Uas spp soal politik kriminal

26
POLITIK KRIMINAL 1.1 Intisari Dalam penjelasan yang disampaikan oleh pengajar ketika memberikan tugas, disampaikan bahwa politik kriminal umumnya adalah keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara 1 . Keputusan yang dimaksud tentu saja berkaitan dengan kriminal (kejahatan; pelanggaran hukum yang dapat dihukum menurut Undang- Undang). Untuk bisa menjelaskan apa itu politik kriminal, pengajar memberikan contoh mengenai peradilan bagi para penganut ajaran komunis yang diterapkan di Indonesia, tetapi sekarang ini peradilan itu sudah tidak ada seiring dengan berubahnya jaman, yang berdampak pula pada kebijakan pemerintahan yang tengah berkuasa. Contoh lain yang disampaikan adalah terkait dengan money laundering (pencucian uang), dimana pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto, masalah ini bukan merupakan hal penting yang dijadikan salah satu fokus penegakan hukum di negara ini. Ketika itu, pemerintahan Soeharto yang gencar menggalakkan pembangunan di segala sektor membutuhkan dana besar guna mensukseskannya, untuk itu pemerintah membuka kran investasi seluas-luasnya bagi para investor asing yang akan menanamkan modalnya di negara ini. Terkait dengan upaya itu, guna menjaring dana segar sebanyak- 1 Disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro ketika memberikan penjelasan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 9 Desember 2014. 1

Transcript of Uas spp soal politik kriminal

Page 1: Uas spp soal politik kriminal

POLITIK KRIMINAL

1.1 Intisari

Dalam penjelasan yang disampaikan oleh pengajar ketika memberikan

tugas, disampaikan bahwa politik kriminal umumnya adalah keputusan pada

saat tertentu dalam sejarah sebuah negara1. Keputusan yang dimaksud tentu saja

berkaitan dengan kriminal (kejahatan; pelanggaran hukum yang dapat dihukum

menurut Undang-Undang). Untuk bisa menjelaskan apa itu politik kriminal,

pengajar memberikan contoh mengenai peradilan bagi para penganut ajaran

komunis yang diterapkan di Indonesia, tetapi sekarang ini peradilan itu sudah

tidak ada seiring dengan berubahnya jaman, yang berdampak pula pada

kebijakan pemerintahan yang tengah berkuasa. Contoh lain yang disampaikan

adalah terkait dengan money laundering (pencucian uang), dimana pada jaman

pemerintahan Presiden Soeharto, masalah ini bukan merupakan hal penting yang

dijadikan salah satu fokus penegakan hukum di negara ini. Ketika itu,

pemerintahan Soeharto yang gencar menggalakkan pembangunan di segala

sektor membutuhkan dana besar guna mensukseskannya, untuk itu pemerintah

membuka kran investasi seluas-luasnya bagi para investor asing yang akan

menanamkan modalnya di negara ini. Terkait dengan upaya itu, guna menjaring

dana segar sebanyak-banyaknya, pemerintah tidak mempermasalahkan asal-

muasal dana investasi yang digunakan oleh para pengusaha asing yang ingin

memperluas bisnisnya di Indonesia. Dan benar saja, saat kebijakan ini

diberlakukan, antusias pebisnis asing untuk masuk ke Indonesia mengalami

kemajuan sehingga mampu membantu percepatan laju pertumbuhan ekonomi

negara ini yang ketika itu tengah memfokuskan diri membangun infrastruktur.

Dalam salah satu buku karangan Prof. Mardjono istilah politik kriminal

dan kebijakan kriminal memiliki pemahaman yang sama. Istilah ini diartikan

“the explicit or implicit standing plan than an organization or government uses

as a guide to action”2. Kata aksi yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah

dalam rangka menanggulangi terjadinya kejahatan. Dimana pada umumnya

1 Disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro ketika memberikan penjelasan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 9 Desember 2014.

2 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum Yang Adil, Bahan Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa, Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2013, hal 26.

1

Page 2: Uas spp soal politik kriminal

berbentuk prinsip sebagai tujuan dan memuat program guna mewujudkan tujuan

yang telah ditetapkan.

