UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH...

121
PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Disusun Oleh: Tsuaibatul Aliah (107045202136) JURUSAN SIASAH SAR’IYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Transcript of UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH...

Page 1: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI

INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun Oleh:

Tsuaibatul Aliah (107045202136)

JURUSAN SIASAH SAR’IYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011

Page 2: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA

MENURUT HUKUM ISLAM

Skripsi

Di ajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy)

Oleh :

Tsuaibatul Aliah

NIM : 107045202136

Di bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Asmawi, M.Ag. Dedy Nursamsi, SH, M.Hum.

NIP. 197210101997031008 NIP. 196111011993031002

KONSENTRASI SIYASAH SIYASYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 H/ 1432 M

Page 3: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI

INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah

Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta pada 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syar‟iyyah.

Jakarta, 20 September 2011

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag

NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin, M. Ag

NIP. 197210262003121001

3. Pembimbing I : Dr. Asmawi, M. Ag

NIP. 197210101997031008

4. Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH, M.Hum

NIP. 196111011993031002

5. Penguji I : Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah

NIP. 195812221989031001

6. Penguji II : Afwan Faizin, M. Ag

NIP. 197210262003121001

Page 4: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan

hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 September 2011

Tsuaibatul Aliah

Page 5: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada ALLAH SWT. Yang

telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,

shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Serta keluarganya

dan sahabatnya serta kepada kita semua seluruh umatnya, mudah-mudahan kita semua

mendapatkan syafa‟at beliau dihari akhir nanti. Amin.

Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai Gelar Sarjana Starata Satu

(S1) di perguruan tinggi termaksud di Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta

adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itu penulis membuat

skripsi dengan judul: PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI

PERADILAN DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi.

Namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan hidayah Nya, kesungguhan dan kerja keras

disertai dukungan dan bantuan dari pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala

kesulitan serta hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini

dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis akan mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada yth :

Page 6: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

ii

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syari‟ah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asmawi, M. Ag, dan Bapak Afwan Faizin, MA. Selaku Ketua Program Studi

dan Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Asmawi, M. Ag, dan Bapak Dedy Nursyamsi, SH, M. Hum. Selaku Dosen

Pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi, saran dan arahannya dalam

membimbing peulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Teristimewa ucapan terima kasih ini dihanturkan untuk kedua orang tuaku; Ayahanda H.

Akhmad Kabir dan Mamahanda Hj. Mukhlisatul. Ulum. Yang tak henti-hentinya selalu

memberikan dukungan moril, dan do‟anya.

5. Adik-adik, Om, Tante, dan Tunanganku. Yang selalu memberikan dukungan dan

do‟anya.

6. Bapak Nur Habibi Ilya‟ SHI, Mh. Yang selalu memberikan masukkan, saran, dan

bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak/Ibu pimpinan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya

kepada penulis untuk menunjang penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan.

8. Bapak/Ibu pimpinan Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Komisi Yudisial. Yang

telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya kepada penulis untuk menunjang

penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan.

Page 7: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

iii

9. Bapak Agus sektor 4 (empat) dan Ibu Wati Seksi Humas di Komisi Yudisial. Yang telah

memberikan kesempatan waktu untuk bisa wawancara dalam penambahan data skripsi

penulis.

10. Untuk sahabat-sahabatku di kostan maupun di Luar, Ratna, Ulfa, Ta‟a, Ade, Dewi, Bela,

Uli, Martha, Fiqih, Syifa, Lela, Windy. Yang selalu memberi saran dan dorongannya

yang baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.

11. Untuk Teman-teman seperjuangan di Siyasah Syar‟iyyah (SS) Angkatan 2007 yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu. Yang banyak sekali saran dan dorongan yang

diberikan baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.

Semoga amal dan kebaikan mereka senantiasa mendapatkan balasan rahmat dari Allah

S.W.T. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

dari sempurna, baik dari segi pembahasan persoalan yang ada maupun dipenyajian

materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun

untuk perbaikan skripsi ini. Akhirnya harapan penulis tidak lain adalah agar skripsi ini

dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Jakarta, 20 September 2011

Penulis,

Tsuaibatul Aliah

Page 8: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah .......................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penalitian ................................................................... 8

D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 8

E. Metode Penelitian ....................................................................................... 10

F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 11

BAB II PERADILAN DALAM ISLAM

A. Sejarah Peradilan Islam .............................................................................. 13

B. Fungsi Peradilan Islam ............................................................................... 28

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Islam ........................... 31

D. Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam .................................... 32

BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA

A. Reformasi Peradilan di Indonesia................................................................ 35

B. Pembentukan Komisi Yudisial .................................................................... 41

C. Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia ................................................ 50

D. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial .................................................... 57

Page 9: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

v

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM

REFORMASI PERADILAN

A. Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan ................................. 64

B. Analisa Hukum Islam Terhadap Komisi Yudisial ....................................... 77

C. Menerangkan hubungan antara rumusan Undang-undang Nomor 22

Tahun 2004 dan Ketatanegaraan Islam........................................................ 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 95

B. Saran .......................................................................................................... 96

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 98

LAMPIRAN

Page 10: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA

Page 11: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa

hukum di Negara Indonesia ditempatkan pada posisi strategis di dalam konstelasi

ketatanegaraan. Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.

Upaya kearah independensi kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1)

penataan ulang perundang-undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga

yudisial; dan (3) meningkatkan kualifikasi hakim. Reformasi di bidang hukum yang terjadi

sejak tahun 1998 tersebut pada akhirnya telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD

1945. Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-

kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga

Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut

Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY).1

1 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3-5.

Page 12: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

2

Salah satu amanat reformasi adalah amandemen terhadap UUD 1945 yang sudah

demikian rapuh dan tidak lagi mampu menjawab semua persoalan masyarakat. Dan tuntutan

itu termanifestasi dengan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali yang ternyata telah

mengubah secara serius dan substansial ketatanegaraan Indonesia. Mafia berjalan beriringan

dengan rusaknya moral sebagia besar hakim yang ternyata telah meretakkan sendi

perekonomian bangsa Indonesia. Kita hidup di abad para maling yang bersekongkol dengan

para hakim yang tidak memiliki komitmen moral sedikitpun untuk memberantas seluruh

kejahatan di negeri ini. Pascareformasi, kerusakan moral para pejabat Negara berbarengan

dengan kerusakan moral para hakim yang menjual hukum dengan transaksi ynag semakin

“gila” di pengadilan.mafia peradian adalah bentuk dari resistensi moral yang semakin retak,

hati yang semakin beku dan kepedulian yang semakin meragukan dari sebagian aparatur

hukum kita.

Akibat dari pintalan-pintalan persoalan yang seperti inilah yang menyebabkan Komisi

Yudisial harus ada dan “wajib” diberi kewenangan yang besar untuk mengontrol prilaku

hakim yang nakal dan suka memanipulasi kebenaran. Kewenangan-kewenangan yang

dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang merevitalisasi dan

mengembalikan keborokan moral para hakim yang terlalu jauh melanggar etik hukum dan

mencederai makna kebebasan dan otonomi moral yang dimilikinya. Komisi Yudisial adalah

penjaga sekaligus pemegang urat nadi moral hakim supaya tidak nakal, dan hakim itu bukan

hanya hakim dalam lingkungan pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, sebagaimana

keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa Hakim Konstitusi dan Hakim Agung

Page 13: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

3

bukanlah hakim sebagaimana yang disebutkan dalam UUD, tetapi juga adalah Hakim

Konstitusi dan Hakim Agung.

Komisi Yudisial muncul adalah untuk menjaga otonomi moral hakim, mendorong

progresivitas keputusan dari aparat hukum. Aparat hukum diharapkan untuk menjaga moral

para hakim ini, karena hakim dianggap telah terlalu jauh melanggar etika dan moral

individunya. Karena kode etik hakim tidak mampu mengontrol dan mereduksi rusaknya

moral hakim, maka Komisi Yudisial harus menjadi tembok untuk menjaga moral hakim

tersebut.2

Pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan merupakan salah satu

langkah yang perlu ditempuh untuk membangun kembali lembaga peradilan Indonesia.

langkah dan upaya penting yang lain dalam rangka menyinergikan reformasi peradilan di

Indonesia adalah dengan pembentukan sebuah lembaga yang bernama Komisi Yudisial

melalui Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 24B) dan Pengesahan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.3

Dalam konteks inilah, UUD1945 Pasal 24B pada satu sisi memberikan amanat pada

Komisi Yudisial, sebagai komisi yang diberi mandat melakukan seleksi calon hakim agung

dan mengawasi jalannya proses penegakan hukum yang selalu menimbulkan persoalan dalam

pelaksanaannya.

Transformasi dan reformasi peradilan dengan segala dampak positif dan konstruktifnya

bagi penciptaan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan akuntabel, merupakan prasyarat

2 Fajlurrahman, Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,

2007), Cet. Pertama, hlm. 29,105-108. 3 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan

Berwibawa, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Cet. Pertama, hlm. 70-71.

Page 14: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

4

tegaknya hukum diatas kepatuhan atas nilai-nilai agama, etika, dan moral. Hanya dengan

peradilan yang seperti ini – yang ini menjadi agenda besar Komisi Yudisial sekarang dan

kedepan- maka korupsi dan illegal logging serta pelanggaran hukum HAM berat akan dapat

diproses melalui peradilan dengan dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, dakwaan,

tuntutan hingga putusan yang bernafas pada hokum progresif, yang memiliki muatan-muatan

moralitas keberpihakan pada rakyat dan penyejahteraan masyarakat, memerangi korupsi dan

menuju pada good governance serta clean government.4

Ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan yang

merdeka (independent judiciary) tidak melarang adanya peran pihak eksekutif (pemerintah)

dalam perekrutan hakim (agung) dengan syarat-syarat tertentu.

Sementara itu, Deklarasi Universal tentang kemerdekaan (kekuasaan) kehakiman ini pada

prinsipnya tidak melarang adanya keterlibatan pihak kekuasaan pemerintah dalam proses

perekrutan hakim.

Salah satu ketentuan internasional yang memberikan apresiasi terhadap kehadiran Komisi

Yudisail dalam proses perekrutan hakim adalah : Beijing Statement of Principles of the

Independent of the Judiciary in the Law Asia Region.

Beijing Statement of Principles of the Independent of the Judiciary in the Law Asia

Region menggarisbawahi bahwa didalam masyarakat yang mengenal Judicial Service

Commission, pengangkatan hakim-hakim oleh, dengan persetujuan, atau setelah

berkonsultasi terlebih dahulu dengan Judicial Service Commission dianggap sebagai

4 Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia,

2008), Cet. Pertama, hlm. 224-225,237.

Page 15: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

5

mekanisme untuk menjamin bahwa hakim-hakim yang terpilih adalah hakim-hakim yang

pantas atau sesuai untuk tujuan-tujuan yang akan dicapai.

Obyek pertama penelitian ini adalah lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama

Komisi Yudisial. Dewasa ini diskursus tentang Komisi Yudisial diberbagai belahan dunia

masih sangat aktual, karena Komisi Yudisial merupakan kecenderungan (trend) yang terjadi

di abad ke-20 sebagai bagian dari paket reformasi peradilan.5

Dalam Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam salah satu prinsip dasar dari sistem

Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, maka tegaknya keadilan

merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan didalam kehidupan bernegara, ketentuan

masalah ini telah diatur dalam al-Qur‟an dan Hadits.

Kemudian untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dicapai tanpa adanya

lembaga peradilan (Yudikatif) yang berfungsi untuk melaksanakan semua ketentuan hukum

yang konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam

merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara

Islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan

hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan tanpa adanya peradilan. Karena

peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa diantara para penduduk.

Peradilan ini adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka

tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun belum.didalam peradilan itu terkandung

menyeluruh ma‟ruf dan mencegah munkar, menyampaikan hak kepada yang harus

5 Ahsin, Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 11-14.

Page 16: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

6

menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan

perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. apabila

peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu menjadi masyarakat

yang kacau balau.6

Pada masa pemerintahan Rasulullah dan Khulafah rassyidun, kegiatan peradilan itu

dilakukan oleh individu yang secara khusus diserahi kewenangan hukum atau sebagai hakim

untuk penunjukkan Muadz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib untuk bertindak sebagai hakim

di wilayah Yaman pada masa Rasulullah, atau penunjukkan Abu Darda sebagai Hakim

Madinah, Syuaraih untuk wilayah Basrah, dan Abu Musa Al-Asy‟ari untuk daerah Kufa pada

masa Umar bin Khatab. Seiring dengan perkembangan dan semakin kompleksnya kehidupan

manusia, penyerahan kekuasaan kepada individu tertentu untuk melaksanakan tugas

peradilan dianggap tidak lagi memadai.

Dimungkinkan bahwa proses peradilan atau upaya mewujudkan keadilan dan

memberikan perlindungan hukum itu terlaksana dengan baik melalui individu yang diberi

kewenangan hukum, namun aspek efektifitas, spesialisasi, tertib administrasi, dan kepastian

hukum akan lebih memungkinkan jika dilakukan melalui lembaga peradilan. Suatu lembaga

yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan fungsi yudisial. Oleh karena itu, pasca

pemerintahan Rasulullah dan Khulafah rasyidun, pelaksanaan fungsi yudisial itu tidak lagi

dijalankan oleh individu yang secara khusus ditunjuk oleh Khalifah tetapi melalui lembaga

peradilan yang kemudian dikenal dengan nama al-nidham al-madhalim, yakni suatu lembaga

6 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka

Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 3.

Page 17: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

7

yang bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan hukum, dan

memutus perkara.7

Dengan adanya Deklarasi Universal, ketentuan internasional (Beijing Statement of

Principles of the Independent of the Judiciary in the Law Asia Region), dan ketetapan dalam

Undang-Undang serta dalam al-Qur‟an tentang lembaga yudikatif ataupun yudisial, maka

penulis memilih judul: “Peran Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan di Indonesia

Menurut Hukum Islam”.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Sejauh mengenai isu Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan dapat diidentifikasi

sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, antara lain, yaitu:

1. Bagaimana konsep Peradilan dalam hukum Islam?

2. Bagaimana konsep Reformasi Peradilan di Indonesia?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial dalam reformasi

Peradilan?

Dengan mengacu kepada identifikasi masalah diatas, penelitian ini menjadikan masalah

yang terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana pandangan hukum Islam terhadap

peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan?.

Dalam studi ini, isu Komisi Yudisial dibatasi pada aspek reformasi Peradilan, yakni

dalam hal ini, yang menjadi fokus kajian ialah UU Komisi Yudisial, UU Peradilan di

Indonesia, dan hukum Islam.

7 Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UIIPERSS, 2007), Cet. Pertama,

hlm. 286-287.

Page 18: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

8

C. Tujuan dan Manfaat Penalitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, merumuskan dan menjelaskan tentang

Komisi Yudisial, dan kedua, merumuskan dan menjelaskan tentang bagaimana pandangan

hukum Islam tentang Komisi Yudisial. Secara spesifik, studi ini bertujuan:

a) Menjelaskan konsep Peradilan dalam hukum Islam;

b) Menjelaskan konsep reformasi Peradilan di Indonesia;

c) Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial;

2. Manfaat penelitian

Adapun signifikasi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

a) Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi penulis,

pembaca, serta masyarakat tentang peran Komisi Yudisial dalam reformasi

Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.

b) Hasil penelitian ini diharapkan punya nilai signifikan bagi upaya transformasi

hukum Peradilan Islam kedalam tata hukum Peradilan di Indonesia.

c) Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi Fakultas Syari‟ah dan Hukum pada

umumnya, serta konsentrasi Siyasah Syar‟iyyah pada khususnya, adalah untuk

menambah referensi tentang peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di

Indonesia menurut hukum Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian tentang topik Komisi Yudisial telah dilakukan, baik yang mengkaji

secara spesifik isu tersebut maupun yang menyinggung secara umum dalam tema pokok

Page 19: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

9

Komisi Yudisial. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian

tersebut.

Karya Fajlurrahman Jurdi yang berjudul “Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga

Revitalisasi Moral Hakim”. Penelitian ini menjelaskan tentang Negara Hukum Indonesia,

Reformasi parlement Indonesia dan pengaruhnya, otonomi moral hakim Mahkamah Agung

dan kehadiran Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, delegitimasi

atas Komisi Yudisial, menuju revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, dan Komisi

Yudisial atau Mahkamah Yudisial.8

Karya Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan yang berjudul “Komisi

Yudisial Republik Indonesia”. Penelitian ini menjelaskan Komisi Yudisial dalam mosaic

ketatanegataan kita, Komisi Yudisial pengawal reformasi pengadilan, peran hakim Agung

dalam penemuan hukum (Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (Rechtsschepping), hakim

Agung dan penemuan hukum, Komisi Yudisial yang dicita-citakan masyarakat, sinkronisasi

sistem perundang-undangan lembaga peradilan dalam menciptakan peradilan yang lebih

baik.9

Karya Titik Triwulan Tutik yang berjudul “Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang

Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

Pasca Amandemen UUD 1945”. Penelitian ini menjelaskan Upaya kearah independensi

kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1) penataan ulang perundang-

undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga yudisial; dan (3)

8Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,

2007), Cet. Pertama, hlm. i. 9 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta:

Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. xiii.

Page 20: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

10

meningkatkan kualifikasi hakim. Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998

tersebut pada akhirnya telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945.

Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-

kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga

Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut

Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY).10

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah studi kepustakaan dengan pendekatan normatif. Adapun

dengan pendekatan normatif diharapkan dapat menemukan data akurat yang dibutuhkan

tentang Komisi Yudisial RI terutama yang berkaitan dengan Undang-Undang Komisi

Yudisial.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Penulis dalam penelitian ini menggunakan tehnik studi dokumenter, yakni tehnik

penelitian dengan penelusuran dokumen, dengan mengadakan kajian, menelaah, dan

menelusuri literature yang berkenaan dengan masalah yaitu berupa buku, majalah, koran,

artikel, dan lain-lain. Dengan metode ini penulis berusaha mengungkap peran Komisi

Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.

Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penelitian, penulis

menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber sebagai berikut: (a) data primer:

data ini dikumpulkan secara langsung dari buku-buku, Undang-undang yang berkaitan,

10

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan REPUBLIK INDONESIA Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm 3-5.

Page 21: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

11

al-Qur‟an dan Hadits, dan juga dengan sumber primer masalah yang ingin dibahas oleh

penulis; (b) data sekunder: data ini dikumpulkan dari artikel-artikel,jurnal ilmiah, serta

ditambah dengan komentar orang mengenai peran Komisi Yudisial dalam reformasi

Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.

3. Tehnik Analisis Data

Dalam menganalisa data, peneliti menggunakan metode analisis deskriptif. Peneliti

mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang terkumpul dalam penelitian ini.

4. Tehnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi masalah kedalam beberapa bab yang pada

dasarnya menjadi suatu kesatuan yang saling berkesinambungan agar lebih memperjelas dan

mempertajam arah pembahasan materi yang sedang diteliti. Adapun sistematika penulisan

dari isi ringkasan bab demi bab dalam skripsi ini dibagi menjadi 6 (enam) bab. Bab petama

berisi “pendahuluan”. Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatar

belakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang

masalah, (2) perumusan dan pembatasan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4)

tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika pembahasan.

Bab kedua berjudul “Peradilan dalam Hukum Islam”. Bab ini menyajikan uraian

mengenai Peradilan dalam Hukum Islam. Paparan konsep Peradilan pada bab ini akan

Page 22: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

12

diposisikan sebagai optik atau pisau analisis dalam rangka menyoroti konstruksi hukum

Peradilan Islam. Bab ini terdiri atas 3 (tiga) sub-bab utama, yaitu (1) Sejarah Peradilan Islam,

(2) Fungsi Peradilan Islam, (3) Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam.

Bab ketiga berjudul “Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan di Indonesia”. Dalam

bab ini diuraikan analisis dengan pemikiran konsep Komisi Yudisial yang dipandu dengan

konsep Reformasi Peradilan di Indonesia. Sehingga dapat diperjelas dengan Undang-undang

Komisi Yudisial dan Undang-undang Peradilan. Bab ini menyajikan 4 (empat) sub-bab

utama, yaitu (1) Reformasi Peradilan di Indonesia, (2) Pembentukan Komisi Yudisial, (3)

Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia, (4) Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial.

Bab keempat berjudul “Analisa Hukum Islam tentang Peran Komisi Yudisial dalam

Reformasi Peradilan”. Dalam bab ini juga diuraikan analisis dengan menerapkan pemikiran

konsep hukum Islam yang dipandu dengan konsep peran Komisi Yudisial, serta konsep

Peradilan. Sehingga akan menghasilkan analisa hukum Islam tentang peran Komisi Yudisial

dalam reformasi Peradilan. Bab ini menyajikan 2 (dua) sub-utama, yaitu (1) Pandangan

Hukum terhadap Reformasi Peradilan, dan (2) Pandangan Hukum terhadap Komisi Yudisial.

Bab kelima merupakan “Penutup”, yang memuat kesimpulan dan saran. Dalam bab ini

disajikan pokok-pokok penelitian yang dihasilkan dan konstelasinya dengan komunitas

akademik lain. Disamping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas penelitian tersebut.

Page 23: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA

Page 24: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

13

BAB II

PERADILAN DALAM ISLAM

A. Sejarah Peradilan Islam

Kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata

“peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “menyelesaikan”. Dan

umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.11

Dalam Islam peradilan disebut qadha artinya menyelesaikan, seperti firman Allah:

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan

ni'mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni'mat kepadanya: "Tahanlah terus

isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu

apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah

yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan

terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada

keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,

apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan

adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Q.S. al-Ahjab: 37)

Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah SWT :

11 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 1.

Page 25: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

14

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah

karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. al-

Jumu‟ah: 10)

Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: (a) Lembaga hukum

(tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan), (b) Perkataan yang harus dituruti

yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukumn atau menerangkan hukum

agama atas dasar harus mengikutinya.

Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti

menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena

hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini

kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada

sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim

dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan

menetapkan sesuatu yang belum ada.12

Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad

(38) ayat 26, yaitu:

12 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 2.

Page 26: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

15

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,

maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya

orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka

melupakan hari perhitungan.”

Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah (5) ayat 49:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang

diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah

kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang

telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan

Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan

mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya

kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”13

Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang

telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al-Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun

yang harus ditetapkan, yaitu: (1) Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk

menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri

semua tugas itu, (2) Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan

perselisihan dan memutuskan persengketaan, (3) Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada

qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat

apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki (penolakan) yang berupa penolakan atas

13

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 11-12.

Page 27: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

16

gugatannya, (4) Al-Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, (5) Al-

Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata.14

Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan

adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya:

“Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua

pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu

pahala.”

Dalam fiqih Islam ada tiga bentuk wilayah peradilan, yaitu: (1) Wilayah al-Qadha, yaitu

lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga peradilan

biasa, (2) Wilayah al-Mazalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus

penganiayaan pengusa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dan

perangkatnya, (3) Wilayah al-Hisbah, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai

kasus pelanggaran moral dalam rangka amar ma‟ruf nahi munkar.15

Kemudian kata sulthanah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti

pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan,

kerajaan, pemerintahan.16

Menurut Lois Ma‟luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam berarti al-

malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah.17

Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan,

14 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.

13-14. 15

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 15.

16 Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, (Jajarta: Konstitusi Press, 2006), Cet.

Pertama, hlm. 118.

Page 28: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

17

penyesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan

kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya

proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili

perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa

Indonesia, istilah ini dikenal dengan nama kekuasaan yudikatif.18

Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu Sultah

Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang), Sultah Qadhaaiyyah (kekuasaan

kehakiman) itu belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada

dalam satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan

kekuasaan Negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri.19

Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan

hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan berdiri tanpa adanya suatu peradilan.

Karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa diantara para penduduk.

Peradilan itu adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seuruh bangsa, baik mereka tergolong

bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Didalam peradilan itu terkandung

menyuruh ma‟ruf dan mencegah munkar. Menyampaikan hak kepada yang harus

menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan

peradilan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila

17 Ahmad Warsono Munawir, kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka

Progresif, 1997),Cet. Pertama, hlm. 650. 18

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16567.

19 Salim Ali Al-Bahansi, wawasan Sistam Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), Cet. Pertama,

hlm.53.

Page 29: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

18

peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi

masyarakat yang kacau balau.20

Kekuasaan peradilan adalah suatu kekuasaan yang mempunyai undang-undang dan

aturan-aturan yang wajib dipatuhin oleh para hakim didalam pemerintahan Romawi, Persia

dan lain-lain. Hal-hal yang sangat dipentingkan oleh bangsa-bangsa yang telah lalu dalam

menyusun peradilan, ialah kecakapan hakin dan kebaikan budi pekertinya. Karena itu mereka

tidak mengangkat seseorang untuk menjadi hakim kecuali orang yang mempunyai

kemampuan yang sempurna untuk menjadi hakim serta mempunyai kepribadian yang tinggi.

Dan hakim itu dilindungi dengan berbagai aturan yang memungkinkan hakim bergerak

secara bebas.21

Bangsa Arab di zaman Jahiliyah, tidak mempunyai Sulhtahtasyri‟iyah (badan legislatif)

yang menyusun dan membuat Undang-undang atau aturan-aturan. Mereka pada umumnya

berpegang pada tradisi yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Kepala-kepala kabilah

memutuskan hukum antara anggota kabilah dengan adat kebiasaan mereka. Adat-adat

kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau dari kepercayaan atau dari bangsa-bangsa yang

berdiam disekitar mereka, seperti bangsa Romawi, Persia dan sebagainya, atau yang berdiam

bersama-sama didaerah tersebut, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.22

Perkembangan kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan

masyarakat dan politik Islam. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan Muhammad Salam

20 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,

2001), Cet. Kedua, hlm. 3. 21

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 4.

22 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,

2001), Cet. Kedua, hlm. 4-5.

Page 30: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

19

Madkur (Guru Besar Hukum Islam, Universitas Cairo) para ahli, membagi sejarah peradilan

Islam kedalam beberapa masa dengan cirri-ciri atau tandanya masing-masing.23

Setelah Nabi Muhammad S.A.W diangkat menjadi Rasul, mulailah beliau menyampaikan

risalah dakwah kepada penduduk Makkah, terutama masalah aqidah selama 13 tahun.

Kondisi umat Islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbeda dengan

Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat Islam semakin banyak, sementara

Rasulullah S.A.W dijadikan sebagai pemimpin oleh masyarakat Madinah baik umat Islam

maupun non-Islam, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan

agama dan tuntutan syari‟ah.24

Masa Rasulullah S.A.W. Kedudukan Rasulullah S.A.W, disamping sebagai pemegang

kekuasaan eksekutif, juga menangani langsung urusan yang berkaitan dengan kekuasaan

yudikatif; artinya, kekuasaan peradilan belum dipisahkan dari kekuasaan Nabi S.A.W

sebagai pelaksana perundang-undangan. Segala urusan yang menjadi kewenangan as-Sulthah

al-Qadhaiyyah semuanya tertumpu ditangan penguasa. Setelah wilayah kekuasaan Islam

semakin luas, penanganan kekuasaan ini dibantu oleh beberapa orang sahabat yang dikirim

ke beberapa daerah untuk bertindak sebagai penguasa sekaligus sebagai pemegang kekuasaan

dalam bidang peradilan. Disamping itu, ada diantara sahabat yang diperbantukan oleh

Rasulullah S.A.W untuk menangani tugas-tugas peradilan ini yang ditempatkan dipusat

pemerintahan, seperti Umur bin Khatab (w.23H/644M), atau yang diutus kedaerah atas nama

Rasulullah S.A.W, seperti Ali bin Abi Thalib (w.40H/661M) dan Mu‟as bin Jabal

23

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16568.

24 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.

37.

Page 31: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

20

(w.18H/639M) ke Yaman. Sumber hukum bagi peradilan pada masa ini hanya Al-Qur‟an

dan Hadits Nabi S.A.W.25

Setelah Nabi Muhammad S.A.W. Sahabat, sebagai generasi Islam pertama, meneruskan

ajaran dan misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi Muhammad S.A.W. merupakan

peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebalum jenazah Nabi dikubur, sahabat telah berusa

memilih pengggantinya sebagai pemimpin Negara. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang

terpilih menjadi pemimpin umat Islam. Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khatab, Umar

bin Khatab digantikan oleh Utsman bin Affan, dan Utsman bin Affan digantikan dengan Ali

bin Abi Thalib. Empat pemimpin umat tersebut dikenal sebagai Khulafah al-Rasyidun (para

pemimpin yang diridhai).26

Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai

634M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ikut aktif

mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang terkemuka

banyak orang memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan

Islam ternama. Dan karenahubungnnya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw.,

beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lainnya. Karena

itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.27

Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini,

karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad, sepeninggal

25 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,

hlm. 16568. 26 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.

57. 27

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 59.

Page 32: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

21

Rasulullah S.A.W., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan

pemerintahan lainnya disamping belum melusnya wilayah kekuasaan Islam pada masa itu.

Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad S.A.W., yakni ia

sendirilah yang memutuskan hukum diantara umat Islam di Madinah. Sedangkan para

Gubernurnya memutuskan hukum diantara manusia didaerah masing-masing diluar Madinah.

Adapun sumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijtihad seteh

pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat. Dapat dikatakan bahwa pada masa

pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, (1) Quwwat al-Syari‟ah (legislatif), (2) Quwwat

al-Qadhaiyyah (yudikatif didalamnya masuk peradilan) dan (3), Quwwat al-Tanfiziyyah

(eksekutif).28

Di masa pemerintahan Umar bin Khatab, daerah Islam telah luas, tugas-tugas yang

dihadapi oleh pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, telah berbagai corak

ragamnya dan pergaulan orang-orang Arab dengan orang lain pun sudah sangat erat. Karena

itu Khalifah Umar tidak dapat menyelesaikan sendiri perkara-perkara yang diajukan

kepadanya. Maka Umar mengangkat beberapa orang hakim untuk menyelesaikan perkara,

dan mereka pun digelari hakim (qadhi). Khalifah Umar mengangkat Abu Darda‟ untuk

menjadi hakim di Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa Al-Asy‟ari di Kufah, Utsman Ibn

Qais Ibn Abil „Ash di Mesir, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Umar lah

yang mula-mula memisahkan kekuasaan yudikatif dan eksekutif.29

Pemerintahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pada masa masing-masing

dalam bidang kekuasaan yudikatif ini, meneruskan kebijakan yang telah ditetapkan oleh

28

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 59-60.

29 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam. (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,

2001), Cet. Kedua, hlm. 15-16.

Page 33: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

22

Umar sebagai khalifah pendahulunya. Sumber hukum lembaga peradilan pada masa ini

adalah Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.30

Masa Daulah Umayyah, kekuasaan yudiklatif mengalami kemajuan lagi, khususnya

dalam bidang administrasi peradilan dan proses berperkara (yang menyangkut hukum acara

atau hokum formil), yang sebelumnya belum diterbitkan. Pada masa ini diadakan pencatatan

terhadap putusan pengadilan sebagai dokumen resmi pemerintah. Meskipun situasi politik

pada masa ini baru saja mengalami perubahan dari system demokrasi kesistem monarki,

pemegang kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan urusannya tidak terpengaruh oleh

kecenderungan-kecenderungan pribadi politik khalifah. Bahkan khalifah dalam ini

menegaskan (melalui ancaman pemecatan bagi yang menyelenggarakan tugasnya) agar

kekuasaan yudikatif melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sumber hukum untuk masa

ini pun adalah Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.31

Masa Daulah Bani Abbasiyah, disamping terus meningkatkan pembinaan yang berkaitan

dengan administrasi kelembagaannya, khalifah juga membentuk lembaga-lembaga yang

mendukung dan memiliki kewenangan khusus yang juga berkaitan dengan kekuasaan

yudikatif ini. Tidak hanya pembenahan terhadap sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai

hukum materil yang akan disusun oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusan.

Awalnya, yang digunakan adalah kitab al-Muwatha‟ karya Imam Malik. Namun Imam Malik

sendiri menolak dengan alasan masih banyak Hadits Rasulullah S.A.W., yang tersebar

diberbagai kota. Kemudian atas ulum Ibnu al-Muqaffa‟ kepada Khalifah al-Mansur agar

menyusun pedoman trentang penerapan hukum materil, sehingga perbedaan pendapat dapat

30

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16568.

31 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,

hlm. 16569.

Page 34: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

23

dihindari, akhirnya disusunlah Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan oleh hakim dalam

memutus perkara.32

Selain itu, di zaman dinasti Abbasiyah, kekuasaan yudikatif (sulthah qadhaaiyyah)

semakin lengkap.perkembangan mencapai puncak kesempurnaan pada masa pemerintahan

Harun al-Rasyid (170-193), saat dia mengangkat Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari yang lebih

terkenal dengan Abu Yusuf, sebagai kepala dari seluruh kepala hakim, yang dinamakan

qaadhii qudhaah (Hakim Agung). Diantara tugas pentingnya adalah menangani perkara-

perkara diperadilan umum dan diiwaan al-madzaalim. Kewenangan lainnya adalah,

mengangkat hakim-hakim yang akan ditetapkan diseluruh provinsi.33

Perkembangan lainnya menyangkut kekuasaan kehakiman periode keempat ini, terjadi

terutama pada masa pemerintahan Sultan az-Zahir Biibars (665H/1267M), dimana ia

membentuk sistem peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar dan dikepalai oleh

masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Syafi‟I mempunyai kedudukan

yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yudiksinya, juga diserahi

tanggung jawab mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani

masalah Baitul Mall. Sedangkan Hakim Agung yang lainnya, mengurusi peradilan dan fatwa

bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.34

Dengan demikian pada masa tersebut, HakimAgung tidak hanya memilikitugas memutus

perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain diluar yuridiksinya.

32 Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152. 33 Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152. 34

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.

Page 35: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

24

Bahkan menurut Carl F. Petry, semua Hakim Agung pada masa tersebut memegang tiga

jabatan sekaligus. Termasuk untuk jabatan hakim ditingkat yang lebih rendah, dapat

memegang seluruh jabatan administrasi, tak terkecuali dilingkungan militer. Meskipun

demikian, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syari‟at tanpa dapat

dipengaruhi oleh siapapun.35

Masa khalifah Turki Usmani dan masa sesudahnya. Kekuasaan yudikatif mengalami

banyak perubahan, khususnya setelah masa Tanzimat. Pada masa ini, disamping lembaga

peradilan yang khusus mengadili orang-orang Islam, juga didirikan lembaga peradilan yang

khusus menangani orang-orang non-Muslim (kafir zimi: kafir yang dilindungi) dan orang-

orang asing yang tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama

masing-masing dan undang-undang asing. Pemerintah menetapkan mazhab Hanafi sebagai

mazhab resminya. Oleh karena itu, hakim utama diangkat dari mazhab ini. Sumber hukum

setelah masa Tanzimat ini kebanyakan diambil dari hukum Eropa, kecuali dalam masa

keperdataan. Keadaan ini mempengaruhi negara-negara Islam lainnya, khususnya negara-

negara yang cukup terbuka terhadap pembaruan dalam bidang hukum dan peradilan seperti

Mesir, Suriah, dan Tunisia.sumber hukumlembaga peradilan pada masa ini sudah berubah

dan beragam sesuai dengan beragamnya jenis lembaga peradilan dimasa itu.36

Peradilan pada Arab Saudi, al-Qur‟an merupakan Undang-undang Dasar Negara dan

Syari‟ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh Mahkamah-mahkamah Syari‟ah

sebagai hukum dan Ulama sebagai hakim dan penesehat-penasehat hukumnya. Kepala

negara adalah Raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi. Terbentuknya peradilan

35

Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.

