tugu pahlawan

68
tugu pahlawan saksi perjuangan arek - arek suroboyo Selasa, 03 Maret 2009 surabaya Surabaya adalah kota kedua terbesar setelah Jakarta tempat buat berlibur atau belanja, meskipun kota Surabaya terkenal sangat panas tetapi kota Surabaya sangat berkembang seiring kemajuan zaman. Tempat2 penghijauan di tengah kota sangatlah tertata dengan rapi, banyak yang membalikkan image negatif masyarakat menjadi positif dalam tempat bermain dan bersantai bersama keluarga, hal ini bertujuan untuk memanjakan masyarakat surabaya agar dapat memanfaatkan tempat2 berlibur di sekitar Surabaya. kya - kya

Transcript of tugu pahlawan

Page 1: tugu pahlawan

tugu pahlawan

saksi perjuangan arek - arek suroboyo

Selasa, 03 Maret 2009

surabaya

Surabaya adalah kota kedua terbesar setelah Jakarta tempat buat berlibur atau belanja, meskipun kota Surabaya terkenal sangat panas tetapi kota Surabaya sangat berkembang seiring kemajuan zaman. Tempat2 penghijauan di tengah kota sangatlah tertata dengan rapi, banyak yang membalikkan image negatif masyarakat menjadi positif dalam tempat bermain dan bersantai bersama keluarga, hal ini bertujuan untuk memanjakan masyarakat surabaya agar dapat memanfaatkan tempat2 berlibur di sekitar Surabaya.

kya - kya

Page 2: tugu pahlawan

pusat jajanan surabaya

surabayatempat wisata disurabaya adalah hilirnya angin yang sepoi - sepoi di Pantai Kenjeran dan berwisata air menaiki perahu dapat kita jumpai di bantaran sungai Kalimas, mengunjungi kebun binatang, taman hiburan, bermain golf, dll

Pada malam hari kita dapat menikmati kehidupan malam di restoran, pub, karaoke dll.

Wisata yang bernilai sejarah yang sangat tinggi antara lain bangunan kuno peninggafan Belanda seperti gedung Internatio, Cedung Grahadi, Hotel Mojopahit, Ealai Pemuda. Balai Kota, dll. Untuk mengerahui neroisme perjuangan merebut kemerdekaan ada Museum Tugu Pahlawan dan Monumen Kapal Selam.peninggalan purbakala dapat dilihat di Museum Mpu Tantular. Di pusat kota juga ada peninggalan patung raja kerajaan masa lalu Singosari yaitu Joko Dolok.

Obyek wlsata yang bernilai rellgius terutama adalah kawasan Masjid Ampel. Di kawasan ini berdiri masjid kuno yang dikelilingi oleh bangunan China, Arab, bahkan Eropa dengan kebudayaan yang telah membaur dengan balk.

Benda seni dan souvenir dapat dibeli di Art Shop, air port dan Gedung Balai Pemuda. Gedung ini juga merupakan pusat kegiacan seni dan budaya di Surabaya.

surabaya

Page 3: tugu pahlawan

suro n boyo

Arsitektur di Hindia Belanda : Buah Tangan Arsitek Netherland Menelusuri jejak sejarah Bangsa Indonesia tidak terlepas dari dominasi Belanda yang sangat kental mewarnai sejarah kehidupan Bangsa Indonesia. Dari sisi arsitektur di Indonesia, Belanda sangat banyak memberi kontribusi dalam pembangunan Hindia Belanda masa itu. Menjadi sumbangan pengetahuan di bidang Arsitektur.

Gaya arsitektur exterior dan interior Belanda saat itu didominasi gaya imperial (The Dutch Colonial Style), diadopsi dari gaya arsitektur yang berkembang di Eropa pada abad itu. Kemudian diawal abad 19 gaya Eropa modern dan mengabungkan tradisional Indonesia (Indische) yang sesuai dengan iklim tropis Indonesia 

Dari penelusuran saya mengenai arsitek Belanda dan hasil karya mereka di Indonesia, saya mencoba berbagi tentang tokoh-tokoh Arsitektur Belanda dan karya-karya mereka yang sebagian masih berdiri kokoh dibeberapa Kota besar di Indonesia yang mewarnai Arsitektur di Indonesia.

Hendrick Petrus Berlage seorang Arsitektur ternama Belanda menulis “…………. Bandung de staad van Wolff Schoemaker en Aalbers is, Batavia van Hulswit, Fermont en Ed. Cuypers, Semarang van Karsten dan is Surabaya de staad van C . Citroen”.dalam bukunya "Mijn Indische Reis" (Perjalanan Saya ke Hindia Belanda) yang melakukan perjalan ke Hindia Belanda pada tahun 1923 dan menerbitkan buku ini pada tahun 1931. Kota Bandung secara arsitektur adalah milik Wolff Schoemaker dan Aalbers, Batavia adalah milik Hulswit, Fermont dan Ed. Cuypers, Semarang milik Karsten dan Surabaya adalah kota milik C. Citroen. Dari tulisan Hendrik ini dapat kita telusuri karya mereka di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta (Batavia pada saat itu), Semarang dan Surabaya.

Wolff Schoemaker

Page 4: tugu pahlawan

Sociteit Concordia

Gedung MerdekaProf. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker adalah salah satu arsitek ternama berkebangsaan Belanda lahir Banyubiru, Semarang, 1882  dan wafat Bandung, pada tahun 1949, banyak karya-karya arsitektur beliau yang berdiri megah dibandung diantaranya Villa Isola, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, Peneropongan Bintang Bosscha, Bioskop Majestic, Landmark Building, Gedung Jaarbeurs, Penjara Sukamiskin, Gereja Bethel, Katedral St. Petrus, Mesjid Raya Cipaganti.Selain itu Wolff Schoemaker juga menjadi Dosen di Technische Hogeschool Bandoeng sekarang Institute Tekhnologi Bandung dan

Page 5: tugu pahlawan

diangkat menjadi Professor dan salah satu murid beliau adalah Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia pertama.

 Hulswit, Fermont dan Ed. Cuypers

Haantjes Kerk (Gereja Ayam)NA Hulswit adalah arsitek kenamaan Belanda, dan waktu itu beliau bergabung di biro arsitek Cuypers en Hulswit di Batavia dan salah satu karya mereka yang terkenal adalah Haantjes Kerk (Gereja Ayam) semula bernama Gereja Besar dibangun tahun 1856. Namun karena dianggap tidak layak untuk digunakan akhirnya pada tahun 1914 bangunan gereja lama dibongkar karena sudah rusak dan dianggap tidak aman lagi untuk digunakan. Bangunan gereja yang baru (Nieuwe Kerk) diresmikan pada tahun 1915. 

Karsten

Page 6: tugu pahlawan

Pasar JoharHerman Thomas Karsten, arsitek kelahiran Amsterdam 22 April 1884 ini adalah putra dari pembantu Rektor di Universitas Amsterdam dan berteman baik dengan Soekarno karena meraka mempunyai profesi yang sama dibidang arsitektur. Dibeberapa kota besar di Indonesia beliau memiliki karya arsitektur, namun di daerah Semarang dan Solo lah karya Karsten yang paling populer. Kepopuleran karya Karsten dikarenakan oleh gaya desain Jawa ( Indisch) yang beliau terapkan dalam setiap perencanaan sebuah projek, dan beliau juga mengkritik para arsitektur Belanda saat itu, dimana mereka menaruh Eropa di Jawa, dan Karsten lah yang dengan tegas mengatakan Jawa adalah Jawa, dan bukan Belanda. Satu karya beliau yang paling menonjol di Semarang adalah Pasar Johar.

 C. Citroen

Balai Kota Surabaya Arsitek kelahiran Amsterdam (1881-1935) menetap disurabaya antara th. 1915-1935. Karya-karyanya begitu dominan di Surabaya, sehingga bisa dipakai barometer bagi perkembangan arsitektur

Page 7: tugu pahlawan

kolonial di Surabaya antara tahun 1915-1940. Gaya desain dari Citroen sangat dipengaruhi dengan gaya modern yang berkembang di Eropa di awal abad 20 yang disebut dengan “Nieuwe Bouwen”. adapun karya nya yang paling terkenal di Surabaya adalah Balai Kota Surabaya. 

Amsterdam RAIKreatifitas desain bukan hanya terbukti di Hindia Belanda. Kini para arsitek Negara Kincir Angin ini banyak menghasilkan  desain-desain arsitektur berskala Internasional yang didesain oleh arsitek Belanda sendiri. Amsterdam RAI adalah salah satu desain modern yang minimalis, sebuah gedung pameran dan convention center yang sudah direncanakan dari tahun 1961 dan gedung exibisi ini menjadi Gedung Exibis terbesar di Eropa. Dan penghargaan Best International Venue pada Exhibition News Awards ke-6 yang diadakan di London 29 Maret 2012 adalah sangat wajar, desain venue ini sangat spektakuler sehingga mata arsitek dunia pun tertuju ke Amsterdam RAI dan karya ini menjadi sejarah manis bagi Belanda di bidang perancangan arsitektur. 

