Hidayatullah 12

50
Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab? Setiap saat, lahir orang-orang alim yang mampu menghapal isi kandungan Kitab Suci Al-Quran. Hatta, orang buta atau anak kecil. Itulah bedanya dengan Kitab Suci lain [Lanjutan Universalitas Al- Qur’an bagian 2- habis] Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *) “Mengapa Al- Quran diturunkan kepada seorang Nabi yang miskin dan buta huruf (ummiy)? Mengapa tidak diberikan kepada pembesar Mekkah maupun Tha’if saja?” Pertanyaan seperti ini sering terjadi. Sama hal nya dengan pernyataan,

description

hidayatullah 12

Transcript of Hidayatullah 12

Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab

Mengapa Al-Quran Berbahasa Arab?

Setiap saat, lahir orang-orang alim yang mampu menghapal isi kandungan Kitab Suci Al-Quran. Hatta, orang buta atau anak kecil. Itulah bedanya dengan Kitab Suci lain [Lanjutan Universalitas Al-Quran bagian 2- habis]

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi *)

Mengapa Al-Quran diturunkan kepada seorang Nabi yang miskin dan buta huruf (ummiy)? Mengapa tidak diberikan kepada pembesar Mekkah maupun Thaif saja? Pertanyaan seperti ini sering terjadi. Sama hal nya dengan pernyataan, Mengapa Al-Quran berbahasa Arab?

Banyak dalil yang mengungkap hal ini. Diantaranya; QS. 12: 2, 14: 4, 13: 37, 16: 103, 19: 97, 20: 113, 26: 193-195, 26: 198-199, 39: 28, 41: 3, 41: 44, 43: 3, 44: 58, dan 46 : 12.

Boleh dikata, hampir semua ayat tersebut menyatakan, bahwa Al-Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab. Adalah keliru jika karena Allah menurunkan Al-Quran ke dalam bahasa Arab kemudian dikatakan tidak universal.

Kenapa Allah memilih bahasa Arab? Bukan bahasa lain? Barangkali itu adalah hak Allah. Meski demikian, pilihan Allah mengapa Al-Quran itu dalam bahasa Arab bisa dijelaskan secara ilmiah.

Pertama, sampai hari ini, bahasa yang berasal dari rumpun Semit yang masih bertahan sempurna adalah bahasa Arab. Bahkan Bible (Old Testament) yang diklaim bahasa aslinya bahasa Ibrani (Hebrew) telah musnah, sehingga tidak ada naskah asli dari Perjanjian Lama.

Meskipun begitu, menurut Isril Wilfinson, dalam bukunya Trk al-Lught al-Smiyyah (History of Semitic Language), seperti yang dikutip Prof. Al-Azam, ternyata bahasa asli PL itu tidak disebut Ibrani.

Bahasa pra-pengasingan (pre-exilic language) yang digunakan oleh Yahudi adalah dialek Kanaan dan tidak dikenal sebagai Ibrani. Orang-orang Funisia (atau lebih tepatnya, orang-orang Kanaan) menemukan alfabet yang benar pertama kali 1500 S.M, berdasarkan huruf-huruf ketimbang gambar-gambar deskriptif.

Semua alfabet yang berturut-turut seterusnya adalah utang budi pada, dan berasal dari, pencapaian Kanaan ini. (Prof. Dr. M.M. Al-Azam, The History of The Qurnic Text from Revelation to Compilation (edisi Indonesia), terjemah: Sohirin Solihin, dkk., GIP, 2005, hlm. 259).

New Testament (Gospel, Injil) yang diklaim bahasa aslinya adalah bahasa Yunani juga sudah hilang, sehingga tidak ada naskah asli dari Injil. Bahkan, ini bertentangan dengan bahasa Yesus, yang sama sekali tidak paham bahasa Yunani. Bukankah ini mencederai saktralitas Injil yang diklaim sebagai firman Tuhan?

Kedua, bahasa Arab dikenal memiliki banyak kelebihan: (1) Sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, (2) Bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan, (3) Bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjungsi), yang amat luas hingga dapat mencapai 3000 bentuk perubahan, yang demikian itu tak terdapat dalam bahasa lain. (Lihat, Al-Quran dan Terjemahnya, Depag, edisi revisi, Juli 1989, hlm. 375 (foot-note).

Ketiga, Allah menurunkan Al-Quran kepada Rasulullah SAW. dalam bahasa Arab yang nyata (bilisanin Arabiyyin mubinin), agar menjadi: mukjizat yang kekal dan menjadi hidayah (sumber petunjuk) bagi seluruh manusia di setiap waktu (zaman) dan tempat (makan); untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya: dari kegelapan syirik kepada cahaya tauhid, dari kegelapan kebodohan kepada cahaya pengetahuan, dan dari kegelapan kesesatan kepada cahaya hidayah.

Tiga poin itu berjalan terus atas izin Allah sampai dunia ini hancur, yakni Risalah (Islam), Rasul (Muhammad SAW) dan Kitab (Al-Quran)). (Lihat, Prof. Dr. Thaha Musthafa Abu Karisyah, Dawr al-Azhar wa Jamiatihi fi Khidmat al-Lughah al-Arabiyyah wa al-Turats al-Islamiy, dalam buku Nadwat al-Lughah al-Arabiyyah, bayna al-Waqi wa al-Mamul, 2001, hlm. 42).

Karena Islam itu satu risalah (misi) yang universal dan kekal, maka mukjizatnya harus retoris (bayaniyyah), linguistik (lisaniyyah) yang kekal. Dan Allah telah berjanji untuk memelihara Al-Quran, seperti yang Ia jelaskan, Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikra (Al-Quran) dan Kami pula yang memeliharanya. (Qs. 15: 9).

Keempat, menurut Syeikhul-Islam, Ibnu Taimiyah, Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani saja. Dan Musa alayhissalam tidak berbicara kecuali dengan bahasa itu. Begitu juga halnya dengan al-Masih: tidak berbicara tentang Taurat dan Injil serta perkara lain kecuali dengan bahasa Ibrani. Begitu juga dengan seluruh kitab. Ia tidak diturunkan kecuali dengan satu bahasa (bilisanin wahidin): dengan bahasa yang dengannya diturunkan kitab-kitab tersebut dan bahasa kaumnya yang diseru oleh para rasul.

Seluruh para Nabi, menyeru manusia lewat bahasa kaumnya yang mereka ketahui. Setelah itu, kitab-kitab dan perkataan para Nabi itu disampaikan: apakah diterjemahkan untuk mereka yang tidak tahu bahasa kitab tersebut, atau orang-orang belajar bahasa kitab tersebut sehingga mereka mengerti makna-maknanya. Atau, seorang utusan menjelaskan makna-makna apa yang dengannya ia diutus oleh Rasul dengan bahasanya... (Lihat, Ibnu Taimiyah, al-Jawb al-Shahih liman Baddala Dinal-Masih (Jawaban Yang Benar, Bagi Perubah Agama Kristus), (Cairo: Dar Ibnu al-Haytsam, 2003, jilid 1 (2 jilid), hlm. 188-189).

Sebagaimana Taurat dan Injil, Al-Quran diturunkan dalam satu bahasa, bahasa kaumnya. Bedanya, kenabian yang ada sebelum Islam, hanya diperuntukkan pada kaum tertentu atau zaman tertentu (lokalitas) saja. Nuh misalnya, hanya diutus kepada kaumnya (QS. 7: 59); Hud kepada kaumnya (QS. 7: 65); Shaleh kepada kaumnya (QS. 7: 73); Luth kepada kaumnya (QS. 7: 80); Syuaib kepada kaumnya (QS. 7: 85); dan Musa kepada Firaun dan para punggawanya (QS. 7: 103).

Dakwah Nabi SAW di Ummul-Qura, sebagaimana arti yang sudah dijelaskan panjang lebar, bukan hanya dalam pengertian Mekkah semata. Juga bukan hanya untuk orang Quraisy, tidak pula untuk Jazirah Arabia saja, tapi untuk seluruh alam. (Baca QS. 25: 1, 34: 28, 7: 158, dan 9: 33).

Jika kalangan Nasrani menganggap Al-Quran tidak universal, maka, seharusnya yang lebih tidak universal justru Bible.

Meski bahasa Arab adalah bahasa yang rumit, namun bukanlah hal susah bagi umat Islam menghapalkannya. Ini berbeda dengan kitab suci lain, sebagaimana Bible misalnya. Keuniversalan Al-Quran lainnya, dibuktikan dengan bagaimana Allah menjaganya melalui orang-orang alim dan yang memiliki kelebihan dalam menghapalkannya (tahfiz). Meski terdiri dari ribuan ayat, dalam sejarah, selalu saja banyak orang mampu menghapalkannya secara cermat dan tepat. Hatta, ia orang buta atau anak kecil sekalipun. Al-Quran, mudah dihapal atau dilantunkan dengan gaya apapun. Diakui atau tidak, ini berbeda dengan Bible atau Injil.

Karena itu, setiap usaha apapun untuk menambah atau mengurangi Al-Quran baik yang dilakukan kalangan orientalis atau orang kafir dalam sepanjang sejarah selalu saja ketahuan. Jangan heran bila banyak umat Islam tiba-tiba ribut gara-gara ada Al-Quran palsu atau sengaja dipalsukan sebagaimana terjadi dalam kasus The True Furqon. Barangkali itulah cara Allah menjaganya.

Dan hebatnya, para penghapal Al-Quran, setiap saat selalu saja lahir dan bisa ditemukan di seluruh dunia. Untuk yang seperti ini, di Indonesia, bahkan sudah mulai banyak dijadikan sebagai pesantren-pesantran formal.

Sebaliknya, bagi kita, belum pernah terdengar ada orang Kristen atau Yahudi yang hapal keseluruhan kitab suci mereka. Bahkan termasuk pendeta atau pastur sekalipun. Mengapa bisa demikian? Saya kira Anda lebih tahu jawabannya. Wallahu alamu bi al-shawab. []

*) Penulis adalah mahasiswa Jurusan Tafsir-Hadits di Universitas Al-Azhar, peminat Quranic Studies and Christology.

Ibnu Arabi dan Wahdatul Wujud

Kepercayaan Tuhan menjelma di mana-mana atau manunggaling kawula lan gusti tak pernah surut. Nabi sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari hamba TuhanOleh: Dr. Syamsuddin Arif *)

Suatu hari, seorang pengembara mengetuk pintu rumah Junayd, tokoh sufi terkemuka pada zamannya. Siapa di situ? tanyanya. Si tamu menjawab: Aku Sang Kebenaran (ana l-haqq)! Mendengar itu Junayd berkata: Anta bi l-Haqq. Engkau bakal membinasakan kayu bakar. Ramalan Junayd terbukti. Pada hari Selasa 24 Dzulqadah 309 Hijriah bertepatan dengan 26 Maret 922 Masehi, sang pengembara yang tidak lain adalah Abu l-Mughits al-Husayn ibn Manshur al-Hallaj dihukum mati di alun-alun kota Baghdad. Ucapan-ucapannya yang tertuang dalam bentuk prosa maupun puisi- dinilai menyimpang dan mengelirukan karena mengajarkan pantheisme dan manunggaling kawula lan gusti.

