TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS
Click here to load reader
-
Upload
arie-hendrawan -
Category
News & Politics
-
view
655 -
download
3
description
Transcript of TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS
1
TUNJANGAN HARI RAYA (THR) DARI KACA MATA ETIS DAN YURIDIS
Oleh:
Arie Hendrawan*
Abstrak
Tunjangan Hari Raya (THR) sudah lama menjadi persoalan klasik dan menarik.
Apalagi ketika mendekati hari raya umat beragama. Terutama menjelang Idul Fitri,
sebagai hari raya umat Islam yang notabene dirayakan oleh hampir seluruh rakyat
Indonesia. Tidak terkecuali pekerja, kebutuhan mereka senantiasa mengalami eskalasi
tajam saat mendekati lebaran. Entah itu benar-benar karena tuntutan dan himpitan
konstelasi ekonomi atau justru karena pola hidup yang sedemikian konsumtif. Bagi
para pengusaha, ketetapan Permenaker No. Per-4/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari
Raya Keagamaan, dianggap memunculkan keberatan tersendiri. Sehingga tidak jarang,
timbul berbagai modus perusahaan agar bisa lepas dari kewajiban untuk membayarkan
THR. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan sebagai instrumen (alat) dalam
melihat konteks permasalahan THR di sini. Namun secara general (umum), tinjauan
dari segi etis dan yuridis (hukum) bisa menjadi prioritas. Himbauan Kemnakertrans
menyangkut pemenuhan THR yang sering tidak digubris perusahaan-perusahaan, serta
minimnya sanksi tegas terhadap oknum perusahaan nakal yang tidak membayar THR
membuktikan bahwa THR tidak lagi hanya perlu berada di dalam wilayah etis, tetapi
juga yuridis. Hal tersebut diperkuat terbitnya berbagai landasan yuridis yang mengatur
THR, meskipun belum sampai pada tingkatan UU. Di sudut lain secara etis, sebenarnya
tanpa aturan-aturan hukumpun, perusahaan sudah jelas harus membayar THR kepada
para pekerja akibat konsekuensi afiliasi atas etika. Melalui tulisan ini, penulis mencoba
menganalisis secara integral persoalan THR tanpa bermaksud membenturkan tinjauan
secara etis dengan yuridis. Diharapkan, tulisan ini mampu memberikan row input kuat
berupa pemikiran-pemikiran “segar” bagi pengembangan goverment policy, khususnya
yang terkait dengan jaminan tenaga kerja.
Kata Kunci: Tunjangan Hari Raya (THR), Perusahaan, Pekerja.
*Mahasiswa Jurusan Politik dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.
2
A. PENDAHULUAN
Pertama-tama, kata “klasik” dan “menarik” jika disoroti mungkin terasa agak
aneh untuk menggambarkan suatu persoalan, yaitu persoalan Tunjangan Hari Raya
(THR), namun memang demikianlah realitasnya. Dikatakan klasik, karena persoalan
pembayaran THR seakan menjadi problematika rutin setiap mendekati hari raya,
terutama Idul Fitri. Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah
untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya, secara yuridis lewat dikeluarkannya
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994, Surat Edaran
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.479/MEN/PHI-JSK/IX/2006 Tahun
2006, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.314/MEN/PH
IJSK-PKKAD/VIII/2009 Tahun 2009, serta Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. SE.05/MEN/VII/2012. Sedang secara etis, pemerintah melakukan
himbauan terus-menerus kepada seluruh perusahaan untuk memenuhi kewajibannya
dengan membayar THR pekerja dan membuka posko pengaduan THR. Meskipun
dianggap masih belum berhasil, usaha pemerintah tetap patut diapresiasi.
Selanjutnya, persoalan THR menjadi menarik karena mengandung unsur
dilematisasi. Di satu sisi, para pemilik modal merasa keberatan untuk membayar
THR karena alasan kesulitan keuangan. Terlebih pekerja juga sering menuntut THR
yang dinilai terlalu tinggi bagi perusahaan, meskipun pada akhirnya justru hanya
banyak dimanfaatkan sebagai alat pemuas pola hidup konsumtif mereka. Di sisi lain,
THR merupakan suatu hal yang wajib dibayarkan oleh perusahaan. Dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994, pasal 1 huruf d dan pasal
2 ayat (1) disebutkan, THR adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh
Pengusaha kepada pekerja yang telah bekerja selama 3 bulan atau lebih secara terus-
menerus menjelang Hari Raya Keagamaan yang baik berupa uang atau bentuk lain.