Adalah hal yang wajar, ketika tiap pemerintahan memiliki suatu

kebijaksanaan atau policy tersendiri yang menjadi acuan guna merealisasikan

program kerjanya. Tentu dalam hal ini ada kebebasan dari masing-masing era

untuk menetapkan arah policy-nya yang berdampak pada keputusan

memidanakan suatu penyimpangan atau kejahatan di masyarakat. Keputusan ini

disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, tidak hanya masyarakat di

dalam negeri tetapi juga masyarakat Internasional. Salah satu contoh paling jelas

adalah yang sudah disampaikan sebelumnya yakni terkait dengan money

laundering. Peraturan tentang kejahatan pencucian uang di Indonesia merupakan

reaksi atas kebijakan dunia Internasional yang memandang jenis kejahatan ini

sudah meresahkan terutama dalam kaitannya dengan terorisme, mafia narkoba,

korupsi dan kejahatan transnasional lainnya. Di saat dunia Internasional

memeranginya, pemerintah di dalam negeri pun ikut serta dengan cara

meratifikasi Undang-Undang mengenai hal tersebut. Hal ini merupakan satu dari

sejumlah kebijakan kriminal yang diambil pemerintah dalam rangka

menanggulangi kriminalitas sebagai salah satu gejala sosial kemasyarakatan.

Kebijakan kriminal oleh Prof. Mardjono dijelaskan sebagai komponen

yang diperlukan selain strategi sosial untuk menajga agar angka kriminalitas

masih berada pada batas toleransi masyarakat3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana

ini dapat diperinci menjadi 4:

Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; serta

Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

menguangi perbuatannya (menjadi residivis).

Selain ketiga hal yang sudah dirumuskan di atas, Kebijakan kriminal yang

diterapkan oleh pemerintah juga diharapkan mampu untuk mengurangi

keinginan pelanggaran aturan pidana dan memenuhi rasa keadilan yang hidup di

masyarakat5. Tentunya upaya menerapkan kebijakan kriminal dalam sistem

3 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 92

4 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Op Cit hal 27.5 Mardjono Reksodiputro, Loc Cit.

2

Page 3: Uas spp soal politik kriminal

peradilan pidana yang berlaku di Indonesia tidaklah semudah membalikkan

telapak tangan. Dibutuhkan keterpaduan dalam pelaksanaan kebijaksanaan

kriminal oleh komponen yang ada pada sistem peradilan pidana. Komponen

yang dimaksud adalah polisi (penyidikan), jaksa (penuntutan), hakim

(pengadilan), lembaga pemasyarakatan (pemasyarakatan). Keterpaduan diantara

empat komponen sistem peradilan pidana ini bisa terwujud jika seluruh

komponennya menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Ini

wajib dilakukan karena proses penegakan hukum yang diketahui dan

diselesaikan melalui sistem peradilan pidana hanyalah merupakan puncak

gunung es. Ini terjadi lantaran masih banyak kejahatan atau tindak pidana yang

tidak terlihat, tidak dilaporkan (atau tidak diketahui seperti misalnya “kejahatan

yang korbannya tidak dapat ditentukan” atau “crimes without victims”) sehingga

tidak dapat diselesaikan6. Agar sistem peradilan pidana bisa efektif, syarat utama

yang wajib dilakukan oleh komponennya adalah keterpaduan kerja yang

diarahkan kebijakan kriminal atau yang dikenal dengan “pendekatan terpadu”

(integrated approach)7. Keterpaduan antar komponen dalam sistem peradilan

pidana, bisa diibaratkan sebuah arloji dimana terdapat seperangkat roda gigi

yang harus cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara masing-masing

roda gigi agar dapat menunjukkan waktu secara tepat8. Namun, meski secara

teoritis konsep ini merupakan hal yang ideal namun pada kenyataannya

seringkali masing-masing komponen kerap bekerja sendiri-sendiri dengan

motivasi kerja yang berbeda dan tidak mengindahkan perlu adanya kebijakan

kriminal9. Minoru Shikita (ketua Asia Prevention Foundation) seperti dikutip

Prof. Mardjono menjelaskan tiga kerugian yang dapat timbul apabila SPP

mengabaikan “keterpaduan”, yakni10 :

Sukar untuk salah satu sub sistem dalam SPP mengevaluasi keberhasilan

atau kegagalan instansinya, akibat adanya ketergantungan satu sama lain.

Sangat sukar untuk suatu sub-sistem memecahkan masalahnya sendiri

dan terpisah dari sub-sistem yang lain.

6 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 6.