Pantheisme ialah kepercayaan bahwa Tuhan menjelma di mana-mana, bahwa segala yang wujud di alam ini adalah perwujudannya. Sedangkan manunggaling kawula lan gusti secara literal berarti menyatu hamba dan Tuhan. Ajaran mistis ini pernah menggegerkan Kerajaan Islam Demak sehingga Syekh Siti Jenar (Lemah Abang) dieksekusi oleh para Wali Sanga. Sesudahnya pernah juga heboh kasus Haji Mutamakkin yang menganggap ibadah-ibadah zahir tidak perlu bagi orang yang sudah menyatu dengan Tuhan (Lihat: P.J. Zoetmulder, Panthesme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1991 dan Subardi, The Book of Cabolek, The Hague: Martinus Nijhoff, 1975).Kasus-kasus tersebut di atas tidak pernah -untuk tidak mengatakan mustahil- terjadi ketika Nabi SAW masih hidup. Di zaman Rasulullah, kenyelenehan paling jauh yang kita ketahui ialah dakwaan Musailamah si pendusta. Penguasa Yamamah (Najd) dan kepala suku Bani Hanifah ini memang memproklamirkan diri sebagai nabi, namun ia tidak pernah mengaku bersatu (ittihad) dengan Tuhan dan tidak pula mendaku Tuhan masuk, berada atau bersemayam (hulul) dalam dirinya.Mustahil, sebab Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah memposisikan dirinya lebih dari sekadar hamba Tuhan (abdullah) dan utusanNya (rasuluhu). Tidak terdapat satu hadis pun yang mengabarkan pada kita tentang ucapan-ucapan mengarut (syathahat) semisal Maha suci aku, Tuhan ada dalam jubahku dan sebagainya keluar dari mulut beliau. Rasulullah SAW selalu menggunakan kata ganti orang kedua tunggal (dhamir al-mukhathab al-mufrad) dan kata ganti orang ketiga tunggal (dhamir al-ghaib al-mufrad) apabila beliau berkata tentang dan kepada Tuhan. Misalnya: Maha suci Engkau. Tak terhitung pujian bagiMu. Engkau sebagaimana Kau puji diriMu (subhanak allahumma la nuhshi tsanaan alayka anta kama atsnayta ala nafsika), atau Maha suci Tuhanku yang maha tinggi (subhana rabbiya l-ala). Semua ini tentu saja sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam firman-Nya (e.g. QS 2:32, 17:1, 21:87, 36:83, 37:180).Selain al-Hallaj, tokoh sufi favorit yang kerap dikaitkan dengan pantheisme ialah Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label sufi liberal dan pluralis. Kepadanya jua dinisbatkan doktrin wahdatu l-wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun sufaha hingga hari ini. (Lihat: al-Biqai, Masra al-Tashawwuf, aw, Tanbih al-Ghabi ila Takfir Ibn Arabi, ed. Abd ar-Rahman al-Wakil (Bilbis: Dar al-Taqwa, 1989) dan al-Suyuthi, Tanbih al-Ghabi fi Takhtiati Ibn Arabi, ed. Abd ar-Rahman Hasan Mahmud (Kairo: Maktabat al-Adab, 1990). Peliknya, istilah wahdatu l-wujud sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi, dan dipopulerkan oleh penulis-penulis sesudahnya semisal Ibn Sabin (w. 646 H/1248 M) dan Afifuddin at-Tilimsani (w. 690 H/1291). Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M).Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tawhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya: ma tsamma mawjud illa hadza l-alam al-masyhud. Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada: anna wujuda l-kainat huwa aynu wujudillah (Lihat: Daru t-Taarudh al-Aql wa n-Naql, ed. M. Rasyad Salim, Dar al-Kunuz al-Adabiyyah, 3:163 dan Majmuat Rasail Ibn Taymiyyah, ed. S.M. Rasyid Ridha, Kairo 1349 H, 4:4 dan 1:71). Dikenal pemberani, jujur dan bernalar tajam, Ibnu Taimiyah tidak asal tuduh. Sebagai bukti ditunjuknya dua bait puisi Ibn Arabi dalam pembukaan kitab al-Futuhat al-Makkiyah (paragraf 6) yang berbunyi: Tuhan adalah benar-nyata, tetapi hamba juga benar-nyata. Aduhai lantas siapa yang dibebani kewajiban? Jika engkau katakan hamba, dialah Tuhan. Tapi jika engkau katakan Tuhan, mengapa pula dibebani kewajiban? (Ibn Taymiyyah, op.cit., 1:73). Itu baru satu bukti, belum lagi ungkapan-ungkapan senada yang bertaburan dalam kitab Fushus al-Hikam. Contohnya: Maha suci Tuhan yang mewujudkan segala sesuatu dan menjadi esensinya (Subhna man azh-hara al-asy-ya wa huwa aynuh) dan Sang Kebenaran adalah ciptaan dari perspektif ini maka pahamilah, akan tetapi juga bukan ciptaan dari perspektif itu maka ingatlah! (Lihat Fushus al-Hikam, ed. A. al-Afifi, Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1946, hlm. 79 dan A.E. Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyid Din Ibnul Arabi, Cambridge: Cambridge University Press, 1939, hlm. 135).Golongan yang mengatakan Tuhan ada dimana-mana kerap berdalih dengan dua ayat al-Quran. Pertama, dengan ayat 16 surah Qaf: Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. Banyak ulama tafsir memahami frasa Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sebagai pernyataan figuratif metaforis. Ini merupakan perumpamaan kedekatan (hadza matsal fi farth al-qurb), tegas Imam al-Biqai (w. 885 H/1480 M) dalam tafsirnya, Nazhmu d-Durar fi Tanasub al-Ayat wa s-Surar. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam al-Jami li-Ahkami l-Quran. Sebagian mufassir seperti Imam Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M) mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kedekatan para malaikat Allah, sesuai dengan konteks ayat sesudahnya yang menyebut malaikat pengawas-pencatat Raqib dan Atid. Walhasil, kedekatan tersebut bukan kedekatan jarak fisikal sebagaimana dikhayalkan oleh penganut manunggaling kawula gusti. Kedua, dengan ayat 4 surah al-Hadid: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas arsy. Dia mengetahui segala yang masuk ke dalam bumi dan segala yang keluar darinya, segala yang turun dari langit dan segala yang naik ke sana, dan Dia beserta kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Huwa al-ladzi khalaqa as-samawati wa al-ardha fi sittati ayyamin tsumma istawa ala al-arsy, yalamu ma yaliju fi al-ardhi wama yakhruju minha wama yanzilu min as-samai wama yaruju fiha wa Huwa maakum aynama kuntum wa Allahu bima tamaluna bashir). Tidak sedikit orang yang tergelincir ketika menafsirkan ayat ambigu ini.Penafsiran Ibnu Arabi sendiri terhadap ungkapan yang digarisbawahi di atas dapat kita ikuti dalam kitab al-Futuhat Makkiyyah (bab 272) ketika ia menguraikan isi kandungan ayat 7 surat 58 (al-Mujadalah): Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula pembicaraan antara jumlah] yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada beserta mereka di manapun mereka berada (ma yakunu min najwa tsalatsatin illa Huwa rabiuhum, wa la khamsatin illa Huwa sadisuhum, wa la adna min dzalika wa la aktsara illa Huwa maahum aynama kanu). Seorang pembaca yang cermat, kata Ibnu Arabi, dapat dengan mudah menangkap bahwa maksud ungkapan wa la adna min dzalika adalah dua orang, sedangkan wa la aktsara berarti tujuh orang atau lebih. Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan: Kenapa dalam ayat tersebut dikatakan jika ada tiga individu maka Allah adalah yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam? Kenapa bukan jika ada empat maka Dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya?Jawabannya, imbuh Ibnu Arabi, adalah karena Allah hendak menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu al-ifrad), bahwa hanya Dialah yang berdiri sendiri, yang wujudNya diperlukan namun tidak memerlukan yang lain. Dalam setiap jumlah tersebut, Allah menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk di dalamnya (yasyfauha [yani an-najwa] bima laysa minha). Dengan begitu, tambahnya, Allah juga menunjukkan status keberbedaanNya. Artinya, tak seorangpun dapat independen sendiri melainkan wujudnya digenapkan oleh al-Haqq, karena ketunggalan dan keesaan hanya milikNya semata (hatta la takuna al-ahadiyyatu illa lahu). Oleh karena makhluk mustahil dapat menggenapkanNya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan makhluk, maka berfirmanlah Dia: wa Huwa maakum aynama kuntum. Menarik untuk dipertanyakan, lanjut Ibnu Arabi, mengapa bukan sebaliknya. Mengapa Allah tidak mengatakan: wa antum maaHu aynama kana? Jawabannya, karena mustahil bagi makhluk dapat beserta denganNya, walaupun tidak mustahil bagiNya untuk beserta kita (fa-yalamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la narifu kayfa nash-habuHu). Singkatnya, tafsir dari surat al-Hadid ayat 4 tersebut di atas menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagiNya, tetapi mustahil bagi kita (fa al-maiyyah lahu tsabitah fina, manfiyyah anna fihi). Terlepas dari benar-tidaknya, uraian Ibnu Arabi ini setidaknya menjelaskan pada kita posisinya yang tidak sehaluan dengan ajaran manunggaling kawula lan gusti. Namun di sinilah tampak jelas ambivalensi Ibnu Arabi. Di satu sisi terkesan menganut pantheisme dan di sisi lain terkesan menolaknya. Sikap mendua ini juga ditangkap oleh Ibnu Taimiyah: Ibnu Arabi lebih dekat ke Islam dan paling indah kata-katanya sehingga banyak dikutip orang. (op.cit. 1:176). Wallahu alam. *) Penulis peneliti INSISTS, sedang mengadakan penelitian di Johann olfgang Goethe-Universitt, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya

.Rekor Menikah Terbanyak

Seorang lelaki Nigeria, mungkin memiliki rekor menikah terbanyak di dunia. Shehu Malami (68), nama pria itu, telah menikah sebanyak 201 kali selama 20 tahun

Hidayatullah.com Shehu Malami mungkin punya alasan tersendiri mengapa bisa menikah sebanyak itu. Diantaranya tidak bisa mengendalikan nafsunya. Namun dibalik 200 lebih pernikahannya, Shehu sebenarnya hanya bertahan dengan empat orang isterinya saja. Sisanya sudah diceraikan.Meski menikah sebanyak itu, hasil perkahwinannya terbilang sedikit. Hanya menghasilkan 47 anak, 29 masih hidup serta 39 cucu.Untuk saat ini, sudahlah. Cukup rasanya menikah sebanyak 201 kali. Inilah yang terakhir dan saya ingin terus bersama empat isteri hingga ke akhir hayat, katanya dipetik media Arab, Times of Oman kemarin.Kini, Shehu tinggal bersama empat isterinya di sebuah tempat di kota Sokoto, utara Nigeria dengan kemewahan-- dan mungkin itulah yang menjadikan Shehu banyak diburu wanita, apalagi di negara miskin seperti Nigeria.Pada 2004, Shehu pernah menjadi sorotan media melengkapi rekor pernikahannya sebanyak 200 kali. Media kecele, dikiranya itulah pernikahannya terakhirnya. Namun, pria pendek , botak itu masih belum berhenti berkeinginan menikah lagi.Minggu lalu, dia menikah lagi guna mencari pengganti istisnya yang sudah berusia 40 tahun yang sudah dicerai sebelumnya. Saya masih pengantin baru dan sedang menikmati bulan madu. Saya bahagia biarpun pasti banyak yang pelik dengan tindakan ini.Berbicara dalam campuran bahasa Inggeris dan dialek Hausa, Shehu menceritakan perkahwinan pertamanya ketika berusia 20 tahun yaitu selepas lulus sekolah.Saya mempunyai citarasa tinggi terhadap wanita. Malah sukar untuk mengawal perasaan jika melihat wanita yang tubuh menarik. Karena itulah saya menikah banyak.Selain masalah dirinya yang sukar mengawal nafsu, Shehu menilai pernikahannya yang banyak juga disebabkan sikap curang isterinya.Empat isteri saya sudah hamil dengan lelaki lain sewaktu saya menikahinya. Saya tidak punya pilihan lain kecuali menceraikan mereka jika perkara yang sebenar terbongkar.Shehu mendakwa, keruntuhan rumah tangganya juga disebabkan sikap cemburu isteri tua yang mempengaruhi isteri muda supaya meninggalkannya.Shehu mengakui sikapnya menyukai banyak isteri itu turut mencetuskan rasa tidak senang di kalangan anak-anaknya yang merayu agar dia tidak menikah lagi.Menyangkut pengalaman menikahnya, Shehu punya catatan sendiri yang ingin dibagikan ke orang lain. Saya ingin barbagi pengalaman mengenai suka duka menikah banyak. Saya juga ingin menceritakan hidup berumah tangga ini juga memerlukan kemahiran psikologi, yaitu cara berkomunikasi dengan isteri, ujarnya. [to/bh/cha]Indahnya Istri Shalihah