Sebenarnya, bagi perusahaan yang tidak mampu membayar THR, pemerintah telah
memberikan toleransi dengan cara mengajukan permohonan penyimpangan tentang
besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial
dan pengawasan ketenagakerjaan.1 Tetapi untuk perusahaan berskala mikro, tentu
hal tersebut masih menjadi ganjalan karena toleransi yang dimaksud hanya berupa
penyimpangan besaran nominal THR, bukan penghapusan. Sedangkan, pemerintah
1 Lebih lanjut, lihat Pasal 7 ayat (1), Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994.
3
di sini tidak mau turut bertanggung jawab atas kelangsungan usaha mereka. Jadi,
akan terbuka peluang lebar timbulnya stagnansi perkembangan investasi padat karya
atau mikro yang sedang berusaha tumbuh menjadi besar.
Pendekatan dari sudut pandang etis dan yuridis yang menjadi tinjauan dalam
menganalisis persoalan THR, adalah sebuah keniscayaan ketika muncul tuntutan
untuk melihat realisme masalah dengan objektif dan netral. Selain itu, keluwesan
yang dimanifestasikan dengan adanya dua pendekatan (bukan hanya satu) juga dapat
menciptakan komprehensifitas khasanah keilmuan. Melalui pendekatan yuridis, unit
yang menjadi titik tekan yaitu kajian normatif. Sedangkan melalui pendekatan etis,
unit yang menjadi titik tekan bisa sampai pada kajian praksis yaitu perilaku manusia
(people behavioral).
B. PEMBAHASAN
1. Hukum yang Beretika atau Etika yang Berhukum?
Etika, sebagaimana kebanyakan persepsi orang, diletakkan pada tempat
yang lebih tinggi ketimbang hukum. Namun, agaknya hal itu menjadi sedikit
sumir karena tidak semua hukum berlandaskan etika. Hukum justru lekat dengan
kesan rigid (kaku), menindas, dan kejam. Sedangkan etika, ketika diberdirikan
sendiri terlepas dari hukum (aturan yang mengatur) juga tidak akan mempunyai
kekuatan apapun, kecuali hanya sebatas ajaran moral. Seperti yang dinyatakan
Suseno, bahwa etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.2
Jika menganalisis produk hukum THR, yaitu Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994, pasti akan terbersit sebuah argumen
perihal betapa idealnya isi peraturan tersebut. Hingga muncul pertanyaan, lalu
bagaimana implementasinya dalam tataran praksis? Sebelumnya, ada beberapa
indikator yang bisa menjadi alat ukur untuk menilai baik tidaknya content suatu
aturan hukum. Pertama, setidaknya dapat dilihat dari materi isi yang spesifik
(termuat pula hitung-hitungan menentukan besaran THR). Kedua, manfaat yang
diberikan kepada masyarakat luas (terutama bagi para pekerja). Menyoal kasus
penyelewengan pembayaran THR, itu masalah lain karena tidak hanya berkaitan
2 Baca Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, 1987, hlm. 14.
4
dengan ranah instrumental, melainkan juga ranah praksis. Regulasi hukum yang
beretika, jelas diperlukan. Dan rasanya aturan di atas (Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. Per-04/MEN/ 1994 Tahun 1994) telah menjunjung tinggi hal tersebut
karena isi yang sangat kental oleh nilai-nilai sosial, kekeluargaan (pengusaha
dengan pekerja), dan religiusitas. Misalnya saja, dalam pasal 4 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa, “Pembayaran THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum
Hari Raya Keagamaan”.3 Tentu sebenarnya tidak menjadi masalah jika THR
baru dibayarkan 4 sampai 3 hari menjelang hari raya, atau bahkan setelah hari
raya. Namun tidak demikian adanya, karena di dalam ketentuan tersebut secara
implisit terkandung kesadaran etis atau kesadaran moral, yaitu pengetahuan ada
baik dan ada buruk.4
Selanjutnya, apa itu etika yang berhukum? Jawabannya adalah tidak ada,
karena di dalam etika tidak termuat hukum, paksaan, dan sanksi yang tegas. Lain
halnya ketika suatu etika dipertegas menjadi aturan hukum, hal tersebut dapat
dilakukan namun tidak bisa disebut sebagai etika yang berhukum. Melainkan,
hanya disebut sebagai hukum atau aturan hukum. Misalnya muncul suatu usulan
bahwa kesadaran etis perusahaan memberikan THR kepada pekerja hendaknya
dipertegas menjadi aturan hukum. Ketika hal itu telah terealisasi, maka tidak ada
lagi istilah etika (berdiri sendiri), ataupun istilah etika yang berhukum. Kecuali
hukum yang beretika selama hukum tersebut masih mengandung kesadaran etis
(kesadaran moral).