7 Ibid 8 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Loc Cit.9 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 93.10 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Op Cit hal 28

3

Page 4: Uas spp soal politik kriminal

Tanggung jawab pelaksanaan proses dalam SPP secara efektif begitu

tercampur diantara semua sub-sistem, sehingga satu sub-sistem saja

biasanya tidak cukup merasa berrtanggungjawab atas efektivitas

keseluruhan SPP.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya mengenai politik

kriminal11, hal ini bukanlah sekedar “hasil perumusan” bersama, tetapi politik

kriminal atau yang juga dikenal sebagai kebijakan kriminal (strafrechtelijke

beleid) merupakan hasil (resultante) dari berbagai kewenangan dalam negara

yang bekerja bersama-sama dalam menanggulangi masalah kriminal. Sehingga

penerapannya dimulai sejak dari pembuat undang-undang yang menyediakan

aturan hukum pidana serta kewenangan maupun pembatasan dalam pelasanakan

aturan hukum. Yang kemudian dilanjutkan oleh Kepolisian dan Kejaksaan

sebagai pelaksana penegakan hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan.

Serta Pengadilan sebagai penguji kebijakan penyidikan dan penentukan dan

menentukan pemidanaan jika telah terbuktu bersalah. Lalu bermuara pada

Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana yang dijatuhkan

pengadilan12.

Sebagai hasil berbagai kewenangan dalam negara berbentuk keputusan,

politik kriminal memiliki proses perumusan yang secara sederhana adalah

sebagai berikut13 :

Merumusakan masalah (problem definition);

Merumuskan kebijakannya (policy formulation);

Memilih kebijakan sesuai dalam kondisi tertentu (policy selection,

legislation);

Pelaksanaan (implementation);

Evaluasi (evaluation);

Penyesuaian kebijakan (policy adjustment).

Dari seluruh proses di atas, salah satu tahap yang kerap tidak dilakukan adalah

evaluasi14. Tahapan ini semestinya dilakukan oleh pihak ketiga yang sifatnya

11 Lihat pembahasan pada hal 1 mengenai politik kriminal yang umumnya adalah keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.

12 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 93 - 9413 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Op Cit hal 2914 Disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro ketika memberikan penjelasan tugas Ujian

Akhir Semester mata kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 9 Desember 2014.

4

Page 5: Uas spp soal politik kriminal

netral untuk bisa mengetahui efektivitas kebijakan yang telah dibuat. Tentunya

hasil analisisnya harus jujur agar tujuan yang telah dirumuskan bisa tercapai

secara maksimal.

Kaitannya dengan perumusan tersebut, terdapat fenomena menarik

yang terjadi di masyarakat Indonesia yakni makin banyaknya peraturan baru

yang memuat sanksi pidana didalamnya. Hal ini dinilai berlebihan oleh Prof

Mardjono Reksodiputro. Menurutnya, produk hukum akhir-akhir ini dibuat

tanpa memperhitungkan kemampuan yang ada sehingga tidak dapat

digunakan/diterapkan. Contoh yang disampaikan antara lain mengenai jalur bus

transjakarta, dimana peraturan yang ada memuat sanksi pidana, padahal

semestinya cukup dikenalan sanksi administratif. Hal inilah yang olehnya

menjadi penyebab terjadinya devaluasi nilai15. Guna mengantisipasi inflasi

delik dan devaluasi nilai ini, diusulkan oleh Prof. Mardjono untuk dilakukan

Manajemen Hukum.

Ada baiknya, dalam proses perumusan kebijakan kriminal, mereka

yang terlibat didalamnya melihat masalah dengan kacamata lebih luas. Ini

dilakukan guna memaksimalkan pilihan rumusan agar dapat ditemukan

kebijakan terbaik yang selanjutnya dirumuskan menjadi undang-undang.

Misalnya terkait larangan narapidana menerima kunjungan keluarga karena

kerap diselundupkan telepon seluler, makanan, dan barang lain yang dilarang.

Aturan ini oleh Prof. Mardjono dinilai tidak menguntungkan bagi para

narapidana, karena pembuat kebijakan “tidak mau repot”. Akan lebih baik, jika

sebelum aturan dibuat, dicari penyebab mengapa fenomena tersebut bisa terjadi.

Karena ada indikasi terjadinya penyelundupan barang yang dilarang ke dalam

penjara merupakan akibat dari penjagaan yang kurang ketat dari para petugas,

ataupun kurang tegasnya para sipir kepada para narapidana, terlepas dari

kemungkinan “permainan” para sipir untuk mengeruk keuntungan dari penghuni

penjara atau tahanan. Jika memperhatikan penyebab lain yang membuat

pelanggaran terjadi dengan lebih jujur tentunya bisa didapati kebijakan kriminal

yang adil dan bisa mencegah terjadinya pelanggaran. Contoh lain yang

disampaikan terkait hal ini adalah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan

mengenai menenggelamkan kapal nelayan yang “merampok” hasil laut

15 Ibid

5

Page 6: Uas spp soal politik kriminal

Indonesia. Kebijakan ini dinilai berlebihan oleh pengajar karena sejumlah sebab,

yakni :

Kapal yang ditembak merupakan kapal kecil yang terbuat dari kayu;

Pemerintah Tidak akan berani menenggelamkan kapal besar yang justru

merupakan ‘perampok” ikan sesungguhnya karena jika ini dilakukan

akan berdampak panjang terutama mengenai ketegangan politik yang

dimungkinkan terjadi antara Indonesia dengan negara asal kapal tersebut.

