PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI
INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh:
Tsuaibatul Aliah (107045202136)
JURUSAN SIASAH SAR’IYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA
MENURUT HUKUM ISLAM
Skripsi
Di ajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy)
Oleh :
Tsuaibatul Aliah
NIM : 107045202136
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Asmawi, M.Ag. Dedy Nursamsi, SH, M.Hum.
NIP. 197210101997031008 NIP. 196111011993031002
KONSENTRASI SIYASAH SIYASYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 H/ 1432 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI
INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy) pada Program Studi Siyasah Syar‟iyyah.
Jakarta, 20 September 2011
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. Asmawi, M. Ag
NIP. 197210101997031008
2. Sekretaris : Afwan Faizin, M. Ag
NIP. 197210262003121001
3. Pembimbing I : Dr. Asmawi, M. Ag
NIP. 197210101997031008
4. Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH, M.Hum
NIP. 196111011993031002
5. Penguji I : Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah
NIP. 195812221989031001
6. Penguji II : Afwan Faizin, M. Ag
NIP. 197210262003121001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 September 2011
Tsuaibatul Aliah
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada ALLAH SWT. Yang
telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,
shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Serta keluarganya
dan sahabatnya serta kepada kita semua seluruh umatnya, mudah-mudahan kita semua
mendapatkan syafa‟at beliau dihari akhir nanti. Amin.
Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai Gelar Sarjana Starata Satu
(S1) di perguruan tinggi termaksud di Universitas Islam Negeri “Syarif Hidayatullah” Jakarta
adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itu penulis membuat
skripsi dengan judul: PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI
PERADILAN DI INDONESIA MENURUT HUKUM ISLAM.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi.
Namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan hidayah Nya, kesungguhan dan kerja keras
disertai dukungan dan bantuan dari pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala
kesulitan serta hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini
dapat diselesaikan.
Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis akan mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada yth :
ii
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM. Dekan Fakultas Syari‟ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asmawi, M. Ag, dan Bapak Afwan Faizin, MA. Selaku Ketua Program Studi
dan Sekertaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Asmawi, M. Ag, dan Bapak Dedy Nursyamsi, SH, M. Hum. Selaku Dosen
Pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi, saran dan arahannya dalam
membimbing peulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Teristimewa ucapan terima kasih ini dihanturkan untuk kedua orang tuaku; Ayahanda H.
Akhmad Kabir dan Mamahanda Hj. Mukhlisatul. Ulum. Yang tak henti-hentinya selalu
memberikan dukungan moril, dan do‟anya.
5. Adik-adik, Om, Tante, dan Tunanganku. Yang selalu memberikan dukungan dan
do‟anya.
6. Bapak Nur Habibi Ilya‟ SHI, Mh. Yang selalu memberikan masukkan, saran, dan
bimbingannya dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak/Ibu pimpinan Perpustakaan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya
kepada penulis untuk menunjang penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan.
8. Bapak/Ibu pimpinan Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Komisi Yudisial. Yang
telah memberikan kesempatan dan fasilitasnya kepada penulis untuk menunjang
penelitian dalam mengadakan studi perpustakaan.
iii
9. Bapak Agus sektor 4 (empat) dan Ibu Wati Seksi Humas di Komisi Yudisial. Yang telah
memberikan kesempatan waktu untuk bisa wawancara dalam penambahan data skripsi
penulis.
10. Untuk sahabat-sahabatku di kostan maupun di Luar, Ratna, Ulfa, Ta‟a, Ade, Dewi, Bela,
Uli, Martha, Fiqih, Syifa, Lela, Windy. Yang selalu memberi saran dan dorongannya
yang baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.
11. Untuk Teman-teman seperjuangan di Siyasah Syar‟iyyah (SS) Angkatan 2007 yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Yang banyak sekali saran dan dorongan yang
diberikan baik moril maupun intelektualitas dalam menunjang skripsi.
Semoga amal dan kebaikan mereka senantiasa mendapatkan balasan rahmat dari Allah
S.W.T. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh
dari sempurna, baik dari segi pembahasan persoalan yang ada maupun dipenyajian
materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun
untuk perbaikan skripsi ini. Akhirnya harapan penulis tidak lain adalah agar skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.
Jakarta, 20 September 2011
Penulis,
Tsuaibatul Aliah
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah .......................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penalitian ................................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 8
E. Metode Penelitian ....................................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................................. 11
BAB II PERADILAN DALAM ISLAM
A. Sejarah Peradilan Islam .............................................................................. 13
B. Fungsi Peradilan Islam ............................................................................... 28
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Islam ........................... 31
D. Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam .................................... 32
BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA
A. Reformasi Peradilan di Indonesia................................................................ 35
B. Pembentukan Komisi Yudisial .................................................................... 41
C. Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia ................................................ 50
D. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial .................................................... 57
v
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM
REFORMASI PERADILAN
A. Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan ................................. 64
B. Analisa Hukum Islam Terhadap Komisi Yudisial ....................................... 77
C. Menerangkan hubungan antara rumusan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 dan Ketatanegaraan Islam........................................................ 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 95
B. Saran .......................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 98
LAMPIRAN
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa
hukum di Negara Indonesia ditempatkan pada posisi strategis di dalam konstelasi
ketatanegaraan. Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945.
Upaya kearah independensi kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1)
penataan ulang perundang-undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga
yudisial; dan (3) meningkatkan kualifikasi hakim. Reformasi di bidang hukum yang terjadi
sejak tahun 1998 tersebut pada akhirnya telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD
1945. Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-
kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga
Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut
Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY).1
1 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3-5.
2
Salah satu amanat reformasi adalah amandemen terhadap UUD 1945 yang sudah
demikian rapuh dan tidak lagi mampu menjawab semua persoalan masyarakat. Dan tuntutan
itu termanifestasi dengan amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali yang ternyata telah
mengubah secara serius dan substansial ketatanegaraan Indonesia. Mafia berjalan beriringan
dengan rusaknya moral sebagia besar hakim yang ternyata telah meretakkan sendi
perekonomian bangsa Indonesia. Kita hidup di abad para maling yang bersekongkol dengan
para hakim yang tidak memiliki komitmen moral sedikitpun untuk memberantas seluruh
kejahatan di negeri ini. Pascareformasi, kerusakan moral para pejabat Negara berbarengan
dengan kerusakan moral para hakim yang menjual hukum dengan transaksi ynag semakin
“gila” di pengadilan.mafia peradian adalah bentuk dari resistensi moral yang semakin retak,
hati yang semakin beku dan kepedulian yang semakin meragukan dari sebagian aparatur
hukum kita.
Akibat dari pintalan-pintalan persoalan yang seperti inilah yang menyebabkan Komisi
Yudisial harus ada dan “wajib” diberi kewenangan yang besar untuk mengontrol prilaku
hakim yang nakal dan suka memanipulasi kebenaran. Kewenangan-kewenangan yang
dimiliki oleh Komisi ini harus merepresentasikan sebagai lembaga yang merevitalisasi dan
mengembalikan keborokan moral para hakim yang terlalu jauh melanggar etik hukum dan
mencederai makna kebebasan dan otonomi moral yang dimilikinya. Komisi Yudisial adalah
penjaga sekaligus pemegang urat nadi moral hakim supaya tidak nakal, dan hakim itu bukan
hanya hakim dalam lingkungan pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, sebagaimana
keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa Hakim Konstitusi dan Hakim Agung
3
bukanlah hakim sebagaimana yang disebutkan dalam UUD, tetapi juga adalah Hakim
Konstitusi dan Hakim Agung.
Komisi Yudisial muncul adalah untuk menjaga otonomi moral hakim, mendorong
progresivitas keputusan dari aparat hukum. Aparat hukum diharapkan untuk menjaga moral
para hakim ini, karena hakim dianggap telah terlalu jauh melanggar etika dan moral
individunya. Karena kode etik hakim tidak mampu mengontrol dan mereduksi rusaknya
moral hakim, maka Komisi Yudisial harus menjadi tembok untuk menjaga moral hakim
tersebut.2
Pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan merupakan salah satu
langkah yang perlu ditempuh untuk membangun kembali lembaga peradilan Indonesia.
langkah dan upaya penting yang lain dalam rangka menyinergikan reformasi peradilan di
Indonesia adalah dengan pembentukan sebuah lembaga yang bernama Komisi Yudisial
melalui Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 24B) dan Pengesahan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.3
Dalam konteks inilah, UUD1945 Pasal 24B pada satu sisi memberikan amanat pada
Komisi Yudisial, sebagai komisi yang diberi mandat melakukan seleksi calon hakim agung
dan mengawasi jalannya proses penegakan hukum yang selalu menimbulkan persoalan dalam
pelaksanaannya.
Transformasi dan reformasi peradilan dengan segala dampak positif dan konstruktifnya
bagi penciptaan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan akuntabel, merupakan prasyarat
2 Fajlurrahman, Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,
2007), Cet. Pertama, hlm. 29,105-108. 3 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan
Berwibawa, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Cet. Pertama, hlm. 70-71.
4
tegaknya hukum diatas kepatuhan atas nilai-nilai agama, etika, dan moral. Hanya dengan
peradilan yang seperti ini – yang ini menjadi agenda besar Komisi Yudisial sekarang dan
kedepan- maka korupsi dan illegal logging serta pelanggaran hukum HAM berat akan dapat
diproses melalui peradilan dengan dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, dakwaan,
tuntutan hingga putusan yang bernafas pada hokum progresif, yang memiliki muatan-muatan
moralitas keberpihakan pada rakyat dan penyejahteraan masyarakat, memerangi korupsi dan
menuju pada good governance serta clean government.4
Ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan gagasan kekuasaan yang
merdeka (independent judiciary) tidak melarang adanya peran pihak eksekutif (pemerintah)
dalam perekrutan hakim (agung) dengan syarat-syarat tertentu.
Sementara itu, Deklarasi Universal tentang kemerdekaan (kekuasaan) kehakiman ini pada
prinsipnya tidak melarang adanya keterlibatan pihak kekuasaan pemerintah dalam proses
perekrutan hakim.
Salah satu ketentuan internasional yang memberikan apresiasi terhadap kehadiran Komisi
Yudisail dalam proses perekrutan hakim adalah : Beijing Statement of Principles of the
Independent of the Judiciary in the Law Asia Region.
Beijing Statement of Principles of the Independent of the Judiciary in the Law Asia
Region menggarisbawahi bahwa didalam masyarakat yang mengenal Judicial Service
Commission, pengangkatan hakim-hakim oleh, dengan persetujuan, atau setelah
berkonsultasi terlebih dahulu dengan Judicial Service Commission dianggap sebagai
4 Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia,
2008), Cet. Pertama, hlm. 224-225,237.
5
mekanisme untuk menjamin bahwa hakim-hakim yang terpilih adalah hakim-hakim yang
pantas atau sesuai untuk tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Obyek pertama penelitian ini adalah lembaga yang di Indonesia dikenal dengan nama
Komisi Yudisial. Dewasa ini diskursus tentang Komisi Yudisial diberbagai belahan dunia
masih sangat aktual, karena Komisi Yudisial merupakan kecenderungan (trend) yang terjadi
di abad ke-20 sebagai bagian dari paket reformasi peradilan.5
Dalam Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam salah satu prinsip dasar dari sistem
Negara Islam adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, maka tegaknya keadilan
merupakan suatu kewajiban yang harus diwujudkan didalam kehidupan bernegara, ketentuan
masalah ini telah diatur dalam al-Qur‟an dan Hadits.
Kemudian untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin dicapai tanpa adanya
lembaga peradilan (Yudikatif) yang berfungsi untuk melaksanakan semua ketentuan hukum
yang konsekuen. Karenanya kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem Negara Islam
merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, sejak awal kehadiran Negara
Islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan
hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan tanpa adanya peradilan. Karena
peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa diantara para penduduk.
Peradilan ini adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka
tergolong bangsa-bangsa yang telah maju ataupun belum.didalam peradilan itu terkandung
menyeluruh ma‟ruf dan mencegah munkar, menyampaikan hak kepada yang harus
5 Ahsin, Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 11-14.
6
menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan
perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. apabila
peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu menjadi masyarakat
yang kacau balau.6
Pada masa pemerintahan Rasulullah dan Khulafah rassyidun, kegiatan peradilan itu
dilakukan oleh individu yang secara khusus diserahi kewenangan hukum atau sebagai hakim
untuk penunjukkan Muadz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib untuk bertindak sebagai hakim
di wilayah Yaman pada masa Rasulullah, atau penunjukkan Abu Darda sebagai Hakim
Madinah, Syuaraih untuk wilayah Basrah, dan Abu Musa Al-Asy‟ari untuk daerah Kufa pada
masa Umar bin Khatab. Seiring dengan perkembangan dan semakin kompleksnya kehidupan
manusia, penyerahan kekuasaan kepada individu tertentu untuk melaksanakan tugas
peradilan dianggap tidak lagi memadai.
Dimungkinkan bahwa proses peradilan atau upaya mewujudkan keadilan dan
memberikan perlindungan hukum itu terlaksana dengan baik melalui individu yang diberi
kewenangan hukum, namun aspek efektifitas, spesialisasi, tertib administrasi, dan kepastian
hukum akan lebih memungkinkan jika dilakukan melalui lembaga peradilan. Suatu lembaga
yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan fungsi yudisial. Oleh karena itu, pasca
pemerintahan Rasulullah dan Khulafah rasyidun, pelaksanaan fungsi yudisial itu tidak lagi
dijalankan oleh individu yang secara khusus ditunjuk oleh Khalifah tetapi melalui lembaga
peradilan yang kemudian dikenal dengan nama al-nidham al-madhalim, yakni suatu lembaga
6 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 3.
7
yang bertugas memberikan penerangan dan pembinaan hukum, menegakkan hukum, dan
memutus perkara.7
Dengan adanya Deklarasi Universal, ketentuan internasional (Beijing Statement of
Principles of the Independent of the Judiciary in the Law Asia Region), dan ketetapan dalam
Undang-Undang serta dalam al-Qur‟an tentang lembaga yudikatif ataupun yudisial, maka
penulis memilih judul: “Peran Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan di Indonesia
Menurut Hukum Islam”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Sejauh mengenai isu Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan dapat diidentifikasi
sejumlah masalah yang harus dijawab/diteliti, antara lain, yaitu:
1. Bagaimana konsep Peradilan dalam hukum Islam?
2. Bagaimana konsep Reformasi Peradilan di Indonesia?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial dalam reformasi
Peradilan?
Dengan mengacu kepada identifikasi masalah diatas, penelitian ini menjadikan masalah
yang terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan?.
Dalam studi ini, isu Komisi Yudisial dibatasi pada aspek reformasi Peradilan, yakni
dalam hal ini, yang menjadi fokus kajian ialah UU Komisi Yudisial, UU Peradilan di
Indonesia, dan hukum Islam.
7 Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UIIPERSS, 2007), Cet. Pertama,
hlm. 286-287.
8
C. Tujuan dan Manfaat Penalitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, merumuskan dan menjelaskan tentang
Komisi Yudisial, dan kedua, merumuskan dan menjelaskan tentang bagaimana pandangan
hukum Islam tentang Komisi Yudisial. Secara spesifik, studi ini bertujuan:
a) Menjelaskan konsep Peradilan dalam hukum Islam;
b) Menjelaskan konsep reformasi Peradilan di Indonesia;
c) Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial;
2. Manfaat penelitian
Adapun signifikasi penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi penulis,
pembaca, serta masyarakat tentang peran Komisi Yudisial dalam reformasi
Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.
b) Hasil penelitian ini diharapkan punya nilai signifikan bagi upaya transformasi
hukum Peradilan Islam kedalam tata hukum Peradilan di Indonesia.
c) Hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi Fakultas Syari‟ah dan Hukum pada
umumnya, serta konsentrasi Siyasah Syar‟iyyah pada khususnya, adalah untuk
menambah referensi tentang peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di
Indonesia menurut hukum Islam.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian tentang topik Komisi Yudisial telah dilakukan, baik yang mengkaji
secara spesifik isu tersebut maupun yang menyinggung secara umum dalam tema pokok
9
Komisi Yudisial. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian
tersebut.
Karya Fajlurrahman Jurdi yang berjudul “Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga
Revitalisasi Moral Hakim”. Penelitian ini menjelaskan tentang Negara Hukum Indonesia,
Reformasi parlement Indonesia dan pengaruhnya, otonomi moral hakim Mahkamah Agung
dan kehadiran Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, delegitimasi
atas Komisi Yudisial, menuju revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, dan Komisi
Yudisial atau Mahkamah Yudisial.8
Karya Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan yang berjudul “Komisi
Yudisial Republik Indonesia”. Penelitian ini menjelaskan Komisi Yudisial dalam mosaic
ketatanegataan kita, Komisi Yudisial pengawal reformasi pengadilan, peran hakim Agung
dalam penemuan hukum (Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (Rechtsschepping), hakim
Agung dan penemuan hukum, Komisi Yudisial yang dicita-citakan masyarakat, sinkronisasi
sistem perundang-undangan lembaga peradilan dalam menciptakan peradilan yang lebih
baik.9
Karya Titik Triwulan Tutik yang berjudul “Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang
Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945”. Penelitian ini menjelaskan Upaya kearah independensi
kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1) penataan ulang perundang-
undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga yudisial; dan (3)
8Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,
2007), Cet. Pertama, hlm. i. 9 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta:
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. xiii.
10
meningkatkan kualifikasi hakim. Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998
tersebut pada akhirnya telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-
kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga
Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut
Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY).10
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah studi kepustakaan dengan pendekatan normatif. Adapun
dengan pendekatan normatif diharapkan dapat menemukan data akurat yang dibutuhkan
tentang Komisi Yudisial RI terutama yang berkaitan dengan Undang-Undang Komisi
Yudisial.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Penulis dalam penelitian ini menggunakan tehnik studi dokumenter, yakni tehnik
penelitian dengan penelusuran dokumen, dengan mengadakan kajian, menelaah, dan
menelusuri literature yang berkenaan dengan masalah yaitu berupa buku, majalah, koran,
artikel, dan lain-lain. Dengan metode ini penulis berusaha mengungkap peran Komisi
Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.
Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penelitian, penulis
menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber sebagai berikut: (a) data primer:
data ini dikumpulkan secara langsung dari buku-buku, Undang-undang yang berkaitan,
10
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan REPUBLIK INDONESIA Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm 3-5.
11
al-Qur‟an dan Hadits, dan juga dengan sumber primer masalah yang ingin dibahas oleh
penulis; (b) data sekunder: data ini dikumpulkan dari artikel-artikel,jurnal ilmiah, serta
ditambah dengan komentar orang mengenai peran Komisi Yudisial dalam reformasi
Peradilan di Indonesia menurut hukum Islam.
3. Tehnik Analisis Data
Dalam menganalisa data, peneliti menggunakan metode analisis deskriptif. Peneliti
mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang terkumpul dalam penelitian ini.
4. Tehnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi masalah kedalam beberapa bab yang pada
dasarnya menjadi suatu kesatuan yang saling berkesinambungan agar lebih memperjelas dan
mempertajam arah pembahasan materi yang sedang diteliti. Adapun sistematika penulisan
dari isi ringkasan bab demi bab dalam skripsi ini dibagi menjadi 6 (enam) bab. Bab petama
berisi “pendahuluan”. Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatar
belakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang
masalah, (2) perumusan dan pembatasan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4)
tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika pembahasan.
Bab kedua berjudul “Peradilan dalam Hukum Islam”. Bab ini menyajikan uraian
mengenai Peradilan dalam Hukum Islam. Paparan konsep Peradilan pada bab ini akan
12
diposisikan sebagai optik atau pisau analisis dalam rangka menyoroti konstruksi hukum
Peradilan Islam. Bab ini terdiri atas 3 (tiga) sub-bab utama, yaitu (1) Sejarah Peradilan Islam,
(2) Fungsi Peradilan Islam, (3) Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam.
Bab ketiga berjudul “Komisi Yudisial dalam Reformasi Peradilan di Indonesia”. Dalam
bab ini diuraikan analisis dengan pemikiran konsep Komisi Yudisial yang dipandu dengan
konsep Reformasi Peradilan di Indonesia. Sehingga dapat diperjelas dengan Undang-undang
Komisi Yudisial dan Undang-undang Peradilan. Bab ini menyajikan 4 (empat) sub-bab
utama, yaitu (1) Reformasi Peradilan di Indonesia, (2) Pembentukan Komisi Yudisial, (3)
Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia, (4) Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial.
Bab keempat berjudul “Analisa Hukum Islam tentang Peran Komisi Yudisial dalam
Reformasi Peradilan”. Dalam bab ini juga diuraikan analisis dengan menerapkan pemikiran
konsep hukum Islam yang dipandu dengan konsep peran Komisi Yudisial, serta konsep
Peradilan. Sehingga akan menghasilkan analisa hukum Islam tentang peran Komisi Yudisial
dalam reformasi Peradilan. Bab ini menyajikan 2 (dua) sub-utama, yaitu (1) Pandangan
Hukum terhadap Reformasi Peradilan, dan (2) Pandangan Hukum terhadap Komisi Yudisial.
Bab kelima merupakan “Penutup”, yang memuat kesimpulan dan saran. Dalam bab ini
disajikan pokok-pokok penelitian yang dihasilkan dan konstelasinya dengan komunitas
akademik lain. Disamping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas penelitian tersebut.
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA
13
BAB II
PERADILAN DALAM ISLAM
A. Sejarah Peradilan Islam
Kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata
“peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “menyelesaikan”. Dan
umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.11
Dalam Islam peradilan disebut qadha artinya menyelesaikan, seperti firman Allah:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan
ni'mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni'mat kepadanya: "Tahanlah terus
isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu
apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Q.S. al-Ahjab: 37)
Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah SWT :
11 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 1.
14
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. al-
Jumu‟ah: 10)
Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: (a) Lembaga hukum
(tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan), (b) Perkataan yang harus dituruti
yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukumn atau menerangkan hukum
agama atas dasar harus mengikutinya.
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti
menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena
hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini
kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada
sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim
dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada.12
Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad
(38) ayat 26, yaitu:
12 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 2.
15
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.”
Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah (5) ayat 49:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”13
Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang
telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al-Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun
yang harus ditetapkan, yaitu: (1) Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk
menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri
semua tugas itu, (2) Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan
perselisihan dan memutuskan persengketaan, (3) Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada
qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat
apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki (penolakan) yang berupa penolakan atas
13
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 11-12.
16
gugatannya, (4) Al-Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, (5) Al-
Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata.14
Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan
adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya:
“Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua
pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala.”
Dalam fiqih Islam ada tiga bentuk wilayah peradilan, yaitu: (1) Wilayah al-Qadha, yaitu
lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga peradilan
biasa, (2) Wilayah al-Mazalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus
penganiayaan pengusa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dan
perangkatnya, (3) Wilayah al-Hisbah, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai
kasus pelanggaran moral dalam rangka amar ma‟ruf nahi munkar.15
Kemudian kata sulthanah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti
pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan,
kerajaan, pemerintahan.16
Menurut Lois Ma‟luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam berarti al-
malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah.17
Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan,
14 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.
13-14. 15
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 15.
16 Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, (Jajarta: Konstitusi Press, 2006), Cet.
Pertama, hlm. 118.
17
penyesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan
kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya
proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili
perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa
Indonesia, istilah ini dikenal dengan nama kekuasaan yudikatif.18
Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu Sultah
Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang), Sultah Qadhaaiyyah (kekuasaan
kehakiman) itu belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada
dalam satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan
kekuasaan Negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri.19
Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan
hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan berdiri tanpa adanya suatu peradilan.
Karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa diantara para penduduk.
Peradilan itu adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seuruh bangsa, baik mereka tergolong
bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Didalam peradilan itu terkandung
menyuruh ma‟ruf dan mencegah munkar. Menyampaikan hak kepada yang harus
menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan
peradilan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila
17 Ahmad Warsono Munawir, kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997),Cet. Pertama, hlm. 650. 18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16567.
19 Salim Ali Al-Bahansi, wawasan Sistam Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), Cet. Pertama,
hlm.53.
18
peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi
masyarakat yang kacau balau.20
Kekuasaan peradilan adalah suatu kekuasaan yang mempunyai undang-undang dan
aturan-aturan yang wajib dipatuhin oleh para hakim didalam pemerintahan Romawi, Persia
dan lain-lain. Hal-hal yang sangat dipentingkan oleh bangsa-bangsa yang telah lalu dalam
menyusun peradilan, ialah kecakapan hakin dan kebaikan budi pekertinya. Karena itu mereka
tidak mengangkat seseorang untuk menjadi hakim kecuali orang yang mempunyai
kemampuan yang sempurna untuk menjadi hakim serta mempunyai kepribadian yang tinggi.
Dan hakim itu dilindungi dengan berbagai aturan yang memungkinkan hakim bergerak
secara bebas.21
Bangsa Arab di zaman Jahiliyah, tidak mempunyai Sulhtahtasyri‟iyah (badan legislatif)
yang menyusun dan membuat Undang-undang atau aturan-aturan. Mereka pada umumnya
berpegang pada tradisi yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Kepala-kepala kabilah
memutuskan hukum antara anggota kabilah dengan adat kebiasaan mereka. Adat-adat
kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau dari kepercayaan atau dari bangsa-bangsa yang
berdiam disekitar mereka, seperti bangsa Romawi, Persia dan sebagainya, atau yang berdiam
bersama-sama didaerah tersebut, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.22
Perkembangan kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan
masyarakat dan politik Islam. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan Muhammad Salam
20 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,
2001), Cet. Kedua, hlm. 3. 21
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Kedua, hlm. 4.
22 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,
2001), Cet. Kedua, hlm. 4-5.
19
Madkur (Guru Besar Hukum Islam, Universitas Cairo) para ahli, membagi sejarah peradilan
Islam kedalam beberapa masa dengan cirri-ciri atau tandanya masing-masing.23
Setelah Nabi Muhammad S.A.W diangkat menjadi Rasul, mulailah beliau menyampaikan
risalah dakwah kepada penduduk Makkah, terutama masalah aqidah selama 13 tahun.
Kondisi umat Islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbeda dengan
Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat Islam semakin banyak, sementara
Rasulullah S.A.W dijadikan sebagai pemimpin oleh masyarakat Madinah baik umat Islam
maupun non-Islam, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan
agama dan tuntutan syari‟ah.24
Masa Rasulullah S.A.W. Kedudukan Rasulullah S.A.W, disamping sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif, juga menangani langsung urusan yang berkaitan dengan kekuasaan
yudikatif; artinya, kekuasaan peradilan belum dipisahkan dari kekuasaan Nabi S.A.W
sebagai pelaksana perundang-undangan. Segala urusan yang menjadi kewenangan as-Sulthah
al-Qadhaiyyah semuanya tertumpu ditangan penguasa. Setelah wilayah kekuasaan Islam
semakin luas, penanganan kekuasaan ini dibantu oleh beberapa orang sahabat yang dikirim
ke beberapa daerah untuk bertindak sebagai penguasa sekaligus sebagai pemegang kekuasaan
dalam bidang peradilan. Disamping itu, ada diantara sahabat yang diperbantukan oleh
Rasulullah S.A.W untuk menangani tugas-tugas peradilan ini yang ditempatkan dipusat
pemerintahan, seperti Umur bin Khatab (w.23H/644M), atau yang diutus kedaerah atas nama
Rasulullah S.A.W, seperti Ali bin Abi Thalib (w.40H/661M) dan Mu‟as bin Jabal
23
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16568.
24 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.
37.
20
(w.18H/639M) ke Yaman. Sumber hukum bagi peradilan pada masa ini hanya Al-Qur‟an
dan Hadits Nabi S.A.W.25
Setelah Nabi Muhammad S.A.W. Sahabat, sebagai generasi Islam pertama, meneruskan
ajaran dan misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi Muhammad S.A.W. merupakan
peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebalum jenazah Nabi dikubur, sahabat telah berusa
memilih pengggantinya sebagai pemimpin Negara. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang
terpilih menjadi pemimpin umat Islam. Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khatab, Umar
bin Khatab digantikan oleh Utsman bin Affan, dan Utsman bin Affan digantikan dengan Ali
bin Abi Thalib. Empat pemimpin umat tersebut dikenal sebagai Khulafah al-Rasyidun (para
pemimpin yang diridhai).26
Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai
634M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ikut aktif
mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang terkemuka
banyak orang memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan
Islam ternama. Dan karenahubungnnya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw.,
beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lainnya. Karena
itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.27
Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini,
karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad, sepeninggal
25 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,
hlm. 16568. 26 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.
57. 27
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 59.
21
Rasulullah S.A.W., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan
pemerintahan lainnya disamping belum melusnya wilayah kekuasaan Islam pada masa itu.
Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad S.A.W., yakni ia
sendirilah yang memutuskan hukum diantara umat Islam di Madinah. Sedangkan para
Gubernurnya memutuskan hukum diantara manusia didaerah masing-masing diluar Madinah.
Adapun sumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijtihad seteh
pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat. Dapat dikatakan bahwa pada masa
pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, (1) Quwwat al-Syari‟ah (legislatif), (2) Quwwat
al-Qadhaiyyah (yudikatif didalamnya masuk peradilan) dan (3), Quwwat al-Tanfiziyyah
(eksekutif).28
Di masa pemerintahan Umar bin Khatab, daerah Islam telah luas, tugas-tugas yang
dihadapi oleh pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, telah berbagai corak
ragamnya dan pergaulan orang-orang Arab dengan orang lain pun sudah sangat erat. Karena
itu Khalifah Umar tidak dapat menyelesaikan sendiri perkara-perkara yang diajukan
kepadanya. Maka Umar mengangkat beberapa orang hakim untuk menyelesaikan perkara,
dan mereka pun digelari hakim (qadhi). Khalifah Umar mengangkat Abu Darda‟ untuk
menjadi hakim di Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa Al-Asy‟ari di Kufah, Utsman Ibn
Qais Ibn Abil „Ash di Mesir, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Umar lah
yang mula-mula memisahkan kekuasaan yudikatif dan eksekutif.29
Pemerintahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pada masa masing-masing
dalam bidang kekuasaan yudikatif ini, meneruskan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
28
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 59-60.
29 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam. (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,
2001), Cet. Kedua, hlm. 15-16.
22
Umar sebagai khalifah pendahulunya. Sumber hukum lembaga peradilan pada masa ini
adalah Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.30
Masa Daulah Umayyah, kekuasaan yudiklatif mengalami kemajuan lagi, khususnya
dalam bidang administrasi peradilan dan proses berperkara (yang menyangkut hukum acara
atau hokum formil), yang sebelumnya belum diterbitkan. Pada masa ini diadakan pencatatan
terhadap putusan pengadilan sebagai dokumen resmi pemerintah. Meskipun situasi politik
pada masa ini baru saja mengalami perubahan dari system demokrasi kesistem monarki,
pemegang kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan urusannya tidak terpengaruh oleh
kecenderungan-kecenderungan pribadi politik khalifah. Bahkan khalifah dalam ini
menegaskan (melalui ancaman pemecatan bagi yang menyelenggarakan tugasnya) agar
kekuasaan yudikatif melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sumber hukum untuk masa
ini pun adalah Al-Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.31
Masa Daulah Bani Abbasiyah, disamping terus meningkatkan pembinaan yang berkaitan
dengan administrasi kelembagaannya, khalifah juga membentuk lembaga-lembaga yang
mendukung dan memiliki kewenangan khusus yang juga berkaitan dengan kekuasaan
yudikatif ini. Tidak hanya pembenahan terhadap sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai
hukum materil yang akan disusun oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusan.
Awalnya, yang digunakan adalah kitab al-Muwatha‟ karya Imam Malik. Namun Imam Malik
sendiri menolak dengan alasan masih banyak Hadits Rasulullah S.A.W., yang tersebar
diberbagai kota. Kemudian atas ulum Ibnu al-Muqaffa‟ kepada Khalifah al-Mansur agar
menyusun pedoman trentang penerapan hukum materil, sehingga perbedaan pendapat dapat
30
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 16568.
31 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,
hlm. 16569.
23
dihindari, akhirnya disusunlah Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan oleh hakim dalam
memutus perkara.32
Selain itu, di zaman dinasti Abbasiyah, kekuasaan yudikatif (sulthah qadhaaiyyah)
semakin lengkap.perkembangan mencapai puncak kesempurnaan pada masa pemerintahan
Harun al-Rasyid (170-193), saat dia mengangkat Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari yang lebih
terkenal dengan Abu Yusuf, sebagai kepala dari seluruh kepala hakim, yang dinamakan
qaadhii qudhaah (Hakim Agung). Diantara tugas pentingnya adalah menangani perkara-
perkara diperadilan umum dan diiwaan al-madzaalim. Kewenangan lainnya adalah,
mengangkat hakim-hakim yang akan ditetapkan diseluruh provinsi.33
Perkembangan lainnya menyangkut kekuasaan kehakiman periode keempat ini, terjadi
terutama pada masa pemerintahan Sultan az-Zahir Biibars (665H/1267M), dimana ia
membentuk sistem peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar dan dikepalai oleh
masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Syafi‟I mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yudiksinya, juga diserahi
tanggung jawab mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani
masalah Baitul Mall. Sedangkan Hakim Agung yang lainnya, mengurusi peradilan dan fatwa
bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.34
Dengan demikian pada masa tersebut, HakimAgung tidak hanya memilikitugas memutus
perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain diluar yuridiksinya.
32 Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152. 33 Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152. 34
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.
24
Bahkan menurut Carl F. Petry, semua Hakim Agung pada masa tersebut memegang tiga
jabatan sekaligus. Termasuk untuk jabatan hakim ditingkat yang lebih rendah, dapat
memegang seluruh jabatan administrasi, tak terkecuali dilingkungan militer. Meskipun
demikian, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syari‟at tanpa dapat
dipengaruhi oleh siapapun.35
Masa khalifah Turki Usmani dan masa sesudahnya. Kekuasaan yudikatif mengalami
banyak perubahan, khususnya setelah masa Tanzimat. Pada masa ini, disamping lembaga
peradilan yang khusus mengadili orang-orang Islam, juga didirikan lembaga peradilan yang
khusus menangani orang-orang non-Muslim (kafir zimi: kafir yang dilindungi) dan orang-
orang asing yang tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama
masing-masing dan undang-undang asing. Pemerintah menetapkan mazhab Hanafi sebagai
mazhab resminya. Oleh karena itu, hakim utama diangkat dari mazhab ini. Sumber hukum
setelah masa Tanzimat ini kebanyakan diambil dari hukum Eropa, kecuali dalam masa
keperdataan. Keadaan ini mempengaruhi negara-negara Islam lainnya, khususnya negara-
negara yang cukup terbuka terhadap pembaruan dalam bidang hukum dan peradilan seperti
Mesir, Suriah, dan Tunisia.sumber hukumlembaga peradilan pada masa ini sudah berubah
dan beragam sesuai dengan beragamnya jenis lembaga peradilan dimasa itu.36
Peradilan pada Arab Saudi, al-Qur‟an merupakan Undang-undang Dasar Negara dan
Syari‟ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh Mahkamah-mahkamah Syari‟ah
sebagai hukum dan Ulama sebagai hakim dan penesehat-penasehat hukumnya. Kepala
negara adalah Raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi. Terbentuknya peradilan
35
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 152.
36 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,
hlm. 1658.