36 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,

hlm. 1658.

Page 36: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

25

Arab Saudi dengan berlakunya Syari‟at Islam adalah tidak lepas dari jasa Raja Abdul Aziz

bin Abdul Rahman Al-Saud yang membai‟at wilayah-wilayah.37

Kemudian pada abad ke-7 M, Islam telah masauk Indonesia dan telah dianut oleh

sebagian orang Indonesia. Penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-

ibadah tertentu melainkan juga diterapkan pula dalam masalah-masalah muamalat,

munakahat, dan uqubat (jinayah/hudud).38

Dalam pengkajian Peradilan Islam di Indonesia, dan peradilan pada umumnya, dikenal

berbagai istilah khusus yang menjadi lambang dari suatu konsep, diantaranya Peradilan

Agama, Peradilan Agama Islam, Peradilan Islam, Islamic Judiciary, Badan Kehakiman,

Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Agama Islam, Pengadilan Agama, Mahkamah

Syari‟ah, Kerapatan Qadhi, Pengadilan Agama Islam, dan Islamic Court. Pada masa

penjajahan Belanda dan Jepang juga dikenal beberapa istilah, diantaranya Priesterraad,

Penghoeloe gerech, Godsdientige rechtspraak, Rechtspraak, Raad agama, dan Sooryoo

hooin. Selain itu, terdapat juga istilah lain yang berhubungan dengan istilah-istilah itu, baik

yang bermakna sejenis maupun yang berhubungan dengannya dan menjadi penjelas posisi

dari setiap istilah itu.39

Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut, sejalan dengan perkembangan

masyarakat Islam di berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam basis utama

dalam melakukan artikulasi dan perumusan hukum diberbagai kawasan dan negara tersebut.

37 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 83-84. 38

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 190.

39 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja

Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 35.

Page 37: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

26

Peradilan Islam pada masa Rosulullah S.A.W. bersifat sederhana, baik dalam

pengorganisasiannya maupun prosedurnya.40

Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia dapat dideskripsikan

sebagaimana dikemukakan oleh Lev (1972: ix) dalam kata pengantar bukunya, Islamic Court

in Indonesia. “Peradilan di Indonesia yang kelihatannya ganjil, tidak hanya mampu bertahan

hidup, tetapi dalam berbagai hal mengalami perkembangan yang semakin kuat. Sedangkan di

negeri-negeri Islam lainnya, pranata-pranata hukum keagamaan banyak yang dihapus dan

dibatasi”.

Perkembangan itu lebih nyata selama dua puluh tahun terakhir, terutama sejak disahkan

dan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Kemudian menyusul Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991.41

Ada empat aspek yang berkenaan dengan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia.

Pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan dalam tatanan hukum dan peradilan

nasional. Kedua, berkenaan dengan susunan badan peradilan, yang mencangkup hirarki dan

struktur organisasi pengdilan, termasuk komponen manusia didalamnya. Ketiga, berkenaan

dengan kekuasaan pengadilan, baik kekuasaan mutlak maupun kekuasaan relatif. Keempat,

40

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 42.

41 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja

Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 43.

Page 38: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

27

berkenaan dengan hukum acara yang dijadilkan landasan dalam penerimaan, pemeriksaan,

pemutusan, dan penyelesaian perkara.42

Islam adalah kehakiman, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al-Imam Syahid

Hasan Al-Banna, maksudnya adalah bahwa salah satu dari manhaj Islam ialah mengatur

antara sesama manusia, karena manusia sangat memerlukan seorang hakim yang dapat

mengatur dan menyelesaikan perselisihan mereka serta dapat mengembalikan hak kepada

pemiliknya.

Kesimpulan dalam masalah kehakiman ini dapatlah kita katakana bahwa Islam telah

menganggap masalah kehakiman sebagai fardhu, karena itulah kita lihat bahwa Rasulullah

saw mengangkat para hakim untuk bertugas di tempat-tempat yang jauh dari Madinah. Dan

hakim muslim ini disyaratkan mempunyai pengetahuan yang luas terutama tentang hukum-

hukum Islam. Atas dasar ini pula kita lihat bahwa salah satu dari syarat kelayakan seseorang

hakim ialah kemampuannya untuk melakukan ijtihad, karena tugas mengatur adalah

termasuk dalam pengertian wilayah dan sultan. Orang kafir tidak layak dan tidak berhak

menjadi wali atau hakim atas orang Islam. Karena Allah SWT berfirman:

42

Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 123.

Page 39: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

28

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi

pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah

mereka berkata : "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" Dan jika orang-orang

kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata : "Bukankah kami turut

memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mu'min ?" Maka Allah akan

memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi

jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.

Seorang hakim yang Muslim mesti mengatur hukum dan permasalahannya menurut

hukum-hukum Islam dan haram hukumnya menggunakan hukum-hukum yang lain. Terutama

pada saat mengatur undang-undang Islam, sebagaimana juga harus memiliki kehati-hatian dan

teliti, dan berusaha semampunya untuk melaksanakan dan menerapkan keadilan. Karena

seandainya yang dilakukan adalah betul dan tepat maka baginya dua ganjaran, namun jika

seandainya beliau keliru atau tersalah maka tetap akan balasan beliau diberikan satu

ganjaran.43

B. Fungsi Peradilan dalam Islam

Pembentukkan Lembaga Peradilan adalah dimaksudkan untuk merealisir keadilan di

tengah kehidupan masyarakat. Telah disebutkan bahwa dalam suatu negara, lembaga

peradilan ini difungsikan untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau

sebagai media untuk mengimplementasikan ajaran Islam dibidang penegakkan dan

perlindungan hukum. Didalam al-Qur‟an disebutkan beberapa ayat yang mengatur tentang

keadilan dan penegakkan hukum, diantaranya:

43

http://www.al-ikhwan.net/syarah-ushul-isyrin-imam-syahid-hasan-al-banna-islam-adalah-agama-universal-2-3613/, tanggal 21 September 2011, Pukul 06.18.

Page 40: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

29

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya

kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-

baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisa’: 58)44

Kemudian Surah An-Nisa‟ Ayat 135:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak

keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan

kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan

jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya

Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa’: 135) Kemudian juga disebutkan dalam Surah Al-Maidah Ayat 49 bahwa:

44

Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII PRESS, 2007), Cet. Pertama, hlm. 285.

Page 41: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

30

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang

diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah

kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang

telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan

Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan

mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya

kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah: 49)45

Lembaga peradilan bertugas menyelesaikan persengkatan dan memutuskan

hukum.dengan peradilan Allah memelihara keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat

luas. Landasan dari fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian hukum. Lembaga

peradilan mempunyai fungsi utama untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan

ketentraman masyarakat melalui tegaknya hukum dan keadilan. Di samping itu untuk

menciptakan kemaslahatan umat dengan tetaptegaknya hukum Allah. Oleh sebab itu

peradilan Islam mempunyai fungsi yang sangat mulia, di antaranya: Mendamaikan dua belah

pihak yang bersengketa dengan berpedoman kepada hukum Allah, Menetapkan sanksi dan

melaksanakannya atas setiap perbuatan yang melanggar hukum.46

45 Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII PRESS, 2007), Cet.

Pertama, hlm. 286. 46 http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/peradilan-dalam-islam.html, tanggal 11 september 2011,

pukul 13.25.

Page 42: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

31

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Islam

Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan perselisihan yang dilaporkan kepadanya

dari orang-orang yang berseteru dan menerapkan hukum perundang-undangan kepadanya

dalam rangka menerapkan keadilan di muka bumi dan menerapkan kebenaran diantara

orang-orang yang meminta peradilan.47

Secara garis besar tugas dan kewenangan lembaga peradilan ialah untuk menjamin

pelaksanaan Undang-undang oleh pihak eksekutif, untuk mengontrol atau mengawasi fungsi

dan pelaksanaan kekuasaan legislatif, dan untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai

persoalan hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya. Tujuan

adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk membongkar kesalahan agar dapat

dihukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran, supaya

yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah tanpa menghiraukan

maslahat.48

Tujuan adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk membongkar kesalahan

agar dapat di hukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran;

supaya yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah tanpa menghiraukan

maslahat. Selain menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan, kekuasaan

yudikatif dalam Islam yudikatif dalam Islam juga bertujuan untuk menguatkan Negara dan

menstabilkan kedudukan hukum kepala Negara.49

47

Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan, dan Adat dalam Islam,(Jakarta, KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2004), Cet. Pertama, hlm. 73.

48 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 1658.

49 Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,

(Jakarta, Darul Falah, 2000), Cet. Pertama, hlm. 130.

Page 43: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

32

Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyebutkan sembilan

tugas kekuasaan yudikatif yaitu: (1) memutuskan atau menyelesaikan perselisihan,

pertengkaran, dan konflik. Dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara

sukarela atau memaksakeduanya berdamai; (2) membebaskan orang-orang yang tidak

bersalah dari sanksi dan hukuman, serta memberikan sanksi kepada yang salah, baik dengan

(dari) pengakuan maupun dengan dilakukannya sumpah; (3) menetapkan penguasa harta

benda orang-orang yang tidak menguasai sendi karena gila, masih kanak-kanak atau idiot; (4)

mengelola harta wakaf dengan menjaga harta pokoknya, mengembangkan cabang-cabang,

menahannya dan mengalokasikan ke posnya; (5) melaksanakan wasiat-wasiat berdasarkan

syarat-syarat pemberian wasiat dalam hal-hal yang diperbolehkan syari‟at dan tidak

melanggarnya; (6) menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang sekufu‟ (selevel), jika

merdeka tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia menikah; (7) melaksanakan hudud

(hukuman syar‟i) kepada orang-orang yang berhak menerimanya; (8) memikirkan

kemaslahatan umum diwilayah kerjanya dengan melarang semua gangguan dijalan-jalan dan

halaman-halaman rumah dan meruntuhkan bangunan-bangunan illegal; (9) mengawasi para

saksi dengan pegawainya, serta memilih orang-orang yang mewakilinya.50

D. Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam

Pada masa awal, kekuasaan peradilan berada sepenuhnya pada tangan Rasul. Beliau

disamping sebagai kepala Negara juga berfungsi sebagai hakim tunggal. Namun, setelah

wilayah negeri Islam berkembang dan meluas ke luar Madinah, beliau memberikan mandat

kepada beberapa orang sahabat untuk bertindak sebagai hakim. Rujukan yang digunakan

50

Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta, Darul Falah, 2000), Cet. Pertama, hlm. 132.

Page 44: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

33

ketika itu adalah Al-qur‟an, Sunnah Nabi, dan Ijtihad mereka sendiri, ketika mereka tidak

menemukannya didua rujukan pertama.51

Kemudian, setelah masa Khulafah al-Rasyidin, terutama pada masaUmar bin Khattab,

tata laksana peradilan mulai diatur antara lain dengan mengadakan penjara, dan

pengangkatan sejumlah hakim serta menyusun risalah al-qadha (semacam hukum acara

peradilan) sebagai acuan bagi hakim. Namun demikian, para hakim bekerja sendiri tanpa ada

“katib” (panitera) dan tanpa registrasi dan administrasi peradilan, bahkan pada awalnya

mereka bersidang dirumah mereka sendiri dan kemudian pindah ke masjid, serta mereka

sendiri yang melaksanakan eksekusi keputusan pengadilannya.52

Pada masa Umayyah peradilan terus berkembang, diantaranya adalah jabatan Qadhi yang

mulai berkembang menjadi profesi tersendiri dan dilakoni oleh orang yang ahli dibidangnya.

Pada masa Bani Umayyah ini juga dilakukan pembukuan serta penulisan perkara-perkara

yang diputuskan dengan merancang sistem pengawasan dan pengadilan serta prinsipnya.

Sebab pada masa Rasulullah S.A.W. Dan dan Khulafa al-Rasyidin belum ada perselisihan

pendapat tentang hukum-hukum yang telah menjadi putusan. Dalam permulaan Islam

peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencangkup proses peradilan, juga

mencangkup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain.53

Adapun bentuk “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam

sejarah peradilan di zaman Nabi Muhammad Saw. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh

Wahyu Allah S.W.T. terhadap Nabi Muhammad S.A.W. Rasulullah S.A.W. juga melakukan

51 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 2-

3. 52

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3. 53

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3-4.

Page 45: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

34

pengawasan secara evaluasi terhadap sahabat yang ditunjukkannya untuk menjalankan

peradilan. Jika putusan sahabat itu salah, tentu Nabi Muhammad S.A.W. pun akan segera

mengoreksinya.54

Karena setiap keputusan hakim tentang suatu perkara kadangkala diperdebatkan dasar

hukum dan keshahihannya oleh para mujtahid yang mengetahui kasus tersebut beserta

hukum yang mungkin benar menurut pendapatnya, pada akhirnya khalifah melepaskan diri

dari campur tangan terhadap lembaga peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu

kebanyakan bukan murni keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan

oleh khalifah untuk maksud-maksud tertentu. Demikianlah dapat dikatakan bahwa pada

awalnya Dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh

peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu

akhirnya ditinggalkan. Khalifah hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas

belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya

memiliki otoritas dan independenitas yang tinggi. 55

54

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 6-7.

55 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3-

7.

Page 46: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA

Page 47: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

35

BAB III

KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA

A. Reformasi Peradilan di Indonesia

Reformasi, barasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi”

berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform”

diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga

berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam

suatu masyarakat atau negara.56

Dengan demikian, istilah era reformasi diartikan sebagai suatu era perubahan atau

penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, dan kebijakan yang berkaitan dengan

berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan apabila

dihubungkan dengan reformasi dibidang hukum dan peradilan, maka dapat ditarik pengertian

“melakukan suatu perubahan dengan penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi,

atau kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam

kehidupan berbangsa, dan bernegara”.57

Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau

pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam arti pembaharuan,

reformasi bisa dipadankan dengan beberapa kata dalam wacana Islam, yang secara substansi

memilki kesamaan dengan reformasi, yakni; tajdid dan islah. Tajdid mengandung arti

“membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya

56

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39.

57 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39-40.

Page 48: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

36

agar dapat digunakan sebagaimana yang diharapkan”. Sedangkan kata islah, diartikan dengan

“perbaikan atau memperbaiki”. Kedua kata tersebut, sering dipakai secara berdampingan

dengan pengertian yang sama yaitu “pembaharuan”.58

Ada tiga dimensi atau lapisan reformasi yang secara analistis harus dibedakan. Pertama,

perbaikan terhadap semua penyimpangan yang terjadi, (penyimpangan artinya sesuatu yang

sejak lama secara hukum dan ideologis serta sense of propriety telah dianggap tidak benar

dan tidak pantas). Kedua, penghapusan segala faktor, baik yang berupa perundangan dan

hukum serta kelembagaan, maupun sistem politik, yang telah memungkinkan penyimpangan

itu terjadi. Dan Ketiga, peletakan dasar baru dari kehidupan kenegaraan.59

Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian

Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil

keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan

pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan? Hukum jabatan para

hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang

kekuasaan hakim. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang

semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya

memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk

mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat tercapai. Seiring

dengan tuntutan reformasi peradilan, pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang

membahas amandemen ketiga UUD 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan

pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya Komisi Yudisial

58

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 40.

59 Taufik Abdullah, Refleksi Agenda Reformasi, (Yogyakarta, Kanisius, 1999), Cet. Pertama, hlm. 48.

Page 49: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

37

RI yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang

lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim.60

Kemunculan Komisi Yudisial RI adalah akibat langsung dari amanat reformasi 1998

untuk menegakkan supremasi hukum dan agar para hakim tidak melakukan pelanggaran atas

hukum. Sekaligus agar hakim tidak menjadi aparat penguasa. Dan ini semua berangkat dari

kekecewaan masa lalu, yaitu dimana kekuasaan kehakiman dikooptasi oleh kekuasaan,

sehingga kebebasan hakim dalam memutus perkara terbelenggu oleh kekuasaan tersebut.

Keinginan kuat untuk keluar dari belenggu kekuasaan inilah yang menyebabkan adanya

keinginan kuat untuk membuat Komisi Yudisial RI.61

Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan

teoritis tentang pemisahan kekuasaan (separation of pwers) karena pemisahan kekuasaan dari

cabang-cabang kekuasaan negara dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi

kekuasaan lembaga peradilan sekaligus untuk menjamin terlaksananya kebebasan politik

(politic liberty) anggota masyarakat dalam negara, maka adanya jaminan kekuasaan lembaga

peradilan yang independen merupakan satu elemen penting dari konsep negara hukum.

Keterkaitan antara pemisahan kekuasan dengan konsep negara hukum terletak pada

pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatif ataupun hubangan

diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut dalam konstitusi. Bagi sebuah negara yang

60

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

61 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa,

(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 4.