Untuk itu, kembali diingatkan agar Penegakan Hukum yang dilakukan

semestinya dilakukan dengan benar. Jika tidak dapat melaksanakannya,

mengapa tidak dipilih kebijakan lain yang bisa menguntungkan banyak pihak,

seperti merampas kapal yang kedapatan mencuri atau bahkan merampok ikan.

Lalu dibuatlah pengadilan cepat guna mengadili para pelanggar batas teritorial

negara kita, dan hasil perampasan itu dilelang untuk kemudian uang yang

didapat diberikan kepada nelayan sebagai tambahan modal usaha. Sementara

para nelayan yang kedapatan melakukan pencurian dikembalikan ke negaranya

dengan biaya pemerintah negara mereka masing-masing.

1.2 Pembahasan

Secara etimologi, politik16 diartikan sebagai pengetahuan mengenai

ketatanegaraan atau kenegaraan(seperti tentang sistem pemerintahan, dasar

pemerintahan); segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb); cara

bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Kata politik17

yang berasal dari bahasa Yunani yakni politikos dalam memiliki arti dari, untuk

atau yang berkaitan dengan warga negara; proses pembentukan dan pembagian

kekuasaan dalam masyarakat khususnya dalam negara. Kata ini masih

berhubungan dengan polisi, kebijakan. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan

politiek, sementara dalam bahasa Inggris adalah politics. Dari sudut pandang

yang lain dapat pula diartikan sebagai berikut :

Politik adalah usaha yang ditembuh warga negara untuk mewujudkan

kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan

dan negara16 Politik, http://kbbi.web.id/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul 10.00 wib17 Politik, http://id.m.wikipedia.org/wiki/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul

10.10 wib

6

Page 7: Uas spp soal politik kriminal

Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaan di masyarakat

Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan

kebijakan publik

Sementara kriminal18 merupakan hal yang berkaitan dengan kejahatan

(pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut Undang-Undang; pidana.

Secara etimologi, dapat disimpulkan bahwa politik kriminal merupakan

usaha yang ditempuh terkait penyelenggaraan pemerintahan dan negara, dengan

merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik tentang segala hal yang

berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) atau pidana.

Oleh para ahli, politik kriminal atau yang juga dikenal sebagai

kebijakan kriminal (criminal policy) didefinisikan antara lain sebagai berikut :

Mengutip salah satu laman yang mengutarakan definisi dari Prof.

Sudarto 19, disitu kebijakan kriminal dijelasakan sebagai “suatu usaha

yang rasional dari masyarakat untuk menangulangi kejahatan”. Definisi

ini merupakan hasil telaah tulisan Marc Ancel yakni “the rational

organization of the social reaction to crime by society”. Lebih lanjuut

jika dirinci, maka pengertian ini bisa dijabarkan ke dalam tiga poin

utama, yakni :

1. Dalam arti sempit merupakan keseluruhan asas dan metode yang

menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang

berupa pidana;

2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi

3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan melalui

perundangan dan badan resmi yang bertjuan menegakkan norma

sentral di masyarakat.

G. Peter Hoefnagel seperti dikutip blog milik bardanawawi20

menyampaikan “criminal policy is the rational organization of the social

reaction to cime; criminal policy is the science of responses; criminal

18 Kriminal, http://kbbi.web.id/kriminal, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul 10.30 wib19 Kebijakan kriminal (criminal policy), http://hukum-itu.blogspot.com/kebijakan-kriminal-

criminalpolicy.html, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014 pukul 10.40 wib20 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, http://bardanawawi.blogspot.com/bunga-rampai-

kebijakan-hukum-pidana.html, diakses pada sabtu 17 Desember 2014 pkl.11.00 wib.

7

Page 8: Uas spp soal politik kriminal

policy is the science of crime prevention; criminal policy is a rational

total of the responses to crime”

Berdasar pendapat Hoefnagels, kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan

penal (kebijakan hukum pidana) dan non penal (kebijakan tanpa

melibatkan huku pidana) 21.