25
Arab Saudi dengan berlakunya Syari‟at Islam adalah tidak lepas dari jasa Raja Abdul Aziz
bin Abdul Rahman Al-Saud yang membai‟at wilayah-wilayah.37
Kemudian pada abad ke-7 M, Islam telah masauk Indonesia dan telah dianut oleh
sebagian orang Indonesia. Penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-
ibadah tertentu melainkan juga diterapkan pula dalam masalah-masalah muamalat,
munakahat, dan uqubat (jinayah/hudud).38
Dalam pengkajian Peradilan Islam di Indonesia, dan peradilan pada umumnya, dikenal
berbagai istilah khusus yang menjadi lambang dari suatu konsep, diantaranya Peradilan
Agama, Peradilan Agama Islam, Peradilan Islam, Islamic Judiciary, Badan Kehakiman,
Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Agama Islam, Pengadilan Agama, Mahkamah
Syari‟ah, Kerapatan Qadhi, Pengadilan Agama Islam, dan Islamic Court. Pada masa
penjajahan Belanda dan Jepang juga dikenal beberapa istilah, diantaranya Priesterraad,
Penghoeloe gerech, Godsdientige rechtspraak, Rechtspraak, Raad agama, dan Sooryoo
hooin. Selain itu, terdapat juga istilah lain yang berhubungan dengan istilah-istilah itu, baik
yang bermakna sejenis maupun yang berhubungan dengannya dan menjadi penjelas posisi
dari setiap istilah itu.39
Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut, sejalan dengan perkembangan
masyarakat Islam di berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam basis utama
dalam melakukan artikulasi dan perumusan hukum diberbagai kawasan dan negara tersebut.
37 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 83-84. 38
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 190.
39 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 35.
26
Peradilan Islam pada masa Rosulullah S.A.W. bersifat sederhana, baik dalam
pengorganisasiannya maupun prosedurnya.40
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia dapat dideskripsikan
sebagaimana dikemukakan oleh Lev (1972: ix) dalam kata pengantar bukunya, Islamic Court
in Indonesia. “Peradilan di Indonesia yang kelihatannya ganjil, tidak hanya mampu bertahan
hidup, tetapi dalam berbagai hal mengalami perkembangan yang semakin kuat. Sedangkan di
negeri-negeri Islam lainnya, pranata-pranata hukum keagamaan banyak yang dihapus dan
dibatasi”.
Perkembangan itu lebih nyata selama dua puluh tahun terakhir, terutama sejak disahkan
dan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Kemudian menyusul Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991.41
Ada empat aspek yang berkenaan dengan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia.
Pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan dalam tatanan hukum dan peradilan
nasional. Kedua, berkenaan dengan susunan badan peradilan, yang mencangkup hirarki dan
struktur organisasi pengdilan, termasuk komponen manusia didalamnya. Ketiga, berkenaan
dengan kekuasaan pengadilan, baik kekuasaan mutlak maupun kekuasaan relatif. Keempat,
40
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 42.
41 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 43.
27
berkenaan dengan hukum acara yang dijadilkan landasan dalam penerimaan, pemeriksaan,
pemutusan, dan penyelesaian perkara.42
Islam adalah kehakiman, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al-Imam Syahid
Hasan Al-Banna, maksudnya adalah bahwa salah satu dari manhaj Islam ialah mengatur
antara sesama manusia, karena manusia sangat memerlukan seorang hakim yang dapat
mengatur dan menyelesaikan perselisihan mereka serta dapat mengembalikan hak kepada
pemiliknya.
Kesimpulan dalam masalah kehakiman ini dapatlah kita katakana bahwa Islam telah
menganggap masalah kehakiman sebagai fardhu, karena itulah kita lihat bahwa Rasulullah
saw mengangkat para hakim untuk bertugas di tempat-tempat yang jauh dari Madinah. Dan
hakim muslim ini disyaratkan mempunyai pengetahuan yang luas terutama tentang hukum-
hukum Islam. Atas dasar ini pula kita lihat bahwa salah satu dari syarat kelayakan seseorang
hakim ialah kemampuannya untuk melakukan ijtihad, karena tugas mengatur adalah
termasuk dalam pengertian wilayah dan sultan. Orang kafir tidak layak dan tidak berhak
menjadi wali atau hakim atas orang Islam. Karena Allah SWT berfirman:
42
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977), Cet. Pertama, hlm. 123.
28
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi
pada dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah
mereka berkata : "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" Dan jika orang-orang
kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata : "Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mu'min ?" Maka Allah akan
memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Seorang hakim yang Muslim mesti mengatur hukum dan permasalahannya menurut
hukum-hukum Islam dan haram hukumnya menggunakan hukum-hukum yang lain. Terutama
pada saat mengatur undang-undang Islam, sebagaimana juga harus memiliki kehati-hatian dan
teliti, dan berusaha semampunya untuk melaksanakan dan menerapkan keadilan. Karena
seandainya yang dilakukan adalah betul dan tepat maka baginya dua ganjaran, namun jika
seandainya beliau keliru atau tersalah maka tetap akan balasan beliau diberikan satu
ganjaran.43
B. Fungsi Peradilan dalam Islam
Pembentukkan Lembaga Peradilan adalah dimaksudkan untuk merealisir keadilan di
tengah kehidupan masyarakat. Telah disebutkan bahwa dalam suatu negara, lembaga
peradilan ini difungsikan untuk menegakkan hukum di wilayah kekuasaan negara, atau
sebagai media untuk mengimplementasikan ajaran Islam dibidang penegakkan dan
perlindungan hukum. Didalam al-Qur‟an disebutkan beberapa ayat yang mengatur tentang
keadilan dan penegakkan hukum, diantaranya:
43
http://www.al-ikhwan.net/syarah-ushul-isyrin-imam-syahid-hasan-al-banna-islam-adalah-agama-universal-2-3613/, tanggal 21 September 2011, Pukul 06.18.
29
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. An-Nisa’: 58)44
Kemudian Surah An-Nisa‟ Ayat 135:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa’: 135) Kemudian juga disebutkan dalam Surah Al-Maidah Ayat 49 bahwa:
44
Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII PRESS, 2007), Cet. Pertama, hlm. 285.
30
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah: 49)45
Lembaga peradilan bertugas menyelesaikan persengkatan dan memutuskan
hukum.dengan peradilan Allah memelihara keseimbangan dan kedamaian dalam masyarakat
luas. Landasan dari fungsi peradilan adalah terpeliharanya kepastian hukum. Lembaga
peradilan mempunyai fungsi utama untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan
ketentraman masyarakat melalui tegaknya hukum dan keadilan. Di samping itu untuk
menciptakan kemaslahatan umat dengan tetaptegaknya hukum Allah. Oleh sebab itu
peradilan Islam mempunyai fungsi yang sangat mulia, di antaranya: Mendamaikan dua belah
pihak yang bersengketa dengan berpedoman kepada hukum Allah, Menetapkan sanksi dan
melaksanakannya atas setiap perbuatan yang melanggar hukum.46
45 Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta, FH UII PRESS, 2007), Cet.
Pertama, hlm. 286. 46 http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/peradilan-dalam-islam.html, tanggal 11 september 2011,
pukul 13.25.
31
C. Tugas dan Kewenangan Lembaga Peradilan dalam Islam
Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan perselisihan yang dilaporkan kepadanya
dari orang-orang yang berseteru dan menerapkan hukum perundang-undangan kepadanya
dalam rangka menerapkan keadilan di muka bumi dan menerapkan kebenaran diantara
orang-orang yang meminta peradilan.47
Secara garis besar tugas dan kewenangan lembaga peradilan ialah untuk menjamin
pelaksanaan Undang-undang oleh pihak eksekutif, untuk mengontrol atau mengawasi fungsi
dan pelaksanaan kekuasaan legislatif, dan untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai
persoalan hukum dan perselisihan yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya. Tujuan
adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk membongkar kesalahan agar dapat
dihukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran, supaya
yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah tanpa menghiraukan
maslahat.48
Tujuan adanya kekuasaan yudikatif dalam Islam bukannya untuk membongkar kesalahan
agar dapat di hukum, tetapi yang menjadi tujuan pokok yaitu untuk menegakkan kebenaran;
supaya yang benar dinyatakan benar dan yang salah dinyatakan salah tanpa menghiraukan
maslahat. Selain menegakkan kebenaran dan menjamin terlaksananya keadilan, kekuasaan
yudikatif dalam Islam yudikatif dalam Islam juga bertujuan untuk menguatkan Negara dan
menstabilkan kedudukan hukum kepala Negara.49
47
Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan, Peradilan, dan Adat dalam Islam,(Jakarta, KHALIFA Pustaka Al-Kautsar Grup, 2004), Cet. Pertama, hlm. 73.
48 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama, hlm. 1658.
49 Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,
(Jakarta, Darul Falah, 2000), Cet. Pertama, hlm. 130.
32
Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyebutkan sembilan
tugas kekuasaan yudikatif yaitu: (1) memutuskan atau menyelesaikan perselisihan,
pertengkaran, dan konflik. Dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara
sukarela atau memaksakeduanya berdamai; (2) membebaskan orang-orang yang tidak
bersalah dari sanksi dan hukuman, serta memberikan sanksi kepada yang salah, baik dengan
(dari) pengakuan maupun dengan dilakukannya sumpah; (3) menetapkan penguasa harta
benda orang-orang yang tidak menguasai sendi karena gila, masih kanak-kanak atau idiot; (4)
mengelola harta wakaf dengan menjaga harta pokoknya, mengembangkan cabang-cabang,
menahannya dan mengalokasikan ke posnya; (5) melaksanakan wasiat-wasiat berdasarkan
syarat-syarat pemberian wasiat dalam hal-hal yang diperbolehkan syari‟at dan tidak
melanggarnya; (6) menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang sekufu‟ (selevel), jika
merdeka tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia menikah; (7) melaksanakan hudud
(hukuman syar‟i) kepada orang-orang yang berhak menerimanya; (8) memikirkan
kemaslahatan umum diwilayah kerjanya dengan melarang semua gangguan dijalan-jalan dan
halaman-halaman rumah dan meruntuhkan bangunan-bangunan illegal; (9) mengawasi para
saksi dengan pegawainya, serta memilih orang-orang yang mewakilinya.50
D. Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam
Pada masa awal, kekuasaan peradilan berada sepenuhnya pada tangan Rasul. Beliau
disamping sebagai kepala Negara juga berfungsi sebagai hakim tunggal. Namun, setelah
wilayah negeri Islam berkembang dan meluas ke luar Madinah, beliau memberikan mandat
kepada beberapa orang sahabat untuk bertindak sebagai hakim. Rujukan yang digunakan
50
Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, (Jakarta, Darul Falah, 2000), Cet. Pertama, hlm. 132.
33
ketika itu adalah Al-qur‟an, Sunnah Nabi, dan Ijtihad mereka sendiri, ketika mereka tidak
menemukannya didua rujukan pertama.51
Kemudian, setelah masa Khulafah al-Rasyidin, terutama pada masaUmar bin Khattab,
tata laksana peradilan mulai diatur antara lain dengan mengadakan penjara, dan
pengangkatan sejumlah hakim serta menyusun risalah al-qadha (semacam hukum acara
peradilan) sebagai acuan bagi hakim. Namun demikian, para hakim bekerja sendiri tanpa ada
“katib” (panitera) dan tanpa registrasi dan administrasi peradilan, bahkan pada awalnya
mereka bersidang dirumah mereka sendiri dan kemudian pindah ke masjid, serta mereka
sendiri yang melaksanakan eksekusi keputusan pengadilannya.52
Pada masa Umayyah peradilan terus berkembang, diantaranya adalah jabatan Qadhi yang
mulai berkembang menjadi profesi tersendiri dan dilakoni oleh orang yang ahli dibidangnya.
Pada masa Bani Umayyah ini juga dilakukan pembukuan serta penulisan perkara-perkara
yang diputuskan dengan merancang sistem pengawasan dan pengadilan serta prinsipnya.
Sebab pada masa Rasulullah S.A.W. Dan dan Khulafa al-Rasyidin belum ada perselisihan
pendapat tentang hukum-hukum yang telah menjadi putusan. Dalam permulaan Islam
peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencangkup proses peradilan, juga
mencangkup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain.53
Adapun bentuk “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam
sejarah peradilan di zaman Nabi Muhammad Saw. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh
Wahyu Allah S.W.T. terhadap Nabi Muhammad S.A.W. Rasulullah S.A.W. juga melakukan
51 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 2-
3. 52
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3. 53
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3-4.
34
pengawasan secara evaluasi terhadap sahabat yang ditunjukkannya untuk menjalankan
peradilan. Jika putusan sahabat itu salah, tentu Nabi Muhammad S.A.W. pun akan segera
mengoreksinya.54
Karena setiap keputusan hakim tentang suatu perkara kadangkala diperdebatkan dasar
hukum dan keshahihannya oleh para mujtahid yang mengetahui kasus tersebut beserta
hukum yang mungkin benar menurut pendapatnya, pada akhirnya khalifah melepaskan diri
dari campur tangan terhadap lembaga peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu
kebanyakan bukan murni keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan
oleh khalifah untuk maksud-maksud tertentu. Demikianlah dapat dikatakan bahwa pada
awalnya Dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh
peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu
akhirnya ditinggalkan. Khalifah hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas
belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya
memiliki otoritas dan independenitas yang tinggi. 55
54
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 6-7.
55 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 3-
7.
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA
35
BAB III
KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA
A. Reformasi Peradilan di Indonesia
Reformasi, barasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi”
berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform”
diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga
berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam
suatu masyarakat atau negara.56
Dengan demikian, istilah era reformasi diartikan sebagai suatu era perubahan atau
penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, dan kebijakan yang berkaitan dengan
berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan apabila
dihubungkan dengan reformasi dibidang hukum dan peradilan, maka dapat ditarik pengertian
“melakukan suatu perubahan dengan penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi,
atau kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam
kehidupan berbangsa, dan bernegara”.57
Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau
pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam arti pembaharuan,
reformasi bisa dipadankan dengan beberapa kata dalam wacana Islam, yang secara substansi
memilki kesamaan dengan reformasi, yakni; tajdid dan islah. Tajdid mengandung arti
“membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya
56
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39.
57 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39-40.
36
agar dapat digunakan sebagaimana yang diharapkan”. Sedangkan kata islah, diartikan dengan
“perbaikan atau memperbaiki”. Kedua kata tersebut, sering dipakai secara berdampingan
dengan pengertian yang sama yaitu “pembaharuan”.58
Ada tiga dimensi atau lapisan reformasi yang secara analistis harus dibedakan. Pertama,
perbaikan terhadap semua penyimpangan yang terjadi, (penyimpangan artinya sesuatu yang
sejak lama secara hukum dan ideologis serta sense of propriety telah dianggap tidak benar
dan tidak pantas). Kedua, penghapusan segala faktor, baik yang berupa perundangan dan
hukum serta kelembagaan, maupun sistem politik, yang telah memungkinkan penyimpangan
itu terjadi. Dan Ketiga, peletakan dasar baru dari kehidupan kenegaraan.59
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian
Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil
keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan
pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan? Hukum jabatan para
hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang
kekuasaan hakim. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang
semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya
memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk
mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat tercapai. Seiring
dengan tuntutan reformasi peradilan, pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang
membahas amandemen ketiga UUD 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan
pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya Komisi Yudisial
58
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 40.
59 Taufik Abdullah, Refleksi Agenda Reformasi, (Yogyakarta, Kanisius, 1999), Cet. Pertama, hlm. 48.
37
RI yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim.60
Kemunculan Komisi Yudisial RI adalah akibat langsung dari amanat reformasi 1998
untuk menegakkan supremasi hukum dan agar para hakim tidak melakukan pelanggaran atas
hukum. Sekaligus agar hakim tidak menjadi aparat penguasa. Dan ini semua berangkat dari
kekecewaan masa lalu, yaitu dimana kekuasaan kehakiman dikooptasi oleh kekuasaan,
sehingga kebebasan hakim dalam memutus perkara terbelenggu oleh kekuasaan tersebut.
Keinginan kuat untuk keluar dari belenggu kekuasaan inilah yang menyebabkan adanya
keinginan kuat untuk membuat Komisi Yudisial RI.61
Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan
teoritis tentang pemisahan kekuasaan (separation of pwers) karena pemisahan kekuasaan dari
cabang-cabang kekuasaan negara dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi
kekuasaan lembaga peradilan sekaligus untuk menjamin terlaksananya kebebasan politik
(politic liberty) anggota masyarakat dalam negara, maka adanya jaminan kekuasaan lembaga
peradilan yang independen merupakan satu elemen penting dari konsep negara hukum.
Keterkaitan antara pemisahan kekuasan dengan konsep negara hukum terletak pada
pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatif ataupun hubangan
diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut dalam konstitusi. Bagi sebuah negara yang
60
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.
61 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa,
(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 4.
38
menerapkan paradigma hukum modern (rule of law), independensi kekuasaan lembaga
peradilan, merupakan fondasi dan pilar utama yang sangat penting.62
Alexis de Tocqueville memberikan tiga ciri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga
peradilan yang independen, yakni; pertama, kekuasaan lembaga peradilan disemua negara
merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja kalau ada
pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya yang dapat
melakukan intervensi. Kedua, fungsi lembaga peradilan hanya berlang sung kalau ada kasus
pelanggaran hukum yang khusus. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika
diperlukan dalam haladanya sengketa yang diatur dalam hukum.63
Pemahaman tentang asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tidak terlepas dari
ajaran Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan, yaitu untuk
menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik (political liberty) anggota masyarakat
negara.64
Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga
unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah
kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan
(fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan
bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan
mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan
62 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 102. 63
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 103.
64 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 105.
