Unlock Digital_123651 PK I 2103.8276 Analisis Kemungkinan Analisis

27
BAB 4 PENYALAHGUNAAN KEADAAN DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN KERJASAMA INTERKONEKSI ANTARA TELKOMSEL DAN NTS 4.1 Dominasi Dalam Bisnis Telekomunikasi Seluler di Indonesia 4.1.1 Posisi Dominan Di Sektor Telekomunikasi Seluler Dalam pasar telekomunikasi yang baru dibuka, incumbent hampir selalu menempati posisi dominan dalam kaitan dengan kekuatan pasar dan dapat mengendalikan fasilitas penting yang berhubungan dengan sektor di mana incumbent bermain. Hal ini disebabkan karena incumbent telah lama menjadi pemain dalam pasar telekomunikasi sehinga dipastikan memiliki keunggulan baik dari segi ekonomi dan infrastruktur yang dimiliki. Di samping itu, incumbent secara efektif memiliki banyak pelanggan dibandingkan new entrant. Pasal 1 UU No. 5/1999 memberikan definisi posisi dominan sebagai berikut: Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan berkaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha memiliki posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. 179 Pasal 25 UU No. 5/1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha memiliki posisi dominan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau leih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau 2. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. 180 179 Indonesia, UU Nomor 5 Tahun 1999, op.cit., Pasal 1 180 Ibid., Pasal 25 65 Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

Transcript of Unlock Digital_123651 PK I 2103.8276 Analisis Kemungkinan Analisis

BAB 4

PENYALAHGUNAAN KEADAAN DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN

KERJASAMA INTERKONEKSI ANTARA TELKOMSEL DAN NTS

4.1 Dominasi Dalam Bisnis Telekomunikasi Seluler di Indonesia

4.1.1 Posisi Dominan Di Sektor Telekomunikasi Seluler

Dalam pasar telekomunikasi yang baru dibuka, incumbent hampir selalu

menempati posisi dominan dalam kaitan dengan kekuatan pasar dan dapat

mengendalikan fasilitas penting yang berhubungan dengan sektor di mana

incumbent bermain. Hal ini disebabkan karena incumbent telah lama menjadi

pemain dalam pasar telekomunikasi sehinga dipastikan memiliki keunggulan baik

dari segi ekonomi dan infrastruktur yang dimiliki. Di samping itu, incumbent

secara efektif memiliki banyak pelanggan dibandingkan new entrant.

Pasal 1 UU No. 5/1999 memberikan definisi posisi dominan sebagai

berikut:

Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan berkaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha memiliki posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.179

Pasal 25 UU No. 5/1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha memiliki

posisi dominan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%

(lima puluh persen) atau leih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa

tertentu; atau

2. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai

75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis

barang atau jasa tertentu.180

179 Indonesia, UU Nomor 5 Tahun 1999, op.cit., Pasal 1 180 Ibid., Pasal 25

65 Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

66

Dalam pasar telekomunikasi seluler, Telkomsel dan Indosat memiliki

cakupan nasional, sedangkan Exelcomindo memiliki cakupan hampir di seluruh

wilayah kecuali Maluku, dan Fren dari Mobile-8 hanya terdapat di pulau Jawa,

Madura dan Bali. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kompetisi antara operator

seluler secara praktis terjadi hanya pada tiga operator. Bahkan, Telkomsel

menguasai 59,6% pasar, yang berarti merupakan pemain dominan di pasar. 181

Meskipun banyak operator baru masuk pasar namun operator lama yang

memiliki posisi dominan masih memiliki pangsa pasar yang besar. Hal ini dapat

dimengerti karena incumbency advantage memang berlaku pada industri

telekomunikasi. Dimana incumbent memiliki kelebihan karena memiliki network

dan infrastruktur yang sudah terbangun luas. Sehingga tidak mudah bagi

pendatang baru untuk bersaing di pasar yang sama182.

Pada pertengahan 2007, dominasi Telkomsel belum mampu didekati

kompetitor. Produk kartu ”Halo”, ”Simpati”, dan ”Kartu As” dari anak masih

dipercaya masyarakat dari sisi kualitas dan coverage. Indosat (”Matrix”,

”Mentari”, ”IM3’) dan Excelcomindo (”Xplore”, ”XL Bebas”, ”XL Jempol”)

yang banyak melakukan perlombaan gimmic (iming-iming/bonus)183 dan pricing

(pemberian harga/promo) belum mampu menjadi semenarik Telkomsel.

Perjuangan Excelcomindo untuk menggeser posisi Indosat sebagai runner

up masih menemui halangan yang cukup besar, walaupun inovasi operator ini

sepanjang 2007 sudah jauh lebih baik daripada Indosat184. Yang baru pada tahun

2007 adalah dimulainya komersialisasi teknologi 3G secara besar-besaran, setelah

masa percobaan pada tahun 2006. Dilengkapi dengan HSDPA, 3G menjanjikan

bukan saja kualitas telekomunikasi multimedia yang lengkap, tetapi juga data rate

yang tinggi untuk Internet. Meskipun demikian, janji kecepatan tinggi berbagai

operator itu belum mampu dipenuhi, dicerminkan dari banyaknya keluhan atas

181 Tim Peneliti Restructuring the Telecommunications Industry: An Assessment on

Industry Structure after Duopoly in Indonesia, “Persaingan Pada Industri Telepon Seluler di Indonesia”, <http://berbagi.net/ungkaptulisan/persaingan-pada-industri-telepon-seluler-di-indonesia.html>, 10 Agustus 2007, diakses pada 11 Desember 2008 pukul 18.25 WIB

182 Aris Eko, “Gurihnya Bisnis Seluler”, <http://www.businessjournal.co.id/ berita_ detail.php?id=30>, 31 Maret 2008, diakses pada 11 Desember 2008 pukul 19.02.

183 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Daiku Gustaman, S.H., LL.M., Manager of Regulatory PT Natrindo Telepon Seluler, 22 Desember 2008

184 Anonim, ”Mobile Market@Indonesia”, <http://komunikasi.org/2008/01/>, 31 Januari 2008, diakses pada 11 Desember 2008 pukul 19.28

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

67

kecepatan internet yang tak sesuai iklan dan janji. Melihat kondisi tersebut,

operator baru seperti Hutchison dan NTS juga ikut meramaikan pasar dengan

mengusung teknologi 3G.

Dengan melihat data-data sebelumnya nampak bahwa konsentrasi pasar

pada industri telekomunikasi masih tinggi. Namun hal tersebut dapat dimengerti

sebab liberalisasi industri telekomunikasi yang dilakukan sejak tahun 2002 belum

mampu mengubah struktur pasar secara drastik dengan cepat. Namun demikian

liberalisasi industri telekomunikasi telah mendorong masuknya lebih banyak

operator, sehingga persaingan antar operator dalam menarik pelanggan juga

semakin ketat. Secara umum dapat dikatakan bahwa operator yang masuk pasar

dan beragamnya jasa telekomunikasi yang ditawarkan di pasar dengan kualitas

yang lebih baik dan harga lebih terjangkau meskipun sampai saat ini incumbent

masih memiliki posisi dominan di pasar185.

4.1.2. Kedudukan Telkomsel dalam Pasar Telekomunikasi Seluler

Incumbent operator memiliki beberapa keuntungan, yaitu 186:

1. Kendali atas fasilitas penting

Dalam pasar jaringan telekomunikasi, fasilitas penting meliputi

public right-of-ways, mendukung struktur seperti poles dan conduct,

jaringan akses lokal nasional (local loops), nomor telepon, dan

frekuensi spektrum. New entrant memerlukan akses ke fasilitas-

fasilitas ini untuk mewujudkan kompetisi karena pemenuhan sendiri

fasilitas-fasilitas ini adalah sulit secara teknis dan tidak efisien secara

ekonomi.

