Ujian B Plastik Evi Kusumawati G99142051
-
Upload
chandrabudih -
Category
Documents
-
view
243 -
download
0
description
Transcript of Ujian B Plastik Evi Kusumawati G99142051
PRESENTASI KASUS UJIAN BEDAH PLASTIK
SEORANG LAKI-LAKI USIA 38 TAHUN DENGAN FRAKTUR
ZYGOMA SINISTRA, FRAKTUR MAXILLA SINISTRA DAN
VULNUS TERHECTING REGIO CILIARIS SINISTRA
Periode : 28 September – 3 Oktober 2015
Oleh:
Evi Kusumawati G99142051
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, SpB, SpBP-RE
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
1
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Sdr. AP
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Penjaga makam
Alamat : Kacangan, Andong, Boyolali
Tanggal Masuk : 19 September 2015
Tanggal Periksa : 30 September 2015
Status Pembayaran : BPJS
2. Keluhan Utama
Pusing dan luka di wajah setelah kecelakaan lalu lintas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Dr Moewardi dengan keluhan pusing dan luka
di wajah setelah kecelakaan lalu lintas. 29 jam yang lalu sebelum dirujuk ke
RSUD Dr.Moewardi saat pasien mengendarai sepeda motor tanpa
mengenakan helm, bertabrakan dengan truk dari arah depan yang sedang
berhenti dan terjatuh ke arah kiri dengan kepala membentur tanah. Pingsan
(-), muntah (-), kejang (-). Setelah kejadian pasien mengeluh pusing, nyeri,
dan luka di wajah. Oleh penolong pasien dibawa ke RS Assalam Gemolong,
lalu dirujuk ke RS Brayat Minulya, diinfus, diinjeksi obat-obatan, dirawat
luka, di cek lab, di CT-Scan. Karena ingin menggunakan BPJS, pasien
dirujuk ke RSUD Dr Moewardi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi : disangkal
2
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat epilepsi : (+) sejak 22 tahun yang lalu
Riwayat trauma sebelumnya : (+) terdapat luka di wajah setelah pasien
terbentur pinggir kasur 32 yang lalu sebelum dibawa ke RSUD
Dr.Moewardi, dijahit di Puskesmas Kacangan, diberi obat minum, dan di
rawat jalan.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
6. Riwayat kebiasaan
Nutrisi : pasien makan 3 kali sehari dengan gizi
seimbang.
Olahraga : pasien cukup melakukan aktivitas
olahraga
Merokok : (+), sejak kurang lebih usia 13 tahun,
dalam sehari pasien merokok 1 – 2 batang.
7. Riwayat sosial ekonomi
Pasien tinggal bersama ibu nya. Pasien bekerja sebagai penjaga makam.
Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.
GENERAL SURVEY
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : spontan, frekuensi pernafasan 20x/menit
3
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri, krepitasi (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92x/menit, CRT<2
detik
d. Disability :GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/-), pupil anisokor (3mm/
5mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure : suhu 36,5ºC, Jejas (+) lihat status lokalis
2. Secondary Survey
a. Keadaan umum : compos mentis, tampak sakit sedang.
b. Kepala : mesocephal, jejas (+) lihat status lokalis.
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
anisokor (3mm/5mm), reflek cahaya (+/-),
lateralisasi (-/-), hematom periorbita (-/+), visus
(6/6 / 0), jejas (+) lihat status lokalis
d. Telinga : ottorhea (-/+), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri
tragus (+/+).
e. Hidung : bloody rhinorrhea (-/-)
f. Mulut : maloklusi (+), gusi berdarah (-), lidah kotor (-),
jejas (-), gigi goyang (-), gigi tanggal (-)
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-),
nyeri tekan (-), JVP tidak meningkat.
h. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-).
i. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising
(-).
4
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan
(-/-).
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
l. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-),
nyeri BAK (-).
m. Muskuloskletal : jejas (-), nyeri (-)
n. Ekstremitas
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -
3. Status Lokalis
a. Regio Ciliaris Sinistra
Inspeksi : vulnus terhecting dengan silk 3/0 4 simpul simple
interrupted
Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
b. Regio Temporal Sinistra
Inspeksi : vulnus terhecting dengan siede 3/0 2 simpul simple
iterrupted, oedem (+)
Palpasi : nyeri tekan (+), krepitasi (-)
5
c. Regio Midfacial
Inspeksi : Hematom periorbita (-/+), oedem (-/+), pendataran
mallar iminens (-/+)
Palpasi : nyeri tekan (-/+), hipoestesi infraorbita (-/+)
B. ASSESMENT 1
Fraktur Zygoma sinistra
Fraktur maxilla sinistra
Vulnus terhecting di regio ciliaris sinistra dan temporal sinistra
C. PLANNING 1
1. Pasang infus NaCl 0,9% 1500 cc/24 jam
2. Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
3. Injeksi ketorolac 30 mg/8 jam
4. Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam
5. Cek laboratorium darah
6. Rontgen
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium di RSDM (19 September 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai NormalDarah Rutin
Golongan darah BHBsAg Non reactive Non reactive
HemostasisPT 15.6 Detik 10.0 – 15.0
APTT 36.6 Detik 20.0 – 40.0INR 1.320
KIMIA KLINIKCreatinin 0.8 mg/dl 0.9 – 1.3Ureum 24 mg/dl < 50
ELEKTROLITNatrium darah 136 mmol/L 136 - 145Kalium darah 3.4 mmol/L 3.3 – 5.1Chlorida darah 105 mmol/L 98 – 106
6
b. Foto Waters di RSDM (19 September 2015)
Kesimpulan:Suspect fraktur margo inferior dan superior os orbita kiri dan os maksila kiriSuspect hematosinus maksilaris kiri
c. Foto MSCT Brain tanpa kontras di RSDM (19 September 2015)
Kesimpulan:1. SDH regio frontotemporal kiri
7
2. EDH dengan ketebalan +/- 1,87 cm pada regio frontotemporal
kiri
3. ICH lobus frontal kiri
4. Peyempitan ventrikel lateralis kiri dan lateralisasi falx cerebri
ke kanan sejauh +/- 0,28 cm
5. Fraktur margo superior et inferior et lateralis os orbita kiri, os
zygomaticus kiri, os maksila kiri, os frontotemporal kiri, dan os
mastoid kiri
6. Hematosinus sphenoidalis kiri, ethmoidalis kiri dan maksilaris
kiri serta perdarahan pada mastoid kiri
7. Pneumocephal regio frontotemporal kiri
FOTO KLINIS PASIEN
E. ASSESMENT II
Fraktur zygoma sinistra
Fraktur maxilla sinistra
Vulnus terhecting regio ciliaris sinistra
8
F. PLANNING II
Oral hygiene
Diet cair
Pro ORIF elektif
9
BAB II
JAWABAN UJIAN
1. ANAMNESIS
Anamnesis dapat dilakukan langsung dengan pasien (autoanamnesis) jika
pasien dalam keadaan sadar dan dapat diajak berkomunikasi atau dengan orang
yang melihat langsung kejadian yang dialami pasien. Dari anamnesis dapat
ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan kekuatan dari trauma terhadap
pasien maupun saksi mata. Sifat, daya, dan arah hantaman cedera harus dicari
tahu dari pasien dan saksi-saksi yang ada. Dalam anamnesis pasien-pasien yang
mengalami trauma maksilofasial antara lain, yang harus ditanyakan antara lain:
a. Apakah penyebab pasien mengalami trauma?
