkan kematian (Kundari dkk., 2008). Oleh karena itu, diperlukan usaha-

    usaha untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan dari logam berat

    seperti tembaga dan timbal agar konsentrasi logam berat yang terkandung dalam

    air limbah berada dalam batas aman atau hilang.

    Beberapa metode untuk menghilangkan logam berat dari air limbah telah

    dilakukan dengan proses secara fisika dan kimia yang meliputi presipitasi,

    koagulasi, proses reduksi membran, dan pertukaran ion. Tetapi metode-metode

    tersebut kurang ekonomis terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang.

  • 2

    Usaha pengendalian dan pengolahan limbah logam saat ini semakin berkembang,

    yang mengarah pada metode baru yang murah, efektif, dan efisien.

    Proses adsorpsi merupakan teknik pemurnian dan pemisahan yang efektif

    dipakai dalam industri karena dianggap lebih ekonomis dalam pengolahan air dan

    limbah (Al-Asheh, et al., 2000) dan merupakan teknik yang sering digunakan

    untuk mengurangi ion logam berat dalam air limbah (Selvi et al., 2001).

    Pemanfaatan biomaterial dari limbah pertanian untuk menyerap senyawa-senyawa

    beracun seperti logam berat telah banyak diteliti, diantaranya sekam padi

    (Saniyyah, 2010), genjer (Nurhasni, 2002), ampas tebu (Apriliani, 2010), arang

    tongkol jagung (Lestari, 2012), dan kulit kacang tanah (Marshall et al., 1996).

    Dari penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa biomaterial

    yang mengandung gugus fungsi antara lain karboksil, amino, sulfat, polisakarida,

    lignin dan sulfihidril mempunyai kemampuan penyerapan yang baik (Volesky,

    2004).

    Sabut kelapa adalah hasil limbah dari penjual minuman es kelapa yang

    belum termanfaatkan secara optimal sehingga membawa masalah tersendiri bagi

    lingkungan karena dianggap sebagai limbah. Limbah sabut kelapa dapat di proses

    menjadi arang atau karbon aktif yang berpotensi sebagai adsorben, karena secara

    kimiawi, komponen utama penyusun sabut kelapa adalah serat yang didalamnya

    terkandung gugus selulosa, poliosa seperti hemiselulosa, lignoselulosa, dan lignin

    yang mempunyai kemampuan adsorpsi yang baik (Mahmud, 2005) yang akan

    dirubah menjadi arang yang tersusun dari atom karbon.

    Penggunaan arang sabut kelapa sebagai alternatif biomaterial penyerap

    ion-ion logam berat merupakan proses penghematan sumber daya alam dan

  • 3

    merupakan salah satu cara bagi pengolahan limbah, seperti yang dikemukakan

    oleh para pakar lingkungan bahwa sebaik-baiknya pengolahan limbah adalah

    dengan cara daur ulang. Selain itu, karena sabut kelapa mudah didapatkan serta

    dapat diregenerasi dan dari sisi ekonomis harga sabut kelapa yang murah

    dibanding penyerap sintetis lain, maka hal ini menjadi keuntungan tersendiri

    dalam penggunaan arang sabut kelapa sebagai penyerap ion-ion logam (Fatoni,

    2009).

    Dalam penelitian ini akan diselidiki kemampuan arang sabut kelapa dalam

    menyerap ion-ion logam, yaitu tembaga (Cu) dan timbal (Pb) didalam air limbah.

    1.2. Perumusan Masalah

    1. Apakah arang sabut kelapa dapat menyerap ion logam Cu dan Pb didalam

    air limbah ?

    2. Berapa efisiensi dan kapasitas penyerapan arang sabut kelapa sebagai

    adsorben terhadap ion logam Cu dan Pb ?

    1.3. Hipotesis

    1. Arang sabut kelapa dapat menyerap ion logam Cu dan Pb didalam air

    limbah.

    2. Efisiensi dan kapasitas penyerapan arang sabut kelapa terhadap ion logam

    Cu dan Pb didalam air limbah dapat mencapai 100%.

  • 4

    1.4. Tujuan Penelitian

    1. Menguji dan menganalisis kemampuan arang sabut kelapa dalam menyerap

    ion logam Cu dan Pb serta menentukan kondisi optimum terhadap beberapa

    parameter yang digunakan antara lain massa adsorben, pH, konsentrasi ion

    logam, lama pengadukan, dan temperatur pengarangan.

    2. Mengoptimalkan pemanfaatan sabut kelapa sebagai hasil limbah sebagai

    adsorben logam berat.

    1.5. Manfaat Penelitian

    1. Memberi alternatif terhadap pemanfaatan limbah sabut kelapa sebagai

    adsorben ion logam Cu dan Pb di dalam air limbah sehingga dapat

    mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan karena

    terkontaminasi limbah oleh logam berat.

    2. Memberi pengetahuan dan informasi tentang kemampuan adsorpsi arang

    sabut kelapa dalam mengadsorpsi ion logam Cu dan Pb.

    3. Memberi pengetahuan dan informasi tentang kondisi optimum (massa

    adsorben, pH, konsentrasi ion logam, lama pengadukan, dan temperatur

    pengarangan) dalam proses adsorpsi arang sabut kelapa.

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Kelapa

    Kelapa dikenal sebagai tanaman yang serbaguna karena seluruh bagian

    tanaman ini bermanfaat bagi kehidupan manusia serta mempunyai nilai ekonomis

    yang cukup tinggi. Salah satu bagian yang terpenting dari tanaman kelapa adalah

    buah kelapa.

    Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu kulit luar (epicarp),

    sabut (mesocarp), tempurung kelapa (endocarp), daging buah (endosperm), dan

    air kelapa (Palungkun, 2001). Adapun komposisi buah kelapa disajikan pada

    Tabel 1 berikut.

    Tabel 1. Komposisi buah kelapa (Palungkun, 2001)

    Bagian buah Jumlah berat (%)

    Sabut

    Tempurung

    Daging buah

    Air kelapa

    35

    12

    28

    25

    Komponen-komponen penyusun buah kelapa disajikan pada Gambar 1 berikut:

    Keterangan :

    1. Kulit luar (epicarp) 4. Daging buah (endosperm)

    2. Sabut (mesocarp) 5. Air kelapa

    3. Tempurung (endocarp)

    Gambar 1. Penampang Membujur Buah Kelapa

  • 6

    2.2. Sabut Kelapa

    Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus

    tempurung kelapa (Gambar 2). Sabut kelapa merupakan bagian terbesar dari buah

    kelapa yaitu 35% dari bobot buah kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm

    yang terdiri atas lapisan luar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium).

    Gambar 2. Sabut Kelapa

    Endokarpium mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai

    bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara,

    filter, dan bahan pengisi jok kursi /mobil. Satu butir buah kelapa rata-rata

    menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut

    kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, arang, tannin, dan

    potassium (Rindengan et al., 1995).

    Di kalangan kimiawan dan pakar lingkungan hidup, kelapa juga dapat di

    dayagunakan sebagai adsorben/penyerap. Untuk polutan yang masuk ke tubuh

    manusia seperti keracunan pestisida ataupun kation logam seperti Pb, Hg, Cd, dan

    sebagainya, air kelapa sangat dianjurkan untuk diminum. Hal ini dikarenakan air

    kelapa dapat menetralkan racun sebagaimana susu.

    Untuk polutan yang masuk ke lingkungan hidup, bagian dari sabut dan

    tempurung kelapa sangat potensial didayagunakan sebagai adsorben terutama

  • 7

    untuk polutan logam berat yang sangat berbahaya bagi manusia. Sebagai contoh

    untuk masyarakat yang air minumnya bergantung pada air sumur dapat

    memanfaatkan matras sabut kelapa yang telah dicelup pada zat pewarna wantex

    untuk menyerap logam berat Mangan (Mn) dengan hasil 1 g matras - wantex

    dapat menyerap 4,69 mg Mn (Mahmud, 2005).

    2.3. Pirolisis

    Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya oksigen dan

    terjadi penguraian komponen-komponen penyusun dari suatu materi. Istilah lain

    dari pirolisis adalah penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang

    disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar.

    Pemanasan tanpa berhubungan dengan udara dan diberi suhu yang cukup tinggi

    akan terjadi reaksi penguraian dari senyawa-senyawa kompleks penyusun suatu

    materi dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu padatan, cairan, dan gas

    (Widjaya, 1982).

    Pirolisis adalah penguraian bahan-bahan organik pada temperatur tinggi di

    bawah kondisi non-oksidatif. Pirolisis dilaksanakan pada kondisi temperatur di

    atas 250oC. Pirolisis terkait dengan pendaurulangan bahan-bahan yang dapat

    diuraikan secara termal untuk menghasilkan produk-produk yang bernilai

    (Prananta, 2010). Reaksi pirolisis dapat diterangkan secara teori. Sebagai contoh,

    pirolisis selulosa :

    (C6 H10 O5)n 6n C + 5n H2O

    Pirolisis yang banyak digunakan dalam industri kimia, misalnya, untuk

    menghasilkan arang, karbon aktif, metanol dan bahan kimia lainnya dari kayu,

  • 8

    untuk mengubah etilen diklorida ke vinil klorida untuk membuat PVC, untuk

    memproduksi kokas dari batubara, untuk mengubah biomassa menjadi gas

    sintesis, untuk mengubah limbah menjadi bahan sekali pakai dengan aman, dan

    untuk retak menengah-berat hidrokarbon dari minyak untuk memproduksi lebih

    ringan yang seperti bensin.