2. Perusahaan-Pekerja Saling Membutuhkan, Pemerintah Pro Aktif
Perusahaan tanpa pekerja, tak ubahnya hanya sebuah bangunan kosong
tanpa aktivitas, tanpa keuntungan. Sedangkan pekerja tanpa ada perusahaan, tak
lebih hanya sekumpulan pengangguran, karena tidak berupah dan tahu apa yang
dikerjakan. Itulah gambaran sederhana tentang relasi antara perusahaan dengan
pekerja. Tidak seperti yang dikemukakan oleh Karl Marx dalam classs theory,
hubungan pengusaha (pemilik perusahaan) dengan pekerja di sini amat berbeda
3 Lebih lanjut, lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994. 4 Baca Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, PT. Rineka Cipta, 2003, hlm. 27.
5
apabila dikomparasikan terhadap hubungan antara kaum borjuis dengan ploretar
di era Marx dulu. Sekarang, semestinya tidak perlu lagi timbul kobaran-kobaran
konflik antar keduanya jika menilik tidak bisa dinafikkannya hukum alam yang
berlaku, yaitu perusahaan dan pekerja saling membutuhkan.
Kembali ke masalah substansi, pada tahun 2012, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE.05/MEN/VII/2012
tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan Imbauan Mudik
Lebaran Bersama. Lebih lanjut lagi, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga
sudah meminta para buruh untuk segera melapor ke posko pengaduan THR jika
merasa belum mendapatkan THR sesuai dengan ketentuan hukum. Namun yang
terjadi sekarang, ternyata di atas keidealan Peraturan Menteri tentang THR plus
berbagai Surat Edaran Menteri tentang THR dari tahun ke tahun tersebut masih
dapat ditemukan celah hukum (ideal doesn’t mean perfect). Contoh kecil, tidak
adanya sanksi tegas bagi perusahaan yang otoriter memecat pekerja sebelum hari
raya, serta larangan outsourching.
Namun demikian, jika dilihat menggunakan sisi kenetralan, sanksi yang
tegas kepada perusahaan-perusahaan secara tidak langsung juga akan berdampak
buruk bagi pekerja sendiri. Apalagi jika perusahaan yang bersangkutan adalah
perusahaan berskala mikro-menengah, sangat rawan terhadap kebangkrutan dan
PHK. Kalau sudah begitu, siapa yang mampu menjamin nasib pekerjaan dari
pekerja? Pada akhirnya, semua justru menjadi serba salah. Kembali lagi, karena
antara perusahaan dan pekerja saling membutuhkan. Tetapi dalam hal ini negara
seharusya bisa lebih berperan aktif bersama-sama perusahaan dan pekerja, saling
bersinergis membangun hubungan yang haromonis. Sesuai dengan UU No. 28
Tahun 1999, maupun yang terbaru UU No. 9 Tahun 2004, pemerintah yang baik
adalah pemerintah yang melaksanakan asas akuntabilitas. Jadi, tidaklah keliru
seandainya tanggung jawab pemerintah terhadap nasib pekerja yang dipecat oleh
perusahaan tempatnya bekerja karena kolaps akibat sanksi patut dipertanyakan.
Begitu juga dengan tanggung jawab pemerintah terhadap kelangsungan usaha
berskala mikro yang menurut Apindo5 harus turut pula diperhatikan.
6
5 Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia).
6
3. Tension Gap antara Kajian Normatif dengan Kajian Praksis
Tension Gap bisa dimaknai sebagai selisih atau kesenjangan, sedangkan
kajian normatif di sini adalah aturan hukum, dan kajian praksis adalah realitas.
Seringkali antara keduanya diwarnai oleh perbedaan-perbedaan signifikan. Akan
tetapi, hal itu merupakan suatu kewajaran karena memang tidak selalu harapan
sesuai dengan kenyataan.