Kecelakaan lalu lintas.
Trauma tumpul.
Trauma benda keras.
Terjatuh
Dalam kasus ini pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien terjatuh
dari motor.
b. Apabila terjatuh, bagaimana mekanisme injuri yang terjadi? Bagaimana
posisi pasien saat terjatuh?
Dalam kasus ini pasien terjatuh ke arah kiri dengan kepala membentur tanah.
c. Apakah pasien memakai pelindung kepala saat mengalami trauma tersebut?
Pasien tidak mengenakan helm standar.
d. Dimana kejadiannya? Sudah berapa lama pasien mengalami kejadian
tersebut?
Kronologi kejadian sejak 29 jam SMRS di jalanan.
e. Apakah setelah mengalami kecelakaan pasien tidak sadar? Jika tidak sadar,
berapa lama pasien mengalami penurunan kesadaran?
Pasien dalam kondisi sadar. Kemudian pasien dibawa ke RS Assalam
Gemolong. Kemudian dirujuk ke RS Brayat Minulya. Di RS Brayat Minulya
10
pasien diinfus, diinjeksi obat-obatan, dirawat luka, dicek lab, di CT-Scan.
Kemudian karena ingin menggunakan BPJS, pasien dibawa ke RSDM.
f. Apakah pasien muntah dan kejang setelah kejadian?
Tidak ada muntah dan kejang pasca kecelakaan
g. Pertolongan apa saja yang sudah diberikan kepada pasien?
Pasien diberi infus NaCL 1500 cc/24 jam, injeksi ceftriaxone 1 gr, injeksi
ketorolac 30 mg, dan injeksi ranitidine 50 mg.
Seperti pasien fraktur pada umumnya, pasien mengeluhkan adanya nyeri
senut-senut pada wajah kiri dan pusing. Epistaxis (-), diplopia (-), trismus (-).
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh
pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan
area lain yang berpotensi terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area
pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma
seperti laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma.
Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan
memeriksa penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap
cahaya.
Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan
lateral mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk
melihat adanya laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk
menilai mobilisasi maksila, stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan
kening pasien menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk
menarik maksila secara hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adanya
kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma.
Penekanan dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur
tulang yang mungkin sulit diprediksi ketika adanya edema di area tersebut. Untuk
11
melihat adanya fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk dimasukan ke
vestibula maksila kemudian palpasi dan tekan kearah superior lateral.
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan
dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan kesimetrisan dan
ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita
dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva,
abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala
yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya.
a. Inspeksi secara urut dari atas ke bawah:
Deformitas, memar, abrasi, laserasi, dan edema.
Luka tembus.
Daerah muka simetri atau tidak.
Adakah malar emminance.
Adanya maloklusi atau trismus, dan pertumbuhan gigi abnormal.
Ottorhea dan Rhinorrhea.
Telecanthus, Battle’s Sign, Racoon’s Sign, dan hematom periorbita.
Cedera kelopak mata.
Ecchymosis dan epitaksis.
Ekspresi wajah yang kesakitan atau cemas.
b. Palpasi untuk mengetahui kelainan pada tulang dan jaringan pada wajah.
Palpasi untuk kelainan tulang supraorbital dan tulang frontal.
Palpasi hidung untuk meraba adanya septum deviasi, pelebaran
jembatan hidung, meraba permukaan mukosa, dan krepitasi.
Palpasi zygoma sepanjang lengkung serta artikulasi dengan tulang
frontal, tulang temporal, dan tulang maksila.
Perkusi didaerah tragus untuk mengetahui adakah tragus pain.
Periksa stabilitas wajah dengan menggenggam gigi dan palatum
kemudian mendorongnya maju mundur dan naik turun. Nilai apakah
terdapat floating maksila atau hanya maksila goyang.
Palpasi gigi untuk meraba adakah gigi yang goyang.
Palpasi rahang bawah untuk memeriksa nyeri dan bengkak.
12
Palpasi sepanjang supraorbital dan infraorbital untuk melihat adakah
hyperesthesia atau anesthesia.