    2.3.1. Pirolisis Selulosa

    Selulosa adalah makromolekul yang dihasilkan dari kondensasi linear

    struktur heterosiklis molekul glukosa (Gambar 3). Selulosa terdiri dari 100-1000

    unit glukosa (Fengel dan Wegener, 1995). Selulosa mendominasi karbohidrat

    yang berasal dari tumbuh-tumbuhan hampir mencapai 50% karena selulosa

    merupakan bagian yang terpenting dari dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selulosa

    ditemukan dalam tanaman yang dikenal sebagai mikrofibril dengan diameter 2-20

    nm dan panjang 100-40000 nm).

    Gambar 3. Struktur Rantai Selulosa

    Selulosa merupakan -1,4 poli glukosa, dengan berat molekul sangat

    besar. Unit ulangan dari polimer selulosa terikat melalui ikatan glikosida yang

    mengakibatkan struktur selulosa linier. Keteraturan struktur tersebut juga

    menimbulkan ikatan hidrogen secara intra dan intermolekul.

    (eckonopianto.blogspot.com/2009/04.selulosa.html)

  • 9

    Gugus fungsional dari rantai selulosa adalah gugus hidroksil. Gugus OH

    ini dapat berinteraksi satu sama lain dengan gugus O, -N, dan S, membentuk

    ikatan hidrogen. Ikatan H juga terjadi antara gugus OH selulosa dengan air.

    Gugus-OH selulosa menyebabkan permukaan selulosa menjadi hidrofilik. Rantai

    selulosa memiliki gugus-H di kedua ujungnya. Ujung C1 memiliki sifat

    pereduksi. Struktur rantai selulosa distabilkan oleh ikatan hidrogen yang kuat

    disepanjang rantai. Di dalam selulosa alami dari tanaman, rantai selulosa diikat

    bersama-sama membentuk mikrofibril yang sangat terkristal dimana setiap rantai

    selulosa diikat bersama-sama dengan ikatan hidrogen (Pertiwi, 2009).

    Selulosa terdekomposisi pada temperatur 280oC dan berakhir pada 300-

    350oC. Girard (1992), menyatakan bahwa pirolisis selulosa berlangsung dalam

    dua tahap, yaitu tahap pertama adalah reaksi hidrolisis menghasilkan glukosa.

    Tahap kedua merupakan reaksi yang menghasilkan asam asetat dan homolognya,

    bersama-sama air dan sejumlah kecil furan dan fenol (Prananta, 2010).

    2.3.2. Pirolisis Hemiselulosa

    Hemiselulosa merupakan polimer dari beberapa monosakarida seperti

    pentosa (C5H8O4) dan heksosa (C6H10O5). Hemiselulosa merupakan suatu

    polisakarida yang terdapat dalam tanaman dan tergolong senyawa organik.

    Struktur hemiselulosa ditunjukkan pada Gambar 4.

    Gambar 4. Struktur Hemiselulosa

  • 10

    Hemiselulosa bersifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, mudah

    mengembang karena itu hemiselulosa sangat berpengaruh terhadap bentuknya

    jalinan antara serat pada saat pembentukan lembaran, lebih mudah larut dalam

    pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis dengan asam (Pertiwi, 2009).

    Pirolisis pentosa menghasilkan furfural, furan dan derivatnya beserta satu

    seri panjang asam-asam karboksilat. Pirolisis heksosa terutama menghasilkan

    asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa akan terdekomposisi pada temperatur

    200-250oC (Herwanto, 2006).

    Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah larut

    dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah sebaliknya.

    Hemiselulosa juga bukan merupakan serat-serat panjang seperti selulosa. Hasil

    hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hasil hidrolisis

    hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida lainnya (Winarno,

    1984).

    2.3.3. Pirolisis Lignin

    Lignin merupakan sebuah polimer kompleks yang mempunyai berat

    molekul tinggi dan tersusun atas unit-unit fenil propana (Gambar 5). Lignin

    adalah polimer tri-dimensional fenil propana yang dihubungkan dengan beberapa

    ikatan berbeda antara karbon-ke-karbon dan beberapa ikatan lain antara unit fenil

    propana yang tidak mudah dihirolisis. Senyawa ini adalah fenol, eter fenol,

    siringol dan homolog serta derivatnya (Girard,1992).

  • 11

    Gambar 5. Struktur Lignin

    Lignin mulai mengalami dekomposisi pada temperatur 300-350oC dan

    berakhir pada 400-450oC. Lignin terdiri dari daerah amorphous dan bentuk-

    bentuk tersturktur seperti partikel tabung dan globul. Ada indikasi pula bahwa

    struktur kimia dan tridimensional lignin sangat dipengaruhi oleh matriks

    polisakarida. Simulasi dinamik menunjukkan bahwa gugus hidroksil dan metoksil

    di dalam prekusor lignin dan oligomer mungkin berinteraksi dengan mikrofibril

    selulosa sejalan dengan fakta bahwa lignin memiliki karakteristik hidrofobik.

  • 12

    2.4. Arang

    Arang atau karbon aktif adalah karbon yang mengalami proses

    pengaktifan dengan menggunakan bahan pengaktif sehingga pori-porinya terbuka,

    luas permukaan karbon menjadi lebih besar, dan kapasitas adsorpsinya menjadi

    lebih tinggi. Seiring dengan perkembangan teknologi adsorpsi, kebutuhan akan

    karbon aktif sebagai adsorben semakin meningkat, sehingga pengembangan

    tentang pembuatan karbon aktif masih potensial untuk dilakukan.

    Arang merupakan adsorben yang sangat bagus, berwarna hitam pekat

    karena hasil dari proses pengarangan (Gambar 6 a) dan banyak digunakan karena

    luas permukaan dan volume mikropori sangat besar (Isam dkk., 2007), kapasitas

    adsorpsi sangat besar, laju kinetika adsorpsi sangat cepat, dan relatif mudah dapat

    diregenerasi (Dinesh dkk., 2007). Arang memiliki ikatan yang kuat antar atom

    karbon penyusunnya (Gambar 6 b). Arang atau karbon aktif tersusun dari 90%

    atom karbon.

    (a) (b)

    Gambar 6. (a). Arang Sabut Kelapa (b). Struktur Ikatan Karbon dalam Arang

    Karbon aktif dapat diproduksi dari berbagai bahan yang mengandung

    karbon. Ketertarikan pemilihan bahan baku (prekursor) untuk karbon aktif dalam

    jumlah besar disebabkan: ketersediaannya, harga terjangkau, dan tidak

  • 13

    menyebabkan pencemaran, selain itu proses pembuatan dan penggunaan produk

    juga merupakan hal yang dipertimbangkan (Madhava dkk., 2007).

    Proses pembuatan karbon aktif melalui tiga tahap yaitu dehidrasi,

    karbonisasi, dan aktifasi. Dehidrasi adalah proses penghilangan air dimana bahan

    baku dipanaskan sampai temperatur 170oC. Karbonisasi adalah proses pemecahan

    bahan-bahan organik menjadi karbon. Temperatur diatas 170oC akan

    menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2). Pembentukan

    karbon terjadi pada temperatur 400-600 oC. Aktifasi adalah proses perluasan pori

    dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul

    permukaan sehingga arang akan mengalami perubahan sifat fisika dan kimia,

    yaitu luas permukaannya bertambah besar yang akan mempengaruhi daya

    adsorpsi (Pertiwi,2009).

    2.5. Adsorpsi

    Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu

    terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya

    tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam

    (Atkins, 1999).

    Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul

    pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan

    cenderung menarik molekul-molekul lain yang bersentuhan dengan permukaan

    padatan, baik fasa gas atau fasa larutan ke dalam permukaannya. Akibatnya,

    konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa

    gas atau zat terlarut dalam larutan. Menurut Giles dalam Osipow (1962), yang

  • 14

    bertanggung jawab terhadap adsorpsi adalah gaya tarik Van der Waals,

    pembentukan ikatan hidrogen, pertukaran ion dan pembentukan ikatan kovalen.

    Adsorpsi dapat terjadi pada antarfasa padat-cair, padat-gas atau gas-cair.

    Molekul yang terikat pada bagian antarmuka disebut adsorbat, sedangkan

    permukaan yang menyerap molekul-molekul adsorbat disebut adsorben. Pada

    adsorpsi, interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan

    adsorben. Adsorpsi adalah gejala pada permukaan, sehingga makin besar luas

    permukaan, maka makin banyak zat yang teradsorpsi. Walaupun demikian,

    adsorpsi masih bergantung pada sifat zat pengadsorpsi (Fatmawati, 2006).

    Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, adsorpsi

    dibedakan menjadi dua macam yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia.

    a. Adsorpsi Fisika

    Dalam adsorpsi fisika, molekul-molekul teradsorpsi pada permukan

    adsorben dengan ikatan yang lemah. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya

    intermolekuler lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik

    yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut

    gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan

    ke bagian permukaan lain dari adsorben (Reza, 2002). Adsorpsi ini berlangsung

    cepat, dapat membentuk lapisan jamak (multilayer) dan dapat bereaksi balik

    (reversibel), sehingga molekul-molekul yang teradsorpsi mudah dilepaskan

    kembali dengan cara menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut.