2. mempunyai jaringan nasional yang mapan

incumbent telah membangun segala yang diperlukan dalam usahanya

seperti jaringan dalam waktu yang cukup lama. Jaringan merupakan

hal penting dalam mencari pelanggan serta sebagai bukti keunggulan

yang tidak dapat disaingi oleh new entrant, bahkan dalam waktu

yang lama. Hal tesebut memberikan keuntungan berkaitan dengan

185 TimPeneliti, loc.cit. 186 Nova Herlangga Masrie, op.cit., hal 80-86.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

68

densitas, lingkup, dan skala ekonomi. Incumbent dengan jaringan

yang besar dan mapan dapat mengenakan tarif murah kepada

pelanggan dan calon pelanggan yang dalam pelaksanaannya

membutuhkan biaya yang rendah. Hal ini bertolak belakang dengan

operator baru yang memberikan tarif murah kepada calon pelanggan

namun harus menutup dan menanggung beban yang besar karena

harus melewati apa yang diberikan incumbent kepada pelanggan

tersebut. Di samping itu, new entrant juga masih harus menanggung

biaya operasional seperti pembangunan jaringan.

3. ekonomi vertikal

incumbent menguasai fasilitas produksi dari atas sampai bawah,

mulai dari jaringan akses lokal, interlokal, hingga internasional.

Kenikmatan atas ekonomi vertikal tersebut juga dihubungkan dengan

perencanaan jaringan terintegrasi, konstruksi, operasi, dan

pemeliharaan.

4. pengendalian terhadap pengembangan dan standar jaringan

pada umumnya, incumbent memiliki keunggulan dalam teknologi

jaringan yang dimiliki dan menjadi jaringan yang standar dan harus

disesuaikan oleh new entrant yang ingin melakukan interkoneksi.

5. subsidi silang

incumbent operator sering kali melakukan subsidi silang dalam

pelayanan jasa yang dimiliki. Seperti subsidi silang oleh jasa

internasional terhadap jasa akses lokal. Hal ini membuat incumbent

dapat menurunkan harga pada tarif jasa yang kompetitif, dengan

subsidi silang dari jasa yang dapat dimonopoli.

6. jasa dikenal baik oleh pelanggan

keberadaan incumbent dalam pasar telekomunikasi di suatu wilayah

telah dikenal baik oleh pelanggan. Calon pelanggan terkadang lebih

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

69

memilih operator yang sudah ada dan dikenal dibandingkan dengan

operator baru karena calon pelanggan tidak/belum terbiasa dengan

jasa yang ditawarkan operator baru. Di samping itu, pelanggan dan

calon pelanggan telah mengenal incumbent dalam waktu yang lama

sehingga telah mengetahui pula seberapa besar perkembangan

incumbent tersebut.

Sejak tahun 2000 hingga awal 2008, Telkomsel menjadi operator seluler

terbesar di Indonesia yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50%. Selama jangka

waktu tersebutlah Telkomsel mendominasi pasar Telekomunikasi di Indonesia.

Jaringan telekomunikasi seluler yang dioperasikan Telkomsel memakai

teknologi GSM Dual band 900/1800 MHz187 dengan cakupan nasional dan

internasional yang bekerjasama dengan 286 partner di 155 negara (hingga akhir

2006)188. Pada September 2006, Telkomsel menjadi operator pertama yang

mengoperasikan jasa seluler 3G di Indonesia.

Bisnis Telkomsel berkembang dangan pesat sejak memulai operasinya

pada 26 Mei 1995. Sementara pada November 1997, Telkomsel mulai

meluncurkan kartu prabayar bagi pelanggannya dan sekaligus merupakan operator

yang pertama kali meluncurkan kartu prabayar GSM di Asia. Pendapatan kotor

Telkomsel melonjak dari Rp 3,59 triliun pada tahun 2000 menjadi 34,89 triliun

pada tahun 2006. Pada periode yang sama, terdapat peningkatan jumlah pelanggan

Telkomsel dari 1,7 juta pada 31 Desember 2000 menjadi 35,6 juta pada 31

Desember 2006.

Selama tahun 2007, pertumbuhan pelanggan Telkomsel mencapai 12,2

juta pelanggan baru atau rata-rata setiap bulan bertambah 1 juta pelanggan.

Sehingga, pada akhir tahun 2007, jumlah pelanggan Telkomsel menjadi 47,8 juta

pelanggan.

187 GSM (Global System for Mobile communication) adalah sebuah standar global untuk komunikasi bergerak digital. GSM adalah nama dari sebuah group standardisasi yang dibentuk di Eropa tahun 1982. Dual band 900/1800 MHz adalah kemampuan beroperasi di dua daerah frekuensi, yaitu 900MHz dan 1800 MHz, dikutip dari Uke Kurniawan Usman, ”Global System for Mobile communication (GSM)”, <http://www.stttelkom.ac.id/staf/UKU/Materi%20Kuliah%20 SISKOMBER/(GSM).html>, diakses pada 5 Desember 2008 pukul 16.12

188 Market Research & Feasibility Studies PT Multidata Riset Indonesia, Perkembangan Bisnis Telekomunikasi di Indonesia (Dilengkapi Profil Operator Telekomunikasi dan Kebijakan), (Jakarta, 2008), hal. 220.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

70

Sementara itu, Telkomsel hingga Juni 2008 telah melayani 52 juta

pelanggan dan merupakan satu-satunya operator seluler yang menjangkau hingga

kecamatan-kecamatan di Sumatera, Jawa, Bali, serta Nusa Tenggara. Sejak awal

beroperasinya tahun 1995 di mana Telkomsel hanya memiliki 149 Base

Transceiver Station (BTS189), kini telah menggelar lebih dari 22.000 BTS atau

sekitar 150 kali lipatnya, di mana telah meng-cover lebih dari 95% populasi

Indonesia. Dalam hal ini, Telkomsel mangusung teknologi jaringan GSM Dual

band 900/1800 MHz, GPRS190, Wi-Fi191, EDGE, dan teknologi 3G192. Dapat

disimpulkan bahwa Telkomsel merupakan. operator telekomunikasi mapan yang

telah beroperasi selama bertahun-tahun dan menguasai kepemilikan hampir

sebagian besar infrastruktur strategis telekomunikasi yang ada di Indonesia.

Keunggulan-keunggulan tersebut menempatkan Telkomsel sebagai

operator seluler terbesar di Indonesia yang memiliki pelanggan dan jaringan yang

paling luas. Operator-operator lain yang temasuk dalam new entrant harus

melakukan interkoneksi dengan incumbent, termasuk Telkomsel, agar jasa yang

dijual dapat dinikmati pelanggannya sehingga dapat bersaing dengan operator

lain. Hal ini tentu saja semakin menunjukkan dominasi Telkomsel sebagai

penyedia akses jaringan yang terbesar terhadap operator-operator lain pencari

akses, yang ingin berinterkoneksi dengan Telkomsel.

189 Op.cit.., BTS (Base Transceiver Station) adalah perangkat transceiver yang

mendefinisikan sebuah sel dan menangani hubungan link radio dengan mobile switching. BTS terdiri dari perangkat pemancar dan penerima, seperti antenna dan pemroses sinyal untuk sebuah interface.

190 General Packet Radio Service (GPRS) adalah suatu teknologi yang memungkinkan pengiriman dan penerimaan data lebih cepat dibandungkan dengan penggunaan teknologi Circuit Switch Data. Jaringan GPRS terpisah dengan jaringan GSM dan saat ini hanya digunakan untuk aplikasi data. Dikutip dari Uke Kurniawan Usman, “GPRS (General Packet Radio Service)” http://www.stttelkom.ac.id/staf/UKU/Presentasi%20Publikasi%20UKE/Standard-GPRS-UKU.html, 2005, diakses pada 5 Desember 2008, pukul 16.32

191 Wi-fi adalah adalah singkatan dari Wireless Fidelity, suatu rangkaian produk yang didesain untuk penggunaan teknologi Wireless Local Area Networks (WLAN) atau jaringan lokal tanpa kabel, berdasarkan standar spesifikasi tertentu. Dikutip dari http://www.sby.dnet.net.id/wifizone/faq.php, diakses pada 6Desember 2008 pukul 09.22.

