TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

11

Click here to load reader

description

Tunjangan Hari Raya (THR) sudah lama menjadi persoalan klasik dan menarik. Apalagi ketika mendekati hari raya umat beragama. Terutama menjelang Idul Fitri, sebagai hari raya umat Islam yang notabene dirayakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Tidak terkecuali pekerja, kebutuhan mereka senantiasa mengalami eskalasi tajam saat mendekati lebaran. Entah itu benar-benar karena tuntutan dan himpitan konstelasi ekonomi atau justru karena pola hidup yang sedemikian konsumtif. Bagi para pengusaha, ketetapan Permenaker No. Per-4/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan, dianggap memunculkan keberatan tersendiri. Sehingga tidak jarang, timbul berbagai modus perusahaan agar bisa lepas dari kewajiban untuk membayarkan THR. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai instrumen (alat) dalam melihat konteks permasalahan THR di sini. Namun secara general (umum), tinjauan dari segi etis dan yuridis (hukum) bisa menjadi prioritas. Himbauan Kemnakertrans menyangkut pemenuhan THR yang sering tidak digubris perusahaan-perusahaan, serta minimnya sanksi tegas terhadap oknum perusahaan nakal yang tidak membayar THR membuktikan bahwa THR tidak lagi hanya perlu berada di dalam wilayah etis, tetapi juga yuridis. Hal tersebut diperkuat terbitnya berbagai landasan yuridis yang mengatur THR, meskipun belum sampai pada tingkatan UU. Di sudut lain secara etis, sebenarnya tanpa aturan-aturan hukumpun, perusahaan sudah jelas harus membayar THR kepada para pekerja akibat konsekuensi afiliasi atas etika. Melalui tulisan ini, penulis mencoba menganalisis secara integral persoalan THR tanpa bermaksud membenturkan tinjauan secara etis dengan yuridis. Diharapkan, tulisan ini mampu memberikan row input kuat berupa pemikiran-pemikiran “segar” bagi pengembangan goverment policy, khususnya yang terkait dengan jaminan tenaga kerja.

Transcript of TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

Page 1: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

1

TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

Oleh:

Arie Hendrawan*

Abstrak

Tunjangan Hari Raya (THR) sudah lama menjadi persoalan klasik dan menarik.

Apalagi ketika mendekati hari raya umat beragama. Terutama menjelang Idul Fitri,

sebagai hari raya umat Islam yang notabene dirayakan oleh hampir seluruh rakyat

Indonesia. Tidak terkecuali pekerja, kebutuhan mereka senantiasa mengalami eskalasi

tajam saat mendekati lebaran. Entah itu benar-benar karena tuntutan dan himpitan

konstelasi ekonomi atau justru karena pola hidup yang sedemikian konsumtif. Bagi

para pengusaha, ketetapan Permenaker No. Per-4/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari

Raya Keagamaan, dianggap memunculkan keberatan tersendiri. Sehingga tidak jarang,

timbul berbagai modus perusahaan agar bisa lepas dari kewajiban untuk membayarkan

THR. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai instrumen (alat) dalam

melihat konteks permasalahan THR di sini. Namun secara general (umum), tinjauan

dari segi etis dan yuridis (hukum) bisa menjadi prioritas. Himbauan Kemnakertrans

menyangkut pemenuhan THR yang sering tidak digubris perusahaan-perusahaan, serta

minimnya sanksi tegas terhadap oknum perusahaan nakal yang tidak membayar THR

membuktikan bahwa THR tidak lagi hanya perlu berada di dalam wilayah etis, tetapi

juga yuridis. Hal tersebut diperkuat terbitnya berbagai landasan yuridis yang mengatur

THR, meskipun belum sampai pada tingkatan UU. Di sudut lain secara etis, sebenarnya

tanpa aturan-aturan hukumpun, perusahaan sudah jelas harus membayar THR kepada

para pekerja akibat konsekuensi afiliasi atas etika. Melalui tulisan ini, penulis mencoba

menganalisis secara integral persoalan THR tanpa bermaksud membenturkan tinjauan

secara etis dengan yuridis. Diharapkan, tulisan ini mampu memberikan row input kuat

berupa pemikiran-pemikiran “segar” bagi pengembangan goverment policy, khususnya

yang terkait dengan jaminan tenaga kerja.