Rumah tangga bahagia? wah siapa yang tak kepingin? Ini sebuah kisah perjalanan rumah tangga seorang istri yang mencintainya suaminya semata-mata karena cintanya kepada Allah

Hidayatullah.com--Hari itu merupakan hari bahagiaku, alhamdulillah. Aku telah menyempurnakan separo dienku: menikah. Aku benar-benar bahagia sehingga tak lupa setiap sepertiga malam terakhir aku mengucap puji syukur kepada-Nya.Hari demi hari pun aku lalui dengan kebahagiaan bersama istri tercintaku. Aku tidak menyangka, begitu sayangnya Allah Subhanahu wa Taala kepadaku dengan memberikan seorang pendamping yang setiap waktu selalu mengingatkanku ketika aku lalai kepada-Nya. Wajahnya yang tertutup cadar, menambah hatiku tenang.Yang lebih bersyukur lagi, hatiku terasa tenteram ketika harus meninggalkan istri untuk bekerja. Saat pergi dan pulang kerja, senyuman indahnya selalu menyambutku sebelum aku berucap salam. Bahkan, sampai saat ini aku belum bisa mendahului ucapan salamnya karena selalu terdahului olehnya. Subhanallah.Wida, begitulah nama istri shalihahku. Usianya lebih tua dua tahun dari aku. Sekalipun usianya lebih tua, dia belum pernah berkata lebih keras daripada perkataanku. Setiap yang aku perintahkan, selalu dituruti dengan senyuman indahnya.Sempat aku mencobanya memerintah berbohong dengan mengatakan kalau nanti ada yang mencariku, katakanlah aku tidak ada. Mendengar itu, istriku langsung menangis dan memelukku seraya berujar, Apakah Aa (Kakanda) tega membiarkan aku berada di neraka karena perbuatan ini?Aku pun tersenyum, lalu kukatakan bahwa itu hanya ingin mencoba keimanannya. Mendengar itu, langsung saja aku mendapat cubitan kecil darinya dan kami pun tertawa.Sungguh, ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat sehingga jika aku harus menggambarkanya, aku tak akan bisa. Dan sangat benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Dunia hanyalah kesenangan sementara dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih baik daripada istri shalihah. (Riwayat An-Nasai dan Ibnu Majah).Hari terus berganti dan tak terasa usia pernikahanku sudah lima bulan. Masya Allah.Suatu malam istriku menangis tersedu-sedu, sehingga membangunkanku yang tengah tertidur. Merasa heran, aku pun bertanya kenapa dia menangis malam-malam begini.Istriku hanya diam tertunduk dan masih dalam isakan tangisnya. Aku peluk erat dan aku belai rambutnya yang hitam pekat. Aku coba bertanya sekali lagi, apa penyebabnya? Setahuku, istriku cuma menangis ketika dalam keadaan shalat malam, tidak seperti malam itu.Akhirnya, dengan berat hati istriku menceritakan penyebabnya. Astaghfirullahalhamdulillah, aku terperanjat dan juga bahagia mendengar alasannya menangis. Istriku bilang, dia sedang hamil tiga bulan dan malam itu lagi mengidam. Dia ingin makan mie ayam kesukaanya tapi takut aku marah jika permohonannya itu diutarakan. Terlebih malam-malam begini, dia tidak mau merepotkanku.Demi istri tersayang, malam itu aku bergegas meluncur mencari mie ayam kesukaannya. Alhamdulillah, walau memerlukan waktu yang lama dan harus mengiba kepada tukang mie (karena sudah tutup), akhirnya aku pun mendapatkannya.Awalnya, tukang mie enggan memenuhi permintaanku. Namun setelah aku ceritakan apa yang terjadi, tukang mie itu pun tersenyum dan langsung menuju dapurnya. Tak lama kemudian memberikan bingkisan kecil berisi mie ayam permintaan istriku.Ketika aku hendak membayar, dengan santun tukang mie tersebut berujar, Nak, simpanlah uang itu buat anakmu kelak karena malam ini bapak merasa bahagia bisa menolong kamu. Sungguh pembalasan Allah lebih aku utamakan.Aku terenyuh. Begitu ikhlasnya si penjual mie itu. Setelah mengucapkan syukur dan tak lupa berterima kasih, aku pamit. Aku lihat senyumannya mengantar kepergianku.Alhamdulillah, kata istriku ketika aku ceritakan begitu baiknya tukang mie itu. Allah begitu sayang kepada kita dan ini harus kita syukuri, sungguh Allah akan menggantinya dengan pahala berlipat apa yang kita dan bapak itu lakukan malam ini, katanya. Aku pun mengaminkannya.* (Kusnadi Assaini/Hidayatullah)

Sedikit, Tapi Cukup

Ia adalah tipe orang yang ikhlas. Jangan kaget, gajinya sebulan, hanya sekitar 2.500 rupiah per bulan. Dia niatkan hidupnya mengajar di pesantren. api ada saja rizqi tak terduga

Senin, 20 Pebruari 2006

Beramal shalih di pesantren, itu memang sudah menjadi tekad saya. Tahun l995, saya lalu menjadi wali kelas di kelas empat PDI, Pendidikan Dasar Islam di Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur.

Sebagai guru di pesantren, mengajarnya tidak cuma di kelas, juga di masjid, di lapangan dan di asrama.

Di kelas mengajarnya mulai pagi hingga siang. Di masjid setiap usai shalat Ashar, Magrib, Isya dan Subuh. Sedangkan di lapangan setiap pagi.

Pagi hari sebelum jam sekolah, anak-anak menyabit rumput dan memungut sampah keliling kampus yang jaraknya lebih dari satu kilometer. Tugas saya adalah memimpin mereka.Itu pekerjaan ringan. Yang berat, membangunkan anak-anak untuk shalat Subuh.

Membangunkan satu dua anak tak masalah, lha ini jumlahnya 40 anak. Kadang membangunkannya sampai berulang kali. Yang tidur bangun, yang bangun tidur lagi. Karena jengkel, jalan pintas sering saya ambil. Pyurpyur. segenggam air menjadi cara yang paling efektif.

Menjaga kebersihan di pondok, ini pun menjadi pekerjaan yang sangat menguras pikiran dan tenaga. Apalagi kalau sudah makan; piring-piring kotor yang menumpuk, sisa nasi yang berserakan, dan air minum yang tertumpah, itu pemandangan rutin setiap selesai makan.Belum lagi kalau menengok ke dalam kamarnya santri, wuiih! Pakaian bergelantungan di sana-sini, ada pula yang menumpuk di bawah ranjang, sisa makanan yang sudah membusuk di bawah lemari, bantal yang berhamburan kapasnya dan buku-buku yang berserakan. Pasti pusing melihatnya!

Semuanya itu harus dibereskan, dan sayalah yang bertanggung jawab. Namun, tugas yang sangat berat ini saya jalani saja. Niat awal masuk pesantren memang bukan untuk senang-senang, tapi untuk memanfaatkan sisa umur demi kepentingan agama.

Gaji? Tentu saja ada. Jangan kaget, besarnya Rp 2.500 per bulan! Memang kecil, namun kami tetap menjalankan tugas dengan penuh amanah, karena bukan itu yang menjadi tujuan. Kalau mau gaji besar dan kemewahan dunia, tentulah tidak memilih tinggal di pesantren.Alhamdulillah, gaji yang menurut perhitungan akal tidaklah cukup dalam satu bulan, namun karena ketawakalan, Allah SWT mencukupkan. Ada saja riqki yang datangnya tidak disangka-sangka. Jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji yang ada. Bahkan kalau ada kebutuhan yang sangat mendesak sekalipun, Allah SWT juga memberikan jalan keluar.

Suatu ketika saya mau mengajar, celana saya kebetulan tinggal satu, dari tiga celana yang saya miliki. Dua telah raib entah kemana, hal lumrah terjadi di asrama. Ternyata yang satu pun hilang juga. Akhirnya saya terpaksa mengajar dengan pakai sarung. Melihat saya pakai sarung, kepala sekolah bertanya, Lho pak, kenapa mengajar pakai sarung?

Hilang semua Pak celananya.

Kalau begitu nanti pulang sekolah jalan-jalan ke rumah.

Bada dhuhur, saya ke rumah kepala sekolah. Setelah ngobrol sambil menikmati teh manis hangat dan kue-kue,pulangnya saya diberikan bingkisan. Setiba di asrama saya buka bingkisan tersebut, ternyata isinya celana tiga buah. Alhamdulillah, Allah SWT tidak akan telat untuk memenuhi kebutuhan hambanya. (Dede HF/Hidayatullah).

Hidayah dari Teras Masjid

Gelisah karena mengambil barang yang bukan haknya. Namun karena ketakutannya pada Allah SWT. Segalanya kemudian berubah menjadi lebih indahHidayatullah.com--Seperti biasa, selepas shalat Isya berjamaah kami berkumpul di teras masjid. Kami bicara hal-hal yang bermanfaat, kadang berkaitan dengan memakmurkan masjid. Tidak jarang di antara kami saling menceritakan isi buku yang baru dibacanya, dan biasanya kami sangat suka mendengarkan kisah Rasulullah SAW, para sahabat dan para ulama terdahulu.

Setelah mendengar kisah-kisah itu, kami serasa seperti baterei yang dicharge. Semangat kami untuk melaksanakan amalan-amalan shalih seperti dipompa lagi.

Malam itu giliran salah satu saudara kami, Pak Parno, yang bercerita tentang Ibrahim bin Adham. Kisah ini, katanya, sangat terkenal, banyak dimuat di media massa dan sudah banyak yang mendengarnya. Saya sendiri, baru mendengar malam itu dari beliau yang sehari-harinya memang kutu buku.

Ringkas cerita, Ibrahim bin Adham mendengar dari malaikat bahwa ibadahnya tidak diterima Allah SWT selama 40 hari. Sebab, sebelumnya ketika membeli kurma dia mengambil sebiji kurma yang terjatuh dan bukan termasuk ke dalam bagian kurma yang ia beli, tanpa seijin penjualnya. Sesuatu yang saat ini sudah biasa bagi kita, tapi menjadi suatu petaka bagi seorang shalih macam Ibrahim bin Adham.

Ketika kami sekeluarga dalam perjalanan menengok orangtua, iseng-iseng saya membuka laci mobil dan di situ terlihat sebungkus jagung goreng, atau orang Jawa biasa menyebutnya marning. Tanpa banyak cakap, marning itu langsung saya santap. Pikir saya, wong mobil saya yang punya, berarti marning yang ada di dalam mobil ini tidak masalah kalau saya makan.

Ketika marning itu tinggal beberapa biji, tiba-tiba saya teringat cerita Pak Parno dengan Ibrahim bin Adham-nya. Astaghfirullah, sontak saya setengah berteriak hingga mengagetkan seluruh isi mobil. Mengabaikan muka-muka bingung dari penumpang mobil, saya buru-buru mengambil telepon seluler dan segera menelpon ke Surabaya, menghubungi para penumpang antar jemput karyawan yang setiap harinya saya layani dengan mobil ini. Saya asumsikan marning tersebut milik salah seorang penumpang antar jemput yang kelupaan sehingga tertinggal di mobil.

Ternyata tidak ada seorang pun yang mengaku menjadi empunya makanan kecil yang renyah itu. Hati saya berdetak kian kencang, takut kalau-kalau sebentar lagi Allah mengutus Izrail mengambil kembali ruh saya, dalam keadaan saya belum sempat mendapat keihklasan dari yang punya marning tadi, astaghfirullah.Pas putus asa sudah terasa di depan mata, saya menelepon ke rumah dengan sedikit harapan barangkali ada informasi lain yang berguna. Ketika itu sopir saya yang mengangkat telepon, dan dengan semangat yang hampir luruh saya menanyakan perihal marning tadi. Apa yang saya dengar?

Sopir saya dengan suara gemetaran menahan takut mengaku bahwa dialah yang meninggalkan marning di mobil, dua hari sebelumnya karena terlupa.

"Mohon maaf Pak, saya lupa belum membersihkan mobil," ungkapnya terbata-bata. Subhanallah, Allah masih memberi saya kesempatan.