192 3G adalah kependekan dari third-generation technology, sebuah teknologi seluler dengan kecepatan transmisi minimal sekitar 2 megabytes per detik (2Mb/s), Merry Magdalena, “3G, WIMAX, Antara Suara dan Data”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0609/28/ipt01.html, diakses pada 6 Desember 2008 pukul 09.34

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

71

4.2 Penyalahgunan Keadaan dalam Perjanjian Kerjasama Interkoneksi

Antara Telkomsel dan NTS

4.2.1 Larangan Penyalahgunaan Keadaan

Sebelum ketentuan Penyalahgunaan Keadaan dicantumkan dalam Nieuw

Burgerlijk Wetboek (NBW193), telah banyak permasalahan yang dibahas para ahli

hukum dan ilmuwan lainnya, khususnya dalam kaitannya dengan pemutusan

perkara oleh para hakim. Terbentuknya aliran Penyalahgunaan Keadaan

disebabkan karena pada waktu itu belum ada ketentuan Burgerlijk Wetboek

Belanda yang mengatur hal itu. Sebagai contoh, sering terjadi seorang hakim

sering menemukan adanya keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan,

sehingga sering pula mengakibatkan putusan hakim yang membatalkan suatu

perjanjian, baik sebagian atau keseluruhan.

Dalam kenyataannya putusan hakim tersebut tidaklah berdasarkan

pertimbangan salah satu alasan pembatalan perjanjian yaitu cacat kehendak klasik

(Pasal 1321 KUH Perdata, yaitu : kekhilafan, paksaaan, dan penipuan.

Sebagaimana tercantum dalam KUH Perdata, cacat kehendak tersebut

mempengaruhi syarat sahnya perjanjian, ysitu mengenai kesepakatan para pihak.

Bertolak dari hal tersebut, penyalahgunaan keadaan selanjutnya dimasukkan

menjadi salah satu hal yang dapat mempengaruhi kesepekatan sebagai syarat

subyektif untuk sahnya perjanjian.

Prof. Mr. J.M. van Dunné dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) dalam

sebuah Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Prof. Dr.

Sudikno Mertokusumo, SH., menanggapi beberapa pendapat para ahli hukum

menyatakan bahwa194 :

“ Pada Penyalahgunaan Keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi

193 Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) merupakan Kitab Undang-undang Perdata negeri

Belanda yang baru. NBW ini lahir dan diberlakukan di Belanda pada 1 Januari 1992. 194 Bambang Poerdyatmono, “Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen)

dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) pada Kontrak Jasa Konstruks”i, <http://www.uajy.ac.id/jurnal/jurnal_teknik_sipil/6/1/Asas%20Kebebasan%20Berkontrak%20(Contractvrijheid%20Beginselen)%20dan%20Penyalahgunaan%20Keadaan%20Misbruik%20Van%20Omstandigheden%20Pada%20Kontrak%20Jasa%20Konstruksi.pdf.>, 2005, diakses pada 7 Desember 2008 pukul 15.22

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

72

pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat”

Selanjutnya Van Dunne mengemukakan pendapatnya bahwa

penyalahgunaan keadaan juga berhubungan dengan terjadinya kontrak.

Penyalahgunaan keadaan tersebut menyangkut keadaan-keadaan yang berperan

pada terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi

kontrak atau maksudnya menjadi tidak diperbolehkan, tetapi menyebabkan

kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak bebas. Dengan demikian, tidaklah

tepat menyatakan perjanjian yang terjadi di bawah pengaruh penyalahgunaan

keadaan akan selalu bertentangan dengan kebiasaan yang baik yang menyangkut

dengan isi perjanjian itu sendiri (sebab yang halal).

Sehubungan dengan masalah itu, Setiawan mengungkapkan bahwa Prof.

Z. Asikin Kusumah Atmadja dalam ceramah di Jakarta pada tanggal 21 November

1985 menyatakan bahwa penyalahgunaan (keadaan) sebagai faktor yang

membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan

persetujuan antara kedua pihak.195 Penggolongan penyalahgunaan keadaan

tersebut sebagai bentuk cacat kehendak dalam kesepakatan adalah lebih tepat.

Ajaran penyalahgunaan keadaan sendiri mengandung dua unsur, yaitu:

1. unsur penyalahgunaan keadaan (kesempatan) oleh pihak lain; dan

2. Unsur kerugian bagi satu pihak

Van Dunne membedakan unsur petama tersebut menjadi dua, yaitu

penyalahgunaan keunggulan ekonomis dan penyalahgunaan keunggulan kejiwaan,

yang diuraikan sebagai berikut196:

1. Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan

ekonomis, yaitu:

- satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap

yang lain

- pihak lain terpaksa dalam mengadakan perjanjian

195 Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden)

Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), (Yogyakarta: Liberty, 2001), cet. 1, hal 43.

196 Ibid, hal 44.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

73

2. persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan:

- salah satu pihak menyelahgunakan ketergantungan relatif, seperti

hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak,

suami dan istri, dokter dan pasien, pendeta dan jemaat

- salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa

dari pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak

berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan

yang tidak baik, dan sebagainya.

Keunggulan ekonomis atau kekuasaan ekonomi (economish overwicht)197

pada salah satu pihak merupakan salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan

sehingga dapat mengakibatkan tidak sahnya suatu kesepakatan dalam perjanjian

(kehendak yang cacat). Menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan

beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil

apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang

disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi

kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan.198

Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana

hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang.

Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya

penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Sebagai

contoh, jika ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak

masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on

redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib

memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk

akal,tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut199. Begitupula kalau

nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang

positie), maka hakim wajib meneliti apakah in concreto terjadi penyalahgunaan

kekuasaan ekonomis.200 Selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi

debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat

197 Rosa Agustina, loc.cit 198Ibid. 199 Ibid. 200 Ibid.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

74

yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil

perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi

timbal balik dari para pihak.201 Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in

concreto terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.202

Pasal 3:44 lid 1 NBW (Pasal 44 ayat (1), Buku 3) menyebutkan bahwa

suatu perbuatan hukum dapat dibatalkan jika terjadi ancaman, penipuan, dan

penyalahgunaan keadaan. NBW juga menentukan empat kondisi atau syarat

adanya penyalahgunaan keadaan yang dapat dijadikan dasar pembatalan

perjanjian (perbuatan hukum), yaitu203:

1. keadaan-keadaan istimewa (bizondere omstandigheden)

Keadaan-keadaan ini meliputi keadaan darurat, ketergantungan,

ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman.

2. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)

Disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya

mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak

(hatinya) untuk menutup (membuat) suatu perjanjian

3. penyalahgunaan (misbruik)

Salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia

mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak

melakukannya (kasus Van Elmbt vs Janda Feierabend)

4. hubungan kausal (causaal verband)

Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka

perjanian itu tidak akan ditutup (dibuat).

Dalam perkembangannya, penggunaan ajaran penyalahgunaan keadaan

telah diterapkan dalam berbagai perbagai perkara yang masuk proses pengadilan.

Hal ini menandakan bahwa ajaran penyalahgunaan keadaan telah dikenal dan

bukan merupakan ajaran baru dalam bidang hukum perdata.

Contoh kasus penyalahgunaan keunggulan ekonomis adalah kasus

”BOVAG II”204 yang terjadi di negeri Belanda (HR 11 Januari 1957, NJ 1959,57).

201 Ibid. 202 Ibid. 203 Henry P. Panggabean,.op.cit., hal. 40-41. 204 Ibid., hal. 44- 46.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

75

Kasus ini berkaitan dengan adanya klausula baku pada perjanjian reparasi (dikenal

dengan klausula BOVAG) yang berisi bahwa rekanan (pelanggan) dari Uitings &

Smits (bengkel mobil yagn tergabung dalam persatuan perusahaan reparasi mobil

yang bernama ”Bovag”) menjamin dalam vrijwaring atas setiap kerugian dan

pertanggungjawaban yang timbul terhadap pihak ketiga.

Berdasarkan pertimbangan Pengadilan Tinggi, klausula tersebut batal

karena bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pencantuman

klausula tersebut didorong adanya penyalahgunaan kekuasaan salah satu pihak

dalam perjanjian dengan mengabaikan kepentingan pihak yang lain.