Page 50: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

38

menerapkan paradigma hukum modern (rule of law), independensi kekuasaan lembaga

peradilan, merupakan fondasi dan pilar utama yang sangat penting.62

Alexis de Tocqueville memberikan tiga ciri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga

peradilan yang independen, yakni; pertama, kekuasaan lembaga peradilan disemua negara

merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja kalau ada

pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya yang dapat

melakukan intervensi. Kedua, fungsi lembaga peradilan hanya berlang sung kalau ada kasus

pelanggaran hukum yang khusus. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika

diperlukan dalam haladanya sengketa yang diatur dalam hukum.63

Pemahaman tentang asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tidak terlepas dari

ajaran Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan, yaitu untuk

menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik (political liberty) anggota masyarakat

negara.64

Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga

unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah

kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan

(fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan

bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan

mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan

62 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 102. 63

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 103.

64 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 105.

Page 51: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

39

yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de

rechtsstaat).65

Di Era reformasi, tonggak awal kemandirian kekuasaan kehakiman ditandai dengan

adanya amandemen UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan

kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.untuk

mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif tersebut, maka lahirlah

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.66

Poin penting yang patut dicatat dari diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 adalah

untuk mempertegas kemandirian kekuasaan kehakiman. Maka untuk merealisasikannya

ditetapkan kebijakan bahwa, segala urusan peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial

maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap dibawah kekuasaan

Mahkamah Agung. Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “ kebijakan satu

atap (one roof system). Namun, seiring perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di

Negara Indonesia. UU No. 35 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah lagi menjadi Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.67

Dalam perspektif teoritis, kebjakan tersebut merupakan realisasi dari teori trias polit ika,

yakni ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara (separation of power) sebagai antitesis

dari kebijakan hukum sebelumnya yang menganut pembagian kekuasaan (divition of power).

Pemisahan kekuasaan negara secara tegas mengharuskan adanya pembagian kekuasaan yang

65 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 109. 66

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 185.

67 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 186.

Page 52: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

40

jelas antara cabang-cabang kekuasaan; eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sehingga antara

yang satu dengan yang lain bersifat saling mengendalikan dan saling mengimbangi (checks

and balances).68

Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka checks and balances

mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap

UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan didalam pasal 24 yang mengatur bukan

pengujian isi (uji materil) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal). Mahkanh

Konstitusi menguji UU terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan

perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan per-UU-di atasnya. Dalam teori hukum

disebut vertical judicial review. 69

Dengan demikian untuk menerapakan checks and balances, setelah terjadi perubahan

ketiga terhadap UUD 1945, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di ere reformasi juga

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang sekarang telah diatur didalam Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2003 dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang terkait dengan Mahkamah

Agung, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004. Ditetapkannya MK dan

KY bersama MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, dimaksudkan untuk menjamin

penegakkan hukum, pengawasan terhadap hakim, dan penerapan judicial review.70

Keberadaan Komisi Yudisial RI dalam institusi kekuasaan kehakiman merupakan

implementasi acara langsung atas tuntutan masyarkat terhadap reformasi peradilan dan

68 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 185-186. 69

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 186.

70 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 186-187.

Page 53: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

41

sekaligus menjalankan amanah reformasi. Dengan adanya Komisi Yudisial RI diharapakan

hakim dapat mandiri, bebas dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan manapun.71

B. Pembentukan Komisi Yudisial

Ide untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus bertugas mengawasi hakim

sebenarnya ide lama yang hadir sejak 1968, ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dibahas. Ada gagasan membentuk Majelis

Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberi pertimbangan dan

mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan

pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim,

yang diajukan baik oleh MA maupun Departemen Kehakiman. Namun, gagasan ini mental

ketika UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman

disahkan. Gagasan tersebut baru diadopsi didalam perubahan UU No. 14 Tahu 1970 yaitu

UU No. 35 Tahun 1999. Dalam penjelasan umum disebutkan, perlunya checks and balance

terhadap lembaga peradilan, agar putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan

transparan oleh masyarakat, serta pembentukan Dewan Kehormatan Hakim yang mengawasi

prilaku hakim, atau memberikan rekomendasi perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta

menyusun kode etik (code of conduct) untuk para hakim.72

Sebelum UU No. 35 Tahun 1999 hadir, pengawasan dan pendisplinan hakim menjadi

tanggung jawab dan kewenangan menteri (yaitu Menteri Kehakiman, Menteri Agama, dan

Menteri Pertahanan) serta MA. Pengawasan oleh kementerian (kekuasaan eksekutif) yang

dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Irjen), kementerian yang bersangkutan dilakukan terkait

71

Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, hlm. 139.

72 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

Page 54: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

42

pembinaan organisasi, administrasi, serta keuangan peradilan. Hal ini menjadi konsekuensi

sistem dua atap peradilan di Indonesia. Sementara itu pengawasan oleh Mahkamah Agung

dilakukan dalam bidang peradilan dan tingkah laku hakim termasuk Hakim Agung dalam

menjalankan tugas atau yang disebut aspek teknis yudisial. MA bias meminta keterangan

terkait teknis yudisial, memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dianggap perlu.73

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001

yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan

kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.74

Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan

bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim

agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan

Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak

serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya

setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan

pada 23 Agustus 2006.75

73

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 74

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 75 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

Page 55: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

43

Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan

bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim

agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan

Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak

serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya

setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan

pada 23 Agustus 2006.76

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali kepada UUD 1945. Kepada jiwa

proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dari ketentuan-ketentuan

UUD 19945 itu balum dilaksanakan secara murni. Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa

pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 dalam penjelasannya secara tegas telah menyatakan bahwa

kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari praktek dan

pelaksanaannya telah menyimpang dari UUD, antara lain pasal 19 dalam Undang-undang

Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang

memberikan wewenang kepada Presiaden untuk dalam “beberapa hal dapat turun atau ikut

canpur tangan dalam soal-soal pengadilan.77

Dikatakan antara lain oleh pasal 19 dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Demi kepentingan refolusi,

kehormatan Negara, dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden

76

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 77

C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 186.

Page 56: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

44

dapat turun atau campur tangan dalam soal pengadilan”. Sedangkan dikatakan dalam

penjelasan mengenai pasal 19 tersebut bahwa: “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh

dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang”. Sebaliknya UUD 1945

sendiri dalam penjelasannya: “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka dan

terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah”.78

Adalah jelas, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 13 Tahun

1965 Tentang Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama

menggambarkan adanya suatu pertentangan konstitusional yang: “flagrant”, sedangkan

pertentangan dengan UUD 1945 betapapun ia disertai dengan syarat-syarat tertentu, tidak

dapat dibenarkan oleh hukum “interference” atauturun tangan dari pihak eksekutif

dimungkinkan, sedangkan hal demikian dilarang oleh UUD 1945, yang menghendaki adanya

Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, terlepas dari pengaruh Pemerintah.79

Dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut terjadilah suatu kekosongan, yang akan menghambat

jalannya peradilan pada umumnya. Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk Undang-

undang Tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru sebagai penggantinya. Undang-undang

yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut harus pula menjaga

kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Untuk itu perlulah dalam Undang-undang Tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, diusahakan tercantumnya

dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai

78

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

79 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta,

2000), Cet. Ketiga, hlm. 187.

Page 57: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

45

hubungan peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan UUD 1945 supaya

pelaksanaannyananti sesuai dengan Pancasila.80

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan

dengan ketentuan bahwa undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan

kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-

asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang

tersendiri.81

Dengan melihat bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai

kekusaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain yang ditentukan dalam UUD

1945. Dari situ pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam UUD

1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan susunan. Apa yang

merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan

peraturan, susunan, dan kedudukan lembaga-lembaga Negara serta tugas dan

kewenangannnya. Dalam UUD 1945, susunan ketatanegaraan dapat dilihat dalam ketentuan-

ketentuan yang mengatur enam lembaga Negara yang terdiri dari sebuah lembaga Negara

tertingggi Negara yaitu MPR dan lima buah lembaga tinggi Negara yakni Presiden dan Wakil

Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).82

80 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta,

2000), Cet. Ketiga, hlm. 188 81

C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 189.

82 Jimly Asshidiqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: UI Press,

2005), Cet. Pertama, hlm. 23.

Page 58: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

46

Semenjak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak

dapat dielakkan. Sebagai salah satu agrnda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945

menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula

perubahan yang terjadi dalam supra struktur politik perlu direspon dengan perubahan

Konstitusi sebagai hukum dasar Negara yang akan menjadi pijakan utama dalam

menyelenggarakan kehidupan bernegara.83

Dimana, Amandemen UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhirnya dapat

dituntaskan dalamperunahan keempat dengan nama resmi UUD 1945. Perubahan empat kali

itu dapat dirinci sebagai berikut.84

Perubahan pertama yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, berhasil di

amandemen sebanyak 9 pasal. Perubahan kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus

2000 telah di amandemen sebanyak 25 pasal. Perubahan ketiga yang ditetapkan pada tanggal

9 November 2001 berhasil diamandemen sebanyak 23 pasal. Perubahan keempat yang

ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ini telah berhasil diamandemen sebanyak 13 pasal

serta 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Jadi, jumlah total pasal hasil

perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal. Namun demikian, jumlah nomor

pasalnya tetap sama yaitu 37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan).85

Perubahan UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999, merupakan bagian dari

proses reformasi yang membawa dampak penting dalam kehidupan social, politik dan

terutama dalam kehidupan hukum. Perubahan yang terjadi yang tampak kasat mata akibat

83 Jimly Asshidiqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: UI Press,

2005), Cet. Pertama, hlm. 25. 84

Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, hlm. 209.

85 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, hlm. 209.

Page 59: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

47

perubahan UUD 1945 tersebut menyangkut konfigurasi kelembagaan Negara atau organisasi

penyelenggaraan Negara. Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin

meletakkan konstitusionalisme, sebagai prinsip dan doktrin bernegara, yang dijaga melalui

doktrin checks and balance dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Atas dasar hal

itu, maka konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah secara mendasar, dari sesuatu yang

bersifat vertikal hirarkis, dimana kedaulatan ratyat dipegang oleh sebuah badan, bernama

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelma seluruh rakyat Indinesia, dengan

kewenangan menetapkan UUD, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan

mengangkat Kepala Negara (Presiden) atau Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).

Perubahan UUD 1945, merubahan posisi MPR sebagai lembaga Negara, yang memegang

kekuasaan tertinggi Negara, menjadi sederajat dan setara dengan lembaga Negara pemegang

kekuasaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal, tetapi secara fungsional

melakukan checks and balance terhadap lembaga Negara lainnya.86

Sebagai buah dari reformasi, yakni telah adanya amandemen terhadap UUD 1945, maka

selain Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan

peradilan yang berada dibawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara

fungsional sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan

struktural dengan Mahkamah Agung. Kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama

sebgaipelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi dibedakan dalam yuridiksi dan

kompetensinya.87

86

Jimly Asshidiqie, Pemikiran Jimly Asshidiqie, dan Para Pkar Hukum, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, (Jakarta: The Biografi Institute, 2007), Cet. Pertama, hlm. 277.

87 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 196.

Page 60: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

48

Perubahan ketiga UUD 1945 selain menyangkut tentang Mahkamah Konstitusi, juga

memuat tentang Komisi Yudisial. Ia disebut sebagai lembaga pembantu (auxilioary

instritution) didalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya, merupakan refleksi

filosofis dan cita-cita hokum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan

munculnya kesadaran sejarah akan masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka,

independent, dan bermartabat. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, bermoral, dan bebas

dari berbagai bentuk intervensi dan steril dari praktek tidak terpuji, merupakan conditiosine

qua non dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai

kejujuran,kebenaran, dan keadilan.88

Latar belakang pembentukan Komisi Yudisial adalah sebagai akibat dari salah satu atau

lebih dari lima hal sebagai berikut: (1) lemahnya monitoring secara intensif terhadap

kekuasaan kehakiman,karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja, (2) tidak

adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan Pemerintah (eksecutive power)-

dalam hal ini Departemen Kehakiman (judicial power), (3) kekuasaan kehakiman dianggap

tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya

apabilamasih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, (4) tidak adanya

konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian

dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus, (5) pola rekruitmen hakim selama

ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan

merekrutkannya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu Presiden atau Parlemen.89

88

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 196.

89 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 144-145.

Page 61: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

49

Dalam konteks perjuangan menuju terwujudnya praktek penyelenggaraan Negara yang

bersih, diperlukan upaya strategis dan fundamental bagi terwujudnya komitmen akhlak dan

moral serta kualitas profesionalitas dari para hakim selaku sumber daya insane utama. Dalam

konteks inilah, Komisi Yudisial dibentuk.90

Setelah mempelajari keberadaan Komisi Yudisial diberbagai Negara, dapat disimpulkan

bahwa dibentuknya Komisi Yudisial sekurang-kurangnya mempunyai salah satu atau lebih

dari lima alasan yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang

merdeka.91

Pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara

intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat

dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja.

Kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan

Pemerintah (eksekutive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan

utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh

kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan Pemerintah. Ketiga, dengan adanya Komisi

Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekusaan kehakiman (judicial power) akan semakin

tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekruitmendan monitoring Hakim Agung

serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. Keempat, dibentuknya Komisi Yudisial

adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa

diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Kelima, meminimalisasi

terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah

90

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 202

91 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 147.

Page 62: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

50

lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan

lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut

menentukan rekruitmen hakim yang ada.92

Keberadaan KY sangatlah menentukan berhasil tidaknya reformasi hukum dan

penegakkan keadilan dalam dunia peradilan kita sekarang maupun masa depan. Sebab KY

bukan pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman, dimana anggotanya selaku pejabat Negara yang dalam pelaksanaan

wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Hal inilah yang

dipercayai akan memperbaiki system peradilan Indonesia, karena dalam melaksanakan tugas

pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran

martabat serta menjaga perilaku hakim .93

C. Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia.

Komisi Yudisial adalah lembaga tinggi negara yang sama posisinya dengan lembaga

tinggi negara yang lain. Bersamaan dengan amandemen UUD 1945 sebagai genealogi

kemunculan Mahkamah Konstitusi, maka Komisi Yudisial juga merupakan lembaga yang

dilahirkan dari reformasi lembaga hukum di negeri ini.94

92 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm.147-148. 93 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 80.

94 Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,

2007), Cet. Pertama, hlm. 137.

Page 63: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

51

Sebagai lembaga tinggi negara, Komisi Yudisial mendapatkan tugas dan kewenangannya

dalam UUD dan dituangkan/dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2004 Tentang

Komisi Yudisial.95

Kekuasaan kehakiman bukan suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan

yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan

didalam kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi,

pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim.beberapa aspek tersebut sering

tidak terkelola dengan baik, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja

kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Persoalan semakin menjadi pelik apabila aspek-

aspek tersebut menyangkut hakim agung. Hal ini dikaitkan denga kenyataan bahwa jabatan

hakim agung adalah jabatan yang sangat strategis, sehingga beberapa kepentingan sering

ingin memanfaatkannya.96

Perubahan UUD 1945 memang telah mengubah sistem kekuasaan kehakiman dengan

menempatkan MA dan MK sebagai puncak system kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lalu

dimana posisi KY yang dinobatkan sebagai lembaga Negara yang mandiri dan bebas dari

campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain? Kehadiran berbagai state auxiliary institutions

(lembaga Negara bantu) telah menandai transisi demokrasi. Saat ini sudah lebih dari 20-an

lembaga Negara bantu terbentuk. Jumlah ini di masa depan diprediksi akan semakin

bertambah. Pembentukan lembaga bantu itu dilakukan menurut dasar hukum yang berbeda.

Ada yang didasarkan UUD 1945, antara lain Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum,

dan ada pula bedasarkan undang-undang, antara lain Komisi Penyiaran Indonesia dan Badan

95

Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, hlm. 137.

96 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 157-158.

Page 64: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

52

Perlindungan Konsumen, maupun berdasarkan Keppres, antara lain Komisi Ombutsman

Nasional.97

Keberadaan lembaga Komisi Yudisial dalam sistem kelembagaan Negara Republik

Indonesia merupakan lembaga Negara (constitusional organ) karena kewenangan Komisi

Yudisial diberikan langsung oleh UUD. Menurut Pasal 24B Ayat (4) menyatakan bahwa

“Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-undang”.98

Dalam struktur kelembagaannya, Komisi Yudisial adalah dewan yang terdiri atas seorang

ketua, seorang wakil ketua yang merangkap anggota, dan tujuh orang anggota.

Keanggotaannya terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berkedudukan sebagai pejabat Negara.

Keanggotaan KY tersebut terdiri atas unsure mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan

anggota masyarakat. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh anggota Komisi Yudisial.

Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR, untuk masa

jabatan 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan untuk

setiap lowongan keanggotaan KY, oleh DPR diusulkan 3 orang.99

Pasal 27 UU Komisi Yudisial, menetukan bahwa untuk dapat menjadi anggota KY harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Warga Negara Indonesia, (2) bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, (3) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi

68 (enam puluh delapan) tahun, (4) mempunyai pengalaman dibidang hukum paling singkat

97 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 105-106.

98 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 109.

99 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 109.