"Tak masalah, aku minta maaf dan minta kamu ikhlas marningmu aku makan. Karena kalau kamu tidak ikhlas, apa jadinya kalau aku keburu mati ketika makan barang haram, " jawab saya sambil menahan tangis.Adegan selanjutnya adalah saya sibuk menjawab celotehan kedua permata hati dan istri saya, tentang apa yang barusan terjadi. Alhamdulillah, saya bisa berdakwah kepada keluarga saya dengan hanya menceritakan pengalaman pribadi tadi.

Tak terasa rumah orangtuaku makin dekat. Ya Allah, berikan aku hidup istiqomah di jalan-Mu dan akhir yang khusnul khotimah. Ya Allah, masukkan aku ke surga-Mu dan pertemukan aku dengan Rasulullah dan Ibrahim bin Adham. Amin. (Abu Imam/ dari majalah Hidayatullah edisi Agustus)

"Beras dari Langit"

Allah mengiriminya "orang tak dikenal dari langit" dengan membawakan berkarung-karung beras.Demikianlah satu balasan yang diberikan Allah sebagaimana janjinya kepada para pejuang agama Nya

Hidayatullah.com--Perempuan itu terlihat khusyuk di atas sajadahnya. Wajahnya bening, bersahaja memancarkan sinar kemuliaan dari hati yang qonaah. Jari tangannya masih bergerak-gerak mengiringi rentak tasbihnya, puji cinta yang tak pernah bosan ia lantunkan untuk sang kekasih yang Maha Pengasih.

"Hhhhh...Ukh.....ukh....."

Anak lelaki usia 10 tahunan yang terbaring lemah di atas kasur di sampingnya menggeliat. Dia mengigau lagi. Panas tubuhnya belum turun dari tadi malam. Perempuan itu menghentikan zikirnya. Diperhatikannya lalu dengan penuh kasih diusapnya dahi anak itu.

"Alhamdulillah ... panasnya sudah turun"

"Salman, minum dulu, nak!" Katanya sambil menyodorkan segelas teh.

Perempuan itu kemudian bangun dari duduknya. Melipat sejadah dan muqananya, lalu beranjak ke dapur.

Salman hanyalah satu dari puluhan santri yang mondok di rumahnya. Mereka kebanyakan anak-anak usia sekolah dasar, sebagian yatim atau piatu. Di pondok itu mereka diasuh dan dibesarkan, dididik dan diajari shalat, akhlak, mengaji dan menghafal Al-Qur'an. Mereka juga disekolahkan di SD, SMP ataupun MTSN setempat. Santri-santri itu memang diperlakukan layaknya anak kandung sendiri, sehingga bila ada di antara mereka yang sakit, ia sendiri yang akan merawat dan menjaganya sampai sembuh.

"Ummi ..."

"Ada apa Da?"

"Hmm... ini Ummi, Ida cuma mau memberitahu. Beras persiapan kita sudah hampir habis." Ida juga seorang santriwati yang rajin membantunya di dapur.

"Hmm..., baiklah. Oh ya, sepertinya di luar ada tamu ya, Da? Sudah dibuatkan minum?"

"Sudah, Ummi".

Ia bergegas ke ruang tamu. Di beranda, suaminya tengah beramah-tamah dengan beberapa guru. Ia berhenti di balik pintu, mencoba mencermati percakapan mereka.

"Ustadz, kami rasa, sistem yang lama sudah tidak bisa diteruskan lagi. Jumlah santri semakin bertambah, sementara sarana yang kita miliki tidak memadai," ujar salah seorang guru kepada Pimpinan Pondok.

"Betul, Ustadz, kita harus memungut bayaran dari santri. Minimal untuk menutupi biaya makan mereka. Kami dengar bahkan beras pun sering kali hampir habis. Bagaimana kalau untuk makan saja tidak cukup?" kata yang lain menambahi.

"Tapi kalian belum pernah betul-betul kelaparan bukan?" jawab beliau, kalem dan bijaksana.

"Begini, Ustadz ... Maksud kami, biar dana yang biasanya untuk makan santri itu dialihkan untuk dana lain."

"Iya, asrama santri perlu ditambah. Bangunan yang ada tidak layak lagi untuk menampung para santri yang jumlahnya bertambah terus. Begitu juga ruang belajar dan sarana kebersihan seperti kamar mandi, toilet, dan lain sebagainya."

Hening sejenak. Kemudian terdengar helaan nafas yang berat dari lelaki bijaksana itu.

"Kami akan menyiapkan proposal permohonan bantuan dana ke seorang kaya yang kami dengar sering membantu pesantren, kalau kalian setuju," ujar salah seorang dari mereka setengah mendesak namun hati-hati, khawatir akan menyinggung perasaan Pak Ustadz.

Sunyi lagi. Pak Ustadz tetap terdiam. Beliau hanya sesekali menghela nafas sambil melempar pandangan ke luar. Tetapi kemudian,

"Baiklah, Ustadz, kami pamit dulu," kata rombongan guru itu.

"Assalamu 'alaykum!"

"Wa'alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Pak Ustadz.

Beberapa saat sesudah mereka pergi, perempuan yang tadi berdiri di balik pintu dan menyimak pembicaraan itu keluar, lalu duduk di sebelah suaminya.

"Saya mengikuti dialog tadi," katanya memecah keheningan.

"Dan sudah tahu, bukan, apa jawaban saya. Sampai kapan pun, akan tetap sama," jawab suaminya. Sejak didirikan pada tahun 1975, pesantren itu memang tidak memungut iuran sama sekali walau satu sen pun dari para santri, wali ataupun orangtua mereka. Semuanya gratis, dari mulai makan hingga biaya sekolah.

"Beras di dapur sudah hampir habis. Hanya cukup untuk hari ini saja," kata perempuan itu kepada suaminya. Suaranya tetap datar, hanya bermaksud memberitahu. Suaminya hanya terdiam. Tak sepatah kata pun diucapkannya. Janji yang ia ikrarkan kepada Sang Khalik tidak akan berubah, karena ia sangat yakin Allah tidak pernah menyalahi janjiNya: in tanshuru-llaha yanshurkum. Orang yang berjuang menegakkan agama Allah pasti akan ditolong, dijamin dan dimenangkan olehNya.

Pak Ustadz belum beranjak dari duduknya. Hanya kelihatan bergumam sambil menggerak-gerakan jari-jemarinya, larut dalam zikir dan doa. Tidak lama kemudian terdengar suara riuh rendah. Nampaknya santri-santri telah selesai melakukan olah raga, jalan keliling kampung. Sudah menjadi acara khusus di hari Minggu pagi bagi pesantren tersebut. Perempuan itu melongok ke ruang dalam, melihat jam dinding, sudah jam 10. Bergegas dia masuk, menuju dapur. Hanya ada Ida dan Yati di sana, dia harus membantunya menyiapkan makan siang.

***Selesai sholat zuhur, lingkungan pesantren kembali sepi. Sebagian besar santri sedang beristirahat di pondokan masing-masing. Tiba-tiba sebuah truk berhenti di depan pesantren. Sopir dan seorang lagi temannya menurunkan karung-karung beras dari truk itu. Salah seorang dari mereka melambaikan tangan ke arah santri yang sedang duduk-duduk di kursi kayu di depan salah satu pondokan tidak jauh dari pintu gerbang. Bergegas santri itu mendekati orang tersebut.

Panggil temanmu. Angkat karung-karung ini ke dapur, kata orang tadi. Selesai menurunkan semua karung-karung, tanpa berkata apa-apa lagi, kedua orang itu pun langsung pergi. Belum sempat santri itu bertanya, truk sudah bergerak meninggalkan kepulan asap dan debu. Santri itu hanya melongo sesaat, setelah itu segera berlari memanggil kawannya.

Ilham, orang yang mengantar beras ini sudah dipersilahkan masuk? Biar Ummi panggil Ustadz sebentar, ya!

Orangnya sudah pergi Ummi, agak ngos-ngosan anak yang dipanggil Ilham itu menjawab.

Lho..., dia bilang atau tidak, dari mana beras-beras ini? tanya Ummi keheranan.

Ilham belum sempat tanya Ummi. Orangnya sudah keburu pergi. Dia hanya menyuruh saya mengangkat karung-karung ini ke dapur.

Ya sudahlah ....

Ketika disampaikan perihal kedatangan orang-orang tak dikenal itu, suaminya menjawab singkat: Oh, itu beras dari langit.

Demikianlah satu dari sekian banyak pengalaman yang ia lalui selama mendampingi suaminya membina pesantren yang kini kelihatan sudah berkembang dengan pesat dan mulai dikenal luas di seantero nusantara.

Siapakah orangnya yang (mahu) memberikan pinjaman kepada Allah sebagai pinjaman yang baik (yang ikhlas) supaya Allah melipatgandakan balasannya dengan berganda-ganda banyaknya? Dan (ingatlah), Allah jualah Yang menyempit dan Yang meluaskan (pemberian rezeki) dan kepadaNyalah kamu semua dikembalikan. (QS.2:245)

"Orang-orang mukmin itu hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (Q.S. Al Hujurat :10). [Andi Sri Suriati Amal, Frankfurt, 29 April 2006]Mengubah Tak Mungkin Menjadi Mungkin

Sebagai wartawan, tadinya, ia bergaji 17 juta sebulan di sebua media massa nasioal. Tapi, dia justru memutuskan keluar untuk mandiri. Jatuh bangun dia hadapi. Inilah kisahnya

Usaha baru masih dalam rencana, pekerjaan mapan saya tinggalkan. Keputusan gila, barangkali. Betapa tidak, gaji saya Rp 17 juta perbulan plus sejumlah fasilitas menggiurkan.

Bagaimanapun, keputusan saya sudah bulat. Di mata saya, menjadi pengusaha lebih menjanjikan. Tentu tidak ada yang mudah. Apalagi saya tak punya pengalaman sama sekali, kecuali sebagai wartawan. Tapi saya yakin bisa, asal kerja keras.

Peluang pertama yang saya tangkap penyanyi asal Pasuruan yang dianggap kontrovesrial. Ia saya kontrak manggung di Sidoarjo, Jember dan Banyuwangi. Namanya menjadi jaminan, melejit lewat goyang ngebornya. Jadi, keuntungannya sudah di pelupuk mata.

Manusia punya rencana, Allah jualah yang menentukan. Bukannya untung, saya malah buntung (rugi) Rp 25 juta! Penontonnya yang hadir kurang dari target. "Dan lagi, acaramu tidak barokah. Goyangnya mengundang shahwat, haram ditonton," kata ustadz saya. Alamaaak, sudah rugi berdosa lagi.

Maka, tak ingin menambah dosa, saya memeras otak mencari bisnis baru yang bersih dan barakah. Lirik sana lirik sini, akhirnya saya menemukan sebuah real estate mangkrak di Surabaya. Berniat mengakusisi, saya pun melangkah mencari informasi. Celakanya, informasi yang saya dapat semuanya tidak menyenangkan. Perusahaan itu terbelit persoalan yang komplek, terutama hutangnya segunung. Sudah ditawarkan ke mana-mana, tidak ada yang mau.

Ah, masak sih tidak ada peluang sedikitpun. Saya penasaran. Nabi Isa as ketika melintas di sebuah jalan bersama beberapa sahabatnya, di suatu tempat, menjumpai bangkai seekor keledai. Bau busuk membuat para sahabat menutup hidung seraya bergumam.

Apa kata Nabi Isa? "Lihatlah, betapa putihnya gigi keledai itu!"

Saya merenung. Jadi, dari sesuatu yang terlihat busuk pun kita masih selalu bisa melihat sesuatu yang baik. Semuanya bergantung pada sudut pandang dan cara kita mempersepsi.

Kisah itu menginspirasi saya ketika menyimak berbagai masalah yang tengah membelit perusahaan real estate yang lagi saya timang-timang itu. Dari tumpukan masalah itu, saya melihat masih ada secercah cahaya. Lokasinya lumayan bagus. Dengan demikian, kalau saya mampu mengatasi berbagai persoalan yang super rumit ini, insya Allah saya tidak akan begitu sulit memasarkannya.