3. DIAGNOSIS DAN DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Diagnosis pada pasien di atas adalah fraktur zygoma sinistra dan fraktur
maxilla sinistra. Diagnosis banding terdiri dari fraktur os nasal, fraktur Le
Fort I, fraktur Le Fort III, fraktur condilus mandibula, fraktur corpus
mandibula, fraktur parasimpisis mandibula, fraktur simpisis mandibula,
dan fraktur processus alveolar ginggiva. Pemeriksa harus berhati-hati untuk
tidak berhenti pada evaluasi hanya karena satu patah tulang atau cedera dicatat.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa sebanyak 30% dari pasien memiliki
dua atau lebih patah tulang atau cedera
a. Fraktur arcus zygomaticum
nyeri saat palpasi dan keterbatasan gerak mandibula disebabkan
interferensi pergerakan processus coronoideus mandibula pada
pemeriksaan fisik
b. Nasoethmoidal
Jika dicurigai fraktur nasal dan bukti-bukti menunjukan keterlibatan
tulang ethmoidal, seperti rhinorea CSF atau pelebaran jembatan hidung
dengan telechantus, pemeriksaan rontgen biasa jarang digunakan. CT
scan koronal tulang wajah adalah pemeriksaan terbaik untuk
menentukan tingkat fraktur. Sebuah rekonstuksi 3-D dapat diperlukan
dalam membantu konsultan dalam operasi.
c. Fraktur Le Fort
Fraktur Le fort I : menunjukan pelebaran fraktur ke horizontal di
mandibula inferior, kadang –kadang termasuk fraktur dari dinding
lateral sinus, memanjang ke tulang palatine dan pterygoid.
Fraktur Le fort III : pemeriksaan radiologis menunjukan patah
tulang pada sutura zygomaticofrontal, zygoma, dinding medial
orbita, dan tulang hidung meluas ke posterior melalui orbita di
sutura pterygomaksilaris ke fossa sphenopalatina
13
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN PENILAIAN HASIL
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan laboratorium untuk
menganalisa jumlah sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit, dan
hemoglobin), hematokrit, protrombin time, partial tromboplastin time, dan
golongan darah.
b. Pemeriksaan Radiologi
Diagnosa fraktur zygoma dan fraktur Maxilla biasanya dibuat dengan
pemeriksaan riwayat dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada
bidang aksial dan koronal, adalah standar untuk seluruh pasien dengan
dugaan (suspect) fraktur maxillofacial. Radiografi Water’s, Panoramic, sub
mento-vertex membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi
medikolegal dan untuk menentukan perluasan cedera tulang.
1. Tomografi Komputasi
CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur
maxillofacial. Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan
pola fraktur, derajat pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi
jaringan lunak orbital. Secara spesifik, pemindaian CT memberikan
visualisasi dan dasar-dasar dari tengkorak wajah tengah: dasar-dasar
nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital, zygomaticofrontal,
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan koronal
khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita. Jendela
jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi
otot-otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita
kedalam sinus maksilaris.
2. Foto polos kepala
Pemindaian CT (CT scan) telah banyak dilakukan untuk
pemeriksaan penunjang utama pada fraktur maxillofacial. Meskipun
demikian, sebuah pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini
diperlukan. Pada banyak ruang emergensi dan rumah sakit, masih
14
dilakukan foto polos pada semua pasien trauma. Kemampuan untuk
membaca dan interpretasi film-film untuk menegakkan diagnosa dan
merawat pasien-pasien ini menjadi penting.
3. Foto thoraks PA
Foto thotaks PA dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
fraktur di bagian thoraks. Selain itu untuk melihat adanya trauma lain
yang terdapat di thoraks.
5. RENCANA PENATALAKSANAAN
Pasien dalam kasus ini berada pada kondisi compos mentis. Airway
tidak ada sumbatan, breathing dan circulation dalam kondisi normal. Apabila
pasien tidak sadar perlu penanganan segera pada airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure. Airway dipertahankan dengan chin lift
dan jaw trust, sebelum hal tersebut dilakukan pasang cervical collar terlebih
dahulu. Pastikan jalan nafas terbebas dari hambatan. Tinjau kembali saluran
nafas, jika intubasi dengan rute oral sulit dilakukan maka lakukan
cricotiroidektomi. Bila saluran nafas telah bebas lakukan penilaian untuk
breathing dilanjutkan dengan circulation jika breathing pasien spontan.
Pada circulation lakukan pemeriksaan nadi. Bila nadi tidak teraba perlu
dilakukan RJPO dengan sistem CAB. Setelah RJPO berasil dan nadi kembali
berdenyut, periksa kembali nafasnya. Bila pasien belum bernafas berikan
bantuan nafas atau bagging sesuai pola nafas pasien. Pasiendalam kondisi
sadar, ketika sampai di RSUD Dr Moewardi GCS E4V5M6. Setelah survey
primer selesai dan pasien terbebas dari kegawatdaruratan maka dilakukan
survey sekunder.
Secondary survey dilakukan dengan pemeriksaan head to toe.
Pemeriksa mencari kelainan pada pemeriksaan fisik mulai dari mata sampai
kaki dan memberikan penjabaran pada status lokalis trauma. Evaluasi semua
fraktur yang terdapat di maksilofasial, pada epistaksis dapat dilakukan tampon
anterior. Rujuk pasien ke bedah THT jika terdapat fraktur di daerah THT, dan
15
bedah saraf jika dicurigai terdapat perdarahan intracranial, subdural, maupun
epidural.
Untuk penanganan pertama Pasien diberikan infus NaCl 0,9% 1500
cc/24 jam untuk resusitasi cairannya. Pasien juga diberikan injeksi Ceftriaxone
1 gram sebagai antibiotik broad spectrum. Sedangkan injeksi ranitidine 50 mg
untuk mengurangi efek iritasi lambung dari obat antibiotik yang diberikan.
Injeksi Ketorolac 30 mg untuk mengatasi nyeri.
Penanganan fraktur zygoma dan maxilla bergantung pada tingkat
pergeseran dan resultan estetik dan defisit fungsional. Perawatan oleh karena
itu merentang dari observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak, disfungsi
otot ekstraokuler, dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi internal
fraktur multipel.
6. EDUKASI, PENYULUHAN, DAN PENCEGAHAN SEKUNDER
Edukasi, penyuluhan, dan pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
adalah dengan menyarankan agar menghindari hal-hal yang dapat
menyebabkan fraktur maxillofacial khususnya Fraktur Zygoma dan Maxilla,
yaitu :
a. Menggunakan pengaman selama mengendarai kendaraan seperti helm dan
seat belt.
b. Berhati-hati dalam berkendara terutama pada malam hari dan kondisi
hujan.
c. Hati – hati dalam menyeberang, pastikan bahwa tidak ada kendaraaan
yang melintas sebelum menyeberan jalan.
d. Bagi orang tua pasien selalu awasi anak – anak ketika berada di tempat
yang rawan/ berbahaya seperti di tepi jalan raya.
