Tutorial Dr. Wiyoto

6
Patofisiologi Masuknya kuman Salmonell thypi (S. typhi) dan Salmonella parathypii (S. parathypi) ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya lamina propria. Di dalam lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia I yang asimtomatis) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi, mengakibatkan bakterimmia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik. Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu di ekskresika secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman

description

Tutorial Dr. Wiyoto

Transcript of Tutorial Dr. Wiyoto

Page 1: Tutorial Dr. Wiyoto

Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonell thypi (S. typhi) dan Salmonella parathypii (S. parathypi) ke

dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman

akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya lamina propria. Di dalam lamina

propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque

peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui

duktus torasikus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk dalam sirkulasi darah

(mengakibatkan bakterimia I yang asimtomatis) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-

sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk

ke dalam sirkulasi darah lagi, mengakibatkan bakterimmia yang kedua kalinya dengan disertai

tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.

Di dalam hati kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama

cairan empedu di ekskresika secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman

dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.

Proses yang terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif maka saat

fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya

akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit

kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plaque paeyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan

(S. typhi intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hyperplasia jaringan,

dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah disekitar

plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel

mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang biak

hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Setelah terjadinya perforasi, maka debris, pus, sisa jaringan nekrotik, dan udara akan

keluar menuju cavum peritoneum sehingga menyebabkan kenaikan tekanan intra abdomen.

Penaikan tekanan intra abdomen akan mendorong diafragma menuju ke atas dan mendorong

Page 2: Tutorial Dr. Wiyoto

paru-paru, sehingga volume kapasitan inspirasi paru yang masuk akan berkurang, lalu tubuh

akan menyeimbangkannya dengan pernafasan cepat (takipneu).

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dangangguan organ

lainnya.

Gambaran Klinis

Penegakkan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang

tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran penyakit ini sangat penting untuk

membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan

tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Masa tunas demam tifoid berlangsung

anatara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan

berat, dari asimptomatis hingga gambaran yang khas, disertai komplikasi hingga kematian.

Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa

dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat

perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Pada minggu kedua gejala-gejala

menjadi lebih luas, berupa demam, bradikardi relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu

1° C tidak diikuti dengan peningkatan denyut nadi 8x per menit), lidah yang berselaput (kotor di

tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan

mental berupa somnolen, stupor, delirium, atau psikosis.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Darah Rutin

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat

pula terjadi kadar leukosit normal atau lekositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa

disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia.

Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneusinofilia maupun limfopenia. Laju

endap darah dalam demam tifoid dapat meningkat.

SGOT dan SGOT sering kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal ketika

sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

Page 3: Tutorial Dr. Wiyoto

Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme. Sampai

sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostic. Selain uji widal,

terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan

mudah serta memiliki sensitifitas dan spesifisitas lebih baik, antara lain uji TUBEX, Typhidot,

dan dipstick.

Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. thypi. Pada uji widal

terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut

aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense Salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya

agglutinin pada serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: (a) agglutinin O (dari tubuh

kuman); (b) agglutinin H (flagella kuman); (c) agglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga agglutinin tersebut, hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman

ini.

Pembentukan agglutinin mulai terbentuk pada akhir minggu pertama demam, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4 dan tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan

agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh, agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6

bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama, antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal

bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: (1) pengobatan dini dengan

antibiotik; (2) gangguan pembentukan antibodi dan pemberikan kortikosteroid; (3) waktu

pengambilan darah; (4) daerah endemic atau non-endemik; (5) riwayat vaksinasi; (6) reaksi

anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi

demam tifoid masa lalu atau vaksinasi; (7) faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat

aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang bermakna

diagnosis untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya

berlaku setempat, dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.

Page 4: Tutorial Dr. Wiyoto

Penatalaksanaan

Sebagai dokter umum, tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah menentukan

apakah kasus ini termasuk emergensi atau elektif. Setelah itu boleh dilakukan perujukan, namun

harus menstabilkan keadaan umum pasien.

Rehidrasi dengan cairan Ringer Laktat untuk resusitasi akibat muntah yang terjadi dapat

dilakukan pada kasus ini karena pada saat terjadi muntah, terjadi asidosis metabolik. Setelah

dilakukan resusitasi, jika terjadi peritonitis, maka dilakukan tindakan dekompressi dengan

pemasangan Nasogastric Tube (NGT) dan kateter untuk menurunkan tekanan intra abdomen.

Pemberian anti-emetik, boleh diberikan namun tidak boleh dengan obat anti-emetik yang

bersifat lokalis yang dapat menurunkan peristaltik usus karena dapat memperberat peritonitis.

Pemberian analgetik yang dapat menurunkan nyeri secara perifer, seperti ketorolac, dapat

diberikan serta antibiotik yang sensitif terhadap bakteri anaerobik.