Kebijaksanaan (policy/ beleid) dan kebijakan (wisdom/wijsheid) secara

implisit memuat arti dan istilah diskresi (discretion/freies Ermessen) yang

diartikan dengan kebebasan memilih dan atau memutuskan/ menentukan

menurut pendapat sendiri22.

“kebijaksanaan sebenarnya dapat dirumuskan sebagai perilaku dari sejumlah pemeran baik pejabat secara perorangan, kelompok kekuatan politik atau kelompok pakar ataupun instansi/lembaga pemerintah yang terlibat dalam suatu bidang kegiatan tertentu yang diarahkan pada rumusan masalah/permasalahan sehubungan dengan adanya hambatan tertentu. Untuk selanjutnya mengacu pada tindakan atau tindakan berpola yang mengarah pada tujuan seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan dan /atau mewujudkan sasaran yang ingin dicapai”23

Kebijaksanaan atau kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik

merupakan upaya menanggulangi masalah kejahatan yang tidak lepas dari

perubahan wacana dalam proses pembuatan kebijakannya. Selama ini ia hanya

dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP), yang dalam hal ini

adalah negara. Padahal kebijakan kriminal tak hanya mengenai penegakan

hukum tetapi juga upaya pencegahan hukum yang dilakukan secara menyeluruh

hasil kolaborasi terlembaga antara masyarakat sipil, swasta dan pemerintah.

Sayangnya, dalam pelaksanaannya, kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan

publik untuk menanggulangi masalah kejahatan belum melibatkan aktor non

SPP24.

Dari pendapat sejumlah ahli diatas, dapat dirumuskan bahwa kebijakan

kriminal merupakan usaha menanggulangi kejahatan baik penegakan maupun

pencegahan yang dilakukan aparatur penegak hukum tentunya dengan

21 Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia, http://lbh-inpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukum-indonesia, diakses pada sabtu 17 Desember 2014 pkl.11.10 wib.

22 Hendra Nurtjahjo, Ed, Kebijaksanaan , Hirarki, Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia, Depok, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cetakan petrtama tahun 2004, hal 170.

23 Ibid hal 17724 Ibid

8

Page 9: Uas spp soal politik kriminal

melibatkan masyarakat. Produk yang dihasilkan tentunya adalah Keputusan

yang ditetapkan oleh pemerintah dan bersifat mengikat terhadap seluruh warga

negara Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof.

Mardjono ketika menjelaskan mengenai politik kriminal25.

Dalam penerapannya, hukum sebagai produk politik memandang

bahwa hukum merupakan formalisasi atau kristalisasi dari kehendak politik

yang saling berinteraksi dan saling bersaingan26. Namun, keduanya saling

memperngarugi dengan pola Hukum determinan atas politik karena kegiatan

politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan hukum. Politik pun juga

determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil kristalisasi kehendak

politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Politik dan hukum

meruapak sub sistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat

determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun

hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu ada maka semua

kegiatan politik juga harus tunduk pada aturan hukum27. Itulah sebabnya

interaksi antara politik dan hukum kaitannya dalam Kebijakan Kriminal begitu

kuat. Sehingga Prof. Mardjono sempat menyampaikan bahwa politik kriminal

merupakan keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.

Tentunya hal ini berkaitan dengan corak pemerintahan yang tengah

berkuasa karena politik adalah mengenai kekuasaan dan cara

mempertahankannya28. Mahfud MD dalam bukunya menyatakan 29:

“Produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam keyataannya memang lebih banyak membuat keputusan politik dibandingkan denagn menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya lebih-lebih jika pekerjaan hukum dikairkan denagn masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif sebenarnya lebi dekat dengan politik daripada hukum itu sendiri.”

Lebih lanjut dijelaskan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau

telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi30:

25 Lihat pembahasan pada hal 1 mengenai politik kriminal yang umumnya adalah keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.

26 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES, 1998, hal 6.27 Ibid hal 828 Lihat pembahasan pada hal 7 mengenai politik29 Moh. Mahfud MD, Op Cit hal 930 Ibid

9

Page 10: Uas spp soal politik kriminal

Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan

terhadap materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan (dikenal

dengan politik legislasi31);

Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi

lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

“Politik hukum Indonesia sesungguhnya berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip demokrasi yang berkeadilan ssosial dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” .32

Meski cita-cita sudah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, namun dinamika

yang ada terlihat jelas bahwa hukumlah yang terpengaruh politik, karena sub

sistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada dengan

hukum33. Kuatnya energi politik ini kerap membuat otonomi hukum di Indonesia

diintervensi oleh politik bukan hanya dalam proses pembuatannya tetapi juga

dalam implementasinya34.

“hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”35

Dari kalimat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa dalam prakteknya hukum

menjadi cermin kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit

orang yang kemudian berpandangan bahwa hukum sama dengan kekuasaan.

Dengan memperhatikan siapa yang terlibat baik langsung ataupun tidak

langsung dengan kebijaksanaan negara, ada sejumlah konsep yang bisa

dijadikan acuan agar kebijaksanaan negara bermakna dan dirasakan manfaatnya

atau didasari kepentingan untuk mencapai yang dicita-citakan bersama.

Beberapa konsep itu adalah36 :

Kebijaksanaan negara seyogyanya merupakan tindakan yang mengarah

pada tujuan dan bukan sebagai perilaku atau tindaka yang secara acak

dan kebetulan, dengan kata lain tindakan yang benar-benar direncanakan.

31 Dr. Saldi Isra, SH, LLM, Fungsi Legislasi setelah Perubahan UUD 1945, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010, hal 128

32 Abdul Hakim G Nusantara, SH, LLM, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Huku Indonesia, cetakan pertama tahun 1988, hal 20

33 Daniel S. Lev seperti dikutip Moh. Mahfud MD, Op Cit hal 1334 Ibid 35 Mochtar Kusumaatmaja, dikutip Moh. Mahfud MD, Ibid36 Hendra Nurtjahjo, Ed, Ibid hal 180.

10

Page 11: Uas spp soal politik kriminal

Kebijaksanaan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri namun

pada hakekatnya merupakan rangkaian tindakan yang saling terkait dan

berpola yang akan dilaksanakan yang mengarah pada tujuan tertentu.

Kebijaksanaan menyangkut paut dengan apa yang secara nyata dilakukan

oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu .

Kebijaksanaan negara mungkin berbentuk positif, mungkin pula

negataif. Dalam bentuk positif umumnya dibuat berlandaskan hukum

dan kewenangan tertentu dan akan mencakup beberapa tindakan

pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengatasi

masalah tertentu. Sebalinya dalam bentuk negatif meliputi kepytusan

dari pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan

tindakan apapun dalam masalah dimana campur tangan pemerintah

justru diperlukan.

Konsep yang disampaikan diatas, jika dikaitkan dengan contoh politik kriminal

yang diberikan oleh Prof. Mardjono bisa dikatakan relevan37. Adalah benar jika

kebijaksanaan atau kebijakan yang dilakukan meyogyanya direncanakan dengan

baik, dan karena kebijakan ini juga memiliki dampak negatif, akan lebih bijak

bila dibahas lebih lanjut keterpaduan diantara pihak yang memiliki andil

didalamnya. Karena jika keputusan yang diambil merupakan hal yang reaktif

dan sepihak bukan tidak mungkin justru hasil buruk yang akan didapat, apalagi

jika dampak buruk yang ada terjadi dalam jangka waktu panjang. Tentu ini

bukanlah tujuan yang diharapkan dari pembentukan suatu perundangan yang

dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat.

Produk hukum yang dihasilkan dari kebijaksanaan negara dapat dilihat

dari berbagai sudut teoritis. Karakter produk hukum seperti dikutip Mahfud MD

dari Nonet dan Selznick serta Marryman, bisa dibedakan atas38 :

Hukum otonom dan hukum menindas

Tipe menindas Tipe otonom

Tujuan hukum ketertiban kesahan

Legitimasi Pertahanan sosial dan

raison d’etaat

Menegakkan prosedur

37 Lihat pembahasan pada point 1.1 mengenai contok politik kriminal yang dilakukan Kementrian Kelautan dan Perikanan serta pelarangan tahanan menerima kunjungan keluarga di halaman 638 Moh. Mahfud MD, op Cit hal 20-23

11

Page 12: Uas spp soal politik kriminal

Peraturan Kasar dan terperinci

tetapi hanya

mengikat pembuat

peraturan secara

lemah

Sangat terurai; mengikat pembuat

maupun mereka yang diatur

Penalaran

(reasoning)