39
yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de
rechtsstaat).65
Di Era reformasi, tonggak awal kemandirian kekuasaan kehakiman ditandai dengan
adanya amandemen UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan
kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.untuk
mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif tersebut, maka lahirlah
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.66
Poin penting yang patut dicatat dari diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 adalah
untuk mempertegas kemandirian kekuasaan kehakiman. Maka untuk merealisasikannya
ditetapkan kebijakan bahwa, segala urusan peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial
maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung. Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “ kebijakan satu
atap (one roof system). Namun, seiring perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di
Negara Indonesia. UU No. 35 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah lagi menjadi Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.67
Dalam perspektif teoritis, kebjakan tersebut merupakan realisasi dari teori trias polit ika,
yakni ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara (separation of power) sebagai antitesis
dari kebijakan hukum sebelumnya yang menganut pembagian kekuasaan (divition of power).
Pemisahan kekuasaan negara secara tegas mengharuskan adanya pembagian kekuasaan yang
65 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 109. 66
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 185.
67 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 186.
40
jelas antara cabang-cabang kekuasaan; eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sehingga antara
yang satu dengan yang lain bersifat saling mengendalikan dan saling mengimbangi (checks
and balances).68
Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka checks and balances
mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap
UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan didalam pasal 24 yang mengatur bukan
pengujian isi (uji materil) saja, tetapi juga pengujian prosedur (uji formal). Mahkanh
Konstitusi menguji UU terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan
perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan per-UU-di atasnya. Dalam teori hukum
disebut vertical judicial review. 69
Dengan demikian untuk menerapakan checks and balances, setelah terjadi perubahan
ketiga terhadap UUD 1945, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di ere reformasi juga
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang sekarang telah diatur didalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang terkait dengan Mahkamah
Agung, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004. Ditetapkannya MK dan
KY bersama MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, dimaksudkan untuk menjamin
penegakkan hukum, pengawasan terhadap hakim, dan penerapan judicial review.70
Keberadaan Komisi Yudisial RI dalam institusi kekuasaan kehakiman merupakan
implementasi acara langsung atas tuntutan masyarkat terhadap reformasi peradilan dan
68 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 185-186. 69
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 186.
70 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 186-187.
41
sekaligus menjalankan amanah reformasi. Dengan adanya Komisi Yudisial RI diharapakan
hakim dapat mandiri, bebas dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan manapun.71
B. Pembentukan Komisi Yudisial
Ide untuk membentuk sebuah lembaga yang khusus bertugas mengawasi hakim
sebenarnya ide lama yang hadir sejak 1968, ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dibahas. Ada gagasan membentuk Majelis
Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberi pertimbangan dan
mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan
pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim,
yang diajukan baik oleh MA maupun Departemen Kehakiman. Namun, gagasan ini mental
ketika UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman
disahkan. Gagasan tersebut baru diadopsi didalam perubahan UU No. 14 Tahu 1970 yaitu
UU No. 35 Tahun 1999. Dalam penjelasan umum disebutkan, perlunya checks and balance
terhadap lembaga peradilan, agar putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan
transparan oleh masyarakat, serta pembentukan Dewan Kehormatan Hakim yang mengawasi
prilaku hakim, atau memberikan rekomendasi perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta
menyusun kode etik (code of conduct) untuk para hakim.72
Sebelum UU No. 35 Tahun 1999 hadir, pengawasan dan pendisplinan hakim menjadi
tanggung jawab dan kewenangan menteri (yaitu Menteri Kehakiman, Menteri Agama, dan
Menteri Pertahanan) serta MA. Pengawasan oleh kementerian (kekuasaan eksekutif) yang
dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Irjen), kementerian yang bersangkutan dilakukan terkait
71
Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, hlm. 139.
72 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
42
pembinaan organisasi, administrasi, serta keuangan peradilan. Hal ini menjadi konsekuensi
sistem dua atap peradilan di Indonesia. Sementara itu pengawasan oleh Mahkamah Agung
dilakukan dalam bidang peradilan dan tingkah laku hakim termasuk Hakim Agung dalam
menjalankan tugas atau yang disebut aspek teknis yudisial. MA bias meminta keterangan
terkait teknis yudisial, memberi petunjuk, teguran atau peringatan yang dianggap perlu.73
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001
yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan
kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.74
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan
bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan
Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak
serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya
setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan
pada 23 Agustus 2006.75
73
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 74
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 75 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
43
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan
bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan
Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak
serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya
setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, yang diucapkan
pada 23 Agustus 2006.76
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali kepada UUD 1945. Kepada jiwa
proklamasi 17 Agustus 1945. Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dari ketentuan-ketentuan
UUD 19945 itu balum dilaksanakan secara murni. Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa
pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 dalam penjelasannya secara tegas telah menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari praktek dan
pelaksanaannya telah menyimpang dari UUD, antara lain pasal 19 dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
memberikan wewenang kepada Presiaden untuk dalam “beberapa hal dapat turun atau ikut
canpur tangan dalam soal-soal pengadilan.77
Dikatakan antara lain oleh pasal 19 dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Demi kepentingan refolusi,
kehormatan Negara, dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden
76
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 77
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 186.
44
dapat turun atau campur tangan dalam soal pengadilan”. Sedangkan dikatakan dalam
penjelasan mengenai pasal 19 tersebut bahwa: “Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh
dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang”. Sebaliknya UUD 1945
sendiri dalam penjelasannya: “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka dan
terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah”.78
Adalah jelas, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 13 Tahun
1965 Tentang Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama
menggambarkan adanya suatu pertentangan konstitusional yang: “flagrant”, sedangkan
pertentangan dengan UUD 1945 betapapun ia disertai dengan syarat-syarat tertentu, tidak
dapat dibenarkan oleh hukum “interference” atauturun tangan dari pihak eksekutif
dimungkinkan, sedangkan hal demikian dilarang oleh UUD 1945, yang menghendaki adanya
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, terlepas dari pengaruh Pemerintah.79
Dengan dicabutnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut terjadilah suatu kekosongan, yang akan menghambat
jalannya peradilan pada umumnya. Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk Undang-
undang Tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru sebagai penggantinya. Undang-undang
yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut harus pula menjaga
kemurnian pelaksanaan UUD 1945. Untuk itu perlulah dalam Undang-undang Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, diusahakan tercantumnya
dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai
78
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
79 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), Cet. Ketiga, hlm. 187.
45
hubungan peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan UUD 1945 supaya
pelaksanaannyananti sesuai dengan Pancasila.80
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan
dengan ketentuan bahwa undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-
asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang
tersendiri.81
Dengan melihat bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai
kekusaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain yang ditentukan dalam UUD
1945. Dari situ pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam UUD
1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan susunan. Apa yang
merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan
peraturan, susunan, dan kedudukan lembaga-lembaga Negara serta tugas dan
kewenangannnya. Dalam UUD 1945, susunan ketatanegaraan dapat dilihat dalam ketentuan-
ketentuan yang mengatur enam lembaga Negara yang terdiri dari sebuah lembaga Negara
tertingggi Negara yaitu MPR dan lima buah lembaga tinggi Negara yakni Presiden dan Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).82
80 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), Cet. Ketiga, hlm. 188 81
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. Ketiga, hlm. 189.
82 Jimly Asshidiqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: UI Press,
2005), Cet. Pertama, hlm. 23.
46
Semenjak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak
dapat dielakkan. Sebagai salah satu agrnda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945
menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula
perubahan yang terjadi dalam supra struktur politik perlu direspon dengan perubahan
Konstitusi sebagai hukum dasar Negara yang akan menjadi pijakan utama dalam
menyelenggarakan kehidupan bernegara.83
Dimana, Amandemen UUD 1945 sebagai amanat reformasi pada akhirnya dapat
dituntaskan dalamperunahan keempat dengan nama resmi UUD 1945. Perubahan empat kali
itu dapat dirinci sebagai berikut.84
Perubahan pertama yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, berhasil di
amandemen sebanyak 9 pasal. Perubahan kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
2000 telah di amandemen sebanyak 25 pasal. Perubahan ketiga yang ditetapkan pada tanggal
9 November 2001 berhasil diamandemen sebanyak 23 pasal. Perubahan keempat yang
ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 ini telah berhasil diamandemen sebanyak 13 pasal
serta 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Jadi, jumlah total pasal hasil
perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75 pasal. Namun demikian, jumlah nomor
pasalnya tetap sama yaitu 37 (tidak termasuk Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan).85
Perubahan UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999, merupakan bagian dari
proses reformasi yang membawa dampak penting dalam kehidupan social, politik dan
terutama dalam kehidupan hukum. Perubahan yang terjadi yang tampak kasat mata akibat
83 Jimly Asshidiqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, (Jakarta: UI Press,
2005), Cet. Pertama, hlm. 25. 84
Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, hlm. 209.
85 Taufiqurrohman Syahuri, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004), Cet. Pertama, hlm. 209.
47
perubahan UUD 1945 tersebut menyangkut konfigurasi kelembagaan Negara atau organisasi
penyelenggaraan Negara. Perubahan yang didasari oleh pengalaman masa lalu, ingin
meletakkan konstitusionalisme, sebagai prinsip dan doktrin bernegara, yang dijaga melalui
doktrin checks and balance dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Atas dasar hal
itu, maka konfigurasi organisasi kekuasaan telah berubah secara mendasar, dari sesuatu yang
bersifat vertikal hirarkis, dimana kedaulatan ratyat dipegang oleh sebuah badan, bernama
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelma seluruh rakyat Indinesia, dengan
kewenangan menetapkan UUD, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan
mengangkat Kepala Negara (Presiden) atau Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).
Perubahan UUD 1945, merubahan posisi MPR sebagai lembaga Negara, yang memegang
kekuasaan tertinggi Negara, menjadi sederajat dan setara dengan lembaga Negara pemegang
kekuasaan lainnya dalam kedudukan yang bersifat horizontal, tetapi secara fungsional
melakukan checks and balance terhadap lembaga Negara lainnya.86
Sebagai buah dari reformasi, yakni telah adanya amandemen terhadap UUD 1945, maka
selain Mahkamah Agung sebagai puncak pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan
peradilan yang berada dibawahnya, juga terdapat Mahkamah Konstitusi yang secara
fungsional sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, namun tidak mempunyai hubungan
struktural dengan Mahkamah Agung. Kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang sama
sebgaipelaksana kekuasaan kehakiman, akan tetapi dibedakan dalam yuridiksi dan
kompetensinya.87
86
Jimly Asshidiqie, Pemikiran Jimly Asshidiqie, dan Para Pkar Hukum, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, (Jakarta: The Biografi Institute, 2007), Cet. Pertama, hlm. 277.
87 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 196.
48
Perubahan ketiga UUD 1945 selain menyangkut tentang Mahkamah Konstitusi, juga
memuat tentang Komisi Yudisial. Ia disebut sebagai lembaga pembantu (auxilioary
instritution) didalam rumpun kekuasaan kehakiman. Kehadirannya, merupakan refleksi
filosofis dan cita-cita hokum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, sejalan dengan
munculnya kesadaran sejarah akan masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
independent, dan bermartabat. Kekuasaan kehakiman yang merdeka, bermoral, dan bebas
dari berbagai bentuk intervensi dan steril dari praktek tidak terpuji, merupakan conditiosine
qua non dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai
kejujuran,kebenaran, dan keadilan.88
Latar belakang pembentukan Komisi Yudisial adalah sebagai akibat dari salah satu atau
lebih dari lima hal sebagai berikut: (1) lemahnya monitoring secara intensif terhadap
kekuasaan kehakiman,karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja, (2) tidak
adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan Pemerintah (eksecutive power)-
dalam hal ini Departemen Kehakiman (judicial power), (3) kekuasaan kehakiman dianggap
tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya
apabilamasih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, (4) tidak adanya
konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian
dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus, (5) pola rekruitmen hakim selama
ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan
merekrutkannya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu Presiden atau Parlemen.89
88
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 196.
89 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 144-145.
49
Dalam konteks perjuangan menuju terwujudnya praktek penyelenggaraan Negara yang
bersih, diperlukan upaya strategis dan fundamental bagi terwujudnya komitmen akhlak dan
moral serta kualitas profesionalitas dari para hakim selaku sumber daya insane utama. Dalam
konteks inilah, Komisi Yudisial dibentuk.90
Setelah mempelajari keberadaan Komisi Yudisial diberbagai Negara, dapat disimpulkan
bahwa dibentuknya Komisi Yudisial sekurang-kurangnya mempunyai salah satu atau lebih
dari lima alasan yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang
merdeka.91
Pertama, dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara
intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat
dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja.
Kedua, Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan
Pemerintah (eksekutive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan
utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh
kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan Pemerintah. Ketiga, dengan adanya Komisi
Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekusaan kehakiman (judicial power) akan semakin
tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekruitmendan monitoring Hakim Agung
serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman. Keempat, dibentuknya Komisi Yudisial
adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa
diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Kelima, meminimalisasi
terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah
90
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 202
91 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 147.
50
lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan
lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut
menentukan rekruitmen hakim yang ada.92
Keberadaan KY sangatlah menentukan berhasil tidaknya reformasi hukum dan
penegakkan keadilan dalam dunia peradilan kita sekarang maupun masa depan. Sebab KY
bukan pelaku kekuasaan kehakiman, namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman, dimana anggotanya selaku pejabat Negara yang dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Hal inilah yang
dipercayai akan memperbaiki system peradilan Indonesia, karena dalam melaksanakan tugas
pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim .93
C. Pelembagaan Komisi Yudisial di Indonesia.
Komisi Yudisial adalah lembaga tinggi negara yang sama posisinya dengan lembaga
tinggi negara yang lain. Bersamaan dengan amandemen UUD 1945 sebagai genealogi
kemunculan Mahkamah Konstitusi, maka Komisi Yudisial juga merupakan lembaga yang
dilahirkan dari reformasi lembaga hukum di negeri ini.94
92 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm.147-148. 93 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 80.
94 Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,
2007), Cet. Pertama, hlm. 137.
51
Sebagai lembaga tinggi negara, Komisi Yudisial mendapatkan tugas dan kewenangannya
dalam UUD dan dituangkan/dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial.95
Kekuasaan kehakiman bukan suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan
yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek yang sering menjadi persoalan
didalam kekuasaan kehakiman adalah menyangkut pengangkatan, promosi, mutasi,
pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim.beberapa aspek tersebut sering
tidak terkelola dengan baik, sehingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja
kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. Persoalan semakin menjadi pelik apabila aspek-
aspek tersebut menyangkut hakim agung. Hal ini dikaitkan denga kenyataan bahwa jabatan
hakim agung adalah jabatan yang sangat strategis, sehingga beberapa kepentingan sering
ingin memanfaatkannya.96
Perubahan UUD 1945 memang telah mengubah sistem kekuasaan kehakiman dengan
menempatkan MA dan MK sebagai puncak system kekuasaan kehakiman di Indonesia. Lalu
dimana posisi KY yang dinobatkan sebagai lembaga Negara yang mandiri dan bebas dari
campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain? Kehadiran berbagai state auxiliary institutions
(lembaga Negara bantu) telah menandai transisi demokrasi. Saat ini sudah lebih dari 20-an
lembaga Negara bantu terbentuk. Jumlah ini di masa depan diprediksi akan semakin
bertambah. Pembentukan lembaga bantu itu dilakukan menurut dasar hukum yang berbeda.
Ada yang didasarkan UUD 1945, antara lain Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan Umum,
dan ada pula bedasarkan undang-undang, antara lain Komisi Penyiaran Indonesia dan Badan
95
Fajlurrahman Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP, 2007), Cet. Pertama, hlm. 137.
96 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 157-158.
52
Perlindungan Konsumen, maupun berdasarkan Keppres, antara lain Komisi Ombutsman
Nasional.97
Keberadaan lembaga Komisi Yudisial dalam sistem kelembagaan Negara Republik
Indonesia merupakan lembaga Negara (constitusional organ) karena kewenangan Komisi
Yudisial diberikan langsung oleh UUD. Menurut Pasal 24B Ayat (4) menyatakan bahwa
“Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-undang”.98
Dalam struktur kelembagaannya, Komisi Yudisial adalah dewan yang terdiri atas seorang
ketua, seorang wakil ketua yang merangkap anggota, dan tujuh orang anggota.
Keanggotaannya terdiri dari 7 (tujuh) orang yang berkedudukan sebagai pejabat Negara.
Keanggotaan KY tersebut terdiri atas unsure mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan
anggota masyarakat. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh anggota Komisi Yudisial.
Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR, untuk masa
jabatan 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan untuk
setiap lowongan keanggotaan KY, oleh DPR diusulkan 3 orang.99
Pasal 27 UU Komisi Yudisial, menetukan bahwa untuk dapat menjadi anggota KY harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Warga Negara Indonesia, (2) bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, (3) berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi
68 (enam puluh delapan) tahun, (4) mempunyai pengalaman dibidang hukum paling singkat
97 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 105-106.
98 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 109.
99 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 109.
53
15 (lima belas) tahun, (5) memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, (6) sehat jasmani
dan rohani, (7) tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, dan
(8) melaporkan daftar kekayaan.100
Selain persyaratan tersebut juga melakukan pendaftaran dan administrasi serta seleksi
kualitas dan integritas calon anggota KY oleh panitia seleksi yang dibentuk Presiden. Agar
anggota Komisi Yudisial menjalankan fungsinya secara jujur dan bai, maka anggota Komisi
Yudisial dilarang merangkap menjadi: (1) pejabat Negara atau penyelenggara Negara
menurut peraturan perundang-undangan, (2) hakim, (3) advokat, (4) notaries dan/atau Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), (5) pengusaha, pengurus, atau karyawan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) atau badan usaha swasta, (6) pegawai negeri, atau (7) pengurus partai
politik.101
Proses pemberhentian dengan hormat keanggotaan Komisi Yudisial dari jabatannya
dilakukan Presiden atas usul Komisi Yudisial apabila: (1) meninggal dunia, (2) permintaan
sendiri, (3) sakit jasmani atau rohani terus menerus, atau (4) berakhir masa jabatannya.
Sedangkan pemberhentian tidak dengan hormat keanggotaan Komisi Yudisial dari
jabatannya dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul Komisi Yudisial
karena: (1) melanggar sumpah jabatan, (2) dijatuhi hukuman pidana karena bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, (3) melakukan perbuatan tercela, (4) terus-menerus melalaikan
100 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 109- 110.