STUDI PERBANDINGAN KARYA 3 ORANG ARSITEK BELANDA KELAHIRAN JAWA DI INDONESIA oleh: Handinoto Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen Petra [email protected]

Taman Kota sebagai landmark kawasan

Menurut Jon Lang dalam bukunya berjudul Urban Design, Taman kota (Park) termasuk ke dalam produk dari arsitektur lanskap dan merupakan bagian dari desain urban. Tertulis, kualitas desain

Page 8: tugu pahlawan

lanskap sebuah ruang terbuka sendiri menjadi sangat krusial dalam membentuk kualitas dan karakteristik suatu kota. Sebut saja Paris dengan boulevard-nya yang khas dan Singapura dengan riverfront-nya (Lang, 2006). Dari contoh-contoh tersebut juga dapat ditelusuri bagaimana kedua kota tersebut dapat sedemikian maju. Ternyata keberadaan ruang-ruang terbuka yang terdesain dengan benar mampu mempengaruhi pola hidup masyarakat setempat sehingga memiliki perilaku yang positif. Masyarakat dapat bersosialisasi dan melakukan aktivitas dengan nyaman.

Sama hal-nya dengan kasus kota Surabaya. Pengembalian fungsi lahan menjadi area terbuka hijau berupa taman kota terus dilakukan, perawatan taman dilakukan secara intensif. Alhasil, kalau kita berjalan-jalan ke Surabaya saat ini, kita dapat menyaksikan berbagai taman dengan pohon yang rindang dan bunga berwarna-warni. Pulau-pulau jalan dan sudut-sudut kota tidak ada yang dibiarkan gersang, lampu-lampu taman ikut menyemarakkan suasana malam kota Surabaya.

Dari sudut pandang arsitektur kota sendiri, taman-taman kota ini berhasil kembali pada fungsinya sebagai elemen pembentuk kota. Taman kota yang ada didesain dengan menonjolkan karakteristik kawasan setempat seperti nilai historis, budaya, sehingga kawasan tersebut ikut terangkat dan “hidup” kembali. Sebagai contoh, Taman Bungkul dengan urban legend makam mbah Bungkul yang menjadi parameter kawasan Darmo boulevard, Taman Monkasel yang menjadi pusat aktifitas muda-mudi di kawasan kalimas Surabaya plaza dengan Monumen Kapal Selam bekas perang kemerdekaan dan monumen Surabaya yang menjadi landmark kawasan tersebut, Taman Dolog/Pelangi dengan sculpture dan permainan lampunya yang menggugah imajinasi orang yang lewat pada nodes kawasan jalan Ahmad Yani

Offline Posts: 15

Re: PROFILE KOTA SURABAYA « Reply #2 on: May 13, 2008, 02:07:25 PM »

Bangunan Bersejarah

Hotel Oranjeadalah hotel besar yang paling lama di Indonesia. Didirikan oleh pedagang Lucas Martin Sarkies dari Armenia. Hotel ini direncanakan oleh arsitek inggris James Afprey dalam arsitektur Art Nouveau mulai dibangun pada tahun 1910. Sebelumnya keluarga Sarkies sudah mendirikan beberapa hotel yang mewah dan termasyhur di Asia, conto Hotel Niagara di Lawang, Hotel Eastern and Oriental di Penang (Malaysia), Hotel Strand in Rangoon (Burma) dan Hotel Raffles di Singapura.

Hotel dibuka pada tahun 1911 dengan nama “Hotel Oranje”. Pada tahun 1931 di depan pintu masuk lama sebagian ruang masuk yang baru dibangun dalam gaya Art Deco oleh arsitek Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker (1882-1949). Dengan tambahan ini, hotelnya menjadi salah satu hotel paling indah dan keren di dunia.

Page 9: tugu pahlawan

Pada masa pendudukan jepang hotel ganti nama menjadi Yamato Hoteru dan berfungsi sebagai penjara. Pada tanggal 19 september 1945 disini terjadi “Insiden Bendera”. Ekstremis kolonial belanda menaikkan bendera merah-putih-biru di menara hotel ini. Milis nasionalis Indonesia menaiki menara nya dan menyobek bagian biru dari bendera Belanda yang berubah menjadi bendera Indonesia.

Nama Hotel Oranje digunakan sampai tahun 1950an. Waktu itu hotelnya dinasionalisasikan dan nama diganti menjadi Hotel Majapahit. Disebabkan manajemen jelek hotel ini pelan-pelan menjadi akomodasi bekas-bekas. Tahun 1996 grup mandarin Oriental membeli gedungnya dan mulai restorasi intensif. Hotelnya mendapat kembali keadaan lama dan menjadi hotel yang paling keren di Surabaya lagi dengan bintang 5.

Hotel Oranye tahun 1910-an

Hotel Oranye tahun 1920-an

Page 10: tugu pahlawan

Hotel Oranye tahun 1940-an

(bersambung)

Logged

rider_zecter

Tomodachi Keong: 0 Offline Posts: 4489

Page 11: tugu pahlawan

Ore wa kokoni iru

Re: PROFILE KOTA SURABAYA « Reply #3 on: May 13, 2008, 06:49:31 PM »

wah bagus nih, bisa membuat warga kolam ini mencintai kotanya 

Logged

err1z

Cabin Crew Keong: 0 Offline Posts: 15

Re: PROFILE KOTA SURABAYA « Reply #4 on: May 14, 2008, 10:33:26 AM »

Hotel Sarkies tahun 1910Jl. Embong Malang

Page 12: tugu pahlawan

Hotel Embong Malang tahun 1877

Page 13: tugu pahlawan

Jl. Embong Malang No. 31

Logged

err1z

Cabin Crew Keong: 0 Offline Posts: 15

Page 14: tugu pahlawan

Re: PROFILE KOTA SURABAYA « Reply #5 on: May 14, 2008, 10:41:09 AM »

Gedung Grahadi SurabayaJl. Pemuda Surabaya

Page 15: tugu pahlawan

Latar Belakang Sejarah : Kata Grahadi yang berasal dari bahasa Sansekerta yang mempunyai arti Rumah yang bagus, didirikan tahun 1795 oleh penguasa VOC ( Perserikatan Dagang Hindia Belanda). Awalnya bangunan ini hanyalah merupakan rumah taman (tuinhuis) seorang bangsawan Belanda (Dirk Van Hogendorp) yang menghadap ke arah sungai Mas, kemudian berubah menjadi rumah residen(residentswoning).

Deskripsi Bangunan : Bangunan induk seluas 2.416 m2, bangunan pendukung 4.125,75 m2 dibangun dengan gaya arsitektur Perancis dengan arsitek Deandels. Gaya the Empire Style dengan gaya pilar Yunani(Doric)Keterangan : Fungsi gedung ini sejak Gubernur Samadikoen(1949-1957) hingga saat ini disamping sebagai tempat kerja juga digunakan sebagai gedung Negara

Page 16: tugu pahlawan

tempat menerima dan menjamu tamu-tamu negara yang datang berkunjung ke Jawa Timur(Surabaya)

Logged

andritz

Senior Sailor Keong: 0 Offline Posts: 20462

Re: PROFILE KOTA SURABAYA « Reply #6 on: May 14, 2008, 01:06:24 PM »

Quote from: err1z on May 14, 2008, 10:33:26 AMHotel Sarkies tahun 1910Jl. Embong Malang

Page 17: tugu pahlawan

Hotel Embong Malang tahun 1877

Page 18: tugu pahlawan

Jl. Embong Malang No. 31

dua-duanya sudah gak ada lagi

Logged

err1z

Cabin Crew Keong: 0 Offline Posts: 15

Page 19: tugu pahlawan

Re: PROFILE KOTA SURABAYA « Reply #7 on: May 14, 2008, 02:12:12 PM »

Balai Kota (Kotamadya)Surabaya sebagai Resort Gemeonte (Haminte) secar resmi mulai berdiri pada tanggal 1 April 1906, sebelum-nya Surabaya merupakan bagian dari karesidenan Pemerintah Haminte dijalankan oleh Dewan Haminte yang diketuai oleh asisten residen sebagai Kepala Daerah.

Tahun 1916 diangkat Walikota Surabaya pertama, A. Meyroos yang bertugas sampai 1921, setelah Walikota yang kedua oleh G.J. DIJKERMAN rencana membangun gedung Balai Kota diwujudkan.

Gedung utama Balai Kota di Taman Surya, ketabang itu selesai dibangun pada tahun 1923 dan ditempati tahun1927. Arsiteknya ialah C. Citroen dan pelaksanaannya H.V. Hollandshe Beton Mij. biaya seluruhnya, termasuk perlengkapan lainnya menghabiskan 1000 gulden. Ukuran gedung utama : panjang 102 m dan lebar 19 m, konstruksinya terdiri dari tiang-tiang pancang beton bertulang yang ditanam, sedangkan dinding-dindingnya diisi dengan bata dan semen, atapnya trbuat dari rangka besi dan ditutup dengna sirap tetapi kemudian diganti dengan genteng. Setelah Republik Indonesia diproklamirkan, dilantik Radjamin Nasution sebagai Walikota Kota Besar Surabaya, berdasarkan Penpres 1959 No. 16 maka ditetapkan Walikota juga menjadi Kepala Daerah. Tahun 1965 Kotapraja Surabaya resmi menjadi Kotamadya.