Untuk menemukan bukti dan contoh konkret dari tension gap itu dalam
pembahasan terkait THR tidaklah terlalu sulit. Meskipun pemerintah melalui
Kemnakertrans telah mengeluarkan dan menetapkan berbagai regulasi kepada
perusahaan-perusahaan tentang kewajiban pembayaran THR, namun realitasnya
masih banyak pengaduan penyelewengan THR. Pada tahun 2012, Kemnaketrans
sendiri mencatat 19 pengaduan di posko pengaduan THR Kemnakertrans.7 Itu
belum termasuk posko pengaduan THR di daerah-daerah, baik yang dibuka oleh
pemerintah setempat, maupun independen yaitu serikat pekerja atau LSM.
Dalam rangka menyusun kebijaksanaan, orang saling berinteraksi untuk
menggunakan pengaruh, kontrol, atau kekuasaan antara satu sama lain.8 Jadi ada
pula kemungkinan, bahwa peraturan tentang THR yang dibuat tidak lepas dari
pengaruh pihak-pihak tertentu yang memiliki kuasa, meski tanpa legitimasi. Ini
juga yang sering menyebabkan implementasi dari suatu aturan hukum berjalan
terpincang-pincang. Tanpa bermaksud menyudutan pihak tertentu, dalam kajian
tentang posisi istimewa dunia usaha dalam perumusan kebijaksanaan, Lindblom
menyatakan:
“Kadang kala para manager dunia usaha mengancamkan akibat-akibat
yang menakutkan ketika pemerintah tidak mampu memenuhi tuntutan
mereka. Namun biasanya, tidak perlu sejauh itu; para pejabat umumnya
sudah menjadi terbiasa untuk secara diam-diam memberikan perhatian
mereka terhadap kebutuhan dunia usaha.”9
Jika berbicara peraturan-peraturan tentang THR, secara material memang tidak
ada masalah. Namun dalam tataran praksis, jarang sekali yang berakhir dengan
6 Lihat Djumena, THR Belum Dibayarkan, Pemerintah Jangan Hanya Himbau, Http://www. kompas.com //, 2012, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. 7 Lihat Pusat Humas Kemnakertrans, Kemnakertrans: Posko Pengaduan THR Baru Terima 19 Pengaduan, Http://www.kemnakertrans.go.id//, 2012, diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. 8 Baca Charles E. Lindblom, Psoses Penetapan Kebijaksanaan, Diterjemahkan oleh Ardian Syamsudin,
Penerbit Erlangga, 1980, hlm. 49. 9 Ibid, hlm. 88.
7
memuaskan. Misalnya saja, Kasbi10
yang menganggap pekerja hanya menang di
atas kertas, namun realisasinya 0 (nol).11
Kemudian, posko pengaduan THR oleh
Kemnakertrans yang juga dinilai minim follow up.
Sepertinya Peraturan, surat edaran, dan himbauan Kemnakertrans belum
terlalu kuat untuk direalisasikan. Di samping itu mengamati kenyataan yang ada,
keobjektifan dan kenetralan aparatur pemerintahan masih kurang dipegang teguh
demi keadilan sosial. Keadilan sosial yang dimaksud adalah tidak condong pada
salah satu pihak, baik perusahaan maupun pekerja. Berangkat dari hal tersebut,
pengawasan pemerintah terhadap penyelewengan pembayaran THR perlu lebih
ditingkatkan. Lahirnya Perda dan/UU tentang kewajiban pembayaran THR juga
dirasa sudah menjadi hal yang urgen. Begitu juga dengan posko pengaduan THR
yang diharapkan tidak hanya bersifat menampung pengaduan semata. Terakhir,
tentu saja pemerintah harus tetap turut bertanggung jawab terhadap investasi-
investasi padat karya yang bernafaskan ekonomi kerakyatan. Sehingga efeknya,
pure social fair akan dapat terwujud dan kesenjangan antara das sollen dengan
das sein semakin berkurang.
4. Tinjauan Secara Holistik
Holistik secara harfiah berarti menyeluruh. Sehingga, tinjauan holistik
bertujuan, agar pemahaman terhadap persoalan THR berlangsung menyeluruh,
tidak terpisah-pisah. Dalam hal ini, adalah pemahaman yang ditinjau dari sudut
pandang etis dan yuridis. Pemahaman non parsial, akan lebih mudah diterima
dan dimengerti oleh pihak-pihak terkait (pekerja, pengusaha, atau pemerintah)
karena dimensinya yang lebih luas.
