Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

16

Click here to load reader

description

ETRE

Transcript of Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

Page 1: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hampir dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun

Islamic law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan

sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi

suami-istri. Perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti

‘aqad (kontrak), tetapi kemudian berarti jima’ (persetubuhan). Di Indonesia

kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian pernikahan atau

perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terkait dengan

perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah-tangga yang bahagia

lahir batin dengan melahirkan anak- cucu yang meneruskan cita-cita mereka.

Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat diwujudkan dalam perkawinan,

misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat

melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang

berbeda, maka perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan

(perceraian) atau paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali

setelah terjadi perceraian.1

Hukum positif Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (UU Perkawinan) memakai asas mempersulit terjadinya

perceraian. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian

1 Rifyal Ka’bah, “Permasalahan Perkawinan”, artikel pada Varia Peradilan: Majalah Hukum tahun ke XXII No.271 Juni 2008, hlm.7.

Page 2: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

14

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini ialah Pengadilan Negeri bagi

yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam.

Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 tahun 1989 juncto UU No. 3 tahun

2006 tentang Pengadilan Agama pada Pasal 2 bahwa Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, yang salah satu

kewenangannya adalah di bidang perkawinan.

Sebagaimana perkawinan, putusnya perkawinan yang dikarenakan

perceraian pun menimbulkan akibat, yaitu adanya kewajiban dan hak. Dalam

Pasal 41 UU Perkawinan dijelaskan mengenai akibat putusnya perkawinan

karena perceraian ialah : a. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara

dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak;

bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan

memberikan keputusannya; b. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya

pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam

kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. pengadilan dapat

mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan

dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, dalam Pasal 149 dinyatakan

bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a.

Page 3: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

15

memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau

benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul; b. memberikan nafkah,

maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam ‘iddah, kecuali bekas istri

telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c.

melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla al

dukhul; d memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun.

Peraturan Pelaksana UU Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah No 9

Tahun 1975 dalam Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa selama berlangsungnya

gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan

dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b.

menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan

anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-

barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi

hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Selain ketentuan dalam peraturan di atas, terdapat satu perangkat hukum

dalam hukum positif Indonesia yang merupakan sumber hukum perkawinan

nasional yang bersifat khusus, yang mengatur tentang izin perkawinan dan

perceraian bagi pegawai negeri sipil yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1983 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun

1990 (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45 Tahun

1990), yang di dalamnya mencakup mengenai permasalahan kewajiban

Page 4: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

16

pegawai negeri sipil untuk memberikan sebagian gajinya untuk penghidupan

bekas istrinya setelah perceraian.

Adapun ketentuan pembagian gaji setelah perceraian tersebut,

sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No. 45

Tahun 1990 yang berbunyi :

(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria,

maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan

bekas istri dan anak-anaknya.

(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah

sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan,

sepertiga untuk bekas istrinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-

anaknya.

(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji

yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas

istrinya ialah setengah dari gajinya.

(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan

perceraian disebabkan karena istri berzina, dan atau melakukan

kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin

terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat dan

penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan

suami selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin suami dan tanpa

alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

Page 5: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

17

(5) Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak

atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.

(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku,

apabila istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzina,

dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik

lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk,

pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami

telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin

istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar

kemampuannya.

(7) Apabila bekas istri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin

lagi, maka haknya atas bagian gaji bekas suaminya menjadi hapus

terhitung ia mulai ia kawin lagi.

Meninjau peraturan-peraturan tersebut, dalam hukum Islam sendiri (yang

berlaku di Pengadilan Agama), untuk bekas istri tersebut hanyalah mungkin

diberikan uang penghibur yang diistilahkan mut’ah dan uang nafkah selama

dalam masa ‘iddah itupun dengan memperhatikan dan mempertimbangkan

segala seginya, di antaranya keadaan dan kemampuan bekas suami/ si ayah.