Kata Kunci: Tunjangan Hari Raya (THR), Perusahaan, Pekerja.

*Mahasiswa Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

Page 2: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

2

A. PENDAHULUAN

Pertama-tama, kata “klasik” dan “menarik” jika disoroti mungkin terasa agak

aneh untuk menggambarkan suatu persoalan, yaitu persoalan Tunjangan Hari Raya

(THR), namun memang demikianlah realitasnya. Dikatakan klasik, karena persoalan

pembayaran THR seakan menjadi problematika rutin setiap mendekati hari raya,

terutama Idul Fitri. Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah

untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya, secara yuridis lewat dikeluarkannya

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994, Surat Edaran

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.479/MEN/PHI-JSK/IX/2006 Tahun

2006, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.314/MEN/PH

IJSK-PKKAD/VIII/2009 Tahun 2009, serta Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi No. SE.05/MEN/VII/2012. Sedang secara etis, pemerintah melakukan

himbauan terus-menerus kepada seluruh perusahaan untuk memenuhi kewajibannya

dengan membayar THR pekerja dan membuka posko pengaduan THR. Meskipun

dianggap masih belum berhasil, usaha pemerintah tetap patut diapresiasi.

Selanjutnya, persoalan THR menjadi menarik karena mengandung unsur

dilematisasi. Di satu sisi, para pemilik modal merasa keberatan untuk membayar

THR karena alasan kesulitan keuangan. Terlebih pekerja juga sering menuntut THR

yang dinilai terlalu tinggi bagi perusahaan, meskipun pada akhirnya justru hanya

banyak dimanfaatkan sebagai alat pemuas pola hidup konsumtif mereka. Di sisi lain,

THR merupakan suatu hal yang wajib dibayarkan oleh perusahaan. Dalam Peraturan

Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994, pasal 1 huruf d dan pasal

2 ayat (1) disebutkan, THR adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh

Pengusaha kepada pekerja yang telah bekerja selama 3 bulan atau lebih secara terus-

menerus menjelang Hari Raya Keagamaan yang baik berupa uang atau bentuk lain.

Sebenarnya, bagi perusahaan yang tidak mampu membayar THR, pemerintah telah

memberikan toleransi dengan cara mengajukan permohonan penyimpangan tentang

besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial

dan pengawasan ketenagakerjaan.1 Tetapi untuk perusahaan berskala mikro, tentu

hal tersebut masih menjadi ganjalan karena toleransi yang dimaksud hanya berupa

penyimpangan besaran nominal THR, bukan penghapusan. Sedangkan, pemerintah

1 Lebih lanjut, lihat Pasal 7 ayat (1), Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994.

Page 3: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

3

di sini tidak mau turut bertanggung jawab atas kelangsungan usaha mereka. Jadi,

akan terbuka peluang lebar timbulnya stagnansi perkembangan investasi padat karya

atau mikro yang sedang berusaha tumbuh menjadi besar.

Pendekatan dari sudut pandang etis dan yuridis yang menjadi tinjauan dalam

menganalisis persoalan THR, adalah sebuah keniscayaan ketika muncul tuntutan

untuk melihat realisme masalah dengan objektif dan netral. Selain itu, keluwesan

yang dimanifestasikan dengan adanya dua pendekatan (bukan hanya satu) juga dapat

menciptakan komprehensifitas khasanah keilmuan. Melalui pendekatan yuridis, unit

yang menjadi titik tekan yaitu kajian normatif. Sedangkan melalui pendekatan etis,

unit yang menjadi titik tekan bisa sampai pada kajian praksis yaitu perilaku manusia

(people behavioral).