    Panas adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika yaitu berkisar 10 kJ/mol

    (kira-kira mempunyai orde yang sama dengan kalor yang dilepaskan pada proses

    kondensasi adsorbat) dan lebih panas dari adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika

  • 15

    umumnya terjadi pada temperatur yang rendah dan jumlah zat yang teradsorpsi

    akan semakin kecil dengan naiknya suhu. Banyaknya zat yang teradsorpsi dapat

    beberapa lapisan monomolekuler, demikian juga kondisi kesetimbangan tercapai

    segera setelah adsorben bersentuhan dengan adsorbat. Hal ini dikarenakan dalam

    fisika tidak melibatkan energi aktivasi.

    b. Adsorpsi Kimia

    Pada adsorpsi kimia, molekul-molekul yang teradsorpsi pada permukaan

    adsorben bereaksi secara kimia, karena adanya reaksi antara molekul-molekul

    adsorbat dengan adsorben dimana terbentuk ikatan kovalen, sehingga terjadi

    pemutusan dan pembentukan ikatan (Reza, 2002). Oleh karena itu, panas

    adsorpsinya mempunyai kisaran yang sama seperti reaksi kimia, yaitu berkisar

    100 kJ/mol (mempunyai orde besaran yang sama dengan energi ikatan kimia).

    Adsorpsi kimia bersifat irreversibel, hanya dapat membentuk lapisan

    tunggal (monolayer) dan diperlukan energi yang banyak untuk melepaskan

    kembali adsorbat (dalam proses adsorpsi). Pada umumnya, dalam adsorpsi kimia

    jumlah (kapasitas) adsorpsi bertambah besar dengan naiknya temperatur. Zat yang

    teradsorpsi membentuk satu lapisan monomolekuler dan relatif lambat tercapai

    kesetimbangan karena dalam adsorpsi kimia melibatkan energi aktivasi (Oscik,

    1982).

    Menurut Lynam dalam Syahmani (2007), energi adsorpsi fisika adalah 42

    kJ/mol sedangkan adsorpsi kimia berada dalam kisaran 42-420 kJ/mol. Secara

    kualitatif perilaku adsorpsi dapat juga dipandang dari sifat polar ataupun nonpolar

    antara zat padat (adsorben) dengan komponen larutan (adsorbat). Adsorben polar

    akan cenderung mengadsorpsi kuat adsorbat polar dan lemah terhadap adsorbat

  • 16

    nonpolar, demikian juga sebaliknya. Adsorben polar akan mengadsorpsi kuat zat

    terlarut polar dari pelarut nonpolar karena kelarutannya yang rendah dan

    mengadsorpsi yang lemah dari pelarut polar karena kelarutannya yang tinggi,

    demikian juga sebaliknya.

    Menurut Hughes dan Poole (1984) proses adsorpsi melalui pertukaran ion

    dan kompleksasi hanya berlangsung pada lapisan permukaan sel yang mempunyai

    situs-situs yang bermuatan berlawanan dengan muatan ion logam sehingga

    interaksinya merupakan interaksi pasif dan relatif cepat.

    Molekul adsorben secara kimiawi dianggap mempunyai situs-situs aktif

    atau gugus fungsional yang mampu berinteraksi dengan logam permukaan sel

    seperti posfat, karboksil, amina dan amida. Jika proses adsorpsi melalui

    pertukaran ion, adsorpsi dipengaruhi oleh banyak proton dalam larutan yang

    berkompetisi dengan ion logam pada permukaan adsorben, sehingga pada pH

    yang rendah jumlah proton melimpah, peluang terjadinya pengikatan logam oleh

    adsorben relatif kecil, sebaliknya pada pH tinggi, jumlah proton relatif kecil

    menyebabkan peluang terjadinya pengikatan logam menjadi besar.

    2.5.1. Metode Sorpsi

    Metode sorpsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu statis (batch) dan

    dinamis (kolom).

    1. Cara statis yaitu ke dalam wadah yang berisi sorben dimasukkan larutan

    yang mengandung komponen yang diinginkan, selanjutnya diaduk dalam

    waktu tertentu, kemudian dipisahkan dengan cara penyaringan atau

    dekantasi. Komponen yang telah terikat pada sorben dilepaskan kembali

  • 17

    dengan melarutkan sorben dalam pelarut tertentu dan volumenya lebih

    kecil dari volume larutan mula-mula.

    2. Cara dinamis (kolom) yaitu ke dalam kolom yang telah diisi dengan

    sorben dilewatkan larutan yang mengandung komponen tertentu

    selanjutnya komponen yang telah terserap dilepaskan kembali dengan

    mengalirkan pelarut (eluen) sesuai yang volumenya lebih kecil.

    Karena selektivitasnya yang tinggi, proses adsorpsi sangat sesuai untuk

    memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran yang

    mengandung bahan lain yang berkonsentrasi tinggi. Bentuk lain dari adsorpsi

    adalah pertukaran ion (ion exchange).

    Kecepatan adsorpsi tidak hanya bergantung pada perbedaan konsentrasi

    dan luas permukaan adsorben, melainkan juga pada suhu, pH larutan, tekanan

    (untuk gas), ukuran partikel, dan porositas adsorben tetapi juga bergantung pada

    ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi dan viskositas campuran yang akan

    dipisahkan (Hanjono, 1995).

    2.5.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi

    Menurut Gaol (2001), banyaknya adsorbat yang terserap pada permukaan

    adsorben dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

    1. Jenis Adsorbat, dapat ditinjau dari

    a. Ukuran molekul adsorbat, rongga tempat terjadinya adsorpsi dapat dicapai

    melalui ukuran yang sesuai, sehingga molekul-molekul yang bisa diadsorpsi

    adalah molekul-molekul yang berdiameter sama atau lebih kecil dari

    diameter pori adsorben.

  • 18

    b. Polaritas molekul adsorbat, apabila diameter sama, molekul-molekul polar

    lebih kuat diadsorpsi daripada molekul-molekul yang kurang polar, sehingga

    molekul-molekul yang lebih polar bisa menggatikan molekul-molekul yang

    kurang polar yang telah diserap.

    2. Sifat Adsorben, dapat ditinjau dari :

    a. Kemurnian adsorben, adsorben yang lebih murni memiliki daya serap yang

    lebih baik

    b. Luas Permukaan, semakin luas permukaan adsorben maka jumlah adsorbat

    yang terserap akan semakin banyak pula.

    c. Temperatur, adsorpsi merupakan proses eksotermis sehingga jumlah

    adsorbat akan bertambah dengan berkurangnya temperatur adsorbat.

    Adsorpsi fisika yang substansial biasa terjadi pada temperatur di bawah

    titik didih adsorbat, terutama di bawah 50oC.

    d. Tekanan, untuk adsorpsi fisika, kenaikan tekanan adsorbat mengakibatkan

    kenaikan jumlah zat yang diadsorpsi. Sebaliknya pada adsorpsi kimia,

    jumlah yang diadsorpsi berkurang dengn naiknya temperatur adsorbat.

    2.6. Isoterm Adsorpsi

    Isoterm adsorpsi merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terserap

    pada padatan terhadap konsentrasi larutan. Persamaan yang dapat digunakan

    untuk menjelaskan data percobaan isoterm dikaji oleh Freundlich, Langmuir, serta

    Brunauer, Emmet dan Teller (BET). Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk

    mempelajari mekanisme adsorpsi. Adsorpsi fase cair-padat pada umumnya

  • 19

    menganut tipe isoterm Freundlich dan Langmuir (Atkins, 1999). Adsorben yang

    baik memiliki kapasitas adsorpsi dan persentase penyerapan yang tinggi.

    Kapasitas adsorpsi dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

    (

    )

    Sedangkan persentase adsorpsi (efisiensi adsorpsi) dapat dihitung dengan

    menggunakan rumus :

    (

    )

    Keterangan :

    C1 = Konsentrasi awal larutan (mg/L)

    C2 = Konsentrasi akhir larutan (mg/L)

    m = Massa adsorben (g)

    V = Volume larutan (L)

    Q = Kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mg/g)

    % E = Efisiensi penyerapan

    Isoterm adsorpsi merupakan gambaran suatu keadaan kesetimbangan yaitu

    tidak ada lagi perubahan konsentrasi adsorbat baik pada fasa terserap maupun

    pada fasa gas atau cair. Isoterm adsorpsi umumnya digambarkan dalam bentuk

    kurva atau plot distribusi kesetimbangan adsorbat antara fasa padat dengan fasa

    gas atau cair pada suhu konstan.

    Isoterm adsorpsi merupakan hal yang mendasar dalam penentuan kapasitas

    dan afinitas adsorpsi suatu adsorbat pada permukaan adsorben. Kurva isoterm

    untuk adsorpsi logam dalam sistem cair-padat didasarkan pada pengukuran

    konsentrasi logam di fase cair pada kesetimbangan, sedangkan konsentrasi logam

    pada fase padat diperoleh dari neraca massa menggunakan larutan pada saat awal

    dan akhir percobaan.