Page 20: tugu pahlawan

Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1915-1940)). Sebuah pernyataan wajar, mengingat begitu banyaknya karya arsitektur G.C Citroen yang tersebar dan mewarnai Kota Surabaya. Balai kota Surabaya adalah salah satu karya masterpiece-nya.Namun tahukah Anda bahwa Balai kota Surabaya ini mempunyai sejarah perancangan dan pembangunan yang memakan waktu cukup lama? Kompleks bangunan yang bisa kita nikmati saat ini sebenarnya merupakan bagian belakang dari keseluruhan desain yang sudah direncanakan G.C Citroen.

Handinoto mencatat bahwa rancangan pertama gedung Balai kota Surabaya diajukan Citroen tahun 1915-1916, mengingat sejak menjadi Gemeente (1 April 1906), Surabaya belum memiliki gedung pemerintahan sendiri. Lokasi awal yang dipilih adalah stadstuin (di depan Tugu Pahlawan). Rancangan ini tidak terwujud karena terkendala biaya dan masalah-masalah lainnya. Tahun 1920, rancangan Balai kota Surabaya mengalami perubahan karena terjadi pemindahan lokasi ke daerah Ketabang (lokasi Balai kota sekarang). Barulah di tahun 1925 sebagian rancangan Balaikota Surabaya selesai dibangun dan apa yang kita lihat sekarang sebenarnya adalah rancangan yang tidak terselesaikan. Citroen merancang Balai kota dalam satu kompleks yang terdiri dari 4 massa bangunan. Keempat massa bangunan tersebut dirancang untuk mengelilingi sebuah taman pada bagian tengahnya. Karena terhambat faktor biaya, akhirnya hanya massa bagian belakang saja yang terbangun (massa bagian belakang inilah yang sampai sekarang masih bisa dilihat dan dinikmati). Berdirinya Balai kota Surabaya ini sekaligus menandai perpindahan aktivitas pemerintahan kota di luar tembok atau wilayah Kota Atas (Bovenstad) setelah sebelumnya berada di wilayah Kota Bawah (Benedenstad) – sekitar Jl Rajawali, Ampel dan Jl. Kembang Jepun. Balai kota ini pernah pula menjadi tempat penyambutan Ratu Juliana dan Pangeran Bernhardfeesten di bulan Januari 1937 ketika berkunjung ke Surabaya. Di sisi lain gedung Balai kota yang selalu difungsikan sebagai pusat pemerintahan, (pada masa penjajahan

Page 21: tugu pahlawan

Belanda benama Burgemeester’s Kantoor , pada zaman penjajahan Jepang menjadi kantor Shi-Co dan saat ini menjadi Balai kota Surabaya) merupakan saksi bisu sejarah perjuangan anggota Dewan Kota (R. Ng. Soebroto, Ashabul Djojopranoto , Ramamin Nasution Gelar Sutan Kemala Pontas dan Cak Doel Arnowo) dalam memperjuangkan nasib bangsanya.

G.C Citroen dan Pengalaman ArsitekturalnyaDalam mendesain Balai kota Surabaya, G.C Citroen selaku arsitek menerapkan sebuah pendekatan rancangan yang selaras terhadap iklim tropis. Latar belakang bekerja selama 13 tahun di Biro Arsitek B.J. Quendag di Amsterdam dan membantu Prof. Klinkhamer serta B.J. Qüendag dalam merancang gedung “ Nederlandsch Indische Spoorweg Mij” (sekarang dikenal dengan Gedung Lawang Sewu di Semarang) banyak memberinya pengalaman arsitektural. Solusi desain untuk memecahkan masalah pencahayaan dan penghawaan alami melalui “double gavel” (seperti atap susun), gallery (selasar yang mengelilingi) bangunan serta orientasi bangunan yang sebagian sisinya tidak menghadap arah barat-timur adalah apa yang dia peroleh dari proses membantu desain Gedung Lawang Sewu tersebut. Prinsip dasar bangunan yang peka terhadap iklim tropis tersebut dia terapkan dalam perancangan Gedung Balai kota Surabaya.

Balai kota Surabaya yang berbentuk memanjang yang merupakan respond dari desain yang peka terhadap lingkungan tropis. Massa bangunan ini sebenarnya adalah bagian belakang dari keseluruhan desain yang sudah dirancang Citroen. 3 massa bangunan lainnya belum sempat terbangun karena kendala biaya (foto koleksi FRO)

Arsitektur yang Selaras dengan Iklim TropisBegitu melihat bangunan Balai kota, yang pertama kali tertangkap adalah bentuknya yang memanjang. Ternyata Citroen memang merancangnya dengan pemikiran yang matang. Bentuk denah memanjang yang membujur ke arah timur-barat (orientasi bangunan menghadap utara selatan) memiliki tujuan untuk meminimalisir bagian dinding yang terkena panas matahari. Hal ini berpengaruh pada pengurangan panas di dalam ruangan gedung. Selain itu arah hadap utara-selatan juga bermanfaat untuk memaksimalkan terjadinya sirkulasi udara silang (cross ventilation). Permasalahan sistem penghawaan dan pencahayaan alami dalam ruang dipecahkan dengan bentuk atap yang “seakan” terkesan bertumpuk (double gevel) dengan lubang ventilasi di antara kedua celah atap. Lubang inilah yang menjadi jalan masuknya cahaya dan udara ke dalam ruangan.

Rupanya pemecahan desain yang selaras dengan iklim tropis tidak hanya berhenti sampai di situ. Kita bisa berkeliling gedung ini secara nyaman dengan menyusuri selasar (façade gallery)nya dan menikmati keindahan detail ornament baik berupa detail ornament pada kolom, penataan pola lantai, kusen kayu jati maupun detail-detail unik lain. Desain selasar (façade gallery) adalah salah satu bentuk desain yang tanggap dengan kondisi setempat. Keberadaannya yang mengelilingi bangunan berfungsi

Page 22: tugu pahlawan

untuk mengurangi tampias air hujan, mengingat curah hujan di Indonesia yang demikian tinggi serta sinar matahari yang langsung mengenai permukaan dinding. Kondisi inipun memberi keuntungan lain yaitu membuat kusen bangunan yang mayoritas terbuat dari kayu jati menjadi lebih tahan lama dan berumur panjang.

Salah satu detail ornament eksterior Balai kota Surabaya. Perhatikan di antara ornament itu tampak kisi-kisi untuk ventilasi

Total Work of ArtTotalitas G.C Citroen dalam merancang Balai kota bukan hanya bagaimana membuat karya arsitekturnya mampu selaras dengan iklim tropis namun sebuah karya arsitektur yang direncanakan dan dirancang secara menyeluruh , mulai dari façade (tampilan bangunan), interior hingga detail perabotnya. Rentang waktu desain yang panjang (1915-1925) banyak memberi keuntungan pada sang arsitek, hingga dia bisa mencurahkan seluruh kreasi dan daya imajinasinya.

Tahun 1920-an merupakan masa pemantapan kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda untuk menancapkan pengaruhnya baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial di Hindia Belanda (Indonesia). Kondisi tersebut memberi pengaruh pula dalam bidang arsitektur. Perkembangan bidang pelayaran (kapal api) pada awal abad ke 20 berdampak pada waktu tempuh Eropa dan Batavia menjadi lebih singkat. Perjalanan dari Eropa melalui pelabuhan Genoa ke Batavia hanya memerlukan waktu 3 minggu. Situasi ini membuat sumber-sumber referensi arsitektur seperti majalah yang mengulas perkembangan arsitektur modern “De Architect”(1890-1918), “Architectura” ( 1893-1915, 1921-1926) maupun majalah arsitektur modern Belanda seperti “Wendingen” (1918-1931) – yang beraliran Amsterdam School dan “De Stijl” ( 1917-1932) – yang beraliran De Stijl, bisa dibaca oleh para arsitek di Hindia Belanda pada waktu itu. Mengingat lebih dari 90% arsitek yang berpraktek di Hindia Belanda adalah orang Belanda, maka dalam perkembangannya aliran-aliran tersebut banyak berpadu dengan arsitektur vernacular Belanda maupun arsitektur lokal setempat . Dalam situasi perkembangan dunia arsitektur modern awal abad ke-20 inilah gedung Balai kota Surabaya dirancang.Sebagai seorang arsitek berkebangsaan Belanda, G.C Citroen tidak melupakan akar arsitektur vernacular Belanda-nya. Pengaruh tersebut terasa ketika melewati area masuk, kita akan menemukan 2 buah tower (menara) kembar di sisi kiri dan kanan. Keberadaan 2 buah tower ini banyak ditemui pada desain arsitektur di Belanda pada masa itu. Sementara pengaruh arsitektur modern terlihat pada bagian

Page 23: tugu pahlawan

façade-nya banyak mempergunakan ornament-ornament geometris sederhana dalam posisi vertikal, pemakaian ornament dalam posisi vertikal ini untuk memberi proporsi yang lebih seimbang pada bangunan, mengingat bentuk bangunan yang memanjang secara horizontal.