THR, sesungguhnya tidak hanya mengandung konsekuensi yuridis, akan
tetapi juga etis. Pasalnya, aturan yuridis yang mendasarinya sangat kental oleh
muatan-muatan etis dan religius. Jadi, sudah selayaknya muncul toleransi sosial
dan moral sebagai tempat bersandar dalam menyikapi persoalan THR. Misalnya,
pekerja yang tidak perlu terlalu naïf harus mematok pembayaran THR sesuai
dengan hitung-hitungan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994
10
Kasbi (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia). 11 Lihat Pribadi Wicaksono, Serikat Buruh Laporkan Perusahaan Tak Bayar THR, Http://www.tempo.co//, 2012, diakses pada tanggal 26 Agustus 2012.
8
Tahun 1994. Karena pada substansinya, hitung-hitungan THR juga bisa berupa
kesepakatan kolektif antara perusahaan dan pekerja, tidak pula harus dibayarkan
dalam bentuk uang.12
Kemudian, bagi perusahaan yang berkewajiban membayar
THR harus bisa memahami bahwa THR memang merupakan kepentingan yang
sangat urgen menjelang hari raya. Jadi, sudah selayaknya perusahaan berangkat
dari inisiatif moral dapat menjalankan kewajibannya (membayar THR) kepada
pekerja. Terakhir, pemerintah sebagai decision maker juga wajib untuk pro aktif
senantiasa menjadi supervisor dan bertanggung jawab terhadap segala persoalan
yang terkait dengan THR.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di atas, hukum itu dibuat salah
satunya untuk mempertegas etika. Tanpa hukum, etika hanya akan bersifat lintuh
sebatas ajaran moral belaka. Dengan demikian, dibuatlah sebuah aturan hukum.
Jika hal tersebut diresapi dan diimplementasikan, seharusnya tidak akan terjadi
pelanggaran-pelanggaran di dalam pemenuhan THR. Karena pada prinsipnya, isi
aturan yang dibuat sudah sangat ideal. Hanya saja, secara hierarkis (tata urutan)
perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 200413
, kedudukan dasar
hukum THR terbilang kurang kuat karena baru diatur oleh Peraturan Menteri.
Meskipun telah ada UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
mengenai Tenaga Kerja, namun isinya masih belum spesifik mengatur tentang
THR. Sehingga, Peraturan Menteri yang sekarang ada sering dipandang sebelah
mata. Tetapi terlepas dari semua itu, bagaimanapun juga hukum yang berlaku,
meski hanya sebatas Peraturan Menteri tetap harus dilaksanakan.
Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, ada semacam istilah populer,
yaitu a.u.b.p. (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik). Jika mempergunakan
a.u.b.p rumusan panitia de Monchy, dapat ditemukan asas keserasian dan atau
asas keseimbangan. Lantas apa relevansinya dengan tinjauan secara holistik di
sini? Asas keseimbangan tersebut bukan hanya asas keseimbangan biasa, akan
tetapi asas keseimbangan yang mengandung nilai-nilai perikehidupan. Artinya,
keseimbangan yang dimaksud bertalian erat dengan:
12 Diatur dalam pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994. 13 UU No. 10 Tahun 2004, tidak mencantumkan Peraturan Menteri termasuk dalam hierarkis perundang-undangan. Sesuai urutan, dari yang teratas adalah: 1). UUD 1945; 2). Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3). Peraturan Pemerintah; 4). Peraturan Presiden; 5). Peraturan Daerah.
9
“Keseimbangan antara kepentingan keduniaan dan keakhiratan, antara
kepentingan materiel dan spiritual, antara kepentingan jiwa dan raga,
antara kepentingan individu dan masyarakat/sosial, antara kepentingan
perikehidupan darat, laut dan udara, serta antara kepentingan nasional
dan internasional.”14
Kata keseimbangan antara “keduniaan” dan “keakhiratan” secara khusus perlu
dicermati. Makna tersirat dari kedua kata tersebut mengisyaratkan adanya suatu
keharusan untuk menyeimbangkan kepentingan dunia dan akhirat. Itulah fungsi
dan relevansi tinjauan holistik di sini, yaitu mengedepankan cara pandang yang
menyeluruh dalam menyikapi persoalan THR, baik menggunakan kaca mata etis
maupun yuridis (masing-masing, tidak bisa dipungkiri memiliki kaitan terhadap
nilai-nilai religiusitas dan material/keduniaan). Akhirnya, keseimbangan dalam
arti sesungguhnya dapat lebih mudah tercapai.