Rasa optimis muncul dalam benak saya. Tapi, begitu perusahaan itu saya akusisi, segudang masalah menghadang. Hari-hari pertama masuk kantor, banyak orang datang. Hampir semuanya marah-marah. Mulai dari aliran listrik, saluran air yang macet, dan paling berat soal hutang. Dana Rp 900 juta yang kami siapkan ludes untuk nomboki (membayar) hutang itu. Sampai-sampai saya sebagai direktur tak mampu beli pulsa handphone, karena kas benar-benar terkuras habis. Selesai?

Belum. Hutangnya masih setumpuk. Tapi di sinilah saya merasakan tangan-tangan Allah. Rupanya macam-macam, kadang tiba-tiba masuk uang dari penjualan rumah. Kadang juga si penagih bersedia ditunda pembayarannya. Belasan kali saya merasakan bantuan Allah itu.

Makanya, setiap terbentur suatu masalah saya selalu bilang kepada kawan-kawan, "Insya Allah, ada jalan keluarnya." Bukankah setiap dibalik kesulitan, pasti ada kemudahan? Kuncinya, selain kerja keras dan sabar adalah memohon pertolongan Allah.

Kasus penyanyi 'ngebor' itu memberi pelajaran berharga kepada saya.

Sebelum mengakusisi, saya minta petunjuk kepada Allah, lewat shalat istiharah. Doa saya sederhana saja, "Ya Allah, kalau Engkau meridhai saya menangani perusahaan ini, berilah saya jalan. Tapi bila engkau tidak ridha, jauhkanlah saya darinya."

Saya yakin, seberat apapun masalahnya, bila Allah membantu pasti ada jalan keluarnya. Itulah yang saya rasakan.

Kini, 2 tahun berjalan, penghasilan saya lebih besar dari yang saya dapat dari Kompas-Gramedia dengan masa kerja 17 tahun. (Basuki Subianto, seperti dituturkan dalam peluncuran buku Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin, akhir Januari lalu. Tulisan ini dimuat di Majalah Hidayatullah edisi Pebruari 2005).

***Kirimkan pengalaman menarik dan relegius anda ke email redaksi: [email protected] This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it . Pengalaman anda akan amat berarti bagi orang lain.

Menyuap Malaikat, Membeli Surga!

Ada banyak koruptor yang rajin bersedekah dan menyantuni anak yatim. Ada artis-artis erotis yang membangun masjid dan pesantren. Inilah femonema 'membeli surga'

Oleh: Nasrulloh Afandi *

Membeli surga? Rasanya kok mengada-ada. Tapi fenomena seperti ini banyak kita rasakan dan cukup ngetrend di negeri kita. Gelombang simbolis religius akhir-akhir ini banyak terjadi, khususnya di kalangan artis, pejabat dan orang-orang superkaya. Surga dan malaikat, seolah-olah bisa disuap dengan uang dan harta kekayaan mereka.

Meski tak banyak, ada saja kalangan pejabat yang nampak alim ketika pulang kampung. Bersedah kemana-mana, membantu masjid dan royal pada anak yatim. Sebaliknya, di luar rumah, dia justru di kenal sebagai pejabat paling korup dan suka memarkup dana APBN/APBD.

Pernah suatu kali, di sebuah surat pembaca konsultasi fikih di majalah Islam, seseorang pembaca bertanya, Ustad, sebelum ramai-ramai istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), saya bergelimang uang haram. Bisakah dosa saja terhapus bila kami sumbangkan pada yayasan Yatim Piatu?

Ini adalah fenomena nyata di masyarakat. Artis-artis kita, nampak sopan di kala Ramadhan. Seorang penyanyi erotis seperti Inul Dara Tista, bahkan berjanji mengenakan jilbab bila di panggung selama puasa. Artis-artis lain juga beramai-ramai bersedekah. Meski selesai Ramadhan, kegiatannya mengundang syahwat kembali lebih gila dari bulan puasa.

Uang, seolah bisa menyuap malaikat Rokib, malaikan pencacat amal ibadah.Inilah adalah fenomena pragmatisme ibadah, yang dilematis bagi Muslimin. Makelar SurgaPara artis dan para koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri katanya cinta agama, mayoritas mestik tidak untuk dimaksud tidak semuanya-- mereka adalah para makelar surga paling berpengaruh. Di depan publip, ia mempromosikan, bahwa surga adalah komoditas yang bisa diraih dengan bermodal materi.Kalaulah hal itu dianggap ibadah sampingan, tentu tidak masalah. Ironisnya mengesampingkan esensialitas ibadah kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut atas dosa-dosanya. Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi eksis lebih kuat mengalahkan keimanannya.Kroposnya akar-akar Islam di lapangan Ibadah, baik vertical (kepada Allah) maupun horizontal (sesama ummat beragama), adalah resiko dominan dari komoditas surga.Faktor utamanya, mereka, umumnya berpikir pragmatis. Bahwa dalam konteks ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau haram. Lebih menggelikan, ada yang berceletuk , "Berbuat demikian itu lebih baik, daripada tidak sama sekali ".Karena itu, para koruptor, yang tak malu mengeruk duit rakyat atau artis, tak terkecuali artis bintang porno, yang mempublikasikan diri melalui berbagai media massa secara gegap gempita menjadi santri dan sopan. Bergagah-gagahan berebut membangun masjid-masjid dan menyantuni para yatim piatu dengan mengundang wartawan.Seolah-olah mereka adalah "teladan beribadah bagi segenap Muslimin. Ia hanya ingin menunjukkan pada public, sesungguhnya, surga masih bisa dibeli. Fenomena tak menarik seperti ini jelas jauh dari autentisitas ibadah secara syari.Hak surga dan neraka adalah perogratif Allah SWT sebagamana surat yang berbunyi, Dia (Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu." (QS 5:18).Tapi merupakan kesalahan fatal, bila ada manusia bermaksud "mengaveling surga", hanya dengan mengandalkan seonggok harta. Apalagi, Itikad dari ibadahnya itu tetap tidak merubah kebiasaan buruk sehari-hari.Islam adalah agama yang tak bisa dipraktekkan seenaknya. Ada syarat dan rukun dalam ibadah. Dan itu tidaklah berdasarkan karangan akal-akalan. Dalam perspektif hukum fiqih, empat madzahib fuqoha ahlissunnah waljama'ah (Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Syafii) ada kesepakatan, bahwa generalitas dalam beribadah selain ada rukun yang dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu harus memperhatikan terhadap syarat-syaratnya.Selain ada syarat diwajibankannya (beribadah), utamanya harus memenuhi syarat syah, agar sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi syah.Beragama jelas ada prosedurnya. Bolehkan membangun pesantren dengan uang hasil memamerkan aurat badan di berbagai media massa? Misalnya hasil dari goyang erotis? Jelas tidak. Beribadah jelas ada ketentuannya. Misalnya, Meski sama-sama air, tidak boleh mencuci lantai masjid dengan air kencing. Ini sama halnya menyantuni anak yatim dengan uang hasil korupsi. Dalam Qawaid al-Fiqh, dikenal al-Ashlu baqou ma kana ala makana (hukum sesuatu hal, itu sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram dijariahkan ke masjid, maka tetap haramlah hukum menyalurkan duit (haram) itu.Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan harta haram, dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan menafikan syarat (ibadah) tentunya menyebabkan tidak syah.Sebuah hadis mengatakan, Dan memang, harta itu, hisabnya (pertanggung jawaban di hadapan Allah) dua hal; dari mana (dengan cara apa) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan. (HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah R.A.).Karena itu, Nabi pernah menghancurkan masjid dhirar karena karena dianggap dapat memecah belah umat dan menimbulkan keresahan. Jika hanya menggunakan akal, penghancuran itu jelas perbuatan tidak waras. Bukankah masjid adalah rumah Allah tempat orang bersujud?

Karenanya, tidaklah tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu, sebagai argumentasi "untuk mencari modal" beribadah. Bukankah sangat banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa mencampakkan konstitusi (syariat) Ilahi?Bila beribadah orientasinya masuk surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas orisinilitas ibadah. Perspektif Tauhid adalah termasuk asy-Syirku al-Asghar (bagian dari penyekutuan kepada Allah SWT).Efek SampingKompfleksnya sistem media informasi, berperan aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "ngetrend" terjangkit virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga". Berujung semakin terpinggirkannya implementasi kualitas ibadah.Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan masjid, namun berat untuk melangkahkan kaki shalat berjamaah ke masjid. Atau marak pula (orang-orang daerah) gemar menyumbangkan duit untuk acara-acara pengajian/majlis talim, namun enggan mengikuti pengajian di majlis yang didonasinya itu.Inilah, kaum hedonis (pemuja harta) yang gede rasa (GR) bisa membeli surga. Prinsipnya, Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan harta, termasuk cara (haram) memperoleh hartanya. Toh, dengan harta itu, akan mampu menyuap malaikat sekaligus membeli surga! .

Allah berfirman, Akan datang suatu hari, yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS. Asy-Syu'araa': 88-89)Melaksanakan perintah Alah dan menjauhi laranganNya sesuai orisinilitas syariat itulah sesungguhnya esensi dari kehidupan manusia dan beribadah. Karenanya, bagi mereka yang merasa bisa "menyuap malaikat dan membeli surga", Anda jangan merasa GR!. Wa Allohu A'lamu bi ash-Showab.*) Penulis adalah alumnus pesantren Lirboyo Kediri, aktivis muda NU, sedang "mengasingkan diri" di universitas Karaouiyine MarokoBalada Nenek Renta

Usianya sudah mencapai senja. Dengan jarak 8 kilometer berjalan kaki, seminggu sekali, ia melakukannya untuk bisa mencapai mesjid Lamtamot Lembah Seulawah, Aceh, untuk mendengarkan pengajian