Memasuki bagian lobby, kita akan disuguhi sebuah rancangan yang benar-benar memperhatikan detail.  Pengaruh aliran Amsterdam School begitu terasa. Aliran ini melihat bahwa sebuah bangunan (karya arsitektur) sebagai Total Work of Art dimana desain interiorpun harus mendapat perhatian yang sama dengan eksterior dan menjadikannya sebagai gagasan dan rancangan arsitektur yang terpadu serta merupakan satu kesatuan utuh. Hasilnyapun sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau produk mekanis.

Bangunan bersejarah bukan sekedar benda mati, diam dan hanya dibiarkan teronggok berdebu. Tak jarang mereka adalah saksi bisu perjalanan sejarah sebuah bangsa. Sebuah catatan yang harus dibuka, diurai untuk memberinya benang merah. Menjadikannya pelajaran untuk generasi berikut.

“Surabaya kembali memboyong piala adipura 2011” tertulis besar sebagai headline salah satu surat kabar nasional. Perasaan bangga muncul dari diri saya sebagai warga Surabaya.  Piala adipura ini merupakan yang ke-enam berturut-turut selama 6 tahun untuk kategori kota metropolitan terbersih di Indonesia.

Mungkin ada sebagian dari kita bertanya, seperti apa kota Surabaya sekarang ini sehingga berbagai penghargaan diperoleh oleh kota terbesar ke-dua di Indonesia ini, termasuk penghargaan “ASEAN Environment Sustainable City” oleh PBB.

Sungguh menarik apabila kita menilik dari awal perkembangan kota Surabaya dari sisi ilmu arsitektur kota. Surabaya termasuk tipikal kota pelabuhan dan perdagangan penting yang ramai di jaman penjajahan yang kemudian berkembang menjadi kota metropolitan terbesar setelah Jakarta. Sama dengan kota-kota besar lainnya, Surabaya juga dihadapkan dengan problem yang sama, salah satunya adalah problem perkembangan arsitektur kota diakibatkan tingkat urbanisasi yang tinggi. Pembangunan kota seperti tidak menyisakan ruang-ruang hijau bagi masyarakat untuk bernafas, ruas-ruas jalan menjadi sama dan karakteristik kota hilang. Hal ini disadari oleh sebagian oknum yang peduli,

Page 24: tugu pahlawan

sehingga muncul gagasan untuk merubah kota Surabaya menjadi lebih baik, dan semua itu berawal dari penghijauan taman kota.

Menurut Kevin Lynch, elemen pembentuk kota dapat dikategorikan 5, yaitu paths, edges, districts, nodes, dan landmarks. Taman kota dapat dimasukkan dalam Edges, Nodes, dan Landmarks

The Image of the city

Pulau-pulau jalan sebagai edges

Page 25: tugu pahlawan

Taman Kota sebagai Nodes pertemuan antara beberapa ruas jalan

Page 26: tugu pahlawan

Taman Kota sebagai landmark kawasan

Menurut Jon Lang dalam bukunya berjudul Urban Design, Taman kota (Park) termasuk ke dalam produk dari arsitektur lanskap dan merupakan bagian dari desain urban. Tertulis, kualitas desain lanskap sebuah ruang terbuka sendiri menjadi sangat krusial dalam membentuk kualitas dan karakteristik suatu kota. Sebut saja Paris dengan boulevard-nya yang khas dan Singapura dengan riverfront-nya (Lang, 2006). Dari contoh-contoh tersebut juga dapat ditelusuri bagaimana kedua kota tersebut dapat sedemikian maju. Ternyata keberadaan ruang-ruang terbuka yang terdesain dengan benar mampu mempengaruhi pola hidup masyarakat setempat sehingga memiliki perilaku yang positif. Masyarakat dapat bersosialisasi dan melakukan aktivitas dengan nyaman.

Sama hal-nya dengan kasus kota Surabaya. Pengembalian fungsi lahan menjadi area terbuka hijau berupa taman kota terus dilakukan, perawatan taman dilakukan secara intensif. Alhasil, kalau kita berjalan-jalan ke Surabaya saat ini, kita dapat menyaksikan berbagai taman dengan pohon yang rindang dan bunga berwarna-warni. Pulau-pulau jalan dan sudut-sudut kota tidak ada yang dibiarkan gersang, lampu-lampu taman ikut menyemarakkan suasana malam kota Surabaya.

Page 27: tugu pahlawan

Dari sudut pandang arsitektur kota sendiri, taman-taman kota ini berhasil kembali pada fungsinya sebagai elemen pembentuk kota. Taman kota yang ada didesain dengan menonjolkan karakteristik kawasan setempat seperti nilai historis, budaya, sehingga kawasan tersebut ikut terangkat dan “hidup” kembali. Sebagai contoh, Taman Bungkul dengan urban legend makam mbah Bungkul yang menjadi parameter kawasan Darmo boulevard, Taman Monkasel yang menjadi pusat aktifitas muda-mudi di kawasan kalimas Surabaya plaza dengan Monumen Kapal Selam bekas perang kemerdekaan dan monumen Surabaya yang menjadi landmark kawasan tersebut, Taman Dolog/Pelangi dengan sculpture dan permainan lampunya yang menggugah imajinasi orang yang lewat pada nodes kawasan jalan Ahmad Yani

sumber: www.surabaya.go.id

Page 29: tugu pahlawan

Sungguh bermanfaat apa yang dilakukan oleh kota Surabaya. Wajah kota semakin hijau dan cantik, udara semakin bersih, serta masyarakatnya semakin sehat dan positif. Ada baiknya apabila kota-kota besar lainnya mengikuti pencapaian kota Surabaya dalam menata kotanya.

ATAR BELAKANG

Kota merupakan produk budaya yang sangat beragam satu dengan yang lainnya, karena jaringan pembentuknyapun sangat beragam. Menurut Mumford (1968), kota sangat spesifik terhadap budaya, tidak ada dua kota pun yang sama persis, meskipun memiliki latar belakang budaya yang serupa. Meskipun tiap kota sangat spesifik, tetapi Lynch percaya bahwa ada kesepakatan publik mengenai elemen-elemen yang dikenal pada suatu kota (Lynch 1960).

Secara historis, pusat perdagangan Surabaya sudah ditata untuk memiliki penanda atau ikon sebagai identitas kawasan (Dick 2002). Surabaya hingga kini diyakini memiliki ikon-ikon lingkungan yang juga memberikan karakter kuat terhadap perjuangan masyarakat Surabaya. Diantaranya adalah Tugu Pahlawan, Patung Suro-Boyo, Hotel Majapahit dan Gedung Balaikota. Kota Surabaya telah berumur lebih dari 700 tahun, dan tentunya telah memberikan makna dan arti tertentu bagi warga maupun pendatangnya. Kekuatan ekonomi Surabaya, yang didukung dengan lengkapnya segala fasilitas perdagangan, pendidikan, perkantoran dan juga perumahan, semakin lama semakin berkembang. Fasilitas tersebut memberikan penanda atau ikon bagi kota Surabaya seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota mengarah ke kota modern.

Paper ini ditulis berdasarkan penelitian dengan fokus pertanyaan penelitian: apakah ikon-ikon kota ini masih dikenali oleh generasi muda saat ini? Apakah ikon-ikon tersebut masih memberikan makna bagi pengamat kota, khususnya generasi muda? Pertanyaan ini akan memberikan refleksi terhadap perencanaan kota dan juga strategi pengembangan kota agar tetap menjaga identitas yang semestinya ada dan senantiasa dilestarikan.

Menurut Lynch di bukunya A Theory of Good City Form (1981), menyatakan bahwa komponen dari city-senses yang berkaitan erat dengan form/ bentuk (arsitektur) adalah sense of place dan sense of formal structure. City senses ini adalah salah satu dari dimensi yang harus dipenuhi suat kota untuk menjadi kota ideal. Sense of place adalah segala sesuatu yang kasat mata dan memiliki makna, karena berkaitan erat dengan budaya. Hal ini dapat menghadirkan atau mengembalikan memori dan perasaan tertentu terhadap sesuatu yang kasat mata di area perkotaan. Sedangkan sense of formal structure berkaitan erat dengan kemampuan seseorang terhadap orientasi di dalam setting kota (mental map). Lynch sendiri berpendapat melalui bukunya Image of The City (1960) dan A Theory of Good City Form (1981) bahwa pengenalan terhadap elemen fisik yang kasat mata (legible) berpengaruh kuat kepada pengenalan identitas kota. Untuk itu, penelitian ini dibatasi kepada pengenalan landmark dan struktur kota Surabaya.