C. SIMPULAN
Persoalan THR yang melibatkan beberapa unsur kepentingan terkait, seolah
menjadi peringatan perlunya hukum yang beretika. Hakikatnya, hukum tidak hanya
berorientasi pada pemberian sanksi, tetapi juga mengatur sebagai tata aturan dalam
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, dalam menyikapi permasalahan
THR semua pihak yang terkait hendaknya bisa menjunjung tinggi kebijaksanaan.
Misalkan, pekerja dan pengusaha yang seharusnya dapat membuang jauh-jauh rasa
egoisme masing-masing. Saat ini, kebutuhan pokok keduanya condong pada tekad
memahami dan menerima satu sama lain, bahwa mereka saling membutuhkan serta
wajib bersolidaritas. Di sisi lain pemerintah selaku pemegang legitimasi masyarakat,
dituntut agar selalu mobile bersama asas akuntabilitas dan keseimbangan mencoba
memahami persoalan THR secara menyeluruh (dari “optik” etis dan yuridis). Tidak
dengan terkotak-kotak atau sengaja dikotak-kotakkan.
Kemudian, berawal dari niat untuk mengurangi kesenjangan mendasar antara
kajian normatif dengan kajian praksis, ada beberapa upaya konkret dan solutif yang
bisa dilakukan. Pertama, monitoring pemerintah terhadap para pelanggar kewajiban
pembayaran THR perlu ditingkatkan. Kedua, lahirnya perda dan/UU yang mengatur
tentang kewajiban pembayaran THR, sehingga landasan hukum THR menjadi lebih
14 Lihat S.F. Marbun, dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, 2004, hlm. 21.
10
mantap (termasuk sikap evaluative terhadap peraturan yang telah berlaku). Ketiga,
posko pengaduan THR Kemnakertrans harus senantiasa berfungsi dengan baik. Hal
tersebut dibuktikan lewat mekanisme yang transparan, dari mulai proses pengaduan,
advokasi, sampai follow up. Tak lupa juga, control machinery terhadap mekanisme
sendiri sangat dibutuhkan demi meretas keharmonisasian input-process-output.
Tinjauan secara etis dan yuridis memang tidak usah dibenturkan (dalam arti
sebenarnya), keduanya juga tidak substitutif. Demikian, karena realitanya tinjauan
secara etis dan yuridis berdiri sendiri-sendiri. Namun, ketika berbicara pada konteks
persoalan THR serta mengenai cara memahami esensi di dalamnya, keduanya tidak
akan bisa dipisahkan. Tidak pula lagi bersifat parsial, melainkan integral. Mengkaji
persoalan THR secara holistik, dapat merepresentasi aspirasi-aspirasi kritis baik dari
pengusaha maupun pekerja dengan saluran positif. Lebih rinci, manifestasi dari hal
tersebut nantinya mampu mencegah tindakan frontal yang tajam, berbau anarkisme,
dan kesewenang-wenangan. Ambil saja contoh, unjuk rasa pekerja yang seringkali
berakhir ricuh. Kemudian tidak lebih baik, pengusaha yang kerap bertindak otoriter
terhadap nasib para pekerjanya (memecat dan memberi sanksi sesukanya, serta tidak
membayar THR). Sedangkan, pemerintah posisinya mau tidak mau juga harus tetap
ikut ke dalam pusaran arus persoalan THR. Mengapa? Itu relevansi atas konsekuensi
Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) pemerintah sebagai pihak yang “harus” menjaga
netralitas dan objektifitasnya, mulai proses supervisi, responsibility, hingga proses
mediasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Kanisius.
Poedjawijatna. 2003. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Lindblom, E. Charles. 1980. Psoses Penetapan Kebijaksanaan. Diterjemahkan oleh
Ardian Syamsudin. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Marbun, S.F., dkk. 2004. Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: UII Press.
11
Undang-Undang dan Peraturan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-
undangan.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan
Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.
Internet
Djumena. 2012. THR Belum Dibayarkan, Pemerintah Jangan Hanya Himbau. Http://
www. kompas.com//. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2012.
Pusat Humas Kemnakertrans. 2012. Kemnakertrans: Posko Pengaduan THR Baru
Terima 19 Pengaduan. Http://www.kemnakertrans.go.id//. Diakses pada tanggal
25 Agustus 2012.
Wicaksono, Pribadi. 2012. Serikat Buruh Laporkan Perusahaan Tak Bayar THR. Http:
//www.tempo.co//. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2012.