101 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 110.
54
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya, atau (5) melanggar larangan rangkap
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.102
Pengaturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial
merupakan hal penting, setidaknya karena dua alasan. Pertama, Komisi Yudisial memiliki
fungsi yang membutuhkan kualitas anggota yang baik, terutama integritas yang kokoh. Hal
ini disebabkan untuk dapat melakukan pengawasan dan rekruitmen Hakim Agung dengan
baik, anggota Komisi Yudisial harus mempunyai kualitas dan integritas yang tidak
meragukan. Kedua, konstitusi menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri. Agar
dapat mandiri setidaknya pihak yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan
memberhentikan adalah pihak yang dapat menjamin kemandirian tersebut. Persyaratan dan
pemberhentian diatur secara ketat dan mekanisme untuk mengangkat dan
memberhentikannya dilakukan dengan memenuhi prinsip transparansi, partisipasi,
akuntabilitasi, dan sebagainya.103
Perekrutan hakim, khususnya hakim agung, akan selalu mengundang pemegang
kekuasaan politik ikut serta di dalamnya. Kekuasaan eksekutif – dalam hal ini Presiden – dan
kekuasaan legislatif – dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) – selalu berlomba-
lomba untuk ikut terlibat di dalam perekrutan hakim agung agar dapat mendudukkan orang-
orang yang dikehendaki sebagai hakim agung yang dapat memperjuangkan kepentingan-
kepentingannya di kemudian hari. Oleh karena itu, untuk menghindarkan kekuasaan
102 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 110-111.
103 Sirajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan
Berwibawa, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Cet. Pertama, hlm. 95.
55
kehakiman dari beberapa persoalan tersebut, berbagai lembaga pernah mewacanakannya
kepada publik di Indonesia.104
1. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH)
Perlunya suatu lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman sesungguhnya bukan merupakan gagasan yang benar-benar
baru di Indonesia. Pada tahun 1968, ketika dilaksanakan pembahasan Rancangan Undang-
Undang (RUU) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sempat
diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH). Majelis ini mempunyai fungsi untuk memberikan pertimbangan dan mengambil
keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkaitan dengan
pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim,
yang diajukan baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman. Akan tetapi,
gagasan tersebut tidak menjadi kenyataan, karena setelah disahkan menjadi Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, rumusan
MPPH tidak muncul dalam satu pasal pun.105
2. Dewan Kehormatan Hakim (DKH)
Gagasan untuk membentuk lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tidak pernah padam. Gagasan kembali muncul dan
kali ini memperoleh akomodasi yang cukup dan memberikan harapan ketika Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disahkan. Dalam Penjelasan
104
Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 158.
105 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 158-159.
56
Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dinyatakan sebagai berikut: “Untuk
meningkatkan check and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan
agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh
masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku
hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta
menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim”.106
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berisi beberapa ketentuan yang sangat progresif
apabila dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya.
Undang-undang ini sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran bahwa persoalan
pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi
peluang bagi kekuasaan (eksekutif) melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta
berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif dalam proses peradilan.107
Susunan kelembagaan baru Komisi Yudisial terbagi menjadi dua bagian. Pertama, unsur
Anggota Komisi Yudisial yang berjumlah tujuh orang yaitu Ketua (Prof. Dr. H. Eman
Suparman, S.H., M.H.), Wakil Ketua (H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum.), Ketua Bidang
Rekrutmen Hakim (Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.), Ketua Bidang Pengawas
Hakim dan Investigasi (Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.), Ketua Bidang Pencegahan dan
Pelayanan Masyarakat (H. Abbas Said, S.H., M.H.), Ketua Bidang Sumber Daya Manusia,
Penelitian, dan Pengembangan (Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum.), dan Ketua Hubungan
Antar Lembaga (Dr. Ibrahim, S.H., LL.M.). Anggota Komisi Yudisial dipilih oleh DPR
melalui mekanisme panitia seleksi yang dibentuk oleh Pemerintah terlebih dahulu. Kedua,
106
Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 159.
107 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 159-160.
57
unsur Sekretariat Jenderal. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2004 dikatakan
bahwa: (1) Komisi Yudisial dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris
Jenderal, (2) Sekretaris Jederal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil. Adapun tugas
Sekretaris Jenderal sebagaimana Pasal 12 adalah memberikan dukungan teknis
administrative kepada Komisi Yudisial. Dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal
sebagai eleson I dibantu oleh lima orang eleson II dan pejabat lain.108
D. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial.
Suatu Negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, sebagaimana ditentukan dalam
pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, maka
independensi peradilan dan independensi hakim merupakan unsur esensial dari Negara
hukum (rechtsstaat atau rule of law) tersebut. Oleh karena pentingnya prinsip ini, maka
konsepsi pemisahan kekuasaan diantara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta
konsepsi independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang fundamental
sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari konstitusi dan merupakan jiwa dari
konstitusi itu sendiri. Bahkan, ketika UUD 1945 belum diubah pun, dimana ajaran pemisahan
kekuasaan tidak dianut, prinsip kekuasaan dan independensi kekuasaan kehakiman sudah
ditegaskan, dan hal itu sudah tercermin dalam pasal 24 dan penjelasan pasal 24 tersebut.
Sekarang setelah UUD 1945 diubah dari perubahan pertama hingga keempat, dimana
cabang-cabang kekuasaan Negara dipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances, maka
pemisahan kekuasaan yudikatif dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya semakin
diperjelas sehingga independensi kekuasaan kehakiman disamping bersifat fungsional juga
108 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
58
bersifat struktural yaitu dengan diadopsinya kebijakan satu atap sebagaimana diatur dalam
pasal 13 ayat (1) UUKK.109
KY adalah lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi
(constitutionally based power). Artinya, sebagai lembaga Negara yang bersifat mandiri
dalam tugasnya Komisi Yudisial sebagaimana telah ditentukan dalam UUD, kewenangan
Komisi Yudisial juga diberikan dan diatur dalam UUD. Kewenangan yang mengeksklusifkan
dan membedakan Komisi Yudisial dari lembaga-lembaga lain. Dengan konstruksi demikian,
KY memiliki legitimasi yuridis amat kuat dalam struktur ketatanegaraan.110
Membicarakan tugas Komisi Yudisial di Indonesia sudah pasti merujuk pada ketentuan
pasal 24B perubahan ketiga UUD 1945. Apalagi sampai saat ini Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial belum ditetapkan sebagai Undang-undang. Oleh karena itu
Konstitusi menjadi rujukan utama dalam melihat Komisi Yudisial di Indonesia.111
Pasal 24B berisi empat ayat, yaitu (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2)
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; (4)
Susunan, Kedudukan, dan Keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.
109
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 146.
110 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 151.
111 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 177-178.
59
Dari keempat ketentuan tersebut, ada dua (2) hal yang berkaitan dengan tugas Komisi
Yudisial, yaitu: mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan keluhuran martabat, serta prilaku hakim.112
Walaupun demikian, beberapa peranan Komisi Yudisial RI tersebut diatas khususnya
kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung diperkirakan sangat berkaitan
dengan proses seleksi yang dilembagakan dalam suatu lembaga Negara. Tentu saja ada
dampak positif terhadap hasil kerja yang diharapkan. Anggota Komisi Yudisial dapat bekerja
maksimal dan bersifat mandiri dalam rangka memilih Hakim Agung yang berkualitas,
potensial, mengenai hukum dan professional. Anggota Komisi Yudisial lebih mapan dan
terjamin sebab dibentuk berdasarkan UUD dan pelaksana tugasnya dipayungi oleh suatu
Undang-Undang.113
Sebagai lembaga tinggi negara yang lahir dari tuntutan reformasi hukum dan bertugas
untuk melakukan reformasi lembaga peradilan, tentu saja Komisi Yudisial tidak mungkin
membiarkan terus berlangsungnya praktek penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan
sebagaimana dikemukakan di atas. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu melakukan
langkah-langkah pembaharuan yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang
sungguh-sungguh bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari
keadilan memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.114
112 Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: ELSAM-Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2004), Cet. Pertama, hlm. 177-178. 113
Harian Kompas 26 Agustus, 2006. 114
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.
60
Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana
dikemukakan di atas merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk penyalah-gunaan
wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan mengawasi perilaku hakim, agar para
hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Oleh karena
itu, apabila fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial itu berjalan efektif tentu dapat
mendorong terbangunnya komitmen dan integritas para hakim untuk senantiasa menjalankan
wewenang dan tugasnya sebagai pelaksana utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan kode
etik, code of conduct hakim dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sinilah
sesungguhnya letak peranan penting dari Komisi Yudisial dalam upaya mendukung
penegakan hukum di Indonesia.115
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka eksistensi Komisi Yudisial menjadi sesuatu
yang sangat urgen. Namun, meskipun salah satu kewenangannya menjaga kehormatan dan
martabat penegak keadilan, akan tetapi lembaga Komisi Yudisial tersebut tidak dimaksudkan
sebagai lembaga tandingan ataupun berada pada posisi yang berhadap-hadapan dengan
lembaga peradilan. Komisi Yudisisal juga secara khusus bukanlah lembaga pengawas
peradilan arau pengawas kekuasaan peradilan. Selain ini, Komisi Yudisial juga bukanlah
lembaga penegak hukum, melainkan lembaga penegak kode etik dan prilaku yang
menyimpang dati para hakim dari standar kode etik sebelum pelanggaran tersebut
berkembang menjadi pelanggaran hukum (deviation agains legal norms). Namun,
pemeriksaan dan pengawasan yang dilakukan Komisi ini sangat penting untuk mendorong
agar para hakim dapat memperbaiki diri dari prilaku yang tidak terpuji jika ditemukan
115
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.
61
indikasi pelanggaran hukum, Komisi Yudisial juga dapat meneruskannya keaparat penegak
hukum utuk diproses hukum selanjutnya.116
Keberadaan KY sebagai lembaga Negara diatur dalam pasal 24B UUD 1945 yang
menyatakan: “Ayat (1): komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; Ayat (2): Anggota
Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak terecela; Ayat (3): Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan dari DPR; Ayat (4): Susunan,
kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan UU.”117
Berdasarkan ketentuan UUD1945 di atas, setidaknya diatur beberapa hal mengenai KY,
yaitu: (1) Sifat lembaga Negara yang benama KY; (2) Kewenangan Konstitusional KY;
(3)Persyaratan menjadi anggota KY; (4) lembaga Negara yang berwenang mengangkat dan
memberhentikan KY; dan (5) pengturan susunan, kedudukan, dan keanggotaan KY.118
Selanjutnya sebagai operasionalisasi penjabaran ketentuan pasasl 24B UUD 1945
tersebut di atas disahkan pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004, menentukan bahwa dalam kedudukannya sebagai
lembaga Negara, KY diberi kewenangan antara lain: (1) Mengusulkan pengangkatan hakim
116
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.
117 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 6.
118 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007),Cet. Pertama, hlm. 6.
62
agung kepada DPR, (2) Menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim.119
Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KY mempunyai tugas, antara lain: (1)
Melakukan pendaftaran calon hakim agung; (2) Melakukan seleksi calon hakim agung; (3)
Menetapkan hakim agung; dan (4) mengajukan calon hakim agung k‟ DPR. Sedangkan dalm
rangka melakukan kehormatan dalam keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap prilaku hakim.120
Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Komisi Yudisial memiliki dua wewenang utama yaitu: (1) mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung kepada DPR; dan (2) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim. Adapun tugas Komisi Yudisial merupakan pengejawantahan dari
dua wewenang diatas. Sejauh ini Komisi Yudisial telah melaksanakan wewenang pertama
dengan baik. Sampai saat ini Komisi Yudisial telah menyelenggarakan tujuh kali seleksi
Hakim Agung dan sudah menghasilkan 20 Hakim Agung. Saat ini Komisi Yudisial sudah
menyelesaikan penyelenggaraan seleksi HakimAgung pada tahun 2011 dan menyerahkan 18
nama ke DPR untuk dilakukan fit and proper test. Nama-nama tersebut sudah diserahkan ke
pimpinan DPR pada awal Agustus 2011. Berbeda dengan wewenang pertama, dalam
menyelenggarakan wewenang kedua Komisi Yudisial masih memiliki kendala lantaran
belum ada kesepahaman dengan Mahkamah Agung. Meski demikian, sejak Komisi Yudisial
119 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7.
120 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7.
63
berdiri telah memanggil 412 hakim untuk dimintai keterangan. Hasilnya sebanyak 123 hakim
direkomendasikan ke Mahkamah Agung untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis,
pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap dari jabatan hakim. Prosentase
rekomendasi tersebut 55% mendapatkan teguran tertulis, 32% direkomendasikan
pemberhentian sementara, dan 13% berupa pemberhentian tetap.121
Dengan adanya Komisi Yudisial ini diharapkan bahwa sistem rule of ethics dapat
dikembangkan secara efektif dalam praktek, disamping sistem rule of law yang perlu terus
dimantapkan peranannya. Jika pelaksanaan tugas Komisi Yudisial dalam menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan prilaku hakim-dalam istilah lain disebut
moralitas- dapat dijalankan dengan baik, maka secara tidak langsung pasti akan berpengaruh
terhadap upaya membangun sistem peradilan yang terpercaya (respectable judiciary) dan
terbebas dari praktek korupsi dan kolusi serta jeratan mafia peradilan. Oleh karena itu,
keberhasilan pelaksanaan tugas Komisi Yudisial itu sendiri juga penting untuk
membersihkan pengadilan dari segala praktek yang kotor.122
121
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 122
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA
64
BAB IV
ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM
REFORMASI PERADILAN
A. Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan
Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia
yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat untuk seluruh anggotanya.” Bila dikaitkan definisi ini
dengan Islam atau Syara‟, maka hukum Islam berarti; seperangkat peraturan berdasarkan
wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat semua orang beragama Islam.” Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan,
hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan
yang mengikat baik di dunia maupun di akhirat. Kata yang “berdasarkan wahyu dan sunnah
Rosul” menjelaskan bahwa peraturan itu digali dari wahyu Allah dan sunnah Rosul; atau
yang populer disebut dengan Syari‟at. Kata tentang tingkah laku manusia mukallaf
mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tingkah laku lahir manusia yang
dikenai hukum.123
Reformasi, barasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi”
berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform”
diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga
berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam
suatu masyarakat atau negara. Reformasi ialah melakukan suatu perubahan dengan
penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, atau kebijakan yang berkaitan dengan
123 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Ciputat Press, 2005), Cet. Pertama, hlm. 41.
65
hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.
Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau
pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik.124
Sedangkan kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan
“an”. Kata “peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”,
“menyelesaikan”. Dan umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan
pengadilan. Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: (a) Lembaga
hukum (tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan), (b) Perkataan yang harus
dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan
hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Jadi peradilan ialah suatu lembaga atau tempat
untuk mencari keadilan.125
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti
menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena
hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini
kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu (syariat) telah ada
sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim
dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada.126
Mengingat reformasi selalu dikaitkan dengan masalah hukum, maka reformasi
sesungguhnya bisa diartikan sebagai sebuah proses perubahan tatanan hukum, dalam hal ini
adalah konstitusi untuk menuju pada tatanan dan kehidupan hukum masyarakat yang lebih
124
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 39-40.
125 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 2.
126 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007), Cet. Pertama, hlm. 1-2.
66
baik, sejahtera, adil, dan makmur. Keadilan yang dimaksud bukan saja dalam struktur tatanan
konstitusinya, akan tetapi keadilan dalam keseluruhan untuk masyarakat. Ini sesuai dengan
Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90 dan Surat An-Nisa‟ ayat 58.127
Di dalam Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90, telah dijelaskan supaya kita berbuat adil.
Diantara Firman Allahdalam Surat An-Nahl ayat 90 yaitu:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Dan dalam Surat An-Nisa‟ ayat 58 juga disebutkan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”128
Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga
unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah
127
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 45.
128 Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980), Cet.
Pertama, hlm. 54.
67
kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan
(fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan
bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan
mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan
yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum (de
rechtsstaat).129
Di Era reformasi, tonggak awal kemandirian kekuasaan kehakiman ditandai dengan
adanya amandemen UUD 1945, terutama pasal 24 ayat (1) yang mengharuskan kekuasaan
kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.untuk
mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif tersebut, maka lahirlah
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.130
Pada dasarnya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, sebagaimana pasal
3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 disebutkan juga bahwa “segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain diluarkekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”, namun demikian rumusan diatas telah menyatakan bahwa segala campur tangan
dalam urusan peradilan hanya diperbolehkan jika Undang-Undang Dasar 1945 telah
menyatakannya.131
129 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 109. 130
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. Pertama, hlm. 185.
131 Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi Yudisial, (Jakarta: Pusat
Data dan Layanan Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm.6.
68
Regulasi kekuasaan kehakiman pada era reformasi ada beberapa tahap, antara lain; (1)
lahir ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan itu menjadi dasar yuridis bagi
penyelenggaraan negara agar menjalankan prinsip tata kelola yang baik. (2) UU No. 14
Tahun 1970 dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi UU No.35 Tahun 1999.
UU tersebut lahir setelah berakhirnya masa pemerintahan orde baru. (3) Era kekuasaan
kehakiman dibawah kontrol penuh dari aspek organisasi, finansial, dan administratif oleh
Mahkamah Agung atau kekuasaan kehakiman di satu atap. Masa ini disebut one roof of
justice system. (4)pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dengan eksekutif dari sistem
satu atap yang melahirkan konsep independensi kekuasaan kehakiman. (5) sepuluh tahun
kemudian lahirlah UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang memperkuat
independensi kekuasaan kehakiman, (6) dalam UU tersebut lahirjuga Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial. (7) Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman,
sedangkan Komisi Yudisial menjadi pengawas kekuasaan kehakiman dan menyelenggarakan
seleksi calon hakim agung.132
Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu: Sultah
Tanfiziyyah (kekuasaan penyelenggara Undang-undang), Sultah Tasyri‟iyyahh (kekuasaan
pembuatUndang-undang), Sultah Qadhaa‟iyyah (kekuasaan kehakiman), itu belum di
pisashkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berad pada satu tangan yaitu
penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan Negara tersebut
masing-masing melembaga dan mandiri.133
132
Bulletin Komisi Yudisial, Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Tanggal 05 April-Mei 2011. 133
Salim Ali Al-Bahansi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta:Pustaka Al- Kautsar, 1996), Cet. Pertama, hlm. 53.