Page 65: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

53

15 (lima belas) tahun, (5) memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, (6) sehat jasmani

dan rohani, (7) tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, dan

(8) melaporkan daftar kekayaan.100

Selain persyaratan tersebut juga melakukan pendaftaran dan administrasi serta seleksi

kualitas dan integritas calon anggota KY oleh panitia seleksi yang dibentuk Presiden. Agar

anggota Komisi Yudisial menjalankan fungsinya secara jujur dan bai, maka anggota Komisi

Yudisial dilarang merangkap menjadi: (1) pejabat Negara atau penyelenggara Negara

menurut peraturan perundang-undangan, (2) hakim, (3) advokat, (4) notaries dan/atau Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT), (5) pengusaha, pengurus, atau karyawan Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) atau badan usaha swasta, (6) pegawai negeri, atau (7) pengurus partai

politik.101

Proses pemberhentian dengan hormat keanggotaan Komisi Yudisial dari jabatannya

dilakukan Presiden atas usul Komisi Yudisial apabila: (1) meninggal dunia, (2) permintaan

sendiri, (3) sakit jasmani atau rohani terus menerus, atau (4) berakhir masa jabatannya.

Sedangkan pemberhentian tidak dengan hormat keanggotaan Komisi Yudisial dari

jabatannya dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul Komisi Yudisial

karena: (1) melanggar sumpah jabatan, (2) dijatuhi hukuman pidana karena bersalah

melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, (3) melakukan perbuatan tercela, (4) terus-menerus melalaikan

100 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 109- 110.

101 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 110.

Page 66: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

54

kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya, atau (5) melanggar larangan rangkap

jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.102

Pengaturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial

merupakan hal penting, setidaknya karena dua alasan. Pertama, Komisi Yudisial memiliki

fungsi yang membutuhkan kualitas anggota yang baik, terutama integritas yang kokoh. Hal

ini disebabkan untuk dapat melakukan pengawasan dan rekruitmen Hakim Agung dengan

baik, anggota Komisi Yudisial harus mempunyai kualitas dan integritas yang tidak

meragukan. Kedua, konstitusi menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri. Agar

dapat mandiri setidaknya pihak yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan

memberhentikan adalah pihak yang dapat menjamin kemandirian tersebut. Persyaratan dan

pemberhentian diatur secara ketat dan mekanisme untuk mengangkat dan

memberhentikannya dilakukan dengan memenuhi prinsip transparansi, partisipasi,

akuntabilitasi, dan sebagainya.103

Perekrutan hakim, khususnya hakim agung, akan selalu mengundang pemegang

kekuasaan politik ikut serta di dalamnya. Kekuasaan eksekutif – dalam hal ini Presiden – dan

kekuasaan legislatif – dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – selalu berlomba-

lomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat mendudukkan orang-

orang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingan-

kepentingannya di kemudian hari. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kekuasaan

102 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 110-111.

103 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan

Berwibawa, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Cet. Pertama, hlm. 95.

Page 67: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

55

kehakiman dari beberapa persoalan tersebut, berbagai lembaga pernah mewacanakannya

kepada publik di Indonesia.104

1. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH)

Perlunya suatu lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman sesungguhnya bukan merupakan gagasan yang benar-benar

baru di Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan pembahasan Rancangan Undang-

Undang (RUU) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sempat

diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim

(MPPH). Majelis ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil

keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan

pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim,

yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman. Akan tetapi,

gagasan tersebut tidak menjadi kenyataan, karena setelah disahkan menjadi Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, rumusan

MPPH tidak muncul dalam satu pasal pun.105

2. Dewan Kehormatan Hakim (DKH)

Gagasan untuk membentuk lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tidak pernah padam. Gagasan kembali muncul dan

kali ini memperoleh akomodasi yang cukup dan memberikan harapan ketika Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disahkan. Dalam Penjelasan

104

Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 158.

105 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 158-159.

Page 68: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

56

Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut: “Untuk

meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan

agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh

masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku

hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta

menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim”.106

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berisi beberapa ketentuan yang sangat progresif

apabila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya.

Undang-undang ini sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran bahwa persoalan

pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi

peluang bagi kekuasaan (eksekutif) melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta

berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif dalam proses peradilan.107

Susunan kelembagaan baru Komisi Yudisial terbagi menjadi dua bagian. Pertama, unsur

Anggota Komisi Yudisial yang berjumlah tujuh orang yaitu Ketua (Prof. Dr. H. Eman

Suparman, S.H., M.H.), Wakil Ketua (H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum.), Ketua Bidang

Rekrutmen Hakim (Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.), Ketua Bidang Pengawas

Hakim dan Investigasi (Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.), Ketua Bidang Pencegahan dan

Pelayanan Masyarakat (H. Abbas Said, S.H., M.H.), Ketua Bidang Sumber Daya Manusia,

Penelitian, dan Pengembangan (Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum.), dan Ketua Hubungan

Antar Lembaga (Dr. Ibrahim, S.H., LL.M.). Anggota Komisi Yudisial dipilih oleh DPR

melalui mekanisme panitia seleksi yang dibentuk oleh Pemerintah terlebih dahulu. Kedua,

106

Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 159.

107 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 159-160.

Page 69: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

57

unsur Sekretariat Jenderal. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2004 dikatakan

bahwa: (1) Komisi Yudisial dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris

Jenderal, (2) Sekretaris Jederal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil. Adapun tugas

Sekretaris Jenderal sebagaimana Pasal 12 adalah memberikan dukungan teknis

administrative kepada Komisi Yudisial. Dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal

sebagai eleson I dibantu oleh lima orang eleson II dan pejabat lain.108

D. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial.

Suatu Negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, sebagaimana ditentukan dalam

pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, maka

independensi peradilan dan independensi hakim merupakan unsur esensial dari Negara

hukum (rechtsstaat atau rule of law) tersebut. Oleh karena pentingnya prinsip ini, maka

konsepsi pemisahan kekuasaan diantara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta

konsepsi independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang fundamental

sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari konstitusi dan merupakan jiwa dari

konstitusi itu sendiri. Bahkan, ketika UUD 1945 belum diubah pun, dimana ajaran pemisahan

kekuasaan tidak dianut, prinsip kekuasaan dan independensi kekuasaan kehakiman sudah

ditegaskan, dan hal itu sudah tercermin dalam pasal 24 dan penjelasan pasal 24 tersebut.

Sekarang setelah UUD 1945 diubah dari perubahan pertama hingga keempat, dimana

cabang-cabang kekuasaan Negara dipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances, maka

pemisahan kekuasaan yudikatif dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya semakin

diperjelas sehingga independensi kekuasaan kehakiman disamping bersifat fungsional juga

108 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

Page 70: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

58

bersifat struktural yaitu dengan diadopsinya kebijakan satu atap sebagaimana diatur dalam

pasal 13 ayat (1) UUKK.109

KY adalah lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi

(constitutionally based power). Artinya, sebagai lembaga Negara yang bersifat mandiri

dalam tugasnya Komisi Yudisial sebagaimana telah ditentukan dalam UUD, kewenangan

Komisi Yudisial juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan

dan membedakan Komisi Yudisial dari lembaga-lembaga lain. Dengan konstruksi demikian,

KY memiliki legitimasi yuridis amat kuat dalam struktur ketatanegaraan.110

Membicarakan tugas Komisi Yudisial di Indonesia sudah pasti merujuk pada ketentuan

pasal 24B perubahan ketiga UUD 1945. Apalagi sampai saat ini Rancangan Undang-Undang

tentang Komisi Yudisial belum ditetapkan sebagai Undang-undang. Oleh karena itu

Konstitusi menjadi rujukan utama dalam melihat Komisi Yudisial di Indonesia.111

Pasal 24B berisi empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang

mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2)

Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum

serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4)

Susunan, Kedudukan, dan Keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.

109

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 146.

110 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 151.

111 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 177-178.

Page 71: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

59

Dari keempat ketentuan tersebut, ada dua (2) hal yang berkaitan dengan tugas Komisi

Yudisial, yaitu: mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, serta prilaku hakim.112

Walaupun demikian, beberapa peranan Komisi Yudisial RI tersebut diatas khususnya

kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat berkaitan

dengan proses seleksi yang dilembagakan dalam suatu lembaga Negara. Tentu saja ada

dampak positif terhadap hasil kerja yang diharapkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja

maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung yang berkualitas,

potensial, mengenai hukum dan professional. Anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan

terjamin sebab dibentuk berdasarkan UUD dan pelaksana tugasnya dipayungi oleh suatu

Undang-Undang.113

Sebagai lembaga tinggi negara yang lahir dari tuntutan reformasi hukum dan bertugas

untuk melakukan reformasi lembaga peradilan, tentu saja Komisi Yudisial tidak mungkin

membiarkan terus berlangsungnya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan

sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu melakukan

langkah-langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang

sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari

keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.114

112 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 177-178. 113

Harian Kompas 26 Agustus, 2006. 114

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

Page 72: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

60

Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana

dikemukakan di atas merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalah-gunaan

wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para

hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena

itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat

mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan

wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode

etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah

sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung

penegakan hukum di Indonesia.115

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka eksistensi Komisi Yudisial menjadi sesuatu

yang sangat urgen. Namun, meskipun salah satu kewenangannya menjaga kehormatan dan

martabat penegak keadilan, akan tetapi lembaga Komisi Yudisial tersebut tidak dimaksudkan

sebagai lembaga tandingan ataupun berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan

lembaga peradilan. Komisi Yudisisal juga secara khusus bukanlah lembaga pengawas

peradilan arau pengawas kekuasaan peradilan. Selain ini, Komisi Yudisial juga bukanlah

lembaga penegak hukum, melainkan lembaga penegak kode etik dan prilaku yang

menyimpang dati para hakim dari standar kode etik sebelum pelanggaran tersebut

berkembang menjadi pelanggaran hukum (deviation agains legal norms). Namun,

pemeriksaan dan pengawasan yang dilakukan Komisi ini sangat penting untuk mendorong

agar para hakim dapat memperbaiki diri dari prilaku yang tidak terpuji jika ditemukan

115

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

Page 73: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

61

indikasi pelanggaran hukum, Komisi Yudisial juga dapat meneruskannya keaparat penegak

hukum utuk diproses hukum selanjutnya.116

Keberadaan KY sebagai lembaga Negara diatur dalam pasal 24B UUD 1945 yang

menyatakan: “Ayat (1): komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; Ayat (2): Anggota

Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta

memiliki integritas dan kepribadian yang tidak terecela; Ayat (3): Anggota Komisi Yudisial

diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dari DPR; Ayat (4): Susunan,

kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan UU.”117

Berdasarkan ketentuan UUD1945 di atas, setidaknya diatur beberapa hal mengenai KY,

yaitu: (1) Sifat lembaga Negara yang benama KY; (2) Kewenangan Konstitusional KY;

(3)Persyaratan menjadi anggota KY; (4) lembaga Negara yang berwenang mengangkat dan

memberhentikan KY; dan (5) pengturan susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY.118

Selanjutnya sebagai operasionalisasi penjabaran ketentuan pasasl 24B UUD 1945

tersebut di atas disahkan pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi

Yudisial. Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004, menentukan bahwa dalam kedudukannya sebagai

lembaga Negara, KY diberi kewenangan antara lain: (1) Mengusulkan pengangkatan hakim

116

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

117 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 6.

118 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007),Cet. Pertama, hlm. 6.

Page 74: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

62

agung kepada DPR, (2) Menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga

perilaku hakim.119

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KY mempunyai tugas, antara lain: (1)

Melakukan pendaftaran calon hakim agung; (2) Melakukan seleksi calon hakim agung; (3)

Menetapkan hakim agung; dan (4) mengajukan calon hakim agung k‟ DPR. Sedangkan dalm

rangka melakukan kehormatan dalam keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY

mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap prilaku hakim.120

Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam

pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.

Komisi Yudisial memiliki dua wewenang utama yaitu: (1) mengusulkan pengangkatan

Hakim Agung kepada DPR; dan (2) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta

menjaga perilaku hakim. Adapun tugas Komisi Yudisial merupakan pengejawantahan dari

dua wewenang diatas. Sejauh ini Komisi Yudisial telah melaksanakan wewenang pertama

dengan baik. Sampai saat ini Komisi Yudisial telah menyelenggarakan tujuh kali seleksi

Hakim Agung dan sudah menghasilkan 20 Hakim Agung. Saat ini Komisi Yudisial sudah

menyelesaikan penyelenggaraan seleksi HakimAgung pada tahun 2011 dan menyerahkan 18

nama ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. Nama-nama tersebut sudah diserahkan ke

pimpinan DPR pada awal Agustus 2011. Berbeda dengan wewenang pertama, dalam

menyelenggarakan wewenang kedua Komisi Yudisial masih memiliki kendala lantaran

belum ada kesepahaman dengan Mahkamah Agung. Meski demikian, sejak Komisi Yudisial

119 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7.

120 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7.

Page 75: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

63

berdiri telah memanggil 412 hakim untuk dimintai keterangan. Hasilnya sebanyak 123 hakim

direkomendasikan ke Mahkamah Agung untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis,

pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap dari jabatan hakim. Prosentase

rekomendasi tersebut 55% mendapatkan teguran tertulis, 32% direkomendasikan

pemberhentian sementara, dan 13% berupa pemberhentian tetap.121

Dengan adanya Komisi Yudisial ini diharapkan bahwa sistem rule of ethics dapat

dikembangkan secara efektif dalam praktek, disamping sistem rule of law yang perlu terus

dimantapkan peranannya. Jika pelaksanaan tugas Komisi Yudisial dalam menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan prilaku hakim-dalam istilah lain disebut

moralitas- dapat dijalankan dengan baik, maka secara tidak langsung pasti akan berpengaruh

terhadap upaya membangun sistem peradilan yang terpercaya (respectable judiciary) dan

terbebas dari praktek korupsi dan kolusi serta jeratan mafia peradilan. Oleh karena itu,

keberhasilan pelaksanaan tugas Komisi Yudisial itu sendiri juga penting untuk

membersihkan pengadilan dari segala praktek yang kotor.122

121

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 122

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

Page 76: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA

Page 77: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

64

BAB IV

ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM

REFORMASI PERADILAN

A. Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia

yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh

masyarakat itu; berlaku mengikat untuk seluruh anggotanya.” Bila dikaitkan definisi ini

dengan Islam atau Syara‟, maka hukum Islam berarti; seperangkat peraturan berdasarkan

wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan

diyakini mengikat semua orang beragama Islam.” Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan,

hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan

yang mengikat baik di dunia maupun di akhirat. Kata yang “berdasarkan wahyu dan sunnah

Rosul” menjelaskan bahwa peraturan itu digali dari wahyu Allah dan sunnah Rosul; atau

yang populer disebut dengan Syari‟at. Kata tentang tingkah laku manusia mukallaf

mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tingkah laku lahir manusia yang

dikenai hukum.123

Reformasi, barasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi”

berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform”

diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga

berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam

suatu masyarakat atau negara. Reformasi ialah melakukan suatu perubahan dengan

penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, atau kebijakan yang berkaitan dengan

123 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Ciputat Press, 2005), Cet. Pertama, hlm. 41.

Page 78: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

65

hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.

Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau

pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik.124

Sedangkan kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan

“an”. Kata “peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”,

“menyelesaikan”. Dan umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan

pengadilan. Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: (a) Lembaga

hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan), (b) Perkataan yang harus

dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan

hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Jadi peradilan ialah suatu lembaga atau tempat

untuk mencari keadilan.125

Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti

menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena

hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini

kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada

sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim

dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan

menetapkan sesuatu yang belum ada.126

Mengingat reformasi selalu dikaitkan dengan masalah hukum, maka reformasi

sesungguhnya bisa diartikan sebagai sebuah proses perubahan tatanan hukum, dalam hal ini

adalah konstitusi untuk menuju pada tatanan dan kehidupan hukum masyarakat yang lebih

124

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39-40.

125 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 2.

126 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 1-2.

Page 79: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

66

baik, sejahtera, adil, dan makmur. Keadilan yang dimaksud bukan saja dalam struktur tatanan

konstitusinya, akan tetapi keadilan dalam keseluruhan untuk masyarakat. Ini sesuai dengan

Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90 dan Surat An-Nisa‟ ayat 58.127

Di dalam Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90, telah dijelaskan supaya kita berbuat adil.

Diantara Firman Allahdalam Surat An-Nahl ayat 90 yaitu:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi

kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Dan dalam Surat An-Nisa‟ ayat 58 juga disebutkan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya

kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-

baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”128

Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga

unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah

127

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 45.

128 Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980), Cet.

Pertama, hlm. 54.

Page 80: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

67

kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan

(fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan

bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan

mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan

yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de

rechtsstaat).129

Di Era reformasi, tonggak awal kemandirian kekuasaan kehakiman ditandai dengan

adanya amandemen UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan

kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.untuk

mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif tersebut, maka lahirlah

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 14

Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.130

Pada dasarnya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, sebagaimana pasal

3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 disebutkan juga bahwa “segala campur tangan dalam urusan

peradilan oleh pihak lain diluarkekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945”, namun demikian rumusan diatas telah menyatakan bahwa segala campur tangan

dalam urusan peradilan hanya diperbolehkan jika Undang-Undang Dasar 1945 telah

menyatakannya.131

129 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 109. 130

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 185.

131 Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi Yudisial, (Jakarta: Pusat

Data dan Layanan Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm.6.

Page 81: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

68

Regulasi kekuasaan kehakiman pada era reformasi ada beberapa tahap, antara lain; (1)

lahir ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih

dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan itu menjadi dasar yuridis bagi

penyelenggaraan negara agar menjalankan prinsip tata kelola yang baik. (2) UU No. 14

Tahun 1970 dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi UU No.35 Tahun 1999.