  • 20

    2.6.1. Isoterm Langmuir

    Tipe isoterm Langmuir merupakan proses adsorpsi yang berlangsung

    secara kimisorpsi satu lapisan (Jason, 2004). Kimisorpsi adalah adsorpsi yang

    terjadi melalui ikatan kimia yang sangat kuat antara sisi aktif permukaan dengan

    molekul adsorbat dan dipengaruhi oleh densitas elektron. Adsorpsi satu lapisan

    terjadi karena ikatan kimia biasanya bersifat spesifik, sehingga permukaan

    adsorben mampu mengikat adsorbat dengan ikatan kimia. Kurva isoterm

    Langmuir menggambarkan plot antara c dengan x/m (Gambar 7). Isoterm

    Langmuir diturunkan berdasarkan teori dengan persamaan :

    Keterangan :

    x/m = jumlah adsorbat teradsorpsi perunit massa adsorben (mg/g)

    C = konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah diadsorpsi

    , = Konstanta empiris

    Gambar 7. Kurva Isoterm Langmuir

    Isoterm Langmuir dipelajari untuk menggambarkan pembatasan sisi

    adsorpsi dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi sentuh adsorben ada pada

    permukaannya dan semua memiliki energi yang sama, serta adsorpsi bersifat balik

    (Atkins, 1999).

  • 21

    Konstanta dan dapat ditemukan dari kurva hubungan

    terhadap c dengan persamaan :

    2.6.2. Isoterm Freundlich

    Isoterm Freundlich merupakan isoterm yang paling umum digunakan dan

    dapat mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik (Jason, 2004). Isoterm

    Freundlich menggambarkan hubungan antara sejumlah komponen yang

    teradsorpsi per unit adsorben dan konsentrasi komponen tersebut pada

    kesetimbangan (Gambar 8).

    Gambar 8. Kurva Isoterm Freundlich

    Freundlich memformulasikan persamaan isotermnya sebagai berikut :

    Apabila dilogaritmakan, persamaan akan menjadi :

    Keterangan :

    x/m = jumlah adsorbat teradsorpsi perunit massa adsorben (mg/g)

    C = konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah diadsorpsi

    k,n = konstanta empiris

  • 22

    Isoterm Freundlich menganggap bahwa pada semua sisi permukaan

    adsorben akan terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan. Isoterm

    Freundlich tidak mampu memperkirakan adanya sisi-sisi pada permukaan

    adsorpsi pada saat kesetimbangan tercapai (Jason, 2004).

    2.7. Logam Berat

    Berdasarkan daya hantar elektrik, semua unsur kimia yang terdapat dalam

    sistem periodik dapat dibagi menjadi 2 golongan (Cotton, 1986), yaitu logam dan

    non logam. Logam mempunyai daya hantar panas dan elektrik yang tinggi

    (konduktor), sedangkan non logam bersifat isolator. Berdasarkan kerapatannya,

    logam dapat dibedakan atas 2 golongan, yaitu logam ringan dan logam berat.

    Logam berat adalah semua jenis logam yang mempunyai berat jenis lebih besar

    atau sama dengan 5 g/cm3, sedangkan logam yang mempunyai berat jenis kurang

    dari 5 g/cm3 dikenal sebagai logam ringan.

    Istilah logam berat secara khas mencirikan suatu unsur yang merupakan

    konduktor yang baik, mudah ditempa, bersifat toksik dalam makhluk hidup,

    mempunyai atom 22-92 dan terletak pada periode III dan IV dalam sistem

    periodik unsur kimia (Cotton, 1986).

    Logam berat adalah unsur-unsur yang umumnya digunakan dalam

    industri, bersifat toksik bagi makhluk hidup dalam proses aerobik maupun

    anaerobik. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi

    dalam dua jenis yaitu logam berat esensial dan non esensial. Jenis pertama adalah

    logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat

    dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat

  • 23

    menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan

    lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau

    beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya

    atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain.

    Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan

    manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat

    dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu

    menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh,

    menyebabkan alergi, bersifat mutagen, karsinogen bagi manusia ataupun hewan

    (Widowati dkk., 2008).

    Secara alamiah, Cu dan Pb masuk ke dalam badan perairan sebagai akibat

    dari peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu

    dan Pb di atmosfer yang dibawa oleh air hujan, serta berasal dari buangan

    industri, pertambangan Cu dan Pb, dan lainnya. Hal tersebut dapat mempercepat

    terjadinya peningkatan kelarutan Cu dan Pb dalam badan perairan. Dalam kondisi

    normal, keberadaan Cu dan Pb dalam perairan ditemukan dalam bentuk senyawa

    CuCO3, Cu(OH)2, Pb(OH)2, dan lain-lain. Bila dalam badan perairan terjadi

    peningkatan kelarutan Cu dan Pb melebihi ambang batas yang seharusnya, maka

    akan terjadi peristiwa biomagnifikasi terhadap biota-biota perairan.

    2.7.1. Tembaga (Cu)

    Tembaga atau cuprum adalah logam dengan nomor atom 29, massa atom

    63,546 g/mol, titik lebur 1083oC, titik didih 2310

    oC, jari-jari atom 1,173 A

    o, jari-

    jari ion Cu2+

    0,96Ao. Tembaga adalah logam transisi (golongan IB) yang

  • 24

    berwarna kemerahan, dan mudah ditempa. Tembaga bersifat racun bagi makhluk

    hidup. (Kundari et al., 2008).

    Secara kimia, senyawa-senyawa dibentuk oleh logam Cu (tembaga)

    mempunyai bilangan valensi +1 dan +2. Berdasarkan pada bilangan valensi yang

    dibawanya logam Cu dinamakan juga cuppro untuk yang bervalensi +1 dan

    cuppry untuk yang bervalensi +2. Kedua jenis ion Cu tersebut dapat membentuk

    kompleks ion-kompleks ion yang sangat stabil seperti Cu(NH3)6Cl2. Logam Cu

    dan beberapa bentuk persenyawaannya seperti CuO, CuCO3, Cu(OH)2 dan

    Cu(CN)2 tidak dapat larut dalam air dingin atau panas, tetapi mereka dapat

    dilarutkan dalam asam seperti H2SO4 dalam larutan basa NH4OH.

    Senyawa Cu banyak digunakan dalam industri cat sebagai antifoling,

    industri insektisida dan fungisida, sebagai katalis, baterai, elektroda, penarik

    sulfur dan sebagai pigmen serta pencegah pertumbuhan lumut.

    2.7.2. Timbal (Pb)

    Timbal atau plumbum dalam keseharian lebih dikenal dengan timah hitam

    merupakan logam yang lunak dan tahan terhadap korosi atau karat sehingga

    logam timbal sering digunakan sebagai bahan coating. Pb adalah logam dengan

    nomor atom 82 dan nomor massa 207,2 g/mol. Pb dan persenyawaannya dapat

    berada dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak terhadap

    aktivitas manusia.

    Secara alamiah, Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan

    Pb di udara dengan bantuan air hujan. Pb yang masuk ke dalam badan perairan

    sebagai dampak aktivitas manusia diantaranya adalah air buangan limbah dari

  • 25

    industri yang berkaitan dengan Pb, misalnya dari pertambangan bijih timah hitam

    dan buangan sisa industri baterai.

    Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam

    bentuk ion-ion divalen atau ion-ion tetravalen (Pb2+

    , Pb4+

    ). Ion Pb tetravalen

    mempunyai daya racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ion Pb

    divalen. Timbal bersifat toksik bagi semua organisme hidup, bahkan juga sangat

    berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan, konsentrasi Pb yang mencapai

    188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan. Keracunan timbal bersifat akut dan kronis.

    Hal itu disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan racun terhadap

    banyak fungsi organ dan sistem syaraf yang terdapat dalam tubuh (Palar, 1994).

    2.8. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

    Spektrofotometer serapan atom (SSA) merupakan metode yang

    memanfaatkan fenomena penyerapan energi sinar oleh atom netral dalam bentuk

    gas sebagai dasar pengukuran dan sangat tepat digunakan untuk analisis zat pada

    konsentrasi rendah. Atom-atom bebas dapat dihasilkan dengan cara

    menyemprotkan sampel yang berupa larutan atau suspensi ke dalam nyala.

    Besarnya kepekatan analit ditentukan dari besarnya penyerapan berkas sinar garis

    resonansi yang melewati nyala.

    Cara analisis ini selain atomisasi dengan nyala dapat pula dilakukan

    dengan tanpa nyala (flameless atomizer), yaitu dengan menggunakan energi listrik

    dengan batang karbon (CRA = Carbon Rod Atomizer) atau bahkan dengan uapnya

    saja seperti pada analisis merkuri (Ewing, 1985).

  • 26

    Dalam Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan nyala, biasanya

    terdapat empat jenis nyala yang digunakan sebagai bahan bakar pada SSA, yaitu:

    1. Asetilen udara, suhu yang dihasilkan oleh campuran ini adalah sekitar

    2300-2400 oC dengan burning velocity 160 cm/det.

    2. Nitrous oksida asetilen, campuran ini dapat menghasilkan nyala

    dengan panas 3200oC, tetapi burning velocyty nya cukup besar yaitu

    220 cm/det.