Selain itu edukasi selama dirawat di RS yang dapat diberikan antara lain:
a. Pasien melakukan diet makanan secara bertahap, mulai dari diet cair,
bubur, sampai kembali mengonsumsi nasi. Pada fraktur maxillofacial,
pasien akan merasakan nyeri pada bagian rahang dan tidak dapat
membuka mulut maksimal.
16
b. Pasien diminta untuk tetap menjaga oral hygiene dengan menyikat gigi
(apabila memungkinkan) atau setidaknya berkumur dengan larutan
pembersih mulut.
c. Penjelasan mengenai rencana operasi ataupun prosedur yang akan
dilakukan kepada pasien baik yang bersifat invasif maupun konservatif
juga perlu dilakukan. Selain itu selama perawatan pasien juga perlu
diedukasi untuk tetap menjaga kebersihan oral/ oral higiene dan untuk
sementara mengonsumsi diet cair.
d. Penatalaksanaan lanjutan seperi ORIF elekif akan dilakukan oleh ahli
bedah plastik.
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Trauma Maksilofasial
Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang terjadi pada tulang-tulang
pembentuk wajah, meliputi fraktur tulang orbita, fraktur maksila, fraktur tulang
nasal, fraktur maksila, dan fraktur mandibula. Fraktur maksilofasial dapat
diakibatkan oleh kekerasan fisik, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan
industri, atau diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat
menyebabkan rapuhnya bagian tulang.28 Berdasarkan studi yang dilakukan,
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas.11
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma
maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan yang baik.30
Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran pernafasan,
perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan
rasa sakit.10
Fraktur Zygoma
Fraktur midfasial terdiri dari fraktur zigomatikomaksilar
(zygomaticomaxillary complex /ZMC) termasuk fraktur Le fort, dan fraktur
nasoorbitoethmoid (nasoorbitalethmoid /NOE). Fraktur midfasial cenderung
terjadi pada sisi benturan terjadi dan bagian yang lemah seperti sutura, foramen,
dan apertura. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang paling
sering terjadi,20 umumnya sering terjadi pada trauma yang melibatkan 1/3 bagian
tengah wajah, hal ini dikarenakan posisi zigoma agak lebih menonjol pada daerah
sekitarnya.4 Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas
nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura
zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura
18
zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding
medial orbita tetap utuh.20
Fraktur zigoma merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi.
Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang
lebih menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1
dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah
dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Bilateral fraktur zigoma jarang
terjadi, hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis et al. Zigoma
mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi
dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena
itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara
adekuat.22
A. Penegakan Diagnosis
Anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata.23 Pemeriksaan
fisik meliputi inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari arah frontal,
lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan ketinggian pupil
yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan aspek
lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva,
abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan
gejala yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak
sekitarnya.21,22
Pemeriksaan Radiologi
Diagnosa fraktur zygomatik biasanya dibuat dengan pemeriksaan
riwayat dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial
dan koronal, adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect)
fraktur zygomatik. Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk
dokumentasi medikolegal dan untuk menentukan perluasan cedera
tulang.4 Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan pilar dari
midfasial: pilar nasomaxillary, zygomaticomaxillary, infraorbital,
zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.23
19
B. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur zigoma pada kasus ini menggunakan satu
minipelat pada buttres zygomatiko maxilary dan maxilary serta titanium
mesh pada dasar orbita yang berguna untuk reduksi dan menstabilisasi
tulang zigoma, maksilla dan dasar orbita.23
Fraktur Nasal
Fraktur nasal merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma yang
ditandai dengan patahnya tulang hidung baik sederhana maupun kominunitiva.
Fratur nasal merupakan fraktur pada wajah yang paling sering dijumpai pada
manusia; pada kasus trauma wajah sekitar 40 % adalah fraktur nasal. Fraktur nasal
pada orang dewasa dijumpai pada kasus berkelahi, trauma akibat olahraga, jatuh
dan kecelakaan lalu lintas, sedangkan pada anak-anak sering disebabkan karena
bermain dan olahraga. 1
Semua pukulan berat pada hidung harus dicurigai menyebabkan fraktur
nasal. Jika ada riwayat mimisan (epistaksis) yang menyertainya, kecurigaan
adanya fraktur semestinya makin meningkat. 2
Dengan penatalaksanaan yang tepat, kebanyakan fraktur nasal dapat
dikembalikan pada posisi yang tepat sehingga komplikasi perubahan bentuk
(deformitas), tidak berfungsinya katub nasal dan obstruksi jalan nafas dapat
dicegah. Reposisi tertutup dan terbuka lebih mudah dikerjakan dalam dua minggu
pertama setelah terjadinya fraktur nasal. 3
Trauma nasal yang dihasilkan dari suatu pukulan bervariasi tergantung
pada besarnya tenaga pukulan, usia pasien yang sangat berpengaruh pada
fleksibilitas jaringan dalam meredam energi dari pukulan, arah pukulan dimana
akan menentukan bagian nasal yang rusak, dan kondisi dari obyek yang
menyebabkan trauma nasal. 4
Pola terjadinya fraktur nasal dibedakan menurut arah trauma, meliputi : (1)
trauma lateral (trauma dari arah samping), (2) trauma sagital (trauma dari arah
depan), dan (3) trauma inferior (trauma dari arah bawah). 5
20
Trauma dari arah lateral paling sering terjadi dan bervariasi beratnya mulai
dari fraktur sederhana ipsilateral (simple-fracture) sampai kerusakan lengkap
(complete-fracture) dari tulang nasal disertai trauma jaringan lunak intranasal dan
ekstranasal. Trauma dari arah depan energi rendah biasanya memecahkan septum
lebih dahulu sebelum menyebabkan trauma piramid nasal. Pada trauma dengan
energi yang lebih besar menyebabkan pemisahan nyata dari tulang nasal yang
merupakan bagian dari fraktur nasoorbital ethmoid kompleks. 5
Trauma dari arah inferior yang tersering terjadi hancurnya spina pre-
maksilaris – septum kompleks. Trauma seperti ini menyebabkan fragmen yang
satu masuk ke dalam fragmen yang lain menyebabkan pemendekan hidung atau
penyumbatan salah satu sisi jalan nafas. Terjadinya fraktur pada tulang nasal
jarang terjadi kecuali pada trauma energi besar yang menyebabkan avulsi tulang
nasal dan hancurnya jaringan lunak sekitarnya. Tenaga sebesar 25 – 75 pons
permeter persegi cukup untuk membuat fraktur nasal. 5
Gambar 1. Struktur Anatomi Nasal (Diambil dari: Corry JK.. In
Management of Acute Nasal Fractures. American Family
Physician 2004 Oct 1; 70(7): p.1316).