69
Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad
(38) ayat 26, yaitu:
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.”134
Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah (5) ayat 49:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang
telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”135
Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang
telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al-Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun
134
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 11-12.
135 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm.
12-13.
70
yang harus ditetapkan, yaitu: (1) Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk
menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri
semua tugas itu, (2) Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan
perselisihan dan memutuskan persengketaan, (3) Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada
qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat
apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki (penolakan) yang berupa penolakan atas
gugatannya, (4) Al-Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, (5) Al-
Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata.136
Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan
adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya:
“Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua
pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala.” (HR. Bukhari Muslim)
Kata hakim dalam hadis di atas mengandung pengertian orang berhak mengadili perkara,
dan dalam hadis lain diungkapkan dengan kata qadhi yang artinya hakim atau qadhi. Atas
dasar ayat-ayat dan hadis di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa mengadakan
dan menjalankan lembaga al-Qadha‟ itu hukumnya wajib kifayah (kewajiban kolektif umat
Islam). Eksistensi lembaga peradilan Islam didukung dengan akal. Sebab, ia harus ada untuk
melindungi kepentingan-kepentingan orang yang teraniaya dan untuk menghilangkan
berbagai sengketa yang timbul dalam masyarakat. Dalam sejarah pemerintahan Islam, orang
136
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 13.
71
yang pertama kali menjabat hakim di Negara Islam adalah Rasulullah SAW, dan beliau
menjalankan fungsi tersebut selaras dengan hukum Tuhan.137
Lembaga peradilan pada masa khulafa al-Rasyidin juga mengikuti prinsip
peradilan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Baru pada zaman kekhalifahan bani
Abbasiyah, dibentuk dewan Madzalim/ Wilayah al-Mazhalim (dewan pemeriksa
pelanggaran) dan selanjutnya dibentuk dewan hisbah (kekuasaan al-Muhtasib). Di dalam
perkembangannya, lembaga peradilan tersebut meliputi Wilayah al-Qadha‟, Wilayah al-
Mazhalim dan Wilayah al-Hisbah. Wilayah al-Qadha‟ adalah lembaga peradilan untuk
memutuskan perkara-perkara awam sesama warganya, baik perdata maupun pidana. Firman
Allah S.W.T. dalam Surat an-Nisa‟ (4) ayat 65:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.”138
Menurut ulama fikih wewenang lembaga al-Qadha‟ adalah terdiri atas; (1)
Menyelesaikan setiap perkara yang masuk, baik dengan cara baik maupun dengan
menetapkan ketentuan hukum dalam al-Qur‟an. (2) Menghentikan segala bentuk kedzaliman
di tengah masyarakat. (3) Melaksanakan hudud (jarimah) dan menegakkan hak-hak Allah.
137
http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.
138 http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-
islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.
72
(4) Memeriksa segala perkara yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap nyawa dan
anggota tubuh manusia. (5) Melindungi hak-hak anak yatim dan orang-orang yang cacat
mental. (6) Mengawasi dan memelihara harta wakaf. (7) Melaksanakan berbagai wasiat. (8)
Bertindak sebagai wali nikah. (9) Mengawasi dan melindungi berbagai kepentingan dan
kewajiban hukum. (10) Melaksanakan dan mengajak berbuat amar ma‟ruf nahi munkar.139
Dalam fiqih Islam ada tiga bentuk wilayah peradialn, yaitu: (1) Wilayah al-Qadha, yaitu
lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga peradilan
biasa, (2) Wilayah al-Mazalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus
penganiayaan pengusa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dan
perangkatnya, (3) Wilayah al-Hisbah, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai
kasus pelanggaran moral dalam rangka amar ma‟ruf nahi munkar.140
Kemudian kata sulthanah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti
pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan,
kerajaan, pemerintahan.141
Menurut Lois Ma‟luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam berarti al-
malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah.142
Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan,
penyesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan
kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya
proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili
139
http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.
140 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, ( Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. Pertama, hlm. 15.
141 Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, (Jajarta: Konstitusi Press, 2006), Cet.
Pertama, hlm. 118. 142
Ahmad Warsono Munawir, kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. Pertama, hlm. 650.
73
perkara perselisihan, baik yang menyangkutperkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa
Indonesia, istilah ini dikenal dengan nama kekuasaan yudikatif.143
Sebagai seorang Qādli (pemegang otoritas jurisdiksi) Nabi SAW telah menjalankan
perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu.
Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan-
aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan
pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan
kandungan ayat QS. Al-Mā‟idah: 38. Firman Allah S.W.T. QS. Al-Mā‟idah Ayat 38, antara
lain:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”144
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad beliau
dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti
ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih
ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah
satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri
143 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Pertama,
hlm. 16567. 144 http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.02, tgl
25 07 2011.
74
ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah
waris. Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum
ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.
Islam sangat fleksibel dalam masalah yang berkaitan dengan pemerintahan, yaitu bahwa
sebuah Negara Islam dapat memilih untuk menjalankan urusan domestiknya seperti urusan
luar yang mana tidak harus mengadopsi desaindari pemerintah secara mutlak. Hal ini
memungkinkan bagi setiap masyarakat Islam untuk memilih tipe pemerintahan yang cocok
dengan tuntutan mereka. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa penguasa Islam
mendapat kemerdekaan penuhuntuk menjalankan pemerintahan seperti mereka inginkan.
Islam sudah memberikan detailprinsip-prinsip fundamental untuk urusan pemerintahan dalam
sebuah Negara. Hal tersebut tidak berkaitan dengan bentuk pemerintahan seperti apa yang
digunakan oleh suatu Negara, tapi hanya menuntutagar urusan-urusan dalam Negara Islam
harus diatur berdasarkan prinsip fundamental yang berasal dari ajaran al-Qur‟an dan Sunnah
, dan penguasa Islam yang ada di Negara itu tidak boleh mengacuhkan aturan-aturan tersebut
dalam hal apapun.145
Salah satu dari prinsip fundamental tersebut adalah bahwa seorang penguasa
berkawajiban untuk mendirikan sebuah sistem yang dapat menegakkan keadilan diantara
rakyatnyadalam suatu Negara. Seorang penguasa Islam bertanggung jawab terhadap Allah
S.W.T. dan juga rakyatnya untuk mendirikan sebuah aturan peradilan untuk menegakkan
145
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 57.
75
keadilan. Meskipun begitu Islam tidak menuntut bahwa pemerintahan harus dibagi menjadi
bagian-bagian berbeda, seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif sebagaimana yang
ditemukan dalam system pemerintahan modern. Yang harus dilakukan oleh seorang
pemimpin adalah menyediakan lembaga peradilan agar rakyatnya tidak mendapat tekanan
dalam hal apapun dan dari siapapun dalam menjalankan kehidupan mereka.146
Tujuan utama dalam mendirikan pemerintahan Islam adalah penegakkan keadilan baik
dari peradilan yang terpisah dari pihak eksekutif maupun sebaliknya. Dengan kata lain,
pemerintahan Islam boleh jika penegakkan keadilan ditangani secara kombinasi kekuasaan,
serti eksekutif dan yudikatif yang ditangani satu bagian sebagaimana pada periode awal
pemerintahan Islam dahulu. Pemisahan badan peradilan dari eksekutif tidak menjamin
tegaknya keadilan bagi masyarakat kalau piahak luar selalu ikut campur dalam urusan
peradilan, olehkarenaitu yang penting dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat
berdasarkan keadilan yang sebenarnya.147
Berdasarkan aturan hukum Islam seorang hakim harus mendapatkan kebebasan penuh
dalam membuat putusan, baik dalam system peradilan Islam yang tidak memisahkan antara
yudikatif denga eksekutif maupun yang memisahkan system pemerintahan berdasarkan
eksekutif, legislative, dan yudikatif. Jika prinsip independensi dalam peradilan tidak
ditetapkan, maka hak-hak orang tertindastidak dapat diperolehnya dan tidak ada yang
mendengar keluhan mereka. Hal ini tidak mungkin terlaksana kecuali jika hakim
146
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 57-58.
147 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan
Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 58.
76
mendapatkan kebebasan penuh untuk memutuskan dan memberikan hukuman kepada pihak
yang salah berdasarkan pemikiran dan pendapat mereka sendiri.148
Selama masa pemerintahan Nabi Muhammad S.A.W. tidak ada konsep pemisahan badan
peradilan dengan eksekutif dalam suatu Negara. Kedua kekuasaan tersebut berada dalam
badan eksekutif. Nabi Muhammad S.A.W. tidak hanya kepala Negara di Madinah tapi juga
bertindak sebagai hakim. Demikian juga pada saat pemerintahan para khalifah, kedua
kekuasaan yaitu yudikatif dan eksekutif berada dalam satu badan, dibawah tanggung jawab
khalifah. Alasan dari hal tersebut adalah karena penguasa pada saat itu sangat dipercaya dan
tidak ada hal yang dapat mempengaruhi mereka. Lebih lagi, hakim pada masa itu sangat
independen dan tidak dapat dipengaruhi bahkan oleh khalifah sekalipun.149
Para hakim dalam masa awal pemerintahan Islam terkenal sangat independen. Mereka
selalu memperlakuan setiap pihak yang beperkara dengan persamaan hak yang absolutdi
muka sidang pengadilan. Para hakim tersebut melakukannya tanpa rasa takut meskipun yang
diadili itu seorang pejabat atau seorang raja melawan rakyat biasa. Literature sejarah Islam
penuh dengan kejadian-kejadian yang menunjukkan derajat independensi yang dimilikioleh
hakim-hakim Islam dalam menjalankan fungsi peradilan mereka.150
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa hakim Islam selalu mendapatkan kebebasan
dan otonomi secarah penuh. Pemerintah Islam dalam member otonomi tidak adanya tekanan
dari siapapun sehingga mereka dalam memutus suatu perkara tidak pernah merasa takut
meskipun yang diadili adalah penguasa mereka. Salah satu contoh independensi hakim dalam
148 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan
Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 58. 149
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 58.
150 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan
Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 59.
77
peradilan Islam adlah sebagai berikut: “suatu ketika istana kerajaan diperluas oleh beberapa
orang pemerintahan dan melanggar batas tanah milik seorang anak yatim piatu yang
berdekatan dengan istana khalifah al-Mu‟tasim. Anak tersebut memperkarakan hal tersebut
itu ke pengadilan al-Meriyah. Hakim memutuskan untuk menyuruh petugas pemerintahan
menghentikan pembangunan istana khalifah sampai ganti rugi kepada anak yatim piatu
tersebut dipenuhi.151
Independensi peradilan sangat dibutuhkan, karena hal ini merupakan salah satu syarat
penting dalam menegakkan keadilan sehingga hakim harus benar-benar bebas untuk
membuat putusan berdasarkan pemehaman dan pemikiran mereka sendiri. Sehubungan
dengan adanya pemisahan badan eksekutif dan yudikatif seperti sekarang ini. Keadaan ini
memang sangat dibutuhkan, karena penguasa dimasa sekarang tidak sejujur penguasa pada
masa awal pemerintahan Islam. Oleh karenanya, perlu lembaga eksekutif dan yukatif
dipisahkan agar adanya Chechk and Balance dalam menjalankan roda pemerintahan Negara.
Memisahkan peradilan dari lembaga eksekutif dengan yudikatif akan menimbulkan kebaikan
sebab akan adanya saling control dalam menjalankan kekuasaan Negara.152
B. Analisa Hukum Islam Terhadap Komisi Yudisial
Komisi Yudisial lahir pada era reformasi saat amandemen ke III Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 bersamaan dengan Dewan
Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi.153
151 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan
Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 59. 152
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. Pertama, hlm. 62.
153 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan
Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm. 64.
78
Walaupun Komisi Yudisial adalah lembaga baru, namun keberadaannya memperoleh
justifikasi hukum yang sangat kuat karena diatur secara tegas didalam konstitusi/Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kewenangannya diberikan oleh
konstitusi.154
Berkaitan dengan itu, kehadiran komisi Yudisial didalam sistem kekuasaan kehakiman di
Indonesia bukanlah sebagai “aksesoris” demokrasi atau proses penegakkan hukum. Komisi
Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik yang ditujukkan untuk membangun sistem saling
awas dan saling imbang (Check and Balance) didalam struktur kekuasaan, termasuk
didalamnya pada sub sistem kekuasaan kehakiman.155
Kehadiran Komisi Yudisial (KY) yang ditegaskan dalam pasal 24B Ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD) sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri, selain
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga diarahkan untuk menciptakan sebuah
lembaga pengawas dalam kekuasaan yudikatif. Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kewenangan tersebut merupakan “keniscayaan” dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
pasca empat kali perubahan UUD, yang bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat hakim
dalam memerankan fungsinya sebagai bagian dari implementasi penegakkan supremasi
hukum.156
Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa di lepaskan dengan era reformasi yang lahir
semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Mundurnya Presiden Soeharto yang
154 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan
Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm. 64. 155
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan Informasi, 2009), Cet. Pertama, hlm. 64-65.
156 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Data Pelayanan
Informasi, 2009), Cet, pertama, hlm. 27.
79
sudah memimpin selama 32 tahun, pada tahun 1998menandai era reformasi yang berdampak
pada perubahan dalam sistem perpolitikan hingga ketatanegaraan Indonesia. Salah satu
perubahan yang cukup signifikan adalah pada pergeseran sistem kekuasaan kehakiman yang
mendorong terwujudnya reformasi peradilan.157
Beberapa hal yang menjadi fakta keberadaan reformasi peradilan antara lain: Pertama,
pada tahun 1999 lahir Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Melalui ketentuan itu, terdapat perubahan penting dimana kekuasaan kehakiman
menjadi satu atap dalam pengelolaan organisatoris, administratif, dan finansial berada
dibawah kendali Mahkamah Agung. Sebelumnya pengelolaan organisatoris, administratif,
dan financial Pengadilan Agama berada di Departemen Agama, sementara secara organisasi
berada dibawah kendali Mahkaamh Agung. Kedua, system satu atap Mahkamah Agung
dikhawatirkan menjadikan kekuasaan yudikatif tidak terbatas. Hal ini menjadi pemikiran
untuk menelurkan inisiatif bentuk nyata dan reformasi peradilan dengan melahirkan institusi
baru bernama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga, seleksi Hakim Agung
dilakukan lebih terbuka dengan membuka partisipasi dari masyarakat untuk mencalonkan diri
sebagai Hakim Agung. Anggota masyarakat yang memiliki latar belakang hukum dengan
kualifikasi tertentu dapat dicalonkan oleh KY sebagai calon Hakim Agung. Posisi Hakim
Agung menjadi terbuka dan tidak dimonopoli oleh Hakim Karir.158
Dalam Islam sejak awal bahwa peradilan merupakan sebuah sistem yang selain
mencakup proses peradilan atau arbitrasi itu sendiri juga mencakup hal-hal atau lembaga
lainnya yang saling mendukung satu sama lain. Dalam diskursus jurisprudensi Islam yang
157
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
158 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
80
berkembang kemudian, selain istilah qadlā‟ (yang berarti peradilan secara umum) dikenal
pula istilah Hisbah dan al-Madzalim. Hisbah didefinisikan sebagai “memerintahkan hal-hal
yang baik (ma`rūf) ketika telah mulai ditinggalkan dan mencegah atau melarang
kemungkaran ketika dikerjakan”. Dalam perkembangan system peradilan Islam yang terjadi
kemudian hisbah menjadi sebuah lembaga (dan petugasnya disebut dengan muhtasib) yang
bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran dengan dibekali hak istimewa
untuk menginvestigasi dan mencari-cari perilaku kemungkaran yang mungkin dikerjakan.159
Adapun lembaga sistem peradilan yang lain seperti kepolisian dan penjara, dari catatan
sejarah yang ada dapat disimpulkan tampaknya kedua institusi tersebut belum pernah ada di
zaman Nabi. Sedangkan konsep “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa
ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh
wahyu Allah terhadap Nabi Saw. Rasulullah juga melakukan pengawasan serta evaluasi
terhadap para sahabat yang ditunjuknya untuk menjalanakan peradilan sebagaimana
diindikasikan dalam riwayat Hudzaifah ibn Al-Yaman dan Ali yang usai menyelesaikan
putusannya melaporkannya kepada Nabi, dimana Nabi kemudian membenarkannya. Jika
putusan kedua sahabat itu salah, tentu Nabi-pun akan segera mengoreksinya.160
Penegakkan sistem hukum dan keadilan memerlukan pendekatan dengan paradigm baru
yakni dengan pendekatan ilmu Sosial Profetik. Dalam pengertian ini ilmu hukum termasuk
didalamnya. Dalam pandangan Kuntowijoyo, ilmu social profetik memerlukan pijakan etik-
ilmiahnya dalam Al-Qur‟an, Surat Ali Imran Ayat 110:
159
http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.30,tgl 25 07 2011.
160 http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.30, tgl
25 07 2011.
81
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dikatakan, bahwa ilmu social profetik ialah humanisasi, liberasi, dan transendensi
(Kuntuwijoyo: Muslim Tanpa Masjid).dalam konteks misi Komisi Yudisial untuk agenda
reformasi peradilan, maka tugasnya mencangkup juga bagaimana bersama komunitas hakim,
melakukan gerakan liberasi atas praktik mafia peradilan itu, yang pada hakekatnya
merupakan proses humanisasi dan transendensi.161
Reformasi peradilan sebagai agenda Komisi Yudisial, memerlukan sejumlah program.