Senin, 26 September 2005Jarak 8 kilometer ditempuh dengan jalan kaki, seminggu sekali, demi bisa ikut mengaji. Padahal,Perempuan itu amatlah sederhana. Berpakaian lusuh, selalu mengenakan kain sarung, baju kebaya khas wanita usia lanjut, serta jilbab berbahan kaus yang menjulur hingga ke bawah dada.Wajahnya belum kempot meski sudah berusia 85 tahun. Badannya tegak sempurna. Punggungnya tak membungkuk sedikit pun. Giginya masih rapi tersusun, tiada yang tanggal. Saat tertawa, tampaklah geliginya yang berbaris rapi menghadiahkan keceriaan jiwanya.Guratan keriput di pipi tak sanggup memupuskan bias kecantikannya sebagai perempuan Aceh. Berhidung mancung dengan bola mata belok sedikit sayu. Pertama kali bertemu dengannya, ia memakai jilbab berwarna coklat. Berbaju lengan panjang dengan corak bunga dan kain sarung warna hijau pudar. Ia juga mengenakan sandal jepit. Semua itu menyertainya menjemput kebahagiaan.Nenek tua penuh pesona. Semangatnya memperdalam Islam tak rapuh bersama usia senjanya. Ia masih kuat melangkah menjemput hidayah. Pandangan matanya tak rabun disengat kejamnya dunia. Ia berjalan, terus berjalan, menuju cahaya Ilahi Rabbi. Semua itu terlihat mudah baginya. Sebaliknya, orang-orang yang melihatnya menjadi malu dan jatuh iba.Ia hidup sebatang kara. Melodi kehidupannya bukan tanpa nada. Nada-nada melankolis sering sekali menemaninya. Kami bertemu dalam pertemuan yang indah, dalam sebuah majelis dzikrullah di Masjid Lamtamot. Aku pembicara dan nenek itu menjadi pendengar yang baik.Selepas acara, nenek itu melangkah pulang. Pelan-pelan. Tangan kanannya mengayun-ayunkan sebilah tongkat penyangga keseimbangan badan. Ia melangkah berpayah-payah, menelusuri rerimbunan hutan dengan jalan yang tak mulus. Bebatuan besar menghadang. Sejauh delapan kilometer, ya delapan kilometer!Ia terseok-seok melintasi jalanan sunyi. Menyeret kaki kanannya yang pincang demi sebuah keyakinan, mempertebal keimanan. Diteguhkannya tekad guna mengikuti acara kajian Islam pekanan yang diselenggarakan KKIA-SWA (Komite Kemanusiaan Indonesia untuk Aceh-Sahabat Wanita dan Anak), setiap Ahad pagi.Nenek itu terlahir di Lembah Seulawah. Nmanya Haji, karena bertepatan dengan hari lebaran haji. Tanpa embel-embel lain. Hingga sekarang orang biasa memanggilnya Nek Haji. Bukan karena sudah menunaikan ibadah haji, tapi karena itulah nama yang diwariskan oleh orangtuanya.Dulu, Nek Haji tumbuh menjadi gadis yang baik. Pada usia tujuh tahun, ia mulai mengkaji Islam di sebuah dayah (pesantren) yang tak jauh dari rumahnya di Lembah Seulawah. Setiap hari ia mempelajari kitab pada Tengku Usman. Pelajaran baca tulis, semuanya dengan aksara Arab, bukan abjad ABC.Beranjak dewasa, Nek Haji mengakhiri masa kesendirian di usia 18 tahun. Waktu itu datang pinangan dari seorang pemuda di kampung tetangga. Nek Haji pun menerima, sebab semua itu sudah ditentukan oleh orangtua. Perjodohan yang biasa pada masa itu. Orangtua bersepakat, anak pun taat. Apalagi Nek Haji memang tak punya pilihan lain.Menikahlah mereka dengan mahar Rp 20. Selama berumah tangga, ternyata Nek Haji sering dibuat kecewa. Dirinya yang taat beragama harus mendampingi seorang suami yang beragama ala kadarnya. Hanya untuk shalat, ia mesti selalu mengingatkannya. Itu pun masih sering tak dikerjakan.Bahtera rumah tangganya akhirnya kandas setelah terjalin 12 tahun. Suaminya menginginkan seorang anak tapi Nek Haji bukanlah perempuan subur. Sejak perpisahan itu, ia menjadi sendiri. Tak ada tempat berbagi kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.Dari usia 40 tahun hingga kini, ia terus sendiri. Mengupayakan segala kebutuhan hidup dengan jerih payahnya sendiri. Menggarap sawah sendiri atau mengambil upahan di kebun orang lain. Namun Nek Haji masih menyisakan waktu untuk mengajar masyarakat setempat mengaji. Semua dilakoninya tanpa berkeluh kesah.Nek Haji senantiasa istiqamah. Sedari belia hingga tua renta hidayah selalu dijaganya. Menutup aurat, shalat malam, shalat duha, dan menuntut ilmu, terus dikerjakannya tanpa merasa susah payah.Sekarang Nek Haji menempati sebuah rumah sederhana di desa Buncala. Berlantai tanah yang tak rata, berdinding papan kusam dengan atap daun rumbia. Perabotan dalam ruangan itu seadanya saja. Tidur beralas tikar, memasak dengan tungku batu bata memakai kayu bakar. Semuanya dijalani dengan kesabaran dan ketulusan. Subhanallah!Masihkah kita tak merasa malu?* (Srikawati/Hidayatullah)

Agar cerita dan kisah menarik bisa bermanfaat bagi banyak orang. Kirimkan kisah dan perjalan ruhani anda atau kerabat dekat anda ke email [email protected] Nih Ye!

Rumah? Mimpi nih ye!. Bekerja dengan gaji Rp 150 ribu (l994), mana mungkin bisa membeli rumah. Untuk makan saja sebenarnya sudah pas-pasan. Namun bila Allah menghendaki, mimpi itu bisa saja terwujud. Itulah yang terjadi pada saya.

Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, Allah akan menggantinya (QS. Saba' 39)Rumah? Mimpi nih ye!. Bekerja dengan gaji Rp 150 ribu (l994), mana mungkin bisa membeli rumah. Untuk makan saja sebenarnya sudah pas-pasan. Namun bila Allah menghendaki, mimpi itu bisa saja terwujud. Itulah yang terjadi pada saya.Saya bekerja di sebuah unit ekonomi pesantren, hidup qona'ah sangat ditekankan di sini. "Terimalah dengan rasa syukur, insya Allah, Allah akan menambah nikmatmu," begitulah pesan utamanya. Alhamdulillah, meski secara materi kami tak punya apa-apa, kami hidup tenang. Mungkin juga, itu karena kami masih keluarga muda, sehingga kebutuhannnya belum banyak. Anak juga baru satu, masih kecil lagi.Kalau ada karunia terbesar dalam hidup saya, dialah istri saya. Selain shalihah, dia juga pintar mengatur keuangan. Sehingga gaji yang pas-pasan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan masih sempat menabung. Meski cuma ratusan ribu rupiah, tapi lumayankan!Mungkin, karena merasa punya tabungan, sesekali istri saya bicara soal kemungkinan punya rumah sendiri. Waduh! Sungguh, saya tak berani menanggapi. Diam atau mengalihkan ke topik lai, begitu saya biasanya. Saya merasa tak 'PD' bicara soal yang satu ini. Harga rumah jelas tidak ratusan ribu, bok! Jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Duit dari mana saya? Maksud istri saya tahu baik, agar tidak terus menerus jadi 'kontraktor' alias kontrak. Tujuh tahun kami menikah, kami memang tinggal dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang lain. Bosan sebenarnya, namun mau apalagi?Nah, soal tabungan itu, ternyata Allah punya kehendak lain. Ketika tabungan kami mulai terkumpul tiba-tiba saja orangtua datang, ingin meminjam uang untuk kebutuhan mendesak. Dan itu terjadi beberapa kali. Anehnya, seringkali permintaan itu datang tepat saat kami memang punya. Kami tidak bisa bohong, misalnya bilang lagi tak punya uang atau yang lainnya. Kalau lagi 'tongpes' (kantong kempes) kami biasanya juga bilang apa adanya. Kami bersyukut bisa membantu orangtua, meski hanya sedikit.Kehidupan terus berputar. Hingga Suatu kali kami pulang kampung, silahturrahmi ke orangtua. Beberapa saat kemudian, istri saya dipanggil ayah ke kamarnya. Setelah ngobrol sebentar, ayah bilang, "Ini untuk kamu, mudah-mudah bermanfaat." Sebuah amplop tebal disodorkan. Istri saya diam tak tahu maksudnya. "Alhamdulillah ayah punya rezeki, ini uang yang ayah pinjam dulu," jelasnya kemudian. Istri saya dan juga saya, melongo sesaat. Kami tak pernah menyangka bakal kejatuhan rezeki. Apalagi kami memang tidak pernah berfikir bahwa uang itu nanti dikembalikan. Niat kami bukan meminjami, kami benar-benar memberi, suatu kewajiban yang sudah semestinya dilakukan seorang anak kepada orangtuanya. Yang lebih mengejutkan lagi, tanpa sepengetahuan kami ayah ternyata mencatat semua uang yang dipinjam dari kami itu dalam sebuah buku besar, lengkap dengan tanggal, tahun dan jumlah uang yang dipinjam. Catatannya sehalaman penuh. Entah berapa jumlahnya, yang jelas uang yang dikembalikan kepada kami Rp 4 juta. Inilah uang terbesar yang pernah kami punya, kala itu.Uang itu, setelah kami tambahi dengan meminjam ke kantor dan seorang teman, kami belikan sebuah rumah mungil di perumahan seharga Rp 6 juta. Rumah itulah yang kini saya tempati bersama istri dan dua anak saya. Sungguh, bagi Allah tak ada yang tak mungkin. Alhamduillah. "Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap tiap butir seratus biji." (Al Baqarah 261) Redaksi menerima cerita fakta perjalanan reliius anda. Sedikit cerita anda akan berguna bagi saudara kita yang lain. Kirimkan cerita anda di redaksi Hidayatullah.com dengan alamat email: [email protected] This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it

10 Hal, Anda Sudah Membantu Yahudi-Israel!

Banyak orang menilai, membeli produk Amerika dan Yahudi, mengibarkan bendera Israel bahkan sekedar memakai kalung "Bintang David" tak ada sangkut-pautnya dengan dukungan terhadap Israel. Siapa bilang?

Hidayatullah.com--Banyak misinformasi di luaran sana. Terutama ketika sebuah insiden terjadi di Israel. Kunjungi situs Kementerian Luar Negeri Israel (www.mfa.gov.il) dan situs Pertahanan Israel (www.idf.il/english/news/main.stm) guna memperoleh cerita dari sudut pandang Israel, demikian bunyi poin ke 33 dari 54 Cara Bagaimana Mendukung Israel

Ringan dan tidak terlalu berat. Cukup membaca berita dari sudut pandang Israel, Anda sudah dianggap mendukung zionis. Bahkan Anda tidak perlu mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk dikirim ke Yerusalem atau Israel, yang jelas-jelas lebih kelihatan dianggap menyumbang Zionis.

Tapi tips seperti itulah yang digalakkan kalangan Zionis-Israel untuk mendapatkan simpati dunia, bahwa dirinya ada dipihak yang benar. Sekurang-kurangnya, Anda bersimpati atas tindakannya sudah bentuk dukungan moril.

Banyak orang menilai, membeli produk Amerika dan Yahudi itu tak ada sangkut paut dengan sikap keberpihakan pada Yahudi. Bahkan ketika salah seorang pemain Extravaganza di sebuah stasiun televisi swasta kita mengenakan kalung bergambar Bintang David yang nota bene adalah lambang dan bendera Israel tak ada sangkut-pautnya dengan dukungan terhadap Zionis-Israel. Siapa bilang?

Bacalah baik-baik beberapa pesan dari media-media Yahudi di bawah ini. Juli lalu --terutama ketika Zionis-Israel banyak mendapat tekanan dunia karena menyerang Libanon-- bermunculan pesan melalui internetberupa kampanye menggalang opini Yahudi-Israel.

Sederhana. Rata-rata mengajak orang berempati dan bersimpati, syukur-syukur memberikan dukungan uang dana dan investasi ke tanah Israel. Jika uang dan investasi tak punya, cukup kiriman bunga. Jika itu tak bisa pula, dukunglah dengan do'a atau besimpatilah atas banyaknya warga Israel yang meninggal oleh bom bunuh diri.

Beberapa media Yahudi itu bisa Anda klik, di //www.ou.org/israel/ dan http://www.ujc.org/. Situs ini memberikan 10 tips bagaimana harus mendukung Yahudi. Ada juga situs www.25waystohelpisrael.com, yang memberikan 25 tips bagaimana seharusnya Anda bisa membantu Yahudi. Yang paling banyak adalah situs http://www.aish.com/. Karena tidak tanggung-tanggung, mengeluarkan petunjuk "54 Ways You Can Help Israel" [54 cara Anda bisa mendukung Israel]. Namun umumnya, semua tips itu banyak kemiripan.

Lantas apa saja yang dianggap mendukung kaum Zionis itu? Diantaranya; membeli produk Yahudi, unjuk rasa mendukung Yahudi atau Israel, melakukan perjalanan ke Israel, menulis surat dukungan terhadap berdirinya Negara Israel Raya baik ke pihak terkait (termasuk ke Gedung Putih) dan mengibarkan bendera atau simbol-simbol Israel (Yahudi). Sekurang-kurangnya bersimpati denganya.

Di bawah ini adalah 10 cara, yang kemungkinan sering kita lakukan secara tidak terasa.

1. Membeli produk serta jasa AS/Israel

Bagi Yahudi & Israel, peran ini sangat vital. Situs Yahudi, http://www.aish.com/ menulis, dengan penderitaan ekonomi yang Kami (Israel) alami, membeli produk Yahudi sama halnya meningkatkan ekspor Israel.

2. Berkunjung ke Israel

"Kunjungi Israel untuk berlibur, sekolah, atau menjumpai keluarga. Dorong organisasi-organisasi lokal Anda untuk mensponsori kunjungan in, dalam bentuk study tour, religious tour, Bar/Bat Mitzvah tour-- bisa untukk 3-10 hari. Habiskan sebanyak mungkin uang Anda untuk membantu ekonomi Israel. Hotel, toko, restoran di Israel kekurangan turis, demikian tulis media Yahudi.