Hoge Raad dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa perjanjian

tersebut tidak memiliki/kehilangan kausa yang halal karena salah satu pihak

sangat dirugikan sebgai akibat penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lain. Di

samping itu, Hoge Raad berpendirian bahwa jika dalam suatu perjanjian,

seseorang karena tekanan keadaan secara tidak adil memikul beban yang sangat

merugikan, maka perjanjian itu dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang

memiliki kausa tidak halal.

Contoh lain adalah kasus yang terjadi di Indonesia, yang dikenal dengan

”kasus buku pensiun”205. Yang menjadi permasalahan pada kasus ini adalah

adanya klausula perjanjian pinjam meminjam (uang) yang berisi bahwa si

berutang (purnawirawan) dikenai bunga sebesar 10% setiap bulannya dan juga

harus menyerahkan buku pembayaran dana pensiun miliknya sebgai jaminan

utang. Purnawirawan tersebut digugat karena tidak mampu membayar utang dan

bunga.

Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan tersebut dan menghukum si

purnawirawan untuk membayar utang pokok dan bunga sebesar 4% setiap bulan

terhitung sejak masuknya perkara ke Pengadilan sampai putusan tersebut

berkekuatan pasti. Pengadilan Tinggi juga telah memperkuat putusan Hakim

Pengadilan Negeri tesebut.

Sebaliknya, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan kasasi

(Puusan MA RI No. 1904 K/Sip 1982, tanggal 28 Januari 1984) telah

membatalkan putusan judex facti karena judex facti telah salah menerapkan

205 Ibid., hal. 58-59.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

76

hukum.. Dalam pertimbangannya, perjanjian pinjam meminjam dengan bunga

sebesar 10% adalah bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, mengingat

purnawirawan tersebut tidak berpenghasilan lain. Dapat disimpulkan bahwa

secara tidak langsung, peradilan kasasi tersebut telah menggunakan ajaran

penyalahgunaan keadaaan dimana hakim memperhatikan kondisi atau keadaan

para pihak dalam pertimbangannya.

Penyalahgunaan keadaan atau kesempatan juga terdapat pada perkara yang

melibatkan Made Oka Masagung206, pengusaha, yang ditahan oleh Polda Metro

Jaya atas dugaan kasus Tindak Pidana Korupsi yang melibatkan Bank Artha

Graha dan pemalsuan.

Ketika dalam tahanan, Made Oka didatangi seseorang yang membawa

Akta-Akta Notaris yang harus ditandatangani Made Oka dengan janji bahwa Bank

Artha Graha akan membantu penangguhan tahanan dengan alasan Bank Artha

Graha tidak dirugikan. Dalam keadaan frustasi dan tertekan karena sedang

ditahan, Made Oka akhirnya menandatangani semua Akta Notaris tersebut beserta

dua buah cek.

Kasus Tindak Pidana Korupsi dan pemalsuan terebut dilimpahkan ke

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Made Oka pada akhirnya dibebaskan dari

dakwaan karena tidak terbukti malakukan kedua tindak pidana tersebut.

Karena merasa dirugikan, Made Oka menggugat PT Bank Artha Graha

beserta lima tergugat lainnya atas kerugian yang dialami akibat penandatanganan

akta-akta dan cek tersebut. Gugatan yang didasarkan pada Perbuatan Melawwan

Hukum tersebut diterima dan dimenangkan. Majelis hakim menila bahwa terdapat

cacat kehendak dalam akta-akta yang ditandatangani, dimana tergugat telah

melakukan penyalahgunaan keadaan. Pada akhirnya, akta-akta tersebut dinyatakan

batal.

Pengadilan Tinggi yang memeriksa permohonan banding atas perkara

tersebut menjatuhkan putusan yang isinya membatalkan Putusan Pengadilan

tingkat pertama. Pengadilan Tinggi juga menyatakan akta-akta tersebut adalah sah

dimana tidak ada alasan hukum bahwa penandatanganan akta-akta tesebut adalah

dalam keadaan terpaksa.

206 Varia Peradilan no. 215, hal. 59-70.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

77

Pada tingkat kasasi, Majelis menjatuhkan putusan yang isinya

membatalkan Putusan Judex facti karena Judex facti telah salah menerapkan

hukum. Dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan bahwa ada suatu

penyalahgunaan keadaan atau kesempatan pada penandatanganan akta-akta

tersebut sehingga Majelis juga menyatakan bahwa akta-akta tersebut adalah batal

(Putusan MA RI No. 3641.K/Pdt/200, tanggal 11 September 2002).

Dalam catatan Ali Boediarto, dalam perkara tersebut terdapat

penyalahgunaan keadaan dimana salah satu pihak dalam perjanjian tersebut

berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.

Berdasarkan berbagai pertimbangan hukum yang berkaitan dengan

masalah penerapan penyalahgunaan keadaan yaitu keunggulan ekonomis, Van

Dunne207 menyimpulkan dan membuat pertanyaan sebagai berikut:

1. apakah pihak yang satu mempunyai keunggulan ekonomis terhadap

yang lain?

2. Adakah kebutuhan mendesak untuk mengadakan kontrak dengan

pihak yang ekonomis lebih kuasa mengingat akan pasaran ekonomi

dan posisi pasaran pihak lawan?

3. Apakah kontrak yang telah dibuat atau syarat yang telah disetujui

tidak seimbang dalam menguntungkan pihak yang ekonomis lebih

kuasa dan dengan demikian berat sebelah?

4. apakah keadaan berat sebelah semacam itu dapat dibenarkan oleh

keadaan istimewa (posisi dominan;keunggulan keadaan-Penulis)

pada pihak ekonomis lebih kuasa?

Jika dari tiga pertanyaan pertama dijawab dengan ”ya”, dan yang terakhir

dengan ”tidak”, diperkirakan sudah terjadi penyalahgunaan keadaan dan kontrak

yang telah dibuat atau syarat-syarat di dalamnya, sebagian atau seluruhnya dapat

dibatalkan. Oleh karena itu, jika seseorang membuat gugatan atas penyalahgunan

keadaan, maka orang tersebut harus mendalilkan bahwa perjanjian itu sebenarnya

tidak ia kehendaki atau bahwa perjanjian itu tidak ia kehendaki dalam bentuknya

yang demikian.

207 Henry P. Panggabean, op.cit., hal. 50.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

78

Jauh sebelum peristiwa BOVAG II, Meijer menganggap penyalahgunaan

keadaan pada hakekatnya sebagai cacat kehendak yang keempat di samping

paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Pandangan ini juga didukung oleh banyak ahli

hukum dengan dalil bahwa pembedaan cacat kehendak dan sebab hanya secara

semu saja terlihat tajam. Penyalahgunaan tersebut berhubung dengan terjadinya

perjanjian, serupa dengan pendapat dari Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja.

Pada dasarnya, dalam pembuatan perjanjian yang terjadi dalam kondisi-

kondisi tertentu, hal tersebut tidaklah mempunyai pengaruh terhadap sebab/causa

perjanjian. Penyalahgunaan keadaan tidak hanya menyangkut prestasi yang tidak

seimbang, namun menyangkut juga keadaan-keadaan yang mempengaruhi

terjadinya perjanjian. Dalam terjadinya perjanjian, hal yang ingin dicapai oleh

salah satu pihak ternyata merupakan hasil penyalahgunaan keadaan terhadap

pihak lawan sehingga merugikan pihak lawan tersebut.

Eggens berpendapat bahwa penyalahgunaan keadaan harus dianggap

sebagai cacat kehendak dan bahwa tidak ada halangan bagi hakim untuk

memutuskan demikian. Penyalahgunaan tersebut dianggap ada apabila orang yang

mengetahui atau harus mengerti bahwa orang lain yang didorong karena keadaan

istimewa, seperti keadaan darurat, keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak

berpengalaman melakukan perbuatan hukum.

Dalam Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, penyalahgunaan keadaan dibagi ke dalam

tiga bagian, yaitu:

1. Penyalahgunaan keunggulan ekonomis;

2. penyalahgunaan keunggulan kejiwaan; dan

3. penyalahgunaan keadaan darurat.