UU tersebut lahir setelah berakhirnya masa pemerintahan orde baru. (3) Era kekuasaan

kehakiman dibawah kontrol penuh dari aspek organisasi, finansial, dan administratif oleh

Mahkamah Agung atau kekuasaan kehakiman di satu atap. Masa ini disebut one roof of

justice system. (4)pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dengan eksekutif dari sistem

satu atap yang melahirkan konsep independensi kekuasaan kehakiman. (5) sepuluh tahun

kemudian lahirlah UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang memperkuat

independensi kekuasaan kehakiman, (6) dalam UU tersebut lahirjuga Mahkamah Konstitusi

dan Komisi Yudisial. (7) Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman,

sedangkan Komisi Yudisial menjadi pengawas kekuasaan kehakiman dan menyelenggarakan

seleksi calon hakim agung.132

Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu: Sultah

Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara Undang-undang), Sultah Tasyri‟iyyahh (kekuasaan

pembuatUndang-undang), Sultah Qadhaa‟iyyah (kekuasaan kehakiman), itu belum di

pisashkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berad pada satu tangan yaitu

penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan Negara tersebut

masing-masing melembaga dan mandiri.133

132

Bulletin Komisi Yudisial, Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Tanggal 05 April-Mei 2011. 133

Salim Ali Al-Bahansi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta:Pustaka Al- Kautsar, 1996), Cet. Pertama, hlm. 53.

Page 82: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

69

Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad

(38) ayat 26, yaitu:

“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,

maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya

orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka

melupakan hari perhitungan.”134

Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah (5) ayat 49:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang

diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah

kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang

telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan

Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan

mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya

kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”135

Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang

telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al-Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun

134

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 11-12.

135 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.

12-13.

Page 83: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

70

yang harus ditetapkan, yaitu: (1) Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk

menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri

semua tugas itu, (2) Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan

perselisihan dan memutuskan persengketaan, (3) Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada

qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat

apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki (penolakan) yang berupa penolakan atas

gugatannya, (4) Al-Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, (5) Al-

Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata.136

Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan

adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya:

“Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua

pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu

pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

Kata hakim dalam hadis di atas mengandung pengertian orang berhak mengadili perkara,

dan dalam hadis lain diungkapkan dengan kata qadhi yang artinya hakim atau qadhi. Atas

dasar ayat-ayat dan hadis di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa mengadakan

dan menjalankan lembaga al-Qadha‟ itu hukumnya wajib kifayah (kewajiban kolektif umat

Islam). Eksistensi lembaga peradilan Islam didukung dengan akal. Sebab, ia harus ada untuk

melindungi kepentingan-kepentingan orang yang teraniaya dan untuk menghilangkan

berbagai sengketa yang timbul dalam masyarakat. Dalam sejarah pemerintahan Islam, orang

136

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 13.

Page 84: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

71

yang pertama kali menjabat hakim di Negara Islam adalah Rasulullah SAW, dan beliau

menjalankan fungsi tersebut selaras dengan hukum Tuhan.137

Lembaga peradilan pada masa khulafa al-Rasyidin juga mengikuti prinsip

peradilan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Baru pada zaman kekhalifahan bani

Abbasiyah, dibentuk dewan Madzalim/ Wilayah al-Mazhalim (dewan pemeriksa

pelanggaran) dan selanjutnya dibentuk dewan hisbah (kekuasaan al-Muhtasib). Di dalam

perkembangannya, lembaga peradilan tersebut meliputi Wilayah al-Qadha‟, Wilayah al-

Mazhalim dan Wilayah al-Hisbah. Wilayah al-Qadha‟ adalah lembaga peradilan untuk

memutuskan perkara-perkara awam sesama warganya, baik perdata maupun pidana. Firman

Allah S.W.T. dalam Surat an-Nisa‟ (4) ayat 65:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka

menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka

tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan

mereka menerima dengan sepenuhnya.”138

Menurut ulama fikih wewenang lembaga al-Qadha‟ adalah terdiri atas; (1)

Menyelesaikan setiap perkara yang masuk, baik dengan cara baik maupun dengan

menetapkan ketentuan hukum dalam al-Qur‟an. (2) Menghentikan segala bentuk kedzaliman

di tengah masyarakat. (3) Melaksanakan hudud (jarimah) dan menegakkan hak-hak Allah.

137

http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.

138 http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-

islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.

Page 85: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

72

(4) Memeriksa segala perkara yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap nyawa dan

anggota tubuh manusia. (5) Melindungi hak-hak anak yatim dan orang-orang yang cacat

mental. (6) Mengawasi dan memelihara harta wakaf. (7) Melaksanakan berbagai wasiat. (8)

Bertindak sebagai wali nikah. (9) Mengawasi dan melindungi berbagai kepentingan dan

kewajiban hukum. (10) Melaksanakan dan mengajak berbuat amar ma‟ruf nahi munkar.139

Dalam fiqih Islam ada tiga bentuk wilayah peradialn, yaitu: (1) Wilayah al-Qadha, yaitu

lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga peradilan

biasa, (2) Wilayah al-Mazalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus

penganiayaan pengusa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dan

perangkatnya, (3) Wilayah al-Hisbah, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai

kasus pelanggaran moral dalam rangka amar ma‟ruf nahi munkar.140

Kemudian kata sulthanah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti

pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan,

kerajaan, pemerintahan.141

Menurut Lois Ma‟luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam berarti al-

malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah.142

Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan,

penyesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan

kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya

proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili

139

http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.

140 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 15.

141 Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, (Jajarta: Konstitusi Press, 2006), Cet.

Pertama, hlm. 118. 142

Ahmad Warsono Munawir, kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. Pertama, hlm. 650.

Page 86: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

73

perkara perselisihan, baik yang menyangkutperkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa

Indonesia, istilah ini dikenal dengan nama kekuasaan yudikatif.143

Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan

perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu.

Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-

aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan

pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan

kandungan ayat QS. Al-Mā‟idah: 38. Firman Allah S.W.T. QS. Al-Mā‟idah Ayat 38, antara

lain:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya

(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”144

Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad beliau

dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti

ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih

ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah

satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri

143 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,

hlm. 16567. 144 http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.02, tgl

25 07 2011.

Page 87: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

74

ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah

waris. Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum

ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.

Islam sangat fleksibel dalam masalah yang berkaitan dengan pemerintahan, yaitu bahwa

sebuah Negara Islam dapat memilih untuk menjalankan urusan domestiknya seperti urusan

luar yang mana tidak harus mengadopsi desaindari pemerintah secara mutlak. Hal ini

memungkinkan bagi setiap masyarakat Islam untuk memilih tipe pemerintahan yang cocok

dengan tuntutan mereka. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa penguasa Islam

mendapat kemerdekaan penuhuntuk menjalankan pemerintahan seperti mereka inginkan.

Islam sudah memberikan detailprinsip-prinsip fundamental untuk urusan pemerintahan dalam

sebuah Negara. Hal tersebut tidak berkaitan dengan bentuk pemerintahan seperti apa yang

digunakan oleh suatu Negara, tapi hanya menuntutagar urusan-urusan dalam Negara Islam

harus diatur berdasarkan prinsip fundamental yang berasal dari ajaran al-Qur‟an dan Sunnah

, dan penguasa Islam yang ada di Negara itu tidak boleh mengacuhkan aturan-aturan tersebut

dalam hal apapun.145

Salah satu dari prinsip fundamental tersebut adalah bahwa seorang penguasa

berkawajiban untuk mendirikan sebuah sistem yang dapat menegakkan keadilan diantara

rakyatnyadalam suatu Negara. Seorang penguasa Islam bertanggung jawab terhadap Allah

S.W.T. dan juga rakyatnya untuk mendirikan sebuah aturan peradilan untuk menegakkan

145

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 57.

Page 88: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

75

keadilan. Meskipun begitu Islam tidak menuntut bahwa pemerintahan harus dibagi menjadi

bagian-bagian berbeda, seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif sebagaimana yang

ditemukan dalam system pemerintahan modern. Yang harus dilakukan oleh seorang

pemimpin adalah menyediakan lembaga peradilan agar rakyatnya tidak mendapat tekanan

dalam hal apapun dan dari siapapun dalam menjalankan kehidupan mereka.146

Tujuan utama dalam mendirikan pemerintahan Islam adalah penegakkan keadilan baik

dari peradilan yang terpisah dari pihak eksekutif maupun sebaliknya. Dengan kata lain,

pemerintahan Islam boleh jika penegakkan keadilan ditangani secara kombinasi kekuasaan,

serti eksekutif dan yudikatif yang ditangani satu bagian sebagaimana pada periode awal

pemerintahan Islam dahulu. Pemisahan badan peradilan dari eksekutif tidak menjamin

tegaknya keadilan bagi masyarakat kalau piahak luar selalu ikut campur dalam urusan

peradilan, olehkarenaitu yang penting dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat

berdasarkan keadilan yang sebenarnya.147

Berdasarkan aturan hukum Islam seorang hakim harus mendapatkan kebebasan penuh

dalam membuat putusan, baik dalam system peradilan Islam yang tidak memisahkan antara

yudikatif denga eksekutif maupun yang memisahkan system pemerintahan berdasarkan

eksekutif, legislative, dan yudikatif. Jika prinsip independensi dalam peradilan tidak

ditetapkan, maka hak-hak orang tertindastidak dapat diperolehnya dan tidak ada yang

mendengar keluhan mereka. Hal ini tidak mungkin terlaksana kecuali jika hakim

146

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 57-58.

147 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan

Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 58.

Page 89: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

76

mendapatkan kebebasan penuh untuk memutuskan dan memberikan hukuman kepada pihak

yang salah berdasarkan pemikiran dan pendapat mereka sendiri.148

Selama masa pemerintahan Nabi Muhammad S.A.W. tidak ada konsep pemisahan badan

peradilan dengan eksekutif dalam suatu Negara. Kedua kekuasaan tersebut berada dalam

badan eksekutif. Nabi Muhammad S.A.W. tidak hanya kepala Negara di Madinah tapi juga

bertindak sebagai hakim. Demikian juga pada saat pemerintahan para khalifah, kedua

kekuasaan yaitu yudikatif dan eksekutif berada dalam satu badan, dibawah tanggung jawab

khalifah. Alasan dari hal tersebut adalah karena penguasa pada saat itu sangat dipercaya dan

tidak ada hal yang dapat mempengaruhi mereka. Lebih lagi, hakim pada masa itu sangat

independen dan tidak dapat dipengaruhi bahkan oleh khalifah sekalipun.149

Para hakim dalam masa awal pemerintahan Islam terkenal sangat independen. Mereka

selalu memperlakuan setiap pihak yang beperkara dengan persamaan hak yang absolutdi

muka sidang pengadilan. Para hakim tersebut melakukannya tanpa rasa takut meskipun yang

diadili itu seorang pejabat atau seorang raja melawan rakyat biasa. Literature sejarah Islam

penuh dengan kejadian-kejadian yang menunjukkan derajat independensi yang dimilikioleh

hakim-hakim Islam dalam menjalankan fungsi peradilan mereka.150

Sejarah Islam telah membuktikan bahwa hakim Islam selalu mendapatkan kebebasan

dan otonomi secarah penuh. Pemerintah Islam dalam member otonomi tidak adanya tekanan

dari siapapun sehingga mereka dalam memutus suatu perkara tidak pernah merasa takut

meskipun yang diadili adalah penguasa mereka. Salah satu contoh independensi hakim dalam

148 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan

Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 58. 149

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 58.

150 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan

Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 59.

Page 90: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

77

peradilan Islam adlah sebagai berikut: “suatu ketika istana kerajaan diperluas oleh beberapa

orang pemerintahan dan melanggar batas tanah milik seorang anak yatim piatu yang

berdekatan dengan istana khalifah al-Mu‟tasim. Anak tersebut memperkarakan hal tersebut

itu ke pengadilan al-Meriyah. Hakim memutuskan untuk menyuruh petugas pemerintahan

menghentikan pembangunan istana khalifah sampai ganti rugi kepada anak yatim piatu

tersebut dipenuhi.151

Independensi peradilan sangat dibutuhkan, karena hal ini merupakan salah satu syarat

penting dalam menegakkan keadilan sehingga hakim harus benar-benar bebas untuk

membuat putusan berdasarkan pemehaman dan pemikiran mereka sendiri. Sehubungan

dengan adanya pemisahan badan eksekutif dan yudikatif seperti sekarang ini. Keadaan ini

memang sangat dibutuhkan, karena penguasa dimasa sekarang tidak sejujur penguasa pada

masa awal pemerintahan Islam. Oleh karenanya, perlu lembaga eksekutif dan yukatif

dipisahkan agar adanya Chechk and Balance dalam menjalankan roda pemerintahan Negara.

Memisahkan peradilan dari lembaga eksekutif dengan yudikatif akan menimbulkan kebaikan

sebab akan adanya saling control dalam menjalankan kekuasaan Negara.152

B. Analisa Hukum Islam Terhadap Komisi Yudisial

Komisi Yudisial lahir pada era reformasi saat amandemen ke III Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 bersamaan dengan Dewan

Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi.153

151 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan

Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 59. 152

Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 62.

153 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan

Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm. 64.

Page 91: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

78

Walaupun Komisi Yudisial adalah lembaga baru, namun keberadaannya memperoleh

justifikasi hukum yang sangat kuat karena diatur secara tegas didalam konstitusi/Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kewenangannya diberikan oleh

konstitusi.154

Berkaitan dengan itu, kehadiran komisi Yudisial didalam sistem kekuasaan kehakiman di

Indonesia bukanlah sebagai “aksesoris” demokrasi atau proses penegakkan hukum. Komisi

Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik yang ditujukkan untuk membangun sistem saling

awas dan saling imbang (Check and Balance) didalam struktur kekuasaan, termasuk

didalamnya pada sub sistem kekuasaan kehakiman.155

Kehadiran Komisi Yudisial (KY) yang ditegaskan dalam pasal 24B Ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 (UUD) sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri, selain

mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga diarahkan untuk menciptakan sebuah

lembaga pengawas dalam kekuasaan yudikatif. Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Kewenangan tersebut merupakan “keniscayaan” dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

pasca empat kali perubahan UUD, yang bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat hakim

dalam memerankan fungsinya sebagai bagian dari implementasi penegakkan supremasi

hukum.156

Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa di lepaskan dengan era reformasi yang lahir

semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Mundurnya Presiden Soeharto yang

154 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan

Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm. 64. 155

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm. 64-65.

156 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan

Informasi, 2009), Cet, pertama, hlm. 27.

Page 92: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

79

sudah memimpin selama 32 tahun, pada tahun 1998menandai era reformasi yang berdampak

pada perubahan dalam sistem perpolitikan hingga ketatanegaraan Indonesia. Salah satu

perubahan yang cukup signifikan adalah pada pergeseran sistem kekuasaan kehakiman yang

mendorong terwujudnya reformasi peradilan.157

Beberapa hal yang menjadi fakta keberadaan reformasi peradilan antara lain: Pertama,

pada tahun 1999 lahir Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 14 Tahun1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Melalui ketentuan itu, terdapat perubahan penting dimana kekuasaan kehakiman

menjadi satu atap dalam pengelolaan organisatoris, administratif, dan finansial berada

dibawah kendali Mahkamah Agung. Sebelumnya pengelolaan organisatoris, administratif,

dan financial Pengadilan Agama berada di Departemen Agama, sementara secara organisasi

berada dibawah kendali Mahkaamh Agung. Kedua, system satu atap Mahkamah Agung

dikhawatirkan menjadikan kekuasaan yudikatif tidak terbatas. Hal ini menjadi pemikiran

untuk menelurkan inisiatif bentuk nyata dan reformasi peradilan dengan melahirkan institusi

baru bernama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga, seleksi Hakim Agung

dilakukan lebih terbuka dengan membuka partisipasi dari masyarakat untuk mencalonkan diri

sebagai Hakim Agung. Anggota masyarakat yang memiliki latar belakang hukum dengan

kualifikasi tertentu dapat dicalonkan oleh KY sebagai calon Hakim Agung. Posisi Hakim

Agung menjadi terbuka dan tidak dimonopoli oleh Hakim Karir.158

Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain

mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga

lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang

157

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

158 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

Page 93: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

80

berkembang kemudian, selain istilah qadlā‟ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal

pula istilah Hisbah dan al-Madzalim. Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal

yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang

kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi

kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang

bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa

untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.159

Adapun lembaga sistem peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan

sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di

zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa

ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh

wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi

terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana

diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan

putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika

putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.160

Penegakkan sistem hukum dan keadilan memerlukan pendekatan dengan paradigm baru

yakni dengan pendekatan ilmu Sosial Profetik. Dalam pengertian ini ilmu hukum termasuk

didalamnya. Dalam pandangan Kuntowijoyo, ilmu social profetik memerlukan pijakan etik-

ilmiahnya dalam Al-Qur‟an, Surat Ali Imran Ayat 110:

159

http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.30,tgl 25 07 2011.

160 http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.30, tgl

25 07 2011.

Page 94: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

81

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang

ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab

beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan

kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Dikatakan, bahwa ilmu social profetik ialah humanisasi, liberasi, dan transendensi

(Kuntuwijoyo: Muslim Tanpa Masjid).dalam konteks misi Komisi Yudisial untuk agenda

reformasi peradilan, maka tugasnya mencangkup juga bagaimana bersama komunitas hakim,

melakukan gerakan liberasi atas praktik mafia peradilan itu, yang pada hakekatnya

merupakan proses humanisasi dan transendensi.161

Reformasi peradilan sebagai agenda Komisi Yudisial, memerlukan sejumlah program.