Hukum Islam tidak pernah mengenal adanya nafkah untuk bekas istri yang

berlaku sampai ia kawin lagi atau meninggal dunia.2

Berdasarkan uraian tersebut, dalam skripsi ini penulis ingin mengetahui

sejauh mana ketentuan mengenai pembagian gaji setelah perceraian tersebut

2 Roihan A. Rasyid, “Kewenangan Peradilan Agama terhadap Gugatan Uji Materiil Peraturan di bawah Derajat Undang-Undang” artikel pada Mimbar Hukum No. 12 Thn. V 1994.

Page 6: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

18

diterapkan dalam putusan pengadilan, dalam hal ini yaitu pertimbangan hukum

hakim dalam menetapkan biaya penghidupan setelah perceraian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

dapat disimpulkan rumusan masalah yaitu :

Bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian menurut PP No

10 Tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 dalam kaitannya dengan

penetapan kewajiban biaya kehidupan anak dan bekas istri setelah perceraian

diterapkan dalam putusan pengadilan?.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan pembagian gaji

setelah perceraian yang ada dalam PP No.10 Tahun 1983 juncto PP No.45

Tahun 1990 diterapkan dalam putusan pengadilan dalam perkara perceraian.

D. Tinjauan Pustaka

Permasalahan mengenai perkawinan, dalam hukum perkawinan nasional,

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 Undang-Undang

tersebut menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Sedangkan menurut KHI, dalam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan

menurut Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan

Page 7: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

19

gholiiza untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.

Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,

melainkan ikatan suci (miitsaqan gholiiza) yang terkait dengan keyakinan dan

keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah

perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa

abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya

keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.3

Sulaiman Rasjid dalam Fiqh Islam-nya mengemukakan bahwa nikah

adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau

masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan

yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan,

tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara

suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk

menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.

Oleh karena adanya suatu akad nikah (perjanjian perkawinan), maka

seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam

keluarga, demikian juga seorang perempuan yang menjadi istri dalam suatu

perkawinan memperoleh berbagai hak pula. Di samping itu mereka pun

3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed.pertama,

Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 207.

Page 8: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

20

memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari mengikatkan diri dalam

perkawinan itu.4

Hak dan kewajiban suami istri itu ditegaskan baik dalam al-Qur’an

maupun hadist Rasul.

£ èdrçŽ Å°$tã ur... 5.... Å$rã• ÷èyJ ø9 $$Î/

Ayat di atas menjelaskan bahwa di antara suami-istri haruslah bergaul

dengan cara yang makruf. Pengertian makruf (baik-baik) menurut Mohd. Idris

Ramulyo dalam Hukum Perkawinan Islam ialah antara suami istri harus saling

menghormati dan wajib menjaga rahasia masing-masing.6

ô ÏB ur ÿ¾ÏmÏG» tƒ# uä ÷br& t,n= y{ / ä3s9 ô ÏiB öN ä3Å¡àÿRr& % [`ºurø— r& (# þqãZ ä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9 Î) Ÿ@ yèy_ur N à6uZ ÷• t/ ZoŠuqB

ºpyJ ômu‘ ur ....4 7

Ayat tersebut senada dengan tujuan perkawinan menurut Kompilasi

Hukum Islam Pasal 3 bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmat.

Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan-tujuan

tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena

tidak adanya kesepakatan antara suami istri, maka dengan keadilan Allah swt.

dibukakan-Nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni pintu

4 Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Ctk. Pertama, Jakarta, Bumi Aksara, 1996,

hlm.62-63.

5 Q.S An-Nisa’ (4) : 19

6 Ibid., hlm.63

7 Q. S Ar-Ruum (30) : 21

Page 9: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

21

perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban dan

ketentraman antara kedua belah pihak, dan supaya masing-masing dapat

mencari pasangan yang cocok yang dapat mencapai apa yang dicita-citakan.

Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena

makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan

perkawinan pada dasarnya adalah kontrak.8

Meskipun perceraian dalam Islam hukumnya diperbolehkan. Perceraian

dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip

dilarang oleh Allah swt. Berdasarkan hadist Nabi Muhammad saw. sebagai

berikut :

ابغض الحالل إلى اهللا الطالق

Berdasarkan hadist tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan

alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan

perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan

kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah ditempuh

berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua belah pihak,

baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun langkah-

langkah dan teknik yang diajarkan oleh Alqur’an dan Alhadist. 9

Hukum Perkawinan Nasional sendiri, yakni UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, dalam Pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan dapat

8 Amiur Nuruddin, Loc.Cit., hlm. 207.

9 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ctk.pertama, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm.73.