Antara lain, peningkatan kualitas SDM hakim, dan dalam batas wajar peningkatan sarana dan
kesejahteraannya, serta berbagai kesempatanuntuk bisa mengakses berbagai program
peningkatan spekrum intelektualitasnya. Hal inipenting, mengingat, bahwa ia berkewajiban
membuat putusan yang secara sadar dijiwai dengan title/irah-irah: “Demi Keadilan
Berdasarkan Ke-Tuhanan Ynag Maha Esa” yang memuntut kemampuan bertanggung jawab
kepada Sang Khalik. Secara sosial ia juga harus mempertanggung jawabkan putusannya
kepada publik, karena ia pejabat publik, bukan profesi, meskipun dituntut harus
professional.162
161
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai KomisiYudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. Ix.
162 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai KomisiYudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta:
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. x.
82
Dunia penegakkan hukum dan keadilan yang berkeadaban, bukan saja menjadi agenda
dan kewajiban serta tanggung jawab insane penegak hukum (hakim) saja. Hakim, bukan elit
sosial yang memiliki privilese yang eksklusif dan bebas kontrol. Mengingat ia adalah pejabat
publik, dimana publik berhak mengawasinya. Ia tidak hidup dan bekerja dalam ruang hampa
kritik dan sapaan. Penegakkan hukum juga menjadi tanggung jawab akademisi dan praktisi
hukum. Saatnya kini para “dewa” akademisi hukum, turun dari kayangan dan mengambil
posisi dan sikap kritis melakukan transendensi ilmu.163
Di dalam Al-Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90, telah dijelaskan supaya kita berbuat adil.
Diantara Firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 90 yaitu:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Dan dalam Surat An-Nisa‟ ayat 58 juga disebutkan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
163
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bunga Rampai KomisiYudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007), Cet. Pertama, hlm. viii.
83
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”164
Dari ayat diatas jelas disebutkan Allah memerintahkan kita untuk selalu menegakkan
keadilan dengan sebenar-benarnya. dan juga Al Quran menegaskan tentang persamaan
dalam hukum, tidak peduli miskin ataupun kaya, saudara, kerabat ataupun bukan, Allah tetap
memerintahkan untuk berbuat adil.
C. Menerangkan Hubungan Antara Rumusan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 dan Ketatanegaraan Islam.
Sebelum menerangkan Rumusan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, ada baiknya
mengupas tentang Hukum Islam terlebih dahulu. Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber pada nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama Islam yaitu
Al-Qur‟an, Al-Hadits, Ijma Ulama, dan Qiyas. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia
hanya sebatas persoalan hukum perdata dan mu‟amalah saja, seperti pernikahan, perceraian,
jula beli, dan sewa gadai. Ruang lingkup tersebut menjadi wewenang Hakim dilingkungan
pengadilan agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara.165
Sementara Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 TentangKomisi Yudisial merupakan
penjabaran dari pasal 24B UUD 1945 dalam Amandemen III pada Tahun 2011. Adapun
bunyi Pasal 24 tersebut adalah:
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
164
Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980), Cet. Pertama, hlm. 54.
165 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
84
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang
hukum serta memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-
undang.166
Merujuk kepada pasal diatas maka lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 yang
mengatur Komisi Yudisial secara lebih terinci. Undang-undang tersebut menjadi wujud
kelembagaan Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial tidak terlepas dari konsep Check
and Balance kekuasaan kehakiman. Bahwa kekuasaan apapun termasuk kekuasaan
kehakiman bukan tidak terbatas sehingga dibutuhkan mekanisme pengawasan. Pertimbangan
utama keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal hakim dimaksudkan
sebagai penyeimbang kekuasaan kehakiman karena telah diberikan kekuasaan
independensi/kemandirian yang kuat dalam memerikasa dan memutus perkara.167
Perlu kembali diketahui bahwa ranah Komisi Yudisial adalah pengawasan hakim agar
menjalankan perannya dalam professional dan adil. Komisi Yudisial tidak berhak menilai
bahwa putusan hakim termasuk hakim agama salah maupun benar. Artinya, Komisi Yudisial
tidak akan masuk pada materi perkara namun menilai apakah hakim telah melaksanakan
amanatnya secara baik atau tidak.168
Terkait dengan hal tersebut, Islam juga mengajarkan bahwa kekuasaan bukan tanpa batas.
Batasan-batasan yang digariskan oleh Islam kepada manusia ataupun penguasa adalah
sumber-sumber agama Islam terutaman Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Selain itu, Islam juga
166
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 167
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 168 Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
85
mewajibkan hakim untuk menjaga prinsip keadilan dan kebenaran. Sehingga dapat
disimpulkan tugas Komisi Yudisial agar hakim menjalankan tugasnya dengan adil, jujur,
professional, dan transparan sesuai dengan hukum Islam. 169
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa
hukum di Negara Indonesia ditempatkan pada posisi strategis di dalam konstelasi
ketatanegaraan. Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai
Negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945.170
Upaya kearah independensi kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan dengan cara : (1)
penataan ulang perundang-undangan yang berlaku; (2) mengadakan penataan ulang lembaga
yudisial; dan (3) meningkatkan kualifikasi hakim. Penataan ulang perundang-undangan
sebagai usaha memperkut prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan
tuntutan reformasi dibidang hukum telah dimulai dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Melaluai perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah
diletakkan kebijakan, bahwa segala urusan mengenai peradilan, baik yang menyangkut teknis
169
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00. 170
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 1-2.
86
yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan financial berada dibawah satu atap
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.171
Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 tersebut pada akhirnya telah
dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahaan UUD 1945
adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegraan yang lebih demokratis. Perubahaan
UUD 1945 sejak reformasi dilakukan sebanyak empat kali, yaitu: (1) Perubahan pertama
disyahkan pada tanggal 19 Oktober 1999; (2) Perubahan kedua disyahkan pada tanggal 18
Agustus 2000; (3) Perubahan ketiga disyahkan pada tanggal 10 November 2001; dan (3)
Perubahan keempat disyahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.172
Hasil perubahan UUD 1945 melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama
lain dalam posisi setara dengan saling melakukan control (cheks and balances), mewujudkan
supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan melindungi hak asasi manusia.
Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah prinsip dari sebuah Negara demokrasi dan
Negara hukum.173
Secara khusus, hasil amandemen UUD 1945 telah membawa angin perubahan [wind of
change] dalam kehidupan ketatanegaraan terutama dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
171 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 3.
172 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 4.
173 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 4-5.
87
Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi otoritas
Mahkamah Agung [selajutnya disebut MK].174
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan-
kekuasaan kehakiman, amandemen UUD 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga
Negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut
Komisi Yudisial [selanjutnya disebut KY]. Pembentukan KY merupakan salah satu wujud
nyata dari perlunya keseimbangan dan control diantara lembaga-lembaga Negara.175
Pembentukan KY merupakan penegasan terhadap prinsip Negara hukum dan perlunya
perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi. Selain itu,
pembentukan KY dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian problem yang terjadidalam
praktek ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan
KY merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern
yang muncul pada abad ke-20.176
Kritikan yang sering diajukan kepada konstruksi hukum tentang eksitensi KY tersebut
adalah: (1) KY hanya memiliki wewenang sebatas mengusulkan. Dalam keadaan demikian
KY tidak memiliki wewenang sama sekali seandainya usulan tersebut tidak diindahkan oleh
lembaga Negara lain dalam hal ini DPR; (2) Dalam hal pengawasan terhadap kinerja hakim
apakah tidak akan terjadi tumpang tindih dengan pengawasan yang dilakukan lembaga
Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi sendiri; (3) Bagaimana bentuk instrumen yang
174 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 5.
175 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 5.
176 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 5-6.
88
dijadikan untuk melakukan pengawasan, siapa yang menjadi subyek pengawasan, dan apa
yang akan dijadikan obyek pengawasan?177
Menimbang pasal 24B ayat (1)UUD 1945 yang menentukan bahwa Komisi Yudisial RI
bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan pengangkatan Hakim Agung,
juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran maetabat, serta perilaku hakim. UUD 1945 juga secara tegas menyatakan bahwa
Komisi Yudisial mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.178
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI yang membuat heboh dan
memunculkan tudingan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak reformis dan permisif terhadap
mafia peradilan adalah putusan judicial review atas beberapa pasal Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial RI. Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi
itu pada pokoknya ada tiga macam. Pertama, menyatakan bahwa pencangkupan Hakim
Agung dalam arti Hakim didalam Undang-Undang Komisi Yudisial sudah benar dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, pencangkupan hakim konstitusi dalam arti hakim
yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisial RI adlah tidak benar dan bertentangan dengan
UUD 1945. Ketiga, beberapa pasal yang berkaitan dengan materi dan cara pengawasan
hamper seluruhnya dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi RI aehingga secara praktis
sejak saat itu Komisi Yudisial RI tidak dapat melakukan kegiatan pengawasan sebagaimana
digariskan oleh UU No. 22 Tahun 2004.179
177 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara
dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), Cet. Pertama, hlm. 7-8.
178 Fajlurrahman, Jurdi, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, (Jakarta: PUKAP,
2007), Cet. Pertama, hlm. 90. 179 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 103.
89
Pada putusan kelompok ketiga inilah masalahnya muncul. Mahkamah Konstitusi RI
memuat dasar pertimbangan yang terlalu teoritis dengan perspektifnya sendiri, tidak sesuai
dengan latar belakang dan politik hukum yang mengantarkan pencantuman Komisi Yudisial
RI sebagai salah satu lembaga didalam UUD 1945. Secara garis besar, minimal ada dua
alasan Mahkamah Konstitusi RI ketika memotong wewenang-wewenang Komisi Yudisial RI
yang telah dimuat didalam UU No. 22 Tahun 2004. Pertama, Mahkamah Konstitusi RI
menyatakan bahwa sebagai lembaga Negara Komisi Yudisial RI hanyalah supporting
institutions atau auxiliary, bukan lembaga Negara yang sejajar dengan lembaga Negara
lainnya yang dapat melakukan fungsi checks and balance. Oleh sebab itu Komisi Yudisial
tidak dapat melakukan pengawasan dengan cara menyejajarkan dirinya dengan lembaga lain
seperti Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI. Kedua, ukuran dalam menilai
kehormatan dan keluhuran martabat hakim sebagai pedoman pengawasan oleh Komisi
Yudisial seharusnya dirumuskan lebih dulu didalam Undang-Undang Komisi Yudisial.
Dengan begitu, terdapat batasan yang jelas tentang ruang lingkup tugas Komisi Yudisial RI
yang dapat dijadikan pegangan yang pasti sehingga dapat dihindari adanya kerancuan.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi membatalkan wewenang-
wewenang KomisiYudisial RI karena ada tumpang tindih pengawasan antara yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung RI dan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial RI yang masing-
masing dimuat didalam Undang-undangnya sendiri.180
Adapun tentang alasan pertama, bahwa Komisi Yudisial RI hanya lembaga pembantu dan
tak sejajar dengan lembaga Negara yang lain, hal itu memang benar menurut teori dan
perspektif tertentu dalam studi ketatanegaraan lebih-lebih jika dikaitkan dengan fungsi
Komisi Yudisial RI dalam bidang kekuasaan kehakiman yang memang bersifat membantu.
180 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 104.
90
Tetapi sebagai lembaga pengawas eksternal terhadap hakim-hakim dilembaga yudikatif pasal
24B ayat (1), Komisi Yudisial RI itu bersifat mandiri dan tidak lebih rendah dari Mahkamah
Agung RI maupun Mahkamah Konstitusi RI. Kalau ditelusuri dari latar belakang
pembentukan Komisi Yudisial RI, para pembentuk (pengamandemen) UUD, seperti termuat
didalam kesaksian-kesaksian dipersidangan dari risalah-risalah PAH I MPR, secara tegas
telah menyatakan bahwa Komsi Yudisial RI dibentuk untuk mengawasi hakimkarena
pengawasan yang ada sebelumya tidak mampu mengatasi judicial corruption. Jadi
pembentukan UUD tidak mempersoalkan posisi Komisi Yudisial RI sebagai lembaga utama
atau pembantu, namun member tekanan pada fungsinya. Tanpa mempersoalkan fungsi dan
kesetaraan strukturnya, pembuat UUD telah dengan nyata menunjuk Komisi Yudisial RI
sebagai pengawas hakim yang pengaturannya lebih lanjut diserahkan kepada Undang-
Undang.181
Selanjutnya, alasan yang kedua apa yang ditunjukkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah
kerancuan Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang lain. Kalau benar ini yang
menjadi alasannya, maka keputusan Mahkamah Konstitusi itu melampauivatas alias tidak
benar. Sebab, perbenturan isisatu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lainnya itu
tidak dapat diselesaikan atau diputus dengan judicial review. Judicial review oleh Mahkamah
Konstitusi itu hanya dapat dilakukan jika ada pertentangan isi Undang-Undang dengan UUD.
Kalau pertentangan yang terjadi adalah antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang
yang lainnya maka penyelesaiannya melalui legislative review, bukan dengan judicial
review.182
181
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 104. 182 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), Cet. Pertama, hlm. 104.
91
Adapun dalam sistem ketatanegaraan Islam, kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan
atau kehakiman yakni As-sulthah AL-qadhaaiyyah yang secara terminologi, berarti
kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak
penyusunan sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang
menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal
dengan kekuasaan yudikatif.183
As-sulthah AL-qadhaaiyyah adalah salah satu dari tiga kekuasaan yang dimiliki suatu
Negara. Dua kekuasaan lainnya ialah kekuasaan memuat Undang-undang (as-sulthah at-
tasyri‟iyyah atau kekuasaan legislatif) dan kekuasaan melaksanakan Undang-undang (as-
sulthah at-tanfiziyyah atau kekuasaan eksekutif). Secara garis besar tugas dan wewenang As-
sulthah AL-qadhaaiyyah terbagi tiga: (1) untuk menjamin pelaksanaan Undang-undang oleh
pihak eksekutif, (2) untuk mengontrol atau mengawasi fungsi dan pelaksanaan kekuasaan
legislatif, (3) untuk mengadili dan menyelesaikan berbagai persoalan hukum dan perselisihan
yang diajukan dan yang menjadi kewenangannya.184
Dalam sejarah peradilan Islam, terdapat beberapa bentuk kekuasaan kehakiman, baik
dilihat dari sudut hirarki maupun sumbernya. Bentuk-bentuk kekuasaan ini dari satu
pemerintah ke pemerintah yang lain mengalami beberapa pembaruan atau perubahan, yang
semula disatukan dengan kekuasaan eksekutif, kemudian dipisahkan menjadi lembaga
tersendiri. Yang semula memiliki kewenangan yang terbatas (yaitu pada masalah-masalah
183
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 16567.
184 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,
hlm. 1656.
92
keperdataan), berubah menjadi lebih luas, yakni menyangkut perdata dan pidana (untuk
pribumi dan non-pribumi, untuk orang Islam dan non-muslim).185
Pada masa Abbasiyah dibentuk lembaga baru yang disebut wilayah al-mazalim
(kekuasaan pidana dari kalangan penguasa dan kerabatnya) dan wilayah al-hisbah
(kekuasaan peradilan untuk bidang moral dan akhlak). Pembaharuan yang paling tampak
memberikan pengaruh luas kepada Negara-negara Islam berikutnya, terjadi pada masa Turki
Utsmani. Pada masa ini bentuk kekuasaan peradilan dibedakan antara sebelum masa
Tanzimat (masa penyusunan Undang-undang baru yang bersumber dari hukum Barat) tahun
1299-1839 dan masa setelah Tanzimat (1840-1924).186
Pada masa sebelum Tanzimat, kekuasaan peradilan memiliki tingkatan sebagai berikut:
(1) Mahkamah al-Isti‟naf al-U‟luya (Mahkamah Agung), yang kewenangannya dibatasi oleh
kekuasaan Sultan. (2) Mahkamah at-Tamyiz atau an-Naqd wa al-Ibram (Mahkamah Kasasi),
yang kewenangannya mengkaji atau meneliti hukum-hukum produk Mahkamah al-Isti‟naf
(Mahkamah Banding). (3) Mahkamah al-Isti‟naf, yang kewenangannya meneliti berbagai
masalah peradilan agar sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. (4) Mahkamah al-Jaza‟
(Peradilan Pidana), yang kewenangannya untuk menyelesaikan perkara pidana. (5)
Mahkamah al-Huquq (Peradilan Perdata), yang kewenangannya untuk menyelesaikan
perkara perdata.187
Pada masa setelah Tanzimat bentuk-bentuk kekuasaan peradilan di Turki mengalami
perubahan dangan istilah atau nama-nama yang berbeda. (1) al-Qada‟ al-Milli, yaitu
185 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,
hlm. 1656. 186
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 1657.
187 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,
hlm. 1657.
93
peradilan untuk mengadili orang-orang non-Islam, sumber hukumnyaadalah Undang-undang
agama masing-masing. (2) al-Qada‟ al-Qansuli, yaitu peradilan unutk mengadili perkara
orang-orang non-Turki, sumber hukumnya adlah Undang-undang Negara masing-masing. (3)
al-Qada‟ Mahkamah Jaza‟ al-Jinayyah, yaitu peradilan untuk mengadili perkara pidana,
sumber hukumnya adalah Undang-undang Eropa. (4) al-Qada‟ Mahkamah al-Huquq, yaitu
peradilan untuk mengadili perkara perdata, sumber hukumnya adalah Majallah al-Ahkam al-
Adaliyyah. (5) al-Qada‟ asy-Syar‟I, yaitu peradilan untuk mengadili perkara yang berkaitan
dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah umat Islam, sumber hukumnya ialah kitab-kitab fiqih
Islam. Di Mesir, selain peradilan asy-Syar‟I, al-Milli, dan al-Qansuli, ada peradilan lainnya,
yaitu peradilan campuran yang sumber hukumnya adalah Undang-undang asing dan
peradilan ahli (peradilan adat) yang sumber hukumnya adalah Undang-Undang Prancis.188
Berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang dijadikan acuan dalam peradilan-peradilan
tersebut, para ahli peradilan membagi sumber hukum secara garis besarnya menjadi dua.