Antara lain, peningkatan kualitas SDM hakim, dan dalam batas wajar peningkatan sarana dan

kesejahteraannya, serta berbagai kesempatanuntuk bisa mengakses berbagai program

peningkatan spekrum intelektualitasnya. Hal inipenting, mengingat, bahwa ia berkewajiban

membuat putusan yang secara sadar dijiwai dengan title/irah-irah: “Demi Keadilan

Berdasarkan Ke-Tuhanan Ynag Maha Esa” yang memuntut kemampuan bertanggung jawab

kepada Sang Khalik. Secara sosial ia juga harus mempertanggung jawabkan putusannya

kepada publik, karena ia pejabat publik, bukan profesi, meskipun dituntut harus

professional.162

161

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai KomisiYudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. Ix.

162 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai KomisiYudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta:

Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. x.

Page 95: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

82

Dunia penegakkan hukum dan keadilan yang berkeadaban, bukan saja menjadi agenda

dan kewajiban serta tanggung jawab insane penegak hukum (hakim) saja. Hakim, bukan elit

sosial yang memiliki privilese yang eksklusif dan bebas kontrol. Mengingat ia adalah pejabat

publik, dimana publik berhak mengawasinya. Ia tidak hidup dan bekerja dalam ruang hampa

kritik dan sapaan. Penegakkan hukum juga menjadi tanggung jawab akademisi dan praktisi

hukum. Saatnya kini para “dewa” akademisi hukum, turun dari kayangan dan mengambil

posisi dan sikap kritis melakukan transendensi ilmu.163

Di dalam Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90, telah dijelaskan supaya kita berbuat adil.

Diantara Firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 90 yaitu:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi

kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan

permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Dan dalam Surat An-Nisa‟ ayat 58 juga disebutkan:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya

163

Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai KomisiYudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. viii.

Page 96: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

83

kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-

baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”164

Dari ayat diatas jelas disebutkan Allah memerintahkan kita untuk selalu menegakkan

keadilan dengan sebenar-benarnya. dan juga Al Quran menegaskan tentang persamaan

dalam hukum, tidak peduli miskin ataupun kaya, saudara, kerabat ataupun bukan, Allah tetap

memerintahkan untuk berbuat adil.

C. Menerangkan Hubungan Antara Rumusan Undang-undang Nomor 22

Tahun 2004 dan Ketatanegaraan Islam.

Sebelum menerangkan Rumusan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, ada baiknya

mengupas tentang Hukum Islam terlebih dahulu. Hukum Islam adalah hukum yang

bersumber pada nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama Islam yaitu

Al-Qur‟an, Al-Hadits, Ijma Ulama, dan Qiyas. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia

hanya sebatas persoalan hukum perdata dan mu‟amalah saja, seperti pernikahan, perceraian,

jula beli, dan sewa gadai. Ruang lingkup tersebut menjadi wewenang Hakim dilingkungan

pengadilan agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara.165

Sementara Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 TentangKomisi Yudisial merupakan

penjabaran dari pasal 24B UUD 1945 dalam Amandemen III pada Tahun 2011. Adapun

bunyi Pasal 24 tersebut adalah:

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim

Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

164

Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980), Cet. Pertama, hlm. 54.

165 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

Page 97: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

84

(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang

hukum serta memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela.

(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-

undang.166

Merujuk kepada pasal diatas maka lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 yang

mengatur Komisi Yudisial secara lebih terinci. Undang-undang tersebut menjadi wujud

kelembagaan Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial tidak terlepas dari konsep Check

and Balance kekuasaan kehakiman. Bahwa kekuasaan apapun termasuk kekuasaan

kehakiman bukan tidak terbatas sehingga dibutuhkan mekanisme pengawasan. Pertimbangan

utama keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal hakim dimaksudkan

sebagai penyeimbang kekuasaan kehakiman karena telah diberikan kekuasaan

independensi/kemandirian yang kuat dalam memerikasa dan memutus perkara.167

Perlu kembali diketahui bahwa ranah Komisi Yudisial adalah pengawasan hakim agar

menjalankan perannya dalam professional dan adil. Komisi Yudisial tidak berhak menilai

bahwa putusan hakim termasuk hakim agama salah maupun benar. Artinya, Komisi Yudisial

tidak akan masuk pada materi perkara namun menilai apakah hakim telah melaksanakan

amanatnya secara baik atau tidak.168

Terkait dengan hal tersebut, Islam juga mengajarkan bahwa kekuasaan bukan tanpa batas.

Batasan-batasan yang digariskan oleh Islam kepada manusia ataupun penguasa adalah

sumber-sumber agama Islam terutaman Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Selain itu, Islam juga

166

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 167

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 168 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

Page 98: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

85

mewajibkan hakim untuk menjaga prinsip keadilan dan kebenaran. Sehingga dapat

disimpulkan tugas Komisi Yudisial agar hakim menjalankan tugasnya dengan adil, jujur,

professional, dan transparan sesuai dengan hukum Islam. 169

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa

hukum di Negara Indonesia ditempatkan pada posisi strategis di dalam konstelasi

ketatanegaraan. Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.170

Upaya kearah independensi kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1)

penataan ulang perundang-undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga

yudisial; dan (3) meningkatkan kualifikasi hakim. Penataan ulang perundang-undangan

sebagai usaha memperkut prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan

tuntutan reformasi dibidang hukum telah dimulai dengan melakukan perubahan terhadap

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Melaluai perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah

diletakkan kebijakan, bahwa segala urusan mengenai peradilan, baik yang menyangkut teknis

169

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 170

Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 1-2.

Page 99: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

86

yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan financial berada dibawah satu atap

dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.171

Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 tersebut pada akhirnya telah

dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahaan UUD 1945

adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegraan yang lebih demokratis. Perubahaan

UUD 1945 sejak reformasi dilakukan sebanyak empat kali, yaitu: (1) Perubahan pertama

disyahkan pada tanggal 19 Oktober 1999; (2) Perubahan kedua disyahkan pada tanggal 18

Agustus 2000; (3) Perubahan ketiga disyahkan pada tanggal 10 November 2001; dan (3)

Perubahan keempat disyahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.172

Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama

lain dalam posisi setara dengan saling melakukan control (cheks and balances), mewujudkan

supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.

Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah Negara demokrasi dan

Negara hukum.173

Secara khusus, hasil amandemen UUD 1945 telah membawa angin perubahan [wind of

change] dalam kehidupan ketatanegaraan terutama dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.

171 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.

172 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 4.

173 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 4-5.

Page 100: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

87

Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi otoritas

Mahkamah Agung [selajutnya disebut MK].174

Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-

kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga

Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut

Komisi Yudisial [selanjutnya disebut KY]. Pembentukan KY merupakan salah satu wujud

nyata dari perlunya keseimbangan dan control diantara lembaga-lembaga Negara.175

Pembentukan KY merupakan penegasan terhadap prinsip Negara hukum dan perlunya

perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi. Selain itu,

pembentukan KY dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian problem yang terjadidalam

praktek ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan

KY merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern

yang muncul pada abad ke-20.176

Kritikan yang sering diajukan kepada konstruksi hukum tentang eksitensi KY tersebut

adalah: (1) KY hanya memiliki wewenang sebatas mengusulkan. Dalam keadaan demikian

KY tidak memiliki wewenang sama sekali seandainya usulan tersebut tidak diindahkan oleh

lembaga Negara lain dalam hal ini DPR; (2) Dalam hal pengawasan terhadap kinerja hakim

apakah tidak akan terjadi tumpang tindih dengan pengawasan yang dilakukan lembaga

Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi sendiri; (3) Bagaimana bentuk instrumen yang

174 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 5.

175 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 5.

176 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 5-6.

Page 101: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

88

dijadikan untuk melakukan pengawasan, siapa yang menjadi subyek pengawasan, dan apa

yang akan dijadikan obyek pengawasan?177

Menimbang pasal 24B ayat (1)UUD 1945 yang menentukan bahwa Komisi Yudisial RI

bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan pengangkatan Hakim Agung,

juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran maetabat, serta perilaku hakim. UUD 1945 juga secara tegas menyatakan bahwa

Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.178

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI yang membuat heboh dan

memunculkan tudingan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak reformis dan permisif terhadap

mafia peradilan adalah putusan judicial review atas beberapa pasal Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI. Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi

itu pada pokoknya ada tiga macam. Pertama, menyatakan bahwa pencangkupan Hakim

Agung dalam arti Hakim didalam Undang-Undang Komisi Yudisial sudah benar dan tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, pencangkupan hakim konstitusi dalam arti hakim

yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisial RI adlah tidak benar dan bertentangan dengan

UUD 1945. Ketiga, beberapa pasal yang berkaitan dengan materi dan cara pengawasan

hamper seluruhnya dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi RI aehingga secara praktis

sejak saat itu Komisi Yudisial RI tidak dapat melakukan kegiatan pengawasan sebagaimana

digariskan oleh UU No. 22 Tahun 2004.179

177 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7-8.

178 Fajlurrahman, Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,

2007), Cet. Pertama, hlm. 90. 179 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 103.

Page 102: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

89

Pada putusan kelompok ketiga inilah masalahnya muncul. Mahkamah Konstitusi RI

memuat dasar pertimbangan yang terlalu teoritis dengan perspektifnya sendiri, tidak sesuai

dengan latar belakang dan politik hukum yang mengantarkan pencantuman Komisi Yudisial

RI sebagai salah satu lembaga didalam UUD 1945. Secara garis besar, minimal ada dua

alasan Mahkamah Konstitusi RI ketika memotong wewenang-wewenang Komisi Yudisial RI

yang telah dimuat didalam UU No. 22 Tahun 2004. Pertama, Mahkamah Konstitusi RI

menyatakan bahwa sebagai lembaga Negara Komisi Yudisial RI hanyalah supporting

institutions atau auxiliary, bukan lembaga Negara yang sejajar dengan lembaga Negara

lainnya yang dapat melakukan fungsi checks and balance. Oleh sebab itu Komisi Yudisial

tidak dapat melakukan pengawasan dengan cara menyejajarkan dirinya dengan lembaga lain

seperti Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI. Kedua, ukuran dalam menilai

kehormatan dan keluhuran martabat hakim sebagai pedoman pengawasan oleh Komisi

Yudisial seharusnya dirumuskan lebih dulu didalam Undang-Undang Komisi Yudisial.

Dengan begitu, terdapat batasan yang jelas tentang ruang lingkup tugas Komisi Yudisial RI

yang dapat dijadikan pegangan yang pasti sehingga dapat dihindari adanya kerancuan.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi membatalkan wewenang-

wewenang KomisiYudisial RI karena ada tumpang tindih pengawasan antara yang dilakukan

oleh Mahkamah Agung RI dan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial RI yang masing-

masing dimuat didalam Undang-undangnya sendiri.180

Adapun tentang alasan pertama, bahwa Komisi Yudisial RI hanya lembaga pembantu dan

tak sejajar dengan lembaga Negara yang lain, hal itu memang benar menurut teori dan

perspektif tertentu dalam studi ketatanegaraan lebih-lebih jika dikaitkan dengan fungsi

Komisi Yudisial RI dalam bidang kekuasaan kehakiman yang memang bersifat membantu.

180 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 104.

Page 103: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

90

Tetapi sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim-hakim dilembaga yudikatif pasal

24B ayat (1), Komisi Yudisial RI itu bersifat mandiri dan tidak lebih rendah dari Mahkamah

Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi RI. Kalau ditelusuri dari latar belakang

pembentukan Komisi Yudisial RI, para pembentuk (pengamandemen) UUD, seperti termuat

didalam kesaksian-kesaksian dipersidangan dari risalah-risalah PAH I MPR, secara tegas

telah menyatakan bahwa Komsi Yudisial RI dibentuk untuk mengawasi hakimkarena

pengawasan yang ada sebelumya tidak mampu mengatasi judicial corruption. Jadi

pembentukan UUD tidak mempersoalkan posisi Komisi Yudisial RI sebagai lembaga utama

atau pembantu, namun member tekanan pada fungsinya. Tanpa mempersoalkan fungsi dan

kesetaraan strukturnya, pembuat UUD telah dengan nyata menunjuk Komisi Yudisial RI

sebagai pengawas hakim yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada Undang-

Undang.181

Selanjutnya, alasan yang kedua apa yang ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah

kerancuan Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang lain. Kalau benar ini yang

menjadi alasannya, maka keputusan Mahkamah Konstitusi itu melampauivatas alias tidak

benar. Sebab, perbenturan isisatu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lainnya itu

tidak dapat diselesaikan atau diputus dengan judicial review. Judicial review oleh Mahkamah

Konstitusi itu hanya dapat dilakukan jika ada pertentangan isi Undang-Undang dengan UUD.

Kalau pertentangan yang terjadi adalah antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang

yang lainnya maka penyelesaiannya melalui legislative review, bukan dengan judicial

review.182

181

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 104. 182 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 104.

Page 104: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

91

Adapun dalam sistem ketatanegaraan Islam, kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan

atau kehakiman yakni As-sulthah AL-qadhaaiyyah yang secara terminologi, berarti

kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak

penyusunan sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang

menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal

dengan kekuasaan yudikatif.183

As-sulthah AL-qadhaaiyyah adalah salah satu dari tiga kekuasaan yang dimiliki suatu

Negara. Dua kekuasaan lainnya ialah kekuasaan memuat Undang-undang (as-sulthah at-

tasyri‟iyyah atau kekuasaan legislatif) dan kekuasaan melaksanakan Undang-undang (as-

sulthah at-tanfiziyyah atau kekuasaan eksekutif). Secara garis besar tugas dan wewenang As-

sulthah AL-qadhaaiyyah terbagi tiga: (1) untuk menjamin pelaksanaan Undang-undang oleh

pihak eksekutif, (2) untuk mengontrol atau mengawasi fungsi dan pelaksanaan kekuasaan

legislatif, (3) untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai persoalan hukum dan perselisihan

yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya.184

Dalam sejarah peradilan Islam, terdapat beberapa bentuk kekuasaan kehakiman, baik

dilihat dari sudut hirarki maupun sumbernya. Bentuk-bentuk kekuasaan ini dari satu

pemerintah ke pemerintah yang lain mengalami beberapa pembaruan atau perubahan, yang

semula disatukan dengan kekuasaan eksekutif, kemudian dipisahkan menjadi lembaga

tersendiri. Yang semula memiliki kewenangan yang terbatas (yaitu pada masalah-masalah

183

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 16567.

184 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,

hlm. 1656.

Page 105: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

92

keperdataan), berubah menjadi lebih luas, yakni menyangkut perdata dan pidana (untuk

pribumi dan non-pribumi, untuk orang Islam dan non-muslim).185

Pada masa Abbasiyah dibentuk lembaga baru yang disebut wilayah al-mazalim

(kekuasaan pidana dari kalangan penguasa dan kerabatnya) dan wilayah al-hisbah

(kekuasaan peradilan untuk bidang moral dan akhlak). Pembaharuan yang paling tampak

memberikan pengaruh luas kepada Negara-negara Islam berikutnya, terjadi pada masa Turki

Utsmani. Pada masa ini bentuk kekuasaan peradilan dibedakan antara sebelum masa

Tanzimat (masa penyusunan Undang-undang baru yang bersumber dari hukum Barat) tahun

1299-1839 dan masa setelah Tanzimat (1840-1924).186

Pada masa sebelum Tanzimat, kekuasaan peradilan memiliki tingkatan sebagai berikut:

(1) Mahkamah al-Isti‟naf al-U‟luya (Mahkamah Agung), yang kewenangannya dibatasi oleh

kekuasaan Sultan. (2) Mahkamah at-Tamyiz atau an-Naqd wa al-Ibram (Mahkamah Kasasi),

yang kewenangannya mengkaji atau meneliti hukum-hukum produk Mahkamah al-Isti‟naf

(Mahkamah Banding). (3) Mahkamah al-Isti‟naf, yang kewenangannya meneliti berbagai

masalah peradilan agar sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. (4) Mahkamah al-Jaza‟

(Peradilan Pidana), yang kewenangannya untuk menyelesaikan perkara pidana. (5)

Mahkamah al-Huquq (Peradilan Perdata), yang kewenangannya untuk menyelesaikan

perkara perdata.187

Pada masa setelah Tanzimat bentuk-bentuk kekuasaan peradilan di Turki mengalami

perubahan dangan istilah atau nama-nama yang berbeda. (1) al-Qada‟ al-Milli, yaitu

185 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,

hlm. 1656. 186

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 1657.

187 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,

hlm. 1657.

Page 106: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

93

peradilan untuk mengadili orang-orang non-Islam, sumber hukumnyaadalah Undang-undang

agama masing-masing. (2) al-Qada‟ al-Qansuli, yaitu peradilan unutk mengadili perkara

orang-orang non-Turki, sumber hukumnya adlah Undang-undang Negara masing-masing. (3)

al-Qada‟ Mahkamah Jaza‟ al-Jinayyah, yaitu peradilan untuk mengadili perkara pidana,

sumber hukumnya adalah Undang-undang Eropa. (4) al-Qada‟ Mahkamah al-Huquq, yaitu

peradilan untuk mengadili perkara perdata, sumber hukumnya adalah Majallah al-Ahkam al-

Adaliyyah. (5) al-Qada‟ asy-Syar‟I, yaitu peradilan untuk mengadili perkara yang berkaitan

dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah umat Islam, sumber hukumnya ialah kitab-kitab fiqih

Islam. Di Mesir, selain peradilan asy-Syar‟I, al-Milli, dan al-Qansuli, ada peradilan lainnya,

yaitu peradilan campuran yang sumber hukumnya adalah Undang-undang asing dan

peradilan ahli (peradilan adat) yang sumber hukumnya adalah Undang-Undang Prancis.188

Berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang dijadikan acuan dalam peradilan-peradilan

tersebut, para ahli peradilan membagi sumber hukum secara garis besarnya menjadi dua.