    3. Udara hidrogen

    4. Argon udara hidrogen (Suryana, 2001).

    Keuntungan metode SSA adalah sebagai berikut :

    a. Dari satu larutan yang sama, beberapa unsur yang berlainan dapat

    diukur.

    b. Pengukuran dan preparasi terhadap sampel lebih mudah dibandingkan

    dengan metode lainnya, seperti kolorimetri (pembentukan senyawa

    berwarna), gravimetrik (endapan dikeringkan terlebih dahulu),

    c. Output data (absorban) dapat langsung dibaca.

    d. Dapat diaplikasikan kepada jenis unsur dalam banyak jenis.

    2.8.1. Prinsip Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

    Metode SSA berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom

    menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung sifat

    unsurnya. SSA adalah cara analitis yang berdasarkan pada proses penyerapan

    energi radiasi gelombang elektromagnetik oleh populasi atom yang berbeda pada

    tingkat energi yang lebih tinggi. Jika pada sejumlah populasi atom yang berada

    pada tingkat energi dasar (Eo) dberikan seberkas radiasi gelombang

  • 27

    elektromagnetik dengan tingkat energi tertentu (sesuai dengan besarnya energi

    untuk menaikkan tingkat energi atom dari Eo E1) maka sebagian dari energi

    radiasi akan diserap oleh atom dan tingkat energi atom naik dari Eo E1.

    Energi radiasi gelombang elektromagnetik yang tidak mengalami

    penyerapan akan keluar dari populasi atom dan intensitasnya berkurang sesuai

    dengan jumlah atom yang mengalami perpindahan tingkat energi. Dengan

    demikian, pengurangan intensitas radiasi pada panjang gelombang yang sesuai

    dapat diukur dan besarnya sebanding dengan populasi atom yang menyerap

    radiasi tersebut. Dengan mengukur jumlah energi yang diserap, maka dapat

    menentukan konsentrasi atom elemen yang diuji dalam contoh (Suryana, 2001).

    Hubungan antara konsentrasi atom logam dengan pengukuran cahaya yang

    diabsorpsi ditunjukkan dengan persamaan Lambert-Beer :

    A = -log Ic/Io = Kv.d.c

    Keterangan :

    A = Absorbansi

    Io = Intensitas cahaya awal (erg/detik)

    Ic = Intensitas cahaya setelah sebagian diabsorpsi oleh contoh (erg/detik)

    Kv = Absortivitas molar-konstan (mol/L.cm)

    d = Tebal media (cm)

    c = Konsentrasi atom analit dalam contoh (mol/L)

    Secara sederhana skema alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dapat

    dilihat pada Gambar 9.

    Gambar 9. Komponen-komponen utama SSA

  • 28

    1. Sumber Cahaya

    Sumber cahaya yang banyak digunakan adalah lampu katoda berongga

    (Gambar 10), tabung yang bermuatan gas sumber radiasi yang baik adalah sumber

    radiasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

    a. Memancarkan intensitas sinar dengan pita radiasi yang sempit.

    b. Tidak mengabsorbsi sendiri.

    c. Tidak ada background yang kontinyu.

    Gambar 10. Lampu katoda

    2. Sistem Atomisasi

    Sistem pengatoman dengan nyala terdiri dari pembakar (burner), pengabut

    (nebulizer) dan pengatur aliran gas serta kapiler (Gambar 11). Sedangkan sistem

    pengatoman tanpa nyala yaitu pemanasan secara listrik oleh batang karbon dengan

    tahapan pengeringan (drying), pengabuan (ashing) dan pengatoman (atomizing).

    Gambar 11. Nebulizer,Burner dan Spray Chamber

  • 29

    Sistem pengatoman dengan nyala berfungsi untuk mengubah populasi

    unsur dalam larutan menjadi populasi atom dimana akan dilakukan pengukuran

    absorpsi. Proses yang terjadi dalam atomisasi secara umum adalah :

    1. Nebulasi yaitu pengubahan cairan ke dalam bentuk kabut aerosol

    2. Pemisahan titik-titik kabut dengan sebaran ukuran yang benar

    3. Pencampuran kabut dengan gas memasukannya ke dalam burner

    Gas (biasanya oksigen untuk pembakar) dialirkan ke dalam spray chamber

    melalui venturi akibatnya cairan sampel terisap ke atas dan dialirkan ke dalam

    spray chamber. Titik air yang besar akan mengalir ke bawah sedangkan yang

    halus terus masuk ke dalam pembakar, diameter dari partikel-partikel biasanya

    lebih kecil dari 2 m. Pada bagian spray chamber kabut sampel dicampur dengan

    bahan bakar kemudian dimasukkan ke dalam pembakar. Campuran bahan bakar

    dan oksigen harus diperhatikan dan disesuaikan dengan unsur yang dipakai.

    3. Sistem Monokromator

    Sistem pemilih panjang gelombang berfungsi untuk memisahkan radiasi

    yang tidak diserap oleh populasi atom (yang berasal dari lampu katoda cekung)

    dari radiasi-radiasi lain yang tidak diperlukan dan akan mengganggu pengukuran

    intensitas radiasi yang diperlukan. Sistem monokromator terdiri dari gabungan

    cermin, lensa dan prisma atau kisi (grating). Sistem monokromator ini ada yang

    menggunakan saluran tunggal (single beam) dan saluran ganda (double beam).

    4. Detektor

    Detektor pada SSA berfungsi untuk mengubah intensitas radiasi menjadi

    arus atau sinyal listrik. Keluaran dari detektor diumpankan ke suatu sistem

    pencatat yang sesuai. Alat pencatat ini digunakan untuk mengubah dan mencatat

  • 30

    sinyal-sinyal listrik yang berasal dari suatu detektor ke suatu bentuk yang mudah

    dibaca oleh operator, misalnya dalam bentuk angka-angka digital sesuai dengan

    hasil analisis.

    Detektor yang dipakai SSA pada umumnya adalah photomultiplier tube.

    Photomultiplier tube menghasilkan sinyal listrik sebanding dengan intensitas

    cahaya pada panjang gelombang yang telah dipisahkan oleh monokromator.

    5. Sistem Pengolahan

    Berfungsi untuk mengolah kuat arus yang dihasilkan oleh detektor

    menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi

    besaran konsentrasi.

    6. Pencatat (rekorder)

    Berfungsi untuk mencatat hasil yang dikeluarkan oleh sistem pengolahan.

    2.8.2. Metode Analisis

    Ada tiga teknik yang dipakai dalam analisis secara spektrofotometri.

    1. Metode Standar Tunggal

    Metode ini sangat praktis karena hanya menggunakan satu larutan standar

    yang telah diketahui konsentrasinya (Cstd). Selanjutnya absorbansi larutan standar

    (Astd) dan absorbansi larutan sampel (Asmp) diukur dengan spektrofotometri.

    Dengan mengukur absorbansi larutan sampel dan standar, konsentrasi larutan

    sampel dapat dihitung.

  • 31

    2. Metode Kurva Kalibrasi

    Dalam metode ini dibuat suatu seri larutan standar dengan berbagai

    konsentrasi dan absorbansi dari larutan tersebut diukur denganSSA. Langkah

    selanjutnya adalah membuat grafik antara konsentrasi (C) dengan absorbansi (A)

    yang akan membentuk garis lurus melewati titik nol dengan slope = a.b.C larutan

    sampel dapat dicari setelah absorbansi larutan sampel diukur dan diintrapolasi ke

    dalam kurva kalibrasi atau dimasukkan ke dalam persamaan garis lurus yang

    diperoleh dengan menggunakan program regresi linier pada kurva kalibrasi.

    3. Metode Standar Adisi

    Metode ini dipakai secara luas karena mampu meminimalkan kesalahan

    yang disebabkn oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standar.

    Dalam metode ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari sampel

    dipindahkan ke dalam labu takar. Satu larutan diencerkan sampai volume tertentu

    kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan

    larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambah terlebih dahulu dengan

    sejumlah tertentu larutan standard dan diencerkan seperti pada larutan yang

    pertama. Menurut hukum Beer :

    Ax = k.Cx AT = k (Cx + Cs)

    Keterangan :

    Cx = Konsentrasi zat sampel

    Cs = Konsentrasi zat standar yang ditambahkan ke larutan sampel

    Ax = Absorbansi zat sampel (tanpa penambahan zat standar)

    As = Absorbansi zat sampel + zat standar

  • 32

    Jika kedua persamaan diatas digabung akan menjadi :

    Cx = Cs x (Ax/(AT Ax))

    Konsentrasi zat dalam sampel (Cx) dapat dihitung dengan mengukur Ax dan AT

    dengan spektrofotometer.

  • 33

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilakukan selama lima bulan yang dilaksanakan dari bulan

    Juli November 2011. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di Laboratorium

    Penelitian Kimia, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri

    Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan alamat di jalan Ir. H.Juanda No.95, Ciputat,

    15412.

    3.2. Alat dan Bahan

    3.2.1. Alat

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer serapan

    atom Aanalyst 700 Perkin Elmer (SSA), shaker incubation (Heidolph Incubator

    1000), ayakan dengan ukuran partikel 212 m Retsch, timbangan analitik, pH

    meter, furnace, kertas saring, blender, dan peralatan gelas lainnya.