B. PEMBAHASAN

1. Hukum yang Beretika atau Etika yang Berhukum?

Etika, sebagaimana kebanyakan persepsi orang, diletakkan pada tempat

yang lebih tinggi ketimbang hukum. Namun, agaknya hal itu menjadi sedikit

sumir karena tidak semua hukum berlandaskan etika. Hukum justru lekat dengan

kesan rigid (kaku), menindas, dan kejam. Sedangkan etika, ketika diberdirikan

sendiri terlepas dari hukum (aturan yang mengatur) juga tidak akan mempunyai

kekuatan apapun, kecuali hanya sebatas ajaran moral. Seperti yang dinyatakan

Suseno, bahwa etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang

ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.2

Jika menganalisis produk hukum THR, yaitu Peraturan Menteri Tenaga

Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994, pasti akan terbersit sebuah argumen

perihal betapa idealnya isi peraturan tersebut. Hingga muncul pertanyaan, lalu

bagaimana implementasinya dalam tataran praksis? Sebelumnya, ada beberapa

indikator yang bisa menjadi alat ukur untuk menilai baik tidaknya content suatu

aturan hukum. Pertama, setidaknya dapat dilihat dari materi isi yang spesifik

(termuat pula hitung-hitungan menentukan besaran THR). Kedua, manfaat yang

diberikan kepada masyarakat luas (terutama bagi para pekerja). Menyoal kasus

penyelewengan pembayaran THR, itu masalah lain karena tidak hanya berkaitan

2 Baca Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, 1987, hlm. 14.

Page 4: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

4

dengan ranah instrumental, melainkan juga ranah praksis. Regulasi hukum yang

beretika, jelas diperlukan. Dan rasanya aturan di atas (Peraturan Menteri Tenaga

Kerja No. Per-04/MEN/ 1994 Tahun 1994) telah menjunjung tinggi hal tersebut

karena isi yang sangat kental oleh nilai-nilai sosial, kekeluargaan (pengusaha

dengan pekerja), dan religiusitas. Misalnya saja, dalam pasal 4 ayat (2) yang

menyebutkan bahwa, “Pembayaran THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum

Hari Raya Keagamaan”.3 Tentu sebenarnya tidak menjadi masalah jika THR

baru dibayarkan 4 sampai 3 hari menjelang hari raya, atau bahkan setelah hari

raya. Namun tidak demikian adanya, karena di dalam ketentuan tersebut secara

implisit terkandung kesadaran etis atau kesadaran moral, yaitu pengetahuan ada

baik dan ada buruk.4

Selanjutnya, apa itu etika yang berhukum? Jawabannya adalah tidak ada,

karena di dalam etika tidak termuat hukum, paksaan, dan sanksi yang tegas. Lain

halnya ketika suatu etika dipertegas menjadi aturan hukum, hal tersebut dapat

dilakukan namun tidak bisa disebut sebagai etika yang berhukum. Melainkan,

hanya disebut sebagai hukum atau aturan hukum. Misalnya muncul suatu usulan

bahwa kesadaran etis perusahaan memberikan THR kepada pekerja hendaknya

dipertegas menjadi aturan hukum. Ketika hal itu telah terealisasi, maka tidak ada

lagi istilah etika (berdiri sendiri), ataupun istilah etika yang berhukum. Kecuali

hukum yang beretika selama hukum tersebut masih mengandung kesadaran etis

(kesadaran moral).

2. Perusahaan-Pekerja Saling Membutuhkan, Pemerintah Pro Aktif

Perusahaan tanpa pekerja, tak ubahnya hanya sebuah bangunan kosong

tanpa aktivitas, tanpa keuntungan. Sedangkan pekerja tanpa ada perusahaan, tak

lebih hanya sekumpulan pengangguran, karena tidak berupah dan tahu apa yang

dikerjakan. Itulah gambaran sederhana tentang relasi antara perusahaan dengan

pekerja. Tidak seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx dalam classs theory,

hubungan pengusaha (pemilik perusahaan) dengan pekerja di sini amat berbeda

3 Lebih lanjut, lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994. 4 Baca Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, PT. Rineka Cipta, 2003, hlm. 27.

Page 5: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

5

apabila dikomparasikan terhadap hubungan antara kaum borjuis dengan ploretar

di era Marx dulu. Sekarang, semestinya tidak perlu lagi timbul kobaran-kobaran

konflik antar keduanya jika menilik tidak bisa dinafikkannya hukum alam yang

berlaku, yaitu perusahaan dan pekerja saling membutuhkan.