 

 

Page 30: tugu pahlawan

 

 

TEORI IMAGEABLE CITY

Teori Imageable City oleh Kevin Lynch pada prinsipnya adalah pengembangan hasil penelitian yang berasal dari keilmuan psikologi lingkungan. Pada tahun 1950 Kevin Lynch mencoba memformulasikan persepsi lingkungan khususnya terhadap kota melalui penelitiannya. Temuan Lynch dari penelitian ini dianggap paling signifikan dalam ilmu persepsi lingkungan (arsitektur dan perkotaan) karena teknik/ metode yang dipakai melalui mental map yang dianggap paling mampu mengkaitkan antara ide abstrak (persepsi) dan ide nyata melalui pemahaman struktur kota (master-plan). Penelitian Lynch ini difokuskan pada orientasi manusia di skala lingkungan yang relatif luas dengan mengenali simbol dalam lingkungan yang familiar (Von Meiss 1986). Penelitian Lynch dilaksanakan dalam waktu hampir sepuluh tahun di tiga kota Amerika, yaitu: Boston, Los Angeles dan Jersey, tahun 1950 sampai 1960. Simbol atau image atau elemen lingkungan kota ini diperlukan sebagai arahan dalam bergerak dan untuk menemukan arah (way finding), disamping itu juga dapat memberikan keamanan secara emosi. Menurut Gibson (1950) kemampuan ini merupakan kebutuhan mendasar dari semua makhluk hidup didalam lingkungannya.

”Our thesis is that we are now able to develop our image of the environment by operation on the external physical shape as well as by an internal leraning process, indeed, the complexity of our environment now compels us”

(Lynch, 1960, hal.12)

Menurut Lynch, dalam menandai lingkungannya, faktor kekuatan visual (imageability/ apparency) menjadi sangat dominan. Semakin kuat faktor visual, semakin kuat pula elemen tersebut diingat/ dipahami oleh si-pengamat. Karena secara prinsip ada tiga hal dari elemen kota yang akan diingat oleh pengamat, yaitu: elemen yang memberikan indentitas, elemen yang mengarah kepada pola kota, dan elemen yang memberikan makna (baik kepada individu maupun secara sosial). Untuk itu, Lynch hanya akan fokus kepada elemen kota visual yang memberikan makna bagi si-pengamat.

Menurut Lynch di buku A Theory of Good City Form (1981), ada beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan dalam menghadirkan kota yang ideal, yang disebut sebagai dimensi (dimensions). Dimensi tersebut yaitu: vitality, senses, fit, access, control, efficiency dan justice. Di dalam senses sendiri, mencakup tiga hal, yaitu: sense of place, sense of event/ occasion, dan sense of formal structure. Di dalam buku ini, Lynch menyatakan bahwa tidak hanya melalui kekuatan visual saja kota dianggap sebagai kota ideal, tetapi dari banyak faktor lain yang mempengaruhi, diantaranya kemampuan kota memenuhi kebutuhan dasar penghuni, ketersediaan fasilitas penghuni untuk beraktifitas dan juga rasa terhadap ruang-ruang kota yang bermakna. Sense of place sendiri adalah segala sesuatu yang kasat mata dan memiliki makna, karena berkaitan erat dengan budaya. Sedangkan sense of formal structure berkaitan erat dengan kemampuan seseorang terhadap orientasi di dalam setting kota (mental map), selain itu dipengaruhi oleh kegiatan sehari-hari dan budaya seseorang.

Jika dikaitkan dengan teori ’Imageable City’,  kualitas visual pada suatu kota terletak pada kekuatan sense of place dan sense of formal structure yang dihadirkan oleh elemen-elemen kota tersebut. Kualitas visual ini yang dikatakan Lynch mampu menjadikan suatu kota tersebut ideal dan nyaman untuk ditinggali. Elemen-elemen kota yang memiliki kualitas visual yang baik, pasti mampu menghadirkan sense of place dan sense of formal structure yang baik pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa kota tersebut memiliki kualitas visual yang baik. Menurut Lynch (1960), ada lima elemen kota mendasar yang mampu memberikan kualitas visual bagi kota. Elemen yang diteliti Lynch adalah: path, edges, nodes, landmark dan distrik. Elemen-elemen inilah yang dianggap sebagai lima elemen utama yang paling kasat mata dan terasa di kawasan kota. Semakin kuat kelima elemen ini, semakin kuat kualitas visual kotanya, yang berarti semakin baik kotanya memberikan kualitas imageable terhadap pengamat.

 GAYA HIDUP DAN PERSEPSI KOTA

Page 31: tugu pahlawan

 Kehidupan kontemporer saat ini banyak dipengaruhi teknologi dan globalisasi. Efek dari globalisasi diantaranya: mobilitas besar-besaran (hyper-mobility), komunikasi global, dan  proses penetralan terhadap arti ruang dan jarak (Sassen 2001), adalah faktor-faktor penting yang mempengaruhi ikon-ikon kota. Seiring dengan perubahan inilah, persepsi terhadap kota juga berubah. Pada jaman ini manusia lebih cenderung untuk menyukai sesuatu yang praktis dan cepat, begitupula hal-hal yang menyangkut kesehariannya, termasuk dalam berperilaku. Menurut Talcot Parsons, terdapat empat hirarki dalam manusia berbudaya yaitu: sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku. Lifestyle atau gaya hidup adalah suatu perilaku yang diulang-ulang dalam kurun waktu tertentu menjadi suatu kebiasaan. Karena gaya hidup sangat berkaitan dengan keputusan dalam kegiatan keseharian dan budaya seseorang, maka pembahasan pengaruh gaya hidup dimulai pada karakter budaya dan gaya hidup dari responden.

Seperti yang dijelaskan di Metode Penelitian, responden adalah mahasiswa Arsitektur semester 7, usia antara 20-22 tahun, sebagian besar berasal dari kehidupan ekonomi keluarga menengah keatas, dan berkendara dengan mobil dalam mobilitasnya. Anak muda dengan karakter ini kegiatan kesehariannya pasti berkaitan erat dengan sekolah dan hiburan atau rekreasi. Seperti yang dapat dilihat di mental map, semua pengamat menyebutkan kampusnya sebagai landmark utama kota karena yang setiap hari mereka kunjungi, meskipun landmark tertinggi adalah Tunjungan Plaza (TP).

SURABAYA mental map 2011

Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan TP menjadi landmark utama. Selain faktor eksternal (kekuatan visual: kontras), juga faktor internal (seperti kelengkapan dan kemodernan fasilitas). Karena faktor internal inilah, anak muda dengan karakter seperti diatas memilih untuk melakukan kegiatan rekreasinya di tempat ini. Berdasarkan diskusi mendalam, ada yang menyatakan karena tidak adanya fasilitas lain selengkap TP, tidak ada yang semodern TP dan tidak ada yang semudah TP pencapaiannya. Tetapi terlebih daripada itu, budaya ’ngemall’ sudah menjadi gaya hidup anak muda dengan karakter tersebut. Setiap mereka memiliki waktu luang, mereka akan lebih memilih untuk ’ngemall’ baik bersama keluarga maupun teman-teman. Mall sudah menjadi tempat wajib untuk bersosialisasi. Selain itu, hampir seluruh responden meyakini bahwa budaya ’ngemall’ ini bukan dari generasi mereka saja, tetapi sudah terbentuk dari kecil, karena orang tua mereka selalu memberikan pilihan untuk ke mall sebagai tempat rekreasi (sangat sedikit yang mengatakan diajak ke pantai Kenjeran, museum Mpu Tantular atau KBS).

LANDMARK Surabaya berdasarkan mental map

Menjadi menarik di temuan penelitian bahwa KBS adalah landmark tertinggi kedua setelah TP. Setelah dilakukan diskusi mendalam, hanya sekitar satu hingga dua kali dalam hidup responden mengunjungi KBS. Dapat disimpulkan disini, KBS menjadi penanda lebih karena faktor lokasi yang strategis sehingga mudah diingat untuk menjadi penanda lingkungan. Hal ini juga sama dengan Tugu Pahlawan, Balai Pemuda dan Balaikota.

PATH Surabaya berdasarkan mental map

Berdasarkan pemahaman citra kota yang telah diteliti, pengamat kota Surabaya mempersepsikan struktur kota sebagai sesuatu yang linier sejalan dengan path utama yaitu aksis A.Yani-Darmo-Basuki Rahmad. Pemahaman referensial pengamat pada aksis utama ini juga sejalan dengan pengenalan banyaknya landmark kota yang dianggap kuat disepanjang aksis ini. Pertumbuhan kotapun selalu sejalan dengan generator perkotaan yang ada disepanjang jalan ini, dimana hampir seluruh kegiatan pengamat tergantung dengan keberadaan aksis tersebut. Dari analisis urban ekonomi, dapat dibuktikan juga, semakin kuat aksis tersebut berarti semakin tinggi pula nilai dan intensitas lahan disekitarnya (Balchin 2000).