Keadaan darurat yang dimaksud di atas memiliki arti yang luas. Keadaan

tersebut tidak hanya meliputi adanya bahwa yang mengancam kesehatan, jiwa,

kehormatan, atau kebebasan, melainkan juga kerugian yang mengancam milik

maupun reputasi pribadi dan/atau kebendaan. Penyalahgunaan pada keadaan ini

berupa sikap tindak untuk memperoleh keuntungan tertentu dengan

memanfaatkan keadaan bahaya dari pihak lain. Namun pada dasarnya,

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

79

penyalahgunaan keadaan darurat ini digolongkan ke dalam kategori

penyalahgunaan keunggulan ekonomis.

Secara historis, penyalahgunaan keunggulan ekonomis lebih sering

digunakan oleh hakim sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan. Dalam

penyalahgunaan keunggulan ekonomis, terdapat kerugian yang jelas dan konkret

yang dialami salah satu pihak. Hingga sekarang, dalam beberapa perjanjian dapat

dilihat adanya keunggulan ekonomis dari salah satu pihak. Sehingga, untuk

mendapatkan prestasi tertentu yang sangat dibutuhkan, suatu pihak terkadang

harus menerima klausul dalam perjanjian yang merugikan dirinya.

Inti penyalahgunaan keunggulan ekonomis terletak pada adanya inequality

of bargaining power yang harus dihadapi oleh pihak yang lemah dan tidak dapat

dihindari. Pihak yang kedudukan ekonominya kuat dapat memaksakan suatu

klausul mengingat ketidak seimbangan kondisi yang terjadi. Adanya kebutuhan

yang mendesak untuk mengadakan perjanjian dengan pihak yang memiliki

keunggulan ekonomi membuat pihak yang lemah terpaksa membuat perjanjian

dan menerima syarat yang diperlukan, tanpa adanya alternatif lain. Dalam Module

3 Interconnection oleh ITU, dikatakan bahwa: “... most of the bargaining power

in negotiations lies with incumbent”.

Penyalahgunaan kerunggulan ekonomis tidaklah semata-mata hanya

karena adanya keunggulan salah satu pihak. Perlu diperhatikan kondisi-kondisi

lain yang ada pada pembuatan perjanjian yang mengandung unsur

penyalahgunaan keunggulan ekonomis. Kondisi-kondisi tersebut yaitu klausul

dalam perjanjian, beban dan resiko para pihak, adanya ketergantungan, dan

kemungkinan kerugian yang dapat diderita pihak yang lemah.

4.2.2 Asas Iustum Pretium208

Faktor kerugian merupakan faktor yang berkaitan dengan adanya

penyalahgunaan keadaan. Dalam pandangan modern, terdapat dua ajaran

mengenai kerugian, yaitu kerugian obyektif dan kerugian subyektif. Kerugian

208 Kim Min Soo, Penyalahgunaan Keadaan (undue influence) dalam Perjanjian Sewa

Guna Usaha Ditinjau dari Hukum Perjanjian Indonesia, (Skripsi Sarjana Reguler Program Kekhususan Hubungan Antar Sesama Anggota Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Indonseia: 2005), hal. 97-98.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

80

obyektif yang dimaksud adalah kerugian ekonomis/finansial, materil, atau

kerugian yang nyata/terwujud. Kerugian obyektif terjadi jika dalam suatu

perbuatan hukum menimbulkan beban finansial pada salah satu pihak yang

diakibatkan misalnya karena ketidak seimbangan prestasi.

Kerugian subyektif sendiri merupakan segala sesuatu yang menyebabkan

orang lain berada dalam posisi yang tidak menguntungkan tanpa dapat dinyatakan

secara materi. Kerugian ini cenderung berkaitan dengan penyalahgunaan

keunggulan kejiwaan, sedangkan kerugian obyektif lebih berkaitan dengan

penyalahgunaan keunggulan ekonomis.

Berkembangnya ajaran penyalahgunaan tidak terlepas dari asas iustum

pretium. Asas ini memiliki makna bahwa suatu perjanjian yang mengakibatkan

adanya kerugian ekonomi atau finansial dari salah satu pihak adalah harus

dibatalkan, dan kerugian tersebut disebabkan adanya penyalahgunaan keadaan.

Hal ini menandakan adanya hubungan erat antara asas iustum pretium dengan

penyalahgunaan keadaan.

Meskipun demikian, ada dua hal yang menyebabkan asas iustum pretium

berbeda dengan penyalahgunaan keadaan, yaitu:

1. Pembatalan perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan

keadaan tidak disyaratkan adanya bentuk atau tindakan yang

menyebabkan kerugian. Asas iustum pretium sendiri justru

menekankan pada adanya kerugian ekonomi yang bertolak dari

ketidak seimbangan prestasi para pihak. Penyalahgunaan keadaan

dapat dijadikan dasar pembatalan perjanjian timbal balik dan juga

perbuatan hukum lainnya. Sedangkan asas iustum pretium digunakan

terbatas pada perjanjian saja, mengingat adanya ketidakseimbangan

prestasi dan juga unsur kerugian materi.

2. Demikian halnya dengan dalam suatu tuntutan atau gugatan. Dalam

suatu tuntutan atas penyalahgunaan keadaan, pihak yang dirugikan

harus dapat menunjukan bahwa pihak lawan menyalahgunakan

keadaannya. Sehingga, dasar tuntutan dalam hal ini ditekankan pada

adanya penyalahgunaan, bukan adanya kerugian yang ditimbulkan.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

81

Asas iustum pretium secara tidak langsung telah diterapkan dalam hukum

Indonesia. Dikaitkan dengan kerugian, iustum pretium tersebut bersifat obyektif.

Namun penggunaan iustum pretium pada dasarnya mengacu pada sebab yang

tidak halal dari suatu perjanjian, karena menekankan pada adanya kerugian yang

diderita.

Ajaran penyalahgunaan keadaan juga telah diterapkan dalam hukum

Indonesia, terbukti dengan adanya putusan-putusan yang didasarkan adanya ajaran

ini. Ajaran ini melindungi pihak-pihak tertentu dari penyalahgunaan keadaan

pihak lain yang menyebabkan mereka tidak memberi persetujuan dengan bebas.

Sehingga, penekanan ajaran ini terletak pada kehendak yang cacat, bukan causa

atau sebab dari suatu perjanjian. Meskipun demikian, ajaran penyalahgunaan

keadaan dan asas iustum pretium dapat digunakan secara beriringan.

4.2.3 Analisis Penyalahgunaan Keadaan oleh Telkomsel

Suatu penyalahgunaan keadaan dapat diketahui dengan melakukan

pengecekan tentang kondisi-kondisi atau syarat-syarat tertentu mengenai ada

tidaknya penyalahgunaan keadaan. seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Dengan demikian, pemenuhan unsur dari syarat maupun kondisi tersebut

menunjukkan bahwa telah terjadi penyalahgunaan keadaan.

Telkomsel dan NTS telah membuat PKS Interkoneksi beserta Adendum-

adendum yang merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Terdapat

perbedaan kondisi yang cukup signifikan antara Telkomsel dan NTS dimana

Telkomsel merupakan incumbent operator seluler dan NTS merupakan new

entrant dalam bisnis telekomunikasi seluler. Kondisi demikian memungkinkan

adanya penyalahgunaan keadaan oleh Telkomsel dalam pembuatan PKS

Interkoneksi beserta Adendum-adendumnya.

PKS Interkoneksi antara Telkomsel dan NTS dengan NTS tentang

Interkoneksi Jaringan STBS GSM Telkomsel dengan Jaringan STBS DCS -1800

Natrindo dibuat pada 12 Desember 2001 dengan Nomor NTS: 001/LE-

NTS/INS/NE/I/02 dan Nomor Telkomsel : PKS.504/LG.05/PD-00/XII/2001.