Kembali ke masalah substansi, pada tahun 2012, Menteri Tenaga Kerja

dan Transmigrasi telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE.05/MEN/VII/2012

tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan Imbauan Mudik

Lebaran Bersama. Lebih lanjut lagi, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan

Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga

sudah meminta para buruh untuk segera melapor ke posko pengaduan THR jika

merasa belum mendapatkan THR sesuai dengan ketentuan hukum. Namun yang

terjadi sekarang, ternyata di atas keidealan Peraturan Menteri tentang THR plus

berbagai Surat Edaran Menteri tentang THR dari tahun ke tahun tersebut masih

dapat ditemukan celah hukum (ideal doesn’t mean perfect). Contoh kecil, tidak

adanya sanksi tegas bagi perusahaan yang otoriter memecat pekerja sebelum hari

raya, serta larangan outsourching.

Namun demikian, jika dilihat menggunakan sisi kenetralan, sanksi yang

tegas kepada perusahaan-perusahaan secara tidak langsung juga akan berdampak

buruk bagi pekerja sendiri. Apalagi jika perusahaan yang bersangkutan adalah

perusahaan berskala mikro-menengah, sangat rawan terhadap kebangkrutan dan

PHK. Kalau sudah begitu, siapa yang mampu menjamin nasib pekerjaan dari

pekerja? Pada akhirnya, semua justru menjadi serba salah. Kembali lagi, karena

antara perusahaan dan pekerja saling membutuhkan. Tetapi dalam hal ini negara

seharusya bisa lebih berperan aktif bersama-sama perusahaan dan pekerja, saling

bersinergis membangun hubungan yang haromonis. Sesuai dengan UU No. 28

Tahun 1999, maupun yang terbaru UU No. 9 Tahun 2004, pemerintah yang baik

adalah pemerintah yang melaksanakan asas akuntabilitas. Jadi, tidaklah keliru

seandainya tanggung jawab pemerintah terhadap nasib pekerja yang dipecat oleh

perusahaan tempatnya bekerja karena kolaps akibat sanksi patut dipertanyakan.

Begitu juga dengan tanggung jawab pemerintah terhadap kelangsungan usaha

berskala mikro yang menurut Apindo5 harus turut pula diperhatikan.

6

5 Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia).

Page 6: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

6

3. Tension Gap antara Kajian Normatif dengan Kajian Praksis

Tension Gap bisa dimaknai sebagai selisih atau kesenjangan, sedangkan

kajian normatif di sini adalah aturan hukum, dan kajian praksis adalah realitas.

Seringkali antara keduanya diwarnai oleh perbedaan-perbedaan signifikan. Akan

tetapi, hal itu merupakan suatu kewajaran karena memang tidak selalu harapan

sesuai dengan kenyataan.

Untuk menemukan bukti dan contoh konkret dari tension gap itu dalam

pembahasan terkait THR tidaklah terlalu sulit. Meskipun pemerintah melalui

Kemnakertrans telah mengeluarkan dan menetapkan berbagai regulasi kepada

perusahaan-perusahaan tentang kewajiban pembayaran THR, namun realitasnya

masih banyak pengaduan penyelewengan THR. Pada tahun 2012, Kemnaketrans

sendiri mencatat 19 pengaduan di posko pengaduan THR Kemnakertrans.7 Itu

belum termasuk posko pengaduan THR di daerah-daerah, baik yang dibuka oleh

pemerintah setempat, maupun independen yaitu serikat pekerja atau LSM.