A. Penegakan Diagnosis
21
1. Anamnesa
Riwayat trauma yang jelas mengenai hidung harus dicurigai
kemungkinan terjadinya trauma nasal. Jika disertai epistaksis
kemungkinan besar terjadi fraktur terbuka. Jika pasien mengeluhkan
adanya perubahan bentuk hidung dan adanya riwayat obstruksi jalan nafas,
fraktur nasal selalu terjadi. Harus dicari riwayat terjadinya trauma,
menggunakan alat apa, arah pukulan dan akibatnya. 5,6
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi sisi luar dan dalam dicari adanya perubahan
bentuk, pergeseran (deviasi) atau bentuk yang tidak normal. Adanya
hematom, laserasi dan robekan mukosa sangat mencurigakan adanya
fraktur 5,7 . Palpasi dilakukan secara sistematik untuk menilai adanya nyeri
dan gangguan stabilitas. Adanya depresi tulang nasal, perubahan posisi
tulang (displacement), pergerakan palsu tulang (false movement),
krepitasi, dapat didiagnosa adanya fraktur nasal. Adanya nyeri pada
palpasi bimanual dan adanya pukulan dari arah lateral spina maksilaris
dicurigai adanya trauma septal. 5
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiografi yang dipilih adalah foto nasal lateral
(memakai film oklusi gigi), frontal, dan Water’s. Foto lateral dipakai
untuk melihat separasi dan depresi. Gambaran frontal dapat
memperlihatkan problem alignment dari tulang septum dan bentuk dari
rima piriformis. Foto Water’s dapat memperlihatkan simetris atau tidak
simetrisnya tulang wajah, pergeseran prosessus frontalis maksila,
pergeseran tulang rawan septal, dan fraktur orbita. 5
B. Klasifikasi Patologi Trauma Nasal
Fraktur Usia Dewasa
1. Unilateral
Fraktur nasal unilateral pada orang dewasa terjadi dari arah lateral
dengan kekuatan sedang. Tulang nasal dan processus frontalis dari maksila
fraktur, sementara bagian tengah dari hidung tetap utuh dan septum tidak
22
rusak. Variasi dari fraktur ini, adalah fraktur maksilaris medial yang
meliputi bagian medial dari rima orbita. 2,3,5
2. Bilateral : Simpel
Fraktur nasal bilateral terjadi oleh karena kekuatan yang cukup
besar dan meliputi kedua tulang nasal dan kedua processus frontalis
maksila. Septum yang mirip tenda bergeser kearah lateral dari tulang
nasal. Pergeseran tulang ini biasanya tidak besar (kurang dari separuh
lebar tengah nasal), dan dimana septum biasanya hanya melengkung.
Fraktur ini menyebabkan kondisi tulang yang saling menumpuk mirip
teleskop (telescoping) dengan gradasi minimal, sehingga jarang
menyebabkan pergeseran tulang nasal. 2
3. Bilateral : Kompleks
Fraktur nasal bilateral dengan kondisi telescoping (mirip teleskop)
atau depresi dari segmen tulang, terjadi jika kekuatan trauma melampaui
kapasitas kekuatan tulang rawan septum. Septum dapat dislokasi atau
fraktur, kondisi mirip teleskop tersebut dapat terjadi pada tulang nasal
terhadap processus frontalis. 2
Fraktur nasal bilateral dengan dislokasi atau fraktur septal, terjadi
saat hidung bergeser lebih dari setengah lebar nasal, sehingga dapat
menyebabkan kondisi yang lebih dari sekedar melengkung. Dislokasi atau
fraktur septal dapat terjadi pada puncak nasal dari maksila, tampak dengan
jelas tonjolan tulang menuju dasar dari hidung. Dislokasi septal dapat juga
terjadi pada sambungan dari vomer dan lempeng perpendicular ethmoid.
Kegagalan untuk mengenali adanya trauma septal umumnya menjadi
alasan utama buruknya hasil terapi.2
Fraktur nasal bilateral dengan dislokasi septal dapat terjadi
vertikal, dan juga horizontal, serta dapat meninggalkan penumpukan
tulang rawan, yang dihubungkan dengan deviasi hidung. Segmen fraktur
dapat tumpang tindih dan menyebabkan penebalan serta distorsi septal.
Hidung mungkin dapat memendek dan kolumela tertarik sebagai hasil dari
kondisi saling menumpuk mirip teleskop (overlaping-telescopic). Adanya
23
problem ini merupakan indikasi dilakukannya terapi khusus. Sekitar 90%
dari fraktur nasal arah trauma dari sisi lateral. Trauma frontal dan fraktur
depresi meski jarang merupakan penyebab trauma septal. 2,6
4. Bilateral dengan Fraktur Maksila Medial
Fraktur maksila medial dapat terjadi bersama dengan fraktur nasal
unilateral atau bilateral, saat terjadinya trauma tulang wajah. Pemeriksaan
klinis dapat mengungkap adanya trauma sakus lakrimalis, dan juga
beberapa gejala yang dihubungkan dengan terjadinya fraktur tulang orbita.