Ad Hoc, sesuai

keperluan dan

partikularistik

Mengikat diri secara ketat kepada

otoritas hukum; peka terhadap

formalisme dan legalisme

Diskresi Merata; oportunistik Dibatasi oleh peraturan;

pendelegasian sangat terbatas

Pemaksaan Luas sekali;

pembatasannya

lemah

Dikontrol oleh pembatasan hukum

Moralitas Moralitas komunal;

moralitas hukum;

moralitas pemaksaan

Moralitas kelembagaan, yaitu

diikat oleh pemikiran tentang

integritas dari proses hukum

Kaitan politik Hukum ditundukkan

kepada politik

kekuasaan

Hukum bebas dari politik

pemisahan kekuasaan

Harapan

terhadap

kepatuhan

Tidak bersyarat;

ketidakpatuhan

dengan begitu saja

dianggap

menyimpang

Bertolak dari peraturan yang sah,

yaitu menguji kesahan Undang-

Undang dan Peraturan.

Partisipasi Tunduk dan patuh;

kritik dianggap

tidak loyal

Dibatasi oleh prosedur yang ada;

munculnya kritik hukum.

Hukum responsif dan Hukum Ortodoks

Dalam pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga negara sangat

dominan dalam emnentukan arah perkembangan hukum, strategi

pembangunannya bersifat positivis-instrumentalis yaitu menjadi alat

yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Hukum

merupakan perwujudan nyata visi sosial pemegang kekuasaan negara.

12

Page 13: Uas spp soal politik kriminal

Sedangkan pembangunan hukum responsif, peranan besar terletak pada

lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau

individu dalam masyarakat. Strategi pembangunan hukum responsif

bersifat responsif terhadap tuntutan berbagai kelompok sosial dan

individu dalam masyarakatnya.

Berdasar uraian mengenai produk hukum diatas, Indonesia sebagai

negara hukum yang menganut sistem civil law, produk hukum yang dihasilkan

merupakan Hukum Otonom dan Hukum Orthodoks.

Ketika kebijakan sudah diputuskan, maka penegakan hukum wajib

dilaksanakan. Penegakan hukum yang dimaksud menurut Satjipto Raharjo

seperti dikutip Topo Santoso adalah proses mewujudkan keinginan hukum

menjadi kenyataan. Keinginan hukum sendiri diartikan sebagai pikiran badan

pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Pada

prosesnya penegakan hukum juga menjangkai sampai pada pembuat hukum dan

dilaksanakan oleh para penegak hukm yang merupakan komponen negara39.

Untuk mewujudkan hukum sebagai ide, Satjipto menyampaikan bahwa

dibutuhka suatu organisasi yang kompleks, dan negara harus campur tangan

dalam perwujudan hukum yang abstrak karena ternyata harus mengadakan

berbagai macam badan untuk keperluan tersebut. Dalam hal ini kita mengenal

Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan dan Badan Peraturan

Perundang-Undangan40. Lebih lanjut disampaikan bahwa ketika membicarakan

hukum dalam konteks organisasi berarti mempermasalahkan orang, tingkah laku

orang, fasilitas, dan kultur organisasi. Seluruh hal tersebut, oleh Topo Santoso

dipetakan ke dalam sejumlah masalah yakni kurangnya profesionalisme, mafia

peradilan dan hilangnya nurani dalam penegakan hukum.

Mafia peradilan oleh Topo Santoso kemudian dijelaskan dalam

beberapa pola pada sub-sistem peradilan pidana. Pada tingkat penyidikan, pola

penyimpangannya berupa permintaan uang operasional untuk mempercepat

perkara atau menghentikan penyidikan/ penyelidikan, negosiasi pasal yang

digunakan, pemerasan dengan menerapkan pasal berat untuk menakuti, dsb.

39 Topo Santoso,SH,MH,PhD, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem Penegakan Hukum Di Indonesia, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010, hal 36240 Ibid hal 363

13

Page 14: Uas spp soal politik kriminal

Pada tahap penuntutan, pola penyimpangan yang terjadi misalnya negosiasi

perkara (tawar menawar pasal dalam dakwaan), mengulur waktu, menerapkan

pasal atau ketentuan yang lemah agar terdakwa bebas, manipulasi barang bukti,

dsb. Di pengadilan, penyimpangan yang terjadi diantaranya permintaan yang

jasa, penentuan majelis hakim untuk perkara”basah” atau “kering”,

memperlambat proses untuk meminta uang, negosiasi dalam perubahan jenis

tahanan, dsb41.

Tentunya dengan terjadinya penyimpangan yang dilakukan aparatur

penegak hukum, maka seperti yang disampaikan oleh Prof. Mardjono, perlu

adanya kemerdekaan/kemandirian Lembaga Hukum yang dalam hal ini

dikhususkan pada kehakiman. Lembaga ini berdasar pembagian kekuasaan

yang ada, harus benar-benar dipisahkan dari pengaruh legislatif dan eksekutif.