Dalam rangka menyusun kebijaksanaan, orang saling berinteraksi untuk

menggunakan pengaruh, kontrol, atau kekuasaan antara satu sama lain.8 Jadi ada

pula kemungkinan, bahwa peraturan tentang THR yang dibuat tidak lepas dari

pengaruh pihak-pihak tertentu yang memiliki kuasa, meski tanpa legitimasi. Ini

juga yang sering menyebabkan implementasi dari suatu aturan hukum berjalan

terpincang-pincang. Tanpa bermaksud menyudutan pihak tertentu, dalam kajian

tentang posisi istimewa dunia usaha dalam perumusan kebijaksanaan, Lindblom

menyatakan:

“Kadang kala para manager dunia usaha mengancamkan akibat-akibat

yang menakutkan ketika pemerintah tidak mampu memenuhi tuntutan

mereka. Namun biasanya, tidak perlu sejauh itu; para pejabat umumnya

sudah menjadi terbiasa untuk secara diam-diam memberikan perhatian

mereka terhadap kebutuhan dunia usaha.”9

Jika berbicara peraturan-peraturan tentang THR, secara material memang tidak

ada masalah. Namun dalam tataran praksis, jarang sekali yang berakhir dengan

6 Lihat Djumena, THR Belum Dibayarkan, Pemerintah Jangan Hanya Himbau, Http://www. kompas.com //, 2012, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. 7 Lihat Pusat Humas Kemnakertrans, Kemnakertrans: Posko Pengaduan THR Baru Terima 19 Pengaduan, Http://www.kemnakertrans.go.id//, 2012, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. 8 Baca Charles E. Lindblom, Psoses Penetapan Kebijaksanaan, Diterjemahkan oleh Ardian Syamsudin,

Penerbit Erlangga, 1980, hlm. 49. 9 Ibid, hlm. 88.

Page 7: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

7

memuaskan. Misalnya saja, Kasbi10

yang menganggap pekerja hanya menang di

atas kertas, namun realisasinya 0 (nol).11

Kemudian, posko pengaduan THR oleh

Kemnakertrans yang juga dinilai minim follow up.

Sepertinya Peraturan, surat edaran, dan himbauan Kemnakertrans belum

terlalu kuat untuk direalisasikan. Di samping itu mengamati kenyataan yang ada,

keobjektifan dan kenetralan aparatur pemerintahan masih kurang dipegang teguh

demi keadilan sosial. Keadilan sosial yang dimaksud adalah tidak condong pada

salah satu pihak, baik perusahaan maupun pekerja. Berangkat dari hal tersebut,

pengawasan pemerintah terhadap penyelewengan pembayaran THR perlu lebih

ditingkatkan. Lahirnya Perda dan/UU tentang kewajiban pembayaran THR juga

dirasa sudah menjadi hal yang urgen. Begitu juga dengan posko pengaduan THR

yang diharapkan tidak hanya bersifat menampung pengaduan semata. Terakhir,

tentu saja pemerintah harus tetap turut bertanggung jawab terhadap investasi-

investasi padat karya yang bernafaskan ekonomi kerakyatan. Sehingga efeknya,

pure social fair akan dapat terwujud dan kesenjangan antara das sollen dengan

das sein semakin berkurang.

4. Tinjauan Secara Holistik

Holistik secara harfiah berarti menyeluruh. Sehingga, tinjauan holistik

bertujuan, agar pemahaman terhadap persoalan THR berlangsung menyeluruh,

tidak terpisah-pisah. Dalam hal ini, adalah pemahaman yang ditinjau dari sudut

pandang etis dan yuridis. Pemahaman non parsial, akan lebih mudah diterima

dan dimengerti oleh pihak-pihak terkait (pekerja, pengusaha, atau pemerintah)

karena dimensinya yang lebih luas.

THR, sesungguhnya tidak hanya mengandung konsekuensi yuridis, akan

tetapi juga etis. Pasalnya, aturan yuridis yang mendasarinya sangat kental oleh

muatan-muatan etis dan religius. Jadi, sudah selayaknya muncul toleransi sosial

dan moral sebagai tempat bersandar dalam menyikapi persoalan THR. Misalnya,

pekerja yang tidak perlu terlalu naïf harus mematok pembayaran THR sesuai

dengan hitung-hitungan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994

10

Kasbi (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia). 11 Lihat Pribadi Wicaksono, Serikat Buruh Laporkan Perusahaan Tak Bayar THR, Http://www.tempo.co//, 2012, diakses pada tanggal 26 Agustus 2012.