Perjanjian tersebut selanjutnya diubah dengan Adendum Pertama Nomor

Telkomsel : ADD.503/LG.05/PD-00/XII/2001; Nomor NTS: 020/LE-

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

82

NTS/Add/NE/II/02 tanggal 14 Desember 2001 (selanjutnya disebut PKS

Interkoneksi Telkomsel-NTS). PKS Interkoneksi dan Adendum Pertama tersebut

diajukan Telkomsel kepada NTS yang berisi klausula penetapan harga (price

fixing) SMS.

Untuk membuktikan adanya penyalahgunaan dalam PKS Interkoneksi

Telkomsel-NTS tersebut, perlu dikaitkan dengan pernyataan Van Dunne

sebelumnya dan juga dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan serta doktrin yang

ada. Di samping itu, fakta-fakta yang ada juga akan disertakan untuk

membuktikan ada tidaknya penyalahgunaan tersebut.

4.2.3.1 Adanya keunggulan ekonomis

Adanya keunggulan ekonomis saja belum mengakibatkan adanya

penyalahgunaan keadaan. Tetap diperlukan kondisi-kondisi lain untuk

menunjukkan adanya penyalahgunaan keadaan. Namun unsur ini tetap diperlukan

untuk membuktikannya.

Telkomsel telah lama menjadi pemain dalam pasar telekomunikasi

sehingga memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan NTS dimana

keunggulan-keunggulan tersebut meliputi keuangan (ekonomi), jaringan,

infrastruktur, teknologi, serta pangsa pasar. Bahkan keunggulan tersebut juga

melebihi operator-operator seluler yang ada di Indonesia lainnya, sebagaimana

telah diuraikan pada sub-bab 4.1. Keunggulan ini menjadikan Telkomsel sebagai

operator seluler nomor 1 di Indonesia.

Posisi NTS pada tahun 2001 (tahun pembuatan PKS Interkoneksi

Telkomsel-NTS) adalah sebagai satu-satunya penyelenggara jaringan GSM 1800

yang berlisensi regional untuk daerah Jawa Timur dengan nama dagang

“Lippotel”. Lisensi tersebut didapatkan pada tahun yang sama namun NTS baru

menyelenggarakan layanan telepon regional untuk pertama kalinya hanya di

Surabaya. Hal ini menandakan bahwa jaringan yang dimilik NTS masih sangat

sedikit. NTS pada akhirnya mendapatkan lisensi penyelenggaraan dengan cakupan

Nasional dan melakukan launching nasional secara bertahap dengan merek AXIS

pada 28 Februari 2008.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

83

Dilihat dari jumlah pelanggan (subscribers), pada akhir tahun 2001

tersebut NTS hanya memiliki subscribers sekitar 25,000 subscribers dan hanya

terbatas di wilayah Jawa Timur. Jumlah pelanggan tersebut sangat kecil bila

dibandingkan dengan jumlah pelanggan yang dimiliki Telkomsel yang mencapai

50% dari seluruh pelanggan jasa telekomunikasi seluler yang ada di Indonesia.

Pada masa itu, market shares NTS hanya sekitar 0,015% dari pangsa pasar seluler.

NTS membutuhkan waktu yang lama untuk dapat membangun jaringan

dan infrastruktur telekomuniksi seluler yang mapan. Hal tersebut memerlukan

biaya yang besar. Langkah awal yang harus dilakukan new entrant seperti NTS

adalah dengan berupaya memasuki pasar. Untuk itu, NTS membutuhkan

interkoneksi dengan Telkomsel yang memiliki jaringan paling besar dan luas.

Dominasi pasar Telkomsel menunjukan keunggulannya dibandingkan

operator-operator seluler lain. Berdasarkan hal-hal tersebut, telah terbukti adanya

keunggulan ekonomis Telkomsel terhadap NTS pada masa sebelum pembuatan

PKS Interkoneksi Tekomsel-NTS. Unsur keunggulan ekonomis dalam hal ini

terpenuhi.

4.2.3.2 Adanya kebutuhan mendesak untuk mengadakan kontrak dengan pihak

yang ekonomis lebih kuasa mengingat akan pasaran ekonomi dan posisi

pasaran pihak lawan

Telkomsel terbukti memiliki keunggulan ekonomis dibandingkan NTS.

Oleh karena ini, Telkomsel dianggap sebagai pihak yang ekonomis lebih kuasa

dan yang dianggap sebagai pihak lawan adalah NTS.

NTS merupakan pemain baru dalam pasar telekomunikasi seluler. Pada

saat pembukaan pasar, NTS memiliki jaringan dan infrastruktur yang masih

sedikit dii tambah lagi dengan adanya kebutuhan dana besar untuk membangun

jaringan dan infrastruktur tersebut. Dalam kondisi demikian, NTS masih harus

bersaing dengan incumbent dan operator seluler lain dalam mendapatkan

pelanggan.

Seperti diuraikan sebelumnya, incumbent operator memiliki beberapa

keuntungan dan keunggulan, diantaranya adalah jaringan yang mapan dan telah

dikenal baik oleh pelanggan. NTS sebagai pemain baru tentu saja belum memiliki

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

84

kedua hal tersebut sehingga posisi pasaran NTS masih lemah dan pangsa pasarnya

pun masih sangat sedikit. Terlebih lagi dengan lisensi regional yang dimiliki NTS,

pelanggan NTS hanya bisa berkomunikasi dengan sesama pelanggan NTS yang

berada di region tersebut, yaitu Jawa Timur.

Dalam hal perebutan pelanggan, incumbent tentu akan lebih unggul.

Menurut Bapak Yudhi Pramono209, calon pelanggan akan lebih memilih

incumbent sebagai operator yang memiliki keunggulan dalam jaringan dan

pelanggan karena calon pelanggan tersebut dapat berkomunikasi dengan banyak

pelanggan dalam jaringan tersebut. Hal tersebut tentu tidak berlaku bagi NTS

sebagai operator dengan jaringan dan pelanggan yang sedikit. Calon pelanggan

tentu saja akan mempertimbangkan masak-masak untuk memilih operator baru.

Calon pelanggan tentu saja tidak ingin jika mereka hanya dapat berkomunikasi

dengan sedikit pelanggan yang di-cover oleh jaringan operator baru tersebut. Hal

ini menyebabkan operator baru akan sangat sulit untuk berkembang.

Untuk dapat mengatasi hal tersebut, NTS memerlukan interkoneksi

dengan Telkomsel yang memiliki jaringan luas dan pelanggan yang banyak.

Dengan interkoneksi ini, pelanggan NTS dapat berkomunikasi dengan pelanggan

Telkomsel sehingga pelanggan NTS tidak terbatas hanya dapat berkomunikasi

dengan sesama pelanggan NTS. Upaya tersebut lebih membuka peluang NTS

untuk mendapatkan calon pelanggan dan bersaing dengan operator-operator

seluler lain. untuk menembus pasar dengan memanfaatkan interkoneksi dengan

jaringan Telkomsel.

Jika NTS ingin menyaingi Telkomsel dengan membangun jaringan yang

banyak, maka hal tersebut akan menghabiskan waktu dan biaya yang besar.

Dalam hal ini, berinterkoneksi dengan incumbent seperti Telkomsel merupakan

cara yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. NTS hanya perlu mengajukan

permintaan berinterkoneksi, menghubungkan jaringannya dengan jaringan

Telkomsel, dan membayar layanan interkoneksi yang disediakan.

Beberapa hal tersebut membuat interkoneksi menjadi suatu kebutuhan

yang penting bagi operator baru seperti NTS. Interkoneksi tersebut

memungkinkan calon pelanggan NTS untuk dapat menghubungi seluruh

209 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Yudhi Pramono, S.H., M.H., Legal Senior Manager PT Natrindo Telepon Seluler, 3 November 2008

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

85

pelanggan Telkomsel yang berarti bahwa tidak ada keterbatasan dalam

berkomunikasi dengan banyak pelanggan, dibandingkan dengan sebelum

dilakukanya interkoneksi.

Oleh karena itu, NTS memiliki ketergantungan dengan Telkomsel dimana

jika NTS tidak berinterkoneksi, NTS tidak mampu meraih calon pelanggan yang

banyak dan tidak dapat bersaing dalam pasar telekomunikasi seluler. Kebutuhan

interkoneksi tersebut juga mendesak manakala diperlukan uang atau modal yang

besar untuk membangun infrastruktur dan jaringan tidak sementara perlu adanya

pemasukan untuk menjaga kelangsungan usaha.