Seperti yang disampaikan sebelumnya, hukum dan politik jika berinteraksi,

hukum akan menjadi bagian yang lemah akibat dari energi politik yang

determinasinya lebih kuat. Bukan hal yang mudah, tetapi jika criminal policy

dari pemerintah dilaksanakan secara konsisten dengan tujuan memerdekakan

lembaga kehakiman, maka bukan tidak mungkin hal ini bisa terwujud, dan

penyimpangan aparatur penegak hukum bisa teratasi.

Roscoe Pound adalah orang yang pertama menganjurkan penegakan

hukum harus diawali oleh kerja hakim untuk membuat law yang difungsikan

sebagai tool of social engineering. Law as a tool of social engineering juga

mesti diiringi dengan kearifan yang disebut a bit wit of social engineering42.

1.3 Kesimpulan

Politik kriminal atau yang dikenal dengan Kebijakan Kriminal

merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemrintah dalam upaya untuk

menanggulangi masalah kejahatan. Warna atau corak kebijakan kriminal

bergantung dari pemerintah yang berkuasa ketika kebijakan itu dibuat. Lebih

ekstrem lagi, Prof Mardjono menyampaikan Politik Kriminal ini belum tentu

nasional akibat multikulturalisme yang ada di Indonesia43.

41 Ibid hal 368 - 37042 Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, SH, MPA, Penegakan Hukum Di Era Reformasi, merupakan

salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010, hal 242

43 Disampaikan Prof. Mardjono Reksodiputro dalam mata kuliah Sistem Peradilan Pidana program Magister Ilmu Hukum universitas Indonesia, mengenai Politik Kriminal pada 3 Desember 2014

14

Page 15: Uas spp soal politik kriminal

Upaya penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menegakkan

hukum dan mencegah kejahatan. Dalam hal menegakkan hukum, dibutuhkan

peran sub-sistem Peradilan Pidana, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,

Pemasyarakatan, dan Badan Peraturan Peundangan. Tentu bukan hal mudah

untuk bisa menegakkan hukum ketika dalam penyelenggaraannya ditemukan

penyimpangan oleh para penegak hukum. Terkait hal ini, perlu difungsikan

dengan benar sejumlah lembaga yang semestinya memiliki peran dalam

mengevaluasi dan mengawasi jalannya penegakan hukum oleh masing-masing

sub-sistem. Lembaga yang dimaksud adalah Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan

lembaga eksternal lainnya.

Sementara itu, kaitannya dengan kebijakan kriminal, interaksi antara

politik dan hukum dalam prosesnya memang kerap kali dimenangkan oleh

politik, sehingga dalam hal ini dibutuhkan effort dari para penguasa untuk

mendahulukan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi atau golongan

seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Memang butuh waktu untuk

bisa merubah pola penyimpangan yang telah terjadi. Tetapi ada baiknya bila ini

dimulai sejak saat ini, bukan tidak mungkin perubahan bisa terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum

Yang Adil, Bahan Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa,

Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2013

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,

Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga

Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007

Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan

Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga

Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007

15

Page 16: Uas spp soal politik kriminal

Hendra Nurtjahjo, Ed, Kebijaksanaan , Hirarki, Perundang-Undangan dan Kebijakan

dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia,

Depok, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cetakan pertama tahun 2004

Dr. Saldi Isra, SH, LLM, Fungsi Legislasi setelah Perubahan UUD 1945, merupakan

salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di

Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei

2010

Abdul Hakim G Nusantara, SH, LLM, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan

Lembaga Bantuan Huku Indonesia, cetakan pertama tahun 1988

Topo Santoso,SH,MH,PhD, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem Penegakan

Hukum Di Indonesia, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai :

Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik

Indonesia, cetakan kedua Mei 2010

Politik, http://kbbi.web.id/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember

Politik, http://id.m.wikipedia.org/wiki/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014

Kriminal, http://kbbi.web.id/kriminal, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014

Kebijakan kriminal (criminal policy), http://hukum-itu.blogspot.com/kebijakan-

kriminal-criminalpolicy.html, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, http://bardanawawi.blogspot.com/bunga-

rampai-kebijakan-hukum-pidana.html, diakses pada sabtu 17 Desember 2014

pkl.11.00 wib.

Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia,

http://lbh-inpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukum-

Indonesia, diakses pada sabtu 17 Desember 2014

16