Begitu pula persepsi yang diperoleh dari penelitian, mayoritas pengamat merasakan dengan cukup kuat kualitas spasial dan facade dari aksis ini, juga kualitas tujuan (destination) menuju kearah pusat kota. Kualitas ini diperoleh dari perubahan kepadatan, ketinggian dan fungsi bangunan yang melingkupinya, yaitu menjadi semakin padat, tinggi dan bersifat komersial. Karakter refensial ini menurut Lynch (1960) yang membuat path/ jalan menjadi elemen kota yang paling mudah untuk dikenali dan diingat,

Page 32: tugu pahlawan

karena kekuatan struktur formalnya. Persepsi yang tercipta di kawasan sebelah selatan Kantor Walikota juga melemah, bahkan tidak dikenali sama sekali kecuali beberapa landmark dikawasan tersebut (THR, ITC, JMP dll). Demikian pula halnya dengan sisi timur dan barat jalur utama, hanya sedikit sekali yang memiliki persepsi kuat untuk berorientasi. Banyak hal yang menyebabkan hal ini, yang terutama adalah karena kecenderungan manusia untuk lebih mengenali sesuatu yang berkaitan erat dengan struktur-formal lingkungan. Dapat dilihat di peta mental, pengenalan path disepanjang jalur utama cukup dominan dan pengenalan terhadap landmark juga cukup detail.

 KESIMPULAN

 Persepsi kota Surabaya yang telah teridentifikasi dan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Persepsi kota dipengaruhi erat oleh perilaku seseorang, dimana perilaku adalah runtutan dari sistem budaya.

2. Landmark kota Surabaya yang memiliki kekuatan referensial terkuat adalah: Tunjungan Plaza, Kebun Binatang Surabaya dan Pakuwon Trade Centre.

3. Path kota Surabaya yang memiliki kekuatan referensial terkuat adalah: A.Yani, Raya Darmo dan Basuki Rahmad.

4. Kekuatan referensial landmark kota tergantung dari beberapa karakter diantaranya: kekontrasan dengan lingkungan, keunikan arsitektur, aksesibilitas lokasi, kekuatan internal fasilitas, dan arah path/ jalan.

5. Kekuatan referensial path kota tergantung dari beberapa karakter diantaranya: menerus (continuous), tujuan yang terdefinisi (langsung terlihat atau bertahap), pemanfaatan lahan disekitar, karakter spasial, dan karakter façade.

Penelitian yang menjadi dasar paper ini adalah penelitian awal yang selanjutnya perlu dikembangkan lagi, seperti memperluas responden, baik dalam usia, strata sosial dan ekonomi. Karena faktor-faktor ini cenderung memiliki pengaruh kuat dalam pengamat mempersepsikan kota. Penemuan dari penelitian ini merupakan awalan bagi temuan-temuan selanjutnya, untuk dapat merumuskan citra kota Surabaya pada jaman ini.

Desain Arsitektur Surabaya Tempo Dulu

Sebagai arsitek yang berdomisili di Surabaya, saya memiliki beberapa gambar desain Arsitek Surabaya pada masa lalu & terwujud kedalam beberapa bangunan Arsitektur Surabaya tempo dulu. Buat anda yang senang melihat bangunan masa lalu & mencari gambar arsitektur Surabaya tempo dulu, silahkan melihat keindahan Desain Arsitektur Surabaya tempo dulu yang ada di posting adi arsitek ini. Bangunan arsitektur surabaya masa lalu terlihat cantik karena foto diambil pada masanya. Hasil fotonya masih hitam putih, sehingga sosok bangunan (siluet bangunan), bentuk bangunan dan detail bangunan terlihat dengan Jelas.

Page 34: tugu pahlawan

Arsitektur tempo Dulu -kantor gubernuran jalan pahlawan - Surabaya

Desain Arsitek pada bangunan arsitektur tempo dulu ini masih dipengaruhi oleh pendudukan Belanda di masa itu. Arsitektur Eropa masih kental terasa walaupun sudah didesain ulang disesuaikan dengan iklim Surabaya. Bentuk bangunan beragam yang dipengaruhi oleh bentukan bangunan orang Belanda di Surabaya. Bentukkan bangunan yang dominan adalah arsitektur semi klasik eropa. Kecenderungan bangunan klasik terlihat dari Proporsi bangunan, komposisi bangunan dan detail bangunan.

Bentuk arsitektur lain yang muncul pada masa itu adalah bentuk arsitektur art deco sebagai perwujudan bangunan moderen, dengan garis desain lurus dan bentukkan yang simple, bangunan tanpa detail ornamen seperti bangunan klasik. Seperti yang terlihat di bangunan kantor gubernur Jatim di jalan pahlawan Surabaya.  Bentuk bangunan terlihat model arsitektur art deco kental sekali.

Bentuk Arsitektur yang lain yang ada adalah adanya pengaruh budaya cina (budaya tionghoa). Bangunannya yang ada adalah model bangunan klenteng dengan bentuk arsitektur cina yang khas. Dan juga memiliki detail bangunan cina yang khas. Dan juga bentuk bangunan cina memiliki bentuk atap yang khas berupa atap pelana yang melengkung ke atas.

Model atap yang berbeda-beda namun ada sedikit persamaan bentuk atap. Bentuk atap umumnya atap perisai dengan kemiringan atap bangunan yang tajam, sudut bangunan di atas 45 derajat. Sehingga facade bangunan terlihat menjulang namun masih terlihat propori karena dinding bangunan yang tinggi, plafond umumnya dibuat tinggi. Tinggi plafond umumnya lebih dari 5 meter. Struktur atap menggunakan struktur rangka atap kayu, karena pada banyaknya stok kayu di Indonesia.

Page 36: tugu pahlawan

Arsitektur tempo Dulu -Kawasan gedung Grahadi - Surabaya

Arsitektur tempo Dulu -Gedung N.V. SIMPANGSCHE APOTHEEK - Surabaya

Dinding bangunan umumnya tebal. Dinding bangunan tebal juga memiliki fungsi struktur bangunan, sebagai sturktur dinding pemikul maklum pada masa itu masih belum ada struktur beton bertulang. Dinding juga disesuaikan dengan iklim surabaya sehingga interior bangunan terasa sejuk dan nyaman.

Pada saat ini bangunan Arsitektur ini ada sebagian yang sudah berubah fungsi dan ada beberapa bangunan yang telah dibongkar. Jika pihak yang berwenang tidak melestarikan bangunan Surabaya Tempo dulu ini maka sangat disayangkan Surabaya kehilangan banyak cagar budaya berupa Arsitektur bngunan.

Buat saya sebagai Arsitek Surabaya, arsitektur tempo dulu ini akan memberikan kenangan masa lalu yang indah. Kita dapat melihat fungsi bangunan masa lalu itu. Foto arsitektur bangunan dapat dilihat bagaimana kegiatan masa lalu, sistem transportasi yang digunakan. Dari foto Arsitektur Surabaya masa lalu ini dapat kita lihat bagaimana budaya yang melatarbelakangi desain Arsitektur itu sendiri dan budaya tempat berdirinya bangunan arsitektur itu berada.

Harapan saya dapatkah saya sebagai arsitek muda Surabaya dapat mengambil

Page 37: tugu pahlawan

pelajaran desain masa lalu yang diterapkan pada arsitektur nusantara. Desain arsitektur surabaya tempo dulu yang dapat diterapkan pada bangunan masa kini. Desain arsitektur hasil karya saya, semoga memberikan warna bagi perkembangan arsitektur Surabaya.

Arsitektur tempo Dulu  - Hotel Oranje_mojopahit

arsitektur tempo dulu _surabaya_Jalan Gemblongan

Page 52: tugu pahlawan

WARISAN BUDAYA 3 ETNIS

Surabaya menyimpan banyak sejarah, termasuk keberadaan bangunan yang terpengaruh arsitektur Belanda, Tiongkok dan Arab. Tidak heran bila kota ini memenangkan penghargaan “Most Attractive Neighbourhood ”.

Surabaya memang tidak mempunyai banyak obyek wisata seperti Bali. Namun, kota terbesar kedua di Indonesia ini memiliki wisata budaya yang unik dan jarang ditemui di kota-kota lain. Warisan dari tiga budaya asing, Arab, Tiongkok dan Belanda.

Bila hendak mengenal budaya Arab, Anda bisa melancong ke Surabaya bagian utara. Tepatnya, di kawasan Ampel. Nama ini tentu tidak asing bagi penganut agama Islam atau bagi mereka yang pernah mempelajari kisah raja-raja di daratan Jawa. Ampel nama daerah yang menjadi tempat penyiaran agama Islam oleh Raden Rahmat, salah satu Wali Songo. Ia lalu mendapat julukan Sunan Ampel, sesuai dengan lokasi tempat ia menyiarkan agama Islam.

Makam Sunan Ampel

Di kawasan Ampel ini terdapat masjid besar yang juga menyandang nama Ampel. Masjid Ampel buka selama 24 jam dan selalu ramai dikunjungi pengunjung, baik yang hendak menunaikan ibadah sholat, hendak berziarah ke makam Sunan Ampel dan keluarga, maupun yang ingin belajar bahasa Arab.