Page 8: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

8

Tahun 1994. Karena pada substansinya, hitung-hitungan THR juga bisa berupa

kesepakatan kolektif antara perusahaan dan pekerja, tidak pula harus dibayarkan

dalam bentuk uang.12

Kemudian, bagi perusahaan yang berkewajiban membayar

THR harus bisa memahami bahwa THR memang merupakan kepentingan yang

sangat urgen menjelang hari raya. Jadi, sudah selayaknya perusahaan berangkat

dari inisiatif moral dapat menjalankan kewajibannya (membayar THR) kepada

pekerja. Terakhir, pemerintah sebagai decision maker juga wajib untuk pro aktif

senantiasa menjadi supervisor dan bertanggung jawab terhadap segala persoalan

yang terkait dengan THR.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, hukum itu dibuat salah

satunya untuk mempertegas etika. Tanpa hukum, etika hanya akan bersifat lintuh

sebatas ajaran moral belaka. Dengan demikian, dibuatlah sebuah aturan hukum.

Jika hal tersebut diresapi dan diimplementasikan, seharusnya tidak akan terjadi

pelanggaran-pelanggaran di dalam pemenuhan THR. Karena pada prinsipnya, isi

aturan yang dibuat sudah sangat ideal. Hanya saja, secara hierarkis (tata urutan)

perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 200413

, kedudukan dasar

hukum THR terbilang kurang kuat karena baru diatur oleh Peraturan Menteri.

Meskipun telah ada UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

mengenai Tenaga Kerja, namun isinya masih belum spesifik mengatur tentang

THR. Sehingga, Peraturan Menteri yang sekarang ada sering dipandang sebelah

mata. Tetapi terlepas dari semua itu, bagaimanapun juga hukum yang berlaku,

meski hanya sebatas Peraturan Menteri tetap harus dilaksanakan.

Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, ada semacam istilah populer,

yaitu a.u.b.p. (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik). Jika mempergunakan

a.u.b.p rumusan panitia de Monchy, dapat ditemukan asas keserasian dan atau

asas keseimbangan. Lantas apa relevansinya dengan tinjauan secara holistik di

sini? Asas keseimbangan tersebut bukan hanya asas keseimbangan biasa, akan

tetapi asas keseimbangan yang mengandung nilai-nilai perikehidupan. Artinya,

keseimbangan yang dimaksud bertalian erat dengan:

12 Diatur dalam pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994. 13 UU No. 10 Tahun 2004, tidak mencantumkan Peraturan Menteri termasuk dalam hierarkis perundang-undangan. Sesuai urutan, dari yang teratas adalah: 1). UUD 1945; 2). Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3). Peraturan Pemerintah; 4). Peraturan Presiden; 5). Peraturan Daerah.

Page 9: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

9

“Keseimbangan antara kepentingan keduniaan dan keakhiratan, antara

kepentingan materiel dan spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga,

antara kepentingan individu dan masyarakat/sosial, antara kepentingan

perikehidupan darat, laut dan udara, serta antara kepentingan nasional

dan internasional.”14

Kata keseimbangan antara “keduniaan” dan “keakhiratan” secara khusus perlu

dicermati. Makna tersirat dari kedua kata tersebut mengisyaratkan adanya suatu

keharusan untuk menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat. Itulah fungsi

dan relevansi tinjauan holistik di sini, yaitu mengedepankan cara pandang yang

menyeluruh dalam menyikapi persoalan THR, baik menggunakan kaca mata etis

maupun yuridis (masing-masing, tidak bisa dipungkiri memiliki kaitan terhadap

nilai-nilai religiusitas dan material/keduniaan). Akhirnya, keseimbangan dalam

arti sesungguhnya dapat lebih mudah tercapai.

C. SIMPULAN

Persoalan THR yang melibatkan beberapa unsur kepentingan terkait, seolah

menjadi peringatan perlunya hukum yang beretika. Hakikatnya, hukum tidak hanya

berorientasi pada pemberian sanksi, tetapi juga mengatur sebagai tata aturan dalam

sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, dalam menyikapi permasalahan

THR semua pihak yang terkait hendaknya bisa menjunjung tinggi kebijaksanaan.