Pertama, peradilan yang bersumber padakepada tradisi masyarakat dan „urf (adat kebiasaan)
jahiliyah serta perundang-undangan buatan manusia (al-Qawanin al-Wad‟iyyah al-
Basyariyah) yang disebut al-Qada‟ al-Jahilli. Kedua, peradilan yang bersumber dari Allah
S.W.T. dan Rasulullah S.A.W. yang disebut al-Qada‟ asy-Syar‟I. peradilan yang kedua ini
ada dua macam, yaitu (1) peradilan at-Tahkim (arbitrase), seperti untuk menyelesaikan
masalah syikak (perselisihan suami istri yang sudah memuncak); dan (2) peradilan al-„Adi
(peradilan biasa) dengan berbagai bentuknya.189
188
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 1568.
189 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,
hlm. 1657.
94
Adapun dilihat dari sistem ketatanegaraan, tidak ada bedanya antara sistem
ketatanegaraan di Indonesia dengan sistem ketatanegaraan didalam sistem kekuasaan Islam.
Dimana di Indonesia mempunyai sistem ketatanegaraan selain yudikatif juga ada eksekutif
dan legislatif yang mana kedudukan diantara lembaga-lembaga ini sejajar didalam
pemerintahan, begitupun dengan ketatanegaraan Islam selain as-Sulthah al-Qadhaaiyyah
(yudikatif), sistem kekuasaan Islam juga memiliki as-Sulthah at-Tasyri‟iyyah (kekuasaan
legislatif) dan as-Sulthah at-Tanfiziyyah (kekuasaan eksekutif). Yang mana dari semua
lembaga ini sudah mempunyai tugas yang satu dengan yang lain saling melengkapi.190
Jadi jika Komisi Yudisial (lembaga yudikatif) ditinjau dalam ketatanegaraan Islam,
dilihat itu sama halnya dengan as-Sulthah al-Qadhaaiyyah. Yang mana Komisi Yudisial
adalah salah satu dari lembaga yudikatif di Indonesia sedangkan as-Sulthah al-Qadhaaiyyah
adalah lembaga yudikatif, dalam konteks Islam walaupun secara kedudukan as-Sulthah al-
Qadhaaiyyah lebih besar tingkatannya dari pada Komisi Yudisial dikarenakan as-Sulthah al-
Qadhaaiyyah adalah lembaga tertinggi didalam yudikatif Islam sedangkan Komisi Yudisial
hanya salah satu dari pada lembaga yudikatif yang ada di Indonesia.191
190
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama, hlm. 1658.
191 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Petama,
hlm. 1658. s
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Sebenarnya konsep peradilan dalam hukum Islam itu sudah jauh berbeda dengan masa
sekarang. Pada masa Islam dahulu semua peradilan atau kekuasaan yudikatif belum di
pisahkan dan semua kendali dari masalah peradilan itu ditangani oleh Rasulullah atau
para sahabatnya (khulafah al-rasyidun). Kemudian barulah pada masa Abbasiyah,
kekuasaan yudikatif mengalami perkembangan. Pada saat itu sudah adanya
perkembangan menyangkut kekuasaan kehakiman. Kemudian pengawasan lembaga
peradilan di sebut wilayatul madzalim. Wilayatul madzalim ini mempunyai peran untuk
menangani masalah-masalah atau perkara-perkara di peradilan umum. Adapun
kewenangan lainnya adalah mengangkat hakim-hakim yang akan ditetapkan diseluruh
provinsi.
2. Kemudian konsep reformasi peradilan di Indonesia tersebut tidak terlepas dari asas
kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka. Menurut Bagir Manan, terkandung tiga
unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah
kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan
(fungsi yustisial), kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna
larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu
dimungkinkan mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan
96
lembaga peradilan yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara
berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat). Kemudian konsep reformasi ketatanegaraan di
Indonesia juga tidak terlepas dari konsep trias politika (pemisahan kekuasaan) yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Yang artinya adanya pemisahan kekuasan antara
Pemerintah yang tidak boleh mencampuri urusan dengan kekuasan yudikatif.
3. Selanjutnya pandangan hukum Islam terhadap peran Komisi Yudisial bahwa suatu
lembaga peradilan merupakan sesuatu yang sangat urgen bagi tegaknya keadilan di
masyarakat. Hukum Islam memandang peran Komisi Yudisial yang mengawasi hakim-
hakim agung adalah sebuah kewajiban. Karena jika tidak adanya suatu lembaga
pengawas (KY) maka dunia akan kacau balau, keadilan di dalam Negara sudah tidak ada,
dan mafia peradilan akan semakin menjadi.
B. Saran
Setelah menguraikan beberapa kesimpulan, maka penulis ingin memberikan beberapa
saran sebagai masukan atau sebagai bahan pertimbangan, adapun saran penulis antara lain:
1. Untuk Komisi Yudisial, diharapkan dapat memberikan sanksi yang setimpal bagi Hakim-
hakim Agung yang bekerja diluar koridornya, kemudian sebagai lembaga peradilan yang
masih baru Komisi Yudisial diharapkan dapat melaksanakan perannya sebagai lembaga
pengawas dengan sebaik-baiknya.
2. Untuk para Hakim-hakim Agung, diharapkan dapat lebih menggunakan hati nuraninya
dalam memutus suatu perkara hukum, jangan memihak kepada siapapun, dan berusahalah
untuk menggunakan rasa keadilan sesama umat.
97
3. Untuk akademis dan masyarakat, diharapkan mampu memilah dan menimbang mana
yang baik dan mana yang buruk. Kemudian jika adanya suatu kemunkaran terhadap suatu
lembaga peradilan, hendaklah mencegah kemunkaran itu terjadi.
98
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an nul Karim
Abdullah, Taufik, Refleksi Agenda Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, Cet. Pertama
Al-Bahansi, Salim Ali, Wawasan Sistam Politik Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1996, Cet.
Pertama
Aliyah, Samir, Sistem Pemerintahan, Peradilan, dan Adat dalam Islam, Jakarta, Khalifah
Pustaka Al-Kautsar Grup, 2004, Cet. Pertama
Al-Mawardi, Imam, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara
Islam, Jakarta, Darul Falah, 2000, Cet. Pertama
Arifin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta,
Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama
Asshidiqie, Jimly dan Para Pakar Hukum, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia
Kontemporer, Jakarta, The Biografi Institute, 2007, Cet. Pertama
Asshidiqie, Jimly, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Jakarta, UI
Press, 2005, Cet. Pertama
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1996, Cet.
Pertama
Djalil, Basiq, Peradilan Islam, Jakarta, UIN Syarifhidayatullah, 2007, Cet. Pertama
Fadjar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press, 2006,
Cet. Pertama
Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Ciputat Press, 2005, Cet. Pertama
Hasan, Cik Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1977, Cet. Pertama
99
Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT.
Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Kedua
Jurdi, Fajlurrahman, Komisi Yudisial dari Delegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim,
Jakarta, PUKAP, 2007, Cet. Pertama
Kansil, C.S.T. Kansil Christine S.T., Hukum Tata Negara Republik Indonesia I, Jakarta, Rineka
Cipta, 2000, Cet. Ketiga
Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta, Komisi
Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama
Komisi Yudisial RI, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia,
Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2007, Cet. Pertama
Komisi Yudisial RI, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, Jakarta,
Komisi Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama
Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial, Jakarta, Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2008, Cet. Pertama
Komisi Yudisial RI, Komisi Yudisial Pilar Pradilan Bersih, Jakarta, Pusat Data Pelayanan
Informasi, 2009, Cet. Pertama
Koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet.
Pertama
Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta,
LP3ES, 2007, Cet. Pertama
Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem
Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama
100
Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al-Tasyri‟ Al-Islami, Semarang, Darul Ikhya Indonesia,
1980, Cet. Pertama
Munawir, Ahmad Warsono, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya,
Pustaka Progresif, 1997, Cet. Pertama
Patmoko, Hasil Wawancara di Komisi Yudisial, tanggal 15 Agustus 2011, pukul 14.00.
Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, Yogyakarta, FH UIIPERSS, 2007,
Cet. Pertama
Skripsi oleh Urwatul Wutsqah, Komisi Yudisial RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi RI No
005/PUU-IV/2006 (Tinjauan Ketatanegaraan Islam), Jakarta, 1429H/2008M
Syahuri, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan UUD 1945-2002,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, Cet. Pertama
Thohari, Ahsin, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta, Elsam-Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2004, Cet. Pertama
Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta, Pradnya Paramita, 1978, Cet. Ketiga
Triwulan, Titik Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga
Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher, 2007, Cet. Pertama
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
101
Zulkarnain, dan Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang
Bersih dan Berwibawa, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006, Cet. Pertama
BULETIN DAN HARIAN KABAR
Bulletin Komisi Yudisial, Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Tanggal 05 April-
Mei 2011
Harian Kompas 26 Agustus, 2006
INTERNET
http://bionet82.blogspot.com/2010/10/sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html, jam 23.02, tgl 25
07 2011.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/administrative-law/2172042-pemerintahan-
islam/#ixzz1Tf7CNVbA, jam 11.00, tgl 01 08 2011.
http://shoimnj.blogspot.com/2011/07/peradilan-dalam-islam.html, jam 13. 25, tgl 11 11 2011.
http://www.elsam.or.id/downloads/1296448648_Komisiyudisial_dan_Reformasi_Peradilan, jam
23.00, tgl 09 07 2011.
http://www.al-ikhwan.net/syarah-ushul-isyrin-imam-syahid-hasan-al-banna-islam-adalah-agama-
universal-2-3613/, jam 06.18, tgl 21 09 2011.
LAMPIRAN
Pertanyaan Wawancara:
1. Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam reformasi Peradilan di Indonesia?
2. Bagaimana bentuk rumusan UU No. 22 Tahun 2004?
3. Bagaimana awal pembentukan Komisi Yudisial sebelum dan sesudah reformasi?
4. Bagaimana susunan pelembagaan di Komisi Yudisial tersebut?
5. Sejauh mana Komisi Yudisial menjalankan tugas dan fungsinya di lingkungan peradilan?
Jawaban Wawancara:
1) Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa di lepaskan dengan era reformasi yang lahir
semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Mundurnya Presiden Soeharto
yang sudah memimpin selama 32 tahun, pada tahun 1998menandai era reformasi yang
berdampak pada perubahan dalam sistem perpolitikan hingga ketatanegaraan Indonesia.
Salah satu perubahan yang cukup signifikan adalah pada pergeseran sistem kekuasaan
kehakiman yang mendorong terwujudnya reformasi peradilan. Beberapa hal yang
menjadi fakta keberadaan reformasi peradilan antara lain: Pertama, pada tahun 1999 lahir
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
14 Tahun1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Melalui
ketentuan itu, terdapat perubahan penting dimana kekuasaan kehakiman menjadi satu
atap dalam pengelolaan organisatoris, administratif, dan finansial berada dibawah kendali
Mahkamah Agung. Sebelumnya pengelolaan organisatoris, administratif, dan financial
Pengadilan Agama berada di Departemen Agama, sementara secara organisasi berada
dibawah kendali Mahkaamh Agung. Kedua, system satu atap Mahkamah Agung
2) dikhawatirkan menjadikan kekuasaan yudikatif tidak terbatas. Hal ini menjadi pemikiran
untuk menelurkan inisiatif bentuk nyata dan reformasi peradilan dengan melahirkan
institusi baru bernama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Ketiga, seleksi Hakim
Agung dilakukan lebih terbuka dengan membuka partisipasi dari masyarakat untuk
mencalonkan diri sebagai Hakim Agung. Anggota masyarakat yang memiliki latar
belakang hukum dengan kualifikasi tertentu dapat dicalonkan oleh KY sebagai calon
Hakim Agung. Posisi Hakim Agung menjadi terbuka dan tidak dimonopoli oleh Hakim
Karir.
3) Sebelum menerangkan Rumusan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, ada baiknya
mengupas tentang Hukum Islam terlebih dahulu. Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber pada nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari sumber dalil-dalil agama Islam
yaitu Al-Qur‟an, Al-Hadits, Ijma Ulama, dan Qiyas. Hukum Islam yang berlaku di
Indonesia hanya sebatas persoalan hukum perdata dan mu‟amalah saja, seperti
pernikahan, perceraian, jula beli, dan sewa gadai. Ruang lingkup tersebut menjadi
wewenang Hakim dilingkungan pengadilan agama dalam memeriksa dan memutuskan
perkara. Sementara Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 TentangKomisi Yudisial
merupakan penjabaran dari pasal 24B UUD 1945 dalam Amandemen III pada Tahun
2011. Adapun bunyi Pasal 24 tersebut adalah: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman
dibidang hukum serta memiliki intergritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3)
Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
4) Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan Undang-undang. Merujuk kepada pasal diatas maka lahirlah Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 yang mengatur Komisi Yudisial secara lebih terinci.
Undang-undang tersebut menjadi wujud kelembagaan Komisi Yudisial. Keberadaan
Komisi Yudisial tidak terlepas dari konsep Check and Balance kekuasaan kehakiman.
Bahwa kekuasaan apapun termasuk kekuasaan kehakiman bukan tidak terbatas sehingga
dibutuhkan mekanisme pengawasan. Pertimbangan utama keberadaan Komisi Yudisial
sebagai lembaga pengawas eksternal hakim dimaksudkan sebagai penyeimbang
kekuasaan kehakiman karena telah diberikan kekuasaan independensi/kemandirian yang
kuat dalam memerikasa dan memutus perkara. Perlu kembali diketahui bahwa ranah
Komisi Yudisial adalah pengawasan hakim agar menjalankan perannya dalam
professional dan adil. Komisi Yudisial tidak berhak menilai bahwa putusan hakim
termasuk hakim agama salah maupun benar. Artinya, Komisi Yudisial tidak akan masuk
pada materi perkara namun menilai apakah hakim telah melaksanakan amanatnya secara
baik atau tidak. Terkait dengan hal tersebut, Islam juga mengajarkan bahwa kekuasaan
bukan tanpa batas. Batasan-batasan yang digariskan oleh Islam kepada manusia ataupun
penguasa adalah sumber-sumber agama Islam terutaman Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Selain
itu, Islam juga mewajibkan hakim untuk menjaga prinsip keadilan dan kebenaran.
Sehingga dapat disimpulkan tugas Komisi Yudisial agar hakim menjalankan tugasnya
dengan adil, jujur, professional, dan transparan sesuai dengan hukum Islam.
5) Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial Berawal pada tahun 1968 muncul ide
pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk
memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan
6) atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,
pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak
berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru
kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan
solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan
pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan
peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan
tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas
amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan
kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial
dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya,
meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang
Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki
kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006.
7) Susunan kelembagaan baru Komisi Yudisial terbagi menjadi dua bagian. Pertama, unsur
Anggota Komisi Yudisial yang berjumlah tujuh orang yaitu Ketua (Prof. Dr. H. Eman
Suparman, S.H., M.H.), Wakil Ketua (H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum.), Ketua
Bidang Rekrutmen Hakim (Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H.), Ketua Bidang
Pengawas Hakim dan Investigasi (Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.), Ketua Bidang
Pencegahan dan Pelayanan Masyarakat (H. Abbas Said, S.H., M.H.), Ketua Bidang
Sumber Daya Manusia, Penelitian, dan Pengembangan (Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H.,
M.Hum.), dan Ketua Hubungan Antar Lembaga (Dr. Ibrahim, S.H., LL.M.). Anggota
Komisi Yudisial dipilih oleh DPR melalui mekanisme panitia seleksi yang dibentuk oleh
Pemerintah terlebih dahulu. Kedua, unsure Sekretariat Jenderal. Hal ini sesuai dengan
Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2004 dikatakan bahwa: (1) Komisi Yudisial dibantu oleh
Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal, (2) Sekretaris Jederal dijabat
oleh pejabat pegawai negeri sipil. Adapun tugas Sekretaris Jenderal sebagaimana Pasal
12 adalah memberikan dukungan teknis administrative kepada Komisi Yudisial. Dalam
menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal sebagai eleson I dibantu oleh lima orang
eleson II dan pejabat lain.
8) Komisi Yudisial merupakan lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam
pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Komisi Yudisial memiliki dua wewenang utama yaitu: (1) mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung kepada DPR; dan (2) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim. Adapun tugas Komisi Yudisial merupakan
pengejawantahan dari dua wewenang diatas. Sejauh ini Komisi Yudisial telah
melaksanakan wewenang pertama dengan baik. Sampai saat ini Komisi Yudisial telah
9) menyelenggarakan tujuh kali seleksi Hakim Agung dan sudah menghasilkan 20 Hakim
Agung. Saat ini Komisi Yudisial sudah menyelesaikan penyelenggaraan seleksi
HakimAgung pada tahun 2011 dan menyerahkan 18 nama ke DPR untuk dilakukan fit
and proper test. Nama-nama tersebut sudah diserahkan ke pimpinan DPR pada awal
Agustus 2011. Berbeda dengan wewenang pertama, dalam menyelenggarakan wewenang
kedua Komisi Yudisial masih memiliki kendala lantaran belum ada kesepahaman dengan
Mahkamah Agung. Meski demikian, sejak Komisi Yudisial berdiri telah memanggil 412
hakim untuk dimintai keterangan. Hasilnya sebanyak 123 hakim direkomendasikan ke
Mahkamah Agung untuk dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian
sementara, dan pemberhentian tetap dari jabatan hakim. Prosentase rekomendasi tersebut
55% mendapatkan teguran tertulis, 32% direkomendasikan pemberhentian sementara,
dan 13% berupa pemberhentian tetap.
Jakarta, 20 Juli 2011
Top Related