Page 10: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

22

putus karena : (1). kematian salah satu pihak, (2) perceraian baik atas tuntutan

suami maupun istri, (3) karena putusnya pengadilan.

Kemudian dalam Pasal 39 UU Perkawinan disebutkan :

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah

Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara

suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan tersendiri.

Ketentuan dalam Pasal di atas menentukan bahwa UU Perkawinan

menganut prinsip mempersukar perceraian, mengingat perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan, dan dengan alasan-alasan yang terbukti

bahwa suami-istri tersebut memang tidak dapat dirukunkan kembali.

Mengenai Pengadilan mana yang berwenang, dapat dilihat dalam Pasal 49

UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama

yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam di bidang :a. Perkawinan; b. Waris; c.

Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f.Zakat; g. Infaq; h. Shadaqah; dan i. Ekonomi

syariah.

Pada penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 huruf a disebutkan bahwa:

Page 11: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

23

“Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam

atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang

dilakukan menurut syari’ah antara lain :

1. Izin beristri lebih dari seorang

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berusia 21 (dua

puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam

garis lurus ada perbedaan pendapat

3. Dispensasi kawin

4. Pencegahan perkawinan

5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah

6. Pembatalan perkawinan

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri

8. Perceraian karena talak

9. Gugatan perceraian

10. Penyelesaian harta bersama

11. Penguasaan anak-anak

12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak

mematuhinya

13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami

kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri

14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua

Page 12: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

24

16. Pencabutan kekuasaan wali

17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut

18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum

cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua

orangtuanya

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang

ada di bawah kekuasaannya

20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan

anak berdasarkan hukum Islam

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

dijalankan menurut peraturan yang lain.

Talak adalah suatu bentuk perceraian menurut hukum Islam yang umum

yang banyak terjadi di Indonesia. Mohd.Idris Ramulyo dalam Hukum

Perkawinan Islam menyebutkan bahwa kewajiban suami yang telah

menjatuhkan talak terhadap istrinya adalah :1). memberi mut’ah (pemberian

untuk menggembirakan hati) kepada bekas istri, 2). Memberi nafkah, pakaian

dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak itu selama ia masih dalam

Page 13: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

25

keadaan ‘iddah, 3). Membayar atau melunaskan mas kawin, 4). Membayar

nafkah untuk anak-anaknya.10

Peraturan Pelaksana UU Perkawinan yaitu Peraturan Pemerintah No 9

Tahun 1975 dalam Pasal 24 ayat (2) mengatur bahwa selama berlangsungnya

gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan

dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b.

menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan

anak; c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-

barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi

hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa UU Perkawinan

dan Peraturan Pelaksananya, PP No 9 tahun 1975 menyerahkan kewenangan

pelaksanaan persoalan mengenai kewajiban dan hak setelah adanya perceraian

tersebut kepada majelis hakim dengan memperhatikan dan mempertimbangkan

segala seginya.

Sedangkan kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983

juncto Peraturan Peerintah No. 45 tahun 1990 ditemukan aturan mengenai

ketentuan pembagian gaji bagin Pegawai Negeri Sipil yang melaini ketentuan

dalam UU Perkawinan tersebut.

Berbagai tulisan dan kajian tersebut di atas pada pokoknya menjelaskan

masalah perkawinan dan hal-hal yang muncul berkaitan dengan adanya ikatan

perkawinan maupun putusnya perkawinan tersebut secara umum. Oleh karena

10 Mohd. Idris, Op.Cit., hlm.115.

Page 14: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

26

itu, guna melengkapi tulisan-tulisan yang telah ada penyusun mencoba

meninjau bagaimana ketentuan mengenai pembagian gaji setelah perceraian

dalam PP No 10 Tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 tersebut diterapkan.

E. Metode Penelitian

1. Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana ketentuan

pembagian gaji setelah perceraian yang ada dalam PP No.10 Tahun 1983

juncto PP No.45 Tahun 1990 diterapkan dalam putusan pengadilan dalam

kaitannya dengan pertimbangan hakim dalam menetapkan kewajiban biaya

kehidupan bagi anak dan mantan istri setelah perceraian.