Gejala meliputi parestesia labialis dan infraorbita, hipestesia gigi sisi
anterior, dan perselubungan sinus pada foto Water’s. Pasien dapat
mengeluh obstruksi nasal setelah edema hidung reda. 2
5. Fraktur Septum
Trauma langsung pada dua-pertiga bagian bawah hidung dapat
menghasilkan trauma septal tunggal (isolated) sementara tulang nasal tetap
utuh. Pada anak-anak dimana tulang nasal yang masih lunak (elastis),
trauma langsung pada sepertiga atas hidung, menyebabkan perubahan
bentuk tulang tanpa terjadinya fraktur. 2,8,9
Fraktur Pada Usia Anak-Anak
Fraktur nasal dengan tipe yang sama dapat terjadi pada dewasa
maupun anak-anak. Pada anak-anak dapat terjadi fraktur nasal tipe open-
book oleh karena belum bersatunya tulang nasal di posisi tengah wajah
sampai setelah usia remaja. Tulang rawan lateral atas dapat terlepas dari
tulang nasal. 2
Tulang wajah anak-anak bagian tengah mempunyai ukuran yang
kecil dibandingkan dengan besarnya tulang kepalanya dan lebih elastis
daripada orang dewasa. Sehingga angka kejadian trauma wajah bagian
tengah lebih rendah persentasenya dibandingkan trauma intrakranial.
Trauma nasal pada anak sering berupa fraktur greenstick, sementara pada
masa remaja umumnya berupa fraktur linear, dan pada usia lanjut sering
terjadi fraktur komunitif. 2
24
C. Penatalaksanaan
1. Reposisi Tertutup
Reposisi tertutup dikerjakan bila : (1) fraktur tulang hidung yang
terjadi tipe unilateral atau bilateral, dan (2) terjadinya fraktur kompleks
nasal – septal yang disertai deviasi nasal kurang dari setengah lebar nasal –
bridge.1,7
2. Reposisi Terbuka
Reposisi terbuka dipertimbangkan untuk dikerjakan bila : (1) telah
terjadi fraktur septal terbuka, (2) fraktur dislokasi luas tulang hidung dan
septum nasal, (3) terjadinya dislokasi fraktur septum kaudal, (4) deviasi
piramid lebih dari setengah lebar nasal bridge, (5) perubahan bentuk
menetap setelah dilakukan reposisi tertutup, (6) karena reposisi perubahan
bentuk septal yang tidak adekwat, (7) terjadinya hematoma septal, (8)
kombinasi perubahan bentuk septal dan tulang rawan alar, serta (9)
terjadinya fraktur displace spina nasi anterior dan adanya riwayat operasi
intranasal. 1,7
D. Komplikasi
1. Komplikasi Segera
Komplikasi segera bersifat sementara, meliputi edema, ekimosis,
epistaksis, hematoma, infeksi dan kebocoran liquor. Umumnya sembuh
spontan kecuali pada hematom membutuhkan drainase.8
2. Komplikasi Lambat
Obstruksi jalan nafas, perubahan bentuk sekunder, perlekatan,
fibrosis (pembentukan jaringan ikat) atau kontraktur (pemendekan
jaringan otot nasal) , hidung pelana, dan perforasi septal merupakan
komplikasi lambat dari fraktur nasal.8
Fraktur Mandibula
25
Pasien dengan fraktur mandibula umumnya datang dengan adanya
deformitas pada wajah. Kondisi ini biasa disertai dengan adanya kelainan dari
fungsi organ – organ yang terdapat di wajah seperti mata terus berair, penglihatan
ganda, kebutaan, anosmia, kesulitan bicara karena adanya fraktur mandibula,
maloklusi sampai kesulitan bernapas karena hilangnya kekuatan untuk menahan
lidah pada tempatnya.12
A. Penegakan Diagnosis
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, tanda – tanda patah pada
tulang rahang yang dapat ditemukan meliputi :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan
maloklusi.
2. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila
penderita menggerakkan rahangnya.
3. Pembengkakan pada sisi fraktur.
4. Krepitasi akibat pergeseran dari ujung tulangyang fraktur bila
rahang digerakkan.
5. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur.
6. Perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
7. Gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.
8. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan
normal mandibula dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya
efek “self cleansing” karena gangguan fungsi pengunyahan. 29
Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan adalah
rontgen panoramik, untuk melihat keseluruhan tulang mandibula.
Namun pemeriksaan ini memberikan gambaran yang kurang detail untuk
melihat temporo-mandibular joint , regio simfisis dan alevolar. Sehingga
pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto rontgen polos.