Menuju masjid ini, pengunjung harus melewati lorong panjang. Lorong ini dipenuhi stan-stan yang menawarkan produk-produk seperti tasbih, mukena, peci, sajadah, abaya, kerudung. Adapula yang menawarkan aneka parfum, beragam minyak, kurma dan kue-kue khas Arab. Tempat ini pas sekali dikunjungi bila Anda ingin mencicipi kuliner Arab, termasuk nasi kebuli yang gurih.

Beralih dari budaya Arab, di berbagai sudut kota Surabaya masih tersimpan warisan budaya Tiongkok. Klenteng Kong Co Kok Tin Cun Ong, misalnya. Klenteng yang terletak di Jalan Dukuh ini tidak pernah sepi dari pengunjung, terutama warga keturunan Tionghoa. Klenteng ini merupakan tempat beribadah penganut Buddha, dengan pengaruh Konfusian dan Taoisme.

Beralih dari klenteng, ada pula masjid yang mayoritas pengurus dan jamaahnya berasal dari etnis Tionghoa. Tempat ibadah yang didirikan tahun 2003 itu bernama Masjid Muhammad Cheng Hoo. Pengaruh budaya Tiongkok ini terlihat pada arsitektur dan pemilihan warna merah hijau yang

Page 53: tugu pahlawan

mendominasi bangunan. Di sebelah kanan bangunan terdapat relief dan patung perahu yang melukiskan perjalanan Cheng Hoo di tanah air untuk syiar agama Islam.

Selain sebagai tempat ibadah, Masjid Muhammad Cheng Hoo beberapa kali digunakan untuk menggelar prosesi pernikahan. Suatu kali bahkan ada pernikahan yang semuanya menggunakan budaya leluhur mereka, termasuk pengunaan bahasa mandarin.

Di dekat Jembatan Merah atau kawasan Kembang Jepun, terdapat Pecinan atau China Town. Bila malam hari kawasan ini diubah menjadi pusat jajanan bernuansa Tiongkok. Lampion-lampion merah akan menyambut pengunjung di pintu gerbang naga diiringi alunan lagu-lagu mandarin. Pusat kuliner ini populer dengan nama Kya Kya Kembang Jepun. Pada tahun 2005-2006 tempat ini menjadi salah satu favorit bagi warga yang ingin menyantap makan malam bernuansa oriental. Sayangnya, popularitas pusat kuliner ini tidak tahan lama, kalah bersaing dengan pusat kuliner baru yang memang banyak ditemui di kota metropolis ini.

Sosial EkonomiSurabaya merupakan salah satu pintu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia Timur. Dengan segala potensi, fasilitas, dan keunggulan geografisnya Surabaya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor primer, sekunder, dan tersier di kota ini sangat mendukung untuk semakin memperkokoh sebutan Surabaya sebagai kota perdagangan dan ekonomi.

Bersama-sama sektor swasta saat ini, kota Surabaya telah mempersiapkan sebagai kota dagang international. Pembangunan gedung dan fasilitas perekonomian modern merupakan kesiapan Surabaya sebagai bagian dari kegiatan ekonomi dunia secara transparan dan kompetitif.

Keberadaan perbankan mulai dari bank sentral, bank swasta nasional devisa dan non devisa, bahkan bank asing memperlihatkan perputaran uang dan modal yang tinggi dan telah mengglobal. Perekonomian Surabaya cukup menggairahkan dengan meningkatnya jumiah kredit untuk kegiatan modal kerja, investasi, dan konsumtif, khususnya kredit modal dan investasi pada sektor Industri dan perdagangan.

Page 54: tugu pahlawan

Sentuhan Tradisional dalam Bangunan Modern Minggu, 18/03/2012 | 07:46 WIB

Bicara soal bangunan, Indonesia sebenarnya tak kalah dengan negara-negara Eropa yang warisan gedung kunonya banyak menarik wisatawan untuk datang. Candi, pura, masjid dan bangunan yang menyimpan nilai historis yang luhur tersebut tak sedikit di antaranya yang memiliki sentuhan arsitektur sangat tinggi.

Di zaman modern, Indonesia makin banyak memiliki koleksi bangunan-bangunan tentu saja dengan sentuhan era kekinian. Terbaru, negeri ini boleh bangga karena baru menambah satu koleksinya di bidang pembangunan yakni Jembatan Suramadu, yang menghubungkan antara Pulau Madura dan Jawa Timur (Surabaya).

Konsep modern, revolusioner, dan heroik dalam arsitektur kekinian membawa negeri ini pada program pembangunan besar-besaran terutama untuk kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Awal tahun 1990-an misalnya, ditandai pengaruh postmodernisme pada bangunan umum dan komersil di Surabaya dan kota besar

lainnya.

Hadirnya kontribusi signifikan dari para arsitek muda yang berusaha menghasilkan desain yang khas dan inovatif makin memperkaya khasanah arsitektur kontemporer di Indonesia.

Menyambut hari arsitektur nasional yang jatuh pada 18 Maret 2012 ini, ada hal yang perlu direnungkan, bagaimana melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas budaya? Karya-karya kreatif dan kontemporer yang menjadi tonggak baru dalam perkembangan arsitektur Indonesia di samping memberi warna dunia kearsitekan modern, mestinya tidak melupakan kekuatan arsitektur tradisional yang membawa nafas kekhasan budaya setempat.

Bangunan-bangunan di Bali bisa menjadi salah satu contoh nyata. Dengan mengusung konsep budaya setempat ‘Tri Hita Karana’ yang berarti menjaga keselarasan hubungan antara Tuhan, alam dan manusia, justru menjadi kekuatan dan daya tarik sendiri bagi wisatawan dalam mengagumi arsitektur Bali.

Karena itu, dalam memperingati Hari Arsitektur Nasional kali ini, tantangan yang menjadi pe er para arsitek muda kita sekarang dan untuk masa akan datang adalah menjaga unsur lokalitas dan arus globalitas, antara tradisi dan isu terkini yang harus segera dijawab dengan sebuah karya nyata dan berkesinambungan. ina

Kita tahu, kota adalah tempat di mana impian dan harapan manusia menampakkan wujudnya yang paling nyata. Wujud tersebut bisa dilihat melalui penampilan dan wajah arsitektur kota. Dengan kata lain, penampilan dan wajah arsitektur kota bukanlah sekadar tatanan fisik yang bersifat tekhnis arsitektural semata, akan tetapi ia sekaligus merupakan pencerminan dari karakter sosio-

Page 55: tugu pahlawan

budaya yang membentuknya. Mulai dari hal-hal yang paling praktis sampai kepada hal-hal bersifat substansial. Oleh karena itu pengertian civis atau city, istilah yang diberikan oleh masyarakat Romawi kuno untuk kota, mengandung pengertian “beradab”, yang dalam bentukan katanya menjadi civil dan civilized. Maka tidak heran apabila eksistensi sebuah kota selalu diukur dari tinggi-rendahnya tingkat peradaban yang membentuknya. Sebagaimana citra kekayaan peradaban Barat itu sendiri, yang secara historis terbentuk melalui dinamika kota atau polis di Athena, pada masa Yunani kuno. Kualitas spasial dan organisasi sosial umumnya hadir di ruang-ruang publik. Teater, stadium, kuil peribadatan sampai agora (pasar yang juga berfungsi sebagi forum publik) adalah tipologi-tipologi fungsi yang hadir untuk merespons pentingnya ruang publik. Pada titik ini, peran arsitektur di dalam membangun dan membentuk sebuah ruang peradaban, yang pada gilirannya merupakan citra dari peradaban itu sendiri, akan sangat menentukan.

Dalam bukunya, Wastu Citra, 1988, Y.B. Mangunwijaya di antaranya menulis: ...Arsitektur yang berasal dari kata architectoon / ahli bangunan yang utama, lebih tepat disebut vasthu / wastu (norma, tolok ukur dari hidup susila, pegangan normatif semesta, konkretisasi dari Yang Mutlak ), lebih bersifat menyeluruh / komprehensif, meliputi tata bumi (dhara), tata gedung (harsya), tata lalu lintas (yana) dan hal-hal mendetail seperti perabot rumah, dll. Total-architecture tidak hanya mengutamakan aspek fisik saja, yang bersifat rasional, teknis, berupa informasi tetapi mengutamakan pula hal-hal yang bersifat transendens, transformasi, pengubahan radikal keadaan manusia. Oleh sebab itu citra merupakan bagian yang sangat penting dalam berarsitektur. Citra menunjuk pada sesuatu yang transendens, yang memberi makna. Arti, makna, kesejatian, citra mencakup estetika, kenalaran ekologis, karena mendambakan sesuatu yang laras, suatu kosmos yang teratur dan harmonis.