    3.2.2. Bahan

    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sabut kelapa (diambil

    dari penjual minuman es kelapa di daerah Jakarta Selatan) yang sudah diberikan

    perlakuan sebelumnya, CuSO4 (tembaga (II) sulfat), Pb(NO3)2 (timbal (II) nitrat),

    HNO3 p.a. (asam nitrat), NaOH (natrium hidroksida), C6H8O7 (asam sitrat),

    C6H5O7Na3.2H2O (trinatrium sitrat dihidrat), KH2PO4 (kalium dihidrogen posfat),

    Na2HPO4.2H2O (dinatrium hidrogen posfat dihidrat) , aquadest, dan air limbah.

  • 34

    3.3. Preparasi Sampel Sabut Kelapa

    Sabut kelapa dikeringanginkan dibawah sinar matahari selama satu

    minggu kemudian di potong- potong dengan ukuran 1 cm, kemudian diarangkan

    pada suhu 250oC selama 2,5 jam sehingga menjadi serbuk arang. Arang tersebut

    dihaluskan dengan blender. Setelah itu, diayak dengan pengayak ukuran partikel

    212 m (Saniyyah, 2010).

    3.4. Penentuan Kondisi Optimum

    3.4.1. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga

    (Cu) dan Timbal (Pb)

    Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-

    masing dengan massa 0,5 ; 1 ; dan 1,5 gram, dimasukkan masing-masing

    kedalam erlenmeyer 100 mL. Kemudian dimasukkan 20 mL larutan ion logam

    dengan konsentrasi 10 mg/L ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer tersebut

    diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada

    suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran disaring dengan menggunakan

    kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan kedalam vial dan ditambahkan

    satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan

    SSA.

    3.4.2. Pengaruh pH Larutan Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga

    (Cu) dan Timbal (Pb)

    Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-

    masing dengan massa 1,5 gram. Setelah itu, dimasukkan kedalam erlenmeyer

    100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam 10 mg/L dengan variasi pH 3,

    4, 5, dan 6. Sedangkan untuk ion logam tembaga (Cu) dibuat juga larutan dengan

  • 35

    pH 7. Erlenmeyer yang berisi adsorben dan larutan ion logam dengan pH tertentu

    diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada

    suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara

    disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan

    kedalam vial dan ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi

    ion logam diukur dengan SSA.

    3.4.3. Pengaruh Konsentrasi Ion Logam Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)

    Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-

    masing dengan massa 1,5 gram. Setelah itu, dimasukkan kedalam erlenmeyer

    100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam dengan variasi konsentrasi

    10, 20, 30, dan 40 mg/L dengan pH optimum. Erlenmeyer tersebut diletakkan

    pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada suhu ruang

    selama 30 menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan

    menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan kedalam vial dan

    ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi ion logam

    diukur dengan SSA.

    3.4.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)

    Arang sabut kelapa dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-

    masing dengan massa 1,5 gram. Setelah itu, dimasukkan kedalam erlenmeyer

    100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam dengan konsentrasi optimum

    dan pH optimum untuk masing-masing ion logam. Erlenmeyer tersebut

    diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada

    suhu ruang dengan variasi waktu pengadukan 30, 60, 90, dan 120 menit. Setelah

  • 36

    itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas

    saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan kedalam vial dan ditambahkan satu tetes

    HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

    3.4.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)

    Sabut kelapa yang telah dikering anginkan dan dihaluskan, dipanaskan

    dalam furnace dengan variasi temperatur pengarangan 250 oC, 350

    oC, 450

    oC,

    dan 550oC. Arang sabut kelapa yang telah terbentuk dengan variasi temperatur

    pengarangan tersebut ditimbang masing-masing 1,5 gram. Setelah itu,

    dimasukkan kedalam erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion

    logam dengan konsentrasi dan pH optimum untuk masing-masing logam.

    Erlenmeyer tersebut diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan

    pengadukan 180 rpm pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran

    dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil

    saringan dimasukkan kedalam vial dan ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan

    selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

    3.5. Aplikasi Limbah

    Air limbah Laboratorium Kimia Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Balai Teknologi Lingkungan, dan air limbah

    pencucian aki diambil kemudian disaring untuk memisahkan larutan dari padatan

    yang tidak larut. Setelah itu diukur konsentrasi awal dari ion logam tembaga (Cu)

    dan timbal (Pb) sebelum dilakukan adsorpsi menggunakan arang sabut kelapa.

    Kemudian air limbah yang telah diukur konsentrasi ion logam awal, dilakukan

    pengaturan pH agar tercapai pH optimum untuk masing-masing logam.

  • 37

    Dengan menggunakan kondisi optimum yang diperoleh, arang sabut

    kelapa ditimbang sebanyak 1,5 gram. Setelah itu dimasukkan kedalam

    erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 20 mL larutan ion logam dengan

    konsentrasi dan pH optimum untuk masing-masing logam. Erlenmeyer tersebut

    diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada

    suhu ruang selama 30 menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara

    disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan dimasukkan ke

    dalam vial dan ditambahkan satu tetes HNO3 pekat dan selanjutnya konsentrasi

    ion logam diukur dengan SSA.

  • 38

    3.6. Bagan Alir Penelitian

    Pengeringan dibawah

    sinar matahari

    Sampel dihaluskan

    Preparasi Sampel

    (Sabut Kelapa)

    Sampel diarangkan

    Penentuan

    Kondisi Optimum

    1. Massa

    Adsorben

    3. Konsentrasi

    Ion Logam

    2. pH

    Larutan

    4. Lama

    Pengadukan

    5. Temperatur

    Pengarangan

    Penentuan Isoterm

    Aplikasi Terhadap Limbah

  • 39

    BAB IV

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Penentuan Kondisi Optimum

    Penelitian yang telah dilakukan diawali dengan menggunakan sampel

    sabut kelapa (212 m) tanpa pengarangan sebagai adsorben. Hasil pengukuran

    efisiensi penyerapan ion logam tembaga (Cu) dan timbal (Pb) oleh sabut kelapa

    ditunjukkan pada Tabel 2.

    Tabel 2. Efisiensi Adsorpsi Ion Logam Cu dan Pb Oleh Sabut Kelapa

    No Ion

    Logam

    Massa

    Adsorben (g)

    C

    (mg/L)

    C1 (mg/L)

    C2

    (mg/L) %E

    Q

    (mg/g)

    1 Cu 1,5000 10 8,1815 7,4635 8,78 0,0095

    2 Pb 1,5000 10 10,7329 9,9670 7,13 0,0093

    Pada Tabel 2 menunjukkan nilai efisiensi penyerapan ion logam Cu

    (8,78%) dan Pb (7,13%) dengan menggunakan sabut kelapa tidak maksimal. Hal

    ini disebabkan karena struktur pori sabut kelapa pada permukaan sabut kelapa

    belum terbuka sempurna sehingga daya serap terhadap adsorbatnya kecil. Oleh

    karena itu, untuk mendapatkan nilai efisiensi penyerapan maksimal dilakukan

    pengarangan pada sabut kelapa untuk mengaktivasi struktur pori (sisi aktif) secara

    sempurna.

    Berikut adalah data hasil lima parameter penentuan kondisi optimum

    adsorpsi logam Cu dan Pb oleh arang sabut kelapa, yaitu massa adsorben, pH,

    konsentrasi ion logam, lama pengadukan, dan temperatur pengarangan.

  • 40

    4.1.1.Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga

    (Cu) dan Timbal (Pb)

    Hasil pengukuran pengaruh massa arang sabut kelapa terhadap penyerapan

    ion logam Cu dan Pb ditunjukkan pada Tabel 4 dan 5 (Lampiran 1) dan Gambar

    12. Variasi massa adsorben yang digunakan adalah 0,5 ; 1 ; dan 1,5 gram. Hal ini

    terkait dengan skala perbandingan massa adsorben dengan volume larutan ion

    logam yang digunakan (20 mL). Jika massa adsorben diperbesar maka adsorben

    tidak akan teraduk secara sempurna (tidak bersinggungan dengan adsorbat)..

    Pada Gambar 12 menunjukkan bahwa untuk kedua logam massa arang

    sabut kelapa berbanding lurus dengan nilai efisiensi penyerapan yaitu semakin

    banyak arang sabut kelapa yang digunakan maka semakin besar pula nilai

    efisiensi penyerapannya.

    Gambar 12. Pengaruh Massa Adsorben Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu

    dan Pb (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10

    mg/L, Lama Pengadukan 30 menit, dan Temperatur Pengarangan

    Adsorben 250 oC).

    Menurut Barros (2003), nilai efisiensi penyerapan akan meningkat jika

    terjadi peningkatan massa adsorben. Hal ini disebabkan karena terjadi

    peningkatan sisi aktif adsorben. Semakin banyak arang sabut kelapa yang

    digunakan maka akan semakin bertambah sisi aktif adsorben arang sabut kelapa

    untuk proses penyerapan adsorbat (logam Cu dan Pb) ke permukaan partikel arang

    0

    5

    10

    15

    20

    0 0.5 1 1.5 2Efi

    sien

    si P

    eny

    era

    pa

    n

    (%)

    Massa Adsorben (g)

    Pb

    Cu

  • 41

    sabut kelapa. Efisiensi adsorpsi menyatakan banyaknya konsentrasi ion logam

    yang diadsorpsi oleh adsorben sehingga nilainya ditentukan oleh perubahan

    konsentrasi ion logam setelah diadsorpsi oleh adsorben.