2. Sumber Data

Sumber data primer dalam skripsi ini diperoleh dari hasil wawancara

secara bebas dengan hakim Pengadilan Agama Wates yang memutus

perkara perceraian yang putusan pengadilannya menjadi data sekunder

dalam penelitian ini. Sehingga data sekunder dalam skripsi ini adalah

dokumen berupa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

mengenai perceraian PNS yang mencakup permasalahan mengenai

pembagian gaji sebagai akibat perceraian tersebut khusus dalam penelitian

ini yaitu Putusan Perkara No. 069/Pdt.G/2006/PA.Wt, Perkara No.

251/Pdt.G/2006/PA.Wt, dan Perkara No. 176/Pdt.G/2007/PA.Wt. serta hasil

dari studi kepustakaan terhadap buku fiqh, buku hukum umum, peraturan

perundang-undangan, karya tulis ilmiah dan sumber-sumber pustaka lain

yang menunjang penelitian ini.

Page 15: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

27

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri

dan mempelajari putusan pengadilan dalam hal ini yaitu putusan-putusan

pengadilan mengenai perkara perceraian PNS yang berkaitan erat dengan

permasalahan pembagian gaji kepada bekas istri dan anak sebagai akibat

perceraian, khusus dalam penelitian ini yaitu Putusan Perkara No.

069/Pdt.G/2006/PA.Wt, Perkara No. 251/Pdt.G/2006/PA.Wt, dan Perkara

No. 176/Pdt.G/2007/PA.Wt. Terhadap putusan pengadilan tersebut

kemudian dilakukan wawancara secara bebas pada hakim yang terkait guna

menguatkan pemahaman penulis terhadap materi putusan perkara yang

dimaksud. Selain itu juga dengan melakukan studi kepustakaan terhadap

peraturan perundang-undangan, buku hukum umum, buku fiqh, karya tulis

ilmiah dan sumber-sumber pustaka lain yang relevan dengan permasalahan

dalam penelitian skripsi ini.

4. Pendekatan yang Digunakan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif, yakni untuk memahami suatu masalah yang diteliti dengan

mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

ketentuan nash Al-Qur’an , Al-Hadist maupun kitab-kitab fiqh. Serta

melalui pendekatan yuridis yakni dengan melakukan telaah terhadap kasus-

kasus yang berkaitan dengan penelitian ini yang telah menjadi putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, untuk memahami sekaligus

menganalisa putusan hakim khusus dalam hal pelaksanaan ketentuan

Page 16: Uii Skripsi 05410051 Yuliani Khilyatus Shoimah 05410051 YULIANI KHILYATUS SHOIMAH 9735449706 Bab 1

28

pembagian gaji PNS sebagai akibat perceraian. Dalam kaitannya dengan

penelitian ini adalah bagaimana ketentuan pembagian gaji setelah perceraian

menurut PP No 10 tahun 1983 juncto PP No 45 Tahun 1990 diterapkan

dalam putusan hakim yang dikaitkan dengan kewajiban nafkah dan biaya

kehidupan setelah perceraian dengan meninjau putusan-putusan pengadilan

dalam perkara cerai talak PNS di Pengadilan Agama Wates.

5. Analisis Data

Data yang berupa data sekunder tersebut disusun secara sistematis,

sehingga diperoleh gambaran menyeluruh mengenai masalah ketentuan

pembagian gaji setelah perceraian dengan meninjau aturan mengenai nafkah

‘iddah dan mut’ah dalam Islam, dan aturan dalam hukum positif selanjutnya

data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Analisa

kualitatif disebut juga analisa non statistik yang sesuai untuk data deskriptif

atau data textular. Data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya,

oleh karena itu analisa semacam ini juga disebut analisis isi (content

analysis).11 Sedangkan dalam mengambil kesimpulan digunakan pola

berpikir deduktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari yang umum ke

yang khusus, sedangkan pola berpikir induktif yaitu suatu cara menarik

kesimpulan dari yang khusus ke yang umum.12

11 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Ed. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,

hlm. 40.

12 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta 1989, hlm.93.