Misalkan, pekerja dan pengusaha yang seharusnya dapat membuang jauh-jauh rasa

egoisme masing-masing. Saat ini, kebutuhan pokok keduanya condong pada tekad

memahami dan menerima satu sama lain, bahwa mereka saling membutuhkan serta

wajib bersolidaritas. Di sisi lain pemerintah selaku pemegang legitimasi masyarakat,

dituntut agar selalu mobile bersama asas akuntabilitas dan keseimbangan mencoba

memahami persoalan THR secara menyeluruh (dari “optik” etis dan yuridis). Tidak

dengan terkotak-kotak atau sengaja dikotak-kotakkan.

Kemudian, berawal dari niat untuk mengurangi kesenjangan mendasar antara

kajian normatif dengan kajian praksis, ada beberapa upaya konkret dan solutif yang

bisa dilakukan. Pertama, monitoring pemerintah terhadap para pelanggar kewajiban

pembayaran THR perlu ditingkatkan. Kedua, lahirnya perda dan/UU yang mengatur

tentang kewajiban pembayaran THR, sehingga landasan hukum THR menjadi lebih

14 Lihat S.F. Marbun, dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, 2004, hlm. 21.

Page 10: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

10

mantap (termasuk sikap evaluative terhadap peraturan yang telah berlaku). Ketiga,

posko pengaduan THR Kemnakertrans harus senantiasa berfungsi dengan baik. Hal

tersebut dibuktikan lewat mekanisme yang transparan, dari mulai proses pengaduan,

advokasi, sampai follow up. Tak lupa juga, control machinery terhadap mekanisme

sendiri sangat dibutuhkan demi meretas keharmonisasian input-process-output.

Tinjauan secara etis dan yuridis memang tidak usah dibenturkan (dalam arti

sebenarnya), keduanya juga tidak substitutif. Demikian, karena realitanya tinjauan

secara etis dan yuridis berdiri sendiri-sendiri. Namun, ketika berbicara pada konteks

persoalan THR serta mengenai cara memahami esensi di dalamnya, keduanya tidak

akan bisa dipisahkan. Tidak pula lagi bersifat parsial, melainkan integral. Mengkaji

persoalan THR secara holistik, dapat merepresentasi aspirasi-aspirasi kritis baik dari

pengusaha maupun pekerja dengan saluran positif. Lebih rinci, manifestasi dari hal

tersebut nantinya mampu mencegah tindakan frontal yang tajam, berbau anarkisme,

dan kesewenang-wenangan. Ambil saja contoh, unjuk rasa pekerja yang seringkali

berakhir ricuh. Kemudian tidak lebih baik, pengusaha yang kerap bertindak otoriter

terhadap nasib para pekerjanya (memecat dan memberi sanksi sesukanya, serta tidak

membayar THR). Sedangkan, pemerintah posisinya mau tidak mau juga harus tetap

ikut ke dalam pusaran arus persoalan THR. Mengapa? Itu relevansi atas konsekuensi

Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) pemerintah sebagai pihak yang “harus” menjaga

netralitas dan objektifitasnya, mulai proses supervisi, responsibility, hingga proses

mediasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.

Yogyakarta: Kanisius.

Poedjawijatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Lindblom, E. Charles. 1980. Psoses Penetapan Kebijaksanaan. Diterjemahkan oleh

Ardian Syamsudin. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Marbun, S.F., dkk. 2004. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara.

Yogyakarta: UII Press.

Page 11: TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS

11

Undang-Undang dan Peraturan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-

undangan.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan

Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.

Internet

Djumena. 2012. THR Belum Dibayarkan, Pemerintah Jangan Hanya Himbau. Http://

www. kompas.com//. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2012.

Pusat Humas Kemnakertrans. 2012. Kemnakertrans: Posko Pengaduan THR Baru

Terima 19 Pengaduan. Http://www.kemnakertrans.go.id//. Diakses pada tanggal

25 Agustus 2012.

Wicaksono, Pribadi. 2012. Serikat Buruh Laporkan Perusahaan Tak Bayar THR. Http:

//www.tempo.co//. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2012.