Mengunjungi Israel akan menunjukkan kepada orang-orang Israel bahwa Anda peduli, dan akan membuat perbedaan yang hebat. Buatlah motto; "Turisme melawan Terorisme!", " tambahnya.

3. Mengibarkan bendera atau lambang Israel

Bagi Israel, dukungan tak harus uang atau dana. Cukup mengibarkan bendera atau simbol-simbol Yahudi lain, Anda sudah ikut memberikan harapan dan support.

Banyak orang tak menyangka, sekedar memakai kalung "Bintang David" saja adalah sebuah dukungan. "Kibarkan bendera Israel di depan rumah Anda, gereja dll. Biarkan semua orang tahu bahwa Anda bangga terhadap Israel. Pasang sebuah stiker bertuliskan "Saya Mendukung Israel" di belakang mobil. Pakailah pin gambar bendera kombinasi Amerika/Israel. Jika Anda tidak dapat menemukan bendera Israel, buatlah sendiri, atau suruh anak-anak kecil menggambarnya, lalu pasang di jendela atau kantor, demikian dikutip dari http://www.aish.com/

4. Meyakini Holocaust

Holocaust adalah istilah yang sering dikutip kalangan Yahudi tentang adanya pembantaian massa puluhan juta penganutnya oleh Nazi di kamp Treblinka II di Polandia. Namun penelitian membuktikan tak ada pembantaian kaum Yahudi di kamar gas. Istilah itu dimunculkan guna mencari simpati dunia. Jika yakin, Anda telah mendukungnya

"Belajarlah tentang holocaust untuk membantu kita mengerti dalamnya anti-Yahudi (anti-Semit) dan akar penyebabnya. Bungkamlah seluruh bahasa anti-Semit dimanapun Anda berada. Bersiaplah melawan kebencian mereka, apapun konsekuensinya, " tulis media Yahudi.5. Tidak Berpihak pada Palestina

Meski di pihak terdzalimi dan dijajah, media Barat (bahkan pers Indonesia) kerap memposisikan Palestina sebagai kelompok radikal. Sebalinya, Israel (meski penjajah) di pihak yang benar (dalam posisi menumpas terorisme). Jika Anda yakini itu, Anda telah membantu Yahudi.

6. Bersimpati pada Israel

Cukup bersimpati saja, sudah dukungan. Kata kaum Yahudi, "Banyak misinformasi di luar sana. Ketika sebuah insiden terjadi di Israel, kunjungi situs Kementerian Luar Negeri Israel www.mfa.gov.il dan Kekuatan Pertahanan Israel www.idf.il/english/news/main.stm guna memperoleh cerita dari sudut pandang Israel."

7. Belajar bahasa Yahudi &8. Mempelajari Taurat (Tora)

Untuk poit 7 & 8, jika dimaksudkan untuk semakin mendakatkan hati Anda dengan bangsa Yahudi dan Israel.

9. Berinvestasi ke Israel10. Mendukung berdirinya Negara Israel

Apapun alasanya, mengakui berdirinya Negeri Israel sama halnya membenarkan Zionisme-Israel atas tindakannya menjajah dan menyerobot tanah sah rakyat Palestina. Nah, apakah Anda termasuk diantara 10 hal yang telah disebutkan? [kartika, cholis akbar, diolah dari www.aish.com, www.ou.org/israel, www.ujc.org/ dan www.25waystohelpisrael.com]]

Pengakuan Nakata Khaula

Menutupt aurat? tak pernah terlintas baginya. Maklum, ia seorang aktifis feminis. Namur wanita asal Jepang ini berubah total dan justru menemukan kedamaian setelah mengenal Islam. Baca pengakuan seorang mantan aktifis feminisme ini

Hidayatullah.com--Ketika saya kembali ke dalam pangkuan Islam, agama asli semua manusia, sebuah perdebatan sengit sedang terjadi di sekolah-sekolah Prancis tentang jilbab di kalangan pelajar perempuan-terutama keturunan imigran TImur-Tengah-hingga beberapa waktu lamanya (hal itu terjadi karena ada kebijakan pelarangan penggunaan jilbab dari otoritas Prancis, pen). Mayoritas pelajar berpendapat, public-dalam hal ini sekolah negeri-seharusnya bersikap netral dalam urusan agama, termasuk tentang tudung kepala (jilbab).

Tidak dapat dipungkiri, kelompok Muslim di Prancis turut membayar pajak yang lumayan besar jumlahnya. Menurut saya, pihak sekolah hendaknya menghargai keyakinan seseorang atau kelompok dalam menjalankan ajaran agamanya sepanjang orang atau kelompok itu tidak mengganggu kegiatan rutin sekolah, apalagi sampai melanggar disiplin. Namun, tampaknya pemerintah Prancis sedang menghadapi gejolak social dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Mereka merasa kehidupan ekonomi mereka terancam dengan makin banyaknya pekerja imigran Arab. Banyaknya penggunaan jilbab di kota-kota atau di sekolah-sekolah semakin memicu perasaan mereka itu.

Pada kenyataannya, memang semakin banyak perempuan Arab imigran yang memakai jilbab, terlepas dari pandangan bahwa fenomena itu akan segera menghilang seperti halnya ketika sekularisme Barat menanamkan pengaruhnya di dunia Arab (Timur-Tengah). Ketahanan pelaksanaan ajaran Islam itu sering dianggap sebagai upaya kelompok Islam di mana saja untuk mengembalikan kebaggaan dan identitas mereka yang pernah hilang ditelan kolonialisme Barat.

Di Jepang sendiri, sikap seperti itu mungkin dianggap sama dengan sikap tradisional konservatif orang Jepang yang muncul sebagai perwujudan perasaan anti-Barat. Sesuatu yang dalam pandangan bangsa Jepang adalah serupa dengan pengalaman yang kami rasakan sejak kami berinteraksi dengan budaya Barat pada zaman Restorasi Meiji. Bangsa Jepang saat itu memunculkan sikap penentangan terhadap gaya hidup yang tidak lagi tradisional dan mengikuti model pakaian Barat. Ada kecenderungan dalam suatu masyarakat untuk bersikap konservatif terhadap segala hal yang baru tanpa mau melihat kebaikan atau keburukannya.

Perasaan seperti itu masih ada diantara kelompok non-Muslim di Prancis yang memandang bahwa penggunaan jilbab menunjukkan ketundukan para penggunanya sebagai budak budaya tradisional seolah-olah jilbab adalah ikon pengekangan. Oleh karena itu, sikap gerakan pembebasan dan pembelaan atas kaum hawa selalu terfokus pada upaya mendorong perempuan Muslim agar melepaskan jilbab-jilbab mereka sebagai tanda pembebasan itu atau mereka belum dianggap bebas sebelum jilbab-jilbab itu lepas dari kepala mereka.

Pandangan yang naf seperti itu, bagi kelompok Muslim, menunjukkan dangkalnya pengetahuan mereka tentang Islam di dalam gerakan pembebasan perempuan. Hal ini akibat kebiasaan mencampuradukkan pandangan secular dan nilai-nilai eklektisisme agama sehingga mereka tidak mampu lagi menangkap kesempurnaan Islam sebagai agama yang universal dan abadi.

Hal itu berbeda sekali dengan kenyataan bahwa semakin banyak perempuan non-Muslim dan non-Arab dari seluruh penjuru dunia yang kembali ke pangkuan Islam. Bahkan, mereka melaksanakan kewajiban berjilbab atas kesadaran mereka sendiri dan bukan atas desakan tradisi yang dipandang berorientasi pada kekuasaan laki-laki atas perempuan (masculine-oriented).

Saya adalah salah seorang diantara perempuan non-Arab (sebelumnya non-Muslim) yang dengan penuh kesadaran memakai jilbab bukan karena bagian dari identitas kelompok atau tradisi Islam semata atau memiliki signifikansi pada kelompok social dan politik tertentu, melainkan karena jilbab adalah identitas keyakinan saya, yaitu Islam. Bagi kelompok non-Muslim, jilbab tidak hanya dianggap sebagai penutup kepala, tetapi sebagai penghalang yang menyebabkan para perempuan itu tidak punya akses ke dunia yang luas. Seolah-olah, perempuan Muslimah tercerabut dari kebebasan yang seharusnya mereka rengkuh di dunia yang sekular.

Sebelumnya, saya pernah diperingatkan tentang kemungkinan hilangnya kebebasan saya saat memutuskan untuk kembali ke pangkuan Islam. Saya diberitahu bentuk jilbab itu berbeda-beda menurut daerahnya masing-masing atau pemahaman dan kesadaran agamanya. Di Prancis, saya memakai jilbab yang sederhana-lebih tepat disebut penutup kepala-yang sesuai dengan mode dan sekedar tersampir di kepala sehingga terkesan modis.

Namun ketika saya berada di Arab Saudi, saya memakai gamis hitam yang menutupi seluruh tubuh saya, termasuk mata. Jadi,saya telah merasakan sendiri penggunaan jilbab dari model yang paling sederhana hingga model yang dianggap kebanyakan orang paling mengekang. Mungkin Anda bertanya, apa makna jilbab bagi saya? Meski banyak buku dan artikel tentang jilbab, hampir semuanya cenderung ditulis dari sudut pandang orang luar (laki-laki). Saya harap tulisan ini dapat menjelaskan makna jilbab dari sudut pandang orang dalam (perempuan).

Ketika saya memutuskan untuk kembali ke dalam pangkuan Islam, saya tidak berpikir tentang pelaksanaan ibadah shalat lima kali sehari atau tentang penggunaan jilbab. Barangkali saat itu saya khawatir jika saya terlalu dalam memikirkan hal itu, saya tidak akan pernah sampai pada keputusan yang tepat. Bahkan, hal itu mungkin akan mempengaruhi niat saya untuk bepaling ke Islam.

Sebelum saya berkunjung ke sebuah masjid di Paris, sebetulnya saya tidak tertarik sama sekali terhadap Islam, termasuk tentang sholat dan penggunaan jilbab. Bahkan, tidak pernah terbayang sedikitpun. Namun sejak itu, keinginan saya kembali ke pangkuan Islam begitu kuat untuk dikalahkan pikiran-pikiran tentang tanggung jawab yang akan saya emban sebagai seorang Muslim, Alhamdulillah.

Saya baru mulai merasakan keuntungan dan manfaat jilbab sesudah saya mendengarkan khotbah di sebuah masjid di Paris. Bahkan saat itu, saya tetap menggunakan kerudung kepala saya saat keluar dari masjid. Khotbah itu telah menjadi sebuah keputusan spiritual tersendiri seperti pengalaman saya sebelumnya dan saya tidak ingin kepuasan itu hilang. Mungkin karena cuaca yang dingin hingga saya tidak terlalu merasakan adanya kerudung di kepala.

Selain itu, saya merasa bersih, suci, dan terjaga dari kotoran dalam arti yang fisik atau psikis. Saya merasa seolah berada di dalam lindungan Allah SWT. Sebagai orang asing di Paris, terkadang saya merasa tidak nyaman dengan pandangan liar laki-laki ke arah saya. Dengan jilbab, saya merasa lebih terlindung dari pandangan liar itu.

Jilbab membuat saya bahagia sebagai wujud ketaatan dan manifestasi iman saya kepada Allah SWT. Saya tidak perlu meyakinkan diri saya lagi karena jilbab telah menjadi tanda bagi semua orang, terutama sesame Muslim, sehingga memperkuat ikatan persaudaraan Islam (Ukhuwwah Islamiyyah). Memakai jilbab sudah menjadi sesuatu yang spontan saya lakukan, bahkan dengan sukarela.

Pada awalnya, saya berpikir tidak ada seorang pun yang dapat memaksa saya untuk memakai jilbab. Jika mereka memaksa, saya pasti menentang mereka. Namun, buku Islam pertama mengenai jilbab yang saya baca sangat moderat. Buku itu hanya menyebutkan, Allah SWT sangat menekankan pemakaian jilbab.