Dapat dilakukan untuk melihat posisi oblik-lateral, oklusal, posteoanterior
dan periapikal. Fotooblik-lateral dapat membantu mendiagnosa fraktur
ramus, angulus dan korpus posterior. Posisi posteroanterior Caldwell
26
dapat memperlihatkan adanya dislokasi medial atau lateral dari fraktur
ramus, angulus, korpus maupun simfisis. Pemeriksaan CT-scan juga dapat
digunakan untuk membantu diagnosa fraktur mandibula. CT-scan dapat
membantu untuk melihat adanya fraktur lain pada daerah wajah termasuk
os.frontal, kompleks naso-ethmoid-orbital, orbital dan seluruh pilar
penopang kraniofasial baik horizontal maupun vertikal. 1 2
B. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur mandibula mengikuti standar
penatalaksanaan fraktur pada umumnya. Yang pertama adalah
mengamankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi darahnya.19 Bila
fraktur pada pasien adalah fraktur tertutup dan tidak disertai adanya
dislokasi atau ada dislokasi kondilus yang minimal, maka dapat ditangani
dengan pemberian analgetik, diet cair dan pengawasan ketat.13
Kunci utama untuk penanganan fraktur mandibula adalah reduksi
dan stabilisasi. Pada pasien dengan fraktur stabil cukup dengan melakukan
wiring untuk menyatukan gigi atas dan bawah. Untuk metode ini dapat
dilakukan berbagai tindakan. Yang paling banyak dilakukan adalah
dengan menggunakan wire dengan Ivy loops dan dilakukan MMF
(maxillomandibular fixation). Dapat juga dipasang archbar dan dilakukan
IMF (intermaxillary fixation), dilakukan fiksasi eksternal, dipasang screw,
pemasangan Gunning splint juga banyak dilakukan karena bisa memfiksasi
namun pasien tetap dapat menerima asupan makanan. Pada fraktur
kominutiva maupun fraktur – fraktur yang tidak stabil atau fraktur dengan
dislokasi segmen ditangani dengan pembedahan dengan ORIF (open
reductioninternal fixation). 13
C. Komplikasi:
Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula
adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan
berbagai kemungkinan komplikasi lainnya. Tulang mandibula merupakan
daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik
itu malunion ataupun non-union. Ada beberapa faktor risiko yang secara
27
spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk
menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang
paling besar adalah infeksi, diikuti aposisi yang kurang baik, kurangnya
imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak
menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada
mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai
gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan
melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi
bentuk lengkung mandibula. Faktor – faktor lain yang dapat
mempengaruhi kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain sepsis oral,
adanya gigi pada garis fraktur, dan penyalahgunaan alkohol dan penyakit
kronis. 13
Fraktur Maksila
Maksila (rahang atas) menggambarkan jembatan antara superior dasar
tengkorak dengan bidang oklusal gigi inferior. Hubungan intim dengan rongga
mulut, rongga hidung dan orbita serta banyak struktur yang terkandung di dalam
dan bersebelahan dengannya membuat maksila merupakan struktur yang penting
secara fungsional dan kosmetik. Fraktur dari tulang maksila ini berpotensi
mengancam nyawa karena dapat menimbulkan gangguan jalan nafas serta
perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna atau arteri ethmoidalis
sering terjadi pada fraktur maksila. 18
Menstabilkan pasien dengan menangani penyulit yang serius seperti pada
jalan nafas, sistem neurologis, tulang belakang leher dan perut harus dilakukan
segera sebelum pengobatan definitif pada maksila. Jika kondisi pasien cukup baik
sesudah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila biasanya tidak sulit dikerjakan
kecuali kerusakan tulang yang sangat hebat dan disertai infeksi.17
A. Klasifikasi
Berikut adalah klasifikasi fraktur maksila:
1. Fraktur Le Fort I
28
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal
atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III. Pada
Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses
rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas
lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan
pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum
durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah
blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai
fraktur transmaksilari. 15
2. Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara
klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya
berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan
sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis merupakan
sutura yang sering terkena. 15
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang
atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I,
seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I. 15,17
3. Fraktur Le Fort III
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah.
Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya
yakni basis kranii. 15,17
Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral,
yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari
trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat
untuk mengakibatkan trauma intrakranial. 15,17
29
Fraktur Le Fort I , Le Fort II, Le Fort III
B. Pemeriksaan Klinis
1. Le Fort I
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada bibir atas dan
ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan
secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto
rontgen dengan proyeksi wajah anterolateral. 15,16
2. Le Fort II
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis,
dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi terdapat tulang
hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah
kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan
intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah
30
jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya
dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah
anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.15,16
3. Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara
ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan
dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat pembengkakan
pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk
melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran
seluruh bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan
pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto
wajah polos dan CT scan.15,18
C. Penanganan
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar,
fiksasi maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang
didapatkan dari pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur
mengalami impaksi, maka dilakukan pengungkitan dengan menggunakan
tang pengungkit, atau secara tidak langsung dengan menggunakan tekanan
pada splint/arch bar. Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa
dengan fraktur Le Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan
perawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya
direduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting. Selanjutnya,
pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral, atau pemasangan pelat
pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada
prosessus zigomatikus ossis frontalis.16
31
Fraktur Orbita
Kejadian fraktur orbita mencapai 40% dari seluruh trauma craniofacial.
Fraktur orbita dapat menjadi trauma maksilofasial masif. Mekanisme luka pada
fraktur ini biasanya disebabkan oleh truma orbital anterior langsung. Orbita
dibentuk oleh beberapa tulang yang meliputi maksila, sphenoid, lakrimal, frontal,
zygomatic, dan ethmoid. Dasar orbita sekaligus menjadi atap sinus maksilaris
yang diinervasi oleh nervus trigeminus. Tulang pada daerah ini cukup tipis.
Akibatnya tekanan anterior yang tiba-tiba dapat menyebabkan fraktur. 24,25
Fraktur dasar orbita dapat diklasifikasikan menjadi fraktur orbital terisolasi
dan fraktur orbita yang mengenai fraktur tulang lain seperti zygomatic, frontal,
nasoethmoidal, maupun maksila. Penyebab utama fraktur ini adalah kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olahraga, jatuh, dan kecelakaan industri/kerja.26
A. Penegakan Diagnosis
Gangguang visus, pembatasan lapang pandang, diplopia bisa
didapatkan dalam anamnesis pada pasien. Riwayat trauma juga pelu
ditanyakan. Pemeriksaan fisik yang perlu adalah melakukan palpasi pada
daerah orbita, pemeriksaan optalmologi yang mencakup daya pandang dan
lapang pandang perlu dilakukan pada pasien dengan fraktur orbital.
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan adalah CT scan. CT scan
memberikan gambaran tengkorak wajah tengah: dasar-dasar
nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris, infraorbital, zygomaticofrontal,
zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal. Pandangan koronal
khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita. Jendela jaringan
lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-otot
ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam
sinus maksilaris.14
Selain CT scan, foto polos radiografi yang dapat digunakan adalah
Water’s view. Pemeriksaan ini menggunakan proyeksi posteroanterior
dengan kepala yang terposisi pada sudut 27° terhadap vertikal dan dagu
berada pada kaset (cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa
32
jauh dari sinus maksilaris, memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita
lateral, dan lingkaran infraorbita.14
B. Penanganan
Penatalaksanaan trauma orbita bertujuan untuk pencegahan
diplopia menjadi permanen. Ada tiga faktor yang menentukan risiko
terjadinya komplikasi, yaitu ukuran fraktur, herniasi isi orbita ke sinus
maksilaris, terjepitnya otot. Fraktur yang mengenai kurang dari setengah
dasar orbita, dengan sedikit atau tanpa herniasi yang disertai dengan
membaiknya diplopia tidak memerlukan terapi kija enopthalmus kurang
dari 2 mm. Fraktur yang mengenai separuh lebih dasar orbita disertai
diplopia yang menetap harus dilakukan perbaikan dalam 2 minggu. 27
C. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah kebutaan, diplopia, ekstrusi
implant yang menekan kantung lakrimalis serta menyebabkan sumbatan
dan dakriosistitis, perdarahan, infeksi, retraksi kelopak bawag, dan anetesi
infraorbita.27
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Corry J. Kucik, Timothy Clenney, James Phelan. 2004. Management of Acute
Nasal Fractures. Am Fam Physic; 70 (7): 1315-20.