Dengan kata lain, NTS tidak memiliki pilihan lain yang

memungkinkannya untuk mempertahankan dan memajukan perusahaan selain

berinterkoneksi dengan incumbent. Kondisi ini menurut NBW merupakan kondisi

istimewa (bizondere omstandigheden) yaitu ketergantungan yang dalam hal ini

ketergantungan NTS terhadap Telkomsel. Untuk dapat berinterkoneksi, NTS

harus memenuhi syarat-syarat yang diberikan incumbent terkait masalah teknis

dan biaya yang selanjutnya disepakati dituangkan dalam suatu perjanjian.

Sehingga pada tahun 2001, dibuatlah PKS Interkoneksi Telkomsel-NTS sebagai

dasar bagi NTS agar dapat berinterkoneksi dengan Telkomsel.

Telkomsel dalam hal ini pasti mengetahui bahwa NTS karena keadaan

istimewa yang dialaminya, tergerak untuk menutup Perjanjian Interkoneksi. Jika

tidak demikian, Telkomsel semestinya mengetahui kondisi tersebut karena

merupakan suatu suatu hal yang nyata (kenbaarheid).

Interkoneksi menjadi kebutuhan yang penting dan bagi NTS untuk

kelangsungan usahanya. Hal ini berkaitan dengan posisi pasaran NTS sehingga

dapat bersaing dengan pihak yang berkuasa dalam bisnis ini. Dengan demikian,

unsur ini terpenuhi.

4.2.3.3 kontrak yang telah dibuat atau syarat yang telah disetujui tidak seimbang

dalam menguntungkan pihak yang ekonomis lebih kuasa dan dengan

demikian berat sebelah

Telkomsel mewajibkan NTS untuk mematuhi tarif layanan short message

service (SMS) dimana tarif tersebut tidak boleh lebih rendah dari tarif retail

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

86

penyedia akses. Hal tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 16 ayat (4) PKS

Interkoneksi yang berbunyi :

“Tarif yang dikenakan kepada Pengguna untuk jasa layanan SMS merupakan kewenangan masing-masing pihak, sehingga para pihak berhak untuk menetapkan sendiri tarif yang dikenakan kepada Penggunanya masing – masing dengan batasan bahwa tarif yang dikenakan oleh Natrindo kepada Penggunanya tidak boleh lebih rendah dari tarif yang dikenakan oleh Telkomsel kepada Pengunanya. Natrindo akan melakukan penyesuaian tarif yang dikenakan kepada Penggunanya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak pemberitahuan tentang perubahan tarif disampaikan oleh Telkomsel kepada Natrindo, sebagai waktu sosialisasi bila Telkomsel melakukan perubahan tarif yang dikenakan kepada Penggunanya”;

Ketetntuan tersebut kemudian diubah melalui Adendum Pertama PKS

Interkoneksi , yang isinya berbunyi (Pasal 5):

“Tarif yang dikenakan kepada pengguna untuk jasa layanan SMS merupakan kewenangan masing-masing pihak, sehingga para pihak berhak untuk menetapkan sendiri tarif yang dikenakan kepada penggunanya masing-masing dengan batasan bahwa tarif yang dikenakan oleh Natrindo kepada penggunanya tidak boleh lebih rendah dari tariff yang dikenakan oleh Telkomsel kepada penggunanya.”

Pada dasarnya, terdapat 2 jenis klausul mengenai penetapan tarif SMS

yang dimuat dalam PKS Interkoneksi yang ada, yaitu tarif SMS operator pencari

akses (a) Tidak boleh lebih rendah Rp 250,-; (b) Tidak boleh lebih rendah dari

tarif retail penyedia akses. Klausul antara Telkomsel dan NTS tersebut merupakan

penetepan tarif jenis (b) yang telah disetujui oleh NTS dalam rangka memperoleh

interkoneksi dengan jaringan Telkomsel.

Pada masa pembuatan PKS Interkoneksi dan Adendum tersebut, belum

ada pengaturan mengenai tarif penyediaan layanan SMS. Secara tidak langsung,

para pihak bebas dalam menentukan harga layanan SMS yang dibebankan kepada

pelanggannya.

Bagi NTS, syarat atau klausul tersebut adalah memberatkan (unfair

contract terms). Seperti diketahui, bahwa tarif retail tersebut adalah tarif yang

dikenakan Telkomsel sebagai penyedia akses kepada pelanggan-pelanggannya.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

87

Terdapat batasan tarif yang pada intinya harus diikuti NTS yang selanjutnya

dibebankan kepada pelanggannya.

Sebagai operator baru, NTS pasti akan melakukan upaya untuk menarik

calon pelanggan. Salah satunya adalah pemberian harga atas jasa layanan SMS

yang bersaing sehingga calon pelanggan dapat tertarik. Namun, mengingat NTS

membutuhkan interkoneksi sebagai salah satu upaya untuk dapat bersaing di

pasar, NTS harus mengikuti tarif yang dikenakan Telkomsel agar NTS dapat

mendapatkan interkoneksi tanpa hambatan dan kesulitan, meskipun pada

praktiknya hambatan tersebut masih ada.

Dengan harga SMS yang sama dengan penyedia akses, NTS tetap

kesulitan dalam bersaing. Padahal, harga tersebut merupakan senjata bagi pemain

baru dalam memasuki suatu pasar. Calon pelanggan tentu akan memilih

incumbent dimana dengan harga SMS yang sama, kualitas layanan yang dimiliki

jauh lebih baik dari operator baru. Hal ini tentu saja menguntungkan incumbent

dan mendatangkan kerugian ekonomis (obyektif) bagi NTS. NTS seharusnya

dapat memperoleh pelanggan lebih banyak jika tidak mengikuti harga yang

ditentukan Telkomsel. Pelanggan yang lebih banyak tersebut tentu saja

berpengaruh pada peningkatan keuntungan selanjutnya bagi NTS, di mana

semakin banyak nominal pulsa yang diisi oleh pelanggan, semakin meningkat

pula keuntungan NTS.

Kondisi ini tentu saja tidak seimbang. NTS tidak memiliki bargaining

power yang setara dengan Telkomsel. Sehingga, mau tidak mau NTS harus

mengikuti ketentuan tersebut. Jika tidak, interkoneksi tidak akan diberikan oleh

Telkomsel (take it or leave it contract). Pada dasarnya, NTS tidak pernah

berinisiatif sejak awal dalam suatu kesepakatan untuk menetapkan harga SMS

tersebut.

Penandatanganan PKS Inerkoneksi dan Adendum oleh Direksi NTS pada

waktu itu waktu itu adalah semata-mata untuk melindungi kepentingan bisnis

(business necessity agar NTS dapat segera memperoleh interkoneksi dengan

jaringan milik Telkomsel. Padahal, jika tidak ditetapkannya tarif minimal SMS

dalam PKS Interkoneksi Telkomsel-NTS, diharapkan NTS dapat menjalankan

strategi marketing dengan menjual SMS murah. Strategi tersebut pada dasarnya

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

88

untuk menaikan market shares NTS hanya sebelumnya hanya sekitar 0,015% dari

pangsa pasar seluler.

Oleh karena NTS tidak memiliki pangsa pasar yang signifikan dan jumlah

pelanggan yang sangat kecil dan terbatas, maka NTS tidak mempunyai peran

apapun dalam menentukan tarif SMS tersebut. Jika interkoneksi tersebut tidak

dibutuhkan, tentu saja NTS tidak akan mau mengikuti tarif itu dikarenakan akan

merugikan NTS selanjutnya.

Berdasarkan uraian tersebut, terdapat ketidakseimbangan yang nyata yang

justru menguntungkan Telkomsel. Meskipun pada pokoknya kesepakatan dibuat

mengenai interkoneksi, namun syarat penetapan harga SMS menjadi bagian yang

juga harus disetujui. Meskipun belum ada peraturan mengenai harga layanan

SMS, NTS dalam keadaan tidak bebas untuk menegosiasikannya karena kondisi

inequality of bargaining power.