Oleh karena Islam-seperti yang ditunjukkan dengan makna Islam, yaitu penyerahan diri-saya pun melaksanakan kewajiban keislaman saya dengan sukarela dan tanpa merasa kesulitan. Alhamdulillah. Selain itu, jilbab mengingatkan semua manusia bahwa Tuhan itu ada dan senantiasa mengingatkan saya untuk bersikap Islami. Seperti halnya petugas polisi yang tampak lebih professional dengan seragam mereka, saya pun merasa lebih Muslimah dengan jilbab yang saya pakai.Dua pekan sesudah saya kembali ke pangkuan Islam, saya pulang ke Jepang untuk menghadiri pernikahan keluarga. Setelah itu, saya memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan di Sastra Perancis yang telah kehilangan daya tariknya. Sebagai gantinya, saya memilih kajian Arab dan Islam.

Sebagai seorang Muslimah yang baru dengan pemahaman Islam yang belum banyak, tinggal di kota kecil di Jepang dan jauh dari lingkungan Islam membuat saya merasa terisolasi. Namun, keterisolasian itu semakin menguatkan keislaman saya tahu saya tidak sendiri karena Allah SWT senantiasa menemani. Saya harus membuang semua pakaian saya dan, berkat bantuan beberapa teman, saya membuat patokan sendiri yang mirip pakaian orang Pakistan. Saya tidka merasa terganggu dengan pandangan orang yang tertuju kepada saya!

Sesudah enam bulan berada di Jepang, hasrat untuk mempelajari segala hal tentang Arab tumbuh begitu besar hingga saya memutuskan untuk pergi ke Kairo, Mesir, karena di sana saya punya seorang kenalan. Saya tinggal di rumah keluarga teman saya. Namun, tidak seorang pun keluarga teman saya itu dapat berbahasa Inggris (apalagi Jepang!). Seorang wanita menjabat tangan saya dan mengajak saya masuk ke dalam rumahnya. Ia memakai jubah hitam yang menutupi dirinya dari kepala hingga ujung jari. Bahkan, wajahnya pun tertutup. Meski di Riyadh saya telah terbiasa dengan hal itu, saya ingat saat itu saya terkejut.

Apalagi, saya teringat dengan kasus jilbab di Prancis. Saat itu, saya memandang perempuan dalam jubah sebagai, perempuan yang diperbudak budaya Arab karena tidak tahu Islam (kini saya tahu menutup wajah bukan kewajiban dalam ajaran Islam, melainkan sebagai tradisi etnis semata).

Saya ingin mengatakan kepada wanita Kairo itu bahwa ia telah berlebihan dalam berpakaian sehingga tampak tidak alami dan tidak lazim. Namun, saya justru diingatkan wanita itu bahwa jilbab buatan saya sendiri tidak cocok digunakan di luar rumah-sesuatu yang tidak saya setujui sebelumnya karena saya merasa sudah memenuhi tuntutan jilbab bagi Muslimah.

Saya pun membeli beberapa bahan baju dan membuat pakaian wanita dalam ukuran yang lebih panjang, disebut juga khimar, yang menutup sempurna bagian pinggul ke bawah dan tangan. Saya bahkan siap menutup wajah saya, sesuatu yang dipakai sebagian besar saudara Islam saya. Meski demikian, mereka tetaplah minoritas di Kairo.

Secara umum, pemuda Mesir yang sedkit atau banyak terpengaruh budaya Barat masih menjaga jarak dengan perempuan yang memakai khimar dan memanggil mereka dengan sebutan ukhti. Laki-laki Mesir memperlakukan kami dengan penuh hormat dan sopan. Oleh karena itu, perempuan yang memakai khimar saling menjalin persaudaraan sehingga mereka turut menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW-seorang Muslim hendaknya memberi salaam kepada Muslim lain yang ditemui di jalan, dikenal atau tidak dikenalnya.

Persaudaraan mereka yang lebih tepat untuk ditekankan itu didasari keimanan kepada Alloh SWT dibandingkan perempuan yang hanya memakai kerudung sebagai bagian dari bagian dari budaya dan bukan bagian dari keimanan. Sebelum berpaling ke pangkuan Islam, saya sangat senang memakai pakaian dengan model celana yang memungkinkan saya bergerak aktif meskipun bukan rok feminine. Namun, long dress yang biasa saya pakai di Kairo cukup nyaman bagi saya. Saya merasa anggun dan lebih santai.

Dalam budaya Barat, warna hitam adalah warna favorit untuk acara malam karena menguatkan kecantikan pemakainya. Saudara-saudara baru saya yang di Kairo pun tampak sangat cantik dengan khimar hitam mereka dan sangat menunjang cahaya ketakwaan yang terpancar dari wajah-wajah mereka (meski begitu, mereka sangat berbeda dengan suster Katholik Roma yang dulu menjadi eprhatian utama ketika saya berkesempatan mengunjungi Paris tidak berapa lama sesudah saya tinggal di Riyadh, Arab Saudi).

Saat itu, saya berada dalam satu metro (trem dalam kota) dengan suster-suster itu dan saya tersenyum karena keserupaan pakaian kami. Pakaian yang dipakai suster itu merupakan tanda ketakwaan mereka kepada tuhan seperti halnya Muslimah. Saya etrkadang merasa aneh dengan orang-orang yang tidak banyak mengkritik jubah yang dipakai suster Katholik Roma, tetapi mereka mengkritik dengan tajam jilbab yang dipakai Muslimah, terlepas dari pandangan bahwa keduanya dianggap melambangkan terorisme dan tekanan.

Namun, saya tidak bermaksud mengabaikan jilbab dengan warna yang lebih cerah selain hitam karena pada kenyataannya sejak dulu saya bekeinginan memakai pakaian dengan gaya yang relijius seperti suster Katholik Roma jauh sebelum saya berpaling ke pangkuan Islam!

Meski demikian, saya menolak orang yang menganjurkan saya tetap memakai khimar sekembalinya saya ke Jepang. Saya akan marah kepada setiap Muslimah yang tidak begitu menyadari pentingnya ajaran Islam : sepanjang kita sudah menutup diri kita sesuai tuntunan syariat, kita boleh memakainya sesuai model yang kita inginkan. Apalagi, setiap budaya memiliki cirinya sendiri-sendiri sehingga pemakaian khimar hitam di Jepang hanya akan membuat orang berpikir saya orang gila dan mereka akan emnolak Islam jauh sebelum saya mengenalkan Islam dengan baik kepada mereka. Perdebatan kami biasanya seputar masalah itu.

Sesudah tinggal selama enam bulan di Kairo, saya sudah terbiasa dengan pakaian long dress sehingga saya mulia berpikir untuk tetap memakainya meskipun di Jepang. Komprominya, saya akan membuat khimar dengan aneka warna yang cerah atau putih dengan harapan orang Jepang tidak akan terlalu kaget dengan hal itu daripada saya hanya memakai khimar warna hitam.

Ternyata saya betul. Reaksi orang Jepang lebih baik dengan khimar putih dan mereka lebih cenderung menduga saya sebagai yang relijius. Saya mendengar seorang gadis Jepang yang berkata kepada temannya bahwa saya seorang suster Buddha : betapa miripnya antara Muslimah, suster Buddha, dan suster Katholik Roma!

Sekali waktu di dalam sebuah kereta, orang tua yang berada dis ebelah saya menanyakan alasan saya memakai baju yang tidak biasa dipakai banyak orang. Ketika saya jelaskan bahwa saya seorang Muslimah dan Islam mengajarkan kepada perempuan agar menutup tubuh mereka supaya terlindung secara fisik maupun psikis, orang tua itu tampaknya sangat tertarik. Saat ia turun dari kereta, ia berterima kasih dan mengatakan bahwa ia ingin sekali berbicara banyak tentang Islam dengan saya.

Dalam waktu sekejap, ternyata jilbab menjadi factor yang dominant dalam memancing keingintahuan orang tentang Islam. Apalagi, orang Jepang bukanlah orang yang lazim berbicara banyak tentang agama. Sama seperti di Kairo, jilbab berperan sebagai tanda diantara sesama Muslimah, di Jepang pun hal yang sama saya lakukan.

Pernah suatu kali ketika dalam suatu perjalanan, saya berkeliling dan bertanya-tanya benarkah rute yang saya ambil ini. Pada saat itu, saya melihat sekelompok perempuan memakai jilbab. Saya pun mendekati mereka dan kami bersalaman satu sama lain.

Namun, ayah saya cemas ketika saya pertama kembali ke Jepang dengan menggunakan pakaian lengan panjang dan kepala tertutup rapat, padahal cuaca sedang panas meskipun saya sendiri merasa bahwa jilbab justru melindungi saya dari sinar matahari. Saya sendiri justru merasa tidak nyaman melihat adik eprempuan saya hanya memakai celana pendek sehingga tampak paha dan kakinya. Saya sering malu-bahkan sebelum saya kembali ke pangkuan Islam-terhadap perempuan yang memperlihatkan pantat dan pinggul mereka dengan pakaian yang ketat dan tipis.

Saya merasa seperti melihat sesuatu yang seharusnya tersembunyi. Jika pemandangan seperti itu saja membuat saya malu sebagai perempuan, saya tidak dapat membayangkan dampaknya jika dilihat laki-laki. Oleh karena itu, Islam memerintahkan manusia berpakaian sopan dan tidak telanjang di ruang public meskipun di ruangan khusus perempuan atau laki-laki.

Jelaslah, penerimaan sesuatu yang telanjang dalam suatu masyarakat berbeda-beda menurut pemahaman masyarakat atau individunya. Misalnya, di Jepang limapuluh tahun yang lalu, berenang dengan memakai baju renang yang setengah tertutup sudah dianggap vulgar, tetapi sekarang bikin sudah dianggap biasa. Namun, jika ada perempuan berenang dengan baju renang topless, ia dianggap tidak punya malu.

Lain halnya jika topless di pantai selatan Prancis yang sudah dianggap biasa. Begitu pun di beberapa pantai di Amerika Serikat. Kaum nudis sudah berani bertelanjang ria seolah-olah mereka baru dilahirkan. Jika kaum nudis ditanya tentang perempuan liberal yang menolak jilbab-mengapa mereka masih menutupi pantat dan pinggul mereka padahal keduanya sama alamiahnya dengan wajah dan tangan-apakah perempuan liberal mau memberikan jawaban yang jujur?

Definisi tentang bagia tubuh perempuan yang harus tetap pribadi ternyata sangat bergantung pada fantasi dan ksesenangan laki-laki di sekitar mereka yang mengaku-ngaku sebagai feminis. Namun di dalam Islam, kita tidak akan menemui masalah semacam itu karena Alloh SWT telah menetapkan definisi tentang bagian tubuh perempuan dan laki-laki yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan di ruang public. Kita pun patuh dan mengikutinya.

Jika saya melihat cara berpakaian manusia sekarang (telanjang atau hampir telanjang), buang air sembarangan, atau bercintaan di tempat umum, saya cenderung memandang mereka seperti makhluk yang tidak punya malu sehingga menjatuhkan martabat mereka hingga ke derajat binatang.

Di Jepang, perempuan hanya memakai make up saat keluar rumah dan sedikit sekali memperhatikan penampilan diri mereka di rumah sendiri. Padahal, Islam mengajarkan perempuan agar selalu tampil cantik bagi suaminya sehingga ia akan berusaha tampil menarik pula baginya. Tentu, dengan begitu muncul keanggunan dalam hubungan antara suami isitri di dalam Islam.

Muslim sering dituduh sebagai kelompok orang yang terlalu sensitive menyangkut tubuh manusia, tetapi tingkat kejahatan seksual yang terjadi akhir-akhir ini semakin menegaskan pentingnya pakaian sopan. Orang luar mungkin melihat Islam seperti melihat Muslim yang tampak kaku. Padahal jika dilihat dari dalam, ada kedamaian, kebebasan, dan kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka rasakan sebelumnya. Menjalankan Islam-bagi Muslim yang terlahir di tengah keluarga Muslim atau orang yang kembali ke dalam pangkuan Islam-lebih disukai daripada jalan hidup bebas yang ditawarkan sekularisme. [ditulis ulang oleh Kartika dari buku Mereka Yang Kembali, Zenan Asharfillah, penerbit Pustaka Zaman, Jakarta, 2003]