Pertama, peradilan yang bersumber padakepada tradisi masyarakat dan „urf (adat kebiasaan)

jahiliyah serta perundang-undangan buatan manusia (al-Qawanin al-Wad‟iyyah al-

Basyariyah) yang disebut al-Qada‟ al-Jahilli. Kedua, peradilan yang bersumber dari Allah

S.W.T. dan Rasulullah S.A.W. yang disebut al-Qada‟ asy-Syar‟I. peradilan yang kedua ini

ada dua macam, yaitu (1) peradilan at-Tahkim (arbitrase), seperti untuk menyelesaikan

masalah syikak (perselisihan suami istri yang sudah memuncak); dan (2) peradilan al-„Adi

(peradilan biasa) dengan berbagai bentuknya.189

188

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 1568.

189 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,

hlm. 1657.

Page 107: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

94

Adapun dilihat dari sistem ketatanegaraan, tidak ada bedanya antara sistem

ketatanegaraan di Indonesia dengan sistem ketatanegaraan didalam sistem kekuasaan Islam.

Dimana di Indonesia mempunyai sistem ketatanegaraan selain yudikatif juga ada eksekutif

dan legislatif yang mana kedudukan diantara lembaga-lembaga ini sejajar didalam

pemerintahan, begitupun dengan ketatanegaraan Islam selain as-Sulthah al-Qadhaaiyyah

(yudikatif), sistem kekuasaan Islam juga memiliki as-Sulthah at-Tasyri‟iyyah (kekuasaan

legislatif) dan as-Sulthah at-Tanfiziyyah (kekuasaan eksekutif). Yang mana dari semua

lembaga ini sudah mempunyai tugas yang satu dengan yang lain saling melengkapi.190

Jadi jika Komisi Yudisial (lembaga yudikatif) ditinjau dalam ketatanegaraan Islam,

dilihat itu sama halnya dengan as-Sulthah al-Qadhaaiyyah. Yang mana Komisi Yudisial

adalah salah satu dari lembaga yudikatif di Indonesia sedangkan as-Sulthah al-Qadhaaiyyah

adalah lembaga yudikatif, dalam konteks Islam walaupun secara kedudukan as-Sulthah al-

Qadhaaiyyah lebih besar tingkatannya dari pada Komisi Yudisial dikarenakan as-Sulthah al-

Qadhaaiyyah adalah lembaga tertinggi didalam yudikatif Islam sedangkan Komisi Yudisial

hanya salah satu dari pada lembaga yudikatif yang ada di Indonesia.191

190

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 1658.

191 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,

hlm. 1658. s

Page 108: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA

Page 109: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Sebenarnya konsep peradilan dalam hukum Islam itu sudah jauh berbeda dengan masa

sekarang. Pada masa Islam dahulu semua peradilan atau kekuasaan yudikatif belum di

pisahkan dan semua kendali dari masalah peradilan itu ditangani oleh Rasulullah atau

para sahabatnya (khulafah al-rasyidun). Kemudian barulah pada masa Abbasiyah,

kekuasaan yudikatif mengalami perkembangan. Pada saat itu sudah adanya

perkembangan menyangkut kekuasaan kehakiman. Kemudian pengawasan lembaga

peradilan di sebut wilayatul madzalim. Wilayatul madzalim ini mempunyai peran untuk

menangani masalah-masalah atau perkara-perkara di peradilan umum. Adapun

kewenangan lainnya adalah mengangkat hakim-hakim yang akan ditetapkan diseluruh

provinsi.

2. Kemudian konsep reformasi peradilan di Indonesia tersebut tidak terlepas dari asas

kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka. Menurut Bagir Manan, terkandung tiga

unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah

kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan

(fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna

larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu

dimungkinkan mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan

Page 110: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

96

lembaga peradilan yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara

berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat). Kemudian konsep reformasi ketatanegaraan di

Indonesia juga tidak terlepas dari konsep trias politika (pemisahan kekuasaan) yaitu

eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Yang artinya adanya pemisahan kekuasan antara

Pemerintah yang tidak boleh mencampuri urusan dengan kekuasan yudikatif.

3. Selanjutnya pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial bahwa suatu

lembaga peradilan merupakan sesuatu yang sangat urgen bagi tegaknya keadilan di

masyarakat. Hukum Islam memandang peran Komisi Yudisial yang mengawasi hakim-

hakim agung adalah sebuah kewajiban. Karena jika tidak adanya suatu lembaga

pengawas (KY) maka dunia akan kacau balau, keadilan di dalam Negara sudah tidak ada,

dan mafia peradilan akan semakin menjadi.

B. Saran

Setelah menguraikan beberapa kesimpulan, maka penulis ingin memberikan beberapa

saran sebagai masukan atau sebagai bahan pertimbangan, adapun saran penulis antara lain:

1. Untuk Komisi Yudisial, diharapkan dapat memberikan sanksi yang setimpal bagi Hakim-

hakim Agung yang bekerja diluar koridornya, kemudian sebagai lembaga peradilan yang

masih baru Komisi Yudisial diharapkan dapat melaksanakan perannya sebagai lembaga

pengawas dengan sebaik-baiknya.

2. Untuk para Hakim-hakim Agung, diharapkan dapat lebih menggunakan hati nuraninya

dalam memutus suatu perkara hukum, jangan memihak kepada siapapun, dan berusahalah

untuk menggunakan rasa keadilan sesama umat.

Page 111: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

97

3. Untuk akademis dan masyarakat, diharapkan mampu memilah dan menimbang mana

yang baik dan mana yang buruk. Kemudian jika adanya suatu kemunkaran terhadap suatu

lembaga peradilan, hendaklah mencegah kemunkaran itu terjadi.

Page 112: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

98

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟an nul Karim

Abdullah, Taufik, Refleksi Agenda Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, Cet. Pertama

Al-Bahansi, Salim Ali, Wawasan Sistam Politik Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996, Cet.

Pertama

Aliyah, Samir, Sistem Pemerintahan, Peradilan, dan Adat dalam Islam, Jakarta, Khalifah

Pustaka Al-Kautsar Grup, 2004, Cet. Pertama

Al-Mawardi, Imam, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara

Islam, Jakarta, Darul Falah, 2000, Cet. Pertama

Arifin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta,

Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama

Asshidiqie, Jimly dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia

Kontemporer, Jakarta, The Biografi Institute, 2007, Cet. Pertama

Asshidiqie, Jimly, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Jakarta, UI

Press, 2005, Cet. Pertama

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1996, Cet.

Pertama

Djalil, Basiq, Peradilan Islam, Jakarta, UIN Syarifhidayatullah, 2007, Cet. Pertama

Fadjar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press, 2006,

Cet. Pertama

Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Ciputat Press, 2005, Cet. Pertama

Hasan, Cik Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung, PT. Remaja

Rosdakarya, 1977, Cet. Pertama

Page 113: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

99

Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT.

Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Kedua

Jurdi, Fajlurrahman, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim,

Jakarta, PUKAP, 2007, Cet. Pertama

Kansil, C.S.T. Kansil Christine S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, Jakarta, Rineka

Cipta, 2000, Cet. Ketiga

Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta, Komisi

Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama

Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia,

Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007, Cet. Pertama

Komisi Yudisial RI, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, Jakarta,

Komisi Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama

Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial, Jakarta, Komisi Yudisial Republik

Indonesia, 2008, Cet. Pertama

Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, Jakarta, Pusat Data Pelayanan

Informasi, 2009, Cet. Pertama

Koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet.

Pertama

Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta,

LP3ES, 2007, Cet. Pertama

Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem

Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama

Page 114: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

100

Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri‟ Al-Islami, Semarang, Darul Ikhya Indonesia,

1980, Cet. Pertama

Munawir, Ahmad Warsono, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya,

Pustaka Progresif, 1997, Cet. Pertama

Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.

Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, Yogyakarta, FH UIIPERSS, 2007,

Cet. Pertama

Skripsi oleh Urwatul Wutsqah, Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No

005/PUU-IV/2006 (Tinjauan Ketatanegaraan Islam), Jakarta, 1429H/2008M

Syahuri, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002,

Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, Cet. Pertama

Thohari, Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta, Elsam-Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2004, Cet. Pertama

Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta, Pradnya Paramita, 1978, Cet. Ketiga

Triwulan, Titik Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga

Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2007, Cet. Pertama

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 115: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

101

Zulkarnain, dan Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang

Bersih dan Berwibawa, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. Pertama

BULETIN DAN HARIAN KABAR

Bulletin Komisi Yudisial, Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Tanggal 05 April-

Mei 2011

Harian Kompas 26 Agustus, 2006

INTERNET

http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.02, tgl 25

07 2011.

http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-

islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.

http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/peradilan-dalam-islam.html, jam 13. 25, tgl 11 11 2011.

http://www.elsam.or.id/downloads/1296448648_Komisiyudisial_dan_Reformasi_Peradilan, jam

23.00, tgl 09 07 2011.

http://www.al-ikhwan.net/syarah-ushul-isyrin-imam-syahid-hasan-al-banna-islam-adalah-agama-

universal-2-3613/, jam 06.18, tgl 21 09 2011.

Page 116: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

LAMPIRAN

Pertanyaan Wawancara:

1. Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia?

2. Bagaimana bentuk rumusan UU No. 22 Tahun 2004?

3. Bagaimana awal pembentukan Komisi Yudisial sebelum dan sesudah reformasi?

4. Bagaimana susunan pelembagaan di Komisi Yudisial tersebut?

5. Sejauh mana Komisi Yudisial menjalankan tugas dan fungsinya di lingkungan peradilan?

Jawaban Wawancara:

1) Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa di lepaskan dengan era reformasi yang lahir

semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Mundurnya Presiden Soeharto

yang sudah memimpin selama 32 tahun, pada tahun 1998menandai era reformasi yang

berdampak pada perubahan dalam sistem perpolitikan hingga ketatanegaraan Indonesia.

Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah pada pergeseran sistem kekuasaan

kehakiman yang mendorong terwujudnya reformasi peradilan. Beberapa hal yang

menjadi fakta keberadaan reformasi peradilan antara lain: Pertama, pada tahun 1999 lahir

Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor

14 Tahun1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Melalui

ketentuan itu, terdapat perubahan penting dimana kekuasaan kehakiman menjadi satu

atap dalam pengelolaan organisatoris, administratif, dan finansial berada dibawah kendali

Mahkamah Agung. Sebelumnya pengelolaan organisatoris, administratif, dan financial

Pengadilan Agama berada di Departemen Agama, sementara secara organisasi berada

dibawah kendali Mahkaamh Agung. Kedua, system satu atap Mahkamah Agung

Page 117: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

2) dikhawatirkan menjadikan kekuasaan yudikatif tidak terbatas. Hal ini menjadi pemikiran

untuk menelurkan inisiatif bentuk nyata dan reformasi peradilan dengan melahirkan

institusi baru bernama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga, seleksi Hakim

Agung dilakukan lebih terbuka dengan membuka partisipasi dari masyarakat untuk

mencalonkan diri sebagai Hakim Agung. Anggota masyarakat yang memiliki latar

belakang hukum dengan kualifikasi tertentu dapat dicalonkan oleh KY sebagai calon

Hakim Agung. Posisi Hakim Agung menjadi terbuka dan tidak dimonopoli oleh Hakim

Karir.

3) Sebelum menerangkan Rumusan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, ada baiknya

mengupas tentang Hukum Islam terlebih dahulu. Hukum Islam adalah hukum yang

bersumber pada nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama Islam

yaitu Al-Qur‟an, Al-Hadits, Ijma Ulama, dan Qiyas. Hukum Islam yang berlaku di

Indonesia hanya sebatas persoalan hukum perdata dan mu‟amalah saja, seperti

pernikahan, perceraian, jula beli, dan sewa gadai. Ruang lingkup tersebut menjadi

wewenang Hakim dilingkungan pengadilan agama dalam memeriksa dan memutuskan

perkara. Sementara Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 TentangKomisi Yudisial

merupakan penjabaran dari pasal 24B UUD 1945 dalam Amandemen III pada Tahun

2011. Adapun bunyi Pasal 24 tersebut adalah: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang

berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain

dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman

dibidang hukum serta memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3)

Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan

Page 118: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

4) Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial

diatur dengan Undang-undang. Merujuk kepada pasal diatas maka lahirlah Undang-

undang Nomor 22 Tahun 2004 yang mengatur Komisi Yudisial secara lebih terinci.

Undang-undang tersebut menjadi wujud kelembagaan Komisi Yudisial. Keberadaan

Komisi Yudisial tidak terlepas dari konsep Check and Balance kekuasaan kehakiman.

Bahwa kekuasaan apapun termasuk kekuasaan kehakiman bukan tidak terbatas sehingga

dibutuhkan mekanisme pengawasan. Pertimbangan utama keberadaan Komisi Yudisial

sebagai lembaga pengawas eksternal hakim dimaksudkan sebagai penyeimbang

kekuasaan kehakiman karena telah diberikan kekuasaan independensi/kemandirian yang

kuat dalam memerikasa dan memutus perkara. Perlu kembali diketahui bahwa ranah

Komisi Yudisial adalah pengawasan hakim agar menjalankan perannya dalam

professional dan adil. Komisi Yudisial tidak berhak menilai bahwa putusan hakim

termasuk hakim agama salah maupun benar. Artinya, Komisi Yudisial tidak akan masuk

pada materi perkara namun menilai apakah hakim telah melaksanakan amanatnya secara

baik atau tidak. Terkait dengan hal tersebut, Islam juga mengajarkan bahwa kekuasaan

bukan tanpa batas. Batasan-batasan yang digariskan oleh Islam kepada manusia ataupun

penguasa adalah sumber-sumber agama Islam terutaman Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Selain

itu, Islam juga mewajibkan hakim untuk menjaga prinsip keadilan dan kebenaran.

Sehingga dapat disimpulkan tugas Komisi Yudisial agar hakim menjalankan tugasnya

dengan adil, jujur, professional, dan transparan sesuai dengan hukum Islam.

5) Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial Berawal pada tahun 1968 muncul ide

pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk

memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan

Page 119: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

6) atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,

pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak

berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru

kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan

solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan

pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan

peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan

tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas

amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan

kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial

dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim

agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya,

meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang

Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki

kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

005/PUU-IV/2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006.

Page 120: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

7) Susunan kelembagaan baru Komisi Yudisial terbagi menjadi dua bagian. Pertama, unsur

Anggota Komisi Yudisial yang berjumlah tujuh orang yaitu Ketua (Prof. Dr. H. Eman

Suparman, S.H., M.H.), Wakil Ketua (H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum.), Ketua

Bidang Rekrutmen Hakim (Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.), Ketua Bidang

Pengawas Hakim dan Investigasi (Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.), Ketua Bidang

Pencegahan dan Pelayanan Masyarakat (H. Abbas Said, S.H., M.H.), Ketua Bidang

Sumber Daya Manusia, Penelitian, dan Pengembangan (Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H.,

M.Hum.), dan Ketua Hubungan Antar Lembaga (Dr. Ibrahim, S.H., LL.M.). Anggota

Komisi Yudisial dipilih oleh DPR melalui mekanisme panitia seleksi yang dibentuk oleh

Pemerintah terlebih dahulu. Kedua, unsure Sekretariat Jenderal. Hal ini sesuai dengan

Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa: (1) Komisi Yudisial dibantu oleh

Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, (2) Sekretaris Jederal dijabat

oleh pejabat pegawai negeri sipil. Adapun tugas Sekretaris Jenderal sebagaimana Pasal

12 adalah memberikan dukungan teknis administrative kepada Komisi Yudisial. Dalam

menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal sebagai eleson I dibantu oleh lima orang

eleson II dan pejabat lain.

8) Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam

pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.

Komisi Yudisial memiliki dua wewenang utama yaitu: (1) mengusulkan pengangkatan

Hakim Agung kepada DPR; dan (2) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat

serta menjaga perilaku hakim. Adapun tugas Komisi Yudisial merupakan

pengejawantahan dari dua wewenang diatas. Sejauh ini Komisi Yudisial telah

melaksanakan wewenang pertama dengan baik. Sampai saat ini Komisi Yudisial telah

Page 121: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3024/1... · dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang

9) menyelenggarakan tujuh kali seleksi Hakim Agung dan sudah menghasilkan 20 Hakim

Agung. Saat ini Komisi Yudisial sudah menyelesaikan penyelenggaraan seleksi

HakimAgung pada tahun 2011 dan menyerahkan 18 nama ke DPR untuk dilakukan fit

and proper test. Nama-nama tersebut sudah diserahkan ke pimpinan DPR pada awal

Agustus 2011. Berbeda dengan wewenang pertama, dalam menyelenggarakan wewenang

kedua Komisi Yudisial masih memiliki kendala lantaran belum ada kesepahaman dengan

Mahkamah Agung. Meski demikian, sejak Komisi Yudisial berdiri telah memanggil 412

hakim untuk dimintai keterangan. Hasilnya sebanyak 123 hakim direkomendasikan ke

Mahkamah Agung untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian

sementara, dan pemberhentian tetap dari jabatan hakim. Prosentase rekomendasi tersebut

55% mendapatkan teguran tertulis, 32% direkomendasikan pemberhentian sementara,

dan 13% berupa pemberhentian tetap.

Jakarta, 20 Juli 2011