    Sementara jika adsorben (arang sabut kelapa) yang digunakan lebih sedikit

    maka adsorbat yang di adsorp juga lebih sedikit, karena sisi aktif adsorben dalam

    larutan logam tidak tersedia untuk mengadsorp ion logam secara maksimal. Sisi

    aktif seluruh permukaan partikel arang sabut kelapa sudah mengadsorp logam Cu

    dan Pb. Jadi, massa maksimum arang sabut kelapa terhadap adsorpsi ion logam

    Cu dan Pb yang digunakan pada penelitian ini adalah 1,5 gram.

    4.1.2. Pengaruh pH Larutan Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga

    (Cu) dan Timbal (Pb)

    Nilai pH merupakan faktor internal yang mempengaruhi kesetimbangan

    kimia didalam larutan logam. Variasi pH yang digunakan yaitu pada kondisi asam

    (3, 4, 5, 6, dan 7). Hal ini dikarenakan pada kondisi basa (pH 8-14) logam lebih

    cenderung bereaksi dengan ion hidroksida (OH-) yang ditandai dengan

    terbentuknya endapan hidroksida di akhir reaksi.

    Data pengaruh pH terhadap penyerapan ion logam Cu dan Pb dapat dilihat

    pada Tabel 6 dan 7 (Lampiran 1) dan Gambar 13.

    Gambar 13 . Pengaruh pH Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb.

    (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,

    Lama Pengadukan 30 menit, dan Temperatur Pengarangan

    Adsorben 250 oC).

    0

    50

    100

    150

    0 2 4 6 8

    Efi

    sien

    si

    Pen

    yer

    ap

    an

    (%

    )

    pH

    Pb

    Cu

  • 42

    Pada Gambar 13 terlihat bahwa untuk penyerapan logam Cu semakin

    tinggi nilai pH maka terjadi peningkatan efisiensi penyerapan. pH optimum untuk

    penyerapan logam Cu adalah pada pH 6, karena efisiensi penyerapannya tertinggi

    (94,92%). Sementara pada pH 7 nilai efisiensi penyerapan tetap terus meningkat,

    Hal ini disebabkan oleh pada kondisi netral (pH 7) akan terjadi reaksi hidrolisis

    karena jumlah ion H+

    sama dengan ion OH-, sehingga pada kondisi ini logam tidak

    stabil dalam bentuk ion, adsorbat lebih cenderung bereaksi untuk membentuk

    senyawa. Sehingga berkurangnya ion logam Cu pada larutan terjadi bukan karena

    terserap ke permukaan adsorben, tetapi karena logam Cu bereaksi untuk

    membentuk senyawa (Fatoni, 2009).

    Nilai pH merupakan faktor yang mempengaruhi kesetimbangan kimia

    dalam suatu larutan. Ion-ion H+, OH

    -, dan molekul adsorbat (logam) akan terjadi

    kompetisi untuk bereaksi baik logam dengan ion H+/OH

    - maupun logam dengan

    molekul yang terikat pada permukaan adsorben.

    Pada pH 3 dan 4 jumlah proton (ion H+) lebih banyak dibandingkan

    dengan ion OH-, hal ini memungkinkan terjadinya proses adsorpsi lebih besar

    dibandingkan pada pH tinggi.

    Pada kondisi basa (pH 8-14), jumlah ion OH- lebih banyak dibandingkan

    proton (ion H+) didalam larutan. Banyaknya ion OH

    - dalam larutan

    mengakibatkan timbulnya reaksi antara adsorbat (logam Pb dan Cu) yang

    bermuatan positif dengan ion OH- yang ditandai dengan terbentuknya endapan

    Pb(OH)2 dan Cu(OH)2 sehingga efisiensi penyerapannya sulit untuk ditentukan,

    karena tidak diketahuinya logam bereaksi dengan ion OH-

    atau terserap ke

    permukaan arang sabut kelapa .

  • 43

    Faktor lain yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah kecepatan gerak

    partikel dalam larutan. Ion OH- dalam larutan cenderung bergerak lebih cepat

    untuk mencari kation membentuk ikatan ion. Logam Pb dan Cu yang bermuatan

    positif (kation) lebih cepat terikat oleh ion OH- membentuk senyawa hidroksida,

    karena sudah bereaksi, maka ion-ion logam tidak akan mengalami proses

    adsorpsi. Oleh karena itu, proses adsorpsi logam cenderung terjadi pada kondisi

    asam. Untuk adsorpsi ion logam Pb, pH optimum adsorpsi adalah pada pH 4 dan

    ion logam Cu pada pH 6.

    4.1.3. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Tembaga

    (Cu) dan Timbal (Pb)

    Kemampuan suatu adsorben untuk mengadsorpsi logam sangat

    dipengaruhi oleh konsentrasi ion logam. Hasil pengaruh konsentrasi ion logam

    terhadap penyerapan ion logam tembaga dan timbal oleh arang sabut kelapa

    ditunjukkan pada Tabel 8 dan 9 (Lampiran 1) dan Gambar 14.

    Gambar 14. Pengaruh Konsentrasi Terhadap Penyerapan Ion Logam Cu danPb.

    (Volume Larutan 20 mL, Lama Pengadukan 30 menit, dan

    Temperatur Pengarangan 250 oC).

    Pada Gambar 14 terlihat penurunan efisiensi penyerapan. Hal ini

    disebabkan karena pada konsentrasi ion logam yang lebih besar terdapat

    ketidakseimbangan antara jumlah ion logam yang akan diserap (adsorbat)

    020406080

    100120

    0 10 20 30 40 50

    Efi

    sien

    si P

    eny

    era

    pa

    n

    (%)

    Konsentrasi (mg/L)

    Pb

    Cu

  • 44

    terhadap sisi aktif adsorben yaitu kuantitas jumlah adsorbat lebih banyak didalam

    larutan dibandingkan dengan sisi aktif adsorben. Pada kondisi ini permukaan

    adsorben akan mengalami titik jenuh sehingga adsorbat akan kembali terlepas dari

    permukaan adsorben (desorpsi) (Fatoni, 2009).

    Dengan meningkatnya konsentrasi ion logam didalam larutan, terjadi

    penurunan efisiensi penyerapan dan peningkatan kapasitas penyerapan. Efisiensi

    adsorpsi menyatakan banyaknya konsentrasi ion logam yang diadsorpsi oleh

    adsorben sehingga nilainya ditentukan oleh perubahan konsentrasi ion logam

    setelah diadsorpsi oleh adsorben.

    4.1.4. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)

    Hasil pengaruh lama pengadukan terhadap adsorpsi logam Pb dan Cu

    ditunjukkan pada Tabel 10 dan 11 (Lampiran 1) dan Gambar 15.

    Gambar 15. Pengaruh Lama Pengadukan Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Cu danPb. (Volume Larutan 20 mL, Konsentrasi Ion Logam 10

    mg/L, dan Temperatur Pengarangan 250 oC).

    Pada Tabel 10 dan 11 terlihat bahwa pada adsorpsi kedua logam (Cu dan

    Pb) memiliki nilai kapasitas adsorpsi yang relatif tidak berubah (Cu (0,0672;

    0,1138; 0,1121; 0,1143) dan Pb (0,1065; 0,1713; 0,1715; 0,1711) mg/g ). Hal ini

    93

    94

    95

    96

    97

    98

    99

    100

    0 50 100 150

    Efi

    sien

    si P

    eny

    era

    pa

    n (

    %)

    Lama Pengadukan (menit)

    Pb

    Cu

  • 45

    disebabkan karena kemampuan penyerapan adsorben arang sabut kelapa terhadap

    adsorbat sudah mencapai nilai maksimum. Semakin lamanya waktu pengadukan

    pada shaker incubation dapat melepas adsorbat dari permukaan adsorben.

    Dari Gambar 15 terlihat bahwa parameter lama pengadukan tidak

    mempengaruhi proses penyerapan secara signifikan. Nilai efisiensi dan kapasitas

    penyerapan ion logam memperlihatkan nilai yang stabil. Untuk ion logam Pb nilai

    efisiensi penyerapannya berkisar antara 97-98% sedangkan untuk ion logam Cu

    berkisar antara 94-95% . Oleh karena itu, untuk proses adsorpsi kedua ion logam

    digunakan lama pengadukan optimum berlangsung selama 30 menit. Hal ini

    dilakukan untuk mengefisienkan waktu, nilai efisiensi penyerapan tertinggi untuk

    ion logam Cu dicapai pada lama pengadukan 60 menit, tetapi nilai efisiensi

    penyerapan waktu 30 menit tidak mengalami peningkatan sesuai dengan

    peningkatan lamanya waktu pengadukan hingga 60 menit.

    Untuk ion logam Pb nilai efisiensi penyerapan tertinggi pada lama

    pengadukan 30 menit. Setelah 30 menit, adsorbat mengalami desorpsi sehingga

    nilai efisiensinya mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adsorpsi ion logam

    Pb berlangsung secara fisisorpsi yang memiliki kekuatan ikatan yang lemah.

    4.1.5. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb)

    Pada parameter ini adsorben sabut kelapa dipanaskan tanpa berhubungan

    dengan udara luar dan diberi variasi suhu yang dipakai. Hal ini dikenal dengan

    proses pirolisis. Pada proses pirolisis akan terjadi reaksi penguraian dari senyawa-

    senyawa kompleks penyusun dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu

    padatan, cairan dan gas (Widjaya, 1982).