Secara garis besar sejarah perkembangan konsep arsitektur dunia memang hampir keseluruhannya meletakkan masalah penyikapan terhadap ruang sebagai pusat perhatian utama. Dan dalam perkembangannya saat ini, konsep ruang yang ditawarkan umumnya mengacu pada dinamika perubahan, baik secara ekologis, biologis, maupun kosmologis. Konsep simbiosis Kurokawa, pemikiran Green Architecture-nya Jencks dan Broadbent, dan Wastu Citra Mangunwijaya tersebut di atas, secara jelas dan komprehensif menyoroti masalah tersebut. Bersamaan dengan itu, pertimbangan untuk menyikapi latar belakang sosio-budaya, juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembentukan desain.

Filosofi simbiosis dalam arsitektur dijabarkan Kurokawa secara mendetail dalam bukunya Intercultural Architecture – The Philosophy of Symbiosis (1991). Arsitektur simbiosis sebagai analogi biologis dan ekologis memadukan beragam hal kontradiktif, atau keragaman lain, seperti bentuk plastis dengan geometris, alam dengan teknologi, masa lalu dengan masa depan, dll. Seperti dikatakan Jencks (pada pembuka tulisan), arsitektur simbiosis merupakan konsep both-and, mix and match dan bersifat inklusif. Kurokawa mengadaptasi sain kontemporer (the non-linear, fractal, dll.) pun mengambil hikmah dari pemikiran Claude Levi-Strauss berkait dengan pernyataan bahwa tiap tempat, wilayah,

Page 56: tugu pahlawan

budaya punya autonomous value dan memiliki struktur masing-masing walau dengan ciri yang berbeda. Dengan demikian mengakomodasi keragaman adalah suatu keharusan. Perlu ada jalan untuk menjembatani perbedaan karakter wilayah, budaya dan lainnya. Simbiosis diupayakan untuk secara kreatif menjaga hubungan harmonis antar tiap perbedaan, merupakan intercultural, hybrid architecture.

Apabila kita cermati, terdapat persamaan cara pandang antara pemikiran arsitektur kontemporer tersebut dengan tradisi arsitektur yang hidup di tanah air kita. Di Padang misalnya, keberadaan rumah Gadang secara arsitektural adalah pengejawantahan dari falsafah “alam terkembang menjadi guru” yang di dalamnya mencakup pengertian dan kesadaran masyarakat setempat terhadap keselarasan dengan alam dan tatanan sosio-budaya serta keyakinan agama yang dianutnya. Begitu pun dengan konsep Hasta Kosala Kosali pada masyarakat Bali. Di Yogyakarta, faham serupa bahkan telah menjadi pijakan pertama sejak kota ini di bangun oleh Pangeran Mangkubumi atau kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubowo I. Sebagai arsitek yang merancang dan sekaligus mendirikan Keraton yang menjadi cikal-bakal kota Yogyakarta, kesadaran dan pemahaman akan keselarasan antara ekologi dan kosmologi merupakan bagian terpenting dari prinsip arsitekturnya. Dan masih banyak lagi contoh yang bisa kita kemukakan, yang menegaskan bahwa “citra” arsitektur yang dimaksudkan tersebut sesungguhnya merupakan wacana dialektis yang secara substansial sekaligus mencoba menawarkan bentuk keselarasan antara kekayaan tradisi di satu sisi, dan tuntutan perubahan zaman di sisi yang lain. Ini adalah sebuah bentuk kesadaran untuk meletakkan sekaligus menyikapi arsitektur sebagai pemkiran yang matang dalam pembentukan ruang sesuai konteks masyarakat yang hidup di dalamnya, dari waktu ke waktu, pada masing-masing wilayah.

Menurut pandangan Heidegger, citra yang terkandung dalam arsitektur meliputi, di antaranya, langgam, terdiri dari perbedaan pola dasar atau style yang menjadi pilihan; dan tradisi, yang merupakan penyesuaian yang bersifat lokal dari pola dasar.

Sementara dalam konsep The everyday yang amat populer belakangan ini, yang untuk pertama kalinya dilontarkan oleh filsuf Henri Lefebvre dari Perancis, menawarkan sebuah bentuk pemahaman menyangkut hubungan antara arsitektur dan urbanisme, kesadaran akan ruang dan kehidupan sosial di dalamnya.

Pendeknya, kota sebagai ruang publik, dalam pendekatan arsitektur memang bukanlah sekadar penerapan dari rumus-rumus geometri atau sejenisnya yang meletakkan sebuah bangunan sebatas konstruksi tekhnis dan formal semata. Akan tetapi, ia sekaligus merupakan bagian dari proses dialektika serta interaksi budaya yang berlangsung terus-menerus dalam dinamika perubahan dan perkembangan zaman. Arsitektur kota sebagai muara dari perkembangan arsitektur secara keseluruhan pada akhirnya merupakan wujud dari hasil penyikapan terhadap perubahan dan perkembangan tersebut. Karena itu, penampilan dan wajah arsitektur kota dapat dilihat sebagai artikulasi sekaligus cerminan dari tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakatnya di dalam

Page 57: tugu pahlawan

memaknai dinamika perubahan, baik secara sosio-budaya, sosio-ekonomi, maupun sosio-politik.

Dari sedikit uraian tersebut, lalu bagaimanakah wajah dan penampilan arstitektur kota di tanah air kita, terutama dengan kota-kota besarnya?

Seperti negara-negara berkembang lainnya, Indonesia memulai periode pembentukan arsitektur kotanya dengan mengambil mentah-mentah The International Style yang menjadi trend dunia pada waktu itu, yakni berupa bangunan tinggi. Dan bangunan tinggi pertama di Indonesia adalah ‘Hotel Indonesia’ di Jakarta (1959) karya arsitek Amerika Abel Sorensen dan Wendy Sorensen yang diresmikan pada tanggal 5 Agustus 1962, serta ‘Wisma Nusantara’, juga di Jakarta, karya arsitek Jepang dengan ketinggian 30 lantai dengan menerapkan teknologi tahan gempa. Kedua bangunan ini merupakan titik awal dari perkembangan arsitektur kota di Indonesia, dan sangat berbeda jauh dengan bangunan-bangunan bergaya kolonial yang ada sebelumnya, baik di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan sebagainya. Hingga puncak perkembangannya terjadi pada pertengahan era kekuasaan Suharto. Gedung-gedung tinggi tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Tentang “The International Style” tersebut, ia adalah perwujudan dari aliran arsitektur Modern dengan ideologi “Form, Follow, Function”-nya. Trend arsitektur ini telah menjadi rezim arsitektur sampai awal tahun 1980-an, terutama di Amerika Serikat dan secara latah diikuti negara-negara berkembang lainnya. Gaya seperti ini tidak terlalu mendapat tempat di kota-kota Eropa yang umumnya adalah kota-kota tua yang memiliki sejarah yang panjang mengenai seni dan gaya dalam arsitektur, serta masyarakatnya sangat apresiatif dan memiliki pemahaman mengenai sejarah kotanya. Sehingga tidak mudah untuk menghancurkan sebuah bangunan dan diganti dengan bangunan baru yang lebih tinggi.

Dari kenyataan tersebut, bisa dikatakan bahwa bentuk arsitektur kota yang dijadikan model sekaligus kiblat pembangunan di Indonesia, sejak awal tampaknya bersandar sepenuhnya pada citra kota-kota besar Amerika, yang di dalamnya mengandung makna kemajuan. Kemajuan yang sepenuhnya bertumpu pada citra kemajuan ekonomi dan tekhnologi, yang secara artifisial ditandai dengan berdirinya gedung-gedung tinggi menjulang. Akibatnya, arus perkembangan arsitektur kota cenderung mengarah hanya pada satu muara, yakni membangun “pasar”, dan mengambil bentuknya yang paling nyata berupa menjamurnya arsitektur bergaya ruko, mall, dan sejenisnya, yang keseluruhannya tampil dalam bentuk dan rupa yang seragam, dari satu kota ke kota lainnya. Keseragaman yang dihasilkan dari kolaborasi antara kapitalisme dan birokrasi, yang menggantungkan perencanaan dan desain pada kekuasaan, teknologi, dan terutama pada kekuatan ekonomi dengan meningkatnya pasar yang tidak beraturan.

Sampai di sini, maka apa yang menjadi kerisauan seorang Mangunwija untuk membangun citra arsitektur secara kontekstual kiranya menemukan pangkal sebab-musababnya. Sebentuk kerisauan yang mencoba mengoreksi arah

Page 58: tugu pahlawan

perkembangan arsitektur sebagai media untuk membangun citra “kemajuan” bangsa dalam prespektif budaya yang bersifat dialektis dan menyeluruh. Citra yang mencakup pilihan estetika, di mana arsitektur sebagai ungkapan bentuk memiliki persenyawaan dengan visualisasi, keindahan, ekspresi, dan makna. Dan bagi Indonesia yang kaya akan khasanah tradisi arsitekturnya, maka sesungguhnya ia sekaligus merupakan usaha dan ajakan untuk menyikapi ruang dengan pendekatan estetika yang merangkul masa lalu dan masa kini dalam dinamika perkembangan dan kemajuan zaman, dalam sebuah harmoni keberagaman.