2. Michael F Zide. 1992. Nasal and Nasoorbital Ethmoid Fractures. In: Dina K
Rubin, Delois Patterson, Darlene BC. Principles of Oral and Maxillofacial
Surgery. Philadelphia: Lippincott;p.547-57
3. Weller MD, Drake AB. 2006. A Review of Nasal Trauma. Brit Med J. London;
8 (1): 21-8.
4. Gregory Staffel. 1998. Nasal Fracture. Current Therapy in Otolaringology –
Head and Neck Surgery. 6th ed. Saints Louis: Mosby Company.p.133-4.
5. James K Pitcock, Robert M Bumsted. 1991. Nasal Fractures. In: Raymond J
Fonseca, Robert V Walker, editors. Oral and Maxillofacial Trauma.
Philadelphia: WB Saunders;p.600-15.
6. Bartkiw TP, Pynn BR, Brown DH. 1995. Diagnosis and Management of Nasal
Fractures. Int J Trauma Nurs; 1: 11-8.
7. Brian Rubinstein, Bradley Strong. 2000. Management of Nasal Fractures. Arch
Fam Med; 9: 738-42
8. Manuel A Lopez, James HL, Benjamin Hartley. 2000. Septal Hematoma and
Abscess after Nasal Trauma. Clin Ped; 39: 609-10.
9. Marshall AH, Johnston MN, Jones NS. 2004. Principles of septal correction.
J Laryngol & Otolog; 118: 129-34.
10. Ogundipe OK, Afolabi AO, Adebayo O. 2012. Maxillofacial Fractures in
Owo, South Western Nigeria. A 4 Year Retrospective Review of Pattern and
Treatment Outcome. OMICS Publishing Group. 2:4.
11. Exadaktylos K, Bournakas T, Eggli S, Zimmermann H, Iizuka T. 2002.
Maxillofacial injuries related to work accidents: a new concept of a hospital-
based full electronic occupational trauma surveillance system. Occup. Med.
Vol. 52 No. 1, pp. 45–48,
34
12. Truong AQ, Strong EB, Dublin AB. 2012. Lateral Pterygoid Fracture Can
Predict a Mandible Fracture. Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Vol
147, pp 128.
13. Archer KA, Kopp, Goyal P, Kellman RM, Suryadevara A. 2013. Comparison
of Complication Rates with and without Arch Bar Use in Treatment of
Mandible Fractures. Vol 149, pp 36.
14. Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional
Computerized Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma.
Facial Plastic Surgery, Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219
15. Kamulegeya A, Lakor F, Kabenge K. 2009. Oral Maxillofacial Fractures
Seen At A Ugandan Tertiary Hospital: A Six-Month Prospective Study. Oral
Maxillofacial Unit Of The Department Of Dentistry, Mulago Hospital,
Complex Mulago Hill. Clinics; 64(9): 843–848
16. Kumar YR, Chaudhary Z, Sharma P. 2012. Spiral intermaxillary fixation.
Craniomaxillofac Trauma Reconstruction; 5:97–8
17. Kraft A, Aberrmann E, Stigler R, Zsifkovitz C, Pedross F, Kloss F, Gassner
R. 2012. Craniomaxillofacial trauma: Synopsis of 14,654 cases with 35,129
injuries in 15 years. Craniomaxillofacial Trauma and Reconstruction; 5(1)
18. Lee SJ, Lee HP, Tse KM, Cheong EC, Lim SP. 2012. Computer-aided design
and rapid prototyping–assisted contouring of costal cartilage graft for facial
reconstructive surgery. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction; 5:75–82
19. Krausz AA, Abu el-Naaj, Barak M. 2009. Maxillofacial trauma patient:
coping with the difficult airway. World Journal of Emergency Surgery; 4:21
20. Tucker MR, Ochs MW. 2003. Management of facial fractures. Dalam :
Peterson lj et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby
co.
21. Prasetiyono A. 2005. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.
Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons; 1: 41-50.
22. Bailey JS, Goldwasser MS. 2004. Management of Zygomatic Complex
Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and
Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc.
35
23. Ellis E. 2005. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca
rj et al. oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier.
24. Piombino P, Iaconetta G, Ciccarelli R, Romeo A, Spinzia A, Califano L.
2010. Repair of Orbital Floor Fractures: Our Experience and New Technical
Findings. Craniomaxillofac Trauma Reconstruction;3:217–222.
25. Manolidis S, Weeks B H, Kirby M, Scarlett M, Hollier L. 2002.
Classification and surgical management of orbital fractures: experience with
111 orbital reconstructions. J Craniofac Surg.;13:726–737.
26. Tong L, Bauer R J, Buchman S R. 2001. A current 10-year retrospective
survey of 199 surgically treated orbital floor fractures in a nonurban tertiary
care center. Plast Reconstr Surg.;108:612–621.
27. Macewen CJ. 2009. Occular Injury. Ninewells Hospital and Medical School,
Dundee, U.K.
28. Chalya PL, Mchembe, Mabula JB, Kanumba ES, Gilyoma. 2011. Etiological
spectrum, injury characteristics and treatment outcome of maxillofacial
injuries in a Tanzanian teaching hospital. Journal of Trauma Management &
Outcomes; 5:7
29. Koshy JC, Feldman, Chike-Obi CJ, Bullocks JM. 2010. Pearls of Mandibular
Trauma Management. Semin Plast Surg;24:357–374.
36