Asas iustum pretium dalam hal ini digunakan sehubungan adanya kerugian

yang diderita NTS sebagai akibat dari ketidakbebasan berkehendak. Kenyataan

yang ada, Telkomsel justru diuntungkan. Kerugian yang diderita NTS berupa

kerugian ekonomis yang meskipun tidak secara langsung dialami, potensi

kerugian ekonomis tesebut nyata terjadi berkaitan dengan terhambatnya NTS

memperoleh pelanggan akibat klausul penetapan harga SMS. Dengan demikian,

kondisi atau syarat ketidakseimbangan/berat sebelah dan keuntungan pihak yang

ekonomisnya lebih kuasa adalah terpenuhi.

4.2.3.4 keadaan berat sebelah semacam itu tidak dapat dibenarkan oleh keadaan

istimewa (posisi dominan;keunggulan keadaan-Penulis) pada pihak

ekonomis lebih kuasa

Meskipun salah satu pihak memiliki keunggulan keadaan, hal tersebut

bukanlah merupakan alasan pihak tersebut untuk menggunakannya dalam

membuat suatu perjanjian. Penggunaan keunggulan keadaan cenderung dilakukan

sehingga berakibat adanya penyalahgunaan. Hal tersebut pada akhirnya akan

mengakibatkan keadaan yang berat sebelah.

Kondisi tersebut tentu saja tidak dapat dibenarkan. Dalam hal ini,

meskipun Telkomsel memiliki keunggulan ekonomis, Telkomsel tidak dapat

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

89

menyalahgunakan keunggulan tersebut untuk membuat atau menentukan suatu

klausul yang berat sebelah. Pemanfaatan keunggulan demikian mengganggu

kebebasan NTS dalam memberikan kesepakatannya. Telkomsel sebagai pihak

yang kedudukan ekonominya kuat tidak boleh mewajibkan suatu klausul atas

dasar ketidak seimbangan kondisi yang terjadi. Kebutuhan NTS akan interkoneksi

semakin mendukung Telkomsel dalam menentukan klausul yang berat sebelah

tersebut.

Unsur penyalahgunaan (misbruik) sendiri telah terlihat. Telkomsel pada

dasarnya mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa Telkomsel seharusnya

tidak membuat perjanjian yang memuat klausul penetapan harga SMS. Bahkan,

seharusnya Telkomsel tidak melaksanakan isi perjanjian yang memuat klausul

tersebut yang pada kenyataannya berat sebelah dan menguntungkan Telkomsel

secara pribadi. Tidak ada alasan pembenar untuk kondisi tersebut.

Antara penyalahgunaan dan pembuatan perjanjian terdapat hubungan

kausal (causaal verband). Tanpa adanya penyalahgunaan tersebut, perjanjian

dengan klausul penetapan harga tidak akan dibuat dan disetujui NTS.

Pasal 1338 ayat (1) menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Analisis dari

pasal ini mengandung arti bahwa para pihak bebas untuk membuat perjanjian

sebagaimana dikenal dengan Asas Kebebasan Berkontrak. Asas ini memberikan

kebebasan kepada para pihak untuk :

a. membuat atau tidak membuat perjanjian

b. mengadakan perjanjian dengan siapapun

c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun

d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan

Dikaitkan dengan PKS Interkoneksi Telkomsel-NTS, NTS tidak memiliki

kebebasan dalam menentukan isi perjanjian sehingga menjadi tidak seimbang. Hal

itu disebabkan adanya keunggulan keadaan yang disalahgunakan Telkomsel.

Dengan begitu, keadaan berat sebelah seperti demikian tidaklah dapat dibenarkan

karena melanggar asas kebebasan berkontrak.

Menurut NBW, penyalahgunaan keadaan yang menimbulkan keadaan

berat sebelah tersebut termasuk dalam hal yang dapat merusak kesepakatan. Di

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

90

Indonesia sendiri, sudah terdapat beberapa putusan yang menyatakan bahwa

penyalahgunaan keadaan tersebut tidaklah dapat dibenarkan sehingga perjanjian

yang mengandung unsur tersebut dibatalkan dalam bebrapa putusan tersebut.

Sehingga, kondisi semacam ini tidaklah dapat dibenarkan dan oleh karena itu

unsur ini tepenuhi.

Berdasarkan analisis yang dikaitkan dengan penguraian unsur yang

diambil dari pernyataan Van Dunne sebelumnya, Telkomsel terbukti melakukan

penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan PKS Interkoneksi dengan NTS.

Adanya klausul yang berat sebelah serta tidak adanya kekuatan dari salah satu

pihak untuk menegosiasikan klausul pada dasarnya telah menunjukkan adanya

penyalahgunaan. Secara ringkas, syarat-syarat atau kondisi yang menjadi unsur

adanya penyalahgunaan keadaan ekonomis yang dilakukan Telkomsel terhadap

NTS adalah:

1. Adanya keunggulan ekonomis Telkomsel dibandingkan NTS, dilihat

dari luasnya jaringan, infrastruktur, pangsa pasar, dan teknologi yang

dimiliki.

2. Adanya kebutuhan mendesak yang dialami NTS untuk mengadakan

kontrak/perjanjian dengan Telkomsel mengingat akan pasaran

ekonomi dan posisi pasaran NTS. NTS membutuhkan interkoneksi

dengan Telkomsel untuk mempertahankan usaha dan

mengembangkannya mengingat keterbatasan-keterbatasan yang

dimiliki NTS serta posisi NTS di pasar telekomunikasi seluler yang

masih lemah.

3. PKS Interkoneksi beserta Adendum Pertama yang telah disetujui

memuat syarat tidak seimbang dan menguntungkan Telkomsel

sehingga perjanjian tersebut berat sebelah. Klausul penetapan harga

SMS yang “dipaksakan” Telkomsel menghambat laju NTS untuk

memperoleh pelanggan namun hal tersebut justru menguntungkan

Telkomsel karena pesaingnya akan sulit berkembang. Perjanjian

demikian adalah berat sebelah.

4. keadaan berat sebelah semacam itu tidak dapat dibenarkan oleh

adanya keunggulan keadaan yang dimiliki Telkomsel. Meskipun

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009

91

Telkomsel memiliki keunggulan demikian, hal tersebut bukanlah

alasan bagi Telkomsel untuk membuat perjanjian yang berat sebelah.

Dihubungkan dengan Pasal 3:44 NBW, pembuatan PKS Interkoneksi

memenuhi empat kondisi atau syarat adanya penyalahgunaan keadaan yang dapat

dijadikan dasar pembatalan perjanjian, yaitu:

1. keadaan-keadaan istimewa (bizondere omstandigheden)

NTS memiliki ketergantungan terhadap Telkomsel dalam hal

memperoleh interkoneksi dengan jaringan Telkomsel sebagai suatu

kebutuhan untuk dapat memeproleh pelanggan, mengingat

keterbatasan NTS sebagai operator baru.

2. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)

Telkomsel mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa kondisi

NTS yang demikian membuat NTS tergerak untuk mengadakan

perjanjian interkoneksi dengan Telkomsel.

3. penyalahgunaan (misbruik)

Telkomsel dalam hal ini telah melaksanakan isi perjanjian dan

adendum yang memuat klausul penetapan harga yang memberatkan

NTS, walaupun Telkomsel mengetahui atau seharusnya mengerti

bahwa Telkomsel seharusnya tidak melakukannya.

4. hubungan kausal (causaal verband)

Bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka PKS Interkoneksi

Telkomsel-NTS tidak akan disetujui dan ditutup.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hakim berwenang untuk untuk

menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian

yang tidak seimbang. Interpretasi tesebut dalam hal ini dibutuhkan untuk melihat

apakah terdapat suatu keadaan yang disalahgunakan oleh salah satu pihak

terhadap pihak lainnya dalam pembuatan perjanjian.

Universitas Indonesia Analisis kemungkinan..., Wandha Benny Bintoro, FHUI, 2009