  • 46

    Hasil arang dari variasi temperatur 250, 350, 450, dan 550 oC secara fisik

    tidak memperlihatkan perbedaan secara signifikan. Setelah dilakukan pengadukan

    selama 30 menit, warna larutan filtrat yang dihasilkan pada masing-masing

    temperatur berbeda-beda. Perbedaan warna filtrat hasil penyaringan disebabkan

    karena adanya senyawa-senyawa yang hilang pada proses pembakaran menjadi

    arang. Semakin tinggi temperatur yang dipakai, maka akan semakin banyak

    senyawa-senyawa yang hilang (Prananta, 2010). Hal ini menyebabkan filtrat hasil

    saringan oleh arang sabut kelapa 550 oC lebih jernih dibandingkan dengan arang

    sabut kelapa 250 oC dan 350

    oC.

    Data penyerapan logam Cu dan Pb untuk parameter temperatur

    pengarangan dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13 (Lampiran 1) dan Gambar 16.

    Dari hasil tersebut konsentrasi ion logam Pb memiliki nilai efisiensi penyerapan

    yang stabil (99%). Hal ini menunjukkan adsorpsi ion logam Pb tidak dipengaruhi

    oleh temperatur pengarangan sabut kelapa dalam proses pembuatan menjadi

    arang.

    Gambar 16. Pengaruh Temperatur Pengarangan Terhadap Penyerapan Ion Logam

    Cu danPb. (Volume Larutan 20 ml, Konsentrasi Ion Logam 10 mg/L,

    dan Lama Pengadukan 30 menit).

    Pada adsorpsi ion logam Cu, arang sabut kelapa dengan temperatur

    pemanasan 550 oC mengalami penurunan efisiensi penyerapan. Hal ini disebabkan

    karena struktur sisi aktif arang sabut kelapa mengalami perubahan. Pada

    85

    90

    95

    100

    105

    0 200 400 600

    Efi

    sien

    si

    Pen

    yer

    ap

    an

    (%

    )

    Temperatur Pengarangan (oC)

    Pb

    Cu

  • 47

    temperatur tinggi (diatas 500 oC) akan terjadi reaksi kondensasi dan pembentukan

    senyawa baru seperti senyawa hidrokarbon polisiklik aromatis, sehingga

    mempengaruhi proses adsorpsi. Hal ini dikarenakan gugus OH yang

    mempengaruhi proses adsorpsi pada suhu tinggi akan bereaksi membentuk

    senyawa baru seperti siringol, fenol, dan derivatnya. (Prananta, 2010).

    4.2. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Tembaga (Cu) dan Timbal (Pb) dalam

    Air Limbah

    Limbah yang digunakan dalam aplikasi penyerapan ion logam dengan

    menggunakan arang sabut kelapa berasal dari limbah laboratorium kimia Pusat

    Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Jakarta, laboratorium analitik Balai Teknologi

    Lingkungan (BTL) Serpong, dan limbah pencucian aki.

    Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi awal dari ion logam yang akan

    diukur denga SSA sebagai kontrol , air limbah yang telah diambil terlebih dahulu

    disaring dengan kertas saring untuk memisahkan residu pengotor dan di atur pH

    nya sesuai dengan pH optimum dari masing-masing logam.

    Tabel 3 menunjukkan hasil analisis penyerapan ion logam Cu dan Pb

    dalam air limbah dengan menggunakan adsorben berbeda yaitu arang sabut kelapa

    dan arang tongkol jagung. Pada tabel tersebut terlihat bahwa penyerapan ion

    logam Pb dua limbah laboratorium cukup baik karena konsentrasi ion logam Pb

    mencapai nilai 99% untuk efisiensi penyerapannya.

    Pada limbah pencucian aki memiliki nilai efisiensi penyerapan ion logam

    Pb kecil dibandingkan efisiensi penyerapan pada limbah lab UIN dan BTL. Hal

    ini disebabkan karena adanya kompetisi dengan ion hidroksida yang ditambahkan

  • 48

    pada larutan untuk mencapai pH optimum karena pH awal dari limbah pencucian

    aki bersifat asam yang disebabkan aki menggunakan pelarut asam (H2SO4).

    Tabel 3. Aplikasi Penyerapan Ion Logam Cu dan Pb Oleh Arang Sabut Kelapa

    dan Arang Tongkol Jagung (Lestari, 2012) dalam Air Limbah.

    Ion

    Logam Limbah

    Arang Sabut Kelapa Arang Tongkol Jagung

    C1 C2 %E Q C1 C2 %E Q

    Cu Lab UIN 8,5946 1,5314 82,18 0,0953 8,5946 2,4274 71,76 0,0826

    Cu Lab BTL 9,5986 6,7549 29,62 0,0381 9,5986 5,0265 47,63 0,0604

    Cu Aki 2,1312 2,5355 0 0 2,1312 2,2591 0 0

    Pb Lab UIN 11,8197 0,0414 99,65 0,1552 11,8197 0,1863 98,42 0,1552

    Pb Lab BTL 3,2706 0,0414 98,73 0,0931 3,2706 0,0414 98,73 0,0414

    Pb Aki 22,2007 19,8099 10,76 0,0031 22,2007 1,6456 25,70 0,0072

    Keterangan :

    C1 = Konsentrasi Awal (mg/L)

    C2 = Konsentrasi Akhir (mg/L)

    %E = Efisiensi Penyerapan (%)

    Q = Kapasitas Penyerapan (mg/g)

    Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa arang sabut kelapa dan arang tongkol

    jagung (Lestari,2012) berpotensi sebagai adsorben yang memiliki kemampuan

    mengadsorp ion logam Cu dan Pb dalam air limbah. Berdasarkan data pada Tabel

    3 arang sabut kelapa memiliki nilai efisiensi penyerapan yang lebih besar

    dibandingkan arang tongkol jagung. Hal ini disebabkan oleh kandungan senyawa

    kimia yang mengandung gugus OH (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) lebih

    banyak pada sabut kelapa dibandingkan dengan tongkol jagung.

    Sabut kelapa tersusun dari senyawa seperti selulosa, hemiselulosa dan

    lignin yang mengandung gugus OH yang terikat dan dapat berinteraksi dengan

    komponen adsorbat. Gugus OH pada suatu senyawa menyebabkan terjadinya sifat

  • 49

    polar pada komponen yang disusun. Dengan demikian adsorben arang sabut

    kelapa lebih mengadsorpsi zat yang bersifat polar daripada zat yang kurang polar.

    Fenomena ini sesuai dengan istilah like dissolves like . Mekanisme adsorpsi

    yang terjadi antara gugus OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam

    yang bermuatan positif (kation) adalah sebagai berikut :

    COH + M+ YO M + H+

    COH +M2+ YO M

    M + 2H+

    YOM

    M+ dan M

    2+ adalah ion logam, -OH adalah gugus hidroksil dan C adalah

    matriks tempat gugus OH terikat (selulosa). Interkasi antara gugus OH dengan

    ion logam juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks

    koordinasi karena atom oksigen pada gugus OH mempunyai pasangan elektron

    bebas, sedangkan ion logam mempunyai ordital d kosong. Pasangan elektron

    bebas tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam,

    sehingga terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks (Cotton, 1986).

    4.3. Isoterm Adsorpsi

    Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme

    adsorpsi. Dalam penelitian ini digunakan dua model tipe isoterm. Tipe isoterm

    adsorpsi dapat menunjukkan kesetimbangan adsorpsi ion logam Cu dan Pb

    sebagai adsorbat dalam larutan (air limbah) dengan menggunakan adsorben arang

    sabut kelapa. Kesetimbangan Adsorpsi fase padat-cair pada umumnya menganut

  • 50

    tipe isoterm Freundlich dan Langmuir (Atkins, 1999). Ikatan yang terjadi antara

    molekul adsorbat dengan permukaan adsorben dapat terjadi secara fisisorpsi dan

    kimisorpsi. Perhitungan tipe adsorpsi ion logam Cu disajikan pada Tabel 14 dan

    16 (Lampiran 2 dan 3). Dari kedua tabel tersebut dapat digambarkan kurva kedua

    jenis tipe isoterm pada Gambar17.

    (a) (b)

    Gambar 17. Kurva (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich Adsorpsi Ion

    Logam Tembaga (Cu) Oleh Arang Sabut Kelapa.

    Pada adsorpsi ion logam Cu (Gambar 17), tipe isoterm Freundlich

    menunjukkan linieritas yang lebih tinggi, yaitu 97,3% dibandingkan dengan

    isoterm Langmuir yaitu 87%. Adsorpsi ion logam Cu cenderung lebih dominan

    mengikuti tipe isoterm Freundlich. Jika adsorpsi cenderung mengikuti tipe isoterm

    Freundlich maka adorpsi berlangsung secara fisisorpsi multilayer.

    Mekanisme fisisorpsi memungkinkan terjadinya ikatan antar ion logam

    yang terdapat dalam larutan maupun limbah, selain ikatannya dengan adsorben.

    Kedua ikatan tersebut hanya terikat oleh gaya van der Waals sehingga ikatan

    antara adsorbat dengan adsorben bersifat lemah. Hal ini memungkinkan adsorbat

    bergerak bebas hingga akhirnya berlangsung proses adsorpsi